Blog

  • Pansus Lumpur Kembali Somasi Lapindo

    SURYA Online, SIDOARJO – Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo di akhir jabatannya menyomasi Lapindo Brantas Inc sebanyak dua kali. Intinya, korban luapan lumpur Porong yang masuk peta area terdampak yang belum mendapat pelunasan ganti rugi segera dilunasi.

    Dalam pandangannya, jika somasi tak diindahkan, Pansus Lumpur meminta kepada pemerintah untuk menekan penyelesaian pembayaran pada korban lumpur yang masuk peta area terdampak. Dalam pembayaran ini, ada dua opsi. Mengingat korban lumpur yang ada di luar peta terdampak sudah dibayar melalui pembayaran APBN.

    Opsi yang ada yakni, pertama pemerintah diminta memberi dana talangan pada Lapindo Brantas Inc, untuk melunasi korban lumpur. “Tujuannya, agar korban lumpur segera mendapat pembayaran,” kata Sulkan Wariono, juru bicara Pansus lumpur DPRD Sidoarjo dalam sidang paripurna, Senin (18/8/2014).

    Opsi kedua, pemerintah membeli semua lahan korban lumpur yang belum dilakukan oleh Lapindo. Dengan cara seperti ini, nasib korban lumpur yang masuk peta terdampak bisa mendapat kepastian pembayaran. “Korban lumpur sudah terlalu lama menderita sehingga butuh kepastian,” tegas Sulkan.

    Hingga kini, korban yang ada di area peta terdampak masih banyak yang belum mendapat pelunasan meski asetnya sudah ditenggelamkan oleh luapan lumpur. Total pembayaran yang belum lunas sekitar Rp 700 miliar.

    “Kami hanya bisa berharap agar secepatnya dilunasi. Kami bersama korban lumpur lainnya sudah lama menunggu. Berbagai cara sudah kami tempuh agar dibayar tapi sampai saat ini masih belum ada hasil,” tutur Ny Wiwik salah satu korban lumpur yang kerap ke DPRD.

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/08/18/pansus-lumpur-kembali-somasi-lapindo

  • Pemkab Baru Bangun SD Terdampak Lumpur

    SURYA Online, SIDOARJO – Pemkab Sidoarjo baru membangun sebuah sekolah dari 13 sekolah yang ditenggelamkan lumpur Lapindo di wilayah Porong. Sekolah yang sudah dibangun yakni SDN Kali Sampurno 3, Tanggulangin.

    Kepala Bidang TK/SD Dinas Pendidikan (Dindik) Sidoarjo, Drs. Joko Supriyadi, mengatakan, SDN Kali Sampurno 3 diharapkan bisa menampung siswa yang sekolahnya tenggelam lumpur.

    “Gedungnya bagus dan dibuat dua lantai, kalau dari segi fisik SDN itu termegah se-Sidoarjo. Lokasinya di sekitar Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II,” jelasnya, Jumat (25/7/2014).

    Sekolah yang dibangun cukup  besar sehingga biaya perawatannya cukup lumayan mahal. Kapasitas maksimal bisa 12 rombongan belajar. Satu rombel bisa sekitar 36 – 40 anak. “Jadi totalnya bisa menampung sekitar 400 – 500 siswa,” jelas Joko Supriyadi.

    Fasilitas yang ada cukup lumayan seperti ruang kantor, ruang guru, ruang lab, ruang rapat, perpustakaan, ruang UKS, dan termasuk gudang. “Biaya sekolah sharing dengan pusat, yaitu 6 lokal dari BNPB dan 6 lokal yang lain dari APBD,” ujarnya.

    Lembaga sekolah dasar yang tenggelam di antaranya SDN Siring, SDN Kedungbendo 1, 2, 3, SDN Reno Kenongo 1, 2, 3. Kemudian yang terdampak  itu mulai dari SDN Jatirejo, SDN Besuki, SDN Pejarakan dan yang terakhir SDN Mindi 1, 2, 3 dan SDN Ketapang. Sekolah yang tenggelam dan terdampak diharapkan segera ada gantinya, karena jumlah SDN di Sidoarjo makin lama makin menyusut.

    “Menyusutnya karena persoalan merger atau persoalan lain. Sementara jumlah penduduk terus meningkat, tentunya jumlah siswa juga akan terus meningkat,” ungkap Joko.

    © Anas Miftakhudin | Tribunews.com | 25 Juli 2014

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/07/25/pemkab-baru-bangun-sd-terdampak-lumpur

  • Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    TEMPO.CO, Sidoarjo- Menjelang lebaran Idul Fitri, puluhan warga korban lumpur lapindo mendatangi titik 42 Desa Renokenongo Porong Sidoarjo. Mereka berkumpul tepat di bawah tenda biru dan menggelar istighozah dilanjutkan tabur bunga di pinggir tanggul titik 42.

    Pada istighozah itu mereka mendoakan arwah sesepuhnya yang sudah meninggal dan makamnya terendam oleh luapan panas Lapindo. ”Kami ingin mendoakan sesepuh, semoga beliau diterima di sisi-Nya,” kata penanggung jawab sementara Desa Renokenongo, Subakrie, kepada wartawan usai acara istighozah, Kamis, 24 Juli 2014.

    Menurut Subakrie, kegiatan itu biasa dilakukan tiap tahun menjelang Idul Fitri guna mengingat dan mendoakan arwah sesepuhnya yang makamnya dulu berada di sekitar titik 42 itu. Selain itu, tradisi dalam Islam ketika menjelang lebaran biasanya nyekar ke makam-makam. “Karena di sini makamnya sudah terendam, maka kami hanya nyekar di tanggul saja,” katanya.

    Koordinator penggerak istighosah, Djuwito, mengatakan acara itu sengaja digelar menjelang lebaran, bahkan biasanya satu atau dua hari menjelang lebaran. “Namun karena sekarang hari Kamis dan nanti malam tepat malam Jumat yang terakhir dari bulan ramadan maka kami selenggarakan hari ini,” kata dia.

    Istighozah itu, kata dia, selain mendoakan arwah sesepuhnya, mereka berharap supaya menyentuh hati pemerintah segera melunasi ganti rugi yang belum terbayarkan hingga saat ini. “Sudah delapan tahun kami terlunta-lunta disiksa oleh pemerintah, mereka sudah tak peduli pada kami,” kata dia.

    Subakrie, mengatakan Presiden SBY pernah berjanji untuk menyelesaikan masalah ganti rugi ini pada masa pertengahan masa jabatannya atau pada masa akhir masa jabatannya. “Dan sekarang sudah masuk pada masa akhir masa jabatanya, kami berharap sebelum berakhir masa jabatannya untuk menyelesaikan masalah ganti rugi,” kata dia.

    Menurut Subakrie, pihak korban lumpur yang dibantu oleh beberapa pengacara dan para mahasiswa fakultas hukum Surabaya telah melayangkan permohonan kepada SBY, inti permohonan kami hanya ada dua, yaitu meminta dana talangan kepada pemerintah dan pembayaran ganti rugi dilaksanakan oleh pemerintah. “Keduanya ini sama-sama menguntungkan kami,” kata dia.

    Permohonan itu, kata Subakrie, sudah diterima kantor Sekretaris Negara dan akan segera diberikan kepada SBY untuk diminta tandatangani dan pengesahan dari presiden. Dalam waktu dekat, korban Lapindo akan pergi ke Jakarta untuk menemui SBY. “Tepatnya satu minggu setelah lebaran,” kata dia.

    Selain itu pula, para korban lumpur ini akan sowan kepada presiden yang baru untuk membantu memuluskan atau merealisasikan ganti rugi itu. “Semoga pak SBY dan presiden yang baru masih punya hati nurani untuk membantu kami,” kata dia.

    © MOHAMMAD SYARRAFAH | Kamis, 24 Juli 2014

    Sumber: http://ramadan.tempo.co/read/news/2014/07/24/155595556/Korban-Lapindo-Nyekar-Leluhur-di-Tanggul-Lumpur

     

     

  • Surat Terbuka untuk Bapak Joko Widodo Terkait Solusi Lumpur Lapindo

    Surat Terbuka untuk Bapak Joko Widodo Terkait Solusi Lumpur Lapindo

    KEPADA Bapak Joko Widodo yang saya hormati,

    Nama saya Andri Gunawan Wibisana.  Saya dosen hukum lingkungan di UI.  Beberapa tahun terakhir, salah satu isu yang saya teliti adalah penyelesaian kasus Lumpur Lapindo. Saya telah menerbitkan beberapa artikel terkait penelitian ini.  Dari penelitian ini, saya melihat bahwa kasus Lumpur Lapindo tidak hanya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah SBY dalam menyelesaikan persoalan lingkungan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pemerintah SBY gagal menegakkan hukum dalam pencemaran yang dilakukan oleh korporasi yang kepemilikannya terkait dengan orang kuat di Indonesia, Aburizal Bakrie.

    Selama ini, Pemerintah SBY telah memilih untuk menyelesaikan persoalan kompensasi bagi korban Lapindo dengan dua jalan. Di satu sisi, mereka yang termasuk ke dalam Peta Area Terdampak (PAT) akan diberikan kompensasi oleh PT Lapindo Brantas. Di sisi lain, mereka yang berada di luar PAT akan diberikan kompensasi oleh Negara dengan dana dari APBN. Trilyunan rupiah telah digelontorkan oleh negara baik untuk kompensasi ini maupun untuk biaya penanggulangan Lumpur Lapindo.

    Jalan yang ditempuh oleh SBY tersebut tidaklah adil, karena secara diskriminatif telah membedakan korban ke dalam dua kelompok.  Dengan adanya perbedaan kelompok ini, maka pemerintah telah membedakan perlakuan bagi para korban. Sialnya, korban yang termasuk ke dalam PAT mengalami keterlambatan pembayaran.  Nasib mereka semakin terkatung-katung dengan ketidakmampuan PT Lapindo untuk membayar kompensasi yang menjadi kewajibannya.

    Pada sisi lain, jalan yang ditempuh oleh SBY tersebut juga tidak sesuai dengan prinsip pencemar ‘membayar’ (the polluter pays principle), karena pencemar (dalam hal ini PT Lapindo) hanya dikenai beban yang sebenarnya ringan, yaitu hanya berkewajiban untuk membayar kompensasi pada korban hanya di daerah PAT.

    Tidak mungkin bagi saya untuk berharap Prabowo dapat melakukan penyelesaian kasus Lumpur Lapindo ketika dia sendiri bahkan telah menawarkan posisi “menteri utama” kepada Aburizal Bakrie.  Tetapi, saya berharap jika Bapak Jokowi menjadi Presiden yang akan datang, Bapak bisa menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo secara tuntas dan adil. Saya lihat Bapak berani melakukan kontrak politik dengan para korban Lumpur Lapindo dan berjanji akan menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo melalui Dana Talangan.

    Namun demikian, izinkan saya mengusulkan hal berikut kepada Bapak. Solusi Dana Talangan yang ditawarkan oleh Bapak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-X/2012.  Putusan ini diajukan oleh pemohon yang menuntut dihapuskannya pembedaan perlakuan antara korban yang berada di dalam PAT dan di luar PAT.  Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa penggunaan APBN untuk penanganan kasus Lumpur Lapindo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali penggunaan APBN ini dimaknai bahwa: ‘Negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah Peta Area Terdampak oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu.’

    Putusan MK tersebut dengan demikian menegaskan bahwa negara tidak boleh mengizinkan adanya perlakuan yang berbeda di antara para korban Lumpur Lapindo. Jika negara bermaksud melunasi kompensasi untuk korban di luar PAT, maka negara juga harus menjamin bahwa korban di dalam PAT juga akan dilunasi kompensasinya. Solusi Dana Talangan dari Bapak sudah menghilangkan dualisme pembayaran kompensasi yang selama ini terjadi.  Dengan Dana Talangan ini, maka seluruh korban akan diberikan kompensasi melalui dana yang disediakan oleh negara.

    Tetapi, perlu Bapak sadari bahwa Dana Talangan ini belumlah merupakan solusi yang menyeluruh untuk menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo. Dana Talangan ini adil bagi para korban Lumpur Lapindo, namun tidaklah adil dalam kacamata warga negara lainnya. Sebaliknya, solusi Data Talangan ini justru berpotensi akan membebaskan perusahaan pencamar, yaitu Lapindo, dari kewajiban dan tanggung jawabnya. Singkatnya, solusi Dana Talangan ini berpotensi melanggar prinsip pencemar membayar.

    Karenanya, untuk menghindari persoalan dari Dana Talangan yang diusulkan Bapak, maka Dana Talangan perlu disertai dengan serangkaian langkah hukum.  Ini berarti sesuai dengan solusi yang Bapak tawarkan, Pemerintah menanggung semua kompensasi bagi para korban Lumpur Lapindo.  Namun demikian, langkah Pemerintah ini perlu disertai dengan Gugatan Pemerintah kepada PT Lapindo Brantas untuk meminta penggantian (reimbursement) atas semua pengeluaran yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk menangani kasus Lumpur Lapindo. Di samping itu, Gugatan Pemerintah di atas juga perlu disertai dengan dihidupkannya kembali penyelidikan dan penyidikan atas dugaan tindak pidana dalam kasus Lumpur Lapindo.

    Solusi di atas penting untuk menegaskan bahwa pada satu sisi negara hadir dalam melindungi para korban, dan pada sisi lain negara pun hadir untuk membuat para pencemar dan penjahat lingkungan membayar serta bertanggungjawab atas kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan solusi ini, pemerintah berarti menegaskan bahwa Indonesia bukanlah surga bagi para penjahat lingkungan, bukanlah negara yang akan membiarkan para pencemar bertindak seolah-olah mereka tidak bersalah dan tak bisa tersentuh hukum.

    Dibandingkan dengan pasangan Prabowo-Hatta, Bapak Jokowi dan JK jelas memberikan harapan yang lebih besar dalam hal penyelesaian kasus Lumpur Lapindo secara tuntas dan adil. Bapak Jokowi dan JK tidak memiliki beban politik transaksional dengan pihak yang selama ini dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya luapan Lumpur Lapindo.  Namun demikian, harapan ini tidak akan berarti apa-apa, jika upaya yang akan ditempuh hanyalah sebatas pada pengambilalihan pembayaran kompensasi kepada korban melalui Dana Talangan. Bapak harus secara tegas menyatakan akan menyelesaikan dua cara penyelesaian Lumpur Lapindo: Pertama, mengambil alih pembayaran kompensasi bagi seluruh korban Lumpur Lapindo; dan kedua, pada saat bersamaan menggugat Lapindo untuk membayar semua biaya yang telah dikeluarkan oleh negara, serta mengusut dugaan tindak pidana dalam kasus Lumpur Lapindo. Sudah saatnya penjahat lingkungan diminta pertanggungjawabannya atas kejahatan lingkungan yang mereka lakukan.  Sudah saatnya negara bersikap tegas terhadap para penjahat lingkungan.***

    Penulis adalah pengajar di Universitas Indonesia.

    Sumber: http://indoprogress.com/2014/07/surat-terbuka-untuk-bapak-joko-widodo-terkait-solusi-lumpur-lapindo/

  • 2 Bulan Tanggul Lumpur Diblokade Warga, BPLS Angkat Tangan

    SIDOARJO – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) selama dua bulan ini tidak bisa beraktivitas menangani lumpur. Pasalnya, warga korban lumpur masih melarang segara aktivitas penanganan lumpur sebelum ganti rugi mereka dilunasi.

    Sejauh ini tidak ada solusi untuk menyelesaikan masalah itu, karena Lapindo Brantas Inc tak kunjung melunasi ganti rugi korban lumpur.

    Akibatnya, kekuatan tanggul lumpur tinggal menghitung hari saja karena kondisi di kolam lumpur semakin penuh.

    Humas BPLS, Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan pengerjaan tanggul dihentikan warga sejak tanggal 18 Mei lalu. Pihaknya tidak bisa berbuat banyak, bahkan tak berani beraktivitas karena khawatir terjadi gesekan antara korban lumpur dan petugas dari BPLS.

    Sedangkan kondisi lumpur saat ini, lanjut Dwinanto, air di permukaan lumpur memang terlihat meninggi.

    Hal tersebut mengindikasikan bahwa semburan dari pusat semburan lumpur lebih banyak didominasi oleh air dibandingkan dengan lumpur.

    Sejak musim penghujan usai, tidak ada pengaliran lumpur ke Sungai Porong. Sehingga, pond hanya menampung volume yang dikeluarkan dari pusat semburan.

    “Praktis selama dua bulan kita tidak bisa membuang lumpur ke Sungai Porong,” jelas Dwinanto.

    Jika pembuangan lumpur ke Sungai Porong terhenti, otomastis lumpur akan menumpuk di kolam penampungan (pond).

    Jika sewaktu-waktu hujan turun, dikhawatirkan lumpur penuh dan akan meluber menggenangi Jalan Raya Porong dan rel KA jurusan Surabaya-Malang.
    Apa yang dilakukan agar warga memperbolehkan BPLS memperkuat tanggul lagi.

    Dwinanto mengaku, pihaknya sudah seringkali berdialog dengan warga korban lumpur. Namun, mereka mengaku tidak akan mengijinkan BPLS memperkuat tanggul sebelum ganti rugi aset mereka dilunasi.

    Sampai saat ini,  Lapindo Brantas Inc berkewajiban membayar sebanyak 13.237 berkas yang kini tinggal 3.348 berkas dengan nilai pembayaran sebesar Rp786 miliar.

    Dana yang dikeluarkan Lapindo untuk membayar aset warga sebesar Rp3,043 triliun. Atau dengan kata lain, sebanyak 75% berkas sudah lunas pembayarannya.

    Sedangkan total dana yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk menangani lumpur sampai kini sudah sekitar Rp8 triliun.

    Dengan rincian, untuk penanganan semburan lumpur sekitar Rp5 triliun dan membayar aset warga sekitar Rp3 triliun.

    Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Emir Firdaus mengatakan, jika saat ini penyelesaian ganti rugi belum juga tuntas. Apalagi, belum ada kejelasan dari Lapindo kapan akan melunasi sisa pembayaran ganti rugi tersebut.

    Emir menjelaskan penyelesaian ganti rugi korban lumpur perlu ada campur tangan pemerintah.

    Sayangnya, sampai saat ini belum ada kepastian dari pemerintah kapan akan mengucurkan dana talangan untuk pelunasan ganti rugi.

    “Kita berharap secepatnya ada dana talangan dari pemerintah untuk korban lumpur,” tandasnya. (Abdul Rouf)

    Sumber: http://daerah.sindonews.com/read/882472/23/2-bulan-tanggul-lumpur-diblokade-warga-bpls-angkat-tangan

  • Relasi Kuasa antara Korban Lapindo dan Grup Bakrie

    Relasi Kuasa antara Korban Lapindo dan Grup Bakrie

    Oleh Anton Novenanto

    [sumber: http://novenanto.lecture.ub.ac.id/relasi-kuasa-antara-korban-lapindo-dan-grup-bakrie]

    Salah satu hal yang selalu menarik perhatian saya dalam mengamati perkembangan kasus Lapindo adalah mengamati strategi Grup Bakrie dalam mendayagunakan jejaring sosial, politik, dan ekonomi agar bisa bertahan dari krisis yang ditimbulkan oleh semburan lumpur tersebut. Catatan singkat ini hanyalah sebagian kecil dari usaha saya melakukan penelusuran terhadap strategi politik ekonomi Grup Bakrie dalam rangka mengamankan diri dari kasus Lapindo.

    Sepenggal informasi

    Catatan ini dipicu oleh sepenggal informasi yang hadir dalam sebuah berita pendek di harian Jakarta Post:

    Bakrieland spends Rp 3.1t on acquisition

    Publicly listed developer Bakrieland Development announced Thursday that it would take over shares of PT Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), formerly owned by PT Minarak Labuan Indonesia, in a Rp 3.1 trillion (US$260 million) deal.

    In a published prospectus, Bakrieland said it had signed an agreement on June 30 to acquire 750,000 MMS shares, which brings the company’s ownership in the developer to 99.21 percent.

    MMS operates 500 hectares of land in Sidoarjo, East Java, which Bakrieland says will be developed into a superblock.

    The transaction is considered big for Bakrieland, which is owned by politically wired business tycoon Aburizal Bakrie, given the company used its December book for the acquisition.

    As of December, the company had Rp 140.45 billion in cash and cash equivalents and Rp 1.08 trillion in inventory.

    The company’s liabilities stood at Rp 5.13 trillion and total assets were Rp 12.3 trillion. The company booked Rp 232.23 billion in net losses last year, an improvement from its Rp 1.1 trillion losses in 2012.

    Minarak Labuan, meanwhile, was closely associated to Bakrie’s Lapindo Brantas, which was considered responsible for the high-profile Sidoarjo mud disaster. (Courtesy of Jakarta Post, 4 Juli 2014)

    Berita itu menghadirkan sepenggal informasi yang membantu kita memahami kompleksitas relasi kuasa korban Lapindo dan Grup Bakrie. Dari berita itu kita mendapatkan informasi menarik bahwa Minarak Labuan, yang selama ini adalah ternyata pemilik saham PT Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), akan memindahkan kepemilikan sahamnya itu pada Bakrieland Development. Minarak Labuan, seperti ditulis dalam bagian akhir berita tersebut, merupakan salah satu aktor dalam kasus Lapindo. Sementara itu, MMS adalah perusahaan pengembang perumahan, Kahuripan Nirvana Village (KNV), yang diperuntukkan bagi korban Lapindo.

    Serpihan informasi tentang posisi Minarak Labuan, sebagai bagian dari gurita bisnis Grup Bakrie, dalam kasus Lapindo yang tersampaikan melalui berita itu tentunya hanya akan bermakna dan, oleh karenanya, menjadi penting bagi produksi pengetahuan tentang kasus Lapindo bila dia dihubungkan dengan serpihan-serpihan informasi yang lain. Untuk itu, saya merasa penting untuk mengajak pembaca menelusuri kembali keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo sebagai salah satu usaha merekonstruksi pengetahuan tentang kasus tersebut.

    Beban Lapindo

    Selama ini, dengan mengandalkan data yang berhasil terkumpul, saya hanya berhasil melacak keterlibatan Minarak Labuan sebagai pihak yang memberikan pinjaman berupa dana segar pada Energi Mega Persada (EMP), pemilik seluruh saham Lapindo Brantas, untuk membiayai pengeluaran mitigasi awal semburan lumpur Lapindo (upaya menutup semburan – yang gagal – dan membangun tanggul) (Novenanto 2013: x–xi). Pinjaman dari Minarak Labuan merupakan hal yang tidak hanya penting, tapi juga mendesak dibutuhkan oleh Lapindo Brantas mengingat, sekalipun pemerintah pusat sudah membentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas di Sidoarjo (Timnas) sebagai badan ad hoc pemerintahan yang berfungsi untuk melakukan tiga langkah mitigasi – menutup semburan, menangani luapan lumpur, dan mengatasi permasalahan sosial –, seluruh pembiayaan usaha mitigatif tersebut dibebankan pada Lapindo, seperti tertulis dalam Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 (Keppres 13/2006), yang terbit pada September 2006.

    Pada 4 Desember 2006, setelah mendapat banyak tekanan dari korban dan juga dari pemerintah, Lapindo Brantas menyatakan kesanggupannya untuk membeli tunai tanah dan bangunan yang terendam lumpur dari para warga yang disampaikan melalui suratnya pada Timnas (dengan tembusan yang ditujukan juga pada presiden dan wakil presiden). Harga yang disanggupi adalah Rp 1 juta per meter persegi tanah pekarangan, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan, dan Rp 120.000 per meter persegi tanah sawah. Untuk menjalankan mekanisme, yang kemudian lebih dikenal dengan “cash and carry”, itu disebutkan Lapindo akan membayar secara bertahap: uang muka 20% dan sisanya (80%) dibayar sekaligus sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan. Mekanisme pembayaran semacam ini kemudian dilegalkan dalam Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) yang dirilis empat bulan setelah surat Lapindo pada Timnas itu.

    Jika seluruh nilai aset korban tersebut harus dibayar dengan tunai, maka mengikuti kalkulasi Lapindo harus mempunyai uang tunai sebesar Rp 3,8 triliun (+ US$ 421 juta). Hal ini merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, mengingat aset total Lapindo kala itu hanya sekitar US$ 90 juta. Artinya, sekalipun perusahaan itu dijual hasilnya masih jauh dari cukup untuk bisa membayar kewajiban pada korban lumpur “dalam peta”. Peta yang dimaksud di sini adalah peta area terdampak tertanggal 22 Maret 2007, dilampirkan pada Perpres 14/2007, sebuah wilayah yang menjadi tanggung jawab Lapindo.

    Peta 22 Maret 2007

    Yang kerap kali luput oleh publik dan media adalah salah satu butir tentang opsi relokasi yang tercantum dalam surat 4 Desember 2006. Selain menyatakan kesanggupannya untuk membeli tanah dan bangunan warga, Lapindo juga menyatakan tetap membuka kesempatan bagi warga yang menghendaki pilihan relokasi ke “Kawasan Sidoarjo Baru”. Pada waktu surat itu dirilis, belum terdapat kejelasan dimanakah lokasi “Sidoarjo Baru” itu, namun, mengandalkan visualisasi imajiner yang disampaikan Lapindo, banyak korban menolak opsi relokasi itu dengan alasan kawasan “Sidoarjo Baru” itu “terlalu modern atau terlalu kota” padahal mereka menghendaki untuk pindah ke wilayah yang “masih berbau desa”. Belakangan, setelah melalui proses yang panjang dan berliku, banyak korban akhirnya memilih opsi “cash and resettlement” ini.

    Disposisi “relasi kuasa”

    Untuk memenuhi kewajiban tersebut tanpa harus menutup anak perusahaannya itu, Grup Bakrie pun harus memutar otak bisnisnya dan salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan menyalurkan dana segar ke Lapindo melalui anak perusahaannya yang lain, Minarak Labuan, sebuah perusahaan konstruksi berbasis di Labuan, Malaysia. Dana dari Minarak Labuan itu diberikan dalam bentuk pinjaman kepada EMP, yang sejak Juli 2008 dikonversikan menjadi saham EMP di Lapindo, dan sejak saat itu Lapindo menjadi di bawah kepemilikan Minarak Labuan – masih dalam Grup Bakrie, namun beda manajemen. Strategi Grup Bakrie dalam kasus Lapindo tidak berhenti di situ, setelah melalui proses negosiasi panjang Minarak Labuan pun berhasil mengakuisisi andil Medco Energi (pada Maret 2007) dan Santos (Desember 2008) di Blok Brantas. Alhasil, begitu masuk tahun 2009, Blok Brantas sudah berada sepenuhnya dalam kendali Grup Bakrie, melalui Minarak Labuan (Novenanto 2013: xi).

    Tidak banyak orang, termasuk saya, yang tahu secara pasti tentang posisi dan keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo. Kebanyakan korban, peneliti, jurnalis, pejabat, ataupun aktivis hanya familiar dengan “Minarak” karena nama itu merujuk pada “Minarak Lapindo Jaya” (MLJ), sebuah perusahaan yang baru dibentuk Lapindo Brantas khusus untuk melakukan pembayaran kepada korban “dalam peta”. Publik – termasuk saya, sebelumnya – memahami bahwa MLJ ini didirikan untuk merespons Perpres 14/2007, untuk memudahkan mekanisme pembayaran “ganti-rugi” pada korban. (Alasan yang paling mendasar adalah Lapindo Brantas adalah perusahaan asing, didirikan dan terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, yang menurut undang-undang tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli tanah di Indonesia, cf. Batubara & Utomo 2012). Akan tetapi, berdasarkan sebuah penelusuran dokumen, ada satu hal menarik yang jarang terungkap di media massa maupun di ruang publik lain, yaitu sebuah fakta bahwa MLJ sudah berdiri sebelum Perpres 14/2007 keluar. Bahkan, kesepakatan antara Lapindo dan MLJ tentang penyerahan penanganan pembelian tanah dan bangunan korban “dalam peta” pada MLJ sudah sebelum peta area terdampak dirilis. Disposisi tanggung jawab terhadap korban itu dituangkan dalam Surat Kesepakatan Bersama No. AGR-041/LGL/2007 tertanggal 21 Maret 2007 (Sari 2014: 4) ini berarti sehari sebelum peta area terdampak dirilis pada 22 Maret 2007.

    Sayang, saya tidak bisa melacak kapan tepatnya MLJ didirikan (informasi semacam ini perlu dicari dengan melakukan penelusuran ke lembaga pemerintahan yang mengurusi pendaftaran perusahaan baru), namun yang penting bagi catatan ini adalah sebuah fakta bahwa telah terjadi pergeseran relasi kuasa antara korban Lapindo dan Grup Bakrie: dari yang sebelumnya korban berinteraksi langsung dengan Lapindo Brantas, menjadi korban berinteraksi dengan MLJ. Dalam prosesnya transaksi dengan warga, MLJ hanya mau melakukan transaksi dengan korban yang bisa menunjukkan bukti hak atas tanah dan bangunan yang sudah terendam lumpur dan menolak korban yang tidak memiliki bukti tersebut. Bagi warga yang tidak memiliki bukti hak atas aset mereka, MLJ memaksakan opsi “cash and resettlement” ke sebuah perumahan modern, Kahuripan Nirvana Village (KNV). Rupanya, MLJ telah melakukan kesepakatan dengan Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), perusahaan pengembang KNV. Intinya, MMS berkewajiban untuk menyediakan rumah baru bagi korban lumpur Lapindo di KNV dan MLJ berkewajiban untuk membayar segala biayanya.

    Tidak jelas kapan kesepakatan antara MLJ dan MMS itu terjadi, namun, menjelang jatuh tempo pembayaran sisa 80%, pada tanggal 25 Juni 2008, MLJ berhasil “membujuk”, untuk tidak mengatakan “memaksa”, para korban “tanpa sertifikat” yang tergabung dalam GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo) untuk menandatangani Nota Kesepahaman tentang penyelesaian sisa pembayaran dengan mekanisme “cash and resettlement” ke KNV. Dari enam butir kesepakatan yang tercantum dalam Nota Kesepahaman itu yang paling menarik adalah pernyataan yang merupakan penegasan sikap bahwa MLJ “tidak akan melaksanakan pembayaran cash and carrykepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan Petok D/Letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun” (Butir 5). Untuk korban dengan kondisi demikian, MLJ memberlakukan mekanisme “cash and resettlement”, barter dengan rumah baru di KNV.

    Tidak semua korban sepakat dengan Nota Kesepahaman antara MLJ dan GKLL tersebut.  Sejumlah korban yang tetap menuntut pembayaran sisa aset dengan mekanisme “cash and carry” menggabungkan diri dalam Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden). Kelompok ini melihat mekanisme “cash and resettlement” melanggar Perpres 14/2007 yang secara jelas mencantumkan kewajiban Lapindo untuk membayar dengan mekanisme tunai, “cash and carry” dan, sejak saat itu, korban “dalam peta” terbelah menjadi dua kelompok besar: “cash and carry” dan “cash and resettlement”.

    Berbarengan dengan terbelahnya korban “dalam peta” muncul relasi kuasa baru yang melibatkan aktor baru, yaitu: MMS, perusahaan pengelola KNV. Karena nilai aset yang bervariasi, MMS menawarkan beberapa tipe rumah yang berbeda agar korban dapat memilih unit rumah dengan harga yang sesuai dengan nilai sisa asetnya. Selain itu, MMS juga menerapkan suatu kondisi bahwa bila nilai sisa aset korban melebihi harga sebuah rumah baru di KNV, MMS akan mengembalikan sisanya (susuk), namun bila nilai aset tidak mencukupi harga sebuah rumah baru di KNV korban harus membayar selisihnya. Ikatan semacam ini membuat kelompok “cash and resettlement” tidak lagi terikat dalam relasi kuasa dengan MLJ, melainkan dengan MMS, pengelola KNV, dan dalam prosesnya MMS akan menagih hak mereka pada MLJ.

    Kewajiban yang belum tuntas

    Untuk korban yang bersikeras dengan mekanisme “cash and carry”, pada Desember 2008, MLJ menyatakan akan membayar mereka dengan mekanisme cicilan bulanan sebesar Rp 30 juta per berkas, yang kemudian direvisi menjadi Rp 15 juta per berkas. Namun, memasuki tahun 2013, MLJ menghentikan secara sepihak pembayaran cicilan tersebut. Menyikapi hal ini, korban pun mulai melakukan aksi demonstrasi. Para korban ini pun mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No. 15 Tahun 2013 tentang APBN Perubahan 2013. Inti dari permohonan kelompok korban ini adalah telah tindak diskriminatif yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok korban “cash and carry”. Dalam APBN Perubahan 2013, pemerintah hanya mencantumkan pelunasan pembayaran kompensasi bagi korban “di luar peta” dan dengan demikian berarti tidak bertanggung jawab atas korban “dalam peta” dari kelompok “cash and carry”.

    Gugatan korban diajukan pada 19 September 2013 dan dikabulkan oleh MK melalui Putusan No. 83/PUU-XII/2013 yang dibacakan pada 26 Maret 2014. Sekalipun banyak korban menyambut “kemenangan” itu, putusan MK itu telah menimbulkan multitafsir dan masih belum final mengingat para korban harus menunggu regulasi baru yang memfasilitasi pelaksanaan putusan itu. Kabar terakhir, Menteri PU, sebagai Ketua Dewan Pengarah BPLS, memberi ultimatum pada MLJ untuk segera menuntaskan tanggung jawabnya sebelum 30 Juni 2014, sebagai responsnya terhadap keputusan itu (JPNN.com, 29 Mei 2014), akan tetapi sampai hari ini belum juga ada tanda bahwa MLJ akan segera melunasi kewajibannya tersebut.

    Selama ini, pemerintah, khususnya BPLS, berdalih bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menengahi konflik antara kelompok “cash and carry” dan MLJ terkait belum tuntasnya pembayaran ganti-rugi tersebut. Alasan naif yang meluncur adalah pemerintah, dalam hal ini BPLS, hanya bertanggung jawab atas korban “di luar peta” sehingga apa yang terjadi dengan korban “dalam peta” bukanlah urusan pemerintah melainkan Lapindo (seperti diatur dalam Perpres 14/2007) dan oleh karena itu tidak ada payung hukum yang mengatur pemerintah untuk bertanggung jawab juga atas kelompok ini. Para pejabat pemerintah yang naif itu, termasuk presiden republik ini(!), hanya sekadar mengingatkan Lapindo untuk segera melunasi pembayarannya, tanpa pernah bisa (atau tidak mau[?]) menghukum Lapindo yang sudah secara kasat mata telah melanggar peraturan yang ditetapkannya. Tentunya, setelah putusan MK keluar, kita bertanya-tanya: apakah pemerintah akan benar-benar melakukan intervensi terhadap relasi kuasa antara kelompok “cash and carry” dan MLJ? Jika ya, bagaimana bentuknya intervensi itu? Jika tidak, otoritas politik macam apa lagi yang dapat menjamin nasib para korban tersebut?

    Kok baru sekarang?
    Kok baru sekarang?

    Sampai saat ini, perhatian publik terhadap perkembangan kasus Lapindo lebih terfokus pada relasi kuasa antara korban (“cash and carry”) dan MLJ seputar kapan perusahaan itu akan membayar lunas para korban ini. Belakangan, persoalan sertifikat aset korban di KNV mulai mencuat ke permukaan seiring dengan semakin banyaknya aksi massa yang mengangkat hal tersebut. Salah satu pemicunya adalah, berdasarkan kesepakatan awal dengan kelompok korban “cash and resettlement”, MMS berjanji akan memberikan sertifikat tanah dan bangunan di KNV pada korban setelah setahun mereka menandatangani kontrak dengan MMS. Namun, sampai April 2014, dari seluruh 2.151 berkas korban, baru 332 berkas yang disahkan BPN dan 75 berkas yang sudah tuntas dan diserahkan pada korban (vivanews.co.id, 4 April 2014), yang menunjukkan betapa lambatnya proses sertifikasi aset di KNV. Banyak korban berpendapat bahwa pembayaran terhadap kelompok “cash and resettlement” belumlah 100% tuntas sampai sertifikat tanah dan rumah di KNV sampai ke tangan mereka.

    Dari seluruh rangkaian fakta tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa proses pembayaran ganti-rugi pada korban Lapindo, baik dari kelompok “cash and carry” maupun kelompok “cash and resettlement”, belum semuanya tuntas. Selama ini, perhatian publik lebih terfokus pada kelompok “cash and carry” karena relasi kuasa yang terjadi antara kelompok ini dan MLJ lebih kentara dan cenderung konfliktual. Tentunya, hal ini membuat relasi kuasa antara kelompok “cash and resettlement” dan MMS menjadi sedikit terabaikan, padahal ada problem laten, terkait dengan sertifikasi aset di KNV, yang menandakan bahwa pembayaran ganti-rugi bagi kelompok ini – yang dilakukan dengan mekanisme barter – pun belumlah tuntas. Namun, sekali lagi “uang” (bagi kelompok “cash and carry”) seolah-olah lebih menarik di mata publik dibandingkan “sertifikat” (bagi kelompok “cash and resettlement”) – sekalipun keduanya sebenarnya tidak lebih dari “selembar kertas”.

     

    Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Memperluas horizon, mengurai kompleksitas

    Pada titik ini, kita perlu kembali pada penggalan informasi yang terlontar dalam berita Jakarta Post yang dikutip di awal tadi. Berita tersebut menjawab sebagian kecil dari pertanyaan yang beredar selama ini, “darimanakah modal MMS untuk mendapatkan lahan untuk KNV dan membangun seluruh rumah yang diperuntukkan bagi korban Lapindo itu?” Jawabnya, “dari Minarak Labuan!” Sebelum ini, saya masih yakin bahwa MMS yang mengelola KNV itu merupakan unit usaha Grup Bakrie namun terlepas sepenuhnya dari Minarak Labuan, akan tetapi penggalan informasi dalam berita Jakarta Post tersebut membuka satu misteri di balik kompleksitas relasi kuasa antara Grup Bakrie dan korban Lapindo, yaitu tentang keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo.

    Transaksi saham MMS tersebut memunculkan pertanyaan besar, khususnya di kalangan pelaku ekonomi. Berdasarkan laporan harian Trimegah Securities tanggal 4 Juli 2014 (unduh di sini), kita mendapat informasi bahwa untuk membiayai akuisisi saham MMS itu, Bakrieland harus menjual Epicentrum Walk (senilai Rp 297 milyar) dan tiga hektar tanah di Rasuna Episentrum (senilai Rp 869 milyar) ke Bumi Serpong Damai (BSD), satu unit usaha properti milik Grup Sinarmas. Menurut analisis Trimegah itu, langkah Bakrieland tersebut – melepas tanah tiga hektar di Rasuna Epicentrum untuk mengakuisisi MMS dan mengelola tanah seluas 500 hektar di Sidoarjo – bukanlah sebuah langkah yang menguntungkan. Akan tetapi, saya melihat bahwa pilihan pahit itu terpaksa diambil Grup Bakrie karena membutuhkan tanah di Sidoarjo itu sebagai salah satu strateginya untuk melancarkan kewajiban pada korban Lapindo. Tentunya perlu penelusuran lebih lanjut untuk melacak keputusan tersebut dalam konteks persaingan bisnis antar elite bisnis kelas kakap: Grup Bakrie vs. Grup Sinarmas.

    Jika kita jeli mencermati berita tersebut, maka kita menemukan fakta menarik bahwa nilai transaksi akuisisi saham Minarak Labuan di MMS oleh Bakrieland (Rp 3,1 triliun) kurang lebih setara dengan nilai ganti-rugi yang sudah dibayarkan MLJ pada korban “dalam peta” per 16 Desember 2013 (Rp 3,049 triliun). Kesamaan nominal ini membawa imajinasi saya kembali pada proses konversi saham Lapindo Brantas dari EMP ke Minarak Labuan pada pertengahan 2008. Saya kemudian bertanya-tanya: apakah yang terjadi dalam transaksi antara Minarak Labuan dan Bakrieland atas saham MMS adalah proses yang serupa dengan transaksi antara Minarak Labuan dan EMP atas saham Lapindo Brantas? Dalam artian begini, dalam transaksi dengan EMP, Minarak Labuan telah sebelumnya memberikan pinjaman pada EMP. Sebagai usahanya mengembalikan hutangnya itu, EMP mengkonversinya menjadi saham atas Lapindo Brantas dan, sebagai hasilnya, Lapindo Brantas beralih kepemilikan ke Minarak Labuan. Nah, dalam transaksi saham MMS, pertanyaannya kemudian: motif apa yang mendorong Bakrieland untuk pada akhirnya mengakuisisi saham perusahaan properti tersebut dari Minarak Labuan?

    Dari transaksi tersebut, kita bisa menarik konklusi sederhana bahwa keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo melampaui sekadar memberi pinjaman pada Lapindo Brantas terkait pembiayaan tindakan mitigatif awal semburan lumpur, namun juga menjamin pembayaran ganti-rugi pada korban Lapindo. Selama ini, mekanisme pembayaran itu berlangsung dengan dua cara: pembayaran tunai (cicilan bulanan pada kelompok korban “cash and carry”) dan barter (rumah baru di KNV pada kelompok korban “cash and resettlement”). Dengan melihat mekanisme itu, kita dapat melihat bahwa selama ini Minarak Labuan telah berperan sebagai aktor utama yang merepresentasikan Grup Bakrie dalam berhadap-hadapan dengan korban Lapindo – melalui dua anak perusahaannya, MLJ dan MMS. Jika MLJ berinterelasi dengan kelompok “cash and carry”, maka MMS berinterelasi dengan kelompok “cash and resettlement”. Yang kemudian relevan saat ini adalah sebuah fakta bahwa transaksi saham MMS, yang berarti peralihan kepemilikan MMSdari Minarak Labuan ke Bakrieland Development, menandai untuk sekian kalinya pergantian aktor yang merepresentasi Grup Bakrie untuk berhadap-hadapan dengan korban Lapindo, khususnya kelompok “cash and resettlement”.

    Bagan Relasi Kuasa antara Grup Bakrie dan Korban Lapindo
    Bagan Relasi Kuasa antara Grup Bakrie dan Korban Lapindo

     

    Merangkai mosaik kasus Lapindo

    Harus diakui, usaha mengurai kompleksitas relasi kuasa korban Lapindo dan Grup Bakrie bukanlah hal yang mudah. Selain karena banyaknya aktor yang terlibat dalam kasus Lapindo, informasi yang tentang kasus tersebut hadir, sering kali secara sporadis, dalam bentuk penggalan-penggalan di pelbagai waktu dan ruang yang berbeda. Catatan ini ditulis untuk tujuan mengurai kompleksitas kasus Lapindo dengan memusatkan perhatian pada relasi kuasa yang terbentuk antara korban Lapindo dan Grup Bakrie, yang dimulai dari penggalan informasi yang dihadirkan dalam berita Jakarta Post. Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa historiografi (penulisan sejarah) tentang kasus Lapindo disusun berdasarkan keterputusan-keterputusan informasi yang menyebar di ruang publik.

    Menyusun historiografi tentang kasus Lapindo ibarat merangkai mosaik yang gambar utuhnya tidak pernah kita ketahui. Kesulitan itu ditambah dengan sebuah kenyataan bahwa kepingan-kepingan mosaik itu ada yang jelas terlihat, namun banyak yang tersembunyi dan sering kali tercampur dengan kepingan mosaik dari gambar yang lain. Hal semacam ini, pada satu sisi, usaha semacam itu membutuhkan keuletan, energi, kesabaran, dan ketahanan tingkat tinggi. Pada sisi lain, kita dihadapkan pada sebuah ketidakpastian tentang kapan usaha semacam itu akan purna sehingga kita akan menjumpai gambaran seutuhnya tentang kasus Lapindo yang kompleks ini? Tentunya, pertanyaan semacam ini perlu dilihat sebagai sebuah tantangan, ketimbang hambatan, untuk merangkai mosaik kasus Lapindo.

    Referensi acuan:

    Batubara, B. & P. W. Utomo 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo (ed H. Prasetia). Yogyakarta: INSISTPress.

    JPNN.com, 29 Mei 2014. Rp 781 miliar hak korban Lapindo macet. (http://www.jpnn.com/read/2014/05/29/237212/Rp-781-Miliar-Hak-Korban-Lapindo-Macet-).

    Novenanto, A. 2013. Menguak ketertutupan informasi kasus Lapindo. Dalam Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (ed) A. Novenanto, v–xviii. Jakarta & Yogyakarta: MediaLink & Kanisius.

    Sari, R. A. 2014. Problematik yuridis pendaftaran tanah bagi warga eks-korban lumpur Sidoarjo yang memilih skema “cash and resettlement” di Perumahan Kahuripan Nirvana Village, Sidoarjo. Jurnal Novum 2, 1–12.

    vivanews.co.id, 4 April 2014. Gembira, Warga Perumahan Kahuripan Nirwana Terima Sertifikat.(http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/494270-gembira–warga-perumahan-kahuripan-nirwana-terima-sertifikat).

  • Tanggapan Terbuka untuk Awang Harun Satyana

    Tanggapan Terbuka untuk Awang Harun Satyana

    Oleh Anton Novenanto

    Catatan ini merupakan tanggapan terbuka atas tulisan Awang Harun Satyana berjudul “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo (?)” yang termuat dalam blog-nya (geotrekindonesia.wordpress.com). Tulisan Awang tersebut merupakan tanggapan Awang terhadap keberadaan sebuah buku yang ditulis oleh Henri Nurcahyo (2014) berjudul sama dengan judul tulisan Awang tersebut – hanya saja, judul buku itu tanpa tanda tanya (?) di belakangnya.

    Hal yang dapat dipetik dari tanggapan Awang itu, dan juga tanggapan saya ini, merupakan bukti bahwa pertarungan kuasa atas Kasus Lapindo masih belumlah tuntas. Bisa jadi, penerbitan buku Rekayasa Dongeng tidak mengakhiri pertarungan wacana itu, tapi justru mengawali pertarungan kuasa dalam ruang-ruang reproduksi budaya, yang lebih dahsyat dibandingkan perdebatan di forum ilmiah.

    Tanggapan Awang tentang buku Rekayasa Dongeng, tampaknya, tidak disusun berdasarkan pembacaannya terhadap bukunya langsung, tapi lebih mengacu pada artikel resensi saya terhadap buku tersebut, yang dimuat di korbanlumpur.info, yang merupakan reproduksi dari artikel asli yang dimuat pertama kali di Jawa Pos (Minggu, 5 Januari 2014). Dengan mengutip tiga paragraf dari resensi tersebut, Awang menyimpulkan keberadaan “dua tuduhan” yang sedang ditujukan pada dirinya. Karena Awang menggunakan artikel resensi saya tersebut sebagai acuan utamanya menulis, saya terusik untuk menuliskan tanggapan terbuka untuk beliau terkait tanggapannya tersebut.

    1. “Dua Tuduhan”

    Saya menganggap Awang tidak etis dalam melontarkan “dua tuduhan” dalam tulisannya tersebut. “Dua tuduhan” itu adalah sebagai berikut, seperti dikutip langsung dari tulisan Awang itu:

    1. Sebagai seorang geolog saya harusnya tidak menggunakan dongeng untuk pencarian kebenaran, saya harusnya menggunakan argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah.

    2. Saya telah memanipulasi dongeng Timun Mas untuk memenangkan kasus Lapindo.

    Tidak jelas siapa yang sedang dimaksud Awang telah melontarkan “dua tuduhan” terhadapnya itu. Apakah Henri Nurcahyo, sang penulis buku? Ataukah saya, sang penulis resensi atas buku tersebut, yang menjadi acuan utama Awang dalam menuliskan tanggapannya tersebut?

    Dalam tradisi diskusi ilmiah, tentulah sangat tidak etis apabila seseorang memberikan tanggapan terhadap tulisan orang lain tanpa melakukan pembacaan menyeluruh dan teliti terhadap tulisan yang sedang ditanggapinya tersebut. Saya menyimpulkan bahwa Awang belum/tidak membaca buku Rekayasa Dongeng karya Henri Nurcahyo sebab tulisan itu hanya mengutip artikel resensi saya dan saya tidak menemukan adanya kutipan langsung dari buku tersebut dalam tanggapan Awang tersebut, yang memang betul-betul “menuduh”-nya. Saya lalu khawatir, karena yang diacu adalah artikel saya, Awang sebenarnya sedang menuduh saya melontarkan “dua tuduhan” itu kepadanya.

    Dalam Rekayasa Dongeng, Henri justru menunjukkan rasa “terima kasih”-nya pada Awang karena telah memberinya inspirasi menulis buku Rekayasa Dongeng. Tulis Henri (h. 3):

    Adalah Awang Harun Satyana, geolog yang mempopulerkan dan banyak mengupas dugaan semburan lumpur yang terjadi ratusan tahun yang lalu itu, ketika peristiwa semburan Lumpur Lapindo masih belum lama terjadi. Sebagai pakar geologi dia menggunakan keilmuannya menelusuri sejarah geologi terkait lumpur tersebut. Dengan segala kerendahaan hati, saya banyak mengutip pernyataan Awang dalam penulisan buku ini. Justru berangkat dari kajian yang dilakukan Awang dan kolega pakar geologi lainnya itulah yang membuat saya untuk menyeriusi lagi kaitan antara dongeng Timun Mas dan semburan lumpur, khususnya Lumpur Lapindo sebagai contoh.

    Sekalipun, masih dalam paragraf yang sama, Henri langsung secara tegas melakukan pembedaan antara peristiwa semburan lumpur Lapindo dan dongeng Timun Mas sebagai dua entitas yang pada awalnya tidak saling berhubungan dan oleh karena itu, bagi Henri,

    Membicarakan keduanya dalam satu bahasan yang sama tidak lebih dari upaya untuk memaknai dongeng Timun Mas tersebut yang kebetulan juga menyebut-nyebut mengenai danau lumpur sebagaimana yang terjadi di Porong sekarang ini.

    2. Menjawab tuduhan pertama: “data ilmiah”

    Kadar keilmiahan dongeng sebagai data ilmiah bukanlah perhatian utama Henri dalam Rekayasa Dongeng, hal itu terungkap dalam paragraf pembuka catatan pengantar Ayu Sutarto, Guru Besar Universitas Jember, untuk buku itu.

    Dalam era teknologi informasi ini bentuk-bentuk folklor lisan seperti gosip, desas-desus, kabar burung, kabar angin, ramalan dan othak-athik gathuk “menggabungkan satu gejala atau peristiwa dengan gejala atau peristiwa lain hingga terkesan memiliki keterkaitan” terkesan semakin banyak diminati. Peminatnya bukan hanya terdiri dari orang-orang yang berlatar pendidikan rendah, melainkan juga mereka yang berpendidikan tinggi. (h. 9)

    Ayu melihat bahwa peristiwa bencana, termasuk semburan lumpur Lapindo, selalu disertai dengan kemunculan desas-desus dan, menurutnya,

    Desas-desus lumpur Lapindo semakin bernuansa sejarah ketika seorang geolog, Awang Satya Laksana, menelusuri fenomena semburan lumpur tersebut dari berbagai aspek. (h. 14)

    Saya lalu melihat bahwa “tuduhan” pertama tentang “data ilmiah” disimpulkan dari satu paragraf kutipan langsung artikel resensi saya, yang disampaikan ulang dalam tanggapan Awang tersebut. Paragraf itu berbunyi demikian:

    Tentu saja, pencarian kebenaran dengan mengkaitkan dongeng Timun Mas dengan kondisi ekologis (danau lumpur) di dunia nyata, seperti yang dilakukan Awang, merupakan bukti bahwa dongeng berfungsi sebagai wacana. Usaha semacam ini merupakan ironi karena dilakukan oleh seorang geolog, yang idealnya menyusun argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah, bukan dari sebuah dongeng.

    Jika pembaca membaca halaman per halaman Rekayasa Dongeng, maka pembaca tidak akan menemukan dua kalimat yang menyusun paragraf yang dikutip Awang tersebut. Yang artinya, dua kalimat tersebut adalah kalimat saya dan artinya, harus saya akui, kesimpulan tentang “ironi” itu adalah pendapat dari saya. (Dalam 206 halaman Rekayasa Dongeng, Henri menyebut kata “ironi” hanya satu kali (!) (h. 104) dan itu pun konteksnya bukan tentang metodologi atau data ilmiah.)

    Dalam tanggapannya atas “tuduhan” pertama itu, Awang kembali mengingatkan pembaca bahwa dongeng Timun Mas muncul pertama kali dalam kasus Lapindo dalam sebuah makalah yang disampaikannya di sebuah forum ilmiah di Bali (Satyana 2007) (makalah dapat diunduh di sini). Dengan sangat yakin Awang mengklaim bahwa “sumber-sumber sejarah” yang digunakannya dalam menyusun argumen (seperti Kitab Pararaton, Serat Kanda, dan Babad Tanah Jawi) untuk makalahnya itu adalah betul “data ilmiah”. Tentu saja, dalam kesempatan ini, saya tidak hendak memberi kuliah pada pembaca tentang bilamana data dikatakan ilmiah dan bilamana data itu tidak ilmiah. Yang menjadi pertanyaan saya adalah: apakah ketiga sumber yang digunakan oleh Awang tersebut bisa dikategorikan sebagai “sumber sejarah”?

    Di kalangan sejarawan, perdebatan tentang apakah ketiga “kitab” tersebut itu dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah (historiografi) Jawa sudah lama terjadi. Yang mendasari perdebatan adalah, tentu saja, kitab-kitab itu anonim – tidak jelas siapa yang menulisnya. Hal ini berbeda, misalnya, dengan Nagarakertagama yang jelas-jelas mencantumkan identitas penulisnya, sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan, bukan atas dasar ilmiah, namun atas dasar kredibilitas sang penulisnya, Mpu Prapanca (Riana 2009; Slametmulyana 1979).

    Jika kita masuk ke ranah substansi dari Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, maka kedua kitab itu lebih berfungsi sebagai narasi yang ditulis untuk melegitimasi berdirinya rejim politik (Mataram Islam). Secara singkat, terdapat sebuah kesepakatan – yang tentu saja dapat dipertanyakan kembali – di kalangan para sejarawan bahwa dua kitab itu bukan “sumber sejarah”, melainkan “tafsir terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah tertentu” semacam “karya sastra” bahkan beberapa menyebut “ramalan” (Braker 1980; Carey 2008; Day 1978; Drewes 1966; Florida 1995; Pigeaud 1967; Rahardjo 2011; Ras 1987; Ricklefs 1972, 1979). Sementara itu, Kitab Pararaton lebih bercerita tentang proses berdirinya dua kerajaan besar Jawa, Singasari dan Majapahit, beserta silsilah para raja (itu juga sebabnya nama kitab itu adalah Para Raton, dari “para ratu”) dan peristiwa “penting” pada masa dua kerajaan tersebut (Noorduyn 1975; Phalgunadi 1996).

    Bahwa kitab-kitab tersebut adalah bukti kebesaran sejarah Jawa memang tak dapat dipungkiri, namun untuk menggunakannya sebagai “sumber penulisan sejarah” Jawa merupakan hal yang perlu dipikirkan ulang, apalagi sampai mengklaim bahwa data-data yang tersampaikan dalam kitab-kitab tersebut adalah “data ilmiah”. Fakta semacam ini tentunya terkadang menyakitkan bagi orang Jawa, termasuk saya, yang sudah mengganggap bahwa kitab-kitab tersebut adalah betul “sejarah Jawa”. Saya tidak paham apakah Awang mengikuti problematika perdebatan tentang metodologi penulisan sejarah (Jawa) dengan mengacu pada kitab-kitab tersebut dalam menulis makalahnya, dan beberapa tulisan selanjutnya.

    Dalam tulisan lain, masih di dalam blognya, yang berjudul “Gunung-gununglumpur Jawa & Madura: pendekatan geo-histori,” Awang kembali menggunakan secuil informasi dalam Serat Pararaton yang mencantumkan tentang sebuah peristiwa Pagunungan Anyar sebagai sebuah gununglumpur. Tentunya, kesimpulan ini sangat dangkal. Serat Pararaton hanya menyebutkan peristiwa dan tahun kejadiannya. Untuk itu, untuk mengklaim bahwa peristiwa Pagunungan Anyar adalah sebuah gununglumpur diperlukan sumber sejarah dan arkeologis yang lain sebagai pembanding dan tidak bisa hanya dengan mengandalkan informasi sepenggal yang muncul dalam Serat Pararaton.

    Pada titik ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa Awang perlu berhati-hati ketika menjumpai suatu sumber, karena sebagai seorang ilmuwan tentunya tidak bisa begitu saja mencomot sebuah pernyataan untuk digunakan menyusun argumen tanpa melakukan verifikasi dan menguji reliabilitasnya. Dalam kasus penggunaan tiga “kitab bersejarah” itu, perlulah diimbangi dengan dokumen/arsip sejarah ataupun bukti-bukti arkeologis sehingga tesis tentang Pagunungan Anyar adalah memang betul sebuah gununglumpur dapat dibuktikan secara ilmiah, bukan – meminjam istilah Ayu Sutarto – berdasarkan “desas-desus”.

    3. Menjawab tuduhan kedua: “manipulasi dongeng”

    Untuk menjawab tuduhan kedua tentang “manipulasi dongeng” Awang mengklaim bahwa dia tidak sedang melakukan manipulasi terhadap dongeng Timun Mas. Argumen yang dilontarkan adalah dongeng Timun Mas itu (yang menyebutkan tentang danau lumpur) diambilnya dari sebuah buku yang diterbitkan tahun 1999 oleh Elex Media Komputindo, penulisnya adalah S. Ashari. Intinya adalah dia tidak sedang mengarang dongeng itu, tapi dongeng itu ditemukan dan diambil dari sebuah buku yang sudah diterbitkan sebelum semburan lumpur Lapindo terjadi.

    Dalam bukunya, Henri menggunakan kata “rekayasa” dan sama sekali tidak menggunakan kata “manipulasi”. Kata “manipulasi” muncul dalam artikel resensi saya dan oleh karena itu saya mengajak kita membuka KBBI untuk mencari definisi kata “manipulasi”. Di situ kita dapat ditemukan definisi kedua dari kata “manipulasi” sebagai berikut:

    upaya kelompok atau perseorangan untuk memengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain.

    Dari definisi tersebut, secara gamblang kita dapat melihat bahwa sebuah usaha menulis paper dalam sebuah forum ilmiah (seperti yang dilakukan Awang) merupakan sebuah usaha melakukan manipulasi perilaku, sikap dan pendapat orang lain (audiens forum itu) terhadap sebuah fenomena (gununglumpur) dengan menggunakan data-data tertentu (dongeng Timun Mas). Buku Ashari, paper Awang, buku Henri, dan tanggapan saya ini merupakan sebuah upaya “manipulasi” – mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain.

    Jika pembaca membaca Rekayasa Dongeng, maka pembaca akan menemukan bahwa begitu banyak varian dongeng Timun Mas yang beredar di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Uniknya, tidak semua versi itu mencantumkan keberadaan danau lumpur tempat Buto Ijo mati tenggelam. Pertanyaan kita, mengapa Awang hanya mengangkat dongeng Timun Mas yang “berlumpur”, yang ini berarti mengabaikan keberadaan versi lain dongeng, yang “tidak berlumpur”? Artinya, sekali lagi, publik perlu mempertanyakan kredibilitas keilmiahan paper Awang tersebut, yang seolah-olah tidak melakukan verifikasi data dengan baik, seperti seharusnya proses penulisan sebuah naskah akademik.

    Sampai pada titik ini, saya merasa perlu untuk melontarkan sebuah kritik terhadap kalimat terakhir yang ditulis Awang dalam tanggapannya itu: “Pengejaran ilmu pengetahuan tak ada urusannya dengan politik.” Kalimat itu sangat kontradiktif dengan apa yang ditulis dalam paragraf sebelumnya tentang perjalanan “politik” Awang ke beberapa lembaga negara (seperti, ditulisnya, Polda Jatim, DPD, DPR, DPRD Jatim, Komnas HAM, dan Mahkamah Konstitusi) terkait dengan kasus Lapindo.

    Pengejaran ilmu pengetahuan akan selalu terkait dengan keputusan politik yang akan diambil, dalam kasus Lapindo apakah semburan itu alamiah atau industrial. Betul, Awang tidak terlibat secara langsung dalam mengambil keputusan, namun setidaknya pengetahuan “ilmiah” yang ditawarkannya itu sedikit banyak menjadi pertimbangan bagi pengambilan keputusan tersebut. Artinya, ini lagi-lagi membuktikan posisi politis para ilmuwan itu jauh berbahaya dibandingkan para politis, karena ilmuwan selalu berada di belakang layar pengambilan banyak keputusan politik yang sering kali membahayakan publik.

    4. Pernyataan terbuka

    Dalam paper untuk konferensi di Bali, khususnya dalam bagian tentang kondisi geologi, Awang sepertinya cukup paham bahwa pemboran Sumur Banjar Panji 1 berada pada wilayah kondusif bagi gununglumpur. Pertanyaannya kemudian, mengapa BP Migas (sekarang SKK Migas), tempat Awang bekerja, memberikan izin pemboran di sebuah wilayah dengan kondisi yang rentan semacam itu? Pemberian izin semacam itu sama saja dengan menjerumuskan perusahaan pada sebuah kondisi bahaya, seperti yang ditulis dalam tanggapannya “Sumur Banjarpanji 1 […] adalah korban […], bukan penyebab”.

    Dari seluruh data geologis yang disampaikan Awang – dan juga para geolog lain – wilayah Blok Brantas adalah wilayah yang rentan bagi kelahiran sebuah gununglumpur, hal ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa di Blok Brantas (juga di kawasan lain yang berpotensi lahir sebuah gununglumpur) tidak boleh ada lagi aktivitas pemboran. Hal ini dilakukan untuk menghindari “korban-korban” selanjutnya dari gununglumpur, entah itu perusahaan pemboran, warga sekitar, ataupun publik luas.

     

    Heidelberg, 11 Juli 2014

     

    Referensi acuan:

    Braker, L. F. 1980. Dichtung und Wahrheit, some notes on the development of the study of Indonesian historiography. Archipel 20, 35–44.

    Carey, P. 2008. The power of prophecy. Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press.

    Day, A. 1978. Babad Kandha, Babad Kraton and variation in modern Javanese literature. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 134, 433–450.

    Drewes, G. 1966. The struggle between Javanism and Islam as illustrated by the Serat Dermagandul. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 122, 309–365.

    Florida, N. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Durham & London: Duke University Press.

    Noorduyn, J. 1975. The eastern kings of Majapahit. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131, 479–489.

    Nurcahyo, H. 2014. Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo. Surabaya: Asosiasi Tradisi Lisan.

    Phalgunadi, I. G. P. 1996. The Pararaton: a Study of the Southeast Asian Chronicle. New Delhi: Sundeep Prakashan.

    Pigeaud, T. G. 1967. Literature of Java: Vol I (Synopsis of Javanese Literature 900-1900 A.D.). The Hague: Martinus Nijhoff.

    Rahardjo, S. 2011. Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.

    Ras, J. J. 1987. The genesis of the Babad Tanah Jawi; Origin and function of the Javanese court chronicle. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143, 343–356.

    Riana, K. I. 2009. Kakawin Dēśa Warņnana uthawi Nāgara Kŗtāgama. Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

    Ricklefs, M. C. 1972. A consideration of three versions of the “Babad Tanah Djawi,” with exerpts on the fall of Madjapahit. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London 35, 285–315.

    ––––––– 1979. The evolution of Babad Tanah Jawi texts: In response to Day. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 135, 443–454.

    Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

    Slametmulyana 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

     

  • Dua Desa dan Dua Kelurahan di Sidoarjo Tidak Kebagian Dana Rp 1 Miliar

    Dua Desa dan Dua Kelurahan di Sidoarjo Tidak Kebagian Dana Rp 1 Miliar

    TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO– Dua desa dan dua kelurahan yang sudah ditenggelamkan lumpur Porong tidak mendapat suplai anggaran Rp 1 miliar dari pemerintah yang akan diberikan pada 2015.

    Meski secara administrasi sistem pemerintahannya masih ada, tapi secara geografis daerah itu sudah tertutup lumpur sehingga tidak berpenghuni.

    Desa yang terendam lumpur yakni Desa Renokenongo, Kecamatan Porong dan Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin. Sedang dua kelurahan yang ditenggelamkan lumpur Lapindo adalah Kelurahan Jatirejo dan Kelurahan Siring, Kecamatan Porong.

    Empat wilayah ini praktis penghuninya sudah kabur sejak beberapa tahun lalu. Meski demikian, warga masih ber-KTP desa atau kelurahan yang ditinggalkan itu.

    Wakil Ketua Komisi A DPRD Sidoarjo, Warih Andono, menjelaskan empat desa yang sudah tidak ada aktivitas apa-apa (pembangunan) tidak berhak mendapat bantuan apa-apa.

    “Kalau dipaksakan untuk apa uang sebanyak itu, terus pertanggungjawabannya bagaimana. Sekarang saja tempat tinggal para penduduk terpencar,” tutur Warih, Selasa (8/7/2014).

    Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan, tetap dipertahankannya urusan administrasi di empat daerah yang terendam lumpur itu, karena masih ada persoalan yang belum dituntaskan yakni ganti rugi korban lumpur. Karena lahan mereka (korban lumpur) ada di daerah itu sehingga butuh untuk proses jika suatu saat dibutuhkan.

    “Seperti perangkat desa dan kades masih tetap ada, tapi sebatas untuk pengurusan surat menyurat saja,” ucapnya bergurau.

    Sementara itu, Perda Pedoman Penghapusan dan Penggabungan Desa yang merupakan merupakan perda inisiatif dewan masih belum terlaksana. Komisi A waktu itu sudah mengajukan Raperda penghapusan dan penggabungan desa lumpur dalam prolegda 2015.

    Dalam luberan lumpur ini, sebenarnya masih ada  beberapa desa di Kecamatan Besuki yang daerahnya sudah dijadikan areal lumpur. Yaitu, Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring serta Desa Mindi, Kecamatan Porong.

    Desa-desa ini kemungkinan besar akan digabung ke desa lain. Desa yang daerahnya juga diberi ganti rugi, seperti Desa Ketapang, Desa Kalitengah atau desa yang tergabung dalam 65 RT yang ganti ruginya dibayar pemerintah.

    “Jumlah desa yang ada di Sidoarjo nantinya bisa menyusut tidak lagi 353 desa. Di Porong dan sekitarnya saja sudah hilang berapa,” tutur Sekretaris Komisi A, H Adhy Samsetyo.

    Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2014/07/08/dua-desa-dan-dua-kelurahan-di-sidoarjo-tidak-kebagian-dana-rp-1-miliar

  • Teror Lapindo

    Teror Lapindo

    Oleh: Anton Novenanto (http://novenanto.lecture.ub.ac.id/teror-lapindo/)

    Bagi para peneliti yang mendalami kasus Lapindo –setidaknya saya–, artikel pendek Gregory Forth (“Heads under bridges or in mud. Reflections on a Southeast Asian “diving rumor”, 2009) mungkin sepintas tidak menarik ataupun relevan bagi perkembangan kasus tersebut. Namun, membaca ulang artikel tersebut, saya semakin terbuka dalam melihat sebuah fenomena baru yang saat ini sedang berkembang di Indonesia, yaitu bagaimana kasus Lapindo telah meninggalkan jejak bagi persoalan budaya tidak hanya di Porong, Sidoarjo, namun juga di segala penjuru Indonesia.

    Berburu kepala manusia untuk lumpur Lapindo

    Dalam artikelnya, Forth mengangkat tema rumor yang menyebar dalam masyarakat terkait dengan proyek pembangunan (modernisasi); bahwa dalam setiap pembangunan bangunan modern (jembatan, bendungan, dan, termasuk juga, gereja) membutuhkan kepala manusia, khususnya anak-anak, sebagai tumbal yang ditaruh sebagai pondasi dari struktur bangunan agar kuat dan bertahan lama. Rumor semacam ini, bahwa pembangunan membutuhkan tumbal manusia, menurut catatan Forth, juga menjadi tradisi di Eropa.

    Rumor telah menjadi perhatian Forth sejak lama. Namun, pada musim panas 2008, ketika Forth berkunjung ke Flores, tempatnya melakukan penelitian sejak 1984, dia terkesima dengan kemunculan sebuah rumor yang menyebar di sana tentang kebutuhan kepala anak-anak untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo di Jawa Timur. Jumlah yang dibutuhkan, menurut rumor itu, adalah ribuan dan hal itu menimbulkan ketakutan pada orangtua maupun anak-anak di Flores. Setiap harinya, para orangtua selalu mengawasi anak-anak mereka (sekolah, bermain) agar mereka tidak menjadi sasaran penculikan dan tumbal untuk menutup semburan lumpur Lapindo. Menurut catatan Forth, rumor serupa juga sempat menyebar di Sumba, Bali dan Kalimantan.

    Forth mencatat beberapa perbedaan antara rumor kepala manusia untuk lumpur Lapindo dan rumor kepala manusia untuk proyek pembangunan yang biasa beredar di Flores. Dalam rumor terkait lumpur Lapindo relasi yang muncul adalah bipartit –Jawa dan non-Jawa (Flores)–, sementara dalam rumor pembangunan biasa relasinya adalah tripartit –orang asing (Eropa), orang lokal (Flores), dan pekerja bangunan (biasanya datang dari Jawa). Dalam rumor terkait pembangunan biasa, diceritakan bahwa pelaku penculikan adalah para pekerja proyek pembangunan (yang kebanyakan adalah orang Jawa itu).

    Dalam pandangan Forth, relasi yang terbangun dalam rumor terkait kasus Lapindo yang beredar di Flores itu bukanlah sekadar relasi antara Jawa dan non-Jawa (Flores), namun lebih pada relasi antara mereka dan “negara” (atau “negara yang Jawa-sentris”). Diceritakan tentang adanya sekelompok “ninja” dari Jawa yang sengaja pergi ke Flores untuk mencari anak-anak non-Jawa untuk diambil kepalanya. Menurut rumor itu, kepala anak-anak Jawa tidak lagi efektif untuk dijadikan tumbal menutup semburan itu. Bila dalam rumor perburuan kepala sebelumnya anak-anak itu diculik dulu baru dipotong kepalanya, untuk kasus Lapindo diceritakan bahwa para ninja ini langsung membunuh anak-anak itu dan memotong kepala mereka seketika itu juga. Pada saat yang sama, BPLS juga berusaha menutup semburan dengan “bola-bola beton,” yang, lagi-lagi, menyerupai kepala manusia.

    Rumor dan teror

    Apa relevansi kisah tentang rumor pencarian kepala manusia itu di Flores tersebut dengan perkembangan kasus Lapindo di Indonesia sekarang ini? Belajar dari catatan Forth tersebut, kejadian lumpur Lapindo telah membuat orang Flores melakukan modifikasi atas rumor bahwa kepala manusia tidak hanya berguna dan dibutuhkan demi kelancaran proyek pembangunan (modernisasi), namun juga untuk menghentikan bencana lingkungan – lumpur Lapindo yang disebabkan oleh proyek pembangunan (pertambangan).

    Yang menarik bagi saya, tentu saja, bukanlah kadar kesahihan dari informasi yang inheren dalam rumor tersebut, namun lebih pada bagaimana rumor telah menjadi, apa yang disebut Michel Foucault (1972) sebagai, “wacana” yang menggerakkan dinamika sosial. Sebagai wacana, rumor telah menjadi struktur kuasa yang mengatur tindakan sekelompok manusia (Wolf 1999), dalam kasus ini para orangtua di Flores untuk mengawasi anak-anak mereka dari ancaman para ninja imajiner dari Jawa. Artikel Forth tersebut menunjukkan pada kita bahwa ada persoalan yang hegemonik, laten, dan kultural dari kasus Lapindo, yang bisa jadi lebih serius ketimbang semburan lumpur dan usaha mitigasi terhadapnya. Persoalan itu tidak hanya menyerang para korban ataupun orang yang tinggal di sekitar semburan di Porong, tapi juga menghinggapi bangsa Indonesia.

    Rumor, yang disertai dengan kepanikan, merupakan sebuah manifestasi rasa cemas dari sekelompok masyarakat terhadap sebuah perubahan yang akan terjadi pada mereka (Semedi 2014). Inheren dalam setiap rumor adalah ketidakpastian. Panik, menurut Enrico Quarantelli (1954), adalah perilaku yang menyertai suatu kondisi ketidaktahuan tentang apa yang bakal terjadi itu dan oleh karenanya perilaku macam ini biasanya “non-sosial” (dalam artian, lebih berorientasi pada menyelamatkan diri sendiri) dan “non-rasional” (dalam artian, lebih dilakukan secara spontan). Akan tetapi, nalar reflektif manusia modern telah membuka sebuah horizon tentang resiko-resiko yang inheren dalam setiap tindakan rasional manusia untuk mengatasi ancaman masa depan (Beck 1992). Alih-alih digerakkan oleh kepanikan, dinamika masyarakat semacam ini lebih diwarnai oleh pelbagai macam kecemasan yang muncul akibat mereka mengetahui apa yang bakal terjadi pada hidup mereka, sekalipun pengetahuan itu sifatnya hanya kalkulasi prakiraan semata. Oleh karena itu, kecemasan akan memicu perilaku-perilaku yang sosial (berorientasi pada orang lain), rasional (terukur, terencana, memperhitungkan untung/rugi), dan, dalam banyak kasus, sangat politis (memanipulasi perilaku orang lain).

    Efek Lapindo

    Menurut catatan BPK-RI (2007), kalkulasi ekonomi kerugian setahun pertama akibat semburan lumpur Lapindo telah mencapai angka 30 triliun rupiah. Untuk menangani itu, sampai tahun anggaran 2012 berakhir, BPLS telah menyedot uang APBN sebesar 3,5 triliun rupiah, yang sebagian besar habis untuk mengatasi semburan, merelokasi jalan, dan membeli aset korban “di luar peta.” Jumlah itu belum termasuk uang yang sudah dikeluarkan oleh Lapindo untuk biaya mitigasi awal dan pembayaran aset korban “di dalam peta.” Sampai Desember 2013, menurut catatan yang termuat di website BPLS (bpls.go.id, diakses terakhir 3 Juli 2014), Lapindo sudah menyelesaikan hampir 80 persen dari pembayaran pada korban, dengan nominal sebesar 3,049 triliun rupiah. Di luar itu, Lapindo sudah mengucurkan uang lebih dari 3 triliun rupiah untuk membiayai usaha awal mitigasi semburan lumpur yang dilakukan oleh Timnas PLPS (Lapindo Brantas 2011).

    Bagi warga Sidoarjo, kasus Lapindo telah meninggalkan trauma mendalam, mengingat dampak sosial-ekologi yang ditimbulkan oleh semburan lumpur itu cukup dahsyat. Selain itu, kecemasan warga tekait dengan resiko yang terkandung dalam sebuah gununglumpur (mud-volcano), seperti: tanah ambles dan retak (Abidin et al. 2008), kandungan logam berat dalam lumpur (Juniawan et al. 2012), endapan lumpur di Kanal Porong dan Selat Madura (Karyadi et al. 2012), gas hidrokarbon yang keluar bersamaan dengan semburan lumpur (Nusantara 2010), ataupun tanggul jebol. Semburan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti melahirkan pertanyaan tentang kemungkinan perluasan dampak sosial-ekologis dari lumpur Lapindo.

    Kasus Lapindo, sekalipun diklaim tidak akan mempengaruhi posisi Aburizal Bakrie dan Partai Golkar dalam kancah politik nasional, rupanya cukup signifikan dalam mempengaruhi kegagalan pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Partai Golkar dalam pemilihan presiden tahun ini (sesuatu yang sudah banyak diprediksikan oleh banyak kalangan). Kasus Lapindo telah menjadi “dosa politik yang tak termaafkan” dari Aburizal, sehingga tidak ada partai politik yang menginginkan koalisi dengan Partai Golkar jika tetap mengajukan ketua umumnya itu untuk maju sebagai kandidat calon presiden. Partai Golkar pun harus masuk dalam koalisi Partai Gerindra untuk mencalonkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden tahun ini. Disebutkan, jika pasangan ini memenangkan pemilihan presiden, maka Aburizal akan mendapatkan posisi sebagai “menteri utama” dalam kabinet mereka. Tentu saja, transaksi politik semacam ini juga berarti atribusi “dosa politik” Aburizal terkait kasus Lapindo pada pasangan tersebut.

    Terganjal Lapindo
    Terganjal Lapindo

    Wacana “Lapindo”

    Kasus Lapindo telah memaksa para pejabat pemerintah, dari level kepala desa sampai menteri, dan petinggi Lapindo, untuk berpikir keras dalam menyusun strategi politis untuk saling menyelamatkan diri dari ancaman pidana dan hukum. Salah satu yang paling mengancam adalah, tentu saja, perihal ijin dan pemboran non-prosedural Sumur Banjar Panji 1. Berdasarkan catatan tim dari BPK-RI, ijin pemboran Sumur Banjar Panji 1 telah melanggar beberapa aturan hukum tentang pertambangan dan juga peraturan daerah tentang tata ruang Kabupaten Sidoarjo, serta proses pemboran sumur tersebut dilakukan tanpa pengawasan ketat dari badan pemerintah manapun, khususnya BP Migas. Hal ini tentu saja kontradiktif dengan pernyataan seorang geolog BP Migas yang mengakui bahwa Blok Brantas merupakan salah satu tempat yang potensial bagi lahirnya sebuah gununglumpur (Satyana 2007); alih-alih mengawasi ketat proses pemboran di Blok Brantas, BP Migas justru membiarkan proses itu berjalan tanpa kontrol.

    Jika betul demikian, maka sanksi hukum mengancam para pejabat pemerintah tersebut. Jadi, sekalipun pada bulan Agustus 2006 Tim Investigasi –dibentuk oleh Menteri ESDM dan dipimpin oleh Rudi Rubiandini– menyatakan bahwa semburan lumpur dipicu oleh kesalahan pemboran –dan kemudian ini yang diyakini oleh publik sampai sekarang– (Rubiandini 2007; Tim Walhi 2008), para pejabat pemerintah pun mati-matian menjadi garda depan untuk meyakinkan publik bahwa semburan dipicu oleh gempabumi.

    Perubahan sikap pemerintah semacam itu dan pengingkaran terhadap kecelakaan industrial justru memancing resistensi keras dari publik. Wacana bahwa lumpur Lapindo adalah bencana industri bukannya tambah surut dan hilang, namun justru semakin kuat dan meluas. Imajinasi kehancuran yang melekat dalam lumpur Lapindo – lagi-lagi, terima kasih pada media massa dan teknologi informasi – telah menyebar luas tidak hanya di seputaran Porong, tapi juga sampai ke seluruh penjuru tanah air dan telah suatu teror tersendiri bagi warga yang tinggal berdampingan dengan kegiatan pertambangan.

    Di Sidoarjo, hal itu termanifestasikan dalam penolakan warga setempat terhadap aktivitas pemboran sumur baru oleh Lapindo di Kalidawir, yang masih merupakan areal Blok Brantas (ARA 2012). Bahkan, Bupati Sidoarjo Saiful Illah sempat menyatakan untuk tidak akan mengeluarkan izin pemboran baru pada Lapindo di wilayahnya selama pembayaran pada korban Lapindo masih belum tuntas (Sumedi 2013). Reaksi juga muncul di tempat lain. Di Jombang, warga menolak rencana Exxon Mobile melakukan eksplorasi di Blok Gunting (Praditya 2013). Dari Bandulan, Kabupaten Semarang, datang kabar tentang rencana eksplorasi panas bumi yang mendapat penolakan dari warga setempat (Munir 2014). Di Samarinda, warga mempertanyakan semburan lumpur yang terjadi di ladang minyak perusahaan asal Prancis, Total, di Blok Mahakam (Kaltim Pos, 16 November 2013).

    Reaksi-reaksi tersebut terkait erat dengan kekhawatiran warga bahwa peristiwa semacam lumpur Lapindo di Porong juga akan melanda mereka. Selain itu, resistensi warga lokal terhadap kegiatan pertambangan juga semakin meningkat di beberapa tempat di Indonesia, seperti di Rembang, di Blora, di Urutsewu, di Mataram, di Flores, dan masih banyak yang lain. Pada saat yang sama, sekelompok organisasi non-pemerintahan menjadikan hari semburan pertama lumpur Lapindo, 29 Mei, sebagai Hari Anti-Tambang (Hantam). Setiap tahunnya, solidaritas masyarakat sipil terhadap korban Lapindo di pelbagai kota telah bertransformasi menjadi gerakan menolak aktivitas pertambangan.

    Selama ini, para korban telah menjadikan tanggal 29 Mei 2006 (hari menyemburnya lumpur Lapindo) sebagai waktu sosial dan sakral dengan menggelar kegiatan-kegiatan komemoratif yang dipusatkan pada “29 Mei” setiap tahunnya. Uniknya, mereka tidak sekadar mengidentifikasi diri sebagai korban bencana lingkungan (semburan lumpur), tapi juga sebagai korban tragedi politik manusia –ketidaktegasan pemerintah dalam menangani dampak turunan dari bencana itu. Di tahun 2013 lalu, misalnya, mereka memasang monumen nisan Tragedi Lumpur Lapindo, yang tertulis:

    Lumpur Lapindo telah mengubur kampung kami.

    Lapindo hanya mengobral janji palsu.

    Negara abai memulihkan kehidupan kami.

    Suara kami tak pernah padam, agar bangsa ini tidak lupa.

    Di tahun 2014 ini, tema yang diangkat dalam rangkaian peringatan semburan adalah “Saatnya tenggelamkan sang raksasa lumpur Lapindo,” yang secara lugas menyerang Aburizal Bakrie dan Partai Golkar yang dipimpinnya.

    Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)
    Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)

    Jika rumor pencarian kepala anak di Flores untuk menutup semburan lumpur Lapindo –terlepas benar atau salah– telah memancing reaksi para orangtua, maka imaji kehancuran lingkungan dan ketidakbecusan politik bencana oleh pemerintah telah memicu tindakan masyarakat dalam bersikap terhadap pemerintah dan industri tambang di Indonesia. Rentetan peristiwa tersebut, tentu saja, merupakan bukti bahwa kasus Lapindo telah menjadi sebuah struktur kuasa yang tidak hanya mengatur perilaku masyarakat, tapi juga menteror siapa saja yang tinggal di republik ini.

    Pustaka acuan

    Abidin, H. Z., R. J. Davies, M. A. Kusuma, H. Andreas & T. Deguchi 2008. Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006 – present). Environmental Geology.

    ARA 2012. Warga masih trauma; Lapindo: “well test” bukan pengeboran sumur gas. Kompas, 26 Mei, h. 21.

    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2007. Laporan Pemeriksaan atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan.

    Beck, U. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity (trans M. Ritter). London, Newbury Park, New Delhi: Sage Publication.

    Forth, G. 2009. Heads under bridges or in mud. Anthropology Today 25, 3–6.

    Foucault, M. 1972. The Archaeology of Knowledge (trans A. M. S. Smith). New York: Pantheon Books.

    Juniawan, A., B. Rumhayati & B. Ismuyanto 2012. The effect of carbon organic total and salinity on the discharge of heavy metals Pb and Cu in Lapindo mud into the Aloo River.Journal of Pure and Applied Chemistry Research 1, 41–50.

    Karyadi, Soegiarto & A. Harnanto 2012. Pengaliran Lumpur Sidoarjo ke Laut Melalui Kali Porong. Malang: Bayumedia Publishing.

    Lapindo Brantas 2011. Social Impact Report: Sidoarjo Mud Volcano. Jakarta.

    Munir, S. 2014. Eksploitasi geotermal Gedong Songo; Warga dihantui trauma Lapindo. Kompas.com, 3 Juni (available on-line: http://regional.kompas.com/read/2014/06/03/0920383/Ekpsloitasi.Geothermal.Gedong.Songo.Warga.Dihantui.Trauma.Lapindo.).

    Nusantara, B. C. 2010. Empat tahun janji tak pasti. Jurnal Dinamika HAM 10, 105–121.

    Praditya, I. I. 2013. Trauma lumpur Lapindo hambat eksplorasi migas di Jatim. Liputan6.com15 November (available on-line: http://bisnis.liputan6.com/read/747016/trauma-lumpur-lapindo-hambat-eksplorasi-migas-di-jatim?wp.trkn).

    Quarantelli, E. L. 1954. The nature and conditions of panic. The American Journal of Sociology 60, 267–275.

    Rubiandini, R. 2007. Kejadian dan Penanggulangan Semburan Lumpur di Sekitar Sumur Banjarpanji-1 Lapindo Brantas Inc. Bandung.

    Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

    Semedi, P. 2014. Palm oil wealth and rumour panics in West Kalimantan. Forum for Development Studies 1–20 (available on-line: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08039410.2014.901240).

    Sumedi, D. P. 2013. Pemkab Sidoarjo belum izinkan Lapindo ngebor lagi. Tempo.co, 11 September (available on-line: http://www.tempo.co/read/news/2013/09/11/206512392/Pemkab-Sidoarjo-Belum-Izinkan-Lapindo-Ngebor-Lagi).

    Tim Walhi 2008. Kejadian dan penanggulangan semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. In Lapindo: Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi (ed) D. Setiawan, 1–37. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

    Kaltim Pos, 2013. Total yakin tak seperti Lapindo, 16 November (available on-line: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/41047/total-yakin-tak-seperti-lapindo.html.

    Wolf, E. R. 1999. Envisioning Power: Ideologies of Dominance and Crisis. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

  • Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    IMG_20140528_180212Oleh: Henri Nurcahyo

    Sudah delapan tahun lumpur Lapindo menyembur, masih juga belum ada kejelasan penyelesaian persoalan yang menyelimutinya. Semburan lumpur itu bukan hanya sebuah peristiwa geologi semata, namun juga bencana sosial, bencana intelektual dan juga bencana budaya. Lapindo telah menggunakan segala macam cara untuk menciptakan wacana pembenaran bahwa mereka tidak bersalah.

    Celakanya, kalangan ahli geologi sendiri, malah tidak satu suara untuk menegaskan penyebab terjadinya semburan. Apakah ilmu geologi tidak cukup canggih untuk menjelaskan peristiwa eksakta seperti itu? Bahkan organisasi profesi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) sendiri hingga kini tidak pernah punya sikap resmi terkait semburan yang mencelakakan itu. Para ilmuwan berebut mengumbar serangkaian teori dan kepintarannya bersilang pendapat sehingga malah membingungkan masyarakat. Inilah yang disebut Bencana Intelektual.

    Padahal, dalam logika awam, penyebab terjadinya semburan lumpur itu karena Lapindo melakukan penyeboran di situ. Lepas apakah ada pengaruh gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum semburan, lepas dari kesalahan prosedur pengeboran, lumpur tidak akan menyembur kalau Lapindo tidak mengebor di kawasan yang sebetulnya sudah diketahui punya potensi kuat menyemburkan lumpur itu. Proses awal mula penentuan lokasi pengeboran itu sendiri saja sudah sarat dengan rekayasa dan manipulasi.

    Peristiwa semburan lumpur Lapindo ini adalah bencana budaya, karena masyarakat diteror oleh perang wacana untuk menerima logika yang seolah-olah ilmiah. Para guru pasti akan bingung menjawab ketika ditanya muridnya perihal apa yang menyebabkan terjadinya semburan itu. Kebingungan ini akan terus membekas selama puluhan tahun, persis seperti wacana pembenaran pembantaian terhadap (mereka yang dituduh) PKI yang mengendap di kepala rakyat negeri ini selama puluhan tahun, sampai kemudian muncul upaya mencari kebenaran setelah Soeharto runtuh.

    Teror wacana budaya ini juga merambah wilayah dongeng, yang menyebut-nyebut dongeng Timun Mas untuk menguatkan alasan bahwa memang sudah wajar terjadi semburan lumpur di Porong. Sebab, dongeng Timun Mas adalah varian Cerita Panji, sebuah kisah legenda yang berpusat di Daha (Kediri) dan Jenggala (Sidoarjo). Dalam dongeng itu memang disebutkan sang raksasa tenggelam dalam lautan lumpur akibat lemparan terasi (belacan) oleh Timun Mas. Rekayasa ini diperkuat dengan kitab-kitab kuno yang seolah-olah sah sebagai sumber sejarah.

    Banyak orang yang dengan mudah percaya tafsir mainstream terhadap dongeng tersebut. Padahal, sesungguhnya dongeng Timun Mas seperti yang banyak dikenal orang selama ini bukan dongeng Jawa Timur, melainkan Jawa Tengah. Sementara yang berkembang di Jawa Timur sendiri adalah dongeng Timun Mas dalam versi yang lain. Saya menemukan sedikitnya ada tiga versi berbeda mengenai dongeng ini, sebagaimana yang menjadi bahan cerita ludruk dan Wayang Kancil. Dongeng Timun Mas versi Jatim ini memang tidak populer, namun yang jelas dalam versi ini justru sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya lautan lumpur.

    Sebagaimana varian Cerita Panji lainnya, tokoh perempuan selalu identik dengan Dewi Sekartaji, sedangkan tokoh lelaki yang menjadi pahlawan penyelamat si perempuan adalah penyamaran Panji Asmorobangun. Pakem seperti itulah yang juga terdapat dalam dongeng Ande-ande Lumut yang juga merupakan varian Cerita Panji. Disebutkan bahwa Kleting kuning adalah Dewi Sekartaji, sedangkan Panji Asmorobangun menyamar sebagai Ande-ande Lumut.

    Rekayasa dongeng ini, dengan menyejajarkan dongeng Timun Mas dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo, tanpa disadari justru membuahkan blunder tersendiri. Karena dalam dongeng itu tokoh Raksasa dikalahkan oleh gadis desa yang lemah tak berdaya bernama Timun Mas. Lantas, mengapa dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo ini yang tenggelam justru “timun mas” dan bukan raksasanya? Itulah sebabnya para pegiat pembela korban lumpur lantas menguatkan logika ini dengan menjadikannya tema peringatan 8 tahun semburan lumpur Lapindo. Pesan utama dalam dongeng itu malah semakin dipertegas dengan kalimat, “sudah saatnya menenggelamkan raksasa dalam kubangan lumpur Lapindo”.

    Paradigma seperti ini sudah dipakai untuk mendasari peringatan semburan lumpur setahun lalu, dengan membuat ogoh-ogoh berupa raksasa berbaju kuning, kemudian dilemparkan ke kubangan lumpur. Ogoh-ogoh itu masih ada hingga sekarang.

    Dan saat ini Dadang Christanto yang jauh-jauh datang dari Australia semakin mempertegas penderitaan para Timun Mas itu. Mereka divisualkan dengan patung-patung manusia dengan tangan menengadah, membawa sisa-sisa perabotan rumahtangga sebagai harta yang terakhir. Juga para seniman Taring Padi dari Yogyakarta menyajikan puluhan instalasi berupa tangan-tangan yang terbenam, hanya kelihatan bagian lengan dan lima jari tangannya seperti orang tenggelam. Ini juga tangan-tangan Timun Mas yang masih menderita hingga sekarang, masih terombang-ambing oleh perdebatan kaum elitis. Bukan pada tempatnya mereka yang tenggelam, justru si Raksasa itulah yang seharusnya terbenam dalam kubangan laknat ini. Tunggu saja waktunya. (*)

    Henri Nurcahyo, penulis buku “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo”, penerbit Asosiasi Tradisi Lisan.

    Sumber: Jawa Pos, 1 Juni 2014

  • Sewindu Lumpur Lapindo (3): Korban Lumpur Lapindo Bingung Nyoblos

    Sewindu Lumpur Lapindo (3): Korban Lumpur Lapindo Bingung Nyoblos

    indep

    Belasan ribu warga korban lumpur masih bingung di tempat pemungutan suara (TPS) mana akan akan mencoblos saat pemilihan presiden (Pilpres), Juli 2014 mendatang. Mereka ini tidak mendapat TPS. Bahkan belasan ribu dari mereka tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT).

    Ribuan warga lain, namanya masih masuk DPT di TPS desa asal mereka. Namun mereka ini sudah meninggalkan desa itu dan hidup berpencar di tempat tinggal sementara atau pengungsian.

    Berdasarkan pemutakhiran data pemilih yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sidoarjo, per Mei 2014, pemilih di empat desa dicatat nol. Keempat desa tersebut memang telah hilang terkubur lumpur. Terdiri Jatirejo, Reno Kenongo, Siring, Kecamatan Porong. Satu lagi, Desa Kedung Bendo, yang masuk Kecamatan Tanggulangin. Pemilik hak pilih dari empat desa, yang diperkirakan mencapai 15.000 lebih terancam tidak menggunakan hak pilih.

    Di luar empat desa, ada dua desa lain, yang ribuan warganya terancam tidak bisa menggunakan hak pilih. Kedua desa itu adalah, Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin dan Desa Mindi Kecamatan Porong. Di sini 8.000 warga masuk DPT dan TPS-nya pun masih tercatat di KPU.

    Persoalannya, kedua desa ini sudah kosong, karena ditinggalkan warganya yang berpencar mencari rumah baru.

    Edeh (54), korban lumpur asal Kedung Bendo mengaku hingga kini belum mengetahui, apakah dirinya bisa mencoblos saat pilpres nanti. “Pengalaman pemilu lalu, saya  tidak bisa nyoblos,” jelasnya.

    Janda dua anak itu sudah lima tahun terakhir mengontrak rumah di Desa Jimbaran Kulon, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo. Namun  KTP Edeh tetap Kedung Bendo. Ia dan warga lumpur memang diminta tidak ganti KTP. Sebab perubahan data kependudukan, bisa membuatnya sulit bahkan kehilangan ganti rugi dari Lapindo. “Jadi KTP saya tetap KTP Kedung Bendo,” kata Edeh kepada Surya, Kamis (29/5/2014).

    Di lingkungan barunya, Edeh sempat ingin mencoblos. Tapi petugas tidak mau menerimanya, karena namanya tak ada di DPT. Juga tidak masuk dalam daftar pemilih khusus (DPK), daftar pemilih susulan bagi warga yang belum masuk DPT.  “Tidak bisa (nyoblos). Katanya karena saya bukan penduduk situ,” tambahnya

    Korban Lapindo : Saya Juga Ingin Pilih Presiden Yang Sanggup Membantu Kami

    Pengalaman serupa dirasakan Kasiati (56), juga warga Kedung Bendo. Pada pileg April silam, dia tidak bisa memilih wakil rakyatnya, di tempatnya yang baru, Perumahan Mutiara Citra Asri (MCA). Pada Pilpres nanti, Kasiati berharap bisa memilih. “Saya juga ingin pilih presiden yang sanggup membantu kami,” katanya.

    Tapi Kasiati belum tahu bagaimana caranya untuk bisa menggunakan hak suaranya. Kasiati juga tidak tahu, apakah namanya masuk DPT atau tidak. Hingga kini belum pernah ada pendataan warga sebagai pemilih.
    “Rasanya belum pernah petugas yang datang mendata,” tambah Harwati, warga Desa Siring menimpali.

    Itu berarti, Hawati dan teman-temannya sesama korban lumpur yang pada pemilu lalu tidak masuk DPT, pada pilpres ini juga tetap tidak masuk DPT atau DPK. “Kami juga tidak pernah mendapatkan sosialisasi. Di mana nyoblosnya, dan bagaimana mengurusnya suratnya,” katanya.

    Harwati menceritakan, pada pemilu legislatif lalu, ia sebenarnya bisa memilih di tempat tinggal barunya, Desa Candipari. Sebab ia sudah mengurus surat keterangan domisili dari kepala desa setempat agar bisa diditerima sebagai pemilih.

    Pagi-pagi ia datang ke TPS. Tapi hingga siang, ia tak kunjung mendapat giliran mencoblos.Capek menunggu,  ia memilih balik pulang dan urung mencoblos.

    “Sudah datang pagi-pagi. Tapi disuruh tunggu  sampai pemilih asli sana nyoblos semua. Jadi saya putuskan nggak usah nyoblos aja, mending kerja saja,” ujar tukang ojek di tanggul lumpur itu.

    Tidak semua korban lumpur golput ketika itu. Sebagian mereka tetap bisa menggunakan hak suaranya meski telah pindah tempat tinggal.

    “Saya dulu pindah dari Siring ke desa Gedang. Nyoblos buat pileg kemarin ya di Gedang. Tidak sulit karena birokasi kepindahan juga dibantu sama lurah,” sebut Purwaningsih (55).

    Khusus warga Ketapang dan Mindi, yang masih masuk DPT, masih bisa mudah memilih. Sebab di desanya yang telah kosong penduduk, dalam pileg  lalu masih didirikan TPS. Dengan begitu warga yang sudah hijrah ke berbagai tempat bisa langsung ke TPS itu.

    KPPS Tak Proaktif Untuk Datangi Korban Lumpur Lapindo

    Pj Kepala Desa Reno Kenongo, Subakri, membenarkan adanya keluhan warga yang sulit menggunakan hak suara. Ia kemudian menceritakan saat pileg April lalu. Saat itu ia didatangi banyak warga.

    Mendapatkan laporan tersebut, Subrakri lalu berkoordinasi dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) setempat.

    “PPK lalu mengarahkan mereka agar datang ke kelurahan tempat mereka tinggal sekarang untuk meminta surat keterangan domisili. Surat keterangan itu bisa dipakai untuk mencoblos di tempat tinggal baru mereka,” kata Subakri.

    Namun Subakti tidak tahu, apakah mereka kemudian melaksanakan prosedur itu atau tidak. Subakri juga tidak mengetahui secara persis berapa persen warganya yang memilih dan golput saat pileg lalu.

    Subakri yang kini tinggal di Desa Juwet Kenongo menyebut, kebingungan warga mendapatkan TPS ini terjadi karena petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak proaktif.

    Menurut dia, seharusnya KPPS datang ke desa-desa yang diperkirakan menjadi tempat domisili sementara para korban lumpur dan mendata nama-nama korban lumpur. “KPPS harusnya turun dan mendata secara door to door (dari pintu ke pintu),” tambahnya.

    Hingga kini warga korban lumpur memang disarankan tidak berganti KTP. Saran itu, kata Subakri telah disampaikan sejak masa pemerintahan Bupati Win Hendarso. Pemkab, kala itu khawatir ganti KTP akan menyulitkan proses pembayaran sisa kewajiban Lapindo. Tapi dampaknya, mereka tidak bisa tercatat sebagai pemilih di tempat baru.

    Di desa Reno Kenongo sendiri, tercatat ada sekitar enam ribu warga. Sebagian besar dari mereka, telah hijrah ke Kecamatan Sidoarjo setelah rumah yang mereka diami terpendam lumpur. Meski telah pindah domisili, namun berbagai pelayanan yang terkait kependudukan, masih dilayani oleh kelurahan Reno Kenongo.

    “Pelayanan tetap jalan. Mulai 2011 sampai sekarang kami masih pinjam satu ruangan di kantor Camat Porong untuk melayani kebutuhan warga Reno Kenongo. Sebelumnya, sejak Reno Kenongo tenggelam, hingga 2010 pelayanan dilakukan di rumah saya di Juwet Kenongo,” pungkasnya.

    (c) Liputan Khusus Harian Surya

  • Victims still await full settlement after eightyears

    Victims still await full settlement after eightyears

    Victims mark eight years of the devastating mudflow in Sidoarjo, East Java, Thursday. Thousands of displaced residents asked the visiting Joko “Jokowi” Widodo to pay the compensation that the government had promised them. (JP/Wahyoe Boediwardhana)

     

    Tjarwadi, 68, a resident of Siring village, Sidoarjo regency, East Java, had not previously known 65-year-old Sadawi Priadi of nearby Glagah Arum village.

    However, they shared the same fate when their homes and all their belongings were engulfed by the hot mudflow originating from the Panji I oil well drilling conducted by PT Lapindo Brantas Inc. in 2006.

    Lapindo is partially owned by the Bakrie family, which is under the patronage of Golkar Party chairman Aburizal Bakrie. 

    Neither Tjarwadi, a trader, nor Sadawi, a driver for a shoe factory, have received the full compensation long promised by the government.

    “Whereas in fact, President Susilo Bambang Yudhoyono personally promised to compensate every one of the victims of the Lapindo mudflow by February 2010, this has not happened in reality,” Tjarwadi told The Jakarta Post during the commemoration of the eight anniversary of the eruption of the mudflow on Thursday in Sidoarjo.

    He claimed that Lapindo should have already paid Rp 635 million (US$54,588) for his 235-square-meter plot and 135-square-meter house, but Tjarwadi and his wife Saropah, 55, have so far only received Rp 247 million. 

    “The initial payment was 20 percent of the total amount, while the rest was to have been paid in installments at Rp 15 million per month, but that happened for eight months only. I’ve received no cash transfers for the past year,” said Tjarwadi.

    The same tale was also related by Sadawi who lost 887 square meters of land and a house measuring 165 square meters. He should have received compensation of Rp 1.1 billion, but has only received Rp 320 million as of now. 

    Thousands of people swarmed on top of embankment 22, located west of the gush point, bordering the railway line and the Porong-Sidoarjo highway to commemorate the eighth anniversary of the Lapindo mudflow.

    Presidential candidate Joko “Jokowi” Widodo also attended the commemoration and met the mudflow victims on Thursday.

    Jokowi, who has been nominated by the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the NasDem Party, the National Awakening Party (PKB) and the Hanura Party, also signed a political contract with various civil society groups if elected as president.

    “The Lapindo hot mudflow case must be settled. The state must be manifest among the people. If this was resolved it would indicate the state is there for the people,” Jokowi addressed the crowd.

    Jokowi will run in the presidential election on July 9 against Prabowo Subianto who has been nominated by several parties, including the Gerindra Party and the Golkar.

    According to the National Development Planning Board (Bappenas) the mudflow has caused Rp 27.7 trillion in losses. It has buried more than 600 hectares of land, displacing 39,700 people and submerging three subdistricts, 12 villages, 11,241 buildings and 362 hectares of rice paddies. 

    Both Tjarwadi and Sadawi were of the same opinion when they were asked about presidential candidate Jokowi.

    “I don’t care about his party. I only see his character. I believe he would not be as hesitant and be able to speed up the compensation process through the state budget,” said Sadawi.

    If he was elected as president, added Sadawi, Jokowi would be the same as when he led Surakarta (Solo) and Jakarta. 

    Sadawi said he was drawn to what he believed to be the humble personality of Jokowi, and he believed him to be close to the people.

    Wahyoe Boediwardhana

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2014/05/30/victims-still-await-full-settlement-after-eight-years.html

  • Pemerintah Sesat dalam Penyelesaian Kasus Semburan Lumpur Lapindo

    Pemerintah Sesat dalam Penyelesaian Kasus Semburan Lumpur Lapindo

    Pers Release

    WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA – JAWA TIMUR
    (WALHI JATIM)

    8Thlapindo29 Mei kembali mengingatkan kita akan betapa tidak dipedulikannya keselamatan rakyat dihadapan gempuran investasi, terutama di sektor pertambangan. Delapan tahun lalu, di sudut Kabupaten Sidoarjo, tepatnya di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin dan Jabon) dan menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 12 desa.

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Jawa Timur (WALHI Jatim) berpendapat bahwa perjalanan delapan tahun penanganan semburan lumpur Lapindo ini telah mengalami kesesatan logika. Kesesatan  ini kemudian telah merubah kehancuran hidup rakyat hanya menjadi mekanisme jual-beli semata dan melupakan faktor-faktor penting yang merupakan hak korban lapindo.

    Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jatim, Ony Mahardika menyatakan bahwa Pemerintah dan Lapindo telah menjadikan isu bencana lumpur lapindo terwp-content di persoalan ganti rugi saja “Tragedi ini bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Namun juga cerita hancurnya masa depan beratus ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, atau bahkan lebih luas dari sekedar 3 kecamatan ini. Namun pemerintah dan Lapindo telah mereduksi kewajiban untuk pemulihan hak-hak korban lapindo secara utuh dengan mengeluarkan Perpres 14/2007 dan aturan-aturan perubahannya hanya untuk mengwp-contentkan isu pemulihan hak korban lapindo menjadi jual beli tanah semata” tutur Ony.

    Ony juga menambahkan bahwa pembayaran tanah dan bangunan warga memang harus segera diselesaikan, namun setelah itu bukan berarti tanggung jawab negara dan Lapindo berakhir. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan demi memulihkan kehidupan korban Lapindo seperti sedia kala “WALHI tidak menafikkan pentingnya pembayaran tanah dan bangunan bagi korban Lapindo, itu kewajiban yang harus segera dituntaskan. Negara harus bisa memastikan bahwa korban yang kehilangan tanah dan bangunan harus mendapatkan penggantian secepatnya demi kepastian perbaikan hidup korban Lapindo” terang Ony lebih lanjut.

    Terkait hilangnya hak korban Lapindo, WALHI mencatat ada begitu banyak kerugian yang harus ditanggung korban Lapindo selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja misalnya, sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166 ribu orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak. Menurut data Greenomic pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun, sedang menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh Hydrocarbon mencapai tingkat 8 ribu – 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.

    Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007 Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga hilangnya keterikatan warga dengan sejarah leluhurnya di desa. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang secara keterikatan jelas tidak akan sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Berapa kita menilai kerugian sosial budaya begini dalam satuan mata uang mana pun?

    Rere Christanto, Kepala Divisi Program dan Kelembagaan WALHI Jatim menyebut bahwa dalam penanganan semburan lumpur Lapindo, hak-hak korban lumpur Lapindo sama sekali tidak dimasukkan dalam skema penyelesaian baik oleh pemerintah dan Lapindo. ”Jangankan mau memikirkan skema pemenuhan hak korban Lapindo, kalau ditanya ada berapa jumlah korban Lapindo, Lapindo dan BPLS tidak akan bisa menjawabnya. Karena yang mereka pakai acuan hanya berkas kepemilikan lahan. Berapa berkas yang sudah terbayar dan berapa yang belum. Persoalan bahwa ekonomi korban lumpur berantakan atau tidak ada jaminan kesehatan yang memadai untuk mereka sama sekali tidak masuk skema BPLS dan Lapindo. Logika mereka soal penyelesaian kasus ini sudah sesat sejak awal. Tidak ada keberpihakan kepada korban lapindo sebagai manusia” tegas Rere.

    WALHI Jatim menuntut Pemerintah berani memakai kekuasaannya untuk memaksa Lapindo mengembalikan hak-hak rakyat yang telah terenggut pasca melubernya lumpur panas yang dari banyak penelitian dan pembuktian ilmiah merupakan akibat dari eksplorasi sumur Banjar Panji-1 yang tidak memenuhi prasyarat kelayakan keselamatan. Pengembalian hak-hak rakyat tersebut tidak bisa hanya berhenti di pembelian lahan dan bangunan saja, namun secara menyeluruh harus bisa mengembalikan kehidupan korban di semua sisi yang telah turut hancur dan hilang bersama dengan keluarnya lumpur Lapindo di wilayah mereka.

    Pemerintah harus mulai membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemenuhan sepenuhnya hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan. Karena tugas negara untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya. Ketidakmampuan negara memastikan terpenuhinya hak-hak korban Lapindo yang hilang akan semakin menegaskan asumsi bahwa pada kasus semburan lumpur Lapindo, negara telah absen.

    Contact Person:
    Ony Mahardika (Direktur Eksekutif Daerah) | 081 335 220 940, 082 244 220 111
    Rere Christanto (Kepala Div. Program & Kelembagaan) | 083 857 642 883

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Jawa Timur
    Jl. Kutisari Indah Barat IX, No. 15 Surabaya
    Telp/Fax : 031- 8490756
    [email protected]
    www.walhijatim.or.id

  • Sewindu Lumpur Lapindo (2): 33 Gedung Sekolah Telah Terkubur Lumpur Lapindo

    Sewindu Lumpur Lapindo (2): 33 Gedung Sekolah Telah Terkubur Lumpur Lapindo

    kholid-bin-walid

    Hari ini (29/5), genap sewindu lumpur Lapindo menyembur di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Selama delapan tahun menyembur, ribuan rumah dan gedung terkubur. Sampai saat ini sudah 33 gedung sekolah termasuk dalam daftar pengisi dasar lautan lumpur itu.

    “Sekolah saya dulu persisnya ada di mana kira-kira, itu saja sudah lupa”, kata Khobir sambil memandang hamparan luas lumpur Lapindo, Senin (26/5/2014)

    Hamparan luas lumpur itu mengubur empat desa berikut semua isinya. Yang tersisa hanyalah kenangan Khobir pada masa-masa di sekolah dulu. Kenangan pada teman dan guru-gurunya.

    Khobir kini tergabung dalam komunitas KLM (Korban Lumpur Menggugat). Surya menemui Khobir di sela-sela kesibukannya mempersiapkan acara peringatan Sewindu Lumpur Lapindo di sekitar tanggul. Khobir berharap luapan lumpur yang disebutnya sebagai tragedi itu segera berakhir.

    Harapan serupa diucapkan Ali Mas’ad, Kepala MA Kholid Bin Walid. Harapan Ali Mas’ad ini biasanya juga diwujudkan dalam bentuk doa bersama. Setiap musim kelulusan siswa, Ali selalu mengajak anak didiknya yang baru lulus sujud syukur di tanggul lumpur, tepatnya di lokasi sekolahnya yang telah terkubur. ”Kami hanya bisa berdoa semoga tragedi ini bisa berakhir,” katanya.

    Ali maupun Khobir berharap sekolah-sekolah yang masih tersisa di seputar kawasan lumpur tidak menjadi korban lumpur berikutnya.

    Tercatat sudah 33 gedung sekolahan yang lenyap. Sekolah-sekolah yang tinggal menjadi cerita duka itu tersebar di enam desa. Siring, Reno Kenongo, Kedung Bendo, Jatirejo, Pejarakan, dan Besuki. “Semuanya gedung SD. Tidak ada sekolah lanjutan,” kata Mustain Baladan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo, Rabu (28/5/2014).

    Sekolah-sekolah yang tutup sebagian digabung dengan sekolah terdekat yang belum tersentuh lumpur. Mustain Baldan tidak tahu, sampai kapan sekolah-sekolah itu bisa bertahan. Yang pasti  bayang-bayang tamat sudah semakin dekat.

    Selain berpotensi menyusul ditenggelamkan lumpur, sekolah ini juga mulai kehabisan murid. Penduduknya secara bergelombang telah hijrah, menjauhi lumpur yang telah menjadi gunung dan terus menyembur.

    Kekurangan Murid, Tiga Sekolah Ini Terancam Tamat

    Ancaman tamat paling nyata dirasakan tiga sekolah dasar (SDN). Terdiri SDN Mindi I, SDN Mindi II, serta SDN Ketapang. Kepala SDN Mindi 1, Musthofa membenarkan potensi sekolahnya tamat. Mustofa mengaku, sekolah sampai sekarang masih bisa bertahan karena masih banyak warga Mindi dan sekitarnya yang mendaftarkan anaknya. Hingga saat ini, SDN Mindi 1 masih memiliki 278 siswa, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Secara administratif, sekolah akan ditutup bila tidak mampu memenuhi kuota jumlah siswa, minimal 26 pendaftar.

    Tapi perlahan namun pasti, sekolahnya toh akan tamat. Sejak 2013 lalu seluruh permukiman dan lahan di Desa Mindi sudah dibeli pemerintah. Sampai saat ini, separuh warga Mindi sudah hidup tersebar di luar desa.

    Mantan Kepala SDN Jatirejo 2 ini tidak mengetahui apa rencana Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo setelah penutupan. Hanya saja, ada beberapa usulan dari orang tua siswa yang nantinya tinggal di lokasi relokasi di kawasan Kesambi. Mereka meminta sekolah ikut dipindah ke sekitar Kesambi.

    Untuk tahun ajaran baru ini sekolah yang dia pimpin akan tetap beroperasi karena sudah ada sekitar 44 pendaftar. Para calon siswa tersebut berasal dari sejumlah desa seperti Pesawahan, Gedang, serta Juwet.

    Nasib SDN Mindi 2 tak lebih baik. Sejak tahun lalu, sekolah ini tidak menerima murid baru. Sehingga tahun ajaran baru 2014, Dinas Pendidikan melarang mereka membuka pendaftaran siswa baru.

    Praktis, siswa-siswa yang ada saat ini hanyalah siswa kelas 2 hingga kelas 6, dengan jumlah siswa yang tak lebih dari 65 orang. Sekolah ini nantinya direncanakan akan bertahan sampai seluruh siswanya lulus.

    Saat Surya mengunjungi sekolah itu untuk meminta konfirmasi dari kepala sekolah, Bachrudin, yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat. “Kami kok tidak tahu kalau ada rencana sekolah ini akan ditutup,” kata seorang guru setempat yang tidak mau ditulis namanya.

    Lumpur Lapindo Menyembur, Banyak Anak Putus Sekolah

    Belum ada data baru tentang jumlah anak korban lumpur yang akhirnya putus sekolah. Data terakhir pernah dihimpun aktivis dari Sanggar Al Faz untuk tahun ajaran 2010/2011. Ketika itu tercatat  ada 103 anak yang tidak melanjutkan sekolah.

    Sanggar Al Faz  adalah inisiator program Solidaritas Anak Lumpur. Program tersebut dibuat dengan tujuan untuk menghimpun beasiswa bagi anak-anak korban lumpur yang terancam atau putus sekolah karena orang tua yang tak lagi sanggup membiayai pendidikan mereka. “Beasiswa itu dihimpun dari donasi publik,” kata Fani Tri Jambore, aktivis Solidaritas Anak Lumpur.

    Ada banyak sebab anak putus sekolah setelah lumpur Lapindo menyembur. Ada yang dikarenakan orang tua yang tak sanggup membiayai setelah kehilangan lapangan kerja. Juga tidak sedikit yang disebabkan lokasi relokasi sekolah yang terlalu jauh.

    Faktor mental ikut menambah panjang daftar anak putus sekolah. Pengalaman ini setidaknya ditemui Imam Khoiri, korban lumpur asal Desa Siring. Pria yang kini pindah di kecamatan Prambon tersebut, menyatakan anaknya mogok sekolah gara-gara di tempat yang baru, sering diejek temannya.

    Cerita yang hampir mirip disampaikan Harwani. Korban lumpur asal Desa Siring mengungkapkan, mental anaknya sempat drop karena harus pindah sekolah. “Anak saya yang pertama sempat males sekolah karena sering pindah-pindah sekolah,” katanya. Beruntung, Harwani cukup sabar membesarkan hati, hingga sang anak mau melanjutkan sekolah.

    Sekolah di Galangan Hingga Rumah Penduduk

    Sekolah ini sungguh ’sakti’. Setelah diterjang lumpur pada 2006 silam, sekolah ini tetap bertahan hingga kini. Padahal, puluhan sekolah lainnya langsung tamat riwayatnya begitu gedungnya terkubur lumpur. Adalah Madrasah Aliyah (MA) Khalid Bin Walid, nama sekolah itu.

    Ali Mas’ad, kepala sekolah milik Yayasan Khalid Bin Walid itu menceritakan kerja keras yayasan menyambung hidup sekolah kebanggaan warga Desa Renokeongo, satu dari empat desa yang terkubur lumpur.

    Dulu di awal semburan muncul, Ali bersama guru dan muridnya setiap hari harus kerja bakti untuk membersihkan lumpur. Rutinitas itu dilakukan sebelum proses belajar mengajar.

    Namun pada 2007, luberan lumpur tidak bisa ditahan lagi. Volumenya aliran terus membesar. Dari cuma setinggi mata kaki, lumpur terus menggunung hingga mengubur atap.

    “Waktu itu banyak sekolah yang pindah ke arah barat. Kalau kami ikut-ikutan, tidak mungkin bisa bersaing dengan sekolah-sekolah yang lebih besar. Jadi saya bertahan saja, pindahnya ke timur,” kata Ali.

    Sejak saat itu Ali harus merelokasi sekolah. Dalam pikirannya, gedung sekolah boleh terkubur, tapi nasib puluhan siswanya tidak boleh ikut mati. Dia bertekad untuk terus menggelar proses belajar mengajar.

    Pada awal masa relokasi, Ali menyulap toko bangunan di Desa Glagah Arum menjadi ruang kelas. Tiga tahun sekolah itu bertahan di toko galangan. Pemilik bangunan menyewakan bangunan toko itu ke orang lain.
    Ali pun kelabakan. Dia harus segera mencari bangunan pengganti. ”Alhamdulillah, ada warga yang mau meminjamkan rumahnya untuk kami,” katanya.

    Sejak 2009 Ali menampung siswanya di rumah sederhana itu. Luasnya memang 300 meter persegi, tetapi kondisinya masih jauh dari kata layak untuk ukuran sebuah sekolah.Ali bergeming. Dia menganggap, pendidikan jauh lebih penting ketimbang memikirkan fasilitasnya.

    Bangunan di gang sempit itu menjadi tempat belajar 75 siswa kelas 1 sampai 3. Ali dibantu 20 guru yang setia mengabdi di sekolah tersebut. Kata Ali, sekolah hanya bisa menggaji para guru itu antara Rp 300.000 sampai Rp 500.000. ”Ini murni pengabdian,” katanya menilai perjuangan para guru di sekolahnya

    Berharap Lapindo Mengganti Gedung Sekolah Yang Karam Ditelan Lumpur

    Kalimat pengabdian bukan saja menggambarkan kecilnya gaji. Kata pengabdian itu juga tergambar dari ketelatenan dan kesabaran para guru hadir ke sekolah setiap hari. Padahal jarak rumah mereka sekarang cukup jauh. Ya sejak lumpur menenggelamkan desa, para guru itu harus hijrah di tempat yang jauh.Terpencar di Kecamatan Krembung dan Wonoayu, sebelah barat Porong.

    Saat masih di Renokenongo, para guru ini biasa datang ke sekolah mengendarai sepeda angin. Ali bersyukur, hanya ada satu guru yang mundur karena tinggal terlalu jauh.

    Tahun ajaran baru ini, MA Khalid Bin Walid sudah menerima 7 calon siswa. Dia yakin, sampai penutupan pada Juli nanti, jumlah itu akan bertambah. Selama ini, Ali selalu mengandalkan pendekatan personal kepada warga di sekitar sekolah untuk mendapatkan siswa.

    Dia bersama para guru, tidak segan mendatangi rumah-rumah warga untuk menyekolahkan anaknya. ”Warga yang tidak mampu menjadi sasaran kami. Anak-anak mereka harus sekolah dan kami membebaskan biaya SPP,” ungkap warga asli Renokenongo itu.

    Dia yakin, sekolahnya  akan terus bertahan, karena hanya ada satu MA di Glagah Arum. Banyak anak usia sekolah di kawasan itu yang enggan bersekolah karena jauhnya lokasi sekolah setingkat SMA atau MA. Nah, MA yang dipimpinnya bisa menjadi solusi kebutuhan warga akan pendidikan.

    Saat ini, Ali masih tetap berharap Lapindo mengganti lahan dan gedung sekolah mereka yang karam. Dia juga tidak lelah menagih janji insentif bagi para guru yang rumahnya jauh dari sekolah. ”Berkali-kali ditagih ya tetap saja mbulet. Tapi saya terus akan bersuara,” ujar Ali.

    Tinggalkan Sekolah Lantaran Tak Tahan Ejekan

    Hidup keluarga sederhana ini berantakan begitu lumpur Lapindo menyembur 2006 silam. Pasangan muda yang baru memiliki anak balita tak pernah membayangkan akan hidup di pengungsian. Cerita pelik mereka menjadi cermin buram  ribuan korban lumpur Lapindo lainnya.

    Bertahan hidup demi anak. Hanya kalimat itu yang tertanam di hati pasangan Chamidah dan Imam Khoiri. Sejak lumpur meneanggelamkan rumah mereka di Desa Siring, Kecamatan Porong delapan tahun lalu, mereka harus hidup berpindah-pindah. Pengungsian Pasar Baru Porong menjadi destinasi awal mereka.

    Ratna Sari, anak sulung pasangan muda itu dibawa serta bergumul dengan ribuan pengungsi. Saat itu Sari masih duduk di bangku taman kanak-kanak. “Saya sedih kalau ingat apa yang dialami anak saya,” kata Chamidah.

    Perempuan berkulit sawo matang itu mengatakan, Sari tumbuh menjadi anak yang tertutup. Lingkungan mempengaruhi perkembangan psikisnya. Keluar dari pengungsian, pasangan ini hidup nomaden atau berpindah-pindah. Kadang di rumah saudaran, saat lain mengontrak rumah.

    Seingat Chamidah, dia sudah tiga kali pindah. Begitu juga dengan sekolah Sari yang mengikuti jejak orang tuanya. Saat sekolah inilah Sari sering mendapat ejekan dari kawan-kawannya. “Sulungku diejek anak tukang ojek tanggul dan korban lumpur,” ungkapnya berkaca-kaca.

    Ejekan itu datang bertubi. Sari yang awalnya periang, berubah menjadi pendiam. Dia trauma, kata Chamidah. Ibu tiga anak itu tidak menyangka, ejekan itulah yang membuat Sari enggan bersekolah kembali. Sari stres dan tidak tahan dengan ejekan itu. Gadis yang kini berusia 14 tahun itu berhenti sekolah ketika duduk di bangku kelas dua.

    Chamidah ikut-ikutan stres karena anak pertamanya itu tidak memiliki ijazah. Dia bingung bagaimana nanti Sari akan mendapatkan pekerjaan tanpa ijazah. Menurutnya, Sari gadis yang tidak melawan saat diintimidasi teman-temanya.

    Dia memilih diam dan menangis ketika mendapatkan ejekan. Chamidah sudah berulang kali menasihati Sari agar melawan saat ejek orang. Namun Sari bergeming. Dia diam, tetapi menangis.

    ”Anak saya yang pertama mirip ayahnya. Putih dan cantik. Dia pendiam. Saya tidak bisa marah kepadanya karena saya mengerti dia memulai hidup di pengungsian yang serba susah. Saya kasihan padanya,” kata Chamidah dengan mata menerawang.

    Hidup di Pengungsian, Pengaruhi Psikis Anak Korban Lumpur Lapindo

    Surya menemui Chamidah di sekitar tanggul lumpur Lapindo awal minggu lalu. Saat itu dia membantu suaminya bekerja sebagai tukang ojek. Sebelumnya, Chamidah pernah bekerja sebagai buruh pabrik untuk membantu perekonomian keluarga.

    Namun, penyakit kanker serviks yang dideritanya mengharuskan dia beristirahat. Sari kini tinggal di rumah neneknya di Tulangan, Sidoarjo usai rumahnya terendam lumpur. Lokasinya sekitar 10 kilomter sebelah barat Porong. Di sana Sari membantu merawat neneknya yang sudah sakit-sakitan.

    Setiap hari Chamidah meyempatkan diri mengunjungi ibu dan anaknya. Selain itu juga diminta mengasuh dua adiknya. Berbeda dengan Sari, dua anak Chamidah lainnya tumbuh menjadi sosok yang temperamental.

    Meski tidak hidup di pengungsian, Chamidah mengakui hidup dua anaknya yang lain juga serba sulit. Ejekan juga sering dilontarkan kepada keduanya. Hanya saja, dua anak Chamidah ini bermental baja. Mereka malah balik melawan ketika mendapatkan hinaan.

    Tidak jarang Chamidah harus berurusan dengan orang tua teman-teman anaknya. ”Ada yang lapor kalau anak saya memukul anak mereka,” ujar Chamidah.

    Dia tidak serta merta memarahi sang anak. Pasalnya, anaknya membela diri karena terus-terusan diejek anak tukang ojek dan korban lumpur. Bagi Chamidah, apa yang dilakukan sang anak adalah bentuk pembelaan diri. ”Hati orang tua mana yang tidak hancur tahu anaknya dihina karena pekerjaan orang tuanya,” imbuhnya.

    Chamidah masih berharap Sari mau sekolah lagi. Namun dia bingung karena dari mana anaknya itu harus memulai sekolah. Saat ini, Sari lebih banyak mengenyam pendidikan non-formal. Setiap sore, dia mengaji di musala dan belajar agama.

    sumber:  Liputan Khusus Harian Surya

  • Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    tempo - lempar bakrie

    Ribuan korban lumpur, terutama dari golongan keluarga miskin (gakin) semakin nelangsa. Mereka harus pontang-panting mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini terjadi karena mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Padahal ancaman kesehatan mereka semakin besar, seiring lamanya semburan lumpur Lapindo.

    Harwati, korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, menyebut ada ribuan warga korban lumpur Lapindo yang tidak tercover jaminan kesehatan. “Alasan Dinas Kesehatan lucu. Kami dianggap terlambat mendaftar. Padahal kami sama sekali tidak pernah dapat sosialiasi,” kata Harwati, Senin (26/5/2014).

    Perempuan 43 tahun itu mengaku sudah berjuang bersama para tetangganya sejak 2011. Ketika jaminan kesehatan masih bernama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Mulai tahun ini, jaminan kesehatan itu berganti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

    Herwati menceritakan, awalnya, dia dan korban lumpur meminta didaftarkan Jamkesmas, namun gagal. Sebelumnya, nama-nama mereka juga gagal masuk ke Jamkesda dengan alasan terlambat mendaftar.

    Berbagai instansi mereka datangi. Mulai dari kelurahan, kecamatan, DPRD sampai Pemkab Sidoarjo. Jawaban yang didapat Harwati sangat normatif. Isinya lebih banyak janji. Harwati menilai, janji itu sampai saat ini belum terealisasi.

    Beberapa warga memang kemudian  mengurus surat keterangan miskin (SKTM) ke kelurahan. Surat ini bisa menjadi pengganti bagi warga miskin yang tidak memiliki kartu Jamkesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Tapi tidak sedikit warga yang frustrasi karena merasa dipingpong.

    “Kalau mengingat dipingpong-pingpong ini,  kami merasa kok seolah-olah orang miskin seperti kami ini dilarang sakit. Ya Allah, kok tega-teganya memperlakukan kami begitu,” tutur Herwati.

    Pendataan Korban Lumpur Lapindo Awut-awutan

    Cerita sedih disampaikan oleh Novik Akhmad, korban lumpur Lapindo asal Jatirejo. Dia mengeluh karena tidak pernah diikutkan dalam program jaminan kesehatan. Padahal mereka menderita karena bencana tersebut. “Dulu ada jamkesmas, ada juga jamkesda. Tapi kami tidak pernah diikutkan program itu. Padahal kami korban lumpur yang setiap hari menghirup gas beracun dari semburan lumpur,” keluh pemuda 32 tahun itu.

    Novik yang merasa sangat membutuhkan jaminan kesehatan, kemudian mendaftarkan kedua orangtuanya sebagai peserta BPJS secara mandiri. Premi ditanggungnya sendiri setiap bulan, Rp 90.000.

    Pemuda bertubuh kurus itu mengaku tidak memiliki uang lagi untuk menambah anggota keluarga masuk sebegai perserta BPJS. Pasalnya, untuk menambah peserta, dia harus kembali membayar premi. Untuk kelas III, premi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 25.000, sedangkan kelas II, ditetapkan Rp 45.000.

    Dia menilai, pemerintah lalai dalam menjamin kesehatan warganya, terutama warga korban lumpur. Ada ribuan warga lain yang sama sekali tidak pernah tahu ada program jaminan kesehatan dari negara. Selama ini, hanya warga yang kritis saja yang mendapatkan akses informasi.

    Menurut Novik, kisah pilu warga itu terjadi karena pendataan yang dilakukan terhadap korban lumpur awut-awutan.  Ia lalu merujuk data Pemkab Sidoarjo melalui Basis Data Terpadu PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial). Di situ tercatat hampir 90 persen warga korban lumpur tidak tercatat sebagai sasaran Jamkesmas atau BPJS. Bahkan di Desa Renokenongo, data rumah tangga sasaran tercatat nol persen. Padahal ada ratusan KK yang semestinya masuk kategori keluarga miskin (Gakin).

    Begitu juga di Desa Jatirejo, yang tercatat sebagai penerima jaminan kesehatan cuma 31 KK. Kemudian Desa Kedungbendo hanya 6 keluarga dan Siring 36 keluarga.

    “Saya tidak tahu, bagaimana pemerintah melakukan pendataan. Yang jelas, ribuan warga lain tidak pernah didata. Alasan pemerintah daerah sih warga korban lumpur hidup terpencar. Jadi mereka kesulitan mendata. Padahal, pemerintah bisa kok mendata warga saat foto dan pengurusan e-KTP lalu. Tetapi itu tidak dilakukan,” kritik Novik.

    Warga korban lumpur sendiri selama ini tidak sempat mengurus masalah itu. Mereka terlalu disibukkan dengan alotnya pelunasan ganti rugi dan tempat tinggal sementara

    Uang Ganti Rugi Lumpur Lapindo Sudah Habis untuk Berobat
    Arrohma
    Kegiatan Komunitas Arrohma

    Penuturan senada  disampaikan korban lumpur lainnya, Khoiri. Sejak lima tahun silam, istrinya divonis mengidap kanker serviks. Warga asli Siring itu pun bingung bukan kepalang karena tidak memiliki ongkos untuk biaya pengobatan.

    Awalnya, Khoiri bisa membiayai pengobatan istrinya dengan uang ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tahun pertama, Khoiri sudah menghabiskan Rp 100 juta. Sebagian besar uang itu dihabiskan untuk biaya kemoterapi. Kemudian dia harus menjual rumah di kawasan Pandaan.

    Khoiri jatuh miskin. Dia tidak memiliki biaya untuk proses penyembuhan selanjutnya. Tabungannya saat itu hanya menyisakan Rp 5 juta. Berbagai instansi pemerintah dia datangi.

    Dia hanya ingin istrinya terdaftar di dalam jamkesmas atau sejenisnya. Dia mendatangi kecamatan dan Dinkes Sidoarjo. Namun tidak ada hasil.

    Oleh seorang dokter, Khoiri dan istrinya disarankan mengurus SKTM. “Alhamdulillah setelah itu kemoterapinya gratis,” kata Khoiri. Namun dia tetap harus menyediakan uang jutaan rupiah untuk menebus obat yang tidak masuk dalam daftar tanggungan negara. Meski begitu, dia bersyukur nyawa istrinya tertolong.

    Saat ini, kondisi istrinya sudah membaik. Tapi masih kontrol ke dokter. Nah untuk kebutuhan kontrol ini Khoiri merasakan sulitnya hidup tanpa jaminan kesehatan. Ia terpaksa telat tiga bulan dari jadwal kontrol yang ditentukan dokter.

    Tiap kontrol, Khoiri harus mengeluarkan minimal Rp 500.000. Butuh waktu dan kerja keras untuk mengumpulkan uang itu. Ia harus menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai kuli bangunan yang memang tidak seberapa. Apalagi pekerjaan kuli bangunan itu tidak selalu ada.

    Biasanya, bila sedang tidak order bangunan, Khoiri mencoba menganis rejeki dengan mengojek. Itupun dilakukan dengan was-was karena kondisi kesehatan Khoiri sendiri rawan gangguan. Dua kali kecelakaan saat nguli menjadi penyebab. Dokter menyarankan agar dia tidak bekerja terlalu berat. “Saya hampir mati karena terlindas truk saat nguli,” ujarnya lirih.

    Khoiri sangat berharap, ia dan keluarga terdaftar sebagai peserta BPJS.

    Dinas Kesehatan Tak Tahu Jumlah Warga Lapindo yang Terdaftar

    Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sidoarjo, Ika Harnasti mengaku tak tahu persis jumlah warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang telah terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Menurutnya, data tersebut sepenuhnya ada di tangan BPJS Kesehatan sendiri. “Saya hanya PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) untuk Dinas Kesehatan yang tugasnya untuk pemberian pelayanan kesehatan saja,” kata Ika, Kamis (27/5/2014).

    Dia hanya memastikan, untuk korban lumpur yang memang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau dinyatakan miskin, biaya pengobatannya akan ditanggung oleh pemerintah.

    Terkait syarat kepesertaan BPJS Kesehatan bagi korban lumpur Lapindo, juga tidak ada perbedaan dengan syarat kepesertaan masyarakat yang lain.

    Yang paling utama, dalam BPJS, penyakit-penyakit atau bahaya kesehatan yang termasuk dalam KLB atau kejadian luar biasa, tidak dicover. Dengan demikian, untuk penyakit-penyakit yang tergolong KLB, sepenuhnya menjadi beban pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Sidoarjo.

    “Dan kalau memang belum terdaftar ke dalam BPJS, harus dilihat dulu apakah yang bersangkutan tergolong mampu atau tidak. Kalau mampu, pengobatan di puskesmas ya bayar. Sebaliknya kalau tidak mampu, ya gratis,” lanjutnya

    DPRD Sidoarjo Minta Data Keluarga Miskin Dimutakhirkan

    Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung mengakui memang ada banyak warga korban lumpur yang tidak tersentuh jaminan kesehatan yang diselenggarakan negara. Penyebabnya, tidak semua dari mereka yang menyandang status miskin. Padahal, status miskin itu menjadi syarat mutlak mendapatkan jaminan dari negara.

    “Kan tidak semua warga korban lumpur itu miskin. Jadi perlu ada pendataan yang selektif untuk menentukan siapa yang berhak,” ujarnya.

    Mahmud menjelaskan, penyelenggarakan jaminan kesehatan oleh BPJS itu ada dua model, yakni mandiri dan dibiayai negara. Untuk kategori kedua, hanya warga berstatus miskin saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan yang tidak termasuk miskin, harus atas biaya sendiri. “Jadi ada kok warga (korban lumpur) yang mendaftar BPJS mandiri,” kata dia.

    Terkait upaya memberikan jaminan kesehatan itu, lanjut Mahmud, pihaknya sudah mempertemukan warga korban lumpur dengan Dinkes serta Bappeda Kabupaten Sidoarjo.  Namun, kata Mahmud, tidak bisa kemudian mengintervensi data penerima BPJS yang dimiliki BPLS. Sebab, data penerima jaminan dari negara itu merupakan domain Badan Pusat Statistik (BPS).

    Mahmud mengkritik cara pendataan keluarga miskin korban lumpur Lapindo. Pendataan oleh BPS itu dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur di Sidoarjo.

    Menurut Mahmud, pendataan dan perumusan kriteria miskin untuk korban lumpur itu seharusnya dilakukan tim terpadu, gabungan dari BPS, Pemkab Sidoarjo,  kelurahan, dan perwakilan warga.

    Data miskin itu, lanjut Mahmud, seharusnya diupdate terus. Sebab, warga miskin untuk korban lumpur Lapindo bersifat dinamis.

    Dia mencontohkan, ada warga yang sebelum terjadi tragedi lumpur, termasuk warga mampu. Namun, setelah  terjadi semburan lumpur, menjadi miskin. Ada juga warga yang masuk kriteria kaya setelah menerima ganti rugi dari Lapindo, tapi kemudian jatuh miskin karena membengkaknya kebutuhan hidup. “Inilah yang perlu selalu dilihat dan diantisipasi,” tuturnya.

    Pendataan terakhir dilakukan pada 2011. Padahal, saat itu sudah banyak warga miskin korban lumpur yang tidak tercover jaminan kesehatan, yang saat itu masih bernama Jamkesmas.  “Kami meminta agar ada pemutakhiran data dalam waktu dekat,” tegasnya.

    Informasinya, pada 2014 ini akan ada pendataan ulang. Dia berharap Pemkab Sidoarjo mendorong BPS agar lebih teliti dalam mendata warga korban lumpur. Dia menilai, permasalahan di sana tidak sama dengan daerah lain yang juga menjadi obyek pendataan.

    Permasalahan lain yang dianggap menyulitkan pendataan adalah tersebarnya domisili warga korban lumpur.  “Masalah ini memang sangat teknis. Tetapi, mereka kan tetap warga Sidoarjo meskipun tinggal di daerah lain. Apalagi, mereka tidak akan melepas status warganya karena masih terkait dengan proses ganti rugi,” ungkap politikus PAN itu.

    Untuk sementara, Mahmud menyarankan agar warga menggunakan SKTM untuk mendapatkan layanan kesehatan. Layanan kesehatan juga bisa dilakukan di puskemas.

    Korban Lumpur Lapindo Bertahan dengan Jimpitan Sehat

    Para korban lumpur Lapindo terus berharap bisa menikmati layanan  kesehatan gratis dari negara yang kini ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tapi, karena tidak mau mati dalam ketidakpastian, mereka membentuk lembaga pendanaan mandiri, Jimpitan Sehat.

    Komunitas Ar-Rohma membuat terobosan dengan menggarap model pendaanaan swadaya untuk membantu biaya pengobatan. Tidak besar memang dana yang bisa dibagikan, tapi manfaatnya cukup dirasakan para anggota komunitas itu.

    Ar-Rohma beranggotakan korban lumpur dari empat desa,  Jatirejo, Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo, yang lenyap terkubur lumpur Lapindo.

    Dana pengobatan itu mereka namakan dana Jimpitan Sehat. Sesuai namanya, dana itu mereka ambil kecil-kecilan secara rutin dari para anggotanya. “Kami bertemu dua minggu sekali. Nah di pertemuan itu, ada jimpitan lima ribu rupiah. Namanya Jimpitan Sehat,” kata Saropah, Selasa (27/5/2014).

    Saropah dulu tinggal di  Jatirejo. Tapi sejak 2006, ia harus membawa keluarganya mengungsi setelah rumahnya terkubur lumpur.

    Saropah kini tinggal di Pasuruan bersama suami dan tiga anaknya. Meski tinggal di Pasuruan, Saropah dan suaminya, Sulastro, setiap hari tetap bertandang ke lokasi lumpur Lapindo.  Hidupnya masih bergantung di desa kelahirannya itu. Bedanya dulu, hidupnya bergantung  pertanian sawahnya, kini bergantung pada wisatawan lumpur Lapindo. Persisnya, jasa ojek untuk melayani pengunjung lumpur. Kalau beruntung, rezekinya bisa bertambah lewat VCD lumpur yang ia jajakan untuk pengunjung.

    Beberapa kali Saropah terbantu  Jimpitan Sehat itu. Itu ia rasakan  ketika melahirkan anak ketiganya. Juga ketika seorang anaknya harus berobat di puskesmas. Satu lagi, manfaat jimpitan kesehatan itu dirasakan ketika orangtuanya meninggal. Ya, Jimpitan Sehat juga mengcover biaya kematian.

    “Bantuannya memang ala kadarnya. Tetapi itu cukup membantu meringankan kami. Setidaknya bisa buat beli obat atau buat transport saat berobat,” ujarnya

    Sulit Peroleh Layanan Kesehatan, Korban Lapindo Dilarang Sakit

    kerajinan 06

    Di Komunitas Ar Rohmah, lanjut Saropah, selain terdapat penghimpunan Jimpitan Sehat, juga telah dibentuk koperasi kecil-kecilan. Di koperasi itu, para anggota yang berjumlah sekitar 30 orang, bisa meminjam uang sewaktu-waktu saat benar-benar membutuhkan.

    Ketua Komunitas Ar Rohmah, Harwati (39), menyebutkan, komunitas yang dia kawal itu saat ini lebih fokus pada upaya penanganan kesehatan dan ekonomi korban lumpur Lapindo yang menjadi anggota. Selain melalui Jimpitan Sehat dan koperasi, di komunitas tersebut para anggota juga kerap menggelar pelatihan usaha.

    “Ada pelatihan membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut. Hasilnya beberapa kali kami ikutkan pameran dan dijual. Keuntungannya juga buat anggota,” papar Harwati.

    Upaya Harwati mendorong perbaikan kesehatan warga korban lumpur Lapindo di Komunitas Ar Rohmah didorong masih banyaknya korban yang belum dimasukkan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) sehingga menyebabkan mereka kesulitan memperoleh layanan BPJS Kesehatan.

    Harwati sendiri mengaku terinspirasi dari perjalanan hidupnya. Tahun 2008 silam, warga Siring yang kini hijrah ke Desa Candipari tersebut kehilangan suaminya, Muhtadi, karena kanker ulu hati. Saat meninggal, Muhtadi berusia 42 tahun.

    Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit bagi Harwati. Sebelum meninggal, RSUD Sidoarjo menolak merawat Muhtadi. Alasannya, Lapindo Brantas belum menyelesaikan tunggakan ke RS. Padahal, satu-satunya kesempatan berobat ketika itu adalah menggunakan bantuan pengobatan yang diberikan Lapindo.

    “Dari kejadian itu, saya sering kali kesal kalau mendengar ada orang miskin yang kesulitan dapat pengobatan. Kesannya seperti orang miskin memang benar-benar dilarang sakit,” pungkasnya.

    sumber: Liputan Khusus Harian Surya

  • Jelang 8 Tahun, Korban Lapindo Pasang 110 Patung

    Jelang 8 Tahun, Korban Lapindo Pasang 110 Patung

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Puluhan warga lumpur Lapindo sejak pagi bergotong royong membawa patung manusia untuk diletakan di Titik 21, Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin 26 Mei 2014. Patung-patung itu guna memperingati delapan tahun semburan lumpur Lapindo.

    Seniman yang memotori pembuatan patung, Dadang Christanto menjelaskan patung yang dibuatnya sejak satu bulan yang lalu sudah terkumpul sekitar 110 dan semua patung itu akan diletakan di tanggul. “Semuanya berjumlah 110 patung yang akan kami pasang,” kata dia kepada Tempo di sela-sela pemasangan patung, Senin, 26 Mei 2014.

    Jumlah 110 itu, kata dia, tidak ada makna filosofi khusus karena para korban lumpur Lapindo yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan patung hanya mampu membuat sebanyak itu. “Kami tiap hari bisa menghasilkan 4 sampai 5 patung,” kata dia.

    Sementara simbol patung, menurut Dadang, merupakan simbol bahwa korban lumpur meskipun delapan tahun ditelantarkan oleh pihak perusahaan PT Minarak Lapindo Jaya dan pemerintah, mereka masih bisa bertahan hidup dan masih bisa bertahan. “Inilah orang-orang pilihan yang sangat hebat,” kata dia.

    Patung tersebut dibuatnya berpasang-pasangan untuk menunjukan suatu keluarga korban lumpur, tangannya menengadah keatas menunjukan permohonan ganti rugi yang kian dilunasi sejak delapan tahun silam. “Namun untuk lebih lengkapnya nanti setelah pemasangan ini selesai akan ada maknanya semuanya,” ujar dia.

    Seniman yang saat ini tinggal di Australia ini menjelaskan bahwa aksi pagelaran patung itu merupakan aksi lanjutan dari aksi yang digelarnya pada tahun 2008 tahun silam. “Sehingga ini ada makna korelasi nanti.”

    Menurut Dadang, patung itu akan bertahan sekitar 4 bulanan karena campuran dari lumpur dan semen sehingga dipastikan dapat bertahan. “Yang saya khawatirkan malah bambu yang membuat patung itu berdiri,”katanya.

    Patung-patung itu dijadwalkan pemasangannya selama dua hari sejak pagi ini, sampai berita ini diturunkan mereka masih mampu memasang sekitar 20 patung manusia. Pemasangan itu terbilang sulit pasalnya ditancapkan pada bambu supaya patung itu bisa berdiri.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/05/26/058580387/Jelang-8-Tahun-Korban-Lapindo-Pasang-110-Patung

  • Rombongan Obor Marsinah Tabur Bunga di Tanggul Lumpur Lapindo

    Rombongan Obor Marsinah Tabur Bunga di Tanggul Lumpur Lapindo

    Sidoarjo – Rombongan obor Marsinah melakukan tabur bunga di atas tanggul lumpur Lapindo. Rombongan melakukannya di titik 10 A Tugu Kuning desa Siring kecamatan Porong Sidoarjo.

    Rombongan obor Marsinah berangkat dari Jakarta sejak tanggal 1 Mei 2014 untuk mengenang sosok Marsinah, sebagai pahlawan buruh yang telah berjasa memperjuangkan hak-hak buruh.

    Marsinah sendiri adalah Karyawan PT Catur Putra Surya, sebuah perusahaan yang memproduksi jam tangan yang berada di desa Siring Porong Sidoarjo. 11 tahun lalu, Marsinah meninggal demi memperjuangkan hak-hak buruh.

    Rombongan obor Marsinah telah melewati 20 kota termasuk mendatangi kota kelahiran dan tempat peristirahatan Marsinah selamanya di kota Nganjuk.

    Di atas tanggul lumpur Lapindo, rombongan obor Marsinah melakukan beberapa kegiatan, diantanya tiap-tiap perwakilan berorasi, membaca puisi serta menyalakan obor serta tabur bunga di atas tanggul.

    “Marsinah adalah pahlawan buruh, sampai saat ini Marsinah tidak mati. Masih ada Marsinah-Marsinah yang lain,” kata Salah satu korlap aksi Budi Wardoyo dari Politik Rakyat, Jumat (9/5/2014).

    Budi menambahkan, Marsinah adalah sosok wanita yang luar biasa, yang berani memperjuangkan hak buruh dengan nyawa taruhannya. Untuk itu, Budi dan rombongan berharap kepada pemerintah agar Marsinah di jadikan pahlawan buruh.

    “Kasus pembunuhan Marsinah harus segera diungkap,” pungkasnya.

    Jumat, 09/05/2014 17:30 WIB | Suparno – detikNews

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2014/05/09/173026/2578582/475/rombongan-obor-marsinah-tabur-bunga-di-tanggul-lumpur-lapindo

  • Korban Lapindo Memarahi Anggota DPRD

    indosiar.com, Sidoarjo – (Selasa : 29/04/2014) Warga korban lumpur Lapindo kembali mendatangi gedung DPRD setempat untuk menuntut pembayaran ganti rugi yang belum juga selesai. Pertemuan warga dengan anggota dewan berlangsung penuh amarah setelah warga merasa diabaikan.

    Puluhan korban lumpur Lapindo ini rencananya akan menemui anggota DPRD dan anggota pansus lumpur Lapindo untuk meminta klarifikasi putusan Mahkamah Agung terkait pembayaran ganti rugi bagi mereka. Namun mereka harus menelan kekecewaan karena tidak satupun anggota dewan yang menemui mereka.

    Terlanjur kecewa, korban lumpur ini kemudian menumpahkan kemarahan saat sejumlah anggota dewan mendatangi mereka. Kemarahan warga mereda setelah ketua pansus lumpur Lapindo mengajak warga berdialog di ruang rapat. Namun dialog kembali membuat warga kecewa. Karena anggota DPRD tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

    Untuk kesekian kalinya, pihak DPRD Sidoarjo berjanji mendesak pemerintah mengambilalih tanggungjawab pembayaran ganti rugi, atau memberikan pinjaman kepada PT Lapindo. (Tim Liputan/Sup)

    Sumber: http://www.indosiar.com/fokus/korban-lapindo-memarahi-anggota-dprd_117316.html

     

  • Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah

    Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah

    Sidoarjo – Puluhan warga korban lumpur Lapindo mendatangi kantor DPRD Sidoarjo. Mereka datang atas undangan Emir Firdaus selaku ketua pansus lumpur Lapindo.

    Sayangnya kedatangan mereka awalnya justru ditolak Emir. Warga tidak diperkenankan masuk. Warga pun akhirnya bergerombol di area halaman parkir dalam gedung DPRD Sidoarjo. Mereka geram dengan sikap Emir.

    “Sebagai seorang anggota dewan harus bisa mengayomi, jangan hanya ada perlunya saja,” teriak Nanik, salah seorang warga korban lumpur lapindo, Senin (28/4/2014).

    Nanik mengatakan, warga oleh pihak kelurahan disuruh datang ke gedung DPRD Sidoarjo. Yang mengundang adalah Emir Firdaus. Namun Emir sendiri selaku pengundang justru tak ingin ditemui.

    “Ayo Emir cepat keluar, jangan hanya duduk dan sembunyi di balik jabatanmu sebagai anggota dewan,” tambah dia.

    Warga terus menghujat Emir. Mereka terus berteriak-teriak sehingga membuat gaduh gedung anggota dewa tersebut. Kemarahan warga yang terus memuncak dan makin memanas itu akhirnya membuat mereka diperbolehkan masuk. Mereka diizinkan masuk di ruang rapat DPRD.

    Warga akhirnya ditemui oleh Emir. Suasana masih memanas saat dilakukan hearing atau pertemuan antara warga korban lumpur lapindo dengan Emir. Warga ingin mengetahui maksud kenapa mereka dipanggil dan dikumpulkan di DPRD Sidoarjo.

    “Apa maksud dan tujuan kami untuk dikumpulkan,” kata Khosim salah satu warga korban lapindo lainnya.

    “Kami juga ingin mempertanyakan kenapa pembayaran belum dilunasi. BPLS masih terus bekerja melakukan penanggulan. Itu harus dihentikan,” tambah dia.

    Hingga pukul 13.00 WIB, suasana hearing di ruang rapat masih membahas mengenai pembayaraan pelunasan ganti rugi korban lumpur Lapindo, terutama membahas mengenai putusan MK. Ternyata masih banyak warga yang tidak memahami mengenai keputusan MK tersebut.

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2014/04/28/130405/2567376/475/tak-ditemui-anggota-dewan-korban-lumpur-lapindo-marah?9922032

     

  • Rakyat Menggugat Lapindo (Negara)

    Tanggal 26 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan maklumat hukum baru yang memerintahkan negara untuk turun tangan mengatasi korban lumpur Lapindo, pembayaran ganti rugi belum juga selesai hingga 8 tahun berjalan.