Tag: dana talangan

  • Ternyata Ganti Rugi Lapindo Cair setelah Lebaran

    SIDOARJO – Perjanjian pinjaman dana talangan untuk pelunasan sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo memang telah diteken pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tapi, itu tidak berarti mimpi korban lumpur untuk segera terlunasi sisa ganti ruginya sebelum Lebaran bisa terwujud. Sebaliknya, jalan mereka untuk mendapatkan pelunasan masih panjang dan berliku.

    Betapa tidak, proses validasi belum juga separo jalan. Hingga Senin (13/7) proses validasi baru mencapai 1.175 berkas. Padahal, berkas korban lumpur yang belum lunas ada 3.337. Di sisi lain, Lebaran sudah berada di depan mata.

    Memang hari ini (14/7) ada secuil kabar gembira. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat M. Basoeki Hadimoeljono direncanakan hadir di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo. Hanya, mereka hadir bukan untuk mencairkan dana sisa ganti rugi ke korban lumpur.

    ”Besok (hari ini, Red) memang ada agenda di pendapa. Tapi, itu bukan untuk pencairan, melainkan penyerahan berkas perjanjian yang ditandatangani pemerintah dan PT MLJ kepada BPLS,” kata Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo kemarin.

    Jumat malam (10/7) pemerintah memang telah menekan perjanjian dengan PT MLJ. Pemerintah diwakili menteri keuangan, sedangkan Lapindo diwakili Presiden Lapindo Brantas Setia Sutrisna dan Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla.

    Dengan penandatanganan itu, pemerintah secara resmi memberikan pinjaman Rp 781,6 miliar kepada Lapindo. Dana itulah yang bakal dikucurkan kepada korban lumpur yang sudah menanti pelunasan sembilan tahun. Tapi, dana tersebut belum bisa dicairkan dalam waktu dua hari ke depan sebelum Idul Fitri tiba.

    Menurut Dwinanto, seusai penyerahan berkas perjanjian antara pemerintah dan MLJ, BPLS tidak langsung bekerja mengucurkan dananya. Mereka akan melakukan pengumpulan berkas yang telah divalidasi untuk dikirim ke Jakarta. ”Rencananya, pada 22 Juli kami mengumumkan nama-nama yang validasinya sudah tuntas dan dananya bisa segera dicairkan,” terangnya.

    Seusai pengumuman tersebut, BPLS memberikan waktu hingga tujuh hari untuk proses klarifikasi jika ada data yang tidak tepat. Baru setelah itu dana bisa dicairkan. ”Mengacu proses pembayaran korban di luar peta area terdampak, pencairan akan dilakukan dalam waktu 14 hari kerja setelah pengumuman. Paling cepat akhir Juli sudah cair,” jelas Dwinanto.

    Jika dihitung dari tanggal pengumuman nominasi nama-nama yang validasinya sudah komplet pada 22 Juli nanti, pencairan paling cepat dilakukan pada 31 Juli. Waktu yang tentu tidak pendek bagi korban lumpur yang sudah bertahun-tahun menunggu. Sebab, mereka harus bersabar dan bersabar lagi. Padahal, sebelumnya mereka sangat berharap pelunasan sudah terealisasi sebelum Lebaran (17 Juli).

    ”Kenapa masih susah seperti ini? Terus terang kami ingin masalah ini segera selesai. Sebab, jika semakin berlarut, kami tidak bisa segera melunasi utang,” ungkap Maria Ulfa, korban lumpur asal Kedungbendo, Tanggulangin.

    Harapan untuk segera tuntas juga diungkapkan Kusumawati. Perempuan 45 tahun asal Jatirejo, Porong, tersebut berharap waktu pelunasan tidak diulur-ulur. ”Keinginan kami sederhana, kami ingin segala urusan kami dipermudah dan segera cair pelunasannya,” harap perempuan yang kini tinggal di Gempol, Pasuruan, itu.

    Keinginan korban lumpur tersebut mendapat dukungan Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo. Mereka memberikan penegasan agar pemerintah dan BPLS bisa mempercepat proses pencairan. Termasuk menyangkut validasi.

    Pansus lumpur menilai proses validasi berjalan sangat lambat. Padahal, proses tersebut bisa dijalankan lebih cepat kalau BPLS dan MLJ bersinergi lebih baik. Tidak saling menunggu. ”Proses ini seharusnya dipercepat lagi. Jangan lagi ada komunikasi yang tersumbat antara BPLS dan MLJ. Jika tidak dipercepat, bisa-bisa pelunasan semakin molor lagi,” desak Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPDR Sidoarjo Jauhari.

    Legislator asal Partai Amanat Nasional tersebut memang tidak memungkiri bahwa pencairan sulit dilakukan sebelum Lebaran. Sebab, waktunya sudah sangat mepet. Tapi, menurut dia, pencairan bisa dilakukan sesaat setelah libur Lebaran. ”Perjanjian sudah ditandatangani. Uang juga sudah ada. Jadi, pencairan seharusnya sudah bisa dilakukan secepatnya. Paling cepat sepekan setelah Lebaran lah,” tegasnya. (fim/c9/end)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20300/Ternyata-Ganti-Rugi-Lapindo-Cair-setelah-Lebaran

  • Ganti Rugi Warga, Perjanjian Sudah Diteken Menkeu-Presdir Lapindo

    JAKARTA – Pemerintah bersama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan PT Lapindo Brantas akhirnya menandatangani perjanjian peminjaman dana talangan untuk warga terdampak kemarin (10/7). Dengan proses final tersebut, pembayaran ganti rugi segera dilakukan. Namun, belum ada keterangan tentang tanggal pasti pembayaran kepada warga.

    Pembubuhan tinta perjanjian peminjaman dana talangan dilakukan kemarin di kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Penandatanganan dilakukan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro sebagai wakil pemerintah dan Presiden PT Lapindo Brantas Inc Tri Setia Sutisna bersama Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam. Hadir pula Menteri PU-Pera Basuki Hadimuldjono, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, serta Nirwan Bakrie yang mewakili Grup Bakrie.

    Basuki menyatakan, penandatanganan perjanjian tersebut merupakan tindak lanjut peraturan presiden soal dana antisipasi yang ditandatangani 26 Juni 2015. Hal itu sekaligus menjadi pelengkap persyaratan pencairan dana talangan Lapindo selain perpres dan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) yang telah disiapkan.

    Sayang, proses itu tidak sesuai dengan janji pemerintah. Sebab, seharusnya dana Rp 781 miliar tersebut sudah cair untuk tahap awal pada tanggal ditekennya perpres. ’’Ini memang perjalanan cukup panjang. Mulai verifikasi oleh BPKP soal tanah yang dibeli Lapindo hingga perjanjian antara pemerintah dan Lapindo,’’ jelasnya.

    Basuki melanjutkan, ada empat poin penting dalam surat perjanjian tersebut. Yakni, pertama, pembayaran ganti rugi yang akan langsung dilakukan kepada warga. Maksudnya, dana pinjaman tidak akan masuk ke rekening dari PT MLJ sebelum dibayarkan kepada masyarakat.

    Kedua, besaran bunga yang harus ditanggung PT MLJ selama pinjaman bergulir. Sebagaimana diketahui, bunga yang telah disepakati adalah 4,8 persen per tahun dari besaran yang dipinjamkan. ’’Ketiga, jaminan aset Lapindo senilai Rp 2,7 triliun. Kalau mereka tidak dapat mengembalikan dana pinjaman selama empat tahun, aset akan disita,’’ tegasnya.

    Dia melanjutkan, dalam pengembalian dana pinjaman, Lapindo diizinkan untuk mengangsur. ’’Yang penting batas waktunya empat tahun itu,’’ ujarnya.

    Sementara itu, Menkeu Bambang Brodjonegoro menyatakan, berdasar pertimbangan jaksa agung, pihak yang berhak meneken surat perjanjian tersebut adalah Menkeu selaku bendahara negara. ’’Jadi, akhirnya saya yang teken perjanjian itu,’’ katanya saat ditemui di gedung Kementerian PU-Pera kemarin.

    Sebagai informasi, pencairan dana talangan Lapindo molor dari jadwal 26 Juni lalu. Salah satu penyebabnya, surat perjanjian kontrak tidak kunjung diteken. Menurut Bambang, saat itu Kementrian PU-Pera merasa perlu meminta pertimbangan jaksa agung soal pihak yang berhak meneken surat tersebut. Proses di kejaksaan ternyata tidak singkat hingga akhirnya surat perjanjian tersebut baru diteken kemarin.

    Bambang melanjutkan, sebenarnya sejak 26 Juni lalu syarat-syarat pencairan dana ganti rugi tersebut hampir lengkap, yakni perpres dan DIPA. Tinggal surat kontrak yang belum diteken karena menunggu hasil pertimbangan presiden. Karena itu, kata dia, setelah semua persyaratan lengkap, dana bisa segera dicairkan.

    Dia menguraikan, Selasa pekan depan (14/7) pihaknya bersama Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono menyerahkan surat perjanjian kontrak tersebut kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). ’’Selasa kami ke BPLS untuk menyerahkan surat perjanjian. Sebab, ini menjadi dasar bagi BPLS untuk mencairkan anggaran,’’ ujarnya.

    Mengenai pembayaran dana talangan oleh Lapindo, Bambang menekankan bahwa pemerintah telah menetapkan bunga 4,8 persen dan waktu pelunasan selama empat tahun. Pemerintah juga siap mengambil aset berupa tanah 641 hektare senilai Rp 2,7 triliun jika Lapindo gagal melunasi utang saat jatuh tempo.

    ’’Pembayaran talangan Lapindo itu bisa dicicil. Bisa juga pembayaran di ujung. Yang penting, ada batas waktu empat tahun. Batas waktu pembayarannya mulai hari ini. Jika tidak (tidak bisa membayar), kan ada jaminan (tanah),’’ tegasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam menuturkan, saat ini verifikasi terus berjalan. Di antara 3.300 berkas warga, yang rampung sudah 1.200 berkas. ’’Sebanyak 3.300 berkas itu adalah milik sekitar 2.000 kepala keluarga (KK),’’ ujarnya.

    Andi melanjutkan, untuk skema pembayaran tahap awal, semua telah diserahkan kepada BPLS. Pihaknya akan menyerahkan hasil verifikasi kepada BPLS. Kemudian, BPLS memvalidasi untuk diserahkan kepada bendahara negara, dalam hal ini Kemenkeu. ’’Jadi, uang akan langsung dari pusat ke masyarakat,’’ tegasnya.

    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Hardi Prasetyo menyatakan sudah membuat skema tersebut. Namun, dia enggan memaparkan detail. Dia akan menjelaskan secara terperinci saat pemerintah pusat menyerahkan berkas perjanjian kepada pihaknya di Sidoarjo, Selasa pekan depan.

    ’’Yang jelas, nanti sistemnya ditransfer melalui rekening BRI yang telah dibuka untuk masing-masing KK. Besarannya pun sesuai dengan aset mereka,’’ ungkapnya. (mia/ken/c5/kim)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20193/Ganti-Rugi-Warga-Perjanjian-Sudah-Diteken-Menkeu-Presdir-Lapindo

  • Ada Kendala di Lapindo

    Perjanjian Dana Pinjaman Harus Segera Ditandatangani

    SIDOARJO, KOMPAS — Perjanjian dana pinjaman untuk menalangi pembayaran ganti rugi bagi warga korban semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, harus segera ditandatangani oleh pemerintah dan perusahaan. Akta perjanjian itu menjadi dasar untuk mencairkan anggaran Rp 781 miliar dan pijakan melakukan validasi berkas sebagai syarat pembayaran kepada korban.

    “Hingga saat ini, perjanjian dana pinjaman belum ditandatangani, walau peraturan presiden (perpres) tentang pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo dengan dana pinjaman pemerintah, sudah disahkan. Masih ada sejumlah hal yang menjadi kendala,” ujar Dwinanto Hesti Prasetyo, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (1/7), di Sidoarjo.

    Dwinanto tidak menyebutkan kendala itu. Namun, BPLS akan mematangkan persiapan kapan pun perjanjian itu ditandatangani. Oleh karena itu, BPLS melakukan pencocokkan data warga korban lumpur sebagai langkah persiapan menuju validasi berkas pemberian ganti rugi.

    Pengamatan di Pendopo Delta Wibawa, Sidoarjo, tim verifikasi BPLS memanggil sekitar 300 masyarakat korban semburan lumpur di tiga kecamatan, yakni Jabon, Tanggulangin, dan Porong. Mereka diminta membawa kartu identitas, buku rekening, dan kuitansi pembayaran ganti rugi yang sudah diterima.

    Data bermasalah

    Sebelumnya, Jumat pekan lalu, BPLS memanggil 44 pemilik berkas untuk mengikuti verifikasi. Namun, karena banyak ditemukan data bermasalah, dan pasokan data masyarakat korban lumpur dari Lapindo kurang lancar, verifikasi dihentikan dan baru dibuka lagi Rabu.

    Dari 300 berkas itu, sebanyak 193 berkas dinyatakan cocok secara administrasi. Sisanya, 107 berkas, belum bisa diproses karena berbagai sebab. Sebanyak 90 berkas, pemiliknya tidak hadir.

    Adapun 17 berkas tidak bisa diproses, sebab bermasalah. Permasalahannya beragam, tetapi kebanyakan karena ketidaksesuaian data. Misalnya, nama pemilik berkas dan pemilik rekening berbeda. Selain itu, nama sama, tetapi alamat yang tertera pada berkas tidak sama dengan yang tertera di buku rekening.

    “Kami berharap Kamis besok bisa membereskan yang 107 berkas. Pemilik yang belum hadir diharapkan segera hadir. Data yang tidak sama akan diperbaiki. Termasuk tadi ada persoalan ahli waris yang belum bisa menunjukkan surat keterangannya,” kata Dwinanto.

    Saat ini BPLS baru melakukan pendataan administrasi. Adapun verifikasi terkait dengan nilai pembayaran ganti rugi akan dilakukan pada tahap berikutnya, setelah perjanjian pinjaman antara pemerintah dan PT Lapindo Brantas atau Minarak Lapindo Jaya, ditandatangani.

    Informasi lain yang diperoleh Kompas, salah satu faktor penghambat karena adanya perubahan pihak yang harusnya melakukan penandatanganan dana pinjaman. Bila sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, diubah menjadi Menteri Keuangan. Hal itu sesuai arahan dari Jaksa Agung.

    Seorang warga korban lumpur Lapindo dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Hartini, mengatakan, ia mendapat panggilan mengikuti pencocokan data di Pendopo Delta Wibawa secara mendadak. Ia bingung, karena tidak disebutkan secara rinci berkas mana yang dimaksud.

    Selain itu, korban lumpur mengeluhkan tak ada pengumuman nilai nominal sisa ganti rugi yang akan mereka terima. Jika nilai ganti rugi ditentukan perusahaan, hal itu bisa merugikan warga korban lumpur. (nik)

    Harian Kompas, 2 Juli 2015, h. 24.

  • Dana Talangan bukan Pintu Keluar dari Jebakan Lumpur (Lapindo)!

    Dana Talangan bukan Pintu Keluar dari Jebakan Lumpur (Lapindo)!

    Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] bersama dengan Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] dan masyarakat sipil lainnya menilai bahwa kebijakan pemerintah untuk mengucurkan dana talangan senilai Rp 781 miliar kepada pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), guna pelunasan dan pembayaran ganti rugi lahan serta bangunan akibat semburan lumpur Lapindo, dengan jangka waktu 4 tahun dengan jaminan aset tanah korban yang sudah diganti rugi oleh pihak perusahaan sebesar Rp 3,03 triliun, tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan lumpur Lapindo itu sendiri.

    Pada tanggal 29 Mei 2007, setahun setelah bencana semburan lumpur Lapindo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga telah mengeluarkan hasil pemeriksaan terkait Penanganan Atas Bencana Lumpur Lapindo. Dimana berdasarkan temuan hasil pemeriksan tersebut ditemukan sejumlah pelanggaran tekait perijinan dan pengawasan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, pelaksanaan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, hingga ketiadaan pengawasan eksplorasi migas oleh Pemerintah (BP Migas dan Departemen ESDM), yang mengindikasikan terjadi pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur minyak di Sidoarjo.

    Fakta lain yang kami temukan juga menunjukan bahwa kebijakan pemerintah melalui dana talangan tersebut juga akan membawa beberapa permasalahan mendasar lainnya, mulai dari potensi berlawanan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, hingga mengabaikan aspek perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia bagi korban lumpur Lapindo itu sendiri. Beberapa permasalahan tersebut, antara lain:

    • Memiliki potensi berlawanan dengan konstitusi. Sebagaimana yang diatur melalui pasal 33 ayat (4) UUD 1945, konstitusi Indonesia menekankan konsepsi demokrasi ekonomi, yang oleh karnanya kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, serta harus dihindari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seseorang, kelompok atau perusahaan. Dalam hal ini, dengan pemeberian dana talangan untuk PT MLJ, patut dicurigai bahwa hanya akan menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial, Grup Bakrie, sehingga terjadi penumpukan aset dan pemusatan ekonomi, serta tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
    • Transaksi jual-beli yang batal demi hukum. Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960 tersebut, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali sementara status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).
    • Pinjaman dengan jaminan aset tanah negara. MLJ sendiri hanya bisa memiliki hak tanah dalam bentuk: Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, yang diatur berdasarkan undang-undang, serta memiliki jangka waktu yang terbatas, dan akan kembali menjadi tanah negara setelah batas waktu tersebut habis. Maka patut dipertanyakan bagaimana mungkin negara akan memberikan dana talangan kepada PT. MLJ dengan jaminan aset yang statusnya sudah pasti akan berubah menjadi ‘tanah negara’ dikemudian hari.
    • Ketidakjelasan mekanisme pemberian dana talangan kepada PT MLJ. Apabila merujuk pada UU No. 37/2004 dan UU No. 17/2003, PT. MLJ seharusnya berstatus pailit terlebih dahulu sebelum mendapat kucuran pinjaman atau dana talangan dari pemerintah yang dapat digunakan guna melakukan pelunasan pembayaran ganti rugi tanah yang terendam lumpur akibat aktivitas penambangan, yang juga mengingatkan bahwa jika kebijakan itu tak diberlakukan akan menjadi preseden kekacauan sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia.
    • Hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Sementara di sisi lain, masih ada kelompok korban yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain. Hal ini mengingat pihak PT MLJ, akibat ketidakmampuannya untuk menepati jangka waktu ganti rugi sebagaimana yang diperintahkan oleh Perpres 14/2007, kemudian menawarkan berbagai model penyelesaian proses ganti rugi, yang dalam kenyataannya juga tidak kunjung dituntaskan hingga hari ini.
    • Pengabaian praktik pelanggaran HAM. Dalam laporan penyelidikannya Komnas HAM, pada 25 Oktober 2012, menyebutkan bahwa adanya praktik pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis dan meluas. Dimana sekurang-kurangnya 15 (lima belas) pelanggaran HAM yang terjadi akibat semburan lumpur Lapindo: hak atas hidup, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas pengungsi, serta hak kelompok rentan (penyandang cacat, orang berusia lanjut, anak dan perempuan).
    • Mengabaikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam UU No. 32/2009, PT MLJ seharusnya diwajibkan untuk menanggung segala kerugian yang ditimbulkan semburan lumpur Lapindo, berdasarkan konsep tanggung jawab mutlak (strict liability), akibat pencemaran yang dilakukan oleh kegiatan usahanya (polluter pay principles), yang mengakibatkan kerugian bagi warga, secara mutlak, dan tanpa perlu ada pembuktian terhadap unsur kesalahan yang dilakukan oleh PT MLJ tersebut.

    Sudah seharusnya pemerintah menafsirkan upaya penyelesaian dampak dari semburan lumpur Lapindo secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan berbagai aspek permasalahan yang ada, agar tidak terjebak lebih jauh dalam semburan lumpur Lapindo itu sendiri. Terlebih, tidak ada upaya penegakkan hukum bagi PT MLJ sebagai pihak yang semestinya bertanggung jawab atas semburan lumpur Lapindo hingga hari ini juga semakin mempersulit posisi korban untuk menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang terjadi terhadap mereka.

    Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

    Pertama, Polri untuk menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya guna melakukan penyelidikan berdasarkan hasil laporan Komnas HAM dan BPK serta membuka perkara pidana yang telah di-SP3 oleh Polda Jatim.

    Kedua, BPK segera melakukan koordinasi kepada kementerian terkait, utamanya Kementerian ESDM atas temuan adanya penyalahgunaan tindakan non-procedural pengeboran di Sidoarjo yang berakibat pada timbulnya korban dan kerugian, serta memastikan upaya tindak lanjut dari laporan BPK pada tahun 2007.

    Ketiga, BPN beserta Kementerian Agraria untuk memastikan status hukum yang timbul akibat kegiatan jual-beli lahan antara korban luapan lumpur Lapindo, serta memberikan masukan kepada Pemerintah terkait penyelesaian permasalah dana talangan dan upaya ganti rugi lahan dan bangunan akibat semburan lumpur Lapindo.

    Keempat, Kementerian Keuangan untuk memastikan bahwa penggunaan uang negara, melalui rencana pemberian dana talangan, kemudian tidak bertentangan dengan Konstitusi Indonesia, serta memastikan status hukum PT MLJ sebelum menerima dana bantuan dalam bentuk talangan dan kebijakan penundaan kewajiban pembayara utang, dan meberikan masukan kepada pemerintah terkait penyelesaian permasalahan dana talangan.

    Kelima, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, dan sejumlah kementerian terkait untuk menagih kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur Lapindo, guna mencegah potensi kerugian negara akibat peristiwa tersebut.

    Keenam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan audit lingkungan hidup atas peristiwa semburan Lapindo di Sidoarjo yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta memastikan pertanggungjawaban PT MLJ atas kerugian yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut berdasarkan prinsip polluter pay principles dan konsep strict liability.

    Ketujuh, Komnas HAM untuk memastikan dan menjamin tersedianya akses terhadap upaya pemulihan yang efektif bagi korban perlanggaran HAM akibat semburan lumpur Lapindo, serta mendorong pemeritah dan instansi-instansi terkait untuk menindak-lanjuti laporan Komnas HAM atas sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi akibat terjadinya semburan lumpur Lapindo.

    Kedelapan, Ombudsman RI untuk melakukan penyelidikan terkait temuan adanya dugaan praktik mal-administrasi yang terjadi dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo, sebagaimana yang disebutkan laporan BPK pada 29 Mei 2007 lalu.

    Kesembilan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Polri untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU No. 26/2007 dan RTRW Sidoarjo 2003-2013.

    Kesepuluh, Menkoinfo dan Komisi Informasi Publik membuka akses informasi atas kejahatan yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Lapindo melalui mekanisme yang tersedia dengan melibatkan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel.

    Jakarta, 24 Juni 2015

    Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

    DANA TALANGAN BUKAN PINTU KELUAR DARI JEBAKAN LUMPUR (LAPINDO)!

  • Pemerintah Paksa Minarak Lapindo Bayar Bunga Dana Talangan

    Pemerintah Paksa Minarak Lapindo Bayar Bunga Dana Talangan

    JAKARTA – Pemerintah mewajibkan PT Minarak Lapindo membayar bunga dana talangan untuk membayar ganti rugi warga korban luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Minarak Lapindo sebagai pelaksana pembayaran ganti rugi pun sepakat membayar bunga 4,8 persen untuk dana talangan sebesar Rp 827,1 miliar yang statusnya pinjaman dari pemerintah itu.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyono mengaku sudah memanggil pemilik PT Minarak Lapindo, Nirwan Bakrie terkait pengenaan bunga untuk dana pinjaman dari pemerintah itu. “Saya sudah undang Pak Nirwan bahwa dari sidang kabinet ini dana antisipasi ini dikenai bunga 4,8 persen, dan beliau (Nirwan, red) menerima,” kata Basuki  di kantor kepresidenan, Jakarta, Senin (22/6).

    Karenanya Basuki juga mengharapkan peraturan presiden (perpres) tentang dana talangan untuk Minarak Lapindo itu segera ditandangtangani Presiden Joko Widodo. Nantinya, perpres itu akan ditindaklanjuti dengan perjanjian antara Kementerian PUPR dengan Minarak Lapindo.

    Basuki menambahkan, draf perjanjian kerja sama saat itu sudah diedarkan kepada seluruh tim percepatan untuk dikoreksi. “Mudah-mudahan Rabu (24/6) saya bisa menandatangani perjanjiannya dengan Minarak Lapindo Jaya,” imbuhnya.

    Basuki menegaskan, jumlah dana talangan dari pemerintah untuk Minarak Lapindo itu sudah sesuai hasil verifikasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dari Rp 827 miliar yang disediakan, Rp 781 miliar di antaranya akan dibagikan kepada warga.

    Basuki menjelaskan, pembayaran ganti rugi akan dilakukan melalui transfer ke rekening warga di bank. “Mereka sudah siap dengan rekening-rekening BNI,” kata Basuki.

    Warga penerima ganti rugi tidak akan dikenai bunga. Sedangkan Minarak Lapindo harus melunasi dana pinjaman itu ke pemerintah itu dalam kurun waktu 4 tahun.

    FLO

    http://www.jpnn.com/read/2015/06/22/311078/Pemerintah-Paksa-Minarak-Lapindo-Bayar-Bunga-Dana-Talangan

  • Perpres Ganti Rugi Korban Lumpur Sidoarjo Segera Terbit

    Perpres Ganti Rugi Korban Lumpur Sidoarjo Segera Terbit

    Jakarta, Kabar24.com – Pemerintah tengah mematangkan Peraturan Presiden terkait penyaluran ganti rugi bagi masyarakat korban luapan lumpur Sidoarjo di peta area terdampak (PAT) untuk memastikan penyaluran anggaran dapat dilakukan segera.

    Rildo Ananda Anwar, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekaligus Ketua Tim Teknis Percepatan Penyelesaian Pembayaran Ganti Rugi Korban Luapan Lumpur Sidoarjo mengatakan draft perpres sudah diajukan, ditargetkan awal pekan depan sudah disahkan.

    “Sejauh ini sudah kami bahas secara intensif dan masih akan ada beberapa pertemuan lanjutan lagi. Karena kalau Perpresnya sudah lebih detail, perjanjiannya akan menjadi lebih mudah,” katanya, Kamis (11/6/2015).

    Perpres tersebut dibutuhkan sebagai aturan pelaksana penyaluran dana ganti rugi seturut amanat UU No. 3/2015 tentang perubahan atas UU No. 27/2014 tentang APBN 2015. Proses perjanjian antara pemerintah dan Lapindo akan didasarkan pada ketentuan perpres tersebut.

    Menurutnya, bila semua berjalan lancar, proses pembayaran dapat segera dilakukan mulai 26 Juni 2015 mendatang.

    Penyaluran akan dilakukan langsung ke rekening korban untuk menghindari terjadinya manipulasi di lapangan oleh oknum tertentu.

    Sesuai dengan UU No. 3/2015 pasal 23B , untuk pelunasan pembayaran kepada masyarakat yang memiliki tanah dan bangunan di dalam PAT lumpur dialokasikan dana sebesar Rp 781,688 miliar.

    Dana tersebut merupakan dana talangan untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan korban lumpur di PAT yang tidak sanggup dibayar oleh Lapindo.

    Untuk itu, Lapindo menjaminkan tanah di PAT yang telah dibayarkan Lapindo dengan nilai Rp2,7 triliun berdasarkan hasil audit BPKP.

    Rildo mengatakan, sejauh ini masih dilakukan pembicaraan mendetail terkait perjanjian kontrak di Sekretariat Negara tentang kemungkinan menyesuaikan jaminan aset dan jangka waktu pengembalian dana pemerintah oleh Lapindo.

    “Bisa saja kita sesuaikan lagi waktunya yang ditetapkan empat tahun, bisa lebih singkat. Selain itu juga masalah aset, apakah bisa ada aset lain yang dijaminkan, itu lagi dibicarakan. Kalau itu selesai, kita akan segera ajukan kontraknya ke Pak Menteri untuk ditandatangani,” katanya.

    Rildo mengatakan tahun ini pemerintah akan menyalurkan anggaran Rp 781,688 miliar seturut ketentuan undang-undang, meskipun hasil audit BPKP menunjukkan kenaikan nilai hingga Rp 46 miliar.

    Rildo mengatakan, kelebihan nilai tersebut akan disalurkan di tahun depan, bersama dengan delapan warga yang baru mengajukan gugatan dan sekarang tengah diverifikasi. Menurutnya, ganti rugi terhadap dunia usaha yang terkena risiko pun akan dibahas lagi oleh pemerintah.

    “Untuk masalah pajak dan bunga terhadap Lapindo, biar nanti Menteri Keuangan dan Menteri PU-Pera yang ambil keputusan,” katanya.

    Emanuel Berkah

    http://kabar24.bisnis.com/read/20150611/15/442614/lumpur-lapindo-perpres-ganti-rugi-korban-lumpur-sidoarjo-segera-terbit

  • Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    JAKARTA – Korban lumpur Lapindo yang belum mendapatkan ganti rugi bisa menyambut datangnya bulan puasa dan Lebaran dengan lebih tenang. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono menyatakan, dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk membayar ganti rugi paling lambat cair pada 26 Juni mendatang.

    Saat ini negosiasi PT MLJ dengan pemerintah soal kesepakatan pemberian talangan masih berlangsung. Basuki selaku ketua tim percepatan pembayaran ganti rugi tanah korban lumpur Lapindo terus memantau perkembangan negosiasi tersebut

    ”Saya optimistis paling lambat 26 Juni (2015) sudah cair,” tegasnya saat dihubungi Jawa Pos Sabtu (30/5).

    Basuki mengungkapkan, saat ini memang masih ada beberapa detail perjanjian yang belum disepakati oleh PT MLJ. Misalnya besaran bunga maupun pajak yang harus dibayar atas dana talangan Rp 827,1 miliar tersebut. ”Soal itu masih sebatas pembicaraan informal, pasti nanti ketemu (sepakat, Red) juga,” katanya.

    Untuk memastikan, Basuki sudah mengonfirmasi Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian PU-Pera Taufik Widjoyono selaku ketua tim teknis yang memimpin negosiasi dengan pihak Lapindo. ”Kata Pak Irjen masih on schedule (tetap sesuai jadwal cair 26 Juni),” ucapnya.

    Basuki menuturkan, saat ini yang bekerja adalah tim teknis yang terdiri atas pejabat eselon I di Kementerian PU-Pera, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). ”Kalau tim teknis selesai, nanti baru dilaporkan ke saya untuk dibawa ke sidang kabinet,” jelasnya.

    Karena itu, ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tersebut menyatakan belum mengetahui detail poin-poin negosiasi yang saat ini sedang berjalan. Termasuk informasi seputar keinginan pemerintah untuk menetapkan bunga 4 persen serta pajak. ”Prinsip kami kan bagaimana agar pemberian pinjaman ini tidak merugikan pemerintah,” ujarnya.

    Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa skema dana talangan untuk Lapindo yang berasal dari APBN merupakan pinjaman. Karena itu, berlaku pula ketentuan sebagaimana layaknya pemberian pinjaman, yakni ada bunga dan pajak. ”Namanya juga pinjaman, bukan diberikan (gratis, Red),” katanya.

    Terkait dengan keinginan pihak Lapindo agar dana talangan bisa dicairkan sebelum bulan puasa, Basuki mengaku tidak bisa menjamin. Sebagai gambaran, Muhammadiyah sudah menetapkan awal bulan puasa tahun ini pada 18 Juni, sedangkan pemerintah belum memutuskan, namun mungkin mundur satu hari atau mulai 19 Juni.

    Menurut Basuki, berdasar tahapan-tahapan yang sudah dibuat dan disampaikan tim teknis, pencairan dana itu memang masih mengacu pada 26 Juni 2015. Karena itu, dia meminta masyarakat sedikit bersabar. ”Kan nggak beda jauh juga, syukur-syukur negosiasinya lancar. Jadi, bisa cair lebih cepat,” ucapnya. (owi/c11/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18139/menteri-pu-pera-dana-lapindo-paling-lambat-cair-26-juni

  • Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Pada tahun 2007 BPK menghasilkan sebuah dokumen penting dalam kasus lumpur Lapindo. Lembaga ini melakukan audit kinerja atas kejadian semburan lumpur Lapindo. Temuan-temuan dan rekomendasinya sangat penting, namun tidak pernah dijadikan pijakan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan lumpur Lapindo.

    BPK menemukan fakta-fakta bahwa Lapindo Brantas Inc. (LBI) tidak mampu menangani masalah di Sumur Banjarpanji 1 berupa rekahan pada formasi yang menyebabkan lumpur menyembur ke permukaan. Bahkan, pada bahan presentasi untuk Pertemuan Intosai-WGEA di Tanzania pada Juni 2007, Anwar Nasution menyampaikan bahwa kejadian lumpur Lapindo merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia.

    BPK juga menemukan bahwa regulasi dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam di Indonesia saat ini tidak melindungi warga dan lingkungan. Utamanya pada kawasan-kawasan padat huni, tidak ada kekhususan pengelolaan sektor ini. Ditambah pula lemahnya pengawasan yang dilakukan lembaga negara dalam proses eksplorasi dan eksploitasi.

    Resiko semburan lumpur Lapindo semakin tinggi karena: LBI tidak menggunakan perusahaan kontraktor yang telah memiliki reputasi dalam pengeboran; penggunaan alat yang tidak sesuai standar; serta, kualifikasi tenaga teknis yang kurang atau tidak bisa dikontrol dengan baik oleh pemerintah.

    Setahun setelah kejadian semburan lumpur Lapindo itu, BPK juga menyimpulkan bahwa pemerintah sangat kurang dalam merespon kejadian semburan dan cenderung lambat. Akibatnya warga semakin kesulitan dalam menemukan lokasi yang lebih aman dan juga percepatan pemulihan ekonomi mereka. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan perlindungan atas properti warga dan juga tidak pernah dilakukannya assesmen resiko dalam desain penanganan lumpur Lapindo. Pengelolaan dilakukan seadanya, tanpa pemahaman mendasar bagaimana lumpur Lapindo telah berdampak dalam berbagai dimensi kehidupan warga dan butuh penanganan yang khusus.

    Ketiadaan laporan yang konsisten para periset maupun pengurus negara terkait kandungan berbahaya lumpur dan air yang dikeluarkan lumpur Lapindo menambah ketidakjelasan bagaimana penanganan keluhan warga atas tercemarnya air sumur, kawasan pertanian, tambak, kawasan laut, dan juga permukiman.

    Rekomendasi BPK agar pemerintah segera melakukan riset mendalam dampak kandungan bahan berbahaya lumpur sepertinya tidak pernah dilakukan serius. Ini terlihat laporan penanganan lingkungan yang ditampilkan BPLS dalam situsnya (www.bpls.go.id) hanya berisi sebaran gelembung gas dan penurunan muka tanah. Padahal, Tarzan Purnomo (2014) menunjukkan logam berat telah menyebar di kawasan pertambakan dan sungai di wilayah timur area semburan lumpur Lapindo. Lumpur tidak saja mencemari air namun sudah mengkontaminasi tubuh ikan. Penelitian-penelitian serupa yang telah dihasilkan sejak 2007 menunjukkan kandungan logam berat mencemari kawasan di sekitar semburan Lapindo.

    Purnomo memeriksa kawasan tertentu secara periodik selama tiga kali. Di Renokenongo memeriksa kolam ikan, di Gempolsari memeriksa sungai, di Tegalsari memeriksa kolam tandon, dan kolam biasa di Permisan. Penelitian ini menunjukkan jumlah kandungan logam berat yang jauh melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 45/2002 dan Kepmen LH No. 51/2004. Pemeriksaan kandungan Cadmium (Cd) pada air menunjukkan jumlah 0.018 – 0.080 part per million (ppm). Padahal, ambang batas keamanan hanya pada level 0.01 ppm. Hal yang sama juga ditemukan pada kandungan Timbal (Pb) yang ditemukan sejumlah 0.013-0.074 ppm. Padahal, ambang bakunya hanya pada level 0.03 ppm.

    Yang mengejutkan adalah temuan kandungan logam berat Cd dan Pb pada tubuh ikan. Jumlah Cd ditemukan 0.037-1.542 ppm, padahal ia tak boleh lebih dari 0.001 ppm sebagai ambang batas keamanan. Demikian halnya Pb ditemukan ribuan kali lipat melebihi ambang batas 0.008 ppm dengan temuan sejumlah 0.179-1.367 ppm. Logam berat dalam dosis tinggi bersifat karsinogenik pemicu kanker dalam waktu panjang. Hasil penelitian ini sepertinya juga konsisten dengan temuan sebelumnya pada tahun 2009.

    Riset Walhi yang memeriksa kandungan logam berat dalam air dan lumpur Lapindo di puluhan titik area semburan lumpur Lapindo dan sungai Porong pada 2008 juga menemukan hal serupa. Jumlah Cd dan Pb juga ribuan kali diatas ambang baku.

    tabel kandungan logam berat

    Diduga kuat ada korelasi erat antara pemburukkan kualitas lingkungan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Misal, peningkatan jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong tercatat sejumlah 24.719 (pada 2005) menjadi 52.543 (2009). Kenaikan lebih dari dua kali lipat juga terjadi pada penyakit Gastrytis yang berjumlah 22.189 (tahun 2009) dari jumlah semula 7.416 warga (tahun 2005).

    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bekerjasama dengan Walhi Jatim pernah memeriksa 20 warga korban Lapindo yang tinggal di wilayah semburan lumpur Lapindo pada 2010. Dari seluruh warga yang diperiksa itu, 75% mengalami kelainan pada pemeriksaan lengkap Haematologi.

    grafik kesehatan

    Rekomendasi agar dilakukan revisi atas kebijakan monitoring eksplorasi dan eksploitasi migas juga tidak dilakukan oleh pemerintah. Di kawasan di sekitar semburan lumpur Lapindo, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM masih mengijinkan LBI untuk mendalamkan sumur pengeboran mereka di Desa Kalidawir yang jaraknya kurang dari tiga kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah Timur.

    Menyusun kebijakan pengelolaan bencana yang tidak hanya berbasis bencana alam juga lambat dikerjakan. BPK menyarankan adanya pembangunan kebijakan komperehensif atas bencana dan perlu dilakukan penguatan kapasitas institusi pengelola bencana berdasar pengalaman bencana alam dan bencana buatan manusia, seperti lumpur Lapindo. Sayang, wacana penanganan bencana industri sepertinya baru akan dibahas beberapa tahun lagi.

    Pemerintah pimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sepertinya berniat untuk memperbaiki karut marut persoalan lumpur Lapindo. Jokowi menjanjikan akan menalangi kompensasi untuk korban Lapindo yang mestinya menjadi beban LBI, melalui Minarak Lapindo Jaya (MLJ) juru bayar LBI untuk jual beli aset dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang tak kunjung selesai. Sayang, hingga menjelang 9 (sembilan) tahun usia semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015 nanti, janji itu belum ada realisasinya.

    Niat Jokowi itu pun sepertinya hanya solusi parsial atas dampak semburan lumpur Lapindo. Kerusakan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo sepertinya akan menapaki waktu yang panjang untuk bisa dipulihkan. Jika pemerintah tidak melakukan kajian mendalam yang bisa menghasilkan gambaran krisis sosial-ekologis yang terjadi akibat semburan itu, maka penyelesaiannya juga hanya menyentuh permukaan saja. Kerusakan lingkungan, relasi sosial yang hancur, pendidikan anak-anak yang terancam, kesehatan yang tidak terjamin, dan sumber ekonomi yang hilang, bila tidak ditelusuri mendalam niscaya akan semakin memperpanjang umur krisis di wilayah bagian selatan Sidoarjo ini.

    Berbagai dokumen temuan atas dampak semburan mestinya menjadi bahan untuk dibaca ulang agar memahami situasi. Pemerintahan Jokowi harus melakukan kajian kebutuhan yang mendalam dan melibatkan warga untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi tindakan dan upaya pemulihan sosial-ekologis di sekitar lumpur Lapindo.

    Semua institusi negara mesti terlibat dalam upaya pemulihan korban Lapindo. Tidak bisa lagi krisis multi dimensi yang dihasilkan lumpur Lapindo ditangani badan khusus BPLS yang hanya menangani “wilayah terdampak” dan tindakan-tindakan terbatas seperti saat ini.

    Bambang Catur Nusantara, Badan Pengurus Jatam dan editor korbanlumpur.info

    Pustaka Acuan

    Purnomo, Tarzan (2014) Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackishwater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud, Proceeding of International Conference on Research Implementation and Education of Mathematichs and Sciences 2014, Yogyakarta State University, 18-20 May.

  • Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS – Sudah sembilan tahun warga korban luapan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menderita. Mereka tidak hanya kehilangan rumah, tanah, dan kampung halaman, tetapi juga hak-hak asasi sebagai manusia ataupun warga negara. Pemerintah wajib memulihkan hak itu dan tidak hanya fokus pada penanganan semburan lumpur.

    Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Muhammad Nurkhoiron mengatakan, sejak Januari lalu pihaknya melakukan riset penanganan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Pihaknya membuat kajian atas tanggung jawab negara dalam penyelesaian hak-hak para korban.

    “Kami melakukan audiensi dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Bupati Sidoarjo Syaiful Ilah dan pihak terkait lainnya. Hasil kajian sementara, penanganan terhadap korban lumpur sebatas penanggulangan semburan,” ujarnya.

    Hingga kini belum ada upaya konkret pemerintah untuk memulihkan hak warga korban lumpur seperti hak mendapatkan akses ekonomi berupa lapangan pekerjaan yang layak, pendidikan, kesehatan, kartu identitas, dan memulihkan kembali kehidupan sosial mereka. Dari tiga tahap pemulihan, yakni rehabilitasi, ganti rugi, dan rekonstruksi, belum satu pun yang terpenuhi.

    Pemerintah masih berkutat pada upaya pelunasan pembayaran ganti rugi terhadap warga korban lumpur. Itu pun hingga kini belum ada kejelasan kapan dana talangan sebesar Rp 781 miliar yang sudah dialokasikan dalam APBN itu dicairkan.

    “Dana talangan ini untuk membantu warga korban mendapatkan hak ganti rugi atas tanah dan rumah yang tenggelam oleh semburan lumpur. Hak ganti rugi ini merupakan kewajiban PT Lapindo Brantas, tetapi tidak kunjung dilunasi selama sembilan tahun,’ kata Nurkhoiron.

    Dia mengatakan, dari hasil audiensi dengan BPLS selaku ujung tombak penanganan korban lumpur, diperoleh fakta bahwa penanganan sebatas penanggulangan luapan dan pembuangan ke Kali Porong. Upaya pemulihan warga korban pada kondisi kehidupan mereka sebelum terkena bencana, sangat minim bahkan hampir tidak ada.

    “Kehadiran negara yang direpresentasikan melalui BPLS sebagai panitia ad hoc, masih dalam konteks fisik berupa pembangunan infrastruktur,” ujarnya.

    Sunarmi (42), warga korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, mengatakan, selama ini kehidupannya sangat susah. Keluarganya harus berpindah rumah karena mengontrak. Tidak hanya itu, dia dan suaminya kehilangan pekerjaan sebagai buruh pabrik karena perusahaan tempatnya bekerja tenggelam oleh lumpur.

    “Kini kami mengojek di atas tanggul untuk bertahan hidup. Selama ini tidak ada perhatian dari perusahaan ataupun pemerintah untuk memulihkan kehidupan kami seperti sebelumnya. Bahkan, uang ganti rugi yang menjadi hak dasar kami juga tidak dibayar,” kata Sunarmi.

    Rabu (13/5), ratusan warga korban lumpur Lapindo akan kembali berunjuk rasa. Sasaran kali ini Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. Tuntutannya masih sama, yakni pembayaran pelunasan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc.

    Warga korban lumpur kini kebingungan karena tidak tahu harus bertanya atau mengadu ke mana untuk menanyakan perkembangan proses pencairan dana talangan. Tak ada pihak yang memberikan sosialisasi ataupun bisa dikonfirmasi. (NIK)

    Sumber: Harian Kompas, 13 Mei 2015, hlm. 22.

  • Korban Lumpur Lapindo: Pak Jokowi, Saya Sudah Tidak Kuat…

    Korban Lumpur Lapindo: Pak Jokowi, Saya Sudah Tidak Kuat…

    SIDOARJO, KOMPAS.com – Sunarti meraung-raung di tengah ratusan warga sesama korban lumpur Lapindo yang menggelar unjuk rasa, Minggu (10/5/2015). Dia berteriak histeris karena hingga pertengahan Mei 2015, masih belum jelas kapan ganti rugi dibayar Pemerintah Pusat.

    Jarene Mei. Mei iku akeh. Taon ngarep ono Mei. Mei kapan? (Katanya Mei. Mei itu banyak. Kapan?),” kata dia sambil berteriak, yang berusaha ditenangkan warga lain.

    Berulang kali Sunarti mengungkit janji-janji pelunasan dari PT Minarak Lapindo Jaya dan pemerintah pusat. Bagi Sunarti, janji-janji itu membuat dirinya tak kuat menahan beban hidup.

    Pak Jokowi, aku wes gak kuat maneh (Pak Jokowi, saya sudah tak kuat lagi),” kata Sunarti.

    Para warga yang masuk Peta Area Terdampak (PAT) ini mengaku terus dibohongi. Di berbagai media massa, pemerintah pusat selalu mengatakan, Mei 2015 adalah batas pelunasan. Namun hingga pertengahan Mei, belum ada tanda-tanda pelunasan itu.

    Anggota Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, Maksum Zubair juga hadir dalam aksi itu. Dia mengaku tidak bisa berbuat banyak karena Pemerintah Pusat belum sepakat dengan pihak Lapindo.

    “Masalahnya ada di keduanya. Kami di sini tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.

    Informasi yang masuk ke Pansus, molornya pencairan ini karena tidak ada titik temu antara pemerintah dan Lapindo. Pemerintah meminta jaminan aset Lapindo sebagai syarat pencairan dana talangan ganti rugi sebesar Rp 781 miliar.

    Miftah Faridl

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/05/10/21081621/Korban.Lumpur.Lapindo.Pak.Jokowi.Saya.Sudah.Tidak.Kuat.

  • Ganti Rugi Korban Lumpur, Gus Syaikhul : “Macetnya Tuh di Lapindo”

    Ganti Rugi Korban Lumpur, Gus Syaikhul : “Macetnya Tuh di Lapindo”

    Sidoarjonews, Taman – Dana ganti rugi para korban lumpur Lapindo yang berada di dalam area peta terdampak, hingga saat ini belum turun disebabkan pihak Lapindo tidak serius dalam memberikan komitmen kepada pemerintah. Padahal selama ini, pemerintah sudah berusaha membantu para korban dengan memberikan dana talangan dari APBN P 2015 sebesar Rp 781 miliar.

    Ungkapan itu disampaikan salah satu anggota DPR RI Komisi VII yang membidangi ESDM, Ristek dan Dikti, H Syaikhul Islam saat dikonfirmasi SidoarjoNews terkait ganti rugi korban lumpur Lapindo di salah satu rumah makan di daerah Taman Sidoarjo usai melakukan reses.

    Gus Syaikhul, sapaan akrab H Syaikhul Islam, menyampaikan, sebetulnya pemerintah sudah mempunyai niat atau itikad baik untuk memberikan dana talangan. Akan tetapi pihak lapindo tidak mempunyai niat dan komitmen sehingga pada akhirnya dana tersebut nyangkut seperti ini.

    “Lapindo tidak mempunyai itikad baik untuk mencairkan uang ganti rugi kepada masyarakat (korban lumpur). Kenapa demikian? Di APBN-P 2015 sudah diputuskan bahwa negara memberikan dana talangan sebesar Rp 781 miliar dan sudah diketok di APBN-P itu,” ungkapnya, Rabu (6/05/2015).

    “Kenapa uang tersebut belum cair?,” sambung Gus Syaikhul, “Menteri Keuangan belum berani memberikan atau mencairkan dana sebab pihak Lapindo tidak menunjukkan komitmennya untuk bisa mengembalikan uang tersebut.”

    Gus Syaikhul mencontohkan,  sampai hari ini aset-aset Lapindo sebagai agunan ke pemerintah tak kunjung diberikan dan pihak Lapindo belum menunjukkan data konkrit yang dibutuhkan.

    “Saya tekankan bahwa masalahnya ini bukan pada pemerintah, tetapi pada Lapindo. Masalahnya itu bukan di presiden. Dana talangan yang diberikan pemerintah tidak direspon baik oleh lapindo. Kalau Lapindo membantu pemerintah, tolonglah bantu pemerintah. Sehingga uang Rp 781 miliar itu segera cair,” tegas Gus Syaikhul.

    Tahapan ini menjadi titik krusial untuk menuju tahapan berikut hingga dana talangan itu bisa dicairkan ke korban lumpur Lapindo.

    “Tentang verifikasi penerima, jangan dihambat. Kalau pemerintah minta uang itu dicairkan ya lakukan. Masalah uang APBN-P ini kebaikan pemerintah kepada korban. Saya tidak mau menebak-nebak tujuan Lapindo apa. Yang jelas mereka tidak mempunyai keseriusan untuk melunasi ganti rugi. Padahal pemerintah berniat baik untuk membantu memberikan dana talangan,” ujarnya.

    Pihaknya belum bisa memastikan kapan dana dicairkan. Namun, dirinya masih terus melakukan pemantauan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan kepastian.

    “Pastinya belum tahu, kita terus melakukan pemantauan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan kepastian. Sementara jawaban yang kami terima, ada hambatan dari Lapindo yang tidak memberikan data para korban Lapindo, yang jelas mereka tidak memberikan keseriusan,” tandasnya.

    Kholid Andika

    Sumber: http://www.sidoarjonews.com/ganti-rugi-korban-lumpur-gus-syaikhul-macetnya-tuh-di-lapindo/

  • Sisa Ganti Rugi Lapindo Belum Bisa Dicairkan

    Sisa Ganti Rugi Lapindo Belum Bisa Dicairkan

    Suara Pembaruan, SIDOARJO – Sisa ganti rugi korban semburan lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 781 miliar masih belum bisa dicairkan. Alasannya, masih menunggu keputusan presiden tentang besaran bunga dana yang dipinjam PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), selaku ‘juru bayar’ perusahaan pengeboran gas PT Lapindo Brantas Inc.

    Gubernur Jatim yang biasa disapa Pakde Karwo itu, ketika menerima perwakilan warga korban lumpur Lapindo, Senin (4/5) kemarin mengatakan, bahwa dana dari APBN untuk pembayaran sisa ganti rugi korban Lapindo sudah ada. Namun demikian, dana pinjaman dari pemerintah untk PT MLJ tersebut belum bisa dicairkan, karena masih belum ada kata sepakat tentang besaran bunga pinjaman tersebut.

    “Jadi masih menunggu keputusan Presiden. Besaran bunga pinjaman itu berapa yang harus dibayar Lapindo, ini yang masih belum ada kata sepakat. Belum ketemu,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang dikonfirmasi pasca pertemuan itu, Senin sore. Ia optimis pembayaran sisa ganti rugi dari dana pinjaman pemerintah pusat akan dicairkan sekitar akhir Mei 2015. Sesuai perkiraan, kemungkinan besar pencairan dana talangan pinjaman itu sekitar akhir Mei, tandas Pakde Karwo.

    Sementara itu ratusan warga korban lumpur di dalam area peta terdampak beberapa waktu sebelumnya menggelar unjuk rasa di bekas pompa bensin (SPBU) di Jalan Raya Porong, Sidoarjo guna sekedar mengingatkan janji Presiden Jokowi yang akan menyelesaikan pembayaran ganti rugi Mei 2015 ini. Mereka yang mayoritas ibu-ibu dari Desa Jatirejo, Siring, Renokenonggo Kecamatan Porong dan Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin dengan memasang spanduk  bertuliskan, ‘Kami Menuntut Janji Bapak Presiden, 9 Tahun Kami Ditelantarkan, Mei 2015 Segera Dibayar Lunas’ yang dibentangkan di lokasi.

    Menurut koordinator lapangan aksi unjuk rasa, H Mujiono (52), warga Desa Jatirejo, yang dikonfirmasi terpisah mengatakan, bahwa warga hanya menggantungkan pada kebijakan Presiden Jokowi karena selama 10 tahun di bawah kepemimpinan Presiden SBY, janji Lapindo tidak dipenuhi. 

    “Pak Jokowi sebelum menjadi Presiden pernah berkunjung menemui warga korban lumpur di atas tanggul penahan lumpur. Di titik 21 Desa Siring, Jokowi menandatangani janji, salah satu isinya akan menyelesaikan permasalahan warga korban lumpur. Kami berharap agar bapak Presiden Joko Widodo bisa mewujudkannya,” ujar Mujiono.

    Selain berunjuk rasa, korban lumpur juga mengadakan doa bersama. Setelah doa bersama selesai, enam orang perwakilan korban lumpur Lapindo yang diwakili Mahmudah, Arthan dari Desa Renokenonggo, Ipan, Mujiono, Hasan Basri dari Desa Jatirejo, dan Muripan dari Desa Kedungbendo menemui Gubernur Jawa Timur Pakde Karwo di Surabaya. Untuk menjaga aksi unjuk rasa ini, ratusan petugas Polres Sidoarjo dan 1 unit mobil Rantis Watercanon disiagakan di dekat lokasi. [ARS/L-8]

    Sumber: http://sp.beritasatu.com/nasional/sisa-ganti-rugi-lapindo-belum-bisa-dicairkan/86143

  • Dana Talangan Lapindo Bisa Cair Akhir Mei Tapi …

    Dana Talangan Lapindo Bisa Cair Akhir Mei Tapi …

    Metrotvnews.com, Surabaya: Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, memastikan talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo cair pada akhir Mei 2015. Namun, kata dia, pencairan masih menunggu jumlah bunga yang harus dibayar Lapindo kepada pemerintah untuk membantu menalangkan ganti rugi tersebut.

    “Saat ini masih menunggu hitungan bunga yang akan dibayarkan Lapindo kepada pemerintah, kita masih menunggu itu. Tapi kata Menteri Keuangan sudah bisa dicairkan,” kata Pakde Karwo, sapaan akrabnya, kepada wartawan di Surabaya, Senin (4/5/2015).

    Pakde Karwo menyampaikan Pemprov Jatim terus berusaha segera membantu para korban Lapindo. Hanya saja saat ini pemerintah masih menghitung berapa bunga yang harus dibayar Lapindo ke pemerintah selaku pihak yang membantu memberikan talangan dana ganti rugi kepada korban Lapindo.

    “Pemerintah juga sudah menyetujui untuk memberikan talangan kepada Lapindo untuk korban Lapindo,” jelasnya.

    Dana talangan dari pemerintah yang diperbantukan untuk korban Lapindo sebesar Rp781,7 miliar. Namun dana ini belum bisa dicairkan karena harus menunggu proses audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai besaran pasti tanggungan yang harus dibayar PT Minarak Lapindo Jaya.

    Dari total ganti rugi area terdampak yang menjadi tanggungan Lapindo sebesar Rp3,8 triliun, PT Minarak Lapindo Jaya hanya bisa mengganti Rp3,03 triliun. Lapindo masih menyisakan dana Rp781,7 miliar.

    RRN | Amaludin

    Sumber: http://jatim.metrotvnews.com/read/2015/05/04/393764/dana-talangan-lapindo-bisa-cair-akhir-mei-tapi

  • Audit Lapindo Tuntas, Segera Bentuk Tim Negosiasi

    Audit Lapindo Tuntas, Segera Bentuk Tim Negosiasi

    Jawa Pos, Jakarta – Dana talangan untuk korban lumpur Lapindo segera cair. Setelah audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tuntas, pemerintah kini masuk tahap finalisasi tim negosiasi.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, audit BPKP akan menjadi pegangan tim negosiasi saat bertemu dengan pihak Lapindo. ”Sekarang timnya sedang difinalisasi oleh Setkab (Sekretariat Kabinet),” ujarnya kepada Jawa Pos Minggu (12/4).

    Basuki mengatakan, berdasar audit BPKP, terdapat perbedaan angka dalam nilai aset Lapindo. Versi PT Minarak Lapindo Jaya, nilai aset tanah warga di peta terdampak yang sudah diganti Lapindo mencapai Rp 3,03 triliun. Namun, hasil audit BPKP menyebut hanya Rp 2,7 triliun. ”Rupanya, hitungan Lapindo juga memasukkan bonus dan ada beberapa berkas tanah yang dihitung dua kali,” katanya.

    Menurut Basuki yang juga ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), audit BPKP juga menyebut kebutuhan dana talangan menyusut dari Rp 781 miliar menjadi Rp 767 miliar karena adanya beberapa berkas tanah yang dihitung lebih dari satu kali. Saat ini penyusunan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun sudah berjalan. ”Itu sudah dilaporkan menteri keuangan,” ucapnya.

    Sebagaimana diketahui, dana tersebut akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di peta area terdampak. Ganti rugi itu sebenarnya kewajiban Lapindo, namun karena perusahaan tidak memiliki kemampuan finansial, pemerintah bersedia memberi dana talangan agar proses ganti rugi tanah warga bisa segera tuntas.

    Hingga saat ini, Lapindo baru bisa memenuhi kewajiban ganti rugi tanah warga di peta terdampak sebanyak 9.900 berkas senilai Rp 3,03 triliun (versi Lapindo), sebagian besar berupa sertifikat tanah. Ada juga yang berupa girik. Namun, masih ada kekurangan 3.337 berkas yang belum bisa diselesaikan Lapindo senilai Rp 767 miliar. Kekurangan itulah yang akan ditalangi pemerintah.

    Dihubungi di tempat terpisah, Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan perbedaan perhitungan antara aset yang sudah dibeli Lapindo senilai Rp 3,03 triliun dan hasil audit BPKP yang hanya menyebut Rp 2,7 triliun. ”Kami ikut saja apa kata pemerintah,” ujarnya.

    Menurut Andi, meski hasil audit BPKP menyebut aset yang dikuasai Lapindo hanya Rp 2,7 triliun, nilainya masih jauh lebih besar daripada kebutuhan dana talangan Rp 767 miliar. Artinya, aset yang dijaminkan Lapindo jauh lebih besar daripada dana yang dipinjamkan pemerintah. ”Lain cerita kalau aset kami ternyata cuma Rp 600 miliar, itu baru jadi masalah,” jelasnya.

    Basuki menambahkan, dalam negosiasi dengan pihak Lapindo, pemerintah akan mengajukan skema pemberian dana talangan Rp 767 miliar dengan jaminan 9.900 berkas yang sudah dikuasai Lapindo senilai Rp 2,7 triliun (versi BPKP). Selanjutnya, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk melunasi pinjaman kepada pemerintah. Jika itu tidak bisa dilakukan, pemerintah akan mengambil alih hak kepemilikan 9.900 berkas tanah yang sudah dijaminkan Lapindo. ”Dalam negosiasi, akan dibuat perjanjian tertulis dengan Lapindo,” ujarnya.

    Basuki yang pernah menjadi ketua pelaksana Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS) pada 2007 akan memimpin tim negosiasi yang, antara lain, berisi unsur BPKP, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Keuangan. ”Semoga prosesnya cepat sehingga dana talangan bisa dicairkan untuk masyarakat korban lumpur,” katanya.(owi/c10/sof)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/15665/Audit-Lapindo-Tuntas-Segera-Bentuk-Tim-Negosiasi

  • Korban Lapindo Berharap Ganti Rugi Sebelum 29 Mei

    Korban Lapindo Berharap Ganti Rugi Sebelum 29 Mei

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Warga korban lumpur Lapindo mengaku tidak tahu-menahu tentang menciutnya besaran dana talangan yang akan dibayarkan pemerintah. Mereka tetap berharap dana dibayarkan sesegera mungkin. “Kami khawatir karena sudah cukup kami dibohongi hingga hampir sembilan tahun ini,” kata Sulastri, satu di antara warga itu, saat dihubungi, Senin, 30 Maret 2015.

    Menurut Sulastri, warga korban lumpur Lapindo resah karena tenggat pembayaran ganti rugi selalu diundur-undur. Dia mencatat, awalnya ganti rugi itu akan dibayarkan pada awal 2015, tepatnya pada Maret. Tapi belakangan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan kalau realisasi antara April dan Mei menunggu perumusan perjanjian dengan pihak Lapindo dan keputusan presiden ditandatangani.

    “Kalau memang sudah ada uangnya, kenapa belum dicairkan. Tolong segera dicairkan, kami sudah bosan seperti ini terus,” kata Sulastri lagi sambil mengingatkan 29 Mei mendatang genap sembilan tahun bencana lumpur Lapindo. Sulastri sendiri warga Desa Gempolsari yang terletak di sisi utara kolam lumpur raksasa Lapindo.

    Sebelumnya Menteri Basuki mengatakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan kalau dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo berubah menjadi Rp 767 miliar dari Rp 781 miliar dan aset PT Minarak Lapindo Jaya menyusut menjadi Rp 2,7 triliun dari nilai semula Rp 3,03 triliun.

    Menurut Basuki, penyusutan ini karena adanya beberapa bidang tanah yang terhitung dua kali. Lalu, juga terdapat bonus yang diberikan Lapindo kepada masyarakat yang bukan untuk pembayaran tanah.

    “Istilah dalam audit BPKP, yang diberikan Lapindo ke masyarakat itu tak bisa dihitung sebagai aset,” ujar Basuki saat meninjau irigasi di kawasan Gunung Nago, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu lalu.

    Sulastri yang juga telah menjalani verifikasi atas asetnya yang dirugikan oleh bencana lumpur itu tidak mengetahui tentang penyusutan-penyusutan itu. “Saya tidak tahu kalau ada penurunan seperti itu, malah yang saya dengar dari isu-isu malah membengkak,” katanya.

    MOHAMMAD SYARRAFAH | ANDRI EL FARUQI

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/30/058654091/Korban-Lapindo-Berharap-Ganti-Rugi-Sebelum-29-Mei

  • Hitung Aset Minarak Lapindo Jaya, Tim pun Dibentuk

    Hitung Aset Minarak Lapindo Jaya, Tim pun Dibentuk

    TEMPO.CO, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jawa Timur bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Sosial, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan membentuk sebuah tim untuk memverifikasi jumlah aset yang dimiliki oleh PT Minarak Lapindo Jaya yang akan dijadikan jaminan kepada pemerintah.

    “Itu berdasarkan Peraturan Presiden. Kalau tidak salah Perpresnya tentang Tim Percepatan Penyelesaian Lumpur Sidoarjo,” kata Ketua BPKP perwakilan Jawa Timur Hotman Napitupulu kepada Tempo ketika ditemui di kantornya, Senin, 22 Maret 2015.

    Sampai saat ini, menurut Hotman, tim verifikasi belum menghitung berapa jumlah aset yang dimiliki oleh Minarak Lapindo Jaya. Saat ini laporan verifikasi dana talangan ganti rugi lumpur Lapindo masih dibahas oleh Kementerian PU yang kemudian akan diserahkan kepada Tim Percepatan Penyelesaian Lumpur Sidoarjo. “Jadi belum diketahui jumlahnya, itu tugas dari tim berikutnya. Kalau kami hanya memastikan nilai ganti rugi Lapindo,” kata dia.

    Tim verifikasi aset Minarak Lapindo Jaya salah satunya terdiri dari Badan Pertanahan Nasional yang nantinya akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.

    Soal waktu kapan akan dimulainya untuk memverifikasi aset tersebut, Hotman mengaku tidak tahu menahu. Menurut dia, ini tergantung bagaimana koordinasi dari tim Percepatan Penyelesaian Lumpur Sidoarjo.

    “Kalau soal apakah nanti akan juga mengaudit, saya kira tidak ada karena hanya sebatas kegiatan pemberian sisa ganti rugi kepada korban Lumpur Lapindo. Kalau soal laporan keuangan kan isinya macam-macam tidak etis juga karena memang hanya sebatas ganti rugi,” ujar Hotman.

    Dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo berubah menjadi Rp 767 miliar dari Rp 781 miliar setelah diaudit oleh BPKP. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan ada beberapa penyebab koreksi dana talangan tersebut. “Ada yang terhitung dua kali,” katanya kepada Tempo di kantornya akhir pekan lalu.

    Selain itu, menurut Basuki, masih ada 8 berkas milik warga yang belum dihitung dalam audit dana talangan. Delapan warga ini terlambat mengajukan dana ganti rugi karena terlambat melaporkan pada saat penjaringan dilakukan.

    “Jadi jumlahnya masih dihitung lagi. Ini kan baru laporan sementara,” katanya. Berkas yang belum terhitung ini, akan diverifikasi oleh BPKP dan BPLS mulai Senin. Dia memperkirakan verifikasi akhir dana talangan ini akan selesai dalam waktu dekat.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/24/058652347/Hitung-Aset-Minarak-Lapindo-Jaya-Tim-pun-Dibentuk

  • Aset Lapindo Menyusut Rp 300 Miliar Setelah Diaudit BPKP

    Aset Lapindo Menyusut Rp 300 Miliar Setelah Diaudit BPKP

    TEMPO.CO, Jakarta – Nilai aset PT Minarak Lapindo Jaya menyusut setelah diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi Rp 2,7 triliun dari nilai semula Rp 3,03 triliun. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan penurunan aset ini bukan karena adanya aset bodong, melainkan ada beberapa bidang tanah yang dihitung dua kali.

    Selain itu, terdapat bonus yang diberikan Lapindo kepada masyarakat yang bukan untuk pembayaran tanah. “Jumlahnya (bonus) sekitar Rp 200 miliar,” katanya di Jakarta Convention Center, Selasa, 24 Maret 2015. Dia menuturkan istilah bonus tersebut, menurut BPKP, tidak dapat dimasukkan ke dalam aset Minarak.

    Dalam laporan ke Basuki sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, audit BPKP menyebutkan aset Minarak sebesar Rp 2,7 triliun dari nilai semula Rp 3,03 triliun dan dana talangan korban lumpur Rp 767 miliar dari 781 miliar. Anggaran sebesar Rp 767 miliar untuk dana talangan telah dialokasikan dari Kementerian Keuangan.

    Menurut Menteri, aset Lapindo yang menjadi jaminan hanya berupa tanah di dalam peta terdampak. Sebelum negara membayar dana talangan nantinya, pemerintah menahan sertifikat dan surat tanah milik Minarak senilai Rp 2,7 triliun selama empat tahun. Jika selama empat tahun pihak Minarak tidak dapat membayar dana talangan, pemerintah akan menyita aset seluas 420 hektare itu.

    “Surat (tanah) belum ada di tangan pemerintah, belum ada perjanjian, belum ada perundingan. Rencananya, tunggu Presiden datang, keppres ditandatangani, baru kami proses,” kata Basuki.

    Dia mengatakan BPKP tidak mengaudit laporan keuangan Minarak, tapi hanya mengaudit aset yang akan dijadikan jaminan dana talangan. Pemerintah belum mendapatkan pernyataan kesanggupan Minarak membayar dana talangan. “Yang harus ditebus Bakrie Rp 767 miliar belum termasuk fasilitas sosial. Ada ponpes di situ yang akan dihitung beserta berkas delapan keluarga,” tuturnya.

    ALI HIDAYAT

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/24/092652468/Aset-Lapindo-Menyusut-Rp-300-Miliar-Setelah-Diaudit-BPKP

  • Sejumlah Persoalan Hantui Pencairan Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    Sejumlah Persoalan Hantui Pencairan Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS.com — Pencairan dana talangan untuk pelunasan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur Lapindo di area terdampak di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, semakin dekat. Namun, sejumlah persoalan perlu dituntaskan terkait validasi data yang disampaikan PT Lapindo Brantas dan negosiasi dengan perusahaan.

    Dwinanto Hesti Prasetyo dari Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), di Sidoarjo, Minggu (22/2), mengatakan, hingga saat ini verifikasi data korban lumpur masih terus dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim. Data korban yang sudah terbayar juga diverifikasi ulang supaya valid.

    ”Selain mengadakan verifikasi di lapangan, BPKP membuka pengaduan dan mempersilakan warga korban lumpur untuk menyampaikan persoalan yang mereka hadapi,” ujar Dwinanto.

    Dwi mengatakan, sejak verifikasi data disosialisasikan BPKP, banyak warga korban yang mendatangi kantor BPLS. Ada yang ingin memastikan apakah datanya sudah tervalidasi, tetapi tidak sedikit yang mengaku belum terverifikasi sama sekali oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar PT Lapindo Brantas.

    Persoalan lain, ada 100 warga korban lumpur yang tercatat sudah mendapat ganti rugi dalam bentuk penggantian rumah tinggal di Perumahan Kahuripan Nirvana Village. Namun, hingga saat ini atau hampir sembilan tahun, rumah yang dijanjikan belum dibangun.

    Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan pentingnya verifikasi data korban lumpur karena data yang disampaikan PT MLJ tidak disertai lampiran yang menjelaskan secara rinci. Verifikasi pun penting agar pembayaran sesuai dengan proporsi penerima ganti rugi.

    ”Verifikasi harus dilakukan ulang untuk menghindari salah hitung, salah ukur, dan salah pendokumentasian. Karena itu, sebelum anggaran dicairkan, verifikasi ulang harus dituntaskan,” ujar Khofifah, di Sidoarjo, Sabtu.

    Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu mengatakan, dana talangan untuk pelunasan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur sudah disahkan dalam Undang-Undang APBN Perubahan 2015, Jumat lalu. Besaran nilainya Rp 781 miliar.

    Saat ini pemerintah mengerjakan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) sesuai dengan paparan data yang disampaikan PT Lapindo Brantas dan PT MLJ. Targetnya, dalam minggu ini DIPA sudah selesai Apabila sesuai dengan rencana pemerintah, pencairan dana talangan paling cepat dilakukan akhir Februari 2015.

    Sesuai dengan laporan MLJ, tunggakan pembayaran terhadap warga korban lumpur di peta area terdampak yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas mencapai 3.337 berkas tanah dan bangunan. Total nilai tunggakan Rp 781 miliar. (NIK)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/02/23/17323231/Sejumlah.Persoalan.Hantui.Pencairan.Ganti.Rugi.Lumpur.Lapindo

  • Pemerintah Siap Tambah Dana Talangan Lapindo

    Pemerintah Siap Tambah Dana Talangan Lapindo

    Jakarta, Jawa Pos – Pemerintah tengah menyiapkan tim khusus untuk bernegosiasi dengan pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tim itulah yang nanti menentukan pencairan dana talangan Rp 781,7 miliar untuk Lapindo.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah juga memperhitungkan kemungkinan jika dana Rp 781,7 M tersebut tidak cukup untuk membeli tanah warga di peta area terdampak (PAT). ”Kalau memang dibutuhkan, dananya bisa ditambah. Yang penting hak masyarakat terpenuhi,” tuturnya Sabtu (21/2).

    Sebagaimana diketahui, sebelumnya Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla menyatakan, dana Rp 781,7 M yang dialokasikan dalam APBN Perubahan 2015 itu mungkin tidak cukup. Sebab, dana tersebut belum menghitung kebutuhan warga korban lumpur yang sudah mengambil rumah di Kahuripan Nirvana Village.

    Dana itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di PAT. Ganti rugi tersebut sebenarnya kewajiban Lapindo. Namun, karena perusahaan itu tidak memiliki kemampuan finansial, pemerintah bersedia memberikan dana talangan agar proses ganti rugi tanah warga bisa segera tuntas.

    Sebagai jaminannya, Lapindo harus menyerahkan 9.900 sertifikat tanah seluas 640 hektare yang sudah mereka beli dari warga. Jika dalam jangka waktu empat tahun Lapindo tidak bisa mengembalikan pinjaman dana talangan, pemerintah berhak mengambil alih tanah warga dari tangan perusahaan tersebut.

    Menurut Basuki, berapa kebutuhan riil pembelian tanah warga akan diketahui berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Badan itulah yang ditugasi pemerintah untuk menentukan nilai tanah warga. ”Jadi, kita tunggu verifikasi BPKP saja,” katanya.

    Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, dana Rp 781,7 M yang sudah dialokasikan dalam APBN Perubahan 2015 hanya akan dicairkan jika pemerintah sudah memegang komitmen serta ada perjanjian resmi dengan pihak Lapindo. ”Selama negosiasi belum selesai, dana talangan masih kami tahan,” terangnya. (owi/c9/end)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/13312/Pemerintah-Siap-Tambah-Dana-Talangan-Lapindo

  • BPLS Buat Tanggul Porong yang Baru

    BPLS Buat Tanggul Porong yang Baru

    Sidoarjo, beritasatu.com – Ancaman melubernya lumpur panas Lapindo akibat hujan deras yang setiap hari mengguyur wilayah Porong dan sekitarnya di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur (Jatim), membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) harus bekerja keras mengalirkan lumpur ke Kali Porong.

    Elevasi lumpur bercampur air hujan di sebelah barat atau yang berdekatan dengan rel kereta api (KA) dan Jalan Raya Porong yang hanya berjarak 60 cm dari bibir tanggul kolam yang menjulang hingga ketinggian 12 meter, sudah terancam meluber.

    “Lumpur itu harus kita aduk, kita encerkan sehingga bisa kita alirkan ke Sungai Kali Porong. Kita sudah terjunkan empat unit kapal keruk bekerja di tengah dan dua kapal keruk bekerja di timur dan tiap hari terus melaksanakan aktivitasnya,” ujar Humas BPLS Sidoarjo, Dwinanto Prasetyo, yang dikonfirmasi, Kamis (19/2).

    Guna meminimalisasi volume lumpur hingga mencapai bibir tanggul yang tingginya 12 meter dan meluber ke rel dan Jalan Raya Porong, BPLS sudah mengoperasionalkan enam kapal keruk, ujarnya lagi.

    BPLS, menurut dia, juga membuat alur atau aliran air di sebelah barat dan tengah agar air dan lumpur yang disemburkan dari sumur utama, bisa langsung menuju ke arah selatan. Tanggul di titik 73B itu disebutkan, kini dibiarkan dan BPLS membangun tanggul baru mulai titik 67 hingga titik 73. Pembangunan tanggul baru itu diperkirakan pekan depan sudah selesai dengan ketinggian 12 meter lebih.

    BPLS tetap mengutamakan pengamanan tanggul di sebelah barat yang berbatasan langsung dengan rel KA tujuan Surabaya-Banyuwangi, Surabaya-Malang, serta Jalan Raya Porong. Karena kedua jalur tersebut merupakan jalur vital yang harus diselamatkan agar perekonomian Jatim tetap berjalan sebagaimana mestinya.

    Sementara itu, Gubernur Jatim Soekarwo sehari sebelumnya mengemukakan, bahwa pasca pembayaran ganti rugi korban semburan lumpur panas Lapindo cukup lama terkatung-katung, diperkirakan sebelum akhir 2015, akan selesai.

    Jaminan tersebut, kata Pakde Karwo, panggilan akrab Soekarwo, diberikan karena uang untuk membayar sisa ganti rugi sebesar Rp 781 miliar yang menjadi tanggungan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar PT Lapindo Brantas Inc., bangkrut dan terpaksa harus ditutupi pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.

    Aries Sudiono

    Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/250666-bpls-buat-tanggul-porong-yang-baru.html