Tag: dana talangan

  • Walhi Kecewa Jokowi Talangi Ganti Rugi Lapindo

    KBR, Banyuwangi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, menyayangkan langkah pemerintah menalangi ganti rugi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar.

    Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Ony Mahardika mengatakan, uang talangan yang berasal dari APBN itu sebenarnya juga uang rakyat. Berarti korban lumpur Lapindo membayar deritanya sendiri.

    Menurut Ony, seharusnya pemerintah tidak serta merta menalangi tanpa mekanisme menjadikan aset PT Minarak Lapindo sebagai jaminan. Talangan pemerintah untuk korban lumpur lapindo tersebut, mirip dengan bailout Bank Century.

    “Kasus Lapindo itu bukan hanya urusan ganti rugi, tapi kalau kami mengatakan itu sebenarnya hanya urusan jual beli tanah. Karena kalau ngomong ganti rugi artinya seluruh penduduk, seluruh masyarakat dari sekitar beberapa desa itu mendapatkan semua termasuk anak-anak,” kata Ony Mahardika, Rabu (24/12).

    Ony Mahardika menambahkan, urusan ganti-rugi yang dibahas pemerintah menjadi sekedar urusan jual-beli tanah. Padahal sejak bencana lumpur Lapindo meluap, banyak penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang menyerang warga.

    Banyak juga anak-anak yang menjadi korban juga kehilangan pendidikannya. Serta ada 130 ribu jiwa yang sebelumnya hidup dari usaha kecil menengah akhirnya kolaps. Kata Ony, Sejak pemerintahan SBY, bencana lumpur Lapindo memang digiring untuk menjadi bencana nasional agar ganti-rugi dibiayai oleh pemerintah.

    Sebelumnya, Presiden Jokowi telah memutuskan akan memberi dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar. Talangan itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo yang ada di dalam peta area terdampak. 

    Dana talangan dari pemerintah itu diberi tenggat selama empat tahun. Apabila sampai tenggat itu belum dilunasi, aset yang dijadikan sebagai jaminan akan menjadi milik pemerintah pusat.

    Hermawan

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3374687_4262.html

  • Akal-akalan Selamatkan Lapindo

    Akal-akalan Selamatkan Lapindo

    Firdaus Cahyadi

    Berita mengejutkan itu datang dari pemerintah Joko Widodo terkait dengan penyelesaian kasus Lapindo. Pemerintah secara resmi kembali menggunakan uang pajak rakyat untuk menyelamatkan Lapindo dari tanggung jawabnya dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo.

    Demi menyelamatkan Lapindo dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pun ditabrak. Putusan MK dalam uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2013 menyatakan bahwa PT Minarak Lapindo Jaya berkewajiban bertanggung jawab dengan mengganti kerugian masyarakat, dan pemerintah harus menjamin terlaksananya ganti rugi tersebut. Dana talangan pemerintah seakan menghapus tanggung jawab Lapindo itu.

    Pemerintah berdalih dana talangan itu bertujuan untuk menyelamatkan korban lumpur. Memang, dalam jangka pendek, korban lumpur yang belum mendapatkan uang jual-beli aset dapat bernapas lega karena mendapatkan haknya yang kehilangan tanah dan rumahnya akibat keganasan semburan lumpur Lapindo.

    Tapi napas lega korban lumpur itu hanya jangka pendek. Dalam jangka panjang, mereka harus tetap menanggung sendiri dampak buruk yang mereka alami akibat semburan lumpur.

    Sebelumnya, pemerintah berusaha membersihkan Lapindo dari noda lumpur dengan cara menamakan lumpur Lapindo menjadi lumpur Sidoarjo. Nama itu diberikan bukan sebuah kebetulan, namun sebuah kesengajaan untuk menghilangkan Lapindo dari pusaran kasus semburan lumpur.

    Langkah berikutnya tentu saja adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden yang membagi beban tanggung jawab penanganan kasus Lapindo dengan pemerintah. Uang pajak rakyat pun digunakan pemerintah untuk ikut menangani kasus ini.

    Seiring dengan langkah itu, pemerintah melalui kepolisian pun menghentikan kasus pidana Lapindo. Penghentian kasus itu memberikan posisi tawar yang semakin kuat bagi Lapindo ketika berhadapan dengan korban lumpur yang menuntut hak-haknya. Sedangkan pemerintah, dengan sengaja justru semakin bertekuk lutut di hadapan Lapindo dalam kasus semburan lumpur ini. Pendek kata, posisi Lapindo semakin kuat, sedangkan posisi negara dan korban lumpur semakin lemah.

    Makin melemahnya posisi negara itu kemudian yang sebenarnya memaksa pemerintahan Jokowi memberikan dana talangan terhadap korban lumpur. Pemerintah seakan didesak di pojok ruangan sehingga benar-benar tak berdaya menyelesaikan kasus yang sudah menyengsarakan rakyat selama delapan tahun lebih ini. Pemerintah seperti tidak punya pilihan selain memberikan dana talangan.

    Pemerintah memang tidak punya pilihan kebijakan lain selain memberikan dana talangan dalam kasus Lapindo ini, jika pemerintah masih saja mengikuti paradigma usang pemerintah sebelumnya yang mengasumsikan semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam, bukan akibat pengeboran. Selama asumsi itu dipertahankan, selama itu pula pemerintah akan bertekut lutut di depan Lapindo.

    Nampaknya, pemerintahan Jokowi tetap mengikuti paradigma lama pemerintahan sebelumnya dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Dan, karena masih mengikuti paradigma lama itulah pemerintah tidak punya pilihan lain selain menyelamatkan Lapindo dari kubangan lumpur. Sedangkan korban lumpur dan masyarakat pembayar pajak lainnya hanya sekadar menjadi tumbalnya.*

    Sumber: http://www.tempo.co/read/kolom/2014/12/23/1857/Akal-akalan-Selamatkan-Lapindo

  • Jangan Bayar Ganti Rugi via Lapindo

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Korban lumpur Lapindo menolak pencairan ganti rugi yang akan ditalangi pemerintah disalurkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Warga sudah berpengalaman. Saat pembayaran ganti rugi oleh PT Minarak dulu, banyak calo berkeliaran.

    “Pokoknya jangan sampai lewat Minarak, banyak calonya,” kata Sulastri, korban lumpur Lapindo, di rumahnya, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Selasa, 23 Desember 2014.

    Ia yakin calo pasti meminta beberapa persen dari hasil pencairan yang didapatkan korban. Jika terjadi, itu akan sangat menyakitkan, mengingat uang ganti rugi itu sudah ditunggu sejak delapan tahun lebih dan pas-pasan untuk membeli rumah di Sidoarjo dan sekitarnya. “Kalau bagi warga yang paham, mungkin bisa menolak. Tapi warga yang tidak paham dan sudah tua, pasti gampang tertipu.”

    Menurut Sulastri, ganti rugi paling tepat dibagikan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan harus diurus langsung oleh warga yang bersangkutan atau keluarganya. “Yang penting jangan orang lain, karena khawatir ada hal-hal yang tidak diinginkan,” tuturnya. Sani, 70 tahun, korban lainnya yang rumahnya juga tergenang lumpur, berharap pemerintah mempercepat ganti rugi itu dan bisa segera dicairkan oleh warga.

    Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan masih akan menunggu keputusan Presiden Joko Widodo mengenai pencairan uang ganti rugi itu. Proses pencairan hingga aliran dananya akan diputuskan oleh pemerintah. Korban lumpur lapindo, ujar dia, tidak bisa menolak jika sudah ada keputusan Presiden Jokowi. Peraturan ini bukan hanya untuk satu kelompok, tapi untuk semua korban. “Kalau warga yang lain ada yang mau gimana? Jangan asal bicara, proses ini akan diatur oleh keppres.”

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/23/058630486/Jokowi-Jangan-Bayar-Ganti-Rugi-via-Lapindo-Kenapa

  • Korban Lapindo Harap Dana Talangan Pemerintah Segera Cair

    KBRN, Surabaya: Pemerintah akhirnya akan membayar kekurangan ganti rugi (dana talangan-red) bagi korban luapan lumpur Lapindo sebesar 781 milyard pada tahun depan. Meski dibutuhkan proses yang cukup panjang untuk merealisasikan pembayaran tunggakan, karena harus mendapatkan persetujuan dari DPR, namun bagi warga terdampak lumpur lapindo, hal tersebut merupakan angin segar, karena penantian 8 tahun segera terobati.

    “Semoga saja segera terealisasi, ya saya harap pemerintah tidak mencicilnya, kami minta hitam diatas putih, karena permasalahan Lapindo ini sudah terjadi sejak tahun 2006, saya juga ingin punya rumah sendiri,” ungkap Juwito warga terdampak lumpur Lapindo kepada Radio Republik Indonesia RRI, Senin (22/12/2014).

    Menurut Juwito, imbas kejadian luapan lumpur Lapindo, warga terdampak serba dalam ketidakpastian, kondisi tanggul lumpur yang rawan jebol, serta masih banyaknya masyarakat yang hidup dalam kesusahan membuat warga harus memutar otak agar bisa bertahan hidup.

    “Jadi selama ini hidup ya dari pengunjung yang melihat lumpur secara dekat, kita menyediakan sebuah wp-content, kalau ada yang ngasih Alhamdulillah, kalau tidak, ya tidak apa-apa, prinsipnya kita tidak meminta-minta,” urainya.

    Kepala Pusat  Studi Kebumian dan Bencana dari ITS Amin Widodo, menjelaskan, menyusul kompensasi ganti rugi yang akan diberikan bagi korban lumpur Lapindo, hal paling utama yang harus dilakukan Pemerintahan Jokowi-JK yakni bagaimana segera memetakan titik-titik rawan, karena menurut Amin permasalahan utama selain pemberian kompensasi bagi warga, pemerintah harus mempunyai cara menghentikan semburan lumpur.

    “Ini juga harus menjadi prioritas, bagaimana pemerintah mempunyai cara menghentikan semburan lumpur, kita tidak mempunyai teknologi untuk menutup itu, jadi menimbulkan patahan Watukosek, orang banyak yang tidak mikir, begitu tahun 2007 pengadilan memutuskan bencana alam, terus MA menguatkan, itu sangat bahaya imbasnya bisa terkena Bandara Juanda,” terang Amin.

    Meski saat ini belum ada solusi akan pencegahan, lumpur Lapindo kata Amin, dapat menjadi nilai manfaat yang berguna dan dapat menopang taraf hidup masyarakat, selama dikelola dengan optimal.

    “Berdasarkan penelitian yang kita lakukan, lumpur Lapindo itu, mempunyai potensi sebagai campuran beton ringan, dan untuk litium batre,” kata Amin.

    Dwinanto Kepala Humas BPLS mengakui, selama ini solusi akan penghentian semburan lumpur Lapindo masih menemui jalan buntu. Berbagai opsi yang dilakukan mulai mengebor miring, hingga solusi lainnya juga belum menunjukkan hasil, karena sempat mendapatkan penolakan warga.

    “Dengan adanya kejelasan dari pemerintah akan ganti rugi, kami berharap permasalahan Lapindo dapat terselesaikan, termasuk langka kedepan nantinya,” tambah Dwi.

    Selama ini, berbagai upaya dilakukan agar lumpur Lapindo tidak terus menyembur, mulai dari hal-hal yang berbau klenik, dengan melakukan ruwatan, cara modern melalui temuan dan kajian juga dilakukan.

    Salah satu yang siap menghentikan luberan lumpur Lapindo, yakni Djaya Laksana Alumni ITS, melalui metode konsep bendungan Bernoulli yang digagas, Dajaya Optimis, Lapindo dapat dihentikan.

    “Sebenarnya apa yang dilakukan warga dengan melakukan penolakan, tidak perlu terjadi jika pemerintah sejak beberapa tahun lalu mempunyai strategi penghentian lumpur, tidak ada kata terlambat untuk itu, semua ada kemauan,” lanjut Djaya.

    Konsep bendungan Bernoulli yang diteliti oleh tim ITS kata Djaya bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk menghentikan luapan lumpur Lapindo Sidoarjo.

    “Sebenarnya konsepnya mudah mengaplikasikan teori bendungan Bernouli, hanya membutuhkan waktu yang tidak lama yakni 6 bulan, dimana dapat dijamin semburan lumpur dapat berhenti selamanya,” terang Djaya.

    Djaya menerangkan teori Hukum Bernouli yang akan digunakan untuk menghentikan luapan lumpur, yakni diantaranya memasang bendungan yang terbuat dari pipa. Pipa yang dirakit tersebuk katanya, dipasang di semburan lumpur dengan ketinggian kurang lebih 50 meter. Ketika pipa-pipa yang dipasang tersebut sudah mengelilingi pusat semburan, maka lumpur yang akan meluber akan tertahan pipa. Dengan penuhnya lumpur yang terhalang bendungan buatan tersebut, maka beban lumpur akan dapat mematikan semburan.

    “Tapi sebelum memasang pipa, harus ada studi akan kontur tanah, hal itu dilakukan untuk mengetahui kelayakan tanah,” terangnya.

    Djaya menjelaskan, Konsep Bernouli yang ia kembangkan, diklaim tidak asal-asalan. Teori yang sudah di suarakanya sejak tahun 2006 ini, belum ada tanggapan positif dari pemerintah meski penerapan hukum Bernouli sudah dipresentasikannya ke pihak-pihak terkait. (BH/Yus).

    Sumber: http://www.rri.co.id/post/berita/127739/nasional/korban_lapindo_harap_dana_talangan_pemerintah_segera_cair.html

  • Pemerintah Harus Menindak PT Minarak Lapindo

    JAKARTA, (PRLM) – Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Seharusnya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi kepada warga yang rumahnya terkena dampak luapan lumpur. Demikian disampaikan pengamat ekonomi politik, Nico Harjanto.

    Sementara Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan, pemerintah tidak membantu PT Minarak Lapindo melainkan membantu masyarakat yang sudah menderita lebih dari delapan tahun.

    Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Pengamat ekonomi politik dari Populi Center, Nico Harjanto kepada VOA di Jakarta, Minggu (21/12) mengatakan seharusnya pemerintah menindak PT Minarak Lapindo terlebih dahulu sebelum menalangi kewajibannya.

    “Itu keputusan yang mengagetkan karena bagaimanapun juga itu kewajiban PT Lapindo, seharusnya pemerintah memberikan tindakan dulu baru kemudian menalangi. Tidak ada masalah dalam konteks memberikan pertolongan penalangan kepada korban, karena bagaimanapun juga korban itu harus segera dibantu, tetapi dalam perspektif keadilan mestinya Lapindo dan juga perusahaan-perusahaan yang memilikinya termasuk juga keluarga Bakrie itu harus bertanggungjawab dulu,” ujarnya.

    Nico Harjanto berpendapat, pemerintah harus transparan mengenai sumber dana talangan untuk PT Minarak Lapindo karena pemerintah justru sedang sulit menganggarkan berbagai rencana program yang akan mulai dikerjakan tahun depan.

    Terkait berbagai pendapat mengenai keputusan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo, Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan,“tujuan pemerintah adalah tidak akan membeli tanah tetapi untuk membantu menyelesaikan tanah itu untuk rakyat, sudah delapan tahun lebih menunggu.”

    Pemerintah memberi batas waktu empat tahun kepada PT. Minarak Lapindo mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar. Jika batas waktu tersebut dilanggar pemerintah akan menyita beberapa aset milik PT. Minarak Lapindo atau aset lain yang masih dalam grup PT Minarak Lapindo.

    Dana talangan diberikan setelah PT Minarak Lapindo menyatakan tidak sanggup membayar kekurangan dari kewajiban sebesar Rp 3,8 triliun. PT Minarak Lapindo sanggup membayar sebesar Rp 3,02 triliun sehingga sisanya meminjam pemerintah.

    Sebelumnya sepanjang masa pemerintahan mantan Presiden Yudhoyono, tercatat sejak tahun 2006 hingga tahun 2012 dana talangan yang dikucurkan pemerintah untuk korban lumpur Lapindo sekitar Rp 6,7 triliun. Langkah pemerintah saat itu sempat diprotes mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarawati yang menilai sebaiknya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT. Minarak Lapindo. Sementara keluarga Aburizal Bakrie mengklaim telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp 7,9 triliun untuk mengatasi luapan lumpur Lapindo dan memenuhi kewajiban membayar ganti rugi masyarakat terkena dampak luapan lumpur.

    Untuk itu banyak kalangan menilai diperlukan audit keseluruhan agar dapat ditelusuri sejauh mana kewajiban PT. Minarak Lapindo benar-benar dialokasikan. (voa/A-147)***

    Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/309392

  • Aset Minarak Lapindo bakal Dilelang

    Aset Minarak Lapindo bakal Dilelang

    PEMERINTAH akan melelang aset tanah bekas luapan lumpur PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) senilai Rp3 triliun jika dalam waktu empat tahun Lapindo  tidak mampu mengembalikan dana talangan pemerintah Rp781 miliar.

    “Tanahnya itu kita lelang nanti. Kan suatu saat akan berhenti lumpur itu. Kalau sudah berhenti lumpur itu, tanah itu akan berharga kembali,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil di kantornya, Jakarta, kemarin.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan menalangi ganti rugi sebesar Rp781 miliar kepada korban lumpur Lapindo di wilayah terdampak. Pasalnya, perusahaan milik keluarga Bakrie itu menyatakan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar tanah yang tersisa 20% dari area terdampak tersebut.

    Pemerintah menyiapkan dananya dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) APBN Perubahan 2015 untuk segera dibayarkan ke masyarakat (Media Indonesia, 19/12).

    Sofyan menambahkan, jika memang dana talangan sudah kembali diterima pemerintah dana tersebut dapat digunakan pada postur anggaran selanjutnya. Pemerintah pun menjamin untuk memperkuat tanggul di daerah lumpur Lapindo.  “Tanggul sudah ada di anggaran PT sekarang (PT Minarak Lapindo Jaya),” pungkas Sofyan.

    Total ganti rugi kewajiban Lapindo akibat lahan yang terdampak lumpur, menurut Sofyan, sebesar Rp3,8 triliun. Sementara itu, pihak MLJ telah menuntaskan pembayaran ganti rugi sekitar Rp3,03 triliun.

    Wakil Presiden Jusuf Kalla meyakini dana talangan Lapindo  akan disetujui DPR.  “Disetujui. MK (Mahkamah Konstitusi) katakan (pembayaran ganti rugi) rakyat harus diselesaikan,” ujar JK di kantornya.

    Menurut dia, tidak ada yang dirugikan dengan langkah itu, baik pemerintah maupun Lapindo.

    Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai hal itu baru sebagai rencana. “Biarlah dibicarakan dengan DPR. Menurut saya, pasti tidak begitu adanya karena semua sudah berproses,” kata Agus.

    Ia menyarankan pemerintah sebaiknya melanjutkan apa yang sudah dilakukan SBY dan memperkuat yang sudah ada. “Apa yang sudah dilaksanakan SBY cukup bagus. Jangan cari masalah lagi,” ucapnya.

    Minta bukti tertulis

    Saat menanggapi hal itu, warga korban lumpur Lapindo mengaku belum sepenuhnya memercayai pemerintahan Jokowi-JK akan benar-benar membayar ganti rugi mereka.

    Warga meminta Jokowi membuat bukti tertulis terkait dengan keputusan pemerintah akan melunasi ganti rugi yang sebenarnya menjadi kewajiban PT MLJ.

    “Kami menginginkan bukti yang bisa dijadikan dasar hukum. Kalau bukti tertulis itu sudah ada, kami para korban lumpur baru percaya,” kata Juwito, 70, koordinator korban lumpur.

    Warga tetap akan berkeras melarang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo beraktivitas di tanggul titik 42 Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Warga mengklaim tanah tempat tanggul itu dibangun masih milik mereka sepanjang ganti rugi itu belum diberikan. (HS/SU/Kim/X-6)

    Irene Harty

    Sumber: http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/7019/Aset-Minarak-Lapindo-bakal-Dilelang/2014/12/20%2008:52:00

  • Kalla claims controversial Lapindo bailout a win-win solution

    Kalla claims controversial Lapindo bailout a win-win solution

    After an allegation that the government’s decision to take over the Bakrie family’s liabilities in the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, was the result of a back room political deal, the government defended its decision on Friday saying that it would ultimately benefit all parties involved in the disaster.

    “Here’s why, the people [mudflow victims] are facing hardship. PT Minarak Lapindo Jaya could not pay [the compensation anymore], but it still has assets. Therefore, the government decided to give the loan first to calm the people down,” Vice President Jusuf Kalla said on Friday, referring to a firm controlled by the Aburizal Bakrie family, which had been deemed responsible for the disaster.

    Kalla, who served as Golkar Party chairman prior to the leadership of Aburizal Bakrie, said that the public should not debate on whether the government was losing money for the misbehavior of a greedy tycoon and should see the loan as part of a trade deal.

    “So the company has purchased 1,000 hectares of land [from the disaster victims]. That land is used as collateral for the government. The company is given four years [to settle the loan]. If it can’t payback the loan, the assets will be taken over by the state. So the state doesn’t give money for free,” Kalla said.

    On Thursday, President Joko “Jokowi” Widodo decided to bail out the family to settle the remaining compensation for the mudflow victims by providing a Rp 781 billion (US$62 million) loan to Minarak.

    The loan will enable the company to pay compensation that has not yet been received by thousands of victims of the mudflow.

    The decision has sparked debates over whether the government should spend more money to help ease the burden for the Bakrie family, after spending more than Rp 6 trillion of taxpayer money to handle the aftermath of the disaster.

    Kalla further defended the decision saying that the loan would ultimately benefit the state should the company fail to return the money.

    “If the mudflow stops, then the price of land will increase. And I can assure you that it will stop at one point,” he said. “If it doesn’t stop [in near future], then just wait for it. Maybe in the next five years or 10 years, [the mudflow will stop].”

    Even at its current price, the total price of the land is already much higher than the loan given, Kalla added.

    “The land is 1,000 hectares, or 10 million m2. If the current price is Rp 1 million per m2, then the price of the land is actually Rp 10 trillion,” he said.

    Besides benefiting the state and the victims, even the company itself would benefit from the scheme, the senior Golkar politician said.

    “The company will not lose money if five times the market price.” It pays back the loans now. They will get their money back. The victims are also happy because they are getting paid for their lands, Kalla said.

    Kalla also justified the government’s decision by pointing out that the Constitutional Court had ordered the state to force Lapindo to complete the compensation payments.

    Golkar deputy secretary-general Lalu Mara Satriawangsa, who is also an Aburizal’s confidant, applauded the government’s decision given that the Lapindo mudflow had been declared a national disaster.

    “The Bakrie family has helped local communities by buying their asset with a price higher than that of the market price. If there is some [financial] shortage, that is the fact,” he told The Jakarta Post.

    He said that the family has spent so much in the wake of the disaster, which begun in 2006 after a blowout of a natural gas well drilled by PT Lapindo Brantas.

    “The family has spent more Rp 8 trillion [for compensation], just compare this with the remaining Rp 750 billion that we have not paid,” Lalu Mara said.

    Political analyst Agung Baskoro of Jakarta-based Poltracking Institute, meanwhile, suggested that the government’s decision to bailout Lapindo was motivated by its increasing need of political support from Golkar, the leader of the opposition Red-and-White Coalition.

    “The government has currently been dealing with complicated issues, like fuel-price hikes and the weakening rupiah. They are in dire need to gain support from lawmakers,” he said.

    Hans Nicholas Jong and Hasyim Widhiarto

    Sumber: http://thejakartapost.com/news/2014/12/20/kalla-claims-controversial-lapindo-bailout-a-win-win-solution.html

  • Kejagung Belum Dapat Arahan Rencana Penyitaan Aset Lapindo

    Jakarta, GATRAnews – Kejaksaan Agung tengah menunggu koordinasi dari pemerintah untuk membahas soal eksekusi penyitaan aset PT Minarak Lapindo Jaya, jika perusahaan ini tidak mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar.

    “Ya kita tunggu dulu, kita belum dapat masukan dan perintah dari Pak Jaksa Agung. Kebijakan pemerintah, ya harus kita hormati,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, R Widyo Pramono di Jakarta, Jumat (19/12).

    Sampai dengan hari ini, Widyo megaku belum mengetahui ada tidaknya pertemuan antara Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan Kejaksan Agung untuk membahas hal itu. “Saya nggak tahu,” ucapnya.

    Meski demikian, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah ini berharap agar pemerintah terlebih dulu memberikan kesempatan kepada PT Minarak Lapindo Jaya untuk mengembalikan uang pemerintah sejumlah Rp 781 milyar tersebut.

    “Ya itu, janganlah pemerintah berbuat begitu ya, kita hormati saja dulu, kita tunggu perkembangan yang terbaik,” harap Widyo.

    Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menegaskan, pemerintah akan menyita aset PT Minarak Lapindo Jaya jika perusahaan milik Aburizal Bakrie itu tidak mengembalikan dana talangan dari pemerintah sebesar Rp 781 milyar dalam waktu 4 tahun.

    Pemerintah akan mengambil berbagai surat, termasuk sertifikat tanah atas lahan yang kini menjadi lautan lumpur sebagai jaminan PT Minarak Lapindo Jaya. Adapun nilai perusahaan ini ditaksir mencapai Rp 3 trilyun lebih.

    Menurutnya, PT Minarak Lapindo Jaya bisa kembali mendapatkan surat-surat dan aset jika bisa mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar dalam jangka 4 tahun.

    “Kalau mereka bisa melunasi Rp 781 milyar kepada pemerintah, maka itu akan dikembalikan ke Lapindo. Tapi kalau lewat 4 tahun, disita. Ini saya kira fair,” tandas Basuki.

    Pemerintah menggelontorkan dana talangan sejumlah Rp 781 milyar untuk memberikan kepastian kepada warga Jawa Timur yang terdampak lumpur setelah mereka nasibnya tidak jelas akibat PT Minarak Lapindo Jaya tidak memberikan ganti rugi atas tanah yang terdampak lumpur.

    Iwan Sutiawan

    Sumber: http://www.gatra.com/hukum-1/114252-kejagung-belum-dapat-arahan-rencana-penyitaan-aset-lapindo.html

  • Pengamat: Dana Talangan Kasus Lapindo Inkostitusonal

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto menilai keputusan pemerintah untuk menalangi sisa ganti rugi pembelian lahan warga yang terdampak lumpur Lapindo adalah tindakan yang inkonstitusional.

    “Kebijakan Pemerintah untuk memberikan dana talangan atas kasus lumpur Lapindo sebesar Rp781 miliar adalah kebijakan yang inkonstitusional. Kebijakan ini bisa menjadi blunder bagi Pemerintah Jokowi-JK,” katanya, Jumat (19/12).

    Suroto mengatakan jika memang perusahaan migas itu bangkrut dan tidak lagi memiliki kemampuan membayar semestinya tidak perlu mendapat dana talangan apa pun. Menurutnya praktik bailout atau dana talangan yang juga sering dilakukan pemerintah sebelumnya tidak memiliki payung hukum di Indonesia.

    “Kita tidak ingin kerusakan alam yang terjadi akibat ulah korporat kapitalis diselesaikan oleh negara dengan beban yang harus ditanggung bersama rakyat,” ujarnya.

    “Kita tidak ingin kemiskinan yang diakibatkan oleh pembagian hasil yang tidak adil dari perangai korporat kapitalis diselesaikan oleh negara. Kita juga tidak menginginkan negara yang harus tangani kondisi krisis ekonomi yang datang tiba-tiba akibat ulah spekulatif kaum kapitalis,” jelasnya.

    Ia menekankan konsepsi konstitusi Indonesia sudah jelas bahwa dalam rangka mendorong terwujudnya kesejahteraan rakyat itu, demokrasi ekonomi adalah sistemnya.

    “Setiap orang harus diberikan peluang yang sama secara partisipatorik dalam proses produksi, distribusi maupun konsumsi,” katanya.

    Ia mengatakan kebijakan konkret yang harus dilakukan dan relevan untuk itu adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat agar mereka dapat mengakses sumber daya dan turut berpartisipasi dan diberikan peluang untuk mengkreasi kekayaan dan pendapatan.

    Program konkretnya adalah demokratisasi ekonomi yang di dalamnya mencakup reforma agraria, reforma korporasi, pengembangan koperasi yang otonom dan mandiri, dan lain sebagainya.

    Konsep demokrasi ekonomi itu adalah konsep yang anti terhadap kapitalisme dan juga varian barunya seperti Negara Kesejahteraan (welfare state). “Konstitusi kita dan juga para pendiri republik ini menginginkan adanya pembebasan terhadap sistem kapitalisme yang menindas dan ekploitatif,” jelasnya.

    Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar.

    Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015. Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

    Dengan selesainya permasalahan ganti rugi itu, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dapat segera bekerja untuk mencegah meluasnya dampak di luar peta terdampak.

    Bayu Hermawan

    Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/19/ngu8ob-pengamat-dana-talangan-kasus-lapindo-inkostitusonal

  • Jokowi Talangi Lapindo, dari Mana Dananya?

    TEMPO.CO, Surabaya – Presiden Joko Widodo menyetujui pembayaran sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo di 20 persen lahan yang masuk area peta terdampak. “Pak Presiden membicarakan solusi soal penanganan itu, dan pemerintah membelinya. Itu artinya pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk pembelian lahan dari peta terdampak ini,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo dalam rilis yang dikeluarkan Biro Protokol dan Humas Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Jumat, 19 Desember 2014.

    Pemerintah akan menalangi dengan cara memberikan ganti rugi kepada para korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015. Selain itu, pemerintah akan memberikan tenggang waktu empat tahun kepada PT Minarak Lapindo Brantas untuk melunasi dana talangan yang dikeluarkan pemerintah.

    Pemerintah akan mengambil aset milik PT Minarak berupa tanah dalam area peta terdampak jika tidak bisa mengembalikan talangan itu. “Dengan demikian, diharapkan masyarakat di area peta terdampak Porong memberikan keleluasaan kepada BPLS untuk melakukan pembenahan terhadap tanggul, karena itu menyangkut hal yang sangat penting,” ujar Soekarwo.

    Soekarwo menyatakan, pada musim hujan, lumpur Lapindo dikhawatirkan akan meluber dan membuat tanggul penahan jebol, sehingga membahayakan masyarakat. “Pemerintah Provinsi Jatim dan Kabupaten Sidoarjo menyampaikan terima kasih kepada Presiden karena telah mengambil keputusan penting demi kepentingan masyarakat Porong.”

    Pertemuan itu dihadiri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Sosial Khofifah, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Soelarso, dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.

    Lapindo berkewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 781 miliar kepada warga dan Rp 500 miliar kepada pengusaha. Namun perusahaan itu menyatakan tak sanggup membayar.

    Kementerian PU bersama BPLS, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta Pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan membicarakan masalah ganti rugi itu. Rapat itu merekomendasikan pemerintah akan menalangi sisa pembayaran ganti rugi Lapindo sebesar Rp 781 miliar dengan menggunakan APBN. Keputusan itu dilakukan saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/19/078629689/Jokowi-Talangi-Lapindo-Dari-Mana-Dananya?

  • In surprise move, govt bankrolls Bakries in Lapindo disaster

    The government has finally agreed to go another extra mile to bail out the powerful Bakrie family to settle the remaining compensation for victims of the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java.

    Public Works and Housing Minister Basuki Hadimuljono confirmed on Thursday that the government would provide a Rp 781 billion (US$62 million)-loan to PT Minarak Lapindo Jaya, a firm controlled by the family that is handling the disaster.

    “Lapindo said that it could not pay the compensation by buying the land [owned by the disaster victims]. So it was decided that the government would lend them to buy it,” said Basuki at the State Palace.

    “The company will be given four years to settle the loan, or we will seize their assets [land in the affected area].”

    Basuki, a career bureaucrat, explained that the loan would be taken from the strategic fund allocated in next year’s state budget.

    He said that he had already called Nirwan Bakrie, who represented the family in dealing with the disaster, and that the family had agreed to the loan settlement plan.

    The family’s scion, Aburizal Bakrie, who is also Golkar Party chairman, has enjoyed government assistance between 2007 and 2014 related to the Lapindo disaster, which many believe was caused by drilling conducted by Lapindo, the family’s firm, in 2006.

    Former president Susilo Bambang Yudhoyono’s administration allocated more than Rp 6 trillion to compensate villagers living in the vicinity of the so-called “affected area map”, which was legalized via a presidential decree in 2007.

    Yudhoyono established the Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) to handle and control the mud eruption, relocate people, recover infrastructure and supervise Lapindo in handling compensation for villagers in the affected area.

    Such generous financial protection for the Bakries was among the reasons Golkar helped the Yudhoyono government remain stable in the face of nationwide protests at the president’s generosity to the conglomerate.

    Golkar is now the second biggest party, after the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), which supports President Joko “Jokowi” Widodo. Jokowi and the PDI-P have been trying to lure Golkar to join their coalition and form a majority in the House of Representatives, but to no avail.

    Cabinet Secretary Andi Widjajanto said that the decision to award the loan was entirely based on the government’s commitment to help the victims, who had been left in limbo for eight years.

    He also said that the government had yet to mull any sanctions against Lapindo for its inability to pay the compensation.

    “The President has yet to consider [the sanctions] as the people have already been waiting for the compensation,” said Andi.

    A Constitutional Court ruling issued earlier this year ordered the government to force Lapindo to complete the compensation payments.

    Ina Parlina

    Sumber: http://thejakartapost.com/news/2014/12/19/in-surprise-move-govt-bankrolls-bakries-lapindo-disaster.html

  • Rekomendasi Penuntasan Permasalahan Lumpur Lapindo kepada Pemerintahan Baru

    Rekomendasi Penuntasan Permasalahan Lumpur Lapindo kepada Pemerintahan Baru

    Pemilu 2014 telah berakhir, pemerintahan baru telah terpilih. Selepas gegap gempita pesta demokrasi ini, ada sebuah pertanyaan yang ikut mengembang menyertainya. Korban Lapindo dan publik Indonesia secara luas sedang menunggu jawaban akankah perubahan pemerintahan membawa hawa segar bagi penyelesaian kasus Lapindo.

    Lebih dari delapan tahun lalu, di sudut Kabupaten Sidoarjo, tepatnya di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin dan Jabon) dan menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 12 desa. Namun, ternyata, tragedi ini bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Namun juga cerita hancurnya masa depan ratusan ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, dan bahkan lebih luas dari sekedar tiga kecamatan itu. Pertanyaan besarnya: Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kasus semburan lumpur Lapindo ini?

    Apakah Ini Semua Hanya tentang Ganti Rugi Tanah dan Bangunan Saja?

    Permasalahan yang paling rutin direpetisi media massa dan, oleh karena itu, jamak dipahami publik luas yang awam dengan kasus Lapindo adalah perihal penyelesaian ganti-rugi korban Lapindo. Yang kerap luput dari liputan media massa dan perhatian publik adalah fakta bahwa penggantian kerugian yang diderita korban telah direduksi menjadi sebatas “jual-beli” (tanah dan bangunan) antara warga-korban dengan Lapindo atau pemerintah. Penggunaan mekanisme “jual-beli” (tanah dan bangunan) sebagai model “ganti-rugi” bagi para korban justru memunculkan persoalan sosial baru karena pemerintah hanya memperhitungkan kerugian materiil dan mengabaikan hilangnya hak-hak korban yang lain pasca menyemburnya lumpur panas Lapindo.

    Terkait hilangnya hak korban Lapindo, ada begitu banyak kerugian yang harus mereka tanggung selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja, misalnya, terdapat sekitar 31.000 usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166.000 orang akibat kolapsnya beberapa perusahaan akibat terkena dampak luapan lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu, ribuan pekerja di sektor ekonomi in- dan non-formal, seperti: industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain, harus kehilangan pekerjaan mereka. Semua dikarenakan sarana dan prasarana telah hilang, tenggelam, atau telah rusak oleh lumpur. Menurut data Greenomics, pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun; sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2.000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh Hydrocarbon mencapai tingkat 8.000-220.000 kali lipat di atas ambang batas.

    Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di dua puskesmas di Porong dan Jabon. Di Puskesmas Jabon, data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong, dari rata-rata 20.000 kasus ISPA pada tahun 2006 melonjak menjadi 50.000 kasus pada tahun 2007.

    Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat dan hal ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga pada hilangnya keterikatan sosial-budaya antara warga-korban dengan sejarah leluhurnya di desa asal mereka. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang membuat keterikatan mereka tidak sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Apakah kita bisa menilai kerugian sosial-budaya dalam satuan mata uang mana pun?

    Dana Talangan: Siapa Membayar Apa?

    Dalam peringatan sewindu semburan lumpur Lapindo, 29 Mei 2014, yang juga bertepatan dengan masa kampanye presiden, Joko Widodo menyempatkan diri mampir ke pinggir tanggul di Porong untuk melakukan kontrak politik dengan korban Lapindo. Hanya saja, solusi yang ditawarkan Jokowi saat itu adalah menawarkan “dana talangan” dari pemerintah untuk melunasi pembayaran ganti-rugi bagi korban “dalam peta”. Artinya, pemerintah akan membayar (memberi talangan) sisa tanggungan yang belum dibayar Lapindo pada korban dan pemerintah akan menagih uang tersebut langsung ke Lapindo. Seperti banyak kritik yang disampaikan sebelumnya, dana talangan bukanlah solusi yang menyeluruh untuk menyelesaikan kasus Lapindo. Selain dana talangan hanyalah solusi bagi salah satu kelompok korban, solusi semacam itu berarti mengabaikan status bencana sebagai “bencana industri”, yang mewajibkan perusahaan (Lapindo Brantas) untuk menanggung segala kerugian yang ditimbulkan dari ulahnya. Apakah parsialitas semacam ini yang akan dipilih oleh pemerintahan Joko Widodo dalam menangani kasus Lapindo?

    Persoalan seberapa banyak korban Lapindo yang belum dituntaskan ganti ruginya tentu adalah hal pertama yang harus dipastikan jika pemerintahan yang baru hendak memakai opsi dana talangan dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Harus diketahui secara pasti pembayaran yang telah dilakukan dan detail kekurangannya. Selayaknya dilakukan audit untuk menjamin tidak terjadinya kekeliruan.

    Problem pertama yang harus dihadapi dari usaha membaca kompleksitas penghitungan berapa banyak korban yang belum diselesaikan ganti ruginya oleh Lapindo adalah soal adanya beragam opsi yang dimunculkan Lapindo untuk menyelesaikan ganti rugi pada korban. Kompleksitas ini sendiri berakar dari ketidaktepatan Lapindo dalam membayarkan sisa 80 persen pada korban, yang seharusnya dibayarkan paling lambat dua tahun setelah pembayaran uang muka 20 persen. Alih-alih berinisiatif membayar kekurangan itu secara tunai sekaligus, Lapindo menawarkan dua alternatif “pembayaran”: Opsi pertama, Lapindo menawarkan “barter” dengan rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV), yang dikelola oleh perusahaan properti yang masih di bawah payung Bakrieland. Mekanisme ganti-rugi yang direduksi sebatas “jual-beli” (tanah dan bangunan) oleh pemerintah memudahkan Lapindo untuk mempermainkan korban yang tidak memiliki sertifikat tanah dan bangunan dan memaksa mereka untuk memilih opsi “cash and resettlement” ke KNV. Opsi kedua, bagi korban yang bersikeras untuk memilih dibayar tunai, Lapindo menerapkan sistem pembayaran dengan mekanisme cicilan bulanan tanpa bunga. Korban dalam kelompok “cash and carry” inilah yang kerap menjadi sorotan media massa dan pejabat publik, seolah-olah tuntasnya pembayaran berarti pula tuntasnya permasalahan sosial-ekonomi yang diderita korban.

    Di luar mekanisme “cash and resettlement” dan cicilan kepada kelompok “cash and carry”, masih ada kelompok lain yang menuntut penyelesaian dengan opsi berbeda. Terkait cicilan, misalnya, masih ada kelompok warga yang bersikukuh untuk menuntut pembayaran 80% untuk mereka diberikan secara tunai, bukan dalam bentuk cicilan. Selain itu, bahkan masih ada kelompok korban Lapindo yang sampai sekarang masih menolak mekanisme jual beli sebagaimana dilakukan oleh Lapindo berlandaskan Perpres 14/2007. Masih ada juga model penyelesaian “B-to-B” yang lebih tidak jelas pelaksanaannya karena mendasarkan pada kesepakatan antara perusahaan dan pemilik aset tanah dan bangunan, tanpa memperhitungkan modal usaha dan nasib tenaga kerja dari perusahaan tersebut.

    Berdasarkan pemberitaan media massa, kita mendapatkan informasi bahwa Lapindo masih memiliki tanggungan pembayaran ganti-rugi dengan total sekitar 800 milyar. Nilai itu adalah jumlah uang yang masih harus dibayarkan pada kelompok korban “cash and carry”. Desakan yang menguat saat ini adalah agar pemerintah membayar sisa tersebut dulu pada korban dan menagih uang tersebut langsung ke Lapindo, melalui mekanisme “dana talangan”. Desakan publik semacam itu sudah muncul sejak lama, khususnya ketika Lapindo mulai menunjukkan gelagat untuk menghindari tanggung jawab membayar sisa 80 persen pada korban. Desakan itu semakin riil pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan tuntutan korban Lapindo yang meminta pemerintah untuk tidak memberlakukan pembedaan antara korban “dalam peta” dan korban “luar peta” karena mereka adalah sama-sama warganegara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai korban luapan lumpur Lapindo. Dari media massa juga kita mendapatkan informasi bahwa Lapindo tidak akan sanggup melunasi sisa pembayaran 800 milyar itu sampai akhir pemerintahan SBY ini. Artinya, pelunasan ganti-rugi pada korban “dalam peta” akan menjadi beban bagi pemerintahan Jokowi untuk mendesak Lapindo membayarkannya.

    Persoalannya, apakah tanggung jawab Lapindo adalah memang tinggal 800 milyar itu? Sekalipun banyak kritik, mekanisme ganti-rugi korban Lapindo yang direduksi menjadi “jual-beli” tanah dan bangunan mempermudah kita untuk menghitung sisa tanggung jawab Lapindo pada korban. Mekanisme semacam ini berarti bahwa korban akan mendapatkan ganti-rugi senilai dengan nilai tanah dan bangunan mereka. Seperti dibahas dalam paragraf sebelumnya, Lapindo menerapkan dua opsi untuk mengganti kerugian para korban. Selain opsi pembayaran tunai (cash and carry), yang masih tersisa 800 milyar itu, Lapindo juga memberlakukan opsi barter (cash and resettlement), mengganti aset korban dengan rumah dan bangunan baru di KNV. Hingga kini, persoalan ganti-rugi hanya terfokus pada korban “cash and carry”, padahal korban “cash and resettlement” pun memiliki permasalahannya yang tak kalah rumitnya. Sampai saat ini, sebagian besar korban yang tinggal di KNV belum mendapatkan sertifikat hak milik/guna atas tanah dan bangunan baru mereka itu. Dalam laporannya, Lapindo menyatakan bahwa begitu korban sudah mendapatkan rumah baru di KNV berarti pula Lapindo sudah menyelesaikan tanggung jawab pembayaran ganti-rugi pada korban tersebut. Padahal, menurut korban “cash and resettlement”, selama sertifikat belum diterima persoalan ganti-rugi belumlah sepenuhnya tuntas dan Lapindo masih berhutang pada mereka. Artinya, tanggung jawab Lapindo saat ini jauh lebih besar daripada nilai 800 milyar yang kerap dilontarkan di media massa karena perusahaan belum menyelesaikan tanggung jawab sertifikasi tanah dan bangunan KNV bagi para korban “cash and resettlement”.

    Rekomendasi-Rekomendasi untuk Penuntasan Kasus Lapindo

    Untuk menjawab begitu kompleksnya permasalahan penyelesaian kasus lumpur Lapindo ini, kiranya memang diperlukan sebuah peta jalan yang bukan sekedar dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian materiil yang harus ditanggung korban Lapindo, namun juga menuntaskan segenap problem kehilangan hak yang hingga kini belum dirasakan oleh korban Lapindo. Dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi korban Lapindo, pemerintah harus berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, korban lapindo adalah pengungsi internal (internally displaced persons atau IDPs) yang membutuhkan jaminan atas terselenggaranya kebutuhan sesuai dengan kondisi mereka meliputi hak untuk hidup (Pasal 19), hak memperoleh pendidikan (Pasal 12), kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 22), kebebasan bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah RI (Pasal 27), hak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya (Pasal 29), kebebasan dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa (Pasal 33), hak untuk tidak ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atu dibuang secara sewenang-wenang (Pasal 34), hak untuk mempunyai milik dan tidak dirampas hak miliknya (Pasal 36), dan hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya (Pasal 65).

    Kasus Lapindo telah dan akan menjadi uji kasus bagi pemerintah perihal supremasi negara. Untuk itu, permasalahan yang paling krusial bagi penyelesaian kasus Lapindo bukanlah sekadar memberikan kompensasi yang setimpal pada korban, namun bagaimana mengembalikan supremasi negara di hadapan warganegaranya. Untuk itu, kami merekomendasikan pemerintahan yang baru untuk secara komprehensif memperhatikan persoalan-persoalan berikut ini sebagai bagian dari usaha pemulihan hak-hak korban Lapindo:

    1. Mengambil Alih Sisa Pembayaran Ganti-Rugi Korban untuk Kemudian Ditagihkan Kembali pada Lapindo.

    Untuk mengembalikan supremasi negara dalam kasus Lapindo, pemerintahan Joko Widodo harus secepatnya bisa menjamin pemenuhan hak para korban Lapindo. Mekanisme tercepat yang bisa dilakukan adalah skema pengambilalihan kewajiban pembayaran yang hingga sekarang masih belum diselesaikan oleh Lapindo kepada para korban. Seperti telah dijabarkan sebelumnya, proses pemenuhan ganti rugi melalui skema ini bukan hanya sekadar membayar berkas-berkas surat tanah dan bangunan warga yang belum selesai pembayarannya oleh Lapindo, namun harus dilakukan pemetaan kelompok-kelompok korban Lapindo dan berbagai opsi yang telah diambil sebelumnya. Penuntasan pembayaran ganti-rugi harus secara menyeluruh menyentuh semua korban yang sebelumnya menjadi tanggungan Lapindo untuk diselesaikan. Artinya, korban-korban yang ada dalam skema “cash and carry” dengan cicilan, “cash and resettlement”, yang menolak cicilan, maupun yang menuntut skema lain selain jual beli harus segera dituntaskan demi keadilan bagi semua korban Lapindo.

    Persoalan lain yang harus juga dipikirkan dalam proses pemberian dana talangan untuk menyelesaikan pembayaran kepada korban Lapindo adalah mekanisme penagihan kembali seluruh dana talangan yang telah dikeluarkan tersebut. Proses penghitungan hutang Lapindo yang belum terselesaikan harus dilakukan dengan proses yang transparan dan akuntabel. Jumlah biaya yang harus ditagihkan kepada Lapindo nantinya harus benar-benar dihitung cermat agar tidak semakin membebani keuangan negara yang diambil melalui APBN. Pemerintah, melalui jalur hukum, juga harus menagih segala biaya yang dikeluarkan untuk mitigasi bencana lumpur Lapindo (termasuk relokasi infrastruktur transportasi) pada Lapindo.

    Belajar dari proses dana talangan yang pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, sebagaimana kasus Bank Century, pengucuran dana talangan oleh pemerintah untuk mengambil alih pembayaran terhadap aset tanah dan bangunan warga harus diawasi secara ketat. Penggunaan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, harus dioptimalkan untuk menjaga penggunaan dana talangan dari kemungkinan penyelewengan anggaran. Untuk memastikan bahwa dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah bisa ditagihkan kembali kepada Lapindo, pemerintah harus mengajukan gugatan hukum kepada Lapindo atas kegagalannya menjalankan perintah Perpres 14/2007. Gugatan ini harus mampu memaksa Lapindo menyepakati skema dana talangan yang bisa ditagihkan kembali, sebelum pemerintah benar-benar menurunkan dana talangan.

    Selain itu, peralihan hak atas tanah yang terjadi akibat luapan lumpur Lapindo, melalui mekanisme jual-beli, merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan umum (extraordinary). Bahkan, praktik jual-beli semacam itu melampaui peraturan tentang agraria yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya, peralihan hak atas tanah harus dikontrol dengan ketat agar tidak memunculkan konflik pertanahan baru.

    2. Pemulihan Lingkungan dan Jaminan Kesehatan

    Mengingat usaha menutup semburan lumpur bukanlah prioritas dalam mitigasi bencana lumpur Lapindo saat ini, pengendalian luapan lumpur di permukaan merupakan yang utama saat ini. Pembuangan lumpur melalui Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya mencemari sistem air bawah tanah di sekitar semburan sampai Selat Madura. Selama ini, pejabat pemerintah, khususnya BPLS, menyatakan bahwa lumpur tidak mengandung zat berbahaya dan oleh karenanya pembuangan lumpur ke Selat Madura tidak berbahaya bagi keanekaragaman hayati di wilayah itu, akan tetapi berdasarkan pantauan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo semenjak lumpur dibuang ke Selat Madura, produksi udang di Sidoarjo menurun drastis. Berdasarkan beberapa riset ilmiah yang dilakukan secara independen, kita dapat mengetahui besarnya kandungan logam berat yang ada dalam lumpur Lapindo, sesuatu yang hinga kini masih diingkari oleh pemerintah. Ini berarti wilayah yang terdampak lumpur Lapindo jauh lebih luas dibandingkan “peta area” yang dirilis oleh pemerintah.

    Pembangunan tanggul lumpur dan usaha relokasi infrastruktur transportasi (jalan raya, jalan tol, kereta api) telah mempengaruhi jaring-jaring ekologi yang lebih luas. Kebutuhan lahan kosong untuk wilayah Porong dan sekitarnya meningkat tajam mengakibatkan lebih banyak lagi peralihan hak atas tanah dan bangunan di wilayah lain. Situasi semacam ini mendongkrak harga tanah di Porong dan sekitarnya. Kebutuhan material pembangunan (seperti sirtu) telah menggerus bukit-bukit di Ngoro, Mojokerto dan di Rembang, Pasuruan.

    Dampak ekologis kasus Lapindo telah merambah luas memengaruhi berbagai lanskap dan ekosistem. Karena itu dibutuhkan sebuah usaha pemulihan yang luar biasa untuk mengembalikan kualitas lingkungan yang ada. Pengelolaan air lumpur sebelum dibuang ke Kali Porong mutlak dilakukan untuk menghentikan kerusakan yang sekarang semakin membesar hingga selat Madura. Selain itu, riset yang terbuka dan adil harus dilakukan untuk melihat sejauh mana dampak kerusakan ekologis akibat semburan lumpur panas telah terjadi secara aktual hingga hari ini. Dan yang tak kalah pentingnya, sejauh masih dimungkinkan, penghentian semburan lumpur Lapindo harus kembali menjadi prioritas untuk dikerjakan oleh pemerintahan yang baru.

    Degradasi kualitas lingkungan tak urung juga menyebabkan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat yang ada. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, hasil penelitian dan rekam tren penyakit di beberapa puskesmas di sekitar semburan lumpur Lapindo menunjukkan adanya peningkatan dampak kesehatan yang serius di masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tentu membutuhkan perlindungan dan jaminan terhadap ancaman pengaruh lumpur Lapindo terhadap kesehatan mereka. Rencana “Kartu Indonesia Sehat” yang berpadu padan dengan BPJS Kesehatan dapat dipakai sebagai solusi penuntasan kebutuhan jaminan kesehatan bagi korban Lapindo. Namun, mengingat betapa susahnya korban Lapindo sekarang mengakses layanan kesehatan yang ada, pemerintahan baru harus menjamin bahwa korban Lapindo bisa mendapatkan prioritas jaminan kesehatan tersebut, mengingat kondisi lingkungannya yang semakin memburuk. Kepastian jaminan kesehatan bagi korban Lapindo adalah awal yang baik dari usaha pemenuhan hak atas korban Lapindo secara keseluruhan.

    3. Jaminan Pendidikan

    Hingga saat ini dari sekitar 63 institusi pendidikan yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo, belum ada satupun yang ditangani oleh pemerintah. Beberapa sekolah akhirnya harus menjalankan kegiatan belajar mengajarnya di tempat dan kondisi yang tidak ideal (ruko, rumah warga, bekas bangunan lain, dll) Sementara persoalan ekonomi akibat luapan lumpur lapindo yang mendera para orangtua murid, mau tidak mau juga berdampak kepada para murid, sementara biaya sekolah tetap tinggi, sedang beban ekonomi keluarga meningkat. Tiap bulan, pelajar SD dan SMP masih membutuhkan biaya pendidikan (buku, seragam dan uang ujian) setidaknya Rp 67.000 per bulan, sementara pelajar SMA membutuhkan sekitar Rp 166.000 per bulan. Rencana penggunaan “Kartu Indonesia Pintar” oleh pemerintahan Joko Widodo diharapkan bisa menjadi salah satu solusi penanganan masalah ini. Prioritas utama adalah memastikan semua anak-anak korban Lapindo dapat terus mengenyam pendidikan dalam kondisi lingkungan pendidikan yang nyaman dan mendukung kegiatan belajar mengajar.

    4. Pemulihan Sosial-Budaya

    Pemulihan permasalahan sosial-budaya yang lahir menyusul pemindahan paksa korban dari kampung halaman mereka yang terendam lumpur ke hunian baru, baik yang dilakukan secara kolektif maupun individual, kerap luput dari perhatian publik dan media massa. Melepaskan diri dari lingkungan lama dan melekatkan diri ke lingkungan baru, apalagi bila dilakukan dengan paksaan akan menambah beban bagi pemulihan krisis sosial, ekonomi, psikologis, dan budaya para korban. Pemerintah mengandaikan kompleksitas semacam itu akan selesai secara sendirinya begitu korban menerima uang ganti-rugi. Namun, tidak semua krisis tersebut dapat digantikan dengan uang. Sampai saat ini, kajian tentang krisis semacam ini masih sangat minim karena perhatian publik lebih terfokus pada perihal ganti-rugi dan penanganan lumpur.

    Pemerintahan yang baru harus bisa memastikan adanya perencanaan dan pendampingan (asistensi) bagi para korban Lapindo dalam menata kehidupan dan lingkungannya yang baru. Asistensi bagi korban Lapindo di tempat baru dibutuhkan untuk membantu adaptasi sosial mereka dengan lingkungan sosial yang baru. Tugas dan kewenangan BPLS (atau badan lain yang akan ditunjuk oleh pemerintah) harus juga mencakup kebutuhan pemulihan sosial-budaya ini, sehingga pemulihan seutuhnya terhadap kehidupan korban lumpur Lapindo dapat dilakukan.

    5. Pemulihan Ekonomi

    Seperti telah dicatat sebelumnya, di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, dulu berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Pasca-semburan lumpur Lapindo usaha-usaha ini memilih memindahkan lokasinya ke tempat lain atau harus gulung tikar. Akibatnya, masyarakat yang dulu hidup dan bekerja dari usaha-usaha ini harus kehilangan pekerjaan pula. Tidak banyak dari para korban yang bisa pindah ke pabrik atau tempat usaha lain karena kebanyakan sudah berumur, sementara pabrik biasanya hanya menerima pekerja baru yang masih muda. Selain itu, hilangnya mata pencaharian bagi ribuan pekerja di sektor in- dan non-formal juga perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintahan mendatang.

    Selain itu, hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat di kampung dibangun berdasarkan kohesi sosial. Ikatan sosial antar warga masyarakat yang dijalin sejak lama merupakan modal bagi pelanggan atau pengguna jasa untuk bisa saling terhubung. Ketika berpindah ke tempat barunya, tidak serta-merta warga-korban bisa membangun kegiatan ekonominya kembali karena mereka tidak punya ikatan sosial yang baik dengan masyarakat di tempat yang baru, padahal menjalin ikatan sosial tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah. Mereka yang dahulunya mempunyai toko, misalnya, harus berjuang untuk mendapatkan pelanggan baru, sehingga membuka usaha di tempat baru tidak otomatis dapat menggaet pelanggan baru. Hal yang sama berlaku pada mereka yang berprofesi sebagai para tukang dan buruh sawah.

    Pemulihan ekonomi yang harus dilakukan pemerintahan yang baru harus bisa mengkoneksikan antara dampak kehancuran struktur sosial ini dengan permasalahan ekonomi. Usaha pemulihan ekonomi korban Lapindo tidak cukup hanya dengan mengadakan berbagai pelatihan yang kemudian dibayangkan bahwa hasil pelatihan tersebut akan mendukung pemenuhan kebutuhan ekonomi korban Lapindo. Pemulihan ekonomi korban Lapindo harus berbasis pada keterampilan dasar yang sebelumnya telah dimiliki oleh para korban, sehingga, misalnya, mereka yang sebelumnya adalah petani tidak dipaksakan untuk belajar menjahit.

    6. Administrasi Kependudukan

    Berkaca dari tidak adanya DPT khusus bagi korban Lapindo pada Pemilu 2014, maupun tidak adanya data warga dari desa-desa dalam Peta Area Terdampak pada PPLS 2014 lalu, kita perlu mendesakkan pada pemerintah bahwa administrasi kependudukan merupakan salah satu problem utama yang menyebabkan tidak bisa tuntasnya pemenuhan hak-hak korban Lapindo. Jaminan pemenuhan-pemenuhan hak korban Lapindo sebagai warganegara dan sebagai manusia, a.l., hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas hunian yang layak, hak atas pekerjaan hanya bisa terpenuhi bila hak hak sipil-politik para korban Lapindo itu sudah terpenuhi terlebih dulu. Pendataan korban Lapindo, sekalipun sebenarnya sudah terlambat, adalah sebuah kegiatan yang sangat mendesak untuk dilakukan.

    Oleh karena itu, pemerintah, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat, perlu lebih proaktif untuk melakukan pendataan korban Lapindo dari data lama di desa asal, dan kepindahan mereka ke tempat-tempat baru. Data korban ini akan menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban Lapindo agar pulih dari krisis.

    Rekomendasi ini disusun pada Diskusi Membahas Peta Jalan Penyelesaian Lumpur Lapindo di Sekretariat WALHI Jawa Timur – Surabaya, atas kerjasama WALHI Jawa Timur dengan Seknas Jokowi Surabaya pada 11 September 2014, yang dihadiri oleh:

    Abdul Rochim, korban Lapindo asal Desa Besuki; Komunitas Jimpitan Sehat

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, UniversitasBrawijaya, Malang (Riset “Peran Media dalam Konstruksi Kasus Lapindo” dan “Dampak Sosial-Budaya Kasus Lapindo”)

    Akhmad Novik, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (aktif di WALHI)

    Arief Juniawan, mahasiswa UPN Veteran

    Catur Nusantara, koordinator Posko Informasi Korban Lapindo, Porong; Badan Pengurus JATAM (Riset “Dampak Lingkungan dan Dampak Kesehatan Korban Lapindo”)

    Dwi, korban Lapindo asal Desa Siring (Komunitas Arrohmah)

    Dandik Katjasungkana, Kontras; Seknas Jokowi

    Dian Noeswantari, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Riset “HAM berperspektif Gender untuk Kasus Lapindo” dan Monev “Hak Ekosob untuk Korban Lapindo”)

    Eko Widodo, korban Lapindo asal Besuki (aktif di WALHI)

    Fatkhul Khoir, Kontras Surabaya

    Rengga, Kontras Surabaya

    Gusti M Khoirul Akbar, mahasiswa Universitas Brawijaya

    Harwati, korban Lapindo asal Desa Siring (Komunitas Arrohmah)

    Imam Khoiri, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (Komunitas Arrohmah)

    Irsyad, korban Lapindo asal Desa Besuki (Sanggar Alfaz)

    Misbachul Munir, KNTI; Seknas Jokowi Surabaya

    Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jatim

    Rere Christanto, korban Lapindo asal Desa Renokenongo (aktif di WALHI)

    Petrus M Riski, jurnalis

    Saropah, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (Komunitas Arrohmah)

    Diana AV Sasa, D’Buku; Seknas Jokowi Surabaya

    Soebagyo, pengacara, drafter gugatan WALHI dalam kasus Lapindo, dan anggota tim Komnas HAM dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat kasus Lapindo.

  • Kejanggalan Penanganan Lumpur Lapindo

    Kejanggalan Penanganan Lumpur Lapindo

    suarasurabaya.net – Mursid Mudiantoro, kuasa hukum korban Lapindo menduga ada permainan kebijakan di balik tak kunjung lunasnya ganti rugi bagi korban lumpur yang ada di dalam peta terdampak. Permainan ini, kata Mursid bisa diketahui dengan tidak dilaksanakannya surat Sri Mulyani, Menteri Keuangan bernomor S-358/MK.02/2009 tertanggal 16 Juni 2009.

    “Ada surat Sri Mulyani, yang ternyata berbeda dengan yang dilaksanakan BPLS,” kata Mursid ketika berbincang dengansuarasurabaya.net, Rabu (11/12/2013).

    Setelah surat dari Sri Mulyani yang ditujukan pada DPR RI dan BPLS itu, BPLS lantas mengirimkan surat terkait perubahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang BPLS.

    Menurut Mursid, surat dari BPLS tertanggal 23 September 2009 ternyata berbeda dengan surat dari Sri Mulyani.

    Dalam surat Sri Mulyani, ditegaskan jika negara bisa memberikan dana talangan untuk pemberian ganti rugi bagi aset tanah dan rumah warga korban lumpur. Sedangkan untuk penanganan semburan yaitu membuat tanggul dan mengalirkan lumpur ke Sungai Porong harusnya ditanggung oleh Lapindo.

    “Tapi dalam suratnya, BPLS malah membalik dan minta penanganan pengaliran semburan lumpur diambil alih negara. Sedangkan pemberian ganti rugi tetap dibebankan pada Lapindo,” kata Mursid.

    Dengan adanya surat ini, presiden lantas mengeluarkan Perpres perubahan ke-tiga terkait BPLS, yaitu Perpres tahun 2009.

    Adanya kejanggalan ini, kata Mursid, juga telah dia ungkap dalam persidangan lanjutan uji materi terkait ganti rugi di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (10/12/2013) kemarin.

    Bahkan dalam persidangan kemarin, surat dari Sri Mulyani dan dari BPLS ini juga telah diminta untuk dijadikan sebagai barang bukti tambahan.

    Mursid berharap, dengan adanya bukti tambahan ini, korban lumpur bisa memenangkan uji materi sehingga proses pemberian ganti rugi segera bisa diambil alih oleh pemerintah.

    Sekadar diketahui, saat ini korban Lapindo yang berada di dalam peta terdampak mengajukan uji materi terhadap Undang-undang nomor 15 tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 19 tahun 2012 tentang APBN khususnya pasal 9 ayait 1 huruf a tentang anggaran ganti rugi untuk korban lumpur.

    Gugatan di MK ini dimaksudkan untuk meminta keadilan sehingga warga yang berada di dalam peta terdampak yaitu warga Siring, Renokenongo, Jatirejo, dan Kedunggbendo segera mendapatkan proses pelunasan ganti rugi dan diambilkan dari dana APBN bukan lagi dari Lapindo.

    Sidang lanjutan sendiri akan digelar pada 17 Desember 2013 mendatang dengan agenda kesimpulan. (fik/ipg)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/128133-Kejanggalan-Penanganan-Lumpur-Lapindo