Tag: kasus Lapindo

  • “Rakyat Berdaya, Meski Negara Alpa”

    “Rakyat Berdaya, Meski Negara Alpa”

    Rilis Media | 9 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    Sembilan tahun lalu, di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin dan Jabon. Lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa. Bencana industri ini ternyata bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Ia menceritakan pengabaian negara terhadap kehidupan berpuluh ribu warga di Porong, Tanggulangin, dan Jabon.

    Negara Alpa di Tengah Bencana

    Ada begitu banyak kerugian yang harus ditanggung korban Lapindo selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja misalnya, sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, dulu berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI dan beberapa peneliti menemukan kandungan logam berat di tanah dan air pada area sekitar lumpur Lapindo. Pada tahun 2011, Jatam memeriksa kesehatan korban Lapindo yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan, Dalam pemeriksaan haematologi lengkap, 75% dari dua puluh terperiksa ternyata dalam kondisi tidak normal. Yang terbaru pada 2013, Tarzan Purnomo, seorang peneliti dari Unesa, bahkan menemukan kandungan logam berat Timbal pada tubuh ikan ribuan kali diatas ambang batas aman.

    Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 33 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Hampir seluruh persoalan ini tidak pernah menjadi perhatian utama pemerintah dalam usahanya untuk memulihkan kehidupan korban Lapindo. Jangankan mau memikirkan skema pemenuhan hak korban Lapindo, data sahih tentang berapa jumlah korban Lapindo saja tidak pernah didata dengan baik. Selama ini baik Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun Lapindo hanya memakai acuan berkas kepemilikan lahan. Berapa berkas yang sudah terbayar dan berapa yang belum. Persoalan ekonomi korban lumpur yang berantakan, kualitas kesehatan yang memburuk, layanan administrasi yang memadai untuk mereka, dan kualitas lingkungan  yang memburuk sama sekali tidak masuk skema BPLS dan Lapindo. Logika penanganan kasus Lapindo ini sudah sesat sejak awal. Hanya dibatasi persoalan hilangnya aset tanah dan bangunan.

    Kami Tidak Diam

    © 2015, Rahman Seblat
    © 2015, Rahman Seblat

    Telah menjadi anggapan umum bahwa warga terdampak lumpur Lapindo adalah korban tak berdaya yang selalu menunggu uluran tangan pemerintah untuk bisa keluar dari kondisinya selama ini. Berlarut-larutnya proses penanganan korban, terutama mereka yang ada dalam skema pembayaran PT Minarak Lapindo Jaya, semakin menguhkan pandangan umum akan hal ini.

    Kelompok Perempuan Korban Lapindo, Ar-Rohma merasa pemerintah sama sekali tidak memberikan mereka jaminan apapun di tengah kondisi yang semburan lumpur Lapindo yang telah merusak hidup mereka. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur lapindo yang tidak pernah menjadi perhatian pengurus publik negeri ini, perempuan-perempuan korban lapindo ini bergerak untuk menuntut jaminan atas kehidupan mereka. “Kami bukan sekedar memperjuangkan hak pada sektor kesehatan saja, namun kami juga memperjuangkan hak atas pendidikan anak-anak kami yang telah terpinggirkan, jaminan perlindungan sosial-ekonomi, serta persoalan administrasi kependudukan yang menjadi pangkal hilangnya hak-hak korban Lapindo,” tutur Harwati (39), koordinator Ar-Rohma.

    Selama ini warga terdampak lumpur Lapindo tetap teguh memperjuangkan hak-hak mereka meskipun tanpa bantuan negara di antara isu “mainstream” ganti rugi yang nampak di permukaan. Pemenuhan ganti rugi yang tak kunjung selesai memang telah memperburuk korban Lapindo untuk mulai memulihkan hidup mereka. Namun korban Lapindo tetap berusaha untuk selamat dengan memperjuangkan pemulihan hidup dengan cara mereka.

    Komunitas Alfaz menerbitkan kumpulan cerita dan puisi berjudul “Lumpur Masih Menggila, Dengarkan Anak-Anak Bercerita” pada 2012. Buku ini merupakan media yang memberi kesempatan anak-anak bertutur tentang apa yang mereka lihat dan rasakan pada dunianya yang tengah terancam oleh semburan lumpur Lapindo. Alfaz yang didirikan sebagai usaha untuk menciptakan ruang bermain dan belajar anak untuk membantu menjawab kebutuhan psikologis anak-anak terdampak lumpur Lapindo yang harus menghadapi kondisi penuh kecemasan dan ketidakpastian akibat lumpur lapindo. “Ruang bermain dan belajar anak di sekitar semburan Lapindo telah hilang terkubur lumpur, kenyamanan dan keriangan yang harusnya bisa didapat anak-anak pun turut terkubur di dalamnya. Karena itulah, usaha untuk mencoba membangkitkan kembali dunia bermain anak yang hilang tersebut perlu untuk dimunculkan, Sanggar anak Alfaz adalah ruang dimana anak-anak korban lumpur Lapindo terutama di desa Besuki, sebelumnya, sebelum pindah ke Desa pangreh, Kecamatan Jabon dapat mempunyai ruang bermain dan belajar bersam,” tutur Abdul Rokhim (48), pengasuh Alfaz.

    Beberapa puisi yang ditulis dibacakan dalam prosesi “Pulang Kampung” di tanggul Lumpur Lapindo titik 21 pada 29 Mei 2015.

    Rakyat Berdaya Meminta Negara Ada

    Peran pengurus negara sampai sejauh ini dalam menentukan skema penyelesaian lumpur Lapindo hanya sebatas pada persoalan ganti rugi dan melupakan tanggung jawab pemulihan hilangnya hak dasar warga. Rusaknya sarana pendidikan dan akses mendapatkan pendidikan layak yang sulit didapat anak-anak korban Lapindo tidak pernah coba diatasi secara khusus. Kualitas kesehatan yang menurun tidak diimbangi dengan melakukan monitoring kesehatan warga dan pertanggungan khusus. Lebih-lebih soal lingkungan yang memburuk, tidak ada upaya mengatasi melalui monitoring ataupun pengelolaan khusus.

    Pengurus Negara justru berperan memperburuk terpenuhinya hak dasar warga. Sebelumnya di masa pemerintahan SBY, model penanganan kasus lapindo oleh pemerintah lebih mengedepankan pemulihan ekonomi regional dan lebih melihat melihat dampak lumpur Lapindo terhadap infrastruktur. Ini bisa dilihat dari struktur personel BPLS dan juga anggarannya yang lebih fokus pada pemulihan infrastruktur, tidak ada upaya untuk memulihan hak dasar korban Lapindo.

    Penyelesaian dampak lumpur pada warga di luar Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 juga menggunakan skema ganti rugi tanah dan bangunan.

    Presiden Jokowi seharusnya tidak memandang persoalan lumpur Lapindo sebagai persoalan sederhana dan bisa diselesaikan tuntas dengan menalangi pembayaran ganti rugi. Sejumlah pekerjaan pemulihan dan upaya mitigasi perlu dilakukan. Memantau persebaran lumpur dan dampaknya perlu dilakukan terus menerus dan diimbangi upaya pemulihan lingkungan dan monitoring kesehatan warga. Jaminan khusus untuk pendidikan anak-anak korban Lapindo wajib dilakukan. Demikian juga peran untuk memfasilitasi inisiasi aktivitas ekonomi baru untuk percepatan pemulihan ekonomi keluarga.

    Kelompok perempuan korban Lapindo, ArRohma bersama Paguyuban Ojek dan Portal Titik 21, dan Komunitas AlFaz  melakukan Festival Pulang Kampung. Patung raksasa (ogoh-ogoh) Bakrie setinggi lima meter diarak dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju tanggul di titik 21 Jalan Desa Reno. Tangan sosok Bakrie ini diikat rantai, diarak, lalu dipasak di kawasan lumpur Lapindo. Ratusan korban Lapindo berjalan pelan menuju tanggul titik 21 diiring patrol yang dimainkan anggota AlFaz.

    Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggambarkan betapa ada ikatan kuat antara korban Lapindo dengan kawasan yang kini telah terendam lumpur. Tanah kubur orang tua moyang mereka terkubur di wilayah ini. “Kami tak mungkin melupakan desa-desa di sini, sampai kapanpun kami akan ingat,” ujar Harwati(39). Ia mengkoordinir ratusan korban Lapindo dalam peringatan 9 tahun Lumpur Lapindo.

    Harwati berharap masyarakat Indonesia mengingat kejadian lumpur Lapindo dan mendorong pemerintah untuk menyelesaikan krisis yang diakibatkan lumpur Lapindo. Pemulihan ekonomi merupakan agenda penting dilakukan dengan memprioritaskan pemenuhan hak dasar.

    Ia berharap desa-desa yang terendam lumpur Lapindo tidak dihapuskan secara administrasi. Sebagai bagian kenangan dan sejarah korban Lapindo, agaknya sulit bagi mereka untuk menerima rencana-rencana penghapusan desa seperti yang diusulkan DPRD Sidoarjo. Apalagi sampai saat ini mereka tercatat sebagai warga desa-desa yang terendam ini, meski secara fisik, tidak bisa lagi dikatakan ada permukiman yang terlihat.

    Harwati juga berharap dilakukan pemeriksaan kualitas kawasan dan orang-orang yang selama ini masih sering ada di tanggul lumpur. Misalnya ia dan kawan-kawannya sebagai ojek tanggul mestinya mendapatkan fasilitas pemeriksaan berkala dan dijamin untuk bisa melakukan pengobatan secara gratis jika sakit.

    “Dampak lumpur Lapindo ini multi dimensi, persoalan pemburukan lingkungan berdampak pada persoalan yang lain. Kesehatan terganggu, area produksi menjadi buruk, pekerjaan hilang, konflik sosial, dan hak-hak dasar warga tak terpenuhi,” ujar Bambang Catur, penggiat lingkungan JATAM. Ia berharap pengurus negara melakukan assesmen mendalam untuk memetakan dampak semburan lumpur Lapindo. “Libatkan semua sektor di pemerintahan dalam upaya pemulihan ke depan. Pemerintah harus membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemulihan hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan,” pungkas Catur.

    “Peringatan sembilan tahun Lumpur Lapindo ini untuk mengingatkan pemerintah akan perannya untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya,” terang Harwati lebih lanjut. Ketidakmampuan negara memastikan terpenuhinya hak-hak korban Lapindo yang hilang akan semakin menegaskan aroma kolusi negara dan korporasi dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bencana industri serupa akan berpeluang besar kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Kontak:

    Harwati (0856-4556-6229)

    Rere (0838-5764-2883)

    Unduh versi pdf di sini.

  • “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    Judul tulisan ini mengutip kalimat dalam komik Muasal Lumpur Lapindo karya Rahman Seblat. Kalimat singkat itu hendak menyampaikan pesan sederhana, namun tegas menegasikan anggapan umum tentang posisi warga terdampak lumpur Lapindo yang selama ini dianggap “tak berdaya.”

    Faktanya, di tengah pelbagai resiko dan bahaya ekologis yang menimpanya, warga menyimpan potensi kekuatan besar untuk bertahan hidup dan yang tak kalah pentingnya mereka adalah faktor pendorong bagi arah kebijakan mitigasi bencana lumpur Lapindo. Selama ini, terdapat pra-anggapan bahwa warga itu selalu tak berdaya menghadapi tekanan politik-ekonomi koalisi negara dan korporasi. Pra-anggapan itu dimanifestasikan dengan melekatkan identitas baru pada mereka: “korban.”

    Dalam situasi bencana, posisi sebagai “korban” didapatkan bukan karena pilihan mandiri melainkan akibat tekanan dari luar (bahaya dan resiko ekologis) yang biasanya di luar kendali mereka. Pada saat yang bersamaan, identitas “korban” adalah juga suatu politik budaya yang strategis untuk menekankan bahwa mereka ini membutuhkan “bantuan” dari pihak lain agar dapat kembali ke situasi “normal” dan mengejar pelbagai “ketertinggalan”-nya. Dan, negara merupakan lembaga politik yang paling masuk akal untuk memainkan peran normalisasi bagi kehidupan mereka.

    Peran sebagai “korban” muncul dari suatu relasi sosial yang melibatkan keberadaan aktor lain, “pelaku.” Relasi antara “korban” dan “pelaku” selalu dibayangkan sebagai relasi yang timpang, bahwa “aktor-pelaku” selalu memerdayai “aktor-korban,” dan untuk mengembalikan ketimpangan itu dibutuhkan “aktor-mediator” yang memediasi keduanya.

    Dalam kasus Lapindo, situasi menjadi rumit ketika publik, khususnya warga terdampak, meyakini bahwa semburan lumpur panas itu tidak lahir secara “alamiah” tetapi muncul akibat ulah operator Sumur Banjar Panji 1, Lapindo Brantas, yang lalai dan sengaja mengabaikan prosedur pengeboran yang baik dan benar. Keyakinan semacam ini menghadirkan operator pengeboran sebagai “aktor-pelaku” dalam kasus ini.

    Dalam situasi semacam ini, negara diharapkan hadir sebagai “aktor-mediator” yang bertugas secara adil mengembalikan ketimpangan relasi antara korban dan pelaku dengan membela korban dan menghukum pelaku. Sayangnya, temuan demi temuan menunjukkan bahwa ternyata kelalaian dan pengabaian prosedur itu juga dilakukan oleh negara sebagai pemberi izin pengeboran. Hal ini tentu saja menambahkan negara sebagai salah satu “aktor-pelaku” dalam kasus Lapindo.

    Dan, begitulah konstruksi pemahaman publik tentang relasi kuasa dalam kasus Lapindo: warga adalah “korban” yang berhadap-hadapan dengan kolusi negara dan Lapindo sebagai “pelaku.” Dengan pemahaman semacam ini, kasus Lapindo bukanlah sekadar bencana ekologis akibat semburan lumpur panas, melainkan sebuah tragedi politik-ekonomi/ekologi di sektor industri migas di republik ini.

    Hal penting yang patut kita catat, kesadaran tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi ini justru muncul dan dipertahankan oleh para warga terdampak lumpur Lapindo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama aparatus negara dan petinggi perusahaan terus berjuang keras memaksakan logika “bencana alam” atas lumpur Lapindo dengan memanipulasi fakta sedemikian rupa. Akan tetapi, semakin kuat manipulasi itu dilancarkan, semakin kuat pula resistensi yang muncul dan berujung pada terus menguatnya kesadaran bahwa kasus Lapindo adalah tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Sayangnya, pemberitaan media arusutama cenderung membingkai perjuangan warga terdampak lumpur Lapindo sebagai tindakan yang kontraproduktif dengan kebutuhan publik luas. Tidak hanya itu, warga selalu dibingkai dalam posisi yang tak berdaya, “korban” yang hanya pasif menunggu para pemegang otoritas dan kewenangan untuk turun tangan mengentaskan permasalahan yang mereka hadapi. Padahal, warga terdampak lumpur Lapindo itu, dengan caranya masing-masing, telah dan tetap berdaya menghadapi pelbagai krisis sosial dan ekologis yang mendera mereka.

    Di antara kelompok warga yang ada, dua yang patut dicatat. Pertama, komunitas Sanggar Alfaz dan kedua, kelompok belajar Ar-RohmahSanggar Alfaz adalah ruang belajar bersama yang didirikan oleh beberapa warga Desa Besuki Timur dari keprihatinan atas kehidupan anak-anak di desa itu. Ketika para orangtua sibuk berjuang untuk mendapatkan “kompensasi” atas kerugian yang diderita, kebutuhan psikologis anak-anaknya yang masih dalam masa pertumbuhan itu terabaikan.

    Anak-anak ini tidak hanya kehilangan ruang, tapi juga waktu untuk bermain dan belajar. Mereka harus menghadapi dan mengatasi krisis psikologis sesuai usia mereka dalam kondisi yang penuh kepanikan, kecemasan, dan ketidakpastian akibat lumpur Lapindo. Pada 2012, anak-anak itu merilis kumpulan cerita dan puisi karya mereka berjudul Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita. Membaca narasi anak-anak ini, mata kita akan semakin terbuka tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Buku "Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita"
    Sampul buku “Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita”

    Kelompok belajar Ar-Rohmah didirikan oleh para perempuan tangguh yang merasa tidak mendapatkan jaminan dari para pengurus negara. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur Lapindo yang tidak pernah diperhatikan para pengurus negara, para perempuan tangguh itu pun bergerak. Mereka tidak hanya menuntut jaminan kesehatan, tapi juga jaminan bagi pendidikan anak-anak mereka yang telah diabaikan negara.

    Bersama dengan sanitasi, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi pembangunan sumber daya manusia. Kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo dan gas hidrokarbon yang keluar bersamanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, khususnya kualitas air tanah dan udara di sekitar semburan. Ditambahkan dengan goncangan psikologis akibat krisis sosial dan ekologis, degradasi itu berujung pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang jelas mengganggu proses belajar-mengajar anak-anak, yang lagi-lagi diabaikan oleh aparatus negara.

    Melalui Sanggar Alfaz dan kelompok Ar-Rohmah, warga tetap berdaya meski negara alpa untuk memperhatikan kebutuhan mereka yang luput dari pemberitaan media arusutama yang seolah-olah gagal “move on” dari liputan tentang persoalan “pelunasan ganti rugi.”

    Persoalan materiil memang penting untuk dituntaskan, namun itu baru lapisan terluar dari tragedi ini. Masih ada inti problem yang tak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan, yaitu: kolusi negara dan korporasi yang berdampak pada pengabaian kebutuhan dan kepentingan warga sipil. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Oleh: Anton Novenanto

    (Bagian terakhir dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan di sini)

    BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR Sidoarjo, atau BPLS adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur Lapindo melalui penerbitan Perpres 14/2007 pada 8 April 2007. Pembentukan BPLS menunjukkan betapa spesialnya kasus Lapindo dibandingkan bencana lingkungan lain di Indonesia. BPLS merupakan representasi negara dalam kasus Lapindo yang masih bekerja sampai saat ini.

    Secara garis besar, tugas BPLS tidak berbeda dengan Timnas: menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial dan infrastruktur (Perpres 14/2007, Pasal 1, Ayat 2). BPLS berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya itu kepada Presiden (Pasal 1 Ayat 3), namun segala arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Dewan Pengarah BPLS (Pasal 3 Ayat 1), bukan oleh Presiden. Ada perbedaan struktur pengorganisasian BPLS jika dibandingkan dengan Timnas yang berada di bawah supervisi yang diketuai Menteri ESDM. Dewan Pengarah BPLS diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum, Menteri ESDM hanya duduk sebagai anggota dewan tersebut. Struktur semacam ini menandai hal yang substansial dalam orientasi agenda kerja BPLS yang lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur; bandingkan dengan orientasi penanganan kecelakaan industri migas yang dilakukan Timnas (lihat tulisan sebelumnya).

    Perubahan itu dapat juga dilacak dalam peraturan perundangan yang melandasi Perpres 14/2007. Landasan hukum Keppres 13/2006 orientasinya adalah ‘industri migas’, sementara landasan hukum Perpres 14/2007 adalah ‘manajemen tata ruang’. Perpres 14/2007 disusun dengan ‘mengingat’ UU Tata Ruang No 24/2007, UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, UU Migas No. 22/2001, UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 jo UU No. 8/2005. Dengan demikian, seperti halnya Timnas, BPLS tidak sedang dibentuk atas logika ‘penanganan bencana’. Pada bagian ini, kita akan menelusuri bagaimana negara (c.q. BPLS) berperan untuk melebarkan bencana pembangunan dengan memfokuskan diskusi pada proses pemindahan penduduk secara paksa.

    Salah satu klausul penting Perpres 14/2007 adalah ihwal pembagian tanggung jawab penanganan masalah sosial kemasyarakatan antara pemerintah dan Lapindo. Perpres mengatur bahwa Lapindo ‘hanya’ bertanggung jawab untuk ‘membeli tanah dan bangunan’ warga yang termasuk dalam Peta 22 Maret 2007 (Pasal 15, Ayat 1) dan tanggung jawab atas wilayah di luar peta tersebut ‘dibebankan pada APBN’ (Pasal 15, Ayat 3). Perpres juga mengatur tentang pembagian kewajiban penanganan fisik antara Lapindo (yang dibebani biaya penanggulangan semburan lumpur dan pembuangan lumpur ke Kali Porong; Pasal 15, Ayat 5) dan pemerintah (yang menanggung biaya relokasi infrastruktur; Pasal 15, Ayat 6). Hingga kini, tidak pernah jelas dasar hukum dari pembagian tanggung jawab semacam itu.

    Hingga tulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahan atas Perpres 14/2007 melalui penerbitan peraturan presiden baru, yaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 September 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011 (Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan 8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Jika kita melihat struktur peraturan perundangan yang melandasi penerbitan revisi Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan bahwa revisi tersebut dilandasi oleh peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, a.l.: UU Keuangan Negara (17/2003), UU Perbendaharaan Negara (1/2004), UU APBN (2008, 2009, 2011, 2012, dan 2013). Hal semacam itu dapat dilihat dalam konteks bahwa revisi atas Perpres 14/2007 melibatkan penambahan biaya kompensasi untuk membeli wilayah ‘di luar peta’ yang juga harus dikosongkan akibat degradasi lingkungan yang akut. Pengosongan suatu wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Yang tak kalah menarik adalah, tentu saja, reduksi kewajiban Lapindo untuk membiayai upaya penanggulangan semburan dan pembuangan lumpur ke Kali Porong. Hal itu disampaikan dalam Perpres 40/2009 yang menghapus seluruh Pasal 15 Ayat 5, dan menambahkan upaya-upaya itu dalam Pasal 15 Ayat 6. Perpres 40/2009 juga menambahkan satu ayat yang berbunyi:

    Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN. (Pasal 15 Ayat 7)

    Dengan demikian, sejak Perpres 40/2009 keluar seluruh biaya penanggulangan lumpur Lapindo ditanggung pemerintah. Mengacu penggalan-penggalan data yang tersaji acak di website BPLS (bpls.go.id), dan Nota Keuangan APBN (Perubahan), kita bisa mengalkukasi secara sederhana jumlah dana yang dianggarkan pemerintah terkait penanganan lumpur Lapindo, yang sejak 2007 sampai 2015 secara akumulatif mencapai nilai Rp 11,72 trilyun (lih. Tabel 1). Anggaran tersebut disalurkan, terutama, melalui BPLS, dan ini berarti negara telah mengambil perannya dalam kasus Lapindo. Negara berperan aktif sebagai aktor utama yang mengatur: a) pembagian kewajiban penanganan bencana antara Lapindo dan pemerintah (Perpres 14/2007); b) mereduksi kewajiban Lapindo tersebut (Perpres 40/2009); dan c) mengambil alih kewajiban perusahaan dan membebankannya pada APBN. Yang paling kontroversial tentunya adalah peran negara sebagai legitimator pemindahan paksa penduduk dengan cara menerbitkan peta-peta baru, seperti yang akan kita bahas setelah ini.

    Tabel 1. APBN untuk Lapindo
    Tabel 1. APBN untuk Lapindo

    ***

    TIMNAS MENAMAI PETA 22 Maret 2007 dengan ‘peta area terdampak’. Baik representasi Lapindo ataupun aparatus negara akan selalu merujuk pada istilah tersebut peta itu bila sedang berbicara tentang area ‘terdampak’ lumpur Lapindo. Secara naif, mereka menyebut wilayah di luar peta 22 Maret bukan sebagai ‘area terdampak’ lumpur Lapindo, hanya ‘tak layak huni’. Sekalipun beda istilah, praktik yang terjadi di lapangan tetap sama: pemindahan penduduk dari hunian mereka secara paksa, dan proses itu dilegitimasi dengan peta baru yang menjadi lampiran revisi atas Perpres 14/2007.

    ‘Wilayah 3 Desa’ – Revisi pertama atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 48/2008 (17 Juli 2008), mengatur tentang penambahan wilayah baru yang harus dikosongkan untuk kebutuhan pembangunan tanggul dan saluran pembuangan sampai Kali Porong. Istilah yang populer untuk menyebut wilayah tersebut adalah ‘wilayah 3 Desa’ merujuk pada 3 (tiga) desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) di Kecamatan Jabon. Mekanisme yang diterapkan bagi para penduduk ketiga desa tersebut adalah seperti yang berlaku pada penduduk ‘dalam peta’, jual beli tanah dan bangunan. Hanya saja pembelinya bukan lagi Lapindo, tapi pemerintah. Nilai tukar aset bagi wilayah ini mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh Lapindo (Pasal 15b Ayat 6), atau yang jamak disebut ‘harga Lapindo’.

    Perpres 48/2008 juga mengatur bahwa status tanah dan bangunan yang dibeli tersebut akan menjadi ‘Barang Milik Negara’ (Pasal 15c Ayat 1) yang dikelola oleh Menteri Keuangan dan digunakan oleh BPLS (Pasal 15c Ayat 2). Akan tetapi, dalam proses jual beli aset di wilayah ‘3 Desa’ tersebut PP Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum No. 36/2005 jo PP 65/2006 tidak berlaku (Pasal 15b Ayat 4) yang ini menunjukkan ketidakjelasan landasan hukum dan tujuan pembelian tanah tersebut. Untuk memperjelas wilayah mana saja yang harus dikosongkan, sebuah peta baru dibuat oleh BPLS. Pengosongan wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Berdasarkan data yang tersaji di website BPLS, terdapat 1.804 berkas klaim masuk dari wilayah ‘3 Desa’ tersebut. Sampai Desember 2012, 1.793 berkas dinyatakan sudah lolos verifikasi dengan nilai tukar total mencapai Rp 627,78 milyar dan 1.768 berkas sudah lunas dibayar (senilai Rp 511,32 milyar). Beberapa berkas yang bermasalah, sehingga tidak lolos verifikasi, dipicu oleh sengketa tanah seputar kepemilikan dan juga jenis tanah (sawah atau pekarangan). Selain itu, persoalan tanah komunal (seperti, tanah kas desa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial) juga menyisakan pertanyaan pada siapakah yang berhak atas kompensasi mengingat penduduk tercerai-berai di hunian barunya.

    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)
    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)

    ‘Wilayah 9 RT’ – Revisi kedua atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 40/2009 (23 September 2009) mencantumkan wilayah baru yang dimasukkan sebagai area ‘tidak layak huni’. Wilayah ini kemudian populer dengan sebutan ‘wilayah 9 RT’, mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) di tiga desa (Siring, Jatirejo, dan Mindi) yang terkena dampak deformasi tanah dan munculnya semburan gas berbahaya (Pasal 15b Ayat 1a). Wilayah ‘9 RT’ harus dikosongkan segera dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 15b Ayat 8), dan bagi penduduknya pemerintah akan memberi bantuan sosial (uang kontrak rumah, tunjangan hidup, dan biaya evakuasi) (Pasal 15b Ayat 9).

    Perpres 40/2009 tidak menyebutkan tentang hak warga untuk menerima kompensasi atas tanah dan bangunan mereka. Warga hanya diminta untuk segera mengosongkan wilayah tersebut. Kompensasi bagi warga di wilayah ini baru diatur dalam Perpres 68/2011 tentang perubahan ketiga atas Perpres 14/2007 (27 September 2011). Mekanisme kompensasi yang berlaku tetap sama, jual beli tanah dan bangunan (Pasal 15b Ayat 3), penghitungan nilai kompensasi juga disamakan dengan wilayah sebelumnya. Dan pada bulan Oktober 2011, BPLS merilis sebuah peta baru yang mencantumkan ‘wilayah 9 RT’. Data di website BPLS menyebutkan bahwa dari total 789 berkas klaim ‘wilayah 9 RT’ yang masuk, 769 berkas telah lolos verifikasi (senilai Rp 436,80 milyar). Pada Desember 2012, sejumlah 757 berkas (Rp 376,07 milyar) sudah terbayar. Sisanya masih bermasalah pada hal yang sama, a.l.: sengketa kepemilikan, debat luas dan jenis tanah (sawah/pekarangan), dan tanah komunal.

    2012 12 00 Peta kerja small
    Peta Kerja Oktober 2011

    Wilayah 66 RT’ – Perpres 68/2011 mencantumkan pembentukan ‘Tim Terpadu’ yang dibentuk oleh Dewan Pengarah BPLS untuk mengkaji wilayah terkena dampak lumpur Lapindo (Pasal 15b Ayat 1b). Hasil kajian tim tersebut adalah pemetaan wilayah baru yang harus segera dikosongkan karena dinyatakan sebagai wilayah tak layak huni dalam Perpres 37/2012 tentang perubahan keempat atas Perpres 14/2007 (5 April 2012). Wilayah baru tersebut dikenal dengan ‘wilayah 65 RT’ mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) yang harus dikosongkan yang kali ini mencakup 8 (delapan) desa/kelurahan, yaitu: Besuki, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Gempolsari, Kalitengah, dan Wunut.

    Pada 8 Mei 2013, terbit Perpres 33/2013 tentang perubahan kelima atas Perpres 14/2007 yang merinci batas-batas wilayah yang sebelumnya sudah diatur dalam Perpres 37/2012 dan menambahkan 1 (satu) RT di Kelurahan Porong yang kemudian membuat wilayah baru itu sekarang disebut ‘wilayah 66 RT’. Selain merinci batas-batas dan penambahan wilayah baru, Perpres 33/2013 mengatur kompensasi tanah wakaf yang menjadi kewenangan Kementerian Agama (Pasal 15b Ayat 10).

    Untuk wilayah ’66 RT’, BPLS menargetkan sekitar 5.000 berkas klaim masuk. Sampai Desember 2012, BPLS menerima 4.422 berkas klaim dengan nilai tukar mencapai Rp 451,93 milyar, dan baru 3.556 berkas yang terbayar (Rp 261,33 milyar). Dengan demikian, diperkirakan masih ada sekitar seribu berkas lagi yang menjadi tanggung

    Peta 5 April 2012
    Peta 5 April 2012

    an pemerintah. Sayang, website BPLS tidak mencantumkan data mutakhir tentang kelanjutan proses pembayaran tersebut.

    ***

    PEMINDAHAN PAKSA BESAR-BESARAN lain yang dilakukan oleh negara, namun luput dari amatan publik adalah terkait pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur. Relokasi infrastruktur mensyaratkan pembebasan lahan baru untuk pembangunan, dan dengan demikian menandai fase lain pemindahan paksa akibat lumpur Lapindo. Untuk merelokasi infrastruktur (jalan tol dan jalan raya), pada Juli 2007 ditentukan luasan lahan yang dibutuhkan. Penentuan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/260/KPTS/013/2007. Menurut rencana awal tersebut, infrastruktur baru akan melintasi wilayah di 15 (limabelas) desa yang meliputi 11 (sebelas) desa di Kabupaten Sidoarjo dan 4 (empat) desa di Kabupaten Pasuruan. Luas lahan yang dibutuhkan mencapai 132,16 ha. Namun, setelah melakukan penghitungan riil dan beberapa kesepakatan dengan instansi yang lain, pada April 2010 disepakati bahwa lahan yang dibutuhkan ‘hanya’ 123,77 ha.

    Kebutuhan lahan untuk relokasi
    Kebutuhan lahan untuk relokasi

    Pengurangan itu meloloskan Desa Kludan di Kabupaten Sidoarjo dari proyek pembebasan lahan itu. Namun, sebagian warga di 14 (empatbelas) desa yang lain harus merelakan tanah dan bangunan mereka untuk digantikan dengan infrastruktur jalan raya dan jalan tol (lihat Peta Relokasi Infrastruktur). Sepuluh desa/kelurahan di Kabupaten Sidoarjo yang yang terkena dampak relokasi infrastruktur adalah Desa Kali Sampurno, Desa Kali Tengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin, Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Kesambi, Kelurahan Juwet Kenongo, Kelurahan Porong, dan Desa Kebon Agung di Kecamatan Porong, serta Desa Kedungcangkring di Kecamatan Jabon. Dan empat desa di Kabupaten Pasuruan adalah Desa Carat, Desa Gempol, Desa Kejapanan, dan Desa Legok di Kecamatan Gempol.

    Seperti halnya proyek pembangunan infrastruktur makro lainnya, beberapa permasalahan sempat tercatat terkait proses pengosongan lahan dan pembangunan relokasi infrastruktur yang dilakukan BPLS tersebut. Yang paling kentara adalah tingginya nilai kompensasi yang diminta sebagian warga dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pemerintah. Beberapa warga meminta kompensasi setara ‘harga Lapindo’, yang berlaku untuk tanah dan bangunan dalam Peta 22 Maret 2007. Beberapa warga lain, menuntut nilai yang lebih tinggi lagi karena aset mereka terletak di pinggir jalan utama. Beberapa tanah status kepemilikannya dipegang oleh banyak orang yang berujung pada sengketa internal sehingga mempersulit proses pemberian kompensasi. Pelbagai masalah terkait pembebasan lahan tersebut berdampak pada pembangunan jalan (tol maupun arteri) secara parsial. Infrastruktur baru dibangun terputus-putus dalam 4 (empat) paket, dan baru menjadi satu kesatuan sehingga bisa beroperasi penuh pada Maret 2012.

    Percepatan pembangunan infrastruktur baru, menggantikan infrastruktur lama yang terendam lumpur Lapindo, dilandasi lebih oleh motif ekonomi, yaitu mengembalikan nadi transportasi dari/ke Pelabuhan Tanjung Perak ke/dari wilayah industri besar di Jawa Timur bagian Selatan dan Timur. Dan atas nama ‘kepentingan umum’ itulah lagi-lagi rakyat harus dikorbankan dengan cara pemindahan paksa. Negara, lagi-lagi, hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi proses yang tidak bakal terjadi jika saja negara tidak pernah memberi izin Lapindo untuk melakukan pengeboran migas di kawasan padat huni.

    Peta Infrastruktur 2010 lowres

    ***

    PRESIDEN JOKOWI TELAH memerintahkan jajaran menteri di kabinetnya untuk memenuhi kontrak politik yang disepakatinya pada korban Lapindo, memberikan pinjaman bersyarat pada Lapindo yang tidak mampu melunasi kewajibannya membayar aset warga yang dimasukkan dalam ‘area terdampak’ lumpur Lapindo. Jumlah pinjaman tidak main-main, Rp 781,69 milyar. Syarat yang diberikan adalah Lapindo harus menyerahkan 13.327 berkas aset warga sebagai jaminan dan Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan pinjaman tanpa bunga itu. Jika Lapindo gagal mengembalikannya, aset akan diambil alih negara –yang sebenarnya adalah keputusan yang paradoks, karena seperti sudah dibahas sebelumnya, mengacu pada UU Pokok Agraria No 6/1956, tanah yang dibeli Lapindo itupun secara hukum statusnya adalah tanah negara; bagaimana mungkin negara menyita asetnya sendiri (Novenanto 2015a; 2015b).

    Aksi negara menalangi hutang Lapindo itu telah diklaim sebagai ‘kehadiran negara’ yang dianggap telah absen selama ini. Namun, seperti disampaikan dalam rangkaian tulisan ini, negara adalah aktor penting dalam kasus Lapindo. Negara telah hadir, bahkan sebelum pengeboran Sumur Banjar Panji 1, dengan memberi izin pengeboran migas di kawasan padat huni. Dengan demikian, negara telah berperan dalam penentuan lokasi terjadinya suatu bencana industrial. Bahkan, negara tidak pernah mengawasi kegiatan ‘industri berbahaya’ itu. Peran aktor-aktor negara semakin kentara dengan menerbitkan peta area terdampak dan melegitimasi pemindahan paksa para penghuninya melalui penerbitan Perpres 14/2007 dan juga revisi terhadapnya. Tidak hanya itu, negara juga telah melegitimasi perluasan pemindahan paksa terkait proyek relokasi infrastruktur yang rusak. Untuk penanganan dampak lumpur Lapindo, negara telah menganggarkan dana sebesar Rp 11,72 trilyun; dana yang sebenarnya bisa digunakan untuk pengembangan di sektor lain.

    Kasus Lapindo bukanlah sekadar masalah bencana lumpur panas menyembur di kawasan padat huni. Kasus Lapindo adalah pembuktian kebobrokan pengelolaan industri migas di negeri ini, tidak hanya pada proses perizinan tapi juga tata kelola penanganan kecelakaan industrial yang riskan terjadi. Oleh karena itu, satu-satunya ketidakhadiran negara dalam kasus Lapindo adalah untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada Lapindo yang telah melakukan kesalahan fatal dalam industri migas yang penuh resiko. (habis)

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Pra Semburan)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Pra Semburan)

    (Bagian 1, dari 3 tulisan)

    Oleh: Anton Novenanto

    PADA TANGGAL 29 Mei 2014, pada masa kampanye pemilihan presiden lalu, di atas tanggul lumpur Lapindo, Joko ‘Jokowi’ Widodo melantangkan pentingnya kehadiran negara dalam kasus Lapindo. Kutipan langsung ucapan Jokowi yang tercatat di pelbagai media massa adalah demikian: ‘Dalam kasus [Lapindo, AN] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat’.

    Sebagai seseorang yang baru mengikuti kasus Lapindo sejak 2008, saya merasa sangat terganggu dengan pernyataan semacam itu, yang muncul dan seketika diterima sebagai ‘kebenaran bersama’ karena berangkat dari pengandaian bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Wacana ‘negara absen’ telah bergulir lama di ruang publik, khususnya di kalangan korban. Hal ini berangkat dari rangkaian peristiwa yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah tidak pernah hadir sebagai lembaga politik yang berdaulat untuk mengatasi segala persoalan yang muncul, khususnya yang terjadi antara korban dan korporasi. Alih-alih membantu, korban merasa negara telah membiarkan mereka bertarung sendirian dalam relasi kuasa yang timpang ketika berhadap-hadapan dengan korporasi dan jejaring pendukungnya.

    Argumen yang diangkat melalui tulisan mungkin sangat bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Jokowi tersebut dan dengan apa yang diyakini publik umum bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Justru sebaliknya, saya berargumen bahwa negara –melalui representasi aparatus birokrasi dan lembaga pemerintah– justru selalu terlibat aktif dalam merancang desain politik bencana lumpur Lapindo. Keterlibatan itu dapat dilacak dalam pernyataan-pernyataan yang terarsipkan dalam dokumen-dokumen publik tentang kasus Lapindo yang sudah menjadi rahasia umum dan beredar luas. Temuan-temuan tersebut saya hadirkan berdasarkan kronologis waktu dengan harapan agar pembaca yang awam dengan kasus Lapindo dapat teringat kembali pada apa saja peran negara dalam kasus Lapindo.

    ***

    SAYA MUNGKIN TERMASUK satu dari segelintir orang yang meyakini bahwa ‘kasus Lapindo’ sudah dimulai jauh sebelum lumpur panas menyembur pada bulan Mei 2006. Keyakinan semacam itu lahir dari sebuah pertanyaan kritis, bagaimana Lapindo bisa memperoleh izin pengeboran sumur eksplorasi migas di kawasan padat huni?

    Yang perlu kita ingat, industri migas, sepertinya halnya industri tambang yang lain, tergolong dalam ‘industri berbahaya’ (Benson & Kirsch 2010) yang beresiko tinggi dan oleh karenanya tidak boleh diselenggarakan dengan main-main. Pelaksanaan kegiatan industri migas harus direncanakan dan dilakukan mengikuti serangkaian prosedur yang rinci, hati-hati, dan teliti agar tidak justru berdampak fatal tidak hanya bagi manusia dan lingkungan yang berada di sekitarnya tapi juga rerantai sosial-ekologis yang lebih luas, dan khususnya bagi industri itu sendiri. Selain sudah menjadi kewajiban dari industri migas sendiri untuk menjaga keamanan dari kegiatannya yang penuh resiko tersebut, adalah tugas pemerintah untuk menjamin agar segala kegiatan industri berbahaya yang dilakukan di wilayah kedaulatannya dilakukan secara prosedural sehingga tidak mengancam warga negaranya.

    Pengawasan Pemerintah atas kegiatan industri migas tertuang dalam UU Migas No. 22/2001. Ada dua lembaga negara yang berkewajiban mengawasi kegiatan industri migas. Pertama, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM (Ditjen Migas) yang memfokuskan pengawasan pada ketaatan kegiatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 41 Ayat 1). Kedua, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang mengawasi pelaksanaan kegiatan berdasarkan kontrak kerjasama yang berlaku (Pasal 41 Ayat 2).

    Ditjen Migas – Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/075/M.PE/1992 menyebutkan bahwa setiap kontraktor migas ‘wajib menyampaikan laporan harian secara tertulis mengenai kegiatan pengeboran kepada Direktorat Jenderal [Migas, AN]’ (Pasal 9 Ayat 1). Lebih lanjut, menurut Surat Keputusan Menteri ESDM No. 1088K/20/MEM/2003, Ditjen Migas memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dan menentukan apakah kecelakaan tersebut masuk dalam kategori pidana ataukah kecelakaan operasional.

    Dalam laporan lengkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (2007a)[1] disebutkan bahwa Ditjen Migas tidak pernah menerima laporan harian pengeboran Lapindo dan tidak pernah menegur apalagi memberi sanksi pada Lapindo. Ini berarti seluruh kegiatan pengeboran Lapindo, termasuk eksplorasi Sumur Banjar Panji 1, tidak pernah berada dalam pengawasan Ditjen Migas sebagai representasi dari pemerintah. Dalam kondisi demikian, antara 30 Mei dan 2 Juni 2006, Ditjen Migas melakukan investigasi terhadap kejadian semburan gas atau uap air di sekitar Sumur Banjar Panji 1 dan wajar bila Ditjen Migas tidak berhasil menemukan penyebab kejadian tersebut. Ditjen Migas justru melimpahkan tanggung jawab mencari penyebab itu pada hasil penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).

    BP Migas – PP 42/2002 tentang BP Migas dan PP 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas mengatur kewenangan BP Migas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan Kontraktor berdasarkan ketentuan kontrak kerjasama yang berlaku. Seperti halnya yang seharusnya terjadi pada Ditjen Migas, setiap Kontraktor berkewajiban untuk mengirimkan laporan tertulis secara periodik pada BP Migas terkait pelaksanaan kontrak kerjasama (Pasal 93 Ayat 2).

    Dalam proses penyelidikan BPK (2007a), BP Migas tidak berhasil menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa lembaga tersebut telah 1) melakukan kajian terhadap program pengeboran Lapindo dan 2) memberikan persetujuan terhadap program tersebut untuk memastikan kelayakannya dan kesesuaian dengan kaidah teknik perminyakan yang baik (pemilihan tempat, kedalaman pengeboran, kekuatan rig, ukuran dan rencana pemasangan selubung pengaman). Program pengeboran hanya ditandatangani oleh Lapindo dan subkontraktor pengeboran (PT Medici Citra Nusa). BP Migas hanya terbukti melakukan pengawasan dan pengendalian sebatas biaya operasional saja.

    ***

    MASA KRITIS MENJELANG 29 Mei 2006 – Dari laporan BPK, kita dapat mengetahui bahwa Lapindo tidak secara rutin mengirimkan laporan harian pengeboran pada BP Migas. Terkait laporan pengeboran pada masa kritis menjelang semburan lumpur (20-30 Mei 2006), BP Migas hanya mendapatkan laporan harian untuk tanggal 22 dan 30 Mei saja, sementara untuk hari yang lain tidak ada laporan masuk ke BP Migas (BPK 2007a). Ketiadaan laporan harian tentunya mempersulit BP Migas untuk melakukan pengawasan atas pengeboran dan memberikan saran-saran teknis yang mungkin dapat membantu penanggulangan awal permasalahan pengeboran Sumur Banjar Panji 1.

    Laporan Neal Adams Services (Adams 2006) menyebutkan bahwa pengeboran Sumur Banjar Panji 1 dimulai sejak 9 Maret 2005 (sekitar pukul 13:30 WIB) dan berhenti pada 3 Juni 2006. Tentu, yang menarik adalah apa yang terjadi pada masa-masa kritis menjelang semburan. Laporan Adams (2006) menyebutkan bahwa saat pengeboran mencapai kedalaman 2.630m,[2] pada tanggal 22 Mei, operator mencatat terjadinya peningkatan jumlah lumpur yang keluar dari dalam sumur. Hal ini koheren dengan keterangan warga pada KomnasHAM yang menyebutkan bahwa pada 23 Mei air bercampur lumpur sudah terdeteksi keluar ke permukaan tanah dan volume semakin membesar setelah gempabumi di Jogjakarta/Jawa Tengah pada 27 Mei (KomnasHAM 2012).

    Menurut Adams (2006), keluarnya lumpur pada 22 Mei dapat terjadi akibat ketiadaan selubung pengaman (safety casing). Selubung pengaman terakhir dipasang pada kedalaman 1.096m, yang berarti dinding sumur sepanjang 1.534m tidak pada posisi terlindungi dan rawan runtuh. Dengan kondisi demikian, Lapindo tetap saja meneruskan pengeboran. Pada 27 Mei, ketika operator mengebor dari kedalaman 2.771m sampai 2.813m, sensor mendeteksi kadar H2S di dalam sumur mencapai 25ppm. Pengeboran dilanjutkan, sementara sebagian besar kru dievakuasi. Pada 28 Mei, saat pengeboran mencapai kedalaman 2.834m keluar lumpur dari lapisan berpori, retak atau berongga yang berhasil ditembus oleh mata bor yang tidak muncul ke permukaan (lost circulation). Menyikapi hal itu, operator memutuskan untuk menarik mata bor sampai kedalaman 2.591m, yang dinilai Adams (2006) sebagai keliru karena mata bor seharusnya ditinggal di dalam lubang.

    Dini hari 29 Mei, ketika mata bor mencapai kedalaman 1.294m, operator mendeteksi adanya cairan masuk ke dalam sumur (well kick) dan usaha untuk mengatasinya adalah dengan menutup sumur. Operator berhasil menutup sumur, tapi tidak berhasil menarik keluar mata bor yang macet di dalam sumur. Beberapa jam kemudian, gas H2S terdeteksi di permukaan bumi di sekitar sumur dan kru mulai dievakuasi (Adams 2006). Keesokan harinya (30 Mei), intensitas dan frekuensi gas berkurang dan pada malam harinya operator memasukkan semen ke dalam sumur dan gas semakin berkurang. Hari berikutnya (31 Mei), operator melanjutkan penyemenan dan gas terus berkurang. Namun pada 1 Juni, air bercampur lumpur terdeteksi mengalir keluar dari titik-titik di sekitar bibir sumur. Operator mulai menyelamatkan peralatan dari lokasi pengeboran. Pada 2 Juni, operator mengebor kembali sumur sampai kedalaman 1.078m dan mendeteksi lontaran-lontaran material ke bibir sumur (firing guns) dan keretakan tanah di sekitar bibir sumur. Pada hari berikutnya (3 Juni), operator mulai membongkar tiang pengeboran, dan laporan harian berakhir di sini (Adams 2006).

    Adams (2006) menilai bahwa gelembung gas yang terdeteksi pada 29 Mei adalah indikator yang jelas dari terjadinya blowout bawah tanah. Alih-alih menanganinya, Operator justru fokus pada mempertahankan sumur eksplorasi, padahal jika fokus dialihkan pada blowout, mungkin kejadian itu bisa diatasi. Sementara itu, pengeboran ulang sumur pada 2 Juni dinilai sebagai ‘berbatas tipis dengan pelanggaran kriminal karena mengancam personil, peralatan, dan lingkungan sekitar’ (Adams 2006).

    Dari rangkaian kronologis semacam ini, kita dapat menilai bahwa pernyataan perwakilan Lapindo memang betul adanya, lumpur tidak keluar langsung dari sumur karena sumur berhasil ditutup rapat. Lapindo bahkan mengklaim keberhasilan menutup sumur membuktikan bahwa lumpur ‘tidak keluar dari sumur’ (Suradi 2009), yang tentu saja adalah pernyataan yang layak dipersoalkan.

    Berita tentang semburan air dan gas di sekitar Sumur Banjar Panji 1 mulai muncul di media massa nasional sejak 30 Mei. Pada hari yang sama itu, perwakilan Lapindo menyampaikan siaran pers untuk menjelaskan kejadian tersebut (EMP 2006). Seperti disampaikan di atas, sejak 1 Juni Lapindo telah berupaya menutup sumur untuk sementara dan memindahkan rig ke tempat yang aman dan pada 4 Juni rig sudah berhasil diturunkan seluruhnya. BP Migas baru mengirimkan tim ke lokasi Sumur Banjar Panji 1 pada 5 Juni, beberapa setelah sumur berhasil ditutup (BPK 2007a). Ini berarti, tanpa sempat BP Migas memberikan bantuan teknis pada krisis yang dialami, Lapindo sudah melakukan tindakan yang dianggapnya cukup preventif untuk mengatasi krisis tersebut.

    Pada 5 Juni, salah satu pemegang andil Kontrak Kerjasama Blok Brantas Medco melayangkan surat kepada Lapindo, sang operator blok, yang membuka secara publik intensi Lapindo untuk tidak memasang selubung seperti rencana. Dalam rapat Sidoarbeberapa minggu sebelum insiden (18 Mei), Medco sudah memperingatkan Lapindo tentang hal tersebut, tapi peringatan itu diabaikan. Medco pun mengklaim, dalam suratnya itu, bahwa insiden Banjar Panji 1 terjadi akibat ‘kelalaian berat’ (gross negligence) Lapindo yang tidak mematuhi program pengeboran yang telah disepakati bersama.

    Berdasarkan pendapat beberapa analis pengeboran, keberhasilan operator menutup sumur berdampak pada meningkatnya tekanan di bagian dalam sumur dan menyebabkan keretakan lapisan tanah di sekitarnya, yang diperparah dengan usaha operator untuk melakukan pengeboran ulang pada 2 Juni (bdk.: Adams 2006, Davies et al. 2008, 2010; Rubiandini dalam Tim Walhi 2008, Wilson 2006). Bahkan diakui oleh mandor pengeboran Sumur Banjar Panji 1, Syahdun, kebocoran gas yang terjadi pada 29 Mei 2006 disebabkan oleh runtuhnya dinding sumur bagian dalam (Saputra 2006). Proses semacam itulah yang mengakibatkan menyemburnya gas, air dan lumpur dari titik-titik di sekitar bibir Sumur Banjar Panji 1 yang waktu itu sudah tertutup rapat. Keretakan dan runtuhnya lapisan tanah di sekitar dinding sumur dapat terjadi akibat tidak dipasangnya selubung pengaman yang memang berfungsi untuk menahan tekanan dalam sumur.

    Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)
    Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)

    ***

    DARI URAIAN TERSEBUT dapat kita lihat bahwa negara (c.q., Ditjen Migas dan BP Migas) berperan penting dalam memberikan izin kegiatan industri migas tanpa pengawasan yang ketat padahal kegiatan semacam itu termasuk dalam kategori berbahaya dan penuh resiko. Lebih lanjut, dalam ringkasan eksekutifnya, BPK (2007b) menyebutkan tentang peran BP Migas dalam pemberian izin lokasi pengeboran oleh Pemkab Sidoarjo. Ada dua hal patut kita catat terkait izin lokasi itu. Pertama, lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 (dan juga sumur-sumur Lapindo lainnya) tidak sesuai dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No 16/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo. Perda tersebut mengatur bahwa lokasi tempat sumur-sumur itu untuk kawasan pertanian, permukiman, dan perindustrian. Tidak disebutkan sama sekali tentang pertambangan, apalagi migas.

    Kedua, mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku (Instruksi Presiden No 1/1976 dan UU Pertambangan No 11/1967), lokasi pengeboran sumur migas harus berada sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, permukiman, atau objek yang mudah terbakar. Faktanya, Sumur Banjar Panji 1 berada 5 (lima) meter dari permukiman terdekat, 37 meter dari jalan tol (Surabaya-Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Sekalipun mengaku melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, Pemkab Sidoarjo berdalih pemberian izin lokasi didasarkan atas pertimbangan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas (BPK 2007b).

    Peran aktif aparatur negara juga sampai ke level kepala desa (lurah) terutama untuk mendapatkan lahan lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo, Lapindo. Sebelum mendapatkan lokasi pengeboran itu, di akhir 2005 kehadiran Lapindo ditolak warga di dua desa, Siring dan Jatirejo, di Kecamatan Porong. Untuk memudahkan mendapatkan lokasi, Lapindo pun dibantu oleh Lurah Renokenongo, Mahmudatul Fatchiah, yang menyampaikan pada warganya tentang kebutuhan lahan untuk usaha peternakan, bukan untuk pengeboran sumur gas alam (Batubara & Utomo 2012). Pada Maret 2006, Lapindo berhasil mendapatkan tanah di wilayah Desa Renokenongo dengan harga berkisar antara Rp 60.000 sampai Rp 125.000 per meter persegi. Berdasarkan pengakuan beberapa warga, uang pembebasan lahan diperoleh dari Lurah Renokenongo, bukan dari Lapindo (KomnasHAM 2012). Saat itu, tidak satupun direksi Lapindo yang berhadapan langsung dengan warga dalam proses pembebasan lahan tersebut. Bahkan si pemilik tanah, saat itu, tidak memperoleh informasi yang jelas tentang siapa yang akan mengelola tanah mereka dan untuk apa.

    Dengan demikian, kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas. (bersambung)

    [1] Untuk memudahkan pengutipan, saya memisahkan ‘laporan lengkap’ dengan ‘ringkasan eksekutif’ dari laporan BPK tersebut.

    [2] Laporan Neal Adams menggunakan skala ‘kaki’ (feet), untuk memudahkan pembaca Indonesia saya menggunakan padanan dalam skala ‘meter’ dengan pembulatan ke atas/bawah menghindari koma.

  • WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    RANAHBERITA- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pemerintahan baru yang dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla menuntaskan kasus lumpur lapindo di Jawa Timur secara lebih komprehensif.

    “Jangan hanya dipandang sebagai kewajiban mengganti lahan yang tertimbun lumpur, lebih kompleks dari itu, sehingga perlu penuntasan menyeluruh,” kata Direktur Walhi Jawa Timur Ony Mahardika di Jakarta, Jumat (3/10/2014).

    Ia mengatakan penyelesaian persoalan yang dihadapi korban Lapindo harus tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Dalam hal ini, korban lumpur Lapindo adalah pengungsi internal yang membutuhkan jaminan atas terselenggaranya kebutuhan sesuai dengan kondisi mereka.

    Jaminan tersebut antara lain hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, kebebasan bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah Indonesia dan lainnya.

    “Kami merekomendasikan pemerintahan yang baru untuk secara komprehensif, memperhatikan usaha pemulihan hak-hak korban Lapindo,” ujarnya.

    Upaya pertama yang paling mendesak adalah mengambil alih sisa pembayaran kepada korban, kemudian ditagihkan kembali kepada Lapindo.

    Proses pemenuhan ganti rugi tersebut menurutnya bukan sekedar membayar berkas-berkas surat tanah warga, namun perlu pemetaan kelompok-kelompok korban Lapindo.

    Artinya korban-korban yang ada dalam skema “cash and carry” dengan cicilan, “cash and resettlement”, yang menolak cicilan maupun yang menuntut skema lain selain jual beli harus segera dituntaskan demi keadilan bagi semua korban Lapindo.

    Selain ganti rugi, pemulihan lingkungan dan jaminan kesehatan juga harus direalisasikan sebab usaha menutup semburan lumpur bukanlah prioritas dalam mitigasi bencana lumpur Lapindo tapi pengendalian luapan lumpur di permukaan.

    Pembuangan lumpur melalui kali atau kalan porong dan juga saluran air lainnya membuat pencemaran sistem air bawah tanah di sekitar semburan sampai Selat Madura akan terus meningkat.

    Jaminan pendidikan menurut Ony juga harus diperhatikan sebab sekitar 63 institusi pendidikan yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo, belum satupun yang ditangani pemerintah.

    Berikutnya pemulihan sosial dan budaya warga korban lumpur Lapindo terkait pemindahan paksa korban dari kampung halaman mereka yang terendam lumpur ke hunian baru.

    “Masalah ini kerap luput dari perhatian publik dan media massa. Melekatkan diri ke lingkungan baru, apalagi dilakukan dengan paksaan akan menambah beban bagi pemulihan krisis sosial, ekonomi, psikologis,” katanya menjelaskan.

    Termasuk pemulihan ekonomi juga mendesak dilakukan sebab sebanyak 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja terpaksa tutup karena bencana lumpur Lapindo.

    Tidak kalah penting menurut Ony adalah administrasi kependudukan. Sebab tidak adanya daftar pemilih tetap saat Pemilu 2014 bagi korban Lapindo menjadi salah satu masalah yang memperlambat pemenuhan hak-hak korban Lapindo. (Ant/Ed1)

    Sumber: http://ranahberita.com/30885/walhi-minta-jokowi-jk-tuntaskan-penyelesaian-kasus-lumpur-lapindo

  • Polisi Pastikan Berkas Kasus Lumpur Lapindo Lengkap

    Jumat, 17 Oktober 2008 – Tempo, Surabaya: Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Polisi Herman Surjadi Sumawiredja meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Timur segera menyatakan sempurna (P21) berkas perkara lumpur Lapindo. “Kami sudah berkali-kali kirimkan berkasnya ke Kejaksaan, tapi hingga kini tak juga di P21,” katanya, Jum’at (17/10).

    Padahal, kata Herman, institusinya telah menganggap berkas yang dilimpahkan sudah sangat lengkap. Didalam berkas tersebut juga terdapat fakta-fakta adanya kesalahan dalam pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc sehingga mengakibatkan terjadinya bencana semburan lumpur di Porong Sidoarjo.

    “Saya hanya berharap Kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik terang,” ujar Herman.

    Hingga saat ini, berkas dari Polda Jatim telah dikirimkan kepada kejaksaan hingga empat kali. Hanya saja, Kejaksaan tetap bersikukuh jika berkas yang dikirimkan belum lengkap. Padahal polisi dalam kasus ini setidaknya telah menetapkan sebanyak 13 orang sebagai tersangka dugaan salah prosedur dalam pengeboran sehingga mengakibatkan bencana di Porong Sidoarjo.

    Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Mulyono saat diminta tanggapannya enggan berkomentar. “Tanya Pak Kejati saja,” ujarnya.

    Rohman T | Kukuh SW

    © TempoInteractive

  • Slimy business; Java’s unstoppable mudflow

    FARMERS tilling the fields of Java, the world’s most populous island, have long known that the gods give and they take away. Java’s volcanic soil is astonishingly fertile but, like the rest of Indonesia, alarmingly prone to seismic activity. An earthquake that struck the eastern island of Sumbawa on November 25th killed at least three people.

    But the calamity that has befouled a swathe of semi-industrial farmland in east Java was, by most accounts, a man-made mess. In May last year Lapindo Brantas, an energy company, was drilling for natural gas when it accidentally opened a fissure in the ground. Torrents of hot, toxic mud began to flow. It has been flowing ever since, inundating 11 villages and swamping schools, factories, farms and roads in a 2.5 square mile (6.5 square km) zone. A network of earthen dams and levees holds back a lake of oily grey muck. Some is being pumped into a river and out to sea, despite the risk of contamination from heavy metals and chemicals in the mud.

    Efforts to staunch the flow have ranged from the ambitious to the ludicrous. Hundreds of concrete balls linked by steel cables were air-dropped into the hole, to no good effect. A group of Javanese mystics, offered a cash reward by local authorities to plug the abyss using supernatural powers, fared no better. Various experts have offered advice on how to divert or disrupt the volcano, which has spewed out an estimated 1 billion cubic feet (28m cubic metres) of mud. Japanese scientists have proposed building a 130-foot (40-metre) dam, reasoning that the weight of the exposed mud, which hardens as it dries, would eventually stem the flow. Nobody knows if or when it would stop of its own accord.

    A hand-painted banner across an abandoned strip of toll-road offers its own succinct formula: “Lapindo + Government = Madness”. Many are angry at the government’s sluggish response to the disaster, which has displaced some 16,000 people. Hundreds are still living in a makeshift camp. The local economy has collapsed. Factories and farms have been inundated, and the vital toll-road to the port of Surabaya closed. To ease the appalling traffic a military airport in Malang, a town to the south, has opened to civilian flights.

    Apportioning blame for the disaster has been tricky. Lapindo argued the mudflow was caused by an earthquake that struck central Java two days earlier, a theory pooh-poohed by most geologists. After much dithering, Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia’s president, ordered the company to pay $412m to the afflicted. But inundated villagers get just 20% now, and the rest within two years.

    Mr Yudhoyono may be influenced by Lapindo’s majority shareholder, the diversified family-owned Bakrie Group. At the time of the disaster, its patriarch, Aburizal Bakrie, was the economics supremo in Mr Yudhoyono’s cabinet, having backed his presidential campaign in 2004. Mr Bakrie described the mudflow as a natural disaster that “nothing can prevent”. Perhaps to escape liability, his group tried to sell Lapindo to obscure offshore buyers. But Indonesian regulators blocked the sale. Mr Bakrie has since moved, with no intended irony, to the post of co-ordinating minister for public welfare.

    © The Economist

  • PT Lapindo Brantas Makes Things Clear as Mud in Indonesia

    On May 29, 2006, PT Lapindo Brantas, an Indonesian energy company, was drilling a wildcat well, the Banjar-Panji-1.

    The driller had struggled through 2,500 feet of clays, underlain by gritty sands and volcaniclastics, and decided to drill ahead into porous limestone below 9,000 feet without stopping to set casing. That was a mistake. At about 5 a.m., a fissure opened about 600 feet from the wellhead, and steam, water, hydrogen sulphide, and methane began to escape. Shortly afterwards, hot viscous mud began to flow rapidly from the fissure. It has been flowing ever since, taking with it homes, factories, livelihoods, crops, roads, railways, and reputations, and creating a huge industrial scandal that will have serious repercussions.

    The Banjar well is one of the most environmentally destructive oil and gas wells ever drilled. The toxic mud has been flowing for 18 months now – and could flow for decades to come – at rates of up to 150,000 cubic meters per day. To date it covers at least 2.5 square miles with a billion cubic feet of mud that is quickly turning into mudstone.

    Lapindo Brantas was operating the well on behalf of its two partners: Santos, Australia’s third-largest oil and gas company, and Medco Energi of Indonesia. The well’s target was natural gas deposits in the Sidoarjo area of eastern Java, an area characterized by mud volcanoes. And the fact that Java is the most densely populated island on earth is what makes the Banjar well’s toxic mud volcano so destructive.

    The already horrific catalogue of damage continues to grow. The mud has displaced 13,000 people from their homes. It has inundated 11 towns, 30 schools, 25 factories, a national toll road, and the state-owned Sidoarjo-Pasuruan railway line. It has buried rice paddies and shrimp farms. (Sidoarjo was the second largest shrimp-producing town in the country.) It has also shut down one of east Java’s key industrial hubs with a slow-moving tsunami of hot, sticky, smelly mud that hardens to rock as it dehydrates and cools. It caused a Pertamina-owned gas pipeline to rupture and explode, killing 11. Environmental damage is estimated at between $5 billion and $10 billion.

    If this had happened on the edges of a city, the political response would have been immediate. But these are rural Indonesians, and since they have no money, and therefore no political voice or leverage in post-Suharto Indonesia, they stay displaced, uncompensated, and, until recently, ignored.

    A network of levees and dams has been erected to contain the mud, but have not been successful. Some sludge is pumped into the Porong River, but this has not been successful either; much of the sludge is insoluble and sits in the river in blocks. The rest is rapidly silting up the river and its delta and affecting its flow, causing flooding.

    The mud, containing a dangerous cocktail of benzene, toluene, xylene, heavy metals, ammonia, and sulphur dioxide, is rendering the river lifeless and its estuary barren. The government has proposed channelling the mud to the sea by canal, but this has some obvious drawbacks and has not been tried (yet).

    Other methods to contain the flow have been tried. The national government’s response team air-dropped 1,500 large concrete balls connected by steel chains into the fissure. But that only made the mud flow faster. Japanese contractors proposed building a high-pressure pipeline to divert the mud to the coast for land reclamation. Local authorities brought together 50 mystics to use their supernatural powers to stop the mudflow, for an $11,000 prize. In another bizarre twist, Lapindo Brantas funded production costs for a 13-episode television soap opera called “Digging a Hole, Filling a Hole” to highlight and dramatize stories of the company’s heroism. Needless to say it was not a big hit.

    More recently, the Japan Bank for International Cooperation offered loans of $110 million to build a 130-foot high containment dam around the mudflow, on the theory that the weight of dammed mud would eventually cut off the flow.

    The technical post mortem appears straightforward: Lapindo Brantas’s drill bit penetrated an overpressured reservoir, causing hydrofractures to propagate outwards from the uncased hole and upwards into the overlying seal, rapidly entraining mud, gas, and water to the surface under high pressure. Unfortunately for the victims, the technical explanation is the only thing about this disaster that is straightforward. The rest would give Kafka nightmares.

    Perhaps the drama’s most surreal aspects concern Lapindo Brantas and its owner Aburizal Bakrie, one of Asia’s richest men who also happens to be a senior executive of Golkar (the ruling party) and the former minister for economics. He’s also currently the ironically titled Minister for the People’s Welfare, a financial backer of President Susilo Bambang Yudhoyono’s 2004 election campaign, and one of the vice president’s closest friends. (Bakrie was closely tied to the former Indonesian dictator, Suharto. In the 1990s, those ties helped him to obtain a substantial ownership stake in Freeport-McMoRan Copper & Gold, the U.S. mining outfit that operates the massive Grasberg mine in West Papua. Bakrie sold the Freeport stake in 1997.) Rather than resign his portfolio, Bakrie has tried to convince the government that Lapindo Brantas was just in the wrong place at the wrong time, an innocent witness to a natural disaster. On two occasions he has tried to sell Lapindo Brantas to escape liability, but has been blocked by the financial regulator. The first proposed sale was for $2 to an unnamed offshore company. The second, for $1 million, was to a U.S.-based outfit run by American friends of the family.

    Recently, partner Medco Energi accused Lapindo Brantas of gross negligence in the operation of the Banjar-Panji-1 well. Shortly after that bombshell, the police opened a criminal investigation into the actions of 13 senior managers and engineers at Lapindo Brantas.

    Until recently, Lapindo Brantas was allowed to choose, on a purely voluntary basis, how, why, and whether to compensate those people and businesses affected by the mudflow. It offered some families payments of up to $540 to cover two years’ displacement rental, $60 in moving costs, and $35 per month for food, if they agreed to free Lapindo Brantas from any further liability.

    Most residents rejected the offer, preferring to keep their options open. The company also claimed it was spending $2.4 million per day on efforts to stop or divert the mud, but this was subsequently found to actually be just under $300 per day. Recently, Indonesia’s President Yudhoyono issued a decree ordering the company “to bear all costs and repercussions” of the disaster, and pay compensation to those displaced. But since the decree has no legal consequence, it became apparent that this was another Kafka-esque way to avoid paying anything to anyone. The government has tried to minimize the political damage by setting aside $127 million from the state budget for compensation payments. But the applications are to be screened by a 50-person committee!

    Politicians are outraged because it appears that the government is bankrolling Lapindo Brantas and the Bakries. Citizens are skeptical that they will ever see any of the money.

    Many analysts predict that the Bakrie Group will simply resort to bankruptcy rather than foot any of the multi-billion dollar clean-up and compensation costs. They are money men, not oil men, and won’t lose any sleep if this forces them out of the oil and gas business for good. It is the prudent operators in Indonesia, trying to conduct their activities safely and with a commitment to the country, who will have to live with the aftermath.

    All of which is music to the ears of law firms that specialize in class-action suits. There are legal precedents for hearing offshore class actions in Australia when Australian companies are involved. So look out, Santos. Although it is only an 18 percent non-operating partner in the project, Santos is the only solid target in this whole sorry saga. The company has set aside about $60 million in its current budget to cover liability arising from the mudflow. But litigation experts in Australia believe that amount could underestimate Santos’s liability by as much as two orders of magnitude.

    Bret Mattes

    Sumber: http://www.energytribune.com/articles.cfm?aid=651

  • New Indonesia Calamity, A Mud Bath, Is Man-Made

    It started as a natural gas well. It has become geysers of mud and water, and in a country plagued by earthquakes, volcanoes and tsunamis another calamity in the making, though this one is largely man-made.

    Eight villages are completely or partly submerged, with homes and more than 20 factories buried to the rooftops. Some 13,000 people have been evacuated. The four-lane highway west of here has been cut in two, as has the rail line, dealing a serious blow to the economy of this region in East Java, an area vital to the country’s economy. The muck has already inundated an area covering one and a half square miles. And it shows no signs of stopping.

    The mud is rising by the hour, and now spewing forth at the rate of about 170,000 cubic yards a day, or about enough to cover Central Park.

    Foreign companies, environmental groups and political observers are now watching closely to see whether the government will hold the company that drilled the well accountable for the costs of the cleanup, which could easily reach $1 billion. The company is part of a conglomerate controlled by Aburizal Bakrie, a cabinet member and billionaire who was a major contributor to the campaign of President Susilo Bambang Yudhoyono.

    The disaster occurred as the company, Lapindo Brantas, drilled thousands of feet to tap natural gas and used practices that geologists, mining engineers and Indonesian officials described as faulty. But as the liabilities have escalated, Lapindo was sold — for $2 — last month to an offshore company, owned by the Bakrie Group, and many fear it will declare bankruptcy, allowing its owners to walk away.

    Mr. Bakrie declined to be interviewed. A spokeswoman for Lapindo, Yunawati Teryana, said that it was too early to conclude that Lapindo had acted negligently. She noted that some geologists had said that this was a natural disaster, a natural mud volcano, perhaps set off by seismic activity in the area.

    Government officials and company engineers are not hopeful that they can contain the problem. The government plans to pump the mud into the Porong River, which flows into the sea 20 miles north of here.

    ”It will be the death of the ecosystem around that area,” said Amien Widodo, an environmental geologist who teaches at the November 10 Institute of Technology in Surabaya. There is debate whether the mud is toxic. But the sheer volume alone will smother just about everything in its path, he said.

    The area’s commerce has been devastated. ”We are angry because we were living comfortably in our own home and now we are forced to leave,” Reni Matakupan said as she stood here looking across 200 yards of mud at her family’s factory, DeBrima, which was filling with mud.

    The problems began in late May when the company had reached about 9,000 feet, Mr. Widodo said. It continued to drill to this depth even though it had not installed what is known as a casing around the well to the levels required under Indonesian mining regulations, and good mining practices, Mr. Widodo said. The company experienced problems with the drilling that led to a loss of pressure in the well. That is when the mud started seeping in from the sides of the unprotected well bore, at a depth of about 6,000 feet.

    The mud was stopped by cement plugs that the company had inserted into the well hole. The mud then sought other avenues of escape, eventually breaking through the earth, and creating mud volcanoes.

    If the proper casing had been in place, the mud would not have entered the well, and would not have discovered these other avenues to the surface, said Mr. Widodo, a conclusion supported by mining engineers. Several Western and Indonesian mining engineers spoke about the matter, some offering graphs and mining details that have not been made public, but only on the condition that they not be identified, for fear of running afoul of Mr. Bakrie, the billionaire company owner.

    There does not appear to be any government investigation into what set off the eruptions. After the first eruptions, in late May, the police in Sidoarjo, the district at the center of the disaster, began an investigation, but it appears to have languished. ”I am not confident that anyone will ever be prosecuted,” said H. Win Hendrarso, the regent for Sidoarjo, choosing his words carefully. In an interview in his high-ceilinged office, Mr. Hendrarso, who was elected a year ago, said he had no authority to investigate. Any investigations would have to be by the central government in Jakarta, he said.

    ”I just want Lapindo to take responsibility,” he said. But Lapindo no longer exists, and the company to which it has been sold may not have any assets. Last month, Lapindo’s parent company announced that it was selling Lapindo for $2 to Lyte Ltd., a company that is registered in the offshore Island of Jersey. The majority shareholder in the parent company is the Bakrie Group, and the Bakrie Group is also the sole owner of Lyte, according to public documents.

    The Bakrie Group is owned by Aburizal Bakrie, and his brothers. Lapindo’s parent company, Energi Mega Persada, said in an official securities filing that it was selling Lapindo because of the huge costs it faced in cleaning up after the mud flow, and it was better to use its assets for its other oil and gas projects.

    An Energi spokesman, Herwin Hidayat, said the Bakrie Group remained committed to cleaning up the mud, through Lyte. He declined to say what assets Lyte had, if any. He said it was a ”functioning company.” He declined to give any examples of any business that it had done.

    A concern now is whether Lyte, which has been renamed Bakrie Oil & Gas, will declare bankruptcy, which seems inevitable. ”That’s what I’m afraid of,” said Mr. Hendrarso. If the Bakrie Group does not pay, the Indonesia government will be left with the bill, officials said.

    Raymond Bonner and Muktita Suhartono 

    © New York Times

  • Mining firm blamed for mud flooding: report

    A police probe into the cause of the “mud volcano” that has made 15,000 people homeless in Indonesia’s East Java reportedly points to negligence by a mining company.

    Mud began to flow out of an exploratory gas drilling well operated by Pt Lapindo Brantas in May, last year. The mud has since flooded about 600 hectares of land and submerged whole villages.

    Kompas newspaper quotes East Java police chief Herman Suryadi Sumawiredja as saying experts believe there is a link between the mud flow and the activities of the well.

    He says police have questioned eight experts over the cause of the outflow. The police chief says the probe has concluded that the mud began to break out to the surface because of negligence by PT Lapindo Brantas during drilling at the well.

    The police have declared 13 people as suspects in the case, all of whom are executives of PT Lapindo Brantas or field workers. Their indictments are still being prepared.

    Kompas also quotes Indonesian Geologists Association head Andang Bachtiar as saying Lapindo’s use of mud to offset fluid coming out from the well was of a wrong density and caused the shaft to crack.

    An oil and gas expert from the Bandung Institute of Technology, Rudi Rubiandini, says the company used the regulatory steel casing to drill the well only up to a depth of 3,600 feet and dispensed with its use for the remaining 5,700 feet.

    Sumber: ABC News Online

  • Lapindo vs Rakyat vs Negara

    Kini lumpur Lapindo memasuki babakan baru. Nasib rakyat dipertaruhkan. Juga uang negara. Jika kasus itu dikategorikan bencana alam, triliunan rupiah uang rakyat yang dikutip negara akan dikorbankan. Nuansa itu yang semakin kental dalam penanganan perkara ‘Kota Neraka’ Sidoarjo. Benarkah begitu?

    Hari-hari ini rakyat korban lumpur Lapindo keleleran di berbagai tempat di Jakarta. Mereka menderita dan terus berjuang menuntut haknya. Sisi lain, kasus pidananya masih menggantung. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus ini bolak-balik dari Polda Jatim ke Kejaksaan Tinggi dan kembali lagi ke Polda. Itu, katanya, karena kurang alat bukti.

    Dua tahun sudah kasus ini mengambang. Musibah itu terjadi semula diindikasikan karena efisiensi yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. Pengeboran yang dilakukan tanpa cassing. Lapisan bumi penutup lumpur terkuak, tekanannya merekahkan tanah, menyemburkan lumpur yang belum diketahui berapa juta atau miliar meter kubik kandungannya.

    Namun indikator itu akhir-akhir ini dimentahkan. 12 pakar yang dilibatkan pendapatnya terpecah. Tiga pakar menyebut lumpur itu akibat human error. Sedang sisanya mengatakan meluapnya lumpur itu adalah bencana alam. Alam yang salah. Mengirim lumpur mencelakakan manusia.

    Itu yang menjadi alasan pihak Kejaksaan akan mempelajari ‘Black Box’. Kesaksian warga yang terkena musibah, serta ahli pengeboran. Namun yang perlu dikritisi, pendapat warga yang mana. Dan juga para ahli pengeboran yang berafiliasi kemana. Sebab perkara ini dalam proses waktu sudah ‘terkonversikan’ dengan uang. Nuansa kasusnya menjadi sangat ekonomis dan politis. Jika pihak Kejaksaan tidak jeli, maka kasus Lapindo ini bisa kian memperburuk citra institusi ini.

    Mengapa musibah dipertalikan dengan uang? Itu tak terhindarkan dalam perkara lumpur Lapindo ini. Contoh sederhana yang sudah bisa dirasakan semuanya, lihatlah media yang memberitakan miring kasus ini selalu happy ending dengan iklan. Simak musibah bulan kemarin ketika tiga orang terbakar gara-gara merokok di daerah yang udaranya sudah dipenuhi gas itu, tidak satu pun media memberitakan. Masuklah Pilkada Jawa Timur, maka ada aroma Lapindo di sana. Serta tanyalah dinding resto Shangrilla Hotel di Jl Mayjen Soengkono, mereka akan banyak cerita nego soal-soal yang berbau lumpur. Jadi jangan kaget jika kecurigaan sejenis juga ditujukan pada polisi dan kejaksaan.

    Mengapa lumpur Lapindo dicurigai kental dengan aliran uang? Itu tidak sulit diraba. Musibah ini bagi sebuah perusahaan ibarat pembuatan water treatment. Wajib dibangun dengan dana besar, tapi kurang produktif bagi pandangan dunia usaha. Akibatnya banyak yang mensiasati dengan menyuap pejabat korup. Itu pula kenapa pencemaran akut tidak terelakkan.

    Dalam kasus lumpur Lapindo hampir sama. Di dalamnya ‘teronggok’ uang bertriliun-triliunan rupiah. Celakanya uang itu masuk kategori tidak produktif, karena untuk dibayarkan pada korban lumpur. Baik untuk ganti rugi lahan persawahan, pemukiman penduduk, serta berbagai pabrik yang terendam lumpur.

    Uang itu darimana? Bisa dari kocek Lapindo Brantas Inc atau dari pemerintah. Lapindo harus mengeluarkan uang itu jika kelak divonis salah dalam pengeboran. Atau pemerintah yang harus mengkafer itu kalau kasus lumpur ini dinyatakan sebagai bencana alam. Tidak mengherankan kalau berbagai aksi dan mungkin juga kesaksian yang mengarahkan kasus itu sebagai bencana alam selalu dituding sebagai langkah menuju ‘pengalihan’ tanggungjawab Lapindo.

    Jika kondisinya seperti itu, bisa dimaklumi jika berbagai pihak sekarang asyik ‘bermain’. Perkara yang semula terang itu jadi mentah. Itu karena skenario besar sedang menggelinding. Padahal pengeboran tanpa dicassing jelas-jelas sebuah kesalahan. Penahan lapisan lumpur itu terkuak, dan tekanannya melesak kemana-mana. Kendati semburan itu tidak persis di pengeboran yang dilakukan Lapindo.

    Namun sebelum semuanya terjadi, yakinlah, rakyat dan negara akan ‘dikorbankan’. Lumpur yang sudah menyembur dua tahun itu bakal divonis sebagai bencana alam. Dengan begitu rakyat yang terkena musibah akan ditangani negara. Uang negara yang dipungut dari rakyat itu akan dijadikan ‘pampasan perang’  untuk mengatasi itu.

    Tanda-tanda menuju ke sana sudah semakin benderang. Tiga gelintir pakar yang tidak kompromi itu naga-naganya ke depan bakal ikut mengamini suara mayoritas. Adakah Kejaksaan dan polisi bisa dijadikan pegangan untuk secara adil menangani kasus ini? Harapan rakyat dan negara memang tinggal itu.

    Djoko Su’ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

    © DetikNews

  • Polisi Diminta Lengkapi Keterangan Ahli Pengeboran Lapindo

    JAKARTA — Kejaksaan Agung menduga data yang dicatat petugas pengeboran Lapindo berbeda dengan data dalam alat pencatat kegiatan perkembangan pengeboran real time chart (RTC). Menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Bonaventura Daulat Nainggolan, kejaksaan meminta agar berkas perkara kasus semburan lumpur Lapindo dilengkapi hasil pembacaan ahli atas RTC.

    “Hasil RTC hanya bisa dibaca ahli,” kata dia di Kejaksaan Agung kemarin. RTC, kata dia, selama ini belum dibaca. RTC adalah alat pencatat kegiatan pengeboran yang hasilnya digambarkan dalam grafik. Hasil rekaman ini mencatat data pengeboran dari awal sehingga bisa diketahui penyebab menyemburnya lumpur.

    Kamis pekan lalu polisi telah melakukan gelar perkara atau ekspose kasus lumpur Lapindo di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dari hasil gelar perkara, kejaksaan mengembalikan berkas penyidikan kepada polisi. Kejaksaan menganggap berkas belum dilengkapi hasil pembacaan ahli atas RTC.

    Setelah hasil RTC di tangan penyidik dan jaksa calon penuntut, Nainggolan melanjutkan, kejaksaan akan mempertemukan sejumlah ahli dalam berkas perkara dan ahli dari korban lumpur Lapindo. Hasil pertemuan, kata dia, akan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

    Sejauh ini terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab menyemburnya lumpur Lapindo. Pihak Lapindo berkukuh mengatakan semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh bencana alam. Adapun sejumlah ahli mengatakan semburan akibat aktivitas pengeboran Lapindo di sumur Banjar Panji 1.

    Juru bicara PT Lapindo Brantas, Yuniwati Teryana, menyatakan petugas drilling telah mencatat kegiatan pengeboran sesuai dengan standar operasi pengeboran. “Hasilnya pun dimonitor setiap waktu,” kata Yuniwati dalam pesan singkatnya. Prinsipnya, kata dia, tak ada perbedaan antara catatan petugas pengeboran dan data di RTC.

    ANTON SEPTIAN | PRAMONO

    © Koran Tempo

  • Lapindo, Davies, dan Tingay

    Kasus semburan lumpur Lapindo kini menghangat lagi. Polisi akan meminta keterangan para ahli untuk membaca laporan pengeboran sumur Banjar Panji I milik PT Lapindo Brantas yang menyemburkan lumpur panas tersebut. Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Rusli Nasution menyatakan dua ahli baru dimintai keterangan bulan depan (Koran Tempo, 28 Juli 2008). Siapa dua ahli itu? Kita tunggu saja.

    Yang jelas, perkembangan kasus Lapindo makin hangat lagi setelah sekian lama redup. Pekan lalu, misalnya, masyarakat Indonesia seakan kembali tersedak ketika Dr Mark Tingay dari Curtin University, Australia, menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo terjadi karena kesalahan manusia.

    Kesimpulan dari berbagai kajian ilmiah yang dilakukan tim Curtin University, menurut Tingay, menunjukkan bahwa semburan lumpur itu bukan akibat gempa bumi Yogya. Alasannya, gempa Yogya yang berkekuatan 6,3 skala Richter ketika sampai di Sidoarjo getarannya hanya tinggal 2 skala Richter. Kekuatan getaran 2 skala Richter sama dengan gelombang kecil di pinggir kolam. Tak akan bisa memicu perubahan struktur geologis yang menyebabkan munculnya semburan lumpur dari perut bumi Sidoarjo (Koran Jakarta, 24, 25, dan 26 Juli 2008).

    Sebelumnya, Richard J. Davies, pakar geologi Inggris, juga mengumumkan hasil penelitiannya tentang penyebab munculnya semburan lumpur panas tersebut. Dengan dedikasi ilmiahnya yang meyakinkan, Davies, ahli geologi dari Department of Earth Science, University of Durham, Inggris, menyatakan bahwa munculnya semburan lumpur panas Sidoarjo bukanlah peristiwa alami, melainkan lebih diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam melakukan pengeboran migas.

    Davies dalam makalahnya yang dimuat dalam jurnal Earth Planetary Science and Letters edisi terbaru berjudul “Birth of Mud Volcano: East Java”, 29 Mei 2006, mengungkapkan kesimpulannya yang diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: Lusi (lumpur Sidoarjo) muncul karena adanya tekanan tinggi pada kedalaman 2,5-2,8 kilometer pengeboran migas terbuka, sehingga menimbulkan pecahan pada batu-batuan (lapisan bumi). Lusi menunjukkan bahwa gunung lumpur itu muncul akibat adanya retakan-retakan pada lapisan-lapisan tanah di kedalaman berkilo-kilometer, sehingga menyebabkan air dari lapisan yang amat dalam keluar dan bercampur lumpur pada lapisan-lapisan bumi di atasnya.

    Dengan melihat aktivitas semburan lumpur yang telah berlangsung 173 hari (kini 660 hari–Red), kami yakin semburan tersebut akan terus aktif dalam beberapa bulan, bahkan beberapa tahun ke depan. Permukaan tanah di daerah yang terletak beberapa kilometer dari semburan lumpur akan mengalami penurunan (subsidence) dalam beberapa bulan ke depan, dan penurunannya makin parah di daerah yang berdekatan dengan pusat semburan. Dengan membuat model dan pengukuran amblesnya permukaan tanah, akan bisa diprediksi sejauh mana dampak gunung lumpur tersebut terhadap penduduk lokal.

    Sebetulnya, apa yang disimpulkan Mark Tingay dan Davies hampir sama dengan apa yang disimpulkan Prof Dr Rudi Rubiandini, Guru Besar Geologi ITB, dan Dr Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Davies dan Tingay, dengan tradisi ilmiahnya yang ketat, baru menyimpulkan setelah melakukan serangkaian studi dan analisis yang panjang dan teliti, baik di lapangan maupun literatur. Makalah Davies bisa dimuat di jurnal geologi terkemuka dunia tersebut setelah tim redaksi jurnal yang terdiri atas para pakar geologi Universitas Durham melakukan kajian mendalam.

    Tentu saja, kesimpulan Tingay, Davies, dan sejumlah pakar ITB tidak akan bisa diterima oleh pihak Lapindo Brantas. “Siapa pun bisa membuat interpretasi atau pendapat atas terjadinya semburan lumpur tersebut,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat PT Lapindo Yuniwati Teryana saat dimintai tanggapan atas kesimpulan Davies. Yuniwati menjelaskan bahwa Lapindo telah melakukan kajian dengan para ahli.

    Kesimpulannya menyebutkan: pengeboran yang dilakukan sudah sesuai dengan standar pengeboran yang berlaku secara nasional maupun internasional. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang dikenal dekat dengan Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo Brantas, menyatakan bahwa laporan hasil penelitian pihak asing tidak bisa mempengaruhi keputusan pemerintah. Pemerintah telah menetapkan semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional, dan karena itu ganti rugi masyarakat yang terkena dampak diambil dari APBN.

    Sungguh mengherankan bila cara berpikir wakil presiden negeri sebesar Indonesia sama dengan Kepala Divisi Humas Lapindo. Padahal, faktanya, bila pengeboran sudah sesuai dengan standard operasi, kenapa ada operator pengeboran yang disalahkan dan dijadikan tersangka oleh kepolisian? Dan publik sejak awal sudah mengetahui dari pendapat para ahli perminyakan bahwa blow out (semburan lumpur tersebut) terjadi karena pada pengeboran di sumur Banjar Panji-1, khususnya pada kedalaman 4.000 feet ke atas, Lapindo “sengaja” tidak digunakan casing (selubung). Akibatnya, ketika ada tekanan tinggi dari dalam yang menimbulkan semburan tersebut, operator Lapindo tidak bisa mengatasinya. Dan akibatnya terjadilah semburan lumpur yang hingga kini sudah berlangsung dua tahun lebih itu. Bagaimana mekanisme munculnya semburan lumpur akibat tiadanya casing tersebut, Tingay, Davies, Rudi, dan Andang mempunyai penjelasan yang nyaris sama.

    Memang benar, pihak Lapindo berkukuh pada pendapat bahwa semburan lumpur itu muncul akibat pengaruh gempa bumi di Yogyakarta, dua hari sebelumnya. BPPT dan LIPI secara institusi agaknya pro terhadap pendapat terakhir ini. Meski demikian, sejumlah ilmuwan independen, termasuk para pakar geologi dari ITB dan BPPT sendiri, menolak pendapat tersebut. Bahkan seorang pakar geologi dari IAGI menuduh ilmuwan BPPT dan LIPI yang berpendapat bahwa semburan lumpur itu akibat pengaruh gempa bumi di Yogya sudah terkooptasi oleh pemilik Lapindo, yang notabene Menteri Koordinator Kesra Aburizal Bakrie.

    Lantas, mana yang benar? Sampai saat ini pengadilan belum memutuskan siapa yang salah, Lapindo atau gempa bumi. Namun, meski belum ada keputusan pasti siapa yang salah, peraturan presiden yang terkait dengan Lapindo sejak awal menyiratkan bahwa semburan lumpur itu akibat gempa bumi. Dan pemerintah sudah memutuskan bahwa kasus semburan lumpur Sidoarjo adalah bencana alam, sama dengan gempa bumi Yogya. Karena bencana alam, pemerintah yang menanggung segala kerugian akibat semburan lumpur itu dengan dana APBN. Tragis memang, uang rakyat dipakai untuk menanggung kerugian yang amat besar akibat ulah Lapindo. Padahal sebagian besar rakyat Indonesia sangat miskin dan hidupnya sangat menderita.

    Wahyudin Munawir, alumnus Geofisika ITB, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, penulis buku Lapindo Gate