Tag: tanggulangin

  • Sudah 14 Tahun Lumpur Lapindo, Pulihkah?

    Bambang Catur Nusantara

    Dewan Nasional WALHI dan Koordinator Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (POSKOKKLuLa).

    Selama empat belas tahun, terhitung sejak 29 Mei 2006, lumpur Lapindo telah mengakibatkan terusir sedikitnya 20 ribu keluarga dari tempat tinggal mereka. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menangani masalah ini melalui beberapa Peraturan Presiden yang terus mengalami revisi sebagai akibat terus meluasnya dampak semburan. Selain mengatur dampak sosial ekonomi warga dengan skema penggantian jual beli, salah satu yang masih dilakukan hingga saat ini adalah pembuangan lumpur di sungai Porong.

    Sungai Porong merupakan sungai yang penting bagi kehidupan warga di Sidoarjo sejak dari masa lampau. Air sungai digunakan untuk sumber air irigasi pertanian dan budidaya perikanan. Sejak pembuangan lumpur ke sungai Porong pada 2007, ditemukan kandungan logam berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada air, sedimen, dan biota. Penelitian awal yang dilakukan WALHI Jawa Timur pada tahun 2008, menemukan setidaknya dua jenis logam berat Pb dan Cd, yang melampaui ambang batas aman. Penelitian itu dilakukan pada area di sekitar semburan lumpur dan air sungai Porong. Pada 2013, Tarzan Purnomo, seorang peneliti dari UNESA, menemukan kandungan logam berat Timbal pada tubuh ikan, ribuan kali diatas ambang batas aman.

    Pada tahun 2010, JATAM dan PoskoKKLuLa memeriksa kesehatan korban Lapindo yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan. Dalam pemeriksaan diketahui, hasil Haematologi lengkap menunjukkan 75% dari 20 terperiksa, ternyata dalam kondisi tidak normal. Sepuluh tahun kemudian, pemeriksaan kesehatan umum (MCU) Maret tahun 2020, kepada sejumlah 25 warga korban lumpur yang tinggal di sekitar semburan, menunjukkan mayoritas mengalami infeksi saluran kemih (ISK). Sejumlah 16 warga dari 25 terperiksa mengalami infeksi ini. Ahli kesehatan yang dimintai pendapat terkait infeksi saluran kemih menyatakan ada tiga faktor utama penyebab infeksi: kualitas air minum, pola hidup, dan stress. Dalam situasi di wilayah lumpur Lapindo, tiga faktor ini bisa saling bertautan pada hidup warga.   

    Hasil pemeriksaan logam berat pada air dan sedimen yang dilakukan PoskoKKLuLa pada tahun 2018 dan 2019 juga tetap menunjukkan temuan kontaminasi Pb dan Cd. Pada sembilan lokasi yang diperiksa, menunjukkan ada lokasi yang meski airnya tidak mengandung kedua jenis logam berat, namun pada kompositnya ditemukan logam berat. Jika menggunakan rujukan KemenLH No 51/2004 yang menetapkan baku mutu air untuk pelabuhan Pb 0.05 mg/L dan Cd 0.01 mg/L dan untuk wisata bahari Pb 0.005 mg/L dan Cd 0.002 mg/L, maka hanya lokasi di Tanjungsari, Desa Kupang, yang memenuhi syarat untuk area budidaya dan pelabuhan. lokasi lain tak layak.

    Hasil pemeriksaan pada biota Kupang menunjukkan Cd sejumlah 20.68 mg/kg dan Pd sejumlah 17.36 mg/kg. Batas aman konsumsi untuk Kupang hanya 1,5mg/kg. Sedangkan Cd batas aman 1 mg/kg. Kupang yang diperiksa puluhan kali melebihi ambang batas aman dikonsumsi. Pada pemeriksaan sebelumnya oleh Walhi Jatim dan PoskoKKLula (2017), jenis udang, ikan, dan rumput laut hampir seluruhnya mengandung Pb dan Cd melebihi baku mutu SNI 7387:2009.

    Gambar1. Peta lokasi titik pemeriksaan logam berat

    Jika diperbandingkan dengan temuan hasil biomonitoring maka kondisi logam berat ini berkesesuaian dengan hasil amatan dengan indikator biota tidak bertulang belakang (makroinvertebrata) pada empat lokasi sungai Brantas Porong yang di tiga lokasi menunjukkan tercemar berat, hanya di wilayah Tanjungsari Desa Kupang, yang wilayahnya tercemar ringan.

    Sementara wilayah irigasi di Kedungcangkring, pemeriksaan laboratorium tidak menemukan kandungan logam berat Pb, dalam pemeriksaan biomonitoring juga menunjukkan level tercemar ringan. Di lokasi Keboguyang dan lokasi Gempolsari, kondisinya tercemar sedang. Pada dua lokasi lain, Tambak Kalisogo dan Glagaharum menunjukkan tercemar berat. Dua lokasi terakhir merupakan saluran irigasi aktif untuk sawah, kolam, dan juga perikanan tambak di sisi paling timur.

    LokasiKondisi Badan SungaiKondisi Air Sungai
    Titik 1: Sungai Brantas, GempolTidak SehatTercemar Berat
    Titik 2: Sungai Brantas, BesukiTidak SehatTercemar Berat
    Titik 3: Sungai Brantas, TanjungsariKurang SehatTercemar Berat
    Titik 4: Sungai Brantas, TlocorTidak SehatTercemar Berat
    Titik 5: Irigasi BesukiKurang SehatTercemar Berat
    Titik 6: Irigasi BuaranTidak SehatTercemar Berat
    Titik 7: Irigasi PermisanTidak SehatTercemar Berat
    Titik 8: Irigasi GlagaharumTidak SehatTercemar Berat
    Titik 9: Irigasi PologuntingTidak SehatTercemar Berat
    Tabel 1. Hasil pantau biomonitoring.

    Pemeriksaan melalui biomonitoring ini mempermudah penilaian awal kualitas air sungai. Pemeriksaan yang dilakukan Agustus 2019 pada lokasi titik sampel Gempol, Tanjungsari, dan Tlocor, menunjukkan bagian Sungai Porong dekat pembuangan lumpur Lapindo(Gempol dan Besuki) tercemar berat, di wilayah tengah (Tanjungsari) tercemar ringan, dan wilayah hilir (Tlocor) tercemar berat. Sementara sungai irigasi bagian timur tanggul lumpur Lapindo menunjukkan satu lokasi tercemar ringan(Besuki), dua lokasi tercemar sedang(Buaran dan Pologunting), dan dua lokasi tercemar berat(Glagaharum dan Permisan).

    Sejak awal hingga saat ini, informasi terkait situasi sosial, lingkungan, kesehatan, maupun dampak lainnya pada area-area terdampak belum sepenuhnya bisa diketahui oleh masyarakat yang tinggal disana. Hampir tidak ada informasi yang berkaitan dengan lingkungan yang bisa menggambarkan buruknya wilayah semburan lumpur Lapindo ini.

    Kondisi ini juga kemudian diperparah dengan belum jelasnya pemulihan hak-hak korban Lapindo. Degradasi kualitas lingkungan seharusnya disandingkan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Hasil penelusuran rekam tren penyakit di Puskesmas sekitar semburan lumpur Lapindo, menunjukkan adanya dampak kesehatan yang serius pada warga. Jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong, Tanggulangin, dan Jabon mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2007. Di Puskesmas Porong paring tinggi peningkatannya. Dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Catatan tren penyakit pada tahun 2019 juga menunjukkan ISPA masih yang teratas. Rata-rata di masing-masing puskesmas masih diatas 15 ribu. Hasil medical check up (diinisiasi PoskoKKLuLa dan JATAM, 2019) pada 25 warga menunjukkan 7 warga mengalami restriksi ringan pada paru-paru, dua diantaranya menunjukkan indikasi pneumonia. 

    Tabel 2. Tren ISPA di Puskesmas Porong 

    Pemantauan secara periodik kualitas udara dilakukan setiap musim sejak 2017 oleh PoskoKKLuLa dengan menggunakan ecochecker, lempeng perak. Seluruhnya konsisten menunjukkan paparan hidrogen sulfida (H2S). Lempeng perak yang terpasang selama satu bulan, telah mengubah warna perak menjadi gelap. Paparan H2S ini terkonfirmasi dengan gas detector. Penggunaan lempeng tembaga untuk mengidentifikasi paparan klorin digunakan pada musm kemarau dan hujan tahun 2019, menunjukkan perubahan warna yang sama. Yang terakhir, pemeriksaan menggunakan gas detector pada bulan Maret 2020 menunjukkan adanya PAH di udara sekitar area semburan lumpur Lapindo.   

    Gambar 3. Hasil olah pemantauan udara dengan lempeng perak (Desember 2017 – Januari 2018), warna merah menunjukkan perubahan paparan H2S yang tinggi

    Pada akhir 2019, tiga puskesmas di sekitar area semburan tetap mencatat ISPA sebagai penyakit dengan penderita paling banyak. Jika dibandingkan tren ISPA tahun 2016 dan 2017, jumlah ini naik beberapa ribu warga. Tren ini menunjukkan persoalan pernafasan menjadi yang paling utama diantara kasus kesehatan yang lain, pada situasi wabah Covid 19 saat ini, warga dalam posisi sangat rentan.

    Wabah Covid 19 telah membatasi ruang gerak korban Lapindo. Pengojek di atas tanggul terpukul paling awal. Tidak ada pegunjung di area semburan. Sebagian warga korban Lapindo yang masih menggantungkan penghasilan dari jasa ojek mengantarkan pengunjung lokasi semburan. Alternatif pendapatan lain juga tidak ada, wilayah Sidoarjo menerapkan pembatasan sosial berskala besar sejak April. Saat ini diperpanjang untuk ketiga kali.

    Dengan situasi seperti ini, pengurus negara seharusnya melakukan mitigasi perluasan dampak lumpur lapindo dengan melakukan serangkaian tindakan: pertama, memeriksa kualitas lingkungan hidup di sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Setidaknya logam berat harus diperiksa pada air, sedimen, tanah di sekitar lumpur Lapindo sepanjang sungai Porong, sungai irigasi, dan sumur warga di sekitar semburan. Pemeriksaan juga sangat perlu dilakukan pada biota air dan laut yang menjadi bahan konsumsi, seperti Kupang, kerang, dan ikan; kedua: melakukan pemantauan kesehatan warga dengan melakukan pemeriksaan kesehatan (MCU) untuk mendapatkan gambaran utuh kondisi kesehatan dan perubahan-perubahannya, lalu melakukan upaya pencegahan pemburukannya; ketiga, melakukan pendampingan untuk pemulihan ekonomi warga melalui serangkaian program penguatan ketrampilan, permodalan, dan akses pasar. Ketergantungan korban Lapindo pada pihak lain sebagai satu-satunya sumber pendapatan, seperti saat Covid 19 ini, akan selalu menjadikan warga dalam posisi rentan; keempat, pengetatatan ijin ekstraksi sumber daya alam pada wilayah kelola rakyat dengan mengutamakan hak rakyat untuk menolak kegiatan yang merugikan penghidupan mereka. Penghentian ijin pengeboran migas di Sidoarjo menjadi salah satu kebijakan mencegah risiko bencana yang berulang; kelima, ketiadaan panduan pengelolaan menangani bencana industri membuat situasi lumpur Lapindo tidak mendapatkan penanganan komprehensif. Sudah seharusnya disusun panduan khusus memitigasi bencana industri dan mengelola risiko bencana industri. BNPB perlu prioritaskan penyusunan panduan ini. Jika tidak segera dilakukan, niscaya kegagapan dalam mengelola risiko bencana industri seperti pada kasus lumpur Lapindo masih akan terus dijumpai. Risiko bencananya tak mampu dicegah, lingkungan tak bisa diperbaiki, dan hidup warga tak bisa dipulihkan. Rakyat yang akan terus diminta mensubsidi, menjadi korban, lagi dan lagi.     

  • Produk murah China menggempur Tanggulangin

    Produk murah China menggempur Tanggulangin

    kontan sentra tas tanggulangin 2Kontan – SIDOARJO. Baru pulih dari imbas bencana semburan lumpur Lapindo, industri tas dan koper Tanggulangin harus berhadapan dengan serbuan impor asal China. Harga jual yang miring menyebabkan  pelanggan beralih memburu produk buatan China ketimbang made in lokal.

    Apalagi, model-model tas produk impor  jauh lebih cantik, sehingga kerap kali  membuat pelanggan jatuh hati. Selain  itu, warnanya juga menarik dan terlihat  mewah, meskipun terbuat dari kulit  sintesis. Kebanyakan, produk impor yang  paling banyak masuk adalah tas wanita  dan ikat pinggang.

    “Kalau barang impor terus masuk, tenaga  terampil di sini tidak siap bersaing,  pasar kami akan dimakan luar negeri  semua terutama China,” keluh HM Kasdu,  pemilik usaha Jawa Centrum.

    Tas impor yang makin populer membuat  pemilik toko di Tanggulangin, mau tak  mau harus menyediakan produk impor  tersebut. Padahal, kata Imam Zultoni,  pemilik Sultan Collection, secara  kualitas, buatan lokal masih lebih bagus daripada impor. Sebab, produk lokal menggunakan kulit sapi asli dan  bahannya lebih tebal daripada produk  yang impor.

    “Produk impor cepat rusak tapi orang  lebih suka impor jadi saya jual juga  untuk melengkapi isi toko dan memenuhi  permintaan pembeli,” kata Imam.

    Selain produk jadinya, impor alat  produksi dari China pun semakin merajai  industri pembuatan tas dan koper di  Tanggulangin. Dulu, rata-rata, tas  dibuat dalam produksi rumahan dan dibuat  secara manual. Kini, semakin banyak  perajin yang menggunakan mesin dari  China.

    Kelebihan mesin asal China adalah  pengerjaan produksinya menjadi lebih  cepat. Kasdu mencontohkan, untuk  penjahitan koper, dulu semua dilakukan  manual. Penjahit harus membolak-balik  koper sendiri. Sekarang, hanya dengan  menggunakan mesin penjahit koper, sekali pencet tombol, koper akan membalik  sendiri dan penjahitan lebih cepat.

    Contoh lainnya adalah ketika proses  membordir. Saat ini, sudah ada mesin  bordir dari China yang bisa membordir 14  produk sekaligus. “Membuat bordiran 100  produk sekarang ini 30 menit juga bisa  selesai,” ujar Kasdu. Namun, memang kualitas produk saat pembuatan  manual masih tetap nomor satu.

    Untuk membendung serbuan produk impor, Kasdu  berharap, pemerintah harus gencar  mempromosikan produk lokal yang tak  membebani pengusaha lokal. “Dulu ada  Tanggulangin Fair, sempat diadakan lima  tahun, tapi entah kenapa kemudian  berhenti. Semoga ke depan semakin banyak  event dan pameran untuk produksi tas  lokal,” ujar Kasdu.

    Selain bantuan promosi, Imam bilang  bantuan permodalan juga dibutuhkan para perajin serta pengusaha tas dan  koper di Tanggulangin. Seringkali Imam  harus menunda pesanan jumlah besar  karena dananya tak mencukupi.  Menurutnya, pinjaman dana dari perbankan sulit didapat setelah peristiwa bencana lumpur Lapindo.

    © Revi Yohana | Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/produk-murah-china-menggempur-tanggulangin

  • Pajang aneka produk sampai diskon harga

    Pajang aneka produk sampai diskon harga

    Kontan – SIDOARJO. Setelah tujuh tahun terhempas bencana lumpur Lapindo, kini sentra industri tas di Tanggulangin, Sidoarjo mulai pulih. Para perajin mampu keluar dari kondisi terpuruk tak terlepas dari berbagai upaya yang mereka lakoni untuk menggaet pembeli.

    Pemilik toko Jawa Centrum, HM Kasdu misalnya, rajin menambah varian produk. Di tokonya, ia mengandalkan penjualan aneka koper dan tas, mulai dari tas anak-anak hingga tas orang dewasa. Namun, ia juga menjajakan produk lain, seperti sandal, sepatu, dompet, dan ikat pinggang.

    “Saya pakai teori begini. Mengoleksi sebanyak-banyaknya barang dagangan di toko, baik dari jenis, mutu, dan harga yang berbeda. Jadi, orang melihat-lihat dan pilih-pilih saja sudah senang,” tutur Kasdu.

    Untuk produk koper saja, Kasdu menyediakan berbagai ukuran, mulai 16 inchi sampai 29 inchi. Harganya berkisar Rp 125.000 hingga Rp 1,2 juta, tergantung ukuran dan kualitas koper.  Sementara, tas anak-anak dibanderol harga antara Rp 20.000 hingga Rp 200.000 per unit. Tas wanita dipatok mulai Rp 50.000 hingga ratusan ribu rupiah per unit.

    Daya tarik lainnya, Kasdu membolehkan pembeli menawar produknya. “Karena kebanyakan pelanggan lebih puas jika bisa menawar,” ucapnya.

    Kasdu juga rajin menggaet penyedia jasa tour & travel, khususnya untuk umroh. Makanya, ia kerap menerima pesanan koper untuk umroh dari pihak travel. Tak jarang, ia menerima pesanan tas dari organisasi Bhayangkari. Pelanggannya datang dari  berbagai kota di Pulau Jawa, Sumatera hingga Kalimantan.

    Satu lagi yang dilakukan Kasdu, yaitu bisa mempercepat proses pengerjaan dari tenggat yang biasanya diberikan. Misalnya, pengerjaan 100 unit tas atau koper biasanya memakan waktu hingga lima minggu. “Namun, dalam 25 hari biasanya sudah saya selesaikan, dan saya katakan bahwa pengiriman akan saya majukan. Itu akan membuat mereka sangat senang,” ungkapnya.

    Strategi ini terbilang ampuh. Buktinya, beberapa pelanggan kembali memesan  padanya. Menurutnya, musim paling ramai untuk kedatangan tamu adalah liburan anak sekolah sekitar pertengahan tahun, serta awal tahun dan akhir tahun.

    Pemilik Sultan Collection, Imam Zultoni pun menerapkan strategi tak jauh beda. Ia memajang banyak varian produk di tokonya. Meskipun, tas wanita masih menjadi produk paling dominan.Harganya bervariasi mulai dari Rp 60.000 hingga Rp 250.000 per unit.

    Tas yang dijual beragam, mulai produksi lokal dari bahan kulit sapi asli, hingga berbagai produk impor dari bahan kulit imitasi. Sebagian lagi merupakan tas hasil produksi sendiri.

    Selain itu, Imam bilang,  ia harus bisa memprediksi model apa yang digandrungi pasar. “Model apa yang sedang banyak dicari, kami stok,” tuturnya.

    Nah, bagi pelanggannya, ia tak sungkan memberikan potongan harga alias diskon dari harga yang tertera. Biasanya, bagi pembeli eceran, ia memberi diskon berkisar 10% – 25%. Adapun, untuk pembelian dalam jumlah banyak, potongan harga bisa mencapai 40%.

    © Revi Yohana | Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/pajang-aneka-produk-sampai-diskon-harga-2

  • Kembali bangkit dari bencana lumpur

    Kembali bangkit dari bencana lumpur

    kontan sentra tas tanggulanginKontan – SIDOARJO. Sempat terpuruk gara-gara lumpur Lapindo, sentra tas di Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur kini kembali ramai pengunjung. Kondisi itu terlihat saat KONTAN mengunjungi sentra tas ini beberapa waktu lalu.

    Banyak pengunjung yang mayoritas wanita memadati sentra ini. Mereka terlihat asyik memilih aneka tas yang dipajang di tiap-tiap toko.

    Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan beberapa tahun lalu ketika kawasan ini masih terkena dampak semburan lumpur Lapindo.

    Peristiwa semburan lumpur yang dimulai pada 2006 itu berdampak kepada sepinya pengunjung di  kawasan ini. Kondisi itu dirasakan oleh pedagang hingga beberapa tahun setelah peristiwa semburan lumpur terjadi.

    Sebenarnya daerah ini tidak terkena langsung semburan lumpur tersebut. HM Kasdu, pemilik Toko Jawa Centrum bilang, sentra ini menjadi sepi pengunjung karena maraknya pemberitaan lumpur Lapindo.

    Terutama pemberitaan yang menyebutkan luapan lumpur telah mencapai komplek Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera. “Masyarakat awam mengira itu Tanggulangin industri tas dan koper, padahal bukan. Yang tenggelam itu komplek perumahan real estate. Bukan industri tas,” ungkap HM Kasdu.

    Lokasi sentra tas Tanggulangin sendiri berada sekitar empat hingga lima kilometer dari komplek yang terkena luapan lumpur tersebut. Selain karena ekses pemberitaan, sentra ini sepi pengunjung karena akses menuju kawasan ini juga ikut terganggu. “Memang lumpurnya meluber ke jalan raya waktu itu, sehingga banyak orang yang takut ke sini,” tambah Kasdu.

    Namun, sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. Akses jalan menuju Tanggulangin telah diperbaiki dengan dibangunnya jalan arteri dari Porong, Sidoarjo menuju Tanggulangin. Kasdu mengingat, sekitar tahun 2006 dan 2007, penjualan sangatlah lesu. “Tidak ada pembeli dan peminat, sepi sekali. Omzet turun drastis,” ujar Kasdu.

    Banyak barang titipan perajin tidak laku. Biasanya mereka dibayar setiap dua minggu sekali. Namun  setelah peristiwa bencana lumpur Lapindo, bayaran kepada para perajin pun tersendat.  “Waktu itu sampai dua bulan pun belum ada yang bergerak dari tempat display,” ujar Kasdu.

    Kondisi itu juga dirasakan Imam Zultoni, pemilik Toko Sultan Collection. Pria kelahiran Sidoarjo, 41 tahun silam ini bilang, pasca lumpur Sidoarjo banyak toko tutup karena tak kuat menanggung omzet yang terus menerus turun. “Di Tanggulangin itu dulu sebelum lumpur Lapindo ramai sekali tokonya, sepanjang jalan 2 kilometer pasti ada toko di kiri kanan jalan. Sekarang sudah banyak tutup,” ujar Imam.

    Imam membenarkan sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. “Omzet saya sekarang Rp 125 juta sampai Rp 150 juta per bulan,” ujar Imam. Pembelinya mulai dari Jawa Tengah, Magelang, Lombok, hingga Makassar.

    Omzet yang didapat Kasdu juga tak kalah besar. Dari penjualan langsung di tokonya saja, ia meraup omzet sebesar Rp 60 juta per bulan. Bila ditambah pesanan koper dan tas dari luar kota, omzetnya rata-rata di atas Rp 100 juta sebulan.

    © Revi Yohana | Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/kembali-bangkit-dari-bencana-lumpur-1

  • Gubernur Jatim Tolak Niat Lapindo Ngebor di Sidoarjo Lagi

    Gubernur Jatim Tolak Niat Lapindo Ngebor di Sidoarjo Lagi

    Metrotvnews.com, Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur melarang PT Lapido Brantas melakukan pengeboran pada Agustus 2013, selama ganti rugi untuk warga korban lumpur Lapindo belum diselesaikan.

    “Sikap saya tidak akan pernah berubah. Selama ganti rugi belum dilunasi, saya tidak akan mengizinkan untuk melakukan pengeboran. Ini memang wewenang bupati tapi, Pemprov juga bisa melarang pengeboran,” kata Gubernur Jatim Soekarwo di Surabaya, Selasa (9/7). (more…)

  • Koran Tempo – Jangan Hambat Kasus Lapindo

    Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

    Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

    Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

    Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan “well kick” terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

    Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

    Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.[Editorial Koran Tempo, 31/10]

  • AAPG Day 2: showdown at the Lusi corral

    Things were a bit different from the other sessions at this conference: photographers and cameramen were roaming the room, and on my way in I had a press release from Lapindo Brantas thrust into my hands, informing me that most of the previously reported findings were based on ‘incorrect data’, and that this would be the first time ‘official data’ were presented to the scientific community. It transpired that this was also stretching the truth a bit; as the session unfolded it became apparent that this was more an issue of which data (specifically, which of the various measurements and estimates of borehole pressure) should be used, and how to interpret them. Contrary to their own press office, then, Lapindo Brantas – to their credit – seem to have been quite open about sharing their records with any interested party, even if they might disagree with how it is then used.

    The debate consisted of two talks from the pro-earthquake camp, followed by questions, then two talks from the pro-drilling camp, followed by more questions and a general discussion, ending with a poll of the audience. Below I’m summarising from notes I took during the session; as such, there may be some unintentional inaccuracies.

    First up was Adriano Mazzini, who reviewed his arguments that the eruption was the result of the Yogyakarta earthquake reactivating a pre-existing fault that runs through the area. Main points:

    • There is clear evidence of displacement along this fault after the eruption, and other small mud eruptions also occurred along its trace at the time Lusi erupted. This does indeed signal that this fault acted as a conduit for upwelling fluids.
    • However, the question of what triggered this trigger – the ultimate cause of the fault suddenly becoming an open pathway for mud – is still open. The timing of the fault reactivation is not known, so it could just as easily have been the result of stresses induced by a nearby well blow-out as by an earthquake. In support of the latter, pressure losses in well at the time of the earthquake might indicate that there were measurable stresses being induced in the subsurface, more than is assumed by the pro-drilling camp.
    • Lusi’s eruption has been abnormally lengthy; natural mud volcano eruptions tend to last a few days (and in this respect it seems that Lusi also differs from the other eruptions in the area he talked about, which were further from the borehole). It might be something to do with this being an entirely new system, but it could just as easily be a sign of unnatural influences on the triggering of the eruption.
    • This area of Indonesia is “ideal”, both in terms of prevailing tectonic, structural and lithological conditions, for the formation of mud volcanoes, and the existence of a highly suitable ‘piercement structure’ (the fault) in the area meant that an eruption was only a matter of time. This last point would become important in the later discussion.

    The next speaker, from Lapindo Brantas, was the person who oversaw the borehole, which mades his slightly defensive tone entirely understandable. The talk aimed to use data from the borehole to demonstrate that a blow-out had not occurred.

    • The most important claim was that there was no evidence of the well being connected to Lusi’s plumbing, which you would expect if a well blow-out was the trigger. For example, following the eruption of Lusi they performed an “injection test”, where drilling mud was pumped into the borehole. As they did this, the pressure in the well slowly built up, which can only happen if the well is sealed; if there was a breach in the well, the fluid would escape.
    • The pressure losses at around the time of the earthquake talk prompted the decision to case the unsealed part of the borehole before drilling deeper. As they were puling out the drill string to do so on the 28th May, there was a ‘kick’ in the hole – an increase in pressure due to fluid entering from the surrounding rock. The pressure increase from this kick, and whether it was enough to trigger a blow-out, is one of the major sticking points of this whole argument.
    • The pro-drilling people have published calculations that indicated that it was more than high enough to trigger a blow-out. It was claimed here that these calculations were performed incorrectly, and should give much lower (and safe) pressures. I can’t claim enough expertise to tell if these criticisms were valid or not.
    • Either way, borehole records after the kick are inconsistent with it being the result of a well blow-out.

    The first speaker from the pro-drilling camp, Mark Tingay, gave a very nice presentation which actually addressed the pros and cons of both theories, although he was clear which he favoured.

    • Earthquake reactivation of the fault seems unlikely from the calculated differential shear stresses it induced in the area around Lusi (for more details you can read Maria’s post on this, since she was involved in this study). He had a nice plot to illustrate this point, which I reproduce schematically here.

      lusidebatefig.png

      Basically, the earthquakes which are known to have triggered mud volcanism (green dots) were either larger and/or closer to the induced eruptions than Lusi was to the Yogyakarta earthquake (big red dot), and other seismicity in the area prior to the eruption (orange dots) appears to have induced similar, or in some cases greater, differential stresses. There is of course a lot of uncertainty about how strong the fault was (how large a differential stress you need to cause it to fail), but the point is that there was nothing special about the May 27th earthquake in terms of the force it exerted in the area.

    • The apparent disconnection of the well from Lusi could be due to the lower part being sealed off due to it being blocked by rock fragments from the blow-out (which is apparently quite common), or shearing.
    • The evidence following the kick is “unclear”, but the stresses that it induced were an order of magnitude larger than those due to the earthquake
    • This was a problematic hole, with lots of pressure losses and kicks, and the ‘drilling window’ – the range of pressures where the drilling mud will safely just sit there – was very narrow. This was a result of the well design being based on holes drilled through this sequence quite a distance away, where the underlying carbonates were not overpressured. However, in another well very close by, the carbonates were under extremely high pressure, and they almost lost that well to a blow-out when they hit them. By not taking this into account, it would have been nearly impossible to stop a blow-out following the kick.
    • There is a series of linear surface fractures leading between the well and the Lusi vent, which have not erupted any mud but are an indication of sub-surface fracturing.

    The final presentation was by Richard Davies, the person whose paper implicating the drilling kicked off my interest in this subject.

    • This talk was a review of the events in the well leading up to the Lusi eruption. It was a very good summary, but most of the points have been covered in my accounts of the previous speakers.
    • However, in the middle of the talk, proving that for every expert there is an equal and opposite expert, another (non Lapindo Brantas) drilling engineer came up to the stage to show us how all the well pressure data was consistent with the initial kick being due to a blow-out (I think that the main argument was that you had pressure losses after the hole was sealed).

    The discussion following the talks emphasised a couple of other points of disagreement, such as the shaking intensity in the Lusi region from the May 27th earthquake: the pro-drillers say I-II, pro-quakers claim IV. Mazzini also argues that the eruption is entirely sourced within the mudstones with the water produced by clay minerals reacting to form illite and water, whereas Davies et al. say that the water is mainly from the underlying carbonates. It is a lot of water, although I guess it would be hard to claim the earthquake would cause the carbonates to breach.

    However, more interesting was that several people picked up on the suggestion that this was clearly a prime area for mud volcano formation, and wondered quite loudly why the hell any drilling was being done there in the first place. To sum up the mood, one questioner complimented the second speaker for standing up there to defend the drilling, when it really should be the geologists who told him to drill there in the first place. It’s a good point; perhaps the focus should be less on the drilling practice on this specific well, because whatever your procedures and safety precautions, accidents can and do happen, and more on well siting decisions in general, particularly decisions to drill in “primed” areas like this one, where the margin for error is rather slim.

    This attitude might explain why in the closing straw poll, more than 50% of the audience was willing to blame the whole mess on the drilling. Only a tiny fraction thought that the earthquake was solely to blame, with roughly equal numbers of the remaining half either thinking it could have been both, or finding it inconclusive either way. In conclusion, it was a very interesting session, and was conducted in a very fair-minded and respectful manner given the contentious nature of the debate.

    Sumber: http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2008/10/aapg_day_2_showdown_at_the_lus.php?

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Conclusive Vote on Cause of Indonesian Mud Volcano

    Professor Richard Davies
    Professor Richard Davies

    A Durham University scientist has played a key role in helping determine the cause of the Java mud volcano, Lusi.

    Two years’ of global public debate over the possible causes of Lusi has finally concluded. A resounding vote of international petroleum geologists from around the globe, including Durham University geologist Professor Richard Davies, concluded the mud volcano was triggered by drilling of a nearby gas exploration well.

    This may have implications for compensation of the local population affected. (more…)

  • TEMPO Interaktif – Pengusutan Hukum Kasus Lapindo Buntu

    "Tanpa itu, hasil konferensi hanya sebagai referensi kita," kata Mulyono,
    kepala seksi penerangan hukum kejaksaan tinggi, di Surabaya kemarin.

    Dalam pertemuan geolog dunia itu mayoritas peserta mengatakan semburan lumpur
    yang sudah berlangsung sejak Mei 2006 tersebut akibat kesalahan pengeboran.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka.
    Namun, sampai saat ini pengusutan hukum kasus semburan lumpur tersebut masih
    menemui jalan buntu.

    Kejaksaan menilai penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur belum sempurna
    meskipun telah empat kali dilimpahkan.

    Kepala Polda Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja beberapa waktu yang
    lalu meminta kejaksaan segera menyatakan sempurna (P-21) atas berkas perkara
    Lapindo.

    "Kasus lumpur terjadi karena kesalahan dan kelalaian. Saya hanya berharap
    kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik
    terang," kata Herman.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, mempertanyakan pemungutan suara dalam
    konferensi di Afrika Selatan itu. “Diskusi ilmiah, yang seharusnya untuk
    mengungkapkan kebenaran ilmiah, namun diakhiri dengan voting, tidak lazim dalam
    forum ilmiah,” kata Yuniwati melalui siaran pers. AQIDA | KUKUH SW | ROHMAN
    TAUFIQ

     

  • KOMPAS – Geolog Dunia Yakin Lumpur Tak Dipicu Gempa

    ”Pemungutan suara diambil setelah empat presentasi dan tanya jawab hingga dua
    setengah jam,” kata ahli pengeboran minyak anggota Drilling Engineers Club (DEC)
    Susila Lusiaga kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/10). Kamis pagi, ia dan
    ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini baru tiba dari
    Cape Town.

    Sejauh ini, hasil pemungutan suara itu menjadi dukungan terbesar bahwa
    semburan lumpur tak terkait gempa. Sebaliknya, terkait pengeboran sumur
    Banjarpanji- 1 (BP-1).

    Sebelumnya, secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil, para geolog
    dan ahli pengeboran menyatakan pengeboranlah pemicu utama, yang dibantah
    geolog-geolog lain. Dua kubu pun tercipta.

    Atas dasar hasil pemungutan suara itu pula, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo
    (GMLL) meminta pemerintah serius menanggapinya. Bahkan, pemerintah didesak
    menjadikan hasil diskusi itu sebagai salah satu bukti penguat kasus gugatan
    hukum terhadap Lapindo Brantas Inc.

    ”Sikap (pemungutan suara) itu jelas dari para pihak independen yang
    meyakinkan dan dapat dipercaya. Itu layak dipertimbangkan,” kata Taufik Basari
    dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, salah satu anggota GMLL.

    Berdasarkan hasil pertemuan di Cape Town, GMLL akan menyurati Presiden.
    Intinya, meminta agar penanganan hukum dan sosial diperbaiki.

    ”Surat akan segera kami kirim dalam waktu dekat,” kata salah satu deklarator
    GMLL Letjen Mar (Purn) Soeharto.

    Dihubungi di Cape Town, geolog yang juga Senior Vice President PT Energi Mega
    Persada Bambang Istadi mengatakan, pemungutan suara tidak mewakili pendapat
    geolog seluruh dunia. Lama presentasi dan diskusi juga terbatas.

    ”Namun, kesempatan itu membuka peluang menentukan kerja sama menentukan
    kejadian sebenarnya,” kata dia. Ia dan Nurrochmat Sawolo, Senior Drilling
    Adviser PT Energi Mega Persada, memaparkan fakta dan data seputar pengeboran
    sumur BP-1 dalam sesi diskusi tersebut.

    Rencananya, lanjut Bambang, Lapindo akan mengadakan forum diskusi tertutup,
    termasuk mengundang geolog Inggris Richard Davies, yang menyatakan pengeboran
    sebagai pemicu semburan, untuk membaca dan menganalisa data serta fakta
    pengeboran. ”Mari saling terbuka, tanpa prasangka. Analisa data dari hasil
    lapangan,” kata dia.

    Penderitaan warga

    Di tengah pembahasan geolog tingkat dunia, London, Inggris, dan Cape Town,
    Afrika Selatan, puluhan ribu warga korban lumpur masih tinggal dalam
    kekhawatiran. ”Warga fokus pada tuntutan yang belum juga dipenuhi,” kata
    pendamping warga, Paring Waluyo.

    Saat ini, tak sedikit warga yang belum menerima ganti rugi 20 persen. Apalagi
    sisa 80 persennya. Kelompok warga yang menerima skema pindah tempat tinggal dan
    kembalian pun, mengeluhkan sistem pengangsuran kembalian.

    ”Semua skema yang dipilih warga untuk ganti rugi, menyisakan kekecewaan
    karena pembayaran tersendat dan itu terus bertambah,” kata Paring. Sementara
    itu, semburan lumpur terus terjadi tanpa solusi lain, selain penanggulangan dan
    mengalirkan ke sungai yang terkendala.

    Pihak Lapindo, hingga awal September 2008, mengaku telah mengucurkan dana Rp
    4,39 triliun untuk berbagai keperluan. (GSA)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01082166/geolog.dunia.yakin.lumpur.tak.dipicu.gempa

     

  • Geologists Blame Gas Drilling for Indonesia Mud Disaster

    img_0641The University of Durham, in northeastern England, said 74 top scientists in petroleum geology debated Lusi at a conference in Cape Town, South Africa on Tuesday.

    Four experts put forward varying hypotheses, including the university’s professor of geology, Richard Davies, it said in a press release.

    Forty-two scientists voted in favour of Davies’ argument that the cause lay with a gas exploration well, Banjar-Panji-1, that was being drilled in the area by oil and gas company Lapindo Brantas, it said. (more…)

  • ANTARA – Kaukus DPR Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Lapindo

    "Wilayah empat desa ini sudah diusulkan dan mendapatkan persetujuan

    DPR
    RI

    tanggal 11 September 2008," kata Suripto yang juga Wakil Ketua Komisi III
    (bidang hukum) DPR itu.

    Menurut politisi PKS itu, kondisi keempat wilayah desa itu sudah sangat tidak
    layak huni lagi akibat dampak lumpur yang menyebabkan sumber-sumber penghidupan
    warga disana seperti sumur dan sawah, tidak dapat digunakan lagi.

    Tidak layaknya daerah tersebut juga dikarenakan munculnya bubble gas baru yang
    tidak terkendali. khususnya di Siring Barat, Mindi dan Jatirejo Barat serta
    penurunan tanah (land subsidience) sehingga banyak bangunan yang retak dan akan
    ambruk.

    Kaukus juga mendesak agar pembayaran pembelian tiga desa, yakni Besuki,
    Kedungcangkring dan Pejarakan yang juga diluar peta terdampak agar dilakukan
    secepatnya paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah berakhir. (*)

     

  • ANTARA – Semburan Lumpur Sidoarjo Diperkirakan Berlangsung 140 Tahunasus Lapindo Butuh Advokasi Internasional

    Dalam konferensi geologi internasional yang berlangsung 21-22 Oktober lalu,
    semua geolog internasional sepakat semburan lumpur Sidoarjo (Lusi), yang
    dikenal sebagai lumpur Lapindo adalah sebuah mud volcano yang biasa muncul
    akibat remobilisasi sedimen dan fluida cekungan bawah tanah.

    Gunung lumpur itu sudah tidak menjadi isu hangat lagi dalam konferensi geologi
    internasional yang berlangsung di Burlington House Piccadilly London. Namun isu
    pemicu terjadinya Mud Volcano menjadi fokus diskusi dalam pertemuan pakar
    geologi dunia itu.

    Beberapa geolog kelas dunia itu bahkan berpendapat, merasa beruntung karena
    bisa menjadi saksi dan mempelajari gunung lumpur raksasa yang sedang lahir dan
    tumbuh.

    Pada kesempatan itu juga dijelaskan bahwa gunung lumpur akibat remobilisasi
    lumpur bawah tanah itu sudah lama menjadi obyek penelitian ilmuwan global. Ilmuwan
    Eric Deville dari Perancis dalam membe
    rikan
    ceramah utamanya mengatakan, "mud volcano adalah sebuah sistem bumi agar
    lestari".

    Puncak sesi diskusi mengenai Lusi ketika Dr. Richard Davies dan ketiga temannya
    menyatakan bahwa semburan Lumpur Sidoarjo adalah akibat pemboran (drilling) BJP
    I.

    Namun peserta seminar Dr. Nurrohmat Sawolo ahli drilling dari PT Energi Mega
    Persada (EMP) langsung menepis hipotesa tersebut. Karena semua data yang
    dijadikan dasar penyimpulan Davies sangat beda dengan data drilling otentik
    yang dimiliki Lapindo. Padahal data versi Lapindo itu asli dan menjadi pegangan
    kepolisian dan kejaksaan RI dalam penyidikan kasus Lusi, katanya.

    Pembicara dari

    Indonesia
    ,
    Bambang Istadi menyimpulkan bahwa semburan Lusi bukan disebabkan oleh "underground
    blowout". "Dasarnya ada empat fakta berdasar data autentik
    Lapindo," jelasnya. Pertama, data rekaman tes temperatur dan sonan selama
    50 hari terhadap sumur BJP I menunjukan hasil menolak fenomena blowout. Fakta
    kedua tidak ada luberan, gas, steam, ataupun lumpur keluar dari Sumur BJP
    ketika dibuka.

    Fakta ketiganya adalah melalui re-entry diketahui mata bor tidak jatuh walau
    semburan yang berjarak 200 meter dari sumut BJP itu sudah berlangsung satu
    setengah bulan. Bila terjadi underground blowout pasti mata bor itu jatuh
    karena material lumpur yang keluar sudah jutaan ton.

    Fakta keempat tidak ditemukan "synthetic oil based drilling" dalam
    tes di berbagai titik survey semburan. "Semua fakta menunjukan sumur BJP
    masih sehat dan tidak terkoneksi dengan semburan," jelasnya.

    Peserta conference Dr. Christopher Jackson dari Imperial College London
    menyarankan solusi. "Harus segera ada kerjasama dan sharing data agar
    penyimpulan pemicu semburan Lusi menjadi benar," ujarnya.

    Sejak awal peserta geolog internasional yang datang dari Ame
    rika, Kanada, Perancis, Italy, Norwegia, Australia,
    German, Turki, Namibia, dan penjuru Inggris, Wales dan Skotlandia dalam
    konferensi ini sepakat bahwa Lusi sebuah mud volcano sebagai produk
    remobilisasi sedimen dan aliran fluida diwilayah cekungan bumi yang lemah.
    Karena itu semburan Lusi tidak bisa ditutup. (*)

     

  • Mud Victims Spooked by Own Ghost Towns

    PROLONGED MAKESHIFT LIFE: For nearly a year, 80-year-old mudflow victim Muana has lived in a makeshift hut erected along the defunct Porong toll road in Sidoarjo, East Java, beset by searing heat and numbing cold alternately, and hoping for a better life in the near future. She has urged the government to come up with the best solution for mudflow victims from the affected villages located outside the official map of affected areas. (JP/Indra Harsaputra)
    PROLONGED MAKESHIFT LIFE: For nearly a year, 80-year-old mudflow victim Muana has lived in a makeshift hut erected along the defunct Porong toll road in Sidoarjo, East Java, beset by searing heat and numbing cold alternately, and hoping for a better life in the near future. She has urged the government to come up with the best solution for mudflow victims from the affected villages located outside the official map of affected areas. (JP/Indra Harsaputra)

    Hundreds of houses in three villages were inundated with mud in Sidoardjo in February, and thousands of people were displaced from their homes, forcing them to live in makeshift tents erected along an abandoned toll road.

    While the sturdier structures in the three villages — Besuki, Kedung Cangkring and Renokenongo — were left inundated with mud and are now homes to various animals, the wooden houses were merely turned into rubble.

    “Most residents no longer have the courage to enter the ghost-like houses. We have left them to serve as silent witnesses to the disaster that has devastated not only our assets but also our community and future,” 54-year-old Paimin of Besuki told The Jakarta Post here Saturday.

    Another resident, 80-year old Muana, said that for the past eight months her family had lived without possessions and without hope.

    “I rely on my two children and their three grandchildren who are now staying with me in this bamboo hut,” she said.

    Muana’s 40-year-old daughter Munifah and 35-year-old son Ismael and their families have been living in the four meter by six meter hut since the mudflow submerged their makeshift houses in Besuki.

    They have made their livings as street vendors at a nearby housing compound ever since Lapindo Brantas Inc., an energy company that operates the mining site in Porong district that triggered the devastation, stopped distributing humanitarian aid last May.

    “We were hopeless and desperate when our aging mother contracted diarrhea. We had to borrow some money from neighbors so we could take her to a doctor at the nearby public health center,” said Munifah, who looks far older than her eight years.

    She said many people, including her mother, had contracted diarrhea after consuming water from ground wells that had been contaminated by toxic mud.

    Ismael said the village’s residents had received nothing from the government or Lapindo despite promises of immediate compensation for mudflow victims made by BPLS, the government agency tasked with handling the disaster.

    “BPLS and the village head have frequently come here to make sure that the government will pay the compensation soon but so far we have been given empty promises,” he said.

    Many people claiming they are refugees, he said, have filed complaints with BPLS and the local administration. They attempted to stage a protest against Lapindo, he said, but the company’s middlemen thwarted the attempt.

    He said the damage to his house and farmland had been assessed by the local government, and that he and all of the other village residents had been informed of the amount of compensation they were due, but that they had never received it.

    “We are not beggars but we have been left without answers. The government should have paid the compensation 14 days after the deal (on compensation payment) was signed,” he said, adding that the deal was signed in early August.

    Besuki, Kedung Cangkring and Renokenongo are among nine villages that were devastated by the February mudflow.

    Four villages were destroyed by a mudflow that hit on May 29, 2006, creating a giant lake of mud.

    Some of the residents of the four villages received 20 percent of the compensation promised to them. They continue to demand the remaining 80 percent.

    Some of the 600 residents of Renokenongo village currently living in makeshift shelters inside Porong market said they were disappointed Lapindo had broken its promise to pay the compensation last month.

    “Lapindo committed to paying the compensation once it had finished assessing the residents’ damaged assets in mid September. Yet, they have given no reasons for why the payments have been suspended,” said Pitanto, coordinator of the Renokenongo mudflow victims association.

    Pitanto also called on non-governmental and religious organizations to help encourage Lapindo and the government to immediately pay the compensation to the mudflow victims.

    BPLS spokesman Zulkarnaen said the government would disburse Rp 160 billion immediately to pay 20 percent of the total compensation to the residents of the three villages located outside the disaster location.

    “The compensation will be paid immediately to 1,481 victims from the three villages,” he said, but declined to name a date for the payment.

    Indra Harsaputra, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/20/mud-victims-spooked-own-ghost-towns.html

  • Victims Refuse to Sell Muddy Land to Lapindo

    Some 69 families in the East Java villages of Jatirejo, Siring and Renokenongo are standing their ground, refusing to sell their land as part of the compensation plan proposed by the energy company being held responsible for the mudflow disaster.

    “If we accept the proposal the company is offering, it will amount to turning our land into cash, but in principle that’s not what we want to do,” Ipung, a spokesperson for the villagers, told The Jakarta Post.

    Some 69 families in the East Java villages of Jatirejo, Siring and Renokenongo are standing their ground, refusing to sell their land as part of the compensation plan proposed by the energy company being held responsible for the mudflow disaster.

    “If we accept the proposal the company is offering, it will amount to turning our land into cash, but in principle that’s not what we want to do,” Ipung, a spokesperson for the villagers, told The Jakarta Post.

    Lapindo Brantas Ltd., a giant energy company belonging to the Bakrie family, has proposed compensation for the residents.

    “This land belonged to our ancestors and our ancestors entrusted it to us,” said Ipung, who was born in the village of Jatirejo.

    Jatirejo, Siring, and Renokenongo are three of seven villages affected by the Lapindo mudflow disaster which began when mud gushing from a mining site in Porong district, Sidoarjo regency, May 29, 2006.

    Initially, the four villages of West Siring, Jatirejo, Mindi, and Renokenongo were inundated. In February this year, three more villages, Besuki, Kedungcangkring and Pejarakan were likewise buried in hot mud that sprang out of new, adjacent leaks.

    In a matter of days, the Porong district villages, near the East Java capital of Surabaya, were wiped from the map. Since then, disaster victims have organized themselves into several forums to advocate for their rights.

    Ipung said his group of 69 families still refused to take any compensation offered by Lapindo.

    “They tried to first intimidate us then bribe us so we would take the compensation and sell our land.”

    He said further he was once visited by a stranger armed with a pistol and offered a bribe to stop encouraging other residents to decline Lapindo’s compensation offer. Despite his efforts, most disaster victims have accepted the initial compensation from the company, including some Jatirejo villagers.

    According to the two-phased offer, Lapindo paid out 20 percent of the full compensation in advance to all residents. Those with deeds were supposed to receive the remaining 80 percent in cash by June 2008; those without, should have received an offer of housing.

    However, Lapindo switched the second cash disbursement for titled victims with a new offer of existing housing in the Kahuripan Nirvana Village housing complex located in the Surabaya outskirts.

    Lapindo was supposed to pay the 80 percent in the form of land and housing only to people without land deeds.

    Some victims have rejected the offer because they feel living in a housing complex would disrupt their culture and traditions. “A housing complex doesn’t suit us because we used to live in the village far from the city and we depend on vast areas of land for our farming,” said Pitanto, a leader of the Renokenongo mudflow-victim group.

    The villagers have instead demanded Lapindo compensate them with land and housing of the same value that they lost, not with cash.

    “We ended up accepting the worst possible compensation scheme because of the pressure of trying to make ends meet,” Pitanto said.

    The compensation process is expected to be completed by the end of this year. Most of the mudflow victims hope either Lapindo or the government will pay the compensation soon so they can use it to buy land, rebuild their villages and start all over again.

    Faisal Maliki BaskoroThe Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/13/victims-refuse-sell-muddy-land-lapindo.html