Tag: tempo

  • BPKP Rampungkan Verifikasi Korban Lumpur Lapindo

    BPKP Rampungkan Verifikasi Korban Lumpur Lapindo

    TEMPO.CO, Surabaya: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) membenarkan bahwa proses verifikasi data korban lumpur Lapindo secara prinsip telah selesai. “Secara konsep sementara sudah,” kata Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Timur Hotman Napitupulu kepada Tempo, Selasa, 10 Maret 2015.

    Akan tetapi, kata Hotman, hal tersebut belum dibicarakan dengan Kementerian Pekerjaan Umum. Hotman mengatakan verifikasi tersebut sudah dibicarakan dengan BPKP pusat.

    Hotman menambahkan, saat ini dia belum bisa memastikan kapan BPKP berkoordinasi dengan Kementerian PU. Karena itu, Hotman enggan memberikan keterangan secara detail terkait dengan hasil verifikasi.

    Verifikasi data korban lumpur Lapindo yang dilakukan BPKP Provinsi Jawa Timur telah selesai sehingga BPKP pusat saat ini sedang menyusun laporan hasil verifikasi yang dilakukan sejak awal Maret itu. “Sudah selesai (proses verifikasi), sekarang BPKP sedang proses penyusunan laporan, dan saya tidak tahu kapan selesainya,” kata juru bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Dwinanto Hesty Prasetyo.

    Menurut Dwinanto, setelah penyusunan selesai, laporan itu akan langsung diserahkan kepada pimpinan BPKP pusat serta lembaga yang meminta verifikasi, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum. Karena itu, BPLS tidak menerima laporan itu karena langsung diserahkan ke pemerintah pusat.

    Tugas BPLS, kata Dwinanto, hanya berusaha mendampingi BPKP saat proses verifikasi serta membantu semua kebutuhan yang mungkin diperlukan oleh BPKP. “Sehingga kami tidak tahu hasil laporan lengkapnya,” kata dia.

    Laporan itu, kata Dwinanto, bisa berbentuk dokumen atau berkas-berkas yang disusun oleh BPKP atau hanya berupa laporan yang akan dipresentasikan di hadapan Menteri PU.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/11/058648893/BPKP-Rampungkan-Verifikasi-Korban-Lumpur-Lapindo

  • Basuki Minta Jokowi Bayar Korban Lapindo

    TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono ingin pemerintah menindaklanjuti permintaan menyelesaikan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo. Dalam rapat koordinasi yang digelar pada Selasa sore, 28 Oktober 2014, Basuki melapor kepada Kementerian Koordinator Perekonomian bahwa Tim Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) telah mengirim surat kepada Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat sebagai presiden untuk menyelesaikan masalah lumpur Lapindo.

    “Ini belum diputuskan Bapak Presiden yang lalu, hari ini saya laporkan ke Menko, Menko bilang oke, satu-dua hari ini akan dilaporkan ke Bapak Presiden,” katanya saat ditemui seusai rapat di gedung Kementerian Koordinator Perekonomian.

    Dia berharap pemerintah segera menyelesaikan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Apalagi Indonesia saat ini telah memasuki musim hujan. “Karena, kalau enggak, ini sudah musim hujan. Di sana enggak bisa bekerja, luber (nanti lumpurnya),” katanya.

    Mahkamah Konstitusi, kata dia, meminta pemerintah ikut menyelesaikan masalah lumpur Lapindo. Sesuai dengan keputusan Tim Pengarah BPLS, dia berharap pemerintah mengambilalih urusan sisa pembayaran PT Minarak Lapindo. Dengan melunasi sisa pembayaran, pemerintah dapat menjadikan daerah yang terkena dampak lumpur Lapindo tersebut menjadi milik negara.

    Selain menggelontorkan Rp 781 miliar untuk membayar 20 persen dari 640 hektare lahan, pemerintah juga mengeluarkan Rp 200 miliar untuk merawat tanggul Lapindo. “Tetapi sekarang belum bisa dikerjakan karena belum beres,” katanya.

    Menurut dia, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, negara dinyatakan salah jika mengabaikan masalah Lapindo. “Mendiskriminasi rakyatnya karena menelantarkannya. Itu kajian hukum. Kami dapat rekomendasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Menurut Kemkumham, kalau (masalah lumpur Lapindo) terkatung-katung, justru negara disalahkan,” ujarnya.

    ALI HIDAYAT

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/10/29/078617786/Menteri-Basuki-Minta-Jokowi-Bayar-Korban-Lapindo

  • Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    TEMPO.CO, Sidoarjo- Menjelang lebaran Idul Fitri, puluhan warga korban lumpur lapindo mendatangi titik 42 Desa Renokenongo Porong Sidoarjo. Mereka berkumpul tepat di bawah tenda biru dan menggelar istighozah dilanjutkan tabur bunga di pinggir tanggul titik 42.

    Pada istighozah itu mereka mendoakan arwah sesepuhnya yang sudah meninggal dan makamnya terendam oleh luapan panas Lapindo. ”Kami ingin mendoakan sesepuh, semoga beliau diterima di sisi-Nya,” kata penanggung jawab sementara Desa Renokenongo, Subakrie, kepada wartawan usai acara istighozah, Kamis, 24 Juli 2014.

    Menurut Subakrie, kegiatan itu biasa dilakukan tiap tahun menjelang Idul Fitri guna mengingat dan mendoakan arwah sesepuhnya yang makamnya dulu berada di sekitar titik 42 itu. Selain itu, tradisi dalam Islam ketika menjelang lebaran biasanya nyekar ke makam-makam. “Karena di sini makamnya sudah terendam, maka kami hanya nyekar di tanggul saja,” katanya.

    Koordinator penggerak istighosah, Djuwito, mengatakan acara itu sengaja digelar menjelang lebaran, bahkan biasanya satu atau dua hari menjelang lebaran. “Namun karena sekarang hari Kamis dan nanti malam tepat malam Jumat yang terakhir dari bulan ramadan maka kami selenggarakan hari ini,” kata dia.

    Istighozah itu, kata dia, selain mendoakan arwah sesepuhnya, mereka berharap supaya menyentuh hati pemerintah segera melunasi ganti rugi yang belum terbayarkan hingga saat ini. “Sudah delapan tahun kami terlunta-lunta disiksa oleh pemerintah, mereka sudah tak peduli pada kami,” kata dia.

    Subakrie, mengatakan Presiden SBY pernah berjanji untuk menyelesaikan masalah ganti rugi ini pada masa pertengahan masa jabatannya atau pada masa akhir masa jabatannya. “Dan sekarang sudah masuk pada masa akhir masa jabatanya, kami berharap sebelum berakhir masa jabatannya untuk menyelesaikan masalah ganti rugi,” kata dia.

    Menurut Subakrie, pihak korban lumpur yang dibantu oleh beberapa pengacara dan para mahasiswa fakultas hukum Surabaya telah melayangkan permohonan kepada SBY, inti permohonan kami hanya ada dua, yaitu meminta dana talangan kepada pemerintah dan pembayaran ganti rugi dilaksanakan oleh pemerintah. “Keduanya ini sama-sama menguntungkan kami,” kata dia.

    Permohonan itu, kata Subakrie, sudah diterima kantor Sekretaris Negara dan akan segera diberikan kepada SBY untuk diminta tandatangani dan pengesahan dari presiden. Dalam waktu dekat, korban Lapindo akan pergi ke Jakarta untuk menemui SBY. “Tepatnya satu minggu setelah lebaran,” kata dia.

    Selain itu pula, para korban lumpur ini akan sowan kepada presiden yang baru untuk membantu memuluskan atau merealisasikan ganti rugi itu. “Semoga pak SBY dan presiden yang baru masih punya hati nurani untuk membantu kami,” kata dia.

    © MOHAMMAD SYARRAFAH | Kamis, 24 Juli 2014

    Sumber: http://ramadan.tempo.co/read/news/2014/07/24/155595556/Korban-Lapindo-Nyekar-Leluhur-di-Tanggul-Lumpur

     

     

  • 5 Kekalahan Pemerintah atas Lapindo Brantas

    TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi korban lumpur Lapindo di lokasi peta terdampak, Rabu, 26 Maret 2014. Mahkamah membatalkan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013 karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi itu sama saja menguntungkan masyarakat yang masuk peta terdampak dan pihak Minarak Lapindo Jaya.

    Bagi pemerintah, menurut kuasa termohon, Mursid Mudiantoro, putusan itu berarti negara harus menalangi kewajiban PT Lapindo Brantas yang belum terbayar sekitar Rp 1,5 triliun sejak pembayaran macet pada 2008. “Kami selalu kalah melawan Lapindo. Kami berharap, dengan tangan negara melalui MK, hak kami bisa kembali,” ujarnya.

    Sejak tahun 2007, sedikitnya setiap tahun negara mengeluarkan minimal Rp 500 miliar untuk mengatasi lumpur Lapindo. Dengan kekalahan terakhir maka bakal ditambah Rp 1,5 triliun. Berikut ini sederet “kemenangan” PT Lapindo atas lumpur yang menenggelamkan 19 desa di Sidoarjo.

    1. Bencana Alam sebagai Penyebab

    Sampai enam tahun semburan lumpur Lapindo, tidak ada satu pun pihak Lapindo Brantas yang bisa disalahkan, kecuali karena bencana alam. Para tersangka yang berjumlah 13 dari pihak pengelola tidak bisa dipidanakan karena Polda Jawa Timur menghentikan penyidikan pada Agustus 2009.

    Sedangkan Paripurna DPR pada September 2009 pun menetapkan penyebab semburan Lapindo adalah bencana alam, bukan kesalahan manusia. Menurut Aburizal Bakrie, semburan Lapindo merupakan fenomena alam yang tidak pernah berhenti selama 30 tahun. “Bisa dibayangkan, tragedi muncrat lumpur ke permukaan mungkin dalam 30 tahun tak akan terselesaikan,” kata Ical, sapaan Aburizal, pada 14 Maret 2012 kepada Tempo.

    2. Dana APBN

    Presiden meneken Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (selanjutnya disebut BPLS). Dengan dibentuknya BPLS maka seluruh penanganan dampak semburan diambil dari dana APBN. Lapindo Brantas hanya mengurusi ganti rugi pada peta terdampak.

    Padahal kerugian di luar ganti rugi bagi korban sangatlah besar. Seperti laporan BPK, kerugian Biaya Ekonomi Langsung sampai Rp 19,8 triliun. Alokasi APBN untuk menangani Lapindo dari 2007 sampai 2012 mencapai Rp 6,4 triliun. Sedangkan Aburizal Bakrie mengaku sampai April 2012 sudah mengeluarkan Rp 9 triliun. “Sebenarnya berat karena setiap bulan kami harus mengeluarkan dana Rp 100 miliar,” kata Ical pada 14 Maret 2012.

    3. Gagal di Ranah Hukum

    Berbagai cara dilakukan untuk menggugat Lapindo Brantas. Pada April 2009, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait dengan penanganan perkara lumpur Lapindo.

    Sebelumnya, pada November 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan menolak gugatan perdata yang diajukan YLBHI dalam perkara penanganan korban lumpur Lapindo. YLBHI menggugat Presiden RI, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, BP Migas, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, serta Lapindo Brantas Inc (Lapindo) sebagai turut tergugat. Majelis hakim menilai pemerintah dan Lapindo dianggap sudah melakukan upaya yang optimal. Atas putusan itu, YLBHI mengajukan banding. Setelah permohonan banding ditolak, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

    Walhi pada Juni 2006 juga mengajukan gugatan class action terhadap PT Lapindo Brantas, pemerintah, dan BP Migas ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sayang, lagi-lagi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Desember 2007 menolak gugatan Walhi.

    4. Ganti Rugi Belum Lunas

    Menurut data BPLS sampai April 2012, dari seluruh nilai kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 3,831 triliun, baru dibayar Rp 2,910 triliun. Sisanya sebesar Rp 920,5 miliar masih belum jelas.

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam berjanji akan melunasi ganti rugi bagi korban pada akhir 2012. Namun kepastian itu bisa sirna karena Nirwan Bakrie pada Mei 2012 menyatakan Minarak Lapindo hanya sanggup membayar Rp 400 miliar. Sisa Rp 500 miliar ganti rugi yang masuk peta terdampak belum ada kepastian kapan akan dilunasi. Setidaknya, sampai Maret 2013, tanggungan ganti rugi Minarak Lapindo masih Rp 680 miliar.

    5. Penanganan Pusat Semburan

    Menurut BPLS, pusat semburan sudah bergeser sejauh 300 meter. Jumlah material semburan berupa air dan lumpur memang semakin berkurang. Pada awal letusan, semburan material mencapai 180 ribu meter kubik per hari. Sampai April 2012, semburan semakin berkurang menjadi 10-15 ribu meter kubik per hari.

    Meskipun begitu, sulit diketahui sampai kapan semburan lumpur akan berhenti. Awalnya, pada Agustus 2009, pemerintah mengambil alih penutupan pusat semburan. Namun, Juli 2010, pemerintah menyerah dan menetapkan untuk menyetop penghentian semburan Lapindo. Alternatif yang dipilih akhirnya mengalirkan lumpur melalui Sungai Porong.

    Analisis Journal of the Geological Society edisi Maret yang ditulis Tempo menyebutkan lumpur baru akan berhenti menyembur pada tahun 2037. Bayangkan, kolam penampungan lumpur sekarang sudah melebihi 6,6 juta meter persegi dengan panjang tanggul yang mengitari kolam mencapai 22,14 kilometer. Adapun tinggi tanggul berkisar 9-11 meter.

    EVAN | PDAT (Sumber Diolah Tempo, BPLS)

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/27/206565846/5-Kekalahan-Pemerintah-Atas-Lapindo-Brantas/1/0

  • Kali Ketapang Meluap, 4 Desa di Porong Banjir

    Kali Ketapang Meluap, 4 Desa di Porong Banjir

    TEMPO.CO, Surabaya – Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan banjir yang terjadi di sekitar rel Porong merupakan kiriman dari Kali Ketapang. Menurut dia, meski Porong tidak ada hujan, jika hulu Kali Ketapang seperti Krembung, Mojosari, dan Mojokerto hujan deras, banjir tetap akan terjadi.

    “Porong ikut kena banjir jika di hulu Ketapang curah hujannya tinggi,” katanya saat meninjau banjir di rel Porong Sidoarjo, Kamis, 6 Februari 2014.

    Sejak Senin pekan lalu, air menggenangi rel dan jalan raya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, tepatnya di sebelah barat kolam lumpur Lapindo. Akibatnya, kereta api tidak bisa melintas di rel Porong dan dialihkan melalui jalur lain. Sudah empat hari operasi kereta api tidak lancar. Ketinggian air di atas rel mencapai 30-35 sentimeter sehingga sangat menghambat laju kereta api yang melintas.

    Tak hanya rel kereta api yang menjadi korban, empat desa yang dilewati oleh Kali Ketapang juga ikut kebanjiran. Keempat desa itu adalah Pamotan, Ketapang, Kali Tengah, dan Gempol Sari. Namun tidak semua wilayah keempat desa ini terkena banjir, hanya daerah-daerah yang jaraknya dekat dengan Kali Ketapang. “Keempat desa ini masih termasuk wilayah kerja BPLS,” katanya.

    Menurut Dwinanto, wilayah kerja BPLS dilintasi Kali Ketapang, termasuk Desa Pamotan. Dari wilayah yang berada di sebelah barat tanggul lumpur Lapindo inilah air masuk ke rel porong. “Kira-kira 200-300 sentimeter dari arah exit tol porong,” kata dia.

    BPLS mencoba mengurangi dampak banjir dengan mengoperasikan 14 mesin pompa untuk menyedot air tersebut dan dibuang ke Kali Porong. Saat ini, kata Dwinanto, genangan air kurang dari 30 sentimeter. “Saya yakin kalau diukur ketinggian air sudah mulai berkurang karena 14 mesin kami sudah nyala semuanya,” kata Dwinanto.

    Berdasarkan pantauan Tempo di lapangan, genangan air sudah mulai surut sehingga rel yang tergenang air sudah mulai berkurang. Kemarin rel yang tenggelam sekitar 100 meter, tapi saat ini berkurang menjadi kira-kira 50 meter. Meskipun masih ada genangan air, transportasi di jalan raya Porong terpantau lancar. Beberapa sopir truk malah memanfaatkan genangan itu untuk mencuci mobilnya di jalan raya Porong.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/02/06/058551756/Kali-Ketapang-Meluap-4-Desa-di-Porong-Banjir

  • Debit Lumpur Lapindo Kian Dekati Bibir Tanggul

    Debit Lumpur Lapindo Kian Dekati Bibir Tanggul

    TEMPO.COSidoarjo – Curah hujan cukup tinggi di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menyebabkan debit lumpur Lapindo makin meninggi dan kian mendekati bibir tanggul penahan. Kondisi tersebut membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) siap siaga 24 jam di lokasi semburan karena dikhawatirkan lumpur akan makin meluap dan menjebol tanggul.

    Juru bicara BPLS, Dwinanto Hesti Prasetyo, membenarkan air hujan bercampur lumpur kian mendekati bibir tanggul di sisi selatan. Sedangkan endapan lumpur yang paling tinggi berada di sisi barat, sehingga sulit untuk membuang airnya. Pasalnya, di sisi barat tanggul, endapan lumpur sudah cukup keras dan meninggi. “Genangan air menyisakan 50 sentimeter dari puncak tanggul,” kata Dwinanto, Senin, 3 Januari 2014.

    Menurut Dwinanto, jika berpatokan pada standard operating procedure BPLS, kondisi semacam itu sudah cukup berbahaya. Yang dimaksud bahaya, kata dia, mengacu pada kerawanan tanggul. Adapun terhadap warga, tingkat bahayanya tidak terlalu besar karena umumnya warga sekitar sudah dipindahkan. “Namun endapan lumpur bercampur air itu justru menguntungkan kami karena kami bisa mencairkan endapan lumpur yang sudah kering,” katanya.

    Dwinanto menjelaskan pada musim kemarau, untuk mengeruk endapan lumpur di sisi barat tanggul, pihaknya sampai harus mendatangkan air agar dapat diaduk dan dialirkan ke Kali Porong. “Sekarang kami tinggal mengaduk untuk dialirkan ke Kali Porong,” ujarnya.

    Sejauh ini, untuk mengantisipasi meluapnya lumpur, BPLS selalu mengintensifkan pengerukan menggunakan enam unit kapal keruk. Empat kapal pengeruk berada di sisi barat dan dua unit sisanya berada di sebelah timur tanggul. Kapal keruk ini menyedot air lumpur 24 jam nonsetop.

    Bila luapan lumpur tak terkendali, BPLS masih memiliki alternatif penanganan, yakni mengalirkan air lumpur ke kolam yang terletak disebelah selatan tanggul. “Jika berada pada tahap siaga jebol, kami akan menggunakan kolam yang berukuran 40 hektare di selatan tanggul,” kata Dwinanto.

    Pantauan Tempo, air genangan di lumpur Lapindo, tepatnya di sebelah selatan tanggul, sudah semakin tinggi. Biasanya, ketinggian air lumpur hanya sampai rerumputan yang tumbuh di tebing tanggul. Namun hari ini rumput itu sudah terendam air. Saluran pembuangan air lumpur juga semakin besar. Kapal keruk yang tersebar di berbagai titik bekerja keras mengaduk-aduk lumpur agar dapat dialirkan ke Kali Porong.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/02/03/058550745/Debit-Lumpur-Lapindo-Kian-Dekati-Bibir-Tanggul

  • Menteri PU Desak Lapindo Lunasi Ganti Rugi

    Menteri PU Desak Lapindo Lunasi Ganti Rugi

    TEMPO.COSurabaya–Menteri Pekerjaan Umum yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Djoko Kirmanto, mendesak Lapindo Brantas Inc segera melunasi sisa pembayaran ganti rugi kepada korban terdampak semburan lumpur di Kecamatan Porong dan sekitarnya. Menurut Djoko, Lapindo Brantas masih mempunyai tanggungan yang wajib dibayarkan.

    Menteri Djoko mengingatkan bahwa Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc pernah berjanji akan secepatnya melunasi sisa ganti rugi. “Minarak pernah bilang akan melunasi segera. Makanya saya mendesak segera dibayar,” kata Menteri Djoko saat ditemui di sela-sela Dies Natalies Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Ahad 10 November 2013.

    Tapi, kata Djoko, Minarak tidak pernah menjelaskan batas waktu pelunasan. Setiap kali Djoko menagih janji pelunasan itu, Minarak tidak berani memastikan. Disinggung ganti rugi korban terdampak lewat skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Djoko menyerahkan masalah tersebut kepada Menteri Keuangan. Secara pribadi Djoko berharap ganti rugi korban terdampak Lapindo ditanggung APBN. “Tapi sampai saat ini belum ada keputusan. Yang bisa menetapkan itu Menteri Keuangan, saya enggak bisa,” ujar dia.

    Salah seorang korban lumpur, Djuwito, mengaku belum menerima pembayaran sisa ganti rugi. Ia sendiri tak mengatahui kejelasan tanggung jawab Minarak Lapindo. Djuwito hanya mendengar, Minarak akan melunasi sisa ganti rugi pada November 2013. Lapindo masih memiliki kewajiban membayar sisa ganti rugi kepada korban terdampak lumpur sebesar Rp 786 miliar. “Sampai sekarang enggak ada pelunasan. Saya ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi soal diskriminasi pembayaran ganti rugi korban,” kata dia.

    Direktur Utama Minarak Lapindo Jaya, Andi Darusalam Tabusala, belum bisa dikonfirmasi. Dihubungi melalui telepon selulernya terdengar nada masuk, tapi tidak dijawab oleh Andi Darusalam.

    DIANANTA P. SUMEDI

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/11/10/078528531/Menteri-PU-Desak-Lapindo-Lunasi-Ganti-Rugi

  • Lapindo Bagi-bagi THR ke Setgab Korban

    Lapindo Bagi-bagi THR ke Setgab Korban

    TEMPO.COSidoarjo-Warga korban semburan lumpur Lapindo sedang diuji saat Ramadan tahun ini. Di tengah belum mendapat kepastian pelunasan sisa ganti rugi dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ), mereka harus menerima kenyataan bahwa oknum Sekretariat Gabungan Korban Lapindo, justru mendapat duit THR dari MLJ.

    Sumber Tempo, mengatakan oknum Setgab Korban Lapindo mendapat duit THR dari Andi Darusalam, Direktur Utama MLJ. “Kasihan warga di luar Setgab. Justru Setgab Korban Lapindo mendapat THR,” kata ia kepada Tempo, Minggu 4 Agustus 2013.  (more…)

  • A Monument for Lapindo

    A Monument for Lapindo

    TEMPO.COJakarta – Last May 29, a newly erected monument has stands on top of the mudflow embankment at point 21 with words engraved saying, “The Lapindo mud flow has buried our village and all Lapindo has done is throw around fake promises. The nation has neglected to recover our lives; our voices will never fade, so the nation will never forget.” (more…)

  • Lumpur Lapindo Kini (2013)

    Lumpur Lapindo Kini (2013)

    Lumpur Lapindo Kini (2013)

    This slideshow requires JavaScript.

     

     

     

    Diunduh dari: (http://www.tempo.co/read/beritafoto/7109/Lumpur-Lapindo-Kini/1)

  • Bantuan Tak Merata, Korban Lumpur Lapindo Mengadu ke Pansus

    SIDOARJO – Puluhan korban lumpur Lapindo di Desa Midi, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, memprotes pembagian bantuan sosial bagi warga di luar peta berdampak. Mereka mengadukan masalah tak meratanya pembagian bantuan sosial itu kepada Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo.

    “Penyaluran bantuan tak sesuai dengan fakta di lapangan,” kata Ahmad Sofii, tokoh masyarakat Mindi, Senin (21/12).

    Mereka menilai Kepala Desa Mindi Misran memanipulasi data penerima bantuan sehingga dari 18 rukun tetangga, hanya tiga rukun tetangga yang menerima bantuan.

    Mereka menuntut agar bantuan sosial dihentikan serta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) diminta untuk mensurvei ulang penerima bantuan. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional juga diminta untuk mendata dan mengukur ulang tanah yang berada di Desa Mindi.

    Kondisi Desa Mindi terjepit antara tanggul penampung lumpur Lapindo serta Sungai Porong. Akibatnya, kini nilai aset warga terus merosot tak terkendali. Bahkan, sejumlah perbankan menolak memberikan pinjaman dengan jaminan lahan dan bangunan di sekitar Desa Mindi. “Hingga kini kami tetap bertahan karena tak memiliki tempat tinggal yang lain,” katanya.

    Panitia Khusus Lumpur Lapindo menyatakan akan menindaklanjuti persoalan ini dengan menghadirkan berbagai pihak, di antaranya Bupati Sidoarjo, BPLS, dan warga Mindi. Tujuannya untuk mencari jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak. “Kami tampung keluhan warga Mindi,” katanya.

    Secara terpisah, juru bicara BPLS Ahmad Zulkarnain mengatakan bahwa bantuan sosial disalurkan melalui survei yang benar. Tim BPLS sebelumnya telah mendata rumah tinggal korban lumpur yang tak layak huni, di antaranya rumahnya muncul semburan lumpur dan gas serta mengalami tanah ambles. “Hanya rumah yang tak layak huni yang menerima bantuan,” katanya.

    Penyaluran bantuan ini, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2009 tentang BPLS. Dana bantuan berupa uang sewa rumah sebesar Rp 2,5 juta per tahun, biaya pindah Rp 500 ribu, serta setiap jiwa mendapat bantuan sebanyak Rp 300 ribu per bulan. Bantuan itu dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    Keluarga yang telah menerima bantuan diminta untuk mencari rumah pengganti disesuaikan dengan dana yang dimiliki. Sedangkan rumah yang dianggap layak huni tetap tak diberi bantuan.

    Bantuan sosial ini disalurkan untuk yang berbatasan dengan tanggul penahan lumpur, di antaranya Desa Mindi, Siring dan Jatirejo. Seluruh warga Siring dan Jatirejo mendapat bantuan sosial, karena survei menunjukkan seluruh rumah tak layak huni dan berbahaya.

    EKO WIDIANTO © TEMPO Interaktif

  • Polisi Pastikan Berkas Kasus Lumpur Lapindo Lengkap

    Jumat, 17 Oktober 2008 – Tempo, Surabaya: Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Polisi Herman Surjadi Sumawiredja meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Timur segera menyatakan sempurna (P21) berkas perkara lumpur Lapindo. “Kami sudah berkali-kali kirimkan berkasnya ke Kejaksaan, tapi hingga kini tak juga di P21,” katanya, Jum’at (17/10).

    Padahal, kata Herman, institusinya telah menganggap berkas yang dilimpahkan sudah sangat lengkap. Didalam berkas tersebut juga terdapat fakta-fakta adanya kesalahan dalam pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc sehingga mengakibatkan terjadinya bencana semburan lumpur di Porong Sidoarjo.

    “Saya hanya berharap Kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik terang,” ujar Herman.

    Hingga saat ini, berkas dari Polda Jatim telah dikirimkan kepada kejaksaan hingga empat kali. Hanya saja, Kejaksaan tetap bersikukuh jika berkas yang dikirimkan belum lengkap. Padahal polisi dalam kasus ini setidaknya telah menetapkan sebanyak 13 orang sebagai tersangka dugaan salah prosedur dalam pengeboran sehingga mengakibatkan bencana di Porong Sidoarjo.

    Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Mulyono saat diminta tanggapannya enggan berkomentar. “Tanya Pak Kejati saja,” ujarnya.

    Rohman T | Kukuh SW

    © TempoInteractive

  • Lumpur Lapindo Mengandung Senyawa Kimia Berbahaya

    Wawancara dengan Bambang Catur Nusantara, Direktur Walhi Jawa Timur

    Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bahwa lumpur Lapindo mengandung senyawa kimia polycyclik aromatic hydrocarbons (PAH) mengejutkan banyak pihak, termasuk pemerintah, yang selama ini selalu berdalih lumpur yang menyengsarakan puluhan ribu jiwa secara sosial dan ekonomi itu aman bagi kesehatan.

    Wartawan Tempo, Rohman Taufik, akhir pekan lalu mewawancarai Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara untuk mendapatkan penjelasan mengenai temuan itu. Berikut ini petikan wawancaranya:

    Apa yang mendorong Walhi melakukan penelitian tentang PAH?

    Sebenarnya sudah bisa diduga sejak awal, lumpur Lapindo mengandung senyawa PAH. Setelah kami teliti, ternyata benar. Bahkan, di luar dugaan, PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo 8.000 kali lipat dari ambang batas normal.

    Lumpur Lapindo setidaknya mengandung dua jenis PAH, yaitu chrysene dan benz (a) antracene. Senyawa kimia ini jika masuk ke dalam tubuh akan langsung mempengaruhi sistem metabolisme, yang akan menimbulkan berbagai penyakit. Selama ini korban Lapindo bersentuhan langsung dengan PAH dalam kategori terpapar lama dalam 24 jam berturut-turut. PAH dalam kadar yang terendah saja sangat mudah masuk ke tubuh melalui pori-pori kulit.

    Apa saja efek paling buruk jika terkena PAH?

    PAH bisa menyebabkan tumor dan kanker, khususnya kanker kulit, paru, serta kandung kemih. PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.

    Senyawa ini sebenarnya tidak secara langsung menyebabkan tumor ataupun kanker, tapi pada orang yang terkena, PAH dalam sistem metabolisme tubuh akan langsung diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif serta sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker.

    Senyawa kimia ini sangat mudah larut dalam tubuh, sehingga jika orang terpapar lama dalam waktu lima hingga sepuluh tahun, orang tersebut langsung akan terkena tumor dan kanker. Karena kadarnya 8.000 kali lipat, risiko terkena tumor dan kanker dipastikan lebih cepat.

    Korban Lapindo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong, di setiap blok telah ditemukan sekitar lima anak yang menderita benjolan di lehernya, yang mirip tumor. Selain itu, banyak korban yang terkena penyakit kulit.

    Kondisi seperti ini seharusnya segera ditindaklanjuti. Terhadap semua korban lumpur Lapindo, harus dilakukan general check-up.

    Dari hasil penelitian Walhi, kandungan PAH dalam lumpur Lapindo sejauh radius berapa kilometer?

    Kami mengambil sampel di 20 titik, terjauh di radius 1,5 kilometer dari pusat pusat semburan. Hasilnya, PAH terkandung di semua titik yang kami teliti. Ada kemungkinan lebih jauh lagi radiusnya. Sebenarnya kami juga meneliti lumpur di Sungai Porong. Untuk sementara, baru logam berat yang kami teliti.

    Banyak yang ragu dengan temuan Walhi, bahkan ada yang mengatakan laboratorium di Indonesia belum mampu mendeteksi PAH

    Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung demikian pesat. Laboratorium Universitas Airlangga yang kami gunakan juga bisa dicek akurasinya.

    Sebenarnya logika berpikir yang harus dibangun bukan mencari-cari kelemahan penelitian kami. BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) seharusnya melihat fakta ini sebagai ancaman. Memang, dalam kasus lumpur Lapindo, tidak ada keberpihakan terhadap warga. Menteri Lingkungan, misalnya, malah memberikan anugerah kepada Lapindo dengan predikat taat lingkungan.

    PAH sebenarnya lazim ditemukan di area pengeboran, tapi anehnya, Kementerian Lingkungan ataupun Bapedal tak pernah menelitinya. Mereka hanya berkutat pada logam berat. Atau mungkin mereka takut karena PAH memang sangat membahayakan, sehingga sengaja tidak dicari tahu kandungannya. Padahal, kalau sejak awal diketahui, bisa langsung diantisipasi.

    Apa langkah lebih lanjut yang dilakukan Walhi?

    Karena menyangkut keselamatan banyak orang, kami akan kirimkan hasil penelitian ke semua pihak, seperti BPLS, Menteri Kesehatan, Gubernur, juga Presiden. Tujuan kami supaya ribuan korban Lapindo segera diperhatikan dan mendapat penanganan serius. Dua pekan lalu kami sudah berikan kepada Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Saat berada di Jakarta, kami sampaikan juga ke Kementerian Lingkungan Hidup, tapi tidak ditanggapi.

    Penelitian ini apakah tidak terlambat? Semburan lumpur sudah berlangsung lebih dari dua tahun.

    Penelitiannya sudah lama. Hasil laboratoriumnya memang baru keluar beberapa waktu lalu. Sejak awal kami sudah memprediksi ancaman seperti ini, tapi tidak pernah ada yang menanggapinya.

    Sejak awal kasus lumpur, Walhi selalu dibenturkan dengan korban Lapindo, tapi kenapa Walhi merilis masalah ini?

    Sebuah korporasi memang akan menggunakan berbagai cara agar kepentingannya tidak terganggu. Kami tahu ada aktor yang bermain, karena Walhi dianggap mengganggu mereka, sehingga banyak ditemui spanduk seolah-olah warga menolak kehadiran kami. Ini aneh. Kami melakukan investigasi untuk kepentingan warga korban, malah ditolak. Kami sudah melacak siapa yang memasang spanduk, ternyata bukan warga. Bukan hanya (tentang) spanduk, kami juga sering diteror.

    Bahkan posko bersama yang kami dirikan di Porong diancam akan dibakar oleh sekelompok orang. Kami tak akan terusik. Tugas kami memang menyoroti masalah lingkungan.

    Sumber: Tempo

  • Sonny Keraf: Ada Kesungkanan karena Aburizal Bakrie Ada di Pemerintahan

    APA boleh buat: nasi sudah jadi bubur, sawah telah jadi lumpur. Semburan gas dan lumpur panas dari sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung hampir sebulan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pada Senin pekan lalu menyatakan, semburan itu bukan akibat gempa, “Tapi karena kesalahan pengeboran.”

    Lapindo Brantas, anak perusahaan Energi Mega Persada, salah satu perusahaan yang tergabung dalam kelompok usaha Bakrie, awalnya memang menyebut gempa yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei lalu sebagai penyebab. Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) yang seharusnya mengontrol eksplorasi ini mengamini pernyataan itu. Tapi, “Itu manipulasi informasi,” ujar Sonny Keraf, Wakil Ketua Komisi VII DPR–komisi yang salah satunya membawahkan bidang lingkungan.

    Kejengkelan Sonny terhadap BP Migas–lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan eksplorasi minyak dan gas di Indonesia–sudah sampai ubun-ubun. Ia menunjukkan data inefisiensi penyelenggaraan kegiatan hulu migas (cost recovery) yang terus meroket dari tahun ke tahun, sementara produksi migas justru menurun. Pada 2002 cost recovery tercatat US$ 3,1 miliar, tapi tahun berikutnya menjadi US$ 5,3 miliar. Tahun lalu angka itu terus naik menjadi US$ 7,5 miliar, setara dengan Rp 24,2 triliun.

    Selasa pekan lalu, Sonny menerima wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, serta fotografer Cheppy A. Muchlis untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya Gedung Nusantara I, DPR-RI. Menteri Lingkungan Hidup dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid ini menjawab semua pertanyaan dengan tenang, tak meledak-ledak.

     

    Mengapa bencana Lapindo Brantas ini terjadi?

    Kalau ditarik ke hulu, sangat mungkin berawal dari proses tender yang jatuhnya ke perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama. Karena berada dalam satu grup, kontrol dari kontraktor terhadap proses kerja perusahaan yang melakukan pengeboran tidak berjalan semestinya.

    Maksud Anda ada indikasi kolusi?

    Kalau saya dan Anda masih satu kelompok dan Anda mendapat tender dari saya, akan ada kecenderungan saya tidak akan dengan tegas mengontrol, mengendalikan, atau menegur Anda dan seterusnya. Polisi harus mengusut bagaimana kaitan antara Lapindo Brantas dan kontraktor, apakah ada indikasi kolusi atau tidak. Sebab, hal itu sangat berpengaruh terhadap proses kontrol, termasuk pemilihan teknologi dan peralatan yang digunakan. Bisa saja ada upaya penghematan untuk menaikkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga prosedur operasi standar tidak dipenuhi.

    Apa alasan tudingan Anda ini?

    Ketika Lapindo Brantas, BP Migas, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut pergeseran patahan akibat gempa di Yogyakarta (sebagai penyebab semburan lumpur) dalam penjelasan resmi di Komisi VII, saya langsung curiga. Penjelasan yang seragam ini merupakan manipulasi informasi, karena belakangan terbukti penyebabnya bukan itu.

    Kini tim independen sudah dibentuk. Anda percaya?

    Saya tidak percaya kepada tim ini. Saya tidak yakin BP Migas akan obyektif dan tidak campur tangan. Ini berdasarkan pengalaman di Newmont Minahasa, tatkala ada tim teknis yang dibentuk oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Teman-teman dalam tim tidak bisa leluasa mengungkapkan temuan mereka karena ada intervensi dari berbagai pihak. Itu membuat tidak semua yang ditemukan bisa diungkap. Problemnya, kalau tim ini sama sekali terlepas dari BP Migas, kita terbentur pada kendala teknis: siapa yang akan membiayai? Di luar itu saya mengharapkan ada tim pemantau dari masyarakat, mungkin dari Walhi dan pakar geologi serta geoscience di bidang perminyakan. Ini penting karena kita tahu Lapindo Brantas dimiliki oleh kelompok Bakrie. Saya khawatir ada kesungkanan dalam mengungkapkan ini, karena Pak Aburizal Bakrie ada di dalam pemerintahan sekarang.

    Apa alasan kekhawatiran itu?

    Dalam penjelasan awal yang saya anggap ada manipulasi untuk menyalahkan alam tadi, saya mendapatkan kesan jangan-jangan ini disebabkan Lapindo dimiliki kelompok usaha Bakrie.

    Anda melihat langsung penanganan di lapangan, bagaimana menurut Anda?

    Ada tiga hal menarik. Pertama, tidak ada koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat, baik dari BP Migas, Lapindo Brantas, pemerintah provinsi, kabupaten, maupun instansi lain. Lembaga penelitian dari berbagai universitas datang sendiri-sendiri dan mengambil sampel di titik yang berbeda, sehingga bisa saja temuan mereka sangat bervariasi. Ini disebabkan lemahnya kepemimpinan dalam manajemen penanganan bencana.

    Kedua, tidak ada komunikasi yang baik dengan masyarakat. Taruhlah satu-dua hari pertama orang masih sibuk dengan berbagai upaya untuk memahami fenomena ini. Tapi, paling lama satu minggu setelah itu, seharusnya ada pihak yang powerful–disegani, dipercaya, kredibel–untuk tampil mengatasi suasana dan menjelaskan ke masyarakat. Fungsi ini harus dilakukan BP Migas karena menurut undang-undang memang lembaga inilah yang memiliki kewenangan untuk itu.

    Ketiga, seorang penduduk yang pernah bekerja di pengeboran minyak dan rumahnya berhadapan langsung dengan sumur itu menyebutkan tidak ada aktivitas tanggap darurat yang jelas begitu bencana terjadi. Agak lama setelah bupatinya turun tangan, baru Lapindo menyediakan alat berat membangun tanggul bersama masyarakat. Tapi itu baru seminggu kemudian. Sudah terlambat.

    Tentang materi lumpur itu sendiri?

    Ini juga menarik. Pemerintah, termasuk Lapindo, di Komisi VII mengatakan bahwa lumpur itu bukan bahan beracun dan berbahaya (B3). Itu pernyataan yang gegabah. Salah satu anggota Komisi VII, Catur Sapto Edi (PAN), yang memahami betul soal B3, mengatakan itu kekeliruan yang besar. Sebab, di lapangan ditemukan tarbol, yaitu gumpalan minyak hitam, seperti ter yang mengapung di atas lumpur. Itu saja berarti ada B3. Belakangan ada temuan dari ITS di Surabaya dan pihak yang lain bahwa ditemukan juga fenol serta zat-zat lain.

    (Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 45 Tahun 2002 untuk air golongan III, yakni air untuk peternakan dan pembudidayaan ikan, ambang kandungan fenol adalah 1 miligram per liter. Sedangkan dari sampel lumpur yang diambil 40 meter di utara jalan tol Porong-Gempol, kandungan fenol tercatat tiga kali lebih tinggi, yakni 3,37 miligram per liter-Red).

    Menteri Negara Lingkungan Hidup pernah mengatakan bahwa lumpur itu tidak beracun?

    Itu juga mengejutkan saya. Dalam dialog di radio dengan Ketua Komisi VII Agusman Effendi pada 12 Juni lalu, Pak Rachmat Witoelar mengatakan bahwa lumpur itu bukan B3. Saya tanyakan lewat SMS. Beliau mengatakan informasi itu didapatnya dari lapangan. Untungnya Pak Rachmat lalu meralat pernyataannya.

    Tentang kompensasi per keluarga senilai Rp 200 ribu itu, layakkah?

    Saya yakin tidak semua masyarakat sekitar yang terkena lumpur mendapat kompensasi. Di lapangan saya temukan warga yang tinggal sangat dekat dengan tanggul pun mengaku tidak mendapat apa pun. Saya tidak tahu mereka ngomong benar atau tidak. Jadi ada kemungkinan pembagian kompensasi tidak merata. Saya tidak tahu kelanjutannya sekarang.

    Bagaimana menghitung kompensasi bagi penduduk atas kerugian yang mereka alami?

    Ada satu sub dalam tim independen yang melakukan perhitungan itu, baik kerugian material maupun imaterial. Material misalnya sawah mereka yang rusak dan kesehatan yang terganggu. Imaterial misalnya biaya yang muncul karena mereka kehilangan hari kerja, baik karena sakit maupun karena mereka harus mengawasi lumpur agar tidak membanjiri rumah. Kemudian sejauh mana sumur dan air mereka terkena. Juga harus diperhitungkan kerugian jalan tol, tidak hanya Jasa Marga tapi juga warga pengguna yang aktivitasnya terhambat. Belum lagi pabrik-pabrik di sekitarnya yang terhenti kegiatannya. Tentang ini Komisi VII sudah mengeluarkan dua sikap. Pertama, semua kerugian harus ditanggung Lapindo Brantas. Kedua, agar biaya yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk ganti rugi tidak dimasukkan ke cost recovery. Kalau biaya itu termasuk cost recovery, negara dan pemerintah provinsi akan ikut menanggung karena ada porsi dari bagi hasil.

    Artinya, masyarakat yang jadi korban, masyarakat juga yang harus membayar?

    Betul. Itu kan tidak fair.

    Apakah ada sinyal Lapindo Brantas akan memasukkan ganti rugi itu sebagai cost recovery?

    Tahun lalu Komisi VII melakukan diskusi panjang dengan BP Migas tentang parameter cost recovery, karena kami lihat tidak ada ukuran jelas dalam menentukan ini. Tentu saja BP Migas mengatakan ada, tetapi di dalam prakteknya banyak hal yang tidak jelas. Saya katakan secara ekstrem pembantu (rumah tangga) ekspatriat yang sakit pun masuk cost recovery. Ini luar biasa merugikan. Itu sebabnya kami khawatir, biaya ganti rugi nantinya akan diklaim Lapindo Brantas sebagai cost recovery dengan alasan biaya ini muncul dalam proses pengeboran.

    Tapi rekomendasi Komisi VII kan tidak mengikat?

    Komisi VII akan meminta BP Migas tidak menyetujui itu.

    Anda yakin BP Migas akan melakukan itu?

    Itulah. Saya lihat BP Migas memang sangat lemah. Tapi, karena ini keputusan politik, seharusnya BP Migas bisa lebih tegas.

    Apa penyebab kelemahan BP Migas?

    Sebenarnya di sana banyak ahli. Saya khawatir ini cuma masalah kepemimpinan. Mungkin Pak Kardaya (Kardaya Warnika, Ketua BP Migas–Red) kurang tegas menggunakan wewenangnya. Saya tidak tahu apakah karena beliau tidak mampu mengontrol pengusaha migas karena tekanan dari pemerintah atau karena lobi-lobi lain.

    Tapi Ketua BP Migas kan dipilih oleh DPR juga?

    Pak Kardaya memang dipilih oleh Komisi VII. Jadi harus lebih diberdayakan. Juga pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral perlu mendorong BP Migas agar lebih kuat mewakili pemerintah dalam mengendalikan kegitan-kegiatan di sektor hulu ini. Jika memang nanti ditemukan ada unsur kelalaian prosedural dari Lapindo, BP Migas harus ikut bertanggung jawab. Kalau perlu Pak Kardaya mundur.

    Seperti apa contoh kelalaian prosedural itu?

    Seperti yang sudah diungkapkan media, Medco ternyata sudah mengingatkan kepada Lapindo bahwa casing (selubung) harus segera dipasang pada mata bor. Polisi harus mengusut ini untuk mengetahui seberapa besar unsur kelalaian dan kesengajaan. Kalau memang terbukti, harus ada proses pidana dan perdata. Kalau perlu, izin Lapindo dicabut karena merugikan masyarakat.

    Bagaimana memastikan investigasi terhadap kasus ini bisa obyektif?

    Di sini menurut saya hasil kerja tim independen menjadi penting. Dengan seluruh kepakaran yang dimiliki, mereka harus meneliti dan menyisir semua dokumen, termasuk dokumen seismik dan dokumen teknis lainnya. Kalau seluruh dokumen ini bisa dibuka untuk semua pihak, termasuk wartawan, kerja polisi pun bisa dikontrol. Apalagi kalau ada tim pemantau dari lembaga seperti Walhi dan pakar geoscience lainnya. Tim pemantau dari luar menjadi penting untuk mengingatkan tim independen kalau-kalau, entah karena lalai atau sengaja, mengabaikan dokumen atau bukti tertentu.

     

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Bernapas dalam Lumpur

    Infeksi saluran pernapasan akut menggerogoti kesehatan warga yang wilayahnya tergenang luapan lumpur panas. Penyakit minamata mengancam.


    BAU telur busuk yang menyengat hidung kini biasa dihidu warga desa Renokenongo, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Di sana, lumpur panas bercampur hidrogen sulfida (H2S) sudah hampir sebulan terus menyembur dari perut bumi.

    Banjir lumpur panas bahkan sudah menjadi bencana dan meluber ke desa-desa tetangga seperti Jatirejo dan Siring. Paru warga setempat dipaksa menghirup udara tercemar. Hasilnya, lebih dari 800 warga mesti menjalani perawatan medis. Sebagian terpaksa ngendon di bangsal rumah sakit.

    “Mayoritas pasien mengalami infeksi saluran pernapasan akut,” kata Komisaris Polisi Hadi Wahyana, Kepala Rumah Sakit Bhayangkara, Porong, yang kebanjiran pasien dadakan. Gejala yang dialami warga adalah sesak napas, pusing, mual, dan muntah. Ada juga pasien yang mengidap gangguan pencernaan seperti diare.

    Serbuan udara tercemar gas yang baunya mirip belerang itu menjadi ancaman lebih serius bagi mereka yang memiliki riwayat sakit paru kronis. Contohnya Suwoto, 76 tahun. Nyawa warga Renokenongo ini tak tertolong, meski sempat menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Hal serupa dialami Abdul Syukur Achyar, 57 tahun, warga Jatirejo yang meninggal pada hari yang sama.

    Penyakit Suwoto kambuh pada Senin dua pekan lalu. Keesokan harinya, ia langsung dibawa ke RS Bhayangkara. Hampir sepekan dirawat, kondisinya tak kunjung membaik. Ayah enam anak itu akhirnya dirujuk ke RSUD Sidoarjo. Di sana tim medis juga tak bisa berbuat banyak. Nyawa Suwoto tak bisa diselamatkan. “Udara tercemar membuat penyakitnya tambah parah dan sulit disembuhkan,” kata Hadi, yang bolak-balik menangani Suwoto sejak 2004.

    Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Airlangga Surabaya, Profesor Mukono, mengatakan bahwa semburan gas mempercepat proses meninggalnya Suwoto dan Syukur. Gas berbau busuk yang mereka hirup membawa dampak psikologis dan kesehatan yang makin buruk. Gejala yang terlihat, antara lain, mual, pening, dan jantung berdebar-debar. Kematian mereka, dalam istilah orang Jawa Timur, jadi seperti disengkakne (dipacu).

    Tak mau terperangkap udara tercemar gas yang diduga beracun, warga di daerah genangan lumpur makin banyak yang mengungsi. Pasar Baru Porong yang disediakan untuk tempat pengungsian makin berjubel.

    Bertahan di rumah dan bernapas di antara kubangan lumpur bukan lagi pilihan, karena kesehatan pernapasannya bakal terus tergerus. Tengok saja nasib keluarga Suparman, 49 tahun, warga Jatirejo. Gara-gara bertahan tinggal di rumah, istri, anak, dan dirinya sendiri harus opname di rumah sakit akibat saluran pernapasannya bermasalah.

    Bukan cuma udara tercemar bau busuk yang berbahaya. Pencemaran air di lokasi semburan lumpur oleh raksa, sulfat, nitrit, dan amonia bebas juga menimbulkan masalah. Soalnya, zat-zat itu potensial mengganggu kesehatan.

    Tim ahli dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) sudah menyatakan bahwa dari uji sampel, kandungan air di sana menunjukkan lonjakan zat-zat yang luar biasa. Kandungan raksa mencapai 2,565 miligram per liter (baku mutu 0,002 miligram per liter), sulfat 1437,5 miligram per liter (baku mutu 0), nitrit 6,60 miligram per liter (baku mutu 0,06), dan amonia bebas 154,5 miligram per liter (baku mutu mustinya 0).

    Mukono mengingatkan ada bahaya mengintai lantaran merebaknya zat-zat itu. Amonia bebas, misalnya, bila langsung terkena kulit akan menimbulkan iritasi dan gatal-gatal. Penyakit yang sama muncul bila terjadi kontak langsung dengan nitrit.

    Ancaman bahaya lebih besar pun sudah diramalkan. “Bila raksa masuk ke tubuh secara menahun, bisa timbul penyakit minamata,” kata Mukono. Penyakit yang muncul akibat mengkonsumsi makanan tercemar logam berat merkuri ini (Latin hydrargyrum, bersimbol Hg, raksa) pernah terjadi di Minamata, Jepang, pada 1950-an. Akibatnya, ratusan orang tewas.

    Penyakit minamata terjadi jika masyarakat mengkonsumsi makanan atau air yang mengandung raksa selama 20 tahun atau lebih. Raksa yang mengendap dalam tubuh akan memicu munculnya gangguan saraf pusat. Sebab itu, masyarakat di kawasan semburan lumpur panas harus berhati-hati.

    Dwi Wiyana, Sunudyantoro, Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Maut di Mulut Sumur

    Semburan lumpur dan gas di tambang-tambang minyak dan gas acap terjadi. Biasanya terjadi karena operator teledor.

    MALAM di Gaoqiao biasanya larut dalam kesenyapan ala pedesaan Cina. Ada suara jangkrik dan angin dingin. Tapi, tidak malam itu. Sebuah ledakan keras merobek langit Gaoqiao. Suaranya berdebum. Ribuan orang yang meringkuk di balik selimut terkesiap. Sebagian warga mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Belum lagi mata terbuka sempurna, hawa panas dan bau busuk merayap ke rumah-rumah penduduk.

    Sebagian warga berhamburan meninggalkan rumah. Namun, banyak juga yang bertahan di rumah sembari menutup rapat-rapat jendela, pintu, dan lubang angin: pilihan yang keliru, sebab dengan begitu makin banyak racun yang terhirup ke paru-paru. Dalam hitungan menit, ribuan orang pun menggelepar.

    Rumah sakit-rumah sakit Kai panik. Mereka kebanjiran 243 mayat dan ribuan orang yang keracunan gas hidrogen sulfida serta sebagian kulitnya melepuh. Mereka datang dari 28 desa di Kai. Sekitar 41 ribu orang lainnya diungsikan menjauhi Gaoqiao. Esok harinya, pemerintah Cina mengumumkan ledakan 23 Desember 2003 itu terjadi karena semburan gas liar di tambang gas Chuangdongbei, Gaoqiao. Tambang itu dikelola Sichuan Petroleum Administration, milik China National Petroleum Corporation.

    Kejadian itu mirip dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Bedanya, di Gaoqiao hanya gas yang muncrat dari mulut sumur. Tak ada lumpur. Walau begitu, gas-gas yang baunya seperti kentut itu mencopot ratusan nyawa.

    Tragedi itu membuat miris pemerintah Cina. Mereka langsung mengirim tim pengendali bencana ke desa yang bersuhu rata-rata 0 sampai 4 derajat Celsius itu. Langkah pertama, tim itu adalah membakar gas, agar tak menyebar. Setelah itu, tim menyuntikkan 260 ton lumpur dan semen untuk menutup sumur.

    “Ini salah operator,” kata San Huashan, Deputi Direktur Keselamatan Kerja dan Administrasi Negara Cina seperti dikutip kantor berita Xinhua. “Mereka tidak mempersiapkan perangkat untuk menangani gas sulfur bertekanan tinggi.” Kesalahan itu, tutur San, bermula dari kesalahan operator memperkirakan kapasitas produksi dan kandungan gas di sumur.

    Tim pengendali juga menemukan sederet dosa operator lainnya, antara lain mereka tidak membakar gas yang keluar dan ada katup pengendali tekanan yang sengaja dilepaskan. Akibat keteledoran itu adalah sebuah semburan pembunuh yang dikenang sejarah. Sembilan bulan kemudian, pengadilan memvonis enam karyawan Sichuan Petroleum dengan hukuman penjara tiga sampai enam tahun.

    Bisnis tambang memang tak steril dari kecelakaan semburan lumpur dan gas. Di Indonesia kecelakaan seperti di Gaoqiao itu pernah terjadi di sumur Randublatung-A di Desa Sumber, Blora, Jawa Tengah, pada 2 Februari 2002. Semburan gas busuk itu membuat 4.400 penduduk mual dan pusing. Kepolisian Blora mencatat, sekitar 300 warga dirawat jalan dan dua orang lainnya dirawat inap di Rumah Sakit Cepu karena batuk dan sesak napas.

    Sumur Pertamina yang berjarak 100 meter dari pemukiman penduduk itu ditaksir memiliki 6 juta barel cadangan hidrokarbon. Gas yang menyelimuti Desa Sumber itu mengandung etana, propana, butana, pentana, karbondioksida, dan hidrogen sulfida. Untuk menyumpal kebocoran, kata Kepala Operasi Pemadaman R. Sujatmo, Pertamina menyemprotkan lumpur berat ke sumur. Perusahaan tambang pelat merah itu juga mengalirkan beribu-ribu liter air lewat pipa sepanjang 2,3 kilometer.

    Konsultan Geologi dan Perminyakan Untung Sumartoto mengungkapkan, semburan gas liar yang disertai keluarnya air dan tanah seperti di sumur Banjar Panji-1, Porong, jarang terjadi. “Biasanya gas atau minyak saja,” kata Untung.

    Albert Tilaar, konsultan yang pernah bekerja di perusahaan tambang asing, bercerita, kejadian di Porong itu pernah terjadi di Riau. “Lumpur menyembur hingga membentuk menjadi bukit,” ujarnya. Di tempat lain, kebocoran itu mengisap benda-benda yang ada di muka bumi. “Ada traktor beserta sopirnya terisap ke dalam bumi.” Namun, musibah itu selesai setelah operator menginjeksi lumpur dan semen.

    Efri Ritonga, Sohirin, L.R. Baskoro

    Sumber: No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Ke Mana Lumpur Dibuang

    SUDAH berhari-hari warga Desa Kedungbendo bergotong-royong membangun tanggul penahan lumpur. Penduduk setempat tak ingin kampung mereka terendam lumpur dari sumur PT Lapindo Brantas seperti tiga desa di sekitar Lapindo-Desa Siring, Jatirejo, dan Renokenongo. Tapi, akhirnya, pekan lalu jebol juga tanggul di Kedungbendo.

    Sudah hampir sebulan kebocoran di Lapindo terjadi, tapi amuk lumpur itu belum bisa dihentikan, juga belum bisa dibuang. Lapindo sejatinya telah menyiapkan tiga kolam penampung lumpur. Satu ada di sebelah utara jalan tol Porong-Gempol atau hanya 200 meter dari sumur Lapindo. Dan dua kolam lainnya berada di sebelah selatan jalan tol Porong-Gempol. “Itu bisa menampung lumpur sampai tiga pekan,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo Brantas.

    Ternyata perhitungan Imam meleset, jangkauan lumpur meluas ke Kedungbendo yang letaknya berdekatan dengan kolam pertama. Belakangan, para pejabat setempat baru sadar bahwa volume lumpur yang menyembur dari ladang Lapindo itu lebih besar dari yang diperkirakan semula, 5.000 meter kubik per hari. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperkirakan volume lumpur yang mengalir dari dasar bumi itu sebesar 50 ribu meter kubik per hari.

    Taksiran tersebut sama dengan hitungan tim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) yang telah meneliti di 16 titik di kawasan yang digenangi lumpur. “Itu angka paling ekstrem,” kata Anggraeni, salah satu anggota tim ITS.

    Untuk mencegah perluasan lumpur, ITS mengusulkan agar areal kolam penampung lumpur yang semula 24 hektare diperluas jadi 225 hektare. “Lokasinya di kecamatan Porong, Tanggulangin, dan kecamatan Jabon,” kata Hasan Basri.

    Saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo baru menyiapkan lahan 85 hektare dan 24 hektare di antaranya di Desa Renokenongo. Jika semua kolam telah siap, diperkirakan bisa menampung lumpur selama dua bulan. Rencananya, setelah lumpur diendapkan di kolam, air di bagian permukaan akan dialirkan ke kali Porong.

    Teori ini bisa jalan jika kolam-kolam itu saling berdekatan. Masalahnya, letak kolam pertama dengan kolam kedua dan ketiga berjauhan. Saat ini kolam kedua dan ketiga masih melompong alias belum teraliri lumpur.

    Semula Lapindo berharap lumpur secara otomatis mengalir ke kolam tersebut karena bantuan gaya gravitasi. Namun, lumpur ternyata tidak bergerak arah ke kolam. Lumpur itu malah menerjang belasan pabrik dan rumah warga Jatirejo dan Renokenongo.

    Lapindo sebenarnya berusaha mengalirkan lumpur itu ke kolam kedua dan ketiga dengan sedotan mesin. “Tapi hanya jalan sebentar dan akhirnya macet,” ujar Subakri, Sekretaris Desa Renokenongo. Alhasil, kini lumpur bergerak semaunya sendiri. Duh.

    ZA, Sunudyantoro dan Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Hidup di Atas Garis Lumpur

    Di bawah Porong, Sidoarjo, membentang garis lumpur. Inilah penyebab lumpur terus menyembur deras dan menggenangi empat desa.

    PERBURUAN itu hampir mencapai klimaksnya. Sudah dua hari mesin pengeruk itu menderu-deru menggaruk lumpur. Akhirnya, keran merah yang dicari-cari itu menyembul. Ukurannya cukup besar, diameternya setengah meter. Tapi, karena terpendam lumpur sedalam tiga meter, keran itu sulit dicari.

    Puluhan orang berseragam hitam segera membersihkan keran itu dengan kecekatan seorang geolog. Mereka sisihkan lumpur dengan teliti. “Kini kami tinggal memasang snubbing unit ke sumur ini,” ujar seorang petugas berseragam. Snubbing unit atau peralatan pengebor yang mudah dipindahkan itu diangkut delapan truk trailer. “Ini untuk mendeteksi dan menyumbat sumber retakan yang menyemburkan lumpur,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo, menimpali.

    Perburuan selanjutnya adalah mencari sumber aliran lumpur. Inilah salah satu pekerjaan tersulit. Sudah hampir sebulan ledakan lumpur di Kecamatan Porong, Sidoarjo, terjadi, tapi lumpur terus saja menyembur. Menurut hitungan Lapindo, saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur dimuntahkan dari perut bumi.

    Menurut Imam, jika pusat semburan sudah ditemukan, baru dilakukan penyuntikan materi penyumbat rekahan. Menurut perhitungannya, paling cepat penyuntikan selesai pertengahan Juli. Namun, perkiraan ini terlalu ambisius karena sampai akhir pekan lalu tim ahli belum menemukan di mana pusat semburan. Inilah repotnya.

    Padahal, semakin lama petaka ini dibiarkan, akan semakin luas dan tinggi genangan lumpur. Tim ahli geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) punya taksiran lain soal volume lumpur yang sudah menenggelamkan empat desa di Sidoarjo. Menurut lembaga ini, volume semburan per hari mencapai 50 ribu meter kubik, 10 kali lipat dari taksiran Lapindo. Luas genangannya dalam petaka yang sudah berumur hampir sebulan ini mencapai 110 hektare lebih. Jadi, sampai pekan lalu diperkirakan sudah 1,1 juta meter kubik lumpur yang dimuntahkan.

    Temuan itu didapat setelah mereka meneliti ketinggian lumpur di 16 lokasi. Di dekat sumber lumpur, kedalaman lumpur mencapai 6 meter. Semakin menyamping kian rendah mencapai 3 meter dan paling pinggir 1,5 meter. “Anggota tim sempat terperanjat karena semula volume yang ditaksir tak setinggi itu,” kata Makky Sandra Jaya, sekretaris tim yang dibentuk oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) dan Lapindo.

    Dari mana datangnya lumpur yang tak berhenti mengalir itu? Menurut penyelidikan tim ahli geologi ITS, mereka menemukan dua patahan kulit bumi di bawah permukaan jalan tol dan di Desa Renokenongo. Retakan itu ada di kedalaman 6.000 meter, lebih dalam dari sumur Lapindo yang baru mencapai kedalaman 3.000 meter.

    Menurut Seno Puji Sarjono, anggota tim tersebut, lumpur panas yang menyembur dan merendam empat desa di Kecamatan Porong naik dari patahan yang retak tersebut. Tim itu kini masih meneliti retakan ini memiliki hubungan dengan pengeboran. “Juga apakah retakan itu menyambung ke lubang bor,” ujarnya.

    Untuk mengetahui lokasi patahan, tim menggunakan pemancar gelombang radio buatan Australia. Tim ini telah mengendus kemungkinan adanya retakan lain seperti di Desa Jatirejo dan Jalan Raya Porong. Hasil penelitian retakan ini akan menentukan pemasangan snubbing unit. “Sebab, jangan-jangan nanti satu ditutup, muncul retakan yang lain,” kata Seno.

    Adanya retakan bumi di bawah tambang Lapindo ini juga diungkap Rovicky Dwi Putrohari, geolog Indonesia yang kini bekerja di Malaysia. Menurut dia, patahan di daerah Porong itu membujur dari timur laut ke barat daya. Pendapat Rovicky ini mengutip penelitian Arse Kusumastuti, yang menemukan bahwa pernah terjadi runtuhan (collapse) di daerah itu pada masa lampau.

    Geolog yang rajin mengulas soal gempa dan pergeseran kulit bumi di berbagai milis ini menuturkan, dalam pengeboran, ujung mata bor itu sampai pada lapisan lempung. Lapisan ini menjadi tak stabil karena tercampur dengan air bawah tanah, sehingga menjadi seperti bubur.

    Melihat adanya patahan itu, Rovicky memperkirakan empat kemungkinan sumber kebocoran. Pertama, keluar dari pinggir lubang lama yang sudah diberi pipa selubung oleh Lapindo. Kedua, berasal dari lubang yang belum diselimuti casing, lalu lumpur keluar melalui patahan yang terpotong lubang sumur. Ketiga, sumber lumpur tidak ada hubungannya dengan sumur Banjar Panji-1.

    Jika sudah diketahui sumber kebocoran, maka ada dua skenario penyumbatan. Pertama menyuntikkan lumpur dan semen lewat lubang sumur Banjar Panji-1. Kedua, membuat sumur baru di samping sumur lama, lalu dari samping diinjeksi lumpur dan semen ke pusat kebocoran. Kita berharap sumber kebocoran itu bisa segera disumbat sebelum lumpur pelan-pelan menenggelamkan Sidoarjo.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Adi Mawardi, Sunudyantoro, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Karena Lambat, Tak Selamat

    PENANGANAN kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, banyak menuai kritik. Sejak petaka ini muncul pada 29 Mei lalu, gerak pemerintah tak cukup gesit. Buktinya, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar kasus ini segera ditangani, tak pernah jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Akibatnya, bencana meluas.

    Baru pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menunjuk Grup Bakrie harus ikut menanggung beban kerugian yang ditimbulkan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie-yang belum sekali pun melongok ke Sidoarjo-akhirnya juga menyatakan Lapindo Brantas harus bertanggung jawab. Namun soal detailnya bagaimana, Ical-sapaan akrabnya-meminta kasus ini ditanyakan kepada Nirwan Bakrie, adiknya yang kini banyak menangani perusahaan keluarga Bakrie.

    29 Mei

    Semburan lumpur panas terjadi di kawasan pengeboran gas milik Lapindo Brantas yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Manajemen Lapindo menyebutkan ini akibat gempa bumi.

    5 Juni

    PT Medco E&P Brantas, rekanan kerja sama operasi pengeboran, mengirim surat ke Lapindo. Medco pada 18 Mei telah mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing) di kedalaman 8.500 kaki untuk mengantisipasi kebocoran.

    12 Juni

    Komisi E DPRD Jawa Timur dalam dengar pendapat meminta Lapindo bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat. Suara senada diungkapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. Namun General Manager Lapindo, Imam Agustino, menyatakan tanggung jawab harus dipikul bersama dengan pemerintah.

    14 Juni

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta BP Migas melakukan investigasi.

    15 Juni

    Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Sutedjo Yuwono, menyatakan kementerian yang dipimpin Aburizal Bakrie ini belum perlu berkunjung langsung ke Sidoarjo. Alasanya, sudah diwakili Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Energi. Ketua DPR Agung Laksono menilai gerak pemerintah lamban.

    16 Juni

    General Manager Lapindo, Imam Agustino, membantah luapan lumpur akibat kesalaham timnya dalam pengeboran. Menteri Lingkungan Hidup menyatakan pengenaan sanksi atas Lapindo masih menunggu hasil tim investigasi.

    19 Juni

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro di Surabaya menyatakan, semburan lumpur panas bukan akibat gempa bumi, tapi kesalahan pengeboran.

    20 Juni

    Wakil Presiden Jusuf Kalla di Sidoarjo meminta Lapindo bertanggung jawab atas seluruh kerugian warga. Hadir dua wakil Grup Bakrie: Nirwan Bakrie dan Ari Sapta Hudaya. Nirwan meminta maaf atas nama keluarga Bakrie dan bersedia mengganti kerugian. Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teriyana, tetap menyatakan pihaknya telah melakukan pengeboran menurut prosedur operasi standar (SOP).

    21 Juni

    Menteri Aburizal Bakrie menyatakan Lapindo harus bertanggung jawab. Menteri Pertanian Anton Apriyantono meminta Lapindo memberikan ganti rugi atas lahan pertanian yang rusak.

    22 Juni

    Kepolisian RI menyatakan rekanan PT Lapindo, PT Medici Citra Nusantara, tak melaksanakan prosedur standar operasi pengeboran. Kelalaian pemasangan selubung (casing) pipa bor bisa dimasukkan ke kategori pidana.

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berujung pada Dua Dinasti

    KELUARGA Bakrie, tak bisa tidak, harus menanggung beban kerugian akibat bencana semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Semburat puluhan ribu kubik lumpur yang kini merendam empat desa dan membuat puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk mengungsi ini berpangkal pada kesalahan pengeboran oleh Lapindo Brantas Incorporated.

    Kontraktor pengeboran itu adalah Alton International Indonesia. Perusahaan yang baru didirikan pada Oktober 2004 ini dimiliki Alton International Singapore (30 persen)-anak perusahaan Federal International (2000) Ltd, yang bermarkas di 47/49, Genting Road, Singapura. Dalam siaran pers Federal pada 20 Januari lalu disebutkan, perusahaan patungan ini dimiliki pula oleh PT Medici Citra Nusantara.

    Jika ditelisik lebih jauh, baik Lapindo maupun Alton punya kaitan dengan keluarga Bakrie. Di Lapindo, bendera Grup Bakrie berkibar lewat PT Energi Mega Persada, yang bakal segera dimerger dengan PT Bumi Resources Tbk, anak perusahaan Grup Bakrie lainnya. Di Alton, jejak keluarga Bakrie terekam lewat kepemilikan saham Federal International atas nama Syailendra Surmansyah Bakrie (12,29 persen). Ia tak lain anak Indra Usmansyah Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie.

    Yang menarik, pertautan antara kontraktor pengeboran dan perusahaan operator ladang migas di Sidoarjo ini tak hanya berujung pada keluarga Bakrie. Di kedua perusahaan itu tertera pula nama pasangan suami-istri Rachman Latief. Di Energi Mega, Rennier Abdul Rachman Latief tercatat sebagai pemilik 3,11 persen saham, sekaligus menjabat komisaris. Ia pun dipercaya sebagai Presiden Direktur Lapindo. Sementara itu, sang istri, Nancy Urania Rachman Latief, merupakan pemilik 12,33 persen saham Federal.

    Dari komposisi itu, jelas keluarga Bakrie dan keluarga Rachman Latief termasuk yang akan kena “getah” kasus ini. Tapi bukan tak mungkin PT Medco E&P Brantas (anak perusahaan PT Medco Energi Internasional milik keluarga Panigoro) dan Santos Ltd (Australia) harus ikut menanggung beban kerugian. Sebab, keduanya ikut urunan modal mendanai proyek pengeboran itu (masing-masing 32 persen dan 18 persen). Sedangkan sisa participating interest (50 persen) didanai sendiri oleh Lapindo.

    Alton International Indonesia

    Berdiri pada Oktober 2004, Alton International Indonesia pada 20 Januari 2006 mengantongi kontrak proyek pengeboran ladang migas dari Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur. Kontrak dari anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk senilai US$ 24 juta (lebih dari Rp 220 miliar) ini berlaku setahun sejak pertengahan Februari 2006. Sekitar 30 persen sahamnya dimiliki oleh Alton International Singapore-anak perusahaan Federal International (2000) Ltd (Singapura)-sedangkan sisanya oleh PT PT Medici Citra Nusantara.

    Lapindo Brantas Inc

    Lapindo Brantas Incorporated berdiri pada 1996. Sebelum jatuh ke tangan PT Energi Mega Persada pada Maret 2004, perusahaan ini dimiliki oleh Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok migas Brantas seluas 3.050 kilometer persegi. Wilayah operasinya mencakup penambangan darat di Jawa Timur dan penambangan lepas pantai di Selat Madura, di antaranya lapangan gas Wunut dan Carat di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.

    PT Energi Mega Persada 

    PT Energi Mega Persada merupakan salah satu anak perusahaan milik Grup Bakrie, lewat PT Kondur Indonesia dan PT Brantas Indonesia. Bisnis intinya di bidang penambangan dan perdagangan minyak dan gas. Salah satunya di Selat Malaka, Sumatera, dan Blok Brantas di Jawa Timur. Pada 2004, perusahaan ini pun berhasil mengakuisisi penuh wilayah kerja penambangan di Blok Kangean, Jawa Timur. Tak lama lagi, Energi Mega bakal dilebur dengan PT Bumi Resources Tbk, salah satu anak perusahaan Grup Bakrie lainnya.

    Metta Dharmasaputra, Yandhrie Arvian, Y. Tomi Aryanto

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006