Author: Redaksi Kanal

  • Korban Lapindo Tidak Masuk dalam SJSN

    Korban Lapindo Tidak Masuk dalam SJSN

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Tepat tanggal 1 Januari 2014 ini, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akan dilaksanakan. Namun sampai saat ini proses pendataan untuk Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) masih belum sepenuhnya beres khususnya bagi warga korban lumpur Lapindo. Ketidakjelasan informasi soal pendataan PIB membuat Kelompok Belajar Korban Lapindo Ar-Rohma bersusah payah mencari informasi secara mandiri. Setelah mendatangi Dinas Kesehatan Sidoarjo, mereka mengirimkan surat permintaan informasi ke Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kabupaten Sidoarjo

    “Tidak ada informasi tentang SJSN yang didapat warga selama ini. Kami harus mencari-cari sendiri informasi tersebut. Ini sangat merepotkan bagi kami,” kata Ike Anasusanti (43), warga Siring, Koordinator Ar-Rohma. Ike menambahkan, usaha mencari informasi dipicu oleh keresahan warga atas status mereka bila SJSN diberlakukan.

    Setelah mengirimkan surat permintaan informasi ke TKPKD Kabupaten Sidoarjo 10 November 2013 lalu, Kelompok Belajar Ar-Rohma mendapat surat jawaban. Dalam surat jawaban itu, TKPKD menyatakan bahwa setelah dilakukan validasi, warga korban Lapindo tidak masuk dalam bank data Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011. Data PPLS 2011 merupakan sumber data untuk menetapkan peserta PBI.

    Dalam surat TKPKD itu disebutkan juga bahwa Pemerintah Daerah Sidoarjo akan memasukkan korban Lapindo dalam basis data perserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) hanya jika kuota Jamkesda Kabupaten Sidoarjo bisa ditambah. Jika kuota itu tidak bisa bertambah dan berubah, maka korban Lapindo akan difasilitasi dengan Pemberian Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa dan kecamatan.

    “Kami terkejut dengan jawaban tersebut. Bagaimana mungkin data korban Lapindo yang berhak menerima jaminan kesehatan dinyatakan tidak ada?,” tanya Mujiyarto (40) warga Jatirejo.

    Mengetahui hal ini, Kelompok Belajar Ar-Rohma geram. Meskipun Pemda Sidoarjo berjanji akan memasukkan korban Lapindo sebagai peserta Jamkesda dan SKTM, mereka masih bingung apakah pelayanan Jamkesda dan SKTM sama dengan pelayanan SJSN.

    Rencananya, mereka akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo untuk memfasilitasi pertemuan dengan badan publik terkait pelaksanaan SJSN ini, seperti: Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, Kepala Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Sidoarjo, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sidoarjo.

    “Kami menuntut DPRD Sidoarjo bisa mempertemukan kami dengan pihak-pihak terkait. Supaya informasi jelas. Kami tidak mau diping-pong lagi sama pejabat-pejabat ini,” tegas Harwati (38), warga desa Siring yang juga aktif sebagai anggota Ar-Rohma.

    Selain itu, mereka juga meminta Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo, kepala puskesmas di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin, dan Jabon), Camat Porong, Camat Tanggulangin, Camat Jabon, dan Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dihadirkan juga dalam pertemuan itu. Kelompok Belajar Ar-Rohma berharap dapat mendesak untuk pendataan ulang, sekaligus mempertanyakan layanan kesehatan yang diberikan oleh SJSN, Jamkesda, dan SKTM.

    Surat permintaan audensi sudah dikirim pada 10 Desember 2013. Namun, sampai saat ini belum ada respons DPRD Kabupaten Sidoarjo untuk menggelar pertemuan Kelompok Belajar Ar-Rohma dan badan-badan publik yang diminta.

  • Luapan Lumpur Lapindo Diperkirakan Berakhir pada 2020

    Luapan Lumpur Lapindo Diperkirakan Berakhir pada 2020

    Metrotvnews.com, San Francisco: Luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, akan melemah pada 2017. Diperkirakan, semburan akan berakhir pada 2020.

    Hasil penelitian yang dilakukan sejumlah peneliti dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, itu lebih cepat dibandingkan perkiraan sebelumnya yang menyebutkan lumpur Lapindo meluap hingga 25 tahun, bahkan lebih.

    “Pada 2017, luapan akan melemah,” kata Profesor Michael Manga dari Universitas California, Berkeley, saat berbicara pada pertemuan dunia para pakar Bumi terbesar, American Geophysical Union (AGU), di San Francisco.

    Dia dan rekannya menggunakan teknik yang dikenal sebagai interferometric synthetic aperture radar (InSAR) untuk mengakses evolusi dari erupsi lumpur Sidoarjo. Kajian ini dilakukan berdasarkan pada catatan data satelit yang menunjukkan kondisi tanah yang berubah dalam merespon material yang muncul ke permukaan.

    Erupsi yang dimulai di wilayah Porong Jawa Timur pada 2006 lalu merupakan yang terbesar dari kejadian yang sejenis. Lumpur telah menyebabkan ribuan orang mengungsi dan menyebakan kerugian ekonomi Indonesia mencapai US$4 milliar atau Rp47,9 trilliun.

    Awalnya, lebih dari 100.000 ton lumpur muncul ke permukaan. Luapan lumpur semakin menurun hingga sepuluh kali lipat. Sebuah analisis berdasarkan pada penelitian satelit Jepang pada permukaan tanah memperkirakan penurunan sebanyak sepuluh kali lipat dapat terjadi pada beberapa tahun mendatang.

    “Angka yang pasti, 1.000 ton per hari – lumpur sebanyak ribuan truk bak terbuka per hari. Jumlahnya terlalu sedikit untuk bisa menimbulkan bahaya, (tetapi) mungkin masih menarik untuk menjadi tempat tujuan wisata,” kata dia kepada BBC News. “Saya mengharapkan (kemudian) bahwa jika erupsi turun pada angka tertentu, akan tersumbat sendiri dan berhenti meletus.”

    Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan sejumlah gambar citra satelit gunung berapi dari luar angkasa yang diambil oleh satelit ALOS Jepang, untuk memastikan perubahan permukaan di sekitar gunung berapi.  Selama beberapa tahun, permukaan tanah turun sepuluh sentimeter akibat dorongan material dari perut bumi yang keluar ke permukaan tanah. Bagaimanapun, luapan terus menunjukkan penurunan. (BBC)

    Sumber: http://www.metrotvnews.com/tekno/read/2013/12/14/13/201451/Luapan-Lumpur-Lapindo-Diperkirakan-Berakhir-pada-2020

  • Mud volcano to stop ‘by decade’s end’

    Mud volcano to stop ‘by decade’s end’

    By Jonathan Amos Science correspondent, BBC News, San Francisco

    Scientists say the eruption of the Lusi mud volcano in Indonesia should be all but over by the end of the decade – much sooner than previous estimates.

    The assessment is based on satellite data that records the rate at which the ground is changing in response to the material spewing up on to the surface.

    Researchers say the system is losing pressure rapidly.

    The eruption, which began in the Porong subdistrict of Sidoarjo in East Java in 2006, is the largest of its kind.

    The gooey, noxious muck has displaced tens of thousands of people with economic costs that exceed $4bn to date.

    Initially, more than 100,000 tonnes a day was oozing to the surface. This has decreased tenfold, and an analysis based on Japanese satellite observations of ground subsidence suggests a further tenfold decrease can be expected in the next few years.

    “By 2017, it should be more or less over,” said Prof Michael Manga from the University of California at Berkeley, US.

    “In real numbers, that’s 1,000 tonnes a day – a thousand pick-up trucks per day of mud. Small enough that it won’t be a hazard, [but] maybe interesting enough still to be a tourist destination,” he told BBC News.

    “I expect [then] that if the eruption rate drops below some number, that it will just plug itself and stop erupting.”

    Previous best estimates had indicated Lusi could go on erupting for 25 years or more.

    Prof Manga was speaking here in San Francisco at the American Geophysical Union (AGU) Fall Meeting, the world’s largest annual gathering of Earth scientists.

    He and colleagues have used a technique known as interferometric synthetic aperture radar (InSAR) to assess the evolution of the eruption.

    This involved combining a series of repeat images of the volcano acquired from space by Japan’s ALOS satellite to measure ground surface height changes around the volcano.

    Over the course of several years, the surrounding land is recorded falling tens of centimetres as a result of material deep in the Earth being driven up and out on to the surface. However, the rate of subsidence has declined dramatically, indicating Lusi is losing its vigour.

    And this is reflected in the changed behaviour that can be observed at the surface.

    “There isn’t a constant eruption there anymore; it’s actually pulsing now,” said Prof Richard Davies from Durham University, UK. “And that pulsing is a very good sign that the pressure itself has dropped off. What’s driving the eruption now is a burping from all the gas that’s coming up.

    “The gas makes it behave like a geyser, almost – a bit like Old Faithful in Yellowstone National Park. You can almost set your watch by these pulses.”

    Lusi is thought to have been triggered by a drilling operation that went wrong.

    An expert panel convened at a meeting of the American Association of Petroleum Geologists in Cape Town in 2008 concluded that drilling fluid used to maintain pressure in the well was too dense for the strength of the surrounding rock. The resulting blow-out, or “kick”, re-activated old faults, creating new pathways for water and sediment to rise up to the surface.

    Groups have tried to argue that an earthquake two days prior to the mud volcano’s appearance was responsible. But most geologists say this tremor was too small and too far away (280km) to have had any effect.

    Prof Manga cautions that there will always be some uncertainty about the future course of the eruption, and any forecast is made on the assumption that the system continues to behave in the same way it has in the past. But he adds that the latest evidence ought to be more encouraging for those who live in the region.

    “In the scientific literature, for this particular eruption, there are three fundamentally different models for where the mud is coming from, where the flow is coming from, and what’s happening,” he told BBC News.

    “So, even though we have great data available, it’s not clear yet whether we understand exactly how this eruption works.

    “But with the data we have and the data we will collect in the future, I’m sure we’re going to learn more.”

    At some point the eruption rate should fall to a point where the Earth simply plugs itself.

    Sumber: http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-25188259

  • Pelanggar HAM Berat

    Pelanggar HAM Berat

    Salah seorang perwakilan Jaringan Rakyat Miskin Kota Indonesia membacakan pernyataan sikap saat peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia di kantor LBH Jakarta, Selasa malam (10/12/2013). Dalam pernyataan sikapnya, para korban yang berasal dari Kendari, Makassar, Tulang Bawang, Bandar Lampung, Jakarta, Surabaya dan Porong Sidoarjo menuntut agar pemerintah memberikan hukuman berat kepada Aburizal Bakrie sebagai pelanggar HAM berat atas kasus lumpur Lapindo.

    FOTO: FRINO BARIARCIANUR

    pelanggar ham berat

    Sumber: http://kabarkampus.com/2013/12/foto-bakrie-di-dada-manusia-lumpur-lapindo/

  • Kejanggalan Penanganan Lumpur Lapindo

    Kejanggalan Penanganan Lumpur Lapindo

    suarasurabaya.net – Mursid Mudiantoro, kuasa hukum korban Lapindo menduga ada permainan kebijakan di balik tak kunjung lunasnya ganti rugi bagi korban lumpur yang ada di dalam peta terdampak. Permainan ini, kata Mursid bisa diketahui dengan tidak dilaksanakannya surat Sri Mulyani, Menteri Keuangan bernomor S-358/MK.02/2009 tertanggal 16 Juni 2009.

    “Ada surat Sri Mulyani, yang ternyata berbeda dengan yang dilaksanakan BPLS,” kata Mursid ketika berbincang dengansuarasurabaya.net, Rabu (11/12/2013).

    Setelah surat dari Sri Mulyani yang ditujukan pada DPR RI dan BPLS itu, BPLS lantas mengirimkan surat terkait perubahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang BPLS.

    Menurut Mursid, surat dari BPLS tertanggal 23 September 2009 ternyata berbeda dengan surat dari Sri Mulyani.

    Dalam surat Sri Mulyani, ditegaskan jika negara bisa memberikan dana talangan untuk pemberian ganti rugi bagi aset tanah dan rumah warga korban lumpur. Sedangkan untuk penanganan semburan yaitu membuat tanggul dan mengalirkan lumpur ke Sungai Porong harusnya ditanggung oleh Lapindo.

    “Tapi dalam suratnya, BPLS malah membalik dan minta penanganan pengaliran semburan lumpur diambil alih negara. Sedangkan pemberian ganti rugi tetap dibebankan pada Lapindo,” kata Mursid.

    Dengan adanya surat ini, presiden lantas mengeluarkan Perpres perubahan ke-tiga terkait BPLS, yaitu Perpres tahun 2009.

    Adanya kejanggalan ini, kata Mursid, juga telah dia ungkap dalam persidangan lanjutan uji materi terkait ganti rugi di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (10/12/2013) kemarin.

    Bahkan dalam persidangan kemarin, surat dari Sri Mulyani dan dari BPLS ini juga telah diminta untuk dijadikan sebagai barang bukti tambahan.

    Mursid berharap, dengan adanya bukti tambahan ini, korban lumpur bisa memenangkan uji materi sehingga proses pemberian ganti rugi segera bisa diambil alih oleh pemerintah.

    Sekadar diketahui, saat ini korban Lapindo yang berada di dalam peta terdampak mengajukan uji materi terhadap Undang-undang nomor 15 tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 19 tahun 2012 tentang APBN khususnya pasal 9 ayait 1 huruf a tentang anggaran ganti rugi untuk korban lumpur.

    Gugatan di MK ini dimaksudkan untuk meminta keadilan sehingga warga yang berada di dalam peta terdampak yaitu warga Siring, Renokenongo, Jatirejo, dan Kedunggbendo segera mendapatkan proses pelunasan ganti rugi dan diambilkan dari dana APBN bukan lagi dari Lapindo.

    Sidang lanjutan sendiri akan digelar pada 17 Desember 2013 mendatang dengan agenda kesimpulan. (fik/ipg)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/128133-Kejanggalan-Penanganan-Lumpur-Lapindo

  • Korban Lumpur Lapindo Kecewa Hearing Batal

    Korban Lumpur Lapindo Kecewa Hearing Batal

    KOTA (Sidoarjonews) – Puluhan warga Korban Lapindo Menggugat (KLM) gagal melakukan hearing dengan Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo, di gedung DPRD Sidoarjo, Jum’at (29/11/2013). Hearing dibatalkan mendadak karena Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak hadir.

    Warga mengaku kecewa dengan kejadian itu. “Terus terang, kami sangat kecewa karena BPLS tidak dihadirkan oleh Pansus,” cetus Sugito, salah satu pentolan warga KLM usai hearing batal digelar. Warga kecewa karena sejatinya hearing membahas persoalan yang berkaitan dengan kinerja BPLS, terkait pembuangan lumpur ke Sungai Ketapang.

    Akibat lumpur yang dialirkan ke Sungai Ketapang Tanggulangin, warga mengaku air sumur dan air irigasinya tercemar. Warga KLM ini pun mendesak agar BPLS menghentikan pengaliran lumpur ke Sungai Ketapang dan mengalirkan lumpur ke sungai Porong, sesuai Perpres No 14/Tahun 2007. “Kami sunggu kecewa karena hearing batal,” tandas Zakaria, warga lainnya.

    Ketua PMII Cabang Sidoarjo Anwari Ilham menyatakan hal senada. “Kami ikut kecewa dengan kinerja Pansus akibat batalnya hearing ini,” tandasnya kala ikut mendampingi warga KLM. Anggota Pansus Lumpur Taufik Hidayat yang ikut menemui warga mengakui hearing dibatalkan karena ketidakhadiran BPLS. “Namun ini hanya karena persoalan komunikasi saja,” tandas Taufik.

    Politisi PDI-Perjuangan ini menyatakan masa kerja Pansus Lumpur sebenarnya telah berakhir 23 November. Dengan begitu, undangan hearing kepada BPLS menjadi kewenangan pimpinan DPRD Sidoarjo. Namun pihaknya mengakui belum memastikan sejauhmana undangan itu dikirim ke BPLS. Terkait hal itu, dia mengatakan jika sudah meminta maaf kala bertemu dengan warga KLM. (SN2/Ed2)

    Sumber: http://www.sidoarjonews.com/korban-lumpur-lapindo-kecewa-hearing-batal/

  • Korban Lumpur Lapindo Gugat UU APBN 2013

    Korban Lumpur Lapindo Gugat UU APBN 2013

    Metrotvnews.com, Jakarta: Merasa haknya belum dipenuhi oleh PT Lapindo Brantas, korban luapan lumpur lapindo gugat Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013 (UU APBN 2013) ke Mahkamah Konstitusi.

    Menurut kuasa hukum penggugat, Mursid Mudiantoro bencana akibat pengeboran minyak di Sidoarjo, Jawa Timur bukan hanya tanggung jawab Lapindo. Pemerintah pun seharusnya ikut bertanggung jawab

    “Kalau pengeboran itu berhasil, negara akan diuntungkan sangat besar, jadi negara sebenarnya harus ikut bertanggung jawab,” kata Mursid usai sidang lanjutan uji materi UU APBN 2013 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/11).

    Selama ini, ganti rugi yang dibebankan pada Lapindo terhadap warga di wilayah Peta Area Terdampak (PAT) belum juga dilunasi. Sejauh ini, Lapindo baru membayar ganti rugi sebesar Rp 3 triliun. Padahal, Rp 4,5 triliun masih harus dibayarkan oleh perusahaan milik Abu Rizal Bakrie ini.

    Ketimbang menunggu ketidakjelasan Lapindo, kata Mursid, sisa utang lebih baik dibayar pemerintah melalui APBN. Sebab selama ini korban yang ada diluar wilayah PAT diganti dengan dana APBN dan sudah lunas.

    “Untuk itu kami menggugat UU APBN agar wilayah dalam PAT ikut ditanggung APBN. Lagi pula kalau pemerintah membayar itu, maka tanah warga bisa menjadi milik negara,” imbuhnya.

    Kerugian lainnya, dialami oleh sejumlah pengusaha yang menjadi korban lumpur Lapindo. Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GBKLL) SH Ritonga, seluruh pengusaha korban luapan lumpur Lapindo sudah masuk daftar hitam perbankan. Imbasnya, mereka kesulitan mengajukan pinjaman untuk berusaha.

    “Seluruh pengusaha korban lumpur Lapindo di-blacklist. Kami tidak lagi dipercaya untuk mengajukan pinjaman,” keluhnya.

    Ritonga menyebutkan secara pribadi ia baru menerima uang ganti rugi 30% atau sejumlah Rp7,5 miliar. “Sebanyak Rp4 miliar itu saya gunakan untuk membayar pesangon pegawai saya yang berjumlah 900 orang,” imbuhnya.

    Atas dasar tersebut, para korban menggugat UU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN. Pasalnya, UU itu menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo Brantas.

    Mereka pun ingin ganti rugi terhadap warga di wilayah PAT juga menjadi tanggungan negara. Pasalnya janji Lapindo untuk segera melunasi utangnya tak kunjung direalisasikan.

    Menanggapi tuntutan penggugat, Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial yang diwakili Hardi Prasetyo sebagai pihak pemerintah mengakui adanya keterlamatan pelunasan ganti rugi dari PT Lapindo. “Ini juga merupakan masalah BLPS. Tapi sesuai arahan presiden kita melakukan pengawasan dan membentuk tim independen agar ada percepatan,” kata Hardi dalam persidangan.

    Sebelumnya, dalam upaya pemenuhan hak atas tanah dan bangunan serta perlindungan hukum warga korban lumpur Lapindo, Pemerintah menerapkan dua pola penanganan, yaitu penanganan daerah PAT yang menjadi tanggung jawab  PT Lapindo Brantas dan daerah di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah.

    Ketentuan tersebut ditindaklanjuti PT Lapindo dengan menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya sebagai subyek hukum yang melakukan proses ganti rugi tanah dan bangunan di wilayah PAT dengan menggunakan perjanjian ikatan jual beli.

    Namun terdapat perbedaan nilai harga tanah dan bangunan antar korban. Padahal mereka sama-sama merupakan korban bencana lumpur.

    Bukan hanya itu, sejak 2009 PT Lapindo dinilai abai atas kewajiban pembayaran ganti rugi dan pelunasan tanah dan bangunan korban lumpur di Sidoarjo. Oleh sebab itu, penggugat yang merupakan korban lumpur meminta MK menyatakan Pasal 9 UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak menyertakan dan memasukan wilayah PAT yang terdiri dari Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Ketapang dan Renokenongo.

    Mereka juga meminta MK memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk memasukan wilayah tersebut dalam UU APBN/APBN-P tahun berikutnya sebagai tanggung jawab Pemerintah. (Lulu Hanifah)

    Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/28/1/197796/Korban-Lumpur-Lapindo-Gugat-UU-APBN-2013

  • Warga Korban Lumpur Lapindo Gelar Istighosah, Berharap Ganti Rugi Dibayar

    Warga Korban Lumpur Lapindo Gelar Istighosah, Berharap Ganti Rugi Dibayar

    Sidoarjo – Ratusan warga korban lumpur Lapindo di dalam peta terdampak menggelar doa bersama. Istighosah itu dilakukan di atas tanggul tepatnya di titik 42. Meski panas menyengat, tetapi mereka tetap khusyuk melakukannya.

    “Kami berdoa agar perjuangan rekan kami di Mahkamah Konstitusi (MK) berhasil,” kata Salamun, salah satu warga kepada detikcom, Kamis (28/11/2013).

    Salamu mengatakan jika 4 warga korban lumpur Lapindo di dalam peta terdampak telah berangkat ke Jakarta. Mereka adalah Wiwik, warga Desa Siring; Subakri, warga Desa Reno Kenongo; Suwito, warga Desa Reno Kenongo; dan Warno, warga Jatirejo.

    “Semoga perjuangan kami di sidang nanti membawa hasil,” lanjut Salamu.

    Warga berharap hasil sidang di MK nanti berhasil dengan digolkannya keputusan untuk membayar sisa pembayaran ganti rugi menggunakan dana APBN. “Kami berharap masalah ini diambil pemerintah dengan membayar kami menggunakan APBN. Kami sudah tak percaya lagi dengan Minarak Lapindo Jaya (MLJ),” ujar Salamu.

    Alasan Salamu memang masuk akal karena MLJ tak juga melunasi sisa pembayaran ganti rugi. 7 Tahun adalah waktu yang tidak pendek bagi warga korban lumpur Lapindo untuk menunggu.

    “Ganti rugi saya sekitar Rp 1 miliar. Tetapi saya masih diberi Rp 600 juta. Sampai kapan saya menunggu untuk hak saya. Kami berharap sidang di MK berjalan lancar dan hasilnya menggembirakan untuk korban lumpur Lapindo,” pungkas Salamu. (iwd)

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/11/28/113953/2426148/475/warga-korban-lumpur-lapindo-gelar-istighosah-berharap-ganti-rugi-dibayar

  • Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Masuk Daftar Hitam Perbankan

    Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Masuk Daftar Hitam Perbankan

    Massa dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, Jakarta, Senin (29/4/2013). Menjelang 7 tahun musibah lumpur Lapindo Jatam menilai anak-anak korban lumpur Lapindo terancam masa depannya karena tersendatnya penyelesaian maslah tersebut. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
    Massa dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, Jakarta, Senin (29/4/2013). Menjelang 7 tahun musibah lumpur Lapindo Jatam menilai anak-anak korban lumpur Lapindo terancam masa depannya karena tersendatnya penyelesaian maslah tersebut. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gabungan Pengusaha di Sidoarjo Jawa Timur yang menjadi Korban lumpur PT Lapindo Brantas Inc mengaku kesulitan dalam berusaha karena mereka masuk dalam daftar hitam (black list) perbankan.

    “Seluruh pengusaha korban lumpur Lapindo di-‘blacklist’ perbankan. Kami tidak lagi dipercaya untuk mengajukan pinjaman,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GBKLL), SH Ritonga, saat menjadi saksi uji materi Undang-Undang APBN di MK, Jakarta, Kamis (28/11/2013).

    Ritonga menuturkan, pihaknya sangat kesulitan untuk berusaha karena sisa ganti rugi belum dilunasi PT Lapindo Brantas Inc. Untuk itu, mereka meminta pemerintah ikut memikirkan kesusahan para pengusaha tersebut.

    “Kami menginginkan, sebagai pengusaha yang menampung tenaga kerja dan turut menjadi tonggak perekonomian di Sidoarjo, dipikirkan juga oleh pemerintah,” kata dia.

    GBKLL menurut kini beranggotakan 26 perusahaan dari berbagai macam jenis usaha dan memiliki 15 ribu pegawai.

    Ritonga sendiri tidak menyebutkan total ganti rugi yang belum dibayarkan PT Lapindo. Dia hanya mengaku telah menerima ganti rugi sebesar 30 persen atau berjumlah Rp7,5 miliar.

    Sebanyak Rp 4 miliar, kata Ritonga, dihabiskan untuk membayar gaji dan pesangon pegawainya.

    Sekedar informasi, Mahkamah kembali melanjutkan uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang APBN.

    Uji materi UU APBN diajukan oleh para pemohon yang merupakan warga dan pengusaha korban lumpur lapindo, yang termasuk di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT). Menurut pemohon, UU APBN menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo Brantas.

    Pemohon uji materi tersebut adalah warga dan pengusaha korban lumpur lapindo, yang termasuk di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT).

    Menurut pemohon, Undang-Undang APBN menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo.

    Penulis: Eri Komar Sinaga; Editor: Johnson Simanjuntak

  • Warga Sidoarjo Diusir Saat Demo di Istana

    Warga Sidoarjo Diusir Saat Demo di Istana

    Jakarta – Lima orang korban terdampak lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, menuntut pembayaran atas tanah mereka segera dilunasi negara. Aksi yang dilakukan dengan melumuri tubuh menggunakan lumpur Lapindo ini, akhirnya dibubarkan petugas setelah berorasi selama satu jam.

    “Katanya kita diusir gara-gara ada tamu negara. Padahal kita sudah izin dari kemarin. Pokoknya besok kita akan datang lagi sampai ketemu dengan Presiden dan Djoko Kirmanto (Menteri PU),” ujar Kordinator Aksi, Thoyib di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2013).

    Warga Desa Besuki, Sidoarjo ini menuntut pembayaran tanah mereka sesuai dengan harga tanah daratan. Namun pemerintah melalui Kementerian PU hanya menyanggupi pembayaran sesuai dengan harga tanah sawah.

    “Padahal kita sudah menang di PN Sidoarjo untuk membuktikan kalau tanah kita itu tanah daratan, bukan tanah sawah (tanah basah). Nah Kementerian PU menolak, lalu kita buktikan lagi di PN Jakarta Pusat dan menang lagi,” paparnya.

    Nomor putusan di PN Sidoarjo adalah 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo, kemudian di PN Jakarta Pusat dengan nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST. Sementara pada saat diputuskan di Jakarta Pusat pada 31 Mei 2013 Menteri Djoko Kirmanto berjanji tak akan banding.

    “Tetapi Pak Djoko Kirmanto itu ingkar janji dan mengajukan banding terhadap sidang yang telah memenangkan kami. Makanya kita demo di sini supaya Pak SBY selaku kepala negara dapat menyuruh Pak Djoko Kirmanto untuk tidak naik banding dan segera lunasi hak kami,” tuntutnya.

    Harga tanah sawah adalah Rp 120.000/meter persegi, sementara harga tanah darat sebesar Rp 1.000.000/meter persegi. Menurut mereka, wilayah terdampak menjadi tanggung jawab pemerintah berdasarkan Perpres No 48 Tahun 2008. (bpn/fdn)

    Sumber: http://news.detik.com/read/2013/11/20/134106/2418317/10/warga-sidoarjo-diusir-saat-demo-di-istana?9922022

  • SBY dan Menteri PU Dituding Bohongi Korban Lumpur Lapindo

    Dalam aksinya mereka menuntut Presiden SBY segera menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU), Djoko Kirmanto, untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi kepada lima warga di luar area terdampak semburan lumpur panas Sidoarjo.

    “Pembayaran ganti rugi itu harus sesuai Perpres No. 48 tahun 2008, Keputusan PN Sidoarjo No 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo dan Keputusan PN Jakarta Pusat dengan Nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST,” kata Thoyib, koordinator Forum Korban Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (FK-BPLS).

    Menurut Thoyib, pada mulanya warga korban lumpur diperas oleh oknum pejabat BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Pemda Sidoarjo. Akhirnya, pada tahun 2009, warga yang menolak memberi sejumlah uang kepada pejabat BPLS, Pemda, BPN diancam bahwa status tanahnya ditetapkan sebagai tanah sawah/basah.

    Ancaman itu benar-benar-benar terjadi. Ada 5 warga yang mempunyai 7 bidang tanah di desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, yang tanahnya ditetapkan sebagai tanah basah.

    Padahal, menurut Thoyib, objek tanah yang dimiliki oleh kelima warga tersebut adalah tanah darat/kering. Hal itu juga sesuai dengan peta BPLS, yaitu peta di luar area terdampak, yang merupakan tanah darat. Selain itu, warga juga mengantongi bukti lain sepertid PBB dan sertifikat kepemilikan tanah.

    Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden No.48 Tahun 2008 dan SK Kepala BPLS No.43/KPTS/BPLS/2008 tentang besaran bantuan sosial kemasyarakatan dengan harga tanah dan bangunan disebutkan bahwa tanah darat 1.000.000/m2, tanah basah 120.000/m2dan bangunan 1.500.000/m2.

    Atas dasar itulah warga kemudian menempuh jalur hukum. Pada tahun 2011, Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo menetapkan status tanah tersebut sebagai tanah kering melalui putusan Nomor 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo. Namun, pihak BPLS mengabaikan putusan pengadilan tersebut.

    Tetapi perjuangan warga tidak berhenti. Mereka lalu menggugat Presiden dan Menteri PU sebagai Dewan Pengarah BPLS, juga BPLS sebagai pelaksana lapangan, ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. Akhirnya, PN Jakpus mengeluarkan putusan Nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST bahwa Menteri Pekerjaan Umum dan BPLS telah melanggar hukum dengan tidak membayar kewajiban penyelesaian pemenuhan hak korban lumpur melalui skema jual-beli tanah darat sesuai SK Kepala BPLS No.43/KPTS/BPLS/2008.

    Tak hanya itu, pada tanggal 31 Mei 2013, KPA bersama dengan FK-BPLS sempat menggelar aksi di depan kantor Kementerian PU. Saat itu Menteri PU Djoko Kirmanto berjanji menyelesaikan kasus tersebut.

    “Djoko Kirmanto berjanji akan menginstruksikan BPLS untuk segera membayar ganti rugi sesuai ketentuan. Tak hanya itu, ia berjanji tidak akan naik banding atas putusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan korban lumpur,” ujar Thoyib.

    Dalam perkembangannya, Menteri PU mengingkari janjinya. Selain tidak menyelesaian pembayaran ganti rugi sesuai ketentuan, Menteri PU juga melakukan langkah banding terhadap keputusan PN Jakpus.

    “Ini menunjukan tidak adanya itikad baik pemerintah dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum dan BPLS menyelesaikan kewajibannya memenuhi hak-hak korban lumpur sidoarjo. Jangan sampai BPLS mempraktekan bisnis kemanusiaan di atas penderitaan korban lumpur Sidoarjo dengan melakukan korupsi,” tegas Thoyib.

    Mahesa Danu

    Sumber: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131119/sby-dan-menteri-pu-dituding-bohongi-korban-lumpur.html

  • Ganti Rugi Belum Terbayar, Korban Lumpur Lapindo akan Wadul ke SBY

    Sidoarjo – Warga korban semburan lumpur Lapindo di luar peta terdampak akan mendatangi ke Istana Negara. Mereka akan wadul dan memohon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membantu menyelesaikan proses ganti rugi yang belum terbayarkan.

    “Saya akan ke Istana Negara memohon Pak SBY untuk membantu warga korban lumpur yang seharusnya sudah terbayar. Tapi sampai sekarang (ganti rugi) belum dibayar oleh BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo),” ujar Jaki (39), warga Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Sabtu (16/11/2013).

    Ada aset lima warga berupa bidang tanah seluas 1,7 hektar. Tanah tersebut terdiri dari milik Musriah seluas 1.550 m2, Marwah seluas 1.300 m2, Abdur Rosim seluas 4.100m2, Toyib Bahri seluas 1.921 m2 dan Hj Mutmainah seluas 8.100 m2.

    Aset mereka belum bisa diganti rugi, karena pada saat ikatan jual beli pada 2008 lalu, menurut BPLS tanah tersebut dinyatakan tanah basah. Untuk harga tanah basah sebesar Rp 120.000/m2. Sedangkan tanah kering (tanah darat) seharga Rp 1 juta/m2.

    Kemudian kelima warga ini mengajukan penetapan status tanah darat ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Pada 2010, PN Sidoarjo menetapkan tanah tersebut sebagai tanah darat dengan nomor putusan 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo tertanggal 12 Agustus 2010. Meski sudah ada putusan dari PN Sidoarjo, BPLS belum membayarnya dengan dalih tidak ada perintah membayarnya dari PN Sidoarjo.

    Warga pun kembali melayangkan gugatan ke PN Jakarta Pusat untuk menetapkan status tanah tersebut. PN Jakarta Pusat menetapkan tanah warga itu adalah tanah darat dengan nomor putusan 246-2250/PDT.D.2012/PN.JKT. Pusat.

    Berdasarkan keputusan-keputusan tersebut, pada Mei 2012 warga menemui Menteri PU Djoko Kirmanto yang juga Ketua Dewan Pengarah BPLS, di Kantor Kementerian PU. Warga disuruh pulang dan dijanjikan akan dibayar oleh BPLS. Namun sampai saat ini, warga BPLS juga belum membayarkan ganti ruginya.

    “Saya dan warga lainnya akan terus berusaha. Bahkan kalau perlu saya akan tidur di Istana sampai beliau (Presiden SBY) menemui warga,” terang anak dari Abdur Rosim ini.

    Jaki akan berangkat ke Istana Negara bersama empat warga korban lumpur lainnya. Mereka rencananya berangkat menggunakan kereta api dari Stasiun Pasar Turi Surabaya malam ini. (roi/bdh)

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/11/16/191931/2414975/475/ganti-rugi-belum-terbayar-korban-lumpur-lapindo-akan-wadul-ke-sby

  • Shifting strategy? A reflection of seven years of Lapindo mud

    By Anton Novenanto
    [This is the original English version of an article published in German entitled “Sieben Jahre des Lapindo-Falls: Eine Rücksau”, translated by Melinda Sudibyo, appeared in Suara Watch Indonesia! Vol. 1 (October), 2013 (pdf file of the German version)]
    Lapindo Mud

    I understand mud-volcano disaster in East Java as not merely environmental problem, but rather as a political ecological matter. The root of all the aftermath problems of such disaster is related to the political ecological context in Indonesia. It, then, represents a political ecological disaster in Indonesia (Batubara 2010; McMichael 2009;  Schiller et al. 2008).

    On May 29, 2006, hot mud erupted in Porong, Sidoarjo as a result of a drilling activity for oil and natural gas exploration of Lapindo Brantas Inc. [Lapindo] in Banjar Panji 1 Well. Until now, the mudflow is still erupting. It becomes a threat for people who live surrounding that area. Nobody can be sure about if it will still occur and stop in the near in the future. A group of geologists predicts that it will occur at least for three decades (Davies et al. 2011), while during fieldwork I heard rumours within people of Porong saying it will remains for a century and some others said that it will not stop at all.

    Nevertheless, thousands of people have lost their livelihood. They were forcedly displaced, as it is impossible to return to old homes. The mudflow has engulfed dozens of villages and every public and commercial facility (factories, toll road, schools, government offices, etc.) on those areas. It has forcedly displaced more than 30,000 inhabitants of those villages. Ten factories have been covered by mud so that they must stop their activities, and were forced to dismiss thousands of their workers. The disconnection of Porong-Gempol toll way has disrupted transportation between Tanjung Perak port in Surabaya (East Java capital) and other industrial areas in southern and eastern East Java (e.g., Pasuruan, Probolinggo, Malang, Jember, Lumajang, and Banyuwangi), plus Bali and Lombok. For that reason, the impact of this hazard is not only affecting the local communities in Sidoarjo, but also influencing environmental, social, and economic lives in the other regions in East Java (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia 2007; Danareksa 2006; McMichael 2009; Schiller et al. 2008).

    However, the handling of the disaster aftermath has never been well designed since the beginning. The situation is getting worst on the grounds that ambiguous position of the leading figure of Lapindo’s shareholders, Aburizal Bakrie, who was also the Minister of Public Welfare. Once, in February 2008, Aburizal led the cabinet meeting about the handling of the mudflow impacts for 45 minutes, replacing the President Yudhoyono who had to leave earlier (Setyarso et al. 2008). Aburizal was acting, on one hand, as the State representation (Minister of Public Welfare) and, on the other, as prominent figure of The Bakries, Lapindo’s holding company.

    Natural vs. Man-Made Disaster

    The politicisation of disaster is started from its scientific explanation (see Anderson 2011; Button 2010), it is also occurred in the case of mud-volcano disaster in East Java. Although there are contradicting scientific claims concerning the birth of such mud-volcano, the geologists agreed about the distinction between ‘cause’ and ‘trigger’ (Batubara 2009). For the cause, geologists have agreed that the geological land structures in Sidoarjo, East Java are conducive for the birth of mud-volcano. These geological conditions are proven by the existence of other mud-volcanoes in the surroundings of the one in Porong. But, what was the trigger for that mud-volcano birth? Such question is still highly debated and competed.

    According to daily report of Energi Mega Persada [EMP], Lapindo’s parent company, Lapindo started to spud the Banjar Panji 1 Well in Renokenongo Village, Porong, Sidoarjo, on March, 9, 2006 (Adams 2006; Wilson 2006). It means that the drilling was barely four months when mud and gas begun to erupt on May 29, 2006 in Siring Village, about 150-200 meters from Banjar Panji 1 Well. The next day (May 30, 2006), Kompas Daily raised the issue in its national pages by quoting a statement from Syahdun, the foreman of PT Tiga Musim Mas Jaya, the subcontractor for Lapindo’s drilling in Banjar Panji 1 Well, who said that the leaks were linked to the drilling activities in that well (LAS 2006). So, the breach was due to industrial accident. In other words, it is man-made disaster.

    The discourse of “man-made disaster” was getting stronger after Medco Brantas [Medco], who had 32 percent shares in the well, issued a letter entitled “Banjar Panji 1 Well Drilling Incident” to Lapindo on June 5, 2006 (Medco 2006). In that letter, Medco claimed that the incident in that exploration well occurred due to the “gross negligence” of the Operator, that is, Lapindo. Medco claimed that Lapindo did not follow the drilling procedure that had been agreed before. Prior to the well incident, Medco had warned Lapindo about the instalment of safety casing as the borehole reached the depth of 8,500 ft. [ca. 2,591 m], but Lapindo neglected that warning. The mud and gas from the Earth’s belly came out from the cracked borehole walls that were not protected by a proper safety casing (cf. LAS 2006). Such claim was strengthened by two reports from third parties—by TriTech Petroleum (Wilson 2006) and by Neal Adams Services (Adams 2006). Both reports were ordered and funded by Medco. Critically, we can assume that Medco was trying to escape from the incident consequences by saying “Lapindo had made a gross negligence”. But, somehow, the discourse of “man-made disaster” has already arisen and has remained as “public truth” in the Lapindo case.

    In mid-October 2008, there was a meeting of the American Association of Petroleum Geology (AAPG) in Cape Town, South Africa, in which one of the panels focused on discussing the birth of mud-volcano in East Java. As there was no final conclusion, the forum took a vote to decide about the trigger of that mud-volcano birth. More than half of the voters (42 of 74 people who had rights to vote in that conference) voted for the drilling argument; three voted for the earthquake argument; 13 voted that the mud-volcano’s birth was combination of both drilling and earthquake; and the remains said that the discussion was not to be concluded (Batubara 2009; Mudhoffir 2008). However, voting mechanism is a non-scientific process of decision-making; rather, it is political mechanism. Such mechanism of deciding scientific truth has downgraded the scientific process of finding about the nature of a natural phenomenon. One could say that the voting is a totally scandal for the geological, scientific forum. Thus, the reproduction of the voting result that had been winning the drilling argument could be used a boomerang for the argument’s proponents. The critical question arises as to how can in a scientific forum exist on the basis of power and domination of the majority over the minority? Scientific debate has to be solved in a scientific way, that is, by doing further scientific research, not by voting. In short, expert debate and its conclusion have muddied the truth about the mud-volcano (cf. Batubara 2009).

    Batubara (2009) gives two different scenarios laid behind that expert debate. First, if the geologists had agreed to the drilling argument, then all the liabilities caused by the mud-volcano would be borne to Lapindo solely; and second, if the experts had agreed to the earthquake argument, then the government would cover all the liabilities. According to Presidential Decree No 14 Year 2007 (Perpres 14), Lapindo had to pay up to IDR 3.8 trillion [c.a. USD 241m] for the purchasing of the impacted lands and buildings as per March 22, 2007. However, since the mudflow has not stopped yet, the impacted areas have grown larger and larger. Schiller et al. argue that it is obvious that Lapindo, with its modalities, tried to withdraw all the responsibilities related to the mud-volcano with “a substantial public relations effort using the mass media, academic conferences and seminars, and paid ‘experts’ to tell its side of the story” (Schiller et al. 2008: 62–63); that is, framing the mudflow not as man-made disaster but as natural disaster.

    Distorted Information

    One strategy for the successful construct of environmental issues is to control public debate in the media (see Button 1996, 2002; Gamson & Modigliani 1989; Hannigan 1995: 77–78). In mid-2008, The Bakries occupied Surabaya Post Daily’s shares, one of the prestigious newspapers in Surabaya. The Bakries set two prominent figures of Minarak Lapindo Jaya[1] (Bambang Prasetyo Widodo and Gesang Budiarjo) as the managing directors of the newspaper (Tapsell 2010: 9). After that acquisition, some journalists were complaining about the change of the organisation culture until the naming of such event. Dhimam Abror Djuraid, Surabaya Post’s chief editor, the Post was very conscious in naming that event. Referring to Lapindo’s legal status in this incident, Djuraid said in an interview:

    If I called it Lumpur Lapindo [Lapindo Mud], I’m attributing all the guilt to Lapindo. But the facts are not that simple. The court trial is still in progress, it hasn’t been decided that Lapindo is guilty for this disaster. (in Novenanto 2009: 17)

    Similarly, such effort to not using the term Lumpur Lapindo was found in other media group (television) affiliated to The Bakries. Karni Ilyas argues that the naming of a disaster event must refer to the place, not the company. Ilyas gave BhopalChernobyl, and Buyat, for examples (Ambarwati, 2007 in Andriarti 2010: 80). At the time of the interview [2007], Ilyas was Anteve’s chief editor. Recently, he is TVOne’s news director in chief. Both Anteve and TVOne are subsidiaries of The Bakries.

    Both Ilyas and Djuraid assured that the naming of the incident, as Lumpur Sidoarjo, was not under direct order from the owner of their media, The Bakries. However, they were very aware that the term Lumpur Lapindo was highly associated with the making of public opinion concerning the full responsibility of Lapindo in the mud incident.

    In both media (TVOne and Surabaya Post), there has been “special treatment” [perlakuan khusus] for any news about Lapindo. There is an internal censor mechanism for any news about Lapindo.[2] Andriarti (2010) tracked down that some TVOne’s journalists—from reporter level to producer level—had been trying very hard to stick idealistically with journalism principles in making news on Lapindo. Still, the organisation rules [the structure] of TVOne were too strong for those actors’ manoeuvres. Based on her interviews with some journalists of TVOne, Andriarti (2010: 112–115) discovered that any news materials about Lapindo were “being monitored” [selalu diawasi]. For such news, as it could be predicted, the people in Jakarta office would take any measures needed to secure the image of TVOne’s shareholders. The similar internal censorship can also be found in the Surabaya Post, as the chief editor has decided not to write any (bad) news about Lapindo (Novenanto 2009: 40; Tapsell 2010: 9). A Surabaya Post journalist, confirmed this position, as that journalist said:

    It is true that we have been told to not write bad things about Lapindo in relation to the mud-volcano. Bosses have said, “don’t write the details”, like if there is a rally against Lapindo. Mostly we are pressured to use sources from our own company, those that are also involved with Lapindo. (in Tapsell 2010: 9)

    Reflection

    Elsewhere I had argue, instead of constructing a concrete imagination, the media are deconstructing imagination of Lapindo case (Novenanto 2008, 2009, 2010a, 2010b). In addition, the more complicated Lapindo case represented in media, the more public surfeits to follow the detail and the origin of such case (Lim 2013: 13–14). Such condition is beneficial for The Bakries and Lapindo.

    According to my observation, I witness that most people, especially new comers to Lapindo case, only see the case partially. Bakrie factor is the easiest to see and the most appealing element in the case. Most of them are using Lapindo case as ammunition to attack Aburizal’s political and economy agendas, but less of them are focusing on the completion of the disaster aftermath, the comprehensive handlings of the victims, and further risk reduction mitigation strategies for the ecological degradations in Sidoarjo.

    The media reportages concerning Lapindo case are whirling public opinions around the issues of unfinished payments, Lapindo legal status, and the controversy of the trigger (see Suryandaru 2009). I argue, although the Lapindo case is a facticity, highly newsworthy, yet there is no single media organisation which has a clear agenda setting about how this case should be solved. Thus, the reportages on Lapindo case are only re-writing old issues and, if any, emerging new problems.

    I totally understand why such conditions occurred. Many people have exhausted in following the case. Many activists have declared their losses of defending the case on behalf of the victims. It needs a special militancy for anyone who wants to study the case. However, I propose that Lapindo case could not be resolved by hit-and-run tactic; rather, I argue it should be cracked down from inside, the Trojan horse tactic. But, all in all, my subsequent question would be: who wants to be sacrificed by sent inside that Trojan horse, without being defeated by the enemy first?

    Reference:

    Adams, N. 2006. Causation Factors for the Banjar Panji No 1 Blowout. Jakarta.

    Anderson, M. D. 2011. Disaster Writing: the Cultural Politics of Catastrophe in Latin America. Charlottesville & London: University of Virginia Press.

    Andriarti, A. 2010. Relasi Struktur dan Agen dalam Produksi Berita (Sebuah Studi terhadap Kasus Lapindo di Sebuah Televisi Berita). University of Indonesia, Depok.

    Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia 2007. Laporan Pemeriksaan Atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo – Ringkasan Eksekutif. Jakarta.

    Batubara, B. 2009. Perdebatan tentang penyebab lumpur Sidoarjo. Disastrum 1, 13–25.

    ––––––– 2010. Pendahuluan: defisit pengetahuan global menghadapi “man-made disaster” dan implikasinya bagi warga di negara berkembang. In Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil (eds) B. Batubara & H. Prasetya. Jakarta: Yayasan Desantara.

    Button, G. V. 1996. The negation of disaster: the media response to oil spills in Great Britain. In The angry earth (eds) A. Oliver-Smith & S. Hoffman. New York & London: Routledge.

    ––––––– 2002. Popular media reframing of man-made disasters. In Catastrophe and Culture (eds) A. Oliver-Smith & S. Hoffman, 143–158. Santa Fe: School of American Research.

    ––––––– 2010. Disaster Culture: Knowledge and Uncertainty in the Wake of Human and Environmental Catastrophe. Walnut Creek: Left Coast Press.

    Danareksa 2006. Bakrie Group: Riches to rags riches to … Jakarta.

    Davies, R. J., S. Mathias, R. E. Swarbrick & M. Tingay 2011. Probabilistic longevity estimate for the LUSI mud volcano, East Java. Journal of the Geological Society, London 168, 517–523.

    Gamson, W. A. . & A. Modigliani 1989. Media discourse and public opinion on nuclear power: a constructionist approach. American Journal of Sociology 95, 1–37.

    Hannigan, J. 1995. Environmental Sociology. Oxon: Routledge.

    LAS 2006. Sumur gas bocor, penduduk diungsikan [Gas well leaked, residents evacuated]. Kompas, 30 May (available on-line: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0605/30/daerah/2687880.htm, accessed 24 May 2009).

    Lim, M. 2013. Many clicks but little sticks: social media activism in Indonesia. Journal of Contemporary Asia 1–22.

    McMichael, H. 2009. The Lapindo mudflow disaster: environmental, infrastructure and economic impact. Bulletin of Indonesian Economic Studies 45, 73–83.

    Medco E&P Brantas 2006. Banjar Panji-1 Well Drilling Incident.

    Mudhoffir, A. M. 2008. Berebut Kebenaran: Governmentality pada Kasus Lapindo. University of Indonesia, Depok.

    Novenanto, A. 2008. “The Lapindo case” by mainstream media. Indonesian Journal of Social Sciences 1, 125–138.

    ––––––– 2009. Mediated Disaster: the Role of Alternative and Mainstream Media in the East Java Mud-Volcano Disaster. Leiden University, Leiden.

    ––––––– 2010a. Kasus Lapindo, keterbukaan informasi publik, dan peran media massa. In Keterbukaan Informasi Publik dalam Kasus Lapindo. Surabaya: Aliansi Jurnalis Independen; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jawa Timur.

    ––––––– 2010b. Agenda-agenda terbayang untuk kasus Lapindo. In Menggugat Hak Warganegara: Kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Surabaya.

    Schiller, J., A. Lucas & P. Sulistiyanto 2008. Learning from the East Java mudflow: disaster politics in Indonesia. Indonesia 85, 51–77.

    Setyarso, B., Gunanto & M. Syaifullah 2008. Lumpur meluap, fulus mengucur [mud overflowed, money poured]. Tempo Magazine, 3 March.

    Suryandaru, Y. S. 2009. Laporan Analisis Media Kasus Lumpur Lapindo.

    Tapsell, R. 2010. Newspaper ownership and press freedom in Indonesia. In The 18th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia. Adelaide.

    Wilson, S. 2006. Preliminary Report on the Factors and Causes in the Loss of Well Banjar Panji-1.


    [1] Minarak Lapindo Jaya (MLJ) is a new company, established to deal with any matter related to the transactions of Sidoarjo residents’ lands and buildings. Based on the villagers’ documents, they mentioned that the transactions were between the villagers (as the sellers) and MLJ, not Lapindo Brantas or The Bakries (as the buyer).
    [2] However, internal censorship had also been a measure for other directors-related-news about Century affair, which was connected to Erick Thohir, chief director of TVOne (Andriarti 2010: 109).
  • Menteri PU Desak Lapindo Lunasi Ganti Rugi

    Menteri PU Desak Lapindo Lunasi Ganti Rugi

    TEMPO.COSurabaya–Menteri Pekerjaan Umum yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Djoko Kirmanto, mendesak Lapindo Brantas Inc segera melunasi sisa pembayaran ganti rugi kepada korban terdampak semburan lumpur di Kecamatan Porong dan sekitarnya. Menurut Djoko, Lapindo Brantas masih mempunyai tanggungan yang wajib dibayarkan.

    Menteri Djoko mengingatkan bahwa Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc pernah berjanji akan secepatnya melunasi sisa ganti rugi. “Minarak pernah bilang akan melunasi segera. Makanya saya mendesak segera dibayar,” kata Menteri Djoko saat ditemui di sela-sela Dies Natalies Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Ahad 10 November 2013.

    Tapi, kata Djoko, Minarak tidak pernah menjelaskan batas waktu pelunasan. Setiap kali Djoko menagih janji pelunasan itu, Minarak tidak berani memastikan. Disinggung ganti rugi korban terdampak lewat skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Djoko menyerahkan masalah tersebut kepada Menteri Keuangan. Secara pribadi Djoko berharap ganti rugi korban terdampak Lapindo ditanggung APBN. “Tapi sampai saat ini belum ada keputusan. Yang bisa menetapkan itu Menteri Keuangan, saya enggak bisa,” ujar dia.

    Salah seorang korban lumpur, Djuwito, mengaku belum menerima pembayaran sisa ganti rugi. Ia sendiri tak mengatahui kejelasan tanggung jawab Minarak Lapindo. Djuwito hanya mendengar, Minarak akan melunasi sisa ganti rugi pada November 2013. Lapindo masih memiliki kewajiban membayar sisa ganti rugi kepada korban terdampak lumpur sebesar Rp 786 miliar. “Sampai sekarang enggak ada pelunasan. Saya ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi soal diskriminasi pembayaran ganti rugi korban,” kata dia.

    Direktur Utama Minarak Lapindo Jaya, Andi Darusalam Tabusala, belum bisa dikonfirmasi. Dihubungi melalui telepon selulernya terdengar nada masuk, tapi tidak dijawab oleh Andi Darusalam.

    DIANANTA P. SUMEDI

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/11/10/078528531/Menteri-PU-Desak-Lapindo-Lunasi-Ganti-Rugi

  • Tanggul Lumpur Lapindo Ditinggikan Masuki Musim Penghujan

    Tanggul Lumpur Lapindo Ditinggikan Masuki Musim Penghujan

    Sidoarjo – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) meninggikan tanggul lumpur. Peninggian ini dilakukan untuk mengantisipasi jebolnya tanggul menjelang musim penghujan. Peninggian tanggul dilakukan dengan cara memasang sand bag yang diletakkan mulai dari titik 10 D desa ketapang hingga titik 21 desa Siring, Porong.

    Selain peninggian tanggul lumpur BPLS juga menyiagakan pompa Cilicin 14 unit untuk mengurangi genangan air, terutama di exit tol porong menuju jalan Arteri maupun Jalan Porong Lama.

    Sampai saat ini, permukaan gunung lumpur dalam kondisi kering dengan ketinggian 17 meter. Sedangkan ketinggian tanggul lumpur hanya 11 meter. Apabila nanti di musim hujan terjadi hujan terus menerus, maka gunung lumpur berpotensi longsor dan membahayakan rel kereta api dan jalan raya Porong lama yan berada di bawahnya.

    Menurut pantauan detik.com, Rabu (30/10/2013), di lokasi ada 1 unit eskavator untuk membuat alur lumpur dan meninggikan tanggul.

    Humas BPLS Dwinanto di lokasi mengatakan, saat ini pihaknya mengantisipasi musim penghujan dengan cara membuat alur lumpur dan meninggikan tanggul terutama mulai di titik 10 D sampai titik 21.

    “Titik ini masih sering mengalami subsiden (penurunan) walaupun tidak terlalu sering seperti tahun kemarin,” ujarnya.

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/10/30/154836/2399573/475/tanggul-lumpur-lapindo-ditinggikan-masuki-musim-penghujan

  • Empat Ribu Pelanggan PDAM Sidoarjo Terganggu Pasokan Air Bersih

    Empat Ribu Pelanggan PDAM Sidoarjo Terganggu Pasokan Air Bersih

    suarasurabaya.net – Sebanyak 4 ribu pelanggan PDAM Sidoarjo akan mengalami gangguan pasokan air bersih mulai Selasa (29/10/2013) pukul 10.00 WIB karena perbaikan kebocoran pipa di Tawangsari. Daerah-daerah yang terdampak pasokan air mati atau mengecil meliputi kawasan: Taman (perumahan Griya Taman Asri), Trosobo, Sukodono, Suko, Puri Indah, Pondok Jati, Magersari, dan Urangagung.

    Yoyok Supriyanto Humas PDAM Sidoarjo pada Suara Surabaya mengatakan pekerjaan ini diperkirakan selesai pukul 16.00 WIB nanti sehingga diharapkan pada sekitar pukul 19.00 WIB di sejumlah daerah, pasokan air bisa mengalir.

    “Yang mungkin agak lama normalisasinya di daerah Sidoarjo Kota. Kita perkirakan sampai tengah malam. Tapi harapan kita besok pagi sudah normal lagi,” kata dia.

    Sementara itu untuk daerah-daerah yang dilayani pipa transmisi Umbulan dan Tamanan yang sejak 7 tahun belakangan ini terkendala pasokan mengecil karena hambatan di jalur lumpur Lapindo, dijelaskan Yoyok, juga ada perbaikan pipa 400 mm di depan Pabrik Gula Candi. Pipa tersebut membentang mulai Umbulan di Pasuruan sampai ke Surabaya di jalur jalan utama Sidoarjo-Surabaya.

    Pipa ini juga melayani lebih dari 5 ribu pelanggan PDAM Sidoarjo di sekitar Jalan Raya Sidoarjo-Surabaya. Sejak peristiwa lumpur Lapindo, berkali-kali pipa itu bocor karena pergerakan tanah. Akhirnya PDAM Surabaya yang bertanggung jawab atas pipa ini tidak lagi menggunakan pompa untuk mendorong air, hanya memanfaatkan gravitasi. Ini mengakibatkan tekanan air berkurang dari 170 liter perdetik menjadi kurang dari 140 liter perdetik.

    Kebocoran pipa tersebut di depan PG Candi sudah terjadi sejak pekan lalu dan tuntas diperbaiki hari ini, namun normalisasi, kata Yoyok, membutuhkan waktu.

    Pelanggan PDAM Sidoarjo, kata Yoyok, bisa mendapatkan pasokan air bersih gratis dari tanki dengan menghubungi PDAM Sidoarjo di 8941788.(edy)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/126336-Empat-Ribu-Pelanggan-PDAM-Sidoarjo-Terganggu-Pasokan-Air-Bersih

  • Kawasan Lumpur Lapindo Jadi Museum Geologi

    Kawasan Lumpur Lapindo Jadi Museum Geologi

    SIDOARJO – Semburan lumpur panas sampai saat ini belum juga berhenti. Namun, sejumlah rencana sudah disiapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar kawasan lumpur bisa dimanfaatkan.

    Salah satunya keinginan jangka panjang dengan menjadikan sebagian kawasan lumpur sebagai museum geologi. “Kami bekerjasama dengan konsultan memetakan kawasan lumpur itu nantinya bisa dimanfaatkan untuk apa saja. Salah satunya untuk museum geologi,” ujar Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo.

    Untuk memanfaatkan kawasan lumpur, lanjut pria yang akrab disapa Nanto itu, sudah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu. Mulai dari bidang geologi, hidrologi, tata ruang hingga citra satelit. Hasilnya, kemudian dipaparkan dalam seminar studi pemanfaatan area terdampak lumpur di The Sun Hotel.

    Nanto merinci, dari hasil studi sekira 1.100 hektar sebanyak 53 persen digunakan untuk ruang konservasi geologi. Kemudian 14 persen untuk ruang terbuka hijau, kolam tampung air lumpur 12 persen, ruang pengembangan pertanian dan penelitian 10 hektar. Bahkan, BPLS juga akan memanfaatkan ruang sisanya yang digunakan antara lain untuk museum geologi. “Museum rencananya dibangun di kawasan Ketapang, Tanggulangin,” ulasnya.

    Potensi pemanfaatan area terdampak lumpur memang besar jika difungsikan dengan baik. Termasuk di kawasan Mindi, Kecamatan Porong yang juga akan dijadikan ruang terbuka hijau. Kawasan yang telah dibeli oleh pemerintah karena ikut masuk dalam wilayah ganti rugi itu masuk dalam prioritas pemanfaatan.

    Khusus untuk museum, nantinya bisa diisi dengan berbagai temuan serta sejarah terjadinya semburan lumpur yang masih terjadi hingga saat ini. Luas kolam penampungan lumpur yang sudah mencapai 640 hektar ini serta bentuk penanganannya juga menjadi bahan untuk mengisi museum nantinya.

    Hasil kajian BPLS dan konsultan itu nantinya akan diusulkan ke pemerintah pusat agar nantinya bisa ditindaklanjuti sebagai tata ruang. Namun, dalam kajian tersebut BPLS tetap memilah kawasan yang suah dibeli Lapindo dan dibeli pemerintah. ” Kalau areal 640 hektar yang dibeli Lapindo itu untuk kolam lumpur,” jelas Nanto.

    Sumber: http://surabaya.okezone.com/read/2013/10/25/521/886903/kawasan-lumpur-lapindo-jadi-museum-geologi

  • Rp 155 Miliar Lagi untuk Lumpur Lapindo Tahun Depan

    Rp 155 Miliar Lagi untuk Lumpur Lapindo Tahun Depan

    Metrotvnews.com, Jakarta: Pemerintah menganggarkan lagi Rp 155 miliar untuk penyelesaian persoalan lumur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur dalam APBN 2014. Anggaran yang sama juga masuk dalam UU APBN Perubahan 2013 dengan jumlah yang persis sama.

    Dalam draft pasal 15 undang-undang APBN 2014 yang kemarin disepakati DPR di Sidang Paripurna, tertulis alokasi anggaran tersebut diberikan pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa, yakni Desa Besuki, Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan, serta sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan, yakni Kelurahan Siring, Jatirejo, dan Mindi.

    Anggaran tersebut juga diberikan untuk bantuan kontrak rumah dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak lainnya pada 66 rukun tetangga di Kelurahan Mindi, Gedang, Desa Pamotan, Kalitengah, Gempolsari, Glagaharum, Besuki, Wunut, Ketapang, dan Kelurahan Porong. Peruntukan anggaran tersebut sama dengan yang tertuang pada APBN-P 2013.

    “Dalam rangka penyelamatan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul lumpur Sidoarjo, anggaran belanja yang dialokasikan pada BPLS 2013 dapat digunakan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur, termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong (mengalirkan lumpur dari tanggul utama ke Kali Porong) dengan pagu paling tinggi Rp 155 miliar.” Demikian ayat ketiga pasal 15 APBN 2014. Pasal tersebut sama persis dengan bunyi pasal 9 ayat 2 UU APBN P 2013.

    RUU APBN 2014 baru disepakati DPR kemarin. RUU tersebut akan dibawa kembali ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk ditandatangani. Setelah mendapat nomor UU dan persyaratan administrasi lainnya, baru RUU tersebut dinyatakan berlaku. (Gayatri)

    Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/10/25/2/190457/Rp155-Miliar-Lagi-untuk-Lumpur-Lapindo-Tahun-Depan

  • Bakrie oil arm acquires field in South Africa

    Jakarta listed PT Energi Mega Persada, arm of the widely diversified Bakrie group, sealed a deal to acquire an oil and gas block in South Africa.

    Energi Mega announced on Friday that it had acquired a 75 participating interest in Buzi EPCC Block in Mozambique.

    The company will be a new partner to the Mozambique government, which owns the remaining 25 percent stake through its Empressa Nacional de Hidrocarbonetos (ENH).

    Energi Mega said the acquisition of the block, which is expected to start production in 2017, had been valued at US$175 million.

    Energi Mega president director Imam Agustino said the Buzi block was a high value asset with measurable risk.

    “A number of large multinational companies are actively exploring, appraising and developing their gas discoveries into LNG [Liquefied Natural Gas] projects in Mozambique. We are happy that our entry to Mozambique is in the early stages of gas development and our partner is the government,” Imam said in a written statement.

    Energi Mega said it would finance the acquisition with internal cash and loan financing.

    The company’s head of investor relations Herwin Hidayat said Energi Mega’s internal cash would finance almost 50 percent of the $175 million needed to acquire interest in the block.

    He said that the Buzi block was a good prospect.

    The Buzi block, one of many fields in Mozambique known for its gas reserves and resources, is reported to have 283 billion cubic feet of proven and probable gas reserves.

    Moreover, the block also has 3.4 trillion cubic feet of gas prospective resources.

    It is also surrounded by other producing gas fields, such as the Pande, Temana and Inhassoro oil fields.

    Moreover, proper infrastructure of gas pipeline from Mozambique to South Africa will secure its distribution.

    Demands are also in place, both export and domestic, including for Mozambique’s electric generation and petrochemical industry.

    According to the ENH website, the previous 75 percent stake owner was Buzi Hydrocarbon.

    A report from Reuters said ENH in 2009 sold its 75 percent stake to PT Kalila Production in a deal worth $30 million.

    It said that Kalila Production would be represented locally by a 100 percent owned subsidiary called Buzi Hydrocarbons. Reuters also reported Kalila Production had operations in Indonesia as well as in the United States.

    According to Energi Mega’s website, in 2004 the company acquired Kalila Energy Ltd. and Pan Asia Enterprise Ltd., the owners of 100 percent stake in Lapindo Brantas, which has a 50 percent working interest in and is the operator of the Brantas PSC (oil block).

    However, in 2008, according to the website, Energi Mega converted a loan from Minarak Labuan Co. Ltd. into equity in Kalila Energy Limited and Pan Asia Enterprise Limited. Consequently, Energi Mega’s stakes in Kalila Energy Limited and Pan Asia Enterprise Limited were diluted to 0.01 percent.

    Herwin said that Energi Mega acquired the 75 percent stake in the block from a company named Greenwich International Ltd. “It’s an independent company. The acquisition was carried out this October,” Herwin said.

    Shares in Energi Mega, which are traded on the Indonesia Stock Exchange (IDX) under a code ENRG, ended 4.35 percent lower at Rp 88 on Friday compared to a day earlier.

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/19/bakrie-oil-arm-acquires-field-south-africa.html

  • Indymedia amplifies voice of minorities

    By Luh De Suriyani

    More than 20 independent community-media (indymedia) activists from across the country gathered on Oct. 21-22 in Pulau Serangan, Bali, to discuss how their movement could promote the aspirations of those ignored by mainstream media.

    The participants included web-based media such as Desantara from Depok, West Java; Angkringan from Yogyakarta; and E-Tabloid from Aceh as well as community radio stations like Primadona FM from North Lombok and Horasuta FM from North Sumatra.

    The discussions included issues surrounding the lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) community; the economy; public services; pluralism, and human rights.

    Rere Krisdianto from Kanal News Room explained how victims of the Lapindo mud flow in Sidoarjo, East Java, could obtain information from the multi-platform media.

    “Mainstream media outlets broadcast issues that are irrelevant and tend to be similar, such as whether or not the victims have received compensation,” he said.

    Rere claimed that Kanal provided in depth and comprehensive information about the Lapindo incident and they championed the victims’ rights.

    Kanal, through korbanlumpur.info, offers news, feature articles, opinion pieces, pictures and via Twitter — @korbanlapindo and Facebook it links to stories from mainstream media.

    Kanal also established a community radio station to reach those without Internet access. The name of the radio station — Kanal Besuki Timur — was the name of one of the villages that is no longer in the area because of the affects of the mud. Kanal has also established a SMS service and to mark the four-year commemoration of the tragedy in 2010, Kanal launched a book that contained feature stories and poetry by local children.

    Meanwhile, Amron Risdianto from Angkringan shared information about his community’s MK160 program, which mobilized people in Timbulharjo village in Bantul, Yogyakarta, to utilize SMS to exchange information.

    Citizens send SMS — topics included environment, healthcare, budget allocation, etc. — to a server and the community forward them to the whole village. They also produce a bulletin that compiles all these messages, with prizes on offer.

    “SMS technology combined with a database of the residents resulted in relative information and effective distribution,” Amron said.

    Although the tariff for sending a SMS is higher than using the Internet, people are more familiar with SMS technology.

    COMBINE Resource Institution and ICT Watch, the event organizer, said that a media bottleneck was apparent in Indonesia: although the number of media establishments had increased, they were owned by only a few.

    The organizers said that this threatened the diversity of news content.

    “We need alternative sources of information to ensure the voices of the real people are heard,” Imung Yuniardi, a comittee, said.

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/bali-daily/2013-10-23/indymedia-amplifies-voice-minorities.html