Blog

  • Warga Resah Muncul Puluhan Titik Semburan Lumpur dan Gas

    Warga Resah Muncul Puluhan Titik Semburan Lumpur dan Gas

    Indramayu, Repulika.co.id — Warga Desa Sukaperna, Kecamatan Tukdana, Kabupaten Indramayu digegerkan dengan munculnya semburan lumpur berbau gas di sekitar pemukiman mereka. Mereka khawatir peristiwa itu akan meluas seperti semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim.

    Berdasarkan pantauan, ketinggian semburan material lumpur dan pasir yang mengeluarkan bau gas itu bervariasi antara 50-150 cm. Bahkan, ada pula semburan yang memiliki ketinggian sekitar tiga sampai lima meter.

    Lurah Desa Sukaperna Kecamatan Tukdana, Daski (33 tahun) menjelaskan jumlah titik semburan saat ini berjumlah 24 titik. Lokasinya terletak di pemukiman warga blok Cilumbu Desa Sukaperna, yakni di RT 12 dan RT 11.

    “Warga jelas takut kejadian ini akan sama seperti lumpur Lapindo,” tutur Daski, Rabu (10/6).

    Selain mengancam warga, lanjut Daski, semburan itu juga dikhawatirkan akan berdampak buruk pada areal pertanian milik warga. Dari total areal seluas 275 hektare sawah, ada 50 hektare di antaranya yang lokasinya dekat dengan titik semburan.

    Salah satu titik semburan itu terjadi di bekas sumur bor di rumah milik seorang warga, Abdul Rojak. Di tempat tersebut, semburan lumpur terjadi sejak dua hari terakhir.

    ”Warga khawatir semburan akan meluas seperti bencana lumpur Lapindo,” tutur seorang warga setempat, Yeyet. Dia merupakan tetangga Abdul Rojak.

    Lilis Sri Handayani

    Sumber: http://republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/06/10/npq45m-warga-resah-muncul-puluhan-titik-semburan-lumpur-dan-gas

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    Bencana lumpur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipicu oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc pada 29 Mei lalu genap sembilan tahun terjadi. Persoalan masih menggantung, terutama terkait pembayaran ganti rugi kepada warga yang menjadi korban terdampak yang belum selesai.

    Pola penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo menciptakan masalah tersendiri. Pembagian pemberian ganti rugi antara wilayah yang masuk peta area terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan penelantaran dan perpecahan di tingkat warga.

    Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 dan Perpres No 40/2009, pemberian ganti rugi kepada korban dikategorikan dalam dua kelompok. Wilayah yang masuk PAT akan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas Inc. Sementara desa-desa yang berada di luar PAT diberi ganti rugi oleh negara. Dalam perkembangannya, PT Minarak Lapindo tak mampu memenuhi kesepakatan itu. Akibatnya, masih banyak korban yang tidak jelas nasibnya saat ini.

    Tetap bertahan

    “Kalau hujan deras, ndak ada yang berani di dalam rumah. Kami semua kumpul di emperan depan, takut rumahnya ambruk,” ujar Bu Sanik (65), warga RT 010 RW 002 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

    Bu Sanik adalah salah satu warga yang saat ini bersama 18 kepala keluarga (KK) lainnya masih bertahan di lokasi PAT lumpur Lapindo. Bukan hanya keluarga Bu Sanik, hampir sebagian besar warga RT 010 RW 002 yang masih tinggal di wilayah PAT gelisah jika hujan turun. Ancaman rumah ambruk dan banjir air bercampur lumpur menghantui mereka.

    Pertengahan Maret lalu, tanggul penahan lumpur yang berada di belakang rumah warga Desa Gempolsari itu jebol. Air bercampur lumpur setinggi hampir setengah meter masuk ke rumah warga. Sekitar 100 warga dari RT 010 RW 002 mengungsi ke Balai Desa Gempolsari. Ini merupakan kejadian yang ketiga kalinya di tahun 2015.

    Desa Gempolsari berdasarkan Perpres No 14/2007 termasuk salah satu desa yang masuk dalam PAT lumpur Lapindo. Ada 99 KK dengan 314 jiwa warga Desa Gempolsari yang terdampak lumpur. Sebagian besar sudah pindah dari Gempolsari. Yang masih tersisa adalah warga RT 010 dan sebagian kecil RT 009 dari RW 002 yang berjumlah 19 KK dengan 114 jiwa. Area itu termasuk dalam 641 hektar yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), seperti tertuang dalam Perpres No 14/2007.

    Kini, kondisi lingkungan dan tempat tinggal seluruh warga yang masih bertahan di wilayah ini sudah tidak layak huni. Lingkungan yang lembab akibat seringnya terendam lumpur menyebabkan fisik bangunan terkikis dan rapuh. Sebagian besar rumah lantainya sudah ambles dan lebih rendah dari endapan lumpur yang ada di halaman.

    Mereka yang masih tinggal di area itu bukannya tidak ingin pindah, belum lunasnya sisa pembayaran oleh PT Minarak Lapindo Jaya menyebabkan mereka terus bertahan di situ. Selain karena belum memiliki tempat hunian lain, mereka juga khawatir jika meninggalkan lokasi, sementara tanah dan bangunan belum lunas, mereka akan kehilangan hak atas tanah dan bangunan milik mereka.

    Memberdayakan kelompok

    Di antara penelantaran oleh negara dan PT Lapindo, tetap muncul inisiatif-inisiatif dari para korban untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti yang dilakukan Harwati (39). Meskipun telah sembilan tahun terpaksa meninggalkan rumahnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Harwati belum memperoleh pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Kini, ia tinggal di rumah orangtuanya di Desa Candipari sambil menjadi tukang ojek di salah satu area tanggul lumpur Lapindo.

    Kematian suami dan ibunya karena kanker beberapa tahun setelah bencana lumpur membuat Harwati bertekad mengumpulkan kembali para tetangga dan keluarganya yang telah tercerai berai. “Kira-kira setahun saya berkeliling ke desa-desa sekitar mencari tahu keberadaan keluarga besar dan tetangga di Desa Siring dulu. Daripada stres kalau belum ada penumpang, lebih baik keliling,” cerita Harwati.

    Setelah mengetahui tempat tinggal mereka, Harwati mengajak tetangga dan keluarga yang sudah ditemukannya untuk berkumpul, membuat arisan kecil-kecilan, hanya agar bisa menyambung kembali ikatan sosial yang telah dihancurkan lumpur Lapindo. Saat ini, tak kurang dari 20 perempuan aktif berkumpul dalam Komunitas Ar-Rohmah yang didirikannya. Mereka memiliki usaha kecil-kecilan membuat produk kreatif, seperti tas kain, selimut, bed cover dari perca. Uang kas yang dikumpulkan sedikit demi sedikit digunakan untuk membantu biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit.

    “Saya tak mau kejadian seperti suami saya yang ditolak rumah sakit ketika berusaha mengobati kankernya terulang kembali. Bikin trauma sekali,” ungkapnya. Pemerintah dan (apalagi) PT Lapindo tidak memedulikan persoalan ini. Warga sendiri yang harus mengupayakan penyelesaian.

    Malu diganti negara

    Pengategorian korban bencana lumpur juga mengakibatkan perpecahan di kalangan warga, baik yang berada di PAT maupun di luar PAT. Seperti yang terjadi pada warga Desa Besuki. Abdul Rokhim (48) menuturkan bahwa tahun 2007 ia dan ratusan warga lainnya menuntut ganti rugi. Tempat tinggalnya memang tidak masuk dalam PAT berdasarkan Perpres No 14/2007.

    Namun, Rokhim menyatakan, dampak luapan lumpur itu juga dirasakan warga yang rumahnya di luar peta tersebut. “Saya tidak bisa kerja lagi karena pabrik sudah tutup, apalagi harus beli air untuk kebutuhan sehari-hari karena air di rumah tidak layak,” tutur Rokhim.

    Pemerintah akhirnya menerbitkan Prepres No 48/2008 yang memasukkan sebagian Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, untuk diberi ganti rugi dari APBN. Namun, peraturan itu menjadikan jalan tol sebagai dasar menentukan wilayah yang masuk penggantian. Akibatnya, hanya Besuki bagian Barat yang masuk. Keputusan ini mengakibatkan kelompok warga yang semula bersatu di atas kepentingan bersama Desa Besuki menjadi terpecah belah. Suasana kekeluargaan pun hancur.

    Akhirnya, Rokhim dan warga Besuki bagian Timur harus berjuang kembali menuntut ganti rugi. Keberuntungan masih dimiliki Rokhim, bagian timur Desa Besuki pun masuk dalam penggantian melalui Perpres No 37/2012. Kini, meski telah tinggal di rumah baru, kegundahan Rokhim tak hilang karena, “Saya pribadi malu karena saya merasakan diganteni (diganti) oleh negara, seluruh rakyat Indonesia. Mestinya yang bertanggung jawab Lapindo,” ungkapnya. Keadilan hukum seharusnya diberikan kepada pelaku bencana industri seperti Lapindo.

    MG Retno Setyowati/Yohan Wahyu/BI Purwantari/Litbang Kompas

    Kompas Siang, 4 Juni 2015

  • Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    JAKARTA – Korban lumpur Lapindo yang belum mendapatkan ganti rugi bisa menyambut datangnya bulan puasa dan Lebaran dengan lebih tenang. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono menyatakan, dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk membayar ganti rugi paling lambat cair pada 26 Juni mendatang.

    Saat ini negosiasi PT MLJ dengan pemerintah soal kesepakatan pemberian talangan masih berlangsung. Basuki selaku ketua tim percepatan pembayaran ganti rugi tanah korban lumpur Lapindo terus memantau perkembangan negosiasi tersebut

    ”Saya optimistis paling lambat 26 Juni (2015) sudah cair,” tegasnya saat dihubungi Jawa Pos Sabtu (30/5).

    Basuki mengungkapkan, saat ini memang masih ada beberapa detail perjanjian yang belum disepakati oleh PT MLJ. Misalnya besaran bunga maupun pajak yang harus dibayar atas dana talangan Rp 827,1 miliar tersebut. ”Soal itu masih sebatas pembicaraan informal, pasti nanti ketemu (sepakat, Red) juga,” katanya.

    Untuk memastikan, Basuki sudah mengonfirmasi Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian PU-Pera Taufik Widjoyono selaku ketua tim teknis yang memimpin negosiasi dengan pihak Lapindo. ”Kata Pak Irjen masih on schedule (tetap sesuai jadwal cair 26 Juni),” ucapnya.

    Basuki menuturkan, saat ini yang bekerja adalah tim teknis yang terdiri atas pejabat eselon I di Kementerian PU-Pera, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). ”Kalau tim teknis selesai, nanti baru dilaporkan ke saya untuk dibawa ke sidang kabinet,” jelasnya.

    Karena itu, ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tersebut menyatakan belum mengetahui detail poin-poin negosiasi yang saat ini sedang berjalan. Termasuk informasi seputar keinginan pemerintah untuk menetapkan bunga 4 persen serta pajak. ”Prinsip kami kan bagaimana agar pemberian pinjaman ini tidak merugikan pemerintah,” ujarnya.

    Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa skema dana talangan untuk Lapindo yang berasal dari APBN merupakan pinjaman. Karena itu, berlaku pula ketentuan sebagaimana layaknya pemberian pinjaman, yakni ada bunga dan pajak. ”Namanya juga pinjaman, bukan diberikan (gratis, Red),” katanya.

    Terkait dengan keinginan pihak Lapindo agar dana talangan bisa dicairkan sebelum bulan puasa, Basuki mengaku tidak bisa menjamin. Sebagai gambaran, Muhammadiyah sudah menetapkan awal bulan puasa tahun ini pada 18 Juni, sedangkan pemerintah belum memutuskan, namun mungkin mundur satu hari atau mulai 19 Juni.

    Menurut Basuki, berdasar tahapan-tahapan yang sudah dibuat dan disampaikan tim teknis, pencairan dana itu memang masih mengacu pada 26 Juni 2015. Karena itu, dia meminta masyarakat sedikit bersabar. ”Kan nggak beda jauh juga, syukur-syukur negosiasinya lancar. Jadi, bisa cair lebih cepat,” ucapnya. (owi/c11/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18139/menteri-pu-pera-dana-lapindo-paling-lambat-cair-26-juni

  • Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015)

    Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015)

    Tanggal 29 Mei 2015, semburan lumpur Lapindo genap berusia sembilan tahun. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, warga secara mandiri mengorganisasi peringatan semburan lumpur yang telah memporak-porandakan kehidupan sosial dan lingkungan mereka. Semua itu diselenggarakan demi suatu usaha mengingat tragedi industri migas paling fenomenal di republik ini.

    Pada kesempatan ini Redaksi Kanal menghadirkan sebagian rekaman kegiatan komemoratif itu.

    Foto-foto oleh Daris Ilma dan Rita Padawangi.

    Unduh versi pdf di sini.

     

  • Bola Pencairan di Tangan PT Minarak Lapindo

    Bola Pencairan di Tangan PT Minarak Lapindo

    JAKARTA – Seharusnya dalam beberapa pekan ke depan pencairan ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo bisa segera cair. Pemerintah sudah menyiapkan dana talangan Rp 827 miliar. PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) pun menyatakan keinginan agar pencairan mulai dilakukan sebelum bulan puasa yang jatuh pada pertengahan Juni.

    ”Ya, kami ingin finalisasi perjanjian kesepakatan pemberian dana talangan bisa segera terwujud. Sehingga dana talangan untuk korban lumpur panas kalau bisa cair sebelum bulan puasa,” kata Direktur PT MLJ Andi DarussalamTabusalla saat dihubungi Jumat (29/5).

    Andi menyatakan, pihaknya tidak punya keinginan untuk memperlambat proses pencairan. Terkait belum adanya kesepakatan, kata Andi, ada beberapa poin perjanjian yang masih perlu dibahas kedua pihak.

    Seperti disebutkan Wapres Jusuf Kalla pada Kamis lalu (28/5), salah satu poin yang perlu dibahas berkaitan dengan bunga. Kabarnya, pihak PT MLJ ingin dibebaskan dari bunga. Sebaliknya, pemerintah gamang karena nilai aset yang dijadikan jaminan menurun.

    Menanggapi itu, Andi secara tegas menampik. Dia mengatakan, kesepakatan perjanjian lama hanya karena kehati-hatian pihak pemerintah dan PT MLJ. Selain itu, kerugian nilai aset, menurut dia, tidak akan terjadi. Sebab, pada akhirnya seluruh hutang tersebut akan dilunasi MLJ dalam rentang waktu empat tahun mendatang.

    ”Ini kan bukan perkara kita tidak sanggup. Tapi, dengan kondisi keuangan saat ini akan memakan waktu lebih lama untuk jual beli tanah. Makanya, dibantu pemerintah menalangi,” tandasnya.

    Di tempat terpisah, Lalu Mara Satria Wangsa, juru bicara keluarga Bakrie, meminta masyarakat tidak terus-terusan menilai negatif pihak keluarga Bakrie dalam masalah itu. Menurut dia, yang telah dilakukan keluarga Bakrie harus diapresiasi. Pendapat itu didasari tanggung jawab keluarga Bakrie meski tidak memiliki secara langsung PT Minarak Lapindo. Terlebih, putusan hukum sebelumnya menyatakan perusahaan tidak bersalah atas bencana yang terjadi.

    Lalu Mara mengatakan, kepemilikan saham PT Minarak Lapindo terdiri atas PT Energi Mega (50 persen), PT Medco (32 persen), dan PT Santos Australia (18 persen). Dalam kepemilikan PT Energi Mega, diakui, keluarga Bakrie memang mempunyai saham. Namun, menurut dia, itu tidak banyak. Sebab, 70 persen sahamnya milik publik. ”Dari struktur kepemilikannya saja sudah terlihat bagaimana tanggung jawab keluarga Bakrie. Meski tidak bersalah, tetap melakukan segalanya hingga lebih dari Rp 8 triliun,” tuturnya.

    Sementara itu, Kemenkeu mengaku belum bisa memastikan besaran bunga dan pajak yang akan dikenakan dalam pemberian dana talangan Rp 827 miliar. ”Belum dibicarakan,” kata Menkeu Bambang Brodjonegoro di gedung Kemenkeu kemarin.

    Bambang menegaskan bahwa bunga talangan tersebut tidak berkaitan dengan APBN. Bunga tersebut merupakan kewajiban Lapindo ke depan dengan peemrintah. ”Itu yang harus dibicarakan dengan ketua tim Lapindo (Menteri PU-Pera, Red),” ujarnya.

    Soal kekhawatiran penurunan nilai aset yang dijaminkan PT Minarak Lapindo berupa 9.900 berkas senilai Rp 3,03 triliun, pakar geofisika ITS Amien Widodo menyatakan, itu tidak perlu terjadi. Tanah di sekitar lumpur Lapindo masih dikatakan sehat. Asalkan, tanah tersebut benar-benar bersih dari campuran lumpur. Amien menjelaskan, air lumpur memiliki kandungan garam yang sangat tinggi. Apabila sudah terkontaminasi lumpur, kondisi tanah turun drastis.

    ”Kalau ada kadar garam tinggi, tanaman jenis apa saja ya gak bisa tumbuh,” ujarnya.

    Meski begitu, banyak manfaat yang bisa diambil dari lumpur. Dia menerangkan, saat ini sedang dilakukan penelitian terkait kandungan lumpur. Penemuannya, lumpur mengandung litium. ”Ada kandungan litium meski kosentrasinya hanya sedikit. Namun, itu berpotensi dapat digunakan untuk industri,” paparnya.

    Litium, lanjut dia, digunakan untuk bahan baterai. ”Kami sedang dalam penelitian untuk menjadikan sebuah produk baterai. Tapi, masih proses karena memang kosentrasinya hanya sedikit, tidak sampai 5 persen,” terangnya. Litium diperoleh dari hasil pemisahan saat air lumpur disaring.

    Bukan hanya bahan baterai. Lumpur juga sangat berpotensi digunakan sebagai bahan batu bata. ”Dulu pernah membuat batu bata, tapi gagal. Karena memang dulu belum tahu kalau memiliki kadar garam tinggi,” terangnya.

    Jika kadar garam dapat dipisahkan, lumpur tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan batu bata. Amien mengimbau pemerintah untuk melihat potensi yang ada dari lumpur. Dengan begitu, lumpur Lapindo dapat digunakan sebagai bahan industri yang menghasilkan keuntungan. ”Hanya saja, saat ini kondisi tanah terus turun. Buktinya, selalu ada banjir di sekitar itu,” terangnya.

    Sementara itu, sembilan tahun semburan lumpur Lapindo diperingati ribuan korban dengan menggelar festival pulang kampung. Festival tersebut diawali dengan arak-arakan ogoh-ogoh berbentuk mirip Aburizal Bakrie berbaju kuning. Dua tangannya diikat rantai hitam dan tepat di depan ogoh-ogoh beberapa warga membawa spanduk dengan berbagai tulisan. Ogoh-ogoh tersebut diarak lebih dari 200 orang dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju tanggul di titik 21, perbatasan antara Desa Siring dan Desa Jatirejo.

    Sambil mengarak ogoh-ogoh, warga yang hadir saat itu juga memainkan musik patrol. Sesampai di tanggul titik 21, ogoh-ogoh tersebut diletakkan tidak jauh dari lokasi patung-patung yang ditenggelamkan warga setahun lalu. Warga yang dari awal mengarak ogoh-ogoh tersebut langsung memutari ogoh-ogoh tersebut. Sejumlah warga lalu menaburi ogoh-ogoh dengan bunga.

    ”Bunga ini melambangkan bahwa hukum di Indoensia telah mati,” kata Koordinator Festival Pulang Kampung Harwati. Dia mengatakan, ogoh-ogoh tersebut akan terus diletakkan di posisi tersebut. Itu menunjukkan musibah yang menimpa mereka merupakan tanggung jawab Bakrie.

    Seusai kegiatan arak-arakan ogoh-ogoh, warga yang mengikuti kegiatan tersebut langsung menghampiri sembilan gubuk di lokasi tersebut. Di sembilan gubuk tersebut ada beberapa makanan desa khas Porong seperti getuk, gerondol jagung, dan nasi kuning. Makanan-makanan tersebut dahulu bisa didapat dengan mudah di desa yang sekarang tertimbun lumpur itu. Tiga jenis makanan tersebut dihadirkan untuk mengobati rasa rindu para korban lumpur Lapindo akan kampung halaman.

    Warga juga menyantap nasi aking (nasi karak) yang sudah dimasak ulang. Nasi aking tersebut, menurut Harwati, menggambarkan nasib mereka. Mereka yang berasal dari desa dihancurkan seperti tak ada harganya. ”Tapi, nasi aking kami masak lagi. Artinya, kami masih bisa bangkit dan akan terus berjuang untuk hidup kami,” tegas Harwati.

    Karena itu, mereka sangat berharap janji kali ini tidak meleset lagi seperti sebelum-sebelumnya. ”Tentu kami ingin ini menjadi kenyataan. Bagi kami, kalau ganti rugi ini benar-benar cair sebelum Lebaran, suasana Lebaran akan terasa nikmat,” ungkap Gunawan, seorang korban lumpur asal Jatirejo, Porong.

    Jika ganti rugi itu cair, Gunawan menyebut hidupnya akan terasa lebih ringan. ”Dengan uang itu, rumah bisa kami lunasi dan utang kami juga bisa dikurangi,” kata pria 53 tahun tersebut.

    Harapan agar pelunasan tersebut diwujudkan juga diapungkan Sugiono. Pria yang dahulu tinggal di Jatirejo itu berharap pelunasan ganti rugi nanti bisa menjadi hadiah Lebaran untuknya, keluarga besarnya, dan para korban lainnya. ”Biar semua beban kami bisa lebih ringan sehingga kami bisa menikmati Lebaran lebih nyaman,” ujarnya. (mia/tin/fim/bri/c10/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18108/Bola-Pencairan-di-Tangan-PT-Minarak-Lapindo

  • Bertahan dengan Berjualan Bakso dan Ijazah Sarjana IAIN

    Bertahan dengan Berjualan Bakso dan Ijazah Sarjana IAIN

    Meski peristiwa sembilan tahun silam tidak bisa dihilangkan dalam memori, para korban lumpur Lapindo di Sidoarjo tidak lantas putus asa untuk bangkit. Berikut ini kisah tiga korban yang mau bekerja keras menapak mulai nol hingga mampu hidup normal kembali. (more…)

  • Bencana Itu Belum Berakhir

    Bencana Itu Belum Berakhir

    Sembilan tahun setelah erupsi pertama lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006, bencana multidimensi itu belum berakhir. Bencana ini tak hanya menenggelamkan ratusan hektar tanah dan bangunan, tetapi juga merusak pranata sosial dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi, herannya pertanggungjawaban negara dan pelaku industri atas bencana ini terbatas pada kerangka jual beli tanah.

    Bencana industri ini dilatari oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI) di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang dimulai pada 8 Maret 2006. Pada 27 Mei 2006, pengeboran itu mencapai kedalaman 9.297 kaki (2.789 meter). Dua hari setelah itu, erupsi pertama terjadi di sumur Banjar Panji 1. Erupsi ini mendesakkan 5.000 meter kubik lumpur panas menyembur dan menggenangi wilayah sekitarnya. Desakan lumpur panas ini terus membesar dan mencapai sekitar 170.000 meter kubik per hari pada Maret 2007.

    Kini, sembilan tahun sesudahnya, tak kurang dari 100.000 meter kubik lumpur panas masih keluar setiap hari dari wilayah bekas pengeboran PT LBI. Bencana lumpur menenggelamkan 12 desa di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Ikut tenggelam di dalamnya 11.241 bangunan dan 362 hektar sawah. Sebanyak 10.641 kepala keluarga (KK) meliputi 39.700 jiwa kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan.

    Lumpur juga menggenangi puluhan pabrik yang menyebabkan ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Pemilik pabrik merugi dan harus merelokasi pabriknya. Banyak usaha kecil juga mati. Industri kecil dan menengah di Sentra Industri Kulit Tanggulangin, Sidoarjo, mengalami penurunan omzet penjualan hingga 80 persen dan membuat sekitar 270 pengusaha dan perajin tas dan koper gulung tikar. Hingga kini, sentra industri kulit Tanggulangin belum pulih.

    Di luar itu, dampak bencana lumpur merusak banyak infrastruktur vital skala nasional: jalan KA Surabaya-Malang/Banyuwangi, jalan arteri Porong, pipa PDAM dari Pandaan/Umbulan ke Surabaya, jaringan SUTT 150 dan 70 KV Waru-Porong Bangil, pipa gas Pertamina, kali Porong (kanal DAS Kali Brantas), dan Kali Ketapang (penyedia air irigasi dan tambak), serta memutus Jalan Tol Porong-Gempol sepanjang 6 kilometer.

    Jasa Marga harus memindahkan ruas jalan tol, bergeser sekitar 3 kilometer ke arah barat. Kebutuhan lahan untuk membangun jalur Jalan Tol Porong-Gempol baru seluas 50 hektar dengan total biaya mencapai Rp 800 miliar. Saat ini baru Seksi Kejapanan-Gempol (3,55 km) yang rampung.

    Tak ditangani

    Dampak bencana ini tak sebatas kehancuran fisik bangunan, tanah, fasilitas umum dan sosial, tetapi juga sumber penghidupan serta kondisi lingkungan. Menurut data Greenomics, pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, kerugian ekonomi akibat semburan sekitar Rp 33,2 triliun. Sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsung ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung Rp 16,5 triliun.

    Di samping itu, kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan masyarakat belum ditangani. Kerusakan paling mengkhawatirkan adalah kualitas tanah, air, dan udara. Kualitas udara dipengaruhi oleh gas berbahaya yang dikeluarkan dari perut bumi. Air tanah di sumur-sumur penduduk yang bermukim di sekitar lokasi semburan banyak yang tidak bisa digunakan lagi. Air sumur berwarna kuning, keruh, dan berbau yang bisa berdampak bahkan sudah terjadi pada kesehatan masyarakat sekitar lumpur.

    Aroma gas dengan kandungan hidrokarbon yang tinggi mengakibatkan banyak warga terdampak menderita sesak napas. Pantauan Walhi di Puskesmas Porong menunjukkan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terus meningkat pasca semburan lumpur. Tahun 2007 terdapat 28.640 kasus. Dua tahun kemudian angkanya melonjak hingga 52.543 kasus.

    Aroma gas masih terus menebar di sekitar kawasan terdampak. Hasil penelitian Walhi pada 2006-2008 menemukan zat polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH), senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik (penyebab kanker), terkandung di dalam air Kali Porong dan lumpur yang menggenangi wilayah tersebut.

    Selain itu, pranata sosial masyarakat ikut hancur. Ikatan sosial yang semula cukup erat berubah bahkan hilang sama sekali. Hal itu tampak kasatmata ketika berlangsung pemberian ganti rugi dari negara ataupun pihak Lapindo. Pola pemberian ganti rugi yang memisahkan korban di Peta Area Terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan perpecahan warga dan kecemburuan satu sama lain. Sebagian warga menilai telah terjadi praktik diskriminasi terhadap mereka yang notabene sama-sama menjadi korban.

    Di antara warga sendiri muncul kelompok yang kemudian berperan sebagai calo atau makelar untuk mengurus percepatan pemberian ganti rugi. Pola yang umum terjadi adalah para calo dadakan ini mengutip imbalan untuk “jasa” yang mereka berikan. Sejumlah warga menilai hal itu sangat tidak etis karena mengomodifikasikan bencana yang menimpa warga. Hal ini rentan memunculkan konflik antarwarga.

    Jual beli

    Selama sembilan tahun, penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo masih sebatas kerangka jual beli. Melalui peraturan presiden, negara dan Lapindo membeli tanah dan bangunan yang dimiliki para korban. Sayangnya hingga kini, persoalan ganti rugi korban di Peta Area Terdampak (PAT) masih terus muncul.

    Hingga Desember 2014, PT Minarak Lapindo, perusahaan juru bayar PT LBI, hanya mampu mengganti Rp 3,03 triliun dari total ganti rugi PAT sebesar Rp 3,8 triliun. Artinya, masih ada sisa kewajiban Rp 781,7 miliar. Pada Februari 2015, pemerintah memutuskan mengalokasikan dana untuk menalangi yang belum dibayarkan PT Minarak Lapindo. Ada 114 berkas yang hanya menerima 20 persen ganti rugi. Mereka itu yang selama 9 tahun terakhir hidupnya terkatung-katung.

    Mereka yang telah menerima ganti rugi pun tak lepas dirundung masalah. Yang telah mendapatkan ganti rugi dan tinggal di rumah baru pun sangat sulit memperoleh lahan garapan baru. Kehancuran sendi-sendi kehidupan warga Porong merupakan bencana yang tak berkesudahan.

    (MG RETNO SETYOWATI/DWI ERIANTO/LITBANG KOMPAS)

    Sumber: Harian Kompas (30 Mei 2015)

  • Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

    Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

    Tanggal 29 Mei 2015, tepat 9 (sembilan) tahun lumpur Lapindo menyembur di Desa Siring Kecamatan Porong, yang sudah menenggelamkan dan mengusir warga di 3 (tiga) kecamatan (Porong, Jabon, dan Tanggulangin).

    Pada hari itu ratusan korban Lapindo memperingatinya dengan mengarak ogoh-ogoh yang menyerupai Aburizal Bakrie. Ogoh-ogoh diarak dari taman, bekas Pasar Porong, menuju kolam lumpur. Tidak hanya kaum laki-laki, anak-anak dan perempuan juga ikut serta dalam aksi peringatan itu.

    Selain ogoh-ogoh, peserta aksi juga membawa poster dari kardus dengan pelbagai tulisan, antara lain, “Kampungku dulu tidak begini, Lapindo menghancurkan semua” dan “Tambangku hancurkan, duniaku.” Para perempuan memakai topeng wajah Aburizal Bakrie juga membentang spanduk bertuliskan “9 Tahun Lumpur Lapindo Muncrat, Bakrie Penjahat.”

    This slideshow requires JavaScript.

    Festival Pulang Kampung

    Abdul Rochim, salah satu koordinator aksi, mengatakan aksi dengan mengarak raksasa Bakrie dengan tangan terikat rantai itu ingin mengabarkan bahwa pemilik Lapindo Brantas ini adalah penjahat lingkungan, yang seharusnya diadili.

    “Dalam aksi kali ini, kami sengaja lakukan dengan mengarak ogoh-ogoh Bakire yang terikat rantai. Kami sengaja ingin menyampaikan pesan ke publik dan ke negara bahwa tokoh Partai Golkar ini adalah penjahat lingkungan yang seharusnya diadili,” ujarnya.

    Sesampainya di tanggul lumpur Lapindo, arak-arakan ogoh-ogoh langsung disambut ibu-ibu dari Komunitas Ar-Rohma, yang mendirikan gubuk-gubukan di atas lumpur yang sudah mengering. Komunitas Ar-Rohma sengaja membangun gubuk-gubukan di atas Desa Siring, di titik 21.

    Harwati, salah satu perempuan korban Lapindo dari Komunitas Arrohma, mengatakan bahwa warga yang berprofesi sebagai tukang ojek lumpur sudah membangun gubuk-gubukan sejak tanggal 25 Mei. “Kami membangun kampung kembali di atas lumpur yang sudah mengering.” Dalam aksi “Festival Pulang Kampung” ini mereka berpesan kepada negara bahwa dulu ada kampung dan kehidupan di dalam sini.

    Aksi peringatan 9 tahun lumpur Lapindo berjalan lancar dengan pengawalan tim dari kepolisian. Ogoh-ogoh Aburizal Bakrie diletakkan di atas lumpur yang mengering, dengan rantai yang mengikat kedua tangannya dipasung dalam lumpur. Warga mengerubungi ogoh-ogoh dan melemparinya dengan kembang sambil berteriak “Bakrie Penjahat.”

    Usai dengan ogoh-ogoh, warga berkumpul di gubuk yang sudah disiapkan. Warga melakukan beberapa aktivitas “pulang kampung” di atas lumpur yang mengering itu. Ada perwakilan anak-anak membacakan puisi yang menggambarkan penderitaan mereka kehilangan tempat tinggal, bermain.

    Menghukum Pelaku

    “Presiden Jokowi pernah mengatakan negara harus hadir untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi di sini,” ungkap Harwati.

    “Seharusnya Jokowi tidak hanya mengganti rugi yang sampai sekarang belum selesai dengan dana talangan, tapi juga harus menyelesaikan persoalan yang lain seperti pemulihan ekonomi warga, jaminan kesehatan dan pemulihan sosial budaya yang saat ini sama sekali tidak diperhatikan,” lanjutnya.

    Harwati dan ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas Ar-Rohma akan terus memperjuangkan hak-hak korban Lapindo yang dihilangkan oleh Lapindo dan negara. “Selama kami diusir dari kampung kami, kami tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan,” katanya.

    Ony Mahardika, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, juga mengatakan senada. “Seharusnya Presiden Jokowi tidak memaknai persoalan kasus lumpur Lapindo hanya dengan persoalan ganti rugi, tapi harus melihat aspek-aspek yang lain, misalnya jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, pemulihan ekonomi, dan jaminan pemenuhan hak-hak korban Lapindo lainnya,” ungkap Ony.

    Novik Akhmad untuk korbanlumpur.info

  • Lumpur Lapindo: Menakar Kemampuan Grup Bakrie

    Lumpur Lapindo: Menakar Kemampuan Grup Bakrie

    Jakarta, CNN Indonesia — Sembilan tahun sudah lumpur dan gas terus menyembur di Sidoarjo. PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan tunjukan Lapindo Brantas Inc. milik Grup Bakrie menjadi penanggung jawab ganti rugi kepada masyarakat. Lantas bagaimana sebenarnya kinerja konglomerasi Bakrie?

    Lapindo Brantas Inc. awalnya merupakan perusahaan eksplorasi minyak dan gas hasil patungan antara PT Energi Mega Persada Tbk milik Grup Bakrie dengan PT Medco Energi Tbk dan Santos Australia. Bakrie mengontrol Lapindo Brantas dengan kepemilikan saham mencapai 50 persen. Sementara Medco dan Santos masing-masing menggenggam 32 dan 18 persen.

    Grup Bakrie yang mengendalikan aspek hulu unit Migas Energi Mega Persada membentuk PT Lapindo Brantas pada tahun 1996 dengan membeli saham Huffington Corporations yang dimiliki Amerika Serikat serta perusahaan pengapalan Blok Brantas di Jawa Timur, Indonesia.

    Blok Brantas seluas 15.000 kilometer persegi diberikan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas pada tahun 1990. Setelah dua kali penyerahan wajib, wilayah kontrak karya milik Lapindo Brantas menjadi seluas 3.050 kilometer persegi.

    Kontrak pembagian produksi Brantas telah mengebor delapan sumur eksplorasi dari tahun 1993 hingga 2001 yang berujung pada ditemukannya ladang gas Wunut 30 kilometer di selatan Surabaya. Ladang Wunut mulai dieksplorasi pada Januari 1999.

    Dari sisi kinerja terakhir, PT Energi Mega Persada Tbk selaku pengendali PT Lapindo Brantas mencatatkan performa yang buruk sepanjang 2014. Perseroan tercatat hanya mencetak laba bersih US$ 37,03 juta, anjlok 78,24 persen dari perolehan 2013 sebesar US$ 170,27 juta.

    Perseroan menyatakan jebloknya laba bersih tersebut akibat dari penjualan Blok Masela yang hasilnya hanya dibukukan sekali saja pada 2013. Penjualan Blok Masela tercatat menambah laba sebesar US$ 163,68 juta.

    “Tanpa laba tersebut, laba bersih perusahaan sebenarnya meningkat hampir enam kali dari tahun sebelumnya,” ujar Imam Agustino, Direktur Utama Energi Mega Persada dalam keterangan resmi (29/4).

    Terkait Lapindo Brantas, dalam laporan keuangan Energi Mega Persada tercantum bahwa terdapat transaksi dengan pihak berelasi tersebut. Energi Mega Persada tercatat memiliki piutang kepada Lapindo Brantas senilai US$ 73,59 juta.

    Untuk diketahui, piutang kepada Lapindo Brantas tersebut merupakan pemberian pinjaman, tanpa bunga dan tanpa jangka waktu pengembalian.

    Kinerja Grup Bakrie

    Hingga saat ini, belum semua perusahaan Grup Bakrie yang melantai di bursa menyampaikan laporan keuangan kuartal I 2015. Parahnya lagi, dua perusahaan Bakrie, yaitu PT Bakrie & Brothers Tbk dan PT Bumi Resources Tbk, bahkan belum menyampaikan laporan keuangan tahun 2014.

    Bumi Resources menyatakan belum bisa mengeluarkan laporan keuangan tahunan 2014 karena perseroan masih berjibaku dengan perhitungan utang. “Kami belum dapat menyampaikan Laporan Keuangan Konsolidasian Tahunan perseroan untuk periode satu tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2014 (audited) karena saat ini Perseroan masih menunggu konfirmasi utang dari beberapa kreditor,” tulis perseroan dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia (8/4).

    Oleh karena itu penghitungan kinerja Grup Bakrie hingga saat ini maksimal bisa dicatat hingga kuartal III 2014. Tercatat, ada 11 perusahaan Bakrie yang melantai di pasar modal Indonesia, antara lain PT Bakrie & Brothers Tbk, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Bakrieland Development Tbk, PT Visi Media Asia Tbk, dan PT Intermedia Capital Tbk yang laporan keuangannya menggunakan denominasi Rupiah.

    Selain itu terdapat PT Berau Coal Energy Tbk, PT Bumi Resources Minerals Tbk, PT Bumi Resources Tbk, PT Darma Henwa Tbk, dan PT Energi Mega Persada Tbk yang laporan keuangannya menggunakan mata uang Dolar AS.

    Berdasarkan perhitungan, secara total Grup Bakrie masih mengalami rugi bersih pada kuartal III 2014. Enam perusahaanya yang laporan keuangannya menggunakan denominasi rupiah tercatat mencetak rugi bersih Rp 1,76 triliun, turun dari rugi bersih kuartal III 2013 senilai Rp 2,18 triliun.

    Sementara untuk perusahaannya yang menggunakan mata uang Dolar AS dalam laporan keuangannya, tercatat mencetak rugi bersih US$ 113,9 juta. Jumlah itu turun dari rugi bersih triwulan III 2013 senilai US$ 289,21 juta.

    Jika ditotal, maka sepanjang kuartal III 2014, Grup Bakrie masih menelan rugi bersih senilai Rp 1,76 triliun dan US$ 289,21 juta.

    Aset dan Kewajiban

    Lebih lanjut, jika dihitung, maka total aset dari enam perusahaan Bakrie yang laporan keuangannya menggunakan denominasi rupiah tercatat mencapai Rp 57,53 triliun hingga triwulan III 2014. Sementara jumlah liabilitas atau kewajiban enam perusahaan tersebut mencapai Rp 46,75 triliun. Adapun Rp 34,41 triliun di antaranya merupakan kewajiban jangka pendek.

    Untuk perusahaan Grup Bakrie yang laporan keuangannya menggunakan mata uang Dolar AS, hingga triwulan III 2014 aset totalnya mencapai senilai US$ 12,95 miliar. Sementara jumlah kewajiban atau liabilitas tercatat mencapai US$ 11,01 miliar. Sebanyak US$ 7,89 miliar merupakan kewajiban jangka pendek, namun tak termasuk milik PT Berau Coal Energy Tbk.

    Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo, mengatakan sebenarnya Grup Bakrie sudah mengeluarkan banyak uang untuk masalah Lapindo tersebut. Namun waktu jatuh tempo utang tidak ada yang tahu, meski pemerintah akhirnya turun tangan.

    “Langkah pemerintah sudah cukup cerdas. Kalau pun bencana itu bisa diselesaikan, itu merupakan lahan yang luas dan bagus, apalagi di Sidoarjo yang dekat Surabaya. Pemerintah mendapat aset yang murah. Namun kalau tidak selesai, bergantung kebijakan pemerintah nantinya,” kata Satrio kepada CNN Indonesia, Jumat (29/5).

    Dari sisi kinerja Grup Bakrie, Satrio menilai problem terbesar konglomerasi tersebut selain Lapindo adalah terkait cara mengelola utang. Menurutnya Grup Bakrie suka membeli aset, namun terlalu agresif dalam berutang. Meski aset masih mampu menyelesaikan kewajiban, adanya pembayaran utang disertai bunga bertahap menjadi masalah yang pelik.

    “Apalagi beberapa utang di antaranya berbunga tinggi. Jadi terlihat kurang prudent. Harusnya ada roadmap baru dalam memperbaiki kebijakan berutang, juga kualitas utang. Apalagi perseroan sempat berutang dengan jaminan komoditas batubara yang harganya sedang melorot,” ujar Satrio. 

    Giras Pasopati

    Sumber: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150529171044-92-56584/lumpur-lapindo-menakar-kemampuan-grup-bakrie/

  • Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo Tak Bisa Dipidana

    Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo Tak Bisa Dipidana

    Jakarta, CNN Indonesia — Sembilan tahun berlalu sejak semburan lumpur pertama kali muncul di posisi 200 meter barat daya sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc. pada 29 Mei 2006. Semburan lumpur terus meluas dan menenggelamkan puluhan ribu rumah, sekolah, kantor pemerintahan, masjid, pabrik, serta sawah penduduk.

    Namun tak ada satu pun korporasi atau pengelola dari PT Lapindo Brantas Inc. yang terkena jeratan hukum. Mahkamah Agung menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai dampak bencana alam. Pendapat serupa juga dipegang Dewan Perwakilan Rakyat RI.

    Putusan bahwa kasus Lapindo terjadi akibat bencana alam itu, menurut Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Karliansyah, membuat tindak pindana tak bisa dijeratkan atasnya.

    “Kami punya UU yang mengatur tentang kejahatan korporasi di bidang lingkungan, baik sengaja atau tidak sengaja. Namun jika sebuah kasus sudah ditetapkan pemerintah sebagai bencana alam, aturan pidana menjadi gugur,” kata Karliansyah kepada CNN Indonesia, Jumat (29/5).

    Dalam kasus tragedi lumpur Lapindo, Kepolisian Daerah Jawa Timur pernah menetapkan 13 tersangka, yakni dari pihak PT Energi Mega Persada Tbk, PT Medici Citra Nusa, PT Tiga Musim Mas Jaya, dan Lapindo Brantas. Namun penyidikan tersebut dihentikan pada Agustus 2009.

    Sebulan kemudian, September 2009, Sidang Paripurna DPR mengukuhkan penyebab semburan Lapindo ialah faktor bencana alam. Dengan demikian, tak ada satupun individu atau institusi dalam Lapindo yang bisa dipidanakan.

    Muhammad Yunus, Asisten Deputi Penegakan Hukum Pidana Kementerian Kehutanan dan LH, menyatakan jika sebuah kasus sudah ditetapkan sebagai bencana alam, maka tugas institusinya ada pada sektor pembinaan. “Kami mencari tahu harus diapakan agar dampak lingkungannya tidak makin besar. Misalnya dengan dipasang tanggul atau upaya perbaikan lingkungan lainnya,” kata dia.

    Jika sebuah kasus tidak diputuskan sebagai bencana alam, barulah institusinya bisa memidanakan korporasi dan individu yang terlibat dalam kasus pencemaran lingkungan, baik sengaja maupun tak disengaja. “Aturan itu tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116 ayat 1,” ujar Yunus.

    Yunus mengutip bunyi UU tersebut, yakni “Apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk, atau, atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada a. badan usaha dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut, atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.”

    “Misalnya kasus kebakaran hutan. Tidak ada pernyataan itu bencana alam, maka bisa dijatuhkan pidana dengan UU ini,” ujar Yunus.

    Menurut Yunus, setiap perusahaan pertambangan sebenarnya sudah mendapat informasi mengenai dampak risiko dan langkah pengeboran setiap hendak memulai kegiatan pertambangan. “Maka kejadian seperti lumpur Lapindo ini sebenarnya bisa diminimalisasi dampaknya jika perusahaan tidak mengabaikan klausul dalam izin tersebut,” kata dia.

    Misalnya mengenai kapasitas pipa penyaluran yang memuat maksimal 100 meter kubik per jam, Kementerian akan memberikan izin hanya pada angka 75 atau 80 meter kubik per jam. “Itu untuk menjaga dari risiko. Tapi apakah perusahaan menaati klausul itu? Makanya bisa terjadi gesekan di pipa yang menyebabkan kebocoran berlanjut-lanjut,” kata dia.

    Utami Diah Kusumawati

    Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150529134709-20-56529/sudah-ditetapkan-dpr-bencana-alam-lapindo-tak-bisa-dipidana/

  • “Rakyat Berdaya, Meski Negara Alpa”

    “Rakyat Berdaya, Meski Negara Alpa”

    Rilis Media | 9 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    Sembilan tahun lalu, di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin dan Jabon. Lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa. Bencana industri ini ternyata bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Ia menceritakan pengabaian negara terhadap kehidupan berpuluh ribu warga di Porong, Tanggulangin, dan Jabon.

    Negara Alpa di Tengah Bencana

    Ada begitu banyak kerugian yang harus ditanggung korban Lapindo selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja misalnya, sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, dulu berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI dan beberapa peneliti menemukan kandungan logam berat di tanah dan air pada area sekitar lumpur Lapindo. Pada tahun 2011, Jatam memeriksa kesehatan korban Lapindo yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan, Dalam pemeriksaan haematologi lengkap, 75% dari dua puluh terperiksa ternyata dalam kondisi tidak normal. Yang terbaru pada 2013, Tarzan Purnomo, seorang peneliti dari Unesa, bahkan menemukan kandungan logam berat Timbal pada tubuh ikan ribuan kali diatas ambang batas aman.

    Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 33 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Hampir seluruh persoalan ini tidak pernah menjadi perhatian utama pemerintah dalam usahanya untuk memulihkan kehidupan korban Lapindo. Jangankan mau memikirkan skema pemenuhan hak korban Lapindo, data sahih tentang berapa jumlah korban Lapindo saja tidak pernah didata dengan baik. Selama ini baik Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun Lapindo hanya memakai acuan berkas kepemilikan lahan. Berapa berkas yang sudah terbayar dan berapa yang belum. Persoalan ekonomi korban lumpur yang berantakan, kualitas kesehatan yang memburuk, layanan administrasi yang memadai untuk mereka, dan kualitas lingkungan  yang memburuk sama sekali tidak masuk skema BPLS dan Lapindo. Logika penanganan kasus Lapindo ini sudah sesat sejak awal. Hanya dibatasi persoalan hilangnya aset tanah dan bangunan.

    Kami Tidak Diam

    © 2015, Rahman Seblat
    © 2015, Rahman Seblat

    Telah menjadi anggapan umum bahwa warga terdampak lumpur Lapindo adalah korban tak berdaya yang selalu menunggu uluran tangan pemerintah untuk bisa keluar dari kondisinya selama ini. Berlarut-larutnya proses penanganan korban, terutama mereka yang ada dalam skema pembayaran PT Minarak Lapindo Jaya, semakin menguhkan pandangan umum akan hal ini.

    Kelompok Perempuan Korban Lapindo, Ar-Rohma merasa pemerintah sama sekali tidak memberikan mereka jaminan apapun di tengah kondisi yang semburan lumpur Lapindo yang telah merusak hidup mereka. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur lapindo yang tidak pernah menjadi perhatian pengurus publik negeri ini, perempuan-perempuan korban lapindo ini bergerak untuk menuntut jaminan atas kehidupan mereka. “Kami bukan sekedar memperjuangkan hak pada sektor kesehatan saja, namun kami juga memperjuangkan hak atas pendidikan anak-anak kami yang telah terpinggirkan, jaminan perlindungan sosial-ekonomi, serta persoalan administrasi kependudukan yang menjadi pangkal hilangnya hak-hak korban Lapindo,” tutur Harwati (39), koordinator Ar-Rohma.

    Selama ini warga terdampak lumpur Lapindo tetap teguh memperjuangkan hak-hak mereka meskipun tanpa bantuan negara di antara isu “mainstream” ganti rugi yang nampak di permukaan. Pemenuhan ganti rugi yang tak kunjung selesai memang telah memperburuk korban Lapindo untuk mulai memulihkan hidup mereka. Namun korban Lapindo tetap berusaha untuk selamat dengan memperjuangkan pemulihan hidup dengan cara mereka.

    Komunitas Alfaz menerbitkan kumpulan cerita dan puisi berjudul “Lumpur Masih Menggila, Dengarkan Anak-Anak Bercerita” pada 2012. Buku ini merupakan media yang memberi kesempatan anak-anak bertutur tentang apa yang mereka lihat dan rasakan pada dunianya yang tengah terancam oleh semburan lumpur Lapindo. Alfaz yang didirikan sebagai usaha untuk menciptakan ruang bermain dan belajar anak untuk membantu menjawab kebutuhan psikologis anak-anak terdampak lumpur Lapindo yang harus menghadapi kondisi penuh kecemasan dan ketidakpastian akibat lumpur lapindo. “Ruang bermain dan belajar anak di sekitar semburan Lapindo telah hilang terkubur lumpur, kenyamanan dan keriangan yang harusnya bisa didapat anak-anak pun turut terkubur di dalamnya. Karena itulah, usaha untuk mencoba membangkitkan kembali dunia bermain anak yang hilang tersebut perlu untuk dimunculkan, Sanggar anak Alfaz adalah ruang dimana anak-anak korban lumpur Lapindo terutama di desa Besuki, sebelumnya, sebelum pindah ke Desa pangreh, Kecamatan Jabon dapat mempunyai ruang bermain dan belajar bersam,” tutur Abdul Rokhim (48), pengasuh Alfaz.

    Beberapa puisi yang ditulis dibacakan dalam prosesi “Pulang Kampung” di tanggul Lumpur Lapindo titik 21 pada 29 Mei 2015.

    Rakyat Berdaya Meminta Negara Ada

    Peran pengurus negara sampai sejauh ini dalam menentukan skema penyelesaian lumpur Lapindo hanya sebatas pada persoalan ganti rugi dan melupakan tanggung jawab pemulihan hilangnya hak dasar warga. Rusaknya sarana pendidikan dan akses mendapatkan pendidikan layak yang sulit didapat anak-anak korban Lapindo tidak pernah coba diatasi secara khusus. Kualitas kesehatan yang menurun tidak diimbangi dengan melakukan monitoring kesehatan warga dan pertanggungan khusus. Lebih-lebih soal lingkungan yang memburuk, tidak ada upaya mengatasi melalui monitoring ataupun pengelolaan khusus.

    Pengurus Negara justru berperan memperburuk terpenuhinya hak dasar warga. Sebelumnya di masa pemerintahan SBY, model penanganan kasus lapindo oleh pemerintah lebih mengedepankan pemulihan ekonomi regional dan lebih melihat melihat dampak lumpur Lapindo terhadap infrastruktur. Ini bisa dilihat dari struktur personel BPLS dan juga anggarannya yang lebih fokus pada pemulihan infrastruktur, tidak ada upaya untuk memulihan hak dasar korban Lapindo.

    Penyelesaian dampak lumpur pada warga di luar Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 juga menggunakan skema ganti rugi tanah dan bangunan.

    Presiden Jokowi seharusnya tidak memandang persoalan lumpur Lapindo sebagai persoalan sederhana dan bisa diselesaikan tuntas dengan menalangi pembayaran ganti rugi. Sejumlah pekerjaan pemulihan dan upaya mitigasi perlu dilakukan. Memantau persebaran lumpur dan dampaknya perlu dilakukan terus menerus dan diimbangi upaya pemulihan lingkungan dan monitoring kesehatan warga. Jaminan khusus untuk pendidikan anak-anak korban Lapindo wajib dilakukan. Demikian juga peran untuk memfasilitasi inisiasi aktivitas ekonomi baru untuk percepatan pemulihan ekonomi keluarga.

    Kelompok perempuan korban Lapindo, ArRohma bersama Paguyuban Ojek dan Portal Titik 21, dan Komunitas AlFaz  melakukan Festival Pulang Kampung. Patung raksasa (ogoh-ogoh) Bakrie setinggi lima meter diarak dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju tanggul di titik 21 Jalan Desa Reno. Tangan sosok Bakrie ini diikat rantai, diarak, lalu dipasak di kawasan lumpur Lapindo. Ratusan korban Lapindo berjalan pelan menuju tanggul titik 21 diiring patrol yang dimainkan anggota AlFaz.

    Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggambarkan betapa ada ikatan kuat antara korban Lapindo dengan kawasan yang kini telah terendam lumpur. Tanah kubur orang tua moyang mereka terkubur di wilayah ini. “Kami tak mungkin melupakan desa-desa di sini, sampai kapanpun kami akan ingat,” ujar Harwati(39). Ia mengkoordinir ratusan korban Lapindo dalam peringatan 9 tahun Lumpur Lapindo.

    Harwati berharap masyarakat Indonesia mengingat kejadian lumpur Lapindo dan mendorong pemerintah untuk menyelesaikan krisis yang diakibatkan lumpur Lapindo. Pemulihan ekonomi merupakan agenda penting dilakukan dengan memprioritaskan pemenuhan hak dasar.

    Ia berharap desa-desa yang terendam lumpur Lapindo tidak dihapuskan secara administrasi. Sebagai bagian kenangan dan sejarah korban Lapindo, agaknya sulit bagi mereka untuk menerima rencana-rencana penghapusan desa seperti yang diusulkan DPRD Sidoarjo. Apalagi sampai saat ini mereka tercatat sebagai warga desa-desa yang terendam ini, meski secara fisik, tidak bisa lagi dikatakan ada permukiman yang terlihat.

    Harwati juga berharap dilakukan pemeriksaan kualitas kawasan dan orang-orang yang selama ini masih sering ada di tanggul lumpur. Misalnya ia dan kawan-kawannya sebagai ojek tanggul mestinya mendapatkan fasilitas pemeriksaan berkala dan dijamin untuk bisa melakukan pengobatan secara gratis jika sakit.

    “Dampak lumpur Lapindo ini multi dimensi, persoalan pemburukan lingkungan berdampak pada persoalan yang lain. Kesehatan terganggu, area produksi menjadi buruk, pekerjaan hilang, konflik sosial, dan hak-hak dasar warga tak terpenuhi,” ujar Bambang Catur, penggiat lingkungan JATAM. Ia berharap pengurus negara melakukan assesmen mendalam untuk memetakan dampak semburan lumpur Lapindo. “Libatkan semua sektor di pemerintahan dalam upaya pemulihan ke depan. Pemerintah harus membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemulihan hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan,” pungkas Catur.

    “Peringatan sembilan tahun Lumpur Lapindo ini untuk mengingatkan pemerintah akan perannya untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya,” terang Harwati lebih lanjut. Ketidakmampuan negara memastikan terpenuhinya hak-hak korban Lapindo yang hilang akan semakin menegaskan aroma kolusi negara dan korporasi dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bencana industri serupa akan berpeluang besar kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Kontak:

    Harwati (0856-4556-6229)

    Rere (0838-5764-2883)

    Unduh versi pdf di sini.

  • [April 2015] Korban Lapindo “Pulang Kampung”

    Jelang sembilan tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015, kondisi pemulihan warga sepertinya masih belum jelas. Sampai kini urusan penggantian hilangnya aset tanah dan bangunan masih belum terlaksana. Pemerintah masih dalam proses menyiapkan legalitas pelaksanaan penalangan sebagai akibat wanprestasi Lapindo melaksanakan kewajiban sesuai Perpres 14/2007.

    Demonstrasi mempertanyakan realisasi pencairan dana itu dilakukan beberapa kelompok warga pada bulan ini. Pemerintah yang sebelumnya menjanjikan pencairan pada Maret, menundanya hingga Mei. Janji inipun sepertinya tidak segera terealisasi karena tambahan biaya hingga lebih dari 800 miliar. Beberapa media mengabarkan rencana pencairan diundur lagi, menjadi sebelum lebaran (Juli).

    Di media sosial dikabarkan beberapa kelompok korban akan melakukan aksi memperingati 9 tahun lumpur Lapindo. Pada 24 Mei akan dilakukan semacam ziarah lumpur di area dekat ratusan patung yang dipasang pada peringatan tahun lalu. Pada 28 Mei ada warga yang akan melakukan istighosah di dekat tanggul lumpur Lapindo titik 21 dan 25. Kegiatan ini masih rutin dilakukan warga pada waktu-waktu khusus seperti jelang Ramadhan

    Kelompok perempuan Ar-Rohma, Paguyuban Ojek dan Portal Titik 21 dan Komunitas Alfaz merencanakan melakukan “Festival Pulang Kampung.” Mereka akan mengarak ogoh-ogoh Aburizal Bakrie setinggi lima meter dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju titik 21.

    Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggambarkan betapa kuatnya ikatan warga dengan kawasan yang kini telah terendam lumpur. Tanah kubur orangtua, moyang mereka berada di sana. “Kami tak mungkin melupakan desa-desa ini. Sampai kapanpun kami akan ingat,” ujar Harwati yang mengkoordinir tiga kelompok warga itu dalam peringatan tahun ini.

    Harwati berharap rakyat Indonesia mengingat kejadian lumpur Lapindo dan mendorong pemerintah menyelesaikan krisis yang diakibatkan olehnya. Pemulihan ekonomi merupakan agenda penting dengan memprioritaskan pemenuhan hak dasar. Ia juga berharap desa-desa yang terendam lumpur itu dianggap sebagai bagian dari kenangan dan sejarah warga dan tidak dihapus dari administrasi pemerintahan seperti yang diusulkan oleh DPRD Sidoarjo. Sekalipun kampung halaman itu sudah terendam lumpur, warga masih terikat dengannya.

    Harwati berharap adanya pemeriksaan kualitas ekologis dan kesehatan masyarakat di sekitar tanggul lumpur. Misalnya, ia dan kawan-kawannya sebagai ojek tanggul mestinya mendapatkan fasilitas pemeriksaan berkala dan dijamin untuk bisa melakukan pengobatan secara gratis jika sakit.

    Janji Jokowi tentang kehadiran negara yang diterjemahkan menjadi kebijakan ‘dana talangan’ yang tak kunjung direalisasikan kami rasa penting guna untuk melihat persoalan ganti rugi untuk memulai proses pemulihan.

    Buletin Kanal edisi ini menyajikan amatan Anton Novenanto terhadap relasi Partai Golkar dan kasus Lapindo. Beberapa berita media terkait hak angket yang sedang didorong di DPR-RI juga kami sajikan, demikian juga dinamika grup Bakrie sebagai informasi yang penting diketahui masyarakat.

    Kami juga menyajikan foto-foto Lutfi Amiruddin dan Henri Ismail. Lutfi yang selama beberapa waktu melakukan penelitian di desa-desa sekitar lumpur Lapindo merekam proses pengubahan kawasan pasca ganti rugi. Sementara itu, Henri merekam bagaimana lumpur Lapindo telah menjadi monumen bencana industri bagi rakyat Indonesia.

    Bambang Catur Nusantara

    Unduh Buletin Kanal, Vol. XI (April) 2015 di sini.

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Warga Bakal Arak Ogoh-ogoh Bakrie

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Warga Bakal Arak Ogoh-ogoh Bakrie

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Beberapa warga korban lumpur panas Lapindo mulai mempersiapkan diri memperingati sembilan tahun bencana nasional itu. Selasa, 26 Mei 2015, mereka berkumpul di titik 21 tanggul dan membuat atap jerami.

    Atap-atap jerami tersebut akan dibuat sebagai atap gubuk dari jerami yang diletakkan di tengah area lumpur panas yang telah mengering. “Ini untuk acara hari Kamis, 28 Mei, dengan tema ‘Pulang Kampung’,” kata Hartono, seorang warga yang memasang atap jerami tersebut.

    Pada 28 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas di persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lokasi semburan sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1, yang dikerjakan Lapindo Brantas Inc. Ini merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada yang saham terbesarnya dikuasai Grup Bakrie. 

    Pada tiga bulan pertama, lumpur yang keluar rata-rata 50 ribu meter kubik sehari. Lumpur ini diduga berasal dari formasi geologi yang disebut Kalibeng pada kedalaman 6.100-8.500 kaki.

    Hingga saat ini, lumpur masih menyembur dengan volume yang makin berkurang. Lumpur itu telah menggenangi puluhan desa dan pabrik serta fasilitas publik lainnya. Ribuan warga telah mengungsi dan mendapat ganti rugi. Namun masih banyak warga yang terkena dampak lumpur itu belum menerima ganti rugi. 

    Pada 29 Mei 2015, mereka akan memperingati sembilan tahun lumpur Lapindo dengan mengadakan Festival Pulang Kampung dengan mengarak ogoh-ogoh wajah Aburizal Bakrie. Selain itu, ada teatrikal. “Semuanya dilaksanakan di sini,” ujar Hartono.

    Mahmudah, seorang koordinator warga korban lumpur Lapindo, menambahkan, pada Jumat, warga  akan menggelar istigasah bersama di tanggul lumpur. Istigasah tersebut dilakukan agar pembayaran ganti rugi lumpur Lapindo dapat segera diterima warga. “Kami semua akan berdoa agar ganti rugi dapat segera dibayarkan oleh pemerintah,” tuturnya.

    Dalam peringatan sembilan tahun lumpur Lapindo tersebut, semua tokoh masyarakat diundang, termasuk Bupati Sidoarjo Syaiful Ilah. Mahmudah meminta para anggota DPRD Sidoarjo hadir. “Mereka harus menunjukkan rasa empati kepada para warga korban lumpur,” ucap mantan lurah tersebut.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/26/173669533/9-tahun-lumpur-lapindo-warga-bakal-arak-ogoh-ogoh-bakrie

  • Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah yang susah payah Anda bangun dari jerih payah Anda, kemudian ditenggelamkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah tempat Anda membina hubungan dengan keluarga, membesarkan dan mendidik anak, ternyata dalam waktu tertentu harus dihancurkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika Anda harus meninggalkan kampung halaman Anda karena kesalahan yang tidak pernah Anda buat sebelumnya?

    Dari pertanyaan semacam itulah sebenarnya, saya ingin menggambarkan bahwa masalah rumah bukanlah melulu berhubungan dengan uang. Rumah adalah kebudayaan. Di dalam rumah terjadi interaksi di antara anggota keluarga. Di rumah berlangsung upaya membesarkan dan mendidik anak. Tetapi celakanya, dalam kasus Lapindo, yang tampil di hadapan kita seolah-olah hanyalah masalah jual beli rumah dan tanah saja. Tidak ada perhitungan bagaimana menyelesaikan masalah hancurnya kebudayaan ini. Di lain pihak, pemberitaan media seolah menggiring masyarakat kepada pemahaman, bahwa kasus Lapindo melulu masalah jual beli rumah dan tanah. Padahal di luar itu semua, ada hal yang lebih penting untuk dibahas, yaitu penghancuran lingkungan sekaligus tatanan sosial-budaya masyarakat secara terencana, yang bahkan berlangsung hingga 9 tahun bencana lumpur Lapindo.

    Penghancuran Ekologi

    Temuan Walhi (2008) menunjukkan bahwa lingkungan yang berada dekat dengan semburan lumpur telah tercemar dan dan mengandung senyawa logam berat polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang melebihi ambang batas normal. Senyawa inilah yang dapat memicu sel kangker dalam tubuh. Di samping pula, kandungan unsur lainnya, seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan kromium (Cr) yang dapat memicu berbagai penyakit. Hasil ini diperkuat oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan besi (Fe) pada air tanah di desa sekitar semburan lumpur.

    Pembuangan lumpur ke Kanal Porong ternyata tidak menyelesaikan masalah dan justru menimbulkan masalah baru. Pada warga Desa Kalisogo yang dekat dengan aliran Kanal Porong ditemukan kecenderungan mengalami penyakit tertentu. Warga yang menggunakan air tanah untuk dikonsumsi sehari-hari memiliki kecenderungan beberapa penyakit, seperti diare, mual, muntah, hingga nyeri perut (Putri dan Yudhastuti, 2013). Pembuangan lumpur ke Kanal Porong juga meningkatkan kandungan kadmium (Cd) dan timbal (Pb) pada ekosistem. Hal ini berpengaruh pula pada kondisi ikan yang hidup pada ekosistem tersebut, yang tentu saja tidak aman bila dikonsumsi (Purnomo, 2014).

    Informasi lain menunjukkan bahwa akibat pembuangan lumpur ke Kanal Porong dan Sungai Ketapang membuat ikan tercemar. Ikan di wilayah tambak Desa Penatarsewu misalnya, memiliki kondisi yang berlendir dan bau. Ini membuat warga tidak mau mengkonsumsinya (Dewi Rachmawati, 2013: 86). Penelitian di atas semakin membuktikan bahwa lumpur Lapindo ini memicu resiko ekologis yang semakin mengkhawatirkan.

    Menjadi semakin jelas, bahwa bencana lumpur Lapindo bukan hanya masalah ganti rugi semata. Kerusakan lingkungan menjadi ancaman serius di wilayah ini. Maka, pemulihan kondisi ekologis menjadi sangat relevan untuk diwacanakan.

    Penghancuran Sosial-Budaya

    Dalam kasus Lapindo, kebudayaan masyarakat dari desa-desa yang ditenggelamkan benar-benar dihilangkan dari akarnya. Ada banyak keluarga dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka untuk melakukan relokasi. Sebab, tinggal di lokasi yang dekat dengan sumber semburan lumpur bukanlah masalah yang gampang. Anda harus berurusan dengan kondisi lingkungan yang rusak: air yang keruh, udara yang busuk, dan tanah yang beracun.

    Sementara itu, melakukan relokasi juga bukanlah perkara mudah. Masalah pindah rumah bukan hanya perihal berpindah secara fisik-geografis semata. Relokasi adalah proses sosial-budaya. Hal inilah yang tak pernah ada dalam logika para pemangku kepentingan yang menangani kasus Lapindo. Anggapan umum yang beredar hanyalah: “Kalau korban lumpur sudah mendapatkan cicilan uang jual beli aset lalu pindah ke relokasi, masalahnya beres”. Sekali lagi, yang terjadi tidaklah sesederhana itu.

    Bagi mereka yang mengalami sendiri proses pemindahan paksa ini, pindah rumah benar-benar hal yang tidak sederhana. Selain harus mempertimbangkan masalah harga tanah di lokasi yang baru, seseorang harus mempertimbangkan kondisi di lokasi tujuannya: Dengan siapa dia tinggal? Dengan sanak keluarga, tetangga lama, atau dengan tetangga baru? Apakah di rumah barunya dia masih bisa bekerja atau justru jadi pengangguran? Bagaimana dengan sekolah anak-anaknya? Siapa teman-teman mereka? Tak jarang kondisi lokasi desa/kota juga menjadi pertimbangan tersendiri yang memusingkan.

    Dampak dari kasus Lapindo ini bukan semata masalah uang ganti rugi saja, melainkan lebih dari itu, masalah sosial budaya. Kondisi sosial budaya yang telah ada dan melekat pada masyarakat, hancur akibat bencana ini.

    Sebelum mempertimbangkan banyak hal tentang relokasi, seseorang harus benar-benar ikhlas bahwa rumah dan kampung halamannya akan dihancurkan. Agar seseorang dapat secara legal dihitung menjadi “korban” bencana lumpur Lapido, rumah dan tanahnya harus terlebih dahulu masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT). Baru setelah itu, dia akan diperlakukan dengan cara tertentu, seperti penghitungan dan pengukuran rumah dan tanah.

    Dengan masuk dalam PAT, sebenarnya seseorang telah merelakan diri sebagian dari hidupnya dihancurkan. Rumah, pekarangan, dan sawah, harus direlakan untuk dijadikan tanggul penahan ataupun kolam lumpur. Dan tentu saja, kehidupan yang ada di dalamnya juga ikut hilang.

    Saya katakan kehidupan sosial dihancurkan karena memang, bagi masyarakat, rumah, pekarangan, dan sawah bukan saja aset yang bernilai ekonomis, melainkan bagian dari kehidupan sosial budaya itu sendiri. Penghancuran ini juga bukan hanya pada produk budaya yang sifatnya artefak saja. Dampak dari kasus Lapindo juga dapat melahirkan rusaknya ikatan sosial.

    Laporan Utomo dan Batubara (2009), misalnya, menunjukkan bahwa warga justru terlibat dalam berbagai macam konflik di antara tetangga sebagai dampak dari bencana ini. Laporan Amiruddin (2012) menemukan bahwa konflik horizontal juga setelah pindah di lokasi resettlement. Sebagai contohnya adalah warga yang tinggal KNV, sebuah pemukiman yang dibangun oleh pihak Lapindo dan dijual kepada warga korban. Ternyata, kasus Lapindo tak hanya menenggelamkan aset saja, melainkan juga memporak-porandakan hubungan sosial di antara warga.

    “Terencana”

    Dari gambaran di atas, saya ingin mengatakan bahwa dari kasus Lapindo ternyata melahirkan penghancuran; dari satu penghancuran melahirkan penghancuran yang lain. Dari penghancuran ekologis, menciptakan penghancuran sosial budaya. Dari penghancuran dan penenggelaman desa, melahirkan penghancuran hubungan sosial antar tetangga. Dari penghancuran tempat tinggal, melahirkan penghancuran pranata sosial di tempat tinggal yang baru. Bermula dari penghancuran di satu tempat dan waktu tertentu, melahirkan penghancuran pada dimensi tempat dan waktu yang lain, dan seterusnya.

    Menurut saya, bentuk-bentuk penghancuran sebagai dampak dari krisis ekologis ini ternyata tidak hadir begitu saja. Dia muncul di tengah relasi manusia dengan lingkungan ekologisnya dan berjalan dalam skema tertentu. Penghancuran ini berjalan secara terencana. Saya katakan terencana karena memang penanganan bencana ini telah mengalami perencanaan yang matang dengan melibatkan banyak jejaring ilmuwan.

    Ada perhitungan-perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penanganannya, seperti, misalnya, mengapa limbah lumpur ini dialirkan ke Sungai (Kanal) Porong? Mengenai hal ini Harnanto (2011) memiliki jawaban kenapa lumpur harus dialirkan ke Sungai Porong:

    Ada tiga prinsip pengelolaan lumpur yang berhubungan dengan Kali Porong, yakni pembuangan lumpur ke Kali Porong didistribusikan di palung sungai melalui beberapa lokasi di hilir spillway, semakin ke hilir semakin baik; memanfaatkan potensi daya air Kali Porong pada saat musim hujan, yang melimpah dan murah, untuk menghanyutkan lumpur ke laut; dan pengamanan fungsi Kali Porong untuk menjaga kinerja Kali Porong sebagai kanal banjir (floodway) Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. (Harnanto, 2011: 1).

    Sebagai ilmuwan yang bekerja untuk BPLS, tentunya pertimbangan-pertimbangan Hartanto di atas didasarkan pada metode ilmiah, sehingga dari hasil penelitiannya itu lahir pula alasan pembenar atas kebijakan pembuangan lumpur ke Kali Porong, dan bukan usaha untuk menyumbat sumber semburan. Padahal, pembuangan lumpur ke Sungai Porong jelas-jelas berdampak pada kehidupan warga. Karena dampak tersebut, pada akhirnya warga harus bersusah payah untuk bertahan hidup (Dewi Rachmawati, 2013), serta kemunculan penyakit baru (Putri dan Yudhastuti, 2013).

    Perencanaan lain misalnya, dilakukan Turniningtyas Rachmawati, dkk (2011) tentang proses pemukiman kembali. Para ilmuwan ini merumuskan lokasi pemukiman kembali yang sesuai dengan preferensi korban. Sebelumnya, melalui Majalah Solusi (Edisi 06, 31 Desember 2007-7 Januari 2008) pihak Lapindo telah menggiring opini warga agar mau memilih opsi resettlement sebagai pengganti pilihan cash and carry. Ini berarti korban sebenarnya diajak untuk menuruti kemauan pihak Lapindo agar mau ikut dalam skema yang mereka rencanakan.

    Apakah negara absen dalam bencana ini? Negara sama sekali tak pernah absen. Jauh sebelum lumpur menyembur di tengah pemukiman warga, siapa lagi yang memberikan ijin berdirinya perusahaan pengeboran di tengah pemukiman padat penduduk kalau bukan negara, melalui Ditjen Migas dan BP Migas? Ijin yang disampaikan kepada wargapun bukan pendirian perusahaan pengeboran, melainkan usaha peternakan. Dengan demikian, lanjut Novenanto, “kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas” (Novenanto, 2015: 46).

    Pun demikian dengan penanganan bencana lumpur dinaungi oleh peraturan presiden. Hingga saati ini saja, telah dikeluarkan enam peraturan; Perpres No. 14/2007, Pepres No. 48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 48/2011, Perpres No. 37/2012, dan Perpres No. 33/2013. Namun yang patut dipertanyakan adalah, peran macam apa yang disandang oleh penyelenggara negara melalui aturan itu? Novenanto berargumen justru melalui peraturan presiden itulah “negara hadir untuk melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya—sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan” (2015: 46). Dengan kata lain, justru melalui peraturan presiden itu, korporasi dapat meraih kekuasaan atas penanganan lumpur Lapindo dengan skema-skemanya, yang pada akhirnya akan melahirkan penghancuran tatanan sosial-budaya dan penghancuran ekologis.

    James C. Scott (1998) pernah mendedahkan dalam bukunya, bahwa melalui proyek-proyek pembangunan yang diusung negara, justru gagal dalam mengayomi masyarakat. Bagi Scott ini disebabkan karena pandangan dan kondisi masyarakat lokal tak pernah diperhatikan. Atas nama efisiensi, maka negara lebih menafikkan kompleksitas masalah kehidupan lainnya. Demikian halnya yang terjadi pada penanganan bencana lumpur Lapindo. Skema-skema yang diciptakan, justru menciptakan malapetaka baru bagi warga, dan melapangkan jalan korporasi. Peraturan presiden adalah mekanisme legal bagi korporasi untuk memisahkan warga dari tanahnya (land exclusion) (Karib, 2012), lalu melakukan pengusiran paksa, dengan memperluas perusakan lingkungan.

    Oleh karena itu, kasus Lapindo adalah bentuk yang sekaligus mampu melahirkan penghancuran yang terencana; melibatkan perencanaan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis-akademis dan dinaungi kebijakan negara, demi melapangkan kuasa korporasi.

    Mengapa kita harus “mengingat Lapindo”?

    Penghancuran ini akan terus berlangsung hingga lebih dari 20 tahun ke depan, seiring prediksi ahli bahwa usia semburan lumpur yang mencapai kurun waktu itu pula (Batubara dan Utomo, 2011: 45). Prediksi para ahli ini sepertinya akan menjadi kenyataan karena memang berbagai macam upaya dilakukan, namun belum ada satupun cara yang membuahkan hasil. Tercatat sejak 2006, ada beberapa upaya penutupan semburan, dari cara yang sifatnya saintifik seperti Snubbing Unit method, Well Side Tracking method, Relief Wells method, High Density Chained Balls method, hingga cara yang sifatnya supranatural pernah dilakukan (Batubara dan Utomo, 2011).

    Setelah gagalnya usaha-usaha tersebut, tidak ada lagi upaya penghantian sumber semburan. Sejak saat itu, upaya yang dilakukan Lapindo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hanya meninggikan tanggul penahan lumpur saja sembari mengaduk-aduk lumpur agar dapat lancar mengalir ke Kanal Porong. Jika memang kondisinya demikian, sampai kapan proses penghancuran terencana ini berlangsung? Lalu, desa-desa dan kehidupan-kehidupan mana yang akan menunggu giliran untuk dihancurkan?

    Pengalaman saya berikut ini mungkin dapat memberikan sedikit ilustrasi:

    Akhir 2007, ketika perjalanan antara Surabaya-Malang, saya pernah menyempatkan diri singgah di sebuah warung makan. Lokasinya tidak jauh dari tanggul penahan lumpur. Waktu itu luas dan tinggi tanggul belum setinggi tahun 2015 sekarang ini.

    Saat itu saya mengobrol dengan seorang warga Kelurahan Gedang, Kecamatan Porong. Saya mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan sehari-harinya setelah munculnya lumpur Lapindo. Saya bukan wartawan, tetapi entah mengapa dia sangat serius menjawabnya. Hal yang paling saya ingat dari obrolan itu adalah dia (masih) merasa aman dengan kondisi lingkungannya. Perasaan aman disebabkan antara tanggul lumpur dan rumahnya dipisahkan oleh jalan raya Porong. Dia merasa aman meskipun setiap hari mencium bau menyengat, terutama ketika angin bertiup ke arah rumahnya, dan air di rumahnya mulai mengeruh. Dia merasa aman dan masih merasa tenang tinggal di rumahnya tanpa harus bingung mencari lokasi pindah sambil menuntut ganti rugi.

    Namun apa yang terjadi tahun 2013 lalu semuanya bertolak belakang. Kelurahan Gedang masuk dalam Perpres No. 33/2013. Dapat dipastikan seluruh warga yang tempat tinggalnya masuk dalam Peta Area Terdampak harus pindah. Setelah terancam dengan pencemaran air, tanah, dan udara, maka relasi sosial warga ini dimungkinkan akan terancam. Sebab dalam proses ini, mereka harus segera meninggalkan kampung halaman untuk mencari pemukiman baru. Konflik horizontal dan kemungkinan untuk tinggal tercerai-berai antara tetangga terbuka lebar. Seseorang yang semula merasa aman ternyata harus rela terusir dari kampung halamannya.

    Dari ilustrasi di atas patutlah kita bertanya, apakah kita akan selalu merasa aman dengan kondisi lingkungan kita? Jangan-jangan halaman belakang rumah kita juga akan terancam dengan kasus serupa? Apakah kita bersedia kalau tempat tinggal kita diambil alih dan dirusak oleh korporasi? Apakah kita hanya pasrah dan menunggu waktu saja? Dari tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk mengingat, bahwa yang terjadi pada kasus Lapindo bukan hanya masalah pelunasan jual beli aset saja. Saya ingin mengajak anda mengingat bahwa yang terjadi di Sidoarjo ini adalah sebuah tragedi, sebuah pengahancuran entitas sosial, budaya, dan lingkungan yang terencana.

    Dalam editorial Majalah Solusi edisi perdana (19-25 November 2008) tertulis:

    Cerita masa lalu itu sebaiknya kita simpan saja di memori kita sebagai catatan sejarah. Kini yang penting bagaimana membenahi persoalan di seputar semburan lumpur Sidoarjo secara tepat.

    Dari ajakan tersebut kita patut mempertanyakan; untuk membenahi persoalan, kenapa memori masa lalu ini cukup disimpan saja? Mengapa tidak kita buka saja memori-memori ini sebagai pelajaran? Bukankah kita memiliki reputasi buruk mengenai ingatan, mudah lupa dengan peristiwa-peristiwa penting di tanah air? Dengan menyimpan memori, bukankah kita pada akhirnya tidak pernah menuntaskan berbagai macam tragedi masa lalu di negeri ini?

    Maka, kesadaran yang harus kita miliki bersama adalah kita harus mengingat bahwa kasus Lapindo adalah sebuah penghancuran bentuk kehidupan yang terencana. Sebuah proyek penghancuran tata kehidupan manusia dengan lingkungan fisiknya. Logika ini jelas bertentangan dengan logika yang dibangun oleh pihak Lapindo melalui Majalah Solusi tersebut. Logika yang diusung oleh Majalah Solusi hanya akan menguburkan dan akhirnya membusukkan ingatan sosial. Pada akhirnya, masalah sosial dan lingkungan takkan pernah terselesaikan secara tuntas. Dengan menyimpan memori, kita hanya akan menumpuk-numpuk kebohongan; kebohongan satu ditumpuk dengan kebohongan yang lain, dan seterusnya. Bukankah berdirinya perusahaan pengeboran di tengah-tengah pemukiman warga Porong ini didasarkan atas kebohongan? Dari sinilah kita menemukan bahwa “Mengingat Lapindo” menjadi semakin relevan.

    Lutfi Amiruddin, Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

    Pustaka Acuan

    Amiruddin, Lutfi. 2012. Solidarity of Lapindo Mudflow Victims in Resettlements. Tesis pada Management of Infrastructure and Community Development, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

    Anonim. 2008. Mencari Solusi. Majalah Solusi, Edisi 01 (19-25 November).

    —–. 2008. Columbus. Majalah Solusi, Edisi 06 (31 Desember 2007-7 Januari 2008).

    Utomo, Paring W. dan Bosman Batubara. 2009. Skema Ganti Rugi Terhadap Korban Lumpur Panas Di Sidoarjo (Kajian di Desa Ketapang dan Besuki Timur), Laporan Penelitian. Surabaya.

    Batubara, Bosman dan Paring W. Utomo. 2011. Kronik Lumpur Lapindo, Skandal Bencana Industri Pemboran Migas di Sidoarjo. Yogyakarta: Insist Press.

    Harnanto, Aris. 2011. Peranan Kali Porong Dalam Mengalirkan Lumpur Sidoarjo ke Laut. Badan Pelaksana, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Bapel-BPLS), Oktober 2011.

    Karib, Fathun. 2012. Programming Disaster: Switching Network, Village, Politics, and Exclusion beyond Lapindo Mudflow. Tesis (tidak diterbitkan), University of Passau, Germany.

    Novenanto, Anton. 2015. “Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya?” Kanal, Vol. XI (Maret 2015).

    Purnomo, Tarzan. 2014. “Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackiswater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud.” Proceeding of International Conference on Research, Implementation and Education of Mathematics and Sciences 2014, Yogyakarta State University, (18-20 May).

    Putri, Tika A. dan Ririh Yudhastuti. 2013. Kandungan Besi (Fe) Pada Air Sumur dan Gangguan Kesehatan Masyarakat di Sepanjang Sungai Porong Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon Sidoarjo. Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya.

    Rachmawati, Dewi F. 2013. Strategi Survival Petani Tambak Di Tengah Bencana Industri Lumpur Lapindo Di Desa Penatarsewu, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Skripsi (tidak diterbitkan), Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang.

    Rachmawati, Turniningtyas A, dkk. 2011. “Disaster Risk Reduction to Municipal Spatial Plan: A Case Study of Mudflow Disaster in Sidoarjo, Indonesia.” European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No. 4.

    Scott, James C. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven & London: Yale University Press.

    Walhi Jawa Timur. 2008. Logam Berat dan PAH Dalam Air dan Lumpur Lapindo (Riset Awal Walhi Jawa Timur 2007-2008). Sidoarjo: Walhi Jawa Timur.

  • Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Pada tahun 2007 BPK menghasilkan sebuah dokumen penting dalam kasus lumpur Lapindo. Lembaga ini melakukan audit kinerja atas kejadian semburan lumpur Lapindo. Temuan-temuan dan rekomendasinya sangat penting, namun tidak pernah dijadikan pijakan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan lumpur Lapindo.

    BPK menemukan fakta-fakta bahwa Lapindo Brantas Inc. (LBI) tidak mampu menangani masalah di Sumur Banjarpanji 1 berupa rekahan pada formasi yang menyebabkan lumpur menyembur ke permukaan. Bahkan, pada bahan presentasi untuk Pertemuan Intosai-WGEA di Tanzania pada Juni 2007, Anwar Nasution menyampaikan bahwa kejadian lumpur Lapindo merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia.

    BPK juga menemukan bahwa regulasi dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam di Indonesia saat ini tidak melindungi warga dan lingkungan. Utamanya pada kawasan-kawasan padat huni, tidak ada kekhususan pengelolaan sektor ini. Ditambah pula lemahnya pengawasan yang dilakukan lembaga negara dalam proses eksplorasi dan eksploitasi.

    Resiko semburan lumpur Lapindo semakin tinggi karena: LBI tidak menggunakan perusahaan kontraktor yang telah memiliki reputasi dalam pengeboran; penggunaan alat yang tidak sesuai standar; serta, kualifikasi tenaga teknis yang kurang atau tidak bisa dikontrol dengan baik oleh pemerintah.

    Setahun setelah kejadian semburan lumpur Lapindo itu, BPK juga menyimpulkan bahwa pemerintah sangat kurang dalam merespon kejadian semburan dan cenderung lambat. Akibatnya warga semakin kesulitan dalam menemukan lokasi yang lebih aman dan juga percepatan pemulihan ekonomi mereka. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan perlindungan atas properti warga dan juga tidak pernah dilakukannya assesmen resiko dalam desain penanganan lumpur Lapindo. Pengelolaan dilakukan seadanya, tanpa pemahaman mendasar bagaimana lumpur Lapindo telah berdampak dalam berbagai dimensi kehidupan warga dan butuh penanganan yang khusus.

    Ketiadaan laporan yang konsisten para periset maupun pengurus negara terkait kandungan berbahaya lumpur dan air yang dikeluarkan lumpur Lapindo menambah ketidakjelasan bagaimana penanganan keluhan warga atas tercemarnya air sumur, kawasan pertanian, tambak, kawasan laut, dan juga permukiman.

    Rekomendasi BPK agar pemerintah segera melakukan riset mendalam dampak kandungan bahan berbahaya lumpur sepertinya tidak pernah dilakukan serius. Ini terlihat laporan penanganan lingkungan yang ditampilkan BPLS dalam situsnya (www.bpls.go.id) hanya berisi sebaran gelembung gas dan penurunan muka tanah. Padahal, Tarzan Purnomo (2014) menunjukkan logam berat telah menyebar di kawasan pertambakan dan sungai di wilayah timur area semburan lumpur Lapindo. Lumpur tidak saja mencemari air namun sudah mengkontaminasi tubuh ikan. Penelitian-penelitian serupa yang telah dihasilkan sejak 2007 menunjukkan kandungan logam berat mencemari kawasan di sekitar semburan Lapindo.

    Purnomo memeriksa kawasan tertentu secara periodik selama tiga kali. Di Renokenongo memeriksa kolam ikan, di Gempolsari memeriksa sungai, di Tegalsari memeriksa kolam tandon, dan kolam biasa di Permisan. Penelitian ini menunjukkan jumlah kandungan logam berat yang jauh melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 45/2002 dan Kepmen LH No. 51/2004. Pemeriksaan kandungan Cadmium (Cd) pada air menunjukkan jumlah 0.018 – 0.080 part per million (ppm). Padahal, ambang batas keamanan hanya pada level 0.01 ppm. Hal yang sama juga ditemukan pada kandungan Timbal (Pb) yang ditemukan sejumlah 0.013-0.074 ppm. Padahal, ambang bakunya hanya pada level 0.03 ppm.

    Yang mengejutkan adalah temuan kandungan logam berat Cd dan Pb pada tubuh ikan. Jumlah Cd ditemukan 0.037-1.542 ppm, padahal ia tak boleh lebih dari 0.001 ppm sebagai ambang batas keamanan. Demikian halnya Pb ditemukan ribuan kali lipat melebihi ambang batas 0.008 ppm dengan temuan sejumlah 0.179-1.367 ppm. Logam berat dalam dosis tinggi bersifat karsinogenik pemicu kanker dalam waktu panjang. Hasil penelitian ini sepertinya juga konsisten dengan temuan sebelumnya pada tahun 2009.

    Riset Walhi yang memeriksa kandungan logam berat dalam air dan lumpur Lapindo di puluhan titik area semburan lumpur Lapindo dan sungai Porong pada 2008 juga menemukan hal serupa. Jumlah Cd dan Pb juga ribuan kali diatas ambang baku.

    tabel kandungan logam berat

    Diduga kuat ada korelasi erat antara pemburukkan kualitas lingkungan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Misal, peningkatan jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong tercatat sejumlah 24.719 (pada 2005) menjadi 52.543 (2009). Kenaikan lebih dari dua kali lipat juga terjadi pada penyakit Gastrytis yang berjumlah 22.189 (tahun 2009) dari jumlah semula 7.416 warga (tahun 2005).

    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bekerjasama dengan Walhi Jatim pernah memeriksa 20 warga korban Lapindo yang tinggal di wilayah semburan lumpur Lapindo pada 2010. Dari seluruh warga yang diperiksa itu, 75% mengalami kelainan pada pemeriksaan lengkap Haematologi.

    grafik kesehatan

    Rekomendasi agar dilakukan revisi atas kebijakan monitoring eksplorasi dan eksploitasi migas juga tidak dilakukan oleh pemerintah. Di kawasan di sekitar semburan lumpur Lapindo, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM masih mengijinkan LBI untuk mendalamkan sumur pengeboran mereka di Desa Kalidawir yang jaraknya kurang dari tiga kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah Timur.

    Menyusun kebijakan pengelolaan bencana yang tidak hanya berbasis bencana alam juga lambat dikerjakan. BPK menyarankan adanya pembangunan kebijakan komperehensif atas bencana dan perlu dilakukan penguatan kapasitas institusi pengelola bencana berdasar pengalaman bencana alam dan bencana buatan manusia, seperti lumpur Lapindo. Sayang, wacana penanganan bencana industri sepertinya baru akan dibahas beberapa tahun lagi.

    Pemerintah pimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sepertinya berniat untuk memperbaiki karut marut persoalan lumpur Lapindo. Jokowi menjanjikan akan menalangi kompensasi untuk korban Lapindo yang mestinya menjadi beban LBI, melalui Minarak Lapindo Jaya (MLJ) juru bayar LBI untuk jual beli aset dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang tak kunjung selesai. Sayang, hingga menjelang 9 (sembilan) tahun usia semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015 nanti, janji itu belum ada realisasinya.

    Niat Jokowi itu pun sepertinya hanya solusi parsial atas dampak semburan lumpur Lapindo. Kerusakan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo sepertinya akan menapaki waktu yang panjang untuk bisa dipulihkan. Jika pemerintah tidak melakukan kajian mendalam yang bisa menghasilkan gambaran krisis sosial-ekologis yang terjadi akibat semburan itu, maka penyelesaiannya juga hanya menyentuh permukaan saja. Kerusakan lingkungan, relasi sosial yang hancur, pendidikan anak-anak yang terancam, kesehatan yang tidak terjamin, dan sumber ekonomi yang hilang, bila tidak ditelusuri mendalam niscaya akan semakin memperpanjang umur krisis di wilayah bagian selatan Sidoarjo ini.

    Berbagai dokumen temuan atas dampak semburan mestinya menjadi bahan untuk dibaca ulang agar memahami situasi. Pemerintahan Jokowi harus melakukan kajian kebutuhan yang mendalam dan melibatkan warga untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi tindakan dan upaya pemulihan sosial-ekologis di sekitar lumpur Lapindo.

    Semua institusi negara mesti terlibat dalam upaya pemulihan korban Lapindo. Tidak bisa lagi krisis multi dimensi yang dihasilkan lumpur Lapindo ditangani badan khusus BPLS yang hanya menangani “wilayah terdampak” dan tindakan-tindakan terbatas seperti saat ini.

    Bambang Catur Nusantara, Badan Pengurus Jatam dan editor korbanlumpur.info

    Pustaka Acuan

    Purnomo, Tarzan (2014) Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackishwater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud, Proceeding of International Conference on Research Implementation and Education of Mathematichs and Sciences 2014, Yogyakarta State University, 18-20 May.

  • Politik Janji

    Politik Janji

    Dalam kasus Lapindo, janji khususnya tentang pelunasan ‘ganti rugi’ adalah sarana kekuasaan yang sangat efektif. Janji diberikan tidak hanya oleh perwakilan Lapindo ataupun Minarak, tapi juga oleh pengurus negara. Setelah sebelumnya melempar janji pencairan ‘dana talangan’ pada korban akan dilakukan bulan Mei ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono meralatnya dan melempar janji baru bahwa pencarian dana itu akan dilakukan paling lambat sebelum Lebaran.

    Jika kita mengacu pada Perpres 14/2007, maka relasi yang terbentuk antara warga dan Lapindo sebagai penjual dan pembeli. Kita juga akan menjumpai kebenaran pepatah “pembeli adalah raja.” Ya, Lapindo adalah raja yang dapat mengendalikan laju transaksinya dengan warga.

    Seperti raja, Lapindo mendapatkan keistimewaan dengan ketidakberdayaan negara dan para pengurusnya untuk menjamin transaksi antara warga dan Lapindo berlangsung secara setara. Sekalipun berperan sebagai pihak yang mewajibkan Lapindo untuk membeli tanah dan bangunan warga melalui penerbitan Perpres 14/2007, negara tidak pernah hadir dan berdaya untuk memaksa Lapindo menyelesaikan peraturan itu. Negara tidak pernah memberi sanksi setimpal saat Lapindo melanggar peraturan dengan  kekuatan hukum yang mengikat itu. Alih-alih menghukum, negara justru “membantu” Lapindo untuk melunasi kewajibannya itu dengan cara menalanginya terlebih dahulu. Rencana ini, rupanya, menjadi blunder ketika Lapindo tidak menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan dana yang dikumpulkan dari uang rakyat itu.

    Seperti raja, Lapindo dengan leluasa memodifikasi transaksi seperti telah diatur dalam Perpres 14/2007 dengan mendesakkan skema “cash and resettlement” bagi warga tanpa sertifikat tanah/bangunan. Warga dipaksa menukar nilai aset mereka dengan bangunan baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Padahal, Perpres 14/2007 mengatur pembayaran dilakukan secara tunai, bertahap. Dan lagi, alih-alih memberikan sanksi atas modifikasi itu, para pengurus negara dari legislatif maupun eksekutif justru mendukung rencana Lapindo itu.

    Seperti raja, kelakuan Lapindo didukung oleh klaim-klaim berbau religius para pemuka agama bahwa segala yang telah diberikan perusahaan adalah “sodaqoh,” sedekah, amal pada warga yang sedang tertimpa musibah, pada korban yang tidak berdaya. Alih-alih impas, kini banyak warga yang dipaksa seolah-olah berhutang budi pada Lapindo, khususnya pada keluarga Bakrie. Padahal, yang terjadi adalah jual beli aset. Warga yang sudah terlebih dahulu memberikan kepemilikan aset mereka pada Lapindo. Jika demikian, apa yang diberikan Lapindo itu tak lebih dari kewajiban seorang pembeli pada penjual, yaitu membayar apa yang sudah diterimakan padanya.

    Saya melihat, ada fakta yang dihilangkan dalam pembingkaian proses transaksi antara warga dan Lapindo. Fakta itu adalah kenyataan bahwa warga sudah terlebih dahulu memberikan tanah dan bangunan dengan cara melimpahkan hak kepemilikan (proprietary) mereka pada Lapindo. Secara teoretik, “pemberi” seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan “penerima.” Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada kasus Lapindo.

    Saat ini, fakta “warga sebagai pemberi” telah direduksi, bahkan dieliminir. Warga kini dibingkai dan diposisikan sebagai mereka yang “meminta(-minta).” Seolah-olah, warga berada dalam posisi seperti pengemis yang mengharapkan pemberian dari pihak lain, entah itu negara ataupun Lapindo. Faktanya, para warga ini sudah memberikan aset mereka. Penghilangan fakta “warga sebagai pemberi” muncul dari adanya pra-pengandaian publik tentang mereka adalah korban yang tidak berdaya. Padahal, warga dengan pelbagai pergulatan psikologisnya perlu dilihat sebagai pihak yang sangat berdaya dan telah berani melepaskan (kepemilikan) aset mereka pada pihak lain.

    Tidak mudah untuk melepas atau memberikan sesuatu, apalagi jika sesuatu itu amat berharga. Tidak hanya dibutuhkan suatu keberdayaan dan keberanian, namun juga kerelaan; yang semua itu seolah-olah tak dimiliki Lapindo dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai pihak yang sudah menerima pemberian para warga itu.

    Dalam kalender tahunan masyarakat Indonesia, terdapat momentum budaya yang selalu terulang, salah satunya adalah Lebaran. Berdasarkan catatan saya, pasca lumpur Lapindo menyembur pada 29 Mei 2006, Lebaran telah menjadi momentum unik untuk melontarkan janji-janjinya pada warga. Tidak hanya Lebaran saja, kampanye pemilihan umum, presiden dan juga kepala daerah telah menjadi ajang untuk mengumbar janji tentang pelunasan ganti rugi. Strategi semacam ini rupanya telah menular pada pengurus negara ini, dengan lontaran janji pejabat pemerintah yang akan melunasi pembayaran sebelum Lebaran 2015.

    Seperti sudah banyak disampaikan dalam kesempatan lain, pelunasan ganti rugi aset hanyalah salah satu persoalan yang harus segera dituntaskan. Yang perlu kita ingat, menurut prediksi para geolog lumpur masih akan terus menyembur secara masif sampai puluhan tahun. Artinya, apa yang terjadi sampai saat ini belum separuh dari apa yang akan terjadi.

    Sekarang, menjelang 9 tahun lumpur Lapindo menyembur, pemerintah, lagi-lagi, hanya bisa sebatas memberikan janji menyelesaikan persoalan ganti rugi yang tak kunjung tuntas. Padahal, di luar itu masih banyak persoalan sosial-ekologis yang muncul akibat semburan lumpur Lapindo. Jika hanya sampai itu kapasitas pengurus negara republik ini, maka sudah layak dan pantas bagi kita untuk terus mempertanyakan wujud “kehadiran negara” dalam kasus ini. (*)

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    Judul tulisan ini mengutip kalimat dalam komik Muasal Lumpur Lapindo karya Rahman Seblat. Kalimat singkat itu hendak menyampaikan pesan sederhana, namun tegas menegasikan anggapan umum tentang posisi warga terdampak lumpur Lapindo yang selama ini dianggap “tak berdaya.”

    Faktanya, di tengah pelbagai resiko dan bahaya ekologis yang menimpanya, warga menyimpan potensi kekuatan besar untuk bertahan hidup dan yang tak kalah pentingnya mereka adalah faktor pendorong bagi arah kebijakan mitigasi bencana lumpur Lapindo. Selama ini, terdapat pra-anggapan bahwa warga itu selalu tak berdaya menghadapi tekanan politik-ekonomi koalisi negara dan korporasi. Pra-anggapan itu dimanifestasikan dengan melekatkan identitas baru pada mereka: “korban.”

    Dalam situasi bencana, posisi sebagai “korban” didapatkan bukan karena pilihan mandiri melainkan akibat tekanan dari luar (bahaya dan resiko ekologis) yang biasanya di luar kendali mereka. Pada saat yang bersamaan, identitas “korban” adalah juga suatu politik budaya yang strategis untuk menekankan bahwa mereka ini membutuhkan “bantuan” dari pihak lain agar dapat kembali ke situasi “normal” dan mengejar pelbagai “ketertinggalan”-nya. Dan, negara merupakan lembaga politik yang paling masuk akal untuk memainkan peran normalisasi bagi kehidupan mereka.

    Peran sebagai “korban” muncul dari suatu relasi sosial yang melibatkan keberadaan aktor lain, “pelaku.” Relasi antara “korban” dan “pelaku” selalu dibayangkan sebagai relasi yang timpang, bahwa “aktor-pelaku” selalu memerdayai “aktor-korban,” dan untuk mengembalikan ketimpangan itu dibutuhkan “aktor-mediator” yang memediasi keduanya.

    Dalam kasus Lapindo, situasi menjadi rumit ketika publik, khususnya warga terdampak, meyakini bahwa semburan lumpur panas itu tidak lahir secara “alamiah” tetapi muncul akibat ulah operator Sumur Banjar Panji 1, Lapindo Brantas, yang lalai dan sengaja mengabaikan prosedur pengeboran yang baik dan benar. Keyakinan semacam ini menghadirkan operator pengeboran sebagai “aktor-pelaku” dalam kasus ini.

    Dalam situasi semacam ini, negara diharapkan hadir sebagai “aktor-mediator” yang bertugas secara adil mengembalikan ketimpangan relasi antara korban dan pelaku dengan membela korban dan menghukum pelaku. Sayangnya, temuan demi temuan menunjukkan bahwa ternyata kelalaian dan pengabaian prosedur itu juga dilakukan oleh negara sebagai pemberi izin pengeboran. Hal ini tentu saja menambahkan negara sebagai salah satu “aktor-pelaku” dalam kasus Lapindo.

    Dan, begitulah konstruksi pemahaman publik tentang relasi kuasa dalam kasus Lapindo: warga adalah “korban” yang berhadap-hadapan dengan kolusi negara dan Lapindo sebagai “pelaku.” Dengan pemahaman semacam ini, kasus Lapindo bukanlah sekadar bencana ekologis akibat semburan lumpur panas, melainkan sebuah tragedi politik-ekonomi/ekologi di sektor industri migas di republik ini.

    Hal penting yang patut kita catat, kesadaran tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi ini justru muncul dan dipertahankan oleh para warga terdampak lumpur Lapindo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama aparatus negara dan petinggi perusahaan terus berjuang keras memaksakan logika “bencana alam” atas lumpur Lapindo dengan memanipulasi fakta sedemikian rupa. Akan tetapi, semakin kuat manipulasi itu dilancarkan, semakin kuat pula resistensi yang muncul dan berujung pada terus menguatnya kesadaran bahwa kasus Lapindo adalah tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Sayangnya, pemberitaan media arusutama cenderung membingkai perjuangan warga terdampak lumpur Lapindo sebagai tindakan yang kontraproduktif dengan kebutuhan publik luas. Tidak hanya itu, warga selalu dibingkai dalam posisi yang tak berdaya, “korban” yang hanya pasif menunggu para pemegang otoritas dan kewenangan untuk turun tangan mengentaskan permasalahan yang mereka hadapi. Padahal, warga terdampak lumpur Lapindo itu, dengan caranya masing-masing, telah dan tetap berdaya menghadapi pelbagai krisis sosial dan ekologis yang mendera mereka.

    Di antara kelompok warga yang ada, dua yang patut dicatat. Pertama, komunitas Sanggar Alfaz dan kedua, kelompok belajar Ar-RohmahSanggar Alfaz adalah ruang belajar bersama yang didirikan oleh beberapa warga Desa Besuki Timur dari keprihatinan atas kehidupan anak-anak di desa itu. Ketika para orangtua sibuk berjuang untuk mendapatkan “kompensasi” atas kerugian yang diderita, kebutuhan psikologis anak-anaknya yang masih dalam masa pertumbuhan itu terabaikan.

    Anak-anak ini tidak hanya kehilangan ruang, tapi juga waktu untuk bermain dan belajar. Mereka harus menghadapi dan mengatasi krisis psikologis sesuai usia mereka dalam kondisi yang penuh kepanikan, kecemasan, dan ketidakpastian akibat lumpur Lapindo. Pada 2012, anak-anak itu merilis kumpulan cerita dan puisi karya mereka berjudul Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita. Membaca narasi anak-anak ini, mata kita akan semakin terbuka tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Buku "Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita"
    Sampul buku “Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita”

    Kelompok belajar Ar-Rohmah didirikan oleh para perempuan tangguh yang merasa tidak mendapatkan jaminan dari para pengurus negara. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur Lapindo yang tidak pernah diperhatikan para pengurus negara, para perempuan tangguh itu pun bergerak. Mereka tidak hanya menuntut jaminan kesehatan, tapi juga jaminan bagi pendidikan anak-anak mereka yang telah diabaikan negara.

    Bersama dengan sanitasi, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi pembangunan sumber daya manusia. Kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo dan gas hidrokarbon yang keluar bersamanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, khususnya kualitas air tanah dan udara di sekitar semburan. Ditambahkan dengan goncangan psikologis akibat krisis sosial dan ekologis, degradasi itu berujung pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang jelas mengganggu proses belajar-mengajar anak-anak, yang lagi-lagi diabaikan oleh aparatus negara.

    Melalui Sanggar Alfaz dan kelompok Ar-Rohmah, warga tetap berdaya meski negara alpa untuk memperhatikan kebutuhan mereka yang luput dari pemberitaan media arusutama yang seolah-olah gagal “move on” dari liputan tentang persoalan “pelunasan ganti rugi.”

    Persoalan materiil memang penting untuk dituntaskan, namun itu baru lapisan terluar dari tragedi ini. Masih ada inti problem yang tak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan, yaitu: kolusi negara dan korporasi yang berdampak pada pengabaian kebutuhan dan kepentingan warga sipil. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS – Sudah sembilan tahun warga korban luapan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menderita. Mereka tidak hanya kehilangan rumah, tanah, dan kampung halaman, tetapi juga hak-hak asasi sebagai manusia ataupun warga negara. Pemerintah wajib memulihkan hak itu dan tidak hanya fokus pada penanganan semburan lumpur.

    Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Muhammad Nurkhoiron mengatakan, sejak Januari lalu pihaknya melakukan riset penanganan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Pihaknya membuat kajian atas tanggung jawab negara dalam penyelesaian hak-hak para korban.

    “Kami melakukan audiensi dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Bupati Sidoarjo Syaiful Ilah dan pihak terkait lainnya. Hasil kajian sementara, penanganan terhadap korban lumpur sebatas penanggulangan semburan,” ujarnya.

    Hingga kini belum ada upaya konkret pemerintah untuk memulihkan hak warga korban lumpur seperti hak mendapatkan akses ekonomi berupa lapangan pekerjaan yang layak, pendidikan, kesehatan, kartu identitas, dan memulihkan kembali kehidupan sosial mereka. Dari tiga tahap pemulihan, yakni rehabilitasi, ganti rugi, dan rekonstruksi, belum satu pun yang terpenuhi.

    Pemerintah masih berkutat pada upaya pelunasan pembayaran ganti rugi terhadap warga korban lumpur. Itu pun hingga kini belum ada kejelasan kapan dana talangan sebesar Rp 781 miliar yang sudah dialokasikan dalam APBN itu dicairkan.

    “Dana talangan ini untuk membantu warga korban mendapatkan hak ganti rugi atas tanah dan rumah yang tenggelam oleh semburan lumpur. Hak ganti rugi ini merupakan kewajiban PT Lapindo Brantas, tetapi tidak kunjung dilunasi selama sembilan tahun,’ kata Nurkhoiron.

    Dia mengatakan, dari hasil audiensi dengan BPLS selaku ujung tombak penanganan korban lumpur, diperoleh fakta bahwa penanganan sebatas penanggulangan luapan dan pembuangan ke Kali Porong. Upaya pemulihan warga korban pada kondisi kehidupan mereka sebelum terkena bencana, sangat minim bahkan hampir tidak ada.

    “Kehadiran negara yang direpresentasikan melalui BPLS sebagai panitia ad hoc, masih dalam konteks fisik berupa pembangunan infrastruktur,” ujarnya.

    Sunarmi (42), warga korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, mengatakan, selama ini kehidupannya sangat susah. Keluarganya harus berpindah rumah karena mengontrak. Tidak hanya itu, dia dan suaminya kehilangan pekerjaan sebagai buruh pabrik karena perusahaan tempatnya bekerja tenggelam oleh lumpur.

    “Kini kami mengojek di atas tanggul untuk bertahan hidup. Selama ini tidak ada perhatian dari perusahaan ataupun pemerintah untuk memulihkan kehidupan kami seperti sebelumnya. Bahkan, uang ganti rugi yang menjadi hak dasar kami juga tidak dibayar,” kata Sunarmi.

    Rabu (13/5), ratusan warga korban lumpur Lapindo akan kembali berunjuk rasa. Sasaran kali ini Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. Tuntutannya masih sama, yakni pembayaran pelunasan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc.

    Warga korban lumpur kini kebingungan karena tidak tahu harus bertanya atau mengadu ke mana untuk menanyakan perkembangan proses pencairan dana talangan. Tak ada pihak yang memberikan sosialisasi ataupun bisa dikonfirmasi. (NIK)

    Sumber: Harian Kompas, 13 Mei 2015, hlm. 22.

  • Di Atas Monumen Petaka Industri Migas

    Di Atas Monumen Petaka Industri Migas

    Salah satu fenomena sosial baru yang menyusul semburan lumpur Lapindo adalah maraknya kunjungan publik ke Porong. Para pengunjung itu tidak hanya berdatangan dari wilayah di sekitar Sidoarjo, beberapa datang jauh-jauh dari luar Jawa dan bahkan luar negeri. Mereka datang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, beberapa juga mengabadikan sebuah momen langka: kehadiran mereka di atas monumen petaka industri migas di republik ini.

    Foto-foto: Henri Ismail/PorosPhoto; Teks: Anton Novenanto

    Unduh versi PDF di sini.

    This slideshow requires JavaScript.

     

     

  • Muasal Lumpur Lapindo

    Muasal Lumpur Lapindo

    Judul Komik: Muasal Lumpur Lapindo

    Dicetak oleh: RTJ Publishing | SeblatKomik

    Komikus: Rahman Seblat

    Sumber cerita: Anton Novenanto, Mujtaba Hamdi, korbanlumpur.info

    (more…)