Tag: BPLS

  • Ternyata Ganti Rugi Lapindo Cair setelah Lebaran

    SIDOARJO – Perjanjian pinjaman dana talangan untuk pelunasan sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo memang telah diteken pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tapi, itu tidak berarti mimpi korban lumpur untuk segera terlunasi sisa ganti ruginya sebelum Lebaran bisa terwujud. Sebaliknya, jalan mereka untuk mendapatkan pelunasan masih panjang dan berliku.

    Betapa tidak, proses validasi belum juga separo jalan. Hingga Senin (13/7) proses validasi baru mencapai 1.175 berkas. Padahal, berkas korban lumpur yang belum lunas ada 3.337. Di sisi lain, Lebaran sudah berada di depan mata.

    Memang hari ini (14/7) ada secuil kabar gembira. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat M. Basoeki Hadimoeljono direncanakan hadir di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo. Hanya, mereka hadir bukan untuk mencairkan dana sisa ganti rugi ke korban lumpur.

    ”Besok (hari ini, Red) memang ada agenda di pendapa. Tapi, itu bukan untuk pencairan, melainkan penyerahan berkas perjanjian yang ditandatangani pemerintah dan PT MLJ kepada BPLS,” kata Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo kemarin.

    Jumat malam (10/7) pemerintah memang telah menekan perjanjian dengan PT MLJ. Pemerintah diwakili menteri keuangan, sedangkan Lapindo diwakili Presiden Lapindo Brantas Setia Sutrisna dan Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla.

    Dengan penandatanganan itu, pemerintah secara resmi memberikan pinjaman Rp 781,6 miliar kepada Lapindo. Dana itulah yang bakal dikucurkan kepada korban lumpur yang sudah menanti pelunasan sembilan tahun. Tapi, dana tersebut belum bisa dicairkan dalam waktu dua hari ke depan sebelum Idul Fitri tiba.

    Menurut Dwinanto, seusai penyerahan berkas perjanjian antara pemerintah dan MLJ, BPLS tidak langsung bekerja mengucurkan dananya. Mereka akan melakukan pengumpulan berkas yang telah divalidasi untuk dikirim ke Jakarta. ”Rencananya, pada 22 Juli kami mengumumkan nama-nama yang validasinya sudah tuntas dan dananya bisa segera dicairkan,” terangnya.

    Seusai pengumuman tersebut, BPLS memberikan waktu hingga tujuh hari untuk proses klarifikasi jika ada data yang tidak tepat. Baru setelah itu dana bisa dicairkan. ”Mengacu proses pembayaran korban di luar peta area terdampak, pencairan akan dilakukan dalam waktu 14 hari kerja setelah pengumuman. Paling cepat akhir Juli sudah cair,” jelas Dwinanto.

    Jika dihitung dari tanggal pengumuman nominasi nama-nama yang validasinya sudah komplet pada 22 Juli nanti, pencairan paling cepat dilakukan pada 31 Juli. Waktu yang tentu tidak pendek bagi korban lumpur yang sudah bertahun-tahun menunggu. Sebab, mereka harus bersabar dan bersabar lagi. Padahal, sebelumnya mereka sangat berharap pelunasan sudah terealisasi sebelum Lebaran (17 Juli).

    ”Kenapa masih susah seperti ini? Terus terang kami ingin masalah ini segera selesai. Sebab, jika semakin berlarut, kami tidak bisa segera melunasi utang,” ungkap Maria Ulfa, korban lumpur asal Kedungbendo, Tanggulangin.

    Harapan untuk segera tuntas juga diungkapkan Kusumawati. Perempuan 45 tahun asal Jatirejo, Porong, tersebut berharap waktu pelunasan tidak diulur-ulur. ”Keinginan kami sederhana, kami ingin segala urusan kami dipermudah dan segera cair pelunasannya,” harap perempuan yang kini tinggal di Gempol, Pasuruan, itu.

    Keinginan korban lumpur tersebut mendapat dukungan Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo. Mereka memberikan penegasan agar pemerintah dan BPLS bisa mempercepat proses pencairan. Termasuk menyangkut validasi.

    Pansus lumpur menilai proses validasi berjalan sangat lambat. Padahal, proses tersebut bisa dijalankan lebih cepat kalau BPLS dan MLJ bersinergi lebih baik. Tidak saling menunggu. ”Proses ini seharusnya dipercepat lagi. Jangan lagi ada komunikasi yang tersumbat antara BPLS dan MLJ. Jika tidak dipercepat, bisa-bisa pelunasan semakin molor lagi,” desak Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPDR Sidoarjo Jauhari.

    Legislator asal Partai Amanat Nasional tersebut memang tidak memungkiri bahwa pencairan sulit dilakukan sebelum Lebaran. Sebab, waktunya sudah sangat mepet. Tapi, menurut dia, pencairan bisa dilakukan sesaat setelah libur Lebaran. ”Perjanjian sudah ditandatangani. Uang juga sudah ada. Jadi, pencairan seharusnya sudah bisa dilakukan secepatnya. Paling cepat sepekan setelah Lebaran lah,” tegasnya. (fim/c9/end)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20300/Ternyata-Ganti-Rugi-Lapindo-Cair-setelah-Lebaran

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Oleh: Anton Novenanto

    (Bagian terakhir dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan di sini)

    BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR Sidoarjo, atau BPLS adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur Lapindo melalui penerbitan Perpres 14/2007 pada 8 April 2007. Pembentukan BPLS menunjukkan betapa spesialnya kasus Lapindo dibandingkan bencana lingkungan lain di Indonesia. BPLS merupakan representasi negara dalam kasus Lapindo yang masih bekerja sampai saat ini.

    Secara garis besar, tugas BPLS tidak berbeda dengan Timnas: menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial dan infrastruktur (Perpres 14/2007, Pasal 1, Ayat 2). BPLS berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya itu kepada Presiden (Pasal 1 Ayat 3), namun segala arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Dewan Pengarah BPLS (Pasal 3 Ayat 1), bukan oleh Presiden. Ada perbedaan struktur pengorganisasian BPLS jika dibandingkan dengan Timnas yang berada di bawah supervisi yang diketuai Menteri ESDM. Dewan Pengarah BPLS diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum, Menteri ESDM hanya duduk sebagai anggota dewan tersebut. Struktur semacam ini menandai hal yang substansial dalam orientasi agenda kerja BPLS yang lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur; bandingkan dengan orientasi penanganan kecelakaan industri migas yang dilakukan Timnas (lihat tulisan sebelumnya).

    Perubahan itu dapat juga dilacak dalam peraturan perundangan yang melandasi Perpres 14/2007. Landasan hukum Keppres 13/2006 orientasinya adalah ‘industri migas’, sementara landasan hukum Perpres 14/2007 adalah ‘manajemen tata ruang’. Perpres 14/2007 disusun dengan ‘mengingat’ UU Tata Ruang No 24/2007, UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, UU Migas No. 22/2001, UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 jo UU No. 8/2005. Dengan demikian, seperti halnya Timnas, BPLS tidak sedang dibentuk atas logika ‘penanganan bencana’. Pada bagian ini, kita akan menelusuri bagaimana negara (c.q. BPLS) berperan untuk melebarkan bencana pembangunan dengan memfokuskan diskusi pada proses pemindahan penduduk secara paksa.

    Salah satu klausul penting Perpres 14/2007 adalah ihwal pembagian tanggung jawab penanganan masalah sosial kemasyarakatan antara pemerintah dan Lapindo. Perpres mengatur bahwa Lapindo ‘hanya’ bertanggung jawab untuk ‘membeli tanah dan bangunan’ warga yang termasuk dalam Peta 22 Maret 2007 (Pasal 15, Ayat 1) dan tanggung jawab atas wilayah di luar peta tersebut ‘dibebankan pada APBN’ (Pasal 15, Ayat 3). Perpres juga mengatur tentang pembagian kewajiban penanganan fisik antara Lapindo (yang dibebani biaya penanggulangan semburan lumpur dan pembuangan lumpur ke Kali Porong; Pasal 15, Ayat 5) dan pemerintah (yang menanggung biaya relokasi infrastruktur; Pasal 15, Ayat 6). Hingga kini, tidak pernah jelas dasar hukum dari pembagian tanggung jawab semacam itu.

    Hingga tulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahan atas Perpres 14/2007 melalui penerbitan peraturan presiden baru, yaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 September 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011 (Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan 8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Jika kita melihat struktur peraturan perundangan yang melandasi penerbitan revisi Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan bahwa revisi tersebut dilandasi oleh peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, a.l.: UU Keuangan Negara (17/2003), UU Perbendaharaan Negara (1/2004), UU APBN (2008, 2009, 2011, 2012, dan 2013). Hal semacam itu dapat dilihat dalam konteks bahwa revisi atas Perpres 14/2007 melibatkan penambahan biaya kompensasi untuk membeli wilayah ‘di luar peta’ yang juga harus dikosongkan akibat degradasi lingkungan yang akut. Pengosongan suatu wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Yang tak kalah menarik adalah, tentu saja, reduksi kewajiban Lapindo untuk membiayai upaya penanggulangan semburan dan pembuangan lumpur ke Kali Porong. Hal itu disampaikan dalam Perpres 40/2009 yang menghapus seluruh Pasal 15 Ayat 5, dan menambahkan upaya-upaya itu dalam Pasal 15 Ayat 6. Perpres 40/2009 juga menambahkan satu ayat yang berbunyi:

    Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN. (Pasal 15 Ayat 7)

    Dengan demikian, sejak Perpres 40/2009 keluar seluruh biaya penanggulangan lumpur Lapindo ditanggung pemerintah. Mengacu penggalan-penggalan data yang tersaji acak di website BPLS (bpls.go.id), dan Nota Keuangan APBN (Perubahan), kita bisa mengalkukasi secara sederhana jumlah dana yang dianggarkan pemerintah terkait penanganan lumpur Lapindo, yang sejak 2007 sampai 2015 secara akumulatif mencapai nilai Rp 11,72 trilyun (lih. Tabel 1). Anggaran tersebut disalurkan, terutama, melalui BPLS, dan ini berarti negara telah mengambil perannya dalam kasus Lapindo. Negara berperan aktif sebagai aktor utama yang mengatur: a) pembagian kewajiban penanganan bencana antara Lapindo dan pemerintah (Perpres 14/2007); b) mereduksi kewajiban Lapindo tersebut (Perpres 40/2009); dan c) mengambil alih kewajiban perusahaan dan membebankannya pada APBN. Yang paling kontroversial tentunya adalah peran negara sebagai legitimator pemindahan paksa penduduk dengan cara menerbitkan peta-peta baru, seperti yang akan kita bahas setelah ini.

    Tabel 1. APBN untuk Lapindo
    Tabel 1. APBN untuk Lapindo

    ***

    TIMNAS MENAMAI PETA 22 Maret 2007 dengan ‘peta area terdampak’. Baik representasi Lapindo ataupun aparatus negara akan selalu merujuk pada istilah tersebut peta itu bila sedang berbicara tentang area ‘terdampak’ lumpur Lapindo. Secara naif, mereka menyebut wilayah di luar peta 22 Maret bukan sebagai ‘area terdampak’ lumpur Lapindo, hanya ‘tak layak huni’. Sekalipun beda istilah, praktik yang terjadi di lapangan tetap sama: pemindahan penduduk dari hunian mereka secara paksa, dan proses itu dilegitimasi dengan peta baru yang menjadi lampiran revisi atas Perpres 14/2007.

    ‘Wilayah 3 Desa’ – Revisi pertama atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 48/2008 (17 Juli 2008), mengatur tentang penambahan wilayah baru yang harus dikosongkan untuk kebutuhan pembangunan tanggul dan saluran pembuangan sampai Kali Porong. Istilah yang populer untuk menyebut wilayah tersebut adalah ‘wilayah 3 Desa’ merujuk pada 3 (tiga) desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) di Kecamatan Jabon. Mekanisme yang diterapkan bagi para penduduk ketiga desa tersebut adalah seperti yang berlaku pada penduduk ‘dalam peta’, jual beli tanah dan bangunan. Hanya saja pembelinya bukan lagi Lapindo, tapi pemerintah. Nilai tukar aset bagi wilayah ini mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh Lapindo (Pasal 15b Ayat 6), atau yang jamak disebut ‘harga Lapindo’.

    Perpres 48/2008 juga mengatur bahwa status tanah dan bangunan yang dibeli tersebut akan menjadi ‘Barang Milik Negara’ (Pasal 15c Ayat 1) yang dikelola oleh Menteri Keuangan dan digunakan oleh BPLS (Pasal 15c Ayat 2). Akan tetapi, dalam proses jual beli aset di wilayah ‘3 Desa’ tersebut PP Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum No. 36/2005 jo PP 65/2006 tidak berlaku (Pasal 15b Ayat 4) yang ini menunjukkan ketidakjelasan landasan hukum dan tujuan pembelian tanah tersebut. Untuk memperjelas wilayah mana saja yang harus dikosongkan, sebuah peta baru dibuat oleh BPLS. Pengosongan wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Berdasarkan data yang tersaji di website BPLS, terdapat 1.804 berkas klaim masuk dari wilayah ‘3 Desa’ tersebut. Sampai Desember 2012, 1.793 berkas dinyatakan sudah lolos verifikasi dengan nilai tukar total mencapai Rp 627,78 milyar dan 1.768 berkas sudah lunas dibayar (senilai Rp 511,32 milyar). Beberapa berkas yang bermasalah, sehingga tidak lolos verifikasi, dipicu oleh sengketa tanah seputar kepemilikan dan juga jenis tanah (sawah atau pekarangan). Selain itu, persoalan tanah komunal (seperti, tanah kas desa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial) juga menyisakan pertanyaan pada siapakah yang berhak atas kompensasi mengingat penduduk tercerai-berai di hunian barunya.

    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)
    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)

    ‘Wilayah 9 RT’ – Revisi kedua atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 40/2009 (23 September 2009) mencantumkan wilayah baru yang dimasukkan sebagai area ‘tidak layak huni’. Wilayah ini kemudian populer dengan sebutan ‘wilayah 9 RT’, mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) di tiga desa (Siring, Jatirejo, dan Mindi) yang terkena dampak deformasi tanah dan munculnya semburan gas berbahaya (Pasal 15b Ayat 1a). Wilayah ‘9 RT’ harus dikosongkan segera dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 15b Ayat 8), dan bagi penduduknya pemerintah akan memberi bantuan sosial (uang kontrak rumah, tunjangan hidup, dan biaya evakuasi) (Pasal 15b Ayat 9).

    Perpres 40/2009 tidak menyebutkan tentang hak warga untuk menerima kompensasi atas tanah dan bangunan mereka. Warga hanya diminta untuk segera mengosongkan wilayah tersebut. Kompensasi bagi warga di wilayah ini baru diatur dalam Perpres 68/2011 tentang perubahan ketiga atas Perpres 14/2007 (27 September 2011). Mekanisme kompensasi yang berlaku tetap sama, jual beli tanah dan bangunan (Pasal 15b Ayat 3), penghitungan nilai kompensasi juga disamakan dengan wilayah sebelumnya. Dan pada bulan Oktober 2011, BPLS merilis sebuah peta baru yang mencantumkan ‘wilayah 9 RT’. Data di website BPLS menyebutkan bahwa dari total 789 berkas klaim ‘wilayah 9 RT’ yang masuk, 769 berkas telah lolos verifikasi (senilai Rp 436,80 milyar). Pada Desember 2012, sejumlah 757 berkas (Rp 376,07 milyar) sudah terbayar. Sisanya masih bermasalah pada hal yang sama, a.l.: sengketa kepemilikan, debat luas dan jenis tanah (sawah/pekarangan), dan tanah komunal.

    2012 12 00 Peta kerja small
    Peta Kerja Oktober 2011

    Wilayah 66 RT’ – Perpres 68/2011 mencantumkan pembentukan ‘Tim Terpadu’ yang dibentuk oleh Dewan Pengarah BPLS untuk mengkaji wilayah terkena dampak lumpur Lapindo (Pasal 15b Ayat 1b). Hasil kajian tim tersebut adalah pemetaan wilayah baru yang harus segera dikosongkan karena dinyatakan sebagai wilayah tak layak huni dalam Perpres 37/2012 tentang perubahan keempat atas Perpres 14/2007 (5 April 2012). Wilayah baru tersebut dikenal dengan ‘wilayah 65 RT’ mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) yang harus dikosongkan yang kali ini mencakup 8 (delapan) desa/kelurahan, yaitu: Besuki, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Gempolsari, Kalitengah, dan Wunut.

    Pada 8 Mei 2013, terbit Perpres 33/2013 tentang perubahan kelima atas Perpres 14/2007 yang merinci batas-batas wilayah yang sebelumnya sudah diatur dalam Perpres 37/2012 dan menambahkan 1 (satu) RT di Kelurahan Porong yang kemudian membuat wilayah baru itu sekarang disebut ‘wilayah 66 RT’. Selain merinci batas-batas dan penambahan wilayah baru, Perpres 33/2013 mengatur kompensasi tanah wakaf yang menjadi kewenangan Kementerian Agama (Pasal 15b Ayat 10).

    Untuk wilayah ’66 RT’, BPLS menargetkan sekitar 5.000 berkas klaim masuk. Sampai Desember 2012, BPLS menerima 4.422 berkas klaim dengan nilai tukar mencapai Rp 451,93 milyar, dan baru 3.556 berkas yang terbayar (Rp 261,33 milyar). Dengan demikian, diperkirakan masih ada sekitar seribu berkas lagi yang menjadi tanggung

    Peta 5 April 2012
    Peta 5 April 2012

    an pemerintah. Sayang, website BPLS tidak mencantumkan data mutakhir tentang kelanjutan proses pembayaran tersebut.

    ***

    PEMINDAHAN PAKSA BESAR-BESARAN lain yang dilakukan oleh negara, namun luput dari amatan publik adalah terkait pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur. Relokasi infrastruktur mensyaratkan pembebasan lahan baru untuk pembangunan, dan dengan demikian menandai fase lain pemindahan paksa akibat lumpur Lapindo. Untuk merelokasi infrastruktur (jalan tol dan jalan raya), pada Juli 2007 ditentukan luasan lahan yang dibutuhkan. Penentuan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/260/KPTS/013/2007. Menurut rencana awal tersebut, infrastruktur baru akan melintasi wilayah di 15 (limabelas) desa yang meliputi 11 (sebelas) desa di Kabupaten Sidoarjo dan 4 (empat) desa di Kabupaten Pasuruan. Luas lahan yang dibutuhkan mencapai 132,16 ha. Namun, setelah melakukan penghitungan riil dan beberapa kesepakatan dengan instansi yang lain, pada April 2010 disepakati bahwa lahan yang dibutuhkan ‘hanya’ 123,77 ha.

    Kebutuhan lahan untuk relokasi
    Kebutuhan lahan untuk relokasi

    Pengurangan itu meloloskan Desa Kludan di Kabupaten Sidoarjo dari proyek pembebasan lahan itu. Namun, sebagian warga di 14 (empatbelas) desa yang lain harus merelakan tanah dan bangunan mereka untuk digantikan dengan infrastruktur jalan raya dan jalan tol (lihat Peta Relokasi Infrastruktur). Sepuluh desa/kelurahan di Kabupaten Sidoarjo yang yang terkena dampak relokasi infrastruktur adalah Desa Kali Sampurno, Desa Kali Tengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin, Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Kesambi, Kelurahan Juwet Kenongo, Kelurahan Porong, dan Desa Kebon Agung di Kecamatan Porong, serta Desa Kedungcangkring di Kecamatan Jabon. Dan empat desa di Kabupaten Pasuruan adalah Desa Carat, Desa Gempol, Desa Kejapanan, dan Desa Legok di Kecamatan Gempol.

    Seperti halnya proyek pembangunan infrastruktur makro lainnya, beberapa permasalahan sempat tercatat terkait proses pengosongan lahan dan pembangunan relokasi infrastruktur yang dilakukan BPLS tersebut. Yang paling kentara adalah tingginya nilai kompensasi yang diminta sebagian warga dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pemerintah. Beberapa warga meminta kompensasi setara ‘harga Lapindo’, yang berlaku untuk tanah dan bangunan dalam Peta 22 Maret 2007. Beberapa warga lain, menuntut nilai yang lebih tinggi lagi karena aset mereka terletak di pinggir jalan utama. Beberapa tanah status kepemilikannya dipegang oleh banyak orang yang berujung pada sengketa internal sehingga mempersulit proses pemberian kompensasi. Pelbagai masalah terkait pembebasan lahan tersebut berdampak pada pembangunan jalan (tol maupun arteri) secara parsial. Infrastruktur baru dibangun terputus-putus dalam 4 (empat) paket, dan baru menjadi satu kesatuan sehingga bisa beroperasi penuh pada Maret 2012.

    Percepatan pembangunan infrastruktur baru, menggantikan infrastruktur lama yang terendam lumpur Lapindo, dilandasi lebih oleh motif ekonomi, yaitu mengembalikan nadi transportasi dari/ke Pelabuhan Tanjung Perak ke/dari wilayah industri besar di Jawa Timur bagian Selatan dan Timur. Dan atas nama ‘kepentingan umum’ itulah lagi-lagi rakyat harus dikorbankan dengan cara pemindahan paksa. Negara, lagi-lagi, hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi proses yang tidak bakal terjadi jika saja negara tidak pernah memberi izin Lapindo untuk melakukan pengeboran migas di kawasan padat huni.

    Peta Infrastruktur 2010 lowres

    ***

    PRESIDEN JOKOWI TELAH memerintahkan jajaran menteri di kabinetnya untuk memenuhi kontrak politik yang disepakatinya pada korban Lapindo, memberikan pinjaman bersyarat pada Lapindo yang tidak mampu melunasi kewajibannya membayar aset warga yang dimasukkan dalam ‘area terdampak’ lumpur Lapindo. Jumlah pinjaman tidak main-main, Rp 781,69 milyar. Syarat yang diberikan adalah Lapindo harus menyerahkan 13.327 berkas aset warga sebagai jaminan dan Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan pinjaman tanpa bunga itu. Jika Lapindo gagal mengembalikannya, aset akan diambil alih negara –yang sebenarnya adalah keputusan yang paradoks, karena seperti sudah dibahas sebelumnya, mengacu pada UU Pokok Agraria No 6/1956, tanah yang dibeli Lapindo itupun secara hukum statusnya adalah tanah negara; bagaimana mungkin negara menyita asetnya sendiri (Novenanto 2015a; 2015b).

    Aksi negara menalangi hutang Lapindo itu telah diklaim sebagai ‘kehadiran negara’ yang dianggap telah absen selama ini. Namun, seperti disampaikan dalam rangkaian tulisan ini, negara adalah aktor penting dalam kasus Lapindo. Negara telah hadir, bahkan sebelum pengeboran Sumur Banjar Panji 1, dengan memberi izin pengeboran migas di kawasan padat huni. Dengan demikian, negara telah berperan dalam penentuan lokasi terjadinya suatu bencana industrial. Bahkan, negara tidak pernah mengawasi kegiatan ‘industri berbahaya’ itu. Peran aktor-aktor negara semakin kentara dengan menerbitkan peta area terdampak dan melegitimasi pemindahan paksa para penghuninya melalui penerbitan Perpres 14/2007 dan juga revisi terhadapnya. Tidak hanya itu, negara juga telah melegitimasi perluasan pemindahan paksa terkait proyek relokasi infrastruktur yang rusak. Untuk penanganan dampak lumpur Lapindo, negara telah menganggarkan dana sebesar Rp 11,72 trilyun; dana yang sebenarnya bisa digunakan untuk pengembangan di sektor lain.

    Kasus Lapindo bukanlah sekadar masalah bencana lumpur panas menyembur di kawasan padat huni. Kasus Lapindo adalah pembuktian kebobrokan pengelolaan industri migas di negeri ini, tidak hanya pada proses perizinan tapi juga tata kelola penanganan kecelakaan industrial yang riskan terjadi. Oleh karena itu, satu-satunya ketidakhadiran negara dalam kasus Lapindo adalah untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada Lapindo yang telah melakukan kesalahan fatal dalam industri migas yang penuh resiko. (habis)

  • BPKP Rampungkan Verifikasi Korban Lumpur Lapindo

    BPKP Rampungkan Verifikasi Korban Lumpur Lapindo

    TEMPO.CO, Surabaya: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) membenarkan bahwa proses verifikasi data korban lumpur Lapindo secara prinsip telah selesai. “Secara konsep sementara sudah,” kata Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Timur Hotman Napitupulu kepada Tempo, Selasa, 10 Maret 2015.

    Akan tetapi, kata Hotman, hal tersebut belum dibicarakan dengan Kementerian Pekerjaan Umum. Hotman mengatakan verifikasi tersebut sudah dibicarakan dengan BPKP pusat.

    Hotman menambahkan, saat ini dia belum bisa memastikan kapan BPKP berkoordinasi dengan Kementerian PU. Karena itu, Hotman enggan memberikan keterangan secara detail terkait dengan hasil verifikasi.

    Verifikasi data korban lumpur Lapindo yang dilakukan BPKP Provinsi Jawa Timur telah selesai sehingga BPKP pusat saat ini sedang menyusun laporan hasil verifikasi yang dilakukan sejak awal Maret itu. “Sudah selesai (proses verifikasi), sekarang BPKP sedang proses penyusunan laporan, dan saya tidak tahu kapan selesainya,” kata juru bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Dwinanto Hesty Prasetyo.

    Menurut Dwinanto, setelah penyusunan selesai, laporan itu akan langsung diserahkan kepada pimpinan BPKP pusat serta lembaga yang meminta verifikasi, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum. Karena itu, BPLS tidak menerima laporan itu karena langsung diserahkan ke pemerintah pusat.

    Tugas BPLS, kata Dwinanto, hanya berusaha mendampingi BPKP saat proses verifikasi serta membantu semua kebutuhan yang mungkin diperlukan oleh BPKP. “Sehingga kami tidak tahu hasil laporan lengkapnya,” kata dia.

    Laporan itu, kata Dwinanto, bisa berbentuk dokumen atau berkas-berkas yang disusun oleh BPKP atau hanya berupa laporan yang akan dipresentasikan di hadapan Menteri PU.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/11/058648893/BPKP-Rampungkan-Verifikasi-Korban-Lumpur-Lapindo

  • Sejumlah Persoalan Hantui Pencairan Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    Sejumlah Persoalan Hantui Pencairan Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS.com — Pencairan dana talangan untuk pelunasan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur Lapindo di area terdampak di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, semakin dekat. Namun, sejumlah persoalan perlu dituntaskan terkait validasi data yang disampaikan PT Lapindo Brantas dan negosiasi dengan perusahaan.

    Dwinanto Hesti Prasetyo dari Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), di Sidoarjo, Minggu (22/2), mengatakan, hingga saat ini verifikasi data korban lumpur masih terus dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim. Data korban yang sudah terbayar juga diverifikasi ulang supaya valid.

    ”Selain mengadakan verifikasi di lapangan, BPKP membuka pengaduan dan mempersilakan warga korban lumpur untuk menyampaikan persoalan yang mereka hadapi,” ujar Dwinanto.

    Dwi mengatakan, sejak verifikasi data disosialisasikan BPKP, banyak warga korban yang mendatangi kantor BPLS. Ada yang ingin memastikan apakah datanya sudah tervalidasi, tetapi tidak sedikit yang mengaku belum terverifikasi sama sekali oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar PT Lapindo Brantas.

    Persoalan lain, ada 100 warga korban lumpur yang tercatat sudah mendapat ganti rugi dalam bentuk penggantian rumah tinggal di Perumahan Kahuripan Nirvana Village. Namun, hingga saat ini atau hampir sembilan tahun, rumah yang dijanjikan belum dibangun.

    Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan pentingnya verifikasi data korban lumpur karena data yang disampaikan PT MLJ tidak disertai lampiran yang menjelaskan secara rinci. Verifikasi pun penting agar pembayaran sesuai dengan proporsi penerima ganti rugi.

    ”Verifikasi harus dilakukan ulang untuk menghindari salah hitung, salah ukur, dan salah pendokumentasian. Karena itu, sebelum anggaran dicairkan, verifikasi ulang harus dituntaskan,” ujar Khofifah, di Sidoarjo, Sabtu.

    Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu mengatakan, dana talangan untuk pelunasan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur sudah disahkan dalam Undang-Undang APBN Perubahan 2015, Jumat lalu. Besaran nilainya Rp 781 miliar.

    Saat ini pemerintah mengerjakan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) sesuai dengan paparan data yang disampaikan PT Lapindo Brantas dan PT MLJ. Targetnya, dalam minggu ini DIPA sudah selesai Apabila sesuai dengan rencana pemerintah, pencairan dana talangan paling cepat dilakukan akhir Februari 2015.

    Sesuai dengan laporan MLJ, tunggakan pembayaran terhadap warga korban lumpur di peta area terdampak yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas mencapai 3.337 berkas tanah dan bangunan. Total nilai tunggakan Rp 781 miliar. (NIK)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/02/23/17323231/Sejumlah.Persoalan.Hantui.Pencairan.Ganti.Rugi.Lumpur.Lapindo

  • BPLS Buat Tanggul Porong yang Baru

    BPLS Buat Tanggul Porong yang Baru

    Sidoarjo, beritasatu.com – Ancaman melubernya lumpur panas Lapindo akibat hujan deras yang setiap hari mengguyur wilayah Porong dan sekitarnya di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur (Jatim), membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) harus bekerja keras mengalirkan lumpur ke Kali Porong.

    Elevasi lumpur bercampur air hujan di sebelah barat atau yang berdekatan dengan rel kereta api (KA) dan Jalan Raya Porong yang hanya berjarak 60 cm dari bibir tanggul kolam yang menjulang hingga ketinggian 12 meter, sudah terancam meluber.

    “Lumpur itu harus kita aduk, kita encerkan sehingga bisa kita alirkan ke Sungai Kali Porong. Kita sudah terjunkan empat unit kapal keruk bekerja di tengah dan dua kapal keruk bekerja di timur dan tiap hari terus melaksanakan aktivitasnya,” ujar Humas BPLS Sidoarjo, Dwinanto Prasetyo, yang dikonfirmasi, Kamis (19/2).

    Guna meminimalisasi volume lumpur hingga mencapai bibir tanggul yang tingginya 12 meter dan meluber ke rel dan Jalan Raya Porong, BPLS sudah mengoperasionalkan enam kapal keruk, ujarnya lagi.

    BPLS, menurut dia, juga membuat alur atau aliran air di sebelah barat dan tengah agar air dan lumpur yang disemburkan dari sumur utama, bisa langsung menuju ke arah selatan. Tanggul di titik 73B itu disebutkan, kini dibiarkan dan BPLS membangun tanggul baru mulai titik 67 hingga titik 73. Pembangunan tanggul baru itu diperkirakan pekan depan sudah selesai dengan ketinggian 12 meter lebih.

    BPLS tetap mengutamakan pengamanan tanggul di sebelah barat yang berbatasan langsung dengan rel KA tujuan Surabaya-Banyuwangi, Surabaya-Malang, serta Jalan Raya Porong. Karena kedua jalur tersebut merupakan jalur vital yang harus diselamatkan agar perekonomian Jatim tetap berjalan sebagaimana mestinya.

    Sementara itu, Gubernur Jatim Soekarwo sehari sebelumnya mengemukakan, bahwa pasca pembayaran ganti rugi korban semburan lumpur panas Lapindo cukup lama terkatung-katung, diperkirakan sebelum akhir 2015, akan selesai.

    Jaminan tersebut, kata Pakde Karwo, panggilan akrab Soekarwo, diberikan karena uang untuk membayar sisa ganti rugi sebesar Rp 781 miliar yang menjadi tanggungan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar PT Lapindo Brantas Inc., bangkrut dan terpaksa harus ditutupi pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.

    Aries Sudiono

    Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/250666-bpls-buat-tanggul-porong-yang-baru.html

  • BPLS Diskriminatif Tangani Korban Lumpur Lapindo

    BPLS Diskriminatif Tangani Korban Lumpur Lapindo

    22 Januari 2015 | JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – BPLS dianggap tebang pilih dalam memberikan ganti rugi bencana lumpur di Sidoarjo. Untuk itulah anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sadarestuwati mendesak Kepala BPLS Suroso agar bisa adil dan pilih kasih.

    Menurutnya selama ini BPLS terlalu mendiskriminasi para pengusaha yang tokonya atau pabriknya terendam lumpur Lapindo. Estu, panggilan Sadarestuwati, mengatakan bahwa para pengusaha ini korban semburan lumpur, sehingga juga perlu diberikan ganti rugi oleh negara, dan tidak hanya rakyat kecil saja.

    “Sertifikat tanah dan bangunan mereka sejak tahun 2008 sudah diserahkan kepada BPLS, tapi sampai sekarang belum dapat ganti rugi. Gimana ini, bahkan ada kabar sertifikat mereka digadai di bank, tapi sepeser pun mereka tidak dapat juga,” kata Estu dalam rapat dengar pendapat dengan Ketua BPLS, di Gedung KK V Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/1/2015).

    Estu, minta BPLS memasukan nama para pengusaha ke dalam daftar penerima ganti rugi yang sesuai dengan harga yang sudah dipatokan oleh pemerintah. Jangan sampai hal ini menyesengsarakan mereka yang notabene rakyat Indonesia juga.

    “Saya minta mereka para pengusaha harus dimasukkan nama-namanya, nanti saya dan anggota Komisi V lainnya akan mengontrol masalah ini sampai benar-benar tuntas. Dan harus ada pertemuan khusus antara BPLS dengan para pengusaha dalam waktu dekat ini,” tegasnya.

    Selain Estu, ada pula wanita anggota Komisi V lainnya yang secara lantang meminta langkah nyata BPLS untuk para korban lumpur lapindo yaitu Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi PAN. Yasti menyatakan semua korban lumpur harus mendapatkan haknya tanpa dipersulit oleh BPLS maupun pemerintah.

    “Mereka para pengusaha ini di mata hukum sah mendapat rugi. Wajar pak Ketua BPLS kalau mereka menuntut haknya. Karena selama tujuh tahun tidak mendapat rugi. Kita sebagai manusia harus juga punya hati nurani, memikirkan nasib mereka,” pungkasnya. (ris)

    Mandra Pradipta

    Sumber: http://teropongsenayan.com/5357-estu-dan-yasti-tuding-bpls-diskriminatif-tangani-korban-lumpur-lapindo

  • BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    Kamis, 22 Januari 2015 | Sidoarjo (Antara Jatim) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo meminta rekening warga korban lumpur di dalam peta areal terdampak tidak terblokir menyusul adanya rencana penerimaan ganti rugi kepada warga.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto, Kamis, mengatakan, sampai dengan saat ini pihaknya masih terus memberikan imbauan kepada warga supaya rekening mereka tidak sampai terblokir oleh pihak bank.

    “Karena kalau sampai rekening tersebut terblokir pihak bank maka proses pengurusannya akan lebih lama lagi sementara rencana pencarian ganti rugi kepada warga kurang sedikit lagi,” katanya.

    Ia mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan jual beli aset warga apakah melalui BPLS atau melalui teknis yang lainnya.

    “Kami masih belum memiliki petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan dana tersebut. Namun demikian, kami siap jika memang dilibatkan dalam proses pembelian aset warga oleh pemerintah,” katanya.

    Menurutnya, saat ini pihaknya juga melakukan koordinasi dengan pihak Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc terkait dengan jumlah berkas yang belum diselesaikan oleh mereka.

    “Kami juga melakukan koordinasi dengan mereka terkait dengan pembayaran tersebut, kami juga melakukan pendataan terhadap warga yang belum terlunasi. Kami yakin warga yang tanahnya belum terlunasi sudah memiliki kelengkapan berkas,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah pusat akan mengambil alih pembayaran ganti rugi kepada warga korban lumpur lapindo dari Minarak Lapindo Jaya. Jumlah dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah tersebut mencapai lebih dari Rp700 miliar. (*)

    Reporter: Indra Setiawan | Redaktur: Endang Sukarelawati

    Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/150034/bpls-minta-rekening-warga-tidak-terblokir

  • DPR Akan Kaji Dana Talangan Lapindo

    DPR Akan Kaji Dana Talangan Lapindo

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU Pera), Basuki Hadimuljono menyatakan akan anggarkan Rp781 miliar untuk dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo. Terkait hal ini, DPR akan kaji dulu sebelum menentukan akan menyetujui atau menolak penganggaran dana tersebut.

    “Tentu nanti akan dilihat apa alasannya. Setiap dana dari APBN itu harus dipertanggungjawabkan karena dana dari masyarakat,” jelas Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja pada ROL, Kamis (8/1).

    Dalam hal ini, pemerintah harus bisa memberikan landasan yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan terkait penganggaran dana talangan tersebut. Selain itu, DPR juga akan mengevaluasi sejauh mana perkembangan dan efektivitas dana yang sudah diberikan pemerintah terkait masalah lumpur Lapindo ini.

    Ini dilakukan sebagai salah satu upaya agar tetap ada akuntabilitas dan transparansi anggaran yang diberikan. Pemerintah juga harus bisa memastikan sampai kapan dana ini akan dikucurkan. Kerasionalan pemerintah dalam pengajuan dana talangan ini akan menjadi acuan bagi DPR

    “DPR bisa menerima kalau alasannya itu bisa dipertanggungjawabkan, objektif, dan masuk akal. DPR punya kewenangan untuk menerima atau menolak,” lanjut Hakam.

    Jika penganggaran dana talangan ini disetujui oleh DPR, Hakam menilai lebih baik dana talangan ini disalurkan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan tidak langsung ke Lapindo. Pasalnya BPLS merupakan kepanjangan tangan negara.

    Menurut Hakam, Korporasi, dalam hal ini Lapindo, harus bertanggungjawab dalam konteks pertanggungjawaban korporasinya. Pemerintah dalam hal ini hanya bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat yang terkena dampak lumpur Lapindo. (C01)

    Ichsan Emrald Alamsyah

    Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/08/nhv87e-dpr-akan-kaji-dana-talangan-lapindo

  • Jangan Bayar Ganti Rugi via Lapindo

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Korban lumpur Lapindo menolak pencairan ganti rugi yang akan ditalangi pemerintah disalurkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Warga sudah berpengalaman. Saat pembayaran ganti rugi oleh PT Minarak dulu, banyak calo berkeliaran.

    “Pokoknya jangan sampai lewat Minarak, banyak calonya,” kata Sulastri, korban lumpur Lapindo, di rumahnya, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Selasa, 23 Desember 2014.

    Ia yakin calo pasti meminta beberapa persen dari hasil pencairan yang didapatkan korban. Jika terjadi, itu akan sangat menyakitkan, mengingat uang ganti rugi itu sudah ditunggu sejak delapan tahun lebih dan pas-pasan untuk membeli rumah di Sidoarjo dan sekitarnya. “Kalau bagi warga yang paham, mungkin bisa menolak. Tapi warga yang tidak paham dan sudah tua, pasti gampang tertipu.”

    Menurut Sulastri, ganti rugi paling tepat dibagikan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan harus diurus langsung oleh warga yang bersangkutan atau keluarganya. “Yang penting jangan orang lain, karena khawatir ada hal-hal yang tidak diinginkan,” tuturnya. Sani, 70 tahun, korban lainnya yang rumahnya juga tergenang lumpur, berharap pemerintah mempercepat ganti rugi itu dan bisa segera dicairkan oleh warga.

    Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan masih akan menunggu keputusan Presiden Joko Widodo mengenai pencairan uang ganti rugi itu. Proses pencairan hingga aliran dananya akan diputuskan oleh pemerintah. Korban lumpur lapindo, ujar dia, tidak bisa menolak jika sudah ada keputusan Presiden Jokowi. Peraturan ini bukan hanya untuk satu kelompok, tapi untuk semua korban. “Kalau warga yang lain ada yang mau gimana? Jangan asal bicara, proses ini akan diatur oleh keppres.”

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/23/058630486/Jokowi-Jangan-Bayar-Ganti-Rugi-via-Lapindo-Kenapa

  • Jokowi Disarankan Ubah Status Bencana Lapindo

    TEMPO.CO, Surabaya – Wakil Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Ahmad Nawardi menyarankan agar status lumpur Lapindo yang telah ditetapkan menjadi bencana nasional diubah. “Sebaiknya Bapak Presiden Jokowi meninjau ulang tentang status ini,” ujar Nawardi ketika dihubungi, Kamis, 11 Desember 2014.

    Menurut Nawardi, status bencana nasional merupakan sebuah kesalahan yang dibuat oleh pemerintah mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akibatnya, ganti rugi lumpur Lapindo hanya dibebankan kepada pemerintah.

    Nawardi mengatakan seharusnya pembayaran ganti rugi korban Lapindo juga dibebankan kepada PT Minarak Lapindo. Karena itu, Nawardi menyarankan Jokowi membuat kajian-kajian yang nantinya dapat digunakan untuk mengganti status bencana nasional tersebut.

    Adapun Lapindo berkewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 781 miliar kepada warga dan Rp 500 miliar kepada pengusaha terkait.

    Hasil rapat Kementerian Pekerjaan Umum bersama BPLS, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta Pemerintah Kabupaten Sidoarjo merekomendasikan pelunasan sisa pembayaran ganti rugi Lapindo sebesar Rp 781 miliar oleh pemerintah. Dana tersebut bisa diambil dari APBN setelah mendapat persetujuan dari Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat presiden.

    EDWIN FAJERIAL

  • Perbaikan Tanggul Lumpur Lapindo Dilanjutkan

    SIDOARJO, KOMPAS.com — Kondisi beberapa titik tanggul penahan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (9/12), masih kritis. Oleh karena itu, perbaikan dan pembangunan tanggul baru dilanjutkan. Sebab, kondisi kolam sudah penuh menyusul semburan lumpur yang aktif dan tanggul umumnya berumur delapan tahun sehingga rawan saat hujan deras.

    Dwinanto Hesti Prasetyo dari Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengatakan, titik 73B yang jebol, Minggu (30/11), sudah diperbaiki secara manual dengan memasang tumpukan karung pasir dan sasak bambu. Tanggul darurat itu diharapkan mampu menahan laju aliran lumpur yang mengarah ke Sungai Ketapang dan permukiman warga di Desa Kedungbendo dan Desa Gempolsari.

    ”BPLS melanjutkan pembangunan tanggul baru di titik 73 sepanjang 1,7 kilometer dengan tinggi 5 meter di atas permukaan laut dan lebar 15 meter. Saat ini pembangunan baru mencapai 100 meter dan ketinggian 1,5-2 meter,” ujar Dwinanto.

    Tanggul baru ini akan menghadang laju aliran lumpur dari tanggul jebol di titik 73B. Selain itu, tanggul baru merupakan solusi permanen terhadap kritisnya seluruh tanggul di titik 73 dan tanggul titik 68 di Desa Gempolsari yang jebol dua bulan lalu dan hanya diperbaiki sementara.

    Sementara itu, Bupati Sidoarjo Syaiful Illah optimistis pemerintah pusat menyelesaikan persoalan ganti rugi warga korban lumpur pada 2015. Keyakinannya tersebut berdasarkan pada pernyataan Gubernur Soekarwo setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Bogor pekan lalu.

    ”Awal 2015 pemerintah akan membeli aset-aset milik Lapindo yang sudah ada surat-suratnya,” ujar Syaiful kepada wartawan di Sidoarjo.

    Kewajiban pembayaran ganti rugi yang belum diselesaikan oleh PT Lapindo Brantas Inc mencapai Rp 1,3 triliun dengan rincian Rp 781 miliar untuk warga korban dan Rp 500 miliar untuk korban dari kalangan pengusaha.

    Siap jual aset

    Dari Makassar, Sulawesi Selatan, Presiden Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, Lapindo siap jika pemerintah membeli aset di wilayah terdampak untuk menyelesaikan ganti rugi kepada warga. Saat ini Lapindo menyiapkan sertifikat tanah dan rumah sebanyak 7.000 di atas total luas tanah sekitar 200 hektar untuk jual-beli ini.

    ”Kami setuju dengan opsi pemerintah jual-beli aset dan masih menunggu seperti apa model jual-belinya. Kami siap berbicara. Secara internal sedang mempersiapkan segala sesuatu, termasuk masalah hukum agar proses ini legal,” kata Andi.

    Ia mengatakan, saat ini Lapindo sudah kesulitan untuk menyelesaikan ganti rugi kepada warga hingga menyambut baik opsi pemerintah untuk membeli aset Lapindo. Petinggi dan pengambil keputusan di perusahaan ini kini koordinasi sambil menunggu keputusan pemerintah terkait jual-beli.

    Hingga kini Lapindo sudah menyelesaikan ganti rugi sebesar Rp 3,8 triliun meliputi lebih dari 13.000 keluarga. Sisanya tertunggak Rp 700 miliar-Rp 800 miliar meliputi lebih dari 3.000 keluarga. (NIK/REN)

  • Tagih Janji, Korban Lapindo Surati Menteri PU

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Warga dan pengusaha korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang ada di dalam peta area terdampak mengirimkan surat kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) serta ke Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.

    Isi surat berupa permintaan bertemu Menteri Basuki untuk menanyakan kelanjutan hasil rapat Dewan Pengarah BPLS di Jakarta beberapa waktu lalu. “Suratnya sudah kami kirim, dan sampai sekarang belum ada balasan,” kata kuasa hukum korban Lapindo, Mursyid Murdiantoro, Jumat, 21 November 2014.

    Hasil rapat Dewan Pengarah yang dihadiri Bupati Sidoarjo Saiful Illah dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang dilakukan di pengujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu merekomendasikan penyelesaian ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo itu bakal ditanggung pemerintah.

    Namun ternyata dana ganti rugi itu tidak dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2015. “Kami tidak mau pembahasan ganti rugi berjalan mundur, karena pemerintahan baru hanya tinggal eksekusi,” kata Mursyid.

    Mursyid berharap suratnya segera direspons agar dapat digelar pertemuan yang melibatkan pihak-pihak terkait, yaitu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, BPLS serta warga dan pengusaha korban lumpur. “Jadi tidak perlu melibatkan pemerintahan daerah untuk membahas kelanjutan ganti rugi itu, hanya khusus yang berkepentingan saja,” ujarnya.

    Bila upaya menagih janji pemerintah itu tak membuahkan hasil, Mursyid akan mengajukan uji materi lagi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan Lapindo membayar ganti rugi. “Kami sudah siapkan semua data dan berkas-berkasnya jika mau uji materi lagi,” kata dia.

    Menurut Mursyid, korban Lapindo mendesak pemerintah memasukkan skema ganti rugi ke dalam APBN Perubahan, sehingga rekomendasi Dewan Pengarah dapat dilaksanakan. “Kalau ganti ruginya tidak dimasukan dalam APBNP, maka hasil rapat Dewan Pengarah itu sia-sia,” katanya.

    PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar PT Lapindo Brantas hingga saat ini masih menyisakan tunggakan sebesar Rp 1,2 triliun yang terdiri dari Rp 786 miliar untuk korban di dalam peta area terdampak dan Rp 470 miliar bagi pengusaha yang pabriknya tenggelam. “Semoga pemerintahan yang baru dapat mengatasi masalah ini,” ujarnya.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/11/21/058623544/Tagih-Janji-Korban-Lapindo-Surati-Menteri-PU

  • Tanggul Lumpur Luber Terus, BPLS Tak Bisa Lakukan Penanggulan

    Surabayanews.co.id – Tanggul lumpur titik 73 di Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo terus meluber. Air dan lumpur dari kolam penampungan mengalir deras ke pemukiman warga. Namun demikian, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tetap belum bisa melakukan penanganan maksimal karena tidak diperbolehkan warga korban lumpur.

    Lebih dari sebulan ini, tanggul lumpur di titik 73 berulangkali meluber. Luberan berupa air dan lumpur yang mengarah ke sisi utara dan timur menuju sungai Ketapang dan pemukiman warga desa Gempolsari serta Kalitengah.

    Meski saat ini belum terlalu membahayakan karena luberan masih sedikit, namun jika dibiarkan akan memenuhi sungai Ketapang dan menggenangi pemukiman warga. Sayangnya, BPLS tidak bisa berbuat banyak untuk mengantisipasi hal tersebut.

    “Intinya warga ini tidak mau neko-neko, kendalanya ini kan ditanggul tapi tidak boleh. Kalau versi saya, silahkan ditanggul asalkan tidak merugikan. Karena ini kalau tidak ditanggul, ini mengacam warga dan sebenarnya ini tidak layak untuk dihuni. Misalkan kalau pemerintah mau tidur disini, apa layak, kan ini ndak layak dihuni,” kata seorang warga, Sutrisno.

    Hingga kini BPLS masih tidak diperbolehkan melakukan penanganan lumpur oleh warga sebelum ganti rugi mereka dilunasi. Warga menginginkan pemerintahan yang baru agar serius melakukan penanggulangan lumpur dan membayar ganti rugi warga.

    “Hari ini (14/11) sudah terjadi beberapa luberan, mulai dari awal September kemarin. Sementara ini kami hanya bisa memberi karung pasir,” kata Humas BPLS, Dwinanto.

    Hampir lima bulan ini BPLS dilarang melakukan penanggulangan lumpur oleh korban lumpur karena belum dilunasinya ganti rugi warga. Akibatnya, tanggul sebelah barat yang berbatasan dengan rel kereta api dan jalan raya Porong, kritis dan berpotensi jebol. Bahkan sejumlah titik tanggul di wilayah timur dan utara beberapa kali meluber. (ris/rid)

    Sumber: http://surabayanews.co.id/2014/11/14/5303/tanggul-lumpur-luber-terus-bpls-tak-bisa-lakukan-penanganan.html

  • Basuki Minta Jokowi Bayar Korban Lapindo

    TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono ingin pemerintah menindaklanjuti permintaan menyelesaikan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo. Dalam rapat koordinasi yang digelar pada Selasa sore, 28 Oktober 2014, Basuki melapor kepada Kementerian Koordinator Perekonomian bahwa Tim Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) telah mengirim surat kepada Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat sebagai presiden untuk menyelesaikan masalah lumpur Lapindo.

    “Ini belum diputuskan Bapak Presiden yang lalu, hari ini saya laporkan ke Menko, Menko bilang oke, satu-dua hari ini akan dilaporkan ke Bapak Presiden,” katanya saat ditemui seusai rapat di gedung Kementerian Koordinator Perekonomian.

    Dia berharap pemerintah segera menyelesaikan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Apalagi Indonesia saat ini telah memasuki musim hujan. “Karena, kalau enggak, ini sudah musim hujan. Di sana enggak bisa bekerja, luber (nanti lumpurnya),” katanya.

    Mahkamah Konstitusi, kata dia, meminta pemerintah ikut menyelesaikan masalah lumpur Lapindo. Sesuai dengan keputusan Tim Pengarah BPLS, dia berharap pemerintah mengambilalih urusan sisa pembayaran PT Minarak Lapindo. Dengan melunasi sisa pembayaran, pemerintah dapat menjadikan daerah yang terkena dampak lumpur Lapindo tersebut menjadi milik negara.

    Selain menggelontorkan Rp 781 miliar untuk membayar 20 persen dari 640 hektare lahan, pemerintah juga mengeluarkan Rp 200 miliar untuk merawat tanggul Lapindo. “Tetapi sekarang belum bisa dikerjakan karena belum beres,” katanya.

    Menurut dia, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, negara dinyatakan salah jika mengabaikan masalah Lapindo. “Mendiskriminasi rakyatnya karena menelantarkannya. Itu kajian hukum. Kami dapat rekomendasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Menurut Kemkumham, kalau (masalah lumpur Lapindo) terkatung-katung, justru negara disalahkan,” ujarnya.

    ALI HIDAYAT

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/10/29/078617786/Menteri-Basuki-Minta-Jokowi-Bayar-Korban-Lapindo

  • Jokowi Diharapkan Selesaikan Soal Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS — Pemerintahan baru diharapkan melanjutkan upaya penyelesaian pembayaran ganti rugi terhadap korban lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkatung-katung selama hampir sembilan tahun. Supaya lebih efektif, pemerintah sebaiknya melanjutkan proses sebelumnya.

    Harapan itu disampaikan Bupati Sidoarjo Syaiful Illah kepada pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebelumnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal menyelesaikan permasalahan sehingga mengakibatkan ribuan korban lumpur menderita.

    ”Pemerintah harus bertanggung jawab menyelesaikannya. Dan, sesuai dengan hasil rapat kerja Dewan Pengarah BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) sudah disepakati pembayaran tunggakan akan dilakukan oleh pemerintah,” ujar Syaiful, Rabu (22/10/2014).

    Dia mengatakan, pembayaran sisa ganti rugi harus dilakukan oleh pemerintah karena PT Lapindo Brantas Inc yang seharusnya bertanggung jawab sudah tidak mampu bayar. Perusahaan yang bergerak di bidang migas itu mengalami kesulitan keuangan.

    Alasan lain adalah kemanusiaan. Korban lumpur sudah menderita selama bertahun-tahun karena luberan lumpur panas menenggelamkan rumah dan permukiman warga. Lumpur juga mengubur sejumlah pabrik sehingga mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan.

    Lumpur yang menyembur sejak 29 Mei 2006 sudah menenggelamkan 621 hektar kawasan di Kecamatan Tanggulangin, Jabon, dan Porong. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2007 tentang BPLS menyatakan, PT Lapindo harus bertanggung jawab membayar ganti rugi warga di area terdampak, yakni 621 hektar.

    Sebelumnya, hasil rapat Dewan Pengarah BPLS di Jakarta memutuskan mengusulkan pemerintah membayar sisa ganti rugi. Ada dua pilihan, pertama pemerintah memberikan dana talangan dan menagihnya kepada Lapindo. Kedua, pemerintah membayar sisa ganti rugi yang belum dibayar dan tanah yang dibayar tersebut menjadi aset negara.

    Sisa ganti rugi yang belum dibayar Rp 1,25 triliun dengan rincian Rp 781 miliar untuk warga dan sisanya, sekitar Rp 500 miliar, hak pelaku usaha yang tempat usahanya tenggelam oleh lumpur. Namun, saat rapat, sisa ganti rugi yang diusulkan dibayar hanya Rp 781 miliar.

    Warga korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Sulastro, berharap penyelesaian masalah ganti rugi itu masuk dalam program prioritas pemerintahan Joko Widodo yang akan direalisasikan pada 100 hari pertama kerja. ”Kami menagih janji Pak Jokowi sebagaimana tertuang dalam kontrak politik saat berkampanye sebagai calon presiden di atas tanggul di Desa Siring. Beliau telah berjanji menyelesaikan pembayaran ganti rugi,” kata Sulastro. (NIK)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/10/23/16024531/Jokowi.Diharapkan.Selesaikan.Soal.Ganti.Rugi.Lumpur.Lapindo

  • 2 Bulan Tanggul Lumpur Diblokade Warga, BPLS Angkat Tangan

    SIDOARJO – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) selama dua bulan ini tidak bisa beraktivitas menangani lumpur. Pasalnya, warga korban lumpur masih melarang segara aktivitas penanganan lumpur sebelum ganti rugi mereka dilunasi.

    Sejauh ini tidak ada solusi untuk menyelesaikan masalah itu, karena Lapindo Brantas Inc tak kunjung melunasi ganti rugi korban lumpur.

    Akibatnya, kekuatan tanggul lumpur tinggal menghitung hari saja karena kondisi di kolam lumpur semakin penuh.

    Humas BPLS, Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan pengerjaan tanggul dihentikan warga sejak tanggal 18 Mei lalu. Pihaknya tidak bisa berbuat banyak, bahkan tak berani beraktivitas karena khawatir terjadi gesekan antara korban lumpur dan petugas dari BPLS.

    Sedangkan kondisi lumpur saat ini, lanjut Dwinanto, air di permukaan lumpur memang terlihat meninggi.

    Hal tersebut mengindikasikan bahwa semburan dari pusat semburan lumpur lebih banyak didominasi oleh air dibandingkan dengan lumpur.

    Sejak musim penghujan usai, tidak ada pengaliran lumpur ke Sungai Porong. Sehingga, pond hanya menampung volume yang dikeluarkan dari pusat semburan.

    “Praktis selama dua bulan kita tidak bisa membuang lumpur ke Sungai Porong,” jelas Dwinanto.

    Jika pembuangan lumpur ke Sungai Porong terhenti, otomastis lumpur akan menumpuk di kolam penampungan (pond).

    Jika sewaktu-waktu hujan turun, dikhawatirkan lumpur penuh dan akan meluber menggenangi Jalan Raya Porong dan rel KA jurusan Surabaya-Malang.
    Apa yang dilakukan agar warga memperbolehkan BPLS memperkuat tanggul lagi.

    Dwinanto mengaku, pihaknya sudah seringkali berdialog dengan warga korban lumpur. Namun, mereka mengaku tidak akan mengijinkan BPLS memperkuat tanggul sebelum ganti rugi aset mereka dilunasi.

    Sampai saat ini,  Lapindo Brantas Inc berkewajiban membayar sebanyak 13.237 berkas yang kini tinggal 3.348 berkas dengan nilai pembayaran sebesar Rp786 miliar.

    Dana yang dikeluarkan Lapindo untuk membayar aset warga sebesar Rp3,043 triliun. Atau dengan kata lain, sebanyak 75% berkas sudah lunas pembayarannya.

    Sedangkan total dana yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk menangani lumpur sampai kini sudah sekitar Rp8 triliun.

    Dengan rincian, untuk penanganan semburan lumpur sekitar Rp5 triliun dan membayar aset warga sekitar Rp3 triliun.

    Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Emir Firdaus mengatakan, jika saat ini penyelesaian ganti rugi belum juga tuntas. Apalagi, belum ada kejelasan dari Lapindo kapan akan melunasi sisa pembayaran ganti rugi tersebut.

    Emir menjelaskan penyelesaian ganti rugi korban lumpur perlu ada campur tangan pemerintah.

    Sayangnya, sampai saat ini belum ada kepastian dari pemerintah kapan akan mengucurkan dana talangan untuk pelunasan ganti rugi.

    “Kita berharap secepatnya ada dana talangan dari pemerintah untuk korban lumpur,” tandasnya. (Abdul Rouf)

    Sumber: http://daerah.sindonews.com/read/882472/23/2-bulan-tanggul-lumpur-diblokade-warga-bpls-angkat-tangan

  • Korupsi Lahan Lapindo: Mantan Kades M. Siroj Diancam 20 Tahun Penjara

    LENSAINDONESIA.COM: Mantan Kepala Desa Besuki, M. Siroj akhirnya didudukan di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Surabaya, sebagai terdakwa dugaan korupsi jual beli lahan terdampak Lumpur Lapindo.

    Tak tanggung-tanggung dalam perkara ini, M Siroj diancam oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sidoarjo dengan hukuman 20 tahun penjara.

    Berdasarkan nota dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Irwan setiawan, kasus yang menjerat terdakwa bermula saat pemerintah melakukan proses ganti rugi lahan terdampak milik ratusan kepala keluarga di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo pada 2010 lalu.

    Saat itu, Siroj masih menjabat Kades dan terbukti melakukan penyelewengan dana yang diperuntukkan bagi warga. Ia didakwa menggelapkan dana hingga 30 persen, dari total yang digelontorkan pemerintah untuk para warga yang masuk dalam peta terdampak.

    “Perbuatan terdakwa sebagaimana dalam dakwaan dan audit yang dilakukan merugikan keuangan negara hingga Rp 603 juta,” ujar Irwan (20/2/2014).

    Modus yang dilakuan Siroj, memanipulasi luas lahan milik warga yang hendak dibeli BPLS. Salah satunya sawah milik warga seluas 2.435 meter, disebutkan seluas 1.334 meter persegi. Padahal saat itu, BPLS mematok Rp 1 juta per meter persegi.

    “Padahal sesuai data yang terdapat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), luas lahan milik warga mencapai 2.435 meter persegi. Dengan demikian terdakwa terbukti melakukan penggelapan disertai penipuan,” tegasnya.

    Atas perbuatan itu, JPU menjerat pasal berlapis kepada terdakwa. Yakni pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak pidana korupsi dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.

    Terkait penangguhan penahanan dari tahanan kejaksaan ke tahanan kota, sebagaimana diajukan penasihat hukum terdakwa, majelis hakim yang diketuai Sri Herawati menjelaskan akan mempelajari dulu berkasnya.

    “Kami terima surat permohonannya, tapi akan dipertimbangkan dulu,” jelasnya.

    Siroj dilaporkan warganya pada awal 2012 lalu, kerena dicurigai telah memainkan dana dari BPLS. Setelah dilaporkan ke Polres Sidoarjo, ia ditetapkan sebagai tersangka September 2012.@ian

    Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2014/02/22/korupsi-lahan-lapindo-mantan-kades-m-siroj-diancam-20-tahun-penjara.html

  • Ribuan Petani datangi BPN Tuntut Penyelesaian Konflik Agraria

    Metrotvnews.com, Jakarta: Sebanyak 11.000 petani dari seluruh Indonesia, Selasa (11/2) siang, mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan melakukan demonstrasi.

    Ribuan petani tersebut bergabung dalam Koaliasi Anti Korupsi Pertanahan bersama para aktivis dari berbagai organisasi seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sawit Watch, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan lain sebagainya.

    “Kedatangan kami hari ini memprotes maraknya penerbitan izin Hak Guna Usaha (HGU), perpanjangan izin HGU serta tidak sesuainya prosedur penerbitan izin terhadap lahan milik rakyat yang kami nilai sarat dengan korupsi. Selain itu kami turut memprotes perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan menjadi tambang, tambang di atas hutan lindung, kami selama ini menyoroti banyak Izin Usaha Pertambangan (IUP) terbit tanpa prosedur yang benar yang selama ini menjadi penyulut konflik agraria,” tutur Direktur Walhi Eksekutif Nasional Abetnego Tarigan di sela-sela demonstrasi tersebut.

    Berbagai kasus manipulasi dan dugaan korupsi pertanahan yang dicatat Walhi antara lain Manipulasi ganti kerugian perkebunan PTPN. Di PTPN VII Cinta Manis, menurut laporan masyarakat, dahulu tanah-tanah tersebut adalah tanah perkebunan dan garapan penduduk desa. Pada saat perkebunan masuk, mereka diminta menyerahkan lahan dengan ganti kerugian sebesar Rp 150.000 per hektare.

    Namun, oleh Tim Pembebasan Tanah mereka mendapatkan pembayaran hanya Rp 25.000 per hektare. “Selain itu, luas garapan tanah mereka juga menjadi berkurang jauh alias dibayar tidak sesuai ukuran yang sudah diukur. Selanjutnya, terjadi juga rekayasa dalam penggantian kerugian dimana penerima ganti rugi tanah juga banyak dimanipulasi,” jelas Abetnego.

    Selain PTPN, Walhi turut mencatat kasus Pemerasan dan ganti kerugian BPLS-Lapindo. Pemerintah membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Berdasarkan Perpres 48/2008, area terdampak yang ditetapkan oleh pemerintah, tanah-tanahnya akan dibeli oleh pemerintah dan karena itu para penduduk harus mengosongkan area terdampak tersebut. Pemerintah melalui BPLS menetapkan bahwa harga pembelian yakni Harga Rumah dan Bangunan  Rp. 1,5 juta per meter, Tanah Kering/Pekarangan dibeli Rp. 1 juta per meter dan Tanah Sawah 120 ribu per meter.

    Selisih dari harga yang jauh tersebut yang telah membuat banyak oknum menarik pungutan kepada rakyat.  “Pendeknya, ada oknum-oknum dari badan ini, pemerintah desa, dan BPN yang memungut fee dari warga, bahkan disertai ancaman jika tidak memberi fee, maka tanahnya akan ditetapkan sebagai tanah sawah,” tukas Abetnego. (Sorya Bunga Larasati)

    Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2014/02/11/2/215145/Ribuan-Petani-datangi-BPN-Tuntut-Penyelesaian-Konflik-Agraria

  • SBY dan Menteri PU Dituding Bohongi Korban Lumpur Lapindo

    Dalam aksinya mereka menuntut Presiden SBY segera menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU), Djoko Kirmanto, untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi kepada lima warga di luar area terdampak semburan lumpur panas Sidoarjo.

    “Pembayaran ganti rugi itu harus sesuai Perpres No. 48 tahun 2008, Keputusan PN Sidoarjo No 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo dan Keputusan PN Jakarta Pusat dengan Nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST,” kata Thoyib, koordinator Forum Korban Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (FK-BPLS).

    Menurut Thoyib, pada mulanya warga korban lumpur diperas oleh oknum pejabat BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Pemda Sidoarjo. Akhirnya, pada tahun 2009, warga yang menolak memberi sejumlah uang kepada pejabat BPLS, Pemda, BPN diancam bahwa status tanahnya ditetapkan sebagai tanah sawah/basah.

    Ancaman itu benar-benar-benar terjadi. Ada 5 warga yang mempunyai 7 bidang tanah di desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, yang tanahnya ditetapkan sebagai tanah basah.

    Padahal, menurut Thoyib, objek tanah yang dimiliki oleh kelima warga tersebut adalah tanah darat/kering. Hal itu juga sesuai dengan peta BPLS, yaitu peta di luar area terdampak, yang merupakan tanah darat. Selain itu, warga juga mengantongi bukti lain sepertid PBB dan sertifikat kepemilikan tanah.

    Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden No.48 Tahun 2008 dan SK Kepala BPLS No.43/KPTS/BPLS/2008 tentang besaran bantuan sosial kemasyarakatan dengan harga tanah dan bangunan disebutkan bahwa tanah darat 1.000.000/m2, tanah basah 120.000/m2dan bangunan 1.500.000/m2.

    Atas dasar itulah warga kemudian menempuh jalur hukum. Pada tahun 2011, Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo menetapkan status tanah tersebut sebagai tanah kering melalui putusan Nomor 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo. Namun, pihak BPLS mengabaikan putusan pengadilan tersebut.

    Tetapi perjuangan warga tidak berhenti. Mereka lalu menggugat Presiden dan Menteri PU sebagai Dewan Pengarah BPLS, juga BPLS sebagai pelaksana lapangan, ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. Akhirnya, PN Jakpus mengeluarkan putusan Nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST bahwa Menteri Pekerjaan Umum dan BPLS telah melanggar hukum dengan tidak membayar kewajiban penyelesaian pemenuhan hak korban lumpur melalui skema jual-beli tanah darat sesuai SK Kepala BPLS No.43/KPTS/BPLS/2008.

    Tak hanya itu, pada tanggal 31 Mei 2013, KPA bersama dengan FK-BPLS sempat menggelar aksi di depan kantor Kementerian PU. Saat itu Menteri PU Djoko Kirmanto berjanji menyelesaikan kasus tersebut.

    “Djoko Kirmanto berjanji akan menginstruksikan BPLS untuk segera membayar ganti rugi sesuai ketentuan. Tak hanya itu, ia berjanji tidak akan naik banding atas putusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan korban lumpur,” ujar Thoyib.

    Dalam perkembangannya, Menteri PU mengingkari janjinya. Selain tidak menyelesaian pembayaran ganti rugi sesuai ketentuan, Menteri PU juga melakukan langkah banding terhadap keputusan PN Jakpus.

    “Ini menunjukan tidak adanya itikad baik pemerintah dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum dan BPLS menyelesaikan kewajibannya memenuhi hak-hak korban lumpur sidoarjo. Jangan sampai BPLS mempraktekan bisnis kemanusiaan di atas penderitaan korban lumpur Sidoarjo dengan melakukan korupsi,” tegas Thoyib.

    Mahesa Danu

    Sumber: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131119/sby-dan-menteri-pu-dituding-bohongi-korban-lumpur.html

  • Ganti Rugi Belum Terbayar, Korban Lumpur Lapindo akan Wadul ke SBY

    Sidoarjo – Warga korban semburan lumpur Lapindo di luar peta terdampak akan mendatangi ke Istana Negara. Mereka akan wadul dan memohon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membantu menyelesaikan proses ganti rugi yang belum terbayarkan.

    “Saya akan ke Istana Negara memohon Pak SBY untuk membantu warga korban lumpur yang seharusnya sudah terbayar. Tapi sampai sekarang (ganti rugi) belum dibayar oleh BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo),” ujar Jaki (39), warga Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Sabtu (16/11/2013).

    Ada aset lima warga berupa bidang tanah seluas 1,7 hektar. Tanah tersebut terdiri dari milik Musriah seluas 1.550 m2, Marwah seluas 1.300 m2, Abdur Rosim seluas 4.100m2, Toyib Bahri seluas 1.921 m2 dan Hj Mutmainah seluas 8.100 m2.

    Aset mereka belum bisa diganti rugi, karena pada saat ikatan jual beli pada 2008 lalu, menurut BPLS tanah tersebut dinyatakan tanah basah. Untuk harga tanah basah sebesar Rp 120.000/m2. Sedangkan tanah kering (tanah darat) seharga Rp 1 juta/m2.

    Kemudian kelima warga ini mengajukan penetapan status tanah darat ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Pada 2010, PN Sidoarjo menetapkan tanah tersebut sebagai tanah darat dengan nomor putusan 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo tertanggal 12 Agustus 2010. Meski sudah ada putusan dari PN Sidoarjo, BPLS belum membayarnya dengan dalih tidak ada perintah membayarnya dari PN Sidoarjo.

    Warga pun kembali melayangkan gugatan ke PN Jakarta Pusat untuk menetapkan status tanah tersebut. PN Jakarta Pusat menetapkan tanah warga itu adalah tanah darat dengan nomor putusan 246-2250/PDT.D.2012/PN.JKT. Pusat.

    Berdasarkan keputusan-keputusan tersebut, pada Mei 2012 warga menemui Menteri PU Djoko Kirmanto yang juga Ketua Dewan Pengarah BPLS, di Kantor Kementerian PU. Warga disuruh pulang dan dijanjikan akan dibayar oleh BPLS. Namun sampai saat ini, warga BPLS juga belum membayarkan ganti ruginya.

    “Saya dan warga lainnya akan terus berusaha. Bahkan kalau perlu saya akan tidur di Istana sampai beliau (Presiden SBY) menemui warga,” terang anak dari Abdur Rosim ini.

    Jaki akan berangkat ke Istana Negara bersama empat warga korban lumpur lainnya. Mereka rencananya berangkat menggunakan kereta api dari Stasiun Pasar Turi Surabaya malam ini. (roi/bdh)

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/11/16/191931/2414975/475/ganti-rugi-belum-terbayar-korban-lumpur-lapindo-akan-wadul-ke-sby