Tag: BPLS

  • ANTARA – Kaukus DPR Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Lapindo

    "Wilayah empat desa ini sudah diusulkan dan mendapatkan persetujuan

    DPR
    RI

    tanggal 11 September 2008," kata Suripto yang juga Wakil Ketua Komisi III
    (bidang hukum) DPR itu.

    Menurut politisi PKS itu, kondisi keempat wilayah desa itu sudah sangat tidak
    layak huni lagi akibat dampak lumpur yang menyebabkan sumber-sumber penghidupan
    warga disana seperti sumur dan sawah, tidak dapat digunakan lagi.

    Tidak layaknya daerah tersebut juga dikarenakan munculnya bubble gas baru yang
    tidak terkendali. khususnya di Siring Barat, Mindi dan Jatirejo Barat serta
    penurunan tanah (land subsidience) sehingga banyak bangunan yang retak dan akan
    ambruk.

    Kaukus juga mendesak agar pembayaran pembelian tiga desa, yakni Besuki,
    Kedungcangkring dan Pejarakan yang juga diluar peta terdampak agar dilakukan
    secepatnya paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah berakhir. (*)

     

  • ANTARA – Semburan Lumpur Sidoarjo Diperkirakan Berlangsung 140 Tahunasus Lapindo Butuh Advokasi Internasional

    Dalam konferensi geologi internasional yang berlangsung 21-22 Oktober lalu,
    semua geolog internasional sepakat semburan lumpur Sidoarjo (Lusi), yang
    dikenal sebagai lumpur Lapindo adalah sebuah mud volcano yang biasa muncul
    akibat remobilisasi sedimen dan fluida cekungan bawah tanah.

    Gunung lumpur itu sudah tidak menjadi isu hangat lagi dalam konferensi geologi
    internasional yang berlangsung di Burlington House Piccadilly London. Namun isu
    pemicu terjadinya Mud Volcano menjadi fokus diskusi dalam pertemuan pakar
    geologi dunia itu.

    Beberapa geolog kelas dunia itu bahkan berpendapat, merasa beruntung karena
    bisa menjadi saksi dan mempelajari gunung lumpur raksasa yang sedang lahir dan
    tumbuh.

    Pada kesempatan itu juga dijelaskan bahwa gunung lumpur akibat remobilisasi
    lumpur bawah tanah itu sudah lama menjadi obyek penelitian ilmuwan global. Ilmuwan
    Eric Deville dari Perancis dalam membe
    rikan
    ceramah utamanya mengatakan, "mud volcano adalah sebuah sistem bumi agar
    lestari".

    Puncak sesi diskusi mengenai Lusi ketika Dr. Richard Davies dan ketiga temannya
    menyatakan bahwa semburan Lumpur Sidoarjo adalah akibat pemboran (drilling) BJP
    I.

    Namun peserta seminar Dr. Nurrohmat Sawolo ahli drilling dari PT Energi Mega
    Persada (EMP) langsung menepis hipotesa tersebut. Karena semua data yang
    dijadikan dasar penyimpulan Davies sangat beda dengan data drilling otentik
    yang dimiliki Lapindo. Padahal data versi Lapindo itu asli dan menjadi pegangan
    kepolisian dan kejaksaan RI dalam penyidikan kasus Lusi, katanya.

    Pembicara dari

    Indonesia
    ,
    Bambang Istadi menyimpulkan bahwa semburan Lusi bukan disebabkan oleh "underground
    blowout". "Dasarnya ada empat fakta berdasar data autentik
    Lapindo," jelasnya. Pertama, data rekaman tes temperatur dan sonan selama
    50 hari terhadap sumur BJP I menunjukan hasil menolak fenomena blowout. Fakta
    kedua tidak ada luberan, gas, steam, ataupun lumpur keluar dari Sumur BJP
    ketika dibuka.

    Fakta ketiganya adalah melalui re-entry diketahui mata bor tidak jatuh walau
    semburan yang berjarak 200 meter dari sumut BJP itu sudah berlangsung satu
    setengah bulan. Bila terjadi underground blowout pasti mata bor itu jatuh
    karena material lumpur yang keluar sudah jutaan ton.

    Fakta keempat tidak ditemukan "synthetic oil based drilling" dalam
    tes di berbagai titik survey semburan. "Semua fakta menunjukan sumur BJP
    masih sehat dan tidak terkoneksi dengan semburan," jelasnya.

    Peserta conference Dr. Christopher Jackson dari Imperial College London
    menyarankan solusi. "Harus segera ada kerjasama dan sharing data agar
    penyimpulan pemicu semburan Lusi menjadi benar," ujarnya.

    Sejak awal peserta geolog internasional yang datang dari Ame
    rika, Kanada, Perancis, Italy, Norwegia, Australia,
    German, Turki, Namibia, dan penjuru Inggris, Wales dan Skotlandia dalam
    konferensi ini sepakat bahwa Lusi sebuah mud volcano sebagai produk
    remobilisasi sedimen dan aliran fluida diwilayah cekungan bumi yang lemah.
    Karena itu semburan Lusi tidak bisa ditutup. (*)

     

  • Lapindo Belum Bayar Uang Muka Korban Lumpur

    Sidoarjo (ANTARA News) – Warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. baik yang mendukung program pembayaran ganti rugi dengan cash and carry maupun cash and resettlement kini makin resah, karena hingga kini belum mendapat transfer pencairan dana 20 persen uang muka.

    Sebelumnya, warga korban lumpur yang mengungsi di Pasar Porong Baru (PPB) juga resah, karena pasca Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) uang muka ganti rugi 20 persen, seharusnya 14 hari kemudian ditransfer, namun hingga kini tak kunjung masuk.

    Informasi yang dihimpun ANTARA News, Kamis menyebutkan, kini korban lumpur yang pro cash and resetlement pasca Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) akhir tahun 2007 sampai penandatangan uang kembalian tahun 2008, juga mengaku belum dapat transfer uang kembalian dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

    Warga sudah mengkonfirmasi ke PT MLJ, namun hanya dijawab PT MLJ kini sedang terimbas dampak krisis global.

    Amir Suhadak, salah seorang warga yang mendukung cash and resettelement mengatakan, sebetulnya jawaban PT MLJ itu menambah keresahan warga, karena warga khawatir tidak dibayar.

    “Berdasarkan ketentuan yang tertulis, maksimal pembayaran dua bulan, setelah tanda tangan. Tapi, hingga kini uang kembalian belum masuk ke rekening kami,” katanya.

    Menurut dia, sebelum Lebaran 2008, dirinya pernah menanyakan masalah ini ke kantor PT MLJ di Surabaya, dan dijanjikan setelah Lebaran. Namun, ternyata hingga kini belum cair.

    Sementara itu, Vice President Relation PT Lapindo Brantas Inc (LBI) Yuniwati Teryana mengakui krisis global membawa dampak pada perusahaannya. Namun, PT LBI tetap akan mengutamakan tanggung jawab kepada warga.

    “Lapindo akan tetap melunasi ganti rugi korban lumpur. Tanggungjawab kepada korban lumpur akan tetap menjadi prioritas,” katanya berjanji. (*)

    © Antara

  • Safety Sought From Sidoarjo Mudflow Agency

    lumpursungaiporong

    The Sidoarjo regency administration is seeking a guarantee of safety from the government-backed Sidoarjo Mudflow Handling Agency (BPLS) that the dumping of hot mud into the River Porong will not trigger floods.

    Since October, 2006, BPLS has redirected 69 million cubic meters of hot mud into the river, triggering sedimentation that could lead to floods during the rainy season, expected to start in November.

    Sidoarjo regent Win Hendrarso warned BPLS that the increasingly shallow water on the riverbed as a result of the sedimentation could cause the river to overflow during the rainy season and his administration did not want mudflow victims to suffer yet more from such an incident.

    “We don’t want to see floods as a result of a domino effect from the mudflow dump site. According to reports from the regency monitoring team and local people, residents are facing this threat because part of the river near Besuki village is now covered by mud,” he said when making a field tour to the mudflow-affected villages here on Tuesday.

    He also said his staff would ask BPLS to take risk-prevention measures in case local people faced flooding, in anticipation of possible floods during the rainy season.” I don’t want any more people to fall victim to a new disaster in the future.”

    Chairman of the expert team of the 10 November Institute of Technology (ITS) of Surabaya I Nyoman Sutantra said his team had frequently warned BPLS of the risks and that was why they had strongly opposed the dumping into the river.

    “If BPLS continues dumping the mud into the river, the regencies of Sidoarjo, Pasuruan and Surabaya will be inundated during the incoming rainy season,” he told The Jakarta Post.

    Sutantra deplored that BPLS has ignored the new method which his team had proposed as a better solution to stop the mud leaks and to handle the mud currently dumped into the river.

    The expert team has called on BPLS to reroute the mudflow into the lower wetlands which later could be developed into farmland but the agency ignored this because it could not access adequate funds to acquire the wetlands now used by local farmers for shrimp and fish ponds.

    Deputy chief of BPLS operational affairs Soffian Hadi defended the agency’s dump site policy, saying the river has functioned as the means for dumping the mud into the sea.

    “Even during the rainy season, it will be easier for the agency to dump the mud into the sea via the river,” he said adding that during the rainy season, a stronger current could take away at least 1,600 cubic meters per second into the sea.

    He said that the dumping of hot mud into the river has been reduced up to 40 percent and five heavy pumps were now deployed everyday to help push the stream of water to take the mud away.

    Indra Harsaputra, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/08/safety-sought-sidoarjo-mudflow-agency.html

  • Mud Victims Spooked by Own Ghost Towns

    PROLONGED MAKESHIFT LIFE: For nearly a year, 80-year-old mudflow victim Muana has lived in a makeshift hut erected along the defunct Porong toll road in Sidoarjo, East Java, beset by searing heat and numbing cold alternately, and hoping for a better life in the near future. She has urged the government to come up with the best solution for mudflow victims from the affected villages located outside the official map of affected areas. (JP/Indra Harsaputra)
    PROLONGED MAKESHIFT LIFE: For nearly a year, 80-year-old mudflow victim Muana has lived in a makeshift hut erected along the defunct Porong toll road in Sidoarjo, East Java, beset by searing heat and numbing cold alternately, and hoping for a better life in the near future. She has urged the government to come up with the best solution for mudflow victims from the affected villages located outside the official map of affected areas. (JP/Indra Harsaputra)

    Hundreds of houses in three villages were inundated with mud in Sidoardjo in February, and thousands of people were displaced from their homes, forcing them to live in makeshift tents erected along an abandoned toll road.

    While the sturdier structures in the three villages — Besuki, Kedung Cangkring and Renokenongo — were left inundated with mud and are now homes to various animals, the wooden houses were merely turned into rubble.

    “Most residents no longer have the courage to enter the ghost-like houses. We have left them to serve as silent witnesses to the disaster that has devastated not only our assets but also our community and future,” 54-year-old Paimin of Besuki told The Jakarta Post here Saturday.

    Another resident, 80-year old Muana, said that for the past eight months her family had lived without possessions and without hope.

    “I rely on my two children and their three grandchildren who are now staying with me in this bamboo hut,” she said.

    Muana’s 40-year-old daughter Munifah and 35-year-old son Ismael and their families have been living in the four meter by six meter hut since the mudflow submerged their makeshift houses in Besuki.

    They have made their livings as street vendors at a nearby housing compound ever since Lapindo Brantas Inc., an energy company that operates the mining site in Porong district that triggered the devastation, stopped distributing humanitarian aid last May.

    “We were hopeless and desperate when our aging mother contracted diarrhea. We had to borrow some money from neighbors so we could take her to a doctor at the nearby public health center,” said Munifah, who looks far older than her eight years.

    She said many people, including her mother, had contracted diarrhea after consuming water from ground wells that had been contaminated by toxic mud.

    Ismael said the village’s residents had received nothing from the government or Lapindo despite promises of immediate compensation for mudflow victims made by BPLS, the government agency tasked with handling the disaster.

    “BPLS and the village head have frequently come here to make sure that the government will pay the compensation soon but so far we have been given empty promises,” he said.

    Many people claiming they are refugees, he said, have filed complaints with BPLS and the local administration. They attempted to stage a protest against Lapindo, he said, but the company’s middlemen thwarted the attempt.

    He said the damage to his house and farmland had been assessed by the local government, and that he and all of the other village residents had been informed of the amount of compensation they were due, but that they had never received it.

    “We are not beggars but we have been left without answers. The government should have paid the compensation 14 days after the deal (on compensation payment) was signed,” he said, adding that the deal was signed in early August.

    Besuki, Kedung Cangkring and Renokenongo are among nine villages that were devastated by the February mudflow.

    Four villages were destroyed by a mudflow that hit on May 29, 2006, creating a giant lake of mud.

    Some of the residents of the four villages received 20 percent of the compensation promised to them. They continue to demand the remaining 80 percent.

    Some of the 600 residents of Renokenongo village currently living in makeshift shelters inside Porong market said they were disappointed Lapindo had broken its promise to pay the compensation last month.

    “Lapindo committed to paying the compensation once it had finished assessing the residents’ damaged assets in mid September. Yet, they have given no reasons for why the payments have been suspended,” said Pitanto, coordinator of the Renokenongo mudflow victims association.

    Pitanto also called on non-governmental and religious organizations to help encourage Lapindo and the government to immediately pay the compensation to the mudflow victims.

    BPLS spokesman Zulkarnaen said the government would disburse Rp 160 billion immediately to pay 20 percent of the total compensation to the residents of the three villages located outside the disaster location.

    “The compensation will be paid immediately to 1,481 victims from the three villages,” he said, but declined to name a date for the payment.

    Indra Harsaputra, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/20/mud-victims-spooked-own-ghost-towns.html

  • Victims Refuse to Sell Muddy Land to Lapindo

    Some 69 families in the East Java villages of Jatirejo, Siring and Renokenongo are standing their ground, refusing to sell their land as part of the compensation plan proposed by the energy company being held responsible for the mudflow disaster.

    “If we accept the proposal the company is offering, it will amount to turning our land into cash, but in principle that’s not what we want to do,” Ipung, a spokesperson for the villagers, told The Jakarta Post.

    Some 69 families in the East Java villages of Jatirejo, Siring and Renokenongo are standing their ground, refusing to sell their land as part of the compensation plan proposed by the energy company being held responsible for the mudflow disaster.

    “If we accept the proposal the company is offering, it will amount to turning our land into cash, but in principle that’s not what we want to do,” Ipung, a spokesperson for the villagers, told The Jakarta Post.

    Lapindo Brantas Ltd., a giant energy company belonging to the Bakrie family, has proposed compensation for the residents.

    “This land belonged to our ancestors and our ancestors entrusted it to us,” said Ipung, who was born in the village of Jatirejo.

    Jatirejo, Siring, and Renokenongo are three of seven villages affected by the Lapindo mudflow disaster which began when mud gushing from a mining site in Porong district, Sidoarjo regency, May 29, 2006.

    Initially, the four villages of West Siring, Jatirejo, Mindi, and Renokenongo were inundated. In February this year, three more villages, Besuki, Kedungcangkring and Pejarakan were likewise buried in hot mud that sprang out of new, adjacent leaks.

    In a matter of days, the Porong district villages, near the East Java capital of Surabaya, were wiped from the map. Since then, disaster victims have organized themselves into several forums to advocate for their rights.

    Ipung said his group of 69 families still refused to take any compensation offered by Lapindo.

    “They tried to first intimidate us then bribe us so we would take the compensation and sell our land.”

    He said further he was once visited by a stranger armed with a pistol and offered a bribe to stop encouraging other residents to decline Lapindo’s compensation offer. Despite his efforts, most disaster victims have accepted the initial compensation from the company, including some Jatirejo villagers.

    According to the two-phased offer, Lapindo paid out 20 percent of the full compensation in advance to all residents. Those with deeds were supposed to receive the remaining 80 percent in cash by June 2008; those without, should have received an offer of housing.

    However, Lapindo switched the second cash disbursement for titled victims with a new offer of existing housing in the Kahuripan Nirvana Village housing complex located in the Surabaya outskirts.

    Lapindo was supposed to pay the 80 percent in the form of land and housing only to people without land deeds.

    Some victims have rejected the offer because they feel living in a housing complex would disrupt their culture and traditions. “A housing complex doesn’t suit us because we used to live in the village far from the city and we depend on vast areas of land for our farming,” said Pitanto, a leader of the Renokenongo mudflow-victim group.

    The villagers have instead demanded Lapindo compensate them with land and housing of the same value that they lost, not with cash.

    “We ended up accepting the worst possible compensation scheme because of the pressure of trying to make ends meet,” Pitanto said.

    The compensation process is expected to be completed by the end of this year. Most of the mudflow victims hope either Lapindo or the government will pay the compensation soon so they can use it to buy land, rebuild their villages and start all over again.

    Faisal Maliki BaskoroThe Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/13/victims-refuse-sell-muddy-land-lapindo.html

  • Akhir Desa Renokenongo

    korbanlumpur.info – Bambang Yuli Usman (55 tahun) mengumpulkan barang-barang miliknya yang tersisa di tengah genangan air asin yang mulai masuk rumahnya di RT 07/02 Renokenongo. Selama ini dia bertahan di desa ini sebagai solidaritas bagi tetangga-tetangganya yang belum mendapat ganti rugi sepeserpun dari Lapindo.

    “Ini adalah hari terakhir saya di sini,” tuturnya dengan matanya yang sedih, kelopak matanya menghitam karena kurang bisa tidur.

    Meski masih banyak warga Renokenongo (baca: 400 keluarga) yang belum dibayar 20% harga aset mereka, sesuai peraturan presiden, namun Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) memaksakan diri untuk membangun tanggul yang akan mengubur desa Renokenongo secara pelan-pelan dengan lumpur.

    BPLS yang selama ini berkoar-koar berusaha meminimalisir korban dalam prakteknya ternyata bertindak sebaliknya. Mereka tidak berusaha memperbaiki timur tanggul cincin yang jebol sejak Agustus lalu dan membiarkan desa Renokenongo sedikit demi sedikit menjadi lautan air asin yang berasal dari pusat luapan lumpur.

    Sejak luapan lumpur, dua tahun lebih lalu, warga Renokenongo menjadi tercerai-berai sebagian mengungsi di pengungsian pasar baru porong, sebagian mengontrak di tempat lain dan sebagian masih tinggal di desa mereka meski rumah mereka banyak yang doyong akibat tanahnya ambles.

    Warga yang mengungsi di pasar belum mendapatkan uang sepeserpun dari Lapindo atas pembelian tanah mereka begitupun kebanyakan warga yang masih menetap di desa.

    Saat mulai penanggulan mereka memprotes supaya pembayaran diselesaikan dulu sebelum penanggulan namun protes warga ini tidak digubris baik oleh BPLS atau Lapindo. Bahkan dua warga Renokenongo, yakni; Danu dan putranya Anang ditangkap polisi Sidoarjo karena aksi ini.

    “Hingga kini mereka belum dibebaskan,” tutur Khalik Widodo (34 tahun) warga RT 07/02 Renokenongo.

    Khaliq adalah salah seorang warga yang belum mendapatkan 20% dari harga tanah dan bangunannya.

    “Ada tiga aset (pekarangan dan bangunan), milik bapak dan kakak saya yang belum dibayar sama sekali,” tutur Widodo.

    Meski sudah ditanggul, sebenarnya, Khaliq masih ingin bertahan meneruskan usaha jual pulsa serta pengisian air isi ulang miliknya sembari menunggu uang tanahnya. Namun dia tak lagi bisa meneruskan usaha tersebut karena aliran listrik ke rumahnya sudah dicabut.

    “Listrik di Renokenongo mulai dicabut pagi ini,” tutur Widodo.

    Lengkaplah sudah teror Widodo dan warga Reno yang masih mendiami rumahnya; setelah tanggul jebol dibiarkan, kemudian banjir air asin pelan=pelan menutup desa, orang yang protes ditangkap dengan alasan yang tak jelas, lalu  listrik diputus. Tak ada pilihan buat mereka selain pindah dengan sangat terpaksa.

    Untuk terakhir kali Widodo meminta supaya rumah dan kamar-kamarnya yang masih ada supaya difoto.

    “Buat kenang-kenangan,” dia bilang. Tak jauh dari rumahnya ada sebuah papan putih bertuliskan tinta merah, berbunyi, “selamat tinggal desaku.”

  • Pipa Baru Akan Dibikin, Pengungsi Tol Dipaksa Membongkar Rumahnya

    korbanlumpur.info – Kerangka rumah bambu lebar empat meter baru saja didirikan di timur ruas tol Porong-Gempol. Menjelang magrib empat pekerja bayaran Mahmudah (42 tahun) sibuk meratakan tanah yang lebih rendah di pinggir tol. Mereka musti bekerja keras pasalnya waktu mereka tak panjang.

    “Cuma diberi waktu tiga hari untuk pindah,” tutur Mahmudah warga RT 03/04 desa Besuki.

    Kesibukan ini dimulai pada Selasa (7/10) saat Bajuri Edy Cahyono, kepala pokja perlindungan sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), memerintahkan pengungsi tol yang berada di sebelah barat tol untuk membongkar gubuk pengungsian mereka. Pasalnya, ruas tol sebelah barat akan difungsikan dan pengungsi disatukan di tol sebelah timur. Rumahnya dibikin berhadapan yang ditengah tol menghadap timur dan yang dipinggir menghadap barat.

    Pengumumannya Bajuri pada para pengungsi dari 5 RT Besuki tidak tuntas. Warga RT satu dikumpulkan dan diberitahu supaya pindah sementara warga RT empat diberi gambar rencana perpindahan. Warga mesti mengumpulkan informasi sendiri dengan kepanikan.

    “Selain itu akan dibangun pipa saluran lumpur baru,” tutur Mahmudah.

    BPLS hanya mengeluarkan perintah tanpa memenuhi ongkosnya. Mahmudah mesti mengongkosi sendiri perpindahan ini dia menyewa empat orang yang masing-masing dibayar 40 ribu rupiah tiap harinya. Dia tak bisa mengandalkan suaminya karena suaminya tak bisa kerja keras karena serangan asma.

    Selain itu, sejak pengumuman itu dia tak bisa membuka warungnya karena sibuk pindahan.

    Senja mulai menggelap dan rumahnya yang baru masih berupa kerangka dengan lantai yang belum rata. Mahmudah bersama dua putrinya tak tahu musti tidur dimana malam ini. [mam]

  • Normalisasi Sungai, BPLS Diberi Waktu Dua Minggu

    SIDOARJO, KOMPAS – Bupati Sidoarjo Win Hendrarso memberi batas waktu dua minggu kepada Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS Jawa Timur untuk merampungkan normalisasi Sungai Porong. Bupati mengusulkan pembuatan celah di tengah-tengah endapan sungai dan penambahan mesin pengeruk lumpur Lapindo di Sungai Porong.

    Win menjelaskan, endapan lumpur Lapindo di Sungai Porong semakin parah dan sangat mengkhawatirkan. Apalagi, sekarang sudah mendekati musim hujan. Beberapa titik tanggul sungai bukan mustahil jebol karena tidak mampu menampung aliran air Sungai Porong yang tidak lancar akibat endapan lumpur.

    ”Saya berharap BPLS dapat segera merampungkan normalisasi Sungai Porong itu. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi luapan air sungai di musim hujan nanti,” kata Win, Rabu (8/10) di Sidoarjo, Jatim.

    Win juga mengimbau agar mesin pengeruk lumpur di Sungai Porong ditambah. Lima mesin pengeruk yang beroperasi saat ini masih kurang seiring dengan semakin dekatnya musim hujan. ”BPLS sepatutnya menambah jumlah mesin pengeruk lumpur menjadi 12 unit,” ujarnya.

    Senin lalu Win meninjau endapan lumpur Lapindo Brantas di Sungai Porong yang berada di Desa Bulang, Kecamatan Prambon, Sidoarjo. Lokasi tersebut dinilai paling rawan saat musim hujan nanti. Tahun lalu, selisih permukaan air sungai dengan tanggul sekitar 15 sentimeter. Tahun ini, diprediksi terjadi luapan air sungai saat musim hujan dan hal itu bakal merendam ratusan hektar sawah di desa tersebut.

    Masih berlanjut

    Tentang pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong, hingga kemarin hal itu masih berlanjut. Dalam waktu dekat bahkan akan ada penambahan pipa pembuangan lumpur ke sungai itu. Rencananya, pipa tersebut dipasang dari titik tanggul nomor 42 menuju Sungai Porong melewati Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    Menurut anggota staf Humas BPLS, Akhmad Kusairi, selain ada penambahan pipa pembuangan lumpur, akan ada penambahan tujuh mesin pemompa lumpur sehingga total mesin jadi 19 unit.

    Pipa yang dipasang, katanya, berdiameter 60 sentimeter dengan debit 0,6 meter kubik lumpur per detik. ”Penambahan pipa pembuangan lumpur ini bertujuan mengurangi debit pembuangan lumpur ke kolam penampungan lumpur yang saat ini nyaris penuh. Selain itu, untuk mencegah timbulnya wilayah terdampak baru sebagai akibat jebolnya tanggul jika tak mampu menampung lumpur,” kata Kusairi.

    Masih terkait lumpur Lapindo, kemarin 211 keluarga pengungsi korban lumpur di Dusun Besuk, Desa Besuki, tepatnya di sisi barat Jalan Tol Porong-Gempol, berbenah untuk pindah. Pasalnya, tempat pengungsian yang selama ini mereka tempati akan dilalui pipa pembuangan lumpur menuju Sungai Porong. (APO)

    © Kompas

  • BPLS Pertimbangkan Bangun Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS mempertimbangkan membangun dua kolam baru untuk menampung lumpur di Desa Renokenongo dan Desa Besuki, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

    Hal itu diungkapkan Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain, Senin (1/9) di Sidoarjo. Menurut perhitungan BPLS, sejak pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan, Rabu lalu, kolam yang ada seluas 110 hektar hanya mampu menampung lumpur sembilan hari lagi.

    Di Desa Renokenongo, ada lahan seluas 80 hektar, sedangkan di Desa Besuki ada lahan seluas 25 hektar. Persoalannya, belum semua warga memperoleh ganti rugi. Di Desa Renokenongo masih ada 75 keluarga yang tinggal. Padahal, desa tersebut termasuk dalam peta terdampak lumpur Lapindo. Sebagian besar warga desa sudah mengungsi, khususnya yang telah terima ganti rugi.

    Desa Besuki, yang belakangan dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur Lapindo bersama Desa Pejarakan dan Kedungcangkring, masih dalam proses pengukuran tanah dan bangunan.

    ”Untuk rencana pembuatan kolam penampungan di Desa Besuki, Deputi Operasi BPLS sudah berkoordinasi dengan PT Minarak Lapindo Jaya,” katanya.

    Kegiatan pembuangan lumpur di Sungai Porong dihentikan akibat protes warga yang khawatir endapan lumpur akan membuat air sungai meluap di musim hujan. Di sisi lain, pembuangan seluruh semburan lumpur, 100.000 meter kubik per hari, dikhawatirkan mempercepat penuhnya kolam penampungan yang ada.

    Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Wakil Keta Komisi E DPRD Jawa Timur Kuswiyanto, saat meninjau normalisasi Sungai Porong, mengusulkan peninjauan ulang Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembuangan Lumpur ke Sungai Porong.

    Menurut mereka, perlu kajian komprehensif untuk mendapatkan solusi pembuangan lumpur selain ke Sungai Porong. ””Jika pembuangan lumpur ke sungai menimbulkan dampak lebih berbahaya, perpres perlu ditinjau ulang,”” ujar Kuswiyanto. (APO)

  • BPLS Mulai Sosialisasi, Kali Pertama di Desa Besuki

    SIDOARJO – Kerisauan warga tiga desa direspons Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Kemarin malam (7/8) BPLS melakukan sosialisasi tentang rencana pengukuran dan ganti rugi lahan dan bangunan milik warga.

    Sosialisasi pertama dilakukan di Desa Besuki, Kecamatan Jabon. Malam nanti, akan dilanjutkan ke Desa Kedungcangkring dan Pejarakan, Kecamatan Jabon.

    Sosialisasi pertama kemarin bertempat di Balai Desa Besuki, Kecamatan Jabon. Hadir tim BPLS, wakil Dinas Pekerjaan Umum (PU) Cipta Karya, Badan Pertanahan Nasional, dan beberapa pihak yang terkait proses ganti rugi.

    Dari pihak warga, yang hadir adalah perangkat desa setempat. Juga, 17 ketua RT dari 5 RW dan dua wakil warga.

    Berdasar data sementara, jumlah kepala keluarga (KK) mencapai 941. Luas sawah 509.588 meter persegi. Luas pekarangan 374.918 meter persegi. Bangunan mencapai 236.780,33 meter persegi. Wilayah yang dimaksud adalah Desa Besuki sebelah barat bekas ruas jalan tol.

    Staf Humas BPLS Akhmad Kusairi mengatakan, sosialisasi bertujuan menjelaskan persiapan serta pelaksanaan pengukuran dan mekanisme untuk mencairkan ganti rugi.

    Sosialisasi juga menegaskan status tanah letter C dan pethok D. “Ini akan dijelaskan dalam forum itu,” katanya.

    Dengan adanya sosialisasi tersebut, warga diharapkan bisa mengerti prosedur ganti rugi. Dengan begitu, dana yang diambilkan melalui APBNP bisa cair secepatnya. ”Kami berharap tidak ada hambatan,” ucapnya.

    Abdul Rokhim, wakil warga, menyambut baik langkah BPLS. Dia berharap itu diikuti penjelasan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). ”Kabarnya, juklak dan juknis sedang disusun,” ujarnya.

    Hingga berita ini ditulis, sosialisasi masih berlangsung sehingga hasilnya belum diketahui. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • BPLS Kesulitan Tangani Semburan Gas Mudah Terbakar

    SIDOARJO-MI: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hingga kini kesulitan menangani atau melakukan pipanisasi pada bubble (semburan gas) yang kandungan metana (gas mudah bakar) tinggi, karena dilarang warga.

    Staf Humas BPLS Ahmad khusairi di Sidoarjo, Jumat (1/8) mengatakan,  warga melarang BPLS untuk melakukan pipanisasi yang bertujuan untuk membuang konsentrasi gas yang keluar menyertai semburan-semburan tersebut.

    “Kalau konsentrasi gas dibiarkan menyatu tetap mengepul di area itu, akan berbahaya dan bisa terjadi kebakaran,” katanya menegaskan.

    Menurut dia, diantara semburan yang tidak boleh ditangani (pipanisasi) terutama kawasan Siring Barat Kecamatan Porong. Bahkan, warga Siring Barat yang areanya terdapat bubble, hampir semua menolak dilakukan pipanisasi.

    Ia mengatakan, warga beralasan sengaja membiarkan kawasannya seperti itu biar masyarakat luas, khususnya pemerintah pusat tahu bahwa Siring Barat banyak keluar semburan yang mudah terbakar dan sudah tidak layak huni.

    “Biar yang Jakarta melihat kalau semburan yang ada di Siring Barat tetap menyembur dan supaya dimasukkan peta atau mendapatkan ganti rugi,” katanya mengutip penolakan warga Siring Barat.

    Sementara itu, Mahmud, salah seorang warga Siring Barat mengakui warga memang menolak semburan yang ada di Siring Barat dilakukan pipanisasi.

    “Ini dilakukan warga sebagai upaya mendesak kepada pemerintah pusat untuk segera merespons tuntutan warga agar mendapatkan ganti rugi seperti korban lumpur lainnya karena mereka juga terdampak semburan lumpur Lapindo,” katanya. (Ant/OL-03)

    Sumber: Media Indonesia

  • Diundang Pertemuan, Lapindo Mangkir

    korbanlumpur.info – Beragam cara dilakukan oleh Lapindo, berkelit dari tanggung jawabnya menyelesaikan ganti rugi korban Lumpur Lapindo. Kemarin, ketika diundang untuk bertemu dengan warga korban Lumpur Lapindo dari Kelompok Gerakan Pendukung GEPPRES, tidak satupun perwakilan dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ), maupun dari Lapindo Brantas Incorporation (Lapindo) yang nongol.

    ““Saya sebenarnya hari ini juga mengundang Minarak, tetapi tidak ada yang datang,”” demikian penjelasan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso ketika menerima perwakilan warga. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, kenapa tidak ada perwakilan Lapindo maupun MLJ dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh perwakilan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Badan Pertanahan Nasional di Pendopo Kabupaten Sidoarjo tersebut.

    Pertemuan ini sebenarnya ditujukan untuk mengklarifikasi kenapa MLJ, perusahaan yang didirikan oleh Grup Bakrie untuk menyelesaikan masalah sosial kasus Lumpur Lapindo, tidak segera melunasi sisa pembayaran 80 persen. “Seharusnya kan setelah PIJB dan pembayaran 20 persen dilaksanakan,

    “Minarak segera melunasi sisa pembayaran karena batas waktunya sudah lewat. Jadi tinggal transfer saja,”” tegas Hasan, salah satu perwakilan warga dari Desa Kedungbendo.

    Namun, setelah batas waktu sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yaitu satu bulan sebelum masa kontrak dua tahun habis (bulan Juli yang lalu), MLJ tidak segera melunasi sisa pembayaran. Yang ada kemudian MLJ secara sepihak memaksakan kepada warga untuk menerima skema baru yang disebut dengan Cash and Resettlement yang lebih menguntungkan mereka, dan merugikan warga.

    Bahkan, dalam nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Andi Darussalam dari MLJ dan beberapa perwakilan warga yang tergabung dalam GKLL dan disaksikan oleh Emha Ainun Nadjib, MLJ mengancam tidak akan membayar warga yang tidak mengikuti tawaran mereka. Pada poin ke 5 dari nota kesepahaman itu disebutkan bahwa warga yang tidak mengikuti skema CnR, tidak akan dibayar sisa pembayarannya.

    Hal ini tentu saja menimbulkan kegelisahan yang mendalam bagi sebagian besar warga. Apalagi masa kontrak mereka sebagian besar sudah habis bulan Juli dan Agustus ini. Ditambah dengan tahun ajaran baru dan lebaran dua bulan lagi, hal ini membuat warga yang sudah dua tahun menderita ini berada dalam posisi yang sangat terjepit. Karena itu mereka berinisiatif untuk meminta kejelasan kepada pihak-pihak terkait.

    Atas ketidakhadiran MLJ dan Lapindo dalam pertemuan itu, Bupati meminta pihak BPLS untuk proaktif agar MLJ memberi kejelasan penyelesaian bagi warga yang tidak menerima skema Cash and Resettlement. ””Dalam kapasitas saya selaku anggota dewan pengarah, saya meminta BPLS untuk mengingatkan MLJ dan instansi terkait lainnya untuk menjelaskan masalah ini,”” tandas Bupati.

  • Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    korbanlumpur.info – BPLS kembali tebar janji, dalam pertemuan dengan perwakilan 3 desa (desa Besuki, Pejarakan, dan Kedung Cangkring) menanggapi permasalahan setelah dikeluarkannya Pepres 48/2008 tentang revisi Perpres 14/2007 tentang Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

    Bapak Sarjono dari desa Pejarakan yang dimintai konfirmasi menyatakan bahwa BPLS menyatakan akan segera mengadakan sosialisasi untuk memusyawarahkan penentuan harga ganti rugi lahan warga di 3 desa. Sosialisasi itu sendiri akan dilakukan per RT.

    Sarjono yang datang pada pertemuan itu menyesalkan langkah ini, dia menilai bahwa itu akan memperlambat proses pembayaran, semestinya sosialisasi itu bisa dilakukan bersamaan beberapa RT, sehingga tidak mengulur waktu. Dia mengkhawatirkan waktunya tidak cukup untuk masa anggaran 2008 ini. Untuk diketahui bahwa pembayaran DP 20% guna membeli lahan warga di 3 desa diambilkan dari APBN-P 2008, sehingga harus segera direalisasi sebelum masa anggaran yakni bulan Desember 2008.

    Pihak BPLS sendiri menyatakan bahwa harga pembayaran akan mengacu pada harga seperti yang sudah dilakukan di dalam peta area terdampak sebelumnya yakni: 120 ribu untuk tanah sawah, satu juta untuk tanah pekarangan dan 1,5 juta untuk bangunan. Namun untuk penentuan harga sendiri rupanya masih harus melewati proses musyawarah, meskipun patokannya tetap harga-harga seperti tertulis sebelumnya itu.

    Selain tentang sosialisasi musyawarah penentuan harga, BPLS melalui Kepala Pokja Perlindungan Sosial BPLS, Bajuri Edy Cahyono, menjanjikan bahwa sisa pembayaran warga yang 80% akan diselesaikan dalam 1 tahun. ”katanya … sudahlah pak percayalah dengan saya, jadi kalau anggaran (untuk membayar sisa) 80%-nya itu (diambilkan dari) APBN 2009, jadi yang tadinya itu kalau (mekanisme pembayaran seperti) di lapindo (menunggu masa) kontrak 2 tahun yang dalam peta, yang disini (3 desa) kontrak 1 tahun, dan 1 bulan sebelum masa kontrak habis 80%-nya sudah diturunkan” begitu ungkap Sarjono menirukan pernyataan staf BPLS.

    Ini berbeda dengan bunyi dalam Perpres 48/2008 yang menyatakan bahwa pembayaran pada 3 desa yang dimasukkan melalui Perpres 48/2008 untuk sisa 80% dibayarkan setelah pembayaran pada peta area terdampak sebelumnya selesai. Mengenai ini, staf Humas BPLS seperti dikutip pada kapanlagi.com (31/07/2008 BPLS siapkan posko verifikasi ganti rugi) menyatakan Untuk korban lumpur versi Perpres No.14/2007 mendapat ganti rugi dari Lapindo Brantas dengan skema pencairan dana 20% dan pelunasan 80%-nya harus menunggu dua tahun. Berbeda dengan versi Perpres No.48/2008. Skema pencairan sama, yakni 20%, selanjutnya, pelunasan 80%.Namun, untuk pelunasan 80% warga tidak harus menunggu lama. Maksimal akhir Desember 2008 sudah cair.

    Entah versi mana yang benar? Sebelum Desember 2008, 1 bulan sebelum masa kontrak yang 1 tahun selesai, atau menunggu Lapindo menyelesaikan pembayaran dalam peta area terdampak sebelumnya?

    Selain permasalahan penentuan harga dan kepastian pembayaran sisa 80%, Sarjono juga menyatakan kegelisahannya akan status pengontrak, khususnya yang ada diwilayah desa Pejarakan. Menurutnya ada beberapa pengontrak yang mayoritas bekerja di industri-industri kecil di Pejarakan, selama ini tidak terperhatikan. padahal mereka selama ini juga sudah dianggap seperti penduduk asli. Tetapi rekomendasi yang diberikan oleh Kepala Desa Pejarakan hanya mengusulkan 384 KK yang tidak termasuk pengontrak yang tinggal di desa Pejarakan. Ini juga yang hendak diperjuangkan oleh Sarjono untuk para pengontrak mendapatkan haknya juga.

    Secara keseluruhan, Sarjono menginginkan ini bukan lagi sekedar janji-janji seperti yang sudah-sudah, karena masyarakat sudah bosan dengan segala janji yang tidak juga kunjung terbukti, bahkan seringkali diingkari. Tapi sekali ini, masyarakat tidak lagi mau dibohongi.

  • Lumpur Maut Lapindo

    Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Lapindo Brantas Inc tanggal 5 Juni 2006, Medco menyebutkan bahwa operator telah tidak mengindahkan peringatan untuk melakukan pemasangan casing pada kedalaman 8500 ft sebagaimana telah disampaikan dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006. Walhasil, Medco menolak untuk dibebani biaya ganti rugi sebagaimana sudah disepakati dalam kontrak kerjasama operasi antara mereka.

    Kekacauan bulan-bulan awal menunjukkan karut-marut pengelolaan migas di Indonesia. Berbagai prediksi dikeluarkan. Bahkan seorang Jenderal pemangku teritorial wilayah Jawa Timur menyatakan bahwa semburan Lumpur adalah bencana alam, lumpurnya juga tidak berbahaya. Ada apa gerangan sang Jenderal ikut-ikutan membuat pernyataan demikian?

    Sementara itu polisi berperan mengawasi setiap perkembangan pergolakan yang terjadi di warga sekitar lokasi, dan mengatasi kemacetan luar biasa jalur ini. Sedangkan untuk proses pidana, polisi dipersulit pendapat para ahli yang didatangkan Lapindo yang mengarahkan semburan lumpur sebagai bencana alam. Kejaksaan yang menginginkan adanya satu kesatuan pendapat ahli, beberapa kali mengembalikan BAP kepada kepolisian.

    Bupati dan Gubernur yang seharusnya menjadi benteng warga korban pada akhirnya ‘terselamatkan’ dengan keluarnya Perpres 14/2007, mereka mendalilkan bahwa masalah lumpur sudah ditangani pemerintah pusat. Setali tiga uang dengan wakil warga di DPRD kabupaten maupun propinsi.

    Perpres melahirkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Bagaimana kinerja task force ini juga menjadi tanda tanya. Hari, seorang warga korban, menggambarkan bahwa kerja BPLS hanya menanggul lumpur saja. Ini jauh dari harapan warga bahwa BPLS akan berperan membantu percepatan pemenuhan hak. BPLS tidak melakukan langkah-langkah jelas untuk mencegah bahaya akibat semburan baru yang hingga hari ini mencapai angka ke-94.

    Dugaan lumpur panas Lapindo sangat berbahaya, terbukti sudah. Selain berbagai riset berbagai institusi yang telah dimuat berbagai media, WALHI Jawa Timur telah melakukan riset awal kandungan logam berat dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) pada air dan lumpur lapindo. Berdasar laporan riset (Mei 2008) ini, jumlah kandungan yang ditemukan sungguh mengerikan. Langkah gegabah pengelolaan lumpur tanpa treatment khusus, menjadi kesalahan besar.

    Pemerintah dan korporasi yang memiliki tanggung jawab dan sumber daya harusnya lebih cermat dalam mengelola lumpur. Kandungan Logam Berat pada air dan lumpur Lapindo dideteksi jauh melebihi ambang baku yang ditetapkan regulasi kesehatan Indonesia. Kadar untuk timbal (Pb) tertinggi mencapai angka 20,9853 mg/l ditemukan pada sampel dari wilayah Besuki juga. Ini sungguh jauh diatas ambang batas maksimal sejumlah 0,05 mg/l. Sungai Porong dari wilayah barat telah tercemar logam berat, dan menjadi semakin parah ketika ribuan liter lumpur panas Lapindo digelontor ke dalamnya. Sampel air pada titik koordinat S 07o32’10.7″ E 112o51’01.7″ bagian timur sungai menunjuk angka 1,05 mg/l untuk timbal, berselisih lebih tinggi 0,2 dari sampel kontrol bagian barat jembatan porong(0,8035). Sedimen sungai porong juga menunjuk angka tinggi, dengan temuan kadar 4,7341 mg/l pada salah satu titik sampel.

    Jumlah cemaran Kadmium (Cd) lebih parah, terendah 0,2341 mg/l dan tertinggi 0,4638 mg/l. Jauh diatas ambang batas jika mengacu pada Kep.Menkes No. 907/2002 yang mematok angka 0,003 mg/l. Hal yang sama ditemukan untuk PAH. Dua jenis yang diperiksa meliputi Chrysene dan Benz(a)anthracene ditemukan: Chrysene terendah 203,41 µg/kg dan tertinggi mencapai hingga 806,31 µg/kg (kadar tertinggi ditemukan pada sampel lumpur dari Besuki), sedangkan Benz(a)anthracene ditemukan pada sampel 3 titik lokasi rendaman lumpur dengan jumlah terendah 0,4214 mg/kg dan tertinggi 0,5174 mg/kg. Monitoring secara periodik dan penanganan darurat khusus harus segera dilakukan.

    PAH merupakan suatu kelompok senyawa kimia yang dibentuk dari proses pembakaran tidak sempurna dari gas, batubara, minyak bumi, kayu, sampah, ataupun senyawa kimia organik lain seperti tembakau. Senyawa PAH juga ditemukan di sepanjang lingkungan baik di udara, air, dan sebagai partikel yang berhubungan dengan debu atau sebagai padatan di dalam sedimen atau lahan. Jumlahnya diperkirakan sekitar 10.000 senyawa. Sifat karsinogenik memicu tumor, kanker kulit, kanker paru-paru, dan kanker kandung kemih. Dapat masuk dalam tubuh manusia melalui pernafasan akibat menghirup limbah gas yang mengandung senyawa PAH di dalamnya. Makanan atau minuman yang terkontaminasi senyawa ini juga akan mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi. Yang lebih cepat adalah interaksi secara langsung dengan menyentuh tanah atau air yang tercemar PAH. Walaupun dalam kadar rendah, senyawa ini dapat terserap melalui pori-pori kulit.

    BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun.

    Walhasil, Anton seorang warga korban menjumpai sedikitnya 5 warga yang secara fisik terindikasi mengidap tumor(20/7/2008). Seorang bayi perempuan umur 7 bulan memiliki benjolan di dada dan lehernya. Kanker kulit juga ditemukan menjangkit seorang anak umur 3 tahun. Hal ini tentu harus segera ditangani khusus dengan melakukan pemeriksaan medik secara terus menerus kepada semua warga yang pernah ‘berjibaku’ dengan lumpur. Akumulasi dalam jumlah besar sangat mempengaruhi metabolisme tubuh warga dan mempercepat munculnya tumor dan kanker. Pemeriksaan periodik terhadap kandungan logam berat dan PAH harus dilakukan secara periodik untuk acuan pengelolaan lebih lanjut. Namun jika pemerintah melalui badan khususnya tidak mengagendakan, siapa lagi yang harus melakukannya?

    Keselamatan dan kesejahteraan warga korban telah dipertaruhkan dalam hitungan kerugian material melalui skema jual beli tanah dan bangunan sebagaimana dalam Perpres 14/2007. Sandaran hukum pemenuhan hak warga inipun masih ditawar dengan skema resettlement yang tidak memiliki jaminan apapun. Bulan Agustus dan September merupakan masa kontrak sebagian warga korban habis. Namun itikad pemenuhan oleh korporasi tak juga ditunjukkan. Padahal jika diperbandingkan, jumlah yang akan diterima tidak akan mencukupi kebutuhan pengobatan jika efek logam berat dan PAH telah muncul beberapa waktu kedepan. Jaminan kesehatan bagi seluruh warga mutlak menjadi tanggungjawab korporasi dan negara.

    Melihat kenyataan demikian, seharusnya tiada alasan bagi korporasi untuk menghindari dan menunda penggantian hak material warga. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanggal 24 Maret 2008 menegaskan adanya jaminan bagi tanah selain sertifikat hak milik (Yasan, Gogol, letter C, petok D, dan HGB) bisa dilakukan peralihan dengan status yang sama. Hanya perusahaan bodoh yang menginginkan hak milik tanah di negeri ini. Dalam regulasi agraria Indonesia (UUPA NO. 5/1960) sudah diatur kepemilikan tanah Hak Milik hanyalah untuk perorangan. Korporasi hanya bisa mendapat hak berupa Hak Guna (HGU/HGB) atau Hak Pakai yang masa waktunya terbatas. Jika ini dijadikan alasan untuk tidak mengganti 80% sebagaimana disepakati dalam perikatan antara warga dan korporasi, dan ditawar dengan skema resettlement, bertambah sudah derajat kejahatan korporasi ini.

    Namun, temuan kandungan-kandungan berbahaya ini disangsikan oleh Ahmad Zulkarnaen dari BPLS, “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak pernah mengungkapkan adanya PAH” (Koran Tempo, 29/7). Bukannya menindaklanjuti dengan rencana cepat untuk melakukan penanganan, minimal dengan sebuah rencana melakukan penelitian lebih dalam, pernyataan elemen tim khusus ini nampak mencoba mengaburkan adanya temuan bahan berbahaya itu. Dan yang lebih parah, BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun. Petugas BPLS yang rapi dalam pengamanan diri dengan menggunakan sepatu, sarung tangan, dan masker tentunya lebih tak lebih beresiko dibanding warga yang dengan tangan telanjang, kaki bersendal, dan hidung tak bersaring bergelut di area lumpur setiap saat.

    Sungguh sebuah kebetulan jika pada Juli ini selain disibukkan dengan agenda ‘pesta’ pilkada, pada waktu yang bersamaan keluarga Bakrie -sang konglomerat yang dikenal sebagai salah satu pemilik korporasi penguasa blok Brantas di Jawa Timur- menggelar pesta bahagia perkawinan salah satu keluarganya. Lengkap sudah penggalan sejarah buruk negeri ini, dua prosesi digelar tanpa melihat sedikitpun derita warga korban.