Tag: dampak ekonomi

  • Pelipur Lara di Pusaran Lumpur Lapindo

    KOMPAS.com – DELAPAN tahun sudah lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menyembur. Sekitar 700 hektar areal permukiman, pabrik, perladangan, dan sawah tenggelam oleh lumpur yang hingga kini masih menyembur. Solusi belum juga ada.

    Padahal, beragam persoalan yang muncul bersama semburan lumpur Lapindo tak hanya dialami penduduk sekitar. Pergerakan ekonomi di Jawa Timur sempat melambat, bahkan hingga sekarang belum sepenuhnya pulih. Rel kereta api yang melintas di Jalan Raya Porong terus ditinggikan agar moda transportasi menuju Malang hingga Banyuwangi lancar.

    Waktu tempuh berbagai moda transportasi yang melintas di wilayah Porong cenderung dua atau bahkan tiga kali lipat dari sebelum lumpur menyembur pada 2006. Waktu tempuh Surabaya-Banyuwangi dengan mobil pribadi, yang pada kondisi normal 7 jam, kini 10 jam, bahkan saat tertentu hingga 15 jam. Kehadiran jalan tol baru Porong-Pandaan sejak 2013 baru bisa mempersingkat waktu tempuh dari Surabaya ke Malang.

    Luberan lumpur Lapindo ke berbagai penjuru yang dihadang cuma dengan tanggul setinggi 12 meter itu tak hanya menggerogoti perekonomian provinsi berpenduduk 41,4 juta jiwa tersebut, tetapi juga menasional. Apalagi pemilik pabrik di Pandaan, Pasuruan, Probolinggo, hingga Banyuwangi ketika Jalan Raya Porong macet berjam-jam karena lumpur panas menggenangi jalan. Akibatnya, arus barang masuk dan keluar terhambat.

    Pemodal asing pun sempat ingin hengkang ke negara lain, seperti Vietnam, jika jalan tol Porong-Pandaan tak segera terealisasi. Niat angkat kaki dari Jawa Timur, provinsi yang dianggap paling aman dan nyaman untuk berinvestasi, batal dengan beroperasinya jalan tol Porong- Pandaan sejak 2013. Tol ini menjadi jalur utama ke selatan Jawa Timur, sedangkan ke timur tetap melalui Jalan Raya Porong.

    Semburan lumpur Lapindo menimbulkan kerugian setiap tahun sekitar Rp 260 triliun, atau sekitar Rp 500 miliar per hari, dari pendapatan perdagangan dan industri. Kerugian begitu besar karena sekitar 30 persen produk domestik regional bruto Jawa Timur sumbangsih dari perdagangan dan industri.

    Hampir 60 persen sektor perdagangan dan industri berada di wilayah Pasuruan, Malang, dan Blitar, yang dalam ekspor mengandalkan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Artinya, ruas jalan Porong menjadi poros utama menuju Surabaya. Menurut pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Kresnayana Yahya, kerugian itu akibat stagnasi nilai barang dan sebagian biaya lain seperti kehilangan pekerjaan, transportasi, dan unsur psikis yang justru tak ternilai. Apalagi, secara riil lumpur tidak hanya mengubur tempat usaha, tetapi tanah berikut ribuan rumah dan bangunan ikut tenggelam.

    Memang betul: meski lumpur Lapindo belum ada solusi, kata Daniel M Rosyid, pakar transportasi dari ITS, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur relatif bagus. Kendati demikian, pertumbuhan baik, perencanaan kurang fokus, sehingga kesenjangan wilayah masih buruk. Pembangunan masih eksklusif, bahkan meninggalkan kawasan tertentu, termasuk pesisir dan pulau kecil seperti Bawean di Gresik dan Sumenep di Pulau Madura.

    Pemerintah Provinsi Jawa Timur belum mampu membenahi transportasi umum antarkota dan antardesa sehingga masyarakat cenderung memakai kendaraan pribadi. Jalan makin sesak. Bahkan, terkait pendidikan, kata Daniel, warga muda Jawa Timur tidak memiliki bekal dengan kompetensi memadai untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tinggal sekejap mata.

    Pendidikan nirformal pun kurang dikembangkan untuk menyediakan tenaga terampil besertifikat sehingga inovasi minim. ”Pengambilan keputusan dan kebijakan kurang memanfaatkan peran Badan Penelitian dan Pengembangan Jawa Timur. Lembaga ini masih dianggap sebelah mata. Akibatnya, daya saing Jawa Timur melalui inovasi tidak bertambah dibandingkan dengan provinsi pesaing seperti Kalimantan Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, padahal sumber daya manusia sangat luar biasa, baik kuantitatif maupun kualitatif,” kata Daniel.

    Bergerak cepat

    Dalam situasi serba tak jelas kapan lumpur berhenti menyembur, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas justru terpacu mencari alternatif agar kabupaten itu tidak kian dilupakan. ”Kerja cepat, terutama untuk operasional bandara karena kehadiran bandara mampu mempercepat pergerakan ekonomi, terutama investasi dan pariwisata, butuh mobilitas yang cepat,” kata Anas.

    Gerak cepat dilakukan karena dengan pesawat udara, waktu tempuh Surabaya-Banyuwangi cukup 45 menit. ”Dulu mau ke Banyuwangi berpikir lama di jalan, naik kereta api atau mobil. Bagaimana mau ajak pemilik modal ke Banyuwangi? Persoalan makin berat ketika lumpur Lapindo,” kata Anas.

    Dalam waktu singkat, Anas pun pontang-panting meyakinkan maskapai penerbangan, juga Kementerian Perhubungan, agar penerbangan segera dibuka ke Banyuwangi, daerah paling timur di Pulau Jawa. Semua penerbangan dari awal sampai sekarang nihil APBD, tak ada subsidi. Pola ini berbeda dengan bandara lain yang baru dibangun dan maskapai disubsidi daerah agar mau terbang ke daerah itu.

    Dia juga menyusun strategi agar daerahnya makin menggeliat. Investasi dan wisata dipacu sehingga perkembangan penumpang pesawat di Bandara Blimbingsari Banyuwangi makin menjanjikan. Bandara menjadi salah satu gerbang pembuka kemajuan di kabupaten berjulukan Matahari Terbit Jawa itu.

    Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memainkan sejumlah strategi untuk menggeliatkan daerahnya. Infrastruktur saban tahun dibangun atau diperbaiki sepanjang 300 kilometer dengan mengajak masyarakat dan dunia usaha karena tak cukup mengandalkan APBD.

    ”Pemerintah daerah menyiapkan aspal dan peralatan, masyarakat gotong royong dan secara sukarela menyediakan konsumsi saat pengerjaan. Peran dunia usaha, membantu honor pekerja,” kata Anas. Hasilnya hingga kini jalan rusak sekitar 70 kilometer.

    Banyuwangi pun kian tersohor hingga ke penjuru dunia. Obyek wisata yang begitu memesona, yang selama ini tak tersentuh, kini dibuka akses jalan dan dilengkapi sarana dan prasarana, termasuk mendidik warga setempat terbuka kepada pendatang, terutama turis. Penduduk dilatih bisa memasak dan mengembangkan usaha sesuai keterampilan masing-masing sehingga ekonomi warga ikut terdongkrak.

    Sepak terjang Anas mengangkat Banyuwangi dengan berbagai program, termasuk menggelar sedikitnya 30 agenda festival secara rutin setiap tahun di Banyuwangi, dengan lokasi tersebar hingga ke tingkat kecamatan, mendapat pengakuan dari Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake. Ketika bermalam tiga hari di Banyuwangi, merayakan Thanksgiving sekaligus menyaksikan Banyuwangi Ethno Carnival, Blake mengungkapkan betapa cantik dan bersahabat Banyuwangi.

    Anas pun tak lantas berhenti menaikkan pamor daerahnya. Dengan berbagai langkah, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sedang menyusun strategi untuk bisa ”mencegat” wisatawan yang hendak ke Bali melalui jalur darat, yang berjumlah jutaan orang setiap tahun.

    ”Banyuwangi akan buat kiat bagaimana turis yang akan ke Pulau Dewata merogoh kantongnya di Banyuwangi minimal Rp 500.000 per orang dengan berbelanja suvenir atau makan khas daerah ini,” kata Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Jawa Timur ini.

    Padahal, kekuatan Jawa Timur tidak hanya Banyuwangi dan Surabaya dengan berbagai inovasi menjadi kota modern tanpa mengabaikan yang tak mampu. Ada 36 kabupaten dan kota dengan problem dan keunggulan khas.

    Jawa Timur tak hanya kaya dengan minyak dan gas, tetapi juga berkembang di sektor pertanian dan peternakan serta industri. Surplus gula 500.000 ton, beras sekitar 3,4 juta ton dari produksi 7,8 juta ton per tahun, produksi sapi potong setiap tahun 1,3 juta ekor dan konsumsi penduduk 560.000 ekor, sehingga ada 800.000 sapi, jadi Jawa Timur tak butuh topangan daerah lain. Jawa Timur pun tertutup bagi produk pangan impor, termasuk gula, sapi, dan beras, karena memang mengalami surplus meski sudah menopang kebutuhan nasional.

    Agnes Swetta Pandia

    Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/19/14285581/Pelipur.Lara.di.Pusaran.Lumpur.Lapindo

  • Produk murah China menggempur Tanggulangin

    Produk murah China menggempur Tanggulangin

    kontan sentra tas tanggulangin 2Kontan – SIDOARJO. Baru pulih dari imbas bencana semburan lumpur Lapindo, industri tas dan koper Tanggulangin harus berhadapan dengan serbuan impor asal China. Harga jual yang miring menyebabkan  pelanggan beralih memburu produk buatan China ketimbang made in lokal.

    Apalagi, model-model tas produk impor  jauh lebih cantik, sehingga kerap kali  membuat pelanggan jatuh hati. Selain  itu, warnanya juga menarik dan terlihat  mewah, meskipun terbuat dari kulit  sintesis. Kebanyakan, produk impor yang  paling banyak masuk adalah tas wanita  dan ikat pinggang.

    “Kalau barang impor terus masuk, tenaga  terampil di sini tidak siap bersaing,  pasar kami akan dimakan luar negeri  semua terutama China,” keluh HM Kasdu,  pemilik usaha Jawa Centrum.

    Tas impor yang makin populer membuat  pemilik toko di Tanggulangin, mau tak  mau harus menyediakan produk impor  tersebut. Padahal, kata Imam Zultoni,  pemilik Sultan Collection, secara  kualitas, buatan lokal masih lebih bagus daripada impor. Sebab, produk lokal menggunakan kulit sapi asli dan  bahannya lebih tebal daripada produk  yang impor.

    “Produk impor cepat rusak tapi orang  lebih suka impor jadi saya jual juga  untuk melengkapi isi toko dan memenuhi  permintaan pembeli,” kata Imam.

    Selain produk jadinya, impor alat  produksi dari China pun semakin merajai  industri pembuatan tas dan koper di  Tanggulangin. Dulu, rata-rata, tas  dibuat dalam produksi rumahan dan dibuat  secara manual. Kini, semakin banyak  perajin yang menggunakan mesin dari  China.

    Kelebihan mesin asal China adalah  pengerjaan produksinya menjadi lebih  cepat. Kasdu mencontohkan, untuk  penjahitan koper, dulu semua dilakukan  manual. Penjahit harus membolak-balik  koper sendiri. Sekarang, hanya dengan  menggunakan mesin penjahit koper, sekali pencet tombol, koper akan membalik  sendiri dan penjahitan lebih cepat.

    Contoh lainnya adalah ketika proses  membordir. Saat ini, sudah ada mesin  bordir dari China yang bisa membordir 14  produk sekaligus. “Membuat bordiran 100  produk sekarang ini 30 menit juga bisa  selesai,” ujar Kasdu. Namun, memang kualitas produk saat pembuatan  manual masih tetap nomor satu.

    Untuk membendung serbuan produk impor, Kasdu  berharap, pemerintah harus gencar  mempromosikan produk lokal yang tak  membebani pengusaha lokal. “Dulu ada  Tanggulangin Fair, sempat diadakan lima  tahun, tapi entah kenapa kemudian  berhenti. Semoga ke depan semakin banyak  event dan pameran untuk produksi tas  lokal,” ujar Kasdu.

    Selain bantuan promosi, Imam bilang  bantuan permodalan juga dibutuhkan para perajin serta pengusaha tas dan  koper di Tanggulangin. Seringkali Imam  harus menunda pesanan jumlah besar  karena dananya tak mencukupi.  Menurutnya, pinjaman dana dari perbankan sulit didapat setelah peristiwa bencana lumpur Lapindo.

    © Revi Yohana | Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/produk-murah-china-menggempur-tanggulangin

  • Pajang aneka produk sampai diskon harga

    Pajang aneka produk sampai diskon harga

    Kontan – SIDOARJO. Setelah tujuh tahun terhempas bencana lumpur Lapindo, kini sentra industri tas di Tanggulangin, Sidoarjo mulai pulih. Para perajin mampu keluar dari kondisi terpuruk tak terlepas dari berbagai upaya yang mereka lakoni untuk menggaet pembeli.

    Pemilik toko Jawa Centrum, HM Kasdu misalnya, rajin menambah varian produk. Di tokonya, ia mengandalkan penjualan aneka koper dan tas, mulai dari tas anak-anak hingga tas orang dewasa. Namun, ia juga menjajakan produk lain, seperti sandal, sepatu, dompet, dan ikat pinggang.

    “Saya pakai teori begini. Mengoleksi sebanyak-banyaknya barang dagangan di toko, baik dari jenis, mutu, dan harga yang berbeda. Jadi, orang melihat-lihat dan pilih-pilih saja sudah senang,” tutur Kasdu.

    Untuk produk koper saja, Kasdu menyediakan berbagai ukuran, mulai 16 inchi sampai 29 inchi. Harganya berkisar Rp 125.000 hingga Rp 1,2 juta, tergantung ukuran dan kualitas koper.  Sementara, tas anak-anak dibanderol harga antara Rp 20.000 hingga Rp 200.000 per unit. Tas wanita dipatok mulai Rp 50.000 hingga ratusan ribu rupiah per unit.

    Daya tarik lainnya, Kasdu membolehkan pembeli menawar produknya. “Karena kebanyakan pelanggan lebih puas jika bisa menawar,” ucapnya.

    Kasdu juga rajin menggaet penyedia jasa tour & travel, khususnya untuk umroh. Makanya, ia kerap menerima pesanan koper untuk umroh dari pihak travel. Tak jarang, ia menerima pesanan tas dari organisasi Bhayangkari. Pelanggannya datang dari  berbagai kota di Pulau Jawa, Sumatera hingga Kalimantan.

    Satu lagi yang dilakukan Kasdu, yaitu bisa mempercepat proses pengerjaan dari tenggat yang biasanya diberikan. Misalnya, pengerjaan 100 unit tas atau koper biasanya memakan waktu hingga lima minggu. “Namun, dalam 25 hari biasanya sudah saya selesaikan, dan saya katakan bahwa pengiriman akan saya majukan. Itu akan membuat mereka sangat senang,” ungkapnya.

    Strategi ini terbilang ampuh. Buktinya, beberapa pelanggan kembali memesan  padanya. Menurutnya, musim paling ramai untuk kedatangan tamu adalah liburan anak sekolah sekitar pertengahan tahun, serta awal tahun dan akhir tahun.

    Pemilik Sultan Collection, Imam Zultoni pun menerapkan strategi tak jauh beda. Ia memajang banyak varian produk di tokonya. Meskipun, tas wanita masih menjadi produk paling dominan.Harganya bervariasi mulai dari Rp 60.000 hingga Rp 250.000 per unit.

    Tas yang dijual beragam, mulai produksi lokal dari bahan kulit sapi asli, hingga berbagai produk impor dari bahan kulit imitasi. Sebagian lagi merupakan tas hasil produksi sendiri.

    Selain itu, Imam bilang,  ia harus bisa memprediksi model apa yang digandrungi pasar. “Model apa yang sedang banyak dicari, kami stok,” tuturnya.

    Nah, bagi pelanggannya, ia tak sungkan memberikan potongan harga alias diskon dari harga yang tertera. Biasanya, bagi pembeli eceran, ia memberi diskon berkisar 10% – 25%. Adapun, untuk pembelian dalam jumlah banyak, potongan harga bisa mencapai 40%.

    © Revi Yohana | Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/pajang-aneka-produk-sampai-diskon-harga-2

  • Kembali bangkit dari bencana lumpur

    Kembali bangkit dari bencana lumpur

    kontan sentra tas tanggulanginKontan – SIDOARJO. Sempat terpuruk gara-gara lumpur Lapindo, sentra tas di Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur kini kembali ramai pengunjung. Kondisi itu terlihat saat KONTAN mengunjungi sentra tas ini beberapa waktu lalu.

    Banyak pengunjung yang mayoritas wanita memadati sentra ini. Mereka terlihat asyik memilih aneka tas yang dipajang di tiap-tiap toko.

    Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan beberapa tahun lalu ketika kawasan ini masih terkena dampak semburan lumpur Lapindo.

    Peristiwa semburan lumpur yang dimulai pada 2006 itu berdampak kepada sepinya pengunjung di  kawasan ini. Kondisi itu dirasakan oleh pedagang hingga beberapa tahun setelah peristiwa semburan lumpur terjadi.

    Sebenarnya daerah ini tidak terkena langsung semburan lumpur tersebut. HM Kasdu, pemilik Toko Jawa Centrum bilang, sentra ini menjadi sepi pengunjung karena maraknya pemberitaan lumpur Lapindo.

    Terutama pemberitaan yang menyebutkan luapan lumpur telah mencapai komplek Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera. “Masyarakat awam mengira itu Tanggulangin industri tas dan koper, padahal bukan. Yang tenggelam itu komplek perumahan real estate. Bukan industri tas,” ungkap HM Kasdu.

    Lokasi sentra tas Tanggulangin sendiri berada sekitar empat hingga lima kilometer dari komplek yang terkena luapan lumpur tersebut. Selain karena ekses pemberitaan, sentra ini sepi pengunjung karena akses menuju kawasan ini juga ikut terganggu. “Memang lumpurnya meluber ke jalan raya waktu itu, sehingga banyak orang yang takut ke sini,” tambah Kasdu.

    Namun, sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. Akses jalan menuju Tanggulangin telah diperbaiki dengan dibangunnya jalan arteri dari Porong, Sidoarjo menuju Tanggulangin. Kasdu mengingat, sekitar tahun 2006 dan 2007, penjualan sangatlah lesu. “Tidak ada pembeli dan peminat, sepi sekali. Omzet turun drastis,” ujar Kasdu.

    Banyak barang titipan perajin tidak laku. Biasanya mereka dibayar setiap dua minggu sekali. Namun  setelah peristiwa bencana lumpur Lapindo, bayaran kepada para perajin pun tersendat.  “Waktu itu sampai dua bulan pun belum ada yang bergerak dari tempat display,” ujar Kasdu.

    Kondisi itu juga dirasakan Imam Zultoni, pemilik Toko Sultan Collection. Pria kelahiran Sidoarjo, 41 tahun silam ini bilang, pasca lumpur Sidoarjo banyak toko tutup karena tak kuat menanggung omzet yang terus menerus turun. “Di Tanggulangin itu dulu sebelum lumpur Lapindo ramai sekali tokonya, sepanjang jalan 2 kilometer pasti ada toko di kiri kanan jalan. Sekarang sudah banyak tutup,” ujar Imam.

    Imam membenarkan sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. “Omzet saya sekarang Rp 125 juta sampai Rp 150 juta per bulan,” ujar Imam. Pembelinya mulai dari Jawa Tengah, Magelang, Lombok, hingga Makassar.

    Omzet yang didapat Kasdu juga tak kalah besar. Dari penjualan langsung di tokonya saja, ia meraup omzet sebesar Rp 60 juta per bulan. Bila ditambah pesanan koper dan tas dari luar kota, omzetnya rata-rata di atas Rp 100 juta sebulan.

    © Revi Yohana | Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/kembali-bangkit-dari-bencana-lumpur-1

  • Korban Lapindo Tidak Dipercaya Bank

    Korban Lapindo Tidak Dipercaya Bank

    SIDOARJO – Warga korban Lapindo mengalami kesulitan pembiayaan saat mencari sumber pembiayaan untuk usaha mereka kepada perbankan.

    Seperti yang dialami Sulastri (35), salah satu korban Lapindo dari desa Gempolsari yang pernah mengalami kesulitan ketika ingin mengajukan pinjaman ke bank desa. “Kami disini sepertinya tidak diakui status wilayahnya untuk pinjam ke bank desa. Buktinya ketika kita ingin mengajukan pinjaman, kita tidak dipercaya karena mereka takut kalau kita nanti akan meninggalkan desa dan mangkir dari tanggung jawab,” tuturnya. “Kalau untuk pinjam ke bank desa saja sulitnya bukan main, apalagi kalau kita pinjam di bank besar,” gerutunya.

    Ia juga mengatakan kalau untuk mengajukan pencairan pinjaman harus menggunakan nama dan alamat orang lain agar pinjaman tersebut bisa direalisasi. “Sebagai contoh, kalau kita mau menggadaikan BPKB ke bank, kita harus pinjam nama dan alamat saudara atau orang lain untuk mengajukan pinjaman itu. Meski sepeda dan BPKB tersebut atas nama kita sendiri,” terangnya. Padahal ia dan beberapa warga Gempolsari hanya bisa mengandalkan pembiayaan tambahan dari perbankan akibat belum dibayarkan aset-aset kerugiannya oleh PT Minarak Lapindo Jaya dari awal hingga kini(1/6/11).

    Ketidakpercayaan perbankan kepada korban lapindo tidak hanya pada persoalan pembiayaan seperti hal yang dialami Sulastri dan korban lapindo dari desa Gempolsari. Beberapa warga di desa lainnya mengalami kesulitan ketika akan membuka rekening di bank. Seperti yang dialami Su’udi Supriyono (25), warga desa Renokenongo yang kini tinggal di Perum Renojoyo Kecamatan Porong, saat akan membuka rekening baru di sebuah bank terkemuka untuk syarat administrasi pekerjaannya. “Untuk membuka rekening saja harus dimintai syarat-syarat yang aneh-aneh. Seharusnya bank kan juga harus tahu kalau kondisi kita sekarang ini memang tidak normal, masak harus dimintai surat keterangan ini itu,” protesnya.

    Merasa kesulitan mendapatkan kepercayaan untuk mendapat sumber pembiayaan dari institusi keuangan perbankan, Sulastri dan puluhan warga korban lapindo menginisiasi koperasi Sawo Kecik. Lembaga ini menjadi pilihan baginya dan warga korban lain dalam mendapatkan sumber pembiayaan untuk pengembangan usaha. Meskipun belum besar pembiayaan yang bisa dibantu oleh Sawo Kecik, paling tidak warga korban lapindo telah memiliki sumber pembiayaan yang dapat menerima kondisi mereka saat ini.

    “Kalau pinjam modal untuk usaha, saat ini kami bisa meminjam di koperasi Sawo Kecik. Alhamdulillah kami dibantu tanpa banyak syarat yang menyulitkan. Meskipun besarnya tidak seberapa, yang penting usaha masih bisa berjalan untuk menghidupi keluarga,” ujar Sulastri mensyukuri. (KAM)

    (c) Suara Porong – FM

  • Mana Ganti Rugi Relokasi?

    Dengan cekatan, Sunarsih memotong gulungan adonan tepung itu tipis-tipis. Setelah beberapa gulungan habis terpotong, irisan tepung itu ditatanya dalam tampah untuk dijemur di halaman samping pabrik. Begitulah yang dijalani perempuan 49 tahun itu sebagai pekerja di industri kecil PT Mekar Sari di Desa Sentul, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, yang memproduksi kerupuk udang.

    Desa Sentul kini tumbuh menjadi sentra produksi baru untuk “kerupuk Sidoarjo” yang terkenal renyah dan gurih. Dulu, sentra produksi yang terkenal adalah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Sunarsih sempat kecipratan kejayaan itu. Sebagai buruh di pabrik kerupuk, ia menerima upah Rp 800.000 per bulan. Lumayan untuk menopang hidup keluarganya, karena ia tak dibebani uang kontrak rumah. Ia tinggal di atas sepetak tanah warisan.

    Namun kejayaan Renokenongo hancur oleh banjir lumpur Lapindo. Musibah yang terjadi sejak dua setengah tahun lalu itu pun mengempaskan nasib Sunarsih. Ia kehilangan pekerjaan dan rumah secara bersamaan. Namun kehidupan harus terus berjalan. Sunarsih hijrah menjadi buruh di Desa Sentul. ”Kini semua berubah, tidak seperti dulu lagi,” katanya. Melonjaknya jumlah buruh dan banyaknya industri rumah yang remuk oleh genangan lumpur membuat pasar tenaga kerja jatuh. Sunarsih harus menerima nasib dengan upah Rp 600.000 per bulan. Jumlah itu tentu jauh dari kebutuhan hidup keluarganya.

    Tapi Sunarsih tidak punya banyak pilihan. Pada saat ini, sentra produksi kerupuk banyak yang gulung tikar atau direlokasi ke tempat lain. Beberapa perusahaan yang menjadi korban semburan lumpur mengaku tak kuat lagi melanjutkan produksi setelah berbulan-bulan lumpur menyumbat saluran bisnisnya.

    Terpuruknya Sunarsih mewakili nasib pekerja industri kecil lainnya. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sidoarjo, ada tujuh sentra industri kecil di sana. Industri tas, rokok, dan kerupuk udang terkena efek langsung maupun tak langsung yang parah. Sisanya, yakni industri kecil sandal, bordir, logam, dan peralatan rumah tangga, turut sakit akibat efek multiplier-nya.

    Kerajinan rokok rakyat, misalnya, banyak yang tak mampu bangkit setelah pabriknya terbenam lumpur. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, sebanyak 156 pabrik rokok kini sekarat. Dari jumlah tersebut, yang masih berproduksi secara rutin hanya 20%. Padahal, tahun lalu, Pemerintah Daerah Sidoarjo menyisihkan dana APBN Rp 30 milyar untuk membantu merelokasinya. Lokasi yang dilirik adalah jalan by-pass di Kecamatan Krian. Tempat ini dinilai strategis karena berada di lintas utama Surabaya-Yogya dan jauh dari lumpur. Namun alokasi dana sebesar itu tentu tak mampu menyelamatkan semua pengusaha kecil Sidoarjo.

    Menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Rokok Sidoarjo (Apersid), Sungkono, dulu ada sekitar 500 pabrik rokok kecil di Sidoarjo. Namun ketatnya aturan cukai dan regulasi harga rokok eceran membuat pengusaha banyak yang bangkrut. Nah, ketika yang tersisa hanya berjuang dari impitan regulasi, lumpur Lapindo datang menggenang. Kebanyakan langsung kelojotan karena tidak mampu merelokasi usaha.

    Memindahkan tempat produksi bukan perkara mudah. Akibat luapan lumpur yang terus melebar, tanah dan bangunan di sekitarnya tak laku diagunkan ke bank. Dijual pun tak ada yang melirik. Pengusaha kesulitan mendapat modal. Menurut data Apersid, sentra industri rokok berada di Desa Siring. Desa ini adalah ”ring satu” semburan lumpur. Setelah pabrik mereka terjilat lumpur, banyak pengusaha yang berpindah tempat usaha. Namun tak sedikit pula yang tamat. Sungkono menandaskan, bisnis rokok tergolong amat sensitif. Sebentar saja pasokan telat, pelanggan beralih ke merek lain. ”Makanya, banyak pengusaha yang malas bangkit,” ujar pemilik pabrik rokok Mitra Jaya itu.

    Yang masih bertahan pun kini terbelit biaya produksi yang tinggi. Nurul Huda, pemilik perusahaan rokok merek Jangkar Mas, mengaku harus menyediakan biaya tambahan untuk transportasi karyawan. Sejak bencana lumpur melanda, ratusan pekerja pabriknya di Desa Siring tercerai-berai di pengungsian dan tempat lain. Akibatnya, ia terpaksa menyiapkan biaya tambahan untuk transportasi sebesar 20% gaji. Tak ada data rinci tentang kerugian yang timbul pada sektor ini. Namun angka kerugiannya setelah satu tahun diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah.

    Pengusaha kulit tradisional di Kecamatan Tanggulangin pun mengalami babak paling menyedihkan dalam perjalanan bisnis mereka. Sejak lumpur panas menyembul di Porong, Sidoarjo, 29 Mei 2006, kecamatan yang bersebelahan dengan lokasi semburan lumpur ikut terkena getahnya. Meski luberan lumbur tak sampai menjilat lokasi sentra industri ini, akses ke lokasi itu cukup terganggu.

    Tanggulangin dulu adalah sentra industri kerajinan kulit tradisional. Di kecamatan yang terletak 27 kilometer arah timur kota Surabaya itu, terdapat ratusan gerai yang menjajakan produk tas, koper, dompet, dan jaket buatan lokal. Industri kerajinan rakyat itu berlangsung turun-temurun sejak 1933, yang kemudian berkembang pesat hingga berorientasi ekspor. Aksesnya yang mudah dari jalan tol Sidoarjo membuat daerah ini menjadi salah satu tujuan wisata yang ramai.

    Namun kini Tanggulangin mengalami masa tersulit. Menurut data Asosiasi Pengusaha Tanggulangin (APTA), sebanyak 6.000 perajin tas tradisional terkena dampak tidak langsung musibah itu. Penjualan mereka melorot drastis, tepat setelah terjadi luapan lumpur. Kini yang masih berproduksi tinggal 1.500-an pekerka. Sepanjang 2008 ini, satu per satu perajin menutup usahanya lantaran sepi order.

    Sebelumnya, selama puluhan tahun, dapur ribuan perajin bertahan ngebul dengan memasok 340 gerai yang tersebar di tiga desa. Tapi gerai-gerai itu berjatuhan satu demi satu. Para pembeli, yang umumnya pelancong, enggan mampir ke tempat itu karena macetnya lalu lintas setelah jalur tol Surabaya-Porong tersumbat lumpur. Kini ruang pamer yang tersisa tinggal 80-an. ”Itu pun terus merugi,” kata Ketua APTA, Ismail Syarief.

    Pemerintah tak henti berupaya merelokasi industri kecil yang terkena dampak luapan lumpur. Sayang, proses relokasi ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Lapindo dan pemerintah pusat. ”Itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,” ungkap Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, selaku Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang bertanggung jawab menangani dampak sosial semburan lumpur Lapindo.

    Terbatasnya bantuan pemerintah daerah memaksa pengusaha yang kuat secara finansial memilih melakukan relokasi sendiri. Misalnya dilakukan PT Karya Usaha Bersama. Perusahaan yang memproduksi jam tangan, jam dinding, dan jam meja ini pun akhirnya kesulitan karena terus-menerus menombok upah buruh. ”Terpaksa kami berikan dana talangan dulu. Jika hingga akhir tahun ini tidak juga segera dibayar, kami sudah tidak mampu lagi mengoperasikan perusahaan ini,” kata Santoso, General Manager PT Karya Usaha Bersama.

    Sejak banjir lumpur itu, perusahaan ini melakukan evakuasi dari pabrik lama di Desa Siring, Sidoarjo, ke pabrik baru di kompleks Surabaya Industrial Estate Rungkut. Sayang, menurut Santoso, pihaknya hanya mampu melakukan evakuasi mesin mesin kecil yang tidak permanen. Sedangkan mesin-mesin besar yang terpasang permanen tidak dapat diselamatkan. Bahan-bahan produksi setengah jadi pun ikut tenggelam. ”Otomatis kinerja kami tidak maksimal. Kini kami hanya memproduksi sekitar 15% dari produksi normal,” ujar Santoso.

    PT Karya Usaha Bersama, yang berdiri di atas tanah seluas 1,2 hektare dengan luas bangunan pabrik setengah hektare, merupakan salah satu dari 20 pabrik di Desa Siring, Kedungbendo, Jatirejo, dan Renokenongo yang tenggelam akibat lumpur Lapindo. Kata Santoso, pihaknya telah mengajukan klaim Rp 10 milyar sebagai biaya ganti rugi dan relokasi pabrik. ”Kami mengajukan klaim Rp 10 milyar, meliputi tanah, bangunan, perabotan pabrik, mesin-mesin, bahan-bahan produksi, serta barang setengah jadi dan barang jadi yang tidak bisa diselamatkan. Nilai tanah dan bangunan yang kami tentukan itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan ganti untung tanah dan bangunan milik warga,” paparnya.

    Santoso berharap, PT Lapindo Brantas segera menyelesaikan masalah ganti rugi perusahaan ini. Sebab ia tidak ingin perusahaan yang berdiri sejak 1991 itu kolaps begitu saja. ”Jika tidak segera dibayar, kami kesulitan keuangan. Bayangkan, setiap bulan kami harus mengalami kerugian Rp 10 juta-Rp 30 juta,” katanya.

    Budiman Raharjo, penjabat Kepala Sub-Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sidoarjo, ketika ditemui Gatra, tidak secara tegas menjelaskan proses penanganan korban Lapindo, khususnya industri. Menurut dia, memang dulu ada bantuan dari Presiden RI untuk program penanganan industri kecil sebesar Rp 10 milyar. Namun rupanya dana itu tidak terlalu berpengaruh bagi pemulihan ekonomi di lokasi bencana. ”Kini kami fokus memberikan bantuan fasilitas kepada mereka, misalnya dengan mengadakan pameran produk unggulan,” tuturnya.

    Heru Pamuji, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)

    [Ekonomi, Gatra Nomor 49 Beredar Kamis, 16 Oktober 2008]

    http://gatra. com/artikel. php?id=119471

  • Kali Porong Penuh Lumpur, Penambang Pasir Kehilangan Pekerjaan

    korbanlumpur.info – Dulu Samian (40 tahun), warga Permisan Jabon, menjadi penambang pasir di kali Porong. Dia harus merelakan pekerjaannya hilang lantaran kali Porong kini dipenuhi lumpur hingga hampir rata dengan dua pinggirnya.

    Jam kerja Samian tak lazim yakni mulai jam 3 dini hari saat kali surut dan Samian bisa mengambil pasir dengan leluasa menggunakan perahu kecil. Tiap hari dia bisa mengumpulkan 12 perahu penuh pasir. Pekerjaannya selesai kalau jam satu siang karena mulai pasang, truk-truk pengusung pasir sudah menunggu hasil kerjanya.

    “Saya biasa dapat delapan puluh ribu per hari,” tutur Samian.

    Menurut catatan Final Draft United Nations Environment Programe yang dirilis Juni 2008: luapan lumpur Lapindo yang luapannya naik terus mulai dari 40 ribu-60 ribu meter kubik  per hari pada awal awal 2007 menjadi 80 ribu meter kubik tiap harinya pada Agustus 2007 dan terus meningkat hingga 150 ribu meter kubik perharinya dan menyebabkan 10.426 rumah dari dua belas desa di tiga kecamatan Sidoarjo tenggelam.

    Luas luapannya hingga 810 hektar dan menghilangkan pekerjaan 1873 karyawan dari 30 pabrik yang tak bisa beroperasi karena terendam lumpur. Karyawan ini agak beruntung karena tercatat resmi dan dapat ganti rugi selama enam bulan sesuai upah minimum daerah.

    Yang paling sial karena tak dapat ganti rugi adalah pemilik usaha rumahan macam, usaha dompet, tas, penambak, petani, buruh bangunan dan penambang pasir yang jumlahnya ribuan orang di tiga kecamatan yang terdampak lumpur.

    Orang-orang ini berusaha sendiri untuk melanjutkan hidupnya dengan mengojek, tukang parkir bahkan banyak yang jadi pengemis.

    Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkesan lambat dan tak tegas dalam menangani kasus ini. Meski sudah mengeluarkan peraturan presiden yang mengatur pertanggungjawaban Lapindo untuk mengurusi lumpur sekaligus korbannya. Namun SBY tak bisa berbuat apa-apa saat Lapindo mangkir dari peraturan itu.

    Banyak yang curiga ketidaktegasan ini disebabkan karena kedekatan hubungan antara SBY dengan Abu Rizal Bakrie, penguasa Bakrie and Brothers (induk Lapindo Brantas)-cum-orang terkaya se Indonesia versi Forbes Asia Desember 2007-cum-pemilik aset $US 5,4 milyar-cum-Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

    Kecurigaan ini makin mengental setelah dua tahun lebih pemerintah tak juga menuntaskan kasus luapan lumpur Lapindo.

    Karena ketidaktegasan ini masyarakat yang kehilangan pekerjaan macam Samian terlantar. Kali Porong tempat dia bekerja sudah dipenuhi lumpur dan ditutup sekarang, tak ada lagi aktivitas penambangan pasir di sana. Samian dan kawan-kawannya dipaksa untuk mencari pekerjaan baru untuk melanjutkan hidupnya.

    Dia menjadi buruh bangunan serabutan kini. Sekarang ini dia lagi ada garapan di daerah Tuyono, Tanggulangin. Penghasilan Samian menurun separuhnya.

    “Sekarang 40 ribu per hari,” tutur Samian. Setelah pekerjaan ini selesai Samian tak tau musti bekerja kemana lagi.[re/mam]

  • Renokenongo Ditanggul: Warga Protes

    korbanlumpur.info  – Melihat truk hilir mudik mengusung tanah dan eskavator membikin dasar tanggul lalu memadatkannya warga Renokenongo hanya bisa aksi berteriak menuntut penanggulan dihentikan.

    “Warga iki kurang opo, warga kurang apa, kami disuruh cash and carry kami ikut, cash and ressetlement kami ikut, cash and relokasi kami ikut, tapi tidak direalisasikan. Sekarang tanah kami ditanggul, kami jangan dibodohi terus,” teriak Imron, warga Renokenongo RT 17/04, dihadapan ratusan polisi yang menghalau aksi.

    Sejak lumpur menenggelamkan desa Renokenongo, dua tahun lalu, warga Renokenongo menjadi tercerai berai; sebagian mengungsi di pasar Baru Porong, sebagian pindah ngontrak di tempat lain, dan sebagian masih tinggal di rumah mereka meski kondisinya membahayakan karena amblesan tanah. Aksi siang ini adalah aksi warga yang masih tinggal di desa dan sebagian besar mereka belum mendapatkan uang pembelian tanah mereka.

    “Kami belum mendapatkan pembayaran dua puluh persen,” tutur Samik (40 tahun). “Kalau ditanggul kami akan tinggal di mana?” tambahnya.

    Peremuan beranak 2 ini sudah mendapatkan uang kontrak untuk dua tahun memang dan uang itu ia gunakan untuk makan bersama suami dan anaknya karena tak punya pekerjaan lagi akibat sawahnya terendam lumpur.

    “Duit 5 juta dapat apa, Mas?” tutur Samik.

    Penanggulan terus  dilakukan di tengah desa Renokenongo tanpa memperdulikan tuntutan warga. Tepatnya di perbatasan dukuh Renokenongo dan dukuh Risen. Ratusan warga beraksi di jalan depan rumah Malik (RT 05/02 Renokenongo) dan ratusan polisi dari Polres Sidoarjo menghalau mereka tepat di pinggir jalan eskavator. Seorang polisi malah duduk di samping sopir eskavator, mereka abai dengan tuntutan warga.

    Di lapangan ada Bajuri Edy Cahyono, bagian lapangan BPLS, dan Suliono, pegawai Minarak Lapindo Jaya. Saat diminta untuk menghentikan penanggulan mereka tak bisa berbuat apa-apa.”Saya hanya pelaksana, atasan saya yang ambil keputusan. Saya sudah sms Pak Sunarso tapi belum dibalas,” tutur Bajuri.Suliono, lebih parah, hanya diam saja saat dicecar tuntutan supaya Lapindo membayar dulu baru menanggul.

    “Anda boleh bekerja tapi selesaikan dulu pembayaran dengan warga,” tuntut Gunawan (29 tahun), warga RT 07/02 Renokenongo.

    Meski emosi warga tak bisa berbuat apa-apa menanggapi jawaban Bajuri dan diamnya Suliono. Mereka lalu duduk-duduk di jalur penanggulan mereka kecewa dengan polisi yang tidak membela orang kecil, “sing jelas ora mbelo warga, Mas, yang jelas tidak membela warga, Mas?” tutur Anang Sutarno (35 tahun), warga RT 09/02 Renokenongo, “Aparat mboten saget Mbelani wong cilik, aparat tidak bisa membela orang kecil,” tegas Gunawan.[mam]

  • Lapindo mudflow threatens Japanese investment

    The prolonged mudflow disaster has threatened East Java’s chances of attracting foreign investment, particularly from Japan, a local official says.

    The issue has become a major problem, discussed at a meeting of the Japan Club in Surabaya last week, chairman of the East Java Investment Board (BPM) Djoni Irianto told The Jakarta Post here Tuesday.

    A number of Japanese investors had expressed interest in the province, but decided to hold back until they receive a satisfactory explanation to at least three of their four questions regarding the disaster, he added.

    “We were given until Friday to respond to their questions,” Djoni said.

    The three questions concern the relocation of a section of the Surabaya-Gempol toll road, land subsidence on the Porong artery road and the possible overflow of Porong River, into which the mud has flown, he added.

    A forth question concerned the possible threat of avian flu, especially given outbreaks across Indonesia over the past four years. A leak that began on June 29, 2006 at Lapindo Brantas Inc.’s mining site became a mudflow disaster that has thus far buried at least four villages, displacing some 13,000 villagers.

    The mudflow has also damaged Porong highway, a railway line, and the Gempol toll road, causing soil subsidence at the disaster site.

    Many Japanese investors in Pasuruan have had to spend more on production costs, particularly to transport products and raw materials as a result of the damaged road, Japan Club chairman Hajime Matsuda sat at the meeting.

    “That has made it difficult to compete with companies in Sidoarjo and Gresik, two other industrial zones in the province,” Djoni quoted Hajime as saying.

    Around 80 Japanese investors actively involved in the new Pasuruan industrial zone expressed their commitment to retain workers despite the overburdening transportation problem, Djoni added.

    “We are proud of the investors’ commitment because many have repatriated their experts and senior staff instead of dismissing low-income workers, to cope with the additional transportation costs,” he said.

    The congested Porong artery and toll roads are the only links connecting Pasuruan with the port and the provincial capital, he added.

    Japanese investors want the industrial zone to provide an integrated service center, including for tax and excise examinations and for investment permits, Djoni said.

    With such a center, they could begin operations relatively quickly, despite having to pay extra.

    “That is why BPM sought a deadline from the government on the completion of the toll road relocation, the handling of bird flu and other issues that could make foreign investors reluctant to invest in the province,” Djoni said.

    BPM established an investment clinic last month to provide accurate information on whatever foreign investors need to know to invest in the province, he added.

    Djoni was confident more foreign investors will be attracted to the province, which he described as an excellent alternative investment destination, after Jakarta and Riau.

    In actuality, East Java is not trying to compete with those areas, but with Malaysia and Thailand, especially because the province’s infrastructure and regulatory environment are considered business-friendly to foreign investors, with the government working hard to eliminate barriers and costs, he added.

    The province has continued developing its potential in the provision of raw materials for mining, agribusiness and trading, a new sector that has attracted many Chinese investors, Djoni said.

    “Entering their second semester this year, Chinese investors have been taking the lead in the trading sector with 60 percent of their investments, worth US$54.2 million,” he added.

    The US$29.5 million in Japanese investment comes fourth, after Singapore’s $214 million and South Korea’s $40.3 million, he said.

    For the past eight months, the provincial government has issued investment permits for 45 foreign investors, in addition to expanding permits for 19 others in Gresik, Sidoarjo, Pamekasan, Malang and Tuban.

    Wahyoe Boediwardhana, The Jakarta Post, Surabaya

  • Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    korbanlumpur.info – Menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini, kegundahan menyelimuti perasaan Mutomaroh. Korban Lumpur Lapindo dari desa Kedung Bendo ini dulunya mempunyai usaha kerajinan perhiasan emas. Sebelum terjadinya semburan lumpur yang kini menenggelamkan desanya, dia mampu memberi tunjangan hari raya (THR) kepada 6 orang anak buahnya.

    “Sekarang usaha saya sudah gulung tikar. Memikirkan dana untuk pengeluaran hari raya saja sudah sulit” tuturnya kepadatim media Kanal korban Lapindo.

    Meluncurlah kemudian kesaksian Mbak Waroh, demikian ibu muda berusia 30 tahun ini biasa dipanggil, tentang bagaimana usahanya yang harus tutup setelah terjadi semburan lumpur.

    Menurutnya, usaha emas yang dulu digelutinya merupakan usaha turun temurun selama beberapa generasi. Keluarganya membuat berbagai macam perhiasan emas, seperti gelang, cincin, anting-anting, kalung dan sebagainya. Semua pekerjaan dilakukan di rumahnya sendiri, yang salah satu ruangannya dirombak jadi tempat produksi.

    Sebagian besar pesanan berasal dari pedagang di Bali, disamping dari beberapa tempat di sekitar Sidoarjo. Usaha kecil inibahkan mampu mempekerjakan 6 orang tetangganya di desa. “Setiap bulan, rata-rata keuntungan kami bisa mencapai 15 juta” kenang perempuan yang hanya tamatan SD ini.

    Bahkan dari usahanya ini, dia sudah mampu membuat satu rumah sendiri di sebelah rumah orang tuanya. Namun apa hendakdikata, lumpur kemudian menenggelamkan desanya, termasuk tempat usaha dan rumahyang baru selesai dibangun. “Bahkan saya dan suami belum sempat meninggali rumah yang kami beli dengan kerja keras kami sendiri itu,” tuturnya.

    Usaha Yang Hilang

    Ibu dari dua orang putra ini kemudian menjelaskan, bahwa usahanya langsung berhenti begitu lumpur merendam desa Kedung Bendo pasca ledakan pipa gas pertamina pada November 2006.

    Rumahnya yang agak jauh dari tanggul membuatnya dia masih sempat menyelamatkan beberapa peralatan produksi, sepertimesin giling, pemoles dan lainnya. Peralatan tersebut kemudian dititipkan kepada temannya di Japanan, Pasuruan, dengan harapan nantinya kalau lumpur sudah surut akan bisa dipakai lagi untuk usaha.

    Tetapi harapan tersebut tinggal harapan semata, karena alih-alih surut, lumpur semakin membesar dan menenggalamkan desanya secara permanen sampai sekarang. Setelah itu, dia dan keluarga mengungsi bersama sebagian besar korban lainnya ke Pasar Baru Porong. “Kami terpaksa tinggal disana selama 3 bulan lebih, dengan kondisi yang sangat menyesakkan,” kenangnya pahit.

    Setelah itu, dia mengontrak rumah di Japanan dengan harapan untuk memulai lagi usahanya. Tetapi keinginan tersebut sekali lagi tidak dapat terwujud. Untuk menyiapkan tempat produksi yang layak dan aman, memerlukan dana yang cukup besar. “Padahal uang tabungan sudah ludes semua untuk kebutuhan sehari-hari selama di pengungsian,” lanjutnya.

    Disamping itu, para pelanggan yang biasanya memberi pesanan kepadanya juga sudah berpindah kepada pengrajin di daerah lain. “Lha wong sebelumnya selama 3 bulan di pengungsian itu kami tidak bisa bekerjasama sekali karena tempatnya tidak memungkinkan,” lanjut Mbak Waroh.

    Karena usahanya yang dulu sudah tidak mungkin dikerjakan lagi, Mbak Waroh dan suaminya harus memutar otak untuk tetap bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Tetapi saya lebih kasihan mikir anak-anak (mantan anak buahnya, red), sebab mereka kondisinya lebih berat dari kami,” katanya.

    Dan kenangan akan para mantan anak buahnya itu semakin kuat menjelang bulan ramadhan seperti sekarang ini. Sebab dulunya pada bulan ramadhan dan pada musim liburan merupakan puncak ramainya bisnis yang diageluti. Dan hari raya depan adalah untuk yang kedua kalinya dia lewati tanpa kegembiraan seperti dulu sebelum ada lumpur.

    Segera Lunasi Sisa Pembayaran

    Namun segala kesulitan ini tampaknya masih akan lebih lama lagi dialami oleh Mbak Waroh dan ribuan korban lumpur Lapindo lainnya. Setelah dua tahun lebih, ternyata Lapindo masih jauh dari komitmen untuk membayar uang jual beli tanah warga yang sudah tenggelam oleh lumpur akibat kesalahan pemboran Lapindo itu.

    “Padahal, saya itu sebenarnya sudah terima lhodengan model ganti rugi itu, meskipun tidak adil. Tetapi kenapa mereka tidak segera bayar,” ujarnya. Menurut Mbak Waroh ganti rugi yang adil seharusnya menghitung pendapatan yang hilang akibat dia tidak bisa bekerja selama dua tahun ini. Juga kerugian immaterial lainnya seperti semua kesulitan dan ketidaknyamanan hidup yang terpaksa harus mereka alami.

    Karena itu, dia meminta kepada pemerintah untuk segera mendesak Lapindo menyelesaikan pembayaran sisa 80 persennya secara tunai. “Uang itu nantinya akan kami pakai untuk beli rumah sekaligus memulai lagi usaha kami yang dulu,” pungkasnya.

    Semoga tuntutan mbak Waroh dan puluhan ribu korban Lapindo lainnya segera terpenuhi. Agar mereka segera bisa menikmati kebahagiaan dan berbagi senyum di Hari Raya seperti sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo. (ako)

  • Kerugian Akibat Lumpur Lapindo Mencapai Rp 45 Triliun

    SURABAYA — Kerugian akibat bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, diperkirakan mencapai Rp 45 Triliun per tahun. Pernyataan ini disampaikan Tjuk Kasturi Sukiadi, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, kemarin.

    “Kerugian ini mencakup ekonomi masyarakat, industri, serta infrastruktur,” katanya. Tjuk mengatakan, akibat lumpur, kerugian ekonomi berupa aset warga mencapai Rp 8 triliun dan kerugian hilangnya potensi pendapatan warga mencapai Rp 250 miliar.

    Angka ini didapat dari nilai 824 hektare lahan yang terendam serta aset rumah warga (milik 10.430 keluarga) yang terendam lumpur dan hilangnya lapangan pekerjaan warga.

    Lapangan pekerjaan yang hilang meliputi sektor formal, seperti pabrik yang tenggelam, dan sektor informal, seperti toko pracangan, pedagang di pasar desa, warung, tukang ojek, hingga tukang becak yang ada di Porong.

    Sektor industri, menurut Tjuk, kerugiannya mencapai Rp 700 miliar berupa aset 28 pabrik (dengan 2.935 karyawan) yang terendam serta potensi hilangnya pendapatan pabrik yang per tahunnya mencapai Rp 280 miliar.

    Akibat lumpur Lapindo, sektor infrastruktur juga ikut terpukul. Infrastruktur ini meliputi jalan tol, jalan raya, jaringan pipa gas, jaringan listrik Jawa-Bali, hingga tenggelamnya sejumlah bangunan publik yang kerugiannya mencapai Rp 20 triliun.

    Selain tiga sektor ini, menurut Tjuk, masih ada kerugian sekitar Rp triliun yang dialami warga di sejumlah desa di sekitar lokasi bencana. 

    Kondisi yang memprihatinkan ini, kata Tjuk, karena 40 persen pergerakan ekonomi di Jawa Timur melalui jalan tol Surabaya-Porong yang hancur digerus lumpur. “Sebagian besar kendaraan yang ke Surabaya lewat jalur ini,” katanya.

    Di jalan tol Porong, misalnya, sebelum terendam lumpur, per hari jalan ini dilalui 60 ribu kendaraan niaga dan 30 ribu kendaraan pribadi.

    Sedangkan jalan raya Porong, sebelum ada lumpur, per hari dilalui 30 ribu kendaraan. “Karena jalan tol Porong tertutup, jalan raya Porong saat ini harus menampung 120 ribu kendaraan,” katanya.

    Akibat lumpur ini, kerugian di sektor transportasi (termasuk kereta api) mencapai Rp 3,65 triliun.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan, bencana lumpur di daerahnya merugikan Jawa Timur, khususnya daerah Sidoarjo.

    Menurut dia, saat ini sektor usaha kecil menengah dan bisnis perumahan di Sidoarjo sudah mulai bangkit. “Dulu sektor perumahan drop 80 persen, tapi, alhamdulillah, saat ini sudah bangkit,” katanya.

    “Ada teori menarik, di tengah bencana, ekonomi di sektor tertentu akan naik, dan ini terjadi di Sidoarjo,” katanya.

    ROHMAN TAUFIQ

    © Koran Tempo

  • Masa Depan Warga Porong Suram

    Semburan Lumpur Lapindo agar Segera Diatasi

    Surabaya, Kompas – Warga sekitar kawasan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terancam tidak mempunyai masa depan apabila lumpur Lapindo tidak ditangani secara tepat. Persoalannya, dampak luapan lumpur itu berkepanjangan. Lebih dari 2 tahun semburan lumpur itu telah menimbulkan dampak negatif bagi warga dan ekonomi Jawa Timur.

    Jalur di Porong ibarat urat nadi perekonomian Jawa Timur (Jatim). Pergerakan ekonomi Jatim yang melewati jalur di Porong sekitar 40 persen. Kondisi tersebut tercermin dari berbagai industri dan usaha, mulai perhotelan sampai angkutan darat. Dampak yang sangat terasa terutama untuk kawasan di sekitar Porong maupun daerah yang melewati Porong, seperti Prigen, Tretes, Pasuruan, bahkan sampai Banyuwangi.

    Selama lumpur Lapindo tidak tertangani secara baik, kawasan Porong menjadi terganggu dan ini berpengaruh terhadap pelaku usaha serta warga di sana. “Walau banyak yang mengatakan sekarang perekonomian di sana mulai pulih, itu bukan berarti tidak ada masalah,” kata pengamat ekonomi dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Tjuk Kasturi Sukiadi, dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi, Kamis (21/8). Simposium itu juga menghadirkan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Bahkan, rencana relokasi infrastruktur Porong menjadi pukulan tersendiri bagi warga yang menempati peta terdampak. Di satu sisi relokasi infrastruktur menjadi solusi untuk mengatasi persoalan transportasi, tetapi di sisi lain menyebabkan kawasan Porong dan sekitarnya mati. “Bisa-bisa Porong dan sekitarnya menjadi daerah yang ditinggalkan,” tuturnya. Hanya 1 persen

    Dikatakan, berdasarkan perhitungan beberapa unsur, di antaranya pariwisata, industri, dan transportasi, potensi kerugian akibat lumpur Lapindo berkisar Rp 45 triliun per tahun. Artinya, sejak semburan lumpur pada Mei 2006 sampai sekarang, kerugian akibat lumpur di atas Rp 90 triliun. “Kerugian masih terus bertambah karena belum ada jalan keluar,” kata Tjuk.

    Menurut dia, seharusnya pusat semburan lumpur ditutup. Tidak ada jalan lain. Apalagi, sumber daya manusia baik pakar dari dalam negeri maupun luar negeri siap membantu. Dengan dana yang diperlukan sekitar Rp 1 triliun, seharusnya upaya menutup pusat semburan bisa segera direalisasikan. “Ini kecelakaan teknis kok dibiarkan saja,” ujar Tjuk.

    Namun, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menilai adanya lumpur Lapindo tidak berarti mematikan Sidoarjo. Sebagai gambaran, wilayah Sidoarjo berada di atas lahan seluas 743 kilometer persegi. Sementara daerah yang terdampak lumpur Lapindo hanya 700 hektar. “Luasnya hanya 1 persen dari seluruh wilayah. Sidoarjo akan pulih,” katanya.

    Membaiknya perekonomian di sekitar Sidoarjo terlihat dari human development index Sidoarjo yang mencapai 72,85 persen. Perolehan tersebut mengacu pada beberapa kriteria, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat. “Maka, kami mengampanyekan Sidoarjo Bangkit dan memberikan kemudahan kepada masyarakat korban lumpur. Salah satunya berupa bantuan modal kerja,” ujar Win. (BEE)

    © Kompas

  • A Wound in The Earth

    In Indonesia, an entire district has been buried by an eruption of boiling, noxious mud. Was it a natural disaster-or an industrial accident?

    On the morning of June 2, 2006, Ahmad Mudakir, a 33-year-old factory worker from Porong, a sleepy district in eastern Java, was in his front yard tinkering with his motorbike. A little after 8 a.m. he felt a rumbling in the ground-worrying, but not wholly unexpected in this seismically fitful corner of Indonesia. What happened next was anything but expected. Mudakir watched as a neighbor, who had been inside eating breakfast, came tumbling into the street. “There was an explosion,” Mudakir recalls. “Then the mud started to flow.” He gaped in amazement as a geyser of scalding sludge shot five meters into the air, collapsing the roof of his neighbor’s house. Mudakir froze. Then he gathered his mother and two brothers from inside his own house. “The whole village was panicking. Everyone ran.” Mudakir didn’t stop to collect his family’s belongings. He assumed he’d be able to return home.

    Today, Mudakir’s village, along with much of the rest of Porong, is gone, swallowed by an ash-gray lake of mud. The noxious sludge, incredibly, continues to flow at a rate of up to 5.3 million cu. ft. (150,000 cu m) a day-enough to fill 50 Olympic-sized swimming pools. In total, Porong has been smothered beneath nearly 3.5 billion cu. ft. (100 million cu m) of the stuff. The mud has buried 12 villages, displaced around 16,000 people and caused more than a dozen deaths. Porong hasn’t just been destroyed; it has been erased. Where Mudakir’s house once stood, there is now a vast, gurgling expanse, with only the occasional protruding tree branch or rooftop to suggest the landscape entombed beneath it.

    Locals call it Lusi-a portmanteau of the Indonesian word for mud, lumpur, and the name of the nearest city, Sidoarjo. Lusi is a mud volcano, though that appellation is somewhat misleading. The mud is actually more like brackish water. And, unlike the igneous volcanoes that dot Indonesia’s countryside, the underground plumbing fueling Lusi is largely mysterious. Twenty-two months after it first erupted, Lusi remains the world’s most bewildering environmental disaster. “I’ve never seen anything like it,” says Richard Davies, a geologist at Britain’s Durham University and one of only a handful of experts on mud volcanoes. “It’s a scene, when you see it, you can only say, ‘Oh, my God, it’s a complete bloody mess.’”

    The destruction is total. At the eruption’s epicenter-known to workers at the site as the Big Hole-a 100-ft. (30 m) plume of white smoke billows into the sky, obscuring the sun and spreading the sulfurous odor of rotting eggs. On a narrow causeway leading to the caldera, dozens of trucks idle in a queue, waiting to deliver soil for the massive earthworks meant to contain the mud. Already, they have transported more than 88 million cu. ft. (2.5 million cu m) of dirt to build eight miles (13 km) of levees around the site. Dozens of cranes work late into the evening piling the dirt atop bulwarks nearly 65 ft. (20 m) tall in places.

    As the mud rises, so must the levees, but so far Lusi seems to be outpacing human engineering. Twice the earthworks have been breached-most recently on Jan. 4-flooding more houses. On Nov. 22, 2006, the weight of the soil ruptured a natural-gas pipeline, causing a massive fireball that incinerated 13 workers.

    According to an International Monetary Fund estimate, Lusi has already cost Indonesia $3.7 billion in damage and damage control. And things are likely to get worse. As mud spews up from the ground, the area around the eruption is gradually sinking. Eventually, Porong could become a giant sucking wound in the Earth.

    Ground Forces

    INDONESIA IS BOTH BLESSED AND CURSED by geology. Volcanic ash contributes to the archipelago’s fecund soil. Yet eruptions periodically kill thousands. Indonesia is also rich in minerals and oil, exporting nearly half a million barrels a day. All told, the country’s buried wealth accounts for almost 30% of its total exports. But the same grinding geologic processes that make this wealth possible also bedevil Indonesia with disasters like the 2004 earthquake and tsunami that killed more than 160,000 people in Sumatra. Lusi is unlike any previous disaster, however. Unfolding in implacable slow motion, it has confounded Indonesian engineers and mystics alike. The mostly poor villagers who have lost homes and livelihoods to the mud complain that the response to the unfolding disaster has been equally sluggardly-a symptom, perhaps, of the fault lines in Indonesian society’s own unsettled foundations.

    That’s because mud isn’t the only thing boiling over in Porong. Villagers displaced by the eruption blame the disaster on PT Lapindo Brantas, an Indonesian mining company drilling for natural gas in the area. Lapindo is partly controlled by the family of Aburizal Bakrie, Coordinating Minister for the People’s Welfare, one of Indonesia’s wealthiest men and an ally of President Susilo Bambang Yudhoyono. Victims of the disaster say that a murky web of political influence and corporate fecklessness has blunted the official response to the mud eruption. “Everyone is suspicious,” says Mas Achmad Santosa, one of Indonesia’s most prominent environmental lawyers. “It’s a politically heavy case.”

    Some independent geologists, including Davies, believe that Lapindo may have inadvertently roused the awesome force slumbering beneath Indonesia. “I’m 98% certain this was due to drilling,” he says. Davies, who visited Porong last year and has studied the eruption extensively, thinks he knows how that happened. On May 27, Lapindo’s Banjar Panji-1 well was operating in a field not far from Ahmad Mudakir’s village. The well’s target was a shelf of limestone some 9,800 ft. (3,000 m) below the surface. Lapindo’s drillers were searching for natural-gas deposits, but the well was exploratory. No one knew for certain the subterranean conditions beneath Porong. The drillers had reached about 9,300 ft. (2,800 m) when they noticed a drop in pressure inside the well.

    Such a drop, called a loss of circulation, isn’t uncommon in gas drilling. It usually means that natural fractures inside the borehole are allowing drilling fluid to leak out. Lapindo’s engineers responded by pumping heavy drilling mud into the well to seal the cracks and restore pressure. Then they began to pull out the drill. Davies thinks that while they were removing the drill on the morning of May 28, they set off a massive “kick,” in which high-pressure water and gas from the surrounding rock flowed into, rather than out of, the borehole. To prevent a potentially dangerous blowout, the drillers shut vents at the surface, effectively corking the pressure inside the well. But it was too late. Water from a pressurized aquifer thousands of feet below the surface surged upward, picking up debris from a layer of mudstone as it did. Davies compares the effect to a bicycle pump. When the pump is sealed, the pressure is contained inside. But when it is allowed to escape, air comes rushing out. Lapindo’s drilling primed a natural pump, he believes. Unable to escape through the capped well, the water sought other avenues. At around 5 a.m. the following morning, the first eruption started in a rice paddy about 500 ft. (150 m) from the Banjar Panji-1 rig.

    Banjar Panji-1 never should have gotten so out of control, according to Richard Swarbrick, a British expert on geological pressure and a consultant to oil companies. Usually, when drilling in geologically unstable areas, engineers install steel casing at greater depths, where the low density of the rock might allow fluid to escape from the borehole. In the event of a kick, the casing allows drillers to maintain the integrity of the well. Swarbrick, who has reviewed Lapindo’s drilling plan, says the company originally intended to install casing at depths of 3,500 ft., 4,500 ft. and 8,500 ft. (1,000 m, 1,400 m and 2,600 m). “The conventional well design in that sort of pressure environment would be to install casing,” Swarbrick says. Yet, either through oversight or because of technical problems, Lapindo did not case the hole to the planned depth. “For whatever reason, they weren’t following the plan,” Swarbrick says. “They had 5,000 feet of open hole. That’s taking one heck of a risk.”

    The Nature Argument

    LAPINDO SAYS ITS DRILLING PLAN WAS approved by the government. “The drilling process complied with mandatory regulations,” says company vice president Yuniwati Teryana. “We met the requirements.” Teryana offers another explanation for the eruption. Two days before Lusi started, a 6.3-magnitude earthquake shook the city of Yogyakarta, about 190 miles (300 km) to the west of Porong. Lapindo believes that the quake opened natural fractures that allowed the mud to escape. “The mud eruption is caused by a natural phenomenon,” Teryana says. That’s an opinion shared by Adriano Mazzini, a geologist at the University of Oslo.

    After studying data provided by Lapindo, Mazzini concluded that Lusi was probably caused by the May 27 earthquake. “There is strong evidence for a naturally triggered event,” he says. Davies believes that if the eruption had been caused by the quake, it would have occurred sooner afterward; he cites research suggesting Porong was too far from the earthquake’s epicenter to be affected.

    Given that no one fully understands the powerful subterranean engine powering Lusi, efforts to stop it have proven predictably ineffectual. Two relief wells intended to reduce pressure inside the original well have failed. Early last year, scientists from Indonesia’s Bandung Institute of Technology came up with a more novel idea: dropping thousands of concrete balls, linked with chains like a string of pearls, into the Big Hole. The idea was to bleed off pressure inside the volcano slowly enough so that Lusi wouldn’t simply erupt elsewhere-or shoot the concrete balls back out like a cannon. Satria Bijaksana, one of the Bandung scientists who came up with the idea, says that the balls reduced the mud’s flow temporarily. But the project was abandoned last March when a new government team took over management of the site. More recently, a Japanese team proposed building a 130-ft.-high (40 m high) dam to contain the mud. Scientists familiar with Lusi have dismissed that idea. Because the ground beneath the caldera is still sinking, a heavy concrete dam would likely rupture.

    Going with the Flow

    LUSI MAY, IN FACT, BE UNSTOPPABLE. IN 1979, the oil company Shell set off a similar eruption while drilling off the shore of Brunei. That mudflow took 20 years and 20 relief wells to halt, according to Mark Tingay, a geologist at the University of Adelaide in Australia. Lusi may eventually choke itself as mud clogs its interior plumbing. But if left to die on its own, Davies estimates that it could continue to erupt for years, and perhaps even decades. Hardi Prasetyo, deputy head of the new government team in charge of Lusi, says that his workers are now focusing on containing, rather than stopping, the mud. The current strategy includes channeling the sludge into the nearby Porong River in the hope that it will be flushed to the sea. Mud flows through a massive spillway to a pumping station, from which it gushes into the river. Two dredges work to keep the waterway open. But already, the river is filling with mud. At a shrimp farm downstream, where men stripped to their underpants wade through paddies, workers complain that the mud is clogging their water supply. “This is a war,” says Prasetyo, gesturing at a line of trucks rumbling along a levee. “We are not promising to stop it. We must also pray to God.”

    Locals have turned to less orthodox methods. According to one popular story, the Lapindo drilling may have angered a spirit living in a tree near the eruption site. Such beliefs have an enduring appeal in this part of Indonesia, where religion is a syncretic mix of Islam and animism, and Lusi has drawn mystics from Bali and Borneo, who have sacrificed chickens, monkeys and even a cow to mollify the upset spirit. The government’s engineering team has tried similar tactics; a spokesman says the group has hired diviners to pray for rain to wash the mud away.

    Along with the mystics have come opportunists. To attract curious visitors, one enterprising local hotel changed its name to Kuala Lumpur: “Lake of Mud.” In the roads near Lusi, shirtless men dart in and out of traffic selling bags of roasted nuts and dried fruit. They have also installed themselves at certain busy intersections, and demand a small levy to let cars pass. At the top of a levee, the men eagerly tout CDs compiled from video footage of the disaster. “Professional best,” promises one CD featuring a photo of a charred, mud-crusted corpse on its front cover. Some of the CD sellers are displaced villagers; others are merely hoping to make a little money. One man cheerfully says he is a pickpocket. For 10,000 rupiah, or about one dollar, the touts offer visitors motorbike tours of the site.

    One, a laconic, mostly toothless man named Purwanto, says he was a farmer before the mud smothered his rice fields. He now makes extra cash taking tourists to the wreckage of his house, located in the shadow of the levees. Purwanto’s village flooded last year when the dikes broke, and, although it hasn’t been fully inundated yet, most of the people have demolished their homes for scrap and moved on. At present, the village looks like it has been carpet-bombed, with piles of rubble rising out of the greasy water. Purwanto points out an especially large mound: the remains of the town’s grandest house. His own more modest home is gone except for the broken stubble of the walls. “I was born at this house,” Purwanto says, sucking contemplatively on a clove-scented cigarette. From a nearby mosque, still being used despite the rising mud, the call of the muezzin echoes through the abandoned village. “Where my parents are buried is covered by the mud,” Purwanto adds.

    There’s no question about whom the villagers blame for their distress. At a refugee camp in a local outdoor market, where more than 2,000 people live in converted, tarp-covered stalls amid goats grazing contentedly on piles of garbage, graffiti makes their target clear: “Lapindo terrorist,” one reads. The company provides food for everyone in the camp, along with services such as a medical clinic and a makeshift mosque. But the villagers are quick to recite a litany of complaints, from the quality of the rations to the health effects of the mud (though the government team says the gas coming from Lusi has no ill effect, locals complain of difficulty breathing and strange rashes).

    Mostly, though, they complain about money. On the orders of the Indonesian government, Lapindo has agreed to compensate the villagers with a total of $412 million-the company is offering 20% of the money up front, with the balance paid within two years. “It will not be enough,” says Riati, a 45-year-old woman sitting outside the 16-ft.-wide (5 m wide) cubicle where she lives with her husband and sister. Riati says she turned down Lapindo’s offer of 40 million rupiah, or about $4,500-with an initial payment of 8 million rupiah-because she says even the full amount is not enough for her to buy a new home. Teryana, the Lapindo vice president, says the company hopes the holdout villagers can be persuaded to accept the compensation scheme.

    Anger Management

    AS NEGOTIATIONS HAVE DRAGGED ON, THE refugees are growing increasingly militant. In one corner of the market camp, villagers have stockpiled sharpened bamboo stakes-a defense against possible forced eviction. The villagers have also directed their anger at local officials regarded as allies of the company. At one recent protest, a crowd of about 200 people occupied a government compound to demand the resignation of a village chief. The demonstration began almost casually, with families picnicking or resting beneath the shade of a banyan tree. But tempers rose with the broiling midday heat. A squad of policemen armed with machine guns arrived and took up a position opposite the protesters.

    “Please respect our suffering,” a man shouted through a loudspeaker. A scuffle broke out between police and protesters, and the policemen surged forward, kicking and pushing the scattering demonstrators. One of the protest’s leaders explained that the police had previously exercised restraint when dealing with them. “We carry out our protests in a peaceful manner,” he said. “We never have anarchy.” Then he added, for portentous effect: “Not yet.” The demonstrations are indeed growing more aggressive: on Feb. 19, villagers blockaded a main road in the Sidoarjo area to protest a new parliamentary report that concludes Lusi was a natural disaster.

    Fueling the refugees’ anger is the fear that Lapindo will walk away from its promises. Last September, PT Energi Mega Persada, a company controlling 50% of the Lapindo drilling project and connected to Bakrie, the Indonesian Cabinet minister, attempted to unload Lapindo for $2 to a company based on the island of Jersey but owned by Bakrie’s family conglomerate.

    When Indonesian financial regulators blocked that sale, Energi Mega tried to sell half the beleaguered Lapindo to the Freehold Group, registered in the British Virgin Islands. That deal also collapsed amid controversy. The attempted corporate reshuffling raised fears among many that Lapindo was preparing to declare bankruptcy, thus potentially allowing parent company Energi Mega Persada to evade any liability for Lusi. Lapindo says it is committed to compensating Lusi’s victims.

    Critics say the government’s own response to the disaster has been muddy at best. “The government is not serious in its handling of the disposal of the mud or settling the social problems caused by the disaster,” says Sonny Keraf, Indonesia’s former Environment Minister and head of a parliamentary investigation into Lusi. “They are leaving the people to face the company when it should be acting as a bridge between them.” Keraf says that, while he believes Lapindo is acting in good faith, the government’s indecisiveness is blunting any sense of urgency. A yearlong police investigation into the eruption has resulted in no indictments or clear conclusions. “It’s all about politics,” says Ivan Valentina Ageung, head of legal affairs for the environmental group Walhi, referring to the disaster in general. Walhi sued Lapindo, alleging it was responsible for Lusi; that, as well as another lawsuit, were decided in favor of Lapindo. A spokesman for Yudhoyono denies that Bakrie’s connection to the administration has influenced the government’s response. Indeed, it was Yudhoyono who ordered Lapindo to compensate the displaced villagers.

    But cleaning up Lusi’s mess won’t be easy. In a worrying sign, heavy rains in early January caused a breach in the levees, forcing more than a hundred families to evacuate. With the government’s attempts to stop or channel the mud faltering, and the tide rising by the day, the sludge that swallowed Porong could eventually threaten another quarter-million homes. Indonesia’s Big Hole only gets deeper.

    Petter Ritter | © Time

  • Two Years On, a Mud Volcano Still Rages and Bewilders

    As a disastrous mud eruption on Indonesia’s Java Island marks its second anniversary, the unprecedented event continues to stir debate about whether it resulted from an exploratory gas well drilling accident or a distant earthquake and how long it will last. The mud volcano, nicknamed Lusi, has been disgorging mud at a rate of up to 150,000 cubic meters per day. Officials are struggling to contain the effluent within dikes that are regularly breached and built anew farther out.

    In November 2006, ground deformation near the volcano ruptured a natural gas pipeline, killing 13 people. Lusi’s mud has engulfed 750 hectares, destroying the homes of more than 30,000 people as well as factories and farms. “Sadly, it’s not about simple technical problems anymore. It’s more [about] economic and social and political problems,” says Satria Bijaksana, a geophysicist at Institut Teknologi Bandung.

    Lapindo Brantas, the oil and gas exploration company that operated the ill-starred gas well, and the government have promised compensation to landowners, but it has been slow in coming. Hundreds of families are still living in temporary shelters. In two separate cases, Indonesian courts have ruled the eruption a natural disaster, absolving Lapindo Brantas of liability.

    Ivan Valentina Agung, a lawyer for Walhi, an Indonesian environmental group that filed one of the suits, says the group is appealing to a higher court in hopes of getting Lapindo Brantas to take responsibility for environmental rehabilitation.

    For scientists, Lusi is an intriguing specimen. A flurry of papers refines previous work on the eruption’s dynamics and offers insights into the evolution of mud volcanoes. “This is a great opportunity. Nobody knows how other mud volcanoes looked when they were first appearing,” says Adriano Mazzini, a geologist at the University of Oslo.

    There is general agreement on the sequence of events. On 27 May 2006 at 5:54 a.m. local time, a magnitude-6.3 earthquake struck near Yogyakarta, in central Java. Between 5 and 8 a.m. the following day, Lapindo Brantas’s gas well, which was being drilled 250 kilometers to the east near the town of Sidoarjo, began to flood. Workers shut the well’s blowout preventer to keep the fluid from gushing out the top. They noted that pressure inside the well rose rapidly before gradually subsiding. Early in the morning of 29 May, mud began burbling out of the ground about 150 meters away.

    In a February 2007 article in GSA Today, Richard Davies, a geologist at the University of Durham, U.K., and colleagues claimed that the drillers penetrated a porous limestone formation about 2800 meters below the surface, inadvertently tapping into a highly pressurized aquifer. The borehole’s casing didn’t extend deep enough to protect rock from cracking under the pressure when the blowout preventer was shut, he concluded. Water then channeled its way to the surface, bringing mud with it (Science, 2 February 2007, p. 586).

    That’s not how Mazzini and his colleagues see it. In the 30 September 2007 issue of Earth and Planetary Science Letters, they argued that the region’s geological structures, pressurized hydrocarbon deposits, common in the region, and a seismic fault created conditions “perfect for a mud volcano.” The only thing missing was a trigger, Mazzini says. The drilling might have contributed, he says, but he believes a more important factor was that the Yogyakarta earthquake reactivated the fault. At roughly the same time Lusi broke, mud also erupted from eight fissures along a 100-kilometer stretch of the fault line. “I don’t think this is a coincidence,” he says.

    Global Positioning System (GPS) data and an obvious kink in a rail line show that ground along the fault has shifted up to half a meter since the Yogyakarta earthquake. But Michael Manga, a geologist at the University of California, Berkeley, who has studied how earthquakes trigger distant volcanic eruptions, contends that the quake was too small and too far away from the fault to influence it. In recent decades, he says, “there were many earthquakes that were both closer and bigger and by any measure more likely to have triggered an eruption.”

    In a paper published online on 5 June in Earth and Planetary Science Letters, Manga, Davies, and colleagues suggest that the fault is likely to be shifting in response to the movement of vast amounts of material to the surface. The mechanism is not clear. Co-author Rudi Rubiandini, a petroleum engineer at the Institut Teknologi Bandung, says the analysis “makes every other reason [for the eruption] impossible.” Most earth scientists agree that the well must have had some effect, says James Mori, a seismologist at Kyoto University in Japan. But he says researchers can’t determine whether the volcano would have formed without the drilling.

    While sympathizing with Lusi’s victims, geologists say they relish the rare opportunity to study a mud volcano’s birth and evolution. GPS and satellite-based interferometric synthetic aperture radar data indicate that the surface near the volcano’s vent is collapsing into a funnel shape, characteristic of sand draining from the top bulb of an hourglass. Davies and colleagues concluded in a paper published online on 21 May in Environmental Geology that between June 2006 and September 2007, the funnel’s center sank at about 4 centimeters per day, which in 3 years would produce a sag of 44 meters. They also report that areas outside the funnel are rising, probably due to movement of the fault.

    Scientists are puzzling over other phenomena as well. Since March 2007, the flow has periodically stopped for hours or days only to resume with its previous vigor. The likely explanation, Davies says, is that the weight of mud at the surface is collapsing the vent deep underground. Pressure backs up until it breaks through the blockage. In addition, there have been 88 minieruptions of water and methane where the ground is subsiding. Rubiandini believes the subsidence is cracking open pressurized gas pockets. And along the fault, geysers of water have suddenly shot up in the middle of yards, rice paddies, and even within factories, probably due to the rearrangement of subsurface plumbing.

    “The volcano is taking on a life of its own,” Davies says. How long this will go on, he says, is anybody’s guess.

    Unstoppable

    The mud volcano Lusi is unique in its longevity and the volume of material ejected. It may also be setting records for the number or failed attempts to plug it. Immediately after the 29 May 2006 eruption, Lapindo Brantas., the company whose exploratory drilling, some claim, triggered the eruption, pumped concrete into the well to try to stop the gush of hot, salty water from a subsurface aquifer. When that failed, the company brought in a consultant from Houston, Texas, who directed the drilling of two relief wells intended to intercept the original borehole and pump in high density drilling mud to plug the leak. This effort was abandoned when the wells were short of their target, also, reportedly, because Lapindo ran out of money.

    In February 2007, following a proposal from geophysicist Satria Bijaksana and two colleagues from Institut Teknologi Bandung, Lapindo Brantas started dropping into the vent clusters of concrete balls, 20 centimeters and 40 centimeters in diameter, roped together with steel cables. The objective, Bijaksana says, was “to reduce the sheer volume of mud coming out of the vent to a manageable level.” This effort was abandoned after 398 of a planned 1000 clusters had been dropped; a government agency that took over management of the disaster concluded that the balls were having little effect.

    The only hope of plugging Lusi is to drill another relief well to plug the original well at a point below where it was breached, says Rudi Rubiandini, a petroleum engineer at Institut Teknologi Bandung. He estimates that the well would cost $70 t0 $100 million. But that is unlikely to happen, he says: “Our government now thinks this is a natural disaster and impossible to kill.”

    Dennis Normile

  • Volcano Reveals a Murky Indonesia

    Volcano Reveals a Murky Indonesia

    THE TOWN of Porong lies 30 kilometers south of Surabaya, the coastal capital of East Java province in Indonesia. On the map, the town and the surrounding district of Sidoarjo is moored in a swath of rural green, part of the rice-growing countryside that nurtures Java, the most world’s most populous island. seen up-close, though, the Porong’s hinterland is semi-industrial farmland-a patchwork of backyard factories, rice paddies, shrimp farms and modern industrial buildings linked by toll-road to Surabaya.

    Since May 2006, the map has been redrawn in spectacular fashion. A volcanic outpouring of toxic mud has swallowed up 11 towns, engulfing homes, factories, schools and farms, and uprooting around 16,000 people. The mud covers 6.5 sq. kilometers, hemmed by a network of dams and levees. A 3 kilometer stretch of toll-road lies abandoned after a concrete bridge began to crack from subsidence. Trucks must crawl through Porong on a clogged two-lane street. And still the hot, stinking mud keeps gushing.

    The disaster began with a wildcat well drilled by Lapindo Brantas, an energy company part-owned by Aburizal Bakrie, a prominent Indonesian tycoon and politician. The drilling opened a fissure in the ground from where the mud has flowed ever since. Efforts to staunch the flow have all failed, so engineers are pumping mud into the Porong River and out to sea, while shoring up the earthen dams. An eventual fix could be years away. In June 2007, Japan offered to build a 130-foot high dam around the volcano, on the theory that the dried, hardened mud would eventually cut off the flow.

    Lying on the Pacific Ring of Fire, Indonesia is no stranger to natural disasters. Seizing on this seismic record, Lapindo executives sought to blame the Sidoarjo mudflow on an earthquake that hit Central Java three days earlier. Most geologists, however, reject this theory. Critics say it is part of a strategy by Lapindo to evade taking full responsibility for an expensive clean-up. So far, it seems to be working. Police in East Java have compiled a case against the company for criminal negligence, but prosecutors refuse to proceed, saying the evidence is inconclusive.

    Yet for all its natural calamities-earthquakes, tsunamis, landslides-Indonesia’s real curse may lie in its boardrooms. A government tally of the economic cost of disasters in 2006 ranked the Sidoarjo mud volcano in second place, behind the deliberately-lit fires that annually ravage lowland forests on Sumatra and Borneo to make way for plantation crops. Both events amount to corporate malfeasance and environmental ruin hiding behind natural phenomena. The cruelest blow is to those who labor in the shadow of such willful destruction. Look no further than the entrepreneurs in Porong whose small family-owned factories-the lifeblood of Indonesia’s economy-lie buried in the oozing mud.

    Indonesia is enjoying its fastest growth since the 1998 economic meltdown and fall of dictator Suharto. In retrospect, its bumpy transition to democracy now appears as a necessary learning curve that may be starting to pay off. Separatist conflicts no longer threaten the realm. Anticorruption agencies finally have teeth. Foreign investment is picking up, though not in labor-intensive manufacturing-the lure of China or Vietnam is stronger. Though government spending on education is still low, lawmakers have begun to address budgetary shortfalls.

    But the family-run conglomerates that plundered and profited, then defaulted on their loans when the crisis hit, still play an outsized role in Indonesia, as they do across Southeast Asia. Many Indonesian firms have a lukewarm regard for corporate governance and pay little heed to reputational risk, reasoning that foreign capital will always be available. At least until the recent credit squeeze in the United States, that was a reasonable bet. Last year saw a flurry of new stock and bond issues by Indonesian borrowers with abysmal reputations, including Asia Pulp & Paper, which defaulted on a record $13.9 billion in debt in 2001. It seems that foreign investors have remarkably short memories when it comes to Indonesian conglomerates. For tycoons that despoil the environment, bilk minority shareholders and fund rent-seeking politicians, the future looks bright, particularly while commodity prices remain high.

    Does this matter? Indonesia needs large companies capable of developing industries and providing services that the government can’t provide. It’s naive to expect that new entrepreneurs could replace overnight the disgraced leftovers of the Suharto era. Opaque corporate governance and corrupt regulators aren’t exclusive to Indonesia; foreign investors in China have their own horror stories to tell. But it’s easy to overlook such downside risks and focus on China’s domestic growth story and export prowess. China has also pushed its corporate giants to list on major international stock exchanges where regulations are stricter and minority shareholders expect disclosure. Few Indonesian companies seem willing or able to follow suit, preferring instead to do business in Indonesia’s malleable jurisdiction.

    Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono has a solid economics team who has made smart macro decisions. Even the notoriously graft-ridden customs department has been put on its toes in recent months, and the judiciary may be next. But economic leadership needs to go further if Indonesia wants to promote a competitive system that rewards efficiency and innovation, not cartels and monopolies. In South Korea, the chaebol, or conglomerates, still exert an unhealthy influence over lawmakers, but they’ve proven that they can compete on the world stage. Few would dispute that corporate governance has improved in South Korea over the last decade, spurred by government regulators keen to cement their rise in the global economy.

    By contrast, Indonesia’s corporate sector is similar to that of the Philippines: focused primarily on squeezing profits from domestic opportunities and lobbying to keep out competitors. In his book Asian Godfathers: Money and Power in Hong Kong and Southeast Asia, author Joe Studwell argues that economic success in the region has come despite, rather than because of, the outsized influence of its tycoons. He finds little to cheer in the region’s recovery since the 1997-98 Asian financial crisis, since the political elites apparently remain beholden to the same dominant players.

    This business model doesn’t lend itself to global competitiveness. Boston Consulting Group released an annual ranking in December 2007 of the top 100 go-getting companies in developing economies. Not surprisingly, Indian and Chinese enterprises dominated the list. Indonesia, the world’s fourth-largest country, only managed one entry: instant noodle maker Indofood Sukses Makmur, part of the diversified Salim Group. Optimists point to the generational changes taking place in Southeast Asian conglomerates that are allowing Western-educated scions to take over the reins. This shift, coupled with regional economic integration, can be a force for good, if it means improving corporate governance and environmental practices.

    But local regulators will still need to show teeth to increase the cost of noncompliance, as consumer activism-a key ingredient in shaping corporate behavior in the West-is lacking in Asia. Environmental campaigners in Indonesia have sought to close this gap by targeting careless resource companies, usually foreign investors such as U.S. mining companies, with limited success. In December, a district court in Jakarta rejected a lawsuit by Friends of the Earth Indonesia that sought damages against Lapindo and national and local government officials over their culpability in the Sidoarjo mudflow. The court ruled that it was a “natural disaster” and fined the plaintiffs a token amount.

    Of course, many Southeast Asian conglomerates will choose not to go overseas because the returns are better at home. Opening up their markets to more foreign competition would force them to overhaul their model to stay ahead of the game. In turn, new entrants from more closely regulated economies will demand a level playing field, which should mean better corporate governance and less opaque regulatory systems. But without political will to tackle the most egregious abuses by influential companies, it’s hard to see how commercial agreements alone would be enough to shift behavior, since domestic interests usually trump trade relations. The strides made in South Korea on overhauling corporate governance and improving regulatory frameworks followed the election in 1997 of human-rights activist Kim Dae Jun. Globalization was a factor, but so was the determination of a newly elected leader to raise standards.

    There’s another reason why Indonesia needs to clean up its corporate sector. Government inaction in the face of corporate abuses such as the Lapindo case does a disservice to the victims and, more broadly, to Indonesian voters. Unless politicians can hold wrongdoers to account-and make sure that taxpayers aren’t stiffed for the clean-up bill-it becomes harder to make the case for democracy as the cure for Indonesia’s ills. That would play to the gallery in much of Asia, where authoritarian governments are the norm and public participation is suppressed by “father-knows-best” rulers. With a presidential vote in Indonesia scheduled in 2009, a campaign by a strongman candidate who promises a firmer hand might be persuasive. That would be a setback for a democracy that is currently the most dynamic and decentralized in Southeast Asia, where voters are able to turf out local mayors who don’t cut it. Such a privilege is rare in the region.

    Lapindo belongs to the Bakrie Group, a diversified conglomerate headed by Mr. Bakrie, 60. Its units include oil-palm plantations, mobile telecommunications, property and energy. Mr. Bakrie, who was ranked by Forbes in 2007 as Indonesia’s richest man with a net worth of $5.4 billion, is a senior executive of Golkar, the largest political party in Indonesia’s parliament. At the time of the accident, which he calls a “natural disaster,” he held the most senior economic post in President Yudhoyono’s cabinet. Lapindo tried to buy off homeless villagers with hand-outs as long as they signed waivers that exempted the company from lawsuits. When frustrated protesters from the accident site rallied in Jakarta to press for compensation and housing, Mr. Bakrie’s position appeared to be in doubt. But instead, when President Yudhoyono announced a reshuffle, his economics czar was moved to a new position: coordinating minister for public welfare.

    To the families stuck in limbo in makeshift refugee camps in Porong, or living in rented rooms, that sounded like a cruel joke. Many have received cash hand-outs from Lapindo, but are waiting for full compensation for their loss of land, housing and livelihood. After months of dithering, President Yudhoyono issued a decree in 2007 that mandated the company to pay $412 million in compensation, including the purchase of despoiled land. But to the anger of would-be recipients, Lapindo insisted on paying 20% up-front, and the rest within two years. Sunarto, a businessman who goes by one name, says he refuses to accept the 20%, worth about $6,500 based on the value of his inundated family compound, which included a small cigarette factory that employed 40 workers. He wants the company to pay out now, so that villagers can rebuild their lives and plan for the future. “The local economy has collapsed… Even if you want to start a business, there’s nobody buying anything,” he said.

    If a foreign oil company had triggered the mudflow, it might have been a different story. Pressure from shareholders and environmental activists, fanned by international news coverage, are a potent mix. But Bakrie calculated that it could hide behind the fiction of an unstoppable natural disaster and rely on its political clout to do the rest. From a bottom-line perspective, it was the right call. Taking full responsibility would have exposed the company to economic liabilities that are likely to run into billions of dollars, given the extent of the damage and the continued mudflow. Instead, Bakrie tried to arrange a fire sale of Lapindo, its part-owned unit, to obscure offshore investors for a nominal amount. However, Indonesia’s capital-markets regulator blocked the sale, which appeared to be a ploy to wash Bakrie’s hands of the toxic mud volcano. It was a shot by regulators across the bows of a local conglomerate, an all too rare sign that not all Indonesian institutions are cowed by their political masters.

    Simon Montlake

    © Far East Economic Review

  • Warga Pengontrak Tetap Menuntut

    Warga Pengontrak Tetap Menuntut

    Dua tahun sudah semburan Lumpur Lapindo merusak sendi-sendi kehidupan rakyat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, dan hingga sekarang masih banyak ketidakadilan yang belum terselesaikan dalam kasus ini. Salah satunya adalah mereka yang dulu statusnya adalah pengontrak sebelum lumpur menenggelamkan rumah dan tempat usaha mereka.

    Anton dulu tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (TAS I) blok L-9/6. Dalam perbincangan dengan tim media, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya apa yang diminta oleh pengontrak itu tidak muluk-muluk. “Ini tidak seperti apa yang dikatakan oleh Yusuf Martak pada waktu itu, bahwasannya warga pengontrak itu menuntut minta rumah. Itu yang sesungguhnya, ucapannya Yusuf Marta itu tidak betul sama sekali. Karena warga pengontrak itu menuntut Jadup yang disamakan dengan warga yang lain” tegas Anton.

    Menurutnya tuntutan pengontrak hanyalah meminta uang kontrak dan jatah hidup yang diberikan kepada mereka sama dengan korban lain, dimana sekitar 315 KK hanya mendapatkan uang kontrak senilai 2,5 juta dan jatah hidup tidak dapat sama sekali. Padahal menurut perjanjian dengan pihak Lapindo ada kesepakatan untuk memberikan kepada semua korban lumpur, uang kontrak sebesar 5 juta dan jatah hidup 300 ribu/jiwa/bulan selama 6 bulan, serta uang boyongan 500 ribu rupiah.

    Selain itu, karena dulunya warga pengontrak ini menggantungkan hidupnya dari usaha kecil di tengah-tengah lingkungan perumahan, dan itu semua ikut hilang ketika lumpur menenggelamkan rumah mereka, para pengontrak juga menuntut ganti rugi UKM. Setali tiga uang, tuntutan ini juga tidak dipenuhi Lapindo, padahal Lapindo sudah pernah menjanjikan untuk memberi ganti rugi UKM kepada mereka yang usahanya hancur akibat semburan lumpur.

    “Untuk ganti rugi UKM memang sudah ada yang dapat bervariasi antara 5 juta hingga 7 juta, tapi kebanyakan dari kami belum menerima itu” demikian sambung bapak berusia 50 tahun ini. Dari pihak pemerintah sendiri mulai dari DPRD, Bupati hingga departemen sosial hanya selalu berjanji untuk membawa aspirasi warga ini, nyatanya hingga lebih dari 1,5 tahun harapan mereka belum juga terwujud. ““Semua mengatakan selalu dan selalu akan diperjuangkan tapi sampai sekarang realisasinya tidak ada”,” kata Anton.

    Kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga pengontrak ini jelas memberikan dampak langsung. Mereka kehilangan mata pencaharian, dan kalaupun berusaha membangun dari awal lagi, tidak ada modal yang mencukupi untuk melanjutkan usaha mereka.

    ““Keadaan warga pengontrak sudah terlalu minus dan susah karena selama ini mereka tidak bisa bekerja, selama ini mata pencaharian mereka ya disana (di perumahan TAS I yang tenggelam), setelah adanya lumpur mereka tidak dapat bekerja, secara ekonomi keadaan mereka sudah kolaps,”” demikian lanjut bapak yang telah dikaruniai 3 anak ini.

    Namun segala kesusahan ini tidak membuat perjuangan warga melemah, Anton dan warga lainnya akan tetap menuntut hak-hak mereka yang selama ini dipungkiri baik oleh lapindo maupun oleh pemerintah. “Selama jadup dan kontrak kami belum dibayar, kami tetap akan menuntut!,”” demikian pungkas Anton dengan tegas.[re]

  • Volcano of mud makes 50,000 homeless

    Campaigners say drilling by energy firm caused huge eruption, which has already killed 13 in Indonesia.

    The people of Sidoarjo gathered to say prayers this week. Beside a noxious sea of shifting grey mud they asked for help to rebuild their lives and for deliverance from further encroachment by the methane-spitting sludge.

    Already 13 people from this district in the east of the Indonesian island of Java have lost their lives to the world’s largest mud volcano, and a further 50,000 have been made homeless. Every day as the volcano continues to spew forth hot mud, more people and their villages are threatened. Schools and factories have had to be moved.

    An Indonesian court says this is a natural disaster. Yet human rights campaigners, as well as a team of scientists from Durham University, say the mud volcano that has been named Lusi was triggered by a gas-drilling operation two years ago. What gives this story an added twist is that the company is owned by the family of the country’s richest man, who also happens to be Indonesia’s Welfare Minister.

    The images of Lusi are nothing short of remarkable. The area at the very centre of the volcano has been surrounded by 20m-high concrete walls erected by the authorities to try to stem the flow. But already, the area now covered by the splurging mess totals more than 1,500 acres.

    Worse still, there are signs that the entire area is sinking and forming a huge crater. “The centre is falling by 4cm a day, which amounts to around 14m a year,” said Professor Richard Davies, head of a team from Durham University which has studied the volcano. “Sidoarjo is a populated region and is collapsing as a result of the birth and growth of Lusi. This could continue to have a significant environmental impact on the surrounding area for years to come.” He said the plunging volcano could cause other fractures and faults within the landscape and even begin to start shifting the course of rivers.

    Professor Davies said his team was 99 per cent certain that the volcano had been triggered by gas drilling in the region two years ago. He said it appeared workers from the Lapindo Brantas company had drilled to more than 3,000 metres and tapped into a water-bearing aquifer that was located beneath a seam of mudstone. The effect had been to release the pressure in the aquifer, causing the water to push out through the mudstone, creating a volcano of mud.

    That initial eruption two years ago this week killed 13 people and inundated 12 villages with a flood of mud. Every day since the volcano has continued to produce between 50,000 and 150,000 cubic metres of mud – enough to fill 60 Olympic-sized swimming pools.

    Yet the people of Sidoarjo say they have received barely any help or compensation from the government or Lapindo Brantas, which is owned by the family of the billionaire government minister Aburizal Bakrie. While thousands live in makeshift shanties waiting for help and refusing to move, the company this week took out advertisements in newspapers proclaiming its “social commitment” to the area but insisting experts believe the volcano was a natural phenomenon.

    Last month, the company stopped giving out food rations to displaced villages and said they should accept the compensation that had been offered. The homeless insist instead that they be given a lump sum to build new homes. “They can’t live there for ever. They should immediately submit documents and accept the compensation,” said a company spokeswoman, Yuniwati Teryana.

    Last year the authorities ordered the company to pay more than £220m in compensation and for work to halt the spread of the mud. But campaigners say only residents in four of the villages affected by the mud were eligible for compensation and that, of those people, only 20 per cent have so far received any money from the oil and gas giant.

    Campaigners say the government is unwilling to challenge the company to do more. No one has been charged with any crime in relation to the volcano. Chalid Muhammad, who heads a campaign group, the Movement to Promote Justice for the Lapindo Victims, said: “The government only needs to have the political will and the political courage to push the company to pay compensation.”

    All the while, as the people of Sidoarjo pray for help and as Lapindo Brantas continues to deny responsibility for what happened, the world’s largest mud volcano continues to spew mud and grow. Every single day.

    Andrew Buncombe, Asia Correspondent

    Sumber: The Independent

  • Lingkungan Hidup, Lumpur Lapindo, Siapa Berani?

    Dua tahun sudah semburan lumpur Lapindo Brantas Inc meluluhlantakkan harta benda, emosi, dan kehidupan sosial masyarakat Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dampak semburan lumpur bukan hanya berupa kekacauan infrastruktur, tetapi juga korban jiwa. Lumpur itu juga memberikan efek bagi Provinsi Jatim.

    Data yang dipaparkan pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Kresnayana Yahya, menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jatim, yang biasanya selalu setengah persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kini setengah persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Biangnya, semburan lumpur di wilayah eksplorasi Lapindo Brantas Inc.

    Seretnya pertumbuhan ekonomi itu antara lain akibat matinya sejumlah industri dan hotel, serta tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan pengusaha untuk distribusi produk. Seperti Rabu (18/6) lalu, antrean panjang kendaraan berat pengangkut barang memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan Porong, Sidoarjo, dengan Gempol, Pasuruan. Jalan tol Surabaya-Porong, yang semestinya bisa menyedot kendaraan dari ruas jalan raya dan menghemat waktu tempuh, tak bisa diandalkan lagi karena ikut menerima dampak terjangan lumpur. Antrean di jalan raya tak terelakkan. Jarak Surabaya-Malang, yang dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam, kini butuh hingga tiga jam.

    Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

    Tak kurang upaya dilakukan beberapa pihak untuk menggugat keadilan masyarakat atas semburan lumpur ini. Seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mengajukan gugatan secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan untuk menuntut pertanggungjawaban semburan lumpur yang masih berlangsung hingga kini itu. Namun, semua upaya itu kandas.

    Bahkan, upaya hukum yang sudah dilakukan Polda Jatim, dengan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka yang bertanggung jawab dalam semburan lumpur itu, tak juga berujung. Pasalnya, kejaksaan masih kukuh membutuhkan bukti yang menunjukkan korelasi antara pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc dan semburan lumpur. Akibatnya, berkas perkara itu berkali-kali bolak-balik dari kejaksaan ke kepolisian.

    Padahal, ilmuwan Inggris, Richard Davies, awal Juni lalu, menyebutkan, semburan lumpur di Sidoarjo bukan bencana alam, melainkan dipicu pengeboran di sumur Banjar Panji I. Sedangkan Lapindo Brantas Inc menyebutkan, lumpur itu menyembur ke permukaan bumi akibat dipicu gempa di Yogyakarta, beberapa hari sebelumnya.

    Yang paling parah dari semua itu, pemerintah sepertinya bergeming. Tak mau menolehkan sejenak ke Porong untuk lebih menyalurkan empati dan bentuk tanggung jawab atas warganya yang kehilangan tanah, rumah, kehidupan sosial, dan ikatan dengan leluhur.

    Sengaja mendiamkan

    Airlangga Pribadi Kusman, pengajar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, yakin, elite politik di Jatim dan Jakarta sengaja mendiamkan persoalan lumpur yang menyembur pertama kali pada 29 Mei 2006 ini.

    Tak ada tekanan politik dari Gubernur Jatim Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, maupun DPRD Jatim dan DPRD Sidoarjo. Dugaan Airlangga, semburan lumpur ini akibat kesalahan kolektif yang melibatkan banyak pihak sehingga semua pihak akan menutup persoalan ini.

    Dari sisi politik, kondisi ini akan mendorong proses delegitimasi terhadap proses politik yang berlangsung di Jatim. Juga, delegitimasi masyarakat terhadap negara dan pemerintah. ””Masyarakat merasa kepentingan mereka tidak diperjuangkan wakil rakyat maupun eksekutif yang dipilihnya,”” ujar Airlangga.

    Pemimpin daerah juga terkesan tak bergerak untuk mengantisipasi kian buruknya kondisi di sekitar Porong akibat semburan lumpur yang terus terjadi. Padahal, banyak contoh bencana ikutan yang muncul akibat semburan lumpur yang terus bertumpuk di sekitar sumbernya. Terakhir, tiga pekerja di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, luka akibat ledakan gas.

    Dengan perhitungan kerugian akibat semburan lumpur yang masih bertumpuk, tentu pemimpin Jatim akan berpikir, betapa lebih efektifnya jika menggunakan daya tawarnya terhadap pemerintah pusat untuk segera bertindak tegas menangani dampak lumpur itu. Bayangkan, kemajuan yang dicapai dalam pembangunan oleh Gubernur Jatim terpilih nanti akan ”dipotong” dengan kerugian akibat semburan lumpur yang masih terjadi sampai kini.

    Amien Widodo, geolog yang mendalami manajemen bencana dari ITS, menyarankan, Pemerintah Provinsi Jatim membuat peta risiko di sekitar semburan lumpur. “Peta itu dapat menunjukkan daerah dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi sehingga setiap individu yang ada di daerah itu dapat mewaspadai segala kemungkinan yang terjadi. ”Buat peta yang menggambarkan, di sini daerah aman untuk tinggal dan tidak. Lalu, buat juga daerah rawan amblesan, di sini daerah rawan semburan gas, dan sebagainya. Peta ini mesti diperbarui setiap saat, selama lumpur masih menyembur,”” kata Amien.

    Jika langkah seperti itu tak dilakukan, niscaya semburan lumpur Lapindo hanya dianggap angin lalu. ”Apakah nyawa jadi tidak ada artinya?”

    Dewi indriastuti dan Nina Susilo

    © Kompas

  • Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Lumpur Lapindo merupakan salah satu penentu pertumbuhan ekonomi Jatim. Dampak lumpur, Jatim kehilangan potensi tumbuh sekitar 1 persen dari 20.000-30.000 kendaraan yang biasa melewati jalur antara Surabaya dan Malang serta kota-kota lain. Potensi kehilangan selama setahun sebesar Rp 170 triliun sepanjang 2007-2008.

    Dengan sikap dan motivasi yang realistis, mengatasi permasalahan itu adalah keberanian menaruh kepemimpinan yang berani, peduli, dan bisa menaklukkan arogansi pusat. Pembagian kewenangan timpang, tetapi pembagian penderitaan selalu ada di Jatim. Pajak yang ditarik seharusnya bisa dialokasikan untuk rehabilitasi akses dan infrastruktur ekonomi yang rusak dan mandek akibat lumpur Lapindo.

    Ada lima hal utama yang harus segera dipulihkan, yakni jalan akses (tol dan jalan negara) sepanjang 20-30 km antara Porong-Gempol, relokasi jalur pipa gas, jalur pipa air minum, jembatan Kali Porong, dan jalur kereta api.

    Namun, beda pandangan tentang kewenangan menjadikan ketidakjelasan siapa sebenarnya yang punya wewenang menyelesaikan problem itu. Korban dari pemimpin yang ragu dan tidak kompeten itu menyebabkan proses pengambilan keputusan selalu mengambang.

    Kalau dilakukan polling, tentu semua minta segera saja Pemerintah Provinsi Jatim menindaklanjuti masalah tersebut sebagai program emergency. Kalau perlu dengan meyakinkan pebisnis dan masyarakat mencari dana Rp 2 triliun-Rp 3 triliun untuk mengatasi persoalan itu karena dua tahun berlalu, kita telah kehilangan kesempatan ratusan kali lipat.

    Tingginya angka pengangguran dan sekaligus potensi makin banyak industri yang gagal tumbuh seharusnya menjadi pertimbangan utama. Ada penambahan biaya dan kehilangan waktu yang sangat berarti untuk jalur transportasi antara Surabaya dan wilayah selatan dan timur Jatim, membuat 30 persen ekonomi Jatim stagnan.

    Di sektor transportasi, misalnya, lebih dari 50 persen perusahaan bus berhenti operasi, lebih dari 30 persen angkutan barang tidak berjalan, dan lebih dari 25 persen angkutan kereta api berkurang. Sebab, setiap kontainer harus menambah Rp 1 juta untuk melewati Porong-Gempol karena mata rantai hambatan dan pungutan, serta akibat terlambatnya masuk ke pelabuhan.

    Untuk itu, Jatim perlu menaikkan daya negosiasinya. Posisi tawar yang win-win solution seharusnya memberikan kewenangan untuk segera mengatasi infrastruktur bisnis.

    Operasionalisasi jalur penerbangan Surabaya-Malang harus segera dibuka, begitu juga pembenahan kereta api. Harus ada jaminan aman agar transportasi barang dan penumpang lancar. Jalan tol juga harus segera dimulai, termasuk pula jalur pipa gas. Mengaktifkan kembali angkutan laut dari dan ke Pasuruan–, Probolinggo, –Surabaya akan menjadi pilihan sementara.

    Memulihkan hak ekonomi sosial budaya dari 30.000 warga korban lumpur ditambah hak ekonomi dari 500.000 orang lainnya menjadi begitu berarti untuk mengurangi tekanan ekonomi.

    KRESNAYANA YAHYA Pengamat Statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

  • Gubernur, Lapindo, dan Reformasi Birokrasi

    Di luar soal kebutuhan dasar hidup (pangan, sandang, dan papan), pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, isu lain yang menonjol di Jawa Timur adalah masalah lingkungan (lumpur Lapindo) dan reformasi birokrasi.

    Tema terakhir inilah yang begitu diharapkan oleh publik saat mendengarkan program dan janji-janji yang diucapkan oleh calon gubernur/calon wakil gubernur Jatim. Sayang, tidak satu pun cagub/cawagub yang menjawab secara eksplisit terhadap dua hal itu sehingga konstituen umumnya tidak puas terhadap program yang ditawarkan.

    Memang ada satu cagub/cawagub yang relatif memiliki keberpihakan terhadap persoalan Lapindo ini, namun program itu tidak disebarkan secara ekstensif pada masa kampanye, tetapi baru diuraikan dalam debat publik terakhir (19/7/2008) yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional. Dari segi substansi, sebetulnya faktor apa yang membuat dua soal itu begitu penting di Jatim?

    Perangkap Lapindo

    Pada 2006, Bank Dunia memublikasikan kekayaan seluruh negara di dunia dengan memasukkan tiga variabel, yakni modal alam, modal tak berwujud (intangible), dan modal ciptaan. Hasilnya, umumnya negara-negara yang memiliki modal alam besar justru total kekayaannya sangat rendah.

    Indonesia, yang memiliki karakteristik seperti itu, total kekayannya (per kapita) jauh di bawah Singapura, Korea, Thailand, Malaysia, dan Filipina (Bank Dunia, 2006). Dalam hal ini, Indonesia hanya sedikit lebih baik ketimbang China. Di internal Indonesia sendiri, kasusnya juga mirip, di mana wilayah (provinsi) yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) justru terperosok menjadi provinsi miskin.

    Jawa Timur juga tidak terlepas dari kisah itu, di mana kekayaan SDA yang dipunyai justru membuat wilayah ini terbelakang dari banyak aspek. Misalnya, pendapatan/kapita Jatim di bawah pendapatan/kapita nasional dan persentase penduduk miskinnya jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional.

    Dalam bingkai seperti itulah persoalan lingkungan menjadi penting dalam konteks pembangunan ekonomi. Di Jatim, soal lingkungan yang terbesar sebetulnya bukanlah kasus Lapindo, melainkan kian habisnya hutan dan jumlah lahan kritis yang terus membesar.

    Tercatat, sekarang hutan lindung di Jatim lebih dari 50% kawasannya dalam kondisi kritis, misalnya Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri, Kawah Ijen, Pegunungan Hyang-Argopuro, Taman Nasional Baluran, Kawaswan Gunung Tarub, dan Bromo Tengger Semeru. Sedangkan total lahan kritis di Jatim tidak kurang dari 1 juta ha, di mana jumlah ini setara dengan luas lahan sawah di Jatim.

    Masalah inilah yang sebetulnya menjadi pemicu bencana banjir dan kekeringan di Jatim. Namun, eskalasi masalah ini berada di bawah kasus Lapindo akibat letaknya yang tidak berada di pusat kegiatan ekonomi dan “tidak terdapat” korporasi besar di balik kerusakan lingkungan itu.

    Pada titik inilah kemudian kasus Lapindo menjadi “seksi” karena mempertemukan banyak kepentingan. Tawaran program yang dibutuhkan dari soal ini sebetulnya hanya dua hal. Pertama, kejelasan dari cagub/cawagub untuk menempatkan kasus itu sebagai masalah bencana (alam) atau malpraktik korporasi. Pemilihan sikap terhadap penyebab masalah tersebut akan berimplikasi luas terhadap kepentingan yang lebih besar.

    Kedua, bagaimanakah mendudukkan posisi korban (penduduk) yang secara langsung terkena dampak lumpur Lapindo. Tentu saja ekspektasi korban bukan hanya “ganti rugi” yang diharapkan, tetapi “ganti untung” (materi dan non-materi) karena implikasi kasus itu sangat besar.

    Sayang, memang tidak mudah mengambil sikap dalam kasus ini karena sebagian kewenangan bukan di tangan provinsi, sehingga bisa dipahami bila cagub/cawagub tidak bersikap eksplisit. Namun, setidaknya untuk poin yang kedua sikap itu seharusnya dapat ditunjukkan.

    Pembelahan Birokrasi

    Hampir bisa disepakati bahwa sebagian besar kegagalan implementasi pembangunan bukan akibat kelangkaan konsep kebijakan, melainkan kegagapan birokrasi untuk mengawal kebijakan tersebut. Di luar masalah sistem rekruitmen yang kacau dan political interest yang tinggi, di tubuh birokrasi juga tersembul patologi model patron yang sangat kuat.

    Implikasinya, setiap kebijakan yang disorong oleh satu kelompok tertentu dapat dipastikan akan dijegal oleh kelompok yang lain. Tidak bisa dihindari, hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi di Jatim, bahkan dapat disaksikan secara kasat mata.

    Pembelahan kepentingan antarkelompok birokrasi tersebut sudah sangat menyedihkan sehingga kebutuhan reformasi bukan sekadar mendesain ulang sistemnya, tetapi juga mendisiplinkan perilaku aktor-aktor yang berada di dalamnya. Tentu saja ini bukan hanya membutuhkan komitmen dari pemimpinnya, tetapi memastikan pemimpin itu bukan bagian dari kelompok kepentingan.

    Keberhasilan reformasi birokrasi, seperti di Lamongan (Provinsi Jatim), Sragen dan Kebumen (Provinsi Jateng), Jembrana (Provinsi Bali), dan Provinsi Gorontalo, merupakan contoh telanjang yang menerangkan bahwa reformasi birokrasi juga butuh jarak antara pemimpin dan masalahnya (bukan sekadar sistem), sehingga sensitivitas dan kredibilitas terus terjaga.

    Poin-poin itu yang mestinya dapat dieksplorasi secara mendalam dalam debat cagub/cawagub, sekaligus diusung dalam platform tertulis, sehingga memudahkan pemilih (khususnya pemilih terdidik) dalam menentukan sikap dukungan terhadap cagub/cawagub. Tetapi, lepas dari itu semua, ajang pilgub langsung pertama di Jatim telah memberikan banyak pembelajaran bagi khalayak, termasuk jenis kampanye yang membodohi publik.

    Selamat memilih, Jatim!

    Ahmad Erani Yustika PhD, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi – Universitas Brawijaya