Tag: ganti rugi

  • Ternyata Ganti Rugi Lapindo Cair setelah Lebaran

    SIDOARJO – Perjanjian pinjaman dana talangan untuk pelunasan sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo memang telah diteken pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tapi, itu tidak berarti mimpi korban lumpur untuk segera terlunasi sisa ganti ruginya sebelum Lebaran bisa terwujud. Sebaliknya, jalan mereka untuk mendapatkan pelunasan masih panjang dan berliku.

    Betapa tidak, proses validasi belum juga separo jalan. Hingga Senin (13/7) proses validasi baru mencapai 1.175 berkas. Padahal, berkas korban lumpur yang belum lunas ada 3.337. Di sisi lain, Lebaran sudah berada di depan mata.

    Memang hari ini (14/7) ada secuil kabar gembira. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat M. Basoeki Hadimoeljono direncanakan hadir di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo. Hanya, mereka hadir bukan untuk mencairkan dana sisa ganti rugi ke korban lumpur.

    ”Besok (hari ini, Red) memang ada agenda di pendapa. Tapi, itu bukan untuk pencairan, melainkan penyerahan berkas perjanjian yang ditandatangani pemerintah dan PT MLJ kepada BPLS,” kata Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo kemarin.

    Jumat malam (10/7) pemerintah memang telah menekan perjanjian dengan PT MLJ. Pemerintah diwakili menteri keuangan, sedangkan Lapindo diwakili Presiden Lapindo Brantas Setia Sutrisna dan Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla.

    Dengan penandatanganan itu, pemerintah secara resmi memberikan pinjaman Rp 781,6 miliar kepada Lapindo. Dana itulah yang bakal dikucurkan kepada korban lumpur yang sudah menanti pelunasan sembilan tahun. Tapi, dana tersebut belum bisa dicairkan dalam waktu dua hari ke depan sebelum Idul Fitri tiba.

    Menurut Dwinanto, seusai penyerahan berkas perjanjian antara pemerintah dan MLJ, BPLS tidak langsung bekerja mengucurkan dananya. Mereka akan melakukan pengumpulan berkas yang telah divalidasi untuk dikirim ke Jakarta. ”Rencananya, pada 22 Juli kami mengumumkan nama-nama yang validasinya sudah tuntas dan dananya bisa segera dicairkan,” terangnya.

    Seusai pengumuman tersebut, BPLS memberikan waktu hingga tujuh hari untuk proses klarifikasi jika ada data yang tidak tepat. Baru setelah itu dana bisa dicairkan. ”Mengacu proses pembayaran korban di luar peta area terdampak, pencairan akan dilakukan dalam waktu 14 hari kerja setelah pengumuman. Paling cepat akhir Juli sudah cair,” jelas Dwinanto.

    Jika dihitung dari tanggal pengumuman nominasi nama-nama yang validasinya sudah komplet pada 22 Juli nanti, pencairan paling cepat dilakukan pada 31 Juli. Waktu yang tentu tidak pendek bagi korban lumpur yang sudah bertahun-tahun menunggu. Sebab, mereka harus bersabar dan bersabar lagi. Padahal, sebelumnya mereka sangat berharap pelunasan sudah terealisasi sebelum Lebaran (17 Juli).

    ”Kenapa masih susah seperti ini? Terus terang kami ingin masalah ini segera selesai. Sebab, jika semakin berlarut, kami tidak bisa segera melunasi utang,” ungkap Maria Ulfa, korban lumpur asal Kedungbendo, Tanggulangin.

    Harapan untuk segera tuntas juga diungkapkan Kusumawati. Perempuan 45 tahun asal Jatirejo, Porong, tersebut berharap waktu pelunasan tidak diulur-ulur. ”Keinginan kami sederhana, kami ingin segala urusan kami dipermudah dan segera cair pelunasannya,” harap perempuan yang kini tinggal di Gempol, Pasuruan, itu.

    Keinginan korban lumpur tersebut mendapat dukungan Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo. Mereka memberikan penegasan agar pemerintah dan BPLS bisa mempercepat proses pencairan. Termasuk menyangkut validasi.

    Pansus lumpur menilai proses validasi berjalan sangat lambat. Padahal, proses tersebut bisa dijalankan lebih cepat kalau BPLS dan MLJ bersinergi lebih baik. Tidak saling menunggu. ”Proses ini seharusnya dipercepat lagi. Jangan lagi ada komunikasi yang tersumbat antara BPLS dan MLJ. Jika tidak dipercepat, bisa-bisa pelunasan semakin molor lagi,” desak Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPDR Sidoarjo Jauhari.

    Legislator asal Partai Amanat Nasional tersebut memang tidak memungkiri bahwa pencairan sulit dilakukan sebelum Lebaran. Sebab, waktunya sudah sangat mepet. Tapi, menurut dia, pencairan bisa dilakukan sesaat setelah libur Lebaran. ”Perjanjian sudah ditandatangani. Uang juga sudah ada. Jadi, pencairan seharusnya sudah bisa dilakukan secepatnya. Paling cepat sepekan setelah Lebaran lah,” tegasnya. (fim/c9/end)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20300/Ternyata-Ganti-Rugi-Lapindo-Cair-setelah-Lebaran

  • Ganti Rugi Warga, Perjanjian Sudah Diteken Menkeu-Presdir Lapindo

    JAKARTA – Pemerintah bersama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan PT Lapindo Brantas akhirnya menandatangani perjanjian peminjaman dana talangan untuk warga terdampak kemarin (10/7). Dengan proses final tersebut, pembayaran ganti rugi segera dilakukan. Namun, belum ada keterangan tentang tanggal pasti pembayaran kepada warga.

    Pembubuhan tinta perjanjian peminjaman dana talangan dilakukan kemarin di kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Penandatanganan dilakukan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro sebagai wakil pemerintah dan Presiden PT Lapindo Brantas Inc Tri Setia Sutisna bersama Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam. Hadir pula Menteri PU-Pera Basuki Hadimuldjono, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, serta Nirwan Bakrie yang mewakili Grup Bakrie.

    Basuki menyatakan, penandatanganan perjanjian tersebut merupakan tindak lanjut peraturan presiden soal dana antisipasi yang ditandatangani 26 Juni 2015. Hal itu sekaligus menjadi pelengkap persyaratan pencairan dana talangan Lapindo selain perpres dan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) yang telah disiapkan.

    Sayang, proses itu tidak sesuai dengan janji pemerintah. Sebab, seharusnya dana Rp 781 miliar tersebut sudah cair untuk tahap awal pada tanggal ditekennya perpres. ’’Ini memang perjalanan cukup panjang. Mulai verifikasi oleh BPKP soal tanah yang dibeli Lapindo hingga perjanjian antara pemerintah dan Lapindo,’’ jelasnya.

    Basuki melanjutkan, ada empat poin penting dalam surat perjanjian tersebut. Yakni, pertama, pembayaran ganti rugi yang akan langsung dilakukan kepada warga. Maksudnya, dana pinjaman tidak akan masuk ke rekening dari PT MLJ sebelum dibayarkan kepada masyarakat.

    Kedua, besaran bunga yang harus ditanggung PT MLJ selama pinjaman bergulir. Sebagaimana diketahui, bunga yang telah disepakati adalah 4,8 persen per tahun dari besaran yang dipinjamkan. ’’Ketiga, jaminan aset Lapindo senilai Rp 2,7 triliun. Kalau mereka tidak dapat mengembalikan dana pinjaman selama empat tahun, aset akan disita,’’ tegasnya.

    Dia melanjutkan, dalam pengembalian dana pinjaman, Lapindo diizinkan untuk mengangsur. ’’Yang penting batas waktunya empat tahun itu,’’ ujarnya.

    Sementara itu, Menkeu Bambang Brodjonegoro menyatakan, berdasar pertimbangan jaksa agung, pihak yang berhak meneken surat perjanjian tersebut adalah Menkeu selaku bendahara negara. ’’Jadi, akhirnya saya yang teken perjanjian itu,’’ katanya saat ditemui di gedung Kementerian PU-Pera kemarin.

    Sebagai informasi, pencairan dana talangan Lapindo molor dari jadwal 26 Juni lalu. Salah satu penyebabnya, surat perjanjian kontrak tidak kunjung diteken. Menurut Bambang, saat itu Kementrian PU-Pera merasa perlu meminta pertimbangan jaksa agung soal pihak yang berhak meneken surat tersebut. Proses di kejaksaan ternyata tidak singkat hingga akhirnya surat perjanjian tersebut baru diteken kemarin.

    Bambang melanjutkan, sebenarnya sejak 26 Juni lalu syarat-syarat pencairan dana ganti rugi tersebut hampir lengkap, yakni perpres dan DIPA. Tinggal surat kontrak yang belum diteken karena menunggu hasil pertimbangan presiden. Karena itu, kata dia, setelah semua persyaratan lengkap, dana bisa segera dicairkan.

    Dia menguraikan, Selasa pekan depan (14/7) pihaknya bersama Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono menyerahkan surat perjanjian kontrak tersebut kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). ’’Selasa kami ke BPLS untuk menyerahkan surat perjanjian. Sebab, ini menjadi dasar bagi BPLS untuk mencairkan anggaran,’’ ujarnya.

    Mengenai pembayaran dana talangan oleh Lapindo, Bambang menekankan bahwa pemerintah telah menetapkan bunga 4,8 persen dan waktu pelunasan selama empat tahun. Pemerintah juga siap mengambil aset berupa tanah 641 hektare senilai Rp 2,7 triliun jika Lapindo gagal melunasi utang saat jatuh tempo.

    ’’Pembayaran talangan Lapindo itu bisa dicicil. Bisa juga pembayaran di ujung. Yang penting, ada batas waktu empat tahun. Batas waktu pembayarannya mulai hari ini. Jika tidak (tidak bisa membayar), kan ada jaminan (tanah),’’ tegasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam menuturkan, saat ini verifikasi terus berjalan. Di antara 3.300 berkas warga, yang rampung sudah 1.200 berkas. ’’Sebanyak 3.300 berkas itu adalah milik sekitar 2.000 kepala keluarga (KK),’’ ujarnya.

    Andi melanjutkan, untuk skema pembayaran tahap awal, semua telah diserahkan kepada BPLS. Pihaknya akan menyerahkan hasil verifikasi kepada BPLS. Kemudian, BPLS memvalidasi untuk diserahkan kepada bendahara negara, dalam hal ini Kemenkeu. ’’Jadi, uang akan langsung dari pusat ke masyarakat,’’ tegasnya.

    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Hardi Prasetyo menyatakan sudah membuat skema tersebut. Namun, dia enggan memaparkan detail. Dia akan menjelaskan secara terperinci saat pemerintah pusat menyerahkan berkas perjanjian kepada pihaknya di Sidoarjo, Selasa pekan depan.

    ’’Yang jelas, nanti sistemnya ditransfer melalui rekening BRI yang telah dibuka untuk masing-masing KK. Besarannya pun sesuai dengan aset mereka,’’ ungkapnya. (mia/ken/c5/kim)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20193/Ganti-Rugi-Warga-Perjanjian-Sudah-Diteken-Menkeu-Presdir-Lapindo

  • Ada Kendala di Lapindo

    Perjanjian Dana Pinjaman Harus Segera Ditandatangani

    SIDOARJO, KOMPAS — Perjanjian dana pinjaman untuk menalangi pembayaran ganti rugi bagi warga korban semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, harus segera ditandatangani oleh pemerintah dan perusahaan. Akta perjanjian itu menjadi dasar untuk mencairkan anggaran Rp 781 miliar dan pijakan melakukan validasi berkas sebagai syarat pembayaran kepada korban.

    “Hingga saat ini, perjanjian dana pinjaman belum ditandatangani, walau peraturan presiden (perpres) tentang pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo dengan dana pinjaman pemerintah, sudah disahkan. Masih ada sejumlah hal yang menjadi kendala,” ujar Dwinanto Hesti Prasetyo, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (1/7), di Sidoarjo.

    Dwinanto tidak menyebutkan kendala itu. Namun, BPLS akan mematangkan persiapan kapan pun perjanjian itu ditandatangani. Oleh karena itu, BPLS melakukan pencocokkan data warga korban lumpur sebagai langkah persiapan menuju validasi berkas pemberian ganti rugi.

    Pengamatan di Pendopo Delta Wibawa, Sidoarjo, tim verifikasi BPLS memanggil sekitar 300 masyarakat korban semburan lumpur di tiga kecamatan, yakni Jabon, Tanggulangin, dan Porong. Mereka diminta membawa kartu identitas, buku rekening, dan kuitansi pembayaran ganti rugi yang sudah diterima.

    Data bermasalah

    Sebelumnya, Jumat pekan lalu, BPLS memanggil 44 pemilik berkas untuk mengikuti verifikasi. Namun, karena banyak ditemukan data bermasalah, dan pasokan data masyarakat korban lumpur dari Lapindo kurang lancar, verifikasi dihentikan dan baru dibuka lagi Rabu.

    Dari 300 berkas itu, sebanyak 193 berkas dinyatakan cocok secara administrasi. Sisanya, 107 berkas, belum bisa diproses karena berbagai sebab. Sebanyak 90 berkas, pemiliknya tidak hadir.

    Adapun 17 berkas tidak bisa diproses, sebab bermasalah. Permasalahannya beragam, tetapi kebanyakan karena ketidaksesuaian data. Misalnya, nama pemilik berkas dan pemilik rekening berbeda. Selain itu, nama sama, tetapi alamat yang tertera pada berkas tidak sama dengan yang tertera di buku rekening.

    “Kami berharap Kamis besok bisa membereskan yang 107 berkas. Pemilik yang belum hadir diharapkan segera hadir. Data yang tidak sama akan diperbaiki. Termasuk tadi ada persoalan ahli waris yang belum bisa menunjukkan surat keterangannya,” kata Dwinanto.

    Saat ini BPLS baru melakukan pendataan administrasi. Adapun verifikasi terkait dengan nilai pembayaran ganti rugi akan dilakukan pada tahap berikutnya, setelah perjanjian pinjaman antara pemerintah dan PT Lapindo Brantas atau Minarak Lapindo Jaya, ditandatangani.

    Informasi lain yang diperoleh Kompas, salah satu faktor penghambat karena adanya perubahan pihak yang harusnya melakukan penandatanganan dana pinjaman. Bila sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, diubah menjadi Menteri Keuangan. Hal itu sesuai arahan dari Jaksa Agung.

    Seorang warga korban lumpur Lapindo dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Hartini, mengatakan, ia mendapat panggilan mengikuti pencocokan data di Pendopo Delta Wibawa secara mendadak. Ia bingung, karena tidak disebutkan secara rinci berkas mana yang dimaksud.

    Selain itu, korban lumpur mengeluhkan tak ada pengumuman nilai nominal sisa ganti rugi yang akan mereka terima. Jika nilai ganti rugi ditentukan perusahaan, hal itu bisa merugikan warga korban lumpur. (nik)

    Harian Kompas, 2 Juli 2015, h. 24.

  • Pemerintah Paksa Minarak Lapindo Bayar Bunga Dana Talangan

    Pemerintah Paksa Minarak Lapindo Bayar Bunga Dana Talangan

    JAKARTA – Pemerintah mewajibkan PT Minarak Lapindo membayar bunga dana talangan untuk membayar ganti rugi warga korban luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Minarak Lapindo sebagai pelaksana pembayaran ganti rugi pun sepakat membayar bunga 4,8 persen untuk dana talangan sebesar Rp 827,1 miliar yang statusnya pinjaman dari pemerintah itu.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyono mengaku sudah memanggil pemilik PT Minarak Lapindo, Nirwan Bakrie terkait pengenaan bunga untuk dana pinjaman dari pemerintah itu. “Saya sudah undang Pak Nirwan bahwa dari sidang kabinet ini dana antisipasi ini dikenai bunga 4,8 persen, dan beliau (Nirwan, red) menerima,” kata Basuki  di kantor kepresidenan, Jakarta, Senin (22/6).

    Karenanya Basuki juga mengharapkan peraturan presiden (perpres) tentang dana talangan untuk Minarak Lapindo itu segera ditandangtangani Presiden Joko Widodo. Nantinya, perpres itu akan ditindaklanjuti dengan perjanjian antara Kementerian PUPR dengan Minarak Lapindo.

    Basuki menambahkan, draf perjanjian kerja sama saat itu sudah diedarkan kepada seluruh tim percepatan untuk dikoreksi. “Mudah-mudahan Rabu (24/6) saya bisa menandatangani perjanjiannya dengan Minarak Lapindo Jaya,” imbuhnya.

    Basuki menegaskan, jumlah dana talangan dari pemerintah untuk Minarak Lapindo itu sudah sesuai hasil verifikasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dari Rp 827 miliar yang disediakan, Rp 781 miliar di antaranya akan dibagikan kepada warga.

    Basuki menjelaskan, pembayaran ganti rugi akan dilakukan melalui transfer ke rekening warga di bank. “Mereka sudah siap dengan rekening-rekening BNI,” kata Basuki.

    Warga penerima ganti rugi tidak akan dikenai bunga. Sedangkan Minarak Lapindo harus melunasi dana pinjaman itu ke pemerintah itu dalam kurun waktu 4 tahun.

    FLO

    http://www.jpnn.com/read/2015/06/22/311078/Pemerintah-Paksa-Minarak-Lapindo-Bayar-Bunga-Dana-Talangan

  • 9 Tahun Menunggu Janji Lapindo

    9 Tahun Menunggu Janji Lapindo

    MetroRealitas – Tidak terasa genangan lumpur ini sudah menginjak tahun ke-9, tidak banyak perubahan di sana, namun genangan masih ada bahkan terus meluap. Namun setidaknya kini sebagian warga di kawasan terdampak sudah mulai lega, sebab kekurangan pembayaran untuk senilai Rp 827 miliar akan segera dilunasi. Dilunasi dan dibayarkan oleh pemerintah, ya inilah ironi yang diperdebatkan belakangan ini sebab ujung-ujungnya harus pemerintah juga yang turun tangan. Anehnya tak cuma harus nombok duluan, pemerintah pun oke-oke saja memberikan talangan meski nilai jaminan dari pihak Lapindo justru menyusut. Benarkah Lapindo tak layak ditalangi? Dan benarkah grup usaha Lapindo ini telah meraup banyak keuntungan dari putaran bisnis migasnya, Selasa (16/6/2015).

    Editor: AMS

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    Bencana lumpur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipicu oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc pada 29 Mei lalu genap sembilan tahun terjadi. Persoalan masih menggantung, terutama terkait pembayaran ganti rugi kepada warga yang menjadi korban terdampak yang belum selesai.

    Pola penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo menciptakan masalah tersendiri. Pembagian pemberian ganti rugi antara wilayah yang masuk peta area terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan penelantaran dan perpecahan di tingkat warga.

    Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 dan Perpres No 40/2009, pemberian ganti rugi kepada korban dikategorikan dalam dua kelompok. Wilayah yang masuk PAT akan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas Inc. Sementara desa-desa yang berada di luar PAT diberi ganti rugi oleh negara. Dalam perkembangannya, PT Minarak Lapindo tak mampu memenuhi kesepakatan itu. Akibatnya, masih banyak korban yang tidak jelas nasibnya saat ini.

    Tetap bertahan

    “Kalau hujan deras, ndak ada yang berani di dalam rumah. Kami semua kumpul di emperan depan, takut rumahnya ambruk,” ujar Bu Sanik (65), warga RT 010 RW 002 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

    Bu Sanik adalah salah satu warga yang saat ini bersama 18 kepala keluarga (KK) lainnya masih bertahan di lokasi PAT lumpur Lapindo. Bukan hanya keluarga Bu Sanik, hampir sebagian besar warga RT 010 RW 002 yang masih tinggal di wilayah PAT gelisah jika hujan turun. Ancaman rumah ambruk dan banjir air bercampur lumpur menghantui mereka.

    Pertengahan Maret lalu, tanggul penahan lumpur yang berada di belakang rumah warga Desa Gempolsari itu jebol. Air bercampur lumpur setinggi hampir setengah meter masuk ke rumah warga. Sekitar 100 warga dari RT 010 RW 002 mengungsi ke Balai Desa Gempolsari. Ini merupakan kejadian yang ketiga kalinya di tahun 2015.

    Desa Gempolsari berdasarkan Perpres No 14/2007 termasuk salah satu desa yang masuk dalam PAT lumpur Lapindo. Ada 99 KK dengan 314 jiwa warga Desa Gempolsari yang terdampak lumpur. Sebagian besar sudah pindah dari Gempolsari. Yang masih tersisa adalah warga RT 010 dan sebagian kecil RT 009 dari RW 002 yang berjumlah 19 KK dengan 114 jiwa. Area itu termasuk dalam 641 hektar yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), seperti tertuang dalam Perpres No 14/2007.

    Kini, kondisi lingkungan dan tempat tinggal seluruh warga yang masih bertahan di wilayah ini sudah tidak layak huni. Lingkungan yang lembab akibat seringnya terendam lumpur menyebabkan fisik bangunan terkikis dan rapuh. Sebagian besar rumah lantainya sudah ambles dan lebih rendah dari endapan lumpur yang ada di halaman.

    Mereka yang masih tinggal di area itu bukannya tidak ingin pindah, belum lunasnya sisa pembayaran oleh PT Minarak Lapindo Jaya menyebabkan mereka terus bertahan di situ. Selain karena belum memiliki tempat hunian lain, mereka juga khawatir jika meninggalkan lokasi, sementara tanah dan bangunan belum lunas, mereka akan kehilangan hak atas tanah dan bangunan milik mereka.

    Memberdayakan kelompok

    Di antara penelantaran oleh negara dan PT Lapindo, tetap muncul inisiatif-inisiatif dari para korban untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti yang dilakukan Harwati (39). Meskipun telah sembilan tahun terpaksa meninggalkan rumahnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Harwati belum memperoleh pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Kini, ia tinggal di rumah orangtuanya di Desa Candipari sambil menjadi tukang ojek di salah satu area tanggul lumpur Lapindo.

    Kematian suami dan ibunya karena kanker beberapa tahun setelah bencana lumpur membuat Harwati bertekad mengumpulkan kembali para tetangga dan keluarganya yang telah tercerai berai. “Kira-kira setahun saya berkeliling ke desa-desa sekitar mencari tahu keberadaan keluarga besar dan tetangga di Desa Siring dulu. Daripada stres kalau belum ada penumpang, lebih baik keliling,” cerita Harwati.

    Setelah mengetahui tempat tinggal mereka, Harwati mengajak tetangga dan keluarga yang sudah ditemukannya untuk berkumpul, membuat arisan kecil-kecilan, hanya agar bisa menyambung kembali ikatan sosial yang telah dihancurkan lumpur Lapindo. Saat ini, tak kurang dari 20 perempuan aktif berkumpul dalam Komunitas Ar-Rohmah yang didirikannya. Mereka memiliki usaha kecil-kecilan membuat produk kreatif, seperti tas kain, selimut, bed cover dari perca. Uang kas yang dikumpulkan sedikit demi sedikit digunakan untuk membantu biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit.

    “Saya tak mau kejadian seperti suami saya yang ditolak rumah sakit ketika berusaha mengobati kankernya terulang kembali. Bikin trauma sekali,” ungkapnya. Pemerintah dan (apalagi) PT Lapindo tidak memedulikan persoalan ini. Warga sendiri yang harus mengupayakan penyelesaian.

    Malu diganti negara

    Pengategorian korban bencana lumpur juga mengakibatkan perpecahan di kalangan warga, baik yang berada di PAT maupun di luar PAT. Seperti yang terjadi pada warga Desa Besuki. Abdul Rokhim (48) menuturkan bahwa tahun 2007 ia dan ratusan warga lainnya menuntut ganti rugi. Tempat tinggalnya memang tidak masuk dalam PAT berdasarkan Perpres No 14/2007.

    Namun, Rokhim menyatakan, dampak luapan lumpur itu juga dirasakan warga yang rumahnya di luar peta tersebut. “Saya tidak bisa kerja lagi karena pabrik sudah tutup, apalagi harus beli air untuk kebutuhan sehari-hari karena air di rumah tidak layak,” tutur Rokhim.

    Pemerintah akhirnya menerbitkan Prepres No 48/2008 yang memasukkan sebagian Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, untuk diberi ganti rugi dari APBN. Namun, peraturan itu menjadikan jalan tol sebagai dasar menentukan wilayah yang masuk penggantian. Akibatnya, hanya Besuki bagian Barat yang masuk. Keputusan ini mengakibatkan kelompok warga yang semula bersatu di atas kepentingan bersama Desa Besuki menjadi terpecah belah. Suasana kekeluargaan pun hancur.

    Akhirnya, Rokhim dan warga Besuki bagian Timur harus berjuang kembali menuntut ganti rugi. Keberuntungan masih dimiliki Rokhim, bagian timur Desa Besuki pun masuk dalam penggantian melalui Perpres No 37/2012. Kini, meski telah tinggal di rumah baru, kegundahan Rokhim tak hilang karena, “Saya pribadi malu karena saya merasakan diganteni (diganti) oleh negara, seluruh rakyat Indonesia. Mestinya yang bertanggung jawab Lapindo,” ungkapnya. Keadilan hukum seharusnya diberikan kepada pelaku bencana industri seperti Lapindo.

    MG Retno Setyowati/Yohan Wahyu/BI Purwantari/Litbang Kompas

    Kompas Siang, 4 Juni 2015

  • Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    JAKARTA – Korban lumpur Lapindo yang belum mendapatkan ganti rugi bisa menyambut datangnya bulan puasa dan Lebaran dengan lebih tenang. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono menyatakan, dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk membayar ganti rugi paling lambat cair pada 26 Juni mendatang.

    Saat ini negosiasi PT MLJ dengan pemerintah soal kesepakatan pemberian talangan masih berlangsung. Basuki selaku ketua tim percepatan pembayaran ganti rugi tanah korban lumpur Lapindo terus memantau perkembangan negosiasi tersebut

    ”Saya optimistis paling lambat 26 Juni (2015) sudah cair,” tegasnya saat dihubungi Jawa Pos Sabtu (30/5).

    Basuki mengungkapkan, saat ini memang masih ada beberapa detail perjanjian yang belum disepakati oleh PT MLJ. Misalnya besaran bunga maupun pajak yang harus dibayar atas dana talangan Rp 827,1 miliar tersebut. ”Soal itu masih sebatas pembicaraan informal, pasti nanti ketemu (sepakat, Red) juga,” katanya.

    Untuk memastikan, Basuki sudah mengonfirmasi Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian PU-Pera Taufik Widjoyono selaku ketua tim teknis yang memimpin negosiasi dengan pihak Lapindo. ”Kata Pak Irjen masih on schedule (tetap sesuai jadwal cair 26 Juni),” ucapnya.

    Basuki menuturkan, saat ini yang bekerja adalah tim teknis yang terdiri atas pejabat eselon I di Kementerian PU-Pera, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). ”Kalau tim teknis selesai, nanti baru dilaporkan ke saya untuk dibawa ke sidang kabinet,” jelasnya.

    Karena itu, ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tersebut menyatakan belum mengetahui detail poin-poin negosiasi yang saat ini sedang berjalan. Termasuk informasi seputar keinginan pemerintah untuk menetapkan bunga 4 persen serta pajak. ”Prinsip kami kan bagaimana agar pemberian pinjaman ini tidak merugikan pemerintah,” ujarnya.

    Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa skema dana talangan untuk Lapindo yang berasal dari APBN merupakan pinjaman. Karena itu, berlaku pula ketentuan sebagaimana layaknya pemberian pinjaman, yakni ada bunga dan pajak. ”Namanya juga pinjaman, bukan diberikan (gratis, Red),” katanya.

    Terkait dengan keinginan pihak Lapindo agar dana talangan bisa dicairkan sebelum bulan puasa, Basuki mengaku tidak bisa menjamin. Sebagai gambaran, Muhammadiyah sudah menetapkan awal bulan puasa tahun ini pada 18 Juni, sedangkan pemerintah belum memutuskan, namun mungkin mundur satu hari atau mulai 19 Juni.

    Menurut Basuki, berdasar tahapan-tahapan yang sudah dibuat dan disampaikan tim teknis, pencairan dana itu memang masih mengacu pada 26 Juni 2015. Karena itu, dia meminta masyarakat sedikit bersabar. ”Kan nggak beda jauh juga, syukur-syukur negosiasinya lancar. Jadi, bisa cair lebih cepat,” ucapnya. (owi/c11/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18139/menteri-pu-pera-dana-lapindo-paling-lambat-cair-26-juni

  • Bola Pencairan di Tangan PT Minarak Lapindo

    Bola Pencairan di Tangan PT Minarak Lapindo

    JAKARTA – Seharusnya dalam beberapa pekan ke depan pencairan ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo bisa segera cair. Pemerintah sudah menyiapkan dana talangan Rp 827 miliar. PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) pun menyatakan keinginan agar pencairan mulai dilakukan sebelum bulan puasa yang jatuh pada pertengahan Juni.

    ”Ya, kami ingin finalisasi perjanjian kesepakatan pemberian dana talangan bisa segera terwujud. Sehingga dana talangan untuk korban lumpur panas kalau bisa cair sebelum bulan puasa,” kata Direktur PT MLJ Andi DarussalamTabusalla saat dihubungi Jumat (29/5).

    Andi menyatakan, pihaknya tidak punya keinginan untuk memperlambat proses pencairan. Terkait belum adanya kesepakatan, kata Andi, ada beberapa poin perjanjian yang masih perlu dibahas kedua pihak.

    Seperti disebutkan Wapres Jusuf Kalla pada Kamis lalu (28/5), salah satu poin yang perlu dibahas berkaitan dengan bunga. Kabarnya, pihak PT MLJ ingin dibebaskan dari bunga. Sebaliknya, pemerintah gamang karena nilai aset yang dijadikan jaminan menurun.

    Menanggapi itu, Andi secara tegas menampik. Dia mengatakan, kesepakatan perjanjian lama hanya karena kehati-hatian pihak pemerintah dan PT MLJ. Selain itu, kerugian nilai aset, menurut dia, tidak akan terjadi. Sebab, pada akhirnya seluruh hutang tersebut akan dilunasi MLJ dalam rentang waktu empat tahun mendatang.

    ”Ini kan bukan perkara kita tidak sanggup. Tapi, dengan kondisi keuangan saat ini akan memakan waktu lebih lama untuk jual beli tanah. Makanya, dibantu pemerintah menalangi,” tandasnya.

    Di tempat terpisah, Lalu Mara Satria Wangsa, juru bicara keluarga Bakrie, meminta masyarakat tidak terus-terusan menilai negatif pihak keluarga Bakrie dalam masalah itu. Menurut dia, yang telah dilakukan keluarga Bakrie harus diapresiasi. Pendapat itu didasari tanggung jawab keluarga Bakrie meski tidak memiliki secara langsung PT Minarak Lapindo. Terlebih, putusan hukum sebelumnya menyatakan perusahaan tidak bersalah atas bencana yang terjadi.

    Lalu Mara mengatakan, kepemilikan saham PT Minarak Lapindo terdiri atas PT Energi Mega (50 persen), PT Medco (32 persen), dan PT Santos Australia (18 persen). Dalam kepemilikan PT Energi Mega, diakui, keluarga Bakrie memang mempunyai saham. Namun, menurut dia, itu tidak banyak. Sebab, 70 persen sahamnya milik publik. ”Dari struktur kepemilikannya saja sudah terlihat bagaimana tanggung jawab keluarga Bakrie. Meski tidak bersalah, tetap melakukan segalanya hingga lebih dari Rp 8 triliun,” tuturnya.

    Sementara itu, Kemenkeu mengaku belum bisa memastikan besaran bunga dan pajak yang akan dikenakan dalam pemberian dana talangan Rp 827 miliar. ”Belum dibicarakan,” kata Menkeu Bambang Brodjonegoro di gedung Kemenkeu kemarin.

    Bambang menegaskan bahwa bunga talangan tersebut tidak berkaitan dengan APBN. Bunga tersebut merupakan kewajiban Lapindo ke depan dengan peemrintah. ”Itu yang harus dibicarakan dengan ketua tim Lapindo (Menteri PU-Pera, Red),” ujarnya.

    Soal kekhawatiran penurunan nilai aset yang dijaminkan PT Minarak Lapindo berupa 9.900 berkas senilai Rp 3,03 triliun, pakar geofisika ITS Amien Widodo menyatakan, itu tidak perlu terjadi. Tanah di sekitar lumpur Lapindo masih dikatakan sehat. Asalkan, tanah tersebut benar-benar bersih dari campuran lumpur. Amien menjelaskan, air lumpur memiliki kandungan garam yang sangat tinggi. Apabila sudah terkontaminasi lumpur, kondisi tanah turun drastis.

    ”Kalau ada kadar garam tinggi, tanaman jenis apa saja ya gak bisa tumbuh,” ujarnya.

    Meski begitu, banyak manfaat yang bisa diambil dari lumpur. Dia menerangkan, saat ini sedang dilakukan penelitian terkait kandungan lumpur. Penemuannya, lumpur mengandung litium. ”Ada kandungan litium meski kosentrasinya hanya sedikit. Namun, itu berpotensi dapat digunakan untuk industri,” paparnya.

    Litium, lanjut dia, digunakan untuk bahan baterai. ”Kami sedang dalam penelitian untuk menjadikan sebuah produk baterai. Tapi, masih proses karena memang kosentrasinya hanya sedikit, tidak sampai 5 persen,” terangnya. Litium diperoleh dari hasil pemisahan saat air lumpur disaring.

    Bukan hanya bahan baterai. Lumpur juga sangat berpotensi digunakan sebagai bahan batu bata. ”Dulu pernah membuat batu bata, tapi gagal. Karena memang dulu belum tahu kalau memiliki kadar garam tinggi,” terangnya.

    Jika kadar garam dapat dipisahkan, lumpur tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan batu bata. Amien mengimbau pemerintah untuk melihat potensi yang ada dari lumpur. Dengan begitu, lumpur Lapindo dapat digunakan sebagai bahan industri yang menghasilkan keuntungan. ”Hanya saja, saat ini kondisi tanah terus turun. Buktinya, selalu ada banjir di sekitar itu,” terangnya.

    Sementara itu, sembilan tahun semburan lumpur Lapindo diperingati ribuan korban dengan menggelar festival pulang kampung. Festival tersebut diawali dengan arak-arakan ogoh-ogoh berbentuk mirip Aburizal Bakrie berbaju kuning. Dua tangannya diikat rantai hitam dan tepat di depan ogoh-ogoh beberapa warga membawa spanduk dengan berbagai tulisan. Ogoh-ogoh tersebut diarak lebih dari 200 orang dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju tanggul di titik 21, perbatasan antara Desa Siring dan Desa Jatirejo.

    Sambil mengarak ogoh-ogoh, warga yang hadir saat itu juga memainkan musik patrol. Sesampai di tanggul titik 21, ogoh-ogoh tersebut diletakkan tidak jauh dari lokasi patung-patung yang ditenggelamkan warga setahun lalu. Warga yang dari awal mengarak ogoh-ogoh tersebut langsung memutari ogoh-ogoh tersebut. Sejumlah warga lalu menaburi ogoh-ogoh dengan bunga.

    ”Bunga ini melambangkan bahwa hukum di Indoensia telah mati,” kata Koordinator Festival Pulang Kampung Harwati. Dia mengatakan, ogoh-ogoh tersebut akan terus diletakkan di posisi tersebut. Itu menunjukkan musibah yang menimpa mereka merupakan tanggung jawab Bakrie.

    Seusai kegiatan arak-arakan ogoh-ogoh, warga yang mengikuti kegiatan tersebut langsung menghampiri sembilan gubuk di lokasi tersebut. Di sembilan gubuk tersebut ada beberapa makanan desa khas Porong seperti getuk, gerondol jagung, dan nasi kuning. Makanan-makanan tersebut dahulu bisa didapat dengan mudah di desa yang sekarang tertimbun lumpur itu. Tiga jenis makanan tersebut dihadirkan untuk mengobati rasa rindu para korban lumpur Lapindo akan kampung halaman.

    Warga juga menyantap nasi aking (nasi karak) yang sudah dimasak ulang. Nasi aking tersebut, menurut Harwati, menggambarkan nasib mereka. Mereka yang berasal dari desa dihancurkan seperti tak ada harganya. ”Tapi, nasi aking kami masak lagi. Artinya, kami masih bisa bangkit dan akan terus berjuang untuk hidup kami,” tegas Harwati.

    Karena itu, mereka sangat berharap janji kali ini tidak meleset lagi seperti sebelum-sebelumnya. ”Tentu kami ingin ini menjadi kenyataan. Bagi kami, kalau ganti rugi ini benar-benar cair sebelum Lebaran, suasana Lebaran akan terasa nikmat,” ungkap Gunawan, seorang korban lumpur asal Jatirejo, Porong.

    Jika ganti rugi itu cair, Gunawan menyebut hidupnya akan terasa lebih ringan. ”Dengan uang itu, rumah bisa kami lunasi dan utang kami juga bisa dikurangi,” kata pria 53 tahun tersebut.

    Harapan agar pelunasan tersebut diwujudkan juga diapungkan Sugiono. Pria yang dahulu tinggal di Jatirejo itu berharap pelunasan ganti rugi nanti bisa menjadi hadiah Lebaran untuknya, keluarga besarnya, dan para korban lainnya. ”Biar semua beban kami bisa lebih ringan sehingga kami bisa menikmati Lebaran lebih nyaman,” ujarnya. (mia/tin/fim/bri/c10/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18108/Bola-Pencairan-di-Tangan-PT-Minarak-Lapindo

  • Politik Janji

    Politik Janji

    Dalam kasus Lapindo, janji khususnya tentang pelunasan ‘ganti rugi’ adalah sarana kekuasaan yang sangat efektif. Janji diberikan tidak hanya oleh perwakilan Lapindo ataupun Minarak, tapi juga oleh pengurus negara. Setelah sebelumnya melempar janji pencairan ‘dana talangan’ pada korban akan dilakukan bulan Mei ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono meralatnya dan melempar janji baru bahwa pencarian dana itu akan dilakukan paling lambat sebelum Lebaran.

    Jika kita mengacu pada Perpres 14/2007, maka relasi yang terbentuk antara warga dan Lapindo sebagai penjual dan pembeli. Kita juga akan menjumpai kebenaran pepatah “pembeli adalah raja.” Ya, Lapindo adalah raja yang dapat mengendalikan laju transaksinya dengan warga.

    Seperti raja, Lapindo mendapatkan keistimewaan dengan ketidakberdayaan negara dan para pengurusnya untuk menjamin transaksi antara warga dan Lapindo berlangsung secara setara. Sekalipun berperan sebagai pihak yang mewajibkan Lapindo untuk membeli tanah dan bangunan warga melalui penerbitan Perpres 14/2007, negara tidak pernah hadir dan berdaya untuk memaksa Lapindo menyelesaikan peraturan itu. Negara tidak pernah memberi sanksi setimpal saat Lapindo melanggar peraturan dengan  kekuatan hukum yang mengikat itu. Alih-alih menghukum, negara justru “membantu” Lapindo untuk melunasi kewajibannya itu dengan cara menalanginya terlebih dahulu. Rencana ini, rupanya, menjadi blunder ketika Lapindo tidak menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan dana yang dikumpulkan dari uang rakyat itu.

    Seperti raja, Lapindo dengan leluasa memodifikasi transaksi seperti telah diatur dalam Perpres 14/2007 dengan mendesakkan skema “cash and resettlement” bagi warga tanpa sertifikat tanah/bangunan. Warga dipaksa menukar nilai aset mereka dengan bangunan baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Padahal, Perpres 14/2007 mengatur pembayaran dilakukan secara tunai, bertahap. Dan lagi, alih-alih memberikan sanksi atas modifikasi itu, para pengurus negara dari legislatif maupun eksekutif justru mendukung rencana Lapindo itu.

    Seperti raja, kelakuan Lapindo didukung oleh klaim-klaim berbau religius para pemuka agama bahwa segala yang telah diberikan perusahaan adalah “sodaqoh,” sedekah, amal pada warga yang sedang tertimpa musibah, pada korban yang tidak berdaya. Alih-alih impas, kini banyak warga yang dipaksa seolah-olah berhutang budi pada Lapindo, khususnya pada keluarga Bakrie. Padahal, yang terjadi adalah jual beli aset. Warga yang sudah terlebih dahulu memberikan kepemilikan aset mereka pada Lapindo. Jika demikian, apa yang diberikan Lapindo itu tak lebih dari kewajiban seorang pembeli pada penjual, yaitu membayar apa yang sudah diterimakan padanya.

    Saya melihat, ada fakta yang dihilangkan dalam pembingkaian proses transaksi antara warga dan Lapindo. Fakta itu adalah kenyataan bahwa warga sudah terlebih dahulu memberikan tanah dan bangunan dengan cara melimpahkan hak kepemilikan (proprietary) mereka pada Lapindo. Secara teoretik, “pemberi” seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan “penerima.” Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada kasus Lapindo.

    Saat ini, fakta “warga sebagai pemberi” telah direduksi, bahkan dieliminir. Warga kini dibingkai dan diposisikan sebagai mereka yang “meminta(-minta).” Seolah-olah, warga berada dalam posisi seperti pengemis yang mengharapkan pemberian dari pihak lain, entah itu negara ataupun Lapindo. Faktanya, para warga ini sudah memberikan aset mereka. Penghilangan fakta “warga sebagai pemberi” muncul dari adanya pra-pengandaian publik tentang mereka adalah korban yang tidak berdaya. Padahal, warga dengan pelbagai pergulatan psikologisnya perlu dilihat sebagai pihak yang sangat berdaya dan telah berani melepaskan (kepemilikan) aset mereka pada pihak lain.

    Tidak mudah untuk melepas atau memberikan sesuatu, apalagi jika sesuatu itu amat berharga. Tidak hanya dibutuhkan suatu keberdayaan dan keberanian, namun juga kerelaan; yang semua itu seolah-olah tak dimiliki Lapindo dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai pihak yang sudah menerima pemberian para warga itu.

    Dalam kalender tahunan masyarakat Indonesia, terdapat momentum budaya yang selalu terulang, salah satunya adalah Lebaran. Berdasarkan catatan saya, pasca lumpur Lapindo menyembur pada 29 Mei 2006, Lebaran telah menjadi momentum unik untuk melontarkan janji-janjinya pada warga. Tidak hanya Lebaran saja, kampanye pemilihan umum, presiden dan juga kepala daerah telah menjadi ajang untuk mengumbar janji tentang pelunasan ganti rugi. Strategi semacam ini rupanya telah menular pada pengurus negara ini, dengan lontaran janji pejabat pemerintah yang akan melunasi pembayaran sebelum Lebaran 2015.

    Seperti sudah banyak disampaikan dalam kesempatan lain, pelunasan ganti rugi aset hanyalah salah satu persoalan yang harus segera dituntaskan. Yang perlu kita ingat, menurut prediksi para geolog lumpur masih akan terus menyembur secara masif sampai puluhan tahun. Artinya, apa yang terjadi sampai saat ini belum separuh dari apa yang akan terjadi.

    Sekarang, menjelang 9 tahun lumpur Lapindo menyembur, pemerintah, lagi-lagi, hanya bisa sebatas memberikan janji menyelesaikan persoalan ganti rugi yang tak kunjung tuntas. Padahal, di luar itu masih banyak persoalan sosial-ekologis yang muncul akibat semburan lumpur Lapindo. Jika hanya sampai itu kapasitas pengurus negara republik ini, maka sudah layak dan pantas bagi kita untuk terus mempertanyakan wujud “kehadiran negara” dalam kasus ini. (*)

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • Korban Lumpur Lapindo: Pak Jokowi, Saya Sudah Tidak Kuat…

    Korban Lumpur Lapindo: Pak Jokowi, Saya Sudah Tidak Kuat…

    SIDOARJO, KOMPAS.com – Sunarti meraung-raung di tengah ratusan warga sesama korban lumpur Lapindo yang menggelar unjuk rasa, Minggu (10/5/2015). Dia berteriak histeris karena hingga pertengahan Mei 2015, masih belum jelas kapan ganti rugi dibayar Pemerintah Pusat.

    Jarene Mei. Mei iku akeh. Taon ngarep ono Mei. Mei kapan? (Katanya Mei. Mei itu banyak. Kapan?),” kata dia sambil berteriak, yang berusaha ditenangkan warga lain.

    Berulang kali Sunarti mengungkit janji-janji pelunasan dari PT Minarak Lapindo Jaya dan pemerintah pusat. Bagi Sunarti, janji-janji itu membuat dirinya tak kuat menahan beban hidup.

    Pak Jokowi, aku wes gak kuat maneh (Pak Jokowi, saya sudah tak kuat lagi),” kata Sunarti.

    Para warga yang masuk Peta Area Terdampak (PAT) ini mengaku terus dibohongi. Di berbagai media massa, pemerintah pusat selalu mengatakan, Mei 2015 adalah batas pelunasan. Namun hingga pertengahan Mei, belum ada tanda-tanda pelunasan itu.

    Anggota Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, Maksum Zubair juga hadir dalam aksi itu. Dia mengaku tidak bisa berbuat banyak karena Pemerintah Pusat belum sepakat dengan pihak Lapindo.

    “Masalahnya ada di keduanya. Kami di sini tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.

    Informasi yang masuk ke Pansus, molornya pencairan ini karena tidak ada titik temu antara pemerintah dan Lapindo. Pemerintah meminta jaminan aset Lapindo sebagai syarat pencairan dana talangan ganti rugi sebesar Rp 781 miliar.

    Miftah Faridl

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/05/10/21081621/Korban.Lumpur.Lapindo.Pak.Jokowi.Saya.Sudah.Tidak.Kuat.

  • Ganti Rugi Korban Lumpur, Gus Syaikhul : “Macetnya Tuh di Lapindo”

    Ganti Rugi Korban Lumpur, Gus Syaikhul : “Macetnya Tuh di Lapindo”

    Sidoarjonews, Taman – Dana ganti rugi para korban lumpur Lapindo yang berada di dalam area peta terdampak, hingga saat ini belum turun disebabkan pihak Lapindo tidak serius dalam memberikan komitmen kepada pemerintah. Padahal selama ini, pemerintah sudah berusaha membantu para korban dengan memberikan dana talangan dari APBN P 2015 sebesar Rp 781 miliar.

    Ungkapan itu disampaikan salah satu anggota DPR RI Komisi VII yang membidangi ESDM, Ristek dan Dikti, H Syaikhul Islam saat dikonfirmasi SidoarjoNews terkait ganti rugi korban lumpur Lapindo di salah satu rumah makan di daerah Taman Sidoarjo usai melakukan reses.

    Gus Syaikhul, sapaan akrab H Syaikhul Islam, menyampaikan, sebetulnya pemerintah sudah mempunyai niat atau itikad baik untuk memberikan dana talangan. Akan tetapi pihak lapindo tidak mempunyai niat dan komitmen sehingga pada akhirnya dana tersebut nyangkut seperti ini.

    “Lapindo tidak mempunyai itikad baik untuk mencairkan uang ganti rugi kepada masyarakat (korban lumpur). Kenapa demikian? Di APBN-P 2015 sudah diputuskan bahwa negara memberikan dana talangan sebesar Rp 781 miliar dan sudah diketok di APBN-P itu,” ungkapnya, Rabu (6/05/2015).

    “Kenapa uang tersebut belum cair?,” sambung Gus Syaikhul, “Menteri Keuangan belum berani memberikan atau mencairkan dana sebab pihak Lapindo tidak menunjukkan komitmennya untuk bisa mengembalikan uang tersebut.”

    Gus Syaikhul mencontohkan,  sampai hari ini aset-aset Lapindo sebagai agunan ke pemerintah tak kunjung diberikan dan pihak Lapindo belum menunjukkan data konkrit yang dibutuhkan.

    “Saya tekankan bahwa masalahnya ini bukan pada pemerintah, tetapi pada Lapindo. Masalahnya itu bukan di presiden. Dana talangan yang diberikan pemerintah tidak direspon baik oleh lapindo. Kalau Lapindo membantu pemerintah, tolonglah bantu pemerintah. Sehingga uang Rp 781 miliar itu segera cair,” tegas Gus Syaikhul.

    Tahapan ini menjadi titik krusial untuk menuju tahapan berikut hingga dana talangan itu bisa dicairkan ke korban lumpur Lapindo.

    “Tentang verifikasi penerima, jangan dihambat. Kalau pemerintah minta uang itu dicairkan ya lakukan. Masalah uang APBN-P ini kebaikan pemerintah kepada korban. Saya tidak mau menebak-nebak tujuan Lapindo apa. Yang jelas mereka tidak mempunyai keseriusan untuk melunasi ganti rugi. Padahal pemerintah berniat baik untuk membantu memberikan dana talangan,” ujarnya.

    Pihaknya belum bisa memastikan kapan dana dicairkan. Namun, dirinya masih terus melakukan pemantauan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan kepastian.

    “Pastinya belum tahu, kita terus melakukan pemantauan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan kepastian. Sementara jawaban yang kami terima, ada hambatan dari Lapindo yang tidak memberikan data para korban Lapindo, yang jelas mereka tidak memberikan keseriusan,” tandasnya.

    Kholid Andika

    Sumber: http://www.sidoarjonews.com/ganti-rugi-korban-lumpur-gus-syaikhul-macetnya-tuh-di-lapindo/

  • Sisa Ganti Rugi Lapindo Belum Bisa Dicairkan

    Sisa Ganti Rugi Lapindo Belum Bisa Dicairkan

    Suara Pembaruan, SIDOARJO – Sisa ganti rugi korban semburan lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 781 miliar masih belum bisa dicairkan. Alasannya, masih menunggu keputusan presiden tentang besaran bunga dana yang dipinjam PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), selaku ‘juru bayar’ perusahaan pengeboran gas PT Lapindo Brantas Inc.

    Gubernur Jatim yang biasa disapa Pakde Karwo itu, ketika menerima perwakilan warga korban lumpur Lapindo, Senin (4/5) kemarin mengatakan, bahwa dana dari APBN untuk pembayaran sisa ganti rugi korban Lapindo sudah ada. Namun demikian, dana pinjaman dari pemerintah untk PT MLJ tersebut belum bisa dicairkan, karena masih belum ada kata sepakat tentang besaran bunga pinjaman tersebut.

    “Jadi masih menunggu keputusan Presiden. Besaran bunga pinjaman itu berapa yang harus dibayar Lapindo, ini yang masih belum ada kata sepakat. Belum ketemu,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang dikonfirmasi pasca pertemuan itu, Senin sore. Ia optimis pembayaran sisa ganti rugi dari dana pinjaman pemerintah pusat akan dicairkan sekitar akhir Mei 2015. Sesuai perkiraan, kemungkinan besar pencairan dana talangan pinjaman itu sekitar akhir Mei, tandas Pakde Karwo.

    Sementara itu ratusan warga korban lumpur di dalam area peta terdampak beberapa waktu sebelumnya menggelar unjuk rasa di bekas pompa bensin (SPBU) di Jalan Raya Porong, Sidoarjo guna sekedar mengingatkan janji Presiden Jokowi yang akan menyelesaikan pembayaran ganti rugi Mei 2015 ini. Mereka yang mayoritas ibu-ibu dari Desa Jatirejo, Siring, Renokenonggo Kecamatan Porong dan Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin dengan memasang spanduk  bertuliskan, ‘Kami Menuntut Janji Bapak Presiden, 9 Tahun Kami Ditelantarkan, Mei 2015 Segera Dibayar Lunas’ yang dibentangkan di lokasi.

    Menurut koordinator lapangan aksi unjuk rasa, H Mujiono (52), warga Desa Jatirejo, yang dikonfirmasi terpisah mengatakan, bahwa warga hanya menggantungkan pada kebijakan Presiden Jokowi karena selama 10 tahun di bawah kepemimpinan Presiden SBY, janji Lapindo tidak dipenuhi. 

    “Pak Jokowi sebelum menjadi Presiden pernah berkunjung menemui warga korban lumpur di atas tanggul penahan lumpur. Di titik 21 Desa Siring, Jokowi menandatangani janji, salah satu isinya akan menyelesaikan permasalahan warga korban lumpur. Kami berharap agar bapak Presiden Joko Widodo bisa mewujudkannya,” ujar Mujiono.

    Selain berunjuk rasa, korban lumpur juga mengadakan doa bersama. Setelah doa bersama selesai, enam orang perwakilan korban lumpur Lapindo yang diwakili Mahmudah, Arthan dari Desa Renokenonggo, Ipan, Mujiono, Hasan Basri dari Desa Jatirejo, dan Muripan dari Desa Kedungbendo menemui Gubernur Jawa Timur Pakde Karwo di Surabaya. Untuk menjaga aksi unjuk rasa ini, ratusan petugas Polres Sidoarjo dan 1 unit mobil Rantis Watercanon disiagakan di dekat lokasi. [ARS/L-8]

    Sumber: http://sp.beritasatu.com/nasional/sisa-ganti-rugi-lapindo-belum-bisa-dicairkan/86143

  • Dana Talangan Lapindo Bisa Cair Akhir Mei Tapi …

    Dana Talangan Lapindo Bisa Cair Akhir Mei Tapi …

    Metrotvnews.com, Surabaya: Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, memastikan talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo cair pada akhir Mei 2015. Namun, kata dia, pencairan masih menunggu jumlah bunga yang harus dibayar Lapindo kepada pemerintah untuk membantu menalangkan ganti rugi tersebut.

    “Saat ini masih menunggu hitungan bunga yang akan dibayarkan Lapindo kepada pemerintah, kita masih menunggu itu. Tapi kata Menteri Keuangan sudah bisa dicairkan,” kata Pakde Karwo, sapaan akrabnya, kepada wartawan di Surabaya, Senin (4/5/2015).

    Pakde Karwo menyampaikan Pemprov Jatim terus berusaha segera membantu para korban Lapindo. Hanya saja saat ini pemerintah masih menghitung berapa bunga yang harus dibayar Lapindo ke pemerintah selaku pihak yang membantu memberikan talangan dana ganti rugi kepada korban Lapindo.

    “Pemerintah juga sudah menyetujui untuk memberikan talangan kepada Lapindo untuk korban Lapindo,” jelasnya.

    Dana talangan dari pemerintah yang diperbantukan untuk korban Lapindo sebesar Rp781,7 miliar. Namun dana ini belum bisa dicairkan karena harus menunggu proses audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai besaran pasti tanggungan yang harus dibayar PT Minarak Lapindo Jaya.

    Dari total ganti rugi area terdampak yang menjadi tanggungan Lapindo sebesar Rp3,8 triliun, PT Minarak Lapindo Jaya hanya bisa mengganti Rp3,03 triliun. Lapindo masih menyisakan dana Rp781,7 miliar.

    RRN | Amaludin

    Sumber: http://jatim.metrotvnews.com/read/2015/05/04/393764/dana-talangan-lapindo-bisa-cair-akhir-mei-tapi

  • Bola Panas “Ganti Rugi”

    Bola Panas “Ganti Rugi”

    Oleh: Anton Novenanto

    Memasuki bulan Mei 2015, persoalan “ganti rugi” korban Lapindo masih sekeruh warna lumpur panas yang tak kunjung berhenti menyembur di Porong, Sidoarjo.

    Pada Minggu (29 Maret 2015), Tempo memuat pernyataan Menteri PU Basuki Hadimuljono tentang janji pemerintah untuk menyelesaikan kekurangan pembayaran “ganti rugi” pada Mei 2015. Sekaligus, Basuki menyatakan bahwa BPKP sudah selesai melakukan tugasnya mengaudit aset Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Hasil audit menunjukkan bahwa aset MLJ sejumlah Rp 2,7 triliun, dari dugaan awal Rp 3,03 triliun.

    Persis sebulan setelah itu, Tempo memuat pernyataan humas BPLS Dwinanto Hesty Prasetyo bahwa proses pencairan dana tersebut masih menunggu peraturan presiden yang “draf hukumnya sudah diproses.” Dari Dwinanto juga kita mengetahui tentang adanya dua tahap yang harus dilalui sebelum pemerintah akhirnya menalangi hutang MLJ pada korban. Pertama, verifikasi oleh BPKP; kedua, penerbitan peraturan presiden berdasarkan hasil verifikasi tersebut.

    “Ganti rugi” adalah salah satu dari pelbagai persoalan kasus Lapindo lainnya, namun persoalan ini selalu menjadi tolok ukur bagi publik untuk menilai keseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini. Kisah warga menuntut kerugian, MLJ yang tidak dapat memenuhi kewajibannya, ataupun pemerintah yang berusaha menjadi perantara selalu menarik media massa dan perhatian publik. Namun, bingkai yang ditawarkan media nyaris seragam: “kasus Lapindo akan selesai begitu ‘ganti rugi’ korban lunas seluruhnya.” Bagi saya, bingkai ini sangat problematis.

    Ketidak(pernah)jelasan jaminan hak-hak korban Lapindo, warganegara republik ini, adalah tema yang terus terulang, bahkan sampai menjelang 9 (sembilan) tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei nanti. Hak-hak warganegara telah diabaikan sejak pemerintah memberikan izin pengeboran sumur eksplorasi di kawasan padat huni. Pemerintah pun selalu permisif dan melindungi perusahaan yang mengakibatkan jatuhnya lebih banyak korban dari warganegara. Dalam taraf tertentu pemerintah berusaha meringankan beban perusahaan dengan pelbagai dalihnya.

    Hal prinsipil pertama yang kerap luput adalah persoalan “ganti rugi” telah direduksi menjadi “jual beli” aset (tanah dan bangunan) warga. Sesuai Perpres 14/2007, aset di dalam PAT 22 Maret 2007 dibeli oleh Lapindo dan di luar PAT oleh pemerintah.

    Prinsip kedua yang juga luput adalah ketidak(pernah)jelasan pemerintah mengusut tuntas kasus Lapindo. Pemerintah, misalnya, tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar ketentuan Perpres 14/2007, yang mewajibkan perusahaan untuk melunasi pembelian sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru berencana menalangi kekurangan pembayaran itu dengan jaminan aset “milik negara” (!).

    Prinsip ketiga, yang terutama, adalah pemerintah belum punya nyali untuk mengubah kembali perspektifnya untuk melihat lumpur Lapindo sebagai “bencana industri” dan cenderung melihatnya sebagai bencana alam biasa.

    Pada masa awal semburan pemerintah yakin bahwa semburan itu disebabkan oleh pengeboran yang non-prosedural. Sayang, dalam perjalanannya, pemerintah justru mengabaikan bukti-bukti yang mendukung hal itu dan beralih pada dugaan-dugaan yang diusulkan oleh perusahaan. Perubahan sikap secara drastis semacam ini mengindikasikan betapa kuatnya pergulatan internal dalam tubuh dan tekanan eksternal terhadap pemerintah.

    Sebagai pihak yang mengeluarkan izin pengeboran, pemerintah berada dalam posisi terjepit. Dan jalan keluar yang dipilih untuk menyelamatkan diri adalah membantah bahwa segala kelalaian itu pernah terjadi dan mengambinghitamkan alam yang memang tidak dapat membela diri dalam dunia politik manusia.

    Pelunasan “ganti rugi” hanyalah satu persoalan yang belum menyentuh akar dari kasus Lapindo, karut-marut pengelolaan industri migas di republik ini. Kasus Lapindo bukanlah sekadar “peristiwa” bencana lumpur panas di Porong, melainkan buah simalakama politik migas di republik ini.

    Pada 29 Mei 2015 nanti, lumpur Lapindo akan genap sembilan tahun menyembur. Saat itu, kita akan mengenang bagaimana politik manusia atas alam telah berujung pada penghancuran ekologi dan masyarakat dan bagaimana pelunasan “ganti rugi” pada korban tidak akan pernah bisa memulihkan segala macam kehancuran yang terjadi.

    Heidelberg, Tag der Arbeit 2015

  • Ganti Rugi Korban Lumpur di PAT Tak Kunjung Cair

    Ganti Rugi Korban Lumpur di PAT Tak Kunjung Cair

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Pelunasan ganti rugi korban lumpur dalam peta area terdampak (PAT) melalui dana talangan yang sudah dijanjikan pemerintah, tak kunjung cair. Para korban lumpur juga berharap dana talangan senilai Rp 781 miliar yang sudah tercantum dalam APBN-P, segera dibayarkan.

    Menurut Suwarti warga korban lumpur asal Renokenogo, kapan dana talangan itu dicairkan. Warga korban lumpur sudah 9 tahun menunggu ganti rugi lunas. “Sudah 9 tahun ini warga korban lumpur merana menunggu kejelasan ganti rugi segera lunas,” ucapnya Rabu (29/4/2015).

    Terpisah, Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabusala menandaskan, sudah memberikan data soal dana yang sudah dikeluarkan dalam jual beli aset korban lumpur dalam PAT. 

    Data pembayaran ribuan aset sudah diserahkan PT MLJ kepada BPLS. Tidak benar kalau MLJ belum menyerahkan data yang dibutuhkan itu. “Dana yang sudah kita keluarkan untuk penanganan sosial dan dampak yang ada, juga sudah dilaporkan semuanya,” terang Andi.

    Andi juga menyatakan belum mengetahui kapan dana talangan itu cair. Karena masih dalam pembahasan  Presiden, Menteri PU dan Menteri Keuangan.

    Ia juga berharap, soal pembayaran pelunasan dengan dana talangan itu, kewenangannya diberikan kepada MLJ. Karena soal dana itu, nantinya Lapindo yang akan mengembalikan. “Jika yang melakukan pembayaran pelunasan bukan pihak PT MLJ, harus ada klarifikasi terlebih dahulu kepada PT MLJ,” tukasnya.

    Orang kepercayaan keluarga Bakrie itu berharap, biarkan proses dana talangan, berjalan. Pihak-pihak diluar korban lumpur, jangan sampai terus melakukan provokasi maupun lainnya dengan tujuan tertentu. Tambah Andi, percayalah, kalau dana talangan itu cair dan PT MLJ yang diberi kewenangan dalam membayar pelunasan itu, akan dilakukan dengan baik. Tidak benar dan tidak mungkin kalau PT MLJ yang membayar, dilakukan dengan sistem cicil atau diangsur.

    “Ingat, dalam pembayaran ini, memakai uang pemerintah terlebih dahulu dan pasti banyak yang mengawasinya. Sistem cicil yang pernah dilakukan oleh PT MLJ, karena memang kondisi keuangan keluarga Bakrie tidak memungkinkan,” jelas Andi. [isa/kun]

    M. Ismail

    Sumber: http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/236899/ganti_rugi_korban_lumpur_di_pat_tak_kunjung_cair.html

  • Korban Lumpur Lapindo Tagih Janji Jokowi

    Korban Lumpur Lapindo Tagih Janji Jokowi

    WARGA korban lumpur Lapindo, Jawa Timur, di dalam peta area terdampak menagih janji Presiden Jokowi yang pernah berkampanye akan menyelesaikan proses ganti rugi warga secepatnya. Kenyataannya, hingga hampir sembilan tahun peristiwa lumpur terjadi, pembayaran ganti rugi tetap tak kunjung dilunasi.

    Kekesalan warga korban Lapindo terkait dengan lambatnya pembayaran ganti rugi itu disampaikan saat mereka mendatangi Panitia Khusus Lumpur DPRD Sidoarjo, kemarin. Di hadapan para anggota Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, warga mendesak dewan menyampaikan aspirasinya itu ke pemerintah pusat.

    Warga mengaku kesal sebab mereka berkali-kali dibohongi terkait dengan pembayaran ganti rugi yang tak kunjung selesai. Pada saat masih ditangani PT Minarak Lapindo Jaya, warga sudah kenyang dengan janji-janji yang tak kunjung ditepati.

    Kini saat pembayaran ganti rugi diambil alih pemerintah dengan dana talangan, warga juga tetap harus bersabar dengan janji. Sebelumnya warga mendapat informasi ganti rugi dari pemerintah dicairkan Februari 2015, tetapi tak terealisasi. Warga kembali mendengar ganti rugi dicairkan Maret, tapi lagi-lagi hingga saat ini ternyata tetap belum direalisasikan.

    “Mana janji Presiden Jokowi yang pernah berkampanye di tanggul akan menyelesaikan ganti rugi secepatnya?” kata Irvan, 50, korban lumpur Lapindo asal Desa Jatirejo.

    Dalam pertemuan dengan Pansus Lumpur Lapindo itu warga juga menyatakan menolak apabila pencairan uang ganti rugi harus melalui PT Minarak Lapindo Jaya ataupun Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Mereka berharap uang ganti rugi langsung ditransfer pada rekening warga.

    “Kalau melalui PT Minarak, hingga kiamat pun tak akan dibayar. Kalau melalui BPLS, akan menjadi rumit,” kata Juwari, 54, warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo.

    Warga memberi batas waktu pada pemerintah hingga akhir April ini untuk mencairkan dana ganti rugi. Apabila pemerintah tak kunjung mencairkan dana ganti rugi tersebut, mereka mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa ke jalan. (HS/N-1)

    Sumber: http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/10785/Korban-Lumpur-Lapindo-Tagih-Janji-Jokowi/2015/04/22

  • Audit Lapindo Tuntas, Segera Bentuk Tim Negosiasi

    Audit Lapindo Tuntas, Segera Bentuk Tim Negosiasi

    Jawa Pos, Jakarta – Dana talangan untuk korban lumpur Lapindo segera cair. Setelah audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tuntas, pemerintah kini masuk tahap finalisasi tim negosiasi.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, audit BPKP akan menjadi pegangan tim negosiasi saat bertemu dengan pihak Lapindo. ”Sekarang timnya sedang difinalisasi oleh Setkab (Sekretariat Kabinet),” ujarnya kepada Jawa Pos Minggu (12/4).

    Basuki mengatakan, berdasar audit BPKP, terdapat perbedaan angka dalam nilai aset Lapindo. Versi PT Minarak Lapindo Jaya, nilai aset tanah warga di peta terdampak yang sudah diganti Lapindo mencapai Rp 3,03 triliun. Namun, hasil audit BPKP menyebut hanya Rp 2,7 triliun. ”Rupanya, hitungan Lapindo juga memasukkan bonus dan ada beberapa berkas tanah yang dihitung dua kali,” katanya.

    Menurut Basuki yang juga ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), audit BPKP juga menyebut kebutuhan dana talangan menyusut dari Rp 781 miliar menjadi Rp 767 miliar karena adanya beberapa berkas tanah yang dihitung lebih dari satu kali. Saat ini penyusunan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun sudah berjalan. ”Itu sudah dilaporkan menteri keuangan,” ucapnya.

    Sebagaimana diketahui, dana tersebut akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di peta area terdampak. Ganti rugi itu sebenarnya kewajiban Lapindo, namun karena perusahaan tidak memiliki kemampuan finansial, pemerintah bersedia memberi dana talangan agar proses ganti rugi tanah warga bisa segera tuntas.

    Hingga saat ini, Lapindo baru bisa memenuhi kewajiban ganti rugi tanah warga di peta terdampak sebanyak 9.900 berkas senilai Rp 3,03 triliun (versi Lapindo), sebagian besar berupa sertifikat tanah. Ada juga yang berupa girik. Namun, masih ada kekurangan 3.337 berkas yang belum bisa diselesaikan Lapindo senilai Rp 767 miliar. Kekurangan itulah yang akan ditalangi pemerintah.

    Dihubungi di tempat terpisah, Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan perbedaan perhitungan antara aset yang sudah dibeli Lapindo senilai Rp 3,03 triliun dan hasil audit BPKP yang hanya menyebut Rp 2,7 triliun. ”Kami ikut saja apa kata pemerintah,” ujarnya.

    Menurut Andi, meski hasil audit BPKP menyebut aset yang dikuasai Lapindo hanya Rp 2,7 triliun, nilainya masih jauh lebih besar daripada kebutuhan dana talangan Rp 767 miliar. Artinya, aset yang dijaminkan Lapindo jauh lebih besar daripada dana yang dipinjamkan pemerintah. ”Lain cerita kalau aset kami ternyata cuma Rp 600 miliar, itu baru jadi masalah,” jelasnya.

    Basuki menambahkan, dalam negosiasi dengan pihak Lapindo, pemerintah akan mengajukan skema pemberian dana talangan Rp 767 miliar dengan jaminan 9.900 berkas yang sudah dikuasai Lapindo senilai Rp 2,7 triliun (versi BPKP). Selanjutnya, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk melunasi pinjaman kepada pemerintah. Jika itu tidak bisa dilakukan, pemerintah akan mengambil alih hak kepemilikan 9.900 berkas tanah yang sudah dijaminkan Lapindo. ”Dalam negosiasi, akan dibuat perjanjian tertulis dengan Lapindo,” ujarnya.

    Basuki yang pernah menjadi ketua pelaksana Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS) pada 2007 akan memimpin tim negosiasi yang, antara lain, berisi unsur BPKP, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Keuangan. ”Semoga prosesnya cepat sehingga dana talangan bisa dicairkan untuk masyarakat korban lumpur,” katanya.(owi/c10/sof)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/15665/Audit-Lapindo-Tuntas-Segera-Bentuk-Tim-Negosiasi

  • Korban Lapindo Berharap Ganti Rugi Sebelum 29 Mei

    Korban Lapindo Berharap Ganti Rugi Sebelum 29 Mei

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Warga korban lumpur Lapindo mengaku tidak tahu-menahu tentang menciutnya besaran dana talangan yang akan dibayarkan pemerintah. Mereka tetap berharap dana dibayarkan sesegera mungkin. “Kami khawatir karena sudah cukup kami dibohongi hingga hampir sembilan tahun ini,” kata Sulastri, satu di antara warga itu, saat dihubungi, Senin, 30 Maret 2015.

    Menurut Sulastri, warga korban lumpur Lapindo resah karena tenggat pembayaran ganti rugi selalu diundur-undur. Dia mencatat, awalnya ganti rugi itu akan dibayarkan pada awal 2015, tepatnya pada Maret. Tapi belakangan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan kalau realisasi antara April dan Mei menunggu perumusan perjanjian dengan pihak Lapindo dan keputusan presiden ditandatangani.

    “Kalau memang sudah ada uangnya, kenapa belum dicairkan. Tolong segera dicairkan, kami sudah bosan seperti ini terus,” kata Sulastri lagi sambil mengingatkan 29 Mei mendatang genap sembilan tahun bencana lumpur Lapindo. Sulastri sendiri warga Desa Gempolsari yang terletak di sisi utara kolam lumpur raksasa Lapindo.

    Sebelumnya Menteri Basuki mengatakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan kalau dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo berubah menjadi Rp 767 miliar dari Rp 781 miliar dan aset PT Minarak Lapindo Jaya menyusut menjadi Rp 2,7 triliun dari nilai semula Rp 3,03 triliun.

    Menurut Basuki, penyusutan ini karena adanya beberapa bidang tanah yang terhitung dua kali. Lalu, juga terdapat bonus yang diberikan Lapindo kepada masyarakat yang bukan untuk pembayaran tanah.

    “Istilah dalam audit BPKP, yang diberikan Lapindo ke masyarakat itu tak bisa dihitung sebagai aset,” ujar Basuki saat meninjau irigasi di kawasan Gunung Nago, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu lalu.

    Sulastri yang juga telah menjalani verifikasi atas asetnya yang dirugikan oleh bencana lumpur itu tidak mengetahui tentang penyusutan-penyusutan itu. “Saya tidak tahu kalau ada penurunan seperti itu, malah yang saya dengar dari isu-isu malah membengkak,” katanya.

    MOHAMMAD SYARRAFAH | ANDRI EL FARUQI

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/30/058654091/Korban-Lapindo-Berharap-Ganti-Rugi-Sebelum-29-Mei

  • BPLS Diskriminatif Tangani Korban Lumpur Lapindo

    BPLS Diskriminatif Tangani Korban Lumpur Lapindo

    22 Januari 2015 | JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – BPLS dianggap tebang pilih dalam memberikan ganti rugi bencana lumpur di Sidoarjo. Untuk itulah anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sadarestuwati mendesak Kepala BPLS Suroso agar bisa adil dan pilih kasih.

    Menurutnya selama ini BPLS terlalu mendiskriminasi para pengusaha yang tokonya atau pabriknya terendam lumpur Lapindo. Estu, panggilan Sadarestuwati, mengatakan bahwa para pengusaha ini korban semburan lumpur, sehingga juga perlu diberikan ganti rugi oleh negara, dan tidak hanya rakyat kecil saja.

    “Sertifikat tanah dan bangunan mereka sejak tahun 2008 sudah diserahkan kepada BPLS, tapi sampai sekarang belum dapat ganti rugi. Gimana ini, bahkan ada kabar sertifikat mereka digadai di bank, tapi sepeser pun mereka tidak dapat juga,” kata Estu dalam rapat dengar pendapat dengan Ketua BPLS, di Gedung KK V Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/1/2015).

    Estu, minta BPLS memasukan nama para pengusaha ke dalam daftar penerima ganti rugi yang sesuai dengan harga yang sudah dipatokan oleh pemerintah. Jangan sampai hal ini menyesengsarakan mereka yang notabene rakyat Indonesia juga.

    “Saya minta mereka para pengusaha harus dimasukkan nama-namanya, nanti saya dan anggota Komisi V lainnya akan mengontrol masalah ini sampai benar-benar tuntas. Dan harus ada pertemuan khusus antara BPLS dengan para pengusaha dalam waktu dekat ini,” tegasnya.

    Selain Estu, ada pula wanita anggota Komisi V lainnya yang secara lantang meminta langkah nyata BPLS untuk para korban lumpur lapindo yaitu Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi PAN. Yasti menyatakan semua korban lumpur harus mendapatkan haknya tanpa dipersulit oleh BPLS maupun pemerintah.

    “Mereka para pengusaha ini di mata hukum sah mendapat rugi. Wajar pak Ketua BPLS kalau mereka menuntut haknya. Karena selama tujuh tahun tidak mendapat rugi. Kita sebagai manusia harus juga punya hati nurani, memikirkan nasib mereka,” pungkasnya. (ris)

    Mandra Pradipta

    Sumber: http://teropongsenayan.com/5357-estu-dan-yasti-tuding-bpls-diskriminatif-tangani-korban-lumpur-lapindo

  • BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    Kamis, 22 Januari 2015 | Sidoarjo (Antara Jatim) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo meminta rekening warga korban lumpur di dalam peta areal terdampak tidak terblokir menyusul adanya rencana penerimaan ganti rugi kepada warga.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto, Kamis, mengatakan, sampai dengan saat ini pihaknya masih terus memberikan imbauan kepada warga supaya rekening mereka tidak sampai terblokir oleh pihak bank.

    “Karena kalau sampai rekening tersebut terblokir pihak bank maka proses pengurusannya akan lebih lama lagi sementara rencana pencarian ganti rugi kepada warga kurang sedikit lagi,” katanya.

    Ia mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan jual beli aset warga apakah melalui BPLS atau melalui teknis yang lainnya.

    “Kami masih belum memiliki petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan dana tersebut. Namun demikian, kami siap jika memang dilibatkan dalam proses pembelian aset warga oleh pemerintah,” katanya.

    Menurutnya, saat ini pihaknya juga melakukan koordinasi dengan pihak Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc terkait dengan jumlah berkas yang belum diselesaikan oleh mereka.

    “Kami juga melakukan koordinasi dengan mereka terkait dengan pembayaran tersebut, kami juga melakukan pendataan terhadap warga yang belum terlunasi. Kami yakin warga yang tanahnya belum terlunasi sudah memiliki kelengkapan berkas,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah pusat akan mengambil alih pembayaran ganti rugi kepada warga korban lumpur lapindo dari Minarak Lapindo Jaya. Jumlah dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah tersebut mencapai lebih dari Rp700 miliar. (*)

    Reporter: Indra Setiawan | Redaktur: Endang Sukarelawati

    Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/150034/bpls-minta-rekening-warga-tidak-terblokir