Tag: koran tempo

  • Korban Lapindo di Luar Peta Dampak Merasa Diabaikan

    JAKARTA, KORAN TEMPO – Ribuan warga korban Lapindo dari luar peta kena dampak lumpur merasa diabaikan oleh pemerintah dan pengelola PT Lapindo Brantas. Untuk itu mereka terus menuntut agar pemerintah dan Lapindo bertanggung jawab karena dinilai telah membuat kehidupan normal mereka porak-poranda sejak semburan lumpur terjadi lebih dari dua tahun lalu.

    “Publik hanya tahu korban lumpur Lapindo itu yang rumah atau pekarangannya sudah tenggelam dan masuk dalam peta terdampak,” kata A. Salam, perwakilan warga Ketapang, Sidoarjo, saat berkunjung ke kantor Tempo kemarin. “Padahal kehidupan warga di luar peta terdampak juga bertambah parah, bukannya membaik.”

    Sebelumnya, sekitar 500 warga korban Lapindo dari luar peta dampak itu datang ke Jakarta bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember lalu. Mereka berasal dari Desa Permisan, Ketapang, Siring Barat, dan Besuki Timur. Untuk menuntut tanggung jawab pemerintah dan Lapindo, warga bergabung dalam pergelaran karya seni perupa Dadang Christanto bertema “Survivor” di Tugu Proklamasi, Jakarta.

    Salam menambahkan, desa-desa di luar peta dampak mengalami masalah setelah terjadi semburan lumpur Lapindo, antara lain, air minum tidak bisa lagi digunakan untuk konsumsi sehari-hari dan fasilitas umum mengalami kerusakan berat. Pencemaran logam berat dalam kandungan udara yang dihirup sehari-hari oleh warga juga telah mengakibatkan berbagai macam penyakit. “Kejadian penyakit infeksi saluran pernapasan akut meningkat pesat,” katanya.

    Menanggapi hal itu, Yuniwati Teriana, juru bicara PT Lapindo, menyatakan pihaknya hanya bekerja sesuai dengan peta dampak. Jika daerah yang tidak masuk peta ingin mendapatkan penanganan seperti desa yang masuk peta, kata dia, mereka dipersilakan mengusulkan desa mereka kepada pemerintah daerah setempat. “Daerah yang mengusulkan dan menyurvei untuk dilihat dampaknya, apakah dampak langsung atau tidak langsung,” kata dia.

    DWI WIYANA | REH ATEMALEM

    Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/12/Nusa/krn.20081212.150725.id.html

  • Kontrak Bantuan Sosial Dinilai Merugikan Warga

    Warga harus meninggalkan lokasi setelah tiga bulan meneken kontrak

    SURABAYA – Korban lumpur Lapindo dari Desa Kedungcangkring, Pejarakan, dan Desa Besuki Barat di Kecamatan Jabon, Sidoarjo, tidak bersedia menandatangani akad perjanjian pemberian uang paket bantuan sosial. “Terus terang kami keberatan karena ada satu pasal yang memberatkan,” kata Nurrohim, koordinator warga, kemarin.

    Pasal tersebut berbunyi, “Warga yang tinggal di wilayah tanggul lumpur wajib meninggalkan tempat maksimal 90 hari setelah penandatanganan kontrak”. Padahal, selama ini tidak ada kepastian kapan bantuan tersebut akan dicairkan.

    Rencananya, jika warga bersedia meneken kontrak pemberian bantuan sosial, warga akan menerima uang Rp 2,5 juta per keluarga (untuk kontrak rumah satu tahun), Rp 500 ribu untuk pindah rumah, dan bantuan Rp 300 ribu per jiwa per bulan (selama enam bulan berturut). Formulir pemberian bantuan ini telah dibagikan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sejak Jumat lalu.

    Menurut Nurrohim, warga tidak bersedia menandatangani pemberian bantuan sosial itu karena mereka tidak memperoleh kejelasan kapan ganti rugi tersebut dibayarkan. “Jangankan kapan dibayar, berapa nilainya saja kami belum diberi tahu,” tutur Rohim.

    Karena ketidakjelasan itu, Rohim menambahkan, warga yang terdiri atas 800 keluarga dari Desa Besuki, 300 keluarga dari Desa Kedungcangkring, serta 500 keluarga dari Desa Pejarakan hingga kini belum bersedia menandatangani akta perjanjian.

    Kepala Hubungan Masyarakat BPLS, Ahmad Zulkarnain, meminta warga tidak usah ragu dan khawatir. Apalagi apa yang dikhawatirkan warga tidak mendasar. “Ketika proses penandatanganan, juga ada proses pembuatan rekening di Bank. Saya jamin dalam waktu dua hari, bantuan sudah cair,” kata Zulkarnain.

    Karenan itu, Zulkarnain berharap warga segera mengisi semua persyaratan dalam akta pemberian bantuan dengan melengkapi fotokopi KTP, KSK, dan buku nikah.

    Menurut Zulkarnain, selain jumlah nominal bantuan, nilai ganti rugi bagi warga tiga desa itu juga sudah jelas, yaitu sama dengan nominal ganti rugi warga di dalam peta terdampak seperti yang diberikan kepada empat Desa di Kecamatan Porong, yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo.

    Warga di empat desa itu mendapatkan ganti rugi per meter bangunan Rp 1,5 juta, Rp 1 juta per meter persegi tanah pekarangan, serta Rp 120 ribu untuk per meter persegi sawah.

    “Sesuai dengan amanat anggaran pendapatan belanja negara perubahan dan pernyataan Menteri Keuangan, maka uang muka 20 persen harus dibayar pada 2008 ini,” kata Zulkarnain.

    Sisa pembayaran 80 persen, kata dia, sesuai dengan Perpres 48 Tahun 2008 yang mengacu pada Perpres 14 Tahun 2007 akan dibayar maksimal hingga 2010 nanti.

    ROHMAN TAUFIQ

    Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/09/16/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20080916.142522.id.html

  • Korban Lapindo Belum Merdeka

    Korban Lapindo Belum Merdeka

    Pada Agustus ini, setiap kali menelusuri jalan raya di Jakarta, kita akan selalu menemukan pemandangan yang membangkitkan jiwa nasionalisme. Di sepanjang jalan, para pedagang bendera Merah-Putih dengan berbagai ukuran sedang menjajakan dagangan mereka.

    Bukan hanya bendera Merah-Putih yang menjadi komoditas andalan di bulan Agustus ini, tapi juga berbagai peralatan dan aksesori yang dapat digunakan untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63.

    Bulan ini 63 tahun yang lalu, para pahlawan kita gigih berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia, sebuah negara baru yang akan melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.

    Untuk itulah, sebuah kewajaran pula bila seluruh rakyat Indonesia merayakan hari yang bersejarah itu dengan sukacita. Terlebih ada ungkapan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.

    Sayangnya, pada tahun ini tidak semua warga memperingati hari kemerdekaan negerinya dengan sukacita. Tak jauh dari Kota Pahlawan Surabaya, tepatnya di kawasan Porong, Sidoarjo, sudah dua

    tahun ini ribuan warga kehilangan nafkah, rumah, bahkan juga kehilangan harapan mereka untuk menatap masa depan, akibat semburan lumpur Lapindo.

    Adalah Mbok Ma, seorang nenek tua warga Dusun Sengon, Renokenongo, Sidoarjo. Seperti yang ditulis di web korban Lapindo, selama ini nenek tersebut hidup sendiri di rumah yang berukuran 5 x 6 meter.

    Nenek itu hidup tanpa pekerjaan dan tanpa uang simpanan di bank. Ia bisa hidup layak dan bahagia sekalipun tanpa kerabat. Itu semua karena ia hidup di Desa Renokenongo.

    Kebahagiaan Mbok Ma ini tiba-tiba pudar seiring munculnya semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan kampungnya. Tak hanya rumahnya yang hancur, tapi juga kebahagiannya dalam hidup bertetangga di sebuah desa.

    Bukan hanya Mbok Ma yang mengalami nasib tragis. Ada Bapak Yakup beserta istrinya, yang meninggal pada April lalu. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak napas
    akibat menghirup gas beracun.

    Selain sepasang suami-istri di atas, ada korban lain dari warga Siring Barat. Dia bernama Unin Qoriatul. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan, di dalam saluran pernapasannya terdapat cairan yang tampak dalam bentuk bayangan gas. Kini kondisi kesehatannya terus menurun.

    Selain warga Siring, warga Jatirejo Barat juga mengalami nasib sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal pada Maret 2008 lalu. Penyebab kematiannya sama, yakni mengalami sesak napas akibat
    menghirup gas beracun di sekitar rumahnya.

    Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Walhi Jawa Timur menyebutkan bahwa semburan lumpur Lapindo ternyata juga mengandung gas beracun yang berbahaya bila terhirup oleh manusia.

    Winarko, seorang warga asli Sidoarjo, bahkan khawatir akan lahir generasi cacat akibat gas beracun dari semburan lumpur Lapindo.

    Mbok Ma, Bapak Yakup dan istrinya, Unin Qoriatul, serta warga korban Lapindo lainnya adalah sebagian warga negara Indonesia yang sejak dua tahun yang lalu telah jauh dari kata merdeka. Mereka dihinakan dan dihilangkan nafkahnya, bahkan juga hidupnya, oleh lumpur Lapindo.

    Lantas, ke mana perginya negara yang dulu dicita-citakan akan melindungi dan menyejahterakan rakyat? Negara yang seharusnya berada di garda depan dalam memperjuangkan hak-hak warganya ternyata justru “bersujud” di hadapan PT Lapindo.

    Sejak awal Lapindo telah melucuti satu demi satu kekuasaan dan kewibawaan negara. Sejak dari proses perizinan, korporasi ini telah membuat negara jadi sangat tak berdaya.

    Aturan tantang tata ruang wilayah yang menempatkan kawasan Porong sebagai kawasan permukiman pun dengan mudahnya ditabrak Lapindo. Akhirnya, korporasi itu pun mendapat izin untuk mengeksploitasi kawasan yang kini telah menjadi kubangan lumpur itu.

    Untuk mengatasi semburan lumpur itu, semula pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo. Dalam keputusan tersebut secara
    jelas disebutkan tanggung jawab Lapindo untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan persoalan sosial yang muncul akibat semburan lumpur.

    Regulasi itu kemudian diganti dengan Peraturan Presiden No. 14/2007, yang justru berupaya meringankan bahkan menghilangkan tanggung jawab PT Lapindo atas dampak sosial dan lingkungan hidup dari semburan lumpur panas itu. Setidaknya ada dua hal dalam peraturan presiden tersebut yang membebaskan Lapindo dari tanggung jawab tersebut.

    Pertama, dalam peraturan presiden itu terdapat pembagian wilayah kelola yang menjadi tanggung jawab negara dan Lapindo (pembuatan peta wilayah yang terkena dampak dan di luar peta terkena dampak). Padahal sebelumnya semua menjadi tanggung jawab Lapindo akibat kelalaiannya melakukan pengeboran.

    Kedua, skema penanganan dampak sosial dan lingkungan direduksi menjadi skema jual-beli. Padahal dampak sosial dan ekologi tidak bisa hanya diselesaikan dengan skema jual-beli aset korban.

    Kini Perpres No. 14/2007 sudah direvisi lagi menjadi Perpres No. 48/2008. Namun, peraturan baru itu hanya untuk memperluas peta dampak semburan lumpur Lapindo. Roh Perpres No. 48/2008 itu tetap saja menilai bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam sehingga uang rakyat dari anggaran negara harus tetap digelontorkan untuk menyubsidi sebuah korporasi besar yang seharusnya bertanggung jawab atas malapetaka itu.

    Negara, yang seharusnya melindungi rakyatnya, kini harus bertekuk lutut pada Lapindo. Sementara dulu Indonesia tunduk pada korporasi Belanda yang bernama VOC, kini negara harus kembali tunduk pada sebuah korporasi yang kebetulan dekat dengan pusat kekuasaan. Sejatinya, tak hanya korban Lapindo belum merdeka, tapi juga negara ini.

    Negara belum mampu melepaskan diri dari penjajahan korporasi yang sepak terjangnya merugikan publik. Kasus Lapindo adalah contoh yang baik bagi kita untuk merefleksikan kembali arti kata merdeka.

    # Pemerhati Lingkungan Hidup, Bekerja di OneWorld-Indonesia

    © Koran Tempo

  • Korban Semburan Gas Liar Dijanjikan Rumah

    SIDOARJO — Konsep ganti rugi bagi korban Lapindo yang berada di Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi tinggal menunggu persetujuan Presiden.

    Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) saat ini sudah menentukan konsep ganti rugi bagi kawasan yang terkena semburan liar. “Konsepnya, mereka akan kami berikan rumah di kawasan lain,” kata Bachtiar kemarin.

    Dengan konsep ini, kata dia, pemerintah memberikan dua rumah sekaligus kepada korban. Satu rumah di kawasan yang telah ditentukan dan satu rumah lagi adalah rumah mereka semula. “Jadi rumah mereka yang asli sampai kapan pun tetap milik warga,” ujar Bachtiar.

    Menurut Deputi Sosial BPLS Sucahyono, saat ini ada sembilan rukun tetangga di tiga desa itu yang direkomendasikan untuk segera direlokasi. Di kawasan ini setidaknya terdapat 756 rumah yang akan segera dipindahkan ke tempat lain.

    Sementara itu, kemarin sebanyak 111 korban Lapindo sudah bisa segera menempati rumah mereka di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) di kawasan Sukodono, Sidoarjo.

    “Hari ini ada 75 warga yang menerima kunci, Senin kemarin ada 25, dan sebelumnya ada 11,” kata Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla. Menurut Andi, saat ini telah ada 1.072 warga yang telah melakukan ikatan jual-beli dengan Minarak.

    KNV merupakan kawasan yang dibangun Minarak di area 2.000 hektare yang rencananya akan menampung sekitar 7.000 rumah khusus bagi korban Lapindo.

    Bachtiar menyambut baik komitmen Minarak. “Sebelumnya, hanya janji-janji semata. Tapi hari ini semuanya terwujud,” katanya.

    Selain dihadiri Bachtiar Chamsyah dan Andi Darussalam, penyerahan kunci tahap kedua dihadiri Direktur Utama Lapindo Brantas Imam Agustinus; Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja; Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Bambang Suratno; anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo; Bupati Sidoarjo Win Hendarso; Wakil Bupati Sidoarjo Syaiful Illah; serta ribuan korban Lapindo.

    Rohman Taufiq | Koran Tempo

  • Satu Semburan, Tujuh Kelompok

    Semburan lumpur panas Lapindo di wilayah Sidoarjo, yang sampai saat ini terus bermunculan, mengakibatkan terpecahnya warga. Setidaknya dalam dua tahun ini, satu semburan sudah memunculkan tujuh kelompok dengan tuntutan yang berbeda.

    1. Kelompok Choirul Huda, mengatasnamakan Gabungan Korban Lumpur Lapindo beranggota sekitar 1.500 orang dengan tuntutan cash and resettlement.
    2. Kelompok Fathurozi atau Ny Mahmudah, mengatasnamakan Gerakan Pendukung Perpres dengan anggota sekitar 1.000 orang dengan tuntutan cash and carry.
    3. Kelompok Soenarto, mengatasnamakan Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak dengan anggota sekitar 1.500 warga menuntut percepatan ganti rugi maksimal Desember 2008.
    4. Kelompok Perumtas pimpinan Imam Agustinus, dengan anggota lebih dari separuh warga perumtas dengan tuntutan resettlement murni.
    5. Kelompok Perumtas pimpinan Sumitro, dengan anggota kurang dari separuh warga perumtas dengan tuntutan cash and carry.
    6. Kelompok di luar peta dampak pimpinan Bambang Kuswanto dengan anggota warga Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi, menuntut ganti rugi.
    7. Kelompok Abdurrohim dengan anggota warga Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring dengan tuntutan revisi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Peta Dampak.

    ROHMAN T | Koran Tempo

  • 1.000 Korban Lapindo Tolak Uang dan Tempat Tinggal

    Banyak warga yang belum mengambil bantuan Presiden

    SIDOARJO — Sekitar 1.000 korban semburan lumpur Lapindo yang mengatasnamakan Gerakan Pendukung Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dari berbagai desa kemarin menggelar istigasah. Acara dilakukan di Masjid Nurul Huda, Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, yang kini telah rusak akibat terjangan lumpur Lapindo.

    Warga menuntut Lapindo mempercepat pembayaran cash and carry. Mereka menolak konsep baru cash and resettlement seperti yang diterima kelompok Gerakan Korban Lumpur Lapindo. “Konsep awal jangan diganti-ganti,” kata koordinator warga, Fathurozi, kemarin.

    Dari pantauan Tempo, acara ini diikuti oleh sebagian besar korban Lapindo dari kawasan yang masuk peta dampak lumpur, yakni Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Besuki, Mindi, Pejarakan, Kedungcangkring, Ketapang, Glagah Arum, Kalitengah, serta Gempol Sari.

    Mereka meminta Minarak melunasi proses pembayaran ganti rugi 80 persen sebagaimana telah diatur dalam Perpres No. 14/2007. Dalam peraturan ini disebutkan, aset warga berupa tanah kering atau tanah pekarangan diganti dengan Rp 1 juta per meter persegi, tanah sawah Rp 120 ribu per meter persegi, dan bangunan Rp 1,5 juta per meter persegi.

    Vice President PT Minarak Andi Darussalam Tabusalla sampai berita ini diturunkan belum mau mengangkat telepon selulernya.

    Mantan Lurah Renokenongo, Ny Mahmudah, berharap pemerintah bisa menjembatani perbedaan penafsiran antara Minarak dan warga.

    Ketua Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo Maimun Siroj berjanji akan segera mempertemukan warga dengan pihak Minarak. “”Jangan sampai warga semakin terpecah,”” ujarnya.

    Dalam kesempatan itu, Maimun meminta korban Lapindo yang berada dalam peta dampak segera mengambil jatah bantuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Uang itu, kata dia, telah diterima dan dimasukkan ke rekening Pemerintah Daerah Sidoarjo sejak beberapa bulan lalu. Bantuan dari Presiden tersebut, menurut Maimun, berjumlah Rp 10 miliar dan saat ini masih tersisa sekitar Rp 700 juta.

    ROHMAN T | Koran Tempo

  • Komisi Nasional Panggil Sejumlah Pejabat Terkait Lapindo

    Polisi tak perlu mencari pendapat ahli

    JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menjadwalkan pemanggilan terhadap sejumlah pejabat terkait dengan kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution.

    Menurut anggota Komisi Nasional Hak Asasi, Syafruddin Ngulma Simeulue, Komnas ingin menanyakan penanganan oleh pemerintah terhadap korban semburan. “Kenapa sampai sekarang belum ada langkah bagi sembilan desa terdampak?” ujarnya saat dihubungi kemarin.

    Surat pemanggilan, kata Syafruddin, sudah dikirim melalui faksimile sejak Jumat lalu. Komisi Nasional juga melayangkan surat panggilan melalui pos. Mereka dijadwalkan datang ke Komnas secara bergiliran. Menteri Rachmat pada 15 Juli. Ketua BPK Anwar Nasution pada 16 Juli. Setelah itu, Menteri Aburizal pada 17 Juli. “Diharapkan mereka bisa hadir,” ujarnya.

    Dalam pertemuan nanti, kata Syafruddin, Komnas juga akan menanyakan skema ganti rugi oleh pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Menurut Syafruddin, skema ganti rugi pemerintah berpotensi menimbulkan konflik antara warga di dalam tanggul dan di luar. Komnas menilai jumlah ganti rugi pemerintah terhadap warga desa di luar tanggul lebih kecil dibanding yang diberikan pihak Lapindo. “Padahal mereka sama-sama menderita. Rumahnya sama-sama terendam lumpur,” ujarnya.

    Pemanggilan pejabat negara ini masih terkait dengan pemanggilan yang pernah dilakukan Komnas terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro serta PT Lapindo Brantas dan PT Minarak Lapindo pada 13 Juni lalu. Hasil pemanggilan tersebut, kata Syafruddin, menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

    Adapun pemanggilan terhadap Menteri Rahmat, kata Syafruddin, terkait dengan perizinan lingkungan bagi Lapindo Brantas Inc dalam melakukan pengeboran di sumur Banjarpanji 1 yang diduga sebagai sumber semburan. “Pengeboran itu memenuhi syarat atau tidak,” ujarnya.

    Sedangkan pemanggilan Anwar, kata Syafruddin, terkait dengan audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penanganan semburan lumpur. Hasil audit itu dipublikasikan dengan judul Laporan Pemeriksaan Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo. Laporan itu, kata Syafruddin, mestinya bisa digunakan sebagai bukti oleh polisi dalam penyidikan. Dengan adanya laporan itu, kata dia, polisi tak perlu mencari pendapat ahli yang sama mengenai penanganan semburan lumpur. “Polisi menunggu apa lagi?” ujarnya.

    Dihubungi terpisah, Lalu Mara Satriawangsa, staf khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, mengatakan belum mengetahui soal panggilan Komnas. Menurut dia, persoalan lumpur Lapindo sudah ditangani Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo melalui peraturan presiden. “Lalu, kenapa Menko Kesra dipanggil?” ujarnya kepada Tempo tadi malam.

    SUKMA | ANTON SEPTIAN

    © Koran Tempo

  • Korban Lapindo, Apa Pantas Saya Bawa Pacul?

    Setelah menyaksikan langsung rumah yang disediakan PT Minarak Lapindo Jaya bagi korban Lapindo, Sumiran seperti kebingungan. Niatnya memang sudah bulat menerima rumah itu sebagai ganti rugi. “Tapi saya bingung memilih,” kata lelaki 47 tahun itu. Rumah 54 meter persegi di atas lahan 148 meter itu ia rasa belum cukup untuk tempat main dua anaknya.

    Selain bingung memilih, dia mesti yakin rumah itu cukup layak buat dirinya. Semula dia khawatir apakah pintu dari tripleks itu cukup kuat jika ditabrak anaknya. Begitu pula dinding rumah yang ia selisik satu per satu. Tapi, setelah mencoba pompa air, dia sejenak terdiam. “Alhamdulillah, airnya tidak asin,” katanya.

    Rumah dari Minarak itu terdiri atas tiga kamar tidur dan satu kamar mandi. Berdiri di kawasan seluas 2.000 hektare, rumah itu akan menjadi hunian baru bagi korban Lapindo yang setuju dengan ganti rugi cash and resettlement. Kusen rumah terbuat dari aluminium. Gentingnya terbuat dari beton. “Kalau bocor, kayaknya sulit cari gantinya,” kata Sumiran, yang diiyakan rekannya.

    Bagi Sumiran, rumah di Kahuripan Nirwana Village di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, itu boleh disebut elite. Apalagi jika melongok gerbang perumahan yang berbentuk dua raksasa dari sembilan rangka baja. Nama perumahan ditulis dalam huruf kapital dengan ukuran jumbo. Jalan masuk selebar 10 meter terbagi dua dengan taman apik di bagian tengahnya.

    Menurut Vice President Minarak Andi Darussalam Tabussala, perumahan ini memang didesain dengan konsep regency. Kompleks ini dirancang agar mampu menampung 7.000 rumah bagi korban Lapindo yang tak punya sertifikat tanah dan bangunan. “Sampai sekarang perumahan ini terus dikerjakan,” kata Andi.

    Rumah yang didesain agar tampak elite ini justru membuat Sumiran takut menempati. “Apa pantas saya bawa pacul kalau hidup di sini,” katanya. Maklum, sejak lahir hingga dewasa, dia hidup dalam keluarga petani. Sawah adalah sumber kehidupannya.

    Sumiran berharap Minarak Lapindo Jaya bisa menyediakan area persawahan bagi penghuni Kahuripan Nirwana Village agar warganya bisa tetap bercocok tanam. “Bertani merupakan pekerjaan kami turun-temurun,” katanya. Kalau beralih profesi, tentu Sumiran harus belajar lagi dari nol.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • PT Minarak Paksakan Pola Uang dan Tempat Tinggal

    SURABAYA — Andi Darussalam Tabusalla, Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, juru bayar yang ditunjuk PT Lapindo Brantas Inc, menolak permintaan warga korban lumpur yang tidak memiliki sertifikat sebagai kelengkapan berkas kepemilikan aset. Mereka meminta diberi ganti rugi secara tunai (cash and carry). “Kami tetap tidak bisa membeli aset yang nonsertifikat,” katanya kemarin.

    Ia mengatakan, selain berpatokan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007, proses jual-beli harus mengikuti kaidah akta jual-beli (AJB). Kepada mereka, ditawarkan konsep uang tunai dan tempat tinggal (cash and resettlement).

    Pernyataan Andi ini sekaligus menjawab tuntutan sekitar 1.000 korban Lapindo yang pada Minggu, 6 Juli lalu, menggelar istigasah menolak konsep cash and resettlement. Warga menuntut percepatan pelunasan cash and carry bagi rumah ataupun tanah mereka yang kini telah tertutup lumpur.

    Warga juga mengatakan kesepakatan yang dibuat antara PT Minarak dan warga-pada saat pembayaran uang muka 20 persen-tidak ada keharusan tentang syarat sertifikat. Karena itu, warga menuntut pembayaran sisa 80 persen segera dilakukan. Warga yang menolak pola cash and resettlement menyebut diri sebagai Gerakan Pendukung Perpres.

    Andi Darussalam mengatakan, jika warga tetap berkeras, tidak ada solusi lain yang bisa ditempuh. “Pola cash and resettlement merupakan solusi yang elegan dan menguntungkan kedua pihak,” katanya.

    Koordinator Gerakan Pendukung Perpres Fathurozi mengatakan jika PT Minarak tetap menolak tuntutan mereka, warga mengancam akan terus melakukan unjuk rasa. “Sesuai perjanjian, September 2008 Minarak sudah harus melunasi, tapi kini tiba-tiba mereka ingkar dan menciptakan konsep cash and resettlement,”katanya sembari menambahkan, jika mereka mengambil konsep tersebut, mereka akan kembali dipersulit oleh Minarak.

    ROHMAN TAUFIK | Koran Tempo

  • Pemerintah Diminta Cabut Beleid Lapindo

    JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah mencabut Peraturan Presiden Nomor 14 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Komnas menilai, meski beleid itu sudah direvisi, tetap tak memasukkan semua korban semburan lumpur agar mendapat ganti rugi.

    “Hanya sebagian kecil yang ter-cover. Padahal jumlah korban lebih banyak,” kata anggota Komnas, Syafruddin Ngulma Simeulue, kepada Tempo kemarin.

    Pemerintah telah merampungkan revisi peraturan presiden tersebut. Dalam peraturan itu, tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, dimasukkan dalam peta wilayah yang terkena dampak. Sebelumnya, ketiga desa itu tidak dimasukkan dalam peta dampak sehingga korban dinilai tak berhak mendapat ganti rugi.

    Syafruddin menilai, di luar desa terkena dampak versi peraturan presiden yang baru, masih banyak korban semburan lumpur tidak mendapat ganti rugi. Meski saat ini wilayah mereka belum terkena dampak langsung, tempat tinggal mereka sudah tidak aman. Kondisi di desa-desa itu, kata Syafruddin, hampir mirip tiga desa yang dimasukkan dalam revisi peraturan presiden. “Bisa terjadi konflik antara mereka yang mendapat ganti rugi dan tidak,” kata dia.

    Menurut Syafruddin, pemerintah mestinya mencabut peraturan presiden itu dan menggantinya dengan peraturan baru yang bisa memulihkan hak semua warga di sekitar lokasi semburan. Selain tak perlu membedakan daerah terkena dampak dan tidak terkena dampak, kata dia, dalam peraturan baru itu juga diatur mekanisme ganti rugi dan biaya pemulihan bagi warga.

    ANTON SEPTIAN | Koran Tempo

  • Amerika Bidik Sumur Lapindo Jadi Pembangkit Listrik

    JAKARTA – Konsorsium asing dari Amerika Serikat menawarkan solusi untuk mengolah semburan lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi pembangkit listrik panas bumi berkekuatan 2.000 megawatt.

    Konsorsium terdiri atas Vlociti Holding Inc dan Houston Based Coy, penyandang dana yang berkedudukan di Amerika Serikat, serta Sirex PHS, Preston US, dan Turbo Jacks sebagai pemilik teknologi yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Tak ketinggalan pula PT Jatayu Sarana Investasi sebagai pemilik proyek/koordinator untuk subkonsultan dan subkontraktor di Indonesia.

    Presiden Direktur Vlociti Holding Inc Taswin Tarib memaparkan tawaran tersebut di Kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla. Koordinator Staf Khusus Wakil Presiden Alwi Hamu mewakili Wakil Presiden mendengarkan dan menelaah tawaran ini.

    Taswin menyatakan perusahaannya bukan pemain baru di bidang panas bumi. Perusahaannya telah melakukan eksplorasi panas bumi di Amerika Serikat dan Jerman dengan masing-masing daya berkekuatan lebih dari 300 megawatt.

    Saat ini semburan lumpur Lapindo mencapai 80 ribu meter kubik per hari, sedangkan temperatur semburan mencapai 40-60 derajat Celsius.

    Taswin mengatakan listrik dari hasil panas bumi di Sidoarjo itu akan dijual ke PLN dengan harga 2-3 euro sen per kWh dan diharapkan bisa mengatasi kekurangan pasokan listrik di Indonesia.

    “Kami tidak meminta jaminan dari pemerintah dan PLN. Kami tidak menggunakan dana dari pemerintah Indonesia, kami gunakan dana dari grup kami,” ujarnya di Istana Wakil Presiden kemarin.

    Menurut Taswin, Lapindo dipilih sebagai proyek percontohan karena kandungan panas buminya sangat tinggi. Secara bersamaan, akan dibangun juga proyek 2 x 2.000 megawatt di Jawa lainnya dan 1 x 2.000 megawatt di setiap pulau, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

    “Pada 14 Agustus nanti, tim akan mempresentasikan lebih detail melalui teknis dan metode yang kami gunakan,” kata dia. Jika pemerintah sepakat, saat itu juga akan ditandatangani nota kesepakatan atau memorandum of agreement-nya.

    Menurut Taswin, pembangunan pembangkit listrik panas bumi Lapindo, mulai dari memasang vertical channel sampai menghasilkan listrik, memakan waktu 3-4 tahun dengan nilai investasi US$ 5,2 miliar untuk keseluruhan pembangkit. “Proyek ini juga akan menyerap 2.000-2.500 tenaga kerja,” kata dia.

    Alwi menyatakan konsorsium sudah mempresentasikan rencananya di hadapan Wakil Presiden dan difasilitasi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. “Pak Wapres langsung merespons dan meminta ini dikaji lebih mendalam,” kata dia.

    Menurut Alwi, tawaran ini bisa menjadi solusi bagi kekurangan pasokan listrik Indonesia saat ini. Tawaran ini juga bisa sedikit menyelesaikan bencana lumpur Lapindo.

    Anton Aprianto | Koran Tempo

  • Seluruh Menteri Tandatangani Revisi Perpres Lapindo

    TEMPO Interaktif, Sidoarjo: Seluruh Menteri yang ada di dalam Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), hari ini (11/7) sudah menandatangani perubahan Peraturan Presiden (Perpres) No 14 tahun 2007 tentang luapan lumpur Lapindo.

    ““Hari ini seluruh menteri sudah tandatangan, termasuk menteri keuangan juga. Diharapkan sepulang dari kunjungan luar negeri, Presiden langsung bias menandatanganinya juga,”” kata Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, ketika meresmikan penancapan tiang pancang untuk memulai pembangunan infrastruktur pengganti jalan raya porong di Sidoarjo, siang ini (11/7).

    Perubahan Perpres yang dimaksud adalah perubahan areal terdampak Lumpur didalam Perpres yang semula hanya menjangkau kawasan empat desa yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo, kini dirubah dengan menambahkan tiga Desa yaitu Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring.

    Dengan perubahan ini, tambah Joko, warga di tiga tersebut akan segera mendapatkan ganti rugi seperti yang telah didapatkan warga di empat desa lainnya. Hanya saja, ganti rugi yang didapatkan bukan berasal dari Lapindo melainkan akan diambilkan dari APBN.

    ““Kami mohon maaf jika perubahan ini agak lama. Kita sebenarnya juga ingin cepat tapi tetap harus dijaga supaya tetap akurat,” “tambah Joko.

    Selain itu, Joko juga meminta maaf atas belum berhasilnya pemerintah dalam menutup semburan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang hingga saat ini setidaknya telah mengusir 12 ribu lebih keluarga.

    ““Atas nama pemerintah kami minta maaf karena belum berhasil menutup, tapi kami akan terus berusaha semaksimal mungkin,”” kata Joko.

    Menurut Joko, sejak awal pemerintah sebenarnya langsung turun kelapangan untuk bisa segera menanggulangi dampak semburan tersebut. Saat itu, Presiden juga langsung menginstruksikan untuk segera menutup dan memagari kawasan semburan dengan tanggul penahan.

    ““Setelah itu berbagai upaya juga sudah kita lakukan tapi hingga kini tetap belum berhasil,”” tambah Joko.

    Upaya penutupan yang dimaksud dimulai dengan menggunakan alat bernama snubbing unit, kemudian dilanjutkan dengan side traking (pengeboran menyamping), terus relief well (pengeboran miring) dan yang terakir dengan menggunakan bola beton yang kesemuanya tetap belum bisa menutup semburan tersebut.

    Di tempat yang sama, Ketua BPLS Sunarso menyambut baik atas selesainya revisi perpres tersebut. “”Kami juga berharap, kawasan di tiga desa lainnya (Siring barat, Jatirejo barat, dan Mindi), juga segera diputuskan,”” kata Sunarso.

    Kawasan tiga desa terakhir ini kini memang sudah tidak layak huni akibat munculnya ratusan semburan gas liar dihampir seluruh rumah yang ada. Karennya warga juga berharap untuk segera mendapatkan ganti rugi sehingga mereka bisa meninggalkan rumah mereka.

    Rohman Taufiq |Koran Tempo

  • Lapindo Kalah di Arbitrase Internasional

    JAKARTA — Lapindo Brantas Incorporated, perusahaan yang berada di pusat pusaran kasus semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, dikalahkan PT Medco Brantas dalam persidangan di Badan Arbitrase Internasional.

    Kabar itu disampaikan tim ahli pengeboran independen Robin Lubron saat mendampingi korban lumpur Lapindo berdiskusi dengan Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga. “Putusannya sudah ada beberapa bulan lalu,” ujar Lubron kemarin.

    Lubron menjelaskan, dalam gugatan itu diketahui Medco Brantas sebelumnya telah memperingatkan agar Lapindo berhati-hati dalam melakukan pengeboran. Namun, hal itu tidak diindahkan.

    Selain peringatan, Lubron melanjutkan, terdapat 14 hal yang tidak dipatuhi Lapindo saat melakukan pengeboran, di antaranya titik pengeboran yang salah karena dekat dengan permukiman, alatalat tidak diasuransikan, tidak adanya pelindung mata bor, dan penanganan penutupan luapan lumpur yang tidak menyeluruh.

    Menurut dia, secara prosedur Lapindo melanggar karena melakukan kesalahan teknis. “Dengan putusan itu, artinya semua kerugian tersebut harus ditanggung Lapindo,” ujarnya.

    Majalah Tempo edisi Juni tahun lalu menyebutkan, dalam gugatan ke arbitrase, Medco membeberkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Lapindo terhadap perjanjian kerja sama operasi. Salah satunya soal peringatan Medco agar Lapindo memasang selubung bor (casing) untuk mengantisipasi kebocoran, yang ternyata tak diindahkan.

    Dalam gugatan itu juga disinggung soal dana provisi untuk kegiatan operasional hulu migas sebesar US$ 14 juta. Medco menolak langkah Lapindo yang “membelokkan” dana operasional itu untuk menangani dampak semburan lumpur.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, saat dihubungi kemarin membantah soal adanya putusan itu. Sebab, saat ini Medco tidak lagi menjadi pemegang saham Lapindo karena telah menjualnya ke Grup Perkasa. “Memang sempat ada arbitrase, tapi tidak dilanjutkan dan ada kesepakatan,” ujar Yuniwati kemarin.

    Adapun Sekretaris Perusahaan Medco Energi Sisca Alimin mengatakan pihaknya sudah tidak berurusan dengan soal itu lagi. “Saya tidak tahu-menahu karena Medco sudah tidak pegang lagi,” ujarnya kemarin.

    Kendati masih banyak muncul tuntutan agar Lapindo menanggung seluruh kerugian, pemerintah tetap ngotot mengambil alih tanggung jawab itu. Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menjanjikan ganti rugi kepada warga sembilan desa di luar peta terdampak.

    ““Nanti akan kami samakan ganti ruginya,”” ujarnya di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kemarin. Rachmat datang ke kantor Komisi memenuhi panggilan berkaitan dengan kasus lumpur Lapindo. Di tengah pertemuan, dia menerima perwakilan korban dari sembilan desa itu.

    Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan setiap perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan harus menanggung ganti rugi secara mutlak dan seketika. “Untuk itu, harus ada pembuktian kesalahan lebih dulu secara hukum. “Lapindo belum diputuskan bersalah,”” katanya.

    RINI KUSTIANI | ANTON SEPTIAN | DIAN YULIASTUTI | SETRI

    © Koran Tempo

     

  • Pemerintah Akan Tinjau Hasil Arbitrase Lapindo

    TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan pemerintah akan meninjau hasil persidangan arbitrase internasional yang menyatakan Lapindo Brantas Incorporated kalah.

    Menteri Purnomo mengaku pemerintah belum menerima laporan adanya arbitrase tersebut. “Kami akan cek dulu, karena kami belum pernah dapat laporan ada arbitrase Medco dengan Lapindo,” kata Purnomo di Jakarta, Selasa (15/7).

    Pemerintah, lanjut dia, akan mencari informasi tentang arbitrase tersebut. Dia menambahkan, pemerintah tak dilibatkan Moneygram online dalam proses arbitrase tersebut. “Kami tak pernah dipanggil untuk menjadi saksi,” ujar Purnomo.

    Hasil putusan Badan Arbitrase Internasional menyatakan bahwa PT Medco Brantas memenangkan gugatan terhadap Lapindo kalah. Majalan Tempo edisi Juni tahun lalu menyatakan, dalam gugatan itu, Medco membeberkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Lapindo terhadap perjanjian kerja sama operasi.

    Salah satunya soal peringatan Medco agar Lapindo memasang selubung bor (casing) untuk mengantisipasi kebocoran yang diabaikan. Dalam gugatan itu juga disinggung soal dana provisi untuk kegiatan operasional hulu miogas sebesar US$ 14 juta.

    Medco menolak langkah Lapindo yang “membelokkan” dana operasional itu untuk menangani dampak semburan lumpur (Koran
    Tempo, Senin, 15 Juli).

    Yuniwati Teryana, Vice President Relations Lapindo Brantas mengatakan bahwa data pengeboran yang terekam di mud logging unit menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara sumur ekplorasi Banjarpanji-1 dan semburan lumpur di Sidoarjo.

    Mud logging unit adalah satu perangkat alat dalam pengeboran yang berfungsi, antara lain, untuk melakukan pengamatan dan perekaman proses pengeboran.

    Data mud logging unit tersebut menyatakan bahwa tekanan pengeboran menunjukkan tekanan lubang sumur lebih rendah daripada kekuatan batuan (dinding sumur).

    “Ini berarti bahwa casing shoe yang merupakan bagian terlemah dari sumur bahkan tidak pecah,” ujar Yuniwati.

    Yuniwati menambahkan, data survei sonan log menunjukkan tidak adanya aliran di belakang casing sumur. “Fakta ini membuktikan bahwa casing shoe tersebut tidak pecah,” kata Yuniwati.

    Data mud logging unit itu, kata Yuniwati, telah diserahkan kepada pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur.

    Nieke Indrietta | Koran Tempo

  • Kejaksaan Agung Koordinasikan Kasus Lapindo

    JAKARTA — Kejaksaan Agung menugasi Direktur Prapenuntutan Jaksa Agung Muda Pidana Umum M. Sidik Ismail untuk berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menangani kasus Lumpur Lapindo. “Dalam dua-tiga hari ini dia akan ke Jawa Timur,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan di ruang kerjanya kemarin.

    Sidik diminta berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk mendapatkan data yang tersimpan dalam black box drilling atau rekam jejak pengeboran Lapindo Brantas Inc.

    Sebelumnya, ahli pengeboran sumur minyak dan gas bumi, Robin Lubron dan Mustika Saleh, mengatakan penyebab semburan lumpur Lapindo dapat diketahui dari data tersebut.

    SUTARTO | Koran Tempo

  • Kasus Lapindo Tunggu Laporan Menteri Energi

    JAKARTA — Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyatakan masih menunggu laporan dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral terkait kekalahan PT Lapindo Brantas Inc di arbitrase internasional. “Pemerintah akan melihat dulu, tapi Departemen Energi dulu, baru ke saya,” ujarnya kemarin.

    Sebelumnya, arbitrase internasional memenangkan Medco atas Lapindo dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Fakta itu diungkapkan tim ahli pengeboran independen, Robin Lubron, pada Senin, 14 Juli lalu, di Kejaksaan Agung. Akibat putusan itu, Lapindo dan perusahaan yang terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie harus menanggung semua kerugian.

    Menurut Djoko, pemerintah belum bisa mengambil keputusan terkait putusan yang mengharuskan Lapindo Brantas menanggung kerugian. “Masih tunggu putusan pengadilan,” katanya. Dia mengaku belum mendapat laporan dari Menteri Energi.

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro juga menyatakan hal yang sama dengan Djoko. Menurut Purnomo, pemerintah akan mempelajari hasil putusan arbitrase internasional. Dia mengaku belum menerima laporan putusan tersebut. “Kami akan cek dulu karena kami belum pernah dapat laporan tentang arbitrase Medco dan Lapindo,” ujarnya.

    Purnomo menjelaskan, pemerintah tidak dilibatkan dalam proses persidangan di arbitrase tersebut. “Kami tak pernah dipanggil menjadi saksi,” katanya.

    RIEKA RAHADIANA | NIEKE INDRIETTA

    © Koran Tempo

     

     

  • ”Mari Temukan Solusi, Jangan Ciptakan Masalah”

    Wawancara dengan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso

    Penyediaan rumah di kawasan perumahan Kahuripan Nirwana Village bagi korban lumpur Lapindo adalah salah satu solusi atas masalah yang ditimbulkan dari semburan lumpur. PT Minarak Lapindo Jaya dan warga menyepakati konsep cash and restlement.

    Tapi permasalahan tidak segera selesai. Warga yang telah menerima kunci, jangankan menghuni, melihat rumahnya pun mengalami kesulitan. Belakangan diketahui, pembangunan perumahan Kahuripan menyembunyikan banyak masalah, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB), serta site-plan.

    Bahkan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, yang sudah dua tahun dipusingkan oleh masalah lumpur, harus menyindir perusahaan di bawah naungan Bakrie Group itu agar segera membereskan semua persoalan. Hal itu pula yang dikatakannya saat diwawancarai wartawan Tempo, Fajar WH dan Rohman Taufik. Berikut petikannya:

    Apa tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berkaitan dengan pembangunan komplek perumahan Kahuripan Nirwana Village?

    Pembangunan kawasan perumahan itu saat ini sedang direalisasi. Tanggung jawab saya sebagai bupati adalah memfasilitasinya berupa perizinan yang dibutuhkan PT Minarak Lapindo Jaya yang membangun kawasan, serta warga korban lumpur yang membeli rumah di situ. Tentunya itu sesuai proporsi kewenangan saya.

    Pembangunan perumahan itu terkesan dadakan. Apakah memang sudah lama merencanakannya di daerah Jati?

    Lahan sekitar 1.200 hektare yang izinnya sudah kami keluarkan ada di daerah Sukodono. Bahkan PT Minarak sempat melaunching- nya. Sebanyak 1.031 warga juga sudah mendaftar untuk membelinya. Tapi setelah dilihat, ternyata masih berupa tanah kosong. Hal itulah yang membuat warga berdemonstrasi. Lha, saat kami mengeluarkan izin di Sukodono, ternyata PT Minarak juga mencari dan membeli tanah lain. Rencana di Sukodono tidak diteruskan.

    Pada perkembangannya, ada pemikiran baru. Kebetulan, di daerah Jati ada beberapa pengembang. Tapi, mungkin akibat persoalan lumpur, pasar perumahan menjadi turun, sehingga mereka tidak berani melakukan pembangunan. Lahan itulah yang di-take over.

    Berapa luas lahan yang diambil alih, dan bagaimana perizinannya?

    Ada beberapa lahan developer yang diambil alih. Setelah itu, barulah PT Minarak mengusulkan agar izinnya diproses. Tapi rupanya, sambil mengajukan usul perizinan, mereka diam-diam melakukan pembangunan.

    Apakah boleh membangun sebelum mengantongi izin?

    Kalau berdasarkan peraturan, memang tidak boleh melakukan pembangunan sebelum ada izin. Tapi karena perlu terobosan agar para korban bisa mendapatkan rumah, ya hal itu tidak bisa dihindari. Developer yang dulu ada di situ sebenarnya sudah punya izin, tapi izinnya sudah mati.

    Pada saat perumahan di kawasan Kahuripan mulai dibangun, berarti Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tidak diberi tahu?

    Pada awalnya, kami terus terang saja, memang tidak diberitahu. Tapi dari berbagai pertemuan, mereka mengakui kesahannya. Mereka beralasan perlu secepatnnya membangun. Pengurusan izin dilakukan sambil jalan. Izin lokasi sudah kami keluarkan. Sekarang sedang dalam proses kelengkapan izin site-plan dan IMB. Tapi memang dalam soal ini ketentuan tidak bisa diterapkan sebagaimana mestinya, melainkan bagaimana sebaiknya. Berarti harus ada kompromi. Proses pembangunan berjalan, tapi proses perizinan juga berjalan. Karena kompromi ini pula 3.500 warga yang tergabung dalam GKLL akhirnya setuju, lalu muncullah konsep cash and resetlement.

    IMB diurus belakangan, apa tidak menyalahi prosedur?

    Kalau dari sisi regulasi, hal itu memang tidak boleh. Kalau saya berpikir pakai kacamata kuda, pasti saya hentikan. Tapi saya harus melihatnya tidak melulu soal regulasi. Kalau pembangunan perumahan di Kahuripan saya hentikan, pasti akan timbul mata rantai persoalan yang panjang. Saya tidak ingin Sidoarjo tidak kondusif. Menyelesaikan masalah sosial harus dengan arif dan bijak. Prinsip saya, mari temukan solusi, jangan bikin masalah. Warga tidak perlu khawatir. Sembari pembangunan dilakukan, kami meminta agar PT Minarak menyelesaikan proses perizinan yang belum lengkap.

    Apakah ini tidak mengorbankan masyarakat yang memiliki lahan sebelumnya?

    Lahan 1.500 hektare yang dipakai PT Minarak di Jati itu semula milik empat developer. Semua tanah sudah diganti rugi. Jadi, secara prinsip, kami tidak ingin memindahkan masalah.

    Kalau memang tidak ada masalah, mengapa Anda menyindir PT Minarak di hadapan Menteri Sosial saat peresmian perumahan Kahuripan?

    Meskipun izin lokasi sudah beres, tapi karena izin yang lainnya belum, saya menyampaikan sindiran. Ikan kakap ikan sepat, berkas lengkap izin cepat. Udang galah disambel terasi, ada masalah cari solusi.

    Apakah itu berarti PT Minarak bandel dalam soal izin sehingga harus disindir?

    Saya selalu mencoba melakukan semua pendekatan. Tidak hanya terhadap PT Minarak atau PT Lapindo. Mungkin bupati yang paling sering didemo adalah saya. Tapi banyak ilmu yang justru saya dapatkan. Saat penetapan harga ganti rugi akan dilakukan, situasinya seperti perang. Polisi, tentara, bahkan kendaraan tank memenuhi pendopo, karena ada kabar bahwa 10 ribuan orang akan membakar pendopo.

    Pintu pendopo justru saya perintahkan dibuka. Saya minta karpet merah digelar di pendopo. Saya persilakan warga masuk karena bagi saya mereka adalah tamu agung bupati. Warga malah berteriak, ”hidup bupati! Hidup bupati! Pihak Lapindo saya datangkan, dan saya mempertemukan mereka dengan utusan warga. Akhirnya harga ganti rugi berhasil disepakati.

  • Polisi Diminta Lengkapi Keterangan Ahli Pengeboran Lapindo

    JAKARTA — Kejaksaan Agung menduga data yang dicatat petugas pengeboran Lapindo berbeda dengan data dalam alat pencatat kegiatan perkembangan pengeboran real time chart (RTC). Menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Bonaventura Daulat Nainggolan, kejaksaan meminta agar berkas perkara kasus semburan lumpur Lapindo dilengkapi hasil pembacaan ahli atas RTC.

    “Hasil RTC hanya bisa dibaca ahli,” kata dia di Kejaksaan Agung kemarin. RTC, kata dia, selama ini belum dibaca. RTC adalah alat pencatat kegiatan pengeboran yang hasilnya digambarkan dalam grafik. Hasil rekaman ini mencatat data pengeboran dari awal sehingga bisa diketahui penyebab menyemburnya lumpur.

    Kamis pekan lalu polisi telah melakukan gelar perkara atau ekspose kasus lumpur Lapindo di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dari hasil gelar perkara, kejaksaan mengembalikan berkas penyidikan kepada polisi. Kejaksaan menganggap berkas belum dilengkapi hasil pembacaan ahli atas RTC.

    Setelah hasil RTC di tangan penyidik dan jaksa calon penuntut, Nainggolan melanjutkan, kejaksaan akan mempertemukan sejumlah ahli dalam berkas perkara dan ahli dari korban lumpur Lapindo. Hasil pertemuan, kata dia, akan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

    Sejauh ini terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab menyemburnya lumpur Lapindo. Pihak Lapindo berkukuh mengatakan semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh bencana alam. Adapun sejumlah ahli mengatakan semburan akibat aktivitas pengeboran Lapindo di sumur Banjar Panji 1.

    Juru bicara PT Lapindo Brantas, Yuniwati Teryana, menyatakan petugas drilling telah mencatat kegiatan pengeboran sesuai dengan standar operasi pengeboran. “Hasilnya pun dimonitor setiap waktu,” kata Yuniwati dalam pesan singkatnya. Prinsipnya, kata dia, tak ada perbedaan antara catatan petugas pengeboran dan data di RTC.

    ANTON SEPTIAN | PRAMONO

    © Koran Tempo

  • Adinda Bakrie Gelar Resepsi Mewah

    JAKARTA —- Pesta pernikahan Adinda Bakrie, putri pemilik PT Lapindo Brantas Indra Usmansyah Bakrie, digelar dengan segenap kemegahan di Hotel Mulia, Jakarta, kemarin malam. Tiga ruang utama lantai dasar hotel itu disatukan, lalu disulap menjadi ruang resepsi yang gemerlap. Sejumlah artis papan atas dan kelompok musik pengiring Twilight Orchestra memeriahkan pesta itu.

    Para tamu datang dari pucuk-pucuk pimpinan di negeri ini, para pengusaha papan atas, hingga para diplomat negara-negara sahabat. Tampak, antara lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution, Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardoyo, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, dan sejumlah menteri lainnya. Juga terlihat pengusaha Chairul Tanjung dan lain-lain.

    Mempelai pria dari keponakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie itu adalah Seng-Hoo Ong. Ia seorang manajer keuangan, putra dari salah satu keluarga terkaya di Singapura.

    Megahnya pesta ini sudah terasa sejak gerbang hotel. Jajaran karangan bunga berdesakan di kiri-kanan jalan masuk menuju pintu lobi sebelah utara. Seakan tak cukup, tanda ucapan selamat itu berjajar hingga gerbang dan parkir hotel bagian belakang.

    Begitu masuk ke ruang resepsi, tamu diarahkan dengan jalur berkelok dengan pembatas kain merah marun. Alunan musik dari sebuah grand piano sudah menyambut di sana.

    Kemegahan pun lengkap di ruang pesta. Tiga ballroom Hotel Mulia dijadikan satu dengan 15 lampu kristal berukuran besar tergantung di langit-langit. Pasangan mempelai duduk di kuade mewah, di sebelah kanan pintu masuk.

    Aneka hidangan mulai dari menu lokal hingga luar negeri bertebaran di setiap sudut ruang resepsi. Gunungan buah anggur berbagai jenis disusun laiknya monumen setinggi tiga meteran.

    Musik hidup pun digarap begitu wah. Sekitar 50 meter di seberang kuade mempelai dibangun panggung yang tak kalah komplet. Vina Panduwinata, Christopher Abimanyu, Memes, dan Mike Indonesian Idol bergantian menyuguhkan penampilan di atas pentas. Semuanya diiringi puluhan musisi yang tergabung dalam Twilight Orchestra.

    AGOENG WIJAYA | Koran Tempo

  • Lumpur Lapindo, Polisi Minta Keterangan 2 Ahli Tambahan

    JAKARTA – Kepolisian akan meminta keterangan dua saksi ahli tambahan untuk membaca laporan pengeboran sumur Banjar Panji 1 oleh PT Lapindo Brantas. Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Rusli Nasution mengatakan dua ahli baru dimintai keterangan pekan depan. “Setelah itu kami mengajukan berkas ke kejaksaan lagi,” kata Rusli ketika dihubungi Tempo kemarin.

    Rusli enggan menyebutkan nama kedua ahli yang akan dimintai keterangan. Menurut dia, kepolisian telah menyertakan catatan pengeboran dalam berkas pemeriksaan dan keterangan ahli yang membaca catatan pengeboran itu. Dari awal, katanya, catatan pengeboran sudah disertakan.

    Ia membantah catatan pengeboran berbeda dengan permintaan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Menurut Rusli, catatan pengeboran yang diminta kejaksaan sama dengan catatan dalam bukti kepolisian. Rusli mengatakan berkas ke kejaksaan sebenarnya sudah lengkap. Kepolisian mengetahui alat perekam kegiatan pengeboran dari para ahli. “Alatnya sama, hanya beda persepsi saja,” katanya.

    Kejaksaan Agung beberapa kali mengembalikan berkas acara pemeriksaan kasus semburan lumpur Lapindo. Sejauh ini terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab semburan lumpur Lapindo. Lapindo menyatakan semburan lumpur akibat bencana alam, sedangkan sejumlah ahli mengatakan semburan itu akibat aktivitas pengeboran di sumur Banjar Panji 1.

    Pekan lalu, kejaksaan mengumumkan dugaan perbedaan data petugas pengeboran PT Lapindo dengan data Real Time Chart (RTC) atau alat pencatat pengeboran dari waktu ke waktu. Menurut juru bicara Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan, hasil RTC belum pernah dibaca ahli.

    Dalam gelar perkara dua pekan lalu, kejaksaan mengembalikan berkas penyidikan kepada polisi. Kejaksaan meminta polisi melengkapi hasil pembacaan RTC yang kemudian akan dibahas bersama para ahli dari kedua pihak. Hasil pertemuan akan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

    Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman S. Sumawiredja mengatakan kejaksaan meminta polisi menerjemahkan laporan pengeboran sumur Banjar Panji 1, Porong, Sidoarjo oleh PT Lapindo. Terjemahan sudah dibawa ke Kejaksaan Agung untuk diproses.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, belum bisa dihubungi. Pekan lalu, Ia menyatakan petugas pengeboran PT Lapindo telah mencatat kegiatannya sesuai dengan standar operasi pengeboran. Hasil catatan, kata dia, bisa dimonitor setiap waktu. Prinsipnya, tak ada perbedaan antara catatan petugas pengeboran dan data di RTC.

    Hasil kajian Tim Independen Keteknikan bentukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan pengeboran sudah benar. “Tentunya mereka juga sudah melakukan analisis data RTC yang sudah di kepolisian,” kata dia lewat pesan singkat pekan lalu. “Perlu kesepahaman dan keahlian dari para ahli untuk menginterpretasi data tersebut.”

    PRAMONO | ANTON APRIANTO | FAMEGA | PURWANTO

    © Koran Tempo