Tag: sidoarjo

  • KOMNAS HAM Rekomendasikan Pemulihan Hak Korban Lapindo

     

    Korbanlumpur.info – Sidoarjo, 21 Juli 2017

    Emir Firdaus selaku wakil ketua DPRD Kabuoaten Sidoarjo memberikan sambutan mengawali dialog hasil audit HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM. Ia berharap hasil audit HAM dalam kasus Lapindo bisa memberikan gambaran yang jelas atas persoalan Lapindo karena sampai saat ini masih banyak persoalan yang belum diselesaikan. Ia juga mengharap terjadi dialog antara warga, baik dalam peta terdampak maupun di luar peta, yang sudah selesai pemenuhan ganti rugi maupun yang belum.

    Nur Khoiron, wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berterimakasih atas fasilitasi DPRD Kabupaten Sidoarjo sehingga Komnas HAM bisa melakukan dialog dengan warga korban lumpur Lapindo. Ia dan tim diberi mandat oleh sidang paripurna Komnas HAM untuk melakukan kajian atau audit atas pengelolaan permasalahan lumpur Lapindo sejak 2006 hingga 2017. Melalui surat mandat paripurna 2015 ia diberi tugas memeriksa semua model kehadiran negara dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

    Apapun bentuk bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam maupun hal lainnya, ada situasi hilang atau terganggunya hak korban. Dalam kasus lumpur Lapindo juga terjadi hal yang sama dan itu perlu dipulihkan atau reparasi. Ia berharap tim Komnas HAM saat ini adalah tim terakhir untuk merespon pengaduan kasus Lapindo. Sebelumnya telah banyak tim-tim yang dibentuk guna merespon pengaduan warga korban.

    “Setiap korban berhak diberi upaya pemulihan, dalam HAM, upaya ini dikenal sebagai reparasi. Modelnya bisa rehabilitasi, ganti rugi, dan sebagainya,” kata Khoiron.

    Komnas HAM Ham diberi mandat oleh undang-undang sebagai lembaga independen yang tidak masuk dalam kelembagaan eksekutif maupun yudikatif, namun ia bisa berdiri pada keduanya untuk pemenuhan hak asasi manusia.

    Pembelajaran selama selama tahun dalam pengelolaan lumpur Lapindo bisa menjadi rujukan agar tidak membuat kesalahan yang sama dalam pengelolaan bencana serupa. Ia berharap ada masukan dari warga atas bagian rekomendasi laporan agar bisa lebih kuat.

    Hasil Audit HAM
    Dalam penyampaian isi laporan, Khoiron memaparkan bahwa Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk memantau pemenuhan HAM di Indonesia. Ia juga bertugas memberikan penyuluhan HAM. Kewenangan lain adalah melakukan mediasi atas kasus-kasus yang menimbulkan dampak terhadap terpenuhinya HAM masyarakat.

    Ia dan tim diberi tugas sidang paripurna untuk memeriksa kehadiran negara dan perusahaan dalam melakukan pemulihan korban. Ia mengulangi dan menegaskan,”kejadian bencana selalu memberi dampak mengurangi atau menghilangkan hak-hak warga”.

    Saat ini laporan akhir masih dalam proses penyempurnaan sehingga belum bisa dibagikan. Ia kemudian menyampaikan ringkasan lima bab laporan yang terdiri: pertama, latar belakang kenapa ada tugas memeriksa pemenuhan HAM dalam kasus Lapindo oleh Komnas saat ini maupun tim-tim sebelumnya.

    Komnas pernah memeriksa kasus Lapindo sesuai UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM berkaitan kemungkinan terjadinya pelanggaran berat HAM. Komnas melakukan penyelidikan dan hasilnya disampaikan dalam sidang paripurna. Sayangnya dugaan pelanggaran berat HAM yang disampaikan oleh tim penyelidik belum bisa diterima dalam sidang paripurna Komnas HAM.

    Namun, setelah keputusan sidang paripurna ternyata masih ada pengaduan-pengaduan warga. Komnas kemudian melakukan pemeriksaan sehingga bisa merumuskan pembelajaran penting agar tidak terjadi pengulangan tindakan pelanggaran HAM yang sama dalam kasus serupa dimasa mendatang.

    Pada bab dua, ia paparkan prinsip-prinsip HAM yang mrndasari mengapa negara wajib melakukan pemulihan dan pemenuhan HAM korban bencana. Bab ini juga memaparkan kenapa perusahaan juga punya kewajiban dalam perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan HAM karena dalam UU biasanya hanya menyebutkan aktor utama hanya negara. Dalam perkembangannya, norma HAM secara internasional telah mewajibkan perusahaan untuk melakukan perlindungan HAM.

    Dalam praktiknya memang didapati kesulitan jika aktor pelanggar HAM bukan negara, namun Komnas HAM telah menemukan landasan-landasan agar perusahaan juga berkewajiban melakukan pemenuhan HAM seperti negara.

    Bab tiga memaparkan bagaimana tanggjawab negara dan perusahaan dalam pemenuhan HAM korban Lapindo secara runut sejak awal dibentuk Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo hingga dana talangan di era presdien Joko Widodo. Pada beberapa bagian disebutkan masih belum jelasnya status penyebab semburan lumpur dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini cukup menyulitkan pemulihan korban.

    Badan ad hoc BPLS dibentuk melalui perpres sejak 2007. Mekanisme yang dijalankan dalam penanganan korban yang diatur dalam kebijakan publik ternyata menggunakan landasan hukum perdata melalui mekanisme jual beli. Ini menjadi problem dalam pemulihan HAM korban hingga saat ini.

    Ada temuan-temuan proses pemulihan yang tidak dilakukan oleh negara maupun perusahaan. Misalnya ada banyak hak-hak korban Lapindo yang belum berkaitan dengan pulihnya lingkungan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hak dasar lainny . Dalam ranah HAM meski telah dilakukan pemulihan-pun ada hal yang masih perlu diukur yang dalam HAM dikenal sebagai satisfaction. Istilah ini berkaitan dengan terpenuhi atau tidaknya kepuasan korban atas pulih atau tidaknya hak mereka.

    BPLS memang membuat definisi kasus lumpur Lapindo sebagai bencana geologi, namun definisi ini tidak ada landasan hukum dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tanpa landasan regulasi dalam pengelolaan bencana, pemenuhan HAM ternyata dilakukan melalui asset based, sehingga korban yang diidentifikasi hanya berdasar kepemilikan aset dan bukan individual yang memiliki hak dasar melekat sebagai manusia. Dalam kasus Lapindo, warga yang tidak memiliki aset tidak bisa ditangani pemulihan HAM-nya. Bahkan jika memeriksa kasus Lapindo lebih mendalam, pemulihan hak-hak dasar seperti lingkungan yang baik, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi tidak bisa diperoleh oleh korban.

    Pada bab empat, Komnas HAM telah menganalisis, tidak ada mekanisme landasan hukum yang digunakan menjadi rujukan dalam penegakan hukum terhadap usaha bisnis yang telah membawa dampak pelanggaran HAM. Dalam kasus Lapindo, negara juga tidak melakukan seruan untuk upaya-upaya bantuan kemanusiaan selama sebelas tahun semburan lumpur. Dalam kasus lapindo, negara dan perusahaan tidak memiliki data persebaran korban. Ini menjadi indikator tidak dilakukannya upaya pemulihan HAM korban Lapindo.Pemerintah dan perusahaan dinilai gagal menghentikan semburan lumpur. Tidak ada data terkini karena tidak dilakukan upaya penghentian maupun pencari-tahuan informasi mengenai lumpur Lapindo, dampak, dan para korbannya. Sehingga nampak bahwa korban Lapindo belum pulih hak-haknya sebagai manusia.

    Bab terakhir yang dipaparkan berkaitan dengan rekomendasi. Rangkuman rekomendasi terdiri kepada presiden, menteri pu, bnpb, pemerintah daerah, penegak hukum, legislatif.

    Salah satu rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden republik Indonesia adalah untuk mengevaluasi model pemulihan hak korban melalui mekanisme jual beli karena ada dampak-dampak lanjutan bagi korban Lapindo.

    UUPLH 32/2009 bisa menjadi landasan dalam pembangunan yang berdampak pada lingkungan yang bisa memberikan ruang bagi negara untuk melindungi HAM warga sejak masa awal perencanaan kegiatan usaha. UU No 39/1999 tentang HAM juga menjadi landasan bagi pemenuhan hak anak, hak perempuan, dan hak atas lingkungan yang baik sehingga komnas merekomendasi agar dilakukan inventarisasi data terhadap korban bencana.

    Rekomendasi kepada pemerintahan daerah salah satunya adalah merumuskan rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar pengelolaan wilayah bencana kedepan bisa lebih jelas. Yang lain, Komnas HAM juga memberikan rekomendasi agar proses ganti rugi fasilitas sosial dan fasilitas umum bisa dilakukan agar korban bisa memulihkan kehidupan sosial mereka.

    Sebagi penutup pemaparan, Khoiron meminta masukan dan komentar atas rekomendasi yang dibuat agar lebih mengena dan bisa ditindaklanjuti dalam pemulihan HAM korban lapindo oleh para pihak.

    Dialog
    Dimoderasi oleh ketua pansus lumpur lapindo, Mahmud, dialog dimulai dengan penyampaian Sungkono, korban Lapindo dan juga anggota DPR RI. Ia menyampaikan ada dinamika Perpres yang semakin tidak menguntungkan posisi warga. Misalnya penggantian kerugian warga didasarkan peta terdampak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Penanganan sangat lambat terhadap korban yang sejak masa awal menjadi korban, salah satunya adalah para warga yang memiliki usaha di dekat lokasi semburan dan lahannya terbenam lumpur. Padahal dalam Perpres warga korban disebutkan secara jelas sebagai warga yang memiliki aset tanah dan bangunan di lokasi terdampak. Untuk itu ia meminta agar proses pemulihan awal bisa disegerakan penggantian aset warga korban Lapindo. Keputusan MK seharusnya bisa menjadi landasan pemenuhan hak-hak semua warga korban Lapindo. Rapat komisi DPR selalu merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan itu, namun tidak pernah terealisasi.

    Ketua Pusat Penanganan Lumpur Sidoarjo (PPLS) Dwi Sugiyanto menyampaikan perlu ada penajaman rekomendasi terutama penanganan dalam PAT. Misal kepada presiden bisa direkomendasi dilakukan pemenuhan ganti rugi kepada keseluruhan korban, termasuk kepada pengusaha yang menjadi korban. Memang negara sudah berusaha dengan mengalokasikan dana antisipasi 773M pada tahun 2015, namun ini belum semua korban bisa terpenuhi.

    Ia juga menyampaikan, pendanaan akan sangat mempengaruhi proses pengelolaan lumpur Lapindo dalam PAT terutama berkaitan dengan pemulihan infrastruktur. Untuk memudahkan PPLS menjalankan tugasnya, maka persoalan ganti rugi mestinya sudah diselesaikan.

    Seismik 3 Dimensi sudah diupayakan dilakukan, namun ini belum disetujui kementerian keuangan karena dilihat sebagai upaya mencari tahu potensi migas saja, padahal seismik ditujukan untuk mitigasi bencana.

    Dalam upaya meningkatkan kenyamanan warga maka pemulihan infrastruktur perlu dilakukan serius. Upaya konkrit pengendalian lumpur adalah dengan pengelolaan volume lumpur dengan pengendalian infrastruktur yang terstruktur. Elevasi lumpur terus menurun menandakan adanya penurunan muka tanah secara m=enyeluruh di kawasan sekitar semburan.

    Untuk fasos dan fasum, PPLS memprioritaskan penggantian tanah-tanah waqaf yang landasan aturannya bisa menggunakan peraturan yang sudah ada. Pengamanan aset bisa dilakukan melalui upaya penyelesaian administratif aset warga, misalnya memfasilitasi proses sertifikasi aset warga.

    Sungkono menyela, ia menyampaikan agar ada rekomendasi yang lebih konkrit pada penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo keseluruhan warga tanpa membedakan status sebagai pengusaha atau bukan karena sudah ada putusan MK yang menjadi landasan.

    Anggota DPRD lain yang juga menjadi korban Lapindo dari Desa Jatirejo, H Maksum memberikan masukan agar komnas HAM bisa lebih memerinci dan medetailkan model penyelesaian pemenuhan ham korban lapindo, naik korban dalam PAT dan diluar PAT. Ia menceritakan pada saat awal memang ada opsi ganti rugi, ada opsi cash and carry (tunai), resettlement (relokasi), dan juga ada yang tidak jual aset. Di desa Jatirejo misalnya warga tidak tahu apa dasar keputusan harga lahan yang diputuskan pemerintah dan perusahaan. Padahal sebelum ada semburan lumpur harga tanah di Jatirejo sudah lebih dari harga yang ditentukan dalam ganti rugi yang hanya sebesar 120 ribu per meter persegi untuk tanah sawah. Banyak juga aset-aset tanah waqaf yang digunakan kegiatan pendidikan yang belum terealisasi ganti rugi hingga saat ini.

    Ritonga, ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo(GPKLL) merekomendasi agar komnas merekomendasi pemerintah tidak melakukan dikotomi warga pengusaha dalam mendapatkan ganti rugi. Ia mengusulkan agar DPR RI tidak mengesahkan APBN jika masih terjadi dikotomi pemberian ganti rugi. Demikian juga kepada DPRD Sidoarjo agar tidak mengesahkan APBD Sidoarjo.

    Sementara itu perwakilan nadhir musholla dan masjid di Porong menyampaikan bahwa baru dalam kasus penanganan Lapindo ada istilah tanah banci. Misalnya ada yang secara sertifikat tanah kering namun dalam realisasinya digunakan utk pertanian karen BPLS melandasakan pada peruntukan aktual, sehingga ini menjadi sengketa bertahun-tahun. Sebisa mungkin penanganan pemulihan aset-aset tanah kolektif warga bisa dikembalikan kepada warga secepatnya. Ini berkaitan dengan kepercayaan iman bahwa pemulihan tanah waqaf adalah kewajiban penerima waqaf agar tidak berdosa.

    Korban Lapindo lainnya, Supari menceritakan, ada banyak yang tidak bisa memulihkan diri paska semburan Lapindo meski telah menerima ganti rugi. Ini seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar bisa ditangani karena penggantian aset tidak bisa seluruhnya bisa menjadi dasar penilaian pemulihan korban. Masih ada banyak warga yang tidak bisa membangun kembali rumah, tidak mendapat pekerjaan, pendidikan dan juga berkaitan dengan kesehatan. Tidak banyak pihak yang memiliki kepedulian untuk melihat hal-hal seperti ini. Yang selalu dilihat oleh publik adalah warga korban sudah menerima ganti rugi dan masalahnya selesai.

    Djuwito, dari Renokenongo juga menyampaikan memang ada banyak korban Lapindo yang belum pulih dan ketinggalan dalam penyelesaian ganti rugi. Keputusan MK bisa mejadi dasar pelaksanaan ganti rugi terhadap warga yang belum diganti.

    Yang menarik ada pernyataan Jon Subianto, dari Gedang, yang mengharap Komnas HAM bekerja karena panggilan dan rasa kemanusiaan. Ia mencontohkan dirinya yaang istrinya sakit-sakitan sehingga ia sampai disarankan untuk kawin lagi. Penting disampaikan kepada Presiden agar penanganan korban lapindo harus konprehensif seperti masalah kesehatan dan lingkungan. Hal serupa disampaikan pula oleh Ikhwan dari Glagaharum. Ia pernah mendapati di desa Glagaharum terjadi warga meninggal dalam jumlah banyak dan beruntun. Perlu ada jaminan kesehatan yang diprioritaskan bagi korban lumpur Lapindo sehingga bisa berobat diwilayah manapun dan mendapat jaminan pembiayaan dan penanganan medis.

    Kepala BPBD Sidoarjo, Dwijo, menyampaikan agar rekomendasi Komnas HAM ditajamkan mengenai penyelesaian fasum dan fasos sehingga lebih ada landasan bagi para pihak untuk menyelesaikannya. Sementara ketua Pansus lumpur Lapindo, Mahmud, mengharap rekomendasi terkait tata ruang bisa ditajamkan karena belum ada rekomendasi berdasar geologi sejauh mana radius aman bagi kegiatan pembangunan. Ini penting untuk pengelolaan pembangunan kedepan.

    Khoiron menyambut baik kesluruhan masukan para pihak. Laporan akhir akan dilakukan paling akhir Agustus yang hasilnya bisa diunduh pada website Komnas HAM dan untuk korban lapindo jika menginginkan bentuk cetak bisa diupayakan untuk mendapatkannya.

    Pertemuan Warga
    Sehari sebelumnya (20/7) tim Komnas HAM juga melakukan dialog dengan korban Lapindo di Pasuruan. Mereka mendapat banyak masukan terkait situasi pemulihan hak-hak korban Lapindo. Irsyad menyampaikan setidaknya rekomendasi Komnas HAM agar tidak terjadi hal serupa lumpur Lapindo dikemudian hari bisa dibuat rekomendasi tegas yang melarang kegiatan industri migas di dekat permukiman warga.

    Dewan Nasional Walhi, B Catur Nusantara yang juga hadir dalam dialog memberikan masukan kepada Komnas HAM agar merekomendasi pemulihan lingkungan kepada para pihak pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Ia juga berharap rekomendasi Komnas HAM kepada seluruh jajaran pemerintah daerah untuk segera melakukan segala upaya untuk proses pemulihan korban Lapindo. Upaya ini bisa dimulai dengan melakukan inventarisasi sebaran seluruh korban dan status pemulihan kehidupan mereka saat ini.

    “Upaya pemulihan lingkungan harus dilakukan sebagai bentuk pemenuhan dan pemenuhan hak korban Lapindo dan warga yang tinggal di sekitar area semburan.  Dalam berbagai penelitian telah diketahui sebagian wilayah ini mengandung logam berat timbal dan kadmium dalam jumlah tinggi yang bisa mempengaruhi kesehatan warga. Lingkungan yang pulih bisa menjadi faktor utama untuk memulihkan kesehatan dan perekonomian warga,” terangnya. (c)

  • Koran Tempo – Jangan Hambat Kasus Lapindo

    Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

    Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

    Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

    Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan “well kick” terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

    Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

    Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.[Editorial Koran Tempo, 31/10]

  • AAPG Day 2: showdown at the Lusi corral

    Things were a bit different from the other sessions at this conference: photographers and cameramen were roaming the room, and on my way in I had a press release from Lapindo Brantas thrust into my hands, informing me that most of the previously reported findings were based on ‘incorrect data’, and that this would be the first time ‘official data’ were presented to the scientific community. It transpired that this was also stretching the truth a bit; as the session unfolded it became apparent that this was more an issue of which data (specifically, which of the various measurements and estimates of borehole pressure) should be used, and how to interpret them. Contrary to their own press office, then, Lapindo Brantas – to their credit – seem to have been quite open about sharing their records with any interested party, even if they might disagree with how it is then used.

    The debate consisted of two talks from the pro-earthquake camp, followed by questions, then two talks from the pro-drilling camp, followed by more questions and a general discussion, ending with a poll of the audience. Below I’m summarising from notes I took during the session; as such, there may be some unintentional inaccuracies.

    First up was Adriano Mazzini, who reviewed his arguments that the eruption was the result of the Yogyakarta earthquake reactivating a pre-existing fault that runs through the area. Main points:

    • There is clear evidence of displacement along this fault after the eruption, and other small mud eruptions also occurred along its trace at the time Lusi erupted. This does indeed signal that this fault acted as a conduit for upwelling fluids.
    • However, the question of what triggered this trigger – the ultimate cause of the fault suddenly becoming an open pathway for mud – is still open. The timing of the fault reactivation is not known, so it could just as easily have been the result of stresses induced by a nearby well blow-out as by an earthquake. In support of the latter, pressure losses in well at the time of the earthquake might indicate that there were measurable stresses being induced in the subsurface, more than is assumed by the pro-drilling camp.
    • Lusi’s eruption has been abnormally lengthy; natural mud volcano eruptions tend to last a few days (and in this respect it seems that Lusi also differs from the other eruptions in the area he talked about, which were further from the borehole). It might be something to do with this being an entirely new system, but it could just as easily be a sign of unnatural influences on the triggering of the eruption.
    • This area of Indonesia is “ideal”, both in terms of prevailing tectonic, structural and lithological conditions, for the formation of mud volcanoes, and the existence of a highly suitable ‘piercement structure’ (the fault) in the area meant that an eruption was only a matter of time. This last point would become important in the later discussion.

    The next speaker, from Lapindo Brantas, was the person who oversaw the borehole, which mades his slightly defensive tone entirely understandable. The talk aimed to use data from the borehole to demonstrate that a blow-out had not occurred.

    • The most important claim was that there was no evidence of the well being connected to Lusi’s plumbing, which you would expect if a well blow-out was the trigger. For example, following the eruption of Lusi they performed an “injection test”, where drilling mud was pumped into the borehole. As they did this, the pressure in the well slowly built up, which can only happen if the well is sealed; if there was a breach in the well, the fluid would escape.
    • The pressure losses at around the time of the earthquake talk prompted the decision to case the unsealed part of the borehole before drilling deeper. As they were puling out the drill string to do so on the 28th May, there was a ‘kick’ in the hole – an increase in pressure due to fluid entering from the surrounding rock. The pressure increase from this kick, and whether it was enough to trigger a blow-out, is one of the major sticking points of this whole argument.
    • The pro-drilling people have published calculations that indicated that it was more than high enough to trigger a blow-out. It was claimed here that these calculations were performed incorrectly, and should give much lower (and safe) pressures. I can’t claim enough expertise to tell if these criticisms were valid or not.
    • Either way, borehole records after the kick are inconsistent with it being the result of a well blow-out.

    The first speaker from the pro-drilling camp, Mark Tingay, gave a very nice presentation which actually addressed the pros and cons of both theories, although he was clear which he favoured.

    • Earthquake reactivation of the fault seems unlikely from the calculated differential shear stresses it induced in the area around Lusi (for more details you can read Maria’s post on this, since she was involved in this study). He had a nice plot to illustrate this point, which I reproduce schematically here.

      lusidebatefig.png

      Basically, the earthquakes which are known to have triggered mud volcanism (green dots) were either larger and/or closer to the induced eruptions than Lusi was to the Yogyakarta earthquake (big red dot), and other seismicity in the area prior to the eruption (orange dots) appears to have induced similar, or in some cases greater, differential stresses. There is of course a lot of uncertainty about how strong the fault was (how large a differential stress you need to cause it to fail), but the point is that there was nothing special about the May 27th earthquake in terms of the force it exerted in the area.

    • The apparent disconnection of the well from Lusi could be due to the lower part being sealed off due to it being blocked by rock fragments from the blow-out (which is apparently quite common), or shearing.
    • The evidence following the kick is “unclear”, but the stresses that it induced were an order of magnitude larger than those due to the earthquake
    • This was a problematic hole, with lots of pressure losses and kicks, and the ‘drilling window’ – the range of pressures where the drilling mud will safely just sit there – was very narrow. This was a result of the well design being based on holes drilled through this sequence quite a distance away, where the underlying carbonates were not overpressured. However, in another well very close by, the carbonates were under extremely high pressure, and they almost lost that well to a blow-out when they hit them. By not taking this into account, it would have been nearly impossible to stop a blow-out following the kick.
    • There is a series of linear surface fractures leading between the well and the Lusi vent, which have not erupted any mud but are an indication of sub-surface fracturing.

    The final presentation was by Richard Davies, the person whose paper implicating the drilling kicked off my interest in this subject.

    • This talk was a review of the events in the well leading up to the Lusi eruption. It was a very good summary, but most of the points have been covered in my accounts of the previous speakers.
    • However, in the middle of the talk, proving that for every expert there is an equal and opposite expert, another (non Lapindo Brantas) drilling engineer came up to the stage to show us how all the well pressure data was consistent with the initial kick being due to a blow-out (I think that the main argument was that you had pressure losses after the hole was sealed).

    The discussion following the talks emphasised a couple of other points of disagreement, such as the shaking intensity in the Lusi region from the May 27th earthquake: the pro-drillers say I-II, pro-quakers claim IV. Mazzini also argues that the eruption is entirely sourced within the mudstones with the water produced by clay minerals reacting to form illite and water, whereas Davies et al. say that the water is mainly from the underlying carbonates. It is a lot of water, although I guess it would be hard to claim the earthquake would cause the carbonates to breach.

    However, more interesting was that several people picked up on the suggestion that this was clearly a prime area for mud volcano formation, and wondered quite loudly why the hell any drilling was being done there in the first place. To sum up the mood, one questioner complimented the second speaker for standing up there to defend the drilling, when it really should be the geologists who told him to drill there in the first place. It’s a good point; perhaps the focus should be less on the drilling practice on this specific well, because whatever your procedures and safety precautions, accidents can and do happen, and more on well siting decisions in general, particularly decisions to drill in “primed” areas like this one, where the margin for error is rather slim.

    This attitude might explain why in the closing straw poll, more than 50% of the audience was willing to blame the whole mess on the drilling. Only a tiny fraction thought that the earthquake was solely to blame, with roughly equal numbers of the remaining half either thinking it could have been both, or finding it inconclusive either way. In conclusion, it was a very interesting session, and was conducted in a very fair-minded and respectful manner given the contentious nature of the debate.

    Sumber: http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2008/10/aapg_day_2_showdown_at_the_lus.php?

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Conclusive Vote on Cause of Indonesian Mud Volcano

    Professor Richard Davies
    Professor Richard Davies

    A Durham University scientist has played a key role in helping determine the cause of the Java mud volcano, Lusi.

    Two years’ of global public debate over the possible causes of Lusi has finally concluded. A resounding vote of international petroleum geologists from around the globe, including Durham University geologist Professor Richard Davies, concluded the mud volcano was triggered by drilling of a nearby gas exploration well.

    This may have implications for compensation of the local population affected. (more…)

  • TEMPO Interaktif – Pengusutan Hukum Kasus Lapindo Buntu

    "Tanpa itu, hasil konferensi hanya sebagai referensi kita," kata Mulyono,
    kepala seksi penerangan hukum kejaksaan tinggi, di Surabaya kemarin.

    Dalam pertemuan geolog dunia itu mayoritas peserta mengatakan semburan lumpur
    yang sudah berlangsung sejak Mei 2006 tersebut akibat kesalahan pengeboran.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka.
    Namun, sampai saat ini pengusutan hukum kasus semburan lumpur tersebut masih
    menemui jalan buntu.

    Kejaksaan menilai penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur belum sempurna
    meskipun telah empat kali dilimpahkan.

    Kepala Polda Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja beberapa waktu yang
    lalu meminta kejaksaan segera menyatakan sempurna (P-21) atas berkas perkara
    Lapindo.

    "Kasus lumpur terjadi karena kesalahan dan kelalaian. Saya hanya berharap
    kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik
    terang," kata Herman.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, mempertanyakan pemungutan suara dalam
    konferensi di Afrika Selatan itu. “Diskusi ilmiah, yang seharusnya untuk
    mengungkapkan kebenaran ilmiah, namun diakhiri dengan voting, tidak lazim dalam
    forum ilmiah,” kata Yuniwati melalui siaran pers. AQIDA | KUKUH SW | ROHMAN
    TAUFIQ

     

  • KOMPAS – Geolog Dunia Yakin Lumpur Tak Dipicu Gempa

    ”Pemungutan suara diambil setelah empat presentasi dan tanya jawab hingga dua
    setengah jam,” kata ahli pengeboran minyak anggota Drilling Engineers Club (DEC)
    Susila Lusiaga kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/10). Kamis pagi, ia dan
    ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini baru tiba dari
    Cape Town.

    Sejauh ini, hasil pemungutan suara itu menjadi dukungan terbesar bahwa
    semburan lumpur tak terkait gempa. Sebaliknya, terkait pengeboran sumur
    Banjarpanji- 1 (BP-1).

    Sebelumnya, secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil, para geolog
    dan ahli pengeboran menyatakan pengeboranlah pemicu utama, yang dibantah
    geolog-geolog lain. Dua kubu pun tercipta.

    Atas dasar hasil pemungutan suara itu pula, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo
    (GMLL) meminta pemerintah serius menanggapinya. Bahkan, pemerintah didesak
    menjadikan hasil diskusi itu sebagai salah satu bukti penguat kasus gugatan
    hukum terhadap Lapindo Brantas Inc.

    ”Sikap (pemungutan suara) itu jelas dari para pihak independen yang
    meyakinkan dan dapat dipercaya. Itu layak dipertimbangkan,” kata Taufik Basari
    dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, salah satu anggota GMLL.

    Berdasarkan hasil pertemuan di Cape Town, GMLL akan menyurati Presiden.
    Intinya, meminta agar penanganan hukum dan sosial diperbaiki.

    ”Surat akan segera kami kirim dalam waktu dekat,” kata salah satu deklarator
    GMLL Letjen Mar (Purn) Soeharto.

    Dihubungi di Cape Town, geolog yang juga Senior Vice President PT Energi Mega
    Persada Bambang Istadi mengatakan, pemungutan suara tidak mewakili pendapat
    geolog seluruh dunia. Lama presentasi dan diskusi juga terbatas.

    ”Namun, kesempatan itu membuka peluang menentukan kerja sama menentukan
    kejadian sebenarnya,” kata dia. Ia dan Nurrochmat Sawolo, Senior Drilling
    Adviser PT Energi Mega Persada, memaparkan fakta dan data seputar pengeboran
    sumur BP-1 dalam sesi diskusi tersebut.

    Rencananya, lanjut Bambang, Lapindo akan mengadakan forum diskusi tertutup,
    termasuk mengundang geolog Inggris Richard Davies, yang menyatakan pengeboran
    sebagai pemicu semburan, untuk membaca dan menganalisa data serta fakta
    pengeboran. ”Mari saling terbuka, tanpa prasangka. Analisa data dari hasil
    lapangan,” kata dia.

    Penderitaan warga

    Di tengah pembahasan geolog tingkat dunia, London, Inggris, dan Cape Town,
    Afrika Selatan, puluhan ribu warga korban lumpur masih tinggal dalam
    kekhawatiran. ”Warga fokus pada tuntutan yang belum juga dipenuhi,” kata
    pendamping warga, Paring Waluyo.

    Saat ini, tak sedikit warga yang belum menerima ganti rugi 20 persen. Apalagi
    sisa 80 persennya. Kelompok warga yang menerima skema pindah tempat tinggal dan
    kembalian pun, mengeluhkan sistem pengangsuran kembalian.

    ”Semua skema yang dipilih warga untuk ganti rugi, menyisakan kekecewaan
    karena pembayaran tersendat dan itu terus bertambah,” kata Paring. Sementara
    itu, semburan lumpur terus terjadi tanpa solusi lain, selain penanggulangan dan
    mengalirkan ke sungai yang terkendala.

    Pihak Lapindo, hingga awal September 2008, mengaku telah mengucurkan dana Rp
    4,39 triliun untuk berbagai keperluan. (GSA)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01082166/geolog.dunia.yakin.lumpur.tak.dipicu.gempa

     

  • Geologists Blame Gas Drilling for Indonesia Mud Disaster

    img_0641The University of Durham, in northeastern England, said 74 top scientists in petroleum geology debated Lusi at a conference in Cape Town, South Africa on Tuesday.

    Four experts put forward varying hypotheses, including the university’s professor of geology, Richard Davies, it said in a press release.

    Forty-two scientists voted in favour of Davies’ argument that the cause lay with a gas exploration well, Banjar-Panji-1, that was being drilled in the area by oil and gas company Lapindo Brantas, it said. (more…)

  • ANTARA – Kaukus DPR Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Lapindo

    "Wilayah empat desa ini sudah diusulkan dan mendapatkan persetujuan

    DPR
    RI

    tanggal 11 September 2008," kata Suripto yang juga Wakil Ketua Komisi III
    (bidang hukum) DPR itu.

    Menurut politisi PKS itu, kondisi keempat wilayah desa itu sudah sangat tidak
    layak huni lagi akibat dampak lumpur yang menyebabkan sumber-sumber penghidupan
    warga disana seperti sumur dan sawah, tidak dapat digunakan lagi.

    Tidak layaknya daerah tersebut juga dikarenakan munculnya bubble gas baru yang
    tidak terkendali. khususnya di Siring Barat, Mindi dan Jatirejo Barat serta
    penurunan tanah (land subsidience) sehingga banyak bangunan yang retak dan akan
    ambruk.

    Kaukus juga mendesak agar pembayaran pembelian tiga desa, yakni Besuki,
    Kedungcangkring dan Pejarakan yang juga diluar peta terdampak agar dilakukan
    secepatnya paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah berakhir. (*)

     

  • ANTARA – Semburan Lumpur Sidoarjo Diperkirakan Berlangsung 140 Tahunasus Lapindo Butuh Advokasi Internasional

    Dalam konferensi geologi internasional yang berlangsung 21-22 Oktober lalu,
    semua geolog internasional sepakat semburan lumpur Sidoarjo (Lusi), yang
    dikenal sebagai lumpur Lapindo adalah sebuah mud volcano yang biasa muncul
    akibat remobilisasi sedimen dan fluida cekungan bawah tanah.

    Gunung lumpur itu sudah tidak menjadi isu hangat lagi dalam konferensi geologi
    internasional yang berlangsung di Burlington House Piccadilly London. Namun isu
    pemicu terjadinya Mud Volcano menjadi fokus diskusi dalam pertemuan pakar
    geologi dunia itu.

    Beberapa geolog kelas dunia itu bahkan berpendapat, merasa beruntung karena
    bisa menjadi saksi dan mempelajari gunung lumpur raksasa yang sedang lahir dan
    tumbuh.

    Pada kesempatan itu juga dijelaskan bahwa gunung lumpur akibat remobilisasi
    lumpur bawah tanah itu sudah lama menjadi obyek penelitian ilmuwan global. Ilmuwan
    Eric Deville dari Perancis dalam membe
    rikan
    ceramah utamanya mengatakan, "mud volcano adalah sebuah sistem bumi agar
    lestari".

    Puncak sesi diskusi mengenai Lusi ketika Dr. Richard Davies dan ketiga temannya
    menyatakan bahwa semburan Lumpur Sidoarjo adalah akibat pemboran (drilling) BJP
    I.

    Namun peserta seminar Dr. Nurrohmat Sawolo ahli drilling dari PT Energi Mega
    Persada (EMP) langsung menepis hipotesa tersebut. Karena semua data yang
    dijadikan dasar penyimpulan Davies sangat beda dengan data drilling otentik
    yang dimiliki Lapindo. Padahal data versi Lapindo itu asli dan menjadi pegangan
    kepolisian dan kejaksaan RI dalam penyidikan kasus Lusi, katanya.

    Pembicara dari

    Indonesia
    ,
    Bambang Istadi menyimpulkan bahwa semburan Lusi bukan disebabkan oleh "underground
    blowout". "Dasarnya ada empat fakta berdasar data autentik
    Lapindo," jelasnya. Pertama, data rekaman tes temperatur dan sonan selama
    50 hari terhadap sumur BJP I menunjukan hasil menolak fenomena blowout. Fakta
    kedua tidak ada luberan, gas, steam, ataupun lumpur keluar dari Sumur BJP
    ketika dibuka.

    Fakta ketiganya adalah melalui re-entry diketahui mata bor tidak jatuh walau
    semburan yang berjarak 200 meter dari sumut BJP itu sudah berlangsung satu
    setengah bulan. Bila terjadi underground blowout pasti mata bor itu jatuh
    karena material lumpur yang keluar sudah jutaan ton.

    Fakta keempat tidak ditemukan "synthetic oil based drilling" dalam
    tes di berbagai titik survey semburan. "Semua fakta menunjukan sumur BJP
    masih sehat dan tidak terkoneksi dengan semburan," jelasnya.

    Peserta conference Dr. Christopher Jackson dari Imperial College London
    menyarankan solusi. "Harus segera ada kerjasama dan sharing data agar
    penyimpulan pemicu semburan Lusi menjadi benar," ujarnya.

    Sejak awal peserta geolog internasional yang datang dari Ame
    rika, Kanada, Perancis, Italy, Norwegia, Australia,
    German, Turki, Namibia, dan penjuru Inggris, Wales dan Skotlandia dalam
    konferensi ini sepakat bahwa Lusi sebuah mud volcano sebagai produk
    remobilisasi sedimen dan aliran fluida diwilayah cekungan bumi yang lemah.
    Karena itu semburan Lusi tidak bisa ditutup. (*)

     

  • Mud Victims Spooked by Own Ghost Towns

    PROLONGED MAKESHIFT LIFE: For nearly a year, 80-year-old mudflow victim Muana has lived in a makeshift hut erected along the defunct Porong toll road in Sidoarjo, East Java, beset by searing heat and numbing cold alternately, and hoping for a better life in the near future. She has urged the government to come up with the best solution for mudflow victims from the affected villages located outside the official map of affected areas. (JP/Indra Harsaputra)
    PROLONGED MAKESHIFT LIFE: For nearly a year, 80-year-old mudflow victim Muana has lived in a makeshift hut erected along the defunct Porong toll road in Sidoarjo, East Java, beset by searing heat and numbing cold alternately, and hoping for a better life in the near future. She has urged the government to come up with the best solution for mudflow victims from the affected villages located outside the official map of affected areas. (JP/Indra Harsaputra)

    Hundreds of houses in three villages were inundated with mud in Sidoardjo in February, and thousands of people were displaced from their homes, forcing them to live in makeshift tents erected along an abandoned toll road.

    While the sturdier structures in the three villages — Besuki, Kedung Cangkring and Renokenongo — were left inundated with mud and are now homes to various animals, the wooden houses were merely turned into rubble.

    “Most residents no longer have the courage to enter the ghost-like houses. We have left them to serve as silent witnesses to the disaster that has devastated not only our assets but also our community and future,” 54-year-old Paimin of Besuki told The Jakarta Post here Saturday.

    Another resident, 80-year old Muana, said that for the past eight months her family had lived without possessions and without hope.

    “I rely on my two children and their three grandchildren who are now staying with me in this bamboo hut,” she said.

    Muana’s 40-year-old daughter Munifah and 35-year-old son Ismael and their families have been living in the four meter by six meter hut since the mudflow submerged their makeshift houses in Besuki.

    They have made their livings as street vendors at a nearby housing compound ever since Lapindo Brantas Inc., an energy company that operates the mining site in Porong district that triggered the devastation, stopped distributing humanitarian aid last May.

    “We were hopeless and desperate when our aging mother contracted diarrhea. We had to borrow some money from neighbors so we could take her to a doctor at the nearby public health center,” said Munifah, who looks far older than her eight years.

    She said many people, including her mother, had contracted diarrhea after consuming water from ground wells that had been contaminated by toxic mud.

    Ismael said the village’s residents had received nothing from the government or Lapindo despite promises of immediate compensation for mudflow victims made by BPLS, the government agency tasked with handling the disaster.

    “BPLS and the village head have frequently come here to make sure that the government will pay the compensation soon but so far we have been given empty promises,” he said.

    Many people claiming they are refugees, he said, have filed complaints with BPLS and the local administration. They attempted to stage a protest against Lapindo, he said, but the company’s middlemen thwarted the attempt.

    He said the damage to his house and farmland had been assessed by the local government, and that he and all of the other village residents had been informed of the amount of compensation they were due, but that they had never received it.

    “We are not beggars but we have been left without answers. The government should have paid the compensation 14 days after the deal (on compensation payment) was signed,” he said, adding that the deal was signed in early August.

    Besuki, Kedung Cangkring and Renokenongo are among nine villages that were devastated by the February mudflow.

    Four villages were destroyed by a mudflow that hit on May 29, 2006, creating a giant lake of mud.

    Some of the residents of the four villages received 20 percent of the compensation promised to them. They continue to demand the remaining 80 percent.

    Some of the 600 residents of Renokenongo village currently living in makeshift shelters inside Porong market said they were disappointed Lapindo had broken its promise to pay the compensation last month.

    “Lapindo committed to paying the compensation once it had finished assessing the residents’ damaged assets in mid September. Yet, they have given no reasons for why the payments have been suspended,” said Pitanto, coordinator of the Renokenongo mudflow victims association.

    Pitanto also called on non-governmental and religious organizations to help encourage Lapindo and the government to immediately pay the compensation to the mudflow victims.

    BPLS spokesman Zulkarnaen said the government would disburse Rp 160 billion immediately to pay 20 percent of the total compensation to the residents of the three villages located outside the disaster location.

    “The compensation will be paid immediately to 1,481 victims from the three villages,” he said, but declined to name a date for the payment.

    Indra Harsaputra, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/20/mud-victims-spooked-own-ghost-towns.html

  • Victims Refuse to Sell Muddy Land to Lapindo

    Some 69 families in the East Java villages of Jatirejo, Siring and Renokenongo are standing their ground, refusing to sell their land as part of the compensation plan proposed by the energy company being held responsible for the mudflow disaster.

    “If we accept the proposal the company is offering, it will amount to turning our land into cash, but in principle that’s not what we want to do,” Ipung, a spokesperson for the villagers, told The Jakarta Post.

    Some 69 families in the East Java villages of Jatirejo, Siring and Renokenongo are standing their ground, refusing to sell their land as part of the compensation plan proposed by the energy company being held responsible for the mudflow disaster.

    “If we accept the proposal the company is offering, it will amount to turning our land into cash, but in principle that’s not what we want to do,” Ipung, a spokesperson for the villagers, told The Jakarta Post.

    Lapindo Brantas Ltd., a giant energy company belonging to the Bakrie family, has proposed compensation for the residents.

    “This land belonged to our ancestors and our ancestors entrusted it to us,” said Ipung, who was born in the village of Jatirejo.

    Jatirejo, Siring, and Renokenongo are three of seven villages affected by the Lapindo mudflow disaster which began when mud gushing from a mining site in Porong district, Sidoarjo regency, May 29, 2006.

    Initially, the four villages of West Siring, Jatirejo, Mindi, and Renokenongo were inundated. In February this year, three more villages, Besuki, Kedungcangkring and Pejarakan were likewise buried in hot mud that sprang out of new, adjacent leaks.

    In a matter of days, the Porong district villages, near the East Java capital of Surabaya, were wiped from the map. Since then, disaster victims have organized themselves into several forums to advocate for their rights.

    Ipung said his group of 69 families still refused to take any compensation offered by Lapindo.

    “They tried to first intimidate us then bribe us so we would take the compensation and sell our land.”

    He said further he was once visited by a stranger armed with a pistol and offered a bribe to stop encouraging other residents to decline Lapindo’s compensation offer. Despite his efforts, most disaster victims have accepted the initial compensation from the company, including some Jatirejo villagers.

    According to the two-phased offer, Lapindo paid out 20 percent of the full compensation in advance to all residents. Those with deeds were supposed to receive the remaining 80 percent in cash by June 2008; those without, should have received an offer of housing.

    However, Lapindo switched the second cash disbursement for titled victims with a new offer of existing housing in the Kahuripan Nirvana Village housing complex located in the Surabaya outskirts.

    Lapindo was supposed to pay the 80 percent in the form of land and housing only to people without land deeds.

    Some victims have rejected the offer because they feel living in a housing complex would disrupt their culture and traditions. “A housing complex doesn’t suit us because we used to live in the village far from the city and we depend on vast areas of land for our farming,” said Pitanto, a leader of the Renokenongo mudflow-victim group.

    The villagers have instead demanded Lapindo compensate them with land and housing of the same value that they lost, not with cash.

    “We ended up accepting the worst possible compensation scheme because of the pressure of trying to make ends meet,” Pitanto said.

    The compensation process is expected to be completed by the end of this year. Most of the mudflow victims hope either Lapindo or the government will pay the compensation soon so they can use it to buy land, rebuild their villages and start all over again.

    Faisal Maliki BaskoroThe Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/13/victims-refuse-sell-muddy-land-lapindo.html

  • Mudflow Families Celebrate Idul Fitri in Makeshift Huts

    For Supardi, the recent Idul Fitri celebrations were vastly different to previous years as his village struggled to rebuild after a devastating mudflow struck in February this year.

    As neighborhood head of Besuki village, Supardi and his fellow villagers celebrated Idul Fitri in emergency tents and makeshift houses after their homes and farmland were destroyed in the disaster.

    For Supardi, the recent Idul Fitri celebrations were vastly different to previous years as his village struggled to rebuild after a devastating mudflow struck in February this year.

    As neighborhood head of Besuki village, Supardi and his fellow villagers celebrated Idul Fitri in emergency tents and makeshift houses after their homes and farmland were destroyed in the disaster.

    “We tried to celebrate Idul Fitri as we had in past years, but it’s not the same because we have been expelled from our own homes and deprived of our rights for fair compensation and humane treatment,” Supardi said.

    Despite the poor conditions, Supardi said he was still positive because the disaster had drawn the community together in survival throughout the economic hardship.

    Residents displayed their unity by agreeing to perform the Ied prayer at the damaged village mosque, and by greeting each other according to the Sillaturahmi Islamic family tradition.

    Sillaturahmi is a tradition practiced every Idul Fitri where Muslim families go from door to door visiting their relatives and neighbors, asking for forgiveness by kissing and shaking hands.

    “We used to take two to three days going on Sillaturahmi in our village, but this time it only took a couple of hours because we live right next to each other,” Supardi said.

    Tears were shed at the Sillaturahmi ritual as residents shook hands and comforted each other, asking for pardon.

    Mudflow and gas bubbles inundated Besuki and two other nearby villages, Pejarakan and Kedungcangkrin, earlier this year, rendering them uninhabitable.

    Despite the presidential decree for compensation payment issued in August, residents are yet to receive any funding or humanitarian aid from the government. The major energy company held responsible for the disaster, Lapindo Brantas Inc., is also yet to distribute any compensation.

    The disaster, which buried four villages and hundreds of hectares of farmland, was triggered by hot mud leaks from the company’s mining site since May 29, 2006.

    Following the February nightmare, which submerged hundreds of homes, many people have left their temporary shelters to build huts on their damaged farmland in the village after having difficulties adjusting to their new environment and making money to survive the economic hardship.

    “We have been living together for years, living separately in a new environment feels awkward,” Supardi added.

    Now, the 250 Besuki residents have been living together in makeshift houses along the damaged Porong toll road and planned to stay there until the government or Lapindo pay for the compensation.

    According to the 2008 presidential decree, the mudflow victims in Besuki, Pejarakan and Kedungcangkring villages are entitled to fair compensation from the state budget but so far they have received only a Rp 2.5 million in advance payment to allow them to rent a house for two years while waiting for their resettlement into nearby villages and the payment of the remaining 80 percent compensation.

    “We don’t know the location of the new settlement designated for us yet, but what really matters for all of us is to be together again in one village and just try to start all over again,” Supardi said.

    Faisal Maliki Baskoro,  The Jakarta Post, Sidoarjo

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/13/mudflow-families-celebrate-idul-fitri-makeshift-huts.html

  • Indonesia’s One-Man Wrecking Crew

    Friday, 10 October 2008, written by Our Correspondent

    The Jakarta Stock Exchange remains closed after Bakrie Group companies are suspended from trading amid allegations of irregularities Indonesia’s billionaire Chief Welfare Minister Aburizal Bakrie, whose companies are already being held responsible for the biggest man-made environmental disaster in Indonesian history, is now in trouble for playing a major role in wrecking the country’s stock market, which has been closed for three days.

    The Jakarta Stock Exchange remains closed after Bakrie Group companies are suspended from trading amid allegations of irregularities

    Indonesia’s billionaire Chief Welfare Minister Aburizal Bakrie, whose companies are already being held responsible for the biggest man-made environmental disaster in Indonesian history, is now in trouble for playing a major role in wrecking the country’s stock market, which has been closed for three days.

    Six companies controlled by the powerful Bakrie Group were suspended from trading Tuesday on the Indonesia Stock Exchange in the wake of wild gyrations in prices that drove the group’s shares down by 30 percent.

    The exchange has ordered a probe into trading of the shares, with traders and analysts openly saying the stocks had been manipulated to drive up their price. Lenders to the Bakrie Group, wary after being burnt the first time his empire collapsed after the 1997 Asian financial crisis, are believed to have sought his family companies’ stock as collateral. The stock comes with stringent conditions and bankers worry that some loan covenants may be triggered if the stock remains untradeable. The group has not disclosed what the conditions of group loans are.

    Given Bakrie’s political clout and the fact that his companies have routinely escaped scrutiny by government officials, it is questionable how far the investigation will go. However, the disastrous blowout of a Bakrie-controlled gas well two years ago and the environmental damage it did, plus other problems, may have made him less than welcome in the cabinet of President Susilo Bambang Yudhoyono, who has made reducing corruption a major goal of his administration. The country’s indefatigable Corruption Eradication Commission has been arresting politicians right and left.

    The exchange’s benchmark composite index plummeted more than 21 percent this week, the biggest three-day fall in 20 years as major foreign investors pulled back from emerging markets, and particularly those as dicey as Indonesia’s. The Jakarta Stock Exchange was Asia’s worst-performing market before exchange president Erry Firmansyah shut it Wednesday. There was hope that it would reopen on Friday, but Firmansyah told reporters it would remain closed to give investors a chance to “calm down before they make decisions.”

    While suspicion has focused on the Bakrie-owned PT Bumi Resources Tbk, the country’s largest coal miner, it has also shone a spotlight on the Jakarta Stock Exchange as well, which has often been likened to a gaming casino rather than a rational market, with rampant insider trading and traders taking control of blocks of stock in so-called “pump and dump” pyramid selling games between them to drive up the price and draw in retail investors. A classic game is to drive up the price of a stock by selling it between each other until enough unsuspecting investors have been drawn in, then to sell and get out, watching the price drop precipitately.

    PT Agis Tbk, a general trading and electronics company, is a case in point. In June of 2007, Agis was responsible for the collapse of the composite index when 20 brokerages defaulted on trades in the company’s shares worth Rp23 billion. Agis’s share price had risen from Rp300 to Rp4,000 in less than six months before plummeting.

    Similarly, PT Bumi Resources was the focus of hyperactive trading during the runup in commodity prices earlier this year.

    “Among these six companies under the Bakrie Group banner, Bumi Resources is the prima donna,” Sugianto, a market trader with BNI Securities, told local media. Sugianto noted that trading in Bumi Resources accounted for almost 30 percent of the movement in the index every month.

    Although in June soaring coal prices pushed Bumi up to make it the largest capitalized company on the exchange, its shares have plunged 75 percent since hitting a record high of Rp8,750 on June 10.

    Bayburs Alfaris, an independent market analyst, said trading in Bumi was dominated by so-called “market makers,” who are able to drive prices up or down. “It was the market makers who drove Bumi’s stock price on the exchange,” Alfaris said, calling the stock a “beautiful play” during its heyday.

    Bumi was trading at Rp950 on January 2 before it began its exponential, almost ten-fold rise. Apart from the uptrend in commodity prices, Alfaris said, the increase in Bumi’s stock price helped it succeed in its bid to acquire Australia-listed Herald Resources Ltd.

    Herald’s main asset is its 80 percent interest in the undeveloped Dairi lead and zinc mine, which is awaiting a permit before construction work can start. The Indonesian state-controlled nickel producer PT Aneka Tambang Tbk owns the other 20 percent.

    Both Alfaris and Sugianto said they are suspicious about the trading in Bumi stock movements, although they caution that it appeared to have been done within market rules.

    “What we see is that the market makers maintained the movement of prices within the range permitted by the market rules,” Alfaris said. “While it appeared to be real, in reality it was all artificial.”

    “Bakrie Group stocks have always been the target of speculators,” Sugianto said. “They are very risky for serious investors.” He added that Bumi’s stock would likely fall further once trading resumed. “Margin calls will put additional pressure on Bumi’s stock price,” he said.

    Alfaris noted persistent market reports that parent company PT Bakrie & Brothers had defaulted on recent stock-related debts, another factor pushing sentiment down. A briefing by Bakrie that had been planned for Thursday has been rescheduled to next week.

    The Bakrie family, one of Indonesia’s richest, has continued to escape regulatory scrutiny by government officials despite a litany of complaints. The biggest came in May of 2006, when a gas well being drilled near Surabaya by Lapindo Brantas, a subsidiary of the Bakrie family-owned Energi Mega Perseda, blew out into a mud volcano that so far has drowned more than 14,000 homes, 33 schools, 65 mosques, a major toll road and an orphanage and continues to produce more than 20 Olympic swimming pools of stinking mud every day. Lapindo so far has agreed to pay out Rp4 trillion rupiah in compensation to villagers who have lost their homes.

    Asia Sentinel reported on September 22 that mud and gas have continued erupting ever since, defying all efforts to stop it and inundating a vast area of Surabaya. Hundreds have been sent to hospitals with breathing difficulties. Scores of factories have heen closed, at least 90 hectares of paddy fields were ruined and fish farms have been destroyed.

    Nonetheless, Indonesia’s Environment Ministry in September gave the company a green citation for complying with environmental standards. The award prompted embarrassment from officials and was soundly denounced by environmentalists.

    Despite Lapindo’s claim of faultlessness, it is paying Rp4 trillion (US$437 million) in compensation to villagers who lost their homes to the mudflow. Most people seem to have received 20 percent of their payment but they are still waiting on the rest.

    (c) Asia Sentinel

  • Pembuangan Lumpur Lapindo Ke Laut Tak Menyelesaikan Masalah

    korbanlumpur.info – Kalangan pemerhati lingkungan dan banyak pihak menolak rencana pemerintah yang berencana mengalirkan lumpur Lapindo ke laut melaui kanal buatan. Seperti dalam pertemuan dengan Ketua Tim Ad Hoc Pelanggaran HAM lumpur Lapindo, Syafrudin Ngulma Simeulue di ruang pleno Komnas HAM hari ini (17/9).

    Seperti diketahui, pemerintah berencana membuang langsung lumpur Lapindo ke laut tanpa melalui Kali Porong setelah meyakini lumpur Lapindo tak bisa dihentikan. rencananya akan dibuat kanal selebar 200 meter dengan ketinggian kanal 15 meter yang panjangnya  14,6 kilometer.

    Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Berry Nahdian Furqan mengatakan pembuangan lumpur Lapindo itu akan membuat paparan lumpur akan semakin meluas. “Selat madura itu arus lautnya bergerak,  jadi lumpur akan menyebar ke daerah yang lebih luas. Ini harus ditolak,” kata dia. Jika pemerintah masih memaksa pembuangan itu, menurutnya Pemerintah sudah bisa dikategorikan sebagai penjahat lingkungan. Karena upaya pemerintah itu akan merusak lingkungan.

    Sementara sudut pandang lain dikemukakan Mustiko Saleh. Menurut ahli pengeboran yang mantan wakil Direktur Pertamina ini langkah pemerintah itu adalah usaha yang mubazir, alias sia-sia. Sebab menurut dia lumpur lapindo itu bukan lumpur homogen, melainkan campuran air dan partikel yang digerus dari dalam bumi. “Air dan partikel itu akan pisah, jadi airnya akan mengalir dan partikelnya akan mengendap. Coba lihat Sungai Porong, endapannya itu tidak terbawa air,” ungkapnya. Ia menambahkan kalau di Kali Porong saja lumpur tidak jalan apalagi di kanal yang tidak punya air.

    Mustiko juga menjelaskan usaha pemerintah itu tidak menyelesaikan masalah, selama sumber lumpur tidak ditutup. Menurutnya ada tiga alternatif yang bisa untuk menutup lumpur yaitu penyuntikan lumpur berat, mengeluarkan air dan meledakkan lapisan tanah. “Berdasarkan pengalaman saya dan temen-teman di Drilling Engineer Club, semburan seperti ini bisa ditutup,” ujar dia. Ia juga menyesalkan pernyataan pemerintah yang mengatakan lumpur Lapindo sudah tak dapat diatasi. [navy]