Author: catur

  • Lapindo Refugees Pray at Mudflow Site

    TempoInteractive, Jakarta – Hundreds of Lapindo mudflow refugees held Idul Fitri prayer at the site of the mudlow in Sidoarjo, East Java on Wednesday. The refugees picked one site for their prayer in Ketapang Keres village cancelling the two previous locations within the mud flooded area prepared the day before.

    Hundreds of Lapindo mudflow refugees held Idul Fitri prayer at the site of the mudlow in Sidoarjo, East Java on Wednesday. The refugees picked one site for their prayer in Ketapang Keres village cancelling the two previous locations within the mud flooded area prepared the day before.

    A legislator Ario Widjanarko told reporters after the prayer that the house will monitor the compensation for the remaining mudflow refugees who have not receive the pay off. A member of the Indonesian Human Rights Commission also joined the prayer at the mudlake area.

    Refugees held an annual visit to the grave of their relatives, a tradition which follows Ramadan and Idul Fitri in some places or groups in Indonesia, and the areas where their properties were.

    The mudflow in Porong subregency spurred in 2006 at one of the exploration site of the Lapindo Brantas mining company in the region.

    More than 10.000 residence were forced to leave their land as the mud form a 2,5 square miles lake which drowned everything in the area. The mudflow is still continuing.

    Rohman Taufiq

    © Tempo Interactive

  • Lapindo Victims Cry For Cash Aid

    SIDOARJO TEARS: Mariati, 43, (right) a victim of the Lapindo mudflow in Porong, Sidoarjo, cries after conducting Ied prayers next to a hot mud retention dam on Wednesday. Mariati said her father died from deep depression that resulted from the disaster which had devastated their house and farmland. (JP/Indra Harsaputra)

    The Jakarta Post, Sidoarjo – Mariati, 43, (right) a victim of the Lapindo mudflow in Porong, Sidoarjo, cries after conducting Ied prayers next to a hot mud retention dam on Wednesday. Mariati said her father died from deep depression that resulted from the disaster which had devastated their house and farmland.

    Thousands of mudflow victims in Sidoarjo, East Java, said their Ied prayer for Idul Fitri by the hot mud that covers their assets and culture, their hopes of soon receiving more cash compensation fading fast.

    All the attendees, wearing Islamic attire, said their Ied prayer while facing the vast pool of mud — still spewing out hot liquid and odorous gases — under which their houses, land and dead relatives are buried, never to be seen again.

    This was the third time the mudflow victims performed their Ied prayer on the raised round dikes since the mud first began to flow from the mining site of energy company Lapindo Brantas Ltd on May 29, 2006.

    “Right from the beginning, Lapindo has done nothing, by either thought or donation, to help us with a house of worship. Even worse, the mudflow has submerged a mosque built by residents of the four devastated villages,” Muhayatin, 38, a former resident of the submerged village of Renokenongo, told The Jakarta Post after the prayer on Wednesday.

    “All we have — the social community and the culture built over many generations — has been submerged below the drying mud.”

    She said they had decided to perform the Ied prayer at the disaster site not only to honor their emotional connection to their lost community and dead relatives, but also as a reminder they had not received the remaining 80 percent compensation that should have been paid last month.

    She admitted she had received Rp 42 million (US$4500) in compensation — 20 percent of the total — for her home and land. But that was two years ago, she said, and she had no more money to pay the rent, support her family and finance her four children’s education.

    “We are praying here not to celebrate our victory over the monthlong fast, but to recall our lost community and our two years of pain in exile,” she said.

    “We are now strangers in our new environment after living in poverty for two years with no certainty about the payment of the remaining 80 percent compensation.”

    The community that had been lost was one major asset that no amount of money could compensate for, she added.

    Muhayatin, formerly a worker in a factory also destroyed by the mud, has no job now. Her husband has to work as a parking attendant near the mud, with a monthly income of about Rp 300,000 per month.

    “This sum is not enough to meet our daily basic needs,” she said.

    Another local, Mariati, who looked sad as she recalled the disaster, said she was thinking of her father Muntari, who died aged 75 in a deep depression over his house and other assets that were buried by the mudflow.

    “I have no more tears. Lapindo and the government should not make me cry again over the suspended payment of the remaining compensation,” she said.

    Lapindo spokeswoman Yuniwati Teryana said her company would pay the remaining compensation as soon as possible.

    “We are appealing to mudflow victims to be patient. We will pay the compensation as stipulated by the 2007 presidential regulation,” she said.

    Lapindo has so far paid Rp 660 billion for the 20 percent compensation, Rp 719.3 billion for a resettlement program and Rp 169 billion for cash-and-carry settlement. An estimated Rp 5.6 trillion will be need to pay the remaining 80 percent compensation.

    Indra Harsaputra and ID Nugroho

    Sumber: The Jakarta Post

  • Bisnis Para Korban Lumpur Lapindo

    korbanlumpur.info  – Terik sekali siang itu, Sunaji (35 tahun) mengumpulkan bata-bata yang masih utuh diantara pepuingan rumahnya di RT 13 RW 03 Renokenongo. Anak pertamanya Arif Baliyah (kelas enam Sekolah Dasar) bermain-main tak jauh darinya.

    Tanah di desanya ambles sedalam satu meter lebih setelah dua tahun lebih isi bumi keluar akibat kegagalan pengeboran gas yang dilakukan PT Lapindo Brantas Inc. Akibatnya, sedikit demi sedikit rumah-rumah di Renokenongo runtuh.

    Untuk rumahnya Sunaji berpacu dengan lumpur, pilihannya sederhana; menunggu rumahnya dirobohkan lumpur atau dia robohkan duluan. Kalau dirobohkan lumpur jelas dia tak dapat apa-apa, kalau dia yang merobohkan dia masih bisa memanfaatkan sisa genteng, batu-batu, kusen-kusen pintu, besi-besi bekas yang semuanya laku dijual.

    Meski sederhana pilihannya, Sunaji, lama memikirkan hal ini. Baru setelah dia kepepet karena dua tahun tak juga dapat uang pengganti rumah dan tanahnya dari Lapindo. Dia lalu merobohkan rumahnya.

    Untuk kesekian kalinya Lapindo berjanji untuk membayar uang muka 20 persen sesuai dengan peraturan presiden. Janji terakhir Lapindo hendak membayar tanggal 26 bulan depan namun karena beberapa kali diingkari Sunaji tak berharap banyak.

    Mboten tepat, bolan-baleni, semayan terus, tidak tepat, diulang-ulang, mengulur waktu terus,” tutur Sunaji dan matanya mulai berkaca-kaca. “Kudu nangis koyo ngene, ingin menangis kayak gini,” tutur Sunaji.

    Pemerintah baik di Sidoarjo, Surabaya ataupun di Jakarta tahu Lapindo yang sering ingkar janji namun mereka tak ambil pusing dengan keluhan warga-warga macam Sunaji.

    Menjelang lebaran dan biaya hidup yang meningkat Sunaji menurunkan derajat pekerjaannya. Dulu dia tukang bangunan sekarang dia tukang merubuhkan bangunan. Dari bangunan yang dia rubuhkan dia menjual batu, bata dan besi bekas untuk dijual.

    “Bata (bekas) 150.000 Rupiah /seribu, besi 120 rupiah/kilo,” jelas Sunaji.

    Sutrisno alias Bagong warga Renokenongo yang lain juga mengalami nasib yang sama, yakni; menjadi pengepul bata bekas.

    Luapan lumpur punya siksaan tersendiri bagi Sutrisno. Tiga hari setelah lumpur meluap, tepatnya tanggal 2 Juni 2006, Gamtina, istrinya melahirkan keduanya di pengunsian di balai desa Renokenongo. Untuk mengenang duka ini, Sutrisno menamakan anaknya Alfindo Muhammad Khoiru Zakki.

    Rumah Sutrisno sudah remuk diterjang lumpur saat itu dan istrinya nggak bisa bekerja. Usaha kerajinan perak rumahannya juga ikut hilang bersama rumahnya yang roboh. Lapindo memberi ganti gaji untuk karyawan perusahan besar namun usaha rumahan macam yang dipunyai Sutrisno tak dapat ganti apapun.

    Setelah lama menganggur dia lalu memutuskan mengumpulkan bata, batu, besi bekas dan menjualnya.

    Desa Renokenongo terletak dekat jalan tol Porong-Gempol dan sekarang mati. Desa-desa korban lumpur Lapindo lainnya yang dekat dengan akses jalan raya Surabaya-Malang macam Siring, Jati rejo, Kedungbendo juga menyisakan duka tersendiri bagi warga yang juga tak segera mendapatkan ganti rugi.

    Karena dekat jalan raya banyak orang yang penasaran dengan lumpur Lapindo mengunjugi lumpur dari pintu tiga desa itu dan yang paling rame di Siring dan Jatirejo. Ini jadi mata pencaharian tersendiri bagi mereka. Mereka yang kehilangan pekerjaan lalu menawarkan jasa ojek untuk mengantarkan pengunjung mengelilingi tanggul lumpur.

    Penghasilan mereka maksimal 50 ribu Rupiah perhari. Ini bukan mengada-ada dan pengen dikasihani. Mereka benar-benar kehilangan pekerjaan dan kalau ada pekerjaan lain mereka juga tak ingin menjadi ojek tanggul.

    Ahmad Novik, warga Jatirejo, salah satunya, dia dulu pernah menjadi ojek tanggul tapi setelah mendapat pekerjaan di toko kaca dia tak lagi mengojek.

    “Sedikit-sedikit punya penghasilan, jadi nggak enak sama yang tidak punya pekerjaan sama sekali,” tutur Novik. Jumlah pengojek ini lebih dari 200 di lokasi pintu Siring saja.

    Warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong, yang belum mendapat ganti rugi, juga punya cara sendiri untuk melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan yang meningkat menjelang lebaran. Ada yang berjualan rujak macam Sapi’iyah (45 tahun) di lokasi pengungsian.

    “Ya, cukuplah untuk nambah biaya beli bumbu, sak piro seh koyone bakul rujak. berapa sih penghasilan pedagang rujak?” tutur Rustam suami Mak Pik, sapaan akrab Sapi’iyah. “Paling dapat seratus ribu, itu juga dua hari” terang Mak Pik. Untuk 100 ribu rupiah yang dia dapatkan Mak Pik mengeluarkan 75 ribu rupiah untuk modal.

    “Kalau saya punya sedikit, itu juga terus diambil sedikit-sedikit, ada juga beberapa barang yang sudah dijual, tapi yang lain lebih kasihan ada yang sampai harus hutang buat hidup sehari-hari” pungkas Rustam sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

    Warga Besuki yang mengungsi di Tol Porong-Gempol punya kesulitan hidup sendiri. Warga Besuki terkena dampak lumpur belakangan, tepatnya sejak Febuari 2008, setelah tanggul titik 40 km jebol. Menurut peraturan presiden 48/2008, tanah, bangunan, dan sawah mereka akan dibeli oleh negara dengan uang APBN.

    Namun hingga kini realisasi kosong mlompong.

    Warga Besuki yang tak hanya kehilangan rumah dan sawah mereka tapi juga pekerjaan. Salah satunya Mashudi, usaha rokok yang dimilikinya gulung tikar akibat lumpur. Perusahaannya bernama HD Bersaudara Jaya dan memiliki 25 karyawan.

    “Kebanyakan warga besuk,” tutur Mashudi.

    Marsudi memindahkan usahanya di tempat lain namun tak selancar ditempat sebelumnya di desa Besuki yang terkena lumpur. Akibatnya, dia terpaksa mengurangi pekerja untuk menyelamatkan usahanya.

    Yang terkena dampak paling pahit adalah karyawan-karyawan yang dipecat ini. Mereka mengatasi kesulitan mereka sendiri dengan mengemis di sepanjang jalan tol atau jadi tukang parkir.

    Namun kegiatan meminta-minta ini dilarang oleh fihak kepolisian Sidoarjo. “Tidak boleh minta-minta,” tutur Andi Suyatno, pemuda Besuki berusia 20 tahun, “Polres datang ke sini, mungkin mereka malu,” lanjutnya. [mam/re]

  • Pipa Petrokimia Meledak, Warga Permisan Protes

    korbanlumpur.info – Sabtu (09/27) pukul 04.00 WIB dini hari, warga Desa Permisan, Kecamatan Jabon, dikejutkan sebuah ledakan keras. Ledakan tersebut membuat warga panik. Suara ledakan semacam itu mengingatkan warga pada ledakan pipa gas Pertamina pada 22 November 2006, yang menyebabkan sedikitnya 14 orang tewas, dan tanggul penahan lumpur jebol. Warga Permisan kian heboh begitu menyadari sumber ledakan berasal dari pipa yang dipasang oleh PT Petrokimia.

    M. Basri, Ketua RT 06 / RW 02, menyatakan ledakan itu terdengar hingga ujung Desa Permisan yang bisa mencapai jarak 3 kilometer. “Kencang sekali ledakannya. Sampai semua warga datang ke sini. Warga ini masih trauma dengan lumpur. Eh, sekarang ada ledakan begini.”

    Pemasangan pipa ini sendiri juga diwarnai pro dan kontra. Warga merasa sosialisasi yang didapatkan kurang memadai. Mereka resah dengan keberadaan pipa tersebut. Apalagi belum ada jaminan keamanan yang didapat dari proyek pemasangan pipa itu. “Belum ada sosialisasi apa-apa tentang kegiatan hari ini,” sambung Basri.

    Ketika mendatangi lokasi ledakan, warga menyaksikan pipa yang meledak itu mengeluarkan semburan air dan asap pekat. Warga langsung berusaha mendapatkan keterangan dan juga pertanggungjawaban pihak Petrokimia. Para pekerja yang ada di tempat kejadian hanya memberi keterangan, pipa sedang dalam proses pembersihan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.

    Warga langsung meminta para pekerja menghentikan proses pembersihan pipa tersebut dan memanggil pihak Petrokimia yang berwenang guna memberi penjelasan dan pertanggungjawaban. Seratusan lebih warga akhirnya menutup wilayah pengerjaan yang baru saja meledak itu. “Kami akan tutup tempat ini sampai ada kejelasan dari pihak Petrokimia,” tandas Basri.

    Pada pukul 12.00 WIB, warga Desa Permisan dipertemukan dengan pihak Petrokimia. Bertempat di Balai Desa Permisan, pihak Petrokimia yang diwakili Suaji dan pelaksana proyek PT Lagawico yang diwakili Oyek, dengan dimediasi Kepala Desa Suwarno Ichsan dan Kapolsek jabon AKP Satuji, menemui warga.

    Dalam pertemuan itu, perwakilan PT Lagawico menyatakan meminta maaf atas kejadian ledakan tersebut. “Atas nama perusahaan kami mohon maaf. Ledakan itu terjadi karena tekanan yang diberikan untuk proses pembersihan pipa tersumbat kotoran. Kami jamin itu tidak berbahaya.”

    Perwakilan Petrokimia menyatakan hal senada. Proses pembersihan pipa memang bisa menghasilkan ledakan, kata Suaji. Namun Suaji juga mengakui kesalahan karena ledakan itu terjadi waktu dinihari, sehingga bunyi ledakannya sangat mengejutkan warga.

    Tidak puas dengan jawaban tersebut, warga yang didominasi ibu-ibu mulai meneriaki perwakilan perusahaan dan merangsek maju, tapi sama sekali tidak ada aksi kekerasan. Iwan, salah satu perwakilan warga menuntut agar pihak perusahaan menghargai kondisi trauma warga karena ledakan yang terjadi. Apalagi wilayah desa Permisan tidak jauh dari lokasi semburan Lapindo. Perusahaan mestinya mengkaji dengan seksama dan mendalam sebelum bertindak.

    ”Ini baru pembersihan kotoran pihak perusahaan sudah ceroboh. Bagaimana nanti kalau sudah dilewati gas? Ini soal keselamatan jiwa. Tolong itu diperhatikan!” tegas Iwan. Pernyataan ini langsung disambut teriakan kesetujuan warga. Warga mempertanyakan, kenapa harus terjadi ledakan pada waktu subuh.

    Penjelasan saja tidak cukup. Warga juga menuntut ada jaminan keamanan dalam pelaksanaan proyek pemasangan pipa. Selain itu, harus juga kompensasi atas masalah ledakan pipa sebesar 400 ribu rupiah per kepala.

    Pihak Petrokimia tidak bisa memberi jawaban atas tuntutan ini dan hanya berjanji untuk mendatangkan perwakilan yang lebih punya wewenang untuk itu. Pertemuan lanjutan itu direncanakan dilaksanakan Senin (29/09) pukul 13.00.

    Karena belum ada hasil yang memuaskan, warga menyatakan akan menyita aset Petrokimia dan Lagawico yang ada di desa Permisan sampai tercapai kesepakatan tentang kompensasi warga dan jaminan keselamatan. Setelah pertemuan, warga bubar dan kembali ke lokasi ledakan. Mereka lalu menyelubungi peralatan yang ada di sana dengan kain putih bertuliskan: “DISITA WARGA, HARGA PATEN”. [re]

  • Kesehatan Korban Lumpur Lapindo Terabaikan

    korbanlumpur.info – Nur Khaiyya (39 tahun) berbaring di balai bambu ditunggui putrinya Fatimah. Beberapa bulan terakhir penyakit kencing manis dan darah tingginya kian parah. Tangannya kirinya lumpuh dan untuk berjalan saja dia susah.

    Khaiyya seorang korban lumpur Lapindo dari Desa Besuki, Jabon, Sidoarjo. Rumahnya di RT 03/RW 05 tiga kali terkena luapan lumpur yang paling parah pada Minggu sore 9 Febuari lalu, saat tanggul titik KM 40 jebol yang menyebabkan Besuki tergenang air lumpur. Ribuan warga Besuki lalu mengungsi di Tol Porong-Gempol.

    Menurut Peraturan Presiden 14 Tahun 2007, Besuki termasuk wilayah luar peta dan semua akibat semburan lumpur dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Khaiyya sakit darah tinggi sebelum kejadian itu dan penyakitnya kian parah.

    “Kencing manis, darah tinggi, linu, lumpuh, dan perut kanker,” tutur Khaiyya. Tak hanya itu, menurut Dokter Doni, dokter umum yang memeriksanya Khaiyya juga menderita sesak nafas karena penyakit paru-paru.

    “Saya mau periksa di puskesmas tapi kalau pagi tidak ada yang mengantar jadi periksa di dokter umum, tiap periksa saya bayar 25 ribu (Rupiah),” tutur Khaiyya.

    Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang paling banyak diderita pengungsi di tol Porong-Gempol. Menurut catatan pasien Puskesmas Jabon sejak 11 Febuari 2008 jumlah penderita ISPA terus meningkat tiap bulannya mulai 60 pasien, 114 pasien, 131 hingga 164 pasien pada bulan Mei 2008.

    Selain ISPA radang lambung alias maag juga menjadi penyakit yang jumlah pasiennya meningkat terus meningkat. Ketika ditanya soal gangguan kejiwaan para pengungsi, Dokter Djoko Setiyono, dokter puskesmas Jabon, bilang masalah kejiwaan serius belum terlalu tampak, masalah psikologis masih pada tingkat paling rendah yakni gastritis alias maag.

    “(Para pengungsi) makannya tidak teratur, penyakitnya lambung, karena stres, banyak pikiran,” tutur Setiyono.

    Dalam catatan pasien Puskesmas Jabon selama 7 bulan pengungsian sejak Febuari ada dua kasus gangguan kejiwaan serius.

    “Dua pasien kejiwaan ada dua pada bulan Febuari, tapi sakitnya sudah mulai sebelum mengungsi,” jelas Setiyono.

    Kecamatan Jabon hanya ada 3 dokter yang bekerja di Puskesmas Jabon; Dokter Stevanus Idong Djuanda, Dokter Djoko Setiyono, dan Dokter Vita Sofia. Jumlah ini tidak tidak cukup untuk Kecamatan Jabon yang berjumlah 64.000 jiwa. Setelah terjadi bencana Lumpur pemerintah tak juga menambah jumlah tenaga medis.

    “Satu dokter melayani sekitar 15-20 ribu jiwa,” tutur Idong Djuanda.

    Pengungsi memang tidak dipungut biaya pengobatan di Puskesmas ini. Tak ada program khusus untuk menangani kesehatan para pengungsi kecuali hanya dimasukkan dalam program bantuan kesehatan untuk orang miskin alias Jaring Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM).

    “Warga Besuki hanya menunjukkan KTP dan KK saja untuk mendapatkan pelayanan,” tutur Setiyono, “sementara surat keterangan miskin tidak dipenuhi warga.”

    JPKM alias Asuransi Kesehatan Untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) adalah program kesehatan bikinan Abu Rizal Bakrie selaku Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat (Menko Kesra), yang dibiayai negara.

    Pada akhir 2007 Ical, sapaan Abu Rizal Bakrie, selaku Menko Kesra, sebagaimana dikutip Suara Karya Online, mengambil kebijakan memotong 1 dari 2 triliun dana perjalanan dinas tidak mengikat Departemen Kesehatan untuk nomboki Askeskin.

    Sangat mungkin dana ini banyak tersedot untuk para korban lumpur Lapindo, apalagi pemerintah tak membikin alokasi dana khusus untuk penanganan masalah kesehatan ini.

    Pemerintah tampak tidak sungguh-sungguh. Setelah lima bulan semburan lumpur, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono baru bikin Keputusan Presiden (Keppres) No 13 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dan enam bulan berikutnya pemerintah bikin Keppres No 5 Tahun 2007 untuk memperpanjang masa kerja Timnas ini. Kedua Kepres ini tak mengatur secara khusus penanganan kesehatan korban lumpur Lapindo.

    Ivan Valentina Ageung, mantan Manajer Pengembangan Hukum dan Litigasi Wahana Lingkungan Hidup yang kini aktif di Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) yang pernah memperkarakan Lapindo, mengatakan kasus Lapindo ini salah dari awal. Penanganannya tidak dimasukkan dalam koridor penanggulangan bencana. Penanganannya diserahkan kepada Lapindo sebagai korporasi dengan perjanjian jual-beli biasa seperti tidak terjadi apa-apa.

    Kerpres No 13 Tahun 2006 menyatakan PT. Lapindo Brantas bertanggungungjawab atas pembiayaan operasional Tim Nasional Penanggulangan lumpur. Selain itu meski Tim Nasional bertugas melakukan upaya penanggulangan lumpur; yang meliputi penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, dan penanganan masalah sosial, tugas ini tak mengurangi tanggungjawab penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkan.

    Karena ketiadaan kepastian soal penanganan kesehatan ini, bisa dibayangkan betapa semrawutnya pelaksanaan penangananan kesehatan. Soal pendanaan, Pemerintah pusat hanya mengatur tapi tak menyediakan duit untuk membiayainya. Sementara, dalam kasus pembiayaan yang dibebankan kepada Lapindo, Pemerintah tak mengatur secara rinci bagaimana teknis pembayarannya dan apa sanksi yang diterima Lapindo kalau mangkir dari tanggungjawab.

    Kasus pendanaan ini sempat muncul di sidang paripurna DPRD Sidoarjo pada Juli 2006. Win Hendrarso, bupati Sidoarjo, saat itu bilang tak ada pos untuk penanganan korban lumpur ini. Selama tiga bulan penanganan lumpur dana yang digunakan adalah “dana talangan” karenanya dia meminta Lapindo Brantas untuk mencairkan dana yang diajukan oleh Dinas Kesehatan Sidoarjo sebesar 1,3 miliar yang telah digunakan untuk menalangi biaya kesehatan ini.

    “Dana cadangan Pemkab hanya mampu untuk mambantu kebutuhan biaya kesehatan maksimal selama tiga bulan ke depan,” kata Hendrarso. Karena tak ada peraturan khusus soal teknis pembayaran Hendrarso tak memberi tenggat waktu pembayaran pada Lapindo.

    Masalah ini lebih ruwet lagi menyusul lahirnya Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007. Jika Keppres 13/2006 menyebutkan semua akibat sosial dan ongkos Tim Nasional ditanggung Lapindo, Perpres 14 tahun 2007 malah melonggarkan tanggungjawab Lapindo. Lapindo hanya bertanggung jawab atas korban yang berada di dalam peta, sementara korban yang di luar peta ditanggung oleh pemerintah menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Inkonsistensi semacam ini tidak dibenarkan menurut Hukum Administrasi Negara,” kata Subagyo, ahli hukum dari Lembaga Hukum dan Keadilan HAM Indonesia (LHKI) Surabaya.

    Lebih lanjut, menurut Cak Bagyo, sapaan akrab Subagyo, Pemerintah tidak menggunakan standar penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 24/2007. Dalam undang-undang tersebut, yang disebut bencana bukan hanya bencana alam, tetapi juga yang diakibatkan oleh ulah manusia seperti kasus lumpur Lapindo ini. Pemerintah tidak tegas dengan status bencana dan sengaja mengambangkannya. Bahkan hingga dua tahun status itu belum jelas.

    Pembedaan status ini menjadi masalah karena korban yang berada di luar peta macam korban dari Desa Besuki tidak mendapatkan hak-hak kesehatan sebagaimana korban bencana. Para korban terutama di luar peta tidak mendapatkan pelayanan khusus masalah kesehatan, kecuali lewat program Askeskin.

    Tak hanya itu, banyak korban dari wilayah dalam peta pun kerap harus mengongkosi sendiri biaya kesehatan mereka bila mereka sakit. Kesehatan mereka memburuk dan tak mendapatkan pelayanan dan penanganan serius. Di pengungsian Pasar Baru Porong, misalnya, tercatat tujuh orang yang menderita gangguan jiwa; Juwi (warga RT 01/RW 1 Reno Kenongo), Pitiyah (warga RT 04/RW01 Renokenongo), Sumariya (warga RT 01/RW 01), Kusmina (warga RT 01/RW01), Bawon (RT 06/RW 02), Rukiyati (warga RT 02/ RW 01).

    Warga yang sakit jiwa ini dibiarkan begitu saja, bahkan sekadar pemeriksaan pun tak ada. Warga hanya menduga kalau mereka sakit jiwa karena kebiasaan mereka yang aneh, “Ada yang belanja tak bayar atau berdiri ke utara seharian dan bilang ingin pulang ke Renokenongo (desa asal mereka),” kata Tuini, salah seorang pengungsi di Pasar Baru Porong.

    Menurut Cak Bagyo, penelantaran pemerintah terhadap korban lumpur Lapindo ini adalah pelanggaran hak asasi manusia. “Korban bisa menuntut pelanggaran HAM ini dan berhak mendapatkan kompensasi,” tutur Cak Bagyo.

    Ivan Valentina Agueung tak punya harapan dengan pengadilan di Indonesia. Dia pernah memperkarakan Lapindo dan pemerintah untuk pertanggungjawaban ini namun hasilnya nihil. Salah urus penanganan bencana dan rusaknya lingkungan ini, menurut Valentina, musti dilaporkan ke dunia internasional.

    Soal penanganan pengungsi, “korban bisa mengundang lembaga UNHCR atau OXFAM International,” tutur Valentina Ageung.

  • Yang Sakit, Yang Terjepit

    Yang Sakit, Yang Terjepit

    korbanlumpur.info – Tubuh renta itu tergolek lemah di tempat tidur. Hanya kain tipis yang menyelimuti kulit pucatnya. Mbah Tiyami, 75 tahun, sudah sejak 17 November 2007 jatuh sakit. Di kamar sempit itu, tak ada sinar matahari yang masuk. Sementara bubuk putih ramuan tradisional selalu ada di dekat pembaringan. “Ini bobok-nya, Simbah,” terang Suyati, anak perempuan Mbah Tiyami yang setia merawat.

    Mbah Tiyami mungkin tidak tahu jenis penyakit yang diderita. Tapi ia mengingat kisahnya. “Saat itu sudah lepas Isya. Tiba-tiba di kamar mandi sikil kulo kados puthul, kaki saya macam putus. Rasanya seperti, saya cari kaki saya kok ndak ada. Terus ndak bisa jalan. Ambyok pun, jatuh. Kembali ten kamar, ndak bisa apa-apa. Nggih terus dibawa ke rumah sakit. Habis dari rumah sakit, ya, macam ini, ndak bisa apa-apa sampai sekarang.”

    Dulu, sebelum lumpur menggenangi kampung dan seisinya, Mbah Tiyami tinggal di Desa Kedungbendo RT 14. Saat itu, ia belum mengalami sakit seperti ini. Begitu lumpur meletus, Mbah Tiyami tersingkir dari desa dan terpaksa mengontrak rumah di Desa Kalisampurno, Kecamatan Tanggulangin, hingga hari ini. Seperti warga lainnya, Mbah Tiyami sewa 2 tahun.

    Di November yang masih suasana bahagia Idul Fitri itu, Mbah Tiyami dilarikan ke Rumah Sakit Siti Hajar. Lapindo yang telah membuat Mbah Tiyami terusir dan yang menciptakan lingkungan yang membuat tubuh tuanya dijangkiti penyakit tak memberi layanan apa-apa. Begitu pula Pemerintah. Mbah Tiyami menjalani opname selama 9 hari yang menguras biaya sedikitnya 9 juta rupiah.

    Biaya itu ditanggung sendiri oleh keluarga Mbah Tiyami, tanpa bantuan dari Lapindo maupun Negara. Apalagi, Suyati, yang setia merawat Mbah Tiyami, adalah orang awam. Ia tak tahu kalau seharusnya, Mbah Tiyami sebagai korban Lapindo bisa bebas biaya pengobatan.  “Saya ndak tahu kalau korban wonten keringanan ngoten niku,” tutur Suyati.

    Macam-macam penyakit yang diderita Mbah Tiyami. Dari citra ultrasonografi (USG), terlihat ada batu di kandung kemih, ada pula benjolan di saluran kandung empedu, pembengkakan di sistem ginjal, dan infeksi saluran kencing. Setelah 9 hari menginap, keluarga tak sanggup lagi menanggung biaya pengobatan di rumah sakit. Apalagi, penyakit yang dialami Mbah Tiyami tak kunjung berkurang. Tak ada perubahan berarti. Akhirnya, keluarga memutuskan untuk membawa pulang Mbah Tiyami.

    Setiba di rumah kontrakan di Desa Kalisampurno itu, Mbah  Tiyami ditangani dengan pengobatan alternatif. Pertama pengobatan dari seorang tabib di daerah Larangan, Sidoarjo, yang menghabiskan kocek 450 ribu rupiah, namun juga tidak membuahkan hasil. Lalu jamu yang konon asli dari Jepang seharga 260 ribu rupiah. Syukurlah, kali ini ada sedikit perubahan: tangan Mbah Tiyami mulai bisa digerak-gerakkan. Hingga hari ini, Mbah Tiyami hanya terbaring di atas dipan. Secara rutin, ia diberi pijatan dan bobok putih, ramuan tradisional itu.

    Tiadanya layanan kesehatan dari Lapindo maupun Pemerintah membuat nasib keluarga Mbah Tiyami melorot terus. Suami Mbah Tiyami sudah tiada. Suyati tidak bekerja, juga sudah menjanda. Untuk membayar biaya rumah sakit dan perawatan, Suyati mengandalkan sisa uang 20 persen pembayaran jual-beli tanah dan sawah yang tenggelam oleh lumpur. Uang itu sudah menipis, dibagi-bagi untuk biaya makan dan sekolah Siti Nurjana (18 tahun) dan M Nurhuda (14 tahun), anak Suyati. Sementara, sisa 80 persen belum dibayar hingga hari ini. Sehingga untuk menambah biaya pengobatan Mbah Tiyami, Suyati masih harus berhutang ke tetangga dan sanak saudara sebesar 3 juta, jumlah yang sangat tidak kecil bagi Suyati.

    Pikiran Mbah Tiyami pun jadi ngelantur. “Rumah sudah kelemdi Kedungbendo. Kulo nggih pingin kembali ke sana. Wong dari kecil saya di Kedungbendo,” tutur Mbah Tiyami.

    Bu Jumik (50 tahun) juga mengalami nasib yang sama: tidak mendapatkan layanan kesehatan dari Lapindo maupun Pemerintah. Bu Jumik warga Renokenongo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong. Pertengahan Juni 2008 lalu, Bu Jumik tiba-tiba merasa sakit di bagian perut. Ia segera dilarikan ke RSUD Sidoarjo. Setelah menginap 2-3 hari, perut Bu Jumik tiba-tiba membesar, macam orang hamil. Ibu Jumik terus-menerus merasa sakit di perut, seperti maag akut.

    Setelah dua minggu menginap di rumah sakit, keluarga Bu Jumik tak sanggup lagi menanggung biaya. Lagi pula, kondisi kesehatannya juga tidak membaik. Bu Jumik dibawa kembali ke pengungsian. Lebih dari 20 juta sudah biaya yang dikeluarkan keluarga Bu Jumik. Untuk ke dokter setidaknya sudah 5 juta, lalu buat pengobatan alternatif sedikitnya 10 juta. Sekarang, dua hari sekali keluarga Bu Jumik harus merogoh 250 ribu untuk penanganan alternatif. Tidak ada bantuan atau keringanan biaya kesehatan dari Pemerintah, apalagi Lapindo.

    Selain warga Kedungbendo dan Renokenongo yang sudah dikubur lumpur Lapindo, warga di desa-desa sekeliling tanggul juga tak kurang mengenaskan. Kesehatan mereka terganggu, tapi juga tak ada penanganan khusus dari Pemerintah maupun Lapindo. Menurut hasil penelitian Tim Peneliti bentukan Gubernur Jawa Timur pada April 2008, udara di 9 desa sekeliling tanggul yang tercemar mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan. Gejala paling umum adalah mual-mual, pusing, batuk-batuk, dan sesak nafas.

    Di Puskesmas Porong saja, misalnya, angka pasien Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) meningkat tajam. Pada 2005-2006, angka rata-rata berkisar 20-25 ribu kasus. Tapi pada 2007, angka melonjak hingga 50 ribu kasus. Toh, Lapindo maupun Pemerintah tampak cuek-cuek saja. Pemerintah bersikap seolah-olah keadaan normal-normal saja, dan warga korban Lapindo pun disikapi seperti tidak sedang terjadi apa-apa.

    Pernah, Chusnul Chorida (29 tahun) warga Desa Gedang harus melarikan anaknya, Ilham Bintang (5 tahun), ke Puskesmas Porong. Sore menjelang magrib akhir Agustus lalu itu, Ilham mengalami demam tinggi. Pihak Puskesmas menyarankan agar segera dilakukan tes darah buat Ilham. Dari tes darah itu diketahui, Ilham dinyatakan mengidap radang tenggorokan sekaligus tipus. Disarankan agar Ilham menjalani rawat inap.

    Chusnul panik. Dia tidak punya uang. Lalu ia ingat memiliki kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), program layanan kesehatan buat masyarakat miskin. Dengan kartu ini, seharusnya Chusnul dibebaskan dari biaya pengobatan dan perawatan.  Tapi Chusnul malah mendapat respon tidak enak. “Boleh saja pakai Jamkesmas, tapi tidak bisa dapat suntikan,” kata petugas Puskesmas.

    Seperti warga lainnya, enggan berdebat dengan petugas, Chusnul akhirnya lebih memilih menanggung biaya sendiri. Kesehatan Ilham terlalu penting untuk diabaikan. Ilham ternyata harus menjalani rawat inap selama 5 hari di RSUD Sidoarjo. Biayanya 540 ribu rupiah. Ini jumlah yang besar bagi Chusnul. Hidup Chusnul dan keluarga bergantung pada penghasilan suami, Khusaini.

    Per bulan, Khusaini memperoleh penghasilan 540 ribu sebagai buruh kerajinan tas kulit. Dan jumlah itu harus dipotong sekitar 400 ribu buat kredit motor, yang menjadi alat transportasi Khusaini buat rutinitas kerja. Sehingga, uang Khusaini tersisa 400 ribu saja. Itu artinya, untuk membayar biaya perawatan Ilham, Chusnul dan Khusaini harus berutang. Kata Chusnul, ia telah berutang paling tidak 200 ribu rupiah.

    Mbah Tiyami, Jumik maupun Ilham tentu saja tidak sendirian. Kondisi kesehatan warga di sekeliling tanggul, terutama anak-anak dan manula, terus memburuk akibat kondisi air dan udara yang tercemar. Tanpa ada layanan kesehatan secara khusus, Lapindo maupun Pemerintah sama saja telah melakukan pembunuhan massal warga secara diam-diam. [re/ba]

  • Temuan Baru tentang Lumpur Lapindo

    Luapan lumpur itu hampir dipastikan diakibatkan oleh kesalahan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc dan bukan akibat efek dari gempa bumi.

    oleh Rusdi Mathari

    SEBUAH tim peneliti independen yang terdiri dari para ahli geologi dari Universitas Durham, Inggris dan Universitas California, Amerika Serikat, kemarin mengungkapkan temuan penting sehubungan semburan lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoarjo. Menurut laporan mereka yang dikutip oleh kantor berita AP, luapan lumpur itu hampir dipastikan diakibatkan oleh kesalahan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc. Mereka bahkan menyebut dengan istilah “99 persen” untuk tidak menyebut 100 persen sebagai kesalahan teknis pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo. Gempa bumi memang bisa menyebabkan luapan lumpur, tapi menurut mereka kemungkinan itu sangat kecil, mengingat titik gempa yang cukup jauh dari sumur pengeboran Banjar-Panji 1 Lapindo.

    Laporan para peneliti itu merupakan laporan resmi pertama dari hasil penelitian independen yang dilakukan oleh para geologi internasional tentang luapan lumpur panas Lapindo. Hingga munculnya laporan tersebut, laporan-laporan yang ada tentang lumpur Lapindo tak pernah secara khusus menyebutkan kesalahan pengeboran sebagai satu-satunya penyebab.

    Misalnya sebuah laporan yang pernah dikutip oleh Kompas, hanya menyebutkan bahwa 11 hari sebelum semburan gas, Lapindo sudah diingatkan soal pemasangan casing atau pipa selubung oleh rekanan proyek. Pipa itu seharusnya sudah harus dipasang sebelum pengeboran hingga di formasi kujung atau lapisan tanah yang diduga mengandung gas atau minyak di kedalaman 2.804 meter. Namun Lapindo tidak memasang casing berdiameter 5/8 inci itu pada kedalaman 2.590 meter. Padahal pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan dalam pengeboran. Namun laporan itu tak pernah menyebutkan secara tegas, apakah hal itu sebagai kelalaian itu yang dilakukan oleh Lapindo atau tidak.

    Laporan dari para peneliti internasional itu, sekaligus juga memutarbalikkan anggapan yang sejauh ini telanjur dipercaya bahwa bencana luapan lumpur yang menenggelamkan 12 desa dan menyebabkan 30 ribu orang kehilangan tempat tinggal itu— diakibatkan oleh gesekan lempeng bumi pasca gempa bumi di Yogyakarta, beberapa hari sebelum lumpur meluap pada 29 Mei 2006. Pihak Lapindo termasuk yang paling berkepentingan dengan dalil bencana alam itu.

    Selama dua hari pada 20-21 Februari 2007, Ikatan Ahli Geologi Indonesia pernah menyelenggarakan lokakarya internasional tentang luapan lumpur panas Lapindo di Jakarta. Lokakarya itu menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan mengangkat tema diskusi bertajuk “International Geological Workshop on Sidoarjo Mud Volcano.” Hasilnya mengejutkan: peserta lokakarya yang katanya juga menghadirkan ilmuwan dari luar negeri itu berkesimpulan, semburan lumpur panas Lapindo diakibatkan oleh gempa bumi.

    Bertolak Belakang dan Manipulatif

    Kesimpulan dari lokakarya dari para ahli geologi itu lalu menjadi pegangan Lapindo. Dalam kasus luapan lumpur itu dan antara lain karena “rekomendasi” IAGI berdasarkan kesimpulan lokakarya itu, pihak Lapindo bersikeras bahwa penyebab semburan lumpur adalah efek dari gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada awal Mei 2006. Beberapa pihak yang sependapat dengan alasan itu, menyebutnya sebagai bencana yang sulit tidak diperhitungkan sehingga karena itu, pemerintahlah yang harus bertanggung jawab dan mengambil alih persoalan.

    Namun beberapa kalangan yang lain justru menganggap kesimpulan semacam itu terlalu prematur. Sony Keraaf Ketua komisi II DPR-RI yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup bahkan mengatakan adalah manipulasi fakta jika semburan lumpur Sidoarjo adalah akibat gempa bumi. Dikutip oleh situs Tempointeraktif, Ketua IAGI periode 1973-1975, Koesoemadinata, juga tak kalah sengit memberikan komentar terhadap kesimpulan lokakarya IAGI. Koesoemadinata menilai kesimpulan lokakarya itu tidak mencerminkan IAGI yang independen, tidak relevan dengan materi, bahkan cenderung bertolak belakang. Tak lupa Koesoemadinata mengatakan, dirinya sangat prihatin dengan hasil lokakarya yang disebutkan bertaraf internasional itu.

    Menurut Koesoemadinata, sebagai lembaga ilmuwan yang independen IAGI seharusnya juga memberi ruang mengenai adanya pendapat bahwa semburan lumpur panas itu terjadi karena kelalaian pengeboran. Koesoemadinata mengkhawatirkan IAGI telah digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Padahal menurut dia, kebenaran ilmiah sebagai ilmuwan harus dipertahankan.

    Masih Berpotensi

    Beberapa laporan menyebutkan lumpur panas Lapindo yang menyembur dapat mencapai 125 ribu meter kubik per hari dengan bau menyengat. Untuk mengetahui volume lumpur yang sudah merendam 600 hektare sawah, dan menenggelamkan 10 ribuan rumah penduduk Porong, tinggal mengalikan jumlah hari selama dua tahun terakhir dengan debit lumpur yang dikeluarkan setiap hari.

    Tak jauh dari lokasi eksplorasi sumur Banjar Panji 1 dulunya berdiri 24 pabrik yang memproduksi berbagai komoditas dan menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Sejak lumpur meluap, semua pabrik itu terkubur oleh lumpur termasuk perekonomian kecil yang diusahakan oleh penduduk setempat. Hingga setahun bencana, Kamar Dagang dan Industri Jatim mencatat, jumlah kerugian akibat kasus lumpur Lapindo yang diderita pelaku industri mencapai Rp 2 triliun. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional atau Bappenas memperkirakan, kerugian langsung maupun tak langsung yang ditimbulkan oleh bocornya sumur gas Lapindo sudah mencapai Rp 27,4 triliun.

    Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pernah menaksir luas kawasan bencana akibat semburan lumpur panas Lapindo mencapai sekitar 400 hektare. Itu taksiran Pak Menteri pada beberapa bulan pertama bencana lumpur Lapindo. Sekarang, luas areal itu tentu saja telah bertambah dan semuanya menjadi hak Lapindo, karena mereka telah mengklaim membayarkan ganti rugi kepada penduduk yang ikut menjadi korban.

    Rennier A.R. Latief yang pernah menjabat Direktur Utama Lapindo mengatakan, dalam dua tahun mendatang Grup Bakrie akan mendapatkan untung besar dari luasnya areal bencana itu. Terutama jika areal itu kelak benar-benar kering. Seorang pakar dan pelaku bisnis perminyakan mengatakan, di areal itu masih tersimpan cadangan gas dan minyak yang cukup besar. Grup Bakrie, kata dia, hanya menunggu waktu sembari mengulur-ulur waktu pembayaran ganti rugi kepada sebagian penduduk yang kini masih belum menerima ganti rugi dari Lapindo.

    Laporan terbaru dari para ahli geologi Inggris dan Amerika Serikat yang dipublikasikan Selasa kemarin, tentu akan menimbulkan perdebatan. Namun temuan itu seharusnya mulai juga menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan akibat luapan lumpur Lapindo di luar pertimbangan IAGI yang menyebutkan luapan lumpur itu akibat efek gempa bumi. Antara lain untuk meminta pertanggungjawaban Grup Bakrie secara ekonomi dan sosial dan tidak lagi membebankan sebagian atau semua akibat luapan lumpur itu kepada keuangan negara.

  • Air Bersih Yang Hilang dari Desa Di Luar Peta

    Air Bersih Yang Hilang dari Desa Di Luar Peta

    korbanlumpur.info – Secara sekilas desa Gedang mungkin tidak terlihat permasalahan terkait semburan lumpur Lapindo, terletak di sebelah barat tanggul dengan diantarai oleh Pasar Porong Lama dan Jalan Raya Porong, desa Gedang nampak aman-aman saja. Namun dibalik itu semua ternyata desa Gedang juga harus menanggung akibat dari semburan lumpur Lapindo.

    Sri Mulyowati (48) menceritakan bahwa sejak setahun belakangan ini, air sumur di rumahnya telah berubah keruh dan berbau. “Kalau dipakai merendam baju pasti jadi bau, juga bikin baju kekuning-kuningan,” tutur Mbok Sri, demikian penjual nasi goreng ini biasa disapa, kepada awak Kanal.

    Padahal sebelum adanya semburan lumpur Lapindo ini, air di rumahnya sangat bagus. “Kalau dulu ya jernih, dipakai mandi juga enak”, kenangnya.

    Kondisi air yang tidak layak ini yang membuat warga harus membeli air setiap hari. Mbok Sri sendiri punya alasan tambahan untuk membeli air bersih ini, yaitu untuk kebutuhan mandi cucunya. Putri salsabila, cucunya yang baru berusia setahun setengah tidak kuat bila dimandikan dengan air sumur sekarang. “Badannya langsung bentol-bentol merah sekujur tubuh” sesalnya.

    Untuk sekali membeli air satu Jerigen, Sri harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 1.200, hal yang tidak terbayangkan dulu ketika belum ada semburan lumpur panas. “Kalau yang tua-tua bisa ngalah, mandi pakai air sumur juga tidak apa-apa, tapi untuk anak-anak tidak bisa, harus dica rikan air yang bisa dipakai mandi” papar Sri lebih lanjut.

    Sayangnya, hingga sekarang di wilayah tempat Sri tinggal, RT 3 / RW 2 desa Gedang, belum ada perhatian serius baik dari BPLS apalagi dari pihak Lapindo yang sejak awal tidak pernah mengakui wilayah diluar peta. Sampai sekarang belum ada pengiriman air bersih kepada warga, sehingga untuk kebutuhan air bersih yang mendesak, warga harus membeli.

    Gedang, seperti wilayah-wilayah lain diluar peta telah mengalami kerusaka yang serius, tapi hingga sekarang belum ada kejelasan tentang nasib mereka. Entah sampai kapan hidup mereka digantung seperti ini.

  • Lapindo Silt Feared to Trigger Major Flooding

    Mudflow victims on Wednesday protested the dumping of mud into the Porong River for a second time, saying the buildup of sediment had produced a pungent stench and increased the risk of rainy season flooding along the East Java river.

    SILTING DANGER: Mud siphoned from Lapindo gas mining site hardens and clogs the Porong River in East Java on Wednesday. Local residents have protested the dumping over fears that the four-meter-thick silt will cause the major river to burst its banks in the rainy season.

    The mud mass has reached between two and five meters from the top of the river, visibly spanning 1 kilometer from its point of entry near the defunct Gempol Toll road bridge in Besuki, Jabon district.

    The mud has even reached as far as Pejarakan village, 18 km downstream of the dumping site.

    “People protested the dumping because the sediment has reached a dangerous level. The river water cannot flow and could burst the banks to engulf the residents’ houses,” Kupang village head Sudjarwo said.

    He said villagers had asked the National Sidoarjo Mudflow Mitigation Team (BPLS) to dredge the sediment ahead of seasonal rains to avoid flooding in the area.

    He said if the BPLS refused to remove the clogged mud, the 15 villages would possibly see floods in the rainy season.

    The 15 affected villages are Kedungcangkring, Pejarakan, Dukuhsari, Besuki, Keboguyang, Permisan, Jemirahan, Pangreh, Trompo Asri, Balongtani, Kupang, Kedungrejo, Semambung, Kalisogo and Kedungpandan, all in Jabon district.

    Experts and environmental groups, including the Indonesian Forum for the Environment, have heavily criticized the dumping, saying it could have severe environmental repercussions.

    BPLS spokesman Achmad Zulkarnain claimed the mitigation team had cleared a channel in the river using four floating excavators to increase the water’s flow.

    “We are also concentrating on repairing the main banks which collapsed due to Monday and Tuesday’s rallies. We hope residents do not block the work as it’s for the common interest,” Zulkarnain said.

    Hundreds of mudflow victims shut down a reconstruction site at the Porong mudflow area Monday, demanding mining company Lapindo Brantas Inc. pay the remaining 80 percent compensation owed them as ordered by a presidential instruction.

    Protesters grabbed tools from construction workers, prevented others from operating cranes working the main mudflow banks and stopped supply trucks from entering the site.

    A presidential Instruction No. 14/2007, issued one year after the erupting mud began to submerse villages on May 29, 2006, orders Lapindo to pay the remaining compensation owed residents one month before the end of a two-year house leasing arrangement ends.

    The company, partly owned by the family of Coordinating Minister for People’s Welfare Aburizal Bakrie, has paid out 20 percent of the required compensation to allow mudflow victims to rent houses.

    Indra Harsaputra, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/08/28/lapindo-silt-feared-trigger-major-flooding.html

  • Lumpur dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

    Ada argumen kuat untuk mengikuti pendapat alm. Prof. Dr. Nikolaus Drijarkara. Rama Drijarkara menegaskan bahwa sila yang paling mendasar, dalam arti etis, adalah sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Mengapa sila ini? Karena tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab, semua sila lain menjadi cacat. Sebaliknya, meskipun tanpa empat sila lain, sila kedua belum mengembangkan sepenuhnya dimensi-dimensi potensial manusia, akan tetapi asal seseorang, dan begitu pula hubungan antar orang, menjadi adil dan beradab, dasar situasi yang secara etis benar dan mantap sudah diletakkan. Dengan kata lain, hanya atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab empat sila lain bisa bermutu.

    Mari kita lihat tempat kunci sila kedua dengan sedikit lebih rinci. Pertama harus dikatakan bahwa kita memang harus mulai pada manusia, dan bukan pada Tuhan. Bukan karena manusia lebih tinggi daripada Tuhan – Tuhan tentu jelas lebih tinggi daripada manusia – melainkan karena sebagai manusia kita hanya dapat bertitik tolak dari kemanusiaan. Setiap orang yang mnengklaim bertolak langsung dari Tuhan otomatis sudah sesat dan menyesatkan. Ia adalah manusia, dengan pengertian manusia dan wawasan manusia, dan tidak bisa langsung mengatasnamakan Tuhan. Maka manusia senang atau tidak harus mulai dari dirinya sendiri. Tanpa kemanusiaan, tidak ada dimensi manusia lain. Jadi tanpa kemanusiaan tak ada dimensi lain, tak ada kebangsaan, tak ada kerakyatan, tak ada Ketuhanan (tetapi, sekali lagi, Tuhan tentu ada tanpa kemanusiaan, tetapi bukan Ketuhanan sebagai penghayatan dan pengakuan manusia terhadap Tuhan).

    Tetapi kemanusiaan yang bagaimana? Dimensi hubungan natar manusia yang menjadi syarat segala hubungan yang baik adalah keadilan. Adil berarti, mengakui orang lain, mengakui dia sebegai manusia, dengan martabatnya, dengan menghormati hak-haknya. Cinta itu mewujudkan hubungan antar manusia paling mendalam dan berharga, tetapi kalau dia melanggar keadilan, dia bukan cinta dalam arti yang sebenarnya. Kejujuran yang tidak adil bukan kejujuran. Dan kebaikan yang tidak adil kehilangan harkat etisnya.

    Tetapi keadilan tidak berdiri sendiri. Memperjuangkan keadilan hanyalah etis apabila dilakukan dengan cara yang beradab. Tanpa sikap beradab keadilan menjadi tidak adil. Itulah seninya sila kedua :”Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan salah satu rumusan cita-cita dasar manusia yang paling indah dan mendalam! Jadi kemanusiaan hanyalah utuh apabila adil dan beradab.

    Dari situ sudah dapat ditarik sebuah kesimpulan. Gasis paling bawah yang menjamin harkat etis manusia adalah keberadaban. Bertindak dengan beradab tentu belum cukup kalau kita menghadap kewajiban kita sebagai manusia dalam masyarakat dan dunia, akan tetapi sudah merupakan titik berpijak yang menjamin moralitas pada dasariah. Sebaliknya, bertindak dengan tidak beradab, demi tujuan baik pun, adalah tidak mutu dan tidak etis.misalnya orang yang memperjuangkan keyakinan politik atau keyakinan keagamaannya dengan cara yang tidak beradab justru merendahkan etika politik dan menghina agamanya sendiri. Sebenarnya banyak masalah dalam masyarakat kita sudah akan terpecahkan asal saja kita bertekad bersama untuk selalu bertindak secara beradab. Tak perlu dulu icara akhlak mulia, cukup kalau kita mau membawa diri sebagai makhluk yang beradab saja. Karena keberadaban itulah yang membedakan manusia dari binatang. Jadi kita mestinya bertekad untuk tidak pernag bertindak secara tidak beradab, secara brutal, secara kejam atau keji, secara beringas, secara kasar tak sopan. Tekad ini justru perlu dipegang dalam memperjuangkan yang baik. Begitu misalnya tindakan kasar dan brutal atas nama agama merupakan penghinaan terhadap agama yang diperjuangkan sendiri tak mungkin tindakan tak beradab dan brutal berkenan di hadapan Tuhan.

    Karena keadilan dan keberadaban merupakan syarat harkat etis segala tindakan manusia, kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan inti Pancasila.

    Hal itu dapat diperlihatkan pada sila-sila lain. Ketuhanan Yang Maha Esa yang disertai sikap tak adil atau tindakan tak beradab dan brutal menjadi tidak mutu dan menyabot makna Ketuhanan sendiri. Memang selama sejarah umat manusia sampai hari ini banyak kekasaran, kejahatan, kebrutalan dilakukan atas nama manusia. Semuanya itu menghina Tuhan. Orang yang bertindak brutal, kasar dan tidak beradab jangan berani mengatasnamakan Tuhan atau agama. Begitu pula nasionalisme yang terungkap dalam sila Persatuan Indonesia, selalu harus adil dan beradab kalau mempertahankan harkatnya. Mengaku cinta pada bangsa sendiri tetapi bersikap arogan dan brutal terhadap bangsa lain merusak harkat kebangsaan. Kerakyatan pun kalau tidak memperhatikan keadilan misalnya menjadi kediktatoran mayoritas yang melanggar hak-hak asasi minoritas – menjadi wahana kejahatan. Kerakyatan yang mencuat dalam tindakan tak beradab menjadi keganasan massa – rule of the mob dalam bahasa Inggris – yang memuakkan karena bisa menjadi brutal dan sampai ke pembunuhan. Kerakyatan Pancasila adalah kerakyatan yang adil dan beradab. Keadilan sosial adalah menarik bahwa kata adil – dan hanya kata adil, muncul dua kali dalam Pancasila – hanya wajar kalau diusahakan secara beradab. Keadilan kalau diperjuangkan dengan ancaman dan cara paksa, secara arogan, brutal, egois tdak beradab bukan lagi keadilan, melainkan egoisme ideologis. Memperjuangkan keadilan dengan cara biadab merusak harkat keadilan sendiri dan dalam kenyataan lalu sering menghasilkan rezim politik di bawah seorang diktator.

    Kalau Lumpur Porong hasil pengeboran Lapindo dilihat dari sudut kemanusiaan yang adil dan beradab, kelihatan segala dimensi malapetakanya itu. Fakta yang sangat relevan sangat sederhana. Lumpur Porong membebani negara kita yang sudah kekurangan dana dengan biaya tambahan luar biasa. Misalnya biaya untuk membuat jalan-jalan dan jalur kereta api yang vital di jantung Jawa Timur tidak sampai tenggelam. Ada bahaya sungguh-sungguh bahwa sebagian wilayah Jawa Timur, bagian yang padat penduduk dan sangat produktif bisa untuk selamanya dibuat tidak dapat dihuni. Tetapi fakta yang paling memilukan, ada 10.000 orang yang tenggelam rumah, pekarangan dan tempat kerjanya yang dengan demikian, hancur seluruh eksistensinya. Dan bahwa dari mereka ada yang sampai saat tulisan ini ditulis, 17  bulan sesudah bor itu meledak, belum juga menerima ganti rugi. Dan itu semuanya di negara yang mendasarkan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab.

    Di sini bukan tempatnya untuk berspekulasi sejauh mana Lapindo dengan pengeborannya harus dipersalahkan. Hal itu seharusnya dibikin jelas dalam sebuah perkara pengadilan. Di sini hanya mau ditunjuk betapa malapetaka yang menimpa masyarakat yang terkena lumpuyr Lapindo itu menantang pengakuan kita akan kemanusiaan yang adil dan beradab.

    Mereka itu mengalami kehancuran, bukan karena malapetaka alami murni, melainkan karena tindakan manusia. Itulah inti ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahwa manusia-manusia yang melakukan operasi pencarian kekayaan dibawah kulit bumi bertindak dengan ceroboh sampai sekarang tidak terbantah. Kita menyaksikan sesuatu yang khas dalam dunia usaha – dan dalam wawasan para pejabat negara yang bertanggungjawab atas keselamatan masyarakat, – yaitu kecongkakan sebuah perusahaan besar yang tidak berpikir pada masyarakat kecil di dekatnya, yang dalam kasus Porong melakukan pengeboran tanpa memakai casing yang seharusnya dipakai untuk menjamin bahwa bahan yang keluar dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan kali ini kecerobohan itu mempunyai akibat fatal. Masalahnya bukan bahwa mereka acuh tak acuh terhadap suatu kerugian masyarakat, melainkan bahwa mereka menganggap enteng kemungkinan bahwa pengeboran itu bisa gagal. Jadi bukan pengabaian total terhadap orang kecil, melainkan bahwa orang kecil, ya massa masyarakat, seakan-akan dilupakan. Bukan karena jahat, melainka karena sembrono. Itulah yang mendasari ketidakadilan di negara ini berbeda dengan beberapa di negara dimana kelas atas kejam terhadap massa rakyat, di Indonesia ada budaya perhatian terhadap orang kecil, tetapi dalam kenyataan perhatian itu dipojokkan oleh suatu wawasan yang hampir seluruhnya dikuasai oleh pertimbangan keuntungan perusahaan dan akses ke pusat-pusat kekuasaan. Seakan-akan kita di Indonesia hidup dalam dua dunia, atau ada dua bangsa di NKRI kita ini, mereka yang cepat atau lambat terbawa ke atas dalam pusaran naik akumulasi modal dan kemodernan akibat globalisasi. Dan mereka yang harus hidup dari dua Dollar US per hari atau kurang dan yang cita-citanya adalah survival, penjaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dua-duanya hidup berdampingan, tetapi bangsa yang kedua oleh bangsa yang pertama- bangsa dalam angin naik- hampir tidak diperhatikan lagi. Itulah yang terjadi di Porong dan belakangan, sesudah terjadi malapetaka terjadi, tentu semua menyesalkan pengeboran itu. Sebuah penyesalan yang tidak banyak terasa oleh para korban yang begitu lambat merasakan diberi perhatian sungguh-sungguh.

    Kembali ke wawasan “kamu modal dan kuasa” yang hampir seluruhnya dipenuhi oleh kepentingan kemajuan ekonomis dalam rangka globalisasi sehingga perhatian spontan pada massa masyarakat tidak menembus lagi pengambilan keputusan. Wawasan yang buta terhadap kenyataan masyarakat itru tentu ajkan membahayakan masa depan bangsa. Situasi ini adalah unsustainable secara sosial. Masyarakat kita tidak senantiasa akan terus menerus menerima ketidakadilan itu dengan damai dan pasrah. Kita jangan mengharapkan kekerasan dalam masyarakat berkurang kalau mereka terus tidak diberi perhatian.

    Kadang-kadang kebutaan perusahaan-perusahaan terhadap masyarakat biasa berbalik menjadi kebrutalan terbuka/ pada tanggal 11 Oktober 2007 terbaca di sebuah harian Ibukota bahwa di Tangerang ada developer yang memagari dengan tembok tinggi sebuah kampong sebesar delapan atau sembilan rumah yang terletak di tengah-tengah tanah yang mau dikembangkannya, yang menolak untuk mau pergi, sesudah sebelumnya memblokir satu demi satu jalan-jalan yang menghubungkan kampung-kampung itu dengan dunia luar. Satu-satunya jalan ke luar bagi kampong itu – yang untuk terdiri ata orang-orang lanjut usia – adalah sebuah celah selebar  50 cm yang masih terbuka. Semua barang lebih  besar harus diangkut melalui tangga yang naik ke atas tembok tiga meter itu. Kalau kelakuan semacam itu dibiarkan terus, negara Indonesia akan menghadapi masa yang  berat di masa mendatang. Kebrutalan dan ketakpedulian terhadap massa rakyat yang terdiri atas orang kecil tak mungkin akan ditelan terus.

    Yang gawat bahwa ketidakadilan dalam kesempatan rakyat indonesia bisa maju tidak keluar dari sebuah kebencian atau rencana jahat khusus, melainkan merupakan akibat kecerobohan, kelalaian dan kurang perhatian pada kemungkinan bahwa ada orang yang menderita. Sebuah rencana yang jahat bisa langsung digugat dan dilawan. Tetapi ketidakadilan yang karena kurang perhatian, karena katakana, telinga orang-orang dia tas sudah penuh dengan bunyi keras ipod, cell phone dan iklan mereka sehingga jeritan mereka yang ketinggalan tidak kedengaran lagi, bisa menjadi kebiasaaan, dan kebiasaan hanya akan diubah dengan ledakan.

    Akhirnya perhatian pada orang kecil, wawasan yang betul-betul mau adil juga merupakan tantangan bagi keberadaan bangsa. Sebagai bangsa yang beradab, apa kita mau menerima bahwa terjadi perkembangan-perkembangan mengagumkan dan sebagian-sebagian cukup besar, bangsa tetap terancam kemiskinan dan keputusasaan?

    Franz Magnis-Suseno, tulisan ini disampaikan pada penyerahan Korban Lumpur Award, tanggal 26 Oktober 2007

  • Santos Stuck in Mudflow Controversy

    SIDOARJO, INDONESIA– Santos is facing a blowout in the clean-up bill from the world’s largest mud volcano in East Java, as a new report funded by the Australian government concludes the disaster cannot be contained.

    The study, which was conducted by the United Nations Environment Program and AusAid and is yet to be made public, says transporting the mud 14 kilometres to the ocean and creating a new wetland is the only titigation option available.

    These updated costings of as much as $830 million are nearly 10 times higher than Santos has disclosed to the stockmarket, leading to accusations that the oil and gas major is deliberately playing down the severity of the disaster.

    The UN report also estimates the total economic losses from the mudflow so far at $3,4 billion.

    Santos has yet to admit liability for the disaster, which began after a drilling incident in May 2006, and it had paid almost no compensation to the 75,000 affected.

    “I don’t think there is wide public understanding of the magnitude of this problem,” says Tim Lindsay, director of the Asian Law Centre at Melbourne University.

    “If the projections are correct, it will be catastrophic for any company held responsible.”

    Santos has made provisions of just $88.5 million for the mudflow, which has now affected 1800 hectares of densely populated land in East Java.

    In a statement the company said it would not comment on the UN report, but believed its provisions remained an “appropriate estimate of its potential liability.”

    “The government of Indonesia has taken a major role in responding to the mudflow,” it said in a written statement.

    In its 2007 annual report Santos said its provisions were based on an assumption that “condition at the site will remain stable or improve over the longer term.”

    This is clearly not the case,” says John McLachlan-Karr, an Australian consultant leading the UN team.

    He says retaining walls at the site have failed three times this year and on current projections, the dams will overflow in 2009. This has forced the Indonesian government mitigation team to earmark another 110 hectares for mud lay-down areas, but this is viewed as only a temporary solution.

    The mud pools are growing by 20 olympic size swimming pools every day and the weight could make the area subside by 146 metres in the next decade.

    “It is true to say the volume of mud has declined somewhat but the retaining walls and geology of the area has become less stable,” McLachlan-Karr says.

    “If anything, the impacts are actually increasing.”

    It is this assumption that led the UN team of 12 scientists and engineers to conclude that the mud must be moved. Their 122 page report, commissioned by the Indonesian government, was compiled over the past 12 months. It outlines three possible courses of action. “There is, however, no easy answer,” McLachlan-Karr says.

    One option is to pipe the mud to the sea but there are concerns that the material is too viscous and the pumps would not be able to move the required volume.

    The second option is to pump the mud into a nearby river, which would then be dredged and dumped along the coast. But there is strong local opposition to this method and concern about the increased flood risk.

    Both these options would cost about $1,( billion over the next 25 years, according to the UN report.

    The final option is to build an open canal that would then transport the mud slowly to the ocean. This is the most expensive at $4,6 billion as land, including many shrimp farms, would have to be purchased.

    Santos, despite not admitting any liability for the disaster, is already paying its share of mitigation and clean-up costs, while maintaining the mud flow cause had “yet to be determined.”

    Santos has an 18 percent non operation stake in PT Lapindo Brantas, which experienced drilling problems near the site the day before the mud volcano erupted. Presuming it continued paying 18 percent of mitigation costs, Santos is facing a clean-up bill of between $355 million and $829 million over the next 25 years, according to the UN report.

    The UN team was not asked to determine the mudflow’s cause.

    This is a highly controversial subject in Indonesia, as a company associated with the country’s richest man, Aburizal Bakrie, is Lapindo’s major stakeholder. Bakrie, who is also one of the government’s most powerful ministers and a close allay of President Susilo Bambang Yudhoyono, has maintained the mudflow was triggered by an earthquake.

    This has been universally discredited.

    A team of British, US and Indonesian scientists said in June they were “99 percent certain” that drilling caused the disaster. Their findings were published in the academic journal Earth and Planetary Science Letters.

    Michael Manga of the University of California Berkeley rules out the Yogyakarta earthquake as a potential cause, saying it happened two days before and was 250 kilometres away.

    “In this case the earthquake was simply too small and too far away,” Manga says.

    The report’s lead author, Richard Davies of Durham University, says a “kick” in the well a day before the mudflow erupted resulted in an underground blow-out and a leakage of fluid. He says the chances of controlling this pressure would have increased if the well had contained more protective casing.

    This lack of protective casing raises the issues of negligence and liability.

    So far Santos has spent $US28,5 million ($34,9 million) on mitigation and clean-up efforts. A spokesman for the company said it had paid a small amount of compensation to victims, but would not disclose the figure.

    Bakrie has not admitted any liability for the disaster either, but due to “Indonesian values” has pledged to pay 4 trillion rupiahs ($526 million) in compensation. So far he is estimated to have handed over about 20 percent of this to those affected.

    But this is just a fraction of what the UN estimates the total damages to be. McLachlan-Karr says his team has calculated total economic loss caused by the mudflow, not including mitigation, at RP26 trillion as of April.

    Attempts to recoup these losses have so far been rejected by Indonesia’s notoriously corrupt lower courts. A class action by Friends of the Earth Indonesia has twice been rejected and is at present under appeal with the High Court, which ranks above the High Court in Indonesia.

    But Lindsay from Melbourne University says these early court decisions are irrelevant. He says the merits of the case will be decided when it reaches the Supreme Court, which ranks above the High Court in Indonesia.

    “The Supreme Court knows, understands and has been trained in class actions,” Lindsay says. “It is an increasingly impressive institution that has been making good decisions.” He says there will be serious legal implications for those found responsible.

    And whit each day the mud continues flowing, the potential damage get larger.

    Flooding during the wet season has been raised as yet another problem.

    McLachlan-Karr says the pumping of mud into a nearby river during the dry season has silted up the waterway and raised concerns about flooding.

    “They shouldn’t be pumping in the dry season but they literally ran out of space in the holding dams and so had no other option,” he says. “It’s not good but compared to the alternative, the consequences are relatively minor.”

    But then there’s the issue of subsidence.

    Davies from Durham University says the mudflow area could subside by 146 metres over the next 10 years.

    “That’s the worst case scenario,” he says, but no one can be sure of what impact this may have on the surrounding area.

    “This thing continues to surprise us so who’s to say what will happen next or how long it might last.”

    After more than two years, Davies says, the pressure causing the eruption has not lessened.

    “It will most likely carry on in some form for decades to come. The area will provide an interesting case study for scientists, but apart from that the land is worthless.

    (Angus Grigg)

    (c) The Australian Financial Review – ABIX via COMTEX

  • Kontrak Bantuan Sosial Dinilai Merugikan Warga

    Warga harus meninggalkan lokasi setelah tiga bulan meneken kontrak

    SURABAYA – Korban lumpur Lapindo dari Desa Kedungcangkring, Pejarakan, dan Desa Besuki Barat di Kecamatan Jabon, Sidoarjo, tidak bersedia menandatangani akad perjanjian pemberian uang paket bantuan sosial. “Terus terang kami keberatan karena ada satu pasal yang memberatkan,” kata Nurrohim, koordinator warga, kemarin.

    Pasal tersebut berbunyi, “Warga yang tinggal di wilayah tanggul lumpur wajib meninggalkan tempat maksimal 90 hari setelah penandatanganan kontrak”. Padahal, selama ini tidak ada kepastian kapan bantuan tersebut akan dicairkan.

    Rencananya, jika warga bersedia meneken kontrak pemberian bantuan sosial, warga akan menerima uang Rp 2,5 juta per keluarga (untuk kontrak rumah satu tahun), Rp 500 ribu untuk pindah rumah, dan bantuan Rp 300 ribu per jiwa per bulan (selama enam bulan berturut). Formulir pemberian bantuan ini telah dibagikan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sejak Jumat lalu.

    Menurut Nurrohim, warga tidak bersedia menandatangani pemberian bantuan sosial itu karena mereka tidak memperoleh kejelasan kapan ganti rugi tersebut dibayarkan. “Jangankan kapan dibayar, berapa nilainya saja kami belum diberi tahu,” tutur Rohim.

    Karena ketidakjelasan itu, Rohim menambahkan, warga yang terdiri atas 800 keluarga dari Desa Besuki, 300 keluarga dari Desa Kedungcangkring, serta 500 keluarga dari Desa Pejarakan hingga kini belum bersedia menandatangani akta perjanjian.

    Kepala Hubungan Masyarakat BPLS, Ahmad Zulkarnain, meminta warga tidak usah ragu dan khawatir. Apalagi apa yang dikhawatirkan warga tidak mendasar. “Ketika proses penandatanganan, juga ada proses pembuatan rekening di Bank. Saya jamin dalam waktu dua hari, bantuan sudah cair,” kata Zulkarnain.

    Karenan itu, Zulkarnain berharap warga segera mengisi semua persyaratan dalam akta pemberian bantuan dengan melengkapi fotokopi KTP, KSK, dan buku nikah.

    Menurut Zulkarnain, selain jumlah nominal bantuan, nilai ganti rugi bagi warga tiga desa itu juga sudah jelas, yaitu sama dengan nominal ganti rugi warga di dalam peta terdampak seperti yang diberikan kepada empat Desa di Kecamatan Porong, yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo.

    Warga di empat desa itu mendapatkan ganti rugi per meter bangunan Rp 1,5 juta, Rp 1 juta per meter persegi tanah pekarangan, serta Rp 120 ribu untuk per meter persegi sawah.

    “Sesuai dengan amanat anggaran pendapatan belanja negara perubahan dan pernyataan Menteri Keuangan, maka uang muka 20 persen harus dibayar pada 2008 ini,” kata Zulkarnain.

    Sisa pembayaran 80 persen, kata dia, sesuai dengan Perpres 48 Tahun 2008 yang mengacu pada Perpres 14 Tahun 2007 akan dibayar maksimal hingga 2010 nanti.

    ROHMAN TAUFIQ

    Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/09/16/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20080916.142522.id.html

  • Bersama (Siapa) Kita (Supaya) Bisa(?)

    “Bersama Kita Bisa” adalah semboyan yang dikumandangkan duet SBY-JK dalam kampanye pilpres 2004. Semboyan itu berperan dalam membawa duet itu ke kursi kepresidenan. Pidato kenegaraan (15/8/2008) diakhiri dengan: ”Harus Bisa! Apa pun masalahnya, kapan pun masanya, seberapa pun keterbatasannya, kalau kita bermental bisa, kita semua bisa dan Indonesia pasti bisa.”

    Akan tetapi, ternyata pada 11 September 2008, pemerintah mengeluarkan pernyataan mengejutkan: ”Tidak bisa menutup lumpur Lapindo”. Mengapa pemerintah mudah menyatakan tidak bisa menutup lumpur yang sudah dua tahun lebih menyengsarakan puluhan ribu warga Porong dan merugikan jutaan warga Jawa Timur? Apa yang terjadi hingga pemerintah menyerah dan terpaksa mengingkari semboyan ”Bersama Kita Bisa”?

    Keputusan pemerintah untuk menyerah didasarkan informasi tenaga ahli, terutama ahli geologi, yang menyatakan, bencana lumpur Lapindo adalah akibat gempa bumi dan aliran lumpur tidak dapat dihentikan.

    Padahal, ada pendapat bertentangan yang muncul dari tenaga ahli, khususnya ahli pengeboran (drilling engineer). Juga datang dari sejumlah ahli luar negeri, dari institusi terhormat dengan kredibilitas tinggi. Pemerintah seharusnya mengetahui adanya para ahli yang berpendapat berbeda, tetapi tidak pernah dimintai pendapat mereka.

    Merasa tak mampu

    Pemerintah tak bisa menutup lumpur karena memilih bersama para ahli yang tidak yakin bahwa aliran lumpur itu dapat dihentikan, merasa tidak mampu untuk dapat menutup atau mematikan sumber lumpur. Namun, jika bersama para insinyur pengeboran itu, pemerintah akan yakin sumur itu bisa dihentikan. Jadi, semboyan kampanye SBY-JK tahun 2004 perlu disesuaikan menjadi: ”Bersama (ahli pengeboran yang percaya diri) Kita Bisa (mematikan sumber lumpur)”.

    Pertanyaannya, mengapa pemerintah memilih bersama tenaga ahli yang tidak percaya bahwa sumber lumpur itu bisa ditutup? Mengapa pemerintah tidak memilih bersama tenaga ahli berpengalaman dan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan dan keahlian untuk menutup sumber lumpur? Apakah pemerintah dirugikan jika memercayai kemampuan anak bangsa yang juga memiliki kepercayaan diri?

    Pemerintah sama sekali tidak dirugikan, baik secara ekonomi maupun politik. Sesuai Perpres No 14/2007, pemerintah menanggung biaya penanggulangan dampak dan biaya hidup untuk korban yang tinggal di daerah di luar peta lampiran perpres itu.

    Tahun 2007, biaya yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 700 miliar. Tahun 2008 bertambah, bisa di atas Rp 1 triliun. Juga tahun 2009 dan seterusnya, sedangkan biaya untuk menutup sumber lumpur diperkirakan sekitar 80 juta-120 juta dollar AS.

    Memang belum pasti 100 persen sumber lumpur dapat ditutup. Tetapi, melihat pengalaman para insinyur pengeboran yang lebih dari 30 tahun dengan prestasi sejenis yang meyakinkan, peluang berhasil amat besar. Insinyur pengeboran yang lain, saat berpengalaman baru beberapa tahun, berani menyatakan, dia bisa menutup semburan gas yang luar biasa besar, yang semula akan ditutup Red Adair dari AS. Ahli lain, dengan kemampuannya, telah berhasil membuat perangkat lunak simulasi cara mematikan semburan dan telah diverifikasi oleh hasil perangkat lunak luar negeri.

    Apakah mereka terlalu percaya diri dan mendahului keputusan Tuhan? Tidak! Mereka memiliki kepercayaan diri berkat pengalaman selama 30 tahun lebih didukung kemampuan yang dimiliki. Mereka adalah anak bangsa yang cerdas dan berkemampuan yang merasa berutang pada bangsa dan ingin membayarnya dengan keahliannya. Mereka adalah anak bangsa yang bermartabat, yang percaya pada kemampuan dan pengalaman mereka.

    Percaya diri

    Jika sikap itu dianggap takabur, Bung Karno, Bung Hatta, serta para pendiri bangsa tentu akan kita anggap takabur saat mendirikan bangsa Indonesia. Bahwa kondisi negara kita amburadul, bukanlah karena rasa percaya diri para pendiri bangsa, tetapi karena sikap kebanyakan pemimpin bangsa kita yang tidak benar, termasuk sikap pesimistis dan tidak percaya diri saat mengatakan, kita tidak bisa menutup sumber lumpur Lapindo.

    Mengapa pemerintah memilih bersama para ahli yang pesimistis, yang notabene tidak mempunyai banyak pengalaman lapangan, daripada bersama para ahli yang optimistis dan berpengalaman? Untuk apa Presiden berpidato berkali-kali memompakan optimisme jika pemerintah sendiri lebih percaya kepada tenaga ahli yang pesimistis? Hal itu jelas merupakan kerugian imaterial yang amat besar.

    Bersama para ahli yang merasa tidak mampu, kurang pengalaman, kurang percaya diri, dan pesimistis kita tidak bisa menutup sumber lumpur itu. Bersama para ahli yang mampu, berpengalaman, percaya diri, dan optimistis, kita bisa menutup sumber lumpur. Lalu bersama siapa?

    Uraian itu jelas menggambarkan bersama siapa seharusnya kita, yaitu bersama para ahli pengeboran yang berpengalaman, percaya diri, bemartabat, punya integritas dan niat baik. Jika dianggap belum jelas keterangannya dan karena itu pemerintah belum yakin, mereka bisa dipanggil untuk menjelaskan.

    Jika perlu, dilakukan dialog dengan para ahli yang tidak yakin sumber lumpur dapat ditutup, yang dihadiri pihak ketiga, yaitu tenaga ahli, berpengalaman dari institusi luar negeri yang terhormat dengan kredibilitas tinggi.

    Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/20/00343277/bersama.siapa.kita.supaya.bisa

  • Mudflow Threatens Renokenongo Residents

    The remaining residents of Renokenongo village, partly devastated by the mudflow two years ago, were knocking down their homes and salvaging their belongings as hot mud and water began inundating the village after a section of the giant encircling dike collapsed recently.

    Around 300 families stayed on in the submerging village because they had yet to receive full compensation either from mining corporation PT Lapindo Brantas or from the government.

    They did receive 20 percent of the compensation due them from Lapindo, but the remaining 80 percent has not been paid despite the expired deadline the government set in a 2007 presidential instruction addressing the disaster.

    Resident Buang Sucipto said they could do nothing to salvage their houses as the mudflow slowly and surely displaced them from their homes.

    “The land and the houses are undocumented but they are ours. We deserve fair compensation. Lapindo should also pay for the hardship. The disaster has robbed the villagers of their social well-being,” he said here Wednesday.

    Minarak Lapindo Jaya, a unit of Lapindo, has offered resettlement instead of cash compensation for families whose assets were undocumented.

    Acting head of Renokenongo village Subakri urged the Sidoarjo Mudflow Handling Agency (BPLS) to immediately repair the failing dike because, apart from the mudflow inundating their homes, its noxiousness is disturbing the locals.

    “We have never given up. We have to receive what is our right although the disaster has caused so much suffering and violated our right to live peacefully and humanely,” Subakri said.

    Separately, BPLS spokesperson Akhmad Zulkarnain said the failing dike near the main hot mud outpouring was due to fragile soil conditions. He said several cranes had been deployed to dredge mud from the Porong river to strengthen the collapsing dike.

    “It may look like we aren’t doing anything, but we actually have done a great deal to repair the collapsing retaining wall. We need more time to tackle the problem,” he said.

    In a separate development, 600 Renokenongo families who have been living in makeshift dwellings at the Porong market building have negotiated an agreement with Minarak Lapindo Jaya regarding their assets damaged by the mudflow.

    Pitanto, coordinator for the Renokenongo disaster victim group, said the victims have received Minarak’s offer for a 20 percent payment up front and resettlement to end the more than two years of displacement.

    “Minarak is still examining the ownership documents for the houses and land the victims owned,” Pitanto said.

    So far, he said, 147 of the 475 families whose assets were damaged have been examined. The review is expected to be completed in a few weeks.

    “All recipients will sign the agreement at the same time,” he said, adding victims accepted Lapindo’s offer after the government had guaranteed the deal.

    The victims have rejected Lapindo’s proposed compensation scheme because the presidential decree did no spell out any sanctions if the mining company were to fail to meet the compensation payment deadline.

    “If the deal is signed, Minarak will pay 20 percent of the compensation for the damaged houses. The remaining 80 percent will be paid within one year,” he said.

    “All the victims will be resettled to a nearby housing compound within a year and they will receive the deeds for their new homes,” he added.

    Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/09/19/mudflow-threatens-renokenongo-residents.html

  • Santos Denies Poor Attitude Over Mud Mountain

    Australian oil and gas giant Santos has denied playing down the seriousness of a mud mountain, which it allegedly helped to create.

    The company, responding to a report on the unstoppable mudflow that was caused by a gas drilling incident in Indonesia in 2006, said it rejected suggestions that it has understated the severity of that incident.

    According to reliable reports from the UN and Australian governments, the disaster has so far caused economic damage of AUD$3.4 billion dollars to Indonesian land.

    Santos has declared provisions of just AUD$88.5 million dollars to the Australian Stock Exchange to cover the clean-up cost.

    Santos has not admitted any liability for the disaster.

    Foreign scientists in Indonesia have found the mud mountain was caused by drilling by an oil and gas firm linked to the scheme.

    (c) Sri Lanka Source

  • Santos Denies Playing Down Indonesia Mud Volcano Disaster

    SYDNEY (AFP) — Australian oil and gas giant Santos on Monday denied downplaying the seriousness of the disaster caused by the world’s largest “mud volcano” in Indonesia.

    The company was responding to a report that said it faced a ten-fold blowout of the clean-up bill from the unstoppable mudflow that was caused by a gas drilling incident in East Java in 2006.

    “Santos rejects any suggestion that it has understated the severity of that incident,” the company said in a statement.

    The company’s shares fell 3.6 percent following news of the clean-up cost of the area near Java’s second-largest city of Surabaya.

    Fairfax newspapers quoted a leaked report by the UN Environment Program (UNEP) and Australia’s government aid body AusAid as saying the disaster has so far caused economic damage of 3.4 billion dollars and could be contained.

    The study reportedly said the only way to mitigate the disaster would be to transport the mud 14 kilometers (8.75 miles) to the ocean to create a wetland, which would send the cost skyrocketing to 4.6 billion dollars.

    The mudflow could cost Santos 830 million dollars (681,762 US), the report said, while the firm has declared provisions of just 88.5 million dollars to the Australian Stock Exchange to cover the clean-up cost.

    The company, which has an 18 percent stake in a gas operation at the site, refused to comment on the UNEP report but said it believed that its declared provisions would be adequate.

    “Given the conditions at site and current activities being conducted, Santos believes that the provision remains an appropriate estimate of its potential liability associated with the incident.

    “As Santos has indicated previously, the situation remains dynamic, complex and uncertain. Santos will continue to review the adequacy of the provision in light of developments and available information,” the company added.

    Santos has not admitted any liability for the disaster.

    Santos shares were off 0.71 dollars, or 3.6 percent, in late trade at 18.66 dollars following the report.

    A study by foreign scientists in Indonesia has found the mud volcano was caused by drilling by oil and gas firm Lapindo Brantas, which holds a 50 percent stake in the scheme.

    (c) AFP

  • Santos Responds to Sidoarjo Mudflow Incident Report

    Monday, September 15, 2008 – Santos notes the article published in this morning’s Australian Financial Review containing speculation regarding its exposure to Sidoarjo mudflow incident in East Java. Santos rejects any suggestion that it has understated the severity of that incident.

    The Government of Indonesia has taken a major role in responding to the mudflow. Following from the national task force appointed to address the incident in 2006, the President of Indonesia established the Sidoarjo Mud Mitigation Agency in April 2007 with a long-term mandate to manage the issues associated with the incident. It has been doing so actively. Whilst the Agency is responsible for the ongoing response to and management of the incident, the incident remains a matter of significant concern to Santos.

    Santos has a non-operating 18% interest in the Brantas Production Sharing Contract. Lapindo, as Operator, continues to participate in all operations at the site. However, Santos has been supporting the efforts of the Agency and Lapindo and continues to believe that a resolution may ultimately be reached between all relevant parties.

    Santos is not in a position to comment specifically on the UNEP report. However, given the conditions at site and current activities being conducted, Santos believes that the provision remains an appropriate estimate of its potential liability associated with the incident. As Santos has indicated previously, the situation remains dynamic, complex and uncertain. Santos will continue to review the adequacy of the provision in light of developments and available information.

    © Oil Voice

  • Santos Defends $US79M For Indonesian Clean-up

    SANTOS has rejected suggestions that the $US79 million it has set aside to pay for its share of the Indonesian mudflow disaster is inadequate.

    CAMERON ENGLAND, September 15, 2008 11:30pm

    Reports yesterday quoted a United Nations Environment Program report, which said Santos’ share of the clean-up costs for the disaster could run as high as $830 million.

    UNEP spokesman Nick Nuttal yesterday cautioned that the report was “very much in draft form”.

    “Thus any findings released publicly now simply cannot be endorsed by UNEP, neither can any of the assertions, suggestions, observations or recommendations reported in the Australian press,” he said via email from Nairobi.

    Santos was a non-operating 18 per cent partner in drilling for gas at Sidoarjo in Indonesia, which experts say probably triggered a well blow-out and the subsequent mudflow disaster.

    The drilling at the site was conducted by Lapindo Brantas – part of a conglomerate owned by one of Indonesia’s richest families, of which People’s Welfare Minister Aburizal Bakrie is a member.

    The mud has continued to flow since the incident in May, 2006, and was estimated recently to be averaging 100,000 cubic meters a day.

    The mud has so far displaced an estimated 40,000 people and threatens another 60,000.

    The Jakarta Post has reported that a government investigation has not yet decided whether the disaster had natural or human-induced causes.

    A decision in the South Jakarta District Court late last year, which is being appealed, cited natural causes as the most likely cause of the incident.

    In the August edition of Geology, researchers including Australian academic Mark Tingay rejected the hypothesis that an earthquake was responsible, saying an earthquake at the time was too small and too far away to be the cause.

    A report on website Tempo Interactive on Saturday quoted Priyo Budi Santoso, deputy-chief of Indonesia’s House of Representatives, as saying that the Lapindo Mudflow Monitoring Team has “not done its job optimally”, with 98 new sources of mudflow discovered.

    Lapindo Brantas spokesman, Imam Agustino, was quoted as saying the company had disbursed 4.4 trillion rupiah ($582 million) in managing the mudflow.

    The Government has also reportedly allocated 1.194 trillion rupiah ($158 million) to manage the problem in 2009.

    © Adelaide Now

  • Institute Offers to Plug Mud Leaks

    The 10 November Institute of Technology (ITS) in Surabaya is offering a new solution to control the hot mudflows at the Lapindo Brantas Inc. mining site in Porong and a new way to manage the dumping of mudflow waste.

    The new technology was invented and developed by an ITS team of experts in cooperation with the UN Environmental Program (UNEP) and United Stated Agency for International Development (USAID).

    ITS team leader I Nyoman Sutantra said the technology was based on the Bernoulli Theory.

    It would stop the flows by rerouting the hot mudflow through a dam of pipes of 50 centimeters in diameter and 50 meters in height, each erected right on the source of the flow, he said.

    The flow, he added, would go back down the pipes to be diverted, once it reached their top end.

    “We have conducted research and a series of experiments to analyze the validity of the idea. We are confident this could deal with the mudflow,” he told The Jakarta Post on Monday.

    He said his team, in cooperation with the private sector, was ready to finance the implementation of the solution to control the mudflow that has badly affected local residents and the provincial economy.

    The new technological solution comes following a series of failures of other technologies previously proposed to stop the mudflow, including the insertion of stone balls into the holes and various methods suggested to divert the flow.

    Regarding the method that his team has proposed to deal with the mudflow, Sutantra said it was designed to prevent further destruction of the environment and possible flash flooding during the rainy season.

    The team sees the current handling by the Sidoarjo Mudflow Handling Agency (BPLS) as being not effective enough, since the mudflow is partly dumped into a giant pond and partly diverted into the Porong River.

    This, according to his team, has damaged the environment and could trigger flash flooding in the city during the rainy season.

    Since October, 2006, the volume of mudflow containing oil and gas and dumped into the river has reached 69 million cubic meters.

    This has formed a layer of sediment four meters thick on the riverbed, thus reducing its depth and causing it to overflow, producing odorous gases in the surrounding areas.

    “What we want to introduce is to divert the hot mud to the downstream wetlands, where shrimp ponds belonging to villagers are located,” Sutantra said.

    The mudflow, he said, could be rerouted through 20-kilometer pipelines to the wetlands. “Then we will no longer need to dump the hot mud to the storage pond or the river,” he added.

    The new dump site, he said, could be planted with mangroves that could absorb the salt content and toxic substances in the hot mud and the site could later be developed into farmland.

    “This will be the best alternative win-win solution and the safest way to salvage the environment and help save the Surabaya residents from a possible environmental and social disaster,” he said.

    “But this will be very costly as the development of the dump site requires the acquisition of thousands of hectares of shrimp and fish ponds belonging to local people,” he added.

    Sutantra also said that should the method be applied, the current giant pond could be developed into a residential complex and apartments to help the housing crisis in the capital city.

    Meanwhile, the BPLS deputy chairman overseeing operational affairs, Soffian Hadi, said the current disposal of hot mud into the river was an effective way of dealing with the problem.

    The sediments, he assured, would be washed out to sea by the rains in the coming rainy season.

    Indra Harsaputra, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/09/17/institute-offers-plug-mud-leaks.html

  • Komnas HAM Akui Belum Ada Perkembangan

    korbanlumpur.info – Ketua Tim Ad Hoc Pelanggaran HAM lumpur Lapindo, Syafrudin Ngulma Simeulue mengatakan sampai saat ini belum ada perkembangan berarti setelah penendatanganan surat kesepakatan korban Lapindo dengan pemerintah tanggal 29 Agustus lalu. “Terus terang, belum ada perkembangan konkrit setelah kesepakatn kemarin,” ujar dia.

    Hal ini ia katakan saat mediasi dengan Koalisi untuk Keadilan Korban Lumpur Lapindo yang diwakili Walhi, Jatam, Drilling Engineering Club (DEC), Gerakan Menutup Lumpur Lapindo pagi tadi (17/9).

    Menurut Syafrudin pihak Komnas HAM juga baru tahu bahwa banyak poin-poin kesepakatan itu juga belum dilakukan. Namun ia berjanji setelah mendapat laporan ini, pihak Komnas HAM akan memanggil menteri PU Djoko Kirmanto, untuk meminta penjelasan.

    Syafrudin juga berjanji dalam beberapa hari ke depan pihak Komnas HAM akan mengeluarkan laporan tentang pelanggaran HAM di kasus Lapindo. alasannya, perlu beberapa kali pertemuan lagi untuk mematangkan laporan itu. “Tim komnas HAM untuk lapindo sudah selesai masa kerjanya, namun di paripurna Komnas, kerja tim diperpanjang untuk menyelesaikan laporan.” papar dia. [navy]