Author: Redaksi Kanal

  • Ronde-ronde Lumpur Lapindo

    Oleh: Emha Ainun Nadjib

    Kapan-kapan kampung kita juga tidak dijamin tak akan tertimpa gempa, banjir, tanah longsor, atau segala jenis keisengan geologi bumi dan alam lainnya. Juga rumah saya. Kapan saja, mungkin semenit mendatang, kita bisa mengalami sesuatu yang mengerikan: bangkrut, kehilangan, kecewa, kaget, syok, stres, depresi, atau apa pun, pada diri kita, keluarga, kantor, komunitas, klub, golongan. Kemungkinan itu ada pada semua dan setiap kita. Karena itu, saya tidak berani tak bersungguh-sungguh melakukan apa pun, apalagi terkait dengan penderitaan sesama manusia. Itulah keberangkatan tulisan ini.

    Bertele-telenya, sangat seret dan macetnya, penanganan hak sekitar 50 ribu korban lumpur di Sidoarjo, yang kampungnya tenggelam, kira-kira kronologinya begini. Sampai setahun lebih setelah 29 Mei 2006 adalah ronde 1: korban vs Lapindo. Ronde 2: korban vs Minarak Lapindo. Kemudian setelah Presiden turun gunung adalah ronde 3: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) vs Minarak Lapindo.

    Pada 10 Juli 2007, Presiden marah besar mendengar laporan (tidak melalui jalur birokrasi) kemacetan itu, kemudian Nirwan Bakrie dipanggil Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Maka, ini adalah ronde 4: Presiden vs Bakrie. Dan kalau ini gagal, ronde 5 adalah rakyat vs Lapindo.

    Wallahualam. Di tengah-tengah menulis ini, saya ditelepon oleh Direktur Operasional PT Minarak Lapindo yang melaporkan bahwa besok akan dilaksanakan pembayaran untuk korban yang verifikasinya menggunakan Letter C dan Petok D–kriteria yang sebelumnya ditolak untuk mendapatkan hak bayar, meskipun masih ada kontroversi tentang luas bangunan.

    Batas psikologis

    Sejak beberapa hari yang lalu, saya menghitung bahwa Senin, 16 Juli, lusa mungkin merupakan batas psikologis akhir bagi para korban lumpur Sidoarjo ketika Presiden dan aparat pemerintahnya harus memastikan validitas kebijakan dan kinerja untuk memastikan pembayaran ganti rugi bagi penduduk korban lumpur.

    Beberapa hari ini, terutama kemarin, agak repot saya meredam kemarahan para korban, menunda amukan mereka sampai akhirnya kemarin Presiden marah besar kepada Minarak. Sudah pasti itu sangat mengurangi tensi emosi korban untuk sejenak waktu. Tapi, kalau ini gagal lagi, kesempatan berikutnya bukan naik tensi lagi, tapi pasti menjadi ledakan atau minimal letusan.

    Sejak Presiden pulang dari turun gunung di Sidoarjo, sebenarnya hal itu melahirkan langkah maju secara kebijakan dibanding tahap sikap sebelumnya, tapi belum diaplikasikan secara signifikan di lapangan. Pada 26 Juni 2007 pagi, Presiden Yudhoyono menyaksikan pembayaran simbolis Minarak Lapindo kepada 163 korban, dan sampai kini tahap yang itu saja pun belum tuntas. Padahal angka 163, yang dengan pembayaran sebelumnya berjumlah 522, adalah produk verifikasi Tim Nasional yang kini sudah dibubarkan. Hasil verifikasi BPLS, yang jadwalnya diaplikasikan dalam pembayaran sejak 1 Juli 2007, sampai menjelang habis dua minggu tidak memberikan optimisme kepada psikologi korban. Dari 400 berkas hasil BPLS, oleh Minarak Lapindo hanya diterima 38.

    Masalah utama yang mengganjal proses ini adalah tidak adanya kalimat kebijakan eksplisit dari Presiden bahwa hak verifikasi atas tanah dan bangunan korban ada di tangan BPLS, sementara Minarak Lapindo adalah kasir. Pihak Minarak ikut berada dalam proses verifikasi BPLS dan berlaku sebagai pengambil keputusan akhir diterima atau tidaknya berkas verifikasi. Ribuan tanda tangan Bupati Sidoarjo tetap tidak berlaku bagi Minarak, meskipun hal itu yang membuat Presiden marah dan kemudian mengambil keputusan untuk ngantor di Sidoarjo selama 3 hari.

    Situasi ketidakpercayaan muncul lagi seperti sebelumnya, dan hari demi hari emosi ketidakpercayaan itu akan meningkat curam dan akan sangat mudah melahirkan anarkisme jika sampai Senin 16 Juli lusa Presiden tidak segera mengambil langkah yang tegas.

    Tuhan, ayam, dan pemerintah

    Tuhan menciptakan janin dengan perlindungan maintenance, sistem, dan fasilitas yang menjamin tercapainya goal menjadi bayi. Bahkan sampai bayi itu kelak dewasa dan mati, jaminan sistem dan fasilitas Tuhan itu tetap berlangsung, termasuk mekanisme kontrolnya.

    Induk ayam pun bertelur dan mengeraminya untuk menciptakan suhu dan kehangatan demi pematangan telur itu, menjamin perlindungan dan panduan rezeki sampai kelak telur itu menjadi anak ayam, kemudian dewasa dan didemokratisasi, diindependenkan.

    Negara dan pemerintah tinggal meniru ayam. Kalau membuat keputusan, ya, disertai maintenance, sistem, fasilitas, dan mekanisme kontrol seketat mungkin. Harus diakui hal itu tak tersiapkan secara memadai dalam kasus lumpur sehingga bertele-tele sampai setahun lebih. Dalam pertemuan Cikeas 24 Juni 2007, Presiden bertanya: Minarak ini apa? Ternyata beliau tak pernah mendapat laporan yang mencukupi tentang anak perusahaan Lapindo yang khusus menangani korban itu. Bahkan tatkala kemudian Presiden turun gunung, kesadaran dan peningkatan kinerja “induk ayam” itu pun tidak cukup progresif. Keputusan hasil Presiden berkantor tiga hari di Sidoarjo kurang dikawal secara ketat oleh mesin birokrasi.

    Air mata seember

    Mohon izin saya kemukakan sedikit background berikut ini, untuk menghindari bias dan salah sangka di seputar masalah ini. Saya tercampak ke lubang pekerjaan yang sama sekali jauh melampaui batas kemampuan saya. Sebanyak 10.476 keluarga (sekitar 45 ribu orang, sekitar 94 persen dari seluruh korban) menyampaikan surat mandat untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam menyampaikan jumlah korban lumpur Lapindo sesuai dengan data yang mereka miliki kepada Presiden, termasuk tuntutan dan harapan agar Presiden mengambil langkah taktis untuk mengatasi permasalahan mereka.

    Surat itu disampaikan pada 22 Juni 2007, kemudian 16 perwakilan penduduk yang menandatangani surat itu bertemu dengan Presiden di Cikeas pada 24 Juni 2007 sore. Berlangsunglah pertemuan satu setengah jam. Presiden sangat capek oleh berbagai urusan dan beban sehingga meminta saya memimpin rapat yang dihadiri 16 perwakilan korban lumpur, wakil Institut Teknologi Surabaya (ITS), 4 menteri, serta Kepala BPLS. Presiden menangis tiga kali dengan aktualisasi ekspresi yang berbeda-beda. Dan saya yakin di muka bumi ini, sejak zaman Nabi Adam, tak ada presiden yang sedemikian bodohnya sehingga tidak tahu bahwa, biarpun menangis seember, tidaklah bisa menyelesaikan masalah.

    Karena itu, dalam rapat itu tidak saya katakan kepada beliau: “Pak, meskipun sampean nangis sampai seember, itu tidaklah menyelesaikan masalah.” Bahkan di tengah rapat, ketika Bambang Sakri, salah seorang perwakilan korban, menangis terus-menerus selama mengemukakan keluhannya, saya berdiri dan berjalan mendatanginya, saya elus pundaknya, saya peluk dan saya bisiki: “Ancene arek Sidoarjo gembeng-gembeng (Memang orang Sidoarjo dikit-dikit nangis).”

    Dalam rapat itu Presiden mengalami 4 kali eskalasi keputusan. Pertama, kata Presiden: “Dalam waktu dekat saya akan ke Sidoarjo.” Setelah omong-omong lagi, menjadi, “Besok saya ke Sidoarjo.” Kemudian meningkat lagi, “Besok saya akan ngantor tiga hari di Sidoarjo.” Terakhir, “Besok jam 2 siang saya akan berangkat ke Sidoarjo bersama Cak Nun dan Saudara-saudara semua perwakilan korban.”

    Maka lahirlah keputusan Sidoarjo yang lumayan mengubah keadaan. Pertama, semula proses ganti rugi tanpa time schedule, kini jelas batas akhirnya: 14 September. Kedua, kriteria verifikasi tanah dan bangunan korban sangat diperlonggar: kalau tak ada IMB Letter C, Petok D, ya, data ITS. Kalau tak ada, ya, cukup kesaksian warga yang ditandatangani dari birokrasi terbawah sampai bupati. Ketiga, hak verifikasi ada pada BPLS, Minarak Lapindo tinggal membayar.

    Sampai anak-cucu

    Ini telur yang lumayan, tapi yang angrem siapa agar menetas? Kita yang di bawah harus lebih proaktif. Secara moral, kita semua bertanggung jawab atas semua korban, baik yang menerima ganti rugi (DP) 20 persen, yang menuntut 50 persen, 100 persen, maupun bahkan yang punya ide-ide 300 persen dan 500 persen. Hak amanat hanya dari yang 20 persen dan 50 persen serta 16 pengusaha Gabungan Pengusaha Korban Lumpur (GPKL). Tapi ketika kita merekayasa agar Menteri tertentu datang ke Surabaya untuk dipertemukan dengan mereka, diskusi sangat memikirkan korban secara keseluruhan.

    Terakhir beberapa hari yang lalu saya dari Jakarta bersama Direktur Operasional Minarak, anak perusahaan Lapindo yang bertugas menangani korban lumpur, mengadakan pertemuan dengan perwakilan penduduk. Kemudian terjadi kesepakatan, bersalaman, dan baca Al-Fatihah bareng. Ada kesepakatan bahwa sekitar 442 luasan tanah hasil verifikasi BPLS, besok segera dibayar oleh Minarak Lapindo. Tapi kemudian gagal lagi.

    Sekarang rondenya adalah Presiden vs Bakrie. Tidak ada kaitan formal hukum antara Grup Bakrie dan Lapindo atau perusahaan induknya. Tapi, sebagaimana Lapindo sendiri menyebut apa yang dilakukannya kepada korban lumpur adalah solidaritas kemanusiaan dan tolong menolong, penyebutan Bakrie di atas adalah karena ada keterkaitan kultural, kemanusiaan, dan kebangsaan antara Lapindo dan Bakrie. Apalagi Presiden pernah menceritakan kepada saya bahwa ia sudah berkata keras kepada Bakrie: “Anda harus bayar itu. Kalau tidak, nanti akan sangat panjang sampai ke anak-cucu.”

    Kita saksikan bersama bagaimana ronde ini berlangsung. Lapindo punya banyak kekuatan dan kelemahan dari berbagai sisi, demikian juga pemerintah. Pihak-pihak lain yang terkait juga dipaksa melakukan latihan-latihan. Jab, swing, hook, straight, dan uppercut tersimpan dan diasah. Namun, yang saya dambakan bukanlah itu semua, melainkan kemaslahatan bersama, dan itulah sebabnya hari demi hari saya terus berupaya menyambung semua pihak yang terlibat dan mencoba merangkul mereka ke semesta nilai-nilai manusia yang lebih tinggi dari transaksi ekonomi, formalisme hukum, apalagi dendam dan kebencian.

    Tapi pada 12 Juli 2007 pagi, Direktur Operasi Minarak Lapindo melaporkan: pengajuan hasil verifikasi BPLS sebanyak 344 berkas, sudah dibayar 52, yang 292 akan dilaksanakan pembayarannya hari ini. Apakah itu secercah harapan? Meskipun janji Presiden ketika turun gunung setiap seminggu dibayar 1.000 sampai 14 September 2007?(***)

    Sumber: Koran Tempo, 13 Juli 2007

  • Interpelasi Kasus Lapindo

    Oleh: Toto Sugiarto

    Berita baik terkirim dari Senayan. Sebanyak 129 anggota DPR mengajukan hak interpelasi lumpur Lapindo. Mereka mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani kasus ini.

    Namun, apakah berita baik ini akan berakhir menyenangkan? Seriuskan DPR menggulirkan interpelasi ini?

    Urgensi interpelasi

    Mengapa interpelasi Lapindo penting? Ada tiga hal yang mendasari interpelasi ini penting bagi rakyat dan negara.

    Pertama, pemerintah tidak serius membela rakyat dan terkesan membiarkan rakyat tenggelam dalam penderitaan. Dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, pemerintah melegitimasi ketidakadilan dari kuasa kapital. Rakyat korban Lapindo dipaksa menerima 20 persen pembayaran transaksi jual-beli harta. Sisanya dibayarkan dua tahun kemudian tanpa bunga. Yang paling menyedihkan, transaksi yang merugikan ini dipayungi produk hukum buatan pemerintah. Ini pemihakan nyata pemerintahan kepada kuasa kapital.

    Kedua, kerugian negara. Luapan lumpur telah merusak dan menenggelamkan infrastruktur dan mengganggu perekonomian Jawa Timur dan nasional.

    Kerugian juga ditimbulkan oleh isi Perpres 14/2007 yang membebankan sebagian besar biaya penanggulangan kepada negara. Negara, antara lain, dibebani keharusan membiayai pengalihan infrastruktur, kanalisasi lumpur dari kali porong sampai ke laut, dan biaya sosial kemasyarakatan di luar peta 22 Maret 2007.

    Ketiga, kasus Lapindo menegaskan pemerintah tidak serius menegakkan hukum. Amat mengherankan jika pemerintah tidak menyeret pihak-pihak yang jelas merugikan rakyat dan negara ke pengadilan.

    Berdasar tiga hal itu, pemerintah terlihat mengesampingkan kepentingan rakyat dan negara serta lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital. Karena itu, pengajuan hak interpelasi menjadi urgen, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No 22/2003, yaitu hak untuk meminta keterangan pemerintah tentang kebijakan penting dan strategis serta berdampak (negatif yang) luas pada kehidupan masyarakat dan bernegara.

    Hak dan kewajiban

    Dengan pertimbangan bahwa penderitaan rakyat akan kian berat dan panjang serta kerugian negara kian besar jika kasus Lapindo dibiarkan, maka hak interpelasi DPR menjadi kewajiban. DPR wajib mempertanyakan sikap pemerintah yang terasa lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital dan mengorbankan rakyat dan negara.

    DPR juga wajib menyuarakan nurani rakyat, saat mereka berteriak menuntut keadilan.

    Selain mempertanyakan, DPR perlu melakukan tekanan agar pemerintah mengakhiri konflik kepentingan dalam dirinya sekarang ini. DPR perlu menekan pemerintah agar membuang faktor-faktor yang menyumbat penyelesaian dampak sosial lumpur Lapindo. Setelah konflik kepentingan teratasi, diharapkan pemerintah akan berhenti berlaku tidak adil terhadap rakyat.

    Tujuannya, rakyat harus diselamatkan. Hak milik rakyat yang terenggut dan harus dikembalikan. Adalah tugas pemerintah yang merupakan pemegang otoritas negara untuk menjamin hak-hak dasar warga negara.

    Catatan akhir

    Dalam kasus lumpur Lapindo ini, pemerintah tampak telah terkooptasi oleh kekuatan kapital. Adalah tidak mungkin mengharap langkah radikal pemerintah dalam menolong para korban tanpa tekanan dari DPR.

    Karena itu, DPR perlu serius menggulirkan interpelasi ini. Langkah ini harus diselesaikan hingga korban lumpur Lapindo terselamatkan dan perekonomian Jawa Timur dan nasional kembali berjalan normal.

    Jika perlu, berakhir dengan pemakzulan (impeachment). Pemerintah yang tidak lagi bisa menjamin hak-hak dasar warga negara, pemerintah yang “menggadaikan” atau bahkan “menjual” nasib rakyatnya kepada suatu kuasa karena merasa berutang budi atau demi mendapat keuntungan, harus diberhentikan.

    Meski prinsip demokrasi amat mengagungkan keteraturan rotasi kepemimpinan melalui pemilu ke pemilu, namun prinsip demokrasi jugalah yang menempatkan kepentingan rakyat dan negara di atas segala-galanya.

    Pemerintahan yang tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat dan negara di atas segalanya, perlu dipertanyakan kelanjutan legitimasi kekuasaannya. Di titik ini, DPR perlu mempertanyakan kepada otoritas hukum, apakah legitimasi rakyat masih layak dipegang pemerintahan sekarang.

    Di sisi lain, DPR perlu membuktikan, dirinya tidak melupakan “ibu yang mengandungnya”. Dengan serius memperjuangkan nasib rakyat yang teraniaya, seperti korban lumpur Lapindo, DPR membuktikan dirinya bukan “anak durhaka”. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 18 Juni 2007

  • Lapindo dan Hak untuk Tahu

    Oleh: Agus Sudibyo

    Kehancuran infrastruktur di sekitar lokasi lumpur Lapindo kian memprihatinkan.

    Jika sebelumnya jumlah penduduk yang harus dipindahkan “hanya” 6.000 kepala keluarga (KK), kini menjadi 13.000 KK. Jika semula putusnya jalan tol Surabaya-Gempol adalah dampak terburuk lumpur Lapindo atas jalur transportasi umum, kini yang terjadi lebih buruk lagi. Jalan arteri Porong sebagai satu-satunya jalur transportasi yang tersisa juga sulit diselamatkan, juga jalur kereta api Surabaya-Malang/Banyuwangi.

    Ratusan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 Sidoarjo, Jawa Timur, sempat berdemo di depan Istana Merdeka, menuntut pemerintah serius memperjuangkan nasib mereka.

    Sungguh mencengangkan. Semakin lama kita tidak paham atas apa yang terjadi dengan Lapindo. Bukan hanya masyarakat, pemerintah pun ternyata tidak tahu persis skala bencana yang terjadi. Prediksi skala bencana, skala kerusakan, serta eskalasi kerugian dan korban, banyak yang tidak akurat. Berbagai cara untuk mengurangi luapan lumpur juga tidak efektif. Teknologi yang memungkinkan eksplorasi kekayaan alam bernilai ekonomi tinggi tidak dibarengi ketersediaan informasi dan pengetahuan tentang dampak buruk di kemudian hari.

    Peran iptek

    Eskalasi dampak semburan lumpur menunjukkan paradoks ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) modern. Kemajuan iptek telah memberi manfaat dan kemudahan bagi manusia. Tetapi, kemajuan iptek juga dapat membuat kehidupan manusia terkepung risiko-risiko yang tak terbayangkan sebelumnya. Iptek untuk memperluas cakrawala pengetahuan, tetapi tidak otomatis membangun kapasitas guna memprediksi aneka kemungkinan negatif yang menyertainya.

    Persoalannya, penggunaan teknologi tinggi dalam eksplorasi alam di Indonesia hampir selalu dipaksakan. Berbagai keputusan untuk melakukan eksplorasi yang tidak ramah lingkungan, atau yang terlalu dekat permukiman penduduk dan infrastruktur publik, selalu diputuskan sepihak oleh pemerintah dan pengusaha.

    Keberadaan masyarakat dengan aneka beban bukan faktor signifikan dalam menentukan apakah sebuah proyek eksplorasi bisa dilakukan atau tidak. Masyarakat adalah penonton pasif proses pengerukan sumber-sumber alam dan potensi daerah. Mereka bukan hanya tidak tahu bagaimana dan untuk apa hasil eksplorasi kekayaan alam dialokasikan, tetapi juga tidak mendapat penjelasan tentang risiko eksplorasi bagi keselamatan dan kelangsungan hidup mereka.

    Namun, jika tiba-tiba terjadi kecelakaan dan masyarakat sekitar menjadi korban, pihak-pihak itu cenderung lamban membuat antisipasi. Yang lebih menggelikan, ada upaya penyebaran persepsi, yang terjadi bukan kesalahan teknis-prosedur eksplorasi, tetapi gejala alam yang lazim terjadi di tempat lain, seperti diwacanakan majalah LUSI (singkatan Lumpur Sidoarjo). “Karena gejala alam biasa, tidak semestinya pihak perusahaan memikul tanggung jawab sepenuhnya,” begitu kira-kira maksudnya.

    Daulat publik

    “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.” Sulit membayangkan bagaimana perintah konstitusi ini dilaksanakan di tengah kesemrawutan manajemen eksplorasi kekayaan alam, yang bukannya semakin menyejahterakan, tetapi justru kian menyengsarakan masyarakat.

    Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus Lapindo? Kita harus terus mengingatkan semua pihak bahwa publik berdaulat atas pengelolaan kekayaan alam. Jika pelibatan publik dalam kegiatan eksploitasi kekayaan alam merupakan pilihan yang tidak realistis, setidaknya ada mekanisme yang memfasilitasi publik untuk mengetahui seluk-beluk proyek eksploitasi kekayaan alam itu.

    Secara minimal, daulat publik diwujudkan dalam bentuk “hak publik untuk tahu” (right to know). Publik berhak atas informasi yang komprehensif tentang kelayakan aneka fasilitas pertambangan, terutama yang berperangkat teknologi tinggi, dan langkah-langkah antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan fatal. Tak kalah penting, hak publik untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana proyek eksplorasi itu relevan bagi kesejahteraan masyarakat.

    Kasus Lapindo menunjukkan keterbukaan informasi bukan hanya penting dalam kerangka pemberantasan korupsi. Keterbukaan informasi adalah prinsip universal bagi semua aspek kehidupan publik, termasuk untuk menghindarkan publik dari dampak buruk proyek-proyek pertambangan yang selalu diputuskan dan dilaksanakan secara eksklusif dan penuh kerahasiaan.

    Andai sejak awal keterbukaan informasi diwujudkan dalam proyek PT Lapindo Brantas, kecelakaan fatal mungkin bisa dihindari dan ratusan ribu orang tidak harus kehilangan rumah, kampung, makam leluhur, sekolah, dan mata pencarian untuk sebuah proyek yang belum tentu mereka pahami apa manfaatnya. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 20 April 2007

  • Lapindo dan Absennya Pemerintah

    Oleh: Tata Mustasya

    Jika tak ada perubahan kebijakan mendasar, sejarah bakal mencatat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mangkir dari salah satu kewajiban pentingnya. Akan tertulis, pemerintah absen, dengan tidak melindungi sepenuhnya hak-hak masyarakat Sidoarjo dari semburan lumpur panas.

    Padahal, buku-buku teks kebijakan publik—misalnya Economics of the Public Sector oleh Joseph E Stiglitz—menegaskan perlunya peran pemerintah (government role) mengoreksi eksternalitas negatif akibat aktivitas ekonomi, misalnya ada pajak terhadap pencemaran oleh pabrik. Dengan demikian, biaya sosial polusi tidak ditanggung masyarakat yang “tidak bersalah”, juga pengusaha mempunyai insentif untuk meminimalisasi polusi.

    Jika keberadaan eksternalitas negatif menuntut intervensi pengambil kebijakan, amat ganjil jika perampasan aneka hak masyarakat di Sidoarjo tak mampu menghadirkan pemerintah secara penuh. Yang paling nyata, timbulnya ketidakjelasan ganti rugi. Ada apa dengan Lapindo dan absennya pemerintah?

    Bukan perilaku pasar

    Perlu dicatat, sikap Lapindo—dengan tidak bertanggung jawab terhadap kerugian masyarakat—bukan perilaku “ekonomi pasar”. Sebaliknya, ekonomi pasar menuntut pertanggungjawaban dan penghormatan hak milik (property rights).

    Kasus bangkrutnya perusahaan energi raksasa, Enron, di Amerika Serikat (AS) tahun 2001 merupakan contoh. Terbukti melakukan penipuan keuangan, Chief Executive Officer (CEO) Enron Jeffrey Skilling—salah satu lulusan terbaik Harvard Business School—divonis hukuman penjara 24 tahun 4 bulan. Skilling dan beberapa petinggi Enron lain telah menyembunyikan prospek buruk Enron untuk mendongkrak harga saham dan nilai pasar perusahaan itu. Dengan manipulasi mereka, Enron berkembang menjadi perusahaan ketujuh terbesar di AS dan mendapat predikat America’s Most Innovative Company dari majalah Fortune pada tahun 1996-2001.

    Hukuman berat itu menunjukkan pentingnya sebuah perekonomian pasar yang melindungi hak- hak pelakunya dan publik. Dalam kasus Enron, yang dilindungi adalah investor dan 21.000 pegawai. Para petinggi Enron bahkan harus menyerahkan aset-aset pribadi untuk ganti rugi.

    Yang menarik, penegak hukum di AS melakukan yurisprudensi dalam vonis petinggi Enron dan kantor akuntan Arthur Andersen sebagai auditor. Kejahatan Enron dan Arthur Andersen sebagai perusahaan harus dibebankan kepada individu para eksekutif puncak meski kesalahan mereka sekadar “tidak mau tahu” terhadap praktik bisnis kotor.

    Dalam satu aspek, perilaku Lapindo lebih destruktif dibandingkan dengan Enron. Lapindo merugikan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai akad ekonomi dengan perusahaan itu. Mereka bukan investor atau pegawai.

    Lapindo juga terindikasi mencari celah untuk “efisiensi” ganti rugi. Relokasi—bukan penggantian uang— menghilangkan pilihan warga terhadap tempat tinggal baru. Lebih jauh, kerugian warga disimplifikasi menjadi hilangnya hak milik (properties) dan menafikan kerugian karena hilangnya pekerjaan dan tekanan psikologis.

    Peran pemerintah

    Presiden Yudhoyono—atas nama warga—harus memaksa Lapindo membayar ganti rugi dalam bentuk uang, bukan cuma komitmen. Urgensi peran pemerintah mutlak. Hal ini disebabkan pertama, kerugian dan hilangnya hak milik telanjur terjadi dan begitu nyata; kedua, kekuatan tawar Lapindo dan warga yang amat asimetris. Dalam kondisi ini, “negosiasi” bipartit antara Lapindo mustahil berlangsung adil. Langkah konkretnya, bentuk sebuah auditor independen untuk menghitung kerugian. Valuasi kerugian jangan dikendalikan Lapindo.

    Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu.

    Selanjutnya, Presiden harus melakukan terobosan sehingga kesalahan Lapindo dapat ditarik dan dibebankan ke pundak petinggi perusahaan ini, bukan melulu operator lapangan. Langkah ini mencegah skenario—yang mulai dilontarkan beberapa politisi—untuk membebankan biaya kerugian kepada negara dengan dalih bencana nasional. Di sinilah ada hambatan ekonomi-politik yang kuat.

    Pemilik saham terbesar PT Energi Mega Persada—sebagai pemegang terbesar saham Lapindo saat lumpur panas pertama kali terjadi—merupakan pemain penting di pasar politik. Konsekuensi, ketegasan Yudhoyono mungkin bisa mengubah keseimbangan politik yang merepotkan.

    Persoalannya, di sisi lain, publik mulai curiga pemerintah juga melibatkan diri dalam “skandal” ini. Teori strukturalis menemukan faktanya di mana elite politik bermain mata dengan pebisnis besar bukan melulu soal kepentingan, tetapi juga kedekatan alami dari banyak aktivitas, seperti golf dan makan malam. Tidak heran baik Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Bupati Sidoarjo kerap terlihat berbicara atas nama Lapindo, bukan masyarakat yang dirugikan.

    Menyikapi mangkirnya pemerintah, ada pihak-pihak yang memiliki kewajiban moral untuk bertindak. Pertama, aktivis (misalnya di bidang lingkungan dan hak asasi manusia), tokoh agama, dan cendekiawan; Kedua, partai politik, terutama partai yang memiliki basis kuat di Jawa Timur, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 22 Maret 2007

  • Sonny Keraf: Ada Kesungkanan karena Aburizal Bakrie Ada di Pemerintahan

    APA boleh buat: nasi sudah jadi bubur, sawah telah jadi lumpur. Semburan gas dan lumpur panas dari sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung hampir sebulan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pada Senin pekan lalu menyatakan, semburan itu bukan akibat gempa, “Tapi karena kesalahan pengeboran.”

    Lapindo Brantas, anak perusahaan Energi Mega Persada, salah satu perusahaan yang tergabung dalam kelompok usaha Bakrie, awalnya memang menyebut gempa yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei lalu sebagai penyebab. Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) yang seharusnya mengontrol eksplorasi ini mengamini pernyataan itu. Tapi, “Itu manipulasi informasi,” ujar Sonny Keraf, Wakil Ketua Komisi VII DPR–komisi yang salah satunya membawahkan bidang lingkungan.

    Kejengkelan Sonny terhadap BP Migas–lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan eksplorasi minyak dan gas di Indonesia–sudah sampai ubun-ubun. Ia menunjukkan data inefisiensi penyelenggaraan kegiatan hulu migas (cost recovery) yang terus meroket dari tahun ke tahun, sementara produksi migas justru menurun. Pada 2002 cost recovery tercatat US$ 3,1 miliar, tapi tahun berikutnya menjadi US$ 5,3 miliar. Tahun lalu angka itu terus naik menjadi US$ 7,5 miliar, setara dengan Rp 24,2 triliun.

    Selasa pekan lalu, Sonny menerima wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, serta fotografer Cheppy A. Muchlis untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya Gedung Nusantara I, DPR-RI. Menteri Lingkungan Hidup dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid ini menjawab semua pertanyaan dengan tenang, tak meledak-ledak.

     

    Mengapa bencana Lapindo Brantas ini terjadi?

    Kalau ditarik ke hulu, sangat mungkin berawal dari proses tender yang jatuhnya ke perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama. Karena berada dalam satu grup, kontrol dari kontraktor terhadap proses kerja perusahaan yang melakukan pengeboran tidak berjalan semestinya.

    Maksud Anda ada indikasi kolusi?

    Kalau saya dan Anda masih satu kelompok dan Anda mendapat tender dari saya, akan ada kecenderungan saya tidak akan dengan tegas mengontrol, mengendalikan, atau menegur Anda dan seterusnya. Polisi harus mengusut bagaimana kaitan antara Lapindo Brantas dan kontraktor, apakah ada indikasi kolusi atau tidak. Sebab, hal itu sangat berpengaruh terhadap proses kontrol, termasuk pemilihan teknologi dan peralatan yang digunakan. Bisa saja ada upaya penghematan untuk menaikkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga prosedur operasi standar tidak dipenuhi.

    Apa alasan tudingan Anda ini?

    Ketika Lapindo Brantas, BP Migas, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut pergeseran patahan akibat gempa di Yogyakarta (sebagai penyebab semburan lumpur) dalam penjelasan resmi di Komisi VII, saya langsung curiga. Penjelasan yang seragam ini merupakan manipulasi informasi, karena belakangan terbukti penyebabnya bukan itu.

    Kini tim independen sudah dibentuk. Anda percaya?

    Saya tidak percaya kepada tim ini. Saya tidak yakin BP Migas akan obyektif dan tidak campur tangan. Ini berdasarkan pengalaman di Newmont Minahasa, tatkala ada tim teknis yang dibentuk oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Teman-teman dalam tim tidak bisa leluasa mengungkapkan temuan mereka karena ada intervensi dari berbagai pihak. Itu membuat tidak semua yang ditemukan bisa diungkap. Problemnya, kalau tim ini sama sekali terlepas dari BP Migas, kita terbentur pada kendala teknis: siapa yang akan membiayai? Di luar itu saya mengharapkan ada tim pemantau dari masyarakat, mungkin dari Walhi dan pakar geologi serta geoscience di bidang perminyakan. Ini penting karena kita tahu Lapindo Brantas dimiliki oleh kelompok Bakrie. Saya khawatir ada kesungkanan dalam mengungkapkan ini, karena Pak Aburizal Bakrie ada di dalam pemerintahan sekarang.

    Apa alasan kekhawatiran itu?

    Dalam penjelasan awal yang saya anggap ada manipulasi untuk menyalahkan alam tadi, saya mendapatkan kesan jangan-jangan ini disebabkan Lapindo dimiliki kelompok usaha Bakrie.

    Anda melihat langsung penanganan di lapangan, bagaimana menurut Anda?

    Ada tiga hal menarik. Pertama, tidak ada koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat, baik dari BP Migas, Lapindo Brantas, pemerintah provinsi, kabupaten, maupun instansi lain. Lembaga penelitian dari berbagai universitas datang sendiri-sendiri dan mengambil sampel di titik yang berbeda, sehingga bisa saja temuan mereka sangat bervariasi. Ini disebabkan lemahnya kepemimpinan dalam manajemen penanganan bencana.

    Kedua, tidak ada komunikasi yang baik dengan masyarakat. Taruhlah satu-dua hari pertama orang masih sibuk dengan berbagai upaya untuk memahami fenomena ini. Tapi, paling lama satu minggu setelah itu, seharusnya ada pihak yang powerful–disegani, dipercaya, kredibel–untuk tampil mengatasi suasana dan menjelaskan ke masyarakat. Fungsi ini harus dilakukan BP Migas karena menurut undang-undang memang lembaga inilah yang memiliki kewenangan untuk itu.

    Ketiga, seorang penduduk yang pernah bekerja di pengeboran minyak dan rumahnya berhadapan langsung dengan sumur itu menyebutkan tidak ada aktivitas tanggap darurat yang jelas begitu bencana terjadi. Agak lama setelah bupatinya turun tangan, baru Lapindo menyediakan alat berat membangun tanggul bersama masyarakat. Tapi itu baru seminggu kemudian. Sudah terlambat.

    Tentang materi lumpur itu sendiri?

    Ini juga menarik. Pemerintah, termasuk Lapindo, di Komisi VII mengatakan bahwa lumpur itu bukan bahan beracun dan berbahaya (B3). Itu pernyataan yang gegabah. Salah satu anggota Komisi VII, Catur Sapto Edi (PAN), yang memahami betul soal B3, mengatakan itu kekeliruan yang besar. Sebab, di lapangan ditemukan tarbol, yaitu gumpalan minyak hitam, seperti ter yang mengapung di atas lumpur. Itu saja berarti ada B3. Belakangan ada temuan dari ITS di Surabaya dan pihak yang lain bahwa ditemukan juga fenol serta zat-zat lain.

    (Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 45 Tahun 2002 untuk air golongan III, yakni air untuk peternakan dan pembudidayaan ikan, ambang kandungan fenol adalah 1 miligram per liter. Sedangkan dari sampel lumpur yang diambil 40 meter di utara jalan tol Porong-Gempol, kandungan fenol tercatat tiga kali lebih tinggi, yakni 3,37 miligram per liter-Red).

    Menteri Negara Lingkungan Hidup pernah mengatakan bahwa lumpur itu tidak beracun?

    Itu juga mengejutkan saya. Dalam dialog di radio dengan Ketua Komisi VII Agusman Effendi pada 12 Juni lalu, Pak Rachmat Witoelar mengatakan bahwa lumpur itu bukan B3. Saya tanyakan lewat SMS. Beliau mengatakan informasi itu didapatnya dari lapangan. Untungnya Pak Rachmat lalu meralat pernyataannya.

    Tentang kompensasi per keluarga senilai Rp 200 ribu itu, layakkah?

    Saya yakin tidak semua masyarakat sekitar yang terkena lumpur mendapat kompensasi. Di lapangan saya temukan warga yang tinggal sangat dekat dengan tanggul pun mengaku tidak mendapat apa pun. Saya tidak tahu mereka ngomong benar atau tidak. Jadi ada kemungkinan pembagian kompensasi tidak merata. Saya tidak tahu kelanjutannya sekarang.

    Bagaimana menghitung kompensasi bagi penduduk atas kerugian yang mereka alami?

    Ada satu sub dalam tim independen yang melakukan perhitungan itu, baik kerugian material maupun imaterial. Material misalnya sawah mereka yang rusak dan kesehatan yang terganggu. Imaterial misalnya biaya yang muncul karena mereka kehilangan hari kerja, baik karena sakit maupun karena mereka harus mengawasi lumpur agar tidak membanjiri rumah. Kemudian sejauh mana sumur dan air mereka terkena. Juga harus diperhitungkan kerugian jalan tol, tidak hanya Jasa Marga tapi juga warga pengguna yang aktivitasnya terhambat. Belum lagi pabrik-pabrik di sekitarnya yang terhenti kegiatannya. Tentang ini Komisi VII sudah mengeluarkan dua sikap. Pertama, semua kerugian harus ditanggung Lapindo Brantas. Kedua, agar biaya yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk ganti rugi tidak dimasukkan ke cost recovery. Kalau biaya itu termasuk cost recovery, negara dan pemerintah provinsi akan ikut menanggung karena ada porsi dari bagi hasil.

    Artinya, masyarakat yang jadi korban, masyarakat juga yang harus membayar?

    Betul. Itu kan tidak fair.

    Apakah ada sinyal Lapindo Brantas akan memasukkan ganti rugi itu sebagai cost recovery?

    Tahun lalu Komisi VII melakukan diskusi panjang dengan BP Migas tentang parameter cost recovery, karena kami lihat tidak ada ukuran jelas dalam menentukan ini. Tentu saja BP Migas mengatakan ada, tetapi di dalam prakteknya banyak hal yang tidak jelas. Saya katakan secara ekstrem pembantu (rumah tangga) ekspatriat yang sakit pun masuk cost recovery. Ini luar biasa merugikan. Itu sebabnya kami khawatir, biaya ganti rugi nantinya akan diklaim Lapindo Brantas sebagai cost recovery dengan alasan biaya ini muncul dalam proses pengeboran.

    Tapi rekomendasi Komisi VII kan tidak mengikat?

    Komisi VII akan meminta BP Migas tidak menyetujui itu.

    Anda yakin BP Migas akan melakukan itu?

    Itulah. Saya lihat BP Migas memang sangat lemah. Tapi, karena ini keputusan politik, seharusnya BP Migas bisa lebih tegas.

    Apa penyebab kelemahan BP Migas?

    Sebenarnya di sana banyak ahli. Saya khawatir ini cuma masalah kepemimpinan. Mungkin Pak Kardaya (Kardaya Warnika, Ketua BP Migas–Red) kurang tegas menggunakan wewenangnya. Saya tidak tahu apakah karena beliau tidak mampu mengontrol pengusaha migas karena tekanan dari pemerintah atau karena lobi-lobi lain.

    Tapi Ketua BP Migas kan dipilih oleh DPR juga?

    Pak Kardaya memang dipilih oleh Komisi VII. Jadi harus lebih diberdayakan. Juga pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral perlu mendorong BP Migas agar lebih kuat mewakili pemerintah dalam mengendalikan kegitan-kegiatan di sektor hulu ini. Jika memang nanti ditemukan ada unsur kelalaian prosedural dari Lapindo, BP Migas harus ikut bertanggung jawab. Kalau perlu Pak Kardaya mundur.

    Seperti apa contoh kelalaian prosedural itu?

    Seperti yang sudah diungkapkan media, Medco ternyata sudah mengingatkan kepada Lapindo bahwa casing (selubung) harus segera dipasang pada mata bor. Polisi harus mengusut ini untuk mengetahui seberapa besar unsur kelalaian dan kesengajaan. Kalau memang terbukti, harus ada proses pidana dan perdata. Kalau perlu, izin Lapindo dicabut karena merugikan masyarakat.

    Bagaimana memastikan investigasi terhadap kasus ini bisa obyektif?

    Di sini menurut saya hasil kerja tim independen menjadi penting. Dengan seluruh kepakaran yang dimiliki, mereka harus meneliti dan menyisir semua dokumen, termasuk dokumen seismik dan dokumen teknis lainnya. Kalau seluruh dokumen ini bisa dibuka untuk semua pihak, termasuk wartawan, kerja polisi pun bisa dikontrol. Apalagi kalau ada tim pemantau dari lembaga seperti Walhi dan pakar geoscience lainnya. Tim pemantau dari luar menjadi penting untuk mengingatkan tim independen kalau-kalau, entah karena lalai atau sengaja, mengabaikan dokumen atau bukti tertentu.

     

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Bernapas dalam Lumpur

    Infeksi saluran pernapasan akut menggerogoti kesehatan warga yang wilayahnya tergenang luapan lumpur panas. Penyakit minamata mengancam.


    BAU telur busuk yang menyengat hidung kini biasa dihidu warga desa Renokenongo, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Di sana, lumpur panas bercampur hidrogen sulfida (H2S) sudah hampir sebulan terus menyembur dari perut bumi.

    Banjir lumpur panas bahkan sudah menjadi bencana dan meluber ke desa-desa tetangga seperti Jatirejo dan Siring. Paru warga setempat dipaksa menghirup udara tercemar. Hasilnya, lebih dari 800 warga mesti menjalani perawatan medis. Sebagian terpaksa ngendon di bangsal rumah sakit.

    “Mayoritas pasien mengalami infeksi saluran pernapasan akut,” kata Komisaris Polisi Hadi Wahyana, Kepala Rumah Sakit Bhayangkara, Porong, yang kebanjiran pasien dadakan. Gejala yang dialami warga adalah sesak napas, pusing, mual, dan muntah. Ada juga pasien yang mengidap gangguan pencernaan seperti diare.

    Serbuan udara tercemar gas yang baunya mirip belerang itu menjadi ancaman lebih serius bagi mereka yang memiliki riwayat sakit paru kronis. Contohnya Suwoto, 76 tahun. Nyawa warga Renokenongo ini tak tertolong, meski sempat menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Hal serupa dialami Abdul Syukur Achyar, 57 tahun, warga Jatirejo yang meninggal pada hari yang sama.

    Penyakit Suwoto kambuh pada Senin dua pekan lalu. Keesokan harinya, ia langsung dibawa ke RS Bhayangkara. Hampir sepekan dirawat, kondisinya tak kunjung membaik. Ayah enam anak itu akhirnya dirujuk ke RSUD Sidoarjo. Di sana tim medis juga tak bisa berbuat banyak. Nyawa Suwoto tak bisa diselamatkan. “Udara tercemar membuat penyakitnya tambah parah dan sulit disembuhkan,” kata Hadi, yang bolak-balik menangani Suwoto sejak 2004.

    Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Airlangga Surabaya, Profesor Mukono, mengatakan bahwa semburan gas mempercepat proses meninggalnya Suwoto dan Syukur. Gas berbau busuk yang mereka hirup membawa dampak psikologis dan kesehatan yang makin buruk. Gejala yang terlihat, antara lain, mual, pening, dan jantung berdebar-debar. Kematian mereka, dalam istilah orang Jawa Timur, jadi seperti disengkakne (dipacu).

    Tak mau terperangkap udara tercemar gas yang diduga beracun, warga di daerah genangan lumpur makin banyak yang mengungsi. Pasar Baru Porong yang disediakan untuk tempat pengungsian makin berjubel.

    Bertahan di rumah dan bernapas di antara kubangan lumpur bukan lagi pilihan, karena kesehatan pernapasannya bakal terus tergerus. Tengok saja nasib keluarga Suparman, 49 tahun, warga Jatirejo. Gara-gara bertahan tinggal di rumah, istri, anak, dan dirinya sendiri harus opname di rumah sakit akibat saluran pernapasannya bermasalah.

    Bukan cuma udara tercemar bau busuk yang berbahaya. Pencemaran air di lokasi semburan lumpur oleh raksa, sulfat, nitrit, dan amonia bebas juga menimbulkan masalah. Soalnya, zat-zat itu potensial mengganggu kesehatan.

    Tim ahli dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) sudah menyatakan bahwa dari uji sampel, kandungan air di sana menunjukkan lonjakan zat-zat yang luar biasa. Kandungan raksa mencapai 2,565 miligram per liter (baku mutu 0,002 miligram per liter), sulfat 1437,5 miligram per liter (baku mutu 0), nitrit 6,60 miligram per liter (baku mutu 0,06), dan amonia bebas 154,5 miligram per liter (baku mutu mustinya 0).

    Mukono mengingatkan ada bahaya mengintai lantaran merebaknya zat-zat itu. Amonia bebas, misalnya, bila langsung terkena kulit akan menimbulkan iritasi dan gatal-gatal. Penyakit yang sama muncul bila terjadi kontak langsung dengan nitrit.

    Ancaman bahaya lebih besar pun sudah diramalkan. “Bila raksa masuk ke tubuh secara menahun, bisa timbul penyakit minamata,” kata Mukono. Penyakit yang muncul akibat mengkonsumsi makanan tercemar logam berat merkuri ini (Latin hydrargyrum, bersimbol Hg, raksa) pernah terjadi di Minamata, Jepang, pada 1950-an. Akibatnya, ratusan orang tewas.

    Penyakit minamata terjadi jika masyarakat mengkonsumsi makanan atau air yang mengandung raksa selama 20 tahun atau lebih. Raksa yang mengendap dalam tubuh akan memicu munculnya gangguan saraf pusat. Sebab itu, masyarakat di kawasan semburan lumpur panas harus berhati-hati.

    Dwi Wiyana, Sunudyantoro, Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Maut di Mulut Sumur

    Semburan lumpur dan gas di tambang-tambang minyak dan gas acap terjadi. Biasanya terjadi karena operator teledor.

    MALAM di Gaoqiao biasanya larut dalam kesenyapan ala pedesaan Cina. Ada suara jangkrik dan angin dingin. Tapi, tidak malam itu. Sebuah ledakan keras merobek langit Gaoqiao. Suaranya berdebum. Ribuan orang yang meringkuk di balik selimut terkesiap. Sebagian warga mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Belum lagi mata terbuka sempurna, hawa panas dan bau busuk merayap ke rumah-rumah penduduk.

    Sebagian warga berhamburan meninggalkan rumah. Namun, banyak juga yang bertahan di rumah sembari menutup rapat-rapat jendela, pintu, dan lubang angin: pilihan yang keliru, sebab dengan begitu makin banyak racun yang terhirup ke paru-paru. Dalam hitungan menit, ribuan orang pun menggelepar.

    Rumah sakit-rumah sakit Kai panik. Mereka kebanjiran 243 mayat dan ribuan orang yang keracunan gas hidrogen sulfida serta sebagian kulitnya melepuh. Mereka datang dari 28 desa di Kai. Sekitar 41 ribu orang lainnya diungsikan menjauhi Gaoqiao. Esok harinya, pemerintah Cina mengumumkan ledakan 23 Desember 2003 itu terjadi karena semburan gas liar di tambang gas Chuangdongbei, Gaoqiao. Tambang itu dikelola Sichuan Petroleum Administration, milik China National Petroleum Corporation.

    Kejadian itu mirip dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Bedanya, di Gaoqiao hanya gas yang muncrat dari mulut sumur. Tak ada lumpur. Walau begitu, gas-gas yang baunya seperti kentut itu mencopot ratusan nyawa.

    Tragedi itu membuat miris pemerintah Cina. Mereka langsung mengirim tim pengendali bencana ke desa yang bersuhu rata-rata 0 sampai 4 derajat Celsius itu. Langkah pertama, tim itu adalah membakar gas, agar tak menyebar. Setelah itu, tim menyuntikkan 260 ton lumpur dan semen untuk menutup sumur.

    “Ini salah operator,” kata San Huashan, Deputi Direktur Keselamatan Kerja dan Administrasi Negara Cina seperti dikutip kantor berita Xinhua. “Mereka tidak mempersiapkan perangkat untuk menangani gas sulfur bertekanan tinggi.” Kesalahan itu, tutur San, bermula dari kesalahan operator memperkirakan kapasitas produksi dan kandungan gas di sumur.

    Tim pengendali juga menemukan sederet dosa operator lainnya, antara lain mereka tidak membakar gas yang keluar dan ada katup pengendali tekanan yang sengaja dilepaskan. Akibat keteledoran itu adalah sebuah semburan pembunuh yang dikenang sejarah. Sembilan bulan kemudian, pengadilan memvonis enam karyawan Sichuan Petroleum dengan hukuman penjara tiga sampai enam tahun.

    Bisnis tambang memang tak steril dari kecelakaan semburan lumpur dan gas. Di Indonesia kecelakaan seperti di Gaoqiao itu pernah terjadi di sumur Randublatung-A di Desa Sumber, Blora, Jawa Tengah, pada 2 Februari 2002. Semburan gas busuk itu membuat 4.400 penduduk mual dan pusing. Kepolisian Blora mencatat, sekitar 300 warga dirawat jalan dan dua orang lainnya dirawat inap di Rumah Sakit Cepu karena batuk dan sesak napas.

    Sumur Pertamina yang berjarak 100 meter dari pemukiman penduduk itu ditaksir memiliki 6 juta barel cadangan hidrokarbon. Gas yang menyelimuti Desa Sumber itu mengandung etana, propana, butana, pentana, karbondioksida, dan hidrogen sulfida. Untuk menyumpal kebocoran, kata Kepala Operasi Pemadaman R. Sujatmo, Pertamina menyemprotkan lumpur berat ke sumur. Perusahaan tambang pelat merah itu juga mengalirkan beribu-ribu liter air lewat pipa sepanjang 2,3 kilometer.

    Konsultan Geologi dan Perminyakan Untung Sumartoto mengungkapkan, semburan gas liar yang disertai keluarnya air dan tanah seperti di sumur Banjar Panji-1, Porong, jarang terjadi. “Biasanya gas atau minyak saja,” kata Untung.

    Albert Tilaar, konsultan yang pernah bekerja di perusahaan tambang asing, bercerita, kejadian di Porong itu pernah terjadi di Riau. “Lumpur menyembur hingga membentuk menjadi bukit,” ujarnya. Di tempat lain, kebocoran itu mengisap benda-benda yang ada di muka bumi. “Ada traktor beserta sopirnya terisap ke dalam bumi.” Namun, musibah itu selesai setelah operator menginjeksi lumpur dan semen.

    Efri Ritonga, Sohirin, L.R. Baskoro

    Sumber: No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Ke Mana Lumpur Dibuang

    SUDAH berhari-hari warga Desa Kedungbendo bergotong-royong membangun tanggul penahan lumpur. Penduduk setempat tak ingin kampung mereka terendam lumpur dari sumur PT Lapindo Brantas seperti tiga desa di sekitar Lapindo-Desa Siring, Jatirejo, dan Renokenongo. Tapi, akhirnya, pekan lalu jebol juga tanggul di Kedungbendo.

    Sudah hampir sebulan kebocoran di Lapindo terjadi, tapi amuk lumpur itu belum bisa dihentikan, juga belum bisa dibuang. Lapindo sejatinya telah menyiapkan tiga kolam penampung lumpur. Satu ada di sebelah utara jalan tol Porong-Gempol atau hanya 200 meter dari sumur Lapindo. Dan dua kolam lainnya berada di sebelah selatan jalan tol Porong-Gempol. “Itu bisa menampung lumpur sampai tiga pekan,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo Brantas.

    Ternyata perhitungan Imam meleset, jangkauan lumpur meluas ke Kedungbendo yang letaknya berdekatan dengan kolam pertama. Belakangan, para pejabat setempat baru sadar bahwa volume lumpur yang menyembur dari ladang Lapindo itu lebih besar dari yang diperkirakan semula, 5.000 meter kubik per hari. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperkirakan volume lumpur yang mengalir dari dasar bumi itu sebesar 50 ribu meter kubik per hari.

    Taksiran tersebut sama dengan hitungan tim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) yang telah meneliti di 16 titik di kawasan yang digenangi lumpur. “Itu angka paling ekstrem,” kata Anggraeni, salah satu anggota tim ITS.

    Untuk mencegah perluasan lumpur, ITS mengusulkan agar areal kolam penampung lumpur yang semula 24 hektare diperluas jadi 225 hektare. “Lokasinya di kecamatan Porong, Tanggulangin, dan kecamatan Jabon,” kata Hasan Basri.

    Saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo baru menyiapkan lahan 85 hektare dan 24 hektare di antaranya di Desa Renokenongo. Jika semua kolam telah siap, diperkirakan bisa menampung lumpur selama dua bulan. Rencananya, setelah lumpur diendapkan di kolam, air di bagian permukaan akan dialirkan ke kali Porong.

    Teori ini bisa jalan jika kolam-kolam itu saling berdekatan. Masalahnya, letak kolam pertama dengan kolam kedua dan ketiga berjauhan. Saat ini kolam kedua dan ketiga masih melompong alias belum teraliri lumpur.

    Semula Lapindo berharap lumpur secara otomatis mengalir ke kolam tersebut karena bantuan gaya gravitasi. Namun, lumpur ternyata tidak bergerak arah ke kolam. Lumpur itu malah menerjang belasan pabrik dan rumah warga Jatirejo dan Renokenongo.

    Lapindo sebenarnya berusaha mengalirkan lumpur itu ke kolam kedua dan ketiga dengan sedotan mesin. “Tapi hanya jalan sebentar dan akhirnya macet,” ujar Subakri, Sekretaris Desa Renokenongo. Alhasil, kini lumpur bergerak semaunya sendiri. Duh.

    ZA, Sunudyantoro dan Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Hidup di Atas Garis Lumpur

    Di bawah Porong, Sidoarjo, membentang garis lumpur. Inilah penyebab lumpur terus menyembur deras dan menggenangi empat desa.

    PERBURUAN itu hampir mencapai klimaksnya. Sudah dua hari mesin pengeruk itu menderu-deru menggaruk lumpur. Akhirnya, keran merah yang dicari-cari itu menyembul. Ukurannya cukup besar, diameternya setengah meter. Tapi, karena terpendam lumpur sedalam tiga meter, keran itu sulit dicari.

    Puluhan orang berseragam hitam segera membersihkan keran itu dengan kecekatan seorang geolog. Mereka sisihkan lumpur dengan teliti. “Kini kami tinggal memasang snubbing unit ke sumur ini,” ujar seorang petugas berseragam. Snubbing unit atau peralatan pengebor yang mudah dipindahkan itu diangkut delapan truk trailer. “Ini untuk mendeteksi dan menyumbat sumber retakan yang menyemburkan lumpur,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo, menimpali.

    Perburuan selanjutnya adalah mencari sumber aliran lumpur. Inilah salah satu pekerjaan tersulit. Sudah hampir sebulan ledakan lumpur di Kecamatan Porong, Sidoarjo, terjadi, tapi lumpur terus saja menyembur. Menurut hitungan Lapindo, saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur dimuntahkan dari perut bumi.

    Menurut Imam, jika pusat semburan sudah ditemukan, baru dilakukan penyuntikan materi penyumbat rekahan. Menurut perhitungannya, paling cepat penyuntikan selesai pertengahan Juli. Namun, perkiraan ini terlalu ambisius karena sampai akhir pekan lalu tim ahli belum menemukan di mana pusat semburan. Inilah repotnya.

    Padahal, semakin lama petaka ini dibiarkan, akan semakin luas dan tinggi genangan lumpur. Tim ahli geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) punya taksiran lain soal volume lumpur yang sudah menenggelamkan empat desa di Sidoarjo. Menurut lembaga ini, volume semburan per hari mencapai 50 ribu meter kubik, 10 kali lipat dari taksiran Lapindo. Luas genangannya dalam petaka yang sudah berumur hampir sebulan ini mencapai 110 hektare lebih. Jadi, sampai pekan lalu diperkirakan sudah 1,1 juta meter kubik lumpur yang dimuntahkan.

    Temuan itu didapat setelah mereka meneliti ketinggian lumpur di 16 lokasi. Di dekat sumber lumpur, kedalaman lumpur mencapai 6 meter. Semakin menyamping kian rendah mencapai 3 meter dan paling pinggir 1,5 meter. “Anggota tim sempat terperanjat karena semula volume yang ditaksir tak setinggi itu,” kata Makky Sandra Jaya, sekretaris tim yang dibentuk oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) dan Lapindo.

    Dari mana datangnya lumpur yang tak berhenti mengalir itu? Menurut penyelidikan tim ahli geologi ITS, mereka menemukan dua patahan kulit bumi di bawah permukaan jalan tol dan di Desa Renokenongo. Retakan itu ada di kedalaman 6.000 meter, lebih dalam dari sumur Lapindo yang baru mencapai kedalaman 3.000 meter.

    Menurut Seno Puji Sarjono, anggota tim tersebut, lumpur panas yang menyembur dan merendam empat desa di Kecamatan Porong naik dari patahan yang retak tersebut. Tim itu kini masih meneliti retakan ini memiliki hubungan dengan pengeboran. “Juga apakah retakan itu menyambung ke lubang bor,” ujarnya.

    Untuk mengetahui lokasi patahan, tim menggunakan pemancar gelombang radio buatan Australia. Tim ini telah mengendus kemungkinan adanya retakan lain seperti di Desa Jatirejo dan Jalan Raya Porong. Hasil penelitian retakan ini akan menentukan pemasangan snubbing unit. “Sebab, jangan-jangan nanti satu ditutup, muncul retakan yang lain,” kata Seno.

    Adanya retakan bumi di bawah tambang Lapindo ini juga diungkap Rovicky Dwi Putrohari, geolog Indonesia yang kini bekerja di Malaysia. Menurut dia, patahan di daerah Porong itu membujur dari timur laut ke barat daya. Pendapat Rovicky ini mengutip penelitian Arse Kusumastuti, yang menemukan bahwa pernah terjadi runtuhan (collapse) di daerah itu pada masa lampau.

    Geolog yang rajin mengulas soal gempa dan pergeseran kulit bumi di berbagai milis ini menuturkan, dalam pengeboran, ujung mata bor itu sampai pada lapisan lempung. Lapisan ini menjadi tak stabil karena tercampur dengan air bawah tanah, sehingga menjadi seperti bubur.

    Melihat adanya patahan itu, Rovicky memperkirakan empat kemungkinan sumber kebocoran. Pertama, keluar dari pinggir lubang lama yang sudah diberi pipa selubung oleh Lapindo. Kedua, berasal dari lubang yang belum diselimuti casing, lalu lumpur keluar melalui patahan yang terpotong lubang sumur. Ketiga, sumber lumpur tidak ada hubungannya dengan sumur Banjar Panji-1.

    Jika sudah diketahui sumber kebocoran, maka ada dua skenario penyumbatan. Pertama menyuntikkan lumpur dan semen lewat lubang sumur Banjar Panji-1. Kedua, membuat sumur baru di samping sumur lama, lalu dari samping diinjeksi lumpur dan semen ke pusat kebocoran. Kita berharap sumber kebocoran itu bisa segera disumbat sebelum lumpur pelan-pelan menenggelamkan Sidoarjo.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Adi Mawardi, Sunudyantoro, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Karena Lambat, Tak Selamat

    PENANGANAN kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, banyak menuai kritik. Sejak petaka ini muncul pada 29 Mei lalu, gerak pemerintah tak cukup gesit. Buktinya, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar kasus ini segera ditangani, tak pernah jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Akibatnya, bencana meluas.

    Baru pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menunjuk Grup Bakrie harus ikut menanggung beban kerugian yang ditimbulkan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie-yang belum sekali pun melongok ke Sidoarjo-akhirnya juga menyatakan Lapindo Brantas harus bertanggung jawab. Namun soal detailnya bagaimana, Ical-sapaan akrabnya-meminta kasus ini ditanyakan kepada Nirwan Bakrie, adiknya yang kini banyak menangani perusahaan keluarga Bakrie.

    29 Mei

    Semburan lumpur panas terjadi di kawasan pengeboran gas milik Lapindo Brantas yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Manajemen Lapindo menyebutkan ini akibat gempa bumi.

    5 Juni

    PT Medco E&P Brantas, rekanan kerja sama operasi pengeboran, mengirim surat ke Lapindo. Medco pada 18 Mei telah mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing) di kedalaman 8.500 kaki untuk mengantisipasi kebocoran.

    12 Juni

    Komisi E DPRD Jawa Timur dalam dengar pendapat meminta Lapindo bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat. Suara senada diungkapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. Namun General Manager Lapindo, Imam Agustino, menyatakan tanggung jawab harus dipikul bersama dengan pemerintah.

    14 Juni

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta BP Migas melakukan investigasi.

    15 Juni

    Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Sutedjo Yuwono, menyatakan kementerian yang dipimpin Aburizal Bakrie ini belum perlu berkunjung langsung ke Sidoarjo. Alasanya, sudah diwakili Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Energi. Ketua DPR Agung Laksono menilai gerak pemerintah lamban.

    16 Juni

    General Manager Lapindo, Imam Agustino, membantah luapan lumpur akibat kesalaham timnya dalam pengeboran. Menteri Lingkungan Hidup menyatakan pengenaan sanksi atas Lapindo masih menunggu hasil tim investigasi.

    19 Juni

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro di Surabaya menyatakan, semburan lumpur panas bukan akibat gempa bumi, tapi kesalahan pengeboran.

    20 Juni

    Wakil Presiden Jusuf Kalla di Sidoarjo meminta Lapindo bertanggung jawab atas seluruh kerugian warga. Hadir dua wakil Grup Bakrie: Nirwan Bakrie dan Ari Sapta Hudaya. Nirwan meminta maaf atas nama keluarga Bakrie dan bersedia mengganti kerugian. Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teriyana, tetap menyatakan pihaknya telah melakukan pengeboran menurut prosedur operasi standar (SOP).

    21 Juni

    Menteri Aburizal Bakrie menyatakan Lapindo harus bertanggung jawab. Menteri Pertanian Anton Apriyantono meminta Lapindo memberikan ganti rugi atas lahan pertanian yang rusak.

    22 Juni

    Kepolisian RI menyatakan rekanan PT Lapindo, PT Medici Citra Nusantara, tak melaksanakan prosedur standar operasi pengeboran. Kelalaian pemasangan selubung (casing) pipa bor bisa dimasukkan ke kategori pidana.

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berujung pada Dua Dinasti

    KELUARGA Bakrie, tak bisa tidak, harus menanggung beban kerugian akibat bencana semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Semburat puluhan ribu kubik lumpur yang kini merendam empat desa dan membuat puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk mengungsi ini berpangkal pada kesalahan pengeboran oleh Lapindo Brantas Incorporated.

    Kontraktor pengeboran itu adalah Alton International Indonesia. Perusahaan yang baru didirikan pada Oktober 2004 ini dimiliki Alton International Singapore (30 persen)-anak perusahaan Federal International (2000) Ltd, yang bermarkas di 47/49, Genting Road, Singapura. Dalam siaran pers Federal pada 20 Januari lalu disebutkan, perusahaan patungan ini dimiliki pula oleh PT Medici Citra Nusantara.

    Jika ditelisik lebih jauh, baik Lapindo maupun Alton punya kaitan dengan keluarga Bakrie. Di Lapindo, bendera Grup Bakrie berkibar lewat PT Energi Mega Persada, yang bakal segera dimerger dengan PT Bumi Resources Tbk, anak perusahaan Grup Bakrie lainnya. Di Alton, jejak keluarga Bakrie terekam lewat kepemilikan saham Federal International atas nama Syailendra Surmansyah Bakrie (12,29 persen). Ia tak lain anak Indra Usmansyah Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie.

    Yang menarik, pertautan antara kontraktor pengeboran dan perusahaan operator ladang migas di Sidoarjo ini tak hanya berujung pada keluarga Bakrie. Di kedua perusahaan itu tertera pula nama pasangan suami-istri Rachman Latief. Di Energi Mega, Rennier Abdul Rachman Latief tercatat sebagai pemilik 3,11 persen saham, sekaligus menjabat komisaris. Ia pun dipercaya sebagai Presiden Direktur Lapindo. Sementara itu, sang istri, Nancy Urania Rachman Latief, merupakan pemilik 12,33 persen saham Federal.

    Dari komposisi itu, jelas keluarga Bakrie dan keluarga Rachman Latief termasuk yang akan kena “getah” kasus ini. Tapi bukan tak mungkin PT Medco E&P Brantas (anak perusahaan PT Medco Energi Internasional milik keluarga Panigoro) dan Santos Ltd (Australia) harus ikut menanggung beban kerugian. Sebab, keduanya ikut urunan modal mendanai proyek pengeboran itu (masing-masing 32 persen dan 18 persen). Sedangkan sisa participating interest (50 persen) didanai sendiri oleh Lapindo.

    Alton International Indonesia

    Berdiri pada Oktober 2004, Alton International Indonesia pada 20 Januari 2006 mengantongi kontrak proyek pengeboran ladang migas dari Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur. Kontrak dari anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk senilai US$ 24 juta (lebih dari Rp 220 miliar) ini berlaku setahun sejak pertengahan Februari 2006. Sekitar 30 persen sahamnya dimiliki oleh Alton International Singapore-anak perusahaan Federal International (2000) Ltd (Singapura)-sedangkan sisanya oleh PT PT Medici Citra Nusantara.

    Lapindo Brantas Inc

    Lapindo Brantas Incorporated berdiri pada 1996. Sebelum jatuh ke tangan PT Energi Mega Persada pada Maret 2004, perusahaan ini dimiliki oleh Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok migas Brantas seluas 3.050 kilometer persegi. Wilayah operasinya mencakup penambangan darat di Jawa Timur dan penambangan lepas pantai di Selat Madura, di antaranya lapangan gas Wunut dan Carat di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.

    PT Energi Mega Persada 

    PT Energi Mega Persada merupakan salah satu anak perusahaan milik Grup Bakrie, lewat PT Kondur Indonesia dan PT Brantas Indonesia. Bisnis intinya di bidang penambangan dan perdagangan minyak dan gas. Salah satunya di Selat Malaka, Sumatera, dan Blok Brantas di Jawa Timur. Pada 2004, perusahaan ini pun berhasil mengakuisisi penuh wilayah kerja penambangan di Blok Kangean, Jawa Timur. Tak lama lagi, Energi Mega bakal dilebur dengan PT Bumi Resources Tbk, salah satu anak perusahaan Grup Bakrie lainnya.

    Metta Dharmasaputra, Yandhrie Arvian, Y. Tomi Aryanto

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Menangguk Ampas Berlumpur

    Keluarga Bakrie diminta menanggung semua kerugian. Medco dan Santos belum tentu selamat.

    SOSOK yang paling dinanti itu akhirnya muncul juga. Di Pasar Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Nirwan Bakrie bersama rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla datang menemui ribuan pengungsi korban lumpur panas. Kehadiran pemegang kendali usaha Grup Bakrie itu, Selasa pekan lalu, menyedot perhatian.

    Ia langsung diberondong tuntutan ganti rugi. Soalnya, Lapindo Brantas Incorporated, salah satu anak perusahaan Grup Bakrie, dituding menjadi biang keladi semburan lumpur panas sebulan terakhir ini di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Lumpur merendam Desa Jatirejo, Renokenongo, Siring, dan Kedungbendo. Sawah produktif yang terbenam lumpur kini sudah 127,29 hektare, dan mengancam 503 hektare lainnya. Lumpur juga menggenangi jalan tol Gempol-Surabaya setinggi 20 sentimeter.

    Rata-rata volume semburan melejit, dari 5.000 meter kubik per hari menjadi 50 ribu. Jika ditotal, volume lumpur yang sudah muntah mencapai 1,1 juta meter kubik–setara dengan 183 ribu truk ukuran sedang.

    Jusuf Kalla meminta kelompok usaha Bakrie menanggung seluruh kerugian. “Keluarga Bakrie harus berada di depan,” katanya sembari menunjuk Nirwan dan direksi Lapindo. “Sebagai perusahaan nasional, Lapindo harus memberikan contoh.” Nirwan, yang didampingi Presiden Direktur PT Bumi Resources Tbk (anak perusahaan Grup Bakrie) Ari Saptari Hudaya dan General Manajer Lapindo Imam P. Agustino, pun mengangguk takzim.

    Memang sulit menampik keberadaan keluarga Bakrie di balik kasus ini. Selain Lapindo, perusahaan kontraktor pengeboran yang ditunjuk, PT Medici Citra Nusantara, ternyata juga punya kaitan dengan keluarga Bakrie. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari lalu.

    Alton Indonesia didirikan Medici dan Alton International Singapore (AIS)–anak perusahaan Federal International (2000) Ltd-pada Oktober 2004. Di Federal inilah, Syailendra Surmansyah Bakrie (anak Indra Usmansyah Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie) dan Nancy Urania Rachman Latief (istri Rennier Abdul Rachman Latief, Komisaris PT Energi Mega Persada, induk Lapindo) tercatat sebagai pemilik saham.

    Kepemilikan saham Nancy dan Syailendra yang semula kurang dari 7 persen membengkak jadi sekitar 23 persen, setelah membeli 42 juta lembar saham pada 9 Januari lalu. “Kami percaya mereka dapat membantu memperkuat bisnis kami di Indonesia,” kata Koh Kian Kiong, CEO Federal, sumringah.

    Mimpi Koh terbukti. Tak sampai dua minggu, Alton Indonesia menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta. “Kontraktor ini terpilih karena masih orang dekat Lapindo,” ujar sumber Tempo. Terakhir, total saham Nancy dan Syailendra hampir mencapai 25 persen, yang merupakan pemilik saham mayoritas Federal.

    * * *
    KEMBALI ke soal ganti rugi, menurut Jusuf, Lapindo antara lain harus membayar gaji buruh yang pabriknya tutup, memperbaiki jalan, sekolah, serta mengembalikan rumah warga seperti semula. “Warga tak boleh rugi satu sen pun,” katanya. Nirwan berjanji akan memenuhi tuntutan itu. “Atas nama keluarga Bakrie, kami pun minta maaf,” katanya.

    Keesokan harinya, giliran sang kakak, Aburizal Bakrie, yang meminta Lapindo bertanggung jawab. Detailnya bagaimana, ia meminta ditanyakan langsung ke Grup Bakrie. “Jangan tanya saya, saya kan Menko Kesra,” kata Ical yang belum sekali pun melongok lokasi bencana.

    Petaka di Sidoarjo bermula ketika sepetak sawah di Desa Renokenongo menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter pada 29 Mei lalu. Karena lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji 1, tudingan langsung mengarah ke Lapindo. Di sumur itulah Lapindo melakukan pengeboran gas pertama, awal Maret lalu.

    Sepucuk surat tertanggal 5 Juni 2006 dari Medco E&P Brantas menguatkan tudingan tersebut. Surat dari Budi Basuki, wakil Medco di komite operasi itu, ditujukan kepada General Manager Imam P. Agustino. Dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo itu disebutkan, pada rapat teknis 18 Mei 2006, anak perusahaan Medco Energi Internasional ini telah mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing).

    Selubung berdiameter 9-5/8″ (sekitar 25 sentimeter) mestinya dipasang di kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter). Fungsinya untuk mengantisipasi potensi hilangnya sirkulasi lumpur (loss) dan tendangan balik yang memuntahkan lumpur ke arah atas (kick) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung (batu gamping), sebagaimana disetujui dalam program pengeboran.

    Tapi Lapindo, menurut Medco–yang memiliki partisipasi modal kerja 32 persen di blok Brantas–tidak melaksanakannya. Itu sebabnya, sumur tak mampu menahan tekanan saat terjadi tendangan balik sehingga terjadi kebocoran. Atas dasar itu, Medco menilai Lapindo telah melakukan kelalaian (gross negligence), seperti tertuang dalam dokumen perjanjian operasi bersama (JOA) Blok Brantas, artikel 1.28.

    Mengacu pada klausul 4.6 dari JOA Brantas, Lapindo sebagai operator harus bertanggung jawab terhadap klaim dari pihak lain, termasuk menanggung biaya pemulihan agar situasi menjadi normal kembali setelah kebocoran.

    Dody Mochtar, juru bicara Santos Ltd, membenarkan klausul tersebut. Menurut dia, keberadaan klausul ini membuat Santos, yang memiliki penyertaan modal operasi 18 persen, tak bisa dimintai pertanggungjawaban. “Kami berpangku pada perjanjian kerja sama operasi,” katanya.

    Suara senada disampaikan Direktur Utama Grup Medco, Hilmi Panigoro. Menurut dia, keberadaan Medco di blok itu hanya sebatas partisipasi modal kerja, bukan operator. Kewenangannya pun sebatas memberikan advis teknis. “Dalam perjanjian sudah jelas, apa yang menjadi tanggung jawab operator dan pemegang saham,” katanya kepada Sofian dari Tempo. Soal penggantian kerugian, Hilmi juga menyatakan tak akan jadi masalah. “Semua operasi telah diasuransikan, termasuk klaim,” ujarnya.

    Masalahnya ternyata tak segampang itu. Pihak asuransi pagi-pagi sudah menyatakan tak serta-merta kerugian yang timbul dari pengeboran bisa diklaim. “Bila Lapindo terbukti harus bertanggung jawab, ya dilihat dulu cakupan polis asuransinya,” kata Amir Mochtar, Direktur Pemasaran Tugu Pratama Indonesia.

    Tugu Pratama, bersama Jasa Asuransi Indonesia, Wahana Tata, Central Asia, dan Astra Buana, tergabung dalam konsorsium yang menangani aset milik Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), termasuk ladang migas di Sidoarjo. Untuk itu, kantor Matthews Daniel–perusahaan yang biasa menilai besarnya kerugian di bidang energi dan perminyakan–sedang menghitung dampak akibat luapan lumpur di Sidoarjo. “Mereka juga menentukan penyebab kerusakan,” kata Amir. Perusahaan ini pula yang akan membuktikan apakah kerusakan akibat lumpur panas bisa dijamin oleh perjanjian asuransi.

    Peluang itu tampaknya kian kecil. Sebab, dari hasil pemeriksaan 32 saksi, polisi menyimpulkan PT Medici tidak melaksanakan pengeboran menurut prosedur standar. “Diduga, selubung pada pipa bor tidak digunakan,” kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Besar Bambang Kuncoko. Jika dugaan ini benar, kelalaian itu bahkan bisa digolongkan tindak pidana.

    Jika begini masalahnya, bisa-bisa keluarga Bakrie memang harus sendirian menanggung semua ampas berlumpur ini. Padahal, satu sumber di pemerintah menyebutkan, biaya untuk menutup kebocoran akibat pengeboran saja bisa mencapai US$ 20-100 juta. Itu belum termasuk biaya sosial sebagai dampak banjir lumpur. Karena itu, kata seorang kolega keluarga Bakrie, total biaya kerugian ditaksir mencapai US$ 200 juta (sekitar Rp 1,9 triliun).

    Tapi itu semua masih sebatas pernyataan yang harus dibuktikan. Sebab, semua pihak yang terlibat: Lapindo, Medco, Santos, maupun asuransi, sampai saat ini masih mengunci rapat-rapat dokumen perjanjian di antara mereka. Menurut sumber Tempo, dalam soal Medco dan Lapindo, jika mengacu pada perjanjian pengelolaan Blok Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil, kesimpulan akhirnya bisa lain. Dalam perjanjian itu disebutkan, setiap operasi pengeboran harus mendapat persetujuan dari semua pihak yang ikut menyertakan modal.

    Bisa saja salah satu pihak tidak mau memberikan persetujuan, sehingga bebas dari tanggung jawab. Namun, jika dari hasil pengeboran ditemukan cadangan migas, pihak tadi baru bisa turut mengenyam hasilnya, dengan syarat dikenakan biaya penalti–karena tidak ikut menanggung risiko di awal pengeboran.

    Pertanyaannya, apakah Medco dan Santos telah memberikan persetujuan itu. Sekretaris Perusahaan Medco, Andy Karamoy, menyatakan belum bisa menjawabnya. “Semuanya masih dikaji,” tuturnya. Namun, kata sumber tadi, “Bila benar sudah ada persetujuan, Medco dan Santos harus ikut ambil risiko.” Lagi pula, bila selama ini mereka mendapat laporan dari operator dan tidak menyatakan keberatan, itu sama saja dengan membiarkan potensi kerusakan terjadi. “Jadi jangan cuma teriak di akhir,” ujarnya.

    Untuk menekan beban kerugian, sebetulnya masih ada satu peluang yang bisa dimanfaatkan Lapindo. Caranya, memasukkan sebagian beban itu ke cost recovery alias penggantian biaya eksplorasi. Modus ini tentu harus diwaspadai, karena negaralah yang bakal harus nombok. Abdul Mutalib Masdar, praktisi di bidang perminyakan, mewanti-wanti biaya eksplorasi tak bisa begitu saja dimasukkan ke cost recovery, bila pelaksanaannya tak sesuai dengan prosedur.

    Dalam kaitan ini, kata sumber yang terlibat proses pengeboran, BP Migas pada Agustus 2004 sesungguhnya pernah mengingatkan agar Lapindo berhati-hati dalam melakukan pengeboran di Banjar Panji. “Bila tidak diantisipasi dengan desain selubung (pipa bor) yang bagus, potensi kebocoran akan besar,” katanya. Nah, peringatan itulah yang tampaknya diabaikan Lapindo.

    Yandhrie Arvian, Metta Dharmasaputra, Rohman Taufiq, Adi Mawardi (Sidoarjo)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berjibaku Melawan Lumpur

    Area semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, terancam menjadi kawah atau ambles. Di Texas pernah terjadi, tanah seluas 16 hektare ambles 25 meter.

    LELAKI-LELAKI itu menuang lumpur ke dalam botol dengan ketelitian ilmuwan. Di bawah siraman matahari yang menyengat, empat pria itu setengah membungkuk di tepi jalan tol Surabaya-Gempol Km 38. Warna seragam mereka oranye, menyilaukan mata, memang. Itu adalah seragam khusus untuk bekerja di zona bahaya seperti di kawasan lumpur panas di Sidoarjo.

    Tak jauh dari keempat orang itu, mesin pengeruk menderum-derum. ”Tangan-tangan” mesin pengeruk itu beradu dengan tanah sawah. Mereka sedang beradu cepat dengan waktu, mengubah sawah menjadi waduk yang bisa menampung 240 ribu meter kubik lumpur. Dan itu tak bisa dilakukan dalam semalam seperti kisah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kalau rencana itu terhambat, petaka lumpur panas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, akan makin melebar ke mana-mana.

    Petaka itu bermula 29 Mei lalu, ketika tiba-tiba di tengah sawah menyembur lumpur panas dengan semburan gas setinggi delapan meter. Semburan itu terjadi hanya beberapa puluh meter dari ladang pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Lumpur pun meluber ke mana-mana.

    Petaka itulah yang membuat sejumlah ilmuwan berseragam oranye datang ke Porong. Mereka adalah para ahli dari Institut Teknologi Surabaya, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Alert Disaster Control (Asia) Pte. Ltd. Kanada, dan Abel Engineering/Well Control, Texas. Mereka berjibaku meredam teror lumpur yang panasnya sekitar 50 derajat Celsius.

    ”Mereka akan menggunakan snubbing unit dan membuat sumur baru,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo. Snubbing unit adalah alat untuk mendeteksi adanya kebocoran di luar pipa selubung pengeboran (casing). Jika lokasi kebocoran diketahui, mereka akan menutup lubang itu.

    Untuk menutup kebocoran itu, pakar pengeboran minyak dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini R.S., mengusulkan dua cara. Pertama dengan cara menyuntikkan lumpur berat ke dalam sumur pengeboran yang diduga bocor. Lumpur itu, tutur doktor ITB itu, akan menutup rembesan sehingga semburan lumpur di permukiman penduduk akan mati dengan sendirinya. ”Baru setelah itu disemen semuanya,” ujarnya. Cara ini hanya butuh waktu sebulan.

    Alternatif lainnya, menurut Rudi, membuat sumur bor seperti yang diusulkan tim ahli Lapindo. Sumur itu digali bersebelahan dan menembus lubang pengeboran yang diduga bocor. Dari sumur itu lalu disuntikkan lumpur dan semen. Cara kedua ini diperkirakan memakan waktu lebih lama, sampai tiga bulan.

    Selain urusan menyumbat lumpur, perkara gawat yang juga harus dirampungkan adalah menangani lumpur yang sudah tersembur. ”Ini soal yang paling mendesak,” kata Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS), Mohammad Nuh. Ihwal racun lumpur, tim ITS sudah melakukan penelitian. Hasilnya, cukup gawat: kadar merkurinya 2,5 ppm (satu bagian per sejuta). Lumpur itu juga memiliki nilai BOD, COD—dua indikator pencemaran air—serta minyak yang cukup tinggi. Jika langsung dibuang ke sungai akan mengganggu ekologi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah setempat dan ITS sepakat akan mengendapkan lumpur ke waduk-waduk buatan. Setelah air terpisah dari lumpur, racun-racunnya akan dinetralkan. Hasilnya baru dibuang ke Kali Porong.

    Lumpur panas bukan satu-satunya ancaman di kawasan Porong. Warga di sana kini khawatir daerah mereka akan ambles karena lumpur yang terkuras akan menghasilkan rongga di bawah tanah. Kondisi itu bisa menyebabkan tanah ambles seperti yang terjadi di Texas pada 1991. Saat itu akibat luapan lumpur tanah seluas 16 hektare ambles hingga kedalaman 25 meter.

    Kemungkinan lain, Porong bisa menjadi ladang kawah seperti di Desa Kuwu, wilayah timur Kabupaten Purwodadi. Di desa ini muncul letupan-letupan lumpur yang airnya mengandung garam, padahal lokasinya jauh dari laut. Tanahnya yang sangat labil mengisap siapa saja yang berada di atas Bleduk Kuwu. Pernah seekor sapi terisap.

    Saat para peneliti sibuk menutup sumber semburan lumpur, polisi juga melakukan penyelidikan. Kepala Polri Jenderal Sutanto mengakui anak buahnya sudah mengundang ahli yang mengetahui soal pengeboran. Mereka juga memeriksa pekerja dan manajemen anak perusahaan Grup Bakrie itu. ”Kami selidiki, ternyata tidak ada casing (baja penutup) dalam kedalaman sekian meter. Kalau tidak dibangun, itu salah,” katanya di Jakarta, Jumat lalu.

    Persoalan casing atau pipa selubung lubang pengeboran memang mencuat ke permukaan setelah beredar dokumen dari salah satu rekanan proyek Lapindo. Dalam surat itu disebutkan, Lapindo, operator proyek pengeboran, tidak memasang casing berdiameter 9-5/8 inci pada sumur di kedalaman 8.500 kaki (2,5 kilometer). Padahal, pemasangan pipa ini merupakan salah satu rambu keselamatan pengeboran yang harus dipatuhi.

    Pada rapat teknis 18 Mei, rekanan Lapindo mengingatkan bahwa pipa selubung harus dipasang sebelum pengeboran mencapai sasaran, yaitu formasi Kujung di kedalaman sekitar 9.200 kaki (2,7 kilometer). Rupanya peringatan itu tidak diindahkan sehingga 11 hari kemudian muncratlah lumpur panas.

    Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (perusahaan induk dari PT Lapindo) mengakui bahwa casing itu memang belum dipasang. ”Casing itu sebenarnya akan kami pasang. Sebelum itu dipasang, kondisi sumur masih stabil. Kami sudah melakukan sesuai prosedur,” ujar Faiz Shahab, salah seorang bos Lapindo.

    Biang semburan lumpur ini memang sempat menjadi perdebatan di kalangan ahli geologi dan pengeboran. Lapindo sebelumnya menyatakan semburan itu terjadi akibat gempa. Mulyo Guntoro, peneliti yang pernah terlibat dalam survei beberapa sumur Lapindo menilai, petaka akibat itu pengeboran dilakukan tegak lurus dan bukan miring. Saat bor patah, lumpur bertekanan tinggi menyembur. Kesalahan lain, menurut Mulyo, karena tidak adanya pemadatan tanah.

    Rudi Rubiandini menilai kesalahan yang dilakukan Lapindo Brantas bukan dari cara pengeborannya. Tapi, perusahaan itu salah memilih titik pengeboran. Soal pengeboran yang tegak lurus, dia menduga perusahaan itu berniat mengurangi biaya. ”Ditambah lagi ketika lumpur keluar, tindakannya lambat,” katanya. Kini, dampak negatif dirasakan ribuan warga Jawa Timur.

    Untung Widyanto, Sunudyantoro, Adi Mawardi, Rohman Taufik, Rana Akbari Fitriawan, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Bakrie Terkait Lapindo

    NAMA Lapindo Brantas Incorporated tiba-tiba menjadi menu tetap media massa dalam tiga pekan terakhir. Sayangnya, bukan hal baik yang membuat nama perusahaan itu mencuat setiap hari. Lapindo dituding menjadi penyebab semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi mulai 29 Mei 2006.

    Sampai Jumat lalu, semburan lumpur panas itu belum juga bisa disetop. Sudah puluhan ribu kubik lumpur panas muncrat dan merendam tiga desa di Porong, yakni Renokenongo, Jatirejo, dan Siring. Puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk terpaksa mengungsi. ”Tanah kami tiba-tiba jadi kolam,” kata Faqih, warga Renokenongo.

    Warga selama ini tak peduli dengan keberadaan Lapindo. Padahal perusahaan ini sudah beroperasi di daerah itu sejak 1996. Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok seluas sekitar 300 hektare. Wilayah operasinya mencakup lapangan gas Wunut dan Carat, di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.

    Namun, sejak peristiwa itu terjadi, warga hampir setiap hari membicarakan Lapindo. Meskipun awalnya mereka tak tahu siapa pemilik perusahaan yang membuat mereka terpaksa meninggalkan rumah dan sawahnya, belakangan mereka mendengar kelompok usaha Bakrie ada di belakang perusahaan tersebut.

    Lapindo pada mulanya dimiliki Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Tapi pada Maret 2004 kedua perusahaan itu diakuisisi oleh PT Energi Mega Persada. Di perusahaan yang sudah masuk bursa inilah kelompok usaha Bakrie dikaitkan.

    Hubungan Energi Mega dengan Grup Bakrie diakui oleh Yuniwati Teryana, Vice President Human Resources and Relations Lapindo. Hanya, dia menolak memerinci berapa persen dan atas nama siapa kepemilikan saham Bakrie di Energi Mega Persada. Namun sumber Tempo menyebutkan bahwa Bakrie ada di Energi Mega melalui Kondur Indonesia.

    Dalam laporan keuangan Energi Mega disebutkan, Kondur merupakan pemegang saham terbesar perusahaan itu dengan menguasai 30,41 persen saham. Selain Kondur ada PT Brantas Indonesia (19,95 persen), UBS AG Singapura (8,44 persen), Rennier Abdu Rachman Latief (4,71 persen), Julianto Benhayudi (3,31 persen), dan publik 33,18 persen.

    Seolah tak terpengaruh kasus tersebut, pada Rabu pekan lalu Energi Mega dan Bumi Resources—juga anggota Grup Bakrie—mengumumkan rencana merger mereka. Jika disetujui rapat umum pemegang saham luar biasa pada 28 Juli mendatang, kelak Bumi akan menjadi perusahaan baru hasil merger, dengan modal dasar Rp 30 triliun.

    YA, Sunudyantoro, Kukuh S. Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Lebur dalam Genangan Lumpur

    Kubangan lumpur panas di Sidoarjo meluas. Kerugian diperkirakan miliaran rupiah

    DWI Cahyani tak habis-habisnya merenungi nasibnya. Tiba-tiba saja usahanya yang beromzet sekitar US$ 250 ribu (Rp 2,45 miliar) per bulan ludes dalam sekejap. Penyebabnya pun tak pernah terpikir olehnya. Senin tiga pekan lalu, lumpur panas tiba-tiba menggenangi pabriknya sampai setinggi lutut.

    Tak ada lagi yang tersisa di perusahaan yang terletak di Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu. Mesin-mesin pabriknya lumpuh tak bisa digunakan. Bahan baku rotan senilai Rp 1 miliar amblas. Pabrik mebel rotan miliknya, PT Victory Rottanindo, pun terpaksa merumahkan 250 karyawannya. Kebangkrutan sudah membayang di pelupuk mata Dwi.

    Padahal, sebelum bencana ini terjadi, setiap bulannya Victory biasa mengirim sampai 25 kontainer mebel rotan ke berbagai negara. Setiap kontainer nilainya sekitar US$ 10 ribu. Pas kejadian, Victory sebetulnya sudah siap mengapalkan empat kontainer ke Inggris. ”Tapi truk kontainer tak bisa masuk,” kata Dwi.

    Victory Rottanindo tak sendirian. Delapan pabrik lainnya di Jatirejo juga terpaksa berhenti operasi sejak dua pekan lalu. ”Setidaknya 683 tenaga kerja yang dirumahkan,” kata Cipto Budiono, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur.

    Jumlah itu masih bisa membengkak karena luapan lumpur yang mengandung hidrogen sulfida (H2S) itu sudah merendam 18 pabrik lain. Masalah kerusakan mesin, distribusi barang, dan pembatalan pesanan menguras pikiran pemilik pabrik. Persoalan ini kian pelik karena hingga akhir pekan lalu banjir lumpur belum juga bisa diatasi.

    Petaka lumpur ini bermula ketika pada 29 Mei lalu sebidang sawah di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter. Hanya berselang empat hari, warga Renokenongo kembali dikejutkan oleh suara berdebum. Tanah merekah, lumpur panas pun terus mengalir.

    Karena lokasi semburan tak jauh dari sumur Banjar Panji 1, tudingan pun mengarah ke Lapindo Brantas Incorporated. Perusahaan yang selama ini melakukan pengeboran di sumur Banjar Panji itu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Lapindo langsung membangun kolam penampungan dan tanggul untuk mencegah lumpur panas meluas. Tapi upaya itu tak membuahkan hasil.

    Ibarat kubangan raksasa, lumpur panas itu kini sudah menggenangi tiga desa: Renokenongo, Siring, dan Jatirejo. Ini membuat 2.700 warga diungsikan ke pasar Porong, Sidoarjo. Derasnya aliran lumpur yang mencapai 5.000 meter kubik—setara dengan 1.250 truk ukuran sedang—per hari juga merendam 64,8 hektare sawah yang belum sebulan ditanami.

    Akibatnya, nilai padi yang puso diperkirakan mencapai Rp 389 juta. Kerugian itu, kata Faqih, warga Renokenongo, belum termasuk biaya menanam padi yang berkisar Rp 500 ribu per petak. Bila satu hektare sawah dibagi menjadi tujuh petak, kerugian biaya tanam akibat lumpur panas mencapai Rp 226 juta.

    Lumpur panas juga luber sampai ke jalan tol Gempol-Surabaya. Semula Jasa Marga hanya menutup separuh badan jalan tol dari arah Gempol menuju Porong. Aliran lumpur juga sudah tidak merangsek sampai jal tol setelah Lapindo membuat tanggul. Tapi tanggul itu justru membuat lumpur mengarah ke perkampungan.

    Penduduk pun marah dan menjebol tanggul. Akibatnya, lumpur kembali membanjiri tol. Sejak Jumat lalu, perusahaan penyelenggara jalan tol itu terpaksa menutup jal tol itu di kilometer 38, karena tinggi lumpur sudah 20 sentimeter. Gara-gara penutupan ini, Jasa Marga diperkirakan merugi Rp 180 juta sampai 380 juta per hari.

    Kepala cabang tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menjelaskan, selain pemasukan berkurang, sarana pelengkapan jalan tol yang ada di sana juga rusak. Kerusakan ini diperkirakan merugikan Jasa Marga Rp 200 juta. Beban tersebut masih harus ditambah dengan retaknya jalan akibat tergerus lumpur panas. Tapi besar kerugian konstruksi masih dihitung.

    Yang pasti, kata Bachriansyah, seluruh kerugian akan dibebankan kepada Lapindo. Kerugian dihitung per hari sejak 6 Juni lalu. ”Besarnya berapa, masih diperinci,” katanya.

    Bak terkena efek domino, lumpur panas ini juga menyebabkan kerugian di tempat lain. Kemacetan yang terjadi di jalan tol Gempol-Surabaya membuat para eksportir harus merogoh kocek tambahan.

    Direktur PT Lintas Utama Sejahtera, Isdarmawan Asrikan, mengungkapkan akibat kopi dan cengkeh miliknya terlambat tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dia mesti menambah Rp 1 juta per kontainer. Biaya tambahan itu antara lain untuk transportasi, relokasi, transportasi bahan baku ekspor-impor, dan keterlambatan (closing time).

    Padahal, setiap hari ada seribu peti kemas dari Pasuruan, Probolinggo, Malang, Jember, dan Banyuwangi yang melintasi jalan tol Gempol-Surabaya. ”Kemacetan itu membuat ekspotir rugi Rp 1 miliar per hari,” kata Isdarmawan, yang juga Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Jawa Timur.

    Rangkaian peristiwa itu pun akhirnya menyedot perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia meminta Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral segera menginvestigasi kasus tersebut. ”Lapindo juga harus memberikan ganti rugi kepada masyarakat di sekitar lokasi pengeboran,” katanya.

    Tapi, menurut Faiz Shahab, Direktur Operasional PT Energi Mega Persada, perusahaan induk Lapindo Brantas, besarnya dana kompensasi akan dipastikan setelah penyebab semburan diketahui. Soalnya, sumber semburan bukan berasal titik pengeboran, tapi dari tiga titik yang berjarak 150-500 meter dari lokasi pengeboran.

    Selain itu, Energi Mega masih menunggu hasil pendataan yang dilakuan tim terpadu yang dipimpin Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Tim ini, kata Faiz, tengah mendata jenis kerusakan dan luas dampak kerusakan. ”Jadi kami tak bisa menyebut berapa angka ganti ruginya,” katanya seusai rapat umum pemegang saham Energi Mega, Rabu lalu.

    Repotnya, penyelesaian masalah lumpur panas ini memakan waktu lama. Faiz memperkirakan, soal ini baru beres pada akhir Oktober nanti. Bila ini benar terjadi, sudah bisa dibayangkan berapa kerugian yang bakal diderita oleh masyarakat setempat, juga para pengusaha dan eksportir.

    Karena itu, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo meminta Lapindo pada tahap awal ini segera memberikan uang muka ganti rugi kepada semua perusahaan yang terkena dampak luapan lumpur. ”Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya. Paling tidak, pengusaha-pengusaha yang pabriknya tutup seperti Dwi bisa menggaji karyawannya.

    Yandhrie Arvian, Zed Abidien, Kukuh S. Wibowo, Rohman Taufiq, Sunudyantoro

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Memburu Gas, Memanen Lumpur

    Kampung-kampung di Porong, Sidoarjo, diterjang lumpur panas. Ada dugaan, semburan lumpur itu akibat salah prosedur pengeboran.

    TEROR itu datang pada awal pagi. Ketika itu Renokenongo, desa tak terkenal di Sidoarjo, Jawa Timur, baru saja menggeliat. Orang-orang kampung menyeruput kopi, menghisap rokok sisa kemarin, menyapu halaman. Haji Soleh juga sedang menikmati hawa pagi saat tiba-tiba terdengar, “Bum…!” Lantai rumahnya meledak. Dari balik retakannya, mengalirlah lumpur panas. Baunya menyengat, bikin mual.

    Lelaki itu kaget. Juga puluhan penduduk di Renokenongo. Hari itu ada sepuluh rumah yang meleduk di Renokenongo. Semuanya di dekat kediaman Soleh. “Keluarga langsung saya ungsikan,” ujarnya.

    Ledakan pada Jumat pagi dua pekan lalu itu membuat warga ketar-ketir. Maklum, empat hari sebelumnya, ledakan serupa terjadi di sawah milik Probosutejo. Di tengah persawahan yang adem ayem itu tiba-tiba menyembur lumpur panas setinggi delapan meter. Hawa panas–suhunya sekitar 50 derajat Celsius, cukup untuk merebus telur–ikut menyebar cepat. Lumpur dan udara panas ini merendam 15 rumah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo.

    Warga Renokenongo terkesiap. Mereka tak menduga lumpur panas bisa seluas itu. Bahkan kini sudah 12 hektare sawah yang tenggelam dalam lumpur. Sekitar seribu orang mengungsi ke gedung olahraga dan markas kepolisian sektor setempat. Pabrik-pabrik di desa itu terpaksa juga tutup. “Kami terpaksa membatalkan produksi kursi rotan senilai US$ 10 ribu yang akan diekspor ke Belanda,” kata Dwi Cahyani, Direktur PT Victory Rotanindo.

    Jalan tol Gempol-Surabaya pun ikut kena getahnya, karena aliran tanah cair itu sampai ke sana. Pengelola jalan tol pun kelabakan membangun tanggul darurat dengan bertruk-truk tanah. Sampai Sabtu lalu, muncratan lumpur dan gas itu belum ada tanda-tanda berhenti.

    Lumpur petaka itu bermula dari sawah Probosutejo. Ledakan itu terjadi setelah PT Lapindo Brantas mengebor sumur minyak Banjar Panji di Porong. Entah mengapa, seperti adegan di film horor, tanah di sawah itu tiba-tiba merekah. Bum! Gas putih membubung. Lumpur mengalir kencang, bergumpal-gumpal seperti air yang muncrat dari pipa air minum. Hujan tuduhan pun jatuh ke Lapindo. Perusahaan ini dituding biang lahirnya “mata lumpur”.

    General Manager PT Lapindo Brantas, Imam Agustino, menolak tuduhan itu. Imam yakin, luapan lumpur bukan berasal dari pipa pengeboran yang saat ini mencapai kedalaman hampir 3 kilometer. “Itu dari retakan tanah akibat gempa Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu,” katanya. “Pengeboran Lapindo sudah dilakukan sesuai dengan standar baku industri migas.”

    Lumpur menyembur akibat gempa? Mulyo Guntoro tak sepakat dengan dalih itu. Lelaki ini justru percaya, petaka di Renokenongo itu akibat kesembronoan Lapindo. “Pengeboran di kedalaman lebih dari 2 kilometer seharusnya dilakukan miring, bukan lurus seperti yang dilakukan Lapindo saat ini,” kata ahli geologi dari Pusat Studi Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya.

    Guntoro mengaku pernah diajak Lapindo melakukan pemetaan gas di Sidoarjo. Dia menduga perusahaan ini melakukan kesalahan prosedur saat mata bor mencapai lapisan gas. Karena terlambat menyumbat, lumpur yang berada di lapisan atas ikut tersedot keluar bersama dengan gas. “Akibatnya, mereka tidak lagi bisa menyuntikkan lumpur untuk menyumbat, karena tekanan di dalam lubang pengeboran pasti sudah sangat besar,” kata dosen UPN itu.

    Lapindo dalam catatan Guntoro telah melakukan beberapa kesalahan dalam pengeboran di Renokenongo. Menurut dia, salah satu keteledoran Lapindo adalah tidak pernah melakukan pemadatan tanah di lokasi yang bakal dieksplorasi. Akibatnya, saat ada kebocoran, lumpur segera menyembur keluar. Selain itu, perusahaan itu tidak pernah berusaha menyumbat aliran-aliran kecil patahan tanah yang berada di sekitar lokasi pengeboran. “Tekanan gas dari dalam tanah pasti akan tinggi naik jika terjadi pengeboran di sekitarnya,” tutur Guntoro.

    Faktor gempa yang dijadikan dalih Lapindo juga dibantah Guntoro. Menurut dia, retakan tanah baru bisa terjadi jika ada gempa dengan kekuatan lebih dari 5 pada skala Richter. Padahal gempa yang terjadi di Yogyakarta dan dirasakan di Sidoarjo hanya berkekuatan 2 pada skala Richter. “Jadi, lucu jika mereka beralasan ada gempa,” ujarnya.

    Apa pun alasan Lapindo, kawasan Renokenongo kini merana. Pohon-pohon meranggas seperti terbakar. Saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur menyembur. Dalam dua pekan, berarti volume lumpur yang mengubur desa itu setara dengan 14 ribu truk kecil. Kendati begitu, Imam menjamin lumpur dan gas yang keluar masih aman bagi kesehatan manusia. “Dari hasil penelitian, lumpur ini tidak mengandung racun seperti yang ditakutkan,” katanya.

    Namun klaim itu ditolak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur. Dari hasil investigasi, organisasi pencinta lingkungan itu menemukan sumur-sumur warga yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi pengeboran dalam kondisi tercemar.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Ridho Syaiful, selama tiga bulan beroperasi, anak perusahaan PT Energi Mega Persada itu tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman terhadap warga terdekat. Padahal, dalam surat edaran Menteri Pertambangan dan Energi, disebutkan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi harus diumumkan untuk melindungi kepentingan sosial rakyat.

    “Kami tak pernah diajak rembukan, tahu-tahu terkena getahnya,” ujar Imam Sudarti, yang tinggal tak jauh dari lokasi Lapindo.

    Walhi mendesak pemerintah daerah dan Polri melakukan tindakan hukum kepada Lapindo Brantas untuk menyelamatkan lingkungan dan menghindari kerugian masyarakat. Menurut Ridho, pemerintah harus segera mencabut kontrak Lapindo Brantas sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjamin kesehatan serta perbaikan lingkungan.

    Soal kerusakan lingkungan, Made Sutarsa, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, menjelaskan bahwa pengeboran yang dilakukan Lapindo sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang ada. “Kebocoran itu murni karena gejala alam, gempa,” katanya yakin. Amdal perusahaan itu dikeluarkan Kantor Menteri Lingkungan Hidup pada 1990.

    Menurut Manajer Umum Lapindo, Rewindra, dengan analisis dampak lingkungan itu, pihaknya tidak perlu lagi meminta izin warga ketika mau melakukan eksplorasi. “Yang penting kan sudah sesuai dengan amdal,” katanya. Perusahaan ini diizinkan melakukan eksploitasi dan eksplorasi di Sidoarjo hingga tahun 2020.

    Untuk mengatasi banjir lumpur, sejak awal musibah, Lapindo sebenarnya telah menginjeksikan lumpur padat ke retakan tanah. Namun upaya itu gagal sehingga genangan lumpur terus meluas, bahkan sampai ke jalan tol Surabaya-Gempol kilometer 38. Mereka kini hanya membuat tanggul agar laju lumpur tidak semakin luas.

    Lapindo juga berencana membawa lumpur untuk dibuang ke kali mati, bekas aliran Sungai Brantas di daerah perbatasan Sidoarjo-Pasuruan yang saat ini tidak lagi dialiri air. Upaya ini tinggal menunggu negosiasi antara Lapindo dan pemerintah Sidoarjo dan Pasuruan.

    “Kami angkat tangan, tidak bisa menghentikan semburan lumpur,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendarso. Menurut dia, pemerintah daerah dan Lapindo telah mengirim surat permohonan bantuan kepada Wakil Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

    Sucahyono, Kepala Divisi Operasional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) menjelaskan bahwa diperlukan waktu minimal 30 hari untuk menghentikan muncratan lumpur. Kasus di Porong ini, ujarnya, pernah terjadi di Riau, dan aliran lumpur baru bisa dihentikan setelah dibuat pengeboran sumur terarah secara miring dari tempat lain. “Tujuannya mencari titik pusat aliran lumpur dan memompakan bahan penyumbat,” katanya.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Kukuh S Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 16/XXXV/12-18 Juni 2006

  • Menghirup Gas, 138 Warga Dirawat

    Semburan Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur panas dan gas alam di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, hingga Senin (5/6) atau hari kedelapan masih terus berlangsung dan bahkan area cakupannya semakin meluas. Sementara itu, 138 warga yang menghirup gas dibawa ke rumah sakit karena sesak napas.

    Gas putih yang baunya menyengat mirip amonia itu menyebabkan sejumlah warga pusing, sesak napas, dan tenggorokan terasa panas. Perumahan warga sekitar 150 meter dari titik semburan gas. Warga yang kesulitan bernapas dan mual-mual dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Pusat Pendidikan (Pusdik) Tugas Umum (Gasum) Porong yang dirujuk PT Lapindo Brantas—perusahaan penambang minyak dan gas di lokasi tersebut.

    Berdasarkan catatan Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum, sebagian besar pasien adalah perempuan dan anak-anak. Hasil diagnosa menyebutkan, pasien rata-rata sakit pernapasan. Sebanyak 10 orang di antaranya rawat inap, sedangkan lainnya rawat jalan. Biaya perawatan ditanggung PT Lapindo Brantas.

    Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum Komisaris Pancama Putra Hadi Wahyana mengatakan, “Ambulans kami siap 24 jam di permukiman warga.”

    Terus menyembur

    Kemarin lumpur panas dengan suhu sekitar 60 derajat Celsius dan gas terus menyembur. Intensitas dan volumenya pada siang hingga sore hari meningkat dengan tinggi sekitar 10 meter.

    Dari hamparan sawah Desa Siring sekitar 12 hektar, 95 persen di antaranya dibanjiri lumpur. Sisanya diperkirakan tak lama lagi akan terendam lumpur. Senin sore lumpur panas yang ditahan tanggul darurat tumpukan pasir sudah di atas permukaan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Ditemui di lapangan, General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan volume semburan lumpur mencapai 5.000 meter kubik per hari. Imam mengatakan telah menurunkan tim mengkaji penanganan lumpur. Tim ini merupakan tim gabungan empat disiplin ilmu, yakni geoteknik, geohidrologi, teknik sipil, dan teknik lingkungan.

    Dr Adi Susilo, Kepala Laboratorium Geosains Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam (MIPA) Universitas Brawijaya, mengatakan, muncratnya (blow out) lumpur hidrokarbon pada sumur minyak Banjar Panji, Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola PT Lapindo Brantas diduga karena faktor ketidakberuntungan.

    Pada saat penggalian, lubang galian yang belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing keburu menganga karena gempa bumi di Yogyakarta. Akibatnya terjadinya rekahan pada galian sehingga lumpur hidrokarbon muncrat.

    “Prosedurnya memang lubang galian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun, penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pengeboran selesai dan minyak mentahnya telah ditemukan,” katanya.

    Munculnya semburan lumpur di rumah warga, menurut Adi, merupakan gejala adanya rekahan tanah tidak hanya pada lokasi pengeboran, melainkan juga antara lokasi pengeboran dan rumah warga.

    “Jalan keluarnya memang Lapindo harus mengerahkan tenaga ahli yang lebih mampu, dan sangat mungkin hal itu harus didatangkan dari luar negeri, untuk menutup lokasi muncratan sumur. Tentang kerugian warga, mestinya itu ditutup dengan biaya asuransi yang sudah dibayar Lapindo,” ungkapnya. (LAS/ODY)

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sawah Rusak, Lantai Retak, dan Pohon Mengering
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, semakin resah akibat semburan lumpur panas yang semakin meluas. Lumpur berwarna abu-abu itu kini telah menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar dan pohon-pohon di sekitarnya mengering.

    Sawah yang terendam lumpur panas tersebut tanamannya mati, sedangkan tanahnya butuh waktu lama untuk bisa ditanami kembali. Adapun tanaman pisang dan pohon kayu keras yang terkena lumpur panas daunnya berguguran dan batangnya mengering.

    Keresahan warga Desa Siring semakin menjadi akibat munculnya semburan gas dari areal persawahan pada Minggu (4/6) dan Senin (5/6) kemarin. Titik semburan baru ini jaraknya hanya sekitar 15 meter dari rumah paling pinggir.

    Menurut Darti (37), pemilik rumah paling pinggir tersebut, gas menyembur Minggu malam sekitar pukul 23.00. Volume semburan tidak sebesar semburan di tengah areal sawah.

    “Senin pagi, semburan gas yang tidak disertai lumpur itu telah berhenti,” ucap Darti. Namun, warga sangat cemas sewaktu-waktu semburan muncul di areal permukiman warga.

    Sebuah rumah di RT 07 RW 02 Desa Siring lantainya ditemukan terangkat sekitar 10 sentimeter. Menurut Sulaikah (50), pemilik rumah, dari retakan lantai keramiknya t selalu keluar air bening bercampur pasir setiap semburan di tengah areal sawah aktif.

    Mendekati jalan tol

    Sementara itu, ketinggian lumpur semakin bertambah. Bahkan di sisi utara ketinggiannya sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38.

    Tanggul dari pasir dan batu yang dibangun memanjang di bahu jalan tol menjadi satu-satunya penahan laju lumpur. Lumpur yang tertahan tanggul darurat tersebut terus meninggi hingga lebih tinggi dari permukaan jalan tol. Persoalannya, ketika hujan turun akan mengakibatkan tanggul jebol dan lumpur menutupi jalan tol.

    General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan, semburan lumpur mencapai sekitar 5.000 meter kubik per hari. Untuk menanganinya, pihaknya telah membuat tanggul untuk melokalisasi pergerakan lumpur.

    “Kami juga sudah membentuk tim untuk mengkaji penanganan lumpur serta dampaknya. Hal ini dilakukan sebagai usaha menangani persoalan secara komprehensif,” tutur Imam.

    Pada kesempatan yang sama Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman Suryadi Sumawiredja menyatakan tidak menjumpai adanya indikasi kelalaian oleh PT Lapidno Brantas. “Semburan lumpur ini lebih karena faktor alam,” katanya.

    Sementara itu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan telah membuat tim terpadu untuk penanganan lumpur. Konkretnya, Satlak Kabupaten Sidoarjo bekerja bersama dengan PT Lapindo. “Leading sectornya PT Lapindo Brantas,” ujarnya.

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas: Ada Kesalahan Teknis dan Amdal

    Surabaya, Kompas – Semburan gas dan lumpur panas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terjadi karena beberapa hal. Tiga kemungkinan penyebab insiden itu di antaranya adalah kesalahan teknis, pelanggaran terhadap analisis mengenai dampak lingkungan, dan pengaruh pengeboran dilakukan di daratan (on shore).

    Hal ini dikemukakan tim inti Dewan Lingkungan Jawa Timur Antoro Hendra Sanjaya seusai Sarasehan Lingkungan untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5/6) di Surabaya.

    Perbedaan kondisi pada setiap titik dalam tanah, menurut Antoro, menyebabkan sistem pengeboran tidak dapat disamakan antara satu titik dan titik yang lain.

    “Akibat kesalahan dalam pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas ini terjadi semburan lumpur panas,” kata Antoro.

    Amdal yang telah dibuat untuk PT Lapindo Brantas, lanjut Antoro, sudah mencakup arahan teknis untuk memantau dan mengelola bila terjadi masalah-masalah yang mungkin terjadi. Bila sampai terjadi insiden seperti luapan lumpur panas, berarti terdapat kelalaian dalam pelaksanaan amdal.

    “PT Lapindo pun seharusnya melaporkan secara berkala pantauan berdasarkan rencana pemantauan lingkungan yang ada dalam amdal. Dari laporan itu, dapat dikaji apa yang menyebabkan semburan itu,” tutur Antoro yang juga mantan Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim.

    Pengeboran daratan

    Pengeboran yang dilakukan di daratan (on shore), menurut Antoro, juga berpengaruh. Berbeda halnya dengan pengeboran lepas pantai. “Kebocoran dalam pengeboran di daratan sangat terasa dampaknya,” katanya.

    Antoro memberi solusi agar PT Lapindo mengurangi tekanan sumur dengan membuat terobosan pembuangan ke arah yang aman.

    Selain itu, PT Lapindo harus menjelaskan langkah yang akan dilakukan kepada masyarakat serta menyediakan dana community development.

    Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim dalam siaran persnya yang ditandatangani Manajer Kebijakan Publik Choirul Anwar mendesak agar Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mencabut kontrak dan mengusut tuntas berbagai pelanggaran yang dilakukan PT Lapindo Brantas.

    Wakil Kepala Bapedal Jatim Dewi J Putriatni mengatakan, Bapedal Jatim tidak mempunyai wewenang untuk menilai PT Lapindo Brantas karena amdal-nya dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. “Kalau Bapedal diminta untuk ikut dalam tim yang memeriksa kandungan lumpur dan gas, bisa saja,” kata Dewi. (INA)

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Dekati Tol Surabaya-Gempol

    Semburan Gas di Areal Persawahan Desa Siring Kembali Naik

    Sidoarjo, Kompas – Lumpur panas dari perut Bumi selama tujuh hari berturut-turut di areal persawahan Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jatim, hingga Minggu (4/6), bertambah. Semburan lumpur pekat mirip lahar berwarna abu-abu itu bahkan sudah mendekati badan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Berdasarkan pemantauan, jalan tol yang terancam terputus akibat lumpur itu adalah kilometer 38 dari arah Kota Surabaya. Di beberapa bagian lumpur bahkan sudah menjangkau tepi bahu jalan.

    Dalam kaitan itu, PT Lapindo Brantas selaku perusahaan eksploitasi dan eksplorasi minyak dan gas di lokasi tersebut membuat tanggul dengan menggunakan sejumlah alat berat. Ratusan kubik tanah didatangkan dengan dump truck ke lokasi itu untuk dijadikan tanggul darurat.

    Akibat kesibukan membuat tanggul tersebut, lalu lintas dari arah Gempol ke Surabaya menjadi lambat. Kecepatan mobil saat melalui lokasi rata-rata 5-10 kilometer per jam. Antrean kendaraan pun akhirnya tak terhindarkan.

    Kepala Cabang Jalan Tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menyatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak PT Lapindo Brantas. “Prinsipnya, kami meminta PT Lapindo Brantas mengupayakan lumpur tidak sampai mengalir ke jalan tol,” ujarnya.

    Skenario terburuk, apabila lumpur akhirnya masuk ke badan jalan tol, pintu gerbang tol masuk Gempol akan ditutup. Selanjutnya, lalu lintas ke arah Surabaya dialihkan ke Porong.

    Lumpur panas itu terus keluar ketika PT Lapindo Brantas membuat sumur untuk penambangan gas. Lumpur cair itu suhunya di atas 57 derajat Celcius. Jika lumpur itu diinjak dengan kaki telanjang, kaki akan berwarna kemerah-merahan kepanasan.

    Selain membuat tanggul darurat dengan menggunakan pasir, PT Lapindo Brantas juga sudah mengantisipasi meluasnya lumpur ke jalan tol dengan memasang gedek (anyaman bambu) di antara areal persawahan yang telah tergenang lumpur dengan badan jalan tol.

    Akan tetapi, kemarin permukaan lumpur semakin tinggi. Akibatnya, gedek tak sanggup menahan laju lumpur yang akhirnya semakin merangsek ke badan jalan tol.

    Kembali naik

    Hari Minggu kemarin, sekitar pukul 11.00 hingga 15.00, volume semburan lumpur panas dan gas di areal persawahan Desa Siring kembali naik. Tinggi semburan mencapai sekitar enam meter.

    Sementara itu, gas putih berbau menyengat semacam amoniak pun kembali tercium. Gas yang mengandung hidrogen sulfida tersebut baunya tercium hingga radius 500 meter, mengikuti arah angin. Padahal kawasan permukiman warga Desa Siring jaraknya hanya sekitar 200 meter dari titik semburan.

    Relations and Security Manager PT Lapindo Brantas Budi Susanto mengatakan, telah meminta bantuan Alert Disaster Control untuk menganalisis penyebab semburan sekaligus memberikan kajian teknis penanggulangannya. Alert Disaster Control adalah sebuah perusahaan di Amerika Serikat dengan spesifikasi penanganan sumur penambangan.

    Sejauh ini PT Lapino Brantas menyatakan, keluarnya gas tersebut diperkirakan akibat gempa bumi yang membentuk retakan dalam lapisan tanah. Dampaknya, gas bertekanan tinggi mencari celah-celah itu untuk keluar ke permukaan tanah.

    Syahdun, mekanik pengeboran subkontrak PT Lapindo Brantas, menyatakan, semburan gas dan lumpur disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran hari Senin pekan lalu sekitar pukul 04.30. “Akibatnya, gas menekan ke samping dan mencari retakan dalam lapisan tanah untuk keluar ke permukaan,” ujarnya. (las)

    Sumber: Harian Kompas, 5 Juni 2006.