TEMPO.CO, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jawa Timur bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Sosial, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan membentuk sebuah tim untuk memverifikasi jumlah aset yang dimiliki oleh PT Minarak Lapindo Jaya yang akan dijadikan jaminan kepada pemerintah.
“Itu berdasarkan Peraturan Presiden. Kalau tidak salah Perpresnya tentang Tim Percepatan Penyelesaian Lumpur Sidoarjo,” kata Ketua BPKP perwakilan Jawa Timur Hotman Napitupulu kepada Tempo ketika ditemui di kantornya, Senin, 22 Maret 2015.
Sampai saat ini, menurut Hotman, tim verifikasi belum menghitung berapa jumlah aset yang dimiliki oleh Minarak Lapindo Jaya. Saat ini laporan verifikasi dana talangan ganti rugi lumpur Lapindo masih dibahas oleh Kementerian PU yang kemudian akan diserahkan kepada Tim Percepatan Penyelesaian Lumpur Sidoarjo. “Jadi belum diketahui jumlahnya, itu tugas dari tim berikutnya. Kalau kami hanya memastikan nilai ganti rugi Lapindo,” kata dia.
Tim verifikasi aset Minarak Lapindo Jaya salah satunya terdiri dari Badan Pertanahan Nasional yang nantinya akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
Soal waktu kapan akan dimulainya untuk memverifikasi aset tersebut, Hotman mengaku tidak tahu menahu. Menurut dia, ini tergantung bagaimana koordinasi dari tim Percepatan Penyelesaian Lumpur Sidoarjo.
“Kalau soal apakah nanti akan juga mengaudit, saya kira tidak ada karena hanya sebatas kegiatan pemberian sisa ganti rugi kepada korban Lumpur Lapindo. Kalau soal laporan keuangan kan isinya macam-macam tidak etis juga karena memang hanya sebatas ganti rugi,” ujar Hotman.
Dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo berubah menjadi Rp 767 miliar dari Rp 781 miliar setelah diaudit oleh BPKP. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan ada beberapa penyebab koreksi dana talangan tersebut. “Ada yang terhitung dua kali,” katanya kepada Tempo di kantornya akhir pekan lalu.
Selain itu, menurut Basuki, masih ada 8 berkas milik warga yang belum dihitung dalam audit dana talangan. Delapan warga ini terlambat mengajukan dana ganti rugi karena terlambat melaporkan pada saat penjaringan dilakukan.
“Jadi jumlahnya masih dihitung lagi. Ini kan baru laporan sementara,” katanya. Berkas yang belum terhitung ini, akan diverifikasi oleh BPKP dan BPLS mulai Senin. Dia memperkirakan verifikasi akhir dana talangan ini akan selesai dalam waktu dekat.
TEMPO.CO, Jakarta – Nilai aset PT Minarak Lapindo Jaya menyusut setelah diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi Rp 2,7 triliun dari nilai semula Rp 3,03 triliun. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan penurunan aset ini bukan karena adanya aset bodong, melainkan ada beberapa bidang tanah yang dihitung dua kali.
Selain itu, terdapat bonus yang diberikan Lapindo kepada masyarakat yang bukan untuk pembayaran tanah. “Jumlahnya (bonus) sekitar Rp 200 miliar,” katanya di Jakarta Convention Center, Selasa, 24 Maret 2015. Dia menuturkan istilah bonus tersebut, menurut BPKP, tidak dapat dimasukkan ke dalam aset Minarak.
Dalam laporan ke Basuki sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, audit BPKP menyebutkan aset Minarak sebesar Rp 2,7 triliun dari nilai semula Rp 3,03 triliun dan dana talangan korban lumpur Rp 767 miliar dari 781 miliar. Anggaran sebesar Rp 767 miliar untuk dana talangan telah dialokasikan dari Kementerian Keuangan.
Menurut Menteri, aset Lapindo yang menjadi jaminan hanya berupa tanah di dalam peta terdampak. Sebelum negara membayar dana talangan nantinya, pemerintah menahan sertifikat dan surat tanah milik Minarak senilai Rp 2,7 triliun selama empat tahun. Jika selama empat tahun pihak Minarak tidak dapat membayar dana talangan, pemerintah akan menyita aset seluas 420 hektare itu.
“Surat (tanah) belum ada di tangan pemerintah, belum ada perjanjian, belum ada perundingan. Rencananya, tunggu Presiden datang, keppres ditandatangani, baru kami proses,” kata Basuki.
Dia mengatakan BPKP tidak mengaudit laporan keuangan Minarak, tapi hanya mengaudit aset yang akan dijadikan jaminan dana talangan. Pemerintah belum mendapatkan pernyataan kesanggupan Minarak membayar dana talangan. “Yang harus ditebus Bakrie Rp 767 miliar belum termasuk fasilitas sosial. Ada ponpes di situ yang akan dihitung beserta berkas delapan keluarga,” tuturnya.
The Jakarta Post, Sidoarjo – The embankment of the Lapindo mud retaining pool in Sidoarjo, East Java burst on Wednesday evening because of high rainfall in the area, forcing residents, most of whom have not received compensation, to take shelter.
“The burst embankment will be rebuilt 5 meters high. However, residents often blockaded the project, so the embankment, which is still only 3.5 meters high, collapsed and caused water to engulf residents’ homes and flow into the river,” Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) spokesman Dwinanto Prasetyo said on Thursday.
Dwinanto said the government had provided a shelter for affected residents at the Gempolsari village hall, which could accommodate around 100 people, or 20 families, from the village.
“We have set up a kitchen and provided blankets, clothing and other supplies at the shelter. However, residents prefer to remain in their swamped homes,” he said.
He added the BPLS had operated two pumps to channel mud to the main retaining pool, from where two dredges would dump the mud into the Porong River.
One of the residents, Sri Asih, 41, said her family refused to stay at the shelter provided by the local administration, since staying at home was far more comfortable.
“Each heavy rain, we are always wary of the condition of the mud embankment, because it has collapsed before and water mixed with mud engulfed my home and damaged the furniture,” Sri told The Jakarta Post on Thursday.
“We prefer moving our belongings, such as furniture, to the shelter at the village hall. If the water level rise further, we will obviously evacuate to the village hall,” she added.
Sri hoped the government would soon fulfill its promises to pay compensation for her house and land, which were included on the map of areas affected by the Lapindo hot mudflow disaster.
The government earlier announced it would pay compensation of Rp 781.7 billion (US$60.2 million).
Many criticized the government’s decision over the compensation as it is actually the responsibility of PT Lapindo Brantas, a company controlled by the family of Aburuzal Bakrie, who is also chairman of the Golkar Party.
PT Lapindo partly owns PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), which conducted gas exploration activities in the affected area leading to a blowout at one of Lapindo’s natural gas wells in 2006.
Lapindo has persistently denied its exploration activity was the cause of the mud flow, instead blaming an earthquake in Yogyakarta, hundreds of kilometers to the west.
Another victim, Ahmadi, 54, expressed hope President Joko “Jokowi” Widodo would not break his promise to immediately resolve the issue.
“We are actually tired of the promises. If the government is still concerned with the fate of the hot mudflow victims, the payment process should not have been complicated,” said Ahmadi.
Commenting on the planned compensation, Dwinanto Prasetyo said that although the government had provided the bailout funds, it must still wait for the completion of auditing by the Development Finance Comptroller (BPKP) before they could be disbursed.
Meanwhile, East Java Governor Soekarwo said the disbursement of the funds for mudflow victims should go through several stages.
SURABAYA, KOMPAS.com – Lumpur Lapindo meluber di titik 74 tanggul penahan menyusul tingginya curah hujan yang terjadi di kawasan tersebut. Akibatnya, lumpur menggenangi puluhan rumah warga.
Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Dwinanto P, mengatakan curah hujan yang cukup tinggi selama beberapa hari terakhir membuat tanggul penahan yang ada di titik 74 tidak kuat menahan lumpur dari dalam kolam penampungan.
“Puncaknya pada Kamis (19/3/2015) dini hari tadi, lumpur dengan cepat meluber keluar sehingga puluhan rumah yang ada di Desa Gempolsari tenggelam akibat luberan lumpur yang mengalir tersebut,” katanya.
Ia mengemukakan, saat ini sekitar seratus orang warga yang rumahnya terendam lumpur terpaksa mengungsi di balai desa setempat.
“Kami juga sudah melakukan koordinasi dengan warga termasuk memberikan kepada mereka kebutuhan makanan selama mereka di lokasi pengungsian tersebut,” katanya.
Ia mengatakan, untuk penanganan lumpur itu sendiri saat ini sudah digunakan dua unit pompa air untuk mengalirkan lumpur menuju ke dalam kolam utama dan selanjutnya menggunakan dua kapal keruk untuk mengalirkan lumpur menuju ke Kali Porong.
“Selain itu, kamu tetap menggunakan alur yang ada di sisi selatan rumah warga dan juga mengalirkan lumpur ke sungai terdekat supaya volume lumpur bisa segera diselesaikan,” katanya.
Ia mengatakan, saat ini, pihaknya masih berkonsentrasi untuk menurunkan volume lumpur di dalam kolam penampungan baru kemudian melakukan melakukan perbaikan tanggul lumpur.
“Pengaliran lumpur ke Kali Porong saat ini yang menjadi konsentrasi kami supaya luberan lumpur bisa segera berkurang dan kami bisa melakukan perbaikan tanggul lumpur yang sempat terkena luberan,” katanya.
(Bagian terakhir dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan di sini)
BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR Sidoarjo, atau BPLS adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur Lapindo melalui penerbitan Perpres 14/2007 pada 8 April 2007. Pembentukan BPLS menunjukkan betapa spesialnya kasus Lapindo dibandingkan bencana lingkungan lain di Indonesia. BPLS merupakan representasi negara dalam kasus Lapindo yang masih bekerja sampai saat ini.
Secara garis besar, tugas BPLS tidak berbeda dengan Timnas: menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial dan infrastruktur (Perpres 14/2007, Pasal 1, Ayat 2). BPLS berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya itu kepada Presiden (Pasal 1 Ayat 3), namun segala arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Dewan Pengarah BPLS (Pasal 3 Ayat 1), bukan oleh Presiden. Ada perbedaan struktur pengorganisasian BPLS jika dibandingkan dengan Timnas yang berada di bawah supervisi yang diketuai Menteri ESDM. Dewan Pengarah BPLS diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum, Menteri ESDM hanya duduk sebagai anggota dewan tersebut. Struktur semacam ini menandai hal yang substansial dalam orientasi agenda kerja BPLS yang lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur; bandingkan dengan orientasi penanganan kecelakaan industri migas yang dilakukan Timnas (lihat tulisan sebelumnya).
Perubahan itu dapat juga dilacak dalam peraturan perundangan yang melandasi Perpres 14/2007. Landasan hukum Keppres 13/2006 orientasinya adalah ‘industri migas’, sementara landasan hukum Perpres 14/2007 adalah ‘manajemen tata ruang’. Perpres 14/2007 disusun dengan ‘mengingat’ UU Tata Ruang No 24/2007, UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, UU Migas No. 22/2001, UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 jo UU No. 8/2005. Dengan demikian, seperti halnya Timnas, BPLS tidak sedang dibentuk atas logika ‘penanganan bencana’. Pada bagian ini, kita akan menelusuri bagaimana negara (c.q. BPLS) berperan untuk melebarkan bencana pembangunan dengan memfokuskan diskusi pada proses pemindahan penduduk secara paksa.
Salah satu klausul penting Perpres 14/2007 adalah ihwal pembagian tanggung jawab penanganan masalah sosial kemasyarakatan antara pemerintah dan Lapindo. Perpres mengatur bahwa Lapindo ‘hanya’ bertanggung jawab untuk ‘membeli tanah dan bangunan’ warga yang termasuk dalam Peta 22 Maret 2007 (Pasal 15, Ayat 1) dan tanggung jawab atas wilayah di luar peta tersebut ‘dibebankan pada APBN’ (Pasal 15, Ayat 3). Perpres juga mengatur tentang pembagian kewajiban penanganan fisik antara Lapindo (yang dibebani biaya penanggulangan semburan lumpur dan pembuangan lumpur ke Kali Porong; Pasal 15, Ayat 5) dan pemerintah (yang menanggung biaya relokasi infrastruktur; Pasal 15, Ayat 6). Hingga kini, tidak pernah jelas dasar hukum dari pembagian tanggung jawab semacam itu.
Hingga tulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahan atas Perpres 14/2007 melalui penerbitan peraturan presiden baru, yaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 September 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011 (Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan 8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Jika kita melihat struktur peraturan perundangan yang melandasi penerbitan revisi Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan bahwa revisi tersebut dilandasi oleh peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, a.l.: UU Keuangan Negara (17/2003), UU Perbendaharaan Negara (1/2004), UU APBN (2008, 2009, 2011, 2012, dan 2013). Hal semacam itu dapat dilihat dalam konteks bahwa revisi atas Perpres 14/2007 melibatkan penambahan biaya kompensasi untuk membeli wilayah ‘di luar peta’ yang juga harus dikosongkan akibat degradasi lingkungan yang akut. Pengosongan suatu wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.
Yang tak kalah menarik adalah, tentu saja, reduksi kewajiban Lapindo untuk membiayai upaya penanggulangan semburan dan pembuangan lumpur ke Kali Porong. Hal itu disampaikan dalam Perpres 40/2009 yang menghapus seluruh Pasal 15 Ayat 5, dan menambahkan upaya-upaya itu dalam Pasal 15 Ayat 6. Perpres 40/2009 juga menambahkan satu ayat yang berbunyi:
Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN. (Pasal 15 Ayat 7)
Dengan demikian, sejak Perpres 40/2009 keluar seluruh biaya penanggulangan lumpur Lapindo ditanggung pemerintah. Mengacu penggalan-penggalan data yang tersaji acak di website BPLS (bpls.go.id), dan Nota Keuangan APBN (Perubahan), kita bisa mengalkukasi secara sederhana jumlah dana yang dianggarkan pemerintah terkait penanganan lumpur Lapindo, yang sejak 2007 sampai 2015 secara akumulatif mencapai nilai Rp 11,72 trilyun (lih. Tabel 1). Anggaran tersebut disalurkan, terutama, melalui BPLS, dan ini berarti negara telah mengambil perannya dalam kasus Lapindo. Negara berperan aktif sebagai aktor utama yang mengatur: a) pembagian kewajiban penanganan bencana antara Lapindo dan pemerintah (Perpres 14/2007); b) mereduksi kewajiban Lapindo tersebut (Perpres 40/2009); dan c) mengambil alih kewajiban perusahaan dan membebankannya pada APBN. Yang paling kontroversial tentunya adalah peran negara sebagai legitimator pemindahan paksa penduduk dengan cara menerbitkan peta-peta baru, seperti yang akan kita bahas setelah ini.
Tabel 1. APBN untuk Lapindo
***
TIMNAS MENAMAI PETA 22 Maret 2007 dengan ‘peta area terdampak’. Baik representasi Lapindo ataupun aparatus negara akan selalu merujuk pada istilah tersebut peta itu bila sedang berbicara tentang area ‘terdampak’ lumpur Lapindo. Secara naif, mereka menyebut wilayah di luar peta 22 Maret bukan sebagai ‘area terdampak’ lumpur Lapindo, hanya ‘tak layak huni’. Sekalipun beda istilah, praktik yang terjadi di lapangan tetap sama: pemindahan penduduk dari hunian mereka secara paksa, dan proses itu dilegitimasi dengan peta baru yang menjadi lampiran revisi atas Perpres 14/2007.
‘Wilayah 3 Desa’ – Revisi pertama atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 48/2008 (17 Juli 2008), mengatur tentang penambahan wilayah baru yang harus dikosongkan untuk kebutuhan pembangunan tanggul dan saluran pembuangan sampai Kali Porong. Istilah yang populer untuk menyebut wilayah tersebut adalah ‘wilayah 3 Desa’ merujuk pada 3 (tiga) desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) di Kecamatan Jabon. Mekanisme yang diterapkan bagi para penduduk ketiga desa tersebut adalah seperti yang berlaku pada penduduk ‘dalam peta’, jual beli tanah dan bangunan. Hanya saja pembelinya bukan lagi Lapindo, tapi pemerintah. Nilai tukar aset bagi wilayah ini mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh Lapindo (Pasal 15b Ayat 6), atau yang jamak disebut ‘harga Lapindo’.
Perpres 48/2008 juga mengatur bahwa status tanah dan bangunan yang dibeli tersebut akan menjadi ‘Barang Milik Negara’ (Pasal 15c Ayat 1) yang dikelola oleh Menteri Keuangan dan digunakan oleh BPLS (Pasal 15c Ayat 2). Akan tetapi, dalam proses jual beli aset di wilayah ‘3 Desa’ tersebut PP Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum No. 36/2005 jo PP 65/2006 tidak berlaku (Pasal 15b Ayat 4) yang ini menunjukkan ketidakjelasan landasan hukum dan tujuan pembelian tanah tersebut. Untuk memperjelas wilayah mana saja yang harus dikosongkan, sebuah peta baru dibuat oleh BPLS. Pengosongan wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.
Berdasarkan data yang tersaji di website BPLS, terdapat 1.804 berkas klaim masuk dari wilayah ‘3 Desa’ tersebut. Sampai Desember 2012, 1.793 berkas dinyatakan sudah lolos verifikasi dengan nilai tukar total mencapai Rp 627,78 milyar dan 1.768 berkas sudah lunas dibayar (senilai Rp 511,32 milyar). Beberapa berkas yang bermasalah, sehingga tidak lolos verifikasi, dipicu oleh sengketa tanah seputar kepemilikan dan juga jenis tanah (sawah atau pekarangan). Selain itu, persoalan tanah komunal (seperti, tanah kas desa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial) juga menyisakan pertanyaan pada siapakah yang berhak atas kompensasi mengingat penduduk tercerai-berai di hunian barunya.
Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)
‘Wilayah 9 RT’ – Revisi kedua atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 40/2009 (23 September 2009) mencantumkan wilayah baru yang dimasukkan sebagai area ‘tidak layak huni’. Wilayah ini kemudian populer dengan sebutan ‘wilayah 9 RT’, mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) di tiga desa (Siring, Jatirejo, dan Mindi) yang terkena dampak deformasi tanah dan munculnya semburan gas berbahaya (Pasal 15b Ayat 1a). Wilayah ‘9 RT’ harus dikosongkan segera dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 15b Ayat 8), dan bagi penduduknya pemerintah akan memberi bantuan sosial (uang kontrak rumah, tunjangan hidup, dan biaya evakuasi) (Pasal 15b Ayat 9).
Perpres 40/2009 tidak menyebutkan tentang hak warga untuk menerima kompensasi atas tanah dan bangunan mereka. Warga hanya diminta untuk segera mengosongkan wilayah tersebut. Kompensasi bagi warga di wilayah ini baru diatur dalam Perpres 68/2011 tentang perubahan ketiga atas Perpres 14/2007 (27 September 2011). Mekanisme kompensasi yang berlaku tetap sama, jual beli tanah dan bangunan (Pasal 15b Ayat 3), penghitungan nilai kompensasi juga disamakan dengan wilayah sebelumnya. Dan pada bulan Oktober 2011, BPLS merilis sebuah peta baru yang mencantumkan ‘wilayah 9 RT’. Data di website BPLS menyebutkan bahwa dari total 789 berkas klaim ‘wilayah 9 RT’ yang masuk, 769 berkas telah lolos verifikasi (senilai Rp 436,80 milyar). Pada Desember 2012, sejumlah 757 berkas (Rp 376,07 milyar) sudah terbayar. Sisanya masih bermasalah pada hal yang sama, a.l.: sengketa kepemilikan, debat luas dan jenis tanah (sawah/pekarangan), dan tanah komunal.
Peta Kerja Oktober 2011
‘Wilayah 66 RT’ – Perpres 68/2011 mencantumkan pembentukan ‘Tim Terpadu’ yang dibentuk oleh Dewan Pengarah BPLS untuk mengkaji wilayah terkena dampak lumpur Lapindo (Pasal 15b Ayat 1b). Hasil kajian tim tersebut adalah pemetaan wilayah baru yang harus segera dikosongkan karena dinyatakan sebagai wilayah tak layak huni dalam Perpres 37/2012 tentang perubahan keempat atas Perpres 14/2007 (5 April 2012). Wilayah baru tersebut dikenal dengan ‘wilayah 65 RT’ mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) yang harus dikosongkan yang kali ini mencakup 8 (delapan) desa/kelurahan, yaitu: Besuki, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Gempolsari, Kalitengah, dan Wunut.
Pada 8 Mei 2013, terbit Perpres 33/2013 tentang perubahan kelima atas Perpres 14/2007 yang merinci batas-batas wilayah yang sebelumnya sudah diatur dalam Perpres 37/2012 dan menambahkan 1 (satu) RT di Kelurahan Porong yang kemudian membuat wilayah baru itu sekarang disebut ‘wilayah 66 RT’. Selain merinci batas-batas dan penambahan wilayah baru, Perpres 33/2013 mengatur kompensasi tanah wakaf yang menjadi kewenangan Kementerian Agama (Pasal 15b Ayat 10).
Untuk wilayah ’66 RT’, BPLS menargetkan sekitar 5.000 berkas klaim masuk. Sampai Desember 2012, BPLS menerima 4.422 berkas klaim dengan nilai tukar mencapai Rp 451,93 milyar, dan baru 3.556 berkas yang terbayar (Rp 261,33 milyar). Dengan demikian, diperkirakan masih ada sekitar seribu berkas lagi yang menjadi tanggung
Peta 5 April 2012
an pemerintah. Sayang, website BPLS tidak mencantumkan data mutakhir tentang kelanjutan proses pembayaran tersebut.
***
PEMINDAHAN PAKSA BESAR-BESARAN lain yang dilakukan oleh negara, namun luput dari amatan publik adalah terkait pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur. Relokasi infrastruktur mensyaratkan pembebasan lahan baru untuk pembangunan, dan dengan demikian menandai fase lain pemindahan paksa akibat lumpur Lapindo. Untuk merelokasi infrastruktur (jalan tol dan jalan raya), pada Juli 2007 ditentukan luasan lahan yang dibutuhkan. Penentuan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/260/KPTS/013/2007. Menurut rencana awal tersebut, infrastruktur baru akan melintasi wilayah di 15 (limabelas) desa yang meliputi 11 (sebelas) desa di Kabupaten Sidoarjo dan 4 (empat) desa di Kabupaten Pasuruan. Luas lahan yang dibutuhkan mencapai 132,16 ha. Namun, setelah melakukan penghitungan riil dan beberapa kesepakatan dengan instansi yang lain, pada April 2010 disepakati bahwa lahan yang dibutuhkan ‘hanya’ 123,77 ha.
Kebutuhan lahan untuk relokasi
Pengurangan itu meloloskan Desa Kludan di Kabupaten Sidoarjo dari proyek pembebasan lahan itu. Namun, sebagian warga di 14 (empatbelas) desa yang lain harus merelakan tanah dan bangunan mereka untuk digantikan dengan infrastruktur jalan raya dan jalan tol (lihat Peta Relokasi Infrastruktur). Sepuluh desa/kelurahan di Kabupaten Sidoarjo yang yang terkena dampak relokasi infrastruktur adalah Desa Kali Sampurno, Desa Kali Tengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin, Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Kesambi, Kelurahan Juwet Kenongo, Kelurahan Porong, dan Desa Kebon Agung di Kecamatan Porong, serta Desa Kedungcangkring di Kecamatan Jabon. Dan empat desa di Kabupaten Pasuruan adalah Desa Carat, Desa Gempol, Desa Kejapanan, dan Desa Legok di Kecamatan Gempol.
Seperti halnya proyek pembangunan infrastruktur makro lainnya, beberapa permasalahan sempat tercatat terkait proses pengosongan lahan dan pembangunan relokasi infrastruktur yang dilakukan BPLS tersebut. Yang paling kentara adalah tingginya nilai kompensasi yang diminta sebagian warga dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pemerintah. Beberapa warga meminta kompensasi setara ‘harga Lapindo’, yang berlaku untuk tanah dan bangunan dalam Peta 22 Maret 2007. Beberapa warga lain, menuntut nilai yang lebih tinggi lagi karena aset mereka terletak di pinggir jalan utama. Beberapa tanah status kepemilikannya dipegang oleh banyak orang yang berujung pada sengketa internal sehingga mempersulit proses pemberian kompensasi. Pelbagai masalah terkait pembebasan lahan tersebut berdampak pada pembangunan jalan (tol maupun arteri) secara parsial. Infrastruktur baru dibangun terputus-putus dalam 4 (empat) paket, dan baru menjadi satu kesatuan sehingga bisa beroperasi penuh pada Maret 2012.
Percepatan pembangunan infrastruktur baru, menggantikan infrastruktur lama yang terendam lumpur Lapindo, dilandasi lebih oleh motif ekonomi, yaitu mengembalikan nadi transportasi dari/ke Pelabuhan Tanjung Perak ke/dari wilayah industri besar di Jawa Timur bagian Selatan dan Timur. Dan atas nama ‘kepentingan umum’ itulah lagi-lagi rakyat harus dikorbankan dengan cara pemindahan paksa. Negara, lagi-lagi, hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi proses yang tidak bakal terjadi jika saja negara tidak pernah memberi izin Lapindo untuk melakukan pengeboran migas di kawasan padat huni.
***
PRESIDEN JOKOWI TELAH memerintahkan jajaran menteri di kabinetnya untuk memenuhi kontrak politik yang disepakatinya pada korban Lapindo, memberikan pinjaman bersyarat pada Lapindo yang tidak mampu melunasi kewajibannya membayar aset warga yang dimasukkan dalam ‘area terdampak’ lumpur Lapindo. Jumlah pinjaman tidak main-main, Rp 781,69 milyar. Syarat yang diberikan adalah Lapindo harus menyerahkan 13.327 berkas aset warga sebagai jaminan dan Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan pinjaman tanpa bunga itu. Jika Lapindo gagal mengembalikannya, aset akan diambil alih negara –yang sebenarnya adalah keputusan yang paradoks, karena seperti sudah dibahas sebelumnya, mengacu pada UU Pokok Agraria No 6/1956, tanah yang dibeli Lapindo itupun secara hukum statusnya adalah tanah negara; bagaimana mungkin negara menyita asetnya sendiri (Novenanto 2015a; 2015b).
Aksi negara menalangi hutang Lapindo itu telah diklaim sebagai ‘kehadiran negara’ yang dianggap telah absen selama ini. Namun, seperti disampaikan dalam rangkaian tulisan ini, negara adalah aktor penting dalam kasus Lapindo. Negara telah hadir, bahkan sebelum pengeboran Sumur Banjar Panji 1, dengan memberi izin pengeboran migas di kawasan padat huni. Dengan demikian, negara telah berperan dalam penentuan lokasi terjadinya suatu bencana industrial. Bahkan, negara tidak pernah mengawasi kegiatan ‘industri berbahaya’ itu. Peran aktor-aktor negara semakin kentara dengan menerbitkan peta area terdampak dan melegitimasi pemindahan paksa para penghuninya melalui penerbitan Perpres 14/2007 dan juga revisi terhadapnya. Tidak hanya itu, negara juga telah melegitimasi perluasan pemindahan paksa terkait proyek relokasi infrastruktur yang rusak. Untuk penanganan dampak lumpur Lapindo, negara telah menganggarkan dana sebesar Rp 11,72 trilyun; dana yang sebenarnya bisa digunakan untuk pengembangan di sektor lain.
Kasus Lapindo bukanlah sekadar masalah bencana lumpur panas menyembur di kawasan padat huni. Kasus Lapindo adalah pembuktian kebobrokan pengelolaan industri migas di negeri ini, tidak hanya pada proses perizinan tapi juga tata kelola penanganan kecelakaan industrial yang riskan terjadi. Oleh karena itu, satu-satunya ketidakhadiran negara dalam kasus Lapindo adalah untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada Lapindo yang telah melakukan kesalahan fatal dalam industri migas yang penuh resiko. (habis)
Menghadirkan negara dalam kasus Lapindo menjadi bagian kampanye Presiden Jokowi. Skema talangan agaknya memang janji paling realistis yang bisa dilakukan Jokowi kepada korban Lapindo. Demikian halnya sebagai pelaksanaan keputusan MK tanpa resiko. Skema ini tentu mensyaratkan kejelasan para pihak korban yang menjadi tanggungan Lapindo dan detail besaran jumlahnya.
Namun demikian, apakah benar negara tidak hadir dalam persoalan Lapindo. Konstruksi ‘menghadirkan negara’ ala Jokowi yang sebenarnya tidak benar dan cenderung menyesatkan. Jika hadirnya negara dipahami sebagai absennya peran negara dalam mengkonstruksi kasus Lapindo tentu salah besar.
Kami melihat peran penting negara dalam menghadirkan kasus Lapindo bagi warga Sidoarjo. Para pengurus negara punya andil dalam memberikan izin dan tidak tegas mengawasi operasional pengeboran. Saat terjadi kecelakaan pada proses pengeboran, mereka cenderung gagap dalam menghadapi situasi yang ada, berposisi lemah menghadapi Lapindo, dan tidak tegas memimpin proses penanganan semburan sejak awal.
Begitu pula peran pengurus negara dalam menentukan skema penyelesaian lumpur Lapindo yang hanya sebatas pada persoalan ganti rugi dan menegasikan tanggung jawab pemulihan hilangnya hak dasar warga. Rusaknya sarana pendidikan dan akses mendapatkan pendidikan yang sulit tidak diatasi secara khusus. Kualitas kesehatan yang menurun tidak diimbangi dengan melakukan monitoring kesehatan warga dan pertanggungan khusus. Lebih-lebih soal lingkungan yang memburuk, tidak ada upaya mengatasi melalui monitoring ataupun pengolahan. Pengurus negara justru berperan memperburuk terpenuhinya hak dasar warga.
Masa pemerintahan SBY lebih mengedepankan pemulihan ekonomi regional dan lebih melihat dampak lumpur Lapindo terhadap infrastruktur. Ini bisa dilihat dari struktur personel BPLS dan juga anggarannya yang lebih fokus pada pemulihan infrastruktur, tidak pada pemulihan kehidupan korban Lapindo. Lagi-lagi, pengurus negara juga menyelesaikan dampak lumpur Lapindo bagi warga di luar PAT 2007 juga dengan menggunakan skema ganti rugi tanah dan bangunan.
Presiden Jokowi seharusnya tidak memandang persoalan lumpur Lapindo sebagai persoalan sederhana dan bisa diselesaikan tuntas dengan menalangi pembayaran ganti rugi. Sejumlah pekerjaan pemulihan dan upaya mitigasi perlu dilakukan. Memantau persebaran lumpur dan dampaknya perlu dilakukan terus menerus dan diimbangi upaya pemulihan lingkungan dan monitoring kesehatan warga. Jaminan khusus untuk pendidikan anak-anak korban wajib dilakukan. Demikian juga peran untuk memfasilitasi inisiasi aktivitas ekonomi baru untuk percepatan pemulihan ekonomi keluarga korban.
Redaksi berharap tulisan Anton Novenanto, Khudori, dan beberapa pilihan berita media dalam Buletin Kanal edisi kali ini bisa menyajikan secara gamblang dan memberi pemahaman bagaimana politik penyelesaian lumpur Lapindo ini.
TEMPO.CO, Surabaya: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) membenarkan bahwa proses verifikasi data korban lumpur Lapindo secara prinsip telah selesai. “Secara konsep sementara sudah,” kata Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Timur Hotman Napitupulu kepada Tempo, Selasa, 10 Maret 2015.
Akan tetapi, kata Hotman, hal tersebut belum dibicarakan dengan Kementerian Pekerjaan Umum. Hotman mengatakan verifikasi tersebut sudah dibicarakan dengan BPKP pusat.
Hotman menambahkan, saat ini dia belum bisa memastikan kapan BPKP berkoordinasi dengan Kementerian PU. Karena itu, Hotman enggan memberikan keterangan secara detail terkait dengan hasil verifikasi.
Verifikasi data korban lumpur Lapindo yang dilakukan BPKP Provinsi Jawa Timur telah selesai sehingga BPKP pusat saat ini sedang menyusun laporan hasil verifikasi yang dilakukan sejak awal Maret itu. “Sudah selesai (proses verifikasi), sekarang BPKP sedang proses penyusunan laporan, dan saya tidak tahu kapan selesainya,” kata juru bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Dwinanto Hesty Prasetyo.
Menurut Dwinanto, setelah penyusunan selesai, laporan itu akan langsung diserahkan kepada pimpinan BPKP pusat serta lembaga yang meminta verifikasi, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum. Karena itu, BPLS tidak menerima laporan itu karena langsung diserahkan ke pemerintah pusat.
Tugas BPLS, kata Dwinanto, hanya berusaha mendampingi BPKP saat proses verifikasi serta membantu semua kebutuhan yang mungkin diperlukan oleh BPKP. “Sehingga kami tidak tahu hasil laporan lengkapnya,” kata dia.
Laporan itu, kata Dwinanto, bisa berbentuk dokumen atau berkas-berkas yang disusun oleh BPKP atau hanya berupa laporan yang akan dipresentasikan di hadapan Menteri PU.
(Bagian 2 dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya klik di sini)
SELAMA INI, PUBLIK menganggap bahwa negara tidak banyak berperan dalam penanganan awal semburan lumpur. Salah satu argumen yang kerap direpetisi adalah seputar pembiayaan penanganan awal dibebankan pada anggaran belanja Lapindo sehingga negara tidak bisa banyak berbuat untuk mengatasi semburan (Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008). Bila mayoritas publik mengatakan bahwa pembebanan anggaran semacam itu sebagai ‘hukuman’, saya melihat bahwa keputusan itu sebagai pemberian keistimewaan pada Lapindo untuk bebas melakukan apapun, bahkan, jika perlu, mengorbankan rakyat sipil. Kecenderungan semacam ini semakin memperkuat argumen yang hendak disampaikan melalui tulisan ini: negara hadir demi melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya –sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan.
Dua pertanyaan terlontar: pertama, bagaimana Lapindo bisa mendapatkan keistimewaan tersebut? Kedua, mengingat keistimewaan tersebut bagaimanakah negara memainkan perannya dalam kasus Lapindo? Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, kita perlu menelusuri proses penanganan awal semburan lumpur Lapindo yang berada di bawah koordinasi Tim Nasional Penanganan Semburan Lumpur di Sidoarjo (selanjutnya, ‘Timnas’). Timnas yang dibentuk 8 September 2006 memang hanya bertugas selama tujuh bulan, namun tim yang diketuai Basuki Hadimuljono (sekarang Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) itu telah meletakkan pondasi dasar bagi proses pemindahan paksa warga di 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Sidoarjo.
***
PADA 12 JUNI 2006, Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, membentuk tim terpadu untuk menangani luapan lumpur Lapindo (BPK 2007, 70). Tim diketuai Bupati Sidoarjo dan terbagi menjadi tiga tim koordinatif, a.l., Koordinasi Pengendalian Situasi yang berada di bawah wewenang Dandim 0816 Sidoarjo, Koordinasi Teknis ditangani oleh Lapindo dan BP Migas, dan Koordinasi Rehabilitasi Sosial dan Kehumasan menjadi tanggung jawab Wakil Bupati Sidoarjo, Saiful Illah (KomnasHAM 2012, 65).
Dua hari setelah itu, pada 14 Juni 2006, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membentuk tim khusus yang diketuai Rudi Rubiandini dari Jurusan Teknik Perminyakan, ITB, untuk menginvestigasi insiden tersebut (Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008, 65). Pada awal September 2006, tim mengumumkan bahwa hasil investigasi menemukan bahwa semburan lumpur terjadi akibat kelalaian Lapindo yang tidak memasang selubung pengaman sesuai rencana ketika mengebor Sumur Banjar Panji 1 (Tim Walhi 2008, 2). Dengan kata lain, pemerintah (c.q. tim investigasi) menyatakan bahwa semburan lumpur adalah bencana buatan manusia, akibat kecelakaan industrial.
Selang beberapa hari setelah itu, pada 8 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 (Keppres 13/2006) tentang Timnas. Timnas direncanakan bertugas selama 6 (enam) bulan, namun menjelang habis masa kerjanya belum tampak tanda-tanda lumpur akan berhenti sehingga pada 8 Maret 2007 keluar Keppres 5/2007 tentang Perpanjangan Masa Tugas Timnas yang diperpanjang selama 1 (satu) bulan. Kerja Timnas berakhir pada 8 April 2007 berbarengan dengan penerbitan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menggantikan Timnas.
Terlepas dari kontroversi yang melingkupinya –terkait status keputusan presiden yang berada di luar struktur hukum formal di Indonesia (Gustomy 2012, 75–78; Batubara and Utomo 2012, 165–168), Keppres 13/2006 adalah peraturan pertama yang dikeluarkan pemerintah pusat dalam rangka mengatasi lumpur Lapindo dan Timnas adalah lembaga mitigasi pertama yang dibentuk khusus untuk menangani semburan lumpur Lapindo. Sekalipun hanya bekerja selama tujuh bulan, Timnas telah meletakkan pondasi dasar bagi pembangunan bencana yang akan dilanjutkan oleh BPLS sampai sekarang.
Keppres 13/2006 melanjutkan kesimpulan tim investigasi, bahwa semburan lumpur terkait dengan kegiatan industri migas (kecelakaan teknologi). Hal ini dapat dilacak dari peraturan perundangan yang melatarbelakanginya, yaitu UU Migas No. 22/2001, PP No. 19/1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan, PP No. 11/1979 tentang Keselamatan Kerja pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi, dan PP No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi jo PP No. 34/2005. Melihat komposisi semacam ini, agenda kerja utama Timnas terkait dengan kegiatan industri migas, bukan mitigasi bencana. Timnas bekerja di bawah supervisi Menteri ESDM, yang memang representasi presiden yang mengurus industri migas di republik ini –sementara BPLS berada di bawah Menteri PU).
Timnas dibentuk untuk melaksanakan tiga tugas, yaitu menutup semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial (Butir Ketiga). Dan, untuk melakukan ketiga tugas itu segala biaya yang diperlukan Timnas dibebankan pada anggaran Lapindo (Butir Keenam). Klausul terkait pembiayaan ini sangat problematis. Sekilas, publik akan melihat politik anggaran semacam ini adalah sesuatu yang ‘baik’ karena publik meyakini semburan bersumber dari ulah Lapindo sehingga wajar bila Lapindo harus menanggung seluruh biaya penanganannya. Akan tetapi, politik anggaran semacam ini membuat seluruh tindakan penanganan awal semburan lumpur sangat tergantung pada keputusan jajaran direksi Lapindo (bdk. Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008; Tim Walhi 2008). Lebih-lebih, BPK (2007, 73) menyebutkan bahwa Lapindo tidak pernah serius membiayai usaha penanganan awal tersebut, sehingga dapat disimpulkan kegagalan menutup semburan perlu dilihat dari kacamata politik-ekonomi sebuah perusahaan yang tidak mau menderita kerugian.
***
LUMPUR PANAS YANG terus meluap adalah faktor alam yang memaksa pindahnya puluhan ribu penduduk, tetapi luapan itu tidak akan terus terjadi bila saja Lapindo tidak lalai dalam mengebor dan usaha menutup semburan berhasil dilakukan. Untuk menutup semburan satu teknik telah diusahakan: mengebor ‘sumur pertolongan’ (relief well), yaitu sumur yang dibor untuk memotong sumur utama ketika terjadi ledakan bawah tanah (blowout), seperti yang dialami oleh Sumur Banjar Panji 1. Pengeboran dilakukan dari titik yang berbeda di sekitar sumur utama dan diikuti dengan injeksi cairan khusus untuk menghentikan kebocoran yang ada. Teknik ini dikenalkan pada 1930an di Texas, Amerika Serikat.
Agak sedikit berbeda, ahli pengeboran Lapindo mengklaim bahwa sebelum mengebor sumur pertolongan telah dilakukan dua metode lain: mengebor ulang Sumur Banjar Panji 1 (snubbing unit) dan mengebor lubang lain secara miring untuk memotong Sumur Banjar Panji 1 (sidetracking well) (Istadi et al. 2009). Namun, seperti dibahas sebelumnya (bagian 1) pengeboran ulang sumur utama, yang dilakukan pada 2 Juni 2006, merupakan kesalahan fatal (Adams 2006, 57); sementara itu, pengeboran miring perlu dilihat sepaket dengan teknik sumur pertolongan karena tindakan tersebut dilakukan untuk memperoleh data awal sebelum mulai mengebor sumur pertolongan (Rubiandini 2007). Laporan pemeriksaan BPK (2007, 59–60) menyebutkan bahwa telah dilakukan pengeboran tiga sumur pertolongan dan tiga sumur observasi sebagai rangkaian usaha menutup semburan lumpur Lapindo yang dipimpin oleh William Abel, konsultan pengeboran dari Houston, Texas, AS. Dalam wawancara pada bulan September 2006, Abel sangat yakin bahwa teknik itu akan berhasil, katanya, ‘Dalam sejarah pengeboran, belum pernah ada blowout yang gagal diatasi’ (dikutip dalam Normile 2006). Sayangnya, kali ini dia harus keliru, usaha itu gagal.
Kegagalan menutup semburan berdampak pada meluasnya luapan lumpur panas dan memaksa puluhan ribu warga untuk pindah dari hunian mereka. Volume semburan lumpur mencapai 70.000-150.000 m3/hari dengan suhu mencapai 70o Celcius (Davies et al. 2007). Dalam waktu tiga minggu saja, lumpur sudah mengubur area padat penduduk seluas 90 hektar dan memaksa lebih dari 2.000 penduduk mengungsi. Hanya jeda seminggu setelah itu, area yang terbenam lumpur mencapai 145 hektar dan semakin banyak orang yang harus pergi dari rumah mereka. Pada bulan September 2006, area yang terendam mencapai 240 hektar. Di akhir 2006, luasan wilayah terdampak berlipat ganda, menjadi 450 hektar, menyusul ledakan pipa gas bawah tanah milik Pertamina yang meruntuhkan tanggul di Timur Laut, pada 22 November, dan mengakibatkan lumpur menggenangi kompleks perumahan padat huni, Perumahan Tanggulangin Asri Sejahtera (PerumTAS).
Luas area yang tergenang lumpur terus melebar seiring dengan kegagalan upaya menutup pusat semburan. Kini, untuk menahan meluasnya lumpur telah dibangun tanggul semipermanen sepanjang mencapai 8 (delapan) kilometer di sekeliling semburan utama mengelilingi wilayah seluas mencapai 800 hektar. Sekalipun usaha membendung dan membuang sebagian lumpur ke Selat Madura, melalui Kali/Kanal Porong sudah dilakukan,[i] luapan lumpur tak kunjung surut. Selain persoalan lumpur, dampak ekologis lain yang kasat mata adalah deformasi (penurunan/kenaikan) dan pergeseran (yang mengakibatkan keretakan) permukaan tanah, semburan-semburan kecil gas yang mudah terbakar, serta degradasi kualitas air tanah dan udara.
Dampak kolateral tersebut telah menyebabkan wilayah di luar tanggul lumpur menjadi kawasan tak layak huni dan oleh karenanya para penduduknya harus mengungsi ke tempat lain. Estimasi saya, berdasarkan foto peta satelit yang disediakan GoogleEarth, wilayah terdampak langsung itu mencapai lebih dari 1.500 hektar, yang mencakup 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan. Kelimabelas desa/kelurahan itu antara lain: Desa Gempolsari, Desa Kedungbendo, Desa Kalitengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin; Desa Renokenongo, Desa Glagaharum, Kelurahan Siring, Kelurahan Gedang, Kelurahan Jatirejo, Kelurahan Mindi, dan Kelurahan Porong di Kecamatan Porong; serta Desa Kedungcangkring, Desa Pejarakan, dan Desa Besuki di Kecamatan Jabon. Pada dua tahun pertama, jumlah penduduk yang harus pindah diperkirakan mencapai 39.000 jiwa. Jumlah ini belum termasuk korban tambahan pasca terbitnya Perpres 68/2011 (sekitar 3.000 jiwa), Perpres 37/2012 dan Perpres 33/2013 (belum ada estimasi jumlah korban berdasarkan kedua perpres terakhir tersebut). Pemerintah tidak pernah merilis berapa jumlah resmi penduduk yang harus meninggalkan rumah mereka akibat lumpur Lapindo, sejak 2006 sampai sekarang.
Tidak ada angka resmi dari pemerintah yang menyebutkan luasan wilayah yang harus dikosongkan akibat semburan lumpur Lapindo. Menurut prediksi para geolog, lumpur dari perut bumi akan keluar secara masif sampai 30 tahun sejak pertama kali menyembur, dan masih akan terus menyembur dalam volume yang lebih kecil sampai ratusan tahun ke depan (Davies et al. 2011). Sayang, pemerintah belum pernah merilis ke publik prediksi jangka panjang perluasan dampak lumpur Lapindo.
Pada 13 Desember 2006, Timnas menyatakan pengeboran sumur pertolongan harus dihentikan karena permukaan tanah tidak stabil sehingga dapat membahayakan para awak (Hadimuljono 2007, 63–65). Alasan itu bisa jadi benar, tapi Rudi Rubiandini, ketua tim investigasi yang juga bertanggung jawab untuk menutup semburan, berpendapat bahwa tidak berlanjutnya usaha menutup semburan juga disebabkan ihwal non-teknis, yaitu ketidakseriusan untuk menutup semburan yang indikasinya dapat dilihat dari ketidaksesuaian usaha dengan kaidah keilmuwan (KomnasHAM 2012, 64; Mudhoffir 2013, 26). BPK pun menemukan persoalan administrasi keuangan sebagai kendala utama kegagalan menutup semburan karena di awal Timnas dan/atau Lapindo tidak memperkirakan biaya total yang akan dikeluarkan untuk mengebor sumur pertolongan itu, yang mencapai Rp 237,91 milyar. Tentang penutupan semburan, BPK berpendapat:
Penyusunan anggaran dan kegiatan oleh Timnas tidak didasarkan pada kemampuan penyandang dana [Lapindo, AN], hal ini menunjukkan tidak adanya kejelasan likuiditas dana yang tersedia. Semua alternatif penanganan tidak akan efektif berjalan jika terhalang keterbatasan dana dan hanya dilaksanakan setengah jalan. (BPK 2007, 75)
Keppres 13/2006 memang tidak mengatur secara jelas tentang kewenangan Timnas untuk memaksa Lapindo melakukan seluruh pembayaran tepat waktu. Akan tetapi, itu bukan berarti negara tidak berperan dalam urusan menutup semburan. Justru, negara (c.q. Presiden) adalah aktor utama yang memerintahkan pembiayaan penutupan semburan tersebut pada Lapindo. Ditambah lagi, negara (c.q. Timnas) merupakan aktor yang melegitimasi penghentian usaha penutupan semburan tersebut dan dengan demikian negara berperan penting memunculkan biaya lain yang lebih jauh besar.
***
DALAM PEMBAHASANNYA TENTANG ‘bencana pembangunan’, Oliver-Smith (2010) tidak berbicara tentang faktor bahaya lingkungan yang tak terduga, tiba-tiba, apalagi alamiah. Dia justru sedang membahas proses yang dilakukan secara terencana atas nama kemajuan dan kepentingan umum, atau yang kerap disebut ‘pembangunan’. Menurutnya, pada satu sisi, pembangunan dilakukan untuk menghadirkan infrastruktur baru demi pencapaian kemajuan suatu bangsa; namun, pada sisi lain, pada hakikatnya pembangunan adalah ‘penghancuran dan pencabutan manusia dari hunian dan komunitasnya’ (Oliver-Smith 2010, 3). ‘Pemindahan paksa’ menjadi kata kunci dalam pembahasan Oliver-Smith tentang bencana pembangunan dan menurutnya proses itu tidak terjadi secara tiba-tiba; sebuah proses yang juga terjadi dalam kasus Lapindo.
Secara kasat mata, lumpur Lapindo memang faktor alam utama bagi terjadinya pemindahan paksa bagi puluhan ribu warga di sekitar semburan. Namun, seperti telah dibahas sebelumnya, faktor manusia menjadi kunci utama bagi munculnya semburan. Kondisi itu diperparah dengan dihentikannya usaha menutup semburan oleh, lagi-lagi, manusia. Faktor manusia kembali menjadi penting dalam menentukan siapa yang harus pindah dan siapa yang harus bertahan melalui proses, yang disebut James Scott (1998, 3), ‘pemetaan’. Pemetaan bukan hanya sekadar menghadirkan gambar bumi dalam selembar kertas tapi menunjukkan kuasa negara dalam memprioritaskan modifikasi lingkungan dan manusia yang tinggal di atasnya (bdk. Crampton 2001; Elden 2010).
Dalam kasus Lapindo, perkembangan wilayah yang terbenam lumpur dapat ditelusuri dari proyek penanggulan yang mengikuti skala prioritas yang dibuat pemerintah atas dasar, lagi-lagi, ‘kepentingan umum’. Pada bulan-bulan awal semburan, prioritas pemerintah adalah melindungi ruas jalan tol Porong-Gempol yang merupakan tulang punggung perekonomian Jawa Timur. Segala proyek penanggulan lumpur kemudian ditujukan agar lumpur tidak meluap sampai jalan tol, kalaupun hal itu terjadi pemerintah akan mengusahakan agar jalan tol dapat segera digunakan lagi dengan segala caranya. Salah satunya adalah membangun tanggul yang menghalangi laju lumpur menuju jalan tol. Tidak jelas kapan upaya penanggulan secara resmi dilakukan. Mengacu catatan BPLS, pada masa sebelum Timnas dibentuk proyek penanggulangan dilakukan oleh satuan militer Kodam V Brawijaya dengan menggunakan uang dari Lapindo (Karyadi, Soegiarto, and Harnanto 2012).[ii]
Negara tidak hanya sudah berperan aktif dalam proyek penanggulan awal, tapi juga sebagai aktor yang menentukan nilai tukar dan mekanisme kompensasi yang diberikan pada korban Lapindo. Mengacu sebuah studi, nilai kompensasi bagi korban Lapindo datang dari Saiful Illah, Wakil Bupati kala itu (sekarang, Bupati Sidoarjo), sekitar bulan September 2006 (Karib 2012, 67–68). Konteks pada waktu itu adalah pemerintah membutuhkan sebidang tanah di Desa Jatirejo untuk membangun tanggul di sisi Barat semburan. Tujuannya adalah menahan luapan lumpur ke rel kereta api dan jalan raya Porong. Saiful, didampingi aparat militer, menemui 12 (duabelas) warga Jatirejo dan meminta mereka untuk menjual tanah dan rumahnya untuk kepentingan bersama. Dia menawarkan uang sejumlah Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan dan Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah pekarangan. Saiful berargumen harga tersebut jauh di atas harga tanah ‘normal’ sebelum lumpur menyembur yang berkisar antara Rp 75.000 dan Rp 150.000 per meter persegi. Para warga yang berada di bawah tekanan psikologis tidak memiliki opsi lain kecuali menerimanya. Informasi tentang harga tersebut menyebar cepat di kalangan korban yang lain yang pada saat itu juga sedang menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian mereka tapi masih belum ada kepastian tentang mekanisme dan nilai kompensasi. Belakangan, nilai yang ditawarkan Saiful dan mekanisme ‘jual beli aset’ semacam itulah yang diterapkan juga sebagai acuan penentuan dan pemberian kompensasi kepada seluruh korban Lapindo.
***
TIMNAS YANG DIBENTUK belakangan semakin membuktikan kehadiran negara dalam proses pemindahan warga secara paksa dari hunian mereka. Dari beberapa dokumen yang ada, terlihat jelas bagaimana Timnas telah menjadi perantara bagi warga dan Lapindo dalam rangka negosiasi nilai kompensasi dan mekanismenya. Salah satunya adalah Surat Pernyataan yang ditandatangani Ketua Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono di atas meterai Rp 6.000 pada tanggal 13 November 2006. Di dalam surat itu tertulis bahwa Basuki, atas nama Timnas, bersedia memfasilitasi dan meneruskan permintaan ganti rugi dengan cara cash and carry korban Lapindo kepada Lapindo. Tidak hanya itu, tertulis juga bahwa ‘proses verifikasi data, negosiasi ganti rugi tanah dan bangunan, serta realisasi pembayaran tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Maret 2007’. Turut membubuhkan tanda tangan dalam surat itu adalah Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.
Pada 27 November 2006, Timnas melayangkan surat resmi kepada pimpinan Lapindo terkait penyelesaian dampak sosial-ekonomi akibat lumpur Lapindo. Surat itu berisi empat butir: 1) masyarakat menghendaki ganti rugi dengan cara tunai (cash and carry); 2) masyarakat menghendaki pernyataan kesanggupan dari Lapindo untuk penanggulangan masalah sosial-ekonomi; 3) ganti rugi dihitung berdasarkan nilai berikut: Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan (termasuk bangunan tingkat); dan, 4) ganti rugi tanah sawah ditentukan sebesar Rp 120.000 per meter persegi. Surat itu ditandatangani oleh Basuki, dan dengan mengetahui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dari selembar surat itu, kita dapat melihat bagaimana representasi negara hadir untuk menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian sosial-ekonomi yang diderita warga. Relasi kuasa yang terjadi bukan antara warga dan Lapindo, melainkan antara negara (c.q., Timnas, Bupati, DPRD Sidoarjo) dengan Lapindo.
Surat itu mendapatkan balasan pada 4 Desember 2006 ketika Lapindo melayangkan surat kepada Timnas, u.p. Basuki Hadimuljono. Dalam surat itu, Lapindo menyatakan kesanggupannya untuk memberi warga kompensasi atas kerugian yang diderita mereka sebagai bentuk ‘kepedulian sosial dan tanggung jawab moral’ perusahaan.[iii] Nilai yang disepakati sama dengan yang ditulis dalam surat Timnas, sementara mekanisme yang disanggupi oleh Lapindo adalah ‘jual beli’, yang berarti terjadi perpindahan kepemilikan atas aset dari warga ke Lapindo. Yang menarik adalah surat yang ditandatangani oleh Manajer Umum Lapindo Imam Agustino itu diarahkan kepada Timnas (sebagai lembaga representasi negara) dan bukan kepada warga. Surat itu ditembuskan kepada lembaga negara yang lain, a.l., Presiden, Wakil Presiden, Ketua dan Anggota Tim Pengarah Timnas, Bupati Sidoarjo, dan Ketua DPRD Sidoarjo –tidak disebutkan sama sekali bahwa surat itu sedang ditujukan pada warga– sehingga semakin jelas bagaimana sebenarnya negara telah hadir dalam kasus Lapindo ini.
Hal lain yang tak kalah menarik adalah jika kita melihat Peta Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006 yang menjadi lampiran surat Lapindo itu (lihat Peta 1). Peta yang dibuat oleh Lapindo dan disetujui oleh Basuki Hadimuljono itu menentukan wilayah mana saja yang akan dibeli Lapindo dan mana yang tidak. Di peta itu juga Basuki menambahkan suatu wilayah yang ditandainya dengan huruf “A” sebagai wilayah yang juga harus dibeli oleh Lapindo. Sekalipun hanya selembar kertas, peta itu memiliki efek kuasa yang menentukan pemindahan paksa para penduduk yang tinggal di atas wilayah yang akan dibeli oleh Lapindo. Mengingat peta itu disetujui oleh negara (c.q. Timnas), kita harus berpikir ulang tentang asumsi umum negara absen dalam proses pemindahan penduduk secara paksa terkait kasus Lapindo.
Peta 4 Desember 2006
Peta adalah politik. Peta telah menjadi instrumen paling efektif dalam proses pemindahan paksa korban Lapindo. Peta 4 Desember 2006 tidak mencantumkan wilayah yang baru terkena dampak luapan lumpur Lapindo pasca meledaknya pipa gas bawah tanah Pertamina pada 22 November 2006 malam. Ledakan yang mengakibatkan belasan orang meninggal dunia itu juga menyebabkan runtuhnya tanggul sisi Utara dan membuat lumpur meluber ke perumahan padat huni PerumTAS. Gelombang kedua pengungsi pun datang, jumlah korban pun melonjak pesat. Para korban baru ini menuntut agar tanah dan bangunan mereka yang terbenam lumpur Lapindo juga harus dimasukkan ke dalam peta area terdampak sehingga mereka juga mendapatkan kompensasi atas kerugian yang mereka derita.
Pada tanggal 22 Maret 2007, peta baru dirilis (lihat Peta 2). Kali ini semakin terlihat bagaimana peran negara dalam proses pemindahan paksa. Peta itu dibuat oleh Timnas dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono. Kali ini, semakin banyak representasi negara yang turut menyetujuinya, a.l., Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Ketua DPRD Jawa Timur Fatur Rosyid, Ketua Pansus Lumpur di DPRD Jawa Timur Y. A. Widodo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dengan demikian, Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang kemudian menjadi acuan bagi Perpres 14/2007, dilegitimasi oleh 6 (enam) aparatus negara yang menunjukkan bagaimana kuasa negara hadir dalam kasus Lapindo.
Peta Area Terdampak 22 Maret 2007
Timnas hanya bertugas selama tujuh bulan. Pada 8 April 2007, Timnas digantikan oleh BPLS melalui penerbitan Perpres 14/2007. Kita memang bisa saja menilai Timnas bekerja dalam segala keterbatasannya karena seluruh pembiayaan mengikuti anggaran Lapindo, namun Timnas juga telah meletakkan pondasi dasar bagi sebuah rencana pemindahan penduduk secara paksa melalui penerbitan peta area terdampak. Pola semacam ini berlanjut pada masa kerja BPLS, hingga kini. Dari uraian bagian ini, kita dapat menyaksikan bagaimana negara hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi terjadinya pemindahan penduduk secara paksa. Pada bagian selanjutnya, kita akan terus menelusuri peran negara dalam melegitimasi perluasan bencana pembangunan itu. (bersambung)
—
[i] Dampak dari pembuangan itu adalah percepatan sedimentasi di sepanjang Kanal Porong dan terbentuknya pulau baru seluas sekitar 45 hektar di muara, hanya dalam kurun kurang dari 9 (sembilan) tahun.
[ii] Biaya pembangunan dan pemeliharaan tanggul menjadi beban Lapindo secara legitim sejak 8 September 2006 (Keppres 13/2006) sampai 23 September 2009 (Perpres 40/2009, yang menandai peralihan tanggung jawab keuangan atas tanggul kepada APBN). Ini berarti selama lebih dari tiga tahun Lapindo dengan leluasa mengendalikan proyek penanggulan. Laporan Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) menyebutkan bahwa Lapindo telah mengeluarkan dana sebesar Rp 1,35 Trilyun untuk penanganan luapan lumpur (Richard 2011, 96).
[iii] Sampai saat ini dasar hukum kesanggupan Lapindo untuk ‘membeli’ tanah dan bangunan warga tidak pernah dilontarkan secara jelas dan terjadi inkonsistensi dari perwakilan Lapindo dalam menyatakan alasan pembelian itu (‘perintah Ibunda Bakrie’, ‘tanggung jawab sosial perusahaan’, ‘mengikuti Perpres 14/2007’, ‘murni transaksi jual beli’, ‘sedekah’, dsb.). Berdasarkan analisis atas konteks historis kemunculan surat Lapindo tersebut, saya membuat dugaan sederhana. Surat itu dirilis pada masa Timnas, yang berarti dasar hukum bagi seluruh keputusan seharusnya mengacu pada peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu seputar kegiatan industri migas. Ini berarti dasar keputusan jual beli aset warga dilakukan dalam logika perusahaan migas yang sedang memberi kompensasi, yang memang diatur dalam peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu PP No. 35/2004 khususnya Bab VII (Pasal 62 – Pasal 71). PP No. 35/2004 mengatur tentang penggunaan tanah dalam kegiatan industri migas. Disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah ‘wajib mengizinkan Kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan’ (Pasal 62 Ayat 2). Untuk kebutuhan itu, ada beberapa cara yang bisa diterapkan, yaitu: ‘jual beli, tukar menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain’ (Pasal 63 Ayat 2) dengan ‘memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak terakhir’ (Pasal 65 Ayat 1). Status tanah tersebut ‘menjadi milik negara’ (Pasal 67 Ayat 1) dan kontraktor berhak membangun fasilitas mereka di atas tanah tersebut (Pasal 69 Ayat 2), yang koheren dengan UU Pokok Agraria No. 5/1960 (Pasal 26 & Pasal 27). Jadi, keputusan Lapindo membeli tanah dan bangunan warga dilandaskan pada logika perusahaan migas yang sedang mencari lahan untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi. Dugaan saya ini mungkin sedikit berbeda dengan pendapat yang selama ini bergulir yang membahas proses jual beli itu hanya mengacu pada UU Pokok Agraria No. 5/1960 (lih. Kurniawan 2012; Putro and Yonekura 2014). Yang patut dicatat, sekalipun UU Pokok Agraria adalah peraturan perundangan tertinggi tentang persoalan pertanahan di Indonesia, UU tersebut tidak pernah dijadikan sebagai landasan hukum bagi peraturan presiden terkait penanganan lumpur Lapindo.
PADA TANGGAL 29 Mei 2014, pada masa kampanye pemilihan presiden lalu, di atas tanggul lumpur Lapindo, Joko ‘Jokowi’ Widodo melantangkan pentingnya kehadiran negara dalam kasus Lapindo. Kutipan langsung ucapan Jokowi yang tercatat di pelbagai media massa adalah demikian: ‘Dalam kasus [Lapindo, AN] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat’.
Sebagai seseorang yang baru mengikuti kasus Lapindo sejak 2008, saya merasa sangat terganggu dengan pernyataan semacam itu, yang muncul dan seketika diterima sebagai ‘kebenaran bersama’ karena berangkat dari pengandaian bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Wacana ‘negara absen’ telah bergulir lama di ruang publik, khususnya di kalangan korban. Hal ini berangkat dari rangkaian peristiwa yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah tidak pernah hadir sebagai lembaga politik yang berdaulat untuk mengatasi segala persoalan yang muncul, khususnya yang terjadi antara korban dan korporasi. Alih-alih membantu, korban merasa negara telah membiarkan mereka bertarung sendirian dalam relasi kuasa yang timpang ketika berhadap-hadapan dengan korporasi dan jejaring pendukungnya.
Argumen yang diangkat melalui tulisan mungkin sangat bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Jokowi tersebut dan dengan apa yang diyakini publik umum bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Justru sebaliknya, saya berargumen bahwa negara –melalui representasi aparatus birokrasi dan lembaga pemerintah– justru selalu terlibat aktif dalam merancang desain politik bencana lumpur Lapindo. Keterlibatan itu dapat dilacak dalam pernyataan-pernyataan yang terarsipkan dalam dokumen-dokumen publik tentang kasus Lapindo yang sudah menjadi rahasia umum dan beredar luas. Temuan-temuan tersebut saya hadirkan berdasarkan kronologis waktu dengan harapan agar pembaca yang awam dengan kasus Lapindo dapat teringat kembali pada apa saja peran negara dalam kasus Lapindo.
***
SAYA MUNGKIN TERMASUK satu dari segelintir orang yang meyakini bahwa ‘kasus Lapindo’ sudah dimulai jauh sebelum lumpur panas menyembur pada bulan Mei 2006. Keyakinan semacam itu lahir dari sebuah pertanyaan kritis, bagaimana Lapindo bisa memperoleh izin pengeboran sumur eksplorasi migas di kawasan padat huni?
Yang perlu kita ingat, industri migas, sepertinya halnya industri tambang yang lain, tergolong dalam ‘industri berbahaya’ (Benson & Kirsch 2010) yang beresiko tinggi dan oleh karenanya tidak boleh diselenggarakan dengan main-main. Pelaksanaan kegiatan industri migas harus direncanakan dan dilakukan mengikuti serangkaian prosedur yang rinci, hati-hati, dan teliti agar tidak justru berdampak fatal tidak hanya bagi manusia dan lingkungan yang berada di sekitarnya tapi juga rerantai sosial-ekologis yang lebih luas, dan khususnya bagi industri itu sendiri. Selain sudah menjadi kewajiban dari industri migas sendiri untuk menjaga keamanan dari kegiatannya yang penuh resiko tersebut, adalah tugas pemerintah untuk menjamin agar segala kegiatan industri berbahaya yang dilakukan di wilayah kedaulatannya dilakukan secara prosedural sehingga tidak mengancam warga negaranya.
Pengawasan Pemerintah atas kegiatan industri migas tertuang dalam UU Migas No. 22/2001. Ada dua lembaga negara yang berkewajiban mengawasi kegiatan industri migas. Pertama, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM (Ditjen Migas) yang memfokuskan pengawasan pada ketaatan kegiatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 41 Ayat 1). Kedua, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang mengawasi pelaksanaan kegiatan berdasarkan kontrak kerjasama yang berlaku (Pasal 41 Ayat 2).
Ditjen Migas – Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/075/M.PE/1992 menyebutkan bahwa setiap kontraktor migas ‘wajib menyampaikan laporan harian secara tertulis mengenai kegiatan pengeboran kepada Direktorat Jenderal [Migas, AN]’ (Pasal 9 Ayat 1). Lebih lanjut, menurut Surat Keputusan Menteri ESDM No. 1088K/20/MEM/2003, Ditjen Migas memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dan menentukan apakah kecelakaan tersebut masuk dalam kategori pidana ataukah kecelakaan operasional.
Dalam laporan lengkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (2007a)[1] disebutkan bahwa Ditjen Migas tidak pernah menerima laporan harian pengeboran Lapindo dan tidak pernah menegur apalagi memberi sanksi pada Lapindo. Ini berarti seluruh kegiatan pengeboran Lapindo, termasuk eksplorasi Sumur Banjar Panji 1, tidak pernah berada dalam pengawasan Ditjen Migas sebagai representasi dari pemerintah. Dalam kondisi demikian, antara 30 Mei dan 2 Juni 2006, Ditjen Migas melakukan investigasi terhadap kejadian semburan gas atau uap air di sekitar Sumur Banjar Panji 1 dan wajar bila Ditjen Migas tidak berhasil menemukan penyebab kejadian tersebut. Ditjen Migas justru melimpahkan tanggung jawab mencari penyebab itu pada hasil penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).
BP Migas – PP 42/2002 tentang BP Migas dan PP 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas mengatur kewenangan BP Migas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan Kontraktor berdasarkan ketentuan kontrak kerjasama yang berlaku. Seperti halnya yang seharusnya terjadi pada Ditjen Migas, setiap Kontraktor berkewajiban untuk mengirimkan laporan tertulis secara periodik pada BP Migas terkait pelaksanaan kontrak kerjasama (Pasal 93 Ayat 2).
Dalam proses penyelidikan BPK (2007a), BP Migas tidak berhasil menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa lembaga tersebut telah 1) melakukan kajian terhadap program pengeboran Lapindo dan 2) memberikan persetujuan terhadap program tersebut untuk memastikan kelayakannya dan kesesuaian dengan kaidah teknik perminyakan yang baik (pemilihan tempat, kedalaman pengeboran, kekuatan rig, ukuran dan rencana pemasangan selubung pengaman). Program pengeboran hanya ditandatangani oleh Lapindo dan subkontraktor pengeboran (PT Medici Citra Nusa). BP Migas hanya terbukti melakukan pengawasan dan pengendalian sebatas biaya operasional saja.
***
MASA KRITIS MENJELANG 29 Mei 2006 – Dari laporan BPK, kita dapat mengetahui bahwa Lapindo tidak secara rutin mengirimkan laporan harian pengeboran pada BP Migas. Terkait laporan pengeboran pada masa kritis menjelang semburan lumpur (20-30 Mei 2006), BP Migas hanya mendapatkan laporan harian untuk tanggal 22 dan 30 Mei saja, sementara untuk hari yang lain tidak ada laporan masuk ke BP Migas (BPK 2007a). Ketiadaan laporan harian tentunya mempersulit BP Migas untuk melakukan pengawasan atas pengeboran dan memberikan saran-saran teknis yang mungkin dapat membantu penanggulangan awal permasalahan pengeboran Sumur Banjar Panji 1.
Laporan Neal Adams Services (Adams 2006) menyebutkan bahwa pengeboran Sumur Banjar Panji 1 dimulai sejak 9 Maret 2005 (sekitar pukul 13:30 WIB) dan berhenti pada 3 Juni 2006. Tentu, yang menarik adalah apa yang terjadi pada masa-masa kritis menjelang semburan. Laporan Adams (2006) menyebutkan bahwa saat pengeboran mencapai kedalaman 2.630m,[2] pada tanggal 22 Mei, operator mencatat terjadinya peningkatan jumlah lumpur yang keluar dari dalam sumur. Hal ini koheren dengan keterangan warga pada KomnasHAM yang menyebutkan bahwa pada 23 Mei air bercampur lumpur sudah terdeteksi keluar ke permukaan tanah dan volume semakin membesar setelah gempabumi di Jogjakarta/Jawa Tengah pada 27 Mei (KomnasHAM 2012).
Menurut Adams (2006), keluarnya lumpur pada 22 Mei dapat terjadi akibat ketiadaan selubung pengaman (safety casing). Selubung pengaman terakhir dipasang pada kedalaman 1.096m, yang berarti dinding sumur sepanjang 1.534m tidak pada posisi terlindungi dan rawan runtuh. Dengan kondisi demikian, Lapindo tetap saja meneruskan pengeboran. Pada 27 Mei, ketika operator mengebor dari kedalaman 2.771m sampai 2.813m, sensor mendeteksi kadar H2S di dalam sumur mencapai 25ppm. Pengeboran dilanjutkan, sementara sebagian besar kru dievakuasi. Pada 28 Mei, saat pengeboran mencapai kedalaman 2.834m keluar lumpur dari lapisan berpori, retak atau berongga yang berhasil ditembus oleh mata bor yang tidak muncul ke permukaan (lost circulation). Menyikapi hal itu, operator memutuskan untuk menarik mata bor sampai kedalaman 2.591m, yang dinilai Adams (2006) sebagai keliru karena mata bor seharusnya ditinggal di dalam lubang.
Dini hari 29 Mei, ketika mata bor mencapai kedalaman 1.294m, operator mendeteksi adanya cairan masuk ke dalam sumur (well kick) dan usaha untuk mengatasinya adalah dengan menutup sumur. Operator berhasil menutup sumur, tapi tidak berhasil menarik keluar mata bor yang macet di dalam sumur. Beberapa jam kemudian, gas H2S terdeteksi di permukaan bumi di sekitar sumur dan kru mulai dievakuasi (Adams 2006). Keesokan harinya (30 Mei), intensitas dan frekuensi gas berkurang dan pada malam harinya operator memasukkan semen ke dalam sumur dan gas semakin berkurang. Hari berikutnya (31 Mei), operator melanjutkan penyemenan dan gas terus berkurang. Namun pada 1 Juni, air bercampur lumpur terdeteksi mengalir keluar dari titik-titik di sekitar bibir sumur. Operator mulai menyelamatkan peralatan dari lokasi pengeboran. Pada 2 Juni, operator mengebor kembali sumur sampai kedalaman 1.078m dan mendeteksi lontaran-lontaran material ke bibir sumur (firing guns) dan keretakan tanah di sekitar bibir sumur. Pada hari berikutnya (3 Juni), operator mulai membongkar tiang pengeboran, dan laporan harian berakhir di sini (Adams 2006).
Adams (2006) menilai bahwa gelembung gas yang terdeteksi pada 29 Mei adalah indikator yang jelas dari terjadinya blowout bawah tanah. Alih-alih menanganinya, Operator justru fokus pada mempertahankan sumur eksplorasi, padahal jika fokus dialihkan pada blowout, mungkin kejadian itu bisa diatasi. Sementara itu, pengeboran ulang sumur pada 2 Juni dinilai sebagai ‘berbatas tipis dengan pelanggaran kriminal karena mengancam personil, peralatan, dan lingkungan sekitar’ (Adams 2006).
Dari rangkaian kronologis semacam ini, kita dapat menilai bahwa pernyataan perwakilan Lapindo memang betul adanya, lumpur tidak keluar langsung dari sumur karena sumur berhasil ditutup rapat. Lapindo bahkan mengklaim keberhasilan menutup sumur membuktikan bahwa lumpur ‘tidak keluar dari sumur’ (Suradi 2009), yang tentu saja adalah pernyataan yang layak dipersoalkan.
Berita tentang semburan air dan gas di sekitar Sumur Banjar Panji 1 mulai muncul di media massa nasional sejak 30 Mei. Pada hari yang sama itu, perwakilan Lapindo menyampaikan siaran pers untuk menjelaskan kejadian tersebut (EMP 2006). Seperti disampaikan di atas, sejak 1 Juni Lapindo telah berupaya menutup sumur untuk sementara dan memindahkan rig ke tempat yang aman dan pada 4 Juni rig sudah berhasil diturunkan seluruhnya. BP Migas baru mengirimkan tim ke lokasi Sumur Banjar Panji 1 pada 5 Juni, beberapa setelah sumur berhasil ditutup (BPK 2007a). Ini berarti, tanpa sempat BP Migas memberikan bantuan teknis pada krisis yang dialami, Lapindo sudah melakukan tindakan yang dianggapnya cukup preventif untuk mengatasi krisis tersebut.
Pada 5 Juni, salah satu pemegang andil Kontrak Kerjasama Blok Brantas Medco melayangkan surat kepada Lapindo, sang operator blok, yang membuka secara publik intensi Lapindo untuk tidak memasang selubung seperti rencana. Dalam rapat Sidoarbeberapa minggu sebelum insiden (18 Mei), Medco sudah memperingatkan Lapindo tentang hal tersebut, tapi peringatan itu diabaikan. Medco pun mengklaim, dalam suratnya itu, bahwa insiden Banjar Panji 1 terjadi akibat ‘kelalaian berat’ (gross negligence) Lapindo yang tidak mematuhi program pengeboran yang telah disepakati bersama.
Berdasarkan pendapat beberapa analis pengeboran, keberhasilan operator menutup sumur berdampak pada meningkatnya tekanan di bagian dalam sumur dan menyebabkan keretakan lapisan tanah di sekitarnya, yang diperparah dengan usaha operator untuk melakukan pengeboran ulang pada 2 Juni (bdk.: Adams 2006, Davies et al. 2008, 2010; Rubiandini dalam Tim Walhi 2008, Wilson 2006). Bahkan diakui oleh mandor pengeboran Sumur Banjar Panji 1, Syahdun, kebocoran gas yang terjadi pada 29 Mei 2006 disebabkan oleh runtuhnya dinding sumur bagian dalam (Saputra 2006). Proses semacam itulah yang mengakibatkan menyemburnya gas, air dan lumpur dari titik-titik di sekitar bibir Sumur Banjar Panji 1 yang waktu itu sudah tertutup rapat. Keretakan dan runtuhnya lapisan tanah di sekitar dinding sumur dapat terjadi akibat tidak dipasangnya selubung pengaman yang memang berfungsi untuk menahan tekanan dalam sumur.
Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)
***
DARI URAIAN TERSEBUT dapat kita lihat bahwa negara (c.q., Ditjen Migas dan BP Migas) berperan penting dalam memberikan izin kegiatan industri migas tanpa pengawasan yang ketat padahal kegiatan semacam itu termasuk dalam kategori berbahaya dan penuh resiko. Lebih lanjut, dalam ringkasan eksekutifnya, BPK (2007b) menyebutkan tentang peran BP Migas dalam pemberian izin lokasi pengeboran oleh Pemkab Sidoarjo. Ada dua hal patut kita catat terkait izin lokasi itu. Pertama, lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 (dan juga sumur-sumur Lapindo lainnya) tidak sesuai dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No 16/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo. Perda tersebut mengatur bahwa lokasi tempat sumur-sumur itu untuk kawasan pertanian, permukiman, dan perindustrian. Tidak disebutkan sama sekali tentang pertambangan, apalagi migas.
Kedua, mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku (Instruksi Presiden No 1/1976 dan UU Pertambangan No 11/1967), lokasi pengeboran sumur migas harus berada sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, permukiman, atau objek yang mudah terbakar. Faktanya, Sumur Banjar Panji 1 berada 5 (lima) meter dari permukiman terdekat, 37 meter dari jalan tol (Surabaya-Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Sekalipun mengaku melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, Pemkab Sidoarjo berdalih pemberian izin lokasi didasarkan atas pertimbangan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas (BPK 2007b).
Peran aktif aparatur negara juga sampai ke level kepala desa (lurah) terutama untuk mendapatkan lahan lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo, Lapindo. Sebelum mendapatkan lokasi pengeboran itu, di akhir 2005 kehadiran Lapindo ditolak warga di dua desa, Siring dan Jatirejo, di Kecamatan Porong. Untuk memudahkan mendapatkan lokasi, Lapindo pun dibantu oleh Lurah Renokenongo, Mahmudatul Fatchiah, yang menyampaikan pada warganya tentang kebutuhan lahan untuk usaha peternakan, bukan untuk pengeboran sumur gas alam (Batubara & Utomo 2012). Pada Maret 2006, Lapindo berhasil mendapatkan tanah di wilayah Desa Renokenongo dengan harga berkisar antara Rp 60.000 sampai Rp 125.000 per meter persegi. Berdasarkan pengakuan beberapa warga, uang pembebasan lahan diperoleh dari Lurah Renokenongo, bukan dari Lapindo (KomnasHAM 2012). Saat itu, tidak satupun direksi Lapindo yang berhadapan langsung dengan warga dalam proses pembebasan lahan tersebut. Bahkan si pemilik tanah, saat itu, tidak memperoleh informasi yang jelas tentang siapa yang akan mengelola tanah mereka dan untuk apa.
Dengan demikian, kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas. (bersambung)
—
[1] Untuk memudahkan pengutipan, saya memisahkan ‘laporan lengkap’ dengan ‘ringkasan eksekutif’ dari laporan BPK tersebut.
[2] Laporan Neal Adams menggunakan skala ‘kaki’ (feet), untuk memudahkan pembaca Indonesia saya menggunakan padanan dalam skala ‘meter’ dengan pembulatan ke atas/bawah menghindari koma.
Jakarta, CNN Indonesia — Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (EMP), anak usaha Bakrie Group di bidang minyak dan gas bumi (migas) melansir berhasil mendapatkan tambahan produksi minyak sebanyak 300 barel per hari (BPH) dari blok Malacca Strait PSC.
Imam P. Agustino, Presiden Direktur EMP mengatakan adanya tambahan produksi tersebut diyakini akan menjaga performa keuangan perseroan di tengah rendahnya harga minyak dunia. “Tambahan produksi tersebut akan berdampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan,” ujar Imam di Jakarta, Selasa (24/2).
Blok Malacca Strait sendiri merupakan satu dari beberapa blok migas yang berada di Riau. Akan tetapi, kata Agustino, pihaknya mengklaim telah berhasil mengembangkan lapangan minyak baru terlepas dari usia blok tersebut yang sudah cukup tua.
Dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) blok tersebut, EMP memiliki participating interest (PI) sebesar 60,49 persen di Malacca Strait. Sementara sisanya sekitar 32,58 persen dikantongi OOGC Malacca Ltd dan 6,93 persen dimiliki Malacca Petroleum Ltd.
“Dari Januari hingga Desember 2014, blok Malacca Strait PSC berhasil memproduksi minyak 3.201 BPH dan gas sebanyak 6,2 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD),” kata Imam.
Berdasarkan catatan, EMP memiliki PI di 12 blok migas yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Tahun lalu, angka produksi minyak EMP mencapai 12.800 BPH dan gas sebanyak 226 MMSCFD. (gen)
SIDOARJO, KOMPAS.com —Pencairan dana talangan untuk pelunasan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur Lapindo di area terdampak di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, semakin dekat. Namun, sejumlah persoalan perlu dituntaskan terkait validasi data yang disampaikan PT Lapindo Brantas dan negosiasi dengan perusahaan.
Dwinanto Hesti Prasetyo dari Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), di Sidoarjo, Minggu (22/2), mengatakan, hingga saat ini verifikasi data korban lumpur masih terus dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim. Data korban yang sudah terbayar juga diverifikasi ulang supaya valid.
”Selain mengadakan verifikasi di lapangan, BPKP membuka pengaduan dan mempersilakan warga korban lumpur untuk menyampaikan persoalan yang mereka hadapi,” ujar Dwinanto.
Dwi mengatakan, sejak verifikasi data disosialisasikan BPKP, banyak warga korban yang mendatangi kantor BPLS. Ada yang ingin memastikan apakah datanya sudah tervalidasi, tetapi tidak sedikit yang mengaku belum terverifikasi sama sekali oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar PT Lapindo Brantas.
Persoalan lain, ada 100 warga korban lumpur yang tercatat sudah mendapat ganti rugi dalam bentuk penggantian rumah tinggal di Perumahan Kahuripan Nirvana Village. Namun, hingga saat ini atau hampir sembilan tahun, rumah yang dijanjikan belum dibangun.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan pentingnya verifikasi data korban lumpur karena data yang disampaikan PT MLJ tidak disertai lampiran yang menjelaskan secara rinci. Verifikasi pun penting agar pembayaran sesuai dengan proporsi penerima ganti rugi.
”Verifikasi harus dilakukan ulang untuk menghindari salah hitung, salah ukur, dan salah pendokumentasian. Karena itu, sebelum anggaran dicairkan, verifikasi ulang harus dituntaskan,” ujar Khofifah, di Sidoarjo, Sabtu.
Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu mengatakan, dana talangan untuk pelunasan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur sudah disahkan dalam Undang-Undang APBN Perubahan 2015, Jumat lalu. Besaran nilainya Rp 781 miliar.
Saat ini pemerintah mengerjakan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) sesuai dengan paparan data yang disampaikan PT Lapindo Brantas dan PT MLJ. Targetnya, dalam minggu ini DIPA sudah selesai Apabila sesuai dengan rencana pemerintah, pencairan dana talangan paling cepat dilakukan akhir Februari 2015.
Sesuai dengan laporan MLJ, tunggakan pembayaran terhadap warga korban lumpur di peta area terdampak yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas mencapai 3.337 berkas tanah dan bangunan. Total nilai tunggakan Rp 781 miliar. (NIK)
Jakarta, Jawa Pos – Pemerintah tengah menyiapkan tim khusus untuk bernegosiasi dengan pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tim itulah yang nanti menentukan pencairan dana talangan Rp 781,7 miliar untuk Lapindo.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah juga memperhitungkan kemungkinan jika dana Rp 781,7 M tersebut tidak cukup untuk membeli tanah warga di peta area terdampak (PAT). ”Kalau memang dibutuhkan, dananya bisa ditambah. Yang penting hak masyarakat terpenuhi,” tuturnya Sabtu (21/2).
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla menyatakan, dana Rp 781,7 M yang dialokasikan dalam APBN Perubahan 2015 itu mungkin tidak cukup. Sebab, dana tersebut belum menghitung kebutuhan warga korban lumpur yang sudah mengambil rumah di Kahuripan Nirvana Village.
Dana itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di PAT. Ganti rugi tersebut sebenarnya kewajiban Lapindo. Namun, karena perusahaan itu tidak memiliki kemampuan finansial, pemerintah bersedia memberikan dana talangan agar proses ganti rugi tanah warga bisa segera tuntas.
Sebagai jaminannya, Lapindo harus menyerahkan 9.900 sertifikat tanah seluas 640 hektare yang sudah mereka beli dari warga. Jika dalam jangka waktu empat tahun Lapindo tidak bisa mengembalikan pinjaman dana talangan, pemerintah berhak mengambil alih tanah warga dari tangan perusahaan tersebut.
Menurut Basuki, berapa kebutuhan riil pembelian tanah warga akan diketahui berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Badan itulah yang ditugasi pemerintah untuk menentukan nilai tanah warga. ”Jadi, kita tunggu verifikasi BPKP saja,” katanya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, dana Rp 781,7 M yang sudah dialokasikan dalam APBN Perubahan 2015 hanya akan dicairkan jika pemerintah sudah memegang komitmen serta ada perjanjian resmi dengan pihak Lapindo. ”Selama negosiasi belum selesai, dana talangan masih kami tahan,” terangnya. (owi/c9/end)
Sidoarjo, beritasatu.com – Ancaman melubernya lumpur panas Lapindo akibat hujan deras yang setiap hari mengguyur wilayah Porong dan sekitarnya di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur (Jatim), membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) harus bekerja keras mengalirkan lumpur ke Kali Porong.
Elevasi lumpur bercampur air hujan di sebelah barat atau yang berdekatan dengan rel kereta api (KA) dan Jalan Raya Porong yang hanya berjarak 60 cm dari bibir tanggul kolam yang menjulang hingga ketinggian 12 meter, sudah terancam meluber.
“Lumpur itu harus kita aduk, kita encerkan sehingga bisa kita alirkan ke Sungai Kali Porong. Kita sudah terjunkan empat unit kapal keruk bekerja di tengah dan dua kapal keruk bekerja di timur dan tiap hari terus melaksanakan aktivitasnya,” ujar Humas BPLS Sidoarjo, Dwinanto Prasetyo, yang dikonfirmasi, Kamis (19/2).
Guna meminimalisasi volume lumpur hingga mencapai bibir tanggul yang tingginya 12 meter dan meluber ke rel dan Jalan Raya Porong, BPLS sudah mengoperasionalkan enam kapal keruk, ujarnya lagi.
BPLS, menurut dia, juga membuat alur atau aliran air di sebelah barat dan tengah agar air dan lumpur yang disemburkan dari sumur utama, bisa langsung menuju ke arah selatan. Tanggul di titik 73B itu disebutkan, kini dibiarkan dan BPLS membangun tanggul baru mulai titik 67 hingga titik 73. Pembangunan tanggul baru itu diperkirakan pekan depan sudah selesai dengan ketinggian 12 meter lebih.
BPLS tetap mengutamakan pengamanan tanggul di sebelah barat yang berbatasan langsung dengan rel KA tujuan Surabaya-Banyuwangi, Surabaya-Malang, serta Jalan Raya Porong. Karena kedua jalur tersebut merupakan jalur vital yang harus diselamatkan agar perekonomian Jatim tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Sementara itu, Gubernur Jatim Soekarwo sehari sebelumnya mengemukakan, bahwa pasca pembayaran ganti rugi korban semburan lumpur panas Lapindo cukup lama terkatung-katung, diperkirakan sebelum akhir 2015, akan selesai.
Jaminan tersebut, kata Pakde Karwo, panggilan akrab Soekarwo, diberikan karena uang untuk membayar sisa ganti rugi sebesar Rp 781 miliar yang menjadi tanggungan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar PT Lapindo Brantas Inc., bangkrut dan terpaksa harus ditutupi pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.
Ada satu keputusan amat penting dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 antara DPR dan pemerintah: dana talangan Rp 781,7 miliar ke PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Anggaran itu untuk menalangi jual-beli tanah dan aset antara MLJ dan warga korban lumpur Lapindo.
Jual-beli, bukan ganti rugi, merupakan skema yang sejak awal diinisiasi MLJ. Sampai saat ini sekitar 20 persen dari total area terkena dampak lumpur belum dibayar MLJ. Perusahaan mengklaim nyaris bangkrut dan tak mampu membayar (baca: membeli) tanah dan aset warga. Pada 2014, MLJ meminta dana talangan dari pemerintah. Di era Presiden SBY, dana talangan tak dikabulkan. Saat Presiden Jokowi bertakhta, permintaan itu mulus.
Ini pertama kalinya anggaran negara (APBN) dialokasikan untuk menalangi ganti rugi korporasi swasta. Berbagai spekulasi muncul. Dalam perspektif positif, kebijakan ini merupakan pemenuhan janji Presiden Jokowi saat kampanye pemilihan presiden. Poin pertama Nawa Cita Jokowi-JK ditegaskan: “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.” Dana talangan ini sebagai akad “negara hadir”, seperti kehendak korban lumpur Lapindo. Selama delapan tahun mereka bagai menunggu “Godot” tanpa kejelasan mendapatkan hak-haknya dari MLJ.
Biasanya, pembahasan anggaran di DPR alot dan bertele-tele. Sedangkan dana talangan ini mulus. Jika kemudian ada penjelasan terang dari Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto bahwa “anggaran itu politis”, segala spekulasi terjawab sudah.
Padahal, di APBN-P 2015, dana talangan untuk anak perusahaan Grup Bakrie itu masuk dalam bagian pembiayaan. Artinya, skemanya adalah utang-piutang antara MLJ dan pemerintah. Masalahnya, saat anggaran disetujui, skema utang-piutang sebagaimana lazimnya belum ditentukan dan disepakati: berapa bunga, tenor, serta nilai agunan.
Soal agunan, misalnya, berapa nilai aset MLJ? Hadiyanto menjamin nilai aset MLJ, termasuk lahan yang terendam lumpur, minimal Rp 2 triliun. Nilai agunan itu belum valid karena masih dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Jika di kemudian hari MLJ tidak mampu membayar utang, lalu negara mengambil alih dan ternyata nilai agunan kurang, siapa yang bertanggung jawab?
Presiden Jokowi tentu wajib memastikan “negara selalu hadir” sebagai pelindung warga. Dalam kasus lumpur Lapindo, kehadiran negara mutlak adanya (Mustasya, 2007). Karena, pertama, kerugian dan hilangnya hak milik warga sudah terjadi dan begitu nyata. Kedua, kekuatan tawar MLJ dengan warga bersifat asimetris. Dalam kondisi seperti itu, negosiasi bipartit antara MLJ dan warga mustahil berlangsung adil. Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan oleh wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu yang abai akan prinsip kehati-hatian.
Meski demikian, sebagai bentuk utang-piutang, tata kelolanya harus jelas. Tujuannya ada dua. Pertama, agar tak timbul masalah di kemudian hari. Kedua, dana talangan itu berasal dari APBN, artinya dari pajak warga. Warga berhak dan harus tahu bagaimana skema utang-piutang itu disepakati. Dengan tenor, bunga, dan nilai agunan yang jelas, publik bisa berpartisipasi untuk mengawasi agar tidak terjadi “perselingkuhan” di kemudian hari.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
JAKARTA – Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sudah disahkan Jumat malam (13/2). Di dalamnya, terdapat alokasi dana talangan untuk korban lumpur Lapindo senilai Rp 781,7 miliar. Namun, dana tersebut dinilai pihak Lapindo belum cukup.
Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya yang dilakukan pemerintah dan disetujui DPR untuk memberikan dana talangan atas musibah lumpur Sidoarjo itu. ”Tapi, dana itu mungkin belum cukup,” ujarnya kepada Jawa Pos Sabtu (14/2).
Sebagaimana diketahui, dana tersebut akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di peta area terdampak. Ganti rugi itu sebenarnya kewajiban Lapindo. Namun, karena keuangan perusahaan sedang seret, pemerintah bersedia memberikan dana talangan agar proses ganti rugi bisa segera tuntas.
Andi menyebutkan, dana yang dibutuhkan berpotensi melebihi Rp 781,7 miliar seperti yang diperhitungkan sebelumnya. ”Mungkin bertambah ya. Karena belum menghitung (kebutuhan) dana untuk warga (korban lumpur) yang sudah ambil rumah di KNV (Kahuripan Nirwana Village),” katanya.
Meski begitu, Andi belum bisa memastikan potensi kebutuhan tambahan dana untuk pelunasan ganti rugi, termasuk solusi untuk menutupi kekurangan itu. ”Kami belum berpikir ke situ dulu. Ayo, kita coba selesaikan dulu lah (dari dana talangan yang disediakan pemerintah),” kelitnya.
Sementara itu, saat ditemui seusai pengesahan APBNP 2015 Jumat malam, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa pemberian dana talangan kepada Lapindo bukanlah bailout yang bisa diterima tanpa kewajiban pengembalian. ”Ini sifatnya talangan, pinjaman, jadi nanti harus diganti (oleh Lapindo),” tegas dia.
Pemerintah juga sudah meminta jaminan berupa aset tanah di peta area terdampak yang dibeli Lapindo. Jumlahnya sekitar 9.900 sertifikat tanah atau girik seluas 640 hektare senilai total Rp 3,03 triliun. Karena itu, sebelum dana talangan dicairkan, pemerintah akan membuat perjanjian secara legal dengan Lapindo. ”Intinya, mereka harus mengembalikan (dana Rp 781 miliar) dalam jangka tertentu. Kalau tidak, aset mereka (senilai Rp 3,03 triliun) kami ambil,” jelasnya.
Mekanisme pencairan dana talangan dan perjanjian legal itulah yang segera dirumuskan oleh tim pemerintah di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Dihubungi secara terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menjelaskan, total ganti rugi korban yang lahannya terkena lumpur Rp 3,8 triliun. Dari jumlah itu, Minarak Lapindo hanya bisa membayar Rp 3,03 triliun. Sisanya terpaksa ditalangi pemerintah, yaitu Rp 781 miliar. ”Pemerintah dan negara harus hadir membantu korban Lapindo, bagaimanapun caranya, tanpa menyalahi aturan dan menghilangkan tanggung jawab Lapindo,” ujarnya.
Basuki juga menyebutkan skema pembayaran. Yakni, pemerintah membayar Rp 781 miiar. Lalu, aset Rp 3,03 triliun yang sudah diganti Lapindo diberikan kepada pemerintah sebagai jaminan.
Lapindo diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan Rp 781 miliar tersebut. ”Nanti kalau tidak dilunasi, maka aset tersebut jadi milik pemerintah dan akan dijual. Menurut presiden, nantinya akan ada kuasa jual untuk aset itu,” tegas Basuki.
Sementara itu, Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan, saat ini BPLS serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan validasi atas semua data yang dilaporkan, terutama dari pihak Lapindo. ”Sekarang kami menunggu pemerintah pusat terkait penyaluran dana talangannya. Teknisnya seperti apa, nanti tunggu jelang pelaksanaan,” ujarnya. (gen/owi/c11/kim)
Sidoarjo, infosda.com – Petugas Kejaksaan Negeri Sidoarjo memeriksa dokumen tanah saat melakukan penggeledahan di Kantor Balai Desa Gempolsari, Porong, Sidoarjo, Senin (16/2/15).
Penggeledahan ini dilakukan Kejaksaan Negeri Sidoarjo terkait adanya dugaan korupsi penjualan Tanah Kas Desa (TKD) yang masuk dalam peta area terdampak semburan lumpur panas Lapindo senilai 3,1 miliar yang sengaja dilakukan oleh Kepala Desa setempat agar bisa dijual kepada BPLS.
Pasca penetapan tersangka terhadap Kepala Desa Gempolsari, Abdul Haris, oleh penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri Sidoarjo, tim penyidik masih memerlukan beberapa dokumen penting untuk melengkapi berkas perkara yang menjerat kepala desa Gempolsari dan mantan takmir masjid desa setempat, yang bernama Marsali.
Dalam penggeledahan kali ini, penyidik berhasil membawa beberapa dokumen penting transaksi jual beli tanah yang menjadi aset desa tersebut. Ada satu dokumen yaitu buku letter C yang masih disembunyikan oleh tersangka Kepala Desa Gempolsari Abdul Haris yang hadir dalam pengledahan itu.
Muhamad Nusrim, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Sidoarjo mengatakan, tersangka Abdul Haris sengaja mempersulit penyidik untuk mendapatkan bukti letter C atas tanah dua bidang yang sudah dijual ke BPLS. “Jika hal itu tetap dilakukan oleh tersangka, maka penyidik akan segera menahannya karena tidak kooperatif”, tegas Muhammad Nusrim.
Sementara itu, menurut pengakuan dari salah satu anggota keluarga tersangka, tersangka Haris baru saja membeli rumah berserta isinya di Perumahan Candi Loka senilai Rp 350 juta. Penyidik akan segera menelusuri asal-usul uang untuk membeli rumah tersebut.
Surabayanews.co.id – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Timur mulai memverifikasi berkas korban lumpur Lapindo yang hingga saat ini belum lunas, terkait pembayaran ganti rugi. Proses pembayaran sisa ganti rugi korban Lapindo sendiri harus diverifikasi, dan diawasi BPKP karena menggunakan dana talangan dari pemerintah.
Sebagai tahap awal verifikasi ini BPKP menjaring aspirasi warga korban lumpur Lapindo di kantor kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Jaring aspirasi ini juga melibatkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Jaring aspirasi ini adalah satu tahapan BPKP untuk melakukan verifikasi, data berkas korban Lapindo yang belum dilunasi pembayaran ganti ruginya. Sebab warga ini ada yang sudah menerima ganti rugi 20 persen, namun ada juga yang ternyata masih belum menerima ganti rugi sama sekali.
Dari sekitar 13 ribu berkas warga korban lumpur di dalam peta area terdampak masih ada sekitar tiga ribuan berkas yang belum dilunasi pembayarannya oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Bahkan tercatat ada 40 berkas yang belum menerima ganti rugi sama sekali.
BPKP diberi waktu melakukan verifikasi hingga akhir Februari ini. Hasil verifikasi selanjutnya akan diserahkan ke BPLS, untuk dijadikan patokan pencairan ganti rugi kepada warga.
“Minarak datanya apa, itu yang kita verifikasi,” kata tim verifikasi BPKP, Wiwik.
Pemerintah telah memutuskan memberikan dana talangan untuk membayar sisa ganti rugi korban Lapindo senilai Rp 781 miliar. Dana talangan itu diberikan dengan jaminan aset Lapindo yang berada di kawasan Porong dan sekitarnya. Pemerintah juga sudah membentuk tim untuk menghitung aset Lapindo yang dijadikan jaminan tersebut.
JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah akan membentuk tim khusus untuk mengamankan aset milik PT Minarak Lapindo Jaya yang akan menjadi jaminan dana talangan dari pemerintah. Langkah ini dilakukan setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan pemerintah memberikan dana talangan sisa ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781,7 miliar yang seharusnya menjadi kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono mengatakan, menindaklanjuti persetujuan pemberian dana talangan bagi korban lumpur Lapindo, pemerintah akan membentuk tim untuk mengamankan aset yang menjadi jaminan atas dana talangan ini. “Presiden mengatakan harus hati-hati. Harus ada perjanjiannya,” kata Basuki, baru-baru ini.
Menurut Basuki, tim yang akan menilai aset milik Lapindo ini terdiri dari beberapa instansi pemerintah, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kejaksaan Agung. Pemerintah juga menggandeng Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit seluruh aset Lapindo.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto masih menyusun formasi tim khusus tersebut. Yang jelas, tim inilah yang akan berunding dengan Minarak Lapindo Jaya. Menurut Andi, pemerintah turun tangan dalam pembayaran sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo untuk mengakhiri ketidakjelasan yang dialami korban lumpur Lapindo selama delapan tahun terakhir.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, pemerintah akan mengalokasikan dana talangan untuk Minarak Lapindo Jaya lantaran perusahaan tersebut tidak mampu membayar sisa pelunasan ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781,7 miliar. Basuki menambahkan, dana talangan ganti rugi ini akan disalurkan kepada para korban lewat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Sebagai gantinya, Minarak Lapindo Jaya harus menyiapkan 13.237 berkas sertifikat lahan seluas 641 hektare (ha) di wilayah peta terdampak lumpur Lapindo. Nilai aset yang akan menjadi jaminan tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp 3,3 triliun.
Pemerintah memberi waktu empat tahun kepada Minarak Lapindo Jaya untuk melunasi dana talangan itu. Bila sampai batas waktu itu PT Minarak Lapindo Jaya tak bisa melunasi dana talangan ini, seluruh aset jaminan tersebut menjadi milik pemerintah.
Sifatnya pinjaman
Juru Bicara BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo bilang, BPLS masih menunggu arahan dari Kementerian PU-Pera untuk menentukan mekanisme penyaluran ganti rugi ke korban. Maklum, meski penyaluran sisa ganti rugi bagi masyarakat korban lumpur Lapindo direncanakan lewat BPLS, hingga kini anggaran yang digunakan untuk dana talangan ini belum masuk ke anggaran BPLS. “Anggaran dana talangan ini ada di Kementerian Keuangan, karena sifatnya pinjaman,” kata Hesti, kepada KONTAN, Rabu (11/2).
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2015, anggaran dana talangan untuk ganti rugi lumpur Lapindo ini dialokasikan dalam pos pembiayaan non utang. Nah, sembari menunggu arahan dari Kementerian PU, “Kami sedang menyusun persiapan perencanaan pembayaran,” kata Dwinanto.
Belum pernah terjadi anggaran negara dialokasikan untuk menalangi ganti rugi korporasi. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015, dialokasikan dana Rp 781,7 miliar untuk digelontorkan ke PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Grup Bakrie.
Anggaran tersebut ditujukan untuk menalangi jual beli tanah dan aset antara PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan warga korban lumpur Lapindo. Jual beli adalah status yang diinginkan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab, bukan ganti rugi sebagaimana diserukan warga.
Sampai saat ini, sekitar 20 persen dari total areal terdampak lumpur belum dibayar oleh PT MLJ. Perusahaan mengklaim tak mampu bayar sehingga meminta dana talangan dari pemerintah pada 2014.
Presiden Joko Widodo berketetapan mengalokasikan dana talangan itu. Berbagai spekulasi pun bermunculan dengan keputusan tersebut. Namun, dalam perspektif positif, kebijakan itu mungkin merupakan bentuk pemenuhan janji Joko Widodo. Selain itu, pilihan ini adalah langkah yang paling diharapkan korban lumpur Lapindo. Mereka telah menunggu delapan tahun atas hak-haknya tanpa kejelasan dari PT MLJ.
Alokasi dana talangan ini disetujui Badan Anggaran DPR, Selasa (3/2) malam. Pembahasan biasanya bertele-tele, tetapi dana talangan ini diselipkan dalam rapat kerja tentang penyertaan modal negara (PMN). Pembahasannya singkat.
Pemerintah dan DPR hanya butuh waktu satu jam membahas dana talangan ini. Sementara untuk membahas PMN ke badan usaha milik negara (BUMN) yang nilainya jauh di bawah dana talangan, butuh waktu berhari-hari.
Misalnya untuk PT Pelni dan PT Garam yang masing-masing dianggarkan Rp 500 miliar dan Rp 300 miliar. DPR mensyaratkan kehadiran direktur utama untuk menjawab beragam pertanyaan.
Sementara itu, dana talangan Lapindo, pada saat disetujui pun skema utang piutangnya belum tuntas, misalnya menyangkut tenor dan bunga. Nilai agunannya pun belum valid karena masih dihitung BPKP. Direktur Utama PT MLJ pun juga tidak perlu repot-repot hadir menjawab pertanyaan.
Publik berhak mengetahui soal ini karena dana talangan merupakan uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak. Jika pemerintah dan DPR sepakat tanpa kejelasan skema utang piutangnya, pembayar pajak berhak menggugat.
Dana talangan ke PT MLJ pada dasarnya adalah uang rakyat. Dan niat baik untuk tujuan baik saja kerap tidak cukup. Perlu tata kelola yang benar untuk menjamin semuanya berjalan baik. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)
Metrotvnews.com, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang telah menyetujui dana talangan sebesar Rp781,7 miliar untuk membantu PT Minarak Lapindo Jaya dalam menyelesaikan kewajibannya. Serta menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah mengenai skema pengembalian pinjaman tersebut.
“Skema pengembaliannya jelas diatur dalam perjanjian, saya kan bukan menterinya,” kata Anggota Komisi XI dan Badan Anggaran DPR Fraksi PKS, Ecky Awal Muharam, pada Metrotvnews.com, Jakarta, Jumat (6/2/2015).
Menurut Ecky, pemerintah memiliki hak-hak untuk mengatur diktum-diktum apa saja isi perjanjian tersebut. “Term of payment-nya, periodenya, jaminannya, yang penting DPR sudah memberikan sebuah batasan, talangan harus didukung dengan jaminan dan syarat yang memadai,” tuturnya.
Senada, Wakil Ketua Badan Anggaran III DPR RI, Jamaluddin Jafar, mengaku semuanya akan dikembalikan pada Pemerintah, di mana DPR hanya diminta untuk memantau. “Sudah urusannya pemerintah, itu sudah teknis. Kita (DPR) mengawasi saja,” ucap Jamal.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pemerintah tidak secara cuma-cuma memberikan talangan atau bantuan ini. Jika Minarak Lapindo Jaya pada saat pengembalian tak bisa melunasi maka ada jaminan berupa aset koorporasi tersebut yang akan menjadi hak milik negara.
“Jadi seperti meminjam uang, Tapi jaminannya seluruh aset mereka. Jadi nantinya dia (Lapindo) harus bayar ganti rugi/pengembalian empat tahun, kalau enggak bisa tanah yang jadi jaminan akan kita lelang,” jelas Sofyan. (AHL)