Author: Redaksi Kanal

  • Bencana

    Putu Setia

    Bencana sering datang di akhir tahun. Bisa dimaklumi. Musim hujan memang di bulan-bulan akhir tahun dan berlanjut ke awal tahun. Hujan yang ditunggu para petani menjadi pangkal bencana. Ada tanah longsor, seperti di Banjarnegara. Penyebabnya, konspirasi antara hujan dan kostur tebing yang tak banyak pohon karena penduduk bertanam kentang. Ada banjir di berbagai kota yang, menurut salah seorang penyiar televisi-dengan mimik meyakinkan-disebabkan oleh hujan. Bukan karena rupiah melemah.

    Itulah komentar saya kepada Romo Imam soal bencana. “Apakah tsunami yang dahsyat di Aceh karena hujan pula?” tanya Romo. Saya gelagapan disanggah. Saya jawab: “Bukan hujan sih, tetapi terjadi di akhir tahun, sehari setelah Natal, sepuluh tahun lalu. Sekarang diperingati dengan rasa syukur yang dalam. Sayang, Presiden Jokowi batal ke sana.”

    Romo Imam tersenyum: “Ya, sebaiknya Presiden jangan datang, supaya Pak Jusuf Kalla tak salah tingkah. Tak lazim ada dua matahari di satu tempat, apalagi saat mendung. Jusuf Kalla sebagai wakil presiden banyak berperan di saat-saat awal pemulihan Aceh. Kini sebagai wakil presiden pula, beliau pantas memimpin rasa syukur setelah Aceh berhasil bangkit.”

    Jalan pikiran Romo ini cenderung tak konsisten. Tadinya mau diskusi soal bencana di akhir tahun, tiba-tiba soal peringatan satu dasawarsa tsunami Aceh. “Lalu lumpur Lapindo yang kini mengancam lagi warga Sidoarjo apa ada kaitannya dengan akhir tahun dan hujan?” Nah, kan sudah berganti tema lagi, tak fokus Romo ini. “Ya, ya, Romo, karena hujan deras. Tanggul jebol lumpur pun meluber menggenangi rumah-rumah penduduk.”

    Romo batuk sesaat. “Tanpa hujan pun tanggul Lapindo pasti jebol. Betul ada pompa yang mengalirkan lumpur cair ke Kali Porong, tetapi penduduk mempermainkan pompa itu agar lumpur tetap meluber dan menjebol tanggul. Penduduk sudah tak tahan lagi, delapan tahun tak menerima ganti rugi yang dijanjikan.”

    Waduh, ini soal apa lagi, pikir saya. “Romo, sekarang Presiden Jokowi sudah mengambil alih dengan memberi talangan. Lapindo sudah tak punya uang, tetapi juga tidak menyebut bangkrut,” kata saya. Jawaban spontan ini membuat Romo panas: “Bangkrut bagaimana? Bosnya mondar-mandir dengan jet pribadi dan seperti tak pernah bersalah, terus mengkritik pemerintah. Kalau bertanggung jawab, jual asetlah.”

    Wah, saya harus betul-betul diam. “Pernah menonton Perjuangan Suku Naga yang dipentaskan Bengkel Teater Rendra?” Pertanyaan Romo ini membuat saya hampir pingsan. Kaget, kenapa sampai ke Rendra. Saya menggeleng. “Bencana dan keberuntungan adalah sukma yang tak terpisahkan. Lumpur Lapindo mengancam lagi dan itu bencana bagi rakyat. Jika Jokowi diam, itu juga bencana buat pemerintahannya yang bisa disebut tak peduli pada wong cilik. Tapi keberuntungan bagi bos Lapindo yang tak mengeluarkan duit lagi.”

    Ini lucu dan seperti dipaksakan, tapi saya takut tertawa. Romo melanjutkan, kali ini agak kalem: “Sekarang bencana belum berakhir meski kita berharap tak lagi datang. Puncak musim hujan terjadi akhir bulan Januari sampai Februari. Bagi yang percaya kalender Cina, Imlek pada pertengahan Februari dan harus hujan supaya ada keberuntungan. Mudah-mudahan Jakarta dan daerah aliran Begawan Solo tidak banjir bandang. Tapi jika itu terjadi, para pejabat kita pasti punya pembenaran dengan mencari kambing hitam.”

    “Romo yakin akan ada kambing hitam,” tanya saya. “Kan tahun depan memang Shio Kambing,” jawab Romo enteng. Ah, Romo kena bencana, tak bermutu, mati angin di ujung tahun.

    Sumber: http://www.tempo.co/read/carianginKT/2014/12/28/1542/Bencana

  • Walhi Kecewa Jokowi Talangi Ganti Rugi Lapindo

    KBR, Banyuwangi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, menyayangkan langkah pemerintah menalangi ganti rugi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar.

    Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Ony Mahardika mengatakan, uang talangan yang berasal dari APBN itu sebenarnya juga uang rakyat. Berarti korban lumpur Lapindo membayar deritanya sendiri.

    Menurut Ony, seharusnya pemerintah tidak serta merta menalangi tanpa mekanisme menjadikan aset PT Minarak Lapindo sebagai jaminan. Talangan pemerintah untuk korban lumpur lapindo tersebut, mirip dengan bailout Bank Century.

    “Kasus Lapindo itu bukan hanya urusan ganti rugi, tapi kalau kami mengatakan itu sebenarnya hanya urusan jual beli tanah. Karena kalau ngomong ganti rugi artinya seluruh penduduk, seluruh masyarakat dari sekitar beberapa desa itu mendapatkan semua termasuk anak-anak,” kata Ony Mahardika, Rabu (24/12).

    Ony Mahardika menambahkan, urusan ganti-rugi yang dibahas pemerintah menjadi sekedar urusan jual-beli tanah. Padahal sejak bencana lumpur Lapindo meluap, banyak penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang menyerang warga.

    Banyak juga anak-anak yang menjadi korban juga kehilangan pendidikannya. Serta ada 130 ribu jiwa yang sebelumnya hidup dari usaha kecil menengah akhirnya kolaps. Kata Ony, Sejak pemerintahan SBY, bencana lumpur Lapindo memang digiring untuk menjadi bencana nasional agar ganti-rugi dibiayai oleh pemerintah.

    Sebelumnya, Presiden Jokowi telah memutuskan akan memberi dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar. Talangan itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo yang ada di dalam peta area terdampak. 

    Dana talangan dari pemerintah itu diberi tenggat selama empat tahun. Apabila sampai tenggat itu belum dilunasi, aset yang dijadikan sebagai jaminan akan menjadi milik pemerintah pusat.

    Hermawan

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3374687_4262.html

  • Akal-akalan Selamatkan Lapindo

    Akal-akalan Selamatkan Lapindo

    Firdaus Cahyadi

    Berita mengejutkan itu datang dari pemerintah Joko Widodo terkait dengan penyelesaian kasus Lapindo. Pemerintah secara resmi kembali menggunakan uang pajak rakyat untuk menyelamatkan Lapindo dari tanggung jawabnya dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo.

    Demi menyelamatkan Lapindo dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pun ditabrak. Putusan MK dalam uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2013 menyatakan bahwa PT Minarak Lapindo Jaya berkewajiban bertanggung jawab dengan mengganti kerugian masyarakat, dan pemerintah harus menjamin terlaksananya ganti rugi tersebut. Dana talangan pemerintah seakan menghapus tanggung jawab Lapindo itu.

    Pemerintah berdalih dana talangan itu bertujuan untuk menyelamatkan korban lumpur. Memang, dalam jangka pendek, korban lumpur yang belum mendapatkan uang jual-beli aset dapat bernapas lega karena mendapatkan haknya yang kehilangan tanah dan rumahnya akibat keganasan semburan lumpur Lapindo.

    Tapi napas lega korban lumpur itu hanya jangka pendek. Dalam jangka panjang, mereka harus tetap menanggung sendiri dampak buruk yang mereka alami akibat semburan lumpur.

    Sebelumnya, pemerintah berusaha membersihkan Lapindo dari noda lumpur dengan cara menamakan lumpur Lapindo menjadi lumpur Sidoarjo. Nama itu diberikan bukan sebuah kebetulan, namun sebuah kesengajaan untuk menghilangkan Lapindo dari pusaran kasus semburan lumpur.

    Langkah berikutnya tentu saja adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden yang membagi beban tanggung jawab penanganan kasus Lapindo dengan pemerintah. Uang pajak rakyat pun digunakan pemerintah untuk ikut menangani kasus ini.

    Seiring dengan langkah itu, pemerintah melalui kepolisian pun menghentikan kasus pidana Lapindo. Penghentian kasus itu memberikan posisi tawar yang semakin kuat bagi Lapindo ketika berhadapan dengan korban lumpur yang menuntut hak-haknya. Sedangkan pemerintah, dengan sengaja justru semakin bertekuk lutut di hadapan Lapindo dalam kasus semburan lumpur ini. Pendek kata, posisi Lapindo semakin kuat, sedangkan posisi negara dan korban lumpur semakin lemah.

    Makin melemahnya posisi negara itu kemudian yang sebenarnya memaksa pemerintahan Jokowi memberikan dana talangan terhadap korban lumpur. Pemerintah seakan didesak di pojok ruangan sehingga benar-benar tak berdaya menyelesaikan kasus yang sudah menyengsarakan rakyat selama delapan tahun lebih ini. Pemerintah seperti tidak punya pilihan selain memberikan dana talangan.

    Pemerintah memang tidak punya pilihan kebijakan lain selain memberikan dana talangan dalam kasus Lapindo ini, jika pemerintah masih saja mengikuti paradigma usang pemerintah sebelumnya yang mengasumsikan semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam, bukan akibat pengeboran. Selama asumsi itu dipertahankan, selama itu pula pemerintah akan bertekut lutut di depan Lapindo.

    Nampaknya, pemerintahan Jokowi tetap mengikuti paradigma lama pemerintahan sebelumnya dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Dan, karena masih mengikuti paradigma lama itulah pemerintah tidak punya pilihan lain selain menyelamatkan Lapindo dari kubangan lumpur. Sedangkan korban lumpur dan masyarakat pembayar pajak lainnya hanya sekadar menjadi tumbalnya.*

    Sumber: http://www.tempo.co/read/kolom/2014/12/23/1857/Akal-akalan-Selamatkan-Lapindo

  • Jangan Bayar Ganti Rugi via Lapindo

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Korban lumpur Lapindo menolak pencairan ganti rugi yang akan ditalangi pemerintah disalurkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Warga sudah berpengalaman. Saat pembayaran ganti rugi oleh PT Minarak dulu, banyak calo berkeliaran.

    “Pokoknya jangan sampai lewat Minarak, banyak calonya,” kata Sulastri, korban lumpur Lapindo, di rumahnya, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Selasa, 23 Desember 2014.

    Ia yakin calo pasti meminta beberapa persen dari hasil pencairan yang didapatkan korban. Jika terjadi, itu akan sangat menyakitkan, mengingat uang ganti rugi itu sudah ditunggu sejak delapan tahun lebih dan pas-pasan untuk membeli rumah di Sidoarjo dan sekitarnya. “Kalau bagi warga yang paham, mungkin bisa menolak. Tapi warga yang tidak paham dan sudah tua, pasti gampang tertipu.”

    Menurut Sulastri, ganti rugi paling tepat dibagikan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan harus diurus langsung oleh warga yang bersangkutan atau keluarganya. “Yang penting jangan orang lain, karena khawatir ada hal-hal yang tidak diinginkan,” tuturnya. Sani, 70 tahun, korban lainnya yang rumahnya juga tergenang lumpur, berharap pemerintah mempercepat ganti rugi itu dan bisa segera dicairkan oleh warga.

    Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan masih akan menunggu keputusan Presiden Joko Widodo mengenai pencairan uang ganti rugi itu. Proses pencairan hingga aliran dananya akan diputuskan oleh pemerintah. Korban lumpur lapindo, ujar dia, tidak bisa menolak jika sudah ada keputusan Presiden Jokowi. Peraturan ini bukan hanya untuk satu kelompok, tapi untuk semua korban. “Kalau warga yang lain ada yang mau gimana? Jangan asal bicara, proses ini akan diatur oleh keppres.”

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/23/058630486/Jokowi-Jangan-Bayar-Ganti-Rugi-via-Lapindo-Kenapa

  • Korban Lapindo Harap Dana Talangan Pemerintah Segera Cair

    KBRN, Surabaya: Pemerintah akhirnya akan membayar kekurangan ganti rugi (dana talangan-red) bagi korban luapan lumpur Lapindo sebesar 781 milyard pada tahun depan. Meski dibutuhkan proses yang cukup panjang untuk merealisasikan pembayaran tunggakan, karena harus mendapatkan persetujuan dari DPR, namun bagi warga terdampak lumpur lapindo, hal tersebut merupakan angin segar, karena penantian 8 tahun segera terobati.

    “Semoga saja segera terealisasi, ya saya harap pemerintah tidak mencicilnya, kami minta hitam diatas putih, karena permasalahan Lapindo ini sudah terjadi sejak tahun 2006, saya juga ingin punya rumah sendiri,” ungkap Juwito warga terdampak lumpur Lapindo kepada Radio Republik Indonesia RRI, Senin (22/12/2014).

    Menurut Juwito, imbas kejadian luapan lumpur Lapindo, warga terdampak serba dalam ketidakpastian, kondisi tanggul lumpur yang rawan jebol, serta masih banyaknya masyarakat yang hidup dalam kesusahan membuat warga harus memutar otak agar bisa bertahan hidup.

    “Jadi selama ini hidup ya dari pengunjung yang melihat lumpur secara dekat, kita menyediakan sebuah wp-content, kalau ada yang ngasih Alhamdulillah, kalau tidak, ya tidak apa-apa, prinsipnya kita tidak meminta-minta,” urainya.

    Kepala Pusat  Studi Kebumian dan Bencana dari ITS Amin Widodo, menjelaskan, menyusul kompensasi ganti rugi yang akan diberikan bagi korban lumpur Lapindo, hal paling utama yang harus dilakukan Pemerintahan Jokowi-JK yakni bagaimana segera memetakan titik-titik rawan, karena menurut Amin permasalahan utama selain pemberian kompensasi bagi warga, pemerintah harus mempunyai cara menghentikan semburan lumpur.

    “Ini juga harus menjadi prioritas, bagaimana pemerintah mempunyai cara menghentikan semburan lumpur, kita tidak mempunyai teknologi untuk menutup itu, jadi menimbulkan patahan Watukosek, orang banyak yang tidak mikir, begitu tahun 2007 pengadilan memutuskan bencana alam, terus MA menguatkan, itu sangat bahaya imbasnya bisa terkena Bandara Juanda,” terang Amin.

    Meski saat ini belum ada solusi akan pencegahan, lumpur Lapindo kata Amin, dapat menjadi nilai manfaat yang berguna dan dapat menopang taraf hidup masyarakat, selama dikelola dengan optimal.

    “Berdasarkan penelitian yang kita lakukan, lumpur Lapindo itu, mempunyai potensi sebagai campuran beton ringan, dan untuk litium batre,” kata Amin.

    Dwinanto Kepala Humas BPLS mengakui, selama ini solusi akan penghentian semburan lumpur Lapindo masih menemui jalan buntu. Berbagai opsi yang dilakukan mulai mengebor miring, hingga solusi lainnya juga belum menunjukkan hasil, karena sempat mendapatkan penolakan warga.

    “Dengan adanya kejelasan dari pemerintah akan ganti rugi, kami berharap permasalahan Lapindo dapat terselesaikan, termasuk langka kedepan nantinya,” tambah Dwi.

    Selama ini, berbagai upaya dilakukan agar lumpur Lapindo tidak terus menyembur, mulai dari hal-hal yang berbau klenik, dengan melakukan ruwatan, cara modern melalui temuan dan kajian juga dilakukan.

    Salah satu yang siap menghentikan luberan lumpur Lapindo, yakni Djaya Laksana Alumni ITS, melalui metode konsep bendungan Bernoulli yang digagas, Dajaya Optimis, Lapindo dapat dihentikan.

    “Sebenarnya apa yang dilakukan warga dengan melakukan penolakan, tidak perlu terjadi jika pemerintah sejak beberapa tahun lalu mempunyai strategi penghentian lumpur, tidak ada kata terlambat untuk itu, semua ada kemauan,” lanjut Djaya.

    Konsep bendungan Bernoulli yang diteliti oleh tim ITS kata Djaya bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk menghentikan luapan lumpur Lapindo Sidoarjo.

    “Sebenarnya konsepnya mudah mengaplikasikan teori bendungan Bernouli, hanya membutuhkan waktu yang tidak lama yakni 6 bulan, dimana dapat dijamin semburan lumpur dapat berhenti selamanya,” terang Djaya.

    Djaya menerangkan teori Hukum Bernouli yang akan digunakan untuk menghentikan luapan lumpur, yakni diantaranya memasang bendungan yang terbuat dari pipa. Pipa yang dirakit tersebuk katanya, dipasang di semburan lumpur dengan ketinggian kurang lebih 50 meter. Ketika pipa-pipa yang dipasang tersebut sudah mengelilingi pusat semburan, maka lumpur yang akan meluber akan tertahan pipa. Dengan penuhnya lumpur yang terhalang bendungan buatan tersebut, maka beban lumpur akan dapat mematikan semburan.

    “Tapi sebelum memasang pipa, harus ada studi akan kontur tanah, hal itu dilakukan untuk mengetahui kelayakan tanah,” terangnya.

    Djaya menjelaskan, Konsep Bernouli yang ia kembangkan, diklaim tidak asal-asalan. Teori yang sudah di suarakanya sejak tahun 2006 ini, belum ada tanggapan positif dari pemerintah meski penerapan hukum Bernouli sudah dipresentasikannya ke pihak-pihak terkait. (BH/Yus).

    Sumber: http://www.rri.co.id/post/berita/127739/nasional/korban_lapindo_harap_dana_talangan_pemerintah_segera_cair.html

  • Pemerintah Harus Menindak PT Minarak Lapindo

    JAKARTA, (PRLM) – Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Seharusnya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi kepada warga yang rumahnya terkena dampak luapan lumpur. Demikian disampaikan pengamat ekonomi politik, Nico Harjanto.

    Sementara Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan, pemerintah tidak membantu PT Minarak Lapindo melainkan membantu masyarakat yang sudah menderita lebih dari delapan tahun.

    Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Pengamat ekonomi politik dari Populi Center, Nico Harjanto kepada VOA di Jakarta, Minggu (21/12) mengatakan seharusnya pemerintah menindak PT Minarak Lapindo terlebih dahulu sebelum menalangi kewajibannya.

    “Itu keputusan yang mengagetkan karena bagaimanapun juga itu kewajiban PT Lapindo, seharusnya pemerintah memberikan tindakan dulu baru kemudian menalangi. Tidak ada masalah dalam konteks memberikan pertolongan penalangan kepada korban, karena bagaimanapun juga korban itu harus segera dibantu, tetapi dalam perspektif keadilan mestinya Lapindo dan juga perusahaan-perusahaan yang memilikinya termasuk juga keluarga Bakrie itu harus bertanggungjawab dulu,” ujarnya.

    Nico Harjanto berpendapat, pemerintah harus transparan mengenai sumber dana talangan untuk PT Minarak Lapindo karena pemerintah justru sedang sulit menganggarkan berbagai rencana program yang akan mulai dikerjakan tahun depan.

    Terkait berbagai pendapat mengenai keputusan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo, Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan,“tujuan pemerintah adalah tidak akan membeli tanah tetapi untuk membantu menyelesaikan tanah itu untuk rakyat, sudah delapan tahun lebih menunggu.”

    Pemerintah memberi batas waktu empat tahun kepada PT. Minarak Lapindo mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar. Jika batas waktu tersebut dilanggar pemerintah akan menyita beberapa aset milik PT. Minarak Lapindo atau aset lain yang masih dalam grup PT Minarak Lapindo.

    Dana talangan diberikan setelah PT Minarak Lapindo menyatakan tidak sanggup membayar kekurangan dari kewajiban sebesar Rp 3,8 triliun. PT Minarak Lapindo sanggup membayar sebesar Rp 3,02 triliun sehingga sisanya meminjam pemerintah.

    Sebelumnya sepanjang masa pemerintahan mantan Presiden Yudhoyono, tercatat sejak tahun 2006 hingga tahun 2012 dana talangan yang dikucurkan pemerintah untuk korban lumpur Lapindo sekitar Rp 6,7 triliun. Langkah pemerintah saat itu sempat diprotes mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarawati yang menilai sebaiknya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT. Minarak Lapindo. Sementara keluarga Aburizal Bakrie mengklaim telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp 7,9 triliun untuk mengatasi luapan lumpur Lapindo dan memenuhi kewajiban membayar ganti rugi masyarakat terkena dampak luapan lumpur.

    Untuk itu banyak kalangan menilai diperlukan audit keseluruhan agar dapat ditelusuri sejauh mana kewajiban PT. Minarak Lapindo benar-benar dialokasikan. (voa/A-147)***

    Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/309392

  • Lapindo Diminta Serahkan Sertifikat Aset

    Keraguan korban lumpur Lapindo atas kelancaran proses ganti rugi dari pemerintah dimaklumi Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo.

    Proses pencairan dana Rp781 miliar dari pemerintah tersebut membutuhkan waktu panjang. “Proses pencairan dana hingga bisa diterima oleh korban lumpur memang membutuhkan waktu panjang. Kami meminta semua pihak terutama PT Minarak Lapindo Jaya kooperatif dengan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pemerintah,” ujar Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Mahmud, kemarin.

    Dia mengatakan salah syarat dana talangan adalah adanya jaminan aset dari PT Minarak Lapindo yang diserahkan kepada pemerintah. Aset-aset ini secara otomatis akan dikuasai oleh pemerintah jika dalam jangka waktu empat tahun kedepan perusahaan milik Keluarga Bakrie tersebut tidak mampu mengembalikan dana talangan Rp781 miliar. “Semoga Lapindo mau memberi sertifikat asetnya sebagai jaminan atas dana talangan Rp 781 miliar itu,” tegas Mahmud.

    Selain persoalan penyerahan aset dari Lapindo, proses pencairan ganti rugi ini juga membutuhkan perubahan peraturan presiden (Perpres) 14/- 2007 tentang penanganan lumpur. Perubahan ini penting karena bakal menjadi payung hukum atas pengunaan anggaran negara untuk menalangi ganti rugi yang harusnya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo.

    Termasuk mekanisme pelunasan ganti rugi korban lumpur, apakah akan dibayarkan oleh Lapindo atau langsung pemerintah. “Hal-hal itu sebelumnya diatur dalam Pepres 14/2007, maka jika ada perubahan maka harus terlebih dahulu ada revisi sehingga payung hukumnya jelas,” ujar Mahmud.

    Tak kalah pentingnya, lanjut Mahmud, dana talangan tersebut juga harus mendapat persetujuan dari Komisi V DPR RI. Sebab, jika DPR tidak sepakat terkait dana talangan bagi korban lumpur akan menjadi percuma. ”Pansus Lumpur juga akan menemui Komisi V terkait dana talangan itu,” tegasnya.

    Sudibyo, salah satu korban lumpur asal Renokenongo, Kecamatan Porong mengatakan pihaknya masih menunggu bukti tertulis dana talangan dari pemerintah. Selama ini korban lumpur sudah sering diberi janji-janji terkait pelunasan ganti rugi, namun sampai sekarang belum direalisasikan.

    Korban lumpur berharap agar dana talangan tersebut bisa segera direalisasikan dan dibayarkan dalam waktu dekat. ”Paling tidak bisa dianggarkan dalam APBN 2015 agar bisa segea dibayarkan kepada korban lumpur,” tandas Sudibyo.

    Secara umum, korban lumpur menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo yang memberikan dana talangan pembayaran ganti rugi lumpur. Namun, keputusan tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait terutama untuk mekanisme pembayaran.

    Berbeda dengan korban lumpur yang menyambut baik dana talangan. Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) kecewa karena belum dimasukkannya anggaran ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur. Sebab, mereka juga sama-sama menjadi korban lumpur. ”Perusahaan kami sudah tebenam lumpur. Samasama menjadi korban lumpur tapi dianaktirikan,” keluhnya.

    GPKLL mengaku juga kecewa terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Gubernur Jatim Soekarwo. Sebab, keduanya terkesan mengesampingkan untuk memperjuangkan pembayaran ganti rugi pengusaha korban lumpur.

    Sementara itu pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto meminta pemerintah terlebih dahulu mempailitkan PT Minarak Lapindo Jaya sebelum memberikan dana talangan.

    ”Kalau disebut sebagai uang ganti rugi untuk korban lumpur seharusnya PT Minarak Lapindo Jaya dipailitkan terlebih dahulu dan baru asetnya disita untuk menyelesaikan ganti rugi. Kalau kurang barulah diselesaikan langsung oleh pemerintah sebagai bantuan sosial,” kata Suroto di Jakarta, Minggu.

    Dia menilai kebijakan pemerintah menalangi ganti rugi korban Lapindo bisa menjadi menjadi preseden buruk bagi sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia. Menurut dia akibat kebijakan itu kini setiap orang yang melakukan spekulasi bisnis dan bangkrut pada akhirnya dapat menuntut dana talangan pada pemerintah.

    ”Seharusnya perusahaan justru dihukum akibat kelalaian dan merugikan banyak orang secara kemanusiaan. Ini janggal dan terkesan sangat kolutif,” katanya. Suroto meminta pemerintah untuk berperilaku adil pada semua pelaku bisnis dan tidak membawa ”deal” politik ke dalam ranah hukum dan bisnis.

    Ia berpendapat kebijakan pemberian dana talangan itu bisa memacu dilakukannya kegiatan ekploitatif dari korporasi lainya. ”Mereka akan lebih mudah membuat kesalahan dan menanggungkan bebannya pada pemerintah yang sumbernya adalah pajak yang dibayar rakyat,” katanya.

    Suroto justru mempertanyakan kenapa pemerintah tidak mempedulikan UKM yang bangkrut padahal secara riil UKM menjadi penopang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. ”Demi rasa keadilan dan juga kepentingan hukum dan bisnis maka pemerintah harus batalkan kebijakan tersebut,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar. Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015.

    Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

    Abdul Rouf

    Sumber: http://www.koran-sindo.com/read/940462/151/lapindo-diminta-serahkan-sertifikat-aset-1419219863

  • Bakrie Telecom agrees restructuring

    Bakrie Telecom agrees restructuring

    Creditors of Bakrie Telecom have approved its restructuring plan, after it missed a November 2013 coupon payment on its US$380m 11.5% bonds due 2015, but some bondholders were unhappy that they were barred from voting.

    Creditors owed Rp3bn (US$240,000) or more will receive 70% of the principal in mandatory convertible bonds which convert at Rp200 per share. The remaining 30%, as well as smaller obligations, will be paid in instalments over 5.5 years at terms to be agreed later.

    The vote required a majority approval from creditors holding two-thirds of the debt, and in the end obtained approval from holders of 94.6%.

    However, there was controversy, as an investor said the company had reclassified funds received from one of its issuing vehicles as an intra-company loan, effectively giving the voting rights to the issuer rather than the bondholders. Bakrie Telecom Pte Ltd, a subsidiary registered in Singapore, issued the 2015s and a Jakarta judge agreed with the administrator that it was the only party eligible to vote on behalf of the bonds.

    The Indonesian legal process does not work on precedent, but the investor said the tactic was one that bondholders would need to be wary of in future restructurings by Indonesian companies.

    Some bondholders claimed they had not been able to vote, but another investor said everyone had been contacted and asked to fill in a disclosure.

    “[They] have been quite transparent about the process, in my view,” he said.

    Negotiations with bondholders have been ongoing for several months, and a proposal was put forward in September. The two investors said there had been broad agreement for the proposals anyway.

    A group of bondholders – Universal Investment Advisory, Vaquero Master EM Credit Fund and Trucharm – which claimed to hold more than 25% of the 2015s, had sued Bakrie Telecom and three subsidiaries in New York for alleged breach of terms after it missed two coupon payments.  

    Bakrie Telecom did not respond to a request for comment.

    Under an earlier proposal, 30% of the current paper would have become a five-year bond with a 1% cash coupon and an additional 3% payment in kind (PIK), while the other 70% was to be converted into an equity-like instrument maturing in 6.5 years, paying no coupon for the majority of its life, and making a 5% per annum payment on its sixth anniversary.

    Daniel Stanton, Lianting Tu, Eveline Danubrata

    Sumber: http://www.ifrasia.com/bakrie-telecom-agrees-restructuring/21179091.article

  • Aset Minarak Lapindo bakal Dilelang

    Aset Minarak Lapindo bakal Dilelang

    PEMERINTAH akan melelang aset tanah bekas luapan lumpur PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) senilai Rp3 triliun jika dalam waktu empat tahun Lapindo  tidak mampu mengembalikan dana talangan pemerintah Rp781 miliar.

    “Tanahnya itu kita lelang nanti. Kan suatu saat akan berhenti lumpur itu. Kalau sudah berhenti lumpur itu, tanah itu akan berharga kembali,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil di kantornya, Jakarta, kemarin.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan menalangi ganti rugi sebesar Rp781 miliar kepada korban lumpur Lapindo di wilayah terdampak. Pasalnya, perusahaan milik keluarga Bakrie itu menyatakan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar tanah yang tersisa 20% dari area terdampak tersebut.

    Pemerintah menyiapkan dananya dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) APBN Perubahan 2015 untuk segera dibayarkan ke masyarakat (Media Indonesia, 19/12).

    Sofyan menambahkan, jika memang dana talangan sudah kembali diterima pemerintah dana tersebut dapat digunakan pada postur anggaran selanjutnya. Pemerintah pun menjamin untuk memperkuat tanggul di daerah lumpur Lapindo.  “Tanggul sudah ada di anggaran PT sekarang (PT Minarak Lapindo Jaya),” pungkas Sofyan.

    Total ganti rugi kewajiban Lapindo akibat lahan yang terdampak lumpur, menurut Sofyan, sebesar Rp3,8 triliun. Sementara itu, pihak MLJ telah menuntaskan pembayaran ganti rugi sekitar Rp3,03 triliun.

    Wakil Presiden Jusuf Kalla meyakini dana talangan Lapindo  akan disetujui DPR.  “Disetujui. MK (Mahkamah Konstitusi) katakan (pembayaran ganti rugi) rakyat harus diselesaikan,” ujar JK di kantornya.

    Menurut dia, tidak ada yang dirugikan dengan langkah itu, baik pemerintah maupun Lapindo.

    Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai hal itu baru sebagai rencana. “Biarlah dibicarakan dengan DPR. Menurut saya, pasti tidak begitu adanya karena semua sudah berproses,” kata Agus.

    Ia menyarankan pemerintah sebaiknya melanjutkan apa yang sudah dilakukan SBY dan memperkuat yang sudah ada. “Apa yang sudah dilaksanakan SBY cukup bagus. Jangan cari masalah lagi,” ucapnya.

    Minta bukti tertulis

    Saat menanggapi hal itu, warga korban lumpur Lapindo mengaku belum sepenuhnya memercayai pemerintahan Jokowi-JK akan benar-benar membayar ganti rugi mereka.

    Warga meminta Jokowi membuat bukti tertulis terkait dengan keputusan pemerintah akan melunasi ganti rugi yang sebenarnya menjadi kewajiban PT MLJ.

    “Kami menginginkan bukti yang bisa dijadikan dasar hukum. Kalau bukti tertulis itu sudah ada, kami para korban lumpur baru percaya,” kata Juwito, 70, koordinator korban lumpur.

    Warga tetap akan berkeras melarang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo beraktivitas di tanggul titik 42 Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Warga mengklaim tanah tempat tanggul itu dibangun masih milik mereka sepanjang ganti rugi itu belum diberikan. (HS/SU/Kim/X-6)

    Irene Harty

    Sumber: http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/7019/Aset-Minarak-Lapindo-bakal-Dilelang/2014/12/20%2008:52:00

  • Lapindo Serahkan 9.900 Sertifikat Tanah

    JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk menalangi pembayaran sisa ganti rugi korban semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, disambut positif manajemen PT Minarak Lapindo Jaya, anak usaha Lapindo Brantas Inc. Mereka siap menyerahkan sertifikat tanah sebagai jaminan kepada pemerintah atas sisa kewajiban ganti rugi yang tak kunjung dibayar.

    Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah untuk segera menuntaskan proses ganti rugi bagi masyarakat di peta terdampak. ”Kami akan patuh dengan pemerintah,” ujarnya kepada Jawa Pos, Jumat (19/12).

    Menurut Andi, saat ini Lapindo sudah memenuhi kewajiban ganti rugi tanah warga di peta terdampak sebesar Rp 3,03 triliun untuk 9.900 berkas. Sebagian besar berupa sertifikat tanah. Ada juga yang berupa girik. Namun, masih ada kekurangan Rp 781 miliar untuk 3.337 berkas yang belum bisa diselesaikan Lapindo. Kekurangan itulah yang akan ditalangi oleh pemerintah. ”Kami siap menyerahkan sertifikat sebagai jaminan,” katanya.

    Dalam skema yang diajukan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, pemerintah akan menalangi ganti rugi Rp 781 miliar. Lapindo diberi kesempatan untuk melunasi dana talangan tersebut selama empat tahun. Jika tidak bisa membayar, pemerintah akan mengambil seluruh tanah di peta terdampak yang saat ini sudah di tangan Lapindo.

    Andi mengakui, saat ini Lapindo memang mengalami kesulitan finansial. Namun, dia menyatakan bahwa Lapindo siap membayar Rp 781 miliar kepada pemerintah dalam jangka waktu empat tahun ke depan. ”Tentu kami akan berusaha bayar daripada aset kami hilang (diambil alih pemerintah, Red),” ucapnya. Untuk diketahui, Rp 781 miliar itu belum termasuk klaim kerugian dari pengusaha akibat semburan lumpur.

    Menurut Andi, Lapindo sebenarnya memang sudah lama mengajukan proposal kepada pemerintah untuk menalangi dulu kekurangan pembayaran ganti rugi. Pihaknya juga terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar hak-hak warga korban lumpur bisa segera terpenuhi. ”Sekarang kami menunggu perpres (peraturan presiden yang terkait dengan keputusan menalangi Rp 781 miliar). Semoga bisa cepat,” ujarnya.

    Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menambahkan, keputusan pemerintah itu sudah tepat. ”Negara tidak sekadar keluar uang, tapi juga membantu rakyat dengan jaminan (aset) Lapindo,” katanya.

    JK memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan merugikan negara. Bahkan, negara bisa saja diuntungkan jika semburan lumpur berhenti dalam beberapa tahun mendatang. Meskipun, ada kemungkinan semburan lumpur baru berhenti 10 atau 20 tahun lagi. ”Kalau berhenti, negara untung. Kalau tidak, ya tunggu sampai berhenti,” ucapnya.

    Lapindo Brantas Inc merupakan operator blok Brantas. Sekadar mengingatkan, semburan lumpur panas yang meluap pada 29 Mei 2006 terjadi setelah pada 8 Maret Lapindo Brantas Inc mulai mengebor sumur Banjar Panji I.

    Sementara itu, keputusan pemerintah menalangi pembayaran ganti rugi untuk korban yang menjadi tanggung jawab Lapindo dipastikan tidak mengganggu penyelesaian ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto memastikan bahwa pemerintah tidak akan melupakan kewajiban membayar ganti rugi senilai Rp 380 miliar.

    ”Pemerintah tetap siap Rp 380 miliar yang menjadi kewajiban,” tegas Andi di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Penyelesaian nilai yang menjadi tanggung jawab pemerintah itu masuk di APBN 2015.

    Pada kesempatan tersebut, Andi menegaskan, pemerintah memberikan dana talangan bukan untuk membantu Lapindo. Namun, lebih pada pertimbangan karena masyarakat sudah menunggu penyelesaian. ”Fokus kami, bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa segera dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain kami pikirkan kemudian,” imbuh Andi.

    Putusan MK yang mengabulkan judicial review terhadap pasal 9 ayat 1 huruf (a) UU No 19 Tahun 2012 tentang APBNP 2012 pada awal 2014 telah menjadi payung hukum langkah pengambilalihan pembayaran ganti rugi oleh pemerintah. Khususnya untuk para korban di peta area terdampak (PAT). Secara garis besar, putusan tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk tidak lepas tanggung jawab terhadap penanganan korban di PAT.

    Sebelum putusan MK, pasal 9 ayat 1 tersebut menetapkan bahwa kerugian warga di PAT menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Sedangkan kerugian di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembagian tanggung jawab tersebut dianggap menyebabkan dikotomi ketentuan hukum dan ketidakadilan bagi warga di PAT dan luar PAT.

    Di bagian lain, Golkar yang merupakan partai pimpinan Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo, memberikan klarifikasi soal dana talangan dari pemerintah kepada PT Minarak Lapindo Jaya. Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, pemerintah dalam hal ini tidak mengambil alih tanggung jawab yang harus dipikul Lapindo.

    ”Bukan mengambil alih tanggung jawab. Keliru itu. Tapi, memberikan pinjaman dengan tenor empat tahun dengan jaminan senilai Rp 3,7 triliun lebih,” ujar Bambang kemarin (19/12).

    Menurut Bambang, Partai Golkar memberikan apresiasi atas keputusan pemerintah tersebut. Dia menilai, pemerintah telah mengambil langkah cepat agar kasus Lapindo bisa segera diselesaikan. Bambang secara tidak langsung mengakui bahwa saat ini PT Minarak Lapindo Jaya memang mengalami kesulitan keuangan untuk melunasi sisa pembayaran ganti rugi.

    ”Kami memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah mengambil keputusan itu sehingga para korban terdampak tidak terkatung-katung terlalu lama,” ujar sekretaris Fraksi Partai Golkar kubu musyawarah nasional Bali tersebut.

    Sementara itu, Agus Gumiwang Kartasasmita, ketua Fraksi Partai Golkar hasil munas Jakarta, menilai, tenggang pelunasan yang diberikan pemerintah itu berpotensi merugikan negara. Menurut dia, pemerintah terlalu berbaik hati dengan memberikan skema pelunasan tersebut. Alasannya, kewajiban bayar Lapindo tertunggak sejak lama. ”Jika kebijakan itu bertujuan agar korban tidak berlama-lama menderita, saya kira itu keputusan positif,” katanya.

    Agus berharap pemerintahan Joko Widodo bisa bersikap tegas menuntut pengembalian dana negara kepada Lapindo. ”Untuk menghindari kerugian negara, pemerintah sebaiknya mengaudit kembali nilai aset para korban,” tandasnya. (owi/dyn/bay/c11/sof/jpc)

    Sumber: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/119354-lapindo-serahkan-9.900-sertifikat-tanah.html

  • Kalla claims controversial Lapindo bailout a win-win solution

    Kalla claims controversial Lapindo bailout a win-win solution

    After an allegation that the government’s decision to take over the Bakrie family’s liabilities in the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, was the result of a back room political deal, the government defended its decision on Friday saying that it would ultimately benefit all parties involved in the disaster.

    “Here’s why, the people [mudflow victims] are facing hardship. PT Minarak Lapindo Jaya could not pay [the compensation anymore], but it still has assets. Therefore, the government decided to give the loan first to calm the people down,” Vice President Jusuf Kalla said on Friday, referring to a firm controlled by the Aburizal Bakrie family, which had been deemed responsible for the disaster.

    Kalla, who served as Golkar Party chairman prior to the leadership of Aburizal Bakrie, said that the public should not debate on whether the government was losing money for the misbehavior of a greedy tycoon and should see the loan as part of a trade deal.

    “So the company has purchased 1,000 hectares of land [from the disaster victims]. That land is used as collateral for the government. The company is given four years [to settle the loan]. If it can’t payback the loan, the assets will be taken over by the state. So the state doesn’t give money for free,” Kalla said.

    On Thursday, President Joko “Jokowi” Widodo decided to bail out the family to settle the remaining compensation for the mudflow victims by providing a Rp 781 billion (US$62 million) loan to Minarak.

    The loan will enable the company to pay compensation that has not yet been received by thousands of victims of the mudflow.

    The decision has sparked debates over whether the government should spend more money to help ease the burden for the Bakrie family, after spending more than Rp 6 trillion of taxpayer money to handle the aftermath of the disaster.

    Kalla further defended the decision saying that the loan would ultimately benefit the state should the company fail to return the money.

    “If the mudflow stops, then the price of land will increase. And I can assure you that it will stop at one point,” he said. “If it doesn’t stop [in near future], then just wait for it. Maybe in the next five years or 10 years, [the mudflow will stop].”

    Even at its current price, the total price of the land is already much higher than the loan given, Kalla added.

    “The land is 1,000 hectares, or 10 million m2. If the current price is Rp 1 million per m2, then the price of the land is actually Rp 10 trillion,” he said.

    Besides benefiting the state and the victims, even the company itself would benefit from the scheme, the senior Golkar politician said.

    “The company will not lose money if five times the market price.” It pays back the loans now. They will get their money back. The victims are also happy because they are getting paid for their lands, Kalla said.

    Kalla also justified the government’s decision by pointing out that the Constitutional Court had ordered the state to force Lapindo to complete the compensation payments.

    Golkar deputy secretary-general Lalu Mara Satriawangsa, who is also an Aburizal’s confidant, applauded the government’s decision given that the Lapindo mudflow had been declared a national disaster.

    “The Bakrie family has helped local communities by buying their asset with a price higher than that of the market price. If there is some [financial] shortage, that is the fact,” he told The Jakarta Post.

    He said that the family has spent so much in the wake of the disaster, which begun in 2006 after a blowout of a natural gas well drilled by PT Lapindo Brantas.

    “The family has spent more Rp 8 trillion [for compensation], just compare this with the remaining Rp 750 billion that we have not paid,” Lalu Mara said.

    Political analyst Agung Baskoro of Jakarta-based Poltracking Institute, meanwhile, suggested that the government’s decision to bailout Lapindo was motivated by its increasing need of political support from Golkar, the leader of the opposition Red-and-White Coalition.

    “The government has currently been dealing with complicated issues, like fuel-price hikes and the weakening rupiah. They are in dire need to gain support from lawmakers,” he said.

    Hans Nicholas Jong and Hasyim Widhiarto

    Sumber: http://thejakartapost.com/news/2014/12/20/kalla-claims-controversial-lapindo-bailout-a-win-win-solution.html

  • Kejagung Belum Dapat Arahan Rencana Penyitaan Aset Lapindo

    Jakarta, GATRAnews – Kejaksaan Agung tengah menunggu koordinasi dari pemerintah untuk membahas soal eksekusi penyitaan aset PT Minarak Lapindo Jaya, jika perusahaan ini tidak mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar.

    “Ya kita tunggu dulu, kita belum dapat masukan dan perintah dari Pak Jaksa Agung. Kebijakan pemerintah, ya harus kita hormati,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, R Widyo Pramono di Jakarta, Jumat (19/12).

    Sampai dengan hari ini, Widyo megaku belum mengetahui ada tidaknya pertemuan antara Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan Kejaksan Agung untuk membahas hal itu. “Saya nggak tahu,” ucapnya.

    Meski demikian, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah ini berharap agar pemerintah terlebih dulu memberikan kesempatan kepada PT Minarak Lapindo Jaya untuk mengembalikan uang pemerintah sejumlah Rp 781 milyar tersebut.

    “Ya itu, janganlah pemerintah berbuat begitu ya, kita hormati saja dulu, kita tunggu perkembangan yang terbaik,” harap Widyo.

    Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menegaskan, pemerintah akan menyita aset PT Minarak Lapindo Jaya jika perusahaan milik Aburizal Bakrie itu tidak mengembalikan dana talangan dari pemerintah sebesar Rp 781 milyar dalam waktu 4 tahun.

    Pemerintah akan mengambil berbagai surat, termasuk sertifikat tanah atas lahan yang kini menjadi lautan lumpur sebagai jaminan PT Minarak Lapindo Jaya. Adapun nilai perusahaan ini ditaksir mencapai Rp 3 trilyun lebih.

    Menurutnya, PT Minarak Lapindo Jaya bisa kembali mendapatkan surat-surat dan aset jika bisa mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar dalam jangka 4 tahun.

    “Kalau mereka bisa melunasi Rp 781 milyar kepada pemerintah, maka itu akan dikembalikan ke Lapindo. Tapi kalau lewat 4 tahun, disita. Ini saya kira fair,” tandas Basuki.

    Pemerintah menggelontorkan dana talangan sejumlah Rp 781 milyar untuk memberikan kepastian kepada warga Jawa Timur yang terdampak lumpur setelah mereka nasibnya tidak jelas akibat PT Minarak Lapindo Jaya tidak memberikan ganti rugi atas tanah yang terdampak lumpur.

    Iwan Sutiawan

    Sumber: http://www.gatra.com/hukum-1/114252-kejagung-belum-dapat-arahan-rencana-penyitaan-aset-lapindo.html

  • Pengamat: Dana Talangan Kasus Lapindo Inkostitusonal

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto menilai keputusan pemerintah untuk menalangi sisa ganti rugi pembelian lahan warga yang terdampak lumpur Lapindo adalah tindakan yang inkonstitusional.

    “Kebijakan Pemerintah untuk memberikan dana talangan atas kasus lumpur Lapindo sebesar Rp781 miliar adalah kebijakan yang inkonstitusional. Kebijakan ini bisa menjadi blunder bagi Pemerintah Jokowi-JK,” katanya, Jumat (19/12).

    Suroto mengatakan jika memang perusahaan migas itu bangkrut dan tidak lagi memiliki kemampuan membayar semestinya tidak perlu mendapat dana talangan apa pun. Menurutnya praktik bailout atau dana talangan yang juga sering dilakukan pemerintah sebelumnya tidak memiliki payung hukum di Indonesia.

    “Kita tidak ingin kerusakan alam yang terjadi akibat ulah korporat kapitalis diselesaikan oleh negara dengan beban yang harus ditanggung bersama rakyat,” ujarnya.

    “Kita tidak ingin kemiskinan yang diakibatkan oleh pembagian hasil yang tidak adil dari perangai korporat kapitalis diselesaikan oleh negara. Kita juga tidak menginginkan negara yang harus tangani kondisi krisis ekonomi yang datang tiba-tiba akibat ulah spekulatif kaum kapitalis,” jelasnya.

    Ia menekankan konsepsi konstitusi Indonesia sudah jelas bahwa dalam rangka mendorong terwujudnya kesejahteraan rakyat itu, demokrasi ekonomi adalah sistemnya.

    “Setiap orang harus diberikan peluang yang sama secara partisipatorik dalam proses produksi, distribusi maupun konsumsi,” katanya.

    Ia mengatakan kebijakan konkret yang harus dilakukan dan relevan untuk itu adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat agar mereka dapat mengakses sumber daya dan turut berpartisipasi dan diberikan peluang untuk mengkreasi kekayaan dan pendapatan.

    Program konkretnya adalah demokratisasi ekonomi yang di dalamnya mencakup reforma agraria, reforma korporasi, pengembangan koperasi yang otonom dan mandiri, dan lain sebagainya.

    Konsep demokrasi ekonomi itu adalah konsep yang anti terhadap kapitalisme dan juga varian barunya seperti Negara Kesejahteraan (welfare state). “Konstitusi kita dan juga para pendiri republik ini menginginkan adanya pembebasan terhadap sistem kapitalisme yang menindas dan ekploitatif,” jelasnya.

    Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar.

    Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015. Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

    Dengan selesainya permasalahan ganti rugi itu, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dapat segera bekerja untuk mencegah meluasnya dampak di luar peta terdampak.

    Bayu Hermawan

    Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/19/ngu8ob-pengamat-dana-talangan-kasus-lapindo-inkostitusonal

  • Pemerintah Belum Pikirkan Sanksi untuk Lapindo

    JAKARTA – PT Minarak Lapindo Jaya akhirnya mengakui pada pemerintah tidak sanggup membayar utang ganti rugi pada warga korban luapan lumpur sebesar Rp 781 miliar.  Meski demikian, perusahaan tersebut tidak mendapat sanksi dari pemerintah. Hal ini disampaikan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di kompleks Istana Negara, Jakarta, Jumat (19/12).

    “Presiden tidak berpikir ke situ dulu. Masyarakat sudah menunggu. Fokus bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain terkait fairness dari Minarak Lapindo, kita pikirkan kemudian,” ujar Andi.

    Selain melakukan pembelian aset Lapindo, kata Andi, pemerintah juga tidak melupakan kewajiban untuk membayar Rp 380 miliar. Jumlah ini adalah kewajiban pemerintah sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penanganan Lapindo.

    “Pemerintah siap yang Rp 380 miliar yang jadi kewajiban pemerintah,” sambung Andi.

    Seperti diberitakan sebelumnya Pemerintah akan menalangi utang lapindo dengan membeli aset perusahaan tersebut sebesar Rp 781 miliar. Pembayaran utang Lapindo itu akan menggunakan pos BA99 (dana taktis) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun 2015. Meski ditalangi pemerintah Lapindo tetap harus melunasi kewajibannya itu. Sebab, pemerintah juga turut menyita seluruh aset Lapindo sebagai jaminan.

    Lapindo diberi waktu 4 tahun. Apabila perusahaan itu bisa lunasi hutangnya pada pemerintah, maka asetnya dikembalikan. Jika sudah melewati tenggat waktu tidak dibayar, aset-aset perusahaan itu akan disita. (flo/jpnn)

    Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/12/19/276518/Pemerintah-Belum-Pikirkan-Sanksi-untuk-Lapindo-

  • Jokowi Talangi Lapindo, dari Mana Dananya?

    TEMPO.CO, Surabaya – Presiden Joko Widodo menyetujui pembayaran sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo di 20 persen lahan yang masuk area peta terdampak. “Pak Presiden membicarakan solusi soal penanganan itu, dan pemerintah membelinya. Itu artinya pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk pembelian lahan dari peta terdampak ini,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo dalam rilis yang dikeluarkan Biro Protokol dan Humas Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Jumat, 19 Desember 2014.

    Pemerintah akan menalangi dengan cara memberikan ganti rugi kepada para korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015. Selain itu, pemerintah akan memberikan tenggang waktu empat tahun kepada PT Minarak Lapindo Brantas untuk melunasi dana talangan yang dikeluarkan pemerintah.

    Pemerintah akan mengambil aset milik PT Minarak berupa tanah dalam area peta terdampak jika tidak bisa mengembalikan talangan itu. “Dengan demikian, diharapkan masyarakat di area peta terdampak Porong memberikan keleluasaan kepada BPLS untuk melakukan pembenahan terhadap tanggul, karena itu menyangkut hal yang sangat penting,” ujar Soekarwo.

    Soekarwo menyatakan, pada musim hujan, lumpur Lapindo dikhawatirkan akan meluber dan membuat tanggul penahan jebol, sehingga membahayakan masyarakat. “Pemerintah Provinsi Jatim dan Kabupaten Sidoarjo menyampaikan terima kasih kepada Presiden karena telah mengambil keputusan penting demi kepentingan masyarakat Porong.”

    Pertemuan itu dihadiri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Sosial Khofifah, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Soelarso, dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.

    Lapindo berkewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 781 miliar kepada warga dan Rp 500 miliar kepada pengusaha. Namun perusahaan itu menyatakan tak sanggup membayar.

    Kementerian PU bersama BPLS, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta Pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan membicarakan masalah ganti rugi itu. Rapat itu merekomendasikan pemerintah akan menalangi sisa pembayaran ganti rugi Lapindo sebesar Rp 781 miliar dengan menggunakan APBN. Keputusan itu dilakukan saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/19/078629689/Jokowi-Talangi-Lapindo-Dari-Mana-Dananya?

  • In surprise move, govt bankrolls Bakries in Lapindo disaster

    The government has finally agreed to go another extra mile to bail out the powerful Bakrie family to settle the remaining compensation for victims of the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java.

    Public Works and Housing Minister Basuki Hadimuljono confirmed on Thursday that the government would provide a Rp 781 billion (US$62 million)-loan to PT Minarak Lapindo Jaya, a firm controlled by the family that is handling the disaster.

    “Lapindo said that it could not pay the compensation by buying the land [owned by the disaster victims]. So it was decided that the government would lend them to buy it,” said Basuki at the State Palace.

    “The company will be given four years to settle the loan, or we will seize their assets [land in the affected area].”

    Basuki, a career bureaucrat, explained that the loan would be taken from the strategic fund allocated in next year’s state budget.

    He said that he had already called Nirwan Bakrie, who represented the family in dealing with the disaster, and that the family had agreed to the loan settlement plan.

    The family’s scion, Aburizal Bakrie, who is also Golkar Party chairman, has enjoyed government assistance between 2007 and 2014 related to the Lapindo disaster, which many believe was caused by drilling conducted by Lapindo, the family’s firm, in 2006.

    Former president Susilo Bambang Yudhoyono’s administration allocated more than Rp 6 trillion to compensate villagers living in the vicinity of the so-called “affected area map”, which was legalized via a presidential decree in 2007.

    Yudhoyono established the Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) to handle and control the mud eruption, relocate people, recover infrastructure and supervise Lapindo in handling compensation for villagers in the affected area.

    Such generous financial protection for the Bakries was among the reasons Golkar helped the Yudhoyono government remain stable in the face of nationwide protests at the president’s generosity to the conglomerate.

    Golkar is now the second biggest party, after the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), which supports President Joko “Jokowi” Widodo. Jokowi and the PDI-P have been trying to lure Golkar to join their coalition and form a majority in the House of Representatives, but to no avail.

    Cabinet Secretary Andi Widjajanto said that the decision to award the loan was entirely based on the government’s commitment to help the victims, who had been left in limbo for eight years.

    He also said that the government had yet to mull any sanctions against Lapindo for its inability to pay the compensation.

    “The President has yet to consider [the sanctions] as the people have already been waiting for the compensation,” said Andi.

    A Constitutional Court ruling issued earlier this year ordered the government to force Lapindo to complete the compensation payments.

    Ina Parlina

    Sumber: http://thejakartapost.com/news/2014/12/19/in-surprise-move-govt-bankrolls-bakries-lapindo-disaster.html

  • Pelipur Lara di Pusaran Lumpur Lapindo

    KOMPAS.com – DELAPAN tahun sudah lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menyembur. Sekitar 700 hektar areal permukiman, pabrik, perladangan, dan sawah tenggelam oleh lumpur yang hingga kini masih menyembur. Solusi belum juga ada.

    Padahal, beragam persoalan yang muncul bersama semburan lumpur Lapindo tak hanya dialami penduduk sekitar. Pergerakan ekonomi di Jawa Timur sempat melambat, bahkan hingga sekarang belum sepenuhnya pulih. Rel kereta api yang melintas di Jalan Raya Porong terus ditinggikan agar moda transportasi menuju Malang hingga Banyuwangi lancar.

    Waktu tempuh berbagai moda transportasi yang melintas di wilayah Porong cenderung dua atau bahkan tiga kali lipat dari sebelum lumpur menyembur pada 2006. Waktu tempuh Surabaya-Banyuwangi dengan mobil pribadi, yang pada kondisi normal 7 jam, kini 10 jam, bahkan saat tertentu hingga 15 jam. Kehadiran jalan tol baru Porong-Pandaan sejak 2013 baru bisa mempersingkat waktu tempuh dari Surabaya ke Malang.

    Luberan lumpur Lapindo ke berbagai penjuru yang dihadang cuma dengan tanggul setinggi 12 meter itu tak hanya menggerogoti perekonomian provinsi berpenduduk 41,4 juta jiwa tersebut, tetapi juga menasional. Apalagi pemilik pabrik di Pandaan, Pasuruan, Probolinggo, hingga Banyuwangi ketika Jalan Raya Porong macet berjam-jam karena lumpur panas menggenangi jalan. Akibatnya, arus barang masuk dan keluar terhambat.

    Pemodal asing pun sempat ingin hengkang ke negara lain, seperti Vietnam, jika jalan tol Porong-Pandaan tak segera terealisasi. Niat angkat kaki dari Jawa Timur, provinsi yang dianggap paling aman dan nyaman untuk berinvestasi, batal dengan beroperasinya jalan tol Porong- Pandaan sejak 2013. Tol ini menjadi jalur utama ke selatan Jawa Timur, sedangkan ke timur tetap melalui Jalan Raya Porong.

    Semburan lumpur Lapindo menimbulkan kerugian setiap tahun sekitar Rp 260 triliun, atau sekitar Rp 500 miliar per hari, dari pendapatan perdagangan dan industri. Kerugian begitu besar karena sekitar 30 persen produk domestik regional bruto Jawa Timur sumbangsih dari perdagangan dan industri.

    Hampir 60 persen sektor perdagangan dan industri berada di wilayah Pasuruan, Malang, dan Blitar, yang dalam ekspor mengandalkan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Artinya, ruas jalan Porong menjadi poros utama menuju Surabaya. Menurut pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Kresnayana Yahya, kerugian itu akibat stagnasi nilai barang dan sebagian biaya lain seperti kehilangan pekerjaan, transportasi, dan unsur psikis yang justru tak ternilai. Apalagi, secara riil lumpur tidak hanya mengubur tempat usaha, tetapi tanah berikut ribuan rumah dan bangunan ikut tenggelam.

    Memang betul: meski lumpur Lapindo belum ada solusi, kata Daniel M Rosyid, pakar transportasi dari ITS, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur relatif bagus. Kendati demikian, pertumbuhan baik, perencanaan kurang fokus, sehingga kesenjangan wilayah masih buruk. Pembangunan masih eksklusif, bahkan meninggalkan kawasan tertentu, termasuk pesisir dan pulau kecil seperti Bawean di Gresik dan Sumenep di Pulau Madura.

    Pemerintah Provinsi Jawa Timur belum mampu membenahi transportasi umum antarkota dan antardesa sehingga masyarakat cenderung memakai kendaraan pribadi. Jalan makin sesak. Bahkan, terkait pendidikan, kata Daniel, warga muda Jawa Timur tidak memiliki bekal dengan kompetensi memadai untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tinggal sekejap mata.

    Pendidikan nirformal pun kurang dikembangkan untuk menyediakan tenaga terampil besertifikat sehingga inovasi minim. ”Pengambilan keputusan dan kebijakan kurang memanfaatkan peran Badan Penelitian dan Pengembangan Jawa Timur. Lembaga ini masih dianggap sebelah mata. Akibatnya, daya saing Jawa Timur melalui inovasi tidak bertambah dibandingkan dengan provinsi pesaing seperti Kalimantan Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, padahal sumber daya manusia sangat luar biasa, baik kuantitatif maupun kualitatif,” kata Daniel.

    Bergerak cepat

    Dalam situasi serba tak jelas kapan lumpur berhenti menyembur, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas justru terpacu mencari alternatif agar kabupaten itu tidak kian dilupakan. ”Kerja cepat, terutama untuk operasional bandara karena kehadiran bandara mampu mempercepat pergerakan ekonomi, terutama investasi dan pariwisata, butuh mobilitas yang cepat,” kata Anas.

    Gerak cepat dilakukan karena dengan pesawat udara, waktu tempuh Surabaya-Banyuwangi cukup 45 menit. ”Dulu mau ke Banyuwangi berpikir lama di jalan, naik kereta api atau mobil. Bagaimana mau ajak pemilik modal ke Banyuwangi? Persoalan makin berat ketika lumpur Lapindo,” kata Anas.

    Dalam waktu singkat, Anas pun pontang-panting meyakinkan maskapai penerbangan, juga Kementerian Perhubungan, agar penerbangan segera dibuka ke Banyuwangi, daerah paling timur di Pulau Jawa. Semua penerbangan dari awal sampai sekarang nihil APBD, tak ada subsidi. Pola ini berbeda dengan bandara lain yang baru dibangun dan maskapai disubsidi daerah agar mau terbang ke daerah itu.

    Dia juga menyusun strategi agar daerahnya makin menggeliat. Investasi dan wisata dipacu sehingga perkembangan penumpang pesawat di Bandara Blimbingsari Banyuwangi makin menjanjikan. Bandara menjadi salah satu gerbang pembuka kemajuan di kabupaten berjulukan Matahari Terbit Jawa itu.

    Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memainkan sejumlah strategi untuk menggeliatkan daerahnya. Infrastruktur saban tahun dibangun atau diperbaiki sepanjang 300 kilometer dengan mengajak masyarakat dan dunia usaha karena tak cukup mengandalkan APBD.

    ”Pemerintah daerah menyiapkan aspal dan peralatan, masyarakat gotong royong dan secara sukarela menyediakan konsumsi saat pengerjaan. Peran dunia usaha, membantu honor pekerja,” kata Anas. Hasilnya hingga kini jalan rusak sekitar 70 kilometer.

    Banyuwangi pun kian tersohor hingga ke penjuru dunia. Obyek wisata yang begitu memesona, yang selama ini tak tersentuh, kini dibuka akses jalan dan dilengkapi sarana dan prasarana, termasuk mendidik warga setempat terbuka kepada pendatang, terutama turis. Penduduk dilatih bisa memasak dan mengembangkan usaha sesuai keterampilan masing-masing sehingga ekonomi warga ikut terdongkrak.

    Sepak terjang Anas mengangkat Banyuwangi dengan berbagai program, termasuk menggelar sedikitnya 30 agenda festival secara rutin setiap tahun di Banyuwangi, dengan lokasi tersebar hingga ke tingkat kecamatan, mendapat pengakuan dari Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake. Ketika bermalam tiga hari di Banyuwangi, merayakan Thanksgiving sekaligus menyaksikan Banyuwangi Ethno Carnival, Blake mengungkapkan betapa cantik dan bersahabat Banyuwangi.

    Anas pun tak lantas berhenti menaikkan pamor daerahnya. Dengan berbagai langkah, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sedang menyusun strategi untuk bisa ”mencegat” wisatawan yang hendak ke Bali melalui jalur darat, yang berjumlah jutaan orang setiap tahun.

    ”Banyuwangi akan buat kiat bagaimana turis yang akan ke Pulau Dewata merogoh kantongnya di Banyuwangi minimal Rp 500.000 per orang dengan berbelanja suvenir atau makan khas daerah ini,” kata Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Jawa Timur ini.

    Padahal, kekuatan Jawa Timur tidak hanya Banyuwangi dan Surabaya dengan berbagai inovasi menjadi kota modern tanpa mengabaikan yang tak mampu. Ada 36 kabupaten dan kota dengan problem dan keunggulan khas.

    Jawa Timur tak hanya kaya dengan minyak dan gas, tetapi juga berkembang di sektor pertanian dan peternakan serta industri. Surplus gula 500.000 ton, beras sekitar 3,4 juta ton dari produksi 7,8 juta ton per tahun, produksi sapi potong setiap tahun 1,3 juta ekor dan konsumsi penduduk 560.000 ekor, sehingga ada 800.000 sapi, jadi Jawa Timur tak butuh topangan daerah lain. Jawa Timur pun tertutup bagi produk pangan impor, termasuk gula, sapi, dan beras, karena memang mengalami surplus meski sudah menopang kebutuhan nasional.

    Agnes Swetta Pandia

    Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/19/14285581/Pelipur.Lara.di.Pusaran.Lumpur.Lapindo

  • Ketinggian Lumpur Mencapai 50 Cm

    Dua Lansia Menolak Dievakuasi

    SIDOARJO – Puluhan rumah di RT 10, RW 2, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, tampak melompong Rabu (17/12). Desa di sisi selatan Sungai Ketapang itu ditinggal penghuninya mulai Selasa malam (16/12).

    Penyebabnya, tingginya curah hujan membuat tanggul lumpur di titik 73B Desa Kedungbendo jebol. Akibatnya, aliran lumpur masuk ke rumah-rumah warga hingga ketinggian 50 sentimeter.

    Jebolnya tanggul lumpur di titik 73B itu tidak hanya menenggelamkan Desa Gempolsari. Dua desa lain, yakni Kalitengah dan Kedungbendo, juga terendam.  

    Semua warga diminta mengungsi ke balai desa. Namun, tidak semua warga mau dievakuasi. Suwadi, 80, dan Suniakah, 85, menolak meninggalkan rumah mereka. Hingga kemarin, pasangan lansia itu bertahan di rumah yang terendam lumpur setinggi lutut orang dewasa.

    ’’Kulo teng mriki mawon. Tunggu omah (Saya di sini saja. Menjaga rumah, Red),’’ kata Suniakah saat diminta mengungsi oleh tim tagana kemarin sore.

    Suwadi mengatakan, dirinya dan istri sudah beberapa kali tinggal di pengungsian. Namun, selama di sana dia merasa tidak nyaman. Suwadi tidak bisa melakukan aktivitas seperti mencari rumput untuk kambing-kambingnya.

    Selain itu, Suwadi takut rumahnya benar-benar ditenggelamkan lumpur saat ditinggal. Sebab, selama ini setiap lumpur masuk ke rumah, dia dan istri mengeluarkannya dengan sapu dan alat pel.

    ’’Saya keluarkan sedikit-sedikit. Kalau didiamkan, nanti rumahnya bisa amblas,’’ ujar Suwadi.

    Saat ini rumah Suwadi dan Suniakah menjadi satu-satunya rumah di RT 5, RW 6, Desa Kalitengah, yang masih ada. Kiri-kanan hunian mereka merupakan lahan kosong bekas rumah dirobohkan yang sudah lama ditinggal pemiliknya.

    Akses masuk ke rumah Suwadi juga terbilang sulit. Jalan setapak berupa galengan menjadi satu-satunya akses menuju rumah itu.

    Karena rumah terendam lumpur, mereka sulit ke mana-mana. Sepanjang hari, Suniakah lebih banyak menghabiskan waktu di ranjang. Sesekali dia pergi ke teras untuk mengeluarkan lumpur dari dalam rumah.

    Sementara itu, Suwadi juga sulit beraktivitas seperti biasa. Selain menemani sang istri, sesekali Suwadi memberi makan kambing-kambingnya.

    Suwadi mengatakan, selama dua hari terakhir banyak orang yang berkunjung ke rumahnya. Sebagian besar datang untuk membujuk Suwadi dan Suniakah agar mau mengungsi. Namun, semua tawaran itu ditolak.

    Menurut Suwadi, dirinya dan istri mau angkat kaki setelah mendapat ganti rugi atas rumah yang terendam lumpur. Dia menyatakan selama ini baru mendapat ganti rugi sebesar 20 persen.

    ’’Kalau sudah punya rumah baru, ya mau pindah. Kalau sekarang tidak punya rumah, mau pindah ke mana?’’ katanya.

    Meski bertahan di rumah, Suwadi dan Suniakah tidak pernah luput dari perhatian. Mereka tetap mendapat fasilitas layaknya warga yang mengungsi di Balai Desa Gempolsari. Misalnya, selimut, matras, dan logistik. ’’Kalau makan, ada yang mengantar tadi,’’ kata Suwadi.

    Sementara itu, kondisi Kantor Balai Desa Gempolsari tampak ramai kemarin. Kantor pemerintah desa tersebut dipadati para pengungsi dari RT 10, RW 2, Desa Gempolsari. Total ada 99 orang dari 24 kepala keluarga yang tinggal di 21 rumah.

    Semua perlengkapan evakuasi memang sudah lama disiapkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo. Setiap keluarga diberi satu matras. Setiap pengungsi juga mendapat selimut dan logistik.

    Meski demikian, suasana pengungsian tetap tidak senyaman rumah sendiri. Anggi Maulana mengatakan sudah tidak betah tinggal di pengungsian. Menurut siswa kelas V SDN Gempolsari itu, suasana di kantor balai desa terlalu ramai sehingga dirinya sulit belajar. ’’Berisik. Jadi tidak konsentrasi,’’ ucapnya.

    Sebagaimana diberitakan, lumpur menggenangi Desa Gempolsari dan Desa Kalitengah setelah tanggul titik 73B Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, jebol pada 31 November 2014. Tanggul tersebut jebol sepanjang empat meter.    

    BPLS berencana membangun tanggul baru yang menghubungkan tanggul titik 67 Desa Gempolsari dan titik 73 di Desa Kedungbendo.

    Tanggul baru itu nanti sepanjang 1,7 kilometer dengan ketinggian 5 meter. Sedangkan lebar tanggul 15 meter.

    Selama pengerjaan tanggul baru, BPLS telah menanggul sementara di titik 73 B. Tanggul tersebut juga dilengkapi sandbag dan sesek (anyaman bambu) untuk menghalau lumpur agar tidak mengalir ke timur (Desa Gempolsari).

    Sayangnya, hujan deras yang mengguyur Kota Delta Selasa malam (15/12) mengakibatkan tanggul sementara itu ambles. Akibatnya, aliran lumpur mengalir deras ke Desa Gempolsari. (rst/c7/c4/ib)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/10431/Ketinggian-Lumpur-Mencapai-50-Cm

  • Pemerintah Akhirnya Talangi Utang Lapindo Rp 781 Miliar

    Pemerintah Akhirnya Talangi Utang Lapindo Rp 781 Miliar

    kompas basuki konpers

    JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah akhirnya menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar dalam proses ganti rugi tanah korban semburan lumpur di dalam area terdampak. Hal ini diputuskan setelah Lapindo menyatakan tak lagi mampu membayar.

    “Sisanya Rp 781 miliar, Lapindo menyatakan tidak ada kemampuan untuk beli tanah itu. Akhirnya diputuskan pemerintah akan beli tanah itu,” ujar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono di Istana Kepresidenan, Kamis (18/12/2014).

    Pembayaran utang Lapindo itu akan menggunakan pos BA99 (dana taktis) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun 2015. Meski ditalangi pemerintah, Basuki menuturkan, Lapindo tetap harus melunasi kewajibannya itu. Sebab, pemerintah juga turut menyita seluruh aset Lapindo sebagai jaminan.

    “Lapindo diberi waktu 4 tahun, kalau mereka bisa lunasi Rp 781 miliar kepada pemerintah, maka itu dikembalikan ke Lapindo. Kalau lewat, maka disita,” ungkapnya.

    Menurut dia, keputusan ini juga telah disepakati oleh CEO Lapindo Brantas Nirwan Bakrie. Basuki hari ini sudah mengontak langsung Nirwan melalui sambungan telepon. Skenario pelunasan utang ini pun akhirnya disepakati kedua belah pihak. “Tinggal di-follow up ke jaksa agung,” ucap Basuki.

    Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan alasan pemerintah yang akhirnya turun tangan membayarkan utang Lapindo. Menurut Andi, ini tak lain karena ketidakjelasan yang dialami masyarakat selama 8 tahun. Menurut Andi, warga butuh kepastian dan negara harus hadir pada saat seperti itu.

    Andi mengatakan, pemerintah juga belum berpikir untuk menjatuhkan sanksi terhadap Lapindo akibat ketidakmampuannya membayar utang tersebut.

    “Presiden tidak berpikir, rakyat sudah menunggu. Fokus bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain terkait fairness dari Minarak Lapindo, kita pikirkan kemudian,” kata dia.

    Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang turut ikut dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo menyambut keputusan pemerintah itu. Menurut dia, dengan adanya pelunasan utang Lapindo oleh pemerintah, maka tindakan pembenahan tanggung oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) bisa dilakukan.

    “Ini keputusan bagus kementerian, peta terdampak berikan satu keleluasaan untuk pembenahan tanggul. Ini penting karena kalau luber akan jebol,” ujar pria yang akrab disapa Pakde Karwo itu.

    Sabrina Asril

    Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/18/1912022/Pemerintah.Akhirnya.Talangi.Utang.Lapindo.Rp.781.Miliar

  • Tanggul Lumpur Lapindo Jebol Lagi, Puncak Hujan Mengancam

    SIDOARJO, KOMPAS.com — Untuk kedua kali, dalam pekan ini, tanggul penahan lumpur Lapindo di titik 73B Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jebol akibat diguyur hujan deras. Apabila hal ini tidak segera ditanggulangi, puncak musim hujan yang akan mulai awal Januari hingga Februari 2015 akan mengancam puluhan ribu warga.

    Pemantauan Kompas, Rabu (17/12/2014), menunjukkan, banjir lumpur semakin parah, mengalir ke permukiman warga di dua desa terdampak. Warga kembali mengungsi demi keselamatan dan kenyamanan mereka.

    ”Saya tak tahu persis kapan tanggul jebol lagi. Yang jelas hari Rabu ini, sewaktu melihat tanggul, kondisinya sudah berantakan. Mungkin karena diguyur hujan Selasa siang hingga petang kemarin,” ujar Warsito (45), warga Desa Kedungbendo, di Sidoarjo, Rabu.

    Lokasi tanggul yang bobol kali ini berada di sebelah selatan jebolan pada Minggu lalu. Lebar jebolan baru itu sekitar 3 meter dan menambah panjang yang lama, yang untuk sementara ditutup sesek (anyaman bambu) dan karung pasir. Material perbaikan darurat itu pun porak poranda tersapu aliran lumpur yang keluar dari tanggul yang jebol.

    Akibatnya, rumah warga di Desa Gempolsari dan Kalitengah kembali terendam banjir. Ketinggian air meningkat dibandingkan dengan banjir lumpur pada Selasa malam lalu. Material lumpur yang terbawa air juga semakin pekat.

    ”Sekarang ketinggian air bercampur lumpur sudah 1 meter lebih di dalam rumah. Padahal, sebelumnya tinggi banjir hanya 40 sentimeter hingga 80 sentimeter di dalam rumah dan 1 meter di luar rumah,” ujar Solihin (40), warga Gempolsari, saat ditemui di rumahnya.

    Lumpur yang keluar dari tanggul yang jebol tersebut juga mengalir ke Sungai Ketapang karena sempadan sungai ambrol di beberapa titik. Volume air di sungai pun terus bertambah hingga menyentuh permukaan dan meluber di beberapa tempat.

    Melihat banjir yang kian tinggi, warga Gempolsari dan Kalitengah memutuskan kembali mengungsi di Balai Desa Gempolsari. Mereka mengkhawatirkan keselamatan jiwanya.

    ”Sampai kapan kami harus hidup dikejar-kejar lumpur seperti ini. Harta benda habis dan rumah juga makin lapuk, temboknya terendam banjir,” kata Askanah (65), warga yang mengungsi.

    Bertahan

    Kepala Desa Gempolsari Abdul Haris mengatakan, jumlah pengungsi mencapai 100 orang yang didominasi kaum ibu, warga lanjut usia, dan anak-anak. Malam hari mereka berkumpul di pengungsian dan pada siang hari beraktivitas biasa seperti bekerja atau membersihkan rumah.

    ”Kendati begitu, masih ada yang nekat bertahan di rumahnya yang sudah terkepung banjir lumpur. Alasannya, mereka menunggu rumah, takut barangnya hilang,” kata Haris.

    Pasangan Suwadi (85) dan Saniakah (65), misalnya, meminta pembayaran ganti rugi dilunasi terlebih dahulu agar mereka bisa pindah ke tempat yang lebih layak huni.

    Bupati Sidoarjo Saiful Illah berencana menemui Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Dia akan menunjukkan foto kondisi warga korban lumpur yang menderita dan tanggul yang kritis.

    ”Saya akan ke Jakarta dipanggil Presiden Jokowi. Akan saya sampaikan semua keluhan warga agar pelunasan ganti rugi segera terselesaikan,” ujar Saiful.

    Puncak hujan Januari

    Kepala Kelompok Analisis dan Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Juanda, Surabaya, Taufik Hermawan mengatakan, rata-rata hujan di Sidoarjo terjadi pada siang atau malam hari. Intensitasnya termasuk ringan hingga sedang. Curah hujan ringan rata-rata 1-5 milimeter (mm) per jam atau 5-20 mm per hari.

    ”Curah hujan masuk dalam kategori sedang apabila 5-10 mm per jam atau 20-50 mm per hari. Lama hujan rata-rata 20-60 menit. Kecuali beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Pulau Bawean, lama hujan bisa 3-4 jam,” tutur Taufik.

    Puncak musim hujan yang ditandai dengan hujan lebat dan sangat lebat akan terjadi mulai awal Januari hingga Februari 2015. Saat itu, rata-rata curah hujan mencapai 20 mm per jam atau 100 mm per hari.

    Taufik mengingatkan, hujan lebat berpotensi terjadi karena ada pengaruh tidak langsung dari siklon tropik Hagupit di Filipina yang mengakibatkan terjadi konvergensi awan di langit Jawa Timur. Konvergensi akan memicu pertumbuhan awan hujan yang sangat banyak.

    Hujan yang terus turun bisa menyengsarakan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Ada sekitar 40.000 warga yang terancam banjir dari kolam lumpur Lapindo, terutama saat puncak musim hujan.

    Apalagi, sejumlah titik tanggul kini rawan jebol, sementara antisipasi bencana masih minim. (NIK/ANG/DIA)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/12/18/16064201/Tanggul.Lumpur.Lapindo.Jebol.Lagi.Puncak.Hujan.Mengancam