Tag: perpres 48/2008

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Oleh: Anton Novenanto

    (Bagian terakhir dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan di sini)

    BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR Sidoarjo, atau BPLS adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur Lapindo melalui penerbitan Perpres 14/2007 pada 8 April 2007. Pembentukan BPLS menunjukkan betapa spesialnya kasus Lapindo dibandingkan bencana lingkungan lain di Indonesia. BPLS merupakan representasi negara dalam kasus Lapindo yang masih bekerja sampai saat ini.

    Secara garis besar, tugas BPLS tidak berbeda dengan Timnas: menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial dan infrastruktur (Perpres 14/2007, Pasal 1, Ayat 2). BPLS berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya itu kepada Presiden (Pasal 1 Ayat 3), namun segala arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Dewan Pengarah BPLS (Pasal 3 Ayat 1), bukan oleh Presiden. Ada perbedaan struktur pengorganisasian BPLS jika dibandingkan dengan Timnas yang berada di bawah supervisi yang diketuai Menteri ESDM. Dewan Pengarah BPLS diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum, Menteri ESDM hanya duduk sebagai anggota dewan tersebut. Struktur semacam ini menandai hal yang substansial dalam orientasi agenda kerja BPLS yang lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur; bandingkan dengan orientasi penanganan kecelakaan industri migas yang dilakukan Timnas (lihat tulisan sebelumnya).

    Perubahan itu dapat juga dilacak dalam peraturan perundangan yang melandasi Perpres 14/2007. Landasan hukum Keppres 13/2006 orientasinya adalah ‘industri migas’, sementara landasan hukum Perpres 14/2007 adalah ‘manajemen tata ruang’. Perpres 14/2007 disusun dengan ‘mengingat’ UU Tata Ruang No 24/2007, UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, UU Migas No. 22/2001, UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 jo UU No. 8/2005. Dengan demikian, seperti halnya Timnas, BPLS tidak sedang dibentuk atas logika ‘penanganan bencana’. Pada bagian ini, kita akan menelusuri bagaimana negara (c.q. BPLS) berperan untuk melebarkan bencana pembangunan dengan memfokuskan diskusi pada proses pemindahan penduduk secara paksa.

    Salah satu klausul penting Perpres 14/2007 adalah ihwal pembagian tanggung jawab penanganan masalah sosial kemasyarakatan antara pemerintah dan Lapindo. Perpres mengatur bahwa Lapindo ‘hanya’ bertanggung jawab untuk ‘membeli tanah dan bangunan’ warga yang termasuk dalam Peta 22 Maret 2007 (Pasal 15, Ayat 1) dan tanggung jawab atas wilayah di luar peta tersebut ‘dibebankan pada APBN’ (Pasal 15, Ayat 3). Perpres juga mengatur tentang pembagian kewajiban penanganan fisik antara Lapindo (yang dibebani biaya penanggulangan semburan lumpur dan pembuangan lumpur ke Kali Porong; Pasal 15, Ayat 5) dan pemerintah (yang menanggung biaya relokasi infrastruktur; Pasal 15, Ayat 6). Hingga kini, tidak pernah jelas dasar hukum dari pembagian tanggung jawab semacam itu.

    Hingga tulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahan atas Perpres 14/2007 melalui penerbitan peraturan presiden baru, yaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 September 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011 (Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan 8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Jika kita melihat struktur peraturan perundangan yang melandasi penerbitan revisi Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan bahwa revisi tersebut dilandasi oleh peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, a.l.: UU Keuangan Negara (17/2003), UU Perbendaharaan Negara (1/2004), UU APBN (2008, 2009, 2011, 2012, dan 2013). Hal semacam itu dapat dilihat dalam konteks bahwa revisi atas Perpres 14/2007 melibatkan penambahan biaya kompensasi untuk membeli wilayah ‘di luar peta’ yang juga harus dikosongkan akibat degradasi lingkungan yang akut. Pengosongan suatu wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Yang tak kalah menarik adalah, tentu saja, reduksi kewajiban Lapindo untuk membiayai upaya penanggulangan semburan dan pembuangan lumpur ke Kali Porong. Hal itu disampaikan dalam Perpres 40/2009 yang menghapus seluruh Pasal 15 Ayat 5, dan menambahkan upaya-upaya itu dalam Pasal 15 Ayat 6. Perpres 40/2009 juga menambahkan satu ayat yang berbunyi:

    Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN. (Pasal 15 Ayat 7)

    Dengan demikian, sejak Perpres 40/2009 keluar seluruh biaya penanggulangan lumpur Lapindo ditanggung pemerintah. Mengacu penggalan-penggalan data yang tersaji acak di website BPLS (bpls.go.id), dan Nota Keuangan APBN (Perubahan), kita bisa mengalkukasi secara sederhana jumlah dana yang dianggarkan pemerintah terkait penanganan lumpur Lapindo, yang sejak 2007 sampai 2015 secara akumulatif mencapai nilai Rp 11,72 trilyun (lih. Tabel 1). Anggaran tersebut disalurkan, terutama, melalui BPLS, dan ini berarti negara telah mengambil perannya dalam kasus Lapindo. Negara berperan aktif sebagai aktor utama yang mengatur: a) pembagian kewajiban penanganan bencana antara Lapindo dan pemerintah (Perpres 14/2007); b) mereduksi kewajiban Lapindo tersebut (Perpres 40/2009); dan c) mengambil alih kewajiban perusahaan dan membebankannya pada APBN. Yang paling kontroversial tentunya adalah peran negara sebagai legitimator pemindahan paksa penduduk dengan cara menerbitkan peta-peta baru, seperti yang akan kita bahas setelah ini.

    Tabel 1. APBN untuk Lapindo
    Tabel 1. APBN untuk Lapindo

    ***

    TIMNAS MENAMAI PETA 22 Maret 2007 dengan ‘peta area terdampak’. Baik representasi Lapindo ataupun aparatus negara akan selalu merujuk pada istilah tersebut peta itu bila sedang berbicara tentang area ‘terdampak’ lumpur Lapindo. Secara naif, mereka menyebut wilayah di luar peta 22 Maret bukan sebagai ‘area terdampak’ lumpur Lapindo, hanya ‘tak layak huni’. Sekalipun beda istilah, praktik yang terjadi di lapangan tetap sama: pemindahan penduduk dari hunian mereka secara paksa, dan proses itu dilegitimasi dengan peta baru yang menjadi lampiran revisi atas Perpres 14/2007.

    ‘Wilayah 3 Desa’ – Revisi pertama atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 48/2008 (17 Juli 2008), mengatur tentang penambahan wilayah baru yang harus dikosongkan untuk kebutuhan pembangunan tanggul dan saluran pembuangan sampai Kali Porong. Istilah yang populer untuk menyebut wilayah tersebut adalah ‘wilayah 3 Desa’ merujuk pada 3 (tiga) desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) di Kecamatan Jabon. Mekanisme yang diterapkan bagi para penduduk ketiga desa tersebut adalah seperti yang berlaku pada penduduk ‘dalam peta’, jual beli tanah dan bangunan. Hanya saja pembelinya bukan lagi Lapindo, tapi pemerintah. Nilai tukar aset bagi wilayah ini mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh Lapindo (Pasal 15b Ayat 6), atau yang jamak disebut ‘harga Lapindo’.

    Perpres 48/2008 juga mengatur bahwa status tanah dan bangunan yang dibeli tersebut akan menjadi ‘Barang Milik Negara’ (Pasal 15c Ayat 1) yang dikelola oleh Menteri Keuangan dan digunakan oleh BPLS (Pasal 15c Ayat 2). Akan tetapi, dalam proses jual beli aset di wilayah ‘3 Desa’ tersebut PP Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum No. 36/2005 jo PP 65/2006 tidak berlaku (Pasal 15b Ayat 4) yang ini menunjukkan ketidakjelasan landasan hukum dan tujuan pembelian tanah tersebut. Untuk memperjelas wilayah mana saja yang harus dikosongkan, sebuah peta baru dibuat oleh BPLS. Pengosongan wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Berdasarkan data yang tersaji di website BPLS, terdapat 1.804 berkas klaim masuk dari wilayah ‘3 Desa’ tersebut. Sampai Desember 2012, 1.793 berkas dinyatakan sudah lolos verifikasi dengan nilai tukar total mencapai Rp 627,78 milyar dan 1.768 berkas sudah lunas dibayar (senilai Rp 511,32 milyar). Beberapa berkas yang bermasalah, sehingga tidak lolos verifikasi, dipicu oleh sengketa tanah seputar kepemilikan dan juga jenis tanah (sawah atau pekarangan). Selain itu, persoalan tanah komunal (seperti, tanah kas desa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial) juga menyisakan pertanyaan pada siapakah yang berhak atas kompensasi mengingat penduduk tercerai-berai di hunian barunya.

    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)
    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)

    ‘Wilayah 9 RT’ – Revisi kedua atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 40/2009 (23 September 2009) mencantumkan wilayah baru yang dimasukkan sebagai area ‘tidak layak huni’. Wilayah ini kemudian populer dengan sebutan ‘wilayah 9 RT’, mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) di tiga desa (Siring, Jatirejo, dan Mindi) yang terkena dampak deformasi tanah dan munculnya semburan gas berbahaya (Pasal 15b Ayat 1a). Wilayah ‘9 RT’ harus dikosongkan segera dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 15b Ayat 8), dan bagi penduduknya pemerintah akan memberi bantuan sosial (uang kontrak rumah, tunjangan hidup, dan biaya evakuasi) (Pasal 15b Ayat 9).

    Perpres 40/2009 tidak menyebutkan tentang hak warga untuk menerima kompensasi atas tanah dan bangunan mereka. Warga hanya diminta untuk segera mengosongkan wilayah tersebut. Kompensasi bagi warga di wilayah ini baru diatur dalam Perpres 68/2011 tentang perubahan ketiga atas Perpres 14/2007 (27 September 2011). Mekanisme kompensasi yang berlaku tetap sama, jual beli tanah dan bangunan (Pasal 15b Ayat 3), penghitungan nilai kompensasi juga disamakan dengan wilayah sebelumnya. Dan pada bulan Oktober 2011, BPLS merilis sebuah peta baru yang mencantumkan ‘wilayah 9 RT’. Data di website BPLS menyebutkan bahwa dari total 789 berkas klaim ‘wilayah 9 RT’ yang masuk, 769 berkas telah lolos verifikasi (senilai Rp 436,80 milyar). Pada Desember 2012, sejumlah 757 berkas (Rp 376,07 milyar) sudah terbayar. Sisanya masih bermasalah pada hal yang sama, a.l.: sengketa kepemilikan, debat luas dan jenis tanah (sawah/pekarangan), dan tanah komunal.

    2012 12 00 Peta kerja small
    Peta Kerja Oktober 2011

    Wilayah 66 RT’ – Perpres 68/2011 mencantumkan pembentukan ‘Tim Terpadu’ yang dibentuk oleh Dewan Pengarah BPLS untuk mengkaji wilayah terkena dampak lumpur Lapindo (Pasal 15b Ayat 1b). Hasil kajian tim tersebut adalah pemetaan wilayah baru yang harus segera dikosongkan karena dinyatakan sebagai wilayah tak layak huni dalam Perpres 37/2012 tentang perubahan keempat atas Perpres 14/2007 (5 April 2012). Wilayah baru tersebut dikenal dengan ‘wilayah 65 RT’ mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) yang harus dikosongkan yang kali ini mencakup 8 (delapan) desa/kelurahan, yaitu: Besuki, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Gempolsari, Kalitengah, dan Wunut.

    Pada 8 Mei 2013, terbit Perpres 33/2013 tentang perubahan kelima atas Perpres 14/2007 yang merinci batas-batas wilayah yang sebelumnya sudah diatur dalam Perpres 37/2012 dan menambahkan 1 (satu) RT di Kelurahan Porong yang kemudian membuat wilayah baru itu sekarang disebut ‘wilayah 66 RT’. Selain merinci batas-batas dan penambahan wilayah baru, Perpres 33/2013 mengatur kompensasi tanah wakaf yang menjadi kewenangan Kementerian Agama (Pasal 15b Ayat 10).

    Untuk wilayah ’66 RT’, BPLS menargetkan sekitar 5.000 berkas klaim masuk. Sampai Desember 2012, BPLS menerima 4.422 berkas klaim dengan nilai tukar mencapai Rp 451,93 milyar, dan baru 3.556 berkas yang terbayar (Rp 261,33 milyar). Dengan demikian, diperkirakan masih ada sekitar seribu berkas lagi yang menjadi tanggung

    Peta 5 April 2012
    Peta 5 April 2012

    an pemerintah. Sayang, website BPLS tidak mencantumkan data mutakhir tentang kelanjutan proses pembayaran tersebut.

    ***

    PEMINDAHAN PAKSA BESAR-BESARAN lain yang dilakukan oleh negara, namun luput dari amatan publik adalah terkait pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur. Relokasi infrastruktur mensyaratkan pembebasan lahan baru untuk pembangunan, dan dengan demikian menandai fase lain pemindahan paksa akibat lumpur Lapindo. Untuk merelokasi infrastruktur (jalan tol dan jalan raya), pada Juli 2007 ditentukan luasan lahan yang dibutuhkan. Penentuan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/260/KPTS/013/2007. Menurut rencana awal tersebut, infrastruktur baru akan melintasi wilayah di 15 (limabelas) desa yang meliputi 11 (sebelas) desa di Kabupaten Sidoarjo dan 4 (empat) desa di Kabupaten Pasuruan. Luas lahan yang dibutuhkan mencapai 132,16 ha. Namun, setelah melakukan penghitungan riil dan beberapa kesepakatan dengan instansi yang lain, pada April 2010 disepakati bahwa lahan yang dibutuhkan ‘hanya’ 123,77 ha.

    Kebutuhan lahan untuk relokasi
    Kebutuhan lahan untuk relokasi

    Pengurangan itu meloloskan Desa Kludan di Kabupaten Sidoarjo dari proyek pembebasan lahan itu. Namun, sebagian warga di 14 (empatbelas) desa yang lain harus merelakan tanah dan bangunan mereka untuk digantikan dengan infrastruktur jalan raya dan jalan tol (lihat Peta Relokasi Infrastruktur). Sepuluh desa/kelurahan di Kabupaten Sidoarjo yang yang terkena dampak relokasi infrastruktur adalah Desa Kali Sampurno, Desa Kali Tengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin, Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Kesambi, Kelurahan Juwet Kenongo, Kelurahan Porong, dan Desa Kebon Agung di Kecamatan Porong, serta Desa Kedungcangkring di Kecamatan Jabon. Dan empat desa di Kabupaten Pasuruan adalah Desa Carat, Desa Gempol, Desa Kejapanan, dan Desa Legok di Kecamatan Gempol.

    Seperti halnya proyek pembangunan infrastruktur makro lainnya, beberapa permasalahan sempat tercatat terkait proses pengosongan lahan dan pembangunan relokasi infrastruktur yang dilakukan BPLS tersebut. Yang paling kentara adalah tingginya nilai kompensasi yang diminta sebagian warga dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pemerintah. Beberapa warga meminta kompensasi setara ‘harga Lapindo’, yang berlaku untuk tanah dan bangunan dalam Peta 22 Maret 2007. Beberapa warga lain, menuntut nilai yang lebih tinggi lagi karena aset mereka terletak di pinggir jalan utama. Beberapa tanah status kepemilikannya dipegang oleh banyak orang yang berujung pada sengketa internal sehingga mempersulit proses pemberian kompensasi. Pelbagai masalah terkait pembebasan lahan tersebut berdampak pada pembangunan jalan (tol maupun arteri) secara parsial. Infrastruktur baru dibangun terputus-putus dalam 4 (empat) paket, dan baru menjadi satu kesatuan sehingga bisa beroperasi penuh pada Maret 2012.

    Percepatan pembangunan infrastruktur baru, menggantikan infrastruktur lama yang terendam lumpur Lapindo, dilandasi lebih oleh motif ekonomi, yaitu mengembalikan nadi transportasi dari/ke Pelabuhan Tanjung Perak ke/dari wilayah industri besar di Jawa Timur bagian Selatan dan Timur. Dan atas nama ‘kepentingan umum’ itulah lagi-lagi rakyat harus dikorbankan dengan cara pemindahan paksa. Negara, lagi-lagi, hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi proses yang tidak bakal terjadi jika saja negara tidak pernah memberi izin Lapindo untuk melakukan pengeboran migas di kawasan padat huni.

    Peta Infrastruktur 2010 lowres

    ***

    PRESIDEN JOKOWI TELAH memerintahkan jajaran menteri di kabinetnya untuk memenuhi kontrak politik yang disepakatinya pada korban Lapindo, memberikan pinjaman bersyarat pada Lapindo yang tidak mampu melunasi kewajibannya membayar aset warga yang dimasukkan dalam ‘area terdampak’ lumpur Lapindo. Jumlah pinjaman tidak main-main, Rp 781,69 milyar. Syarat yang diberikan adalah Lapindo harus menyerahkan 13.327 berkas aset warga sebagai jaminan dan Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan pinjaman tanpa bunga itu. Jika Lapindo gagal mengembalikannya, aset akan diambil alih negara –yang sebenarnya adalah keputusan yang paradoks, karena seperti sudah dibahas sebelumnya, mengacu pada UU Pokok Agraria No 6/1956, tanah yang dibeli Lapindo itupun secara hukum statusnya adalah tanah negara; bagaimana mungkin negara menyita asetnya sendiri (Novenanto 2015a; 2015b).

    Aksi negara menalangi hutang Lapindo itu telah diklaim sebagai ‘kehadiran negara’ yang dianggap telah absen selama ini. Namun, seperti disampaikan dalam rangkaian tulisan ini, negara adalah aktor penting dalam kasus Lapindo. Negara telah hadir, bahkan sebelum pengeboran Sumur Banjar Panji 1, dengan memberi izin pengeboran migas di kawasan padat huni. Dengan demikian, negara telah berperan dalam penentuan lokasi terjadinya suatu bencana industrial. Bahkan, negara tidak pernah mengawasi kegiatan ‘industri berbahaya’ itu. Peran aktor-aktor negara semakin kentara dengan menerbitkan peta area terdampak dan melegitimasi pemindahan paksa para penghuninya melalui penerbitan Perpres 14/2007 dan juga revisi terhadapnya. Tidak hanya itu, negara juga telah melegitimasi perluasan pemindahan paksa terkait proyek relokasi infrastruktur yang rusak. Untuk penanganan dampak lumpur Lapindo, negara telah menganggarkan dana sebesar Rp 11,72 trilyun; dana yang sebenarnya bisa digunakan untuk pengembangan di sektor lain.

    Kasus Lapindo bukanlah sekadar masalah bencana lumpur panas menyembur di kawasan padat huni. Kasus Lapindo adalah pembuktian kebobrokan pengelolaan industri migas di negeri ini, tidak hanya pada proses perizinan tapi juga tata kelola penanganan kecelakaan industrial yang riskan terjadi. Oleh karena itu, satu-satunya ketidakhadiran negara dalam kasus Lapindo adalah untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada Lapindo yang telah melakukan kesalahan fatal dalam industri migas yang penuh resiko. (habis)

  • SBY, Selamatkan Bakrie Ya!

    SBY, Selamatkan Bakrie Ya!

    patung-SBYTidak lama lagi masa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir. SBY punya banyak janji, di antaranya penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Kasus Lapindo muncul pada 2006, setelah dua tahun masa jabatan SBY jilid pertama. Pada 2009, ketika belangsung pemilihan presiden, SBY mencalonkan diri lagi dan membuat janji akan menuntaskan kasus Lapindo apabila terpilih kembali. (more…)

  • Kontrak Bantuan Sosial Dinilai Merugikan Warga

    Warga harus meninggalkan lokasi setelah tiga bulan meneken kontrak

    SURABAYA – Korban lumpur Lapindo dari Desa Kedungcangkring, Pejarakan, dan Desa Besuki Barat di Kecamatan Jabon, Sidoarjo, tidak bersedia menandatangani akad perjanjian pemberian uang paket bantuan sosial. “Terus terang kami keberatan karena ada satu pasal yang memberatkan,” kata Nurrohim, koordinator warga, kemarin.

    Pasal tersebut berbunyi, “Warga yang tinggal di wilayah tanggul lumpur wajib meninggalkan tempat maksimal 90 hari setelah penandatanganan kontrak”. Padahal, selama ini tidak ada kepastian kapan bantuan tersebut akan dicairkan.

    Rencananya, jika warga bersedia meneken kontrak pemberian bantuan sosial, warga akan menerima uang Rp 2,5 juta per keluarga (untuk kontrak rumah satu tahun), Rp 500 ribu untuk pindah rumah, dan bantuan Rp 300 ribu per jiwa per bulan (selama enam bulan berturut). Formulir pemberian bantuan ini telah dibagikan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sejak Jumat lalu.

    Menurut Nurrohim, warga tidak bersedia menandatangani pemberian bantuan sosial itu karena mereka tidak memperoleh kejelasan kapan ganti rugi tersebut dibayarkan. “Jangankan kapan dibayar, berapa nilainya saja kami belum diberi tahu,” tutur Rohim.

    Karena ketidakjelasan itu, Rohim menambahkan, warga yang terdiri atas 800 keluarga dari Desa Besuki, 300 keluarga dari Desa Kedungcangkring, serta 500 keluarga dari Desa Pejarakan hingga kini belum bersedia menandatangani akta perjanjian.

    Kepala Hubungan Masyarakat BPLS, Ahmad Zulkarnain, meminta warga tidak usah ragu dan khawatir. Apalagi apa yang dikhawatirkan warga tidak mendasar. “Ketika proses penandatanganan, juga ada proses pembuatan rekening di Bank. Saya jamin dalam waktu dua hari, bantuan sudah cair,” kata Zulkarnain.

    Karenan itu, Zulkarnain berharap warga segera mengisi semua persyaratan dalam akta pemberian bantuan dengan melengkapi fotokopi KTP, KSK, dan buku nikah.

    Menurut Zulkarnain, selain jumlah nominal bantuan, nilai ganti rugi bagi warga tiga desa itu juga sudah jelas, yaitu sama dengan nominal ganti rugi warga di dalam peta terdampak seperti yang diberikan kepada empat Desa di Kecamatan Porong, yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo.

    Warga di empat desa itu mendapatkan ganti rugi per meter bangunan Rp 1,5 juta, Rp 1 juta per meter persegi tanah pekarangan, serta Rp 120 ribu untuk per meter persegi sawah.

    “Sesuai dengan amanat anggaran pendapatan belanja negara perubahan dan pernyataan Menteri Keuangan, maka uang muka 20 persen harus dibayar pada 2008 ini,” kata Zulkarnain.

    Sisa pembayaran 80 persen, kata dia, sesuai dengan Perpres 48 Tahun 2008 yang mengacu pada Perpres 14 Tahun 2007 akan dibayar maksimal hingga 2010 nanti.

    ROHMAN TAUFIQ

    Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/09/16/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20080916.142522.id.html

  • Buka Bersama Korban

    korbanlumpur.info – Begitu kijang kancil, kendaraan patroli polisi, datang di posko pengungsi Tol Porong-Gempol ratusan anak, yang baru selesai sholat magrib, langsung mengepungnya. Girang betul mereka melihat dua kardus besar yang diturunkan dari mobil tersebut. Mereka tahu kardus itu berisi makanan jatah takjil, hidangan pembuka buka puasa.

    Sejak hari pertama puasa mereka dapat jatah takjil dari Kepolisian Resort Sidoarjo. Sore ini jatah takjil mereka telat jumlahnya pun tidak mencukupi.

    Anak-anak ini adalah anak korban lumpur Lapindo dari RT 01-04 RW 05 Desa Besuki yang mengungsi di tol Porong-Gempol sejak Febuari lalu. Mereka mengungsi setelah beberapa kali luapan lumpur menggenangi pemukiman mereka.

    “Kami memilih tol karena lebih tinggi tempatnya dari pemukiman,” tutur Ali Mursyid, koordinator lapangan warga Besuki.

    Menurut Perpres 48 tahun 2008 warga Besuki ini termasuk daerah yang terdampak. Tanah, rumah dan pekarangan mereka akan dibeli pemerintah yang diambilkan dari APBN. Hingga kini mereka belum mendapatkan serupiah pun dari pembelian ini. Tak hanya kehilangan rumah dan tanah mereka, penduduk yang rata-rata petani dan buruh pabrik juga banyak yang kehilangan pekerjaan. Banyak diantara mereka menjadi pengemis di sepanjang pengungsian.

    Warga pengungsian ini juga tidak mendapat jatah makanan baik dari Lapindo atau dari pemerintah. Mereka mengharapkan makanan dari para penderma, salah satunya dari Kepolisian Resort Sidoarjo yang tiap sore mengirimkan jatah takjil yang berisi bubur kacang hijau yang dibungkus wp-content plastik. Mereka berebut karena memang jumlahnya tidak mencukupi.

    Sesaat kemudian kerumunan kian banyak dan ibu-ibu juga ikut berdesakan. Mashudi (43 tahun), warga RT 01 RW 05 Besuki, sadar betul jatah tak cukup, dia berteriak memberi komando,

    “Yang dapat anak-anak usia SD, anak-anak SMP tidak dapat,” tutur Mashudi.

    Anak-anak lalu berbaris rapi, ibu-ibu menunggu dengan cemas di kiri-kanan barisan. Satu persatu bubur dibagikan, persediaan menipis. Orang-orang yang lapar mulai cemas tak dapat jatah. Mereka merangsek kebarisan.

    Jatah habis dan masih banyak anak yang belum mendapatkannya, sementara orang-orang tua beradu mulut. Tak hanya itu, meja pimpong yang digunakan untuk menaruh kardus juga jungkirkan warga yang tidak dapat jatah. Anak-anak hanya diam dan menyingkir.

    Adu mulut tak terhindarkan.

    “Diancuk, kamu sudah dapat jatah, mundur jangan minta lagi, kasian yang belum dapat,” tuduh seorang bapak dan dijawab tak kalah sengit oleh ibu-ibu yang merasa dituduh, “mana saya belum dapat.” Ibu yang lain bilang dia ingin punya wp-content pembungkus bubur dan dia tak ingin isinya.

    “Buat tempat gula,” katanya.

    “Orang-orang sini jadi mudah marah,” tutur Mashudi setelah orang-orang menyingkir saat azan Isya dikumandangkan.

  • Ratusan Korban Lumpur Demo Balai Desa Besuki

    Sidoarjo – Ratusan warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc asal Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jatim mendatangi kantor desa setempat.

    Kedatangan warga mendesak Kepala Desa Besuki, M Siroj untuk mengirim surat ke pemerintah pusat, agar nilai ganti rugi tiga desa yaitu Penjarakan, Besuki dan Kedungcangkring Utara nilainya disamakan dengan korban lumpur terdahulu.

    Ali Mursyid, salah satu koordinator keluarga Besuki menyatakan, desakan dari masyarakat warga perlu, karena dikhawatirkan pemerintah akan memberikan ganti rugi yang nilainya tidak sama dengan korban lumpur empat desa sebelumnya yakni Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo.

    “Kami mendengar isu bahwa ganti rugi akan diberikan kepada tiga desa yang di bawah ganti rugi yang diberikan Lapindo Brantas. Warga minta disamakan nilainya”, katanya menegaskan.

    Ia mengatakan, indikasi akan diberi nilai ganti rugi lebih rendah bisa dilihat, dari pemerintah pusat hingga kini belum mengumumkan nilai ganti rugi tersebut. Kendati pemerintah sudah menetapkan tiga desa masuk peta terdampak yang akan mendapatkan ganti rugi.

    “Jika nilainya tidak sama dengan yang dibayar Lapindo, tidak adil, karena sama-sama menjadi korban. Bedanya kalau korban terdahulu ditanggung Lapindo, namun tiga desa diberi pemerintah melalui APBN-P”, katanya menambahkan.

    Selain itu, warga tetap meminta agar sawah mereka dibeli 120 ribu per meter, tanah pekarangan Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta. 

    Setelah mendapat penjelasan dari Kades, M Siroj, warga yang datang dengan membawa poster bertuliskan tuntutan kemudian membubarkan diri. “Tuntutan warga akan kami sampaikan ke pemerintah pusat melalui surat”, kata M Siroj.

    © Antara

  • Harga Sama dengan Lapindo

    SIDOARJO – Meski pengukuran sudah dimulai, warga masih belum tenang. Sebab, sampai saat ini tidak ada kejelasan masalah harga tanah yang akan dibayarkan. Karena itu, warga berharap segera ada kejelasan menyangkut harga tersebut.

    Mereka adalah warga yang tinggal di Desa Besuki sebelah barat ruas bekas jalan tol, Pejarakan, dan Kedungcangkring. Semuanya masuk Kecamatan Jabon.

    Abdul Rokhim, wakil warga, mengakui adanya keresahan itu. Saat ini warga menanyakan harga tanah dan bangunan mereka yang sudah terendam. Mereka sangat berharap harganya disamakan dengan harga tanah dan bangunan yang diganti rugi PT Lapindo. “Kami berharap sama,” ujarnya.

    Rokhim juga mengatakan, seharusnya pada sosialisasi yang lalu dijelaskan pula harga ganti ruginya. Tujuannya, agar warga tidak resah.

    Deputi Sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Soetjahjono Soejitno menjelaskan, soal harga akan dibahas dalam pertemuan berikutnya.

    Dia mengatakan, penentuan harga didasarkan pada Perpres No 14 Tahun 2007, yakni atas dasar keadilan.(riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Diperlakukan Beda, Warga Pejarakan Menolak

    Diperlakukan Beda, Warga Pejarakan Menolak

    korbanlumpur.info – Warga desa Pejarakan Kecamatan Jabon mengaku resah dengan wacana bahwa tipe bangunan mereka akan diperlakukan berbeda-beda. “Mereka membedakan bukan hanya antara tembok atau gedek (bambu), tapi bahkan sampai beda antara lantai keramik atau tidak, tembok memakai plesteran semen atau tidak, bahkan tipe genteng karangpilang atau biasa. Sampai segitu pembedaannya,” demikian ungkap Suwojo, warga desa Pejarakan.

    Dari hasil pertemuan sosialisasi antara BPLS dan warga, dinyatakan bahwa penilaian harga tiap bangunan di tiga desa berdasar Perpres No 48 Tahun 2008 akan dibedakan. “Untuk pengukuran tanah, dilakukan BPN. Tapi pengukuran bangunan juga penilaian nilai bangunan dilakukan PT Cipta Karya,” imbuh pemuda desa Pejarakan ini.

    Berbeda dengan korban lumpur Lapindo yang ada dalam peta 22 Maret 2007 berdasar Perpres No 14 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa harga bangunan disamakan seharga 1,5 juta rupiah, warga di tiga desa ini (Pejarakan, Kedung Cangkring, dan Besuki) tidak mendapat kebijakan yang sama.

    “Itu pernyataan langsung Pak Bajuri dari BPLS,” jelas Suwojo. Keadaan ini tampaknya sudah berdampak buruk bagi proses konsolidasi gerakan rakyat yang ingin mendapat hak-haknya kembali. “Warga jelas bergejolak dan resah. Namun mereka ditakut-takuti, kalau tidak mengikuti, tidak akan diikutkan (pembayarannya),” ujar pria berusia 37 tahun itu.

    Aparat Desa sendiri tampaknya juga tidak berpihak ke warga, bahkan sudah diangkat menjadi pelaksana terbawah BPLS yang juga mendapat dana operasional. “Mereka bilang sendiri, pelaksana terbawah BPLS itu kepala desa, dan mereka diberi uang operasional untuk itu,” tambah Suwojo.

    Pembedaan penilaian nilai bangunan antara warga yang di dalam peta area terdampak versi Perpres No 14 Tahun 2007 dan 3 desa yang dinaungi Perpres No 48 Tahun 2008 jelas berpotensi menimbulkan kecemburuan dan perpecahan. Suwojo menyatakan bahwa warga menginginkan persamaan perlakuan. “Kalau kita, ya, maunya disamakan saja (dengan versi Perpres 14/2007).”

    Selain itu, untuk pengukuran tanah sendiri juga menyisakan masalah tersendiri. Kepala Desa tidak mau memberikan surat-surat tanah warga (Petok D dan Letter C) kepada warga dengan dalih menunggu hasil pengukuran. “Setahu saya, itu ada di kepala desa, tapi dia bilang yang boleh tahu hanya kepala desa dan camat,” terang Suwojo yang bertempat tinggal di RT 6 RW 4 desa Pejarakan ini.

    Tentu saja menjadi tanda tanya besar, mengapa warga dilarang mengetahui informasi luas lahan tempat tinggalnya sendiri. Keberadaan warga di atas tanahnya dibuktikan dengan surat-surat tersebut, tanpa memiliki sendiri surat-surat itu, posisi warga akan lemah jika dilakukan pengukuran tanah ulang oleh BPN. “Kita akan memaksa kepala desa untuk menunjukkan (surat-surat) itu. Kan tanah itu hak kita, kenapa kita tidak boleh meminta Petok D dan Letter C kita?,” tandasnya.

    Sekali lagi terlihat bahwa pemerintah tidak serius menyelesaikan persoalan warga korban lumpur Lapindo. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu menciptakan potensi keresahan dan ketegangan di dalam warga sendiri. Aparat pemerintahan pun lebih sering tidak memihak kepentingan warga, sehingga posisi korban semakin dilemahkan dengan berbagai cara.

    “Mereka (BPLS)  masih meminta kita untuk percaya kepada mereka, sekarang, ya sudah tidak bisa lagi,” pungkas Suwojo menunjukkan kemarahannya akan nasibnya yang tak kunjung mendapatkan penyelesaian berarti. [re]

  • Revisi Perpres Lapindo Tak Sentuh Substansi

    JAKARTA – Revisi Peraturan Presiden (Perpres) No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dinilai tidak menyentuh substansi. Seharusnya, revisi lebih menyentuh hal prinsip.

    ”Seharusnya, tak ada lagi diskriminasi antar desa terdampak dan tidak,” ujar Syafruddin Ngulma Simeulue, komisioner Komnas HAM, kepada koran ini kemarin (29/6). Pembedaan tersebut tidak perlu karena masyarakat di sekitar semburan merasakan dampak yang sama.

    Seperti diwartakan, pemerintah telah merampungkan revisi Perpres 14/2007. Dalam perpres itu, tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, akan dimasukkan dalam peta terdampak. Awal Februari lalu, tiga desa itu terkena dampak bencana tanggul jebol. Namun, mereka tidak masuk dalam peta terdampak. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan ganti rugi dari PT Lapindo Brantas.

    Warga tiga desa itu lantas menuntut wilayahnya dimasukkan ke peta terdampak. Permintaan itu disetujui dengan anggaran dari APBNP yang disetujui pada 10 April 2008. Anggaran tersebut belum bisa cair selagi payung hukumnya tidak ada. Karena itu, warga mendesak revisi perpres segera dilakukan supaya dana bisa dicairkan.

    Syafruddin menjelaskan, selain tidak perlu pembedaan daerah terdampak dan tidak terdampak, revisi seharusnya mengatur ganti rugi dan biaya pemulihan bagi warga. ”Itu sebenarnya lebih substansial,” terang mantan direktur Walhi Jatim itu.

    Terkait dengan investigasi terhadap kejanggalan dalam semburan lumpur yang sedang ditangani komnas, Syafruddin menjelaskan, pihaknya kini memasuki tahap akhir penyelesaian laporan. Namun, komnas masih membutuhkan beberapa keterangan dari pihak terkait. ”Salah satunya menteri lingkungan hidup. Kami masih atur jadwalnya,” katanya.

    Dia menargetkan, akhir Juli mendatang laporan dan rekomendasi bisa rampung. ”Nanti diputuskan di (rapat) paripurna sebelum kami publikasikan,” terangnya. (fal/oki)

    © Jawa Pos

  • Seluruh Menteri Tandatangani Revisi Perpres Lapindo

    TEMPO Interaktif, Sidoarjo: Seluruh Menteri yang ada di dalam Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), hari ini (11/7) sudah menandatangani perubahan Peraturan Presiden (Perpres) No 14 tahun 2007 tentang luapan lumpur Lapindo.

    ““Hari ini seluruh menteri sudah tandatangan, termasuk menteri keuangan juga. Diharapkan sepulang dari kunjungan luar negeri, Presiden langsung bias menandatanganinya juga,”” kata Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, ketika meresmikan penancapan tiang pancang untuk memulai pembangunan infrastruktur pengganti jalan raya porong di Sidoarjo, siang ini (11/7).

    Perubahan Perpres yang dimaksud adalah perubahan areal terdampak Lumpur didalam Perpres yang semula hanya menjangkau kawasan empat desa yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo, kini dirubah dengan menambahkan tiga Desa yaitu Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring.

    Dengan perubahan ini, tambah Joko, warga di tiga tersebut akan segera mendapatkan ganti rugi seperti yang telah didapatkan warga di empat desa lainnya. Hanya saja, ganti rugi yang didapatkan bukan berasal dari Lapindo melainkan akan diambilkan dari APBN.

    ““Kami mohon maaf jika perubahan ini agak lama. Kita sebenarnya juga ingin cepat tapi tetap harus dijaga supaya tetap akurat,” “tambah Joko.

    Selain itu, Joko juga meminta maaf atas belum berhasilnya pemerintah dalam menutup semburan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang hingga saat ini setidaknya telah mengusir 12 ribu lebih keluarga.

    ““Atas nama pemerintah kami minta maaf karena belum berhasil menutup, tapi kami akan terus berusaha semaksimal mungkin,”” kata Joko.

    Menurut Joko, sejak awal pemerintah sebenarnya langsung turun kelapangan untuk bisa segera menanggulangi dampak semburan tersebut. Saat itu, Presiden juga langsung menginstruksikan untuk segera menutup dan memagari kawasan semburan dengan tanggul penahan.

    ““Setelah itu berbagai upaya juga sudah kita lakukan tapi hingga kini tetap belum berhasil,”” tambah Joko.

    Upaya penutupan yang dimaksud dimulai dengan menggunakan alat bernama snubbing unit, kemudian dilanjutkan dengan side traking (pengeboran menyamping), terus relief well (pengeboran miring) dan yang terakir dengan menggunakan bola beton yang kesemuanya tetap belum bisa menutup semburan tersebut.

    Di tempat yang sama, Ketua BPLS Sunarso menyambut baik atas selesainya revisi perpres tersebut. “”Kami juga berharap, kawasan di tiga desa lainnya (Siring barat, Jatirejo barat, dan Mindi), juga segera diputuskan,”” kata Sunarso.

    Kawasan tiga desa terakhir ini kini memang sudah tidak layak huni akibat munculnya ratusan semburan gas liar dihampir seluruh rumah yang ada. Karennya warga juga berharap untuk segera mendapatkan ganti rugi sehingga mereka bisa meninggalkan rumah mereka.

    Rohman Taufiq |Koran Tempo

  • Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    korbanlumpur.info – BPLS kembali tebar janji, dalam pertemuan dengan perwakilan 3 desa (desa Besuki, Pejarakan, dan Kedung Cangkring) menanggapi permasalahan setelah dikeluarkannya Pepres 48/2008 tentang revisi Perpres 14/2007 tentang Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

    Bapak Sarjono dari desa Pejarakan yang dimintai konfirmasi menyatakan bahwa BPLS menyatakan akan segera mengadakan sosialisasi untuk memusyawarahkan penentuan harga ganti rugi lahan warga di 3 desa. Sosialisasi itu sendiri akan dilakukan per RT.

    Sarjono yang datang pada pertemuan itu menyesalkan langkah ini, dia menilai bahwa itu akan memperlambat proses pembayaran, semestinya sosialisasi itu bisa dilakukan bersamaan beberapa RT, sehingga tidak mengulur waktu. Dia mengkhawatirkan waktunya tidak cukup untuk masa anggaran 2008 ini. Untuk diketahui bahwa pembayaran DP 20% guna membeli lahan warga di 3 desa diambilkan dari APBN-P 2008, sehingga harus segera direalisasi sebelum masa anggaran yakni bulan Desember 2008.

    Pihak BPLS sendiri menyatakan bahwa harga pembayaran akan mengacu pada harga seperti yang sudah dilakukan di dalam peta area terdampak sebelumnya yakni: 120 ribu untuk tanah sawah, satu juta untuk tanah pekarangan dan 1,5 juta untuk bangunan. Namun untuk penentuan harga sendiri rupanya masih harus melewati proses musyawarah, meskipun patokannya tetap harga-harga seperti tertulis sebelumnya itu.

    Selain tentang sosialisasi musyawarah penentuan harga, BPLS melalui Kepala Pokja Perlindungan Sosial BPLS, Bajuri Edy Cahyono, menjanjikan bahwa sisa pembayaran warga yang 80% akan diselesaikan dalam 1 tahun. ”katanya … sudahlah pak percayalah dengan saya, jadi kalau anggaran (untuk membayar sisa) 80%-nya itu (diambilkan dari) APBN 2009, jadi yang tadinya itu kalau (mekanisme pembayaran seperti) di lapindo (menunggu masa) kontrak 2 tahun yang dalam peta, yang disini (3 desa) kontrak 1 tahun, dan 1 bulan sebelum masa kontrak habis 80%-nya sudah diturunkan” begitu ungkap Sarjono menirukan pernyataan staf BPLS.

    Ini berbeda dengan bunyi dalam Perpres 48/2008 yang menyatakan bahwa pembayaran pada 3 desa yang dimasukkan melalui Perpres 48/2008 untuk sisa 80% dibayarkan setelah pembayaran pada peta area terdampak sebelumnya selesai. Mengenai ini, staf Humas BPLS seperti dikutip pada kapanlagi.com (31/07/2008 BPLS siapkan posko verifikasi ganti rugi) menyatakan Untuk korban lumpur versi Perpres No.14/2007 mendapat ganti rugi dari Lapindo Brantas dengan skema pencairan dana 20% dan pelunasan 80%-nya harus menunggu dua tahun. Berbeda dengan versi Perpres No.48/2008. Skema pencairan sama, yakni 20%, selanjutnya, pelunasan 80%.Namun, untuk pelunasan 80% warga tidak harus menunggu lama. Maksimal akhir Desember 2008 sudah cair.

    Entah versi mana yang benar? Sebelum Desember 2008, 1 bulan sebelum masa kontrak yang 1 tahun selesai, atau menunggu Lapindo menyelesaikan pembayaran dalam peta area terdampak sebelumnya?

    Selain permasalahan penentuan harga dan kepastian pembayaran sisa 80%, Sarjono juga menyatakan kegelisahannya akan status pengontrak, khususnya yang ada diwilayah desa Pejarakan. Menurutnya ada beberapa pengontrak yang mayoritas bekerja di industri-industri kecil di Pejarakan, selama ini tidak terperhatikan. padahal mereka selama ini juga sudah dianggap seperti penduduk asli. Tetapi rekomendasi yang diberikan oleh Kepala Desa Pejarakan hanya mengusulkan 384 KK yang tidak termasuk pengontrak yang tinggal di desa Pejarakan. Ini juga yang hendak diperjuangkan oleh Sarjono untuk para pengontrak mendapatkan haknya juga.

    Secara keseluruhan, Sarjono menginginkan ini bukan lagi sekedar janji-janji seperti yang sudah-sudah, karena masyarakat sudah bosan dengan segala janji yang tidak juga kunjung terbukti, bahkan seringkali diingkari. Tapi sekali ini, masyarakat tidak lagi mau dibohongi.

  • Teror di Desa Besuki, Dampak Perpres 48/2008

    Besuki, SuaraPorong – Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, rumah seorang warga yang juga korban lumpur lapindo, Cak Irsyad, dilempari batu sebesar kepala bayi. Dugaan kuat, teror itu berkaitan dengan isu-isu yang berkembang dan cenderung menyudutkan setelah desa Besuki terbelah— sebagian dimasukkan ke dalam peta area terdampak versi Perpres No. 48/2008, dan sebagian lagi tidak.

    Cak Irsyad yang tinggal di desa Besuki Timur, RT 05/RW 07, adalah salah seorang korban yang aktif dalam usaha menolak kebijakan-kebijakan yang dirasakan menindas kehidupan warga yang telah menderita selama semburan lumpur lapindo berlangsung. Salah satunya adalah kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti pembagian korban ke dalam peta area terdampak dan tidak terdampak yang menjadi dasar dibayar atau tidaknya kerugian warga.

    Desa Besuki adalah salah satu dari tiga desa yang dimasukkan dalam area peta terdampak lewat Perppres no. 48/2008, yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuat rancu dan tidak membawa suasana lega pada warga desa tersebut. Hal pertama adalah hanya desa Besuki Barat yang dimasukkan dalam peta area terdampak—sementara desa Besuki Timur yang dipisahkan oleh eks-jalan tol Gempol dengan Besuki Barat, tidak termasuk di dalamnya.

    Kedua, belum ada kepastian kapan uang proses jual beli tersebut dibayarkan, dan ketiga, harga jual beli tanah dan bangunan pun belum ditetapkan oleh pemerintah.

    Kasus teror yang menimpa Cak Irsyad merupakan ekses dari ketegangan yang terjadi di Besuki karena tidak dimasukkannya Besuki timur ke dalam peta area yang dikeluarkan pemerintah melalui Perpres no. 48/2008. Ketidakjelasan kualifikasi penetapan suatu daerah masuk atau tidak ke dalam peta area terdampak, menimbulkan syak wasangka dan fitnah yang terus menerus membuat ketegangan di masyarakat desa Besuki. Akibat tidak masuknya wilayah besuki timur, timbul kecurigaan dan desas-desus tidak bertanggung jawab terhadap penyebab kondisi tersebut.

    Kejadian di mana sebuah desa tidak seluruhannya dimasukkan ke dalam peta area terdampak bukan sekali ini saja terjadi. Dalam semua kejadian itu selalu saja menimbulkan dampak langsung yang jelas memecah belah dan merugikan kehidupan masyarakat. Desa-desa lain yang terpecah antara di dalam peta dan bukan di dalam peta antara lain: Glagah Arum, Gempol Sari, Jatirejo, dan Siring. beberapa desa yang terpecah ini tidak selalu jelas alasan pembagiannya kenapa sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam peta dan yang lain tidak. Ketidakjelasan inilah yang memicu kecemburuan di antara warga dan menjadi biang kehancuran kohesi sosial di masyarakat.

    Dalam kasus di Besuki Timur, ketika Perppres no. 48/2008 dikeluarkan, dan desa Besuki Timur tidak dimasukkan ke dalam peta area terdampak, beredar fitnah yang menyudutkan Cak Irsyad. “Gara-gara Cak Irsyad Besuki Timur tidak masuk peta dan gagal dapat ganti rugi,” kurang lebih begitulah isi fitnahnya. Dalam pertemuan antar warga desa Besuki Timur pada 20 Juli 2008, pasca dikeluarkannya Perpres No. 48/2008, kecurigaan itu di”kambing hitamkan” kepada Cak Irsyad dan kawan-kawan yang sering terlibat aktif dalam usaha menentang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat.

    Akibat pelemparan batu tersebut, kaca rumah depan Cak Irsyad pecah berserakan. Teror ini merupakan kali kedua yang menimpa korban. Sebulan sebelumnya, Ketua RT 03 desa Besuki Timur juga mengalami kejadian yang sama. Beberapa waktu setelah teror yang menimpa pak RT tersebut, giliran rumah salah satu perangkat desa yang diteror. Kaos bekas yang telah dibasahi bensin dibakar di samping rumah korban.

    Beruntung aksi teror tersebut dapat diketahui sehingga tidak membakar seluruh rumah. Sehubungan dengan aksi teror tersebut, warga di sekitar lokasi pun merasa terancam. Sekarang d iatas kaca yang sengaja dibiarkan pecah itu dipasang tulisan “NEGARA TIDAK BOLEH KALAH DENGAN KEJAHATAN”. Sebuah himbauan yang rasanya entah apakah akan terkabul ditengah-tengah kondisi yang serasa dibiarkan tak menentu justru oleh penyelenggara negara.

    Aksi teror yang menimpa Cak Irsyad ini, merupakan hasil langsung dari praktek memecah belah warga yang dilakukan oleh Lapindo. Korporasi ini tidak berkenan jika korban luapan lumpur bersatu untuk menuntut ganti rugi. Berbagai cara dilakukan, mulai dari proses jual beli yang berbelit-belit, janji-janji manis penuh ilusi yang disuntikkan pada para korban, sampai membuat skema yang berujung pada konflik horisontal antar korban.

    Lapindo Brantas Inc, sebagaimana korporasi-korporasi yang bergerak di industri minyak dan gas, selalu membuat warga di sekitar lokasi menderita. Penderitaan yang dialami warga tidak hanya pada satu aspek saja. Limbah yang merusak kesehatan warga, kebisingan yang memekakkan, maupun bencana yang disebabkan langsung dari human error, seperti pada kasus luapan lumpur panas Lapindo. Sebelumnya warga Teluk Buyat terlibat pertikaian dengan PT. Newmont . Lalu warga Papua pun terlibat pertikaian dengan PT. Freeport terkait limbah industri. Namun, hal-hal buruk seperti itu seringkali terlupakan begitu saja. Para korban kejahatan korporasi semakin terpuruk, sementara pihak korporasi semakin mendapatkan untung yang berlimpah.

    Untuk itu, diperlukan banyak solidaritas dan dukungan dari masyarakat luas. Solidaritas dan dukungan ini dapat menekan korporasi seperti Lapindo agar membayar ganti rugi bagi korban yang bukan saja kehilangan tempat tinggalnya, tapi juga sejarahnya.