Author: catur

  • GMKI Mendukung Korban Lapindo

    Meski pola pembayaran 20%-80% telah diatur dalam perpres 17/2007 namun Lapindo hanya membayar 20 % dan itupun baru sebagian yang dibayar sementara yang 80% belum sama sekali dibayar. Beruntung Novik telah menerima 20 % dan dia mengisahkan bagaimana Lapindo mangkir; 80% yang mustinya dibayar setelah uang kontrakan abis beberapa bulan lalu hingga kini belum dibayar. Presiden sebagai pihak yang mengeluarkan Perpres diam saja ketika Lapindo Brantas mengingkari skema ini.

    “Hampir tiga tahun kami ditelantarkan, tanpa ada kepastian kapan kami bisa kembali hidup normal seperti dulu” tutur Novik.

    Kondisi warga luar peta tak kalah buruk, Iwan misalnya, harus banyak rugi ketika tambaknya semakin lama semakin turun produksinya. Kondisi buruk ini, yang bikin Iwan geram dan memaki ketidakmampuan pemerintah melindungi warganya.

    “Bagi saya Presiden sudah tidak becus melaksanakan tugasnya” kata Iwan dengan nada tinggi. Iwan juga menantang mahasiswa yang ada disitu untuk terlibat dalam penanganan permasalahan korban Lapindo. “Kalau memang takut untuk bergerak membantu perlawanan korban Lapindo, lebih baik tanggalkan status kemahasiswaan kalian”.

    Peserta Kongres sendiri pada sesi tanya jawab, lebih banyak memberikan dukungan bagi perjuangan korban Lapindo, bagi mereka duka korban Lapindo adalah duka Indonesia, karena itu perjuangan Korban juga mesti didukung oleh semua elemen bangsa tidak terkecuali mahasiswa yang telah terlanjur dicap sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

    Panitia Kongres ini, Yordan Batara-Goa ketika dimintai konfirmasi, menyatakan dukungannya terhadap perjuangan korban. “Saya juga berharap dalam forum kongres ini, dimunculkan hasil yang bisa memberi solusi bagi pergumulan warga yang menjadi korban.” [re/mam]

     

  • Kompas – World Urban Forum Digelar di Nanjing

    World Urban Forum IV mendiskusikan enam sub tema yaitu “Territorial Balance in Urban Development”, “Promoting Social Equity and Inclusiveness”, “Making Citis Productive and Equitable”, “Harminizing the Built and Natural Environments”, “Preserving the Historical Roots and Soul the City”, and “A City for All Generations”.

    Executive Director UN-HABITAT Dr Anna Tibaijuka mengungkapkan, World Urban Forum bermanfaat untuk melakukan promosi interaksi dan dialog antara stakeholder kota, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta.

    Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Djoko Kirmanto dijadwalkan akan membawakan topik “Safe and Productive Cities” dalam WUF IV hari Rabu (5/11) pagi besok.

    Korban Lapindo Ikut Pameran WUF

    Pameran WUF IV digelar di Nanjing International Expo Center, Nanjing, China. Salah satu yang ikut berpameran adalah korban Lapindo. Winarko, Koordinator Masyarakat Sipil untuk Korban Lapindo yang ditemui di sela-sela Pameran WUF IV mengatakan, keikutsertaan korban Lapindo dalam pameran forum perkotaan dunia ini untuk menyadarkan masyarakat global tentang lenyapnya tempat tinggal warga akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

    Winarko yang datang bersama dua warga yang juga korban Lapindo membagikan brosur dan video yang berisi informasi tentang fakta lumpur Lapindo. Data terakhir menyebutkan, 75.000 orang dari 17.000 keluarga yang terusir akibat desa mereka terendam lumpur Lapindo.

    “Kami ingin PBB dan LSM internasional mendorong pemerintah Indonesia bertindak lebih tegas terhadap perusahaan Lapindo dan menyelesaikan persoalan ini,” kata Winarko.

    “Kami menuntut pemerintah menghentikan semburan lumpur dan memaksa Lapindo mengganti kerugian warga, serta memulihkan lingkungan di sekitar, termasuk memulihkan kehidupan masyarakat. Forum WUF sangat pas karena di sini banyak orang dari berbagai dunia hadir,” katanya.

  • Hujan Datang, Glagaharum Tak Tenang

    Kepanikan ini makin menjadi kalau hujannya turun malam hari. “Tidur tak nyenyak, kita harus jaga-jaga,” tutur Nuryadi (38 tahun), koordinator warga Glagaharum. Jarak antara Glagaharum dan tanggul 300 meter. “Sekarang tanggul sudah sampai perbatasan Renokenongo dan Glagaharum, kan sudah sangat dekat dengan rumah warga yang belum masuk peta” lanjutnya.

    Meski kecemasan meliputi seluruh warga desa namun hanya 15 RT dari Glagaharum yang masuk dalam peta terdampak dan ini membuat kecemburuan antar warga.

    Tak hanya itu, semburan lumpur lapindo juga telah merusak sungai dan saluran irigasi desa Glagaharum. “Sudah tertutup tanggul semua sungai-sungainya” sambung Nuryadi. Dengan tidak berfungsinya sungai dan saluran desa ini, potensi banjir semakin besar untuk warga, meski secara sekilas kelihatan aman, desa Glagaharum menyimpan potensi bahaya bagi warganya. Warga berharap nasib mereka ini segera diperhatikan “Setidaknya ada kejelasan soal jaminan keselamatan kami ini” kata Nuryadi yang masih terus belum tahu mengapa pemerintahnya abai terhadap keadaan warga yang telah terundung bencana ini. [re]

  • Lapindo Mangkir, Nasib Pengungsi Pasar Baru Kian Tak Menentu

    Kabar yang beredar antar pengungsi simpang-siur. Sajis (54 tahun), warga Renokenongo yang kini mengungsi di pasar baru, mendapat kabar kalau PT. Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang menangani pembayaran, kehabisan dana untuk pembayaran ini. Sajis menandatangani PIJB pada 16 September 2008 dan dalam PIJB Minarak harusnya membayar dua minggu setelah penandatanganan.

    Meski mangkir membayar, Minarak Lapindo tak bikin pernyataan resmi atau permintaan maaf kepada korban yang tak menentu nasibnya setelah terusir dari desa mereka dua tahun lebih.

    Lapindo bikin surat resmi soal kesulitan dana ini tapi hanya ditujukan pada Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) dan ditembuskan ke Gubernur Jawa Timur dan Lapindo Brantas Inc. Dalam surat yang ditandatangani Bambang Mahargyanto, Direktur Utama Minarak Lapindo, menyebutkan Minarak tak bisa membayar karena kesulitan duit dan meminta BPLS supaya menekel tugas mereka terutama yang berkaitan dengan korban. Surat itu dibikin tanggal 28 Oktober 2008.

    Di pengungsian pasar baru Porong ada 420 berkas kepemilikan tanah yang belum mendapatkan 20 persen ganti rugi sesuai dengan peraturan presiden (14/2007). BPLS, yang dibentuk pemerintah untuk menangani lumpur Lapindo. Alih-alih membela warga yang terlantar nasibnya dan memperingatkan Minarak Lapindo supaya segera membayar malah sebaliknya menjadi corong Minarak. Pada Minggu (2/11) BPLS sibuk menjelaskan kondisi Minarak Lapindo pada pengungsi. Sementara Lapindo yang tidak membayar tak ada sepatah kata maaf buat warga yang kecewa.

    Ahmad Zulkarnaen, humas BPLS, kembali mengobral omong kalau BPLS tidak tutup mata terhadap masalah ini. Ketika ditanya kapan warga akan dibayar, “kami akan usahakan, tapi tidak bisa memastikan kapan.”

    Para pengungsi ini yang sejak Mei lalu dicabut jatah makannya oleh Minarak Lapindo tak tahu lagi musti bagaimana mendapatkan hak mereka. Dan karena penanganan kesehatan yang tak serius banyak diantara mereka yang jadi gila. “Ada sekitar tujuh orang yang berperilaku aneh,” tutur Giyanti, salah seorang pengungsi, karena tak ada pemeriksaan resmi Giyanti tak berani menganggap mereka gila.[re/mam]

  • Koran Tempo – Jangan Hambat Kasus Lapindo

    Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

    Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

    Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

    Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan “well kick” terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

    Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

    Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.[Editorial Koran Tempo, 31/10]

  • AAPG Day 2: showdown at the Lusi corral

    Things were a bit different from the other sessions at this conference: photographers and cameramen were roaming the room, and on my way in I had a press release from Lapindo Brantas thrust into my hands, informing me that most of the previously reported findings were based on ‘incorrect data’, and that this would be the first time ‘official data’ were presented to the scientific community. It transpired that this was also stretching the truth a bit; as the session unfolded it became apparent that this was more an issue of which data (specifically, which of the various measurements and estimates of borehole pressure) should be used, and how to interpret them. Contrary to their own press office, then, Lapindo Brantas – to their credit – seem to have been quite open about sharing their records with any interested party, even if they might disagree with how it is then used.

    The debate consisted of two talks from the pro-earthquake camp, followed by questions, then two talks from the pro-drilling camp, followed by more questions and a general discussion, ending with a poll of the audience. Below I’m summarising from notes I took during the session; as such, there may be some unintentional inaccuracies.

    First up was Adriano Mazzini, who reviewed his arguments that the eruption was the result of the Yogyakarta earthquake reactivating a pre-existing fault that runs through the area. Main points:

    • There is clear evidence of displacement along this fault after the eruption, and other small mud eruptions also occurred along its trace at the time Lusi erupted. This does indeed signal that this fault acted as a conduit for upwelling fluids.
    • However, the question of what triggered this trigger – the ultimate cause of the fault suddenly becoming an open pathway for mud – is still open. The timing of the fault reactivation is not known, so it could just as easily have been the result of stresses induced by a nearby well blow-out as by an earthquake. In support of the latter, pressure losses in well at the time of the earthquake might indicate that there were measurable stresses being induced in the subsurface, more than is assumed by the pro-drilling camp.
    • Lusi’s eruption has been abnormally lengthy; natural mud volcano eruptions tend to last a few days (and in this respect it seems that Lusi also differs from the other eruptions in the area he talked about, which were further from the borehole). It might be something to do with this being an entirely new system, but it could just as easily be a sign of unnatural influences on the triggering of the eruption.
    • This area of Indonesia is “ideal”, both in terms of prevailing tectonic, structural and lithological conditions, for the formation of mud volcanoes, and the existence of a highly suitable ‘piercement structure’ (the fault) in the area meant that an eruption was only a matter of time. This last point would become important in the later discussion.

    The next speaker, from Lapindo Brantas, was the person who oversaw the borehole, which mades his slightly defensive tone entirely understandable. The talk aimed to use data from the borehole to demonstrate that a blow-out had not occurred.

    • The most important claim was that there was no evidence of the well being connected to Lusi’s plumbing, which you would expect if a well blow-out was the trigger. For example, following the eruption of Lusi they performed an “injection test”, where drilling mud was pumped into the borehole. As they did this, the pressure in the well slowly built up, which can only happen if the well is sealed; if there was a breach in the well, the fluid would escape.
    • The pressure losses at around the time of the earthquake talk prompted the decision to case the unsealed part of the borehole before drilling deeper. As they were puling out the drill string to do so on the 28th May, there was a ‘kick’ in the hole – an increase in pressure due to fluid entering from the surrounding rock. The pressure increase from this kick, and whether it was enough to trigger a blow-out, is one of the major sticking points of this whole argument.
    • The pro-drilling people have published calculations that indicated that it was more than high enough to trigger a blow-out. It was claimed here that these calculations were performed incorrectly, and should give much lower (and safe) pressures. I can’t claim enough expertise to tell if these criticisms were valid or not.
    • Either way, borehole records after the kick are inconsistent with it being the result of a well blow-out.

    The first speaker from the pro-drilling camp, Mark Tingay, gave a very nice presentation which actually addressed the pros and cons of both theories, although he was clear which he favoured.

    • Earthquake reactivation of the fault seems unlikely from the calculated differential shear stresses it induced in the area around Lusi (for more details you can read Maria’s post on this, since she was involved in this study). He had a nice plot to illustrate this point, which I reproduce schematically here.

      lusidebatefig.png

      Basically, the earthquakes which are known to have triggered mud volcanism (green dots) were either larger and/or closer to the induced eruptions than Lusi was to the Yogyakarta earthquake (big red dot), and other seismicity in the area prior to the eruption (orange dots) appears to have induced similar, or in some cases greater, differential stresses. There is of course a lot of uncertainty about how strong the fault was (how large a differential stress you need to cause it to fail), but the point is that there was nothing special about the May 27th earthquake in terms of the force it exerted in the area.

    • The apparent disconnection of the well from Lusi could be due to the lower part being sealed off due to it being blocked by rock fragments from the blow-out (which is apparently quite common), or shearing.
    • The evidence following the kick is “unclear”, but the stresses that it induced were an order of magnitude larger than those due to the earthquake
    • This was a problematic hole, with lots of pressure losses and kicks, and the ‘drilling window’ – the range of pressures where the drilling mud will safely just sit there – was very narrow. This was a result of the well design being based on holes drilled through this sequence quite a distance away, where the underlying carbonates were not overpressured. However, in another well very close by, the carbonates were under extremely high pressure, and they almost lost that well to a blow-out when they hit them. By not taking this into account, it would have been nearly impossible to stop a blow-out following the kick.
    • There is a series of linear surface fractures leading between the well and the Lusi vent, which have not erupted any mud but are an indication of sub-surface fracturing.

    The final presentation was by Richard Davies, the person whose paper implicating the drilling kicked off my interest in this subject.

    • This talk was a review of the events in the well leading up to the Lusi eruption. It was a very good summary, but most of the points have been covered in my accounts of the previous speakers.
    • However, in the middle of the talk, proving that for every expert there is an equal and opposite expert, another (non Lapindo Brantas) drilling engineer came up to the stage to show us how all the well pressure data was consistent with the initial kick being due to a blow-out (I think that the main argument was that you had pressure losses after the hole was sealed).

    The discussion following the talks emphasised a couple of other points of disagreement, such as the shaking intensity in the Lusi region from the May 27th earthquake: the pro-drillers say I-II, pro-quakers claim IV. Mazzini also argues that the eruption is entirely sourced within the mudstones with the water produced by clay minerals reacting to form illite and water, whereas Davies et al. say that the water is mainly from the underlying carbonates. It is a lot of water, although I guess it would be hard to claim the earthquake would cause the carbonates to breach.

    However, more interesting was that several people picked up on the suggestion that this was clearly a prime area for mud volcano formation, and wondered quite loudly why the hell any drilling was being done there in the first place. To sum up the mood, one questioner complimented the second speaker for standing up there to defend the drilling, when it really should be the geologists who told him to drill there in the first place. It’s a good point; perhaps the focus should be less on the drilling practice on this specific well, because whatever your procedures and safety precautions, accidents can and do happen, and more on well siting decisions in general, particularly decisions to drill in “primed” areas like this one, where the margin for error is rather slim.

    This attitude might explain why in the closing straw poll, more than 50% of the audience was willing to blame the whole mess on the drilling. Only a tiny fraction thought that the earthquake was solely to blame, with roughly equal numbers of the remaining half either thinking it could have been both, or finding it inconclusive either way. In conclusion, it was a very interesting session, and was conducted in a very fair-minded and respectful manner given the contentious nature of the debate.

    Sumber: http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2008/10/aapg_day_2_showdown_at_the_lus.php?

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Conclusive Vote on Cause of Indonesian Mud Volcano

    Professor Richard Davies
    Professor Richard Davies

    A Durham University scientist has played a key role in helping determine the cause of the Java mud volcano, Lusi.

    Two years’ of global public debate over the possible causes of Lusi has finally concluded. A resounding vote of international petroleum geologists from around the globe, including Durham University geologist Professor Richard Davies, concluded the mud volcano was triggered by drilling of a nearby gas exploration well.

    This may have implications for compensation of the local population affected. (more…)

  • TEMPO Interaktif – Pengusutan Hukum Kasus Lapindo Buntu

    "Tanpa itu, hasil konferensi hanya sebagai referensi kita," kata Mulyono,
    kepala seksi penerangan hukum kejaksaan tinggi, di Surabaya kemarin.

    Dalam pertemuan geolog dunia itu mayoritas peserta mengatakan semburan lumpur
    yang sudah berlangsung sejak Mei 2006 tersebut akibat kesalahan pengeboran.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka.
    Namun, sampai saat ini pengusutan hukum kasus semburan lumpur tersebut masih
    menemui jalan buntu.

    Kejaksaan menilai penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur belum sempurna
    meskipun telah empat kali dilimpahkan.

    Kepala Polda Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja beberapa waktu yang
    lalu meminta kejaksaan segera menyatakan sempurna (P-21) atas berkas perkara
    Lapindo.

    "Kasus lumpur terjadi karena kesalahan dan kelalaian. Saya hanya berharap
    kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik
    terang," kata Herman.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, mempertanyakan pemungutan suara dalam
    konferensi di Afrika Selatan itu. “Diskusi ilmiah, yang seharusnya untuk
    mengungkapkan kebenaran ilmiah, namun diakhiri dengan voting, tidak lazim dalam
    forum ilmiah,” kata Yuniwati melalui siaran pers. AQIDA | KUKUH SW | ROHMAN
    TAUFIQ

     

  • KOMPAS – Geolog Dunia Yakin Lumpur Tak Dipicu Gempa

    ”Pemungutan suara diambil setelah empat presentasi dan tanya jawab hingga dua
    setengah jam,” kata ahli pengeboran minyak anggota Drilling Engineers Club (DEC)
    Susila Lusiaga kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/10). Kamis pagi, ia dan
    ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini baru tiba dari
    Cape Town.

    Sejauh ini, hasil pemungutan suara itu menjadi dukungan terbesar bahwa
    semburan lumpur tak terkait gempa. Sebaliknya, terkait pengeboran sumur
    Banjarpanji- 1 (BP-1).

    Sebelumnya, secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil, para geolog
    dan ahli pengeboran menyatakan pengeboranlah pemicu utama, yang dibantah
    geolog-geolog lain. Dua kubu pun tercipta.

    Atas dasar hasil pemungutan suara itu pula, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo
    (GMLL) meminta pemerintah serius menanggapinya. Bahkan, pemerintah didesak
    menjadikan hasil diskusi itu sebagai salah satu bukti penguat kasus gugatan
    hukum terhadap Lapindo Brantas Inc.

    ”Sikap (pemungutan suara) itu jelas dari para pihak independen yang
    meyakinkan dan dapat dipercaya. Itu layak dipertimbangkan,” kata Taufik Basari
    dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, salah satu anggota GMLL.

    Berdasarkan hasil pertemuan di Cape Town, GMLL akan menyurati Presiden.
    Intinya, meminta agar penanganan hukum dan sosial diperbaiki.

    ”Surat akan segera kami kirim dalam waktu dekat,” kata salah satu deklarator
    GMLL Letjen Mar (Purn) Soeharto.

    Dihubungi di Cape Town, geolog yang juga Senior Vice President PT Energi Mega
    Persada Bambang Istadi mengatakan, pemungutan suara tidak mewakili pendapat
    geolog seluruh dunia. Lama presentasi dan diskusi juga terbatas.

    ”Namun, kesempatan itu membuka peluang menentukan kerja sama menentukan
    kejadian sebenarnya,” kata dia. Ia dan Nurrochmat Sawolo, Senior Drilling
    Adviser PT Energi Mega Persada, memaparkan fakta dan data seputar pengeboran
    sumur BP-1 dalam sesi diskusi tersebut.

    Rencananya, lanjut Bambang, Lapindo akan mengadakan forum diskusi tertutup,
    termasuk mengundang geolog Inggris Richard Davies, yang menyatakan pengeboran
    sebagai pemicu semburan, untuk membaca dan menganalisa data serta fakta
    pengeboran. ”Mari saling terbuka, tanpa prasangka. Analisa data dari hasil
    lapangan,” kata dia.

    Penderitaan warga

    Di tengah pembahasan geolog tingkat dunia, London, Inggris, dan Cape Town,
    Afrika Selatan, puluhan ribu warga korban lumpur masih tinggal dalam
    kekhawatiran. ”Warga fokus pada tuntutan yang belum juga dipenuhi,” kata
    pendamping warga, Paring Waluyo.

    Saat ini, tak sedikit warga yang belum menerima ganti rugi 20 persen. Apalagi
    sisa 80 persennya. Kelompok warga yang menerima skema pindah tempat tinggal dan
    kembalian pun, mengeluhkan sistem pengangsuran kembalian.

    ”Semua skema yang dipilih warga untuk ganti rugi, menyisakan kekecewaan
    karena pembayaran tersendat dan itu terus bertambah,” kata Paring. Sementara
    itu, semburan lumpur terus terjadi tanpa solusi lain, selain penanggulangan dan
    mengalirkan ke sungai yang terkendala.

    Pihak Lapindo, hingga awal September 2008, mengaku telah mengucurkan dana Rp
    4,39 triliun untuk berbagai keperluan. (GSA)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01082166/geolog.dunia.yakin.lumpur.tak.dipicu.gempa

     

  • Geologists Blame Gas Drilling for Indonesia Mud Disaster

    img_0641The University of Durham, in northeastern England, said 74 top scientists in petroleum geology debated Lusi at a conference in Cape Town, South Africa on Tuesday.

    Four experts put forward varying hypotheses, including the university’s professor of geology, Richard Davies, it said in a press release.

    Forty-two scientists voted in favour of Davies’ argument that the cause lay with a gas exploration well, Banjar-Panji-1, that was being drilled in the area by oil and gas company Lapindo Brantas, it said. (more…)

  • Belum Ada Kejelasan Nasib Karyawan Tanggul

    “Sampai sejauh ini alasannya perusahaan bangkrut,” ujar Agus Mulyadi (25 tahun), salah seorang pekerja tanggul. “Kami sama sekali tak bisa menerima alasan itu,” lanjutnya.

    Pasalnya, masih menurut Mulyadi, pemberhentian ini hanya dilakukan terhadap pekerja dari satu perusahaan saja dan diberlakukan hanya pada pekerja dari dua desa di atas. 

    “Pekerja dari kota-kota lain tidak ada satupun yang diberhentikan,” tutur Mulyadi. 

    Kebanyakan pekerja ini telah bekerja sejak awal semburan alias lebih dari dua tahun. Gaji mereka sekira 2 juta rupiah perbulannya dan kontrak mereka akan habis bulan depan. “Belum ada kejelasan status untuk kami hingga saat ini, pesangon saja tidak ada,” tutur Mulyadi. 

    Mulyadi bersama pekerja lainnya melakukan protes dengan melakukan penghentian segala aktifitas penanggulan. “Kami telah meminta kepada para pekerja lain untuk tidak bekerja hingga tuntutan kami untuk perpanjangan kontrak terpenuhi,” ujar agus. “Kami akan tetap melaksanakan aksi hingga mendapatkan kejelasan mengenai status kami.”

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai supervisor perusahan ini, hingga saat ini, belum memberikan statement resmi. Ahmad Zulkarnaen, humas BPLS,  tak mengangkat telepon selulernya saat dihubungi kanal sesaat setelah magrib tadi. [mas&mam]

  • Kasus Lapindo dan Gubernur Jatim

     

    Skema penyelesaian masalah sosial kasus lumpur
    Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007, terbukti tidak efektif. Aturan
    Perpres No 14 Tahun 2007 menimbulkan tafsir bermacam-macam. Realisasinya
    berbelit dan tidak konsisten. Esuk dele, sore
    tempe,
    bengi
    tempe njamur, esuk maneh

    tempe
    bosok… dst.

    Korban Lapindo yang manut resettlement disediakan tanah sengketa, seperti
    terjadi di Desa Sumput, Sukod
    ono,
    Sidoarjo.

    Ada

    yang menangis karena hanya menerima kunci di hadapan pejabat pemerintah dan
    wartawan, tapi ternyata rumahnya belum ada.

    Penyelesaian masalah sosial yang diserahkan kepada Lapindo memunculkan
    masalah sosial baru dengan adanya praktik ‘angsuran’ yang macet itu. Lapindo
    pastilah akan mati-matian mempertahankan kebenaran versi dirinya dan menganut
    prinsip dan motif ek
    onomi
    konvensional kapitalisme. Tetap saja kalah dengan Perum Pegadaian yang
    menerapkan prinsip: “Menangani masalah tanpa masalah.”

    Nasib korban Lapindo diserahkan kontraktor swasta, disuruh transaksi dengan
    kontraktor. Pemerintah menugasi Lapindo, lalu Lapindo menunjuk PT MLJ, lantas
    PT. MLJ menunjuk PT. WAR. Dioper-oper, tidak langsung ditangani negara. Badan
    Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) masih kalah perbawa dengan Lapindo.

    Praktik penanggulangan masalah sosial seperti itu melanggar prinsip Pasal 28
    I ayat (4) UUD 1945 yang menentukan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan,
    dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama
    pemerintah. Pemerintah diam ketika tahu nasib korban Lapindo dioper-oper
    menjadi barang dagangan.

    Jika praktik ini terus dipertahankan, nasib korban Lapindo tak akan
    terselesaikan hingga tiga tahun ke depan. Jika mau digugat, seluruh kekayaan
    Grup Bakrie yang terkaya di Asia Tenggara itu tak akan cukup mengganti kerugian
    imateriil (moril) korban Lapindo.

    Bersabar adalah resep paling gampang. Setelah

    lima
    tahun, korban Lapindo bisa menggugat.
    Tunggu hukumnya bertambah baik.
    Para hakim
    yang 90 persen korup itu sudah banyak yang mati. Grup Bakrie akan kalah di
    pengadilan, seperti ExxonMobil, korporasi raksasa Ame
    rika.

    Tahun 2008 ini, Exxon kalah di Mahkamah

    Agung
    AS

    sendiri lawan penduduk Aceh, dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh. Tentu ini
    juga sindiran bagi penegak hukum

    Indonesia
    yang sering menjadi
    gedibal korporasi hitam.

    Gubernur Baru
    Gubernur Jawa Timur (Jatim) masih memerintah dengan

    gaya
    lama. Tidak progresif. Ia tunduk kepada
    Perpres dibandingkan UU, meski UU derajatnya lebih tinggi dibandingkan Perpres.
    Sama halnya bupati Sidoarjo, yang memilih Perpres No 14 tahun 2007 dibandingkan
    kewajibannya menurut Pasal 14 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
    (jo. UU No. 12 Tahun 2008).
    Gubernur Jatim sebenarnya bisa mengambil-alih penyelesaian kasus Lapindo.
    Dasarnya Pasal 25 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo.
    Pasal 13 UU  No. 32 tahun 2004. Data kasus itu sudah banyak
    tersedia. 

    Gubernur Jatim seharusnya mengeluarkan keputusan agar Lapindo Brantas Inc
    dan induk korporasinya menanggung seluruh biaya penanggulangan kerusakan
    lingkungan hidup. Paradigma baru ekologi bukan lagi soal pohon, kecebong, ikan
    dan lain-lain nonmanusia. Tapi aktor utamanya berupa manusia juga menjadi
    bagian penting.

    Dalam keputusannya itu, gubernur Jatim menetapkan bahwa pelaksana
    penanggulangan masalah lingkungan akibat semburan lumpur Lapindo adalah Pemprov
    Jatim dengan dana talangan Pemprov Jatim  yang dimintakan ganti kepada
    Lapindo dan induknya.

    Jika Pemprov Jatim tak punya cukup uang, bisa menggalang donasi
    internasional dan pinjaman sosial tanpa bunga yang akan diganti bertahap hingga
    20 tahun ke depan, sambil menagih Grup Bakrie. Kalau Grup Bakrie tak mau
    membayar ya dipaksa melalui hukum dan politik ek
    onomi.
    Masak negara kalah lawan partikelir?

    Sedangkan Perpres No 14 tahun 2007 dan No 48 tahun 2008 dianggap (ditafsir)
    sebagai pelengkap. Jika menjadi konflik pemerintah pusat dengan daerah, yang
    penting korban Lapindo diselesaikan dulu. Soal konflik dihadapi saja sambil
    berjalan. Risiko hukum dan politik dihadapi, seperti Presiden SBY, yang berani
    menghadapi risiko hukum dan politik dalam membatasi tanggung jawab Lapindo.

    Beranikah gubernur Jawa Timur yang baru nanti? Dijamin: TiDAK AKAN BERANI.
    Ini menyangkut mental politisi pada umumnya, yang memilih bersahabat dengan
    konglomerat. Sikap abu-abu politisi

    Indonesia
    seperti itu biasanya bawaan
    ketika masih mahasiswa, akademisi atau aktivis.Tak berani terus terang melawan
    korporasi penindas, tapi malah minta dana proyek, program atau pekerjaan.

    Jika prediksi saya ini meleset, alhamdulillah, saya akan jungkir balik 10
    kali di Taman Bungkul! Mohon ingatkan saya nanti! Mari kita lihat!

    Tentang penulis:
    Subagyo, ketua Departemen Advokasi LHKI Surabaya.

     

  • ANTARA – Kaukus DPR Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Lapindo

    "Wilayah empat desa ini sudah diusulkan dan mendapatkan persetujuan

    DPR
    RI

    tanggal 11 September 2008," kata Suripto yang juga Wakil Ketua Komisi III
    (bidang hukum) DPR itu.

    Menurut politisi PKS itu, kondisi keempat wilayah desa itu sudah sangat tidak
    layak huni lagi akibat dampak lumpur yang menyebabkan sumber-sumber penghidupan
    warga disana seperti sumur dan sawah, tidak dapat digunakan lagi.

    Tidak layaknya daerah tersebut juga dikarenakan munculnya bubble gas baru yang
    tidak terkendali. khususnya di Siring Barat, Mindi dan Jatirejo Barat serta
    penurunan tanah (land subsidience) sehingga banyak bangunan yang retak dan akan
    ambruk.

    Kaukus juga mendesak agar pembayaran pembelian tiga desa, yakni Besuki,
    Kedungcangkring dan Pejarakan yang juga diluar peta terdampak agar dilakukan
    secepatnya paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah berakhir. (*)

     

  • ANTARA – Lumpur Lapindo Tidak Dapat Ditutup, Kata Geolog Internasional

    Kesepakatan itu muncul dalam konferensi bertema "Subsurface Sediment
    Remobilization And Fluid Flow in Sedimentary Basins" yang diselenggarakan
    The Geological Society di London, Inggris, Rabu.

    Dalam siaran pers itu dikatakan, selama ini, beberapa geolog internasional
    seperti Richard Davies dari University of Durham, Inggris, Mark Tingay dari
    University of Adelaide, Australia, dan Michael Manga dari University of
    California, Berkeley, AS, menyimpulkan bahwa semburan lumpur itu dipicu oleh
    kegiatan pengeboran sumur Banjar Panji I (BJP I) milik Lapindo Brantas Inc.

    Davies juga yakin bahwa lumpur itu adalah sebuah "mud volcano" yang
    merupakan hasil remobilisasi sedimentasi laut jutaan tahun lalu.

    Dalam konferensi tersebut, geolog PT Energi Mega Persada, Bambang Istadi, yang
    menjadi pembicara asal Indonesia, menegaskan bahwa semburan lumpur itu bukan
    disebabkan oleh "underground blowout".

    "Ini berdasarkan empat fakta yang ada pada data autentik yang dimiliki
    Lapindo," kata Bambang.

    Menurut Bambang, data rekaman tes temperatur dan sonan selama 50 hari terhadap
    sumur BJP I menunjukan hasil menolak fenomena "blowout". Analisa suhu
    pada kedalaman 9000 kaki sumur adalah 140 derajat F, sedangkan suhu fluida di
    atas permukaan justru 200 derajat F.

    "Ini membuktikan bahwa sumur tidak terkoneksi dengan lumpur yang
    menyembur. Juga berdasarkan tes sonan tidak ada suara bising di dalam
    sumur," jelas Bambang.

    Fakta-fakta berikut yang diungkapkan Bambang adalah tidak ada luberan, gas,
    "steam" (uap air), ataupun lumpur yang keluar dari sumur BJP ketika
    dibuka. Kemudian, melalui proses "re-entry" diketahui bahwa mata bor
    tidak jatuh, walau semburan yang berjarak 200 meter dari sumut BJP I, itu sudah
    berlangsung satu setengah bulan.

    "Bila terjadi underground blowout, pasti mata bor itu jatuh karena
    material lumpur yang keluar sudah jutaan ton," ungkap Bambang seeprti
    dikutip siaran pers itu.

    Fakta lain yang diungkap Bambang adalah tidak ditemukan "systhetic oil
    based drilling" dalam tes diberbagai titik survei semburan.

    "Semua fakta menunjukkan sumur BJP I masih sehat dan tidak terkoneksi
    dengan semburan," jelasnya.

    Sementara itu, Richard Davies, yang juga menjadi penyelenggara konferensi
    tersebut, mengaku terkejut atas temuan itu. Dia langsung merespons dengan
    menyediakan diri bekerja sama dengan pihak Lapindo Brantas.

    "Saya baru pertama kali ini bertemu dengan Bambang Istadi, ya di London
    ini," ucapnya.

    Perdebatan teknis antar geolog dunia mengenai semburan lumpur itu akan
    berlanjut pada konferensi internasional di

    Cape Town
    , Af
    rika
    Selatan, pada 26 – 29 Oktober 2008, yang diselenggarakan American Association
    of Petroleum Geologists (AAPG).(*)

     

     

  • ANTARA – Semburan Lumpur Sidoarjo Diperkirakan Berlangsung 140 Tahunasus Lapindo Butuh Advokasi Internasional

    Dalam konferensi geologi internasional yang berlangsung 21-22 Oktober lalu,
    semua geolog internasional sepakat semburan lumpur Sidoarjo (Lusi), yang
    dikenal sebagai lumpur Lapindo adalah sebuah mud volcano yang biasa muncul
    akibat remobilisasi sedimen dan fluida cekungan bawah tanah.

    Gunung lumpur itu sudah tidak menjadi isu hangat lagi dalam konferensi geologi
    internasional yang berlangsung di Burlington House Piccadilly London. Namun isu
    pemicu terjadinya Mud Volcano menjadi fokus diskusi dalam pertemuan pakar
    geologi dunia itu.

    Beberapa geolog kelas dunia itu bahkan berpendapat, merasa beruntung karena
    bisa menjadi saksi dan mempelajari gunung lumpur raksasa yang sedang lahir dan
    tumbuh.

    Pada kesempatan itu juga dijelaskan bahwa gunung lumpur akibat remobilisasi
    lumpur bawah tanah itu sudah lama menjadi obyek penelitian ilmuwan global. Ilmuwan
    Eric Deville dari Perancis dalam membe
    rikan
    ceramah utamanya mengatakan, "mud volcano adalah sebuah sistem bumi agar
    lestari".

    Puncak sesi diskusi mengenai Lusi ketika Dr. Richard Davies dan ketiga temannya
    menyatakan bahwa semburan Lumpur Sidoarjo adalah akibat pemboran (drilling) BJP
    I.

    Namun peserta seminar Dr. Nurrohmat Sawolo ahli drilling dari PT Energi Mega
    Persada (EMP) langsung menepis hipotesa tersebut. Karena semua data yang
    dijadikan dasar penyimpulan Davies sangat beda dengan data drilling otentik
    yang dimiliki Lapindo. Padahal data versi Lapindo itu asli dan menjadi pegangan
    kepolisian dan kejaksaan RI dalam penyidikan kasus Lusi, katanya.

    Pembicara dari

    Indonesia
    ,
    Bambang Istadi menyimpulkan bahwa semburan Lusi bukan disebabkan oleh "underground
    blowout". "Dasarnya ada empat fakta berdasar data autentik
    Lapindo," jelasnya. Pertama, data rekaman tes temperatur dan sonan selama
    50 hari terhadap sumur BJP I menunjukan hasil menolak fenomena blowout. Fakta
    kedua tidak ada luberan, gas, steam, ataupun lumpur keluar dari Sumur BJP
    ketika dibuka.

    Fakta ketiganya adalah melalui re-entry diketahui mata bor tidak jatuh walau
    semburan yang berjarak 200 meter dari sumut BJP itu sudah berlangsung satu
    setengah bulan. Bila terjadi underground blowout pasti mata bor itu jatuh
    karena material lumpur yang keluar sudah jutaan ton.

    Fakta keempat tidak ditemukan "synthetic oil based drilling" dalam
    tes di berbagai titik survey semburan. "Semua fakta menunjukan sumur BJP
    masih sehat dan tidak terkoneksi dengan semburan," jelasnya.

    Peserta conference Dr. Christopher Jackson dari Imperial College London
    menyarankan solusi. "Harus segera ada kerjasama dan sharing data agar
    penyimpulan pemicu semburan Lusi menjadi benar," ujarnya.

    Sejak awal peserta geolog internasional yang datang dari Ame
    rika, Kanada, Perancis, Italy, Norwegia, Australia,
    German, Turki, Namibia, dan penjuru Inggris, Wales dan Skotlandia dalam
    konferensi ini sepakat bahwa Lusi sebuah mud volcano sebagai produk
    remobilisasi sedimen dan aliran fluida diwilayah cekungan bumi yang lemah.
    Karena itu semburan Lusi tidak bisa ditutup. (*)

     

  • Kasus Lapindo Butuh Advokasi Internasional

    27/10/08 | 17:16

    Jakarta (ANTARA News) – Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin mengatakan, kasus Lapindo membutuhkan advokasi internasional misalnya dengan memberikan kesadaran mengenai kasus tersebut kepada berbagai pihak di luar negeri.

    “Harus dibangun argumen bahwa ada sebuah kasus yang harus diperhatikan baik oleh sejumlah negara bersahabat atau para pelapor khusus PBB,” kata Rafendi dalam acara diskusi peluncuran buku “Tambang dan Pelanggaran HAM: Kasus Pertambangan di Indonesia 2004 – 2005” di Jakarta, Senin.

    Ia mengemukakan advokasi dan lobi di tingkat internasional pada masa lalu berhasil dalam mengubah sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional Freeport di Papua.

    Mengenai pengajuan kasus Lapindo hingga ke Mahkamah Internasional, ia mengaku skeptis akan gagasan tersebut karena terbatasnya yurisdiksi pidana HAM internasional yang hanya terkait dengan sejumlah hal seperti genosida dan kejahatan perang.

    Rafendi juga menuturkan, penegakan HAM dalam berbagai kasus pertambangan tidak hanya harus menjadi perhatian Komnas HAM tetapi juga membutuhkan kerjasama yang sangat erat dengan berbagai pihak penegak hukum lainnya.

    Selain itu, ia menginginkan agar terdapat revisi terhadap berbagai pasal “karet” di dalam KUHP yang bisa digunakan pihak perusahaan pertambangan untuk melegalisasi kegiatan mengeksploitasi sumber daya alam di Tanah Air.

    Rafendi juga mengutarakan harapannya agar penegakan yang dilakukan para penegak hukum tidak selalu bersifat positivistik atau harus selalu sesuai dengan yang tercantum dalam perundangan, tetapi mereka juga mesti memperhatikan nilai HAM yang terkandung di dalamnya. (*)

  • Sekolah Swasta Bertahan

    Jumat, 10 Oktober 2008

    Sidoarjo, KOMPAS – Pihak sekolah swasta milik Yayasan Kholid bin Walid di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, memilih tetap bertahan meski wilayah itu sedang dalam proses pembangunan tanggul kolam penampungan lumpur Lapindo. Alasannya, hingga kini pihak sekolah belum menemukan lokasi atau gedung baru sebagai gantinya.

    Kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini belum dimulai seperti sekolah lain yang kembali masuk pada hari Kamis (9/10). Kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang terdiri atas taman kanak-kanak, madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), madrasah tsanawiyah (SMP), dan madrasah aliyah (SMA) itu baru akan dimulai pada hari Senin (13/10).

    Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Kholid bin Walid, Ali Asa’ad, mengatakan, meski proses pembangunan kolam lumpur sudah dimulai, kegiatan belajar-mengajar di sekolah tetap akan berlangsung seperti biasa. Ia mengatakan, hingga kini pihaknya belum menemukan gedung baru sebagai pengganti gedung yang ada saat ini jika nanti dirobohkan untuk pembangunan tanggul.

    Anggota staf Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), Akhmad Kusairi, berharap agar gedung sekolah milik Yayasan Kholid bin Walid tidak digunakan lagi sebagai tempat belajar-mengajar. Luapan air lumpur membuat sekolah tersebut tidak layak digunakan lagi. (APO)

  • Renokenongo Dijaga Polisi

    Selasa, 14 Oktober 2008 | 11:47 WIB

    SIDOARJO, KOMPAS –  Sehari setelah unjuk rasa besar rakyat korban lumpur panas PT Lapindo Brantas, desa Reno Kenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur dijaga ratusan polisi, Selasa (14/10).

    Polisi berseragam dan berkendaraan roda dua berkeliling di jalan-jalan desa yang sudah dirobohkan rumah-rumahnya karena luapan lumpur. Di tengah teriknya matahari, terlihat para polisi yang lelah berkeliling dengan motornya berhenti di sudut-sudut desa. Warung minum menjadi lokasi favorit berkumpulnya aparat negara.

    Mungkin karena kepanasan, para polisi membuka seragam mereka dan hanya mengenakan kaos dalam coklat. Minuman botol dingin dan televisi menyala menjadi selingan pembicaraan mereka.

    Di salah satu sudut desa, beberapa truk polisi diparkir. Truk itu sebelumnya membawa ratusan polisi lain yang ditugaskan berjaga-jaga mengantisipasi kemungkinan unjuk rasa rakyat korban. Rakyat berunjuk rasa karena tanah mereka ditanggul sementara ganti rugi 20 persen saja belum diberikan.

    Kegiatan penanggulan terus dilakukan dalam pengawasan dan pengawalan polisi. Rakyat korban hanya bisa menyaksikan tak punya daya. “Kami pasrah campur marah. Tapi apa daya kami. Mau keras kami lebih dikerasin dan kalah,” ujar Heri, warga Reno Kenongo.

    Meskipun marah, Heri tak banyak bisa berbuat untuk menuntut hak-haknya. Negara dinilainya tidak berdaya dalam memperjuangkan dan melindungi hak-hak warga. Seperti warga lain, Heri sambil menahan marah dan melupakan kegetiran kehilangan sejarah membongkar rumahnya sendiri. Kuburan keluarga di depan rumahnya sudah lama terendam lumpur dan tak lagi bersisa. “Kami sudah kehilangan semua termasuk keberanian untuk marah menuntut hak,” ujarnya.

    Wisnu Nugroho A