Author: Redaksi Kanal

  • Teror Lapindo

    Teror Lapindo

    Oleh: Anton Novenanto (http://novenanto.lecture.ub.ac.id/teror-lapindo/)

    Bagi para peneliti yang mendalami kasus Lapindo –setidaknya saya–, artikel pendek Gregory Forth (“Heads under bridges or in mud. Reflections on a Southeast Asian “diving rumor”, 2009) mungkin sepintas tidak menarik ataupun relevan bagi perkembangan kasus tersebut. Namun, membaca ulang artikel tersebut, saya semakin terbuka dalam melihat sebuah fenomena baru yang saat ini sedang berkembang di Indonesia, yaitu bagaimana kasus Lapindo telah meninggalkan jejak bagi persoalan budaya tidak hanya di Porong, Sidoarjo, namun juga di segala penjuru Indonesia.

    Berburu kepala manusia untuk lumpur Lapindo

    Dalam artikelnya, Forth mengangkat tema rumor yang menyebar dalam masyarakat terkait dengan proyek pembangunan (modernisasi); bahwa dalam setiap pembangunan bangunan modern (jembatan, bendungan, dan, termasuk juga, gereja) membutuhkan kepala manusia, khususnya anak-anak, sebagai tumbal yang ditaruh sebagai pondasi dari struktur bangunan agar kuat dan bertahan lama. Rumor semacam ini, bahwa pembangunan membutuhkan tumbal manusia, menurut catatan Forth, juga menjadi tradisi di Eropa.

    Rumor telah menjadi perhatian Forth sejak lama. Namun, pada musim panas 2008, ketika Forth berkunjung ke Flores, tempatnya melakukan penelitian sejak 1984, dia terkesima dengan kemunculan sebuah rumor yang menyebar di sana tentang kebutuhan kepala anak-anak untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo di Jawa Timur. Jumlah yang dibutuhkan, menurut rumor itu, adalah ribuan dan hal itu menimbulkan ketakutan pada orangtua maupun anak-anak di Flores. Setiap harinya, para orangtua selalu mengawasi anak-anak mereka (sekolah, bermain) agar mereka tidak menjadi sasaran penculikan dan tumbal untuk menutup semburan lumpur Lapindo. Menurut catatan Forth, rumor serupa juga sempat menyebar di Sumba, Bali dan Kalimantan.

    Forth mencatat beberapa perbedaan antara rumor kepala manusia untuk lumpur Lapindo dan rumor kepala manusia untuk proyek pembangunan yang biasa beredar di Flores. Dalam rumor terkait lumpur Lapindo relasi yang muncul adalah bipartit –Jawa dan non-Jawa (Flores)–, sementara dalam rumor pembangunan biasa relasinya adalah tripartit –orang asing (Eropa), orang lokal (Flores), dan pekerja bangunan (biasanya datang dari Jawa). Dalam rumor terkait pembangunan biasa, diceritakan bahwa pelaku penculikan adalah para pekerja proyek pembangunan (yang kebanyakan adalah orang Jawa itu).

    Dalam pandangan Forth, relasi yang terbangun dalam rumor terkait kasus Lapindo yang beredar di Flores itu bukanlah sekadar relasi antara Jawa dan non-Jawa (Flores), namun lebih pada relasi antara mereka dan “negara” (atau “negara yang Jawa-sentris”). Diceritakan tentang adanya sekelompok “ninja” dari Jawa yang sengaja pergi ke Flores untuk mencari anak-anak non-Jawa untuk diambil kepalanya. Menurut rumor itu, kepala anak-anak Jawa tidak lagi efektif untuk dijadikan tumbal menutup semburan itu. Bila dalam rumor perburuan kepala sebelumnya anak-anak itu diculik dulu baru dipotong kepalanya, untuk kasus Lapindo diceritakan bahwa para ninja ini langsung membunuh anak-anak itu dan memotong kepala mereka seketika itu juga. Pada saat yang sama, BPLS juga berusaha menutup semburan dengan “bola-bola beton,” yang, lagi-lagi, menyerupai kepala manusia.

    Rumor dan teror

    Apa relevansi kisah tentang rumor pencarian kepala manusia itu di Flores tersebut dengan perkembangan kasus Lapindo di Indonesia sekarang ini? Belajar dari catatan Forth tersebut, kejadian lumpur Lapindo telah membuat orang Flores melakukan modifikasi atas rumor bahwa kepala manusia tidak hanya berguna dan dibutuhkan demi kelancaran proyek pembangunan (modernisasi), namun juga untuk menghentikan bencana lingkungan – lumpur Lapindo yang disebabkan oleh proyek pembangunan (pertambangan).

    Yang menarik bagi saya, tentu saja, bukanlah kadar kesahihan dari informasi yang inheren dalam rumor tersebut, namun lebih pada bagaimana rumor telah menjadi, apa yang disebut Michel Foucault (1972) sebagai, “wacana” yang menggerakkan dinamika sosial. Sebagai wacana, rumor telah menjadi struktur kuasa yang mengatur tindakan sekelompok manusia (Wolf 1999), dalam kasus ini para orangtua di Flores untuk mengawasi anak-anak mereka dari ancaman para ninja imajiner dari Jawa. Artikel Forth tersebut menunjukkan pada kita bahwa ada persoalan yang hegemonik, laten, dan kultural dari kasus Lapindo, yang bisa jadi lebih serius ketimbang semburan lumpur dan usaha mitigasi terhadapnya. Persoalan itu tidak hanya menyerang para korban ataupun orang yang tinggal di sekitar semburan di Porong, tapi juga menghinggapi bangsa Indonesia.

    Rumor, yang disertai dengan kepanikan, merupakan sebuah manifestasi rasa cemas dari sekelompok masyarakat terhadap sebuah perubahan yang akan terjadi pada mereka (Semedi 2014). Inheren dalam setiap rumor adalah ketidakpastian. Panik, menurut Enrico Quarantelli (1954), adalah perilaku yang menyertai suatu kondisi ketidaktahuan tentang apa yang bakal terjadi itu dan oleh karenanya perilaku macam ini biasanya “non-sosial” (dalam artian, lebih berorientasi pada menyelamatkan diri sendiri) dan “non-rasional” (dalam artian, lebih dilakukan secara spontan). Akan tetapi, nalar reflektif manusia modern telah membuka sebuah horizon tentang resiko-resiko yang inheren dalam setiap tindakan rasional manusia untuk mengatasi ancaman masa depan (Beck 1992). Alih-alih digerakkan oleh kepanikan, dinamika masyarakat semacam ini lebih diwarnai oleh pelbagai macam kecemasan yang muncul akibat mereka mengetahui apa yang bakal terjadi pada hidup mereka, sekalipun pengetahuan itu sifatnya hanya kalkulasi prakiraan semata. Oleh karena itu, kecemasan akan memicu perilaku-perilaku yang sosial (berorientasi pada orang lain), rasional (terukur, terencana, memperhitungkan untung/rugi), dan, dalam banyak kasus, sangat politis (memanipulasi perilaku orang lain).

    Efek Lapindo

    Menurut catatan BPK-RI (2007), kalkulasi ekonomi kerugian setahun pertama akibat semburan lumpur Lapindo telah mencapai angka 30 triliun rupiah. Untuk menangani itu, sampai tahun anggaran 2012 berakhir, BPLS telah menyedot uang APBN sebesar 3,5 triliun rupiah, yang sebagian besar habis untuk mengatasi semburan, merelokasi jalan, dan membeli aset korban “di luar peta.” Jumlah itu belum termasuk uang yang sudah dikeluarkan oleh Lapindo untuk biaya mitigasi awal dan pembayaran aset korban “di dalam peta.” Sampai Desember 2013, menurut catatan yang termuat di website BPLS (bpls.go.id, diakses terakhir 3 Juli 2014), Lapindo sudah menyelesaikan hampir 80 persen dari pembayaran pada korban, dengan nominal sebesar 3,049 triliun rupiah. Di luar itu, Lapindo sudah mengucurkan uang lebih dari 3 triliun rupiah untuk membiayai usaha awal mitigasi semburan lumpur yang dilakukan oleh Timnas PLPS (Lapindo Brantas 2011).

    Bagi warga Sidoarjo, kasus Lapindo telah meninggalkan trauma mendalam, mengingat dampak sosial-ekologi yang ditimbulkan oleh semburan lumpur itu cukup dahsyat. Selain itu, kecemasan warga tekait dengan resiko yang terkandung dalam sebuah gununglumpur (mud-volcano), seperti: tanah ambles dan retak (Abidin et al. 2008), kandungan logam berat dalam lumpur (Juniawan et al. 2012), endapan lumpur di Kanal Porong dan Selat Madura (Karyadi et al. 2012), gas hidrokarbon yang keluar bersamaan dengan semburan lumpur (Nusantara 2010), ataupun tanggul jebol. Semburan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti melahirkan pertanyaan tentang kemungkinan perluasan dampak sosial-ekologis dari lumpur Lapindo.

    Kasus Lapindo, sekalipun diklaim tidak akan mempengaruhi posisi Aburizal Bakrie dan Partai Golkar dalam kancah politik nasional, rupanya cukup signifikan dalam mempengaruhi kegagalan pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Partai Golkar dalam pemilihan presiden tahun ini (sesuatu yang sudah banyak diprediksikan oleh banyak kalangan). Kasus Lapindo telah menjadi “dosa politik yang tak termaafkan” dari Aburizal, sehingga tidak ada partai politik yang menginginkan koalisi dengan Partai Golkar jika tetap mengajukan ketua umumnya itu untuk maju sebagai kandidat calon presiden. Partai Golkar pun harus masuk dalam koalisi Partai Gerindra untuk mencalonkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden tahun ini. Disebutkan, jika pasangan ini memenangkan pemilihan presiden, maka Aburizal akan mendapatkan posisi sebagai “menteri utama” dalam kabinet mereka. Tentu saja, transaksi politik semacam ini juga berarti atribusi “dosa politik” Aburizal terkait kasus Lapindo pada pasangan tersebut.

    Terganjal Lapindo
    Terganjal Lapindo

    Wacana “Lapindo”

    Kasus Lapindo telah memaksa para pejabat pemerintah, dari level kepala desa sampai menteri, dan petinggi Lapindo, untuk berpikir keras dalam menyusun strategi politis untuk saling menyelamatkan diri dari ancaman pidana dan hukum. Salah satu yang paling mengancam adalah, tentu saja, perihal ijin dan pemboran non-prosedural Sumur Banjar Panji 1. Berdasarkan catatan tim dari BPK-RI, ijin pemboran Sumur Banjar Panji 1 telah melanggar beberapa aturan hukum tentang pertambangan dan juga peraturan daerah tentang tata ruang Kabupaten Sidoarjo, serta proses pemboran sumur tersebut dilakukan tanpa pengawasan ketat dari badan pemerintah manapun, khususnya BP Migas. Hal ini tentu saja kontradiktif dengan pernyataan seorang geolog BP Migas yang mengakui bahwa Blok Brantas merupakan salah satu tempat yang potensial bagi lahirnya sebuah gununglumpur (Satyana 2007); alih-alih mengawasi ketat proses pemboran di Blok Brantas, BP Migas justru membiarkan proses itu berjalan tanpa kontrol.

    Jika betul demikian, maka sanksi hukum mengancam para pejabat pemerintah tersebut. Jadi, sekalipun pada bulan Agustus 2006 Tim Investigasi –dibentuk oleh Menteri ESDM dan dipimpin oleh Rudi Rubiandini– menyatakan bahwa semburan lumpur dipicu oleh kesalahan pemboran –dan kemudian ini yang diyakini oleh publik sampai sekarang– (Rubiandini 2007; Tim Walhi 2008), para pejabat pemerintah pun mati-matian menjadi garda depan untuk meyakinkan publik bahwa semburan dipicu oleh gempabumi.

    Perubahan sikap pemerintah semacam itu dan pengingkaran terhadap kecelakaan industrial justru memancing resistensi keras dari publik. Wacana bahwa lumpur Lapindo adalah bencana industri bukannya tambah surut dan hilang, namun justru semakin kuat dan meluas. Imajinasi kehancuran yang melekat dalam lumpur Lapindo – lagi-lagi, terima kasih pada media massa dan teknologi informasi – telah menyebar luas tidak hanya di seputaran Porong, tapi juga sampai ke seluruh penjuru tanah air dan telah suatu teror tersendiri bagi warga yang tinggal berdampingan dengan kegiatan pertambangan.

    Di Sidoarjo, hal itu termanifestasikan dalam penolakan warga setempat terhadap aktivitas pemboran sumur baru oleh Lapindo di Kalidawir, yang masih merupakan areal Blok Brantas (ARA 2012). Bahkan, Bupati Sidoarjo Saiful Illah sempat menyatakan untuk tidak akan mengeluarkan izin pemboran baru pada Lapindo di wilayahnya selama pembayaran pada korban Lapindo masih belum tuntas (Sumedi 2013). Reaksi juga muncul di tempat lain. Di Jombang, warga menolak rencana Exxon Mobile melakukan eksplorasi di Blok Gunting (Praditya 2013). Dari Bandulan, Kabupaten Semarang, datang kabar tentang rencana eksplorasi panas bumi yang mendapat penolakan dari warga setempat (Munir 2014). Di Samarinda, warga mempertanyakan semburan lumpur yang terjadi di ladang minyak perusahaan asal Prancis, Total, di Blok Mahakam (Kaltim Pos, 16 November 2013).

    Reaksi-reaksi tersebut terkait erat dengan kekhawatiran warga bahwa peristiwa semacam lumpur Lapindo di Porong juga akan melanda mereka. Selain itu, resistensi warga lokal terhadap kegiatan pertambangan juga semakin meningkat di beberapa tempat di Indonesia, seperti di Rembang, di Blora, di Urutsewu, di Mataram, di Flores, dan masih banyak yang lain. Pada saat yang sama, sekelompok organisasi non-pemerintahan menjadikan hari semburan pertama lumpur Lapindo, 29 Mei, sebagai Hari Anti-Tambang (Hantam). Setiap tahunnya, solidaritas masyarakat sipil terhadap korban Lapindo di pelbagai kota telah bertransformasi menjadi gerakan menolak aktivitas pertambangan.

    Selama ini, para korban telah menjadikan tanggal 29 Mei 2006 (hari menyemburnya lumpur Lapindo) sebagai waktu sosial dan sakral dengan menggelar kegiatan-kegiatan komemoratif yang dipusatkan pada “29 Mei” setiap tahunnya. Uniknya, mereka tidak sekadar mengidentifikasi diri sebagai korban bencana lingkungan (semburan lumpur), tapi juga sebagai korban tragedi politik manusia –ketidaktegasan pemerintah dalam menangani dampak turunan dari bencana itu. Di tahun 2013 lalu, misalnya, mereka memasang monumen nisan Tragedi Lumpur Lapindo, yang tertulis:

    Lumpur Lapindo telah mengubur kampung kami.

    Lapindo hanya mengobral janji palsu.

    Negara abai memulihkan kehidupan kami.

    Suara kami tak pernah padam, agar bangsa ini tidak lupa.

    Di tahun 2014 ini, tema yang diangkat dalam rangkaian peringatan semburan adalah “Saatnya tenggelamkan sang raksasa lumpur Lapindo,” yang secara lugas menyerang Aburizal Bakrie dan Partai Golkar yang dipimpinnya.

    Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)
    Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)

    Jika rumor pencarian kepala anak di Flores untuk menutup semburan lumpur Lapindo –terlepas benar atau salah– telah memancing reaksi para orangtua, maka imaji kehancuran lingkungan dan ketidakbecusan politik bencana oleh pemerintah telah memicu tindakan masyarakat dalam bersikap terhadap pemerintah dan industri tambang di Indonesia. Rentetan peristiwa tersebut, tentu saja, merupakan bukti bahwa kasus Lapindo telah menjadi sebuah struktur kuasa yang tidak hanya mengatur perilaku masyarakat, tapi juga menteror siapa saja yang tinggal di republik ini.

    Pustaka acuan

    Abidin, H. Z., R. J. Davies, M. A. Kusuma, H. Andreas & T. Deguchi 2008. Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006 – present). Environmental Geology.

    ARA 2012. Warga masih trauma; Lapindo: “well test” bukan pengeboran sumur gas. Kompas, 26 Mei, h. 21.

    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2007. Laporan Pemeriksaan atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan.

    Beck, U. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity (trans M. Ritter). London, Newbury Park, New Delhi: Sage Publication.

    Forth, G. 2009. Heads under bridges or in mud. Anthropology Today 25, 3–6.

    Foucault, M. 1972. The Archaeology of Knowledge (trans A. M. S. Smith). New York: Pantheon Books.

    Juniawan, A., B. Rumhayati & B. Ismuyanto 2012. The effect of carbon organic total and salinity on the discharge of heavy metals Pb and Cu in Lapindo mud into the Aloo River.Journal of Pure and Applied Chemistry Research 1, 41–50.

    Karyadi, Soegiarto & A. Harnanto 2012. Pengaliran Lumpur Sidoarjo ke Laut Melalui Kali Porong. Malang: Bayumedia Publishing.

    Lapindo Brantas 2011. Social Impact Report: Sidoarjo Mud Volcano. Jakarta.

    Munir, S. 2014. Eksploitasi geotermal Gedong Songo; Warga dihantui trauma Lapindo. Kompas.com, 3 Juni (available on-line: http://regional.kompas.com/read/2014/06/03/0920383/Ekpsloitasi.Geothermal.Gedong.Songo.Warga.Dihantui.Trauma.Lapindo.).

    Nusantara, B. C. 2010. Empat tahun janji tak pasti. Jurnal Dinamika HAM 10, 105–121.

    Praditya, I. I. 2013. Trauma lumpur Lapindo hambat eksplorasi migas di Jatim. Liputan6.com15 November (available on-line: http://bisnis.liputan6.com/read/747016/trauma-lumpur-lapindo-hambat-eksplorasi-migas-di-jatim?wp.trkn).

    Quarantelli, E. L. 1954. The nature and conditions of panic. The American Journal of Sociology 60, 267–275.

    Rubiandini, R. 2007. Kejadian dan Penanggulangan Semburan Lumpur di Sekitar Sumur Banjarpanji-1 Lapindo Brantas Inc. Bandung.

    Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

    Semedi, P. 2014. Palm oil wealth and rumour panics in West Kalimantan. Forum for Development Studies 1–20 (available on-line: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08039410.2014.901240).

    Sumedi, D. P. 2013. Pemkab Sidoarjo belum izinkan Lapindo ngebor lagi. Tempo.co, 11 September (available on-line: http://www.tempo.co/read/news/2013/09/11/206512392/Pemkab-Sidoarjo-Belum-Izinkan-Lapindo-Ngebor-Lagi).

    Tim Walhi 2008. Kejadian dan penanggulangan semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. In Lapindo: Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi (ed) D. Setiawan, 1–37. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

    Kaltim Pos, 2013. Total yakin tak seperti Lapindo, 16 November (available on-line: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/41047/total-yakin-tak-seperti-lapindo.html.

    Wolf, E. R. 1999. Envisioning Power: Ideologies of Dominance and Crisis. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

  • Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    IMG_20140528_180212Oleh: Henri Nurcahyo

    Sudah delapan tahun lumpur Lapindo menyembur, masih juga belum ada kejelasan penyelesaian persoalan yang menyelimutinya. Semburan lumpur itu bukan hanya sebuah peristiwa geologi semata, namun juga bencana sosial, bencana intelektual dan juga bencana budaya. Lapindo telah menggunakan segala macam cara untuk menciptakan wacana pembenaran bahwa mereka tidak bersalah.

    Celakanya, kalangan ahli geologi sendiri, malah tidak satu suara untuk menegaskan penyebab terjadinya semburan. Apakah ilmu geologi tidak cukup canggih untuk menjelaskan peristiwa eksakta seperti itu? Bahkan organisasi profesi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) sendiri hingga kini tidak pernah punya sikap resmi terkait semburan yang mencelakakan itu. Para ilmuwan berebut mengumbar serangkaian teori dan kepintarannya bersilang pendapat sehingga malah membingungkan masyarakat. Inilah yang disebut Bencana Intelektual.

    Padahal, dalam logika awam, penyebab terjadinya semburan lumpur itu karena Lapindo melakukan penyeboran di situ. Lepas apakah ada pengaruh gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum semburan, lepas dari kesalahan prosedur pengeboran, lumpur tidak akan menyembur kalau Lapindo tidak mengebor di kawasan yang sebetulnya sudah diketahui punya potensi kuat menyemburkan lumpur itu. Proses awal mula penentuan lokasi pengeboran itu sendiri saja sudah sarat dengan rekayasa dan manipulasi.

    Peristiwa semburan lumpur Lapindo ini adalah bencana budaya, karena masyarakat diteror oleh perang wacana untuk menerima logika yang seolah-olah ilmiah. Para guru pasti akan bingung menjawab ketika ditanya muridnya perihal apa yang menyebabkan terjadinya semburan itu. Kebingungan ini akan terus membekas selama puluhan tahun, persis seperti wacana pembenaran pembantaian terhadap (mereka yang dituduh) PKI yang mengendap di kepala rakyat negeri ini selama puluhan tahun, sampai kemudian muncul upaya mencari kebenaran setelah Soeharto runtuh.

    Teror wacana budaya ini juga merambah wilayah dongeng, yang menyebut-nyebut dongeng Timun Mas untuk menguatkan alasan bahwa memang sudah wajar terjadi semburan lumpur di Porong. Sebab, dongeng Timun Mas adalah varian Cerita Panji, sebuah kisah legenda yang berpusat di Daha (Kediri) dan Jenggala (Sidoarjo). Dalam dongeng itu memang disebutkan sang raksasa tenggelam dalam lautan lumpur akibat lemparan terasi (belacan) oleh Timun Mas. Rekayasa ini diperkuat dengan kitab-kitab kuno yang seolah-olah sah sebagai sumber sejarah.

    Banyak orang yang dengan mudah percaya tafsir mainstream terhadap dongeng tersebut. Padahal, sesungguhnya dongeng Timun Mas seperti yang banyak dikenal orang selama ini bukan dongeng Jawa Timur, melainkan Jawa Tengah. Sementara yang berkembang di Jawa Timur sendiri adalah dongeng Timun Mas dalam versi yang lain. Saya menemukan sedikitnya ada tiga versi berbeda mengenai dongeng ini, sebagaimana yang menjadi bahan cerita ludruk dan Wayang Kancil. Dongeng Timun Mas versi Jatim ini memang tidak populer, namun yang jelas dalam versi ini justru sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya lautan lumpur.

    Sebagaimana varian Cerita Panji lainnya, tokoh perempuan selalu identik dengan Dewi Sekartaji, sedangkan tokoh lelaki yang menjadi pahlawan penyelamat si perempuan adalah penyamaran Panji Asmorobangun. Pakem seperti itulah yang juga terdapat dalam dongeng Ande-ande Lumut yang juga merupakan varian Cerita Panji. Disebutkan bahwa Kleting kuning adalah Dewi Sekartaji, sedangkan Panji Asmorobangun menyamar sebagai Ande-ande Lumut.

    Rekayasa dongeng ini, dengan menyejajarkan dongeng Timun Mas dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo, tanpa disadari justru membuahkan blunder tersendiri. Karena dalam dongeng itu tokoh Raksasa dikalahkan oleh gadis desa yang lemah tak berdaya bernama Timun Mas. Lantas, mengapa dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo ini yang tenggelam justru “timun mas” dan bukan raksasanya? Itulah sebabnya para pegiat pembela korban lumpur lantas menguatkan logika ini dengan menjadikannya tema peringatan 8 tahun semburan lumpur Lapindo. Pesan utama dalam dongeng itu malah semakin dipertegas dengan kalimat, “sudah saatnya menenggelamkan raksasa dalam kubangan lumpur Lapindo”.

    Paradigma seperti ini sudah dipakai untuk mendasari peringatan semburan lumpur setahun lalu, dengan membuat ogoh-ogoh berupa raksasa berbaju kuning, kemudian dilemparkan ke kubangan lumpur. Ogoh-ogoh itu masih ada hingga sekarang.

    Dan saat ini Dadang Christanto yang jauh-jauh datang dari Australia semakin mempertegas penderitaan para Timun Mas itu. Mereka divisualkan dengan patung-patung manusia dengan tangan menengadah, membawa sisa-sisa perabotan rumahtangga sebagai harta yang terakhir. Juga para seniman Taring Padi dari Yogyakarta menyajikan puluhan instalasi berupa tangan-tangan yang terbenam, hanya kelihatan bagian lengan dan lima jari tangannya seperti orang tenggelam. Ini juga tangan-tangan Timun Mas yang masih menderita hingga sekarang, masih terombang-ambing oleh perdebatan kaum elitis. Bukan pada tempatnya mereka yang tenggelam, justru si Raksasa itulah yang seharusnya terbenam dalam kubangan laknat ini. Tunggu saja waktunya. (*)

    Henri Nurcahyo, penulis buku “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo”, penerbit Asosiasi Tradisi Lisan.

    Sumber: Jawa Pos, 1 Juni 2014

  • Sewindu Lumpur Lapindo (3): Korban Lumpur Lapindo Bingung Nyoblos

    Sewindu Lumpur Lapindo (3): Korban Lumpur Lapindo Bingung Nyoblos

    indep

    Belasan ribu warga korban lumpur masih bingung di tempat pemungutan suara (TPS) mana akan akan mencoblos saat pemilihan presiden (Pilpres), Juli 2014 mendatang. Mereka ini tidak mendapat TPS. Bahkan belasan ribu dari mereka tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT).

    Ribuan warga lain, namanya masih masuk DPT di TPS desa asal mereka. Namun mereka ini sudah meninggalkan desa itu dan hidup berpencar di tempat tinggal sementara atau pengungsian.

    Berdasarkan pemutakhiran data pemilih yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sidoarjo, per Mei 2014, pemilih di empat desa dicatat nol. Keempat desa tersebut memang telah hilang terkubur lumpur. Terdiri Jatirejo, Reno Kenongo, Siring, Kecamatan Porong. Satu lagi, Desa Kedung Bendo, yang masuk Kecamatan Tanggulangin. Pemilik hak pilih dari empat desa, yang diperkirakan mencapai 15.000 lebih terancam tidak menggunakan hak pilih.

    Di luar empat desa, ada dua desa lain, yang ribuan warganya terancam tidak bisa menggunakan hak pilih. Kedua desa itu adalah, Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin dan Desa Mindi Kecamatan Porong. Di sini 8.000 warga masuk DPT dan TPS-nya pun masih tercatat di KPU.

    Persoalannya, kedua desa ini sudah kosong, karena ditinggalkan warganya yang berpencar mencari rumah baru.

    Edeh (54), korban lumpur asal Kedung Bendo mengaku hingga kini belum mengetahui, apakah dirinya bisa mencoblos saat pilpres nanti. “Pengalaman pemilu lalu, saya  tidak bisa nyoblos,” jelasnya.

    Janda dua anak itu sudah lima tahun terakhir mengontrak rumah di Desa Jimbaran Kulon, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo. Namun  KTP Edeh tetap Kedung Bendo. Ia dan warga lumpur memang diminta tidak ganti KTP. Sebab perubahan data kependudukan, bisa membuatnya sulit bahkan kehilangan ganti rugi dari Lapindo. “Jadi KTP saya tetap KTP Kedung Bendo,” kata Edeh kepada Surya, Kamis (29/5/2014).

    Di lingkungan barunya, Edeh sempat ingin mencoblos. Tapi petugas tidak mau menerimanya, karena namanya tak ada di DPT. Juga tidak masuk dalam daftar pemilih khusus (DPK), daftar pemilih susulan bagi warga yang belum masuk DPT.  “Tidak bisa (nyoblos). Katanya karena saya bukan penduduk situ,” tambahnya

    Korban Lapindo : Saya Juga Ingin Pilih Presiden Yang Sanggup Membantu Kami

    Pengalaman serupa dirasakan Kasiati (56), juga warga Kedung Bendo. Pada pileg April silam, dia tidak bisa memilih wakil rakyatnya, di tempatnya yang baru, Perumahan Mutiara Citra Asri (MCA). Pada Pilpres nanti, Kasiati berharap bisa memilih. “Saya juga ingin pilih presiden yang sanggup membantu kami,” katanya.

    Tapi Kasiati belum tahu bagaimana caranya untuk bisa menggunakan hak suaranya. Kasiati juga tidak tahu, apakah namanya masuk DPT atau tidak. Hingga kini belum pernah ada pendataan warga sebagai pemilih.
    “Rasanya belum pernah petugas yang datang mendata,” tambah Harwati, warga Desa Siring menimpali.

    Itu berarti, Hawati dan teman-temannya sesama korban lumpur yang pada pemilu lalu tidak masuk DPT, pada pilpres ini juga tetap tidak masuk DPT atau DPK. “Kami juga tidak pernah mendapatkan sosialisasi. Di mana nyoblosnya, dan bagaimana mengurusnya suratnya,” katanya.

    Harwati menceritakan, pada pemilu legislatif lalu, ia sebenarnya bisa memilih di tempat tinggal barunya, Desa Candipari. Sebab ia sudah mengurus surat keterangan domisili dari kepala desa setempat agar bisa diditerima sebagai pemilih.

    Pagi-pagi ia datang ke TPS. Tapi hingga siang, ia tak kunjung mendapat giliran mencoblos.Capek menunggu,  ia memilih balik pulang dan urung mencoblos.

    “Sudah datang pagi-pagi. Tapi disuruh tunggu  sampai pemilih asli sana nyoblos semua. Jadi saya putuskan nggak usah nyoblos aja, mending kerja saja,” ujar tukang ojek di tanggul lumpur itu.

    Tidak semua korban lumpur golput ketika itu. Sebagian mereka tetap bisa menggunakan hak suaranya meski telah pindah tempat tinggal.

    “Saya dulu pindah dari Siring ke desa Gedang. Nyoblos buat pileg kemarin ya di Gedang. Tidak sulit karena birokasi kepindahan juga dibantu sama lurah,” sebut Purwaningsih (55).

    Khusus warga Ketapang dan Mindi, yang masih masuk DPT, masih bisa mudah memilih. Sebab di desanya yang telah kosong penduduk, dalam pileg  lalu masih didirikan TPS. Dengan begitu warga yang sudah hijrah ke berbagai tempat bisa langsung ke TPS itu.

    KPPS Tak Proaktif Untuk Datangi Korban Lumpur Lapindo

    Pj Kepala Desa Reno Kenongo, Subakri, membenarkan adanya keluhan warga yang sulit menggunakan hak suara. Ia kemudian menceritakan saat pileg April lalu. Saat itu ia didatangi banyak warga.

    Mendapatkan laporan tersebut, Subrakri lalu berkoordinasi dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) setempat.

    “PPK lalu mengarahkan mereka agar datang ke kelurahan tempat mereka tinggal sekarang untuk meminta surat keterangan domisili. Surat keterangan itu bisa dipakai untuk mencoblos di tempat tinggal baru mereka,” kata Subakri.

    Namun Subakti tidak tahu, apakah mereka kemudian melaksanakan prosedur itu atau tidak. Subakri juga tidak mengetahui secara persis berapa persen warganya yang memilih dan golput saat pileg lalu.

    Subakri yang kini tinggal di Desa Juwet Kenongo menyebut, kebingungan warga mendapatkan TPS ini terjadi karena petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak proaktif.

    Menurut dia, seharusnya KPPS datang ke desa-desa yang diperkirakan menjadi tempat domisili sementara para korban lumpur dan mendata nama-nama korban lumpur. “KPPS harusnya turun dan mendata secara door to door (dari pintu ke pintu),” tambahnya.

    Hingga kini warga korban lumpur memang disarankan tidak berganti KTP. Saran itu, kata Subakri telah disampaikan sejak masa pemerintahan Bupati Win Hendarso. Pemkab, kala itu khawatir ganti KTP akan menyulitkan proses pembayaran sisa kewajiban Lapindo. Tapi dampaknya, mereka tidak bisa tercatat sebagai pemilih di tempat baru.

    Di desa Reno Kenongo sendiri, tercatat ada sekitar enam ribu warga. Sebagian besar dari mereka, telah hijrah ke Kecamatan Sidoarjo setelah rumah yang mereka diami terpendam lumpur. Meski telah pindah domisili, namun berbagai pelayanan yang terkait kependudukan, masih dilayani oleh kelurahan Reno Kenongo.

    “Pelayanan tetap jalan. Mulai 2011 sampai sekarang kami masih pinjam satu ruangan di kantor Camat Porong untuk melayani kebutuhan warga Reno Kenongo. Sebelumnya, sejak Reno Kenongo tenggelam, hingga 2010 pelayanan dilakukan di rumah saya di Juwet Kenongo,” pungkasnya.

    (c) Liputan Khusus Harian Surya

  • Victims still await full settlement after eightyears

    Victims still await full settlement after eightyears

    Victims mark eight years of the devastating mudflow in Sidoarjo, East Java, Thursday. Thousands of displaced residents asked the visiting Joko “Jokowi” Widodo to pay the compensation that the government had promised them. (JP/Wahyoe Boediwardhana)

     

    Tjarwadi, 68, a resident of Siring village, Sidoarjo regency, East Java, had not previously known 65-year-old Sadawi Priadi of nearby Glagah Arum village.

    However, they shared the same fate when their homes and all their belongings were engulfed by the hot mudflow originating from the Panji I oil well drilling conducted by PT Lapindo Brantas Inc. in 2006.

    Lapindo is partially owned by the Bakrie family, which is under the patronage of Golkar Party chairman Aburizal Bakrie. 

    Neither Tjarwadi, a trader, nor Sadawi, a driver for a shoe factory, have received the full compensation long promised by the government.

    “Whereas in fact, President Susilo Bambang Yudhoyono personally promised to compensate every one of the victims of the Lapindo mudflow by February 2010, this has not happened in reality,” Tjarwadi told The Jakarta Post during the commemoration of the eight anniversary of the eruption of the mudflow on Thursday in Sidoarjo.

    He claimed that Lapindo should have already paid Rp 635 million (US$54,588) for his 235-square-meter plot and 135-square-meter house, but Tjarwadi and his wife Saropah, 55, have so far only received Rp 247 million. 

    “The initial payment was 20 percent of the total amount, while the rest was to have been paid in installments at Rp 15 million per month, but that happened for eight months only. I’ve received no cash transfers for the past year,” said Tjarwadi.

    The same tale was also related by Sadawi who lost 887 square meters of land and a house measuring 165 square meters. He should have received compensation of Rp 1.1 billion, but has only received Rp 320 million as of now. 

    Thousands of people swarmed on top of embankment 22, located west of the gush point, bordering the railway line and the Porong-Sidoarjo highway to commemorate the eighth anniversary of the Lapindo mudflow.

    Presidential candidate Joko “Jokowi” Widodo also attended the commemoration and met the mudflow victims on Thursday.

    Jokowi, who has been nominated by the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the NasDem Party, the National Awakening Party (PKB) and the Hanura Party, also signed a political contract with various civil society groups if elected as president.

    “The Lapindo hot mudflow case must be settled. The state must be manifest among the people. If this was resolved it would indicate the state is there for the people,” Jokowi addressed the crowd.

    Jokowi will run in the presidential election on July 9 against Prabowo Subianto who has been nominated by several parties, including the Gerindra Party and the Golkar.

    According to the National Development Planning Board (Bappenas) the mudflow has caused Rp 27.7 trillion in losses. It has buried more than 600 hectares of land, displacing 39,700 people and submerging three subdistricts, 12 villages, 11,241 buildings and 362 hectares of rice paddies. 

    Both Tjarwadi and Sadawi were of the same opinion when they were asked about presidential candidate Jokowi.

    “I don’t care about his party. I only see his character. I believe he would not be as hesitant and be able to speed up the compensation process through the state budget,” said Sadawi.

    If he was elected as president, added Sadawi, Jokowi would be the same as when he led Surakarta (Solo) and Jakarta. 

    Sadawi said he was drawn to what he believed to be the humble personality of Jokowi, and he believed him to be close to the people.

    Wahyoe Boediwardhana

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2014/05/30/victims-still-await-full-settlement-after-eight-years.html

  • Pemerintah Sesat dalam Penyelesaian Kasus Semburan Lumpur Lapindo

    Pemerintah Sesat dalam Penyelesaian Kasus Semburan Lumpur Lapindo

    Pers Release

    WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA – JAWA TIMUR
    (WALHI JATIM)

    8Thlapindo29 Mei kembali mengingatkan kita akan betapa tidak dipedulikannya keselamatan rakyat dihadapan gempuran investasi, terutama di sektor pertambangan. Delapan tahun lalu, di sudut Kabupaten Sidoarjo, tepatnya di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin dan Jabon) dan menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 12 desa.

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Jawa Timur (WALHI Jatim) berpendapat bahwa perjalanan delapan tahun penanganan semburan lumpur Lapindo ini telah mengalami kesesatan logika. Kesesatan  ini kemudian telah merubah kehancuran hidup rakyat hanya menjadi mekanisme jual-beli semata dan melupakan faktor-faktor penting yang merupakan hak korban lapindo.

    Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jatim, Ony Mahardika menyatakan bahwa Pemerintah dan Lapindo telah menjadikan isu bencana lumpur lapindo terwp-content di persoalan ganti rugi saja “Tragedi ini bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Namun juga cerita hancurnya masa depan beratus ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, atau bahkan lebih luas dari sekedar 3 kecamatan ini. Namun pemerintah dan Lapindo telah mereduksi kewajiban untuk pemulihan hak-hak korban lapindo secara utuh dengan mengeluarkan Perpres 14/2007 dan aturan-aturan perubahannya hanya untuk mengwp-contentkan isu pemulihan hak korban lapindo menjadi jual beli tanah semata” tutur Ony.

    Ony juga menambahkan bahwa pembayaran tanah dan bangunan warga memang harus segera diselesaikan, namun setelah itu bukan berarti tanggung jawab negara dan Lapindo berakhir. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan demi memulihkan kehidupan korban Lapindo seperti sedia kala “WALHI tidak menafikkan pentingnya pembayaran tanah dan bangunan bagi korban Lapindo, itu kewajiban yang harus segera dituntaskan. Negara harus bisa memastikan bahwa korban yang kehilangan tanah dan bangunan harus mendapatkan penggantian secepatnya demi kepastian perbaikan hidup korban Lapindo” terang Ony lebih lanjut.

    Terkait hilangnya hak korban Lapindo, WALHI mencatat ada begitu banyak kerugian yang harus ditanggung korban Lapindo selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja misalnya, sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166 ribu orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak. Menurut data Greenomic pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun, sedang menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh Hydrocarbon mencapai tingkat 8 ribu – 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.

    Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007 Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga hilangnya keterikatan warga dengan sejarah leluhurnya di desa. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang secara keterikatan jelas tidak akan sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Berapa kita menilai kerugian sosial budaya begini dalam satuan mata uang mana pun?

    Rere Christanto, Kepala Divisi Program dan Kelembagaan WALHI Jatim menyebut bahwa dalam penanganan semburan lumpur Lapindo, hak-hak korban lumpur Lapindo sama sekali tidak dimasukkan dalam skema penyelesaian baik oleh pemerintah dan Lapindo. ”Jangankan mau memikirkan skema pemenuhan hak korban Lapindo, kalau ditanya ada berapa jumlah korban Lapindo, Lapindo dan BPLS tidak akan bisa menjawabnya. Karena yang mereka pakai acuan hanya berkas kepemilikan lahan. Berapa berkas yang sudah terbayar dan berapa yang belum. Persoalan bahwa ekonomi korban lumpur berantakan atau tidak ada jaminan kesehatan yang memadai untuk mereka sama sekali tidak masuk skema BPLS dan Lapindo. Logika mereka soal penyelesaian kasus ini sudah sesat sejak awal. Tidak ada keberpihakan kepada korban lapindo sebagai manusia” tegas Rere.

    WALHI Jatim menuntut Pemerintah berani memakai kekuasaannya untuk memaksa Lapindo mengembalikan hak-hak rakyat yang telah terenggut pasca melubernya lumpur panas yang dari banyak penelitian dan pembuktian ilmiah merupakan akibat dari eksplorasi sumur Banjar Panji-1 yang tidak memenuhi prasyarat kelayakan keselamatan. Pengembalian hak-hak rakyat tersebut tidak bisa hanya berhenti di pembelian lahan dan bangunan saja, namun secara menyeluruh harus bisa mengembalikan kehidupan korban di semua sisi yang telah turut hancur dan hilang bersama dengan keluarnya lumpur Lapindo di wilayah mereka.

    Pemerintah harus mulai membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemenuhan sepenuhnya hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan. Karena tugas negara untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya. Ketidakmampuan negara memastikan terpenuhinya hak-hak korban Lapindo yang hilang akan semakin menegaskan asumsi bahwa pada kasus semburan lumpur Lapindo, negara telah absen.

    Contact Person:
    Ony Mahardika (Direktur Eksekutif Daerah) | 081 335 220 940, 082 244 220 111
    Rere Christanto (Kepala Div. Program & Kelembagaan) | 083 857 642 883

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Jawa Timur
    Jl. Kutisari Indah Barat IX, No. 15 Surabaya
    Telp/Fax : 031- 8490756
    [email protected]
    www.walhijatim.or.id

  • Sewindu Lumpur Lapindo (2): 33 Gedung Sekolah Telah Terkubur Lumpur Lapindo

    Sewindu Lumpur Lapindo (2): 33 Gedung Sekolah Telah Terkubur Lumpur Lapindo

    kholid-bin-walid

    Hari ini (29/5), genap sewindu lumpur Lapindo menyembur di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Selama delapan tahun menyembur, ribuan rumah dan gedung terkubur. Sampai saat ini sudah 33 gedung sekolah termasuk dalam daftar pengisi dasar lautan lumpur itu.

    “Sekolah saya dulu persisnya ada di mana kira-kira, itu saja sudah lupa”, kata Khobir sambil memandang hamparan luas lumpur Lapindo, Senin (26/5/2014)

    Hamparan luas lumpur itu mengubur empat desa berikut semua isinya. Yang tersisa hanyalah kenangan Khobir pada masa-masa di sekolah dulu. Kenangan pada teman dan guru-gurunya.

    Khobir kini tergabung dalam komunitas KLM (Korban Lumpur Menggugat). Surya menemui Khobir di sela-sela kesibukannya mempersiapkan acara peringatan Sewindu Lumpur Lapindo di sekitar tanggul. Khobir berharap luapan lumpur yang disebutnya sebagai tragedi itu segera berakhir.

    Harapan serupa diucapkan Ali Mas’ad, Kepala MA Kholid Bin Walid. Harapan Ali Mas’ad ini biasanya juga diwujudkan dalam bentuk doa bersama. Setiap musim kelulusan siswa, Ali selalu mengajak anak didiknya yang baru lulus sujud syukur di tanggul lumpur, tepatnya di lokasi sekolahnya yang telah terkubur. ”Kami hanya bisa berdoa semoga tragedi ini bisa berakhir,” katanya.

    Ali maupun Khobir berharap sekolah-sekolah yang masih tersisa di seputar kawasan lumpur tidak menjadi korban lumpur berikutnya.

    Tercatat sudah 33 gedung sekolahan yang lenyap. Sekolah-sekolah yang tinggal menjadi cerita duka itu tersebar di enam desa. Siring, Reno Kenongo, Kedung Bendo, Jatirejo, Pejarakan, dan Besuki. “Semuanya gedung SD. Tidak ada sekolah lanjutan,” kata Mustain Baladan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo, Rabu (28/5/2014).

    Sekolah-sekolah yang tutup sebagian digabung dengan sekolah terdekat yang belum tersentuh lumpur. Mustain Baldan tidak tahu, sampai kapan sekolah-sekolah itu bisa bertahan. Yang pasti  bayang-bayang tamat sudah semakin dekat.

    Selain berpotensi menyusul ditenggelamkan lumpur, sekolah ini juga mulai kehabisan murid. Penduduknya secara bergelombang telah hijrah, menjauhi lumpur yang telah menjadi gunung dan terus menyembur.

    Kekurangan Murid, Tiga Sekolah Ini Terancam Tamat

    Ancaman tamat paling nyata dirasakan tiga sekolah dasar (SDN). Terdiri SDN Mindi I, SDN Mindi II, serta SDN Ketapang. Kepala SDN Mindi 1, Musthofa membenarkan potensi sekolahnya tamat. Mustofa mengaku, sekolah sampai sekarang masih bisa bertahan karena masih banyak warga Mindi dan sekitarnya yang mendaftarkan anaknya. Hingga saat ini, SDN Mindi 1 masih memiliki 278 siswa, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Secara administratif, sekolah akan ditutup bila tidak mampu memenuhi kuota jumlah siswa, minimal 26 pendaftar.

    Tapi perlahan namun pasti, sekolahnya toh akan tamat. Sejak 2013 lalu seluruh permukiman dan lahan di Desa Mindi sudah dibeli pemerintah. Sampai saat ini, separuh warga Mindi sudah hidup tersebar di luar desa.

    Mantan Kepala SDN Jatirejo 2 ini tidak mengetahui apa rencana Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo setelah penutupan. Hanya saja, ada beberapa usulan dari orang tua siswa yang nantinya tinggal di lokasi relokasi di kawasan Kesambi. Mereka meminta sekolah ikut dipindah ke sekitar Kesambi.

    Untuk tahun ajaran baru ini sekolah yang dia pimpin akan tetap beroperasi karena sudah ada sekitar 44 pendaftar. Para calon siswa tersebut berasal dari sejumlah desa seperti Pesawahan, Gedang, serta Juwet.

    Nasib SDN Mindi 2 tak lebih baik. Sejak tahun lalu, sekolah ini tidak menerima murid baru. Sehingga tahun ajaran baru 2014, Dinas Pendidikan melarang mereka membuka pendaftaran siswa baru.

    Praktis, siswa-siswa yang ada saat ini hanyalah siswa kelas 2 hingga kelas 6, dengan jumlah siswa yang tak lebih dari 65 orang. Sekolah ini nantinya direncanakan akan bertahan sampai seluruh siswanya lulus.

    Saat Surya mengunjungi sekolah itu untuk meminta konfirmasi dari kepala sekolah, Bachrudin, yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat. “Kami kok tidak tahu kalau ada rencana sekolah ini akan ditutup,” kata seorang guru setempat yang tidak mau ditulis namanya.

    Lumpur Lapindo Menyembur, Banyak Anak Putus Sekolah

    Belum ada data baru tentang jumlah anak korban lumpur yang akhirnya putus sekolah. Data terakhir pernah dihimpun aktivis dari Sanggar Al Faz untuk tahun ajaran 2010/2011. Ketika itu tercatat  ada 103 anak yang tidak melanjutkan sekolah.

    Sanggar Al Faz  adalah inisiator program Solidaritas Anak Lumpur. Program tersebut dibuat dengan tujuan untuk menghimpun beasiswa bagi anak-anak korban lumpur yang terancam atau putus sekolah karena orang tua yang tak lagi sanggup membiayai pendidikan mereka. “Beasiswa itu dihimpun dari donasi publik,” kata Fani Tri Jambore, aktivis Solidaritas Anak Lumpur.

    Ada banyak sebab anak putus sekolah setelah lumpur Lapindo menyembur. Ada yang dikarenakan orang tua yang tak sanggup membiayai setelah kehilangan lapangan kerja. Juga tidak sedikit yang disebabkan lokasi relokasi sekolah yang terlalu jauh.

    Faktor mental ikut menambah panjang daftar anak putus sekolah. Pengalaman ini setidaknya ditemui Imam Khoiri, korban lumpur asal Desa Siring. Pria yang kini pindah di kecamatan Prambon tersebut, menyatakan anaknya mogok sekolah gara-gara di tempat yang baru, sering diejek temannya.

    Cerita yang hampir mirip disampaikan Harwani. Korban lumpur asal Desa Siring mengungkapkan, mental anaknya sempat drop karena harus pindah sekolah. “Anak saya yang pertama sempat males sekolah karena sering pindah-pindah sekolah,” katanya. Beruntung, Harwani cukup sabar membesarkan hati, hingga sang anak mau melanjutkan sekolah.

    Sekolah di Galangan Hingga Rumah Penduduk

    Sekolah ini sungguh ’sakti’. Setelah diterjang lumpur pada 2006 silam, sekolah ini tetap bertahan hingga kini. Padahal, puluhan sekolah lainnya langsung tamat riwayatnya begitu gedungnya terkubur lumpur. Adalah Madrasah Aliyah (MA) Khalid Bin Walid, nama sekolah itu.

    Ali Mas’ad, kepala sekolah milik Yayasan Khalid Bin Walid itu menceritakan kerja keras yayasan menyambung hidup sekolah kebanggaan warga Desa Renokeongo, satu dari empat desa yang terkubur lumpur.

    Dulu di awal semburan muncul, Ali bersama guru dan muridnya setiap hari harus kerja bakti untuk membersihkan lumpur. Rutinitas itu dilakukan sebelum proses belajar mengajar.

    Namun pada 2007, luberan lumpur tidak bisa ditahan lagi. Volumenya aliran terus membesar. Dari cuma setinggi mata kaki, lumpur terus menggunung hingga mengubur atap.

    “Waktu itu banyak sekolah yang pindah ke arah barat. Kalau kami ikut-ikutan, tidak mungkin bisa bersaing dengan sekolah-sekolah yang lebih besar. Jadi saya bertahan saja, pindahnya ke timur,” kata Ali.

    Sejak saat itu Ali harus merelokasi sekolah. Dalam pikirannya, gedung sekolah boleh terkubur, tapi nasib puluhan siswanya tidak boleh ikut mati. Dia bertekad untuk terus menggelar proses belajar mengajar.

    Pada awal masa relokasi, Ali menyulap toko bangunan di Desa Glagah Arum menjadi ruang kelas. Tiga tahun sekolah itu bertahan di toko galangan. Pemilik bangunan menyewakan bangunan toko itu ke orang lain.
    Ali pun kelabakan. Dia harus segera mencari bangunan pengganti. ”Alhamdulillah, ada warga yang mau meminjamkan rumahnya untuk kami,” katanya.

    Sejak 2009 Ali menampung siswanya di rumah sederhana itu. Luasnya memang 300 meter persegi, tetapi kondisinya masih jauh dari kata layak untuk ukuran sebuah sekolah.Ali bergeming. Dia menganggap, pendidikan jauh lebih penting ketimbang memikirkan fasilitasnya.

    Bangunan di gang sempit itu menjadi tempat belajar 75 siswa kelas 1 sampai 3. Ali dibantu 20 guru yang setia mengabdi di sekolah tersebut. Kata Ali, sekolah hanya bisa menggaji para guru itu antara Rp 300.000 sampai Rp 500.000. ”Ini murni pengabdian,” katanya menilai perjuangan para guru di sekolahnya

    Berharap Lapindo Mengganti Gedung Sekolah Yang Karam Ditelan Lumpur

    Kalimat pengabdian bukan saja menggambarkan kecilnya gaji. Kata pengabdian itu juga tergambar dari ketelatenan dan kesabaran para guru hadir ke sekolah setiap hari. Padahal jarak rumah mereka sekarang cukup jauh. Ya sejak lumpur menenggelamkan desa, para guru itu harus hijrah di tempat yang jauh.Terpencar di Kecamatan Krembung dan Wonoayu, sebelah barat Porong.

    Saat masih di Renokenongo, para guru ini biasa datang ke sekolah mengendarai sepeda angin. Ali bersyukur, hanya ada satu guru yang mundur karena tinggal terlalu jauh.

    Tahun ajaran baru ini, MA Khalid Bin Walid sudah menerima 7 calon siswa. Dia yakin, sampai penutupan pada Juli nanti, jumlah itu akan bertambah. Selama ini, Ali selalu mengandalkan pendekatan personal kepada warga di sekitar sekolah untuk mendapatkan siswa.

    Dia bersama para guru, tidak segan mendatangi rumah-rumah warga untuk menyekolahkan anaknya. ”Warga yang tidak mampu menjadi sasaran kami. Anak-anak mereka harus sekolah dan kami membebaskan biaya SPP,” ungkap warga asli Renokenongo itu.

    Dia yakin, sekolahnya  akan terus bertahan, karena hanya ada satu MA di Glagah Arum. Banyak anak usia sekolah di kawasan itu yang enggan bersekolah karena jauhnya lokasi sekolah setingkat SMA atau MA. Nah, MA yang dipimpinnya bisa menjadi solusi kebutuhan warga akan pendidikan.

    Saat ini, Ali masih tetap berharap Lapindo mengganti lahan dan gedung sekolah mereka yang karam. Dia juga tidak lelah menagih janji insentif bagi para guru yang rumahnya jauh dari sekolah. ”Berkali-kali ditagih ya tetap saja mbulet. Tapi saya terus akan bersuara,” ujar Ali.

    Tinggalkan Sekolah Lantaran Tak Tahan Ejekan

    Hidup keluarga sederhana ini berantakan begitu lumpur Lapindo menyembur 2006 silam. Pasangan muda yang baru memiliki anak balita tak pernah membayangkan akan hidup di pengungsian. Cerita pelik mereka menjadi cermin buram  ribuan korban lumpur Lapindo lainnya.

    Bertahan hidup demi anak. Hanya kalimat itu yang tertanam di hati pasangan Chamidah dan Imam Khoiri. Sejak lumpur meneanggelamkan rumah mereka di Desa Siring, Kecamatan Porong delapan tahun lalu, mereka harus hidup berpindah-pindah. Pengungsian Pasar Baru Porong menjadi destinasi awal mereka.

    Ratna Sari, anak sulung pasangan muda itu dibawa serta bergumul dengan ribuan pengungsi. Saat itu Sari masih duduk di bangku taman kanak-kanak. “Saya sedih kalau ingat apa yang dialami anak saya,” kata Chamidah.

    Perempuan berkulit sawo matang itu mengatakan, Sari tumbuh menjadi anak yang tertutup. Lingkungan mempengaruhi perkembangan psikisnya. Keluar dari pengungsian, pasangan ini hidup nomaden atau berpindah-pindah. Kadang di rumah saudaran, saat lain mengontrak rumah.

    Seingat Chamidah, dia sudah tiga kali pindah. Begitu juga dengan sekolah Sari yang mengikuti jejak orang tuanya. Saat sekolah inilah Sari sering mendapat ejekan dari kawan-kawannya. “Sulungku diejek anak tukang ojek tanggul dan korban lumpur,” ungkapnya berkaca-kaca.

    Ejekan itu datang bertubi. Sari yang awalnya periang, berubah menjadi pendiam. Dia trauma, kata Chamidah. Ibu tiga anak itu tidak menyangka, ejekan itulah yang membuat Sari enggan bersekolah kembali. Sari stres dan tidak tahan dengan ejekan itu. Gadis yang kini berusia 14 tahun itu berhenti sekolah ketika duduk di bangku kelas dua.

    Chamidah ikut-ikutan stres karena anak pertamanya itu tidak memiliki ijazah. Dia bingung bagaimana nanti Sari akan mendapatkan pekerjaan tanpa ijazah. Menurutnya, Sari gadis yang tidak melawan saat diintimidasi teman-temanya.

    Dia memilih diam dan menangis ketika mendapatkan ejekan. Chamidah sudah berulang kali menasihati Sari agar melawan saat ejek orang. Namun Sari bergeming. Dia diam, tetapi menangis.

    ”Anak saya yang pertama mirip ayahnya. Putih dan cantik. Dia pendiam. Saya tidak bisa marah kepadanya karena saya mengerti dia memulai hidup di pengungsian yang serba susah. Saya kasihan padanya,” kata Chamidah dengan mata menerawang.

    Hidup di Pengungsian, Pengaruhi Psikis Anak Korban Lumpur Lapindo

    Surya menemui Chamidah di sekitar tanggul lumpur Lapindo awal minggu lalu. Saat itu dia membantu suaminya bekerja sebagai tukang ojek. Sebelumnya, Chamidah pernah bekerja sebagai buruh pabrik untuk membantu perekonomian keluarga.

    Namun, penyakit kanker serviks yang dideritanya mengharuskan dia beristirahat. Sari kini tinggal di rumah neneknya di Tulangan, Sidoarjo usai rumahnya terendam lumpur. Lokasinya sekitar 10 kilomter sebelah barat Porong. Di sana Sari membantu merawat neneknya yang sudah sakit-sakitan.

    Setiap hari Chamidah meyempatkan diri mengunjungi ibu dan anaknya. Selain itu juga diminta mengasuh dua adiknya. Berbeda dengan Sari, dua anak Chamidah lainnya tumbuh menjadi sosok yang temperamental.

    Meski tidak hidup di pengungsian, Chamidah mengakui hidup dua anaknya yang lain juga serba sulit. Ejekan juga sering dilontarkan kepada keduanya. Hanya saja, dua anak Chamidah ini bermental baja. Mereka malah balik melawan ketika mendapatkan hinaan.

    Tidak jarang Chamidah harus berurusan dengan orang tua teman-teman anaknya. ”Ada yang lapor kalau anak saya memukul anak mereka,” ujar Chamidah.

    Dia tidak serta merta memarahi sang anak. Pasalnya, anaknya membela diri karena terus-terusan diejek anak tukang ojek dan korban lumpur. Bagi Chamidah, apa yang dilakukan sang anak adalah bentuk pembelaan diri. ”Hati orang tua mana yang tidak hancur tahu anaknya dihina karena pekerjaan orang tuanya,” imbuhnya.

    Chamidah masih berharap Sari mau sekolah lagi. Namun dia bingung karena dari mana anaknya itu harus memulai sekolah. Saat ini, Sari lebih banyak mengenyam pendidikan non-formal. Setiap sore, dia mengaji di musala dan belajar agama.

    sumber:  Liputan Khusus Harian Surya

  • Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    tempo - lempar bakrie

    Ribuan korban lumpur, terutama dari golongan keluarga miskin (gakin) semakin nelangsa. Mereka harus pontang-panting mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini terjadi karena mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Padahal ancaman kesehatan mereka semakin besar, seiring lamanya semburan lumpur Lapindo.

    Harwati, korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, menyebut ada ribuan warga korban lumpur Lapindo yang tidak tercover jaminan kesehatan. “Alasan Dinas Kesehatan lucu. Kami dianggap terlambat mendaftar. Padahal kami sama sekali tidak pernah dapat sosialiasi,” kata Harwati, Senin (26/5/2014).

    Perempuan 43 tahun itu mengaku sudah berjuang bersama para tetangganya sejak 2011. Ketika jaminan kesehatan masih bernama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Mulai tahun ini, jaminan kesehatan itu berganti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

    Herwati menceritakan, awalnya, dia dan korban lumpur meminta didaftarkan Jamkesmas, namun gagal. Sebelumnya, nama-nama mereka juga gagal masuk ke Jamkesda dengan alasan terlambat mendaftar.

    Berbagai instansi mereka datangi. Mulai dari kelurahan, kecamatan, DPRD sampai Pemkab Sidoarjo. Jawaban yang didapat Harwati sangat normatif. Isinya lebih banyak janji. Harwati menilai, janji itu sampai saat ini belum terealisasi.

    Beberapa warga memang kemudian  mengurus surat keterangan miskin (SKTM) ke kelurahan. Surat ini bisa menjadi pengganti bagi warga miskin yang tidak memiliki kartu Jamkesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Tapi tidak sedikit warga yang frustrasi karena merasa dipingpong.

    “Kalau mengingat dipingpong-pingpong ini,  kami merasa kok seolah-olah orang miskin seperti kami ini dilarang sakit. Ya Allah, kok tega-teganya memperlakukan kami begitu,” tutur Herwati.

    Pendataan Korban Lumpur Lapindo Awut-awutan

    Cerita sedih disampaikan oleh Novik Akhmad, korban lumpur Lapindo asal Jatirejo. Dia mengeluh karena tidak pernah diikutkan dalam program jaminan kesehatan. Padahal mereka menderita karena bencana tersebut. “Dulu ada jamkesmas, ada juga jamkesda. Tapi kami tidak pernah diikutkan program itu. Padahal kami korban lumpur yang setiap hari menghirup gas beracun dari semburan lumpur,” keluh pemuda 32 tahun itu.

    Novik yang merasa sangat membutuhkan jaminan kesehatan, kemudian mendaftarkan kedua orangtuanya sebagai peserta BPJS secara mandiri. Premi ditanggungnya sendiri setiap bulan, Rp 90.000.

    Pemuda bertubuh kurus itu mengaku tidak memiliki uang lagi untuk menambah anggota keluarga masuk sebegai perserta BPJS. Pasalnya, untuk menambah peserta, dia harus kembali membayar premi. Untuk kelas III, premi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 25.000, sedangkan kelas II, ditetapkan Rp 45.000.

    Dia menilai, pemerintah lalai dalam menjamin kesehatan warganya, terutama warga korban lumpur. Ada ribuan warga lain yang sama sekali tidak pernah tahu ada program jaminan kesehatan dari negara. Selama ini, hanya warga yang kritis saja yang mendapatkan akses informasi.

    Menurut Novik, kisah pilu warga itu terjadi karena pendataan yang dilakukan terhadap korban lumpur awut-awutan.  Ia lalu merujuk data Pemkab Sidoarjo melalui Basis Data Terpadu PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial). Di situ tercatat hampir 90 persen warga korban lumpur tidak tercatat sebagai sasaran Jamkesmas atau BPJS. Bahkan di Desa Renokenongo, data rumah tangga sasaran tercatat nol persen. Padahal ada ratusan KK yang semestinya masuk kategori keluarga miskin (Gakin).

    Begitu juga di Desa Jatirejo, yang tercatat sebagai penerima jaminan kesehatan cuma 31 KK. Kemudian Desa Kedungbendo hanya 6 keluarga dan Siring 36 keluarga.

    “Saya tidak tahu, bagaimana pemerintah melakukan pendataan. Yang jelas, ribuan warga lain tidak pernah didata. Alasan pemerintah daerah sih warga korban lumpur hidup terpencar. Jadi mereka kesulitan mendata. Padahal, pemerintah bisa kok mendata warga saat foto dan pengurusan e-KTP lalu. Tetapi itu tidak dilakukan,” kritik Novik.

    Warga korban lumpur sendiri selama ini tidak sempat mengurus masalah itu. Mereka terlalu disibukkan dengan alotnya pelunasan ganti rugi dan tempat tinggal sementara

    Uang Ganti Rugi Lumpur Lapindo Sudah Habis untuk Berobat
    Arrohma
    Kegiatan Komunitas Arrohma

    Penuturan senada  disampaikan korban lumpur lainnya, Khoiri. Sejak lima tahun silam, istrinya divonis mengidap kanker serviks. Warga asli Siring itu pun bingung bukan kepalang karena tidak memiliki ongkos untuk biaya pengobatan.

    Awalnya, Khoiri bisa membiayai pengobatan istrinya dengan uang ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tahun pertama, Khoiri sudah menghabiskan Rp 100 juta. Sebagian besar uang itu dihabiskan untuk biaya kemoterapi. Kemudian dia harus menjual rumah di kawasan Pandaan.

    Khoiri jatuh miskin. Dia tidak memiliki biaya untuk proses penyembuhan selanjutnya. Tabungannya saat itu hanya menyisakan Rp 5 juta. Berbagai instansi pemerintah dia datangi.

    Dia hanya ingin istrinya terdaftar di dalam jamkesmas atau sejenisnya. Dia mendatangi kecamatan dan Dinkes Sidoarjo. Namun tidak ada hasil.

    Oleh seorang dokter, Khoiri dan istrinya disarankan mengurus SKTM. “Alhamdulillah setelah itu kemoterapinya gratis,” kata Khoiri. Namun dia tetap harus menyediakan uang jutaan rupiah untuk menebus obat yang tidak masuk dalam daftar tanggungan negara. Meski begitu, dia bersyukur nyawa istrinya tertolong.

    Saat ini, kondisi istrinya sudah membaik. Tapi masih kontrol ke dokter. Nah untuk kebutuhan kontrol ini Khoiri merasakan sulitnya hidup tanpa jaminan kesehatan. Ia terpaksa telat tiga bulan dari jadwal kontrol yang ditentukan dokter.

    Tiap kontrol, Khoiri harus mengeluarkan minimal Rp 500.000. Butuh waktu dan kerja keras untuk mengumpulkan uang itu. Ia harus menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai kuli bangunan yang memang tidak seberapa. Apalagi pekerjaan kuli bangunan itu tidak selalu ada.

    Biasanya, bila sedang tidak order bangunan, Khoiri mencoba menganis rejeki dengan mengojek. Itupun dilakukan dengan was-was karena kondisi kesehatan Khoiri sendiri rawan gangguan. Dua kali kecelakaan saat nguli menjadi penyebab. Dokter menyarankan agar dia tidak bekerja terlalu berat. “Saya hampir mati karena terlindas truk saat nguli,” ujarnya lirih.

    Khoiri sangat berharap, ia dan keluarga terdaftar sebagai peserta BPJS.

    Dinas Kesehatan Tak Tahu Jumlah Warga Lapindo yang Terdaftar

    Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sidoarjo, Ika Harnasti mengaku tak tahu persis jumlah warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang telah terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Menurutnya, data tersebut sepenuhnya ada di tangan BPJS Kesehatan sendiri. “Saya hanya PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) untuk Dinas Kesehatan yang tugasnya untuk pemberian pelayanan kesehatan saja,” kata Ika, Kamis (27/5/2014).

    Dia hanya memastikan, untuk korban lumpur yang memang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau dinyatakan miskin, biaya pengobatannya akan ditanggung oleh pemerintah.

    Terkait syarat kepesertaan BPJS Kesehatan bagi korban lumpur Lapindo, juga tidak ada perbedaan dengan syarat kepesertaan masyarakat yang lain.

    Yang paling utama, dalam BPJS, penyakit-penyakit atau bahaya kesehatan yang termasuk dalam KLB atau kejadian luar biasa, tidak dicover. Dengan demikian, untuk penyakit-penyakit yang tergolong KLB, sepenuhnya menjadi beban pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Sidoarjo.

    “Dan kalau memang belum terdaftar ke dalam BPJS, harus dilihat dulu apakah yang bersangkutan tergolong mampu atau tidak. Kalau mampu, pengobatan di puskesmas ya bayar. Sebaliknya kalau tidak mampu, ya gratis,” lanjutnya

    DPRD Sidoarjo Minta Data Keluarga Miskin Dimutakhirkan

    Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung mengakui memang ada banyak warga korban lumpur yang tidak tersentuh jaminan kesehatan yang diselenggarakan negara. Penyebabnya, tidak semua dari mereka yang menyandang status miskin. Padahal, status miskin itu menjadi syarat mutlak mendapatkan jaminan dari negara.

    “Kan tidak semua warga korban lumpur itu miskin. Jadi perlu ada pendataan yang selektif untuk menentukan siapa yang berhak,” ujarnya.

    Mahmud menjelaskan, penyelenggarakan jaminan kesehatan oleh BPJS itu ada dua model, yakni mandiri dan dibiayai negara. Untuk kategori kedua, hanya warga berstatus miskin saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan yang tidak termasuk miskin, harus atas biaya sendiri. “Jadi ada kok warga (korban lumpur) yang mendaftar BPJS mandiri,” kata dia.

    Terkait upaya memberikan jaminan kesehatan itu, lanjut Mahmud, pihaknya sudah mempertemukan warga korban lumpur dengan Dinkes serta Bappeda Kabupaten Sidoarjo.  Namun, kata Mahmud, tidak bisa kemudian mengintervensi data penerima BPJS yang dimiliki BPLS. Sebab, data penerima jaminan dari negara itu merupakan domain Badan Pusat Statistik (BPS).

    Mahmud mengkritik cara pendataan keluarga miskin korban lumpur Lapindo. Pendataan oleh BPS itu dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur di Sidoarjo.

    Menurut Mahmud, pendataan dan perumusan kriteria miskin untuk korban lumpur itu seharusnya dilakukan tim terpadu, gabungan dari BPS, Pemkab Sidoarjo,  kelurahan, dan perwakilan warga.

    Data miskin itu, lanjut Mahmud, seharusnya diupdate terus. Sebab, warga miskin untuk korban lumpur Lapindo bersifat dinamis.

    Dia mencontohkan, ada warga yang sebelum terjadi tragedi lumpur, termasuk warga mampu. Namun, setelah  terjadi semburan lumpur, menjadi miskin. Ada juga warga yang masuk kriteria kaya setelah menerima ganti rugi dari Lapindo, tapi kemudian jatuh miskin karena membengkaknya kebutuhan hidup. “Inilah yang perlu selalu dilihat dan diantisipasi,” tuturnya.

    Pendataan terakhir dilakukan pada 2011. Padahal, saat itu sudah banyak warga miskin korban lumpur yang tidak tercover jaminan kesehatan, yang saat itu masih bernama Jamkesmas.  “Kami meminta agar ada pemutakhiran data dalam waktu dekat,” tegasnya.

    Informasinya, pada 2014 ini akan ada pendataan ulang. Dia berharap Pemkab Sidoarjo mendorong BPS agar lebih teliti dalam mendata warga korban lumpur. Dia menilai, permasalahan di sana tidak sama dengan daerah lain yang juga menjadi obyek pendataan.

    Permasalahan lain yang dianggap menyulitkan pendataan adalah tersebarnya domisili warga korban lumpur.  “Masalah ini memang sangat teknis. Tetapi, mereka kan tetap warga Sidoarjo meskipun tinggal di daerah lain. Apalagi, mereka tidak akan melepas status warganya karena masih terkait dengan proses ganti rugi,” ungkap politikus PAN itu.

    Untuk sementara, Mahmud menyarankan agar warga menggunakan SKTM untuk mendapatkan layanan kesehatan. Layanan kesehatan juga bisa dilakukan di puskemas.

    Korban Lumpur Lapindo Bertahan dengan Jimpitan Sehat

    Para korban lumpur Lapindo terus berharap bisa menikmati layanan  kesehatan gratis dari negara yang kini ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tapi, karena tidak mau mati dalam ketidakpastian, mereka membentuk lembaga pendanaan mandiri, Jimpitan Sehat.

    Komunitas Ar-Rohma membuat terobosan dengan menggarap model pendaanaan swadaya untuk membantu biaya pengobatan. Tidak besar memang dana yang bisa dibagikan, tapi manfaatnya cukup dirasakan para anggota komunitas itu.

    Ar-Rohma beranggotakan korban lumpur dari empat desa,  Jatirejo, Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo, yang lenyap terkubur lumpur Lapindo.

    Dana pengobatan itu mereka namakan dana Jimpitan Sehat. Sesuai namanya, dana itu mereka ambil kecil-kecilan secara rutin dari para anggotanya. “Kami bertemu dua minggu sekali. Nah di pertemuan itu, ada jimpitan lima ribu rupiah. Namanya Jimpitan Sehat,” kata Saropah, Selasa (27/5/2014).

    Saropah dulu tinggal di  Jatirejo. Tapi sejak 2006, ia harus membawa keluarganya mengungsi setelah rumahnya terkubur lumpur.

    Saropah kini tinggal di Pasuruan bersama suami dan tiga anaknya. Meski tinggal di Pasuruan, Saropah dan suaminya, Sulastro, setiap hari tetap bertandang ke lokasi lumpur Lapindo.  Hidupnya masih bergantung di desa kelahirannya itu. Bedanya dulu, hidupnya bergantung  pertanian sawahnya, kini bergantung pada wisatawan lumpur Lapindo. Persisnya, jasa ojek untuk melayani pengunjung lumpur. Kalau beruntung, rezekinya bisa bertambah lewat VCD lumpur yang ia jajakan untuk pengunjung.

    Beberapa kali Saropah terbantu  Jimpitan Sehat itu. Itu ia rasakan  ketika melahirkan anak ketiganya. Juga ketika seorang anaknya harus berobat di puskesmas. Satu lagi, manfaat jimpitan kesehatan itu dirasakan ketika orangtuanya meninggal. Ya, Jimpitan Sehat juga mengcover biaya kematian.

    “Bantuannya memang ala kadarnya. Tetapi itu cukup membantu meringankan kami. Setidaknya bisa buat beli obat atau buat transport saat berobat,” ujarnya

    Sulit Peroleh Layanan Kesehatan, Korban Lapindo Dilarang Sakit

    kerajinan 06

    Di Komunitas Ar Rohmah, lanjut Saropah, selain terdapat penghimpunan Jimpitan Sehat, juga telah dibentuk koperasi kecil-kecilan. Di koperasi itu, para anggota yang berjumlah sekitar 30 orang, bisa meminjam uang sewaktu-waktu saat benar-benar membutuhkan.

    Ketua Komunitas Ar Rohmah, Harwati (39), menyebutkan, komunitas yang dia kawal itu saat ini lebih fokus pada upaya penanganan kesehatan dan ekonomi korban lumpur Lapindo yang menjadi anggota. Selain melalui Jimpitan Sehat dan koperasi, di komunitas tersebut para anggota juga kerap menggelar pelatihan usaha.

    “Ada pelatihan membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut. Hasilnya beberapa kali kami ikutkan pameran dan dijual. Keuntungannya juga buat anggota,” papar Harwati.

    Upaya Harwati mendorong perbaikan kesehatan warga korban lumpur Lapindo di Komunitas Ar Rohmah didorong masih banyaknya korban yang belum dimasukkan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) sehingga menyebabkan mereka kesulitan memperoleh layanan BPJS Kesehatan.

    Harwati sendiri mengaku terinspirasi dari perjalanan hidupnya. Tahun 2008 silam, warga Siring yang kini hijrah ke Desa Candipari tersebut kehilangan suaminya, Muhtadi, karena kanker ulu hati. Saat meninggal, Muhtadi berusia 42 tahun.

    Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit bagi Harwati. Sebelum meninggal, RSUD Sidoarjo menolak merawat Muhtadi. Alasannya, Lapindo Brantas belum menyelesaikan tunggakan ke RS. Padahal, satu-satunya kesempatan berobat ketika itu adalah menggunakan bantuan pengobatan yang diberikan Lapindo.

    “Dari kejadian itu, saya sering kali kesal kalau mendengar ada orang miskin yang kesulitan dapat pengobatan. Kesannya seperti orang miskin memang benar-benar dilarang sakit,” pungkasnya.

    sumber: Liputan Khusus Harian Surya

  • Jelang 8 Tahun, Korban Lapindo Pasang 110 Patung

    Jelang 8 Tahun, Korban Lapindo Pasang 110 Patung

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Puluhan warga lumpur Lapindo sejak pagi bergotong royong membawa patung manusia untuk diletakan di Titik 21, Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin 26 Mei 2014. Patung-patung itu guna memperingati delapan tahun semburan lumpur Lapindo.

    Seniman yang memotori pembuatan patung, Dadang Christanto menjelaskan patung yang dibuatnya sejak satu bulan yang lalu sudah terkumpul sekitar 110 dan semua patung itu akan diletakan di tanggul. “Semuanya berjumlah 110 patung yang akan kami pasang,” kata dia kepada Tempo di sela-sela pemasangan patung, Senin, 26 Mei 2014.

    Jumlah 110 itu, kata dia, tidak ada makna filosofi khusus karena para korban lumpur Lapindo yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan patung hanya mampu membuat sebanyak itu. “Kami tiap hari bisa menghasilkan 4 sampai 5 patung,” kata dia.

    Sementara simbol patung, menurut Dadang, merupakan simbol bahwa korban lumpur meskipun delapan tahun ditelantarkan oleh pihak perusahaan PT Minarak Lapindo Jaya dan pemerintah, mereka masih bisa bertahan hidup dan masih bisa bertahan. “Inilah orang-orang pilihan yang sangat hebat,” kata dia.

    Patung tersebut dibuatnya berpasang-pasangan untuk menunjukan suatu keluarga korban lumpur, tangannya menengadah keatas menunjukan permohonan ganti rugi yang kian dilunasi sejak delapan tahun silam. “Namun untuk lebih lengkapnya nanti setelah pemasangan ini selesai akan ada maknanya semuanya,” ujar dia.

    Seniman yang saat ini tinggal di Australia ini menjelaskan bahwa aksi pagelaran patung itu merupakan aksi lanjutan dari aksi yang digelarnya pada tahun 2008 tahun silam. “Sehingga ini ada makna korelasi nanti.”

    Menurut Dadang, patung itu akan bertahan sekitar 4 bulanan karena campuran dari lumpur dan semen sehingga dipastikan dapat bertahan. “Yang saya khawatirkan malah bambu yang membuat patung itu berdiri,”katanya.

    Patung-patung itu dijadwalkan pemasangannya selama dua hari sejak pagi ini, sampai berita ini diturunkan mereka masih mampu memasang sekitar 20 patung manusia. Pemasangan itu terbilang sulit pasalnya ditancapkan pada bambu supaya patung itu bisa berdiri.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/05/26/058580387/Jelang-8-Tahun-Korban-Lapindo-Pasang-110-Patung

  • Rombongan Obor Marsinah Tabur Bunga di Tanggul Lumpur Lapindo

    Rombongan Obor Marsinah Tabur Bunga di Tanggul Lumpur Lapindo

    Sidoarjo – Rombongan obor Marsinah melakukan tabur bunga di atas tanggul lumpur Lapindo. Rombongan melakukannya di titik 10 A Tugu Kuning desa Siring kecamatan Porong Sidoarjo.

    Rombongan obor Marsinah berangkat dari Jakarta sejak tanggal 1 Mei 2014 untuk mengenang sosok Marsinah, sebagai pahlawan buruh yang telah berjasa memperjuangkan hak-hak buruh.

    Marsinah sendiri adalah Karyawan PT Catur Putra Surya, sebuah perusahaan yang memproduksi jam tangan yang berada di desa Siring Porong Sidoarjo. 11 tahun lalu, Marsinah meninggal demi memperjuangkan hak-hak buruh.

    Rombongan obor Marsinah telah melewati 20 kota termasuk mendatangi kota kelahiran dan tempat peristirahatan Marsinah selamanya di kota Nganjuk.

    Di atas tanggul lumpur Lapindo, rombongan obor Marsinah melakukan beberapa kegiatan, diantanya tiap-tiap perwakilan berorasi, membaca puisi serta menyalakan obor serta tabur bunga di atas tanggul.

    “Marsinah adalah pahlawan buruh, sampai saat ini Marsinah tidak mati. Masih ada Marsinah-Marsinah yang lain,” kata Salah satu korlap aksi Budi Wardoyo dari Politik Rakyat, Jumat (9/5/2014).

    Budi menambahkan, Marsinah adalah sosok wanita yang luar biasa, yang berani memperjuangkan hak buruh dengan nyawa taruhannya. Untuk itu, Budi dan rombongan berharap kepada pemerintah agar Marsinah di jadikan pahlawan buruh.

    “Kasus pembunuhan Marsinah harus segera diungkap,” pungkasnya.

    Jumat, 09/05/2014 17:30 WIB | Suparno – detikNews

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2014/05/09/173026/2578582/475/rombongan-obor-marsinah-tabur-bunga-di-tanggul-lumpur-lapindo

  • Korban Lapindo Memarahi Anggota DPRD

    indosiar.com, Sidoarjo – (Selasa : 29/04/2014) Warga korban lumpur Lapindo kembali mendatangi gedung DPRD setempat untuk menuntut pembayaran ganti rugi yang belum juga selesai. Pertemuan warga dengan anggota dewan berlangsung penuh amarah setelah warga merasa diabaikan.

    Puluhan korban lumpur Lapindo ini rencananya akan menemui anggota DPRD dan anggota pansus lumpur Lapindo untuk meminta klarifikasi putusan Mahkamah Agung terkait pembayaran ganti rugi bagi mereka. Namun mereka harus menelan kekecewaan karena tidak satupun anggota dewan yang menemui mereka.

    Terlanjur kecewa, korban lumpur ini kemudian menumpahkan kemarahan saat sejumlah anggota dewan mendatangi mereka. Kemarahan warga mereda setelah ketua pansus lumpur Lapindo mengajak warga berdialog di ruang rapat. Namun dialog kembali membuat warga kecewa. Karena anggota DPRD tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

    Untuk kesekian kalinya, pihak DPRD Sidoarjo berjanji mendesak pemerintah mengambilalih tanggungjawab pembayaran ganti rugi, atau memberikan pinjaman kepada PT Lapindo. (Tim Liputan/Sup)

    Sumber: http://www.indosiar.com/fokus/korban-lapindo-memarahi-anggota-dprd_117316.html

     

  • Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah

    Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah

    Sidoarjo – Puluhan warga korban lumpur Lapindo mendatangi kantor DPRD Sidoarjo. Mereka datang atas undangan Emir Firdaus selaku ketua pansus lumpur Lapindo.

    Sayangnya kedatangan mereka awalnya justru ditolak Emir. Warga tidak diperkenankan masuk. Warga pun akhirnya bergerombol di area halaman parkir dalam gedung DPRD Sidoarjo. Mereka geram dengan sikap Emir.

    “Sebagai seorang anggota dewan harus bisa mengayomi, jangan hanya ada perlunya saja,” teriak Nanik, salah seorang warga korban lumpur lapindo, Senin (28/4/2014).

    Nanik mengatakan, warga oleh pihak kelurahan disuruh datang ke gedung DPRD Sidoarjo. Yang mengundang adalah Emir Firdaus. Namun Emir sendiri selaku pengundang justru tak ingin ditemui.

    “Ayo Emir cepat keluar, jangan hanya duduk dan sembunyi di balik jabatanmu sebagai anggota dewan,” tambah dia.

    Warga terus menghujat Emir. Mereka terus berteriak-teriak sehingga membuat gaduh gedung anggota dewa tersebut. Kemarahan warga yang terus memuncak dan makin memanas itu akhirnya membuat mereka diperbolehkan masuk. Mereka diizinkan masuk di ruang rapat DPRD.

    Warga akhirnya ditemui oleh Emir. Suasana masih memanas saat dilakukan hearing atau pertemuan antara warga korban lumpur lapindo dengan Emir. Warga ingin mengetahui maksud kenapa mereka dipanggil dan dikumpulkan di DPRD Sidoarjo.

    “Apa maksud dan tujuan kami untuk dikumpulkan,” kata Khosim salah satu warga korban lapindo lainnya.

    “Kami juga ingin mempertanyakan kenapa pembayaran belum dilunasi. BPLS masih terus bekerja melakukan penanggulan. Itu harus dihentikan,” tambah dia.

    Hingga pukul 13.00 WIB, suasana hearing di ruang rapat masih membahas mengenai pembayaraan pelunasan ganti rugi korban lumpur Lapindo, terutama membahas mengenai putusan MK. Ternyata masih banyak warga yang tidak memahami mengenai keputusan MK tersebut.

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2014/04/28/130405/2567376/475/tak-ditemui-anggota-dewan-korban-lumpur-lapindo-marah?9922032

     

  • Rakyat Menggugat Lapindo (Negara)

    Tanggal 26 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan maklumat hukum baru yang memerintahkan negara untuk turun tangan mengatasi korban lumpur Lapindo, pembayaran ganti rugi belum juga selesai hingga 8 tahun berjalan.   

     

     

  • SBY, Selamatkan Bakrie Ya!

    SBY, Selamatkan Bakrie Ya!

    patung-SBYTidak lama lagi masa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir. SBY punya banyak janji, di antaranya penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Kasus Lapindo muncul pada 2006, setelah dua tahun masa jabatan SBY jilid pertama. Pada 2009, ketika belangsung pemilihan presiden, SBY mencalonkan diri lagi dan membuat janji akan menuntaskan kasus Lapindo apabila terpilih kembali. (more…)

  • Lapindo Masih Menunggak Ganti Rugi Rp 850 Miliar

    Lapindo Masih Menunggak Ganti Rugi Rp 850 Miliar

    TEMPO.COJakarta – PT Minarak Lapindo Brantas masih menunggak ganti rugi atas 3.000 tanah dan bangunan milik warga di peta areal terdampak lumur Sidoarjo. Padahal, juru bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Dwinanto, mengatakan berdasarkan ketentuan pemerintah, seharusnya perusahaan menyelesaikan ganti rugi paling lambat 2009.

    “Dari perpres, ganti rugi di dalam areal terdampak adalah tanggung jawab Lapindo dan maksimal dibayarkan dua tahun sejak 2007. Sekarang masih banyak warga yang belum dilunasi, sekitar 3.000,” kata Dwinanto ketika dihubungi Tempo, Rabu, 26 Maret 2014.

    Dwinanto mengatakan selama ini BPLS telah mengawasi pembayaran yang dilakukan oleh Lapindo kepada warga. Namun pembayaran kembali tersendat karena perusahaan beralasan ada masalah keuangan. “Kami selalu berupaya melakukan upaya penagihan sebatas kami mampu. Misalnya, lewat surat-menyurat, tegur-menegur, dan koordinasi soal pembayaran. Tetapi lebih dari itu di luar kewenangan kami,” katanya.

    Dwinanto mengatakan, awal 2013, pihak Minarak sempat berjanji melunasi tunggakan ganti rugi pada akhir 2013. Janji ini, kata Dwinanto, disampaikan dalam sebuah forum bersama Dewan Pengarah BPLS yang terdiri atas sejumlah menteri. “Memang tidak ada surat resmi dari mereka. Tetapi karena ini forum resmi dan ada notulensi rapat, kami anggap janji itu adalah sebagai pernyataan resmi,” kata Dwinanto.

    Lapindo Brantas diwajibkan membayar ganti rugi tanah dan bangunan milik korban lumpur Sidoarjo yang berada di dalam peta areal terdampak sebesar Rp 3,82 triliun. Saat ini Lapindo masih memiliki tunggakan ganti rugi Rp 850,91 miliar kepada warga di areal tersebut.

    Adapun warga yang berada di luar peta areal terdampak menjadi tanggung jawab pemerintah. Dwinanto mengatakan, untuk ganti rugi di luar peta areal terdampak, masih ada sekitar seribu berkas yang belum diselesaikan BPLS.

    Rabu, 26 Maret 2014, Mahkamah Konstitusi membacakan amar putusan permohonan uji materi korban Lumpur Sidoarjo atas UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang APBNP 2013. Dengan putusan ini, negara harus menjamin perusahaan segera melunasi ganti rugi yang menjadi hak warga.

    BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/27/206565859/Lapindo-Masih-Menunggak-Ganti-Rugi-Rp-850-Miliar

  • Korban Lumpur Lapindo Belum Tenang

    Korban Lumpur Lapindo Belum Tenang

     

    TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO —  Meski Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa negara wajib menjamin pelunasan ganti rugi, para korban lumpur Lapindo, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang berada di peta area terdampak merasa belum tenang.

    Mereka masih menantikan upaya konkret pelunasan ganti rugi itu. ”Kami tidak mau tahu uang ganti rugi itu dari mana asalnya, tetapi yang penting ada pelunasan secepatnya,” kata Yudo Wintoko, korban asal Desa Renokenongo, Porong, Kamis (27/3/2014), di Sidoarjo. Warga tidak peduli pelunasan tersebut dibayar oleh PT Lapindo Brantas Inc setelah dipaksa pemerintah atau dibayar menggunakan uang negara.

    Menurut Yudo, korban di wilayah peta area terdampak (PAT) sudah menunggu pelunasan ganti rugi selama delapan tahun sejak semburan lumpur Lapindo terjadi. Selama itu pula korban menanti ketegasan negara untuk menjamin nasib mereka.

    Rabu, MK memutuskan agar negara, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, harus dapat menjamin dan memastikan PT Lapindo Brantas Inc dapat melunasi ganti rugi terhadap masyarakat di wilayah PAT. Berdasarkan ketentuan hukum sebelumnya, ganti rugi di wilayah PAT menjadi tanggung jawab Lapindo dan di luar wilayah PAT menjadi tanggung jawab pemerintah.

    Keputusan MK tersebut merupakan permohonan enam warga yang tinggal di wilayah PAT. Mereka merasa selama ini didiskriminasi karena ganti rugi di luar wilayah PAT telah terselesaikan, sementara pelunasan ganti rugi terhadap mereka tak pernah jelas.

    Pembayaran ganti rugi terhadap warga di wilayah PAT yang harus ditanggung Lapindo masih Rp 1,5 miliar. Berdasarkan catatan Kompas, total warga yang tinggal di wilayah PAT dan berhak atas pelunasan itu sekitar 3.000 orang.

    Akibat ketidakjelasan pembayaran tersebut, sebagian besar warga di wilayah PAT mencari penghasilan dengan mengubah tanggul lumpur menjadi tempat wisata. Mereka mendapat penghasilan dari biaya parkir, jasa ojek motor, dan penjualan compact disc (CD) tentang lumpur Lapindo.

    Salah seorang warga yang menjual CD di tanggul, Harwati (38), mengaku masih ragu dengan tindak lanjut putusan MK itu.

    ”Kami sudah lama sering dibohongi. Kami juga sudah lama meminta pemerintah turun tangan, tetapi, kok, baru sekarang begitu. Jangan-jangan ada kepentingan politik karena sudah dekat pemilu,” katanya.

    Terkait dengan pelunasan ganti rugi, Harwati berharap pemerintah memilih mekanisme pembayaran yang tepat. Alasannya, selama ini warga di wilayah PAT terbagi dalam beberapa kelompok.

    Juru bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Dwinanto, mengatakan, pihaknya masih menunggu instruksi lebih lanjut pasca putusan MK tersebut. Selama ini BPLS juga terus mendesak PT Minarak Lapindo Jaya yang berwenang melaksanakan pembayaran. (DEN)

    Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2014/03/28/korban-lumpur-lapindo-belum-tenang

  • Lapindo innuendo

    Lapindo innuendo

    After nearly eight years, justice has been delayed and, hence, denied, for many people affected by the mudflow disaster stemming from gas drilling activities in the East Java regency of Sidoarjo. The Constitutional Court’s verdict favoring those affected last week has provided relief as it holds the state responsible for compensating those made to suffer without discrimination.

    The Finance Ministry says it needs time to study the ruling, but as the court’s ruling is final and binding, the question now is when the people will have their rights fulfilled.

    The unanimous decision to grant the plaintiffs’ demand for the revision of the 2013 state budget is a testament to the state’s failure, if not reluctance, to protect citizens afflicted by disaster. Siti Askabul Maimanah, Rini Arti, Sungkono, Dwi Cahyani, Tan Lanny Setyawati and Marcus Johny Ranny had challenged the state budget for not allocating compensation despite the severity of the mudflow damage.

    Presidential Regulation No. 14/2007 requires PT Lapindo Brantas as the operator of the gas well to pay Rp 3.83 trillion (US$ 338 million) in compensation to residents of 12 villages near the epicenter of the disaster, Rp 3.04 trillion of which has been paid. The government, according to the regulation, is accountable for compensating residents outside those villages.

    Whatever the motive behind the sharing of the burden between the government and Lapindo, partly owned by the family of Golkar Party chairman and presidential candidate Aburizal Bakrie, all the victims deserve compensation. Regardless of the government’s demarcation to divide the responsibility, all victims are entitled to equal treatment.

    The court’s ruling provides legal certainty to mudflow victims of their right and justification for the government to push Lapindo to fulfill the compensation payments. Any attempt to buy time or negotiate the implementation of the verdict will amount to violation of the rule of law, which will only cost the government its credibility.

    It is unlikely that the government will dare turn a deaf ear to the verdict. The political year will force President Susilo Bambang Yudhoyono’s administration to do its utmost to take any measure possible to uphold the Constitution.

    With or without pressure, the government bears the responsibility to protect people affected by a disaster, either natural or man-made, as soon as it strikes. The long road the six mudflow victims took to reach justice would not have happened if state protection was guaranteed in the first place.

    The Supreme Court has unfortunately declared the mudflow in Sidoarjo a natural disaster, but as far as the Constitutional Court verdict is concerned, Lapindo cannot escape the responsibility of rehabilitating the lives of those displaced and the local economy hurt by the mudflow.

    The mudflow disaster shows the price we have to pay for allowing politics to blur efforts to mitigate disaster, which is a matter of humanity.

    Source: http://www.thejakartapost.com/news/2014/04/02/editorial-lapindo-innuendo.html

  • 5 Kekalahan Pemerintah atas Lapindo Brantas

    TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi korban lumpur Lapindo di lokasi peta terdampak, Rabu, 26 Maret 2014. Mahkamah membatalkan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013 karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi itu sama saja menguntungkan masyarakat yang masuk peta terdampak dan pihak Minarak Lapindo Jaya.

    Bagi pemerintah, menurut kuasa termohon, Mursid Mudiantoro, putusan itu berarti negara harus menalangi kewajiban PT Lapindo Brantas yang belum terbayar sekitar Rp 1,5 triliun sejak pembayaran macet pada 2008. “Kami selalu kalah melawan Lapindo. Kami berharap, dengan tangan negara melalui MK, hak kami bisa kembali,” ujarnya.

    Sejak tahun 2007, sedikitnya setiap tahun negara mengeluarkan minimal Rp 500 miliar untuk mengatasi lumpur Lapindo. Dengan kekalahan terakhir maka bakal ditambah Rp 1,5 triliun. Berikut ini sederet “kemenangan” PT Lapindo atas lumpur yang menenggelamkan 19 desa di Sidoarjo.

    1. Bencana Alam sebagai Penyebab

    Sampai enam tahun semburan lumpur Lapindo, tidak ada satu pun pihak Lapindo Brantas yang bisa disalahkan, kecuali karena bencana alam. Para tersangka yang berjumlah 13 dari pihak pengelola tidak bisa dipidanakan karena Polda Jawa Timur menghentikan penyidikan pada Agustus 2009.

    Sedangkan Paripurna DPR pada September 2009 pun menetapkan penyebab semburan Lapindo adalah bencana alam, bukan kesalahan manusia. Menurut Aburizal Bakrie, semburan Lapindo merupakan fenomena alam yang tidak pernah berhenti selama 30 tahun. “Bisa dibayangkan, tragedi muncrat lumpur ke permukaan mungkin dalam 30 tahun tak akan terselesaikan,” kata Ical, sapaan Aburizal, pada 14 Maret 2012 kepada Tempo.

    2. Dana APBN

    Presiden meneken Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (selanjutnya disebut BPLS). Dengan dibentuknya BPLS maka seluruh penanganan dampak semburan diambil dari dana APBN. Lapindo Brantas hanya mengurusi ganti rugi pada peta terdampak.

    Padahal kerugian di luar ganti rugi bagi korban sangatlah besar. Seperti laporan BPK, kerugian Biaya Ekonomi Langsung sampai Rp 19,8 triliun. Alokasi APBN untuk menangani Lapindo dari 2007 sampai 2012 mencapai Rp 6,4 triliun. Sedangkan Aburizal Bakrie mengaku sampai April 2012 sudah mengeluarkan Rp 9 triliun. “Sebenarnya berat karena setiap bulan kami harus mengeluarkan dana Rp 100 miliar,” kata Ical pada 14 Maret 2012.

    3. Gagal di Ranah Hukum

    Berbagai cara dilakukan untuk menggugat Lapindo Brantas. Pada April 2009, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait dengan penanganan perkara lumpur Lapindo.

    Sebelumnya, pada November 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan menolak gugatan perdata yang diajukan YLBHI dalam perkara penanganan korban lumpur Lapindo. YLBHI menggugat Presiden RI, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, BP Migas, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, serta Lapindo Brantas Inc (Lapindo) sebagai turut tergugat. Majelis hakim menilai pemerintah dan Lapindo dianggap sudah melakukan upaya yang optimal. Atas putusan itu, YLBHI mengajukan banding. Setelah permohonan banding ditolak, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

    Walhi pada Juni 2006 juga mengajukan gugatan class action terhadap PT Lapindo Brantas, pemerintah, dan BP Migas ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sayang, lagi-lagi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Desember 2007 menolak gugatan Walhi.

    4. Ganti Rugi Belum Lunas

    Menurut data BPLS sampai April 2012, dari seluruh nilai kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 3,831 triliun, baru dibayar Rp 2,910 triliun. Sisanya sebesar Rp 920,5 miliar masih belum jelas.

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam berjanji akan melunasi ganti rugi bagi korban pada akhir 2012. Namun kepastian itu bisa sirna karena Nirwan Bakrie pada Mei 2012 menyatakan Minarak Lapindo hanya sanggup membayar Rp 400 miliar. Sisa Rp 500 miliar ganti rugi yang masuk peta terdampak belum ada kepastian kapan akan dilunasi. Setidaknya, sampai Maret 2013, tanggungan ganti rugi Minarak Lapindo masih Rp 680 miliar.

    5. Penanganan Pusat Semburan

    Menurut BPLS, pusat semburan sudah bergeser sejauh 300 meter. Jumlah material semburan berupa air dan lumpur memang semakin berkurang. Pada awal letusan, semburan material mencapai 180 ribu meter kubik per hari. Sampai April 2012, semburan semakin berkurang menjadi 10-15 ribu meter kubik per hari.

    Meskipun begitu, sulit diketahui sampai kapan semburan lumpur akan berhenti. Awalnya, pada Agustus 2009, pemerintah mengambil alih penutupan pusat semburan. Namun, Juli 2010, pemerintah menyerah dan menetapkan untuk menyetop penghentian semburan Lapindo. Alternatif yang dipilih akhirnya mengalirkan lumpur melalui Sungai Porong.

    Analisis Journal of the Geological Society edisi Maret yang ditulis Tempo menyebutkan lumpur baru akan berhenti menyembur pada tahun 2037. Bayangkan, kolam penampungan lumpur sekarang sudah melebihi 6,6 juta meter persegi dengan panjang tanggul yang mengitari kolam mencapai 22,14 kilometer. Adapun tinggi tanggul berkisar 9-11 meter.

    EVAN | PDAT (Sumber Diolah Tempo, BPLS)

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/27/206565846/5-Kekalahan-Pemerintah-Atas-Lapindo-Brantas/1/0

  • MK Kabulkan Gugatan Warga Sidoarjo Soal Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 9 ayat (1) UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013. MK juga menghapus tanggung jawab perbedaan ganti rugi antara Peta Area Terdampak (PAT) dan di luar PAT.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon,” kata Ketua Majelis Konstitusi Hamdan Zoelva dalam persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2014).

    Enam warga Sidoarjo, Jawa Timur, sebelumnya menguji materi pasal tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut berisi pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar PAT pada tiga desa. Ada pun bunyinya sebagai berikut:

    “APBN Tahun 2013 menyatakan, untuk untuk kelancaran Upaya Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun anggaran 2013 dapat digunakan untuk:

    a. Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan); dan sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo dan Kelurahan Mindi)”

    Para pemohon yakni Siti Askabul Maimanah, Rini Arti, Sungkono, Dwi Cahyani, Tan Lanny Setyawati, dan Marcus Johny Ranny adalah warga Sidoarjo yang sebelumnya tinggal di dalam PAT. Mereka mengaku dirugikan hak konstitusionalnya dan diperlakukan tidak adil dengan adanya UU tersebut.

    Warga di dalam PAT mengaku belum mendapatkan ganti rugi, padahal warga di luar PAT telah mendapatkan ganti rugi. Tuntutan mereka, korban lumpur Lapindo di dalam PAT mendapatkan hak yang sama dengan warga di luar PAT. Perbedaan ini yang membuat MK mengabulkan permohonan enam warga Sidoarjo tersebut.

    “Pasal 9 ayat (1) huruf a UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN TA 2013 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hamdan.

    “Sepanjang UU tersebut tidak dimaknai sebagai negara dengan kekuasaan yang ada harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah PAT oleh perusahaan yang bertanggungjawab untuk itu,” sambungnya.

    Hal ini menunjukkan Pasal 9 dalam UU APBN TA 2013 bertentangan dengan UUD 1945. Terutama Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang intinya mengenai penggunaan APBN untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. (vid/mad)

    Sumber: http://news.detik.com/read/2014/03/26/193846/2537837/10/mk-kabulkan-gugatan-warga-sidoarjo-soal-ganti-rugi-lumpur-lapindo

    [Putusan lengkap Mahkamah Konstitusi dapat dilihat di sini]

  • Korban Lumpur Lapindo Kehilangan Hak Pilih

    KBR68H, Jakarta – Sepuluh ribu warga korban lumpur Lapindo di empat desa Sidoarjo, Jawa Timur kehilangan hak sipilnya. 

    Koordinator Medialink, Ahmad Faisol mengatakan, warga di Desa Jatirejo, Siring, Ronokenongo dan Kedung Bendo sejak tiga tahun lalu tidak masuk dalam data pemerintah daerah maupun pusat.

    Menurut Faisol, akibat sejumlah desa tersebut tenggelam, status kependudukan para warga menjadi tidak lagi diakui. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa mengakses berbagai program sosial, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta hak pilih dalam Pemilu.

    “Mereka itu 4 desa yang tenggelam di tanggul lumpur itu, Jatirejo, Siring, Renokenongo, dan Kedung Bendo benar-benar kehilangan hak sipilnya. Mereka itu sudah tidak lagi terdaftar untuk peserta pemilu. Kalau dicek di DPT KPU, mereka tidak terdaftar sama sekali, termasuk di dalam proses pendataan Jamkesmas ini, nol-nol semua,” kata Ahmad Faisol, di sebuah hotel di kawasan Menteng, (12/3).

    Koordinator Medialink, Ahmad Faisol menambahkan, lembaganya bersama warga Sidoarjo telah mengajukan data kepada pemerintah daerah. Namun pemda setempat  tidak menyambut baik, dengan alasan tidak memiliki wewenang dalam pendataan. Karenanya, Medialink akan mengajukan data warga ke kementerian terkait agar hak sipil mereka bisa segera dipulihkan.

    Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/beritapemilu/3167548_6033.html

  • Terdakwa dugaan korupsi lahan Lapindo minta penangguhan penahanan

    Terdakwa dugaan korupsi lahan Lapindo minta penangguhan penahanan

    LENSAINDONESIA.COM: Mantan Kepala Desa (Kades) Besuki Sidoarjo, M Siroj mengajukan eksepsi (bantahan) atas kasus korupsi penjualan lahan terdampak lumpur Lapindo yang didakwakan JPU kepadanya.

    Saat sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (27/2/2014) ini, dalam eksepsinya kuasa hukum terdakwa, Ricky Panjaitan SH, menyebut dakwaan material yang sebelumnya disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Irwan Setiawan itu rancu. Ada inkonsistensi antara peran terdakwa dengan yang lain dalam kasus ini. “Ini malah campur baur,” jelasnya kepada wartawan usai sidang.

    Diungkapkan, bentuk inkonsistensi itu adalah tak jelasnya dakwaan JPU terkait proses pertemuan dengan petani, proses penyerahan uang hingga pengukuran lahan ketika jual beli tanah. Dia melihat bahwa peran terdakwa dalam jual beli ini bukan yang utama. Malah sebaliknya, Syuhadak (berkas terpisah) adalah koordinator lapangan untuk proses jual beli lahan. “Sebenarnya kasus ini berawal dari ikatan jual beli dengan delapan petani. Dari situ kemudian dilakukan pengukuran, tapi kena lumpur sehingga jumlahnya jadi membengkak. Ini yang membuat klien saya diajukan ke pengadilan,” katanya.

    Selain eksepsi, kuasa hukum terdakwa juga memohon dan menyerahkan penangguhan penahanan kepada majelis hakim. Terkait hal ini, ketua majelis hakim Sri Herawati menjelaskan, bahwa permohonan itu akan dipertimbangkan. “Dipertimbangkan apa dikabulkan atau tidak,” tegasnya.

    Untuk diketahui, berdasarkan penyidikan yang ada, maka terdakwa terindikasi melakukan pemalsuan dan penggelapan dana bantuan ganti rugi lahan warga terdampak lumpur Lapindo dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dari hasil penyidikan, dia didakwa menggelapkan dana hingga 30 persen dari total yang digelontorkan pemerintah untuk para warga yang masuk dalam peta terdampak. “Perbuatan terdakwa sesuai dakwaan dan audit yang dilakukan, merugikan keuangan negara hingga Rp 603 juta,” papar JPU Irwan Setiawan.

    Untuk penggelapan dan pemalsuan yang dilakukan Siroj, yakni dengan memanipulasi luas lahan di kawasan Lapindo milik warga yang hendak dibeli BPLS. Salah satunya sawah milik warga seluas 2.435 meter persegi, dimana dalam laporan ke BPLS disebutkan seluas 1.334 meter persegi. Padahal saat itu, BPLS mematok Rp 1 juta per meter persegi. “Padahal sesuai data yang ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN), luas lahan milik warga mencapai 2.435 meter persegi. Dengan begitu, terdakwa terbukti melakukan penggelapan disertai penipuan,” ujarnya.

    Adapun pasal yang dijeratkan berlapis, yakni pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 yang diperbarui No 21/2001 tentang Tipikor dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara. @ian

    Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2014/02/27/terdakwa-dugaan-korupsi-lahan-lapindo-minta-penangguhan-penahanan.html