Author: Redaksi Kanal

  • Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

    Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

    Tanggal 29 Mei 2015, tepat 9 (sembilan) tahun lumpur Lapindo menyembur di Desa Siring Kecamatan Porong, yang sudah menenggelamkan dan mengusir warga di 3 (tiga) kecamatan (Porong, Jabon, dan Tanggulangin).

    Pada hari itu ratusan korban Lapindo memperingatinya dengan mengarak ogoh-ogoh yang menyerupai Aburizal Bakrie. Ogoh-ogoh diarak dari taman, bekas Pasar Porong, menuju kolam lumpur. Tidak hanya kaum laki-laki, anak-anak dan perempuan juga ikut serta dalam aksi peringatan itu.

    Selain ogoh-ogoh, peserta aksi juga membawa poster dari kardus dengan pelbagai tulisan, antara lain, “Kampungku dulu tidak begini, Lapindo menghancurkan semua” dan “Tambangku hancurkan, duniaku.” Para perempuan memakai topeng wajah Aburizal Bakrie juga membentang spanduk bertuliskan “9 Tahun Lumpur Lapindo Muncrat, Bakrie Penjahat.”

    This slideshow requires JavaScript.

    Festival Pulang Kampung

    Abdul Rochim, salah satu koordinator aksi, mengatakan aksi dengan mengarak raksasa Bakrie dengan tangan terikat rantai itu ingin mengabarkan bahwa pemilik Lapindo Brantas ini adalah penjahat lingkungan, yang seharusnya diadili.

    “Dalam aksi kali ini, kami sengaja lakukan dengan mengarak ogoh-ogoh Bakire yang terikat rantai. Kami sengaja ingin menyampaikan pesan ke publik dan ke negara bahwa tokoh Partai Golkar ini adalah penjahat lingkungan yang seharusnya diadili,” ujarnya.

    Sesampainya di tanggul lumpur Lapindo, arak-arakan ogoh-ogoh langsung disambut ibu-ibu dari Komunitas Ar-Rohma, yang mendirikan gubuk-gubukan di atas lumpur yang sudah mengering. Komunitas Ar-Rohma sengaja membangun gubuk-gubukan di atas Desa Siring, di titik 21.

    Harwati, salah satu perempuan korban Lapindo dari Komunitas Arrohma, mengatakan bahwa warga yang berprofesi sebagai tukang ojek lumpur sudah membangun gubuk-gubukan sejak tanggal 25 Mei. “Kami membangun kampung kembali di atas lumpur yang sudah mengering.” Dalam aksi “Festival Pulang Kampung” ini mereka berpesan kepada negara bahwa dulu ada kampung dan kehidupan di dalam sini.

    Aksi peringatan 9 tahun lumpur Lapindo berjalan lancar dengan pengawalan tim dari kepolisian. Ogoh-ogoh Aburizal Bakrie diletakkan di atas lumpur yang mengering, dengan rantai yang mengikat kedua tangannya dipasung dalam lumpur. Warga mengerubungi ogoh-ogoh dan melemparinya dengan kembang sambil berteriak “Bakrie Penjahat.”

    Usai dengan ogoh-ogoh, warga berkumpul di gubuk yang sudah disiapkan. Warga melakukan beberapa aktivitas “pulang kampung” di atas lumpur yang mengering itu. Ada perwakilan anak-anak membacakan puisi yang menggambarkan penderitaan mereka kehilangan tempat tinggal, bermain.

    Menghukum Pelaku

    “Presiden Jokowi pernah mengatakan negara harus hadir untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi di sini,” ungkap Harwati.

    “Seharusnya Jokowi tidak hanya mengganti rugi yang sampai sekarang belum selesai dengan dana talangan, tapi juga harus menyelesaikan persoalan yang lain seperti pemulihan ekonomi warga, jaminan kesehatan dan pemulihan sosial budaya yang saat ini sama sekali tidak diperhatikan,” lanjutnya.

    Harwati dan ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas Ar-Rohma akan terus memperjuangkan hak-hak korban Lapindo yang dihilangkan oleh Lapindo dan negara. “Selama kami diusir dari kampung kami, kami tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan,” katanya.

    Ony Mahardika, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, juga mengatakan senada. “Seharusnya Presiden Jokowi tidak memaknai persoalan kasus lumpur Lapindo hanya dengan persoalan ganti rugi, tapi harus melihat aspek-aspek yang lain, misalnya jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, pemulihan ekonomi, dan jaminan pemenuhan hak-hak korban Lapindo lainnya,” ungkap Ony.

    Novik Akhmad untuk korbanlumpur.info

  • Lumpur Lapindo: Menakar Kemampuan Grup Bakrie

    Lumpur Lapindo: Menakar Kemampuan Grup Bakrie

    Jakarta, CNN Indonesia — Sembilan tahun sudah lumpur dan gas terus menyembur di Sidoarjo. PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan tunjukan Lapindo Brantas Inc. milik Grup Bakrie menjadi penanggung jawab ganti rugi kepada masyarakat. Lantas bagaimana sebenarnya kinerja konglomerasi Bakrie?

    Lapindo Brantas Inc. awalnya merupakan perusahaan eksplorasi minyak dan gas hasil patungan antara PT Energi Mega Persada Tbk milik Grup Bakrie dengan PT Medco Energi Tbk dan Santos Australia. Bakrie mengontrol Lapindo Brantas dengan kepemilikan saham mencapai 50 persen. Sementara Medco dan Santos masing-masing menggenggam 32 dan 18 persen.

    Grup Bakrie yang mengendalikan aspek hulu unit Migas Energi Mega Persada membentuk PT Lapindo Brantas pada tahun 1996 dengan membeli saham Huffington Corporations yang dimiliki Amerika Serikat serta perusahaan pengapalan Blok Brantas di Jawa Timur, Indonesia.

    Blok Brantas seluas 15.000 kilometer persegi diberikan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas pada tahun 1990. Setelah dua kali penyerahan wajib, wilayah kontrak karya milik Lapindo Brantas menjadi seluas 3.050 kilometer persegi.

    Kontrak pembagian produksi Brantas telah mengebor delapan sumur eksplorasi dari tahun 1993 hingga 2001 yang berujung pada ditemukannya ladang gas Wunut 30 kilometer di selatan Surabaya. Ladang Wunut mulai dieksplorasi pada Januari 1999.

    Dari sisi kinerja terakhir, PT Energi Mega Persada Tbk selaku pengendali PT Lapindo Brantas mencatatkan performa yang buruk sepanjang 2014. Perseroan tercatat hanya mencetak laba bersih US$ 37,03 juta, anjlok 78,24 persen dari perolehan 2013 sebesar US$ 170,27 juta.

    Perseroan menyatakan jebloknya laba bersih tersebut akibat dari penjualan Blok Masela yang hasilnya hanya dibukukan sekali saja pada 2013. Penjualan Blok Masela tercatat menambah laba sebesar US$ 163,68 juta.

    “Tanpa laba tersebut, laba bersih perusahaan sebenarnya meningkat hampir enam kali dari tahun sebelumnya,” ujar Imam Agustino, Direktur Utama Energi Mega Persada dalam keterangan resmi (29/4).

    Terkait Lapindo Brantas, dalam laporan keuangan Energi Mega Persada tercantum bahwa terdapat transaksi dengan pihak berelasi tersebut. Energi Mega Persada tercatat memiliki piutang kepada Lapindo Brantas senilai US$ 73,59 juta.

    Untuk diketahui, piutang kepada Lapindo Brantas tersebut merupakan pemberian pinjaman, tanpa bunga dan tanpa jangka waktu pengembalian.

    Kinerja Grup Bakrie

    Hingga saat ini, belum semua perusahaan Grup Bakrie yang melantai di bursa menyampaikan laporan keuangan kuartal I 2015. Parahnya lagi, dua perusahaan Bakrie, yaitu PT Bakrie & Brothers Tbk dan PT Bumi Resources Tbk, bahkan belum menyampaikan laporan keuangan tahun 2014.

    Bumi Resources menyatakan belum bisa mengeluarkan laporan keuangan tahunan 2014 karena perseroan masih berjibaku dengan perhitungan utang. “Kami belum dapat menyampaikan Laporan Keuangan Konsolidasian Tahunan perseroan untuk periode satu tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2014 (audited) karena saat ini Perseroan masih menunggu konfirmasi utang dari beberapa kreditor,” tulis perseroan dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia (8/4).

    Oleh karena itu penghitungan kinerja Grup Bakrie hingga saat ini maksimal bisa dicatat hingga kuartal III 2014. Tercatat, ada 11 perusahaan Bakrie yang melantai di pasar modal Indonesia, antara lain PT Bakrie & Brothers Tbk, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Bakrieland Development Tbk, PT Visi Media Asia Tbk, dan PT Intermedia Capital Tbk yang laporan keuangannya menggunakan denominasi Rupiah.

    Selain itu terdapat PT Berau Coal Energy Tbk, PT Bumi Resources Minerals Tbk, PT Bumi Resources Tbk, PT Darma Henwa Tbk, dan PT Energi Mega Persada Tbk yang laporan keuangannya menggunakan mata uang Dolar AS.

    Berdasarkan perhitungan, secara total Grup Bakrie masih mengalami rugi bersih pada kuartal III 2014. Enam perusahaanya yang laporan keuangannya menggunakan denominasi rupiah tercatat mencetak rugi bersih Rp 1,76 triliun, turun dari rugi bersih kuartal III 2013 senilai Rp 2,18 triliun.

    Sementara untuk perusahaannya yang menggunakan mata uang Dolar AS dalam laporan keuangannya, tercatat mencetak rugi bersih US$ 113,9 juta. Jumlah itu turun dari rugi bersih triwulan III 2013 senilai US$ 289,21 juta.

    Jika ditotal, maka sepanjang kuartal III 2014, Grup Bakrie masih menelan rugi bersih senilai Rp 1,76 triliun dan US$ 289,21 juta.

    Aset dan Kewajiban

    Lebih lanjut, jika dihitung, maka total aset dari enam perusahaan Bakrie yang laporan keuangannya menggunakan denominasi rupiah tercatat mencapai Rp 57,53 triliun hingga triwulan III 2014. Sementara jumlah liabilitas atau kewajiban enam perusahaan tersebut mencapai Rp 46,75 triliun. Adapun Rp 34,41 triliun di antaranya merupakan kewajiban jangka pendek.

    Untuk perusahaan Grup Bakrie yang laporan keuangannya menggunakan mata uang Dolar AS, hingga triwulan III 2014 aset totalnya mencapai senilai US$ 12,95 miliar. Sementara jumlah kewajiban atau liabilitas tercatat mencapai US$ 11,01 miliar. Sebanyak US$ 7,89 miliar merupakan kewajiban jangka pendek, namun tak termasuk milik PT Berau Coal Energy Tbk.

    Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo, mengatakan sebenarnya Grup Bakrie sudah mengeluarkan banyak uang untuk masalah Lapindo tersebut. Namun waktu jatuh tempo utang tidak ada yang tahu, meski pemerintah akhirnya turun tangan.

    “Langkah pemerintah sudah cukup cerdas. Kalau pun bencana itu bisa diselesaikan, itu merupakan lahan yang luas dan bagus, apalagi di Sidoarjo yang dekat Surabaya. Pemerintah mendapat aset yang murah. Namun kalau tidak selesai, bergantung kebijakan pemerintah nantinya,” kata Satrio kepada CNN Indonesia, Jumat (29/5).

    Dari sisi kinerja Grup Bakrie, Satrio menilai problem terbesar konglomerasi tersebut selain Lapindo adalah terkait cara mengelola utang. Menurutnya Grup Bakrie suka membeli aset, namun terlalu agresif dalam berutang. Meski aset masih mampu menyelesaikan kewajiban, adanya pembayaran utang disertai bunga bertahap menjadi masalah yang pelik.

    “Apalagi beberapa utang di antaranya berbunga tinggi. Jadi terlihat kurang prudent. Harusnya ada roadmap baru dalam memperbaiki kebijakan berutang, juga kualitas utang. Apalagi perseroan sempat berutang dengan jaminan komoditas batubara yang harganya sedang melorot,” ujar Satrio. 

    Giras Pasopati

    Sumber: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150529171044-92-56584/lumpur-lapindo-menakar-kemampuan-grup-bakrie/

  • Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo Tak Bisa Dipidana

    Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo Tak Bisa Dipidana

    Jakarta, CNN Indonesia — Sembilan tahun berlalu sejak semburan lumpur pertama kali muncul di posisi 200 meter barat daya sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc. pada 29 Mei 2006. Semburan lumpur terus meluas dan menenggelamkan puluhan ribu rumah, sekolah, kantor pemerintahan, masjid, pabrik, serta sawah penduduk.

    Namun tak ada satu pun korporasi atau pengelola dari PT Lapindo Brantas Inc. yang terkena jeratan hukum. Mahkamah Agung menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai dampak bencana alam. Pendapat serupa juga dipegang Dewan Perwakilan Rakyat RI.

    Putusan bahwa kasus Lapindo terjadi akibat bencana alam itu, menurut Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Karliansyah, membuat tindak pindana tak bisa dijeratkan atasnya.

    “Kami punya UU yang mengatur tentang kejahatan korporasi di bidang lingkungan, baik sengaja atau tidak sengaja. Namun jika sebuah kasus sudah ditetapkan pemerintah sebagai bencana alam, aturan pidana menjadi gugur,” kata Karliansyah kepada CNN Indonesia, Jumat (29/5).

    Dalam kasus tragedi lumpur Lapindo, Kepolisian Daerah Jawa Timur pernah menetapkan 13 tersangka, yakni dari pihak PT Energi Mega Persada Tbk, PT Medici Citra Nusa, PT Tiga Musim Mas Jaya, dan Lapindo Brantas. Namun penyidikan tersebut dihentikan pada Agustus 2009.

    Sebulan kemudian, September 2009, Sidang Paripurna DPR mengukuhkan penyebab semburan Lapindo ialah faktor bencana alam. Dengan demikian, tak ada satupun individu atau institusi dalam Lapindo yang bisa dipidanakan.

    Muhammad Yunus, Asisten Deputi Penegakan Hukum Pidana Kementerian Kehutanan dan LH, menyatakan jika sebuah kasus sudah ditetapkan sebagai bencana alam, maka tugas institusinya ada pada sektor pembinaan. “Kami mencari tahu harus diapakan agar dampak lingkungannya tidak makin besar. Misalnya dengan dipasang tanggul atau upaya perbaikan lingkungan lainnya,” kata dia.

    Jika sebuah kasus tidak diputuskan sebagai bencana alam, barulah institusinya bisa memidanakan korporasi dan individu yang terlibat dalam kasus pencemaran lingkungan, baik sengaja maupun tak disengaja. “Aturan itu tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116 ayat 1,” ujar Yunus.

    Yunus mengutip bunyi UU tersebut, yakni “Apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk, atau, atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada a. badan usaha dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut, atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.”

    “Misalnya kasus kebakaran hutan. Tidak ada pernyataan itu bencana alam, maka bisa dijatuhkan pidana dengan UU ini,” ujar Yunus.

    Menurut Yunus, setiap perusahaan pertambangan sebenarnya sudah mendapat informasi mengenai dampak risiko dan langkah pengeboran setiap hendak memulai kegiatan pertambangan. “Maka kejadian seperti lumpur Lapindo ini sebenarnya bisa diminimalisasi dampaknya jika perusahaan tidak mengabaikan klausul dalam izin tersebut,” kata dia.

    Misalnya mengenai kapasitas pipa penyaluran yang memuat maksimal 100 meter kubik per jam, Kementerian akan memberikan izin hanya pada angka 75 atau 80 meter kubik per jam. “Itu untuk menjaga dari risiko. Tapi apakah perusahaan menaati klausul itu? Makanya bisa terjadi gesekan di pipa yang menyebabkan kebocoran berlanjut-lanjut,” kata dia.

    Utami Diah Kusumawati

    Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150529134709-20-56529/sudah-ditetapkan-dpr-bencana-alam-lapindo-tak-bisa-dipidana/

  • “Rakyat Berdaya, Meski Negara Alpa”

    “Rakyat Berdaya, Meski Negara Alpa”

    Rilis Media | 9 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    Sembilan tahun lalu, di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin dan Jabon. Lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa. Bencana industri ini ternyata bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Ia menceritakan pengabaian negara terhadap kehidupan berpuluh ribu warga di Porong, Tanggulangin, dan Jabon.

    Negara Alpa di Tengah Bencana

    Ada begitu banyak kerugian yang harus ditanggung korban Lapindo selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja misalnya, sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, dulu berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI dan beberapa peneliti menemukan kandungan logam berat di tanah dan air pada area sekitar lumpur Lapindo. Pada tahun 2011, Jatam memeriksa kesehatan korban Lapindo yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan, Dalam pemeriksaan haematologi lengkap, 75% dari dua puluh terperiksa ternyata dalam kondisi tidak normal. Yang terbaru pada 2013, Tarzan Purnomo, seorang peneliti dari Unesa, bahkan menemukan kandungan logam berat Timbal pada tubuh ikan ribuan kali diatas ambang batas aman.

    Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 33 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Hampir seluruh persoalan ini tidak pernah menjadi perhatian utama pemerintah dalam usahanya untuk memulihkan kehidupan korban Lapindo. Jangankan mau memikirkan skema pemenuhan hak korban Lapindo, data sahih tentang berapa jumlah korban Lapindo saja tidak pernah didata dengan baik. Selama ini baik Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun Lapindo hanya memakai acuan berkas kepemilikan lahan. Berapa berkas yang sudah terbayar dan berapa yang belum. Persoalan ekonomi korban lumpur yang berantakan, kualitas kesehatan yang memburuk, layanan administrasi yang memadai untuk mereka, dan kualitas lingkungan  yang memburuk sama sekali tidak masuk skema BPLS dan Lapindo. Logika penanganan kasus Lapindo ini sudah sesat sejak awal. Hanya dibatasi persoalan hilangnya aset tanah dan bangunan.

    Kami Tidak Diam

    © 2015, Rahman Seblat
    © 2015, Rahman Seblat

    Telah menjadi anggapan umum bahwa warga terdampak lumpur Lapindo adalah korban tak berdaya yang selalu menunggu uluran tangan pemerintah untuk bisa keluar dari kondisinya selama ini. Berlarut-larutnya proses penanganan korban, terutama mereka yang ada dalam skema pembayaran PT Minarak Lapindo Jaya, semakin menguhkan pandangan umum akan hal ini.

    Kelompok Perempuan Korban Lapindo, Ar-Rohma merasa pemerintah sama sekali tidak memberikan mereka jaminan apapun di tengah kondisi yang semburan lumpur Lapindo yang telah merusak hidup mereka. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur lapindo yang tidak pernah menjadi perhatian pengurus publik negeri ini, perempuan-perempuan korban lapindo ini bergerak untuk menuntut jaminan atas kehidupan mereka. “Kami bukan sekedar memperjuangkan hak pada sektor kesehatan saja, namun kami juga memperjuangkan hak atas pendidikan anak-anak kami yang telah terpinggirkan, jaminan perlindungan sosial-ekonomi, serta persoalan administrasi kependudukan yang menjadi pangkal hilangnya hak-hak korban Lapindo,” tutur Harwati (39), koordinator Ar-Rohma.

    Selama ini warga terdampak lumpur Lapindo tetap teguh memperjuangkan hak-hak mereka meskipun tanpa bantuan negara di antara isu “mainstream” ganti rugi yang nampak di permukaan. Pemenuhan ganti rugi yang tak kunjung selesai memang telah memperburuk korban Lapindo untuk mulai memulihkan hidup mereka. Namun korban Lapindo tetap berusaha untuk selamat dengan memperjuangkan pemulihan hidup dengan cara mereka.

    Komunitas Alfaz menerbitkan kumpulan cerita dan puisi berjudul “Lumpur Masih Menggila, Dengarkan Anak-Anak Bercerita” pada 2012. Buku ini merupakan media yang memberi kesempatan anak-anak bertutur tentang apa yang mereka lihat dan rasakan pada dunianya yang tengah terancam oleh semburan lumpur Lapindo. Alfaz yang didirikan sebagai usaha untuk menciptakan ruang bermain dan belajar anak untuk membantu menjawab kebutuhan psikologis anak-anak terdampak lumpur Lapindo yang harus menghadapi kondisi penuh kecemasan dan ketidakpastian akibat lumpur lapindo. “Ruang bermain dan belajar anak di sekitar semburan Lapindo telah hilang terkubur lumpur, kenyamanan dan keriangan yang harusnya bisa didapat anak-anak pun turut terkubur di dalamnya. Karena itulah, usaha untuk mencoba membangkitkan kembali dunia bermain anak yang hilang tersebut perlu untuk dimunculkan, Sanggar anak Alfaz adalah ruang dimana anak-anak korban lumpur Lapindo terutama di desa Besuki, sebelumnya, sebelum pindah ke Desa pangreh, Kecamatan Jabon dapat mempunyai ruang bermain dan belajar bersam,” tutur Abdul Rokhim (48), pengasuh Alfaz.

    Beberapa puisi yang ditulis dibacakan dalam prosesi “Pulang Kampung” di tanggul Lumpur Lapindo titik 21 pada 29 Mei 2015.

    Rakyat Berdaya Meminta Negara Ada

    Peran pengurus negara sampai sejauh ini dalam menentukan skema penyelesaian lumpur Lapindo hanya sebatas pada persoalan ganti rugi dan melupakan tanggung jawab pemulihan hilangnya hak dasar warga. Rusaknya sarana pendidikan dan akses mendapatkan pendidikan layak yang sulit didapat anak-anak korban Lapindo tidak pernah coba diatasi secara khusus. Kualitas kesehatan yang menurun tidak diimbangi dengan melakukan monitoring kesehatan warga dan pertanggungan khusus. Lebih-lebih soal lingkungan yang memburuk, tidak ada upaya mengatasi melalui monitoring ataupun pengelolaan khusus.

    Pengurus Negara justru berperan memperburuk terpenuhinya hak dasar warga. Sebelumnya di masa pemerintahan SBY, model penanganan kasus lapindo oleh pemerintah lebih mengedepankan pemulihan ekonomi regional dan lebih melihat melihat dampak lumpur Lapindo terhadap infrastruktur. Ini bisa dilihat dari struktur personel BPLS dan juga anggarannya yang lebih fokus pada pemulihan infrastruktur, tidak ada upaya untuk memulihan hak dasar korban Lapindo.

    Penyelesaian dampak lumpur pada warga di luar Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 juga menggunakan skema ganti rugi tanah dan bangunan.

    Presiden Jokowi seharusnya tidak memandang persoalan lumpur Lapindo sebagai persoalan sederhana dan bisa diselesaikan tuntas dengan menalangi pembayaran ganti rugi. Sejumlah pekerjaan pemulihan dan upaya mitigasi perlu dilakukan. Memantau persebaran lumpur dan dampaknya perlu dilakukan terus menerus dan diimbangi upaya pemulihan lingkungan dan monitoring kesehatan warga. Jaminan khusus untuk pendidikan anak-anak korban Lapindo wajib dilakukan. Demikian juga peran untuk memfasilitasi inisiasi aktivitas ekonomi baru untuk percepatan pemulihan ekonomi keluarga.

    Kelompok perempuan korban Lapindo, ArRohma bersama Paguyuban Ojek dan Portal Titik 21, dan Komunitas AlFaz  melakukan Festival Pulang Kampung. Patung raksasa (ogoh-ogoh) Bakrie setinggi lima meter diarak dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju tanggul di titik 21 Jalan Desa Reno. Tangan sosok Bakrie ini diikat rantai, diarak, lalu dipasak di kawasan lumpur Lapindo. Ratusan korban Lapindo berjalan pelan menuju tanggul titik 21 diiring patrol yang dimainkan anggota AlFaz.

    Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggambarkan betapa ada ikatan kuat antara korban Lapindo dengan kawasan yang kini telah terendam lumpur. Tanah kubur orang tua moyang mereka terkubur di wilayah ini. “Kami tak mungkin melupakan desa-desa di sini, sampai kapanpun kami akan ingat,” ujar Harwati(39). Ia mengkoordinir ratusan korban Lapindo dalam peringatan 9 tahun Lumpur Lapindo.

    Harwati berharap masyarakat Indonesia mengingat kejadian lumpur Lapindo dan mendorong pemerintah untuk menyelesaikan krisis yang diakibatkan lumpur Lapindo. Pemulihan ekonomi merupakan agenda penting dilakukan dengan memprioritaskan pemenuhan hak dasar.

    Ia berharap desa-desa yang terendam lumpur Lapindo tidak dihapuskan secara administrasi. Sebagai bagian kenangan dan sejarah korban Lapindo, agaknya sulit bagi mereka untuk menerima rencana-rencana penghapusan desa seperti yang diusulkan DPRD Sidoarjo. Apalagi sampai saat ini mereka tercatat sebagai warga desa-desa yang terendam ini, meski secara fisik, tidak bisa lagi dikatakan ada permukiman yang terlihat.

    Harwati juga berharap dilakukan pemeriksaan kualitas kawasan dan orang-orang yang selama ini masih sering ada di tanggul lumpur. Misalnya ia dan kawan-kawannya sebagai ojek tanggul mestinya mendapatkan fasilitas pemeriksaan berkala dan dijamin untuk bisa melakukan pengobatan secara gratis jika sakit.

    “Dampak lumpur Lapindo ini multi dimensi, persoalan pemburukan lingkungan berdampak pada persoalan yang lain. Kesehatan terganggu, area produksi menjadi buruk, pekerjaan hilang, konflik sosial, dan hak-hak dasar warga tak terpenuhi,” ujar Bambang Catur, penggiat lingkungan JATAM. Ia berharap pengurus negara melakukan assesmen mendalam untuk memetakan dampak semburan lumpur Lapindo. “Libatkan semua sektor di pemerintahan dalam upaya pemulihan ke depan. Pemerintah harus membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemulihan hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan,” pungkas Catur.

    “Peringatan sembilan tahun Lumpur Lapindo ini untuk mengingatkan pemerintah akan perannya untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya,” terang Harwati lebih lanjut. Ketidakmampuan negara memastikan terpenuhinya hak-hak korban Lapindo yang hilang akan semakin menegaskan aroma kolusi negara dan korporasi dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bencana industri serupa akan berpeluang besar kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Kontak:

    Harwati (0856-4556-6229)

    Rere (0838-5764-2883)

    Unduh versi pdf di sini.

  • [April 2015] Korban Lapindo “Pulang Kampung”

    Jelang sembilan tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015, kondisi pemulihan warga sepertinya masih belum jelas. Sampai kini urusan penggantian hilangnya aset tanah dan bangunan masih belum terlaksana. Pemerintah masih dalam proses menyiapkan legalitas pelaksanaan penalangan sebagai akibat wanprestasi Lapindo melaksanakan kewajiban sesuai Perpres 14/2007.

    Demonstrasi mempertanyakan realisasi pencairan dana itu dilakukan beberapa kelompok warga pada bulan ini. Pemerintah yang sebelumnya menjanjikan pencairan pada Maret, menundanya hingga Mei. Janji inipun sepertinya tidak segera terealisasi karena tambahan biaya hingga lebih dari 800 miliar. Beberapa media mengabarkan rencana pencairan diundur lagi, menjadi sebelum lebaran (Juli).

    Di media sosial dikabarkan beberapa kelompok korban akan melakukan aksi memperingati 9 tahun lumpur Lapindo. Pada 24 Mei akan dilakukan semacam ziarah lumpur di area dekat ratusan patung yang dipasang pada peringatan tahun lalu. Pada 28 Mei ada warga yang akan melakukan istighosah di dekat tanggul lumpur Lapindo titik 21 dan 25. Kegiatan ini masih rutin dilakukan warga pada waktu-waktu khusus seperti jelang Ramadhan

    Kelompok perempuan Ar-Rohma, Paguyuban Ojek dan Portal Titik 21 dan Komunitas Alfaz merencanakan melakukan “Festival Pulang Kampung.” Mereka akan mengarak ogoh-ogoh Aburizal Bakrie setinggi lima meter dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju titik 21.

    Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggambarkan betapa kuatnya ikatan warga dengan kawasan yang kini telah terendam lumpur. Tanah kubur orangtua, moyang mereka berada di sana. “Kami tak mungkin melupakan desa-desa ini. Sampai kapanpun kami akan ingat,” ujar Harwati yang mengkoordinir tiga kelompok warga itu dalam peringatan tahun ini.

    Harwati berharap rakyat Indonesia mengingat kejadian lumpur Lapindo dan mendorong pemerintah menyelesaikan krisis yang diakibatkan olehnya. Pemulihan ekonomi merupakan agenda penting dengan memprioritaskan pemenuhan hak dasar. Ia juga berharap desa-desa yang terendam lumpur itu dianggap sebagai bagian dari kenangan dan sejarah warga dan tidak dihapus dari administrasi pemerintahan seperti yang diusulkan oleh DPRD Sidoarjo. Sekalipun kampung halaman itu sudah terendam lumpur, warga masih terikat dengannya.

    Harwati berharap adanya pemeriksaan kualitas ekologis dan kesehatan masyarakat di sekitar tanggul lumpur. Misalnya, ia dan kawan-kawannya sebagai ojek tanggul mestinya mendapatkan fasilitas pemeriksaan berkala dan dijamin untuk bisa melakukan pengobatan secara gratis jika sakit.

    Janji Jokowi tentang kehadiran negara yang diterjemahkan menjadi kebijakan ‘dana talangan’ yang tak kunjung direalisasikan kami rasa penting guna untuk melihat persoalan ganti rugi untuk memulai proses pemulihan.

    Buletin Kanal edisi ini menyajikan amatan Anton Novenanto terhadap relasi Partai Golkar dan kasus Lapindo. Beberapa berita media terkait hak angket yang sedang didorong di DPR-RI juga kami sajikan, demikian juga dinamika grup Bakrie sebagai informasi yang penting diketahui masyarakat.

    Kami juga menyajikan foto-foto Lutfi Amiruddin dan Henri Ismail. Lutfi yang selama beberapa waktu melakukan penelitian di desa-desa sekitar lumpur Lapindo merekam proses pengubahan kawasan pasca ganti rugi. Sementara itu, Henri merekam bagaimana lumpur Lapindo telah menjadi monumen bencana industri bagi rakyat Indonesia.

    Bambang Catur Nusantara

    Unduh Buletin Kanal, Vol. XI (April) 2015 di sini.

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Warga Bakal Arak Ogoh-ogoh Bakrie

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Warga Bakal Arak Ogoh-ogoh Bakrie

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Beberapa warga korban lumpur panas Lapindo mulai mempersiapkan diri memperingati sembilan tahun bencana nasional itu. Selasa, 26 Mei 2015, mereka berkumpul di titik 21 tanggul dan membuat atap jerami.

    Atap-atap jerami tersebut akan dibuat sebagai atap gubuk dari jerami yang diletakkan di tengah area lumpur panas yang telah mengering. “Ini untuk acara hari Kamis, 28 Mei, dengan tema ‘Pulang Kampung’,” kata Hartono, seorang warga yang memasang atap jerami tersebut.

    Pada 28 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas di persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lokasi semburan sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1, yang dikerjakan Lapindo Brantas Inc. Ini merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada yang saham terbesarnya dikuasai Grup Bakrie. 

    Pada tiga bulan pertama, lumpur yang keluar rata-rata 50 ribu meter kubik sehari. Lumpur ini diduga berasal dari formasi geologi yang disebut Kalibeng pada kedalaman 6.100-8.500 kaki.

    Hingga saat ini, lumpur masih menyembur dengan volume yang makin berkurang. Lumpur itu telah menggenangi puluhan desa dan pabrik serta fasilitas publik lainnya. Ribuan warga telah mengungsi dan mendapat ganti rugi. Namun masih banyak warga yang terkena dampak lumpur itu belum menerima ganti rugi. 

    Pada 29 Mei 2015, mereka akan memperingati sembilan tahun lumpur Lapindo dengan mengadakan Festival Pulang Kampung dengan mengarak ogoh-ogoh wajah Aburizal Bakrie. Selain itu, ada teatrikal. “Semuanya dilaksanakan di sini,” ujar Hartono.

    Mahmudah, seorang koordinator warga korban lumpur Lapindo, menambahkan, pada Jumat, warga  akan menggelar istigasah bersama di tanggul lumpur. Istigasah tersebut dilakukan agar pembayaran ganti rugi lumpur Lapindo dapat segera diterima warga. “Kami semua akan berdoa agar ganti rugi dapat segera dibayarkan oleh pemerintah,” tuturnya.

    Dalam peringatan sembilan tahun lumpur Lapindo tersebut, semua tokoh masyarakat diundang, termasuk Bupati Sidoarjo Syaiful Ilah. Mahmudah meminta para anggota DPRD Sidoarjo hadir. “Mereka harus menunjukkan rasa empati kepada para warga korban lumpur,” ucap mantan lurah tersebut.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/26/173669533/9-tahun-lumpur-lapindo-warga-bakal-arak-ogoh-ogoh-bakrie

  • Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah yang susah payah Anda bangun dari jerih payah Anda, kemudian ditenggelamkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah tempat Anda membina hubungan dengan keluarga, membesarkan dan mendidik anak, ternyata dalam waktu tertentu harus dihancurkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika Anda harus meninggalkan kampung halaman Anda karena kesalahan yang tidak pernah Anda buat sebelumnya?

    Dari pertanyaan semacam itulah sebenarnya, saya ingin menggambarkan bahwa masalah rumah bukanlah melulu berhubungan dengan uang. Rumah adalah kebudayaan. Di dalam rumah terjadi interaksi di antara anggota keluarga. Di rumah berlangsung upaya membesarkan dan mendidik anak. Tetapi celakanya, dalam kasus Lapindo, yang tampil di hadapan kita seolah-olah hanyalah masalah jual beli rumah dan tanah saja. Tidak ada perhitungan bagaimana menyelesaikan masalah hancurnya kebudayaan ini. Di lain pihak, pemberitaan media seolah menggiring masyarakat kepada pemahaman, bahwa kasus Lapindo melulu masalah jual beli rumah dan tanah. Padahal di luar itu semua, ada hal yang lebih penting untuk dibahas, yaitu penghancuran lingkungan sekaligus tatanan sosial-budaya masyarakat secara terencana, yang bahkan berlangsung hingga 9 tahun bencana lumpur Lapindo.

    Penghancuran Ekologi

    Temuan Walhi (2008) menunjukkan bahwa lingkungan yang berada dekat dengan semburan lumpur telah tercemar dan dan mengandung senyawa logam berat polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang melebihi ambang batas normal. Senyawa inilah yang dapat memicu sel kangker dalam tubuh. Di samping pula, kandungan unsur lainnya, seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan kromium (Cr) yang dapat memicu berbagai penyakit. Hasil ini diperkuat oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan besi (Fe) pada air tanah di desa sekitar semburan lumpur.

    Pembuangan lumpur ke Kanal Porong ternyata tidak menyelesaikan masalah dan justru menimbulkan masalah baru. Pada warga Desa Kalisogo yang dekat dengan aliran Kanal Porong ditemukan kecenderungan mengalami penyakit tertentu. Warga yang menggunakan air tanah untuk dikonsumsi sehari-hari memiliki kecenderungan beberapa penyakit, seperti diare, mual, muntah, hingga nyeri perut (Putri dan Yudhastuti, 2013). Pembuangan lumpur ke Kanal Porong juga meningkatkan kandungan kadmium (Cd) dan timbal (Pb) pada ekosistem. Hal ini berpengaruh pula pada kondisi ikan yang hidup pada ekosistem tersebut, yang tentu saja tidak aman bila dikonsumsi (Purnomo, 2014).

    Informasi lain menunjukkan bahwa akibat pembuangan lumpur ke Kanal Porong dan Sungai Ketapang membuat ikan tercemar. Ikan di wilayah tambak Desa Penatarsewu misalnya, memiliki kondisi yang berlendir dan bau. Ini membuat warga tidak mau mengkonsumsinya (Dewi Rachmawati, 2013: 86). Penelitian di atas semakin membuktikan bahwa lumpur Lapindo ini memicu resiko ekologis yang semakin mengkhawatirkan.

    Menjadi semakin jelas, bahwa bencana lumpur Lapindo bukan hanya masalah ganti rugi semata. Kerusakan lingkungan menjadi ancaman serius di wilayah ini. Maka, pemulihan kondisi ekologis menjadi sangat relevan untuk diwacanakan.

    Penghancuran Sosial-Budaya

    Dalam kasus Lapindo, kebudayaan masyarakat dari desa-desa yang ditenggelamkan benar-benar dihilangkan dari akarnya. Ada banyak keluarga dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka untuk melakukan relokasi. Sebab, tinggal di lokasi yang dekat dengan sumber semburan lumpur bukanlah masalah yang gampang. Anda harus berurusan dengan kondisi lingkungan yang rusak: air yang keruh, udara yang busuk, dan tanah yang beracun.

    Sementara itu, melakukan relokasi juga bukanlah perkara mudah. Masalah pindah rumah bukan hanya perihal berpindah secara fisik-geografis semata. Relokasi adalah proses sosial-budaya. Hal inilah yang tak pernah ada dalam logika para pemangku kepentingan yang menangani kasus Lapindo. Anggapan umum yang beredar hanyalah: “Kalau korban lumpur sudah mendapatkan cicilan uang jual beli aset lalu pindah ke relokasi, masalahnya beres”. Sekali lagi, yang terjadi tidaklah sesederhana itu.

    Bagi mereka yang mengalami sendiri proses pemindahan paksa ini, pindah rumah benar-benar hal yang tidak sederhana. Selain harus mempertimbangkan masalah harga tanah di lokasi yang baru, seseorang harus mempertimbangkan kondisi di lokasi tujuannya: Dengan siapa dia tinggal? Dengan sanak keluarga, tetangga lama, atau dengan tetangga baru? Apakah di rumah barunya dia masih bisa bekerja atau justru jadi pengangguran? Bagaimana dengan sekolah anak-anaknya? Siapa teman-teman mereka? Tak jarang kondisi lokasi desa/kota juga menjadi pertimbangan tersendiri yang memusingkan.

    Dampak dari kasus Lapindo ini bukan semata masalah uang ganti rugi saja, melainkan lebih dari itu, masalah sosial budaya. Kondisi sosial budaya yang telah ada dan melekat pada masyarakat, hancur akibat bencana ini.

    Sebelum mempertimbangkan banyak hal tentang relokasi, seseorang harus benar-benar ikhlas bahwa rumah dan kampung halamannya akan dihancurkan. Agar seseorang dapat secara legal dihitung menjadi “korban” bencana lumpur Lapido, rumah dan tanahnya harus terlebih dahulu masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT). Baru setelah itu, dia akan diperlakukan dengan cara tertentu, seperti penghitungan dan pengukuran rumah dan tanah.

    Dengan masuk dalam PAT, sebenarnya seseorang telah merelakan diri sebagian dari hidupnya dihancurkan. Rumah, pekarangan, dan sawah, harus direlakan untuk dijadikan tanggul penahan ataupun kolam lumpur. Dan tentu saja, kehidupan yang ada di dalamnya juga ikut hilang.

    Saya katakan kehidupan sosial dihancurkan karena memang, bagi masyarakat, rumah, pekarangan, dan sawah bukan saja aset yang bernilai ekonomis, melainkan bagian dari kehidupan sosial budaya itu sendiri. Penghancuran ini juga bukan hanya pada produk budaya yang sifatnya artefak saja. Dampak dari kasus Lapindo juga dapat melahirkan rusaknya ikatan sosial.

    Laporan Utomo dan Batubara (2009), misalnya, menunjukkan bahwa warga justru terlibat dalam berbagai macam konflik di antara tetangga sebagai dampak dari bencana ini. Laporan Amiruddin (2012) menemukan bahwa konflik horizontal juga setelah pindah di lokasi resettlement. Sebagai contohnya adalah warga yang tinggal KNV, sebuah pemukiman yang dibangun oleh pihak Lapindo dan dijual kepada warga korban. Ternyata, kasus Lapindo tak hanya menenggelamkan aset saja, melainkan juga memporak-porandakan hubungan sosial di antara warga.

    “Terencana”

    Dari gambaran di atas, saya ingin mengatakan bahwa dari kasus Lapindo ternyata melahirkan penghancuran; dari satu penghancuran melahirkan penghancuran yang lain. Dari penghancuran ekologis, menciptakan penghancuran sosial budaya. Dari penghancuran dan penenggelaman desa, melahirkan penghancuran hubungan sosial antar tetangga. Dari penghancuran tempat tinggal, melahirkan penghancuran pranata sosial di tempat tinggal yang baru. Bermula dari penghancuran di satu tempat dan waktu tertentu, melahirkan penghancuran pada dimensi tempat dan waktu yang lain, dan seterusnya.

    Menurut saya, bentuk-bentuk penghancuran sebagai dampak dari krisis ekologis ini ternyata tidak hadir begitu saja. Dia muncul di tengah relasi manusia dengan lingkungan ekologisnya dan berjalan dalam skema tertentu. Penghancuran ini berjalan secara terencana. Saya katakan terencana karena memang penanganan bencana ini telah mengalami perencanaan yang matang dengan melibatkan banyak jejaring ilmuwan.

    Ada perhitungan-perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penanganannya, seperti, misalnya, mengapa limbah lumpur ini dialirkan ke Sungai (Kanal) Porong? Mengenai hal ini Harnanto (2011) memiliki jawaban kenapa lumpur harus dialirkan ke Sungai Porong:

    Ada tiga prinsip pengelolaan lumpur yang berhubungan dengan Kali Porong, yakni pembuangan lumpur ke Kali Porong didistribusikan di palung sungai melalui beberapa lokasi di hilir spillway, semakin ke hilir semakin baik; memanfaatkan potensi daya air Kali Porong pada saat musim hujan, yang melimpah dan murah, untuk menghanyutkan lumpur ke laut; dan pengamanan fungsi Kali Porong untuk menjaga kinerja Kali Porong sebagai kanal banjir (floodway) Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. (Harnanto, 2011: 1).

    Sebagai ilmuwan yang bekerja untuk BPLS, tentunya pertimbangan-pertimbangan Hartanto di atas didasarkan pada metode ilmiah, sehingga dari hasil penelitiannya itu lahir pula alasan pembenar atas kebijakan pembuangan lumpur ke Kali Porong, dan bukan usaha untuk menyumbat sumber semburan. Padahal, pembuangan lumpur ke Sungai Porong jelas-jelas berdampak pada kehidupan warga. Karena dampak tersebut, pada akhirnya warga harus bersusah payah untuk bertahan hidup (Dewi Rachmawati, 2013), serta kemunculan penyakit baru (Putri dan Yudhastuti, 2013).

    Perencanaan lain misalnya, dilakukan Turniningtyas Rachmawati, dkk (2011) tentang proses pemukiman kembali. Para ilmuwan ini merumuskan lokasi pemukiman kembali yang sesuai dengan preferensi korban. Sebelumnya, melalui Majalah Solusi (Edisi 06, 31 Desember 2007-7 Januari 2008) pihak Lapindo telah menggiring opini warga agar mau memilih opsi resettlement sebagai pengganti pilihan cash and carry. Ini berarti korban sebenarnya diajak untuk menuruti kemauan pihak Lapindo agar mau ikut dalam skema yang mereka rencanakan.

    Apakah negara absen dalam bencana ini? Negara sama sekali tak pernah absen. Jauh sebelum lumpur menyembur di tengah pemukiman warga, siapa lagi yang memberikan ijin berdirinya perusahaan pengeboran di tengah pemukiman padat penduduk kalau bukan negara, melalui Ditjen Migas dan BP Migas? Ijin yang disampaikan kepada wargapun bukan pendirian perusahaan pengeboran, melainkan usaha peternakan. Dengan demikian, lanjut Novenanto, “kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas” (Novenanto, 2015: 46).

    Pun demikian dengan penanganan bencana lumpur dinaungi oleh peraturan presiden. Hingga saati ini saja, telah dikeluarkan enam peraturan; Perpres No. 14/2007, Pepres No. 48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 48/2011, Perpres No. 37/2012, dan Perpres No. 33/2013. Namun yang patut dipertanyakan adalah, peran macam apa yang disandang oleh penyelenggara negara melalui aturan itu? Novenanto berargumen justru melalui peraturan presiden itulah “negara hadir untuk melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya—sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan” (2015: 46). Dengan kata lain, justru melalui peraturan presiden itu, korporasi dapat meraih kekuasaan atas penanganan lumpur Lapindo dengan skema-skemanya, yang pada akhirnya akan melahirkan penghancuran tatanan sosial-budaya dan penghancuran ekologis.

    James C. Scott (1998) pernah mendedahkan dalam bukunya, bahwa melalui proyek-proyek pembangunan yang diusung negara, justru gagal dalam mengayomi masyarakat. Bagi Scott ini disebabkan karena pandangan dan kondisi masyarakat lokal tak pernah diperhatikan. Atas nama efisiensi, maka negara lebih menafikkan kompleksitas masalah kehidupan lainnya. Demikian halnya yang terjadi pada penanganan bencana lumpur Lapindo. Skema-skema yang diciptakan, justru menciptakan malapetaka baru bagi warga, dan melapangkan jalan korporasi. Peraturan presiden adalah mekanisme legal bagi korporasi untuk memisahkan warga dari tanahnya (land exclusion) (Karib, 2012), lalu melakukan pengusiran paksa, dengan memperluas perusakan lingkungan.

    Oleh karena itu, kasus Lapindo adalah bentuk yang sekaligus mampu melahirkan penghancuran yang terencana; melibatkan perencanaan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis-akademis dan dinaungi kebijakan negara, demi melapangkan kuasa korporasi.

    Mengapa kita harus “mengingat Lapindo”?

    Penghancuran ini akan terus berlangsung hingga lebih dari 20 tahun ke depan, seiring prediksi ahli bahwa usia semburan lumpur yang mencapai kurun waktu itu pula (Batubara dan Utomo, 2011: 45). Prediksi para ahli ini sepertinya akan menjadi kenyataan karena memang berbagai macam upaya dilakukan, namun belum ada satupun cara yang membuahkan hasil. Tercatat sejak 2006, ada beberapa upaya penutupan semburan, dari cara yang sifatnya saintifik seperti Snubbing Unit method, Well Side Tracking method, Relief Wells method, High Density Chained Balls method, hingga cara yang sifatnya supranatural pernah dilakukan (Batubara dan Utomo, 2011).

    Setelah gagalnya usaha-usaha tersebut, tidak ada lagi upaya penghantian sumber semburan. Sejak saat itu, upaya yang dilakukan Lapindo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hanya meninggikan tanggul penahan lumpur saja sembari mengaduk-aduk lumpur agar dapat lancar mengalir ke Kanal Porong. Jika memang kondisinya demikian, sampai kapan proses penghancuran terencana ini berlangsung? Lalu, desa-desa dan kehidupan-kehidupan mana yang akan menunggu giliran untuk dihancurkan?

    Pengalaman saya berikut ini mungkin dapat memberikan sedikit ilustrasi:

    Akhir 2007, ketika perjalanan antara Surabaya-Malang, saya pernah menyempatkan diri singgah di sebuah warung makan. Lokasinya tidak jauh dari tanggul penahan lumpur. Waktu itu luas dan tinggi tanggul belum setinggi tahun 2015 sekarang ini.

    Saat itu saya mengobrol dengan seorang warga Kelurahan Gedang, Kecamatan Porong. Saya mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan sehari-harinya setelah munculnya lumpur Lapindo. Saya bukan wartawan, tetapi entah mengapa dia sangat serius menjawabnya. Hal yang paling saya ingat dari obrolan itu adalah dia (masih) merasa aman dengan kondisi lingkungannya. Perasaan aman disebabkan antara tanggul lumpur dan rumahnya dipisahkan oleh jalan raya Porong. Dia merasa aman meskipun setiap hari mencium bau menyengat, terutama ketika angin bertiup ke arah rumahnya, dan air di rumahnya mulai mengeruh. Dia merasa aman dan masih merasa tenang tinggal di rumahnya tanpa harus bingung mencari lokasi pindah sambil menuntut ganti rugi.

    Namun apa yang terjadi tahun 2013 lalu semuanya bertolak belakang. Kelurahan Gedang masuk dalam Perpres No. 33/2013. Dapat dipastikan seluruh warga yang tempat tinggalnya masuk dalam Peta Area Terdampak harus pindah. Setelah terancam dengan pencemaran air, tanah, dan udara, maka relasi sosial warga ini dimungkinkan akan terancam. Sebab dalam proses ini, mereka harus segera meninggalkan kampung halaman untuk mencari pemukiman baru. Konflik horizontal dan kemungkinan untuk tinggal tercerai-berai antara tetangga terbuka lebar. Seseorang yang semula merasa aman ternyata harus rela terusir dari kampung halamannya.

    Dari ilustrasi di atas patutlah kita bertanya, apakah kita akan selalu merasa aman dengan kondisi lingkungan kita? Jangan-jangan halaman belakang rumah kita juga akan terancam dengan kasus serupa? Apakah kita bersedia kalau tempat tinggal kita diambil alih dan dirusak oleh korporasi? Apakah kita hanya pasrah dan menunggu waktu saja? Dari tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk mengingat, bahwa yang terjadi pada kasus Lapindo bukan hanya masalah pelunasan jual beli aset saja. Saya ingin mengajak anda mengingat bahwa yang terjadi di Sidoarjo ini adalah sebuah tragedi, sebuah pengahancuran entitas sosial, budaya, dan lingkungan yang terencana.

    Dalam editorial Majalah Solusi edisi perdana (19-25 November 2008) tertulis:

    Cerita masa lalu itu sebaiknya kita simpan saja di memori kita sebagai catatan sejarah. Kini yang penting bagaimana membenahi persoalan di seputar semburan lumpur Sidoarjo secara tepat.

    Dari ajakan tersebut kita patut mempertanyakan; untuk membenahi persoalan, kenapa memori masa lalu ini cukup disimpan saja? Mengapa tidak kita buka saja memori-memori ini sebagai pelajaran? Bukankah kita memiliki reputasi buruk mengenai ingatan, mudah lupa dengan peristiwa-peristiwa penting di tanah air? Dengan menyimpan memori, bukankah kita pada akhirnya tidak pernah menuntaskan berbagai macam tragedi masa lalu di negeri ini?

    Maka, kesadaran yang harus kita miliki bersama adalah kita harus mengingat bahwa kasus Lapindo adalah sebuah penghancuran bentuk kehidupan yang terencana. Sebuah proyek penghancuran tata kehidupan manusia dengan lingkungan fisiknya. Logika ini jelas bertentangan dengan logika yang dibangun oleh pihak Lapindo melalui Majalah Solusi tersebut. Logika yang diusung oleh Majalah Solusi hanya akan menguburkan dan akhirnya membusukkan ingatan sosial. Pada akhirnya, masalah sosial dan lingkungan takkan pernah terselesaikan secara tuntas. Dengan menyimpan memori, kita hanya akan menumpuk-numpuk kebohongan; kebohongan satu ditumpuk dengan kebohongan yang lain, dan seterusnya. Bukankah berdirinya perusahaan pengeboran di tengah-tengah pemukiman warga Porong ini didasarkan atas kebohongan? Dari sinilah kita menemukan bahwa “Mengingat Lapindo” menjadi semakin relevan.

    Lutfi Amiruddin, Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

    Pustaka Acuan

    Amiruddin, Lutfi. 2012. Solidarity of Lapindo Mudflow Victims in Resettlements. Tesis pada Management of Infrastructure and Community Development, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

    Anonim. 2008. Mencari Solusi. Majalah Solusi, Edisi 01 (19-25 November).

    —–. 2008. Columbus. Majalah Solusi, Edisi 06 (31 Desember 2007-7 Januari 2008).

    Utomo, Paring W. dan Bosman Batubara. 2009. Skema Ganti Rugi Terhadap Korban Lumpur Panas Di Sidoarjo (Kajian di Desa Ketapang dan Besuki Timur), Laporan Penelitian. Surabaya.

    Batubara, Bosman dan Paring W. Utomo. 2011. Kronik Lumpur Lapindo, Skandal Bencana Industri Pemboran Migas di Sidoarjo. Yogyakarta: Insist Press.

    Harnanto, Aris. 2011. Peranan Kali Porong Dalam Mengalirkan Lumpur Sidoarjo ke Laut. Badan Pelaksana, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Bapel-BPLS), Oktober 2011.

    Karib, Fathun. 2012. Programming Disaster: Switching Network, Village, Politics, and Exclusion beyond Lapindo Mudflow. Tesis (tidak diterbitkan), University of Passau, Germany.

    Novenanto, Anton. 2015. “Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya?” Kanal, Vol. XI (Maret 2015).

    Purnomo, Tarzan. 2014. “Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackiswater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud.” Proceeding of International Conference on Research, Implementation and Education of Mathematics and Sciences 2014, Yogyakarta State University, (18-20 May).

    Putri, Tika A. dan Ririh Yudhastuti. 2013. Kandungan Besi (Fe) Pada Air Sumur dan Gangguan Kesehatan Masyarakat di Sepanjang Sungai Porong Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon Sidoarjo. Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya.

    Rachmawati, Dewi F. 2013. Strategi Survival Petani Tambak Di Tengah Bencana Industri Lumpur Lapindo Di Desa Penatarsewu, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Skripsi (tidak diterbitkan), Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang.

    Rachmawati, Turniningtyas A, dkk. 2011. “Disaster Risk Reduction to Municipal Spatial Plan: A Case Study of Mudflow Disaster in Sidoarjo, Indonesia.” European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No. 4.

    Scott, James C. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven & London: Yale University Press.

    Walhi Jawa Timur. 2008. Logam Berat dan PAH Dalam Air dan Lumpur Lapindo (Riset Awal Walhi Jawa Timur 2007-2008). Sidoarjo: Walhi Jawa Timur.

  • Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Pada tahun 2007 BPK menghasilkan sebuah dokumen penting dalam kasus lumpur Lapindo. Lembaga ini melakukan audit kinerja atas kejadian semburan lumpur Lapindo. Temuan-temuan dan rekomendasinya sangat penting, namun tidak pernah dijadikan pijakan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan lumpur Lapindo.

    BPK menemukan fakta-fakta bahwa Lapindo Brantas Inc. (LBI) tidak mampu menangani masalah di Sumur Banjarpanji 1 berupa rekahan pada formasi yang menyebabkan lumpur menyembur ke permukaan. Bahkan, pada bahan presentasi untuk Pertemuan Intosai-WGEA di Tanzania pada Juni 2007, Anwar Nasution menyampaikan bahwa kejadian lumpur Lapindo merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia.

    BPK juga menemukan bahwa regulasi dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam di Indonesia saat ini tidak melindungi warga dan lingkungan. Utamanya pada kawasan-kawasan padat huni, tidak ada kekhususan pengelolaan sektor ini. Ditambah pula lemahnya pengawasan yang dilakukan lembaga negara dalam proses eksplorasi dan eksploitasi.

    Resiko semburan lumpur Lapindo semakin tinggi karena: LBI tidak menggunakan perusahaan kontraktor yang telah memiliki reputasi dalam pengeboran; penggunaan alat yang tidak sesuai standar; serta, kualifikasi tenaga teknis yang kurang atau tidak bisa dikontrol dengan baik oleh pemerintah.

    Setahun setelah kejadian semburan lumpur Lapindo itu, BPK juga menyimpulkan bahwa pemerintah sangat kurang dalam merespon kejadian semburan dan cenderung lambat. Akibatnya warga semakin kesulitan dalam menemukan lokasi yang lebih aman dan juga percepatan pemulihan ekonomi mereka. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan perlindungan atas properti warga dan juga tidak pernah dilakukannya assesmen resiko dalam desain penanganan lumpur Lapindo. Pengelolaan dilakukan seadanya, tanpa pemahaman mendasar bagaimana lumpur Lapindo telah berdampak dalam berbagai dimensi kehidupan warga dan butuh penanganan yang khusus.

    Ketiadaan laporan yang konsisten para periset maupun pengurus negara terkait kandungan berbahaya lumpur dan air yang dikeluarkan lumpur Lapindo menambah ketidakjelasan bagaimana penanganan keluhan warga atas tercemarnya air sumur, kawasan pertanian, tambak, kawasan laut, dan juga permukiman.

    Rekomendasi BPK agar pemerintah segera melakukan riset mendalam dampak kandungan bahan berbahaya lumpur sepertinya tidak pernah dilakukan serius. Ini terlihat laporan penanganan lingkungan yang ditampilkan BPLS dalam situsnya (www.bpls.go.id) hanya berisi sebaran gelembung gas dan penurunan muka tanah. Padahal, Tarzan Purnomo (2014) menunjukkan logam berat telah menyebar di kawasan pertambakan dan sungai di wilayah timur area semburan lumpur Lapindo. Lumpur tidak saja mencemari air namun sudah mengkontaminasi tubuh ikan. Penelitian-penelitian serupa yang telah dihasilkan sejak 2007 menunjukkan kandungan logam berat mencemari kawasan di sekitar semburan Lapindo.

    Purnomo memeriksa kawasan tertentu secara periodik selama tiga kali. Di Renokenongo memeriksa kolam ikan, di Gempolsari memeriksa sungai, di Tegalsari memeriksa kolam tandon, dan kolam biasa di Permisan. Penelitian ini menunjukkan jumlah kandungan logam berat yang jauh melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 45/2002 dan Kepmen LH No. 51/2004. Pemeriksaan kandungan Cadmium (Cd) pada air menunjukkan jumlah 0.018 – 0.080 part per million (ppm). Padahal, ambang batas keamanan hanya pada level 0.01 ppm. Hal yang sama juga ditemukan pada kandungan Timbal (Pb) yang ditemukan sejumlah 0.013-0.074 ppm. Padahal, ambang bakunya hanya pada level 0.03 ppm.

    Yang mengejutkan adalah temuan kandungan logam berat Cd dan Pb pada tubuh ikan. Jumlah Cd ditemukan 0.037-1.542 ppm, padahal ia tak boleh lebih dari 0.001 ppm sebagai ambang batas keamanan. Demikian halnya Pb ditemukan ribuan kali lipat melebihi ambang batas 0.008 ppm dengan temuan sejumlah 0.179-1.367 ppm. Logam berat dalam dosis tinggi bersifat karsinogenik pemicu kanker dalam waktu panjang. Hasil penelitian ini sepertinya juga konsisten dengan temuan sebelumnya pada tahun 2009.

    Riset Walhi yang memeriksa kandungan logam berat dalam air dan lumpur Lapindo di puluhan titik area semburan lumpur Lapindo dan sungai Porong pada 2008 juga menemukan hal serupa. Jumlah Cd dan Pb juga ribuan kali diatas ambang baku.

    tabel kandungan logam berat

    Diduga kuat ada korelasi erat antara pemburukkan kualitas lingkungan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Misal, peningkatan jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong tercatat sejumlah 24.719 (pada 2005) menjadi 52.543 (2009). Kenaikan lebih dari dua kali lipat juga terjadi pada penyakit Gastrytis yang berjumlah 22.189 (tahun 2009) dari jumlah semula 7.416 warga (tahun 2005).

    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bekerjasama dengan Walhi Jatim pernah memeriksa 20 warga korban Lapindo yang tinggal di wilayah semburan lumpur Lapindo pada 2010. Dari seluruh warga yang diperiksa itu, 75% mengalami kelainan pada pemeriksaan lengkap Haematologi.

    grafik kesehatan

    Rekomendasi agar dilakukan revisi atas kebijakan monitoring eksplorasi dan eksploitasi migas juga tidak dilakukan oleh pemerintah. Di kawasan di sekitar semburan lumpur Lapindo, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM masih mengijinkan LBI untuk mendalamkan sumur pengeboran mereka di Desa Kalidawir yang jaraknya kurang dari tiga kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah Timur.

    Menyusun kebijakan pengelolaan bencana yang tidak hanya berbasis bencana alam juga lambat dikerjakan. BPK menyarankan adanya pembangunan kebijakan komperehensif atas bencana dan perlu dilakukan penguatan kapasitas institusi pengelola bencana berdasar pengalaman bencana alam dan bencana buatan manusia, seperti lumpur Lapindo. Sayang, wacana penanganan bencana industri sepertinya baru akan dibahas beberapa tahun lagi.

    Pemerintah pimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sepertinya berniat untuk memperbaiki karut marut persoalan lumpur Lapindo. Jokowi menjanjikan akan menalangi kompensasi untuk korban Lapindo yang mestinya menjadi beban LBI, melalui Minarak Lapindo Jaya (MLJ) juru bayar LBI untuk jual beli aset dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang tak kunjung selesai. Sayang, hingga menjelang 9 (sembilan) tahun usia semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015 nanti, janji itu belum ada realisasinya.

    Niat Jokowi itu pun sepertinya hanya solusi parsial atas dampak semburan lumpur Lapindo. Kerusakan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo sepertinya akan menapaki waktu yang panjang untuk bisa dipulihkan. Jika pemerintah tidak melakukan kajian mendalam yang bisa menghasilkan gambaran krisis sosial-ekologis yang terjadi akibat semburan itu, maka penyelesaiannya juga hanya menyentuh permukaan saja. Kerusakan lingkungan, relasi sosial yang hancur, pendidikan anak-anak yang terancam, kesehatan yang tidak terjamin, dan sumber ekonomi yang hilang, bila tidak ditelusuri mendalam niscaya akan semakin memperpanjang umur krisis di wilayah bagian selatan Sidoarjo ini.

    Berbagai dokumen temuan atas dampak semburan mestinya menjadi bahan untuk dibaca ulang agar memahami situasi. Pemerintahan Jokowi harus melakukan kajian kebutuhan yang mendalam dan melibatkan warga untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi tindakan dan upaya pemulihan sosial-ekologis di sekitar lumpur Lapindo.

    Semua institusi negara mesti terlibat dalam upaya pemulihan korban Lapindo. Tidak bisa lagi krisis multi dimensi yang dihasilkan lumpur Lapindo ditangani badan khusus BPLS yang hanya menangani “wilayah terdampak” dan tindakan-tindakan terbatas seperti saat ini.

    Bambang Catur Nusantara, Badan Pengurus Jatam dan editor korbanlumpur.info

    Pustaka Acuan

    Purnomo, Tarzan (2014) Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackishwater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud, Proceeding of International Conference on Research Implementation and Education of Mathematichs and Sciences 2014, Yogyakarta State University, 18-20 May.

  • Politik Janji

    Politik Janji

    Dalam kasus Lapindo, janji khususnya tentang pelunasan ‘ganti rugi’ adalah sarana kekuasaan yang sangat efektif. Janji diberikan tidak hanya oleh perwakilan Lapindo ataupun Minarak, tapi juga oleh pengurus negara. Setelah sebelumnya melempar janji pencairan ‘dana talangan’ pada korban akan dilakukan bulan Mei ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono meralatnya dan melempar janji baru bahwa pencarian dana itu akan dilakukan paling lambat sebelum Lebaran.

    Jika kita mengacu pada Perpres 14/2007, maka relasi yang terbentuk antara warga dan Lapindo sebagai penjual dan pembeli. Kita juga akan menjumpai kebenaran pepatah “pembeli adalah raja.” Ya, Lapindo adalah raja yang dapat mengendalikan laju transaksinya dengan warga.

    Seperti raja, Lapindo mendapatkan keistimewaan dengan ketidakberdayaan negara dan para pengurusnya untuk menjamin transaksi antara warga dan Lapindo berlangsung secara setara. Sekalipun berperan sebagai pihak yang mewajibkan Lapindo untuk membeli tanah dan bangunan warga melalui penerbitan Perpres 14/2007, negara tidak pernah hadir dan berdaya untuk memaksa Lapindo menyelesaikan peraturan itu. Negara tidak pernah memberi sanksi setimpal saat Lapindo melanggar peraturan dengan  kekuatan hukum yang mengikat itu. Alih-alih menghukum, negara justru “membantu” Lapindo untuk melunasi kewajibannya itu dengan cara menalanginya terlebih dahulu. Rencana ini, rupanya, menjadi blunder ketika Lapindo tidak menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan dana yang dikumpulkan dari uang rakyat itu.

    Seperti raja, Lapindo dengan leluasa memodifikasi transaksi seperti telah diatur dalam Perpres 14/2007 dengan mendesakkan skema “cash and resettlement” bagi warga tanpa sertifikat tanah/bangunan. Warga dipaksa menukar nilai aset mereka dengan bangunan baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Padahal, Perpres 14/2007 mengatur pembayaran dilakukan secara tunai, bertahap. Dan lagi, alih-alih memberikan sanksi atas modifikasi itu, para pengurus negara dari legislatif maupun eksekutif justru mendukung rencana Lapindo itu.

    Seperti raja, kelakuan Lapindo didukung oleh klaim-klaim berbau religius para pemuka agama bahwa segala yang telah diberikan perusahaan adalah “sodaqoh,” sedekah, amal pada warga yang sedang tertimpa musibah, pada korban yang tidak berdaya. Alih-alih impas, kini banyak warga yang dipaksa seolah-olah berhutang budi pada Lapindo, khususnya pada keluarga Bakrie. Padahal, yang terjadi adalah jual beli aset. Warga yang sudah terlebih dahulu memberikan kepemilikan aset mereka pada Lapindo. Jika demikian, apa yang diberikan Lapindo itu tak lebih dari kewajiban seorang pembeli pada penjual, yaitu membayar apa yang sudah diterimakan padanya.

    Saya melihat, ada fakta yang dihilangkan dalam pembingkaian proses transaksi antara warga dan Lapindo. Fakta itu adalah kenyataan bahwa warga sudah terlebih dahulu memberikan tanah dan bangunan dengan cara melimpahkan hak kepemilikan (proprietary) mereka pada Lapindo. Secara teoretik, “pemberi” seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan “penerima.” Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada kasus Lapindo.

    Saat ini, fakta “warga sebagai pemberi” telah direduksi, bahkan dieliminir. Warga kini dibingkai dan diposisikan sebagai mereka yang “meminta(-minta).” Seolah-olah, warga berada dalam posisi seperti pengemis yang mengharapkan pemberian dari pihak lain, entah itu negara ataupun Lapindo. Faktanya, para warga ini sudah memberikan aset mereka. Penghilangan fakta “warga sebagai pemberi” muncul dari adanya pra-pengandaian publik tentang mereka adalah korban yang tidak berdaya. Padahal, warga dengan pelbagai pergulatan psikologisnya perlu dilihat sebagai pihak yang sangat berdaya dan telah berani melepaskan (kepemilikan) aset mereka pada pihak lain.

    Tidak mudah untuk melepas atau memberikan sesuatu, apalagi jika sesuatu itu amat berharga. Tidak hanya dibutuhkan suatu keberdayaan dan keberanian, namun juga kerelaan; yang semua itu seolah-olah tak dimiliki Lapindo dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai pihak yang sudah menerima pemberian para warga itu.

    Dalam kalender tahunan masyarakat Indonesia, terdapat momentum budaya yang selalu terulang, salah satunya adalah Lebaran. Berdasarkan catatan saya, pasca lumpur Lapindo menyembur pada 29 Mei 2006, Lebaran telah menjadi momentum unik untuk melontarkan janji-janjinya pada warga. Tidak hanya Lebaran saja, kampanye pemilihan umum, presiden dan juga kepala daerah telah menjadi ajang untuk mengumbar janji tentang pelunasan ganti rugi. Strategi semacam ini rupanya telah menular pada pengurus negara ini, dengan lontaran janji pejabat pemerintah yang akan melunasi pembayaran sebelum Lebaran 2015.

    Seperti sudah banyak disampaikan dalam kesempatan lain, pelunasan ganti rugi aset hanyalah salah satu persoalan yang harus segera dituntaskan. Yang perlu kita ingat, menurut prediksi para geolog lumpur masih akan terus menyembur secara masif sampai puluhan tahun. Artinya, apa yang terjadi sampai saat ini belum separuh dari apa yang akan terjadi.

    Sekarang, menjelang 9 tahun lumpur Lapindo menyembur, pemerintah, lagi-lagi, hanya bisa sebatas memberikan janji menyelesaikan persoalan ganti rugi yang tak kunjung tuntas. Padahal, di luar itu masih banyak persoalan sosial-ekologis yang muncul akibat semburan lumpur Lapindo. Jika hanya sampai itu kapasitas pengurus negara republik ini, maka sudah layak dan pantas bagi kita untuk terus mempertanyakan wujud “kehadiran negara” dalam kasus ini. (*)

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    Judul tulisan ini mengutip kalimat dalam komik Muasal Lumpur Lapindo karya Rahman Seblat. Kalimat singkat itu hendak menyampaikan pesan sederhana, namun tegas menegasikan anggapan umum tentang posisi warga terdampak lumpur Lapindo yang selama ini dianggap “tak berdaya.”

    Faktanya, di tengah pelbagai resiko dan bahaya ekologis yang menimpanya, warga menyimpan potensi kekuatan besar untuk bertahan hidup dan yang tak kalah pentingnya mereka adalah faktor pendorong bagi arah kebijakan mitigasi bencana lumpur Lapindo. Selama ini, terdapat pra-anggapan bahwa warga itu selalu tak berdaya menghadapi tekanan politik-ekonomi koalisi negara dan korporasi. Pra-anggapan itu dimanifestasikan dengan melekatkan identitas baru pada mereka: “korban.”

    Dalam situasi bencana, posisi sebagai “korban” didapatkan bukan karena pilihan mandiri melainkan akibat tekanan dari luar (bahaya dan resiko ekologis) yang biasanya di luar kendali mereka. Pada saat yang bersamaan, identitas “korban” adalah juga suatu politik budaya yang strategis untuk menekankan bahwa mereka ini membutuhkan “bantuan” dari pihak lain agar dapat kembali ke situasi “normal” dan mengejar pelbagai “ketertinggalan”-nya. Dan, negara merupakan lembaga politik yang paling masuk akal untuk memainkan peran normalisasi bagi kehidupan mereka.

    Peran sebagai “korban” muncul dari suatu relasi sosial yang melibatkan keberadaan aktor lain, “pelaku.” Relasi antara “korban” dan “pelaku” selalu dibayangkan sebagai relasi yang timpang, bahwa “aktor-pelaku” selalu memerdayai “aktor-korban,” dan untuk mengembalikan ketimpangan itu dibutuhkan “aktor-mediator” yang memediasi keduanya.

    Dalam kasus Lapindo, situasi menjadi rumit ketika publik, khususnya warga terdampak, meyakini bahwa semburan lumpur panas itu tidak lahir secara “alamiah” tetapi muncul akibat ulah operator Sumur Banjar Panji 1, Lapindo Brantas, yang lalai dan sengaja mengabaikan prosedur pengeboran yang baik dan benar. Keyakinan semacam ini menghadirkan operator pengeboran sebagai “aktor-pelaku” dalam kasus ini.

    Dalam situasi semacam ini, negara diharapkan hadir sebagai “aktor-mediator” yang bertugas secara adil mengembalikan ketimpangan relasi antara korban dan pelaku dengan membela korban dan menghukum pelaku. Sayangnya, temuan demi temuan menunjukkan bahwa ternyata kelalaian dan pengabaian prosedur itu juga dilakukan oleh negara sebagai pemberi izin pengeboran. Hal ini tentu saja menambahkan negara sebagai salah satu “aktor-pelaku” dalam kasus Lapindo.

    Dan, begitulah konstruksi pemahaman publik tentang relasi kuasa dalam kasus Lapindo: warga adalah “korban” yang berhadap-hadapan dengan kolusi negara dan Lapindo sebagai “pelaku.” Dengan pemahaman semacam ini, kasus Lapindo bukanlah sekadar bencana ekologis akibat semburan lumpur panas, melainkan sebuah tragedi politik-ekonomi/ekologi di sektor industri migas di republik ini.

    Hal penting yang patut kita catat, kesadaran tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi ini justru muncul dan dipertahankan oleh para warga terdampak lumpur Lapindo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama aparatus negara dan petinggi perusahaan terus berjuang keras memaksakan logika “bencana alam” atas lumpur Lapindo dengan memanipulasi fakta sedemikian rupa. Akan tetapi, semakin kuat manipulasi itu dilancarkan, semakin kuat pula resistensi yang muncul dan berujung pada terus menguatnya kesadaran bahwa kasus Lapindo adalah tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Sayangnya, pemberitaan media arusutama cenderung membingkai perjuangan warga terdampak lumpur Lapindo sebagai tindakan yang kontraproduktif dengan kebutuhan publik luas. Tidak hanya itu, warga selalu dibingkai dalam posisi yang tak berdaya, “korban” yang hanya pasif menunggu para pemegang otoritas dan kewenangan untuk turun tangan mengentaskan permasalahan yang mereka hadapi. Padahal, warga terdampak lumpur Lapindo itu, dengan caranya masing-masing, telah dan tetap berdaya menghadapi pelbagai krisis sosial dan ekologis yang mendera mereka.

    Di antara kelompok warga yang ada, dua yang patut dicatat. Pertama, komunitas Sanggar Alfaz dan kedua, kelompok belajar Ar-RohmahSanggar Alfaz adalah ruang belajar bersama yang didirikan oleh beberapa warga Desa Besuki Timur dari keprihatinan atas kehidupan anak-anak di desa itu. Ketika para orangtua sibuk berjuang untuk mendapatkan “kompensasi” atas kerugian yang diderita, kebutuhan psikologis anak-anaknya yang masih dalam masa pertumbuhan itu terabaikan.

    Anak-anak ini tidak hanya kehilangan ruang, tapi juga waktu untuk bermain dan belajar. Mereka harus menghadapi dan mengatasi krisis psikologis sesuai usia mereka dalam kondisi yang penuh kepanikan, kecemasan, dan ketidakpastian akibat lumpur Lapindo. Pada 2012, anak-anak itu merilis kumpulan cerita dan puisi karya mereka berjudul Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita. Membaca narasi anak-anak ini, mata kita akan semakin terbuka tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Buku "Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita"
    Sampul buku “Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita”

    Kelompok belajar Ar-Rohmah didirikan oleh para perempuan tangguh yang merasa tidak mendapatkan jaminan dari para pengurus negara. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur Lapindo yang tidak pernah diperhatikan para pengurus negara, para perempuan tangguh itu pun bergerak. Mereka tidak hanya menuntut jaminan kesehatan, tapi juga jaminan bagi pendidikan anak-anak mereka yang telah diabaikan negara.

    Bersama dengan sanitasi, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi pembangunan sumber daya manusia. Kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo dan gas hidrokarbon yang keluar bersamanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, khususnya kualitas air tanah dan udara di sekitar semburan. Ditambahkan dengan goncangan psikologis akibat krisis sosial dan ekologis, degradasi itu berujung pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang jelas mengganggu proses belajar-mengajar anak-anak, yang lagi-lagi diabaikan oleh aparatus negara.

    Melalui Sanggar Alfaz dan kelompok Ar-Rohmah, warga tetap berdaya meski negara alpa untuk memperhatikan kebutuhan mereka yang luput dari pemberitaan media arusutama yang seolah-olah gagal “move on” dari liputan tentang persoalan “pelunasan ganti rugi.”

    Persoalan materiil memang penting untuk dituntaskan, namun itu baru lapisan terluar dari tragedi ini. Masih ada inti problem yang tak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan, yaitu: kolusi negara dan korporasi yang berdampak pada pengabaian kebutuhan dan kepentingan warga sipil. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS – Sudah sembilan tahun warga korban luapan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menderita. Mereka tidak hanya kehilangan rumah, tanah, dan kampung halaman, tetapi juga hak-hak asasi sebagai manusia ataupun warga negara. Pemerintah wajib memulihkan hak itu dan tidak hanya fokus pada penanganan semburan lumpur.

    Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Muhammad Nurkhoiron mengatakan, sejak Januari lalu pihaknya melakukan riset penanganan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Pihaknya membuat kajian atas tanggung jawab negara dalam penyelesaian hak-hak para korban.

    “Kami melakukan audiensi dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Bupati Sidoarjo Syaiful Ilah dan pihak terkait lainnya. Hasil kajian sementara, penanganan terhadap korban lumpur sebatas penanggulangan semburan,” ujarnya.

    Hingga kini belum ada upaya konkret pemerintah untuk memulihkan hak warga korban lumpur seperti hak mendapatkan akses ekonomi berupa lapangan pekerjaan yang layak, pendidikan, kesehatan, kartu identitas, dan memulihkan kembali kehidupan sosial mereka. Dari tiga tahap pemulihan, yakni rehabilitasi, ganti rugi, dan rekonstruksi, belum satu pun yang terpenuhi.

    Pemerintah masih berkutat pada upaya pelunasan pembayaran ganti rugi terhadap warga korban lumpur. Itu pun hingga kini belum ada kejelasan kapan dana talangan sebesar Rp 781 miliar yang sudah dialokasikan dalam APBN itu dicairkan.

    “Dana talangan ini untuk membantu warga korban mendapatkan hak ganti rugi atas tanah dan rumah yang tenggelam oleh semburan lumpur. Hak ganti rugi ini merupakan kewajiban PT Lapindo Brantas, tetapi tidak kunjung dilunasi selama sembilan tahun,’ kata Nurkhoiron.

    Dia mengatakan, dari hasil audiensi dengan BPLS selaku ujung tombak penanganan korban lumpur, diperoleh fakta bahwa penanganan sebatas penanggulangan luapan dan pembuangan ke Kali Porong. Upaya pemulihan warga korban pada kondisi kehidupan mereka sebelum terkena bencana, sangat minim bahkan hampir tidak ada.

    “Kehadiran negara yang direpresentasikan melalui BPLS sebagai panitia ad hoc, masih dalam konteks fisik berupa pembangunan infrastruktur,” ujarnya.

    Sunarmi (42), warga korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, mengatakan, selama ini kehidupannya sangat susah. Keluarganya harus berpindah rumah karena mengontrak. Tidak hanya itu, dia dan suaminya kehilangan pekerjaan sebagai buruh pabrik karena perusahaan tempatnya bekerja tenggelam oleh lumpur.

    “Kini kami mengojek di atas tanggul untuk bertahan hidup. Selama ini tidak ada perhatian dari perusahaan ataupun pemerintah untuk memulihkan kehidupan kami seperti sebelumnya. Bahkan, uang ganti rugi yang menjadi hak dasar kami juga tidak dibayar,” kata Sunarmi.

    Rabu (13/5), ratusan warga korban lumpur Lapindo akan kembali berunjuk rasa. Sasaran kali ini Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. Tuntutannya masih sama, yakni pembayaran pelunasan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc.

    Warga korban lumpur kini kebingungan karena tidak tahu harus bertanya atau mengadu ke mana untuk menanyakan perkembangan proses pencairan dana talangan. Tak ada pihak yang memberikan sosialisasi ataupun bisa dikonfirmasi. (NIK)

    Sumber: Harian Kompas, 13 Mei 2015, hlm. 22.

  • Di Atas Monumen Petaka Industri Migas

    Di Atas Monumen Petaka Industri Migas

    Salah satu fenomena sosial baru yang menyusul semburan lumpur Lapindo adalah maraknya kunjungan publik ke Porong. Para pengunjung itu tidak hanya berdatangan dari wilayah di sekitar Sidoarjo, beberapa datang jauh-jauh dari luar Jawa dan bahkan luar negeri. Mereka datang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, beberapa juga mengabadikan sebuah momen langka: kehadiran mereka di atas monumen petaka industri migas di republik ini.

    Foto-foto: Henri Ismail/PorosPhoto; Teks: Anton Novenanto

    Unduh versi PDF di sini.

    This slideshow requires JavaScript.

     

     

  • Muasal Lumpur Lapindo

    Muasal Lumpur Lapindo

    Judul Komik: Muasal Lumpur Lapindo

    Dicetak oleh: RTJ Publishing | SeblatKomik

    Komikus: Rahman Seblat

    Sumber cerita: Anton Novenanto, Mujtaba Hamdi, korbanlumpur.info

    (more…)

  • BUMI-Bakrie Bangkit dari Mati Suri, Setelah Sinarmas Selamatkan BRAU

    BUMI-Bakrie Bangkit dari Mati Suri, Setelah Sinarmas Selamatkan BRAU

    Bareksa.com – Banyak investor kini bertanya-tanya ihwal kebangkitan harga saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) milik keluarga Bakrie. Bagaimana sebenarnya proses restrukturisasi utang perusahaan tambang batubara raksasa yang nilainya mencapai Rp45 triliun per akhir September 2014 itu? Apakah dalam proses restrukturisasi ini, Grup Sinarmas akan turut masuk? Analis Bareksa mencoba menelusurinya.

    Pada penutupan perdagangan Senin 11 Mei 2015, harga saham BUMI tercatat naik 2 persen, serta mencatat rekor volume dan nilai transaksi terbesar sejak 14 Januari 2015. Bahkan, per jam 13.30 WIB, harga BUMI sempat melonjak 7,92 persen. Padahal, pada akhir pekan lalu, 8 Mei, harga saham BUMI sudah tiba-tiba melesat 27,85 persen ke harga Rp101 per saham.

    Ada apa gerangan?

    Sehari sebelumnya, 7 Mei, di bursa saham London, Asia Resources Mineral Plc (ARMS) – induk PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) – mengumumkan sedang menelaah lebih lanjut penawaran pembelian saham oleh Asia Coal Energy Ventures Ltd (ACE) dan Argyle Street Management Limited, perusahaan investasi yang terafiliasi dengan Grup Sinarmas.

    ARMS, yang dulunya bernama Bumi Plc, merupakan wadah investasi Nathaniel Rothschild saat menggandeng Grup Bakrie pada akhir Juni 2011 lalu.

    Lalu kemudian terjadi konflik hebat antara dua kelompok taikun ini, yang mengakibatkan Grup Bakrie menarik saham BUMI dari ARMS melalui bantuan Samin Tan, pemilik tambang batubara PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk (BORN). Semenjak itu, aset tambang batubara milik ARMS hanya tersisa BRAU.

    Samin Tan menggantikan posisi Bakrie dengan menguasai 47,6 persen saham ARMS.

    BRAU sendiri sedang dililit utang obligasi senilai $450 juta yang akan jatuh tempo pada tahun 2015 dan $500 juta lainnya pada 2017. Untuk itu, ARMS selaku pemegang saham berencana menerbitkan saham baru guna menyelamatkan BRAU dari potensi ancaman gagal bayar (default).

    Dalam kondisi terdesak ini, Rothschild berusaha mengambil alih ARMS dengan mengajukan penawaran untuk membeli saham baru yang akan dikeluarkan. Samin Tan sendiri dalam keadaan tidak berdaya karena sudah dijepit tumpukan utang akibat aksinya membeli ARMS dari Bakrie.

    Nah, tiba-tiba muncullah “sang juru selamat,” Grup Sinarmas, yang melalui ACE dan Argyle menyorongkan penawaran tandingan dengan harga yang lebih tinggi dari yang diajukan Rothschild, untuk menyerap saham baru ARMS.

    Bagaimana BUMI?

    Setali tiga uang dengan BRAU, BUMI juga sedang dicekik utang raksasa. Berdasarkan laporan keuangan BUMI per September 2014, saldo pinjaman jangka panjang mencapai $3,5 miliar dolar atau Rp45 triliun (asumsi kurs Rp13.000 per dolar AS).

    Lebih parah lagi, di bagian penjelasan disebutkan bahwa mayoritas utang tersebut sudah masuk dalam kategori macet (default). Bahkan, posisi ekuitas BUMI juga sudah negatif $320 juta atau Rp4,1 triliun.

    Seluruh utang dalam kategori default sesuai ketentuan cross default dalam perjanjian akibat BUMI gagal bayar dengan kelompok usaha atas pembayaran pokok dan atau bunga pinjaman lainnya saat jatuh tempo.

    Tabel Daftar Utang Default BUMI Per Akhir September 2014

    Daftar hutang BUMI per September 2014

    Sebelumnya diberitakan bahwa BUMI akan melakukan private placement untuk merestrukturisasi utang tersebut.

    Tetapi jika aksi tersebut hanya mengkonversi utang ke saham, maka BUMI sama sekali tidak memperoleh uang tunai. Artinya, tidak ada tambahan nilai bagi pemegang saham lama. Ini seperti yang terjadi pada bulan Juli tahun lalu, di mana pemegang saham minoritas justru terdilusi 60,7 persen akibat penerbitan 32,19 miliar saham baru BUMI.

    Dalam proses tersebut BUMI mengkonversi utang milik China Investment Corporation (CIC). Pada September 2009, CIC memberikan pinjaman kepada BUMI melalui anak usaha yakni Country Forest Ltd (CFL) senilai $1,9 miliar dengan bunga 12 persen per tahun. Lalu pada November 2011, BUMI melakukan pelunasan awal $600 juta atas utang ini, sehingga utang terhadap CFL berkurang menjadi hanya $1,3 miliar.

    Baru pada Oktober 2013, BUMI dan CFL sama-sama membuat kesepakatan untuk membayar sisa hutang dan bunga yang jatuh tempo. Salah satu dari isi perjanjian menyebut ketika BUMI melakukan penerbitan saham baru (right issue), maka utang CFL $150 juta akan ditukar dengan 6,2 miliar saham baru atau setara dengan 18,9 persen kepemilikan.

    Namun saat aksi right issue ini dilakukan pada Juni 2014, bukan CFL yang menyerap saham baru BUMI melainkan pemegang saham utama BUMI, Long Haul Ltd melalui agen fasilitas PT Karsa Daya Rekatama. Dalam penjelasan di materi persentasi November 2014 hanya disebutkan BUMI telah melunasi utang CIC senilai $150 juta. Dengan pelunasan tersebut dan pemenuhan syarat lain sesuai perjanjian, utang BUMI terhadap CFL pun berkurang menjadi hanya sekitar $1 miliar.

    Selain CIC, dalam aksi right issue BUMI juga melakukan konversi utang Castleford Investment Holdings yang seluruhnya bernilai $150 juta dengan 6,2 miliar saham baru atau setara dengan 18,9 persen kepemilikan. Castleford menunjuk PT Damar Reka Energi sebagai agen fasilitas penyerapan saham baru tersebut.

    Yang menarik kepemilikan saham atas nama dua agen fasilitas ini terus berkurang. Berdasarkan laporan pemegang saham per April 2015, kepemilikan atas nama Karsa Daya Rekatama turun menjadi di bawah 5 persen sedangkan atas nama Damar Reka Energi hanya bersisa 6,28 persen.

    Ini menunjukkan konversi hutang hanya mengubah peta kepemilikan BUMI. Berbeda halnya jika ada investor baru yang memberikan dana segar sehingga bisa memperbaiki struktur modal BUMI.

    Head of Research Syailendra Capital Lanang Trihardian mengungkapkan bahwa kenaikan harga saham BUMI saat ini lebih didorong oleh unsur spekulasi pelaku pasar atas restrukturisasi utang-utang BUMI.

    “Karena restrukturisasi utang BUMI kan masih berlangsung dan rencananya seluruh utangnya akan dikonversi ke saham melalui debt-to-equity swap. Market melihat proses ini berjalan lancar, sehingga banyak yang mulai masuk ke saham BUMI. Sentimen serupa juga tampak pada kenaikan harga obligasi BUMI.”

    Pandangan serupa diutarakan Head of Research NH Korindo Securities Reza Priambada. Menurutnya, kenaikan harga saham BUMI lebih didorong oleh sentimen dari proses restrukturisasi utang BUMI.

    “Dari isu yang beredar di market, ada yang bilang bahwa rencana restrukturisasi utang BUMI akan selesai di kuartal II-2015. Dan banyak yang berasumsi bahwa prosesnya berjalan lancar karena hingga saat ini tidak ada berita negatif mengenai proses ini.”

    Reza menambahkan kenaikan harga saham BUMI tidak ada hubungannya dengan tawaran Sinarmas atas ARMS. “Karena ARMS sekarang kan punya Rothschild dan Samin Tan. Selain itu, Sinarmas sudah punya Dian Swastatika Sentosa (DSSA).”

    Untuk dicatat, Grup Sinarmas – yang luas dikenal memiliki sejarah panjang hubungan baik dengan keluarga Bakrie – sebelumnya pernah membeli 3 hektar lahan di Superblok Rasuna Epicentrum Jakarta milik PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) pada tahun 2013 melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).

    Apakah Grup Sinarmas bakal kembali turun tangan “menolong” Bakrie dalam private placement BUMI

    Ni Putu Kurniasari & Suhendra, tambahan laporan dari Adam Rizky Nugroho

    Sumber: http://www.bareksa.com/id/text/2015/05/12/bumibakrie-bangkit-dari-mati-suri-setelah-sinarmas-selamatkan-brau/10481/analysis

  • Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela

    Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela

    Presiden Harus Berpihak Pada Keselamatan Rakyat

    Jakarta, 8 Mei 2015 – Tepat pada 29 Mei 2014, dalam agenda Kampanye Pilpres, Jokowi mengatakan dengan lantang di depan warga korban semburan lumpur Lapindo, “Dalam kasus seperti ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat.” Jelas dalam komitmen yang diucapkan Jokowi dalam kampanye tersebut, Pemerintahan yang dia pimpin akan hadir berpihak pada rakyat dalam kasus kejahatan korporasi, khususnya korporasi pertambangan.

    Namun kenyataannya, dalam tujuh bulan kepemimpinan Jokowi–JK, berbagai harapan publik seolah berputar balik. Baru sebulan dilantik, Presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT APEC (10/11/2014) malah secara vulgar mengobral berbagai proyek demi mengundang investasi besar-besaran di sektor ekstraktif dan infrastruktur. Tentu saja penggenjotan dua sektor ini akan semakin meningkatkan pengerukan sumber daya alam dan perusakan ruang hidup masyarakat. Bagaimana tidak, pengerukan sumber daya secara massif tersebut semakin diakselerasi dengan pengadaan infrastruktur yang semakin memuluskan rantai pasokan komoditas dari wilayah ekstraksi ke kawasan industri.

    Relasi kuasa politik dan modal makin kentara, tak ubah dengan rezim pemerintahan sebelumnya. Lingkaran kuasa modal terbungkus dalam struktur partai, utamanya di pemerintahan, menggerogoti kebijakan makin menjauhkan kedaulatan negara terhadap sumber daya alam tambang dan energi. Penetapan harga BBM dilepaskan ke mekanisme pasar, walaupun pemerintah masih malu-malu mengakuinya. Tentu saja ketidak-pastian harga BBM ini akan segera diikuti oleh kenaikan tarif dasar listrik dan LPG.

    Kuasa modal ini terang benderang dalam target elektrifikasi Jokowi–JK. Hitungan bisnis dikedepankan untuk memprioritaskan energi fosil yang berbahaya terhadap keselamatan rakyat ketimbang mengutamakan energi terbarukan dan ramah lingkungan. Target 35 gigawat yang akan dibangun hingga 2019 nanti, 94% bersumber dari energi fosil; Batubara: 20.000 MW, Gas: 13.000 MW. Menjauhkan harapan Indonesia akan lepas dari ketergantungan energi fosil.

    © 2015, Rahman Seblat
    © 2015, Rahman Seblat

    Apalagi dalam upaya penegakan hukum lingkungan, masih jauh dari kata, “negara hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat.” Dalam kasus Lapindo yang hampir genap berusia Sembilan tahun, bukannya menghukum para pelakunya, pemerintah Jokowi–JK malah memberikan bantuan dana talangan bagi Lapindo sebesar Rp 781 milyar. Ada faktor kemendesakan yang memang harus dipenuhi atas nasib korban, namun tidak cukup menyelesaikan persoalan sesungguhnya yang dihadirkan PT Lapindo Brantas Inc. Dalam kasus-kasus pertambangan dan migas lain, belum ada tanda-tanda pemerintahan Jokowi–JK akan menyelesaikan, seperti kasus Freeport, Sape, Mandailing, dan anak-anak yang menjadi korban lobang tambang.

    Akankah Rezim Jokowi–JK menjadi “Rezim Neo-Ekstraktivisme” dan melanjutkan tradisi “keruk habis, jual cepat-cepat”? Sejauh manakah Jokowi–JK mampu membawa negara ini lepas dari ketergantungan energi fosil? Mampukah Jokowi–JK memenuhi komitmennya untuk menghadirkan negara sebagai representasi kedaulatan rakyat ketika kejahatan korporasi tambang semakin merajalela?

    Karena itu Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan seluruh jaringannya di daerah, menjelang Hari Anti Tambang 29 Mei 2015, mengajak seluruh elemen bangsa yang peduli pada keselamatan dan ruang hidup rakyat, untuk mendedikasikan waktu, pikiran dan dukungannya untuk melakukan aksi dan bentuk kegiatan lainnya pada Hari Anti Tambang 29 Mei 2015 sebagai bentuk perlawanan terhadap daya rusak industri pertambangan dan solidaritas perjuangan warga yang selama ini menjadi korban serta dibungkam.

    “Negara absen ketika kejahatan tambang merajalela, Presiden harus berpihak pada keselamatan rakyat.” Inilah tema yang diusung pada HATAM 2015. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari kondisi bahwa hingga saat ini negara masih absen ketika kejahatan tambang semakin merajalela. Untuk itu, presiden harus menunjukkan komitmen dan keberpihakannya pada keselamatan rakyat.

    Apa itu HATAM?

    Hari Anti Tambang, atau disingkat HATAM, adalah mandat dari Pertemuan Nasional JATAM 2010. Tercatat sejak 2011, tanggal 29 Mei diapresiasi sebagai Hari Anti Tambang, bertepatan dengan semburan pertama lumpur Lapindo pada 29 Mei sembilan tahun yang lalu, sebuah tragedi kemanusiaan akibat daya rusak pertambangan.

    Pencanangan HATAM didasari atas kenyataan bahwa sudah saatnya pertambangan dijadikan sebagai sejarah dalam perjalanan bangsa ini ke depan. Terbukti, pertambangan di Indonesia yang sudah berlangsung ratusan tahun ini malah semakin menjerumuskan bangsa ini sebagai bangsa yang miskin dan terjajah. Tidak hanya itu saja, industri pertambangan telah berhasil menghapus mimpi dan cita-cita Anak Bangsa, bahkan telah merenggut ratusan nyawa.

    Siapa dan di mana saja yang melakukan HATAM?

    JATAM dan segenap simpul jaringannya pada bulan Mei 2015 ini akan melakukan rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan perlawanan terhadap daya rusak pertambangan. Puncaknya pada HATAM, 29 Mei 2015 nanti, puluhan simpul jaringan JATAM akan melakukan aksi sebagai bentuk upaya penyelamatan ruang hidup dan keselamatan Rakyat, khususnya solidaritas kepada korban Lapindo.

    Dukungan dan solidaritas dari masyarakat luas juga bisa dilakukan dengan melakukan berbagai aksi, dialog publik maupun bentuk kegiatan lainnya sebagai dukungan terhadap HATAM dan desakan kepada negara untuk memihak kepada keselamatan dan ruang hidup rakyat.

    Sumber: http://www.jatam.org/seruan-aksi-hatam-2015-negara-absen-ketika-kejahatan-tambang-merajalela-presiden-harus-berpihak-pada-keselamatan-rakyat/

    Unduh versi pdf di sini.

  • Korban Lumpur Lapindo: Pak Jokowi, Saya Sudah Tidak Kuat…

    Korban Lumpur Lapindo: Pak Jokowi, Saya Sudah Tidak Kuat…

    SIDOARJO, KOMPAS.com – Sunarti meraung-raung di tengah ratusan warga sesama korban lumpur Lapindo yang menggelar unjuk rasa, Minggu (10/5/2015). Dia berteriak histeris karena hingga pertengahan Mei 2015, masih belum jelas kapan ganti rugi dibayar Pemerintah Pusat.

    Jarene Mei. Mei iku akeh. Taon ngarep ono Mei. Mei kapan? (Katanya Mei. Mei itu banyak. Kapan?),” kata dia sambil berteriak, yang berusaha ditenangkan warga lain.

    Berulang kali Sunarti mengungkit janji-janji pelunasan dari PT Minarak Lapindo Jaya dan pemerintah pusat. Bagi Sunarti, janji-janji itu membuat dirinya tak kuat menahan beban hidup.

    Pak Jokowi, aku wes gak kuat maneh (Pak Jokowi, saya sudah tak kuat lagi),” kata Sunarti.

    Para warga yang masuk Peta Area Terdampak (PAT) ini mengaku terus dibohongi. Di berbagai media massa, pemerintah pusat selalu mengatakan, Mei 2015 adalah batas pelunasan. Namun hingga pertengahan Mei, belum ada tanda-tanda pelunasan itu.

    Anggota Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, Maksum Zubair juga hadir dalam aksi itu. Dia mengaku tidak bisa berbuat banyak karena Pemerintah Pusat belum sepakat dengan pihak Lapindo.

    “Masalahnya ada di keduanya. Kami di sini tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.

    Informasi yang masuk ke Pansus, molornya pencairan ini karena tidak ada titik temu antara pemerintah dan Lapindo. Pemerintah meminta jaminan aset Lapindo sebagai syarat pencairan dana talangan ganti rugi sebesar Rp 781 miliar.

    Miftah Faridl

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/05/10/21081621/Korban.Lumpur.Lapindo.Pak.Jokowi.Saya.Sudah.Tidak.Kuat.

  • Jasa Marga Uji Coba Pengganti Tol yang Terendam Lumpur Lapindo

    Jasa Marga Uji Coba Pengganti Tol yang Terendam Lumpur Lapindo

    Bareksa.com – PT Jasa Marga (Persero) Tbk hari ini akan melakukan uji coba pengoperasian Seksi Kejapanan-Gempol sepanjang 3,55 km. Seksi tol ini merupakan bagian dari Proyek Relokasi Jalan Tol Porong-Gempol.

    Uji coba akan dimulai Jumat 8 Mei 2015 pukul 10.00 WIB hingga 17 Mei 2015 tanpa dikenakan tarif tol, dan akan beroperasi secara penuh dengan dikenakan tarif tol pada tanggal 18 Mei 2015. 

    Corporate Secretary PT Jasa Marga Tbk David Wijayatno mengatakan uji coba ini dilakukan setelah terbitnya Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 257/KPTS/M/2015 pada tanggal 6 Mei 2015 mengenai Penetapan Pengoperasian Jalan Tol Ruas Relokasi Porong-Gempol Seksi Kejapanan-Gempol pada Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Seksi Kejapanan-Gempol merupakan bagian dari Proyek Relokasi Porong-Gempol yang sejak bulan Agustus 2006 tidak dapat beroperasi akibat meluapnya lumpur Sidoarjo. Ruas Porong-Gempol yang terputus semula sepanjang 5 km.

    Namun, karena sebagian besar ruas jalan tol telah terendam oleh lumpur maka dilakukan kajian geologi bekerjasama dengan ITB dan diputuskan untuk merelokasi ruas tersebut dengan memutar ke arah Selatan. Sehingga, total panjang relokasi ruas jalan tol tersebut menjadi 10 km.  

    Relokasi Proyek Porong-Gempol dibagi menjadi dua seksi yang terdiri dari Seksi Kejapanan-Gempol (3,55 km) dan Seksi Porong-Kejapanan (6,45 km). Seksi Porong-Kejapanan saat ini belum dibangun karena kapasitas Jalan Arteri Baru Porong masih dapat menampung beban lalu lintas kendaraan dari dan menuju Surabaya.

    “Ruas ini merupakan bagian dari Jalan tol Surabaya-Gempol yang menghubungkan antara kota Surabaya sebelah Utara dan Gempol di sebelah Selatan. Relokasi Ruas Porong-Gempol ini nantinya akan terkoneksi dengan Jalan Tol Gempol-Pandaan yang juga akan dioperasikan pada tahun ini,” kata David.

    Pengoperasian Seksi Kejapanan-Gempol ini akan menggunakan Sistem Operasi tertutup dengan besaran tarif tol Golongan I Rp 3.000, Golongan II Rp 4.500, Golongan III Rp 6.000, Golongan IV Rp 7.500 dan Golongan V Rp 8.500 (sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 259/KPTS/M/2015 tentang penetapan Golongan Jenis Kendaraan Bermotor dan Besaran Tarif Tol pada Relokasi Porong-Gempol Seksi Kejapanan-Gempol pada Jalan Tol Surabaya-Gempol).

    Diharapkan, dengan dioperasikannya Seksi Kejapanan-Gempol ini akan mempersingkat waktu tempuh masyarakat yang sebelumnya harus menempuh waktu 30 menit bila melewati jalan arteri, menjadi 10 menit dengan melewati jalan tol ini. (kd)

    Sumber: http://www.bareksa.com/id/text/2015/05/08/hari-ini-jasa-marga-uji-coba-pengganti-tol-yang-terendam-lumpur-lapindo/10461/

  • Ganti Rugi Korban Lumpur, Gus Syaikhul : “Macetnya Tuh di Lapindo”

    Ganti Rugi Korban Lumpur, Gus Syaikhul : “Macetnya Tuh di Lapindo”

    Sidoarjonews, Taman – Dana ganti rugi para korban lumpur Lapindo yang berada di dalam area peta terdampak, hingga saat ini belum turun disebabkan pihak Lapindo tidak serius dalam memberikan komitmen kepada pemerintah. Padahal selama ini, pemerintah sudah berusaha membantu para korban dengan memberikan dana talangan dari APBN P 2015 sebesar Rp 781 miliar.

    Ungkapan itu disampaikan salah satu anggota DPR RI Komisi VII yang membidangi ESDM, Ristek dan Dikti, H Syaikhul Islam saat dikonfirmasi SidoarjoNews terkait ganti rugi korban lumpur Lapindo di salah satu rumah makan di daerah Taman Sidoarjo usai melakukan reses.

    Gus Syaikhul, sapaan akrab H Syaikhul Islam, menyampaikan, sebetulnya pemerintah sudah mempunyai niat atau itikad baik untuk memberikan dana talangan. Akan tetapi pihak lapindo tidak mempunyai niat dan komitmen sehingga pada akhirnya dana tersebut nyangkut seperti ini.

    “Lapindo tidak mempunyai itikad baik untuk mencairkan uang ganti rugi kepada masyarakat (korban lumpur). Kenapa demikian? Di APBN-P 2015 sudah diputuskan bahwa negara memberikan dana talangan sebesar Rp 781 miliar dan sudah diketok di APBN-P itu,” ungkapnya, Rabu (6/05/2015).

    “Kenapa uang tersebut belum cair?,” sambung Gus Syaikhul, “Menteri Keuangan belum berani memberikan atau mencairkan dana sebab pihak Lapindo tidak menunjukkan komitmennya untuk bisa mengembalikan uang tersebut.”

    Gus Syaikhul mencontohkan,  sampai hari ini aset-aset Lapindo sebagai agunan ke pemerintah tak kunjung diberikan dan pihak Lapindo belum menunjukkan data konkrit yang dibutuhkan.

    “Saya tekankan bahwa masalahnya ini bukan pada pemerintah, tetapi pada Lapindo. Masalahnya itu bukan di presiden. Dana talangan yang diberikan pemerintah tidak direspon baik oleh lapindo. Kalau Lapindo membantu pemerintah, tolonglah bantu pemerintah. Sehingga uang Rp 781 miliar itu segera cair,” tegas Gus Syaikhul.

    Tahapan ini menjadi titik krusial untuk menuju tahapan berikut hingga dana talangan itu bisa dicairkan ke korban lumpur Lapindo.

    “Tentang verifikasi penerima, jangan dihambat. Kalau pemerintah minta uang itu dicairkan ya lakukan. Masalah uang APBN-P ini kebaikan pemerintah kepada korban. Saya tidak mau menebak-nebak tujuan Lapindo apa. Yang jelas mereka tidak mempunyai keseriusan untuk melunasi ganti rugi. Padahal pemerintah berniat baik untuk membantu memberikan dana talangan,” ujarnya.

    Pihaknya belum bisa memastikan kapan dana dicairkan. Namun, dirinya masih terus melakukan pemantauan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan kepastian.

    “Pastinya belum tahu, kita terus melakukan pemantauan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan kepastian. Sementara jawaban yang kami terima, ada hambatan dari Lapindo yang tidak memberikan data para korban Lapindo, yang jelas mereka tidak memberikan keseriusan,” tandasnya.

    Kholid Andika

    Sumber: http://www.sidoarjonews.com/ganti-rugi-korban-lumpur-gus-syaikhul-macetnya-tuh-di-lapindo/

  • Pulau Baru Akibat Lumpur Picu Konflik

    Pulau Baru Akibat Lumpur Picu Konflik

    SURYA.co.id | SIDOARJO – Warga dari dua kecamatan, yakni Jabon, Kabupaten Sidoarjo dan Pulau Kerto, Kabupaten Pasuruan berebut Pulau Marina di Selat Madura. Pulau itu tergolong baru karena terjadi akibat sedimentasi yang terus-terusan sejak lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo meluap, dan lumpurnya dialirkan ke sungai menuju Selat Madura.

    Konflik memuncak saat warga Pulau Kerto memasang patok di Pulau Marina. Aksi itu diprotes warga Desa Kedung Pandan, Jabon, Sidoarjo. Pematokan yang dilakukan pada Senin (4/5) membuat warga Kedung Pandan berniat mencabut patok-patok tersebut.

    “Kami berkoordinasi dengan kepala desa agar warga Kedung Pandan tidak mencabut patok agar tidak terjadi kontak fisik,” ujar Dan Ramil Jabon, Kapten (Arm) Didik Supandi, Selasa (5/5/2015). 

    Dia berharap kepala desa dari dua kelompok warga ini bisa menangkan warganya. Aparat keamanan yang turun ke lokasi, berjaga agar tidak ada warga yang nekat mendatangi Pulau Marina untuk mencabut patok.

    Kasus sengketa ini sudah masuk ke meja dua bupati, yakni Sidoarjo dan Pasuruan. Menurut Camat Jabon, Ali Sarbini, sebenarnya Pulau Marina masuk wilayah Sidoarjo. Klaim itu didasarkan pada peta. Selama ini, tidak ada konflik yang terjadi terkait klaim tersebut sampai aksi pemasangan patok oleh warga Pasuruan.

    “Tapi saya katakan, siapa pemilik pulau itu, kita tunggu saja putusan dari pimpinan. Kalau perlu Menteri Dalam Negeri. Saya sudah laporkan pematokan ini ke Pak Bupati (Bupati Sidoarjo Saiful Ilah),” ujarnya. 

    Dia berharap, pulau tersebut disterilkan agar tidak memicu konflik.

    Ali mengaku sudah meminta petunjuk batas wilayah Desa Kedung Pandan. “Jadi batasnya akan dinyatakan sesuai keputusan Bupati, Gubernur dan Mendagri, mana batas Sidoarjo dan mana Kabupaten Pasuruan di Azimut 76 Derajat 30 termasuk Pulau Marina di dalamnya,” ungkapnya. 

    Miftah Faridl

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2015/05/05/pulau-baru-akibat-lumpur-lapindo-picu-konflik-dua-kabupaten

  • Sisa Ganti Rugi Lapindo Belum Bisa Dicairkan

    Sisa Ganti Rugi Lapindo Belum Bisa Dicairkan

    Suara Pembaruan, SIDOARJO – Sisa ganti rugi korban semburan lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 781 miliar masih belum bisa dicairkan. Alasannya, masih menunggu keputusan presiden tentang besaran bunga dana yang dipinjam PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), selaku ‘juru bayar’ perusahaan pengeboran gas PT Lapindo Brantas Inc.

    Gubernur Jatim yang biasa disapa Pakde Karwo itu, ketika menerima perwakilan warga korban lumpur Lapindo, Senin (4/5) kemarin mengatakan, bahwa dana dari APBN untuk pembayaran sisa ganti rugi korban Lapindo sudah ada. Namun demikian, dana pinjaman dari pemerintah untk PT MLJ tersebut belum bisa dicairkan, karena masih belum ada kata sepakat tentang besaran bunga pinjaman tersebut.

    “Jadi masih menunggu keputusan Presiden. Besaran bunga pinjaman itu berapa yang harus dibayar Lapindo, ini yang masih belum ada kata sepakat. Belum ketemu,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang dikonfirmasi pasca pertemuan itu, Senin sore. Ia optimis pembayaran sisa ganti rugi dari dana pinjaman pemerintah pusat akan dicairkan sekitar akhir Mei 2015. Sesuai perkiraan, kemungkinan besar pencairan dana talangan pinjaman itu sekitar akhir Mei, tandas Pakde Karwo.

    Sementara itu ratusan warga korban lumpur di dalam area peta terdampak beberapa waktu sebelumnya menggelar unjuk rasa di bekas pompa bensin (SPBU) di Jalan Raya Porong, Sidoarjo guna sekedar mengingatkan janji Presiden Jokowi yang akan menyelesaikan pembayaran ganti rugi Mei 2015 ini. Mereka yang mayoritas ibu-ibu dari Desa Jatirejo, Siring, Renokenonggo Kecamatan Porong dan Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin dengan memasang spanduk  bertuliskan, ‘Kami Menuntut Janji Bapak Presiden, 9 Tahun Kami Ditelantarkan, Mei 2015 Segera Dibayar Lunas’ yang dibentangkan di lokasi.

    Menurut koordinator lapangan aksi unjuk rasa, H Mujiono (52), warga Desa Jatirejo, yang dikonfirmasi terpisah mengatakan, bahwa warga hanya menggantungkan pada kebijakan Presiden Jokowi karena selama 10 tahun di bawah kepemimpinan Presiden SBY, janji Lapindo tidak dipenuhi. 

    “Pak Jokowi sebelum menjadi Presiden pernah berkunjung menemui warga korban lumpur di atas tanggul penahan lumpur. Di titik 21 Desa Siring, Jokowi menandatangani janji, salah satu isinya akan menyelesaikan permasalahan warga korban lumpur. Kami berharap agar bapak Presiden Joko Widodo bisa mewujudkannya,” ujar Mujiono.

    Selain berunjuk rasa, korban lumpur juga mengadakan doa bersama. Setelah doa bersama selesai, enam orang perwakilan korban lumpur Lapindo yang diwakili Mahmudah, Arthan dari Desa Renokenonggo, Ipan, Mujiono, Hasan Basri dari Desa Jatirejo, dan Muripan dari Desa Kedungbendo menemui Gubernur Jawa Timur Pakde Karwo di Surabaya. Untuk menjaga aksi unjuk rasa ini, ratusan petugas Polres Sidoarjo dan 1 unit mobil Rantis Watercanon disiagakan di dekat lokasi. [ARS/L-8]

    Sumber: http://sp.beritasatu.com/nasional/sisa-ganti-rugi-lapindo-belum-bisa-dicairkan/86143