Author: Redaksi Kanal

  • Uang yang Mengubah Segalanya

    Uang yang Mengubah Segalanya

    Sidoarjo – Lumpur Lapindo yang menyembur sejak 29 Mei 2009 lalu membawa perubahan  yang sangat besar bagi kehidupan warga baik  disekitar semburan maupun yang letaknya cukup jauh dari lokasi semburan. Lumpur yang tak juga berhenti membuat desa yang berada di sekitar semburan tenggelam. Bukan hanya itu, pabrik-pabrik , areal pertanian, sekolah dan Usaha Kecil Menengah (UKM) juga tenggelam. Tak ayal membuat beribu orang menjadi pengangguran karena tempat mereka mencari nafkah sudah tenggelam. Kegiatan belajar – mengajarpun terganggu.

    Depresi terjadi dimana-mana, Pemilik pabrik yang harus merelakan pabrik mereka tenggelam di depan mata, Pekerja pabrik yang harus kehilangan pekerjaannya yang otomatis berdampak pada masalah ekonomi mereka. Mereka yang memiliki usaha kecil di sekitar semburan sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi karena lapaknya telah tenggelam.

    Semua itu memang menjadi masalah yang yang harus segera ditangani, Agar tidak menambah angka pengangguran di Indonesia, Agar anak negri dapat belajar dengan tenang,  Agar tidak ada lagi korban dari proses penambangan.

    Satu lagi yang harus lebih diperhatikan yaitu hubungan dengan sesama yang merenggang bahkan tidak dianggap sebagai saudara. Uang menjadi sebab utamanya, Uang ganti rugi yang tak kunjung dibayar membuat mereka berfikir 10 kali bagaimana melanjutkan hidupnya. Dan ketika uang ganti rugi telah dibayar, perselisihan masalah pembagian uang ganti rugipun terjadi.

    Khamida atau yang akrab dipanggil Ida menjadi salah satu korban diantara beratus ribu korban yang membagikan pengalaman hidupnya setelah adanya Lumpur Lapindo. Ia mengaku banyak sekali perubahan dalam keluarganya mulai dari pertengkaran antara ibu dan bapaknya yang baru kali ini ia lihat. Pasalnya, sebelum ada lumpur tak sekalipun keluarganya bertengkar.

    Semula ia mengaku tidak mengetahui kalau di desanya terdapat aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo Brantas.  Di pagi hari itu ia mencium bau busuk yang sangat menyengat. Ia dan para tetangganya menduga kalau bau tersebut berasal dari septic tank yang bocor. Banyak warga yang merasa mual bahkan pingsan ketika mencium bau tersebut.

    Tak lama setelah itu ibunya yang bekerja sebagai buruh pabrik pulang dan mengatakan kalau ada pengeboran yang bocor. Setelah ditanya pengeboran apa, ibunya berkata bahwa ia tahu. Ia segera melihat ke lokasi kejadian. Disana terlihat cairan hitam yang sangat pekat telah meluber ke jalan.Beberapa hari setelah itu pabrik tempat ibunya bekerja tenggelam. Otomatis sang ibu menjadi pengangguran. Pekerja pabrik di sekitar semburan mengalami nasib yang sama.

    Hal yang tak pernah ia duga ialah rumah yang ia tempati akhirnya tenggelam. Terpaksa ia harus mengungsi di Pasar Baru Porong (PASPOR) yang kini telah berfungsi. Hanya dia dan tetangganya yang menempati ruko tersebut. Bapak dan ibunya masih berada di Desa Renokenongo.

    “Bapak pernah bilang kalau ia tidak tega melihat rumah yang ia bangun berbulan-bulan dengan susah payah harus tenggelam dalam hitungan menit.” Ucapnya seraya mengingat masa itu.

    Kehidupan di PASPOR yang begitu bebas membawa perubahan pada dirinya. Ia yang semula tak pernah berbincang dengan lawan jenis karena bapaknya melarang,  kini dengan lancar kalimat keluar dari bibirnya. Apalagi ia sebatangkara di tempat itu. Ia merasa sangat bebas. Tak ada yang melarang Begitu juga dengan masalah berbusana. Ia kini berani memakai celana pendek dengan kaos oblong. Jika kedua orangtuanya mengetahui hal tersebut, pasti ia akan mendapatkan siraman rohani.

    “Bapak memang setiap hari mengunjungiku tapi ketika pagi hari sebelum ia berangkat kerja. Ia selalu berpesan padaku agar aku dapat menjaga diriku dengan baik karena ia tak ingin kesalahan itu terjadi padaku. Ia  juga selalu memanggilku ketika melihat aku sedang berbincang dengan lawan jenis. Tapi itu dulu.” Ia tertawa kecut ketika mengatakan hal itu.

    “sekarang bapak sudah tak seperti dulu. Ia tak lagi menghiraukanku.” Lanjutnya seraya mengajakku masuk ke dalam kamarnya karena ia takut jika pembicaraannya didengar oleh ibu dan bapaknya. Karena pada waktu itu kondisi keluarganya masih memanas.
    Ia menceritakan cikal bakal konflik di keluarganya yang tak lain adalah uang. Uang ganti rugi rumah yang diberikan oleh pihak lapindo memang semuanya berada di tangan ibunya.

    “Bapak kaget ketika mengetahui jumlah uang yang tersisa. Ia mengatakan padaku kalau uang itu habis  karena dipakai selingkuh sama ibu.” Mata sipitnya terlihat akan mengeluarkan sesuatu. Sejak saat itulah hampir setiap hari pertengkaran terdengar dari rumah yang baru selesai dibangun itu.  Terkadang ia malu dengan para tetangga. Ia malu karena ia sebagai pendatang sering membuat keributan dan membuat tetangga sekitar merasa tak nyaman.

    Tuduhan sang bapak bukan tanpa alasan. Banyak warga di desanya yang memillih kawin lagi setelah mendapatkan uang ganti rugi 80%. Mungkin ia takut jika sang istri pergi meninggalkannya. “Selama ini aku tak pernah memenggal dan membantah apa yang bapak ucapkan. Aku merasa kalau aku adalah anak kesayangan bapak karena perhatian yang ia berikan padaku yang tak pernah diberikan pada kakakku. Aku selalu menuruti perintahnya. tapi untuk kali ini aku harus bersikap tegas. Aku telah dewasa. Aku tak akan membiarkan bapak memperlakukan ibu seperti binatang dihadapanku. Sebenarnya aku tak mau terlibat dalam masalah ini. Tapi bapak sendiri yang memaksaku.”

    Ida telah berulangkali mengatakan kepada bapaknya kalau tuduhan yang dialamatkan pada ibunya tidak benar. Ida juga meminta penjelasan pada ibunya tentang pengeluaran uang. Ia sangat percaya kalau ibunya tak melakukan hal seperti yang dituduhkan oleh bapaknya. Menurut penjelasan sang ibu uang tersebut dipergunakan untuk membeli tanah, menyewa tempat kos dan membangun rumah. Selain itu uang itu juga untuk kebutuhan sehari-hari.

    Ida tak pernah berhasil mematahkan kecurigaan bapaknya. Ia kini dianggap sebagai anak tidak tau diri. Sungguh suatu anggapan yang sangat menyakitkan bagi seorang anak. Hal yang membuatnya benci pada bapaknya adalah sikap kasar yang dilakukan bapak terhadap ibunya yang tak pernah ia lihat dan rasakan dulu sebelum ada lumpur.

    Pertengkaran hebatpun terjadi. Pertumpahan darah mewarnai pertengkaran itu. Ia tak mau jika pertengkaran itu dipublikasikan karena ia sangat malu. Yang jelas ia berharap pertengkaran itu adalah pertengkaran untuk yang pertama dan terakhir. Ia tak ingin melihat kedua orang tuanya terus berseteru. Setelah pertengkaran itu ia tidak lagi tinggal di rumah barunya tetapi tinggal di rumah kakaknya yang berjarak sekitar 5 km dari rumahnya.

    Kondisi memang sedikit membaik ketika sang bapak sakit. Sebetulnya Ida melarang ibunya untuk kembali kerumah. Tapi ibunya tetap pergi menjenguk bapaknya. Ida dan ibunya memang telah kembali ke rumahnya. Tapi rasa sayang ida pada sang bapak telah pudar. “Aku tak bisa memaaafkan perbuatan bapak. Meskipun sekarang ibu dan bapak telah akur tetapi tidak dengan aku. Aku selalu mengingat kejadian itu. Kejadian bapak dengan tuduhan-tuduhan yang tak bisa dibuktikan, kejadian bapak memperlakukan ibuk layaknya binatang hanya gara-gara uang. Aku sering berkata pada tuhan lebih baik aku hidup pas-pasan seperti dulu sebelum ada lumpur daripada seperti sekarang. Memang uang kami lebih tapi kami tak merasa bahagia sedikitpun. Malah masalah demi masalah yang tak kunjung usai yang aku rasakan. Aku berharap lumpur segera berhenti agar tak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga hanya karena uang seperti yang terjadi di keluargaku.” uangkapnya

    “Kini seluruh uang yang semula ditangan ibu, berpindah ke tangan bapak. Itu dilakukan ibu agar masalah tidak terus berlanjut. Tapi kini aku dan ibu tak bisa apa-apa. Jika memerlukan uang kami selalu menunggu bapak pulang” lanjutnya. Hingga saat ini  tak ada kata maaf sedikitpun yang terucap dari mulut Ida, Ibu ataupun Bapaknya. Mereka enggan dan malu untuk mengucapkan kata maaf lebih dulu.

    Hal yang sama dialami oleh Alfi (19 tahun), warga Desa Sengon yang kini tinggal di Perumahan Balongdowo. Keluarga yang semula harmonis berubah menjadi berantakan yang lagi-lagi karena Lumpur Lapindo. Ia dan keluarganya juga sempat mengungsi di Pasar Baru Porong selama kurang lebih 4 bulan. Ditempat itu ia merasakan suasana lingkungan yang sangat berbeda dengan desanya. Ia mengaku jika kehidupan di Paspor sangat liar. Untungnya keluarganya segera mendapatkan tempat yang baru ketika uang ganti rugi diberikan. Ia sangat bersyukur karena bisa keluar dari tempat itu

    Masalah timbul saat uang sisa ganti rugi 80% diterima. Ia dan ibunya curiga dengan sikap bapaknya yang sering pulang malam. Saat ditanya selalu jawabnya lembur. Alfi mendapat kabar kalau bapaknya selingkuh dengan pambantu tetangganya. “Tak pernah bapak memberiku uang. Aku heran saat bapak memberiku uang Rp 100.000. setelah itu dia pergi dan tak kembali.” Jelasnya dengan nada datar.

    Ia berfikir bahwa uang yang ia terima adalah uang sogokan dari bapaknya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan masalah ini, Kini ia masa bodoh dengan masalah yang terjadi. Ia mencoba membangkitkan ibunya dari kesedihan, ia ingin membuktikan pada bapaknya jika ia dan ibunya bisa hidup tanpanya.

    “Bapak membelikan istri barunya sebuah mobil yang tak pernah ibu dapatkan selama ini.” Ceritanya singkat karena tak ingin mengingat kembali maslah itu. Tak ada cerai dalam maslah ini. Karena sang bapak tidak menyetujui jika mereka bercerai.

    Itu mungkin secuil dari beribu masalah yang terjadi pada korban lumpur. Lumpur memang telah mengubah segalanya. Bahkan uang yang selama ini dianggap sebagai dewa oleh kebanyakan orang tak  lain adalah sebuah malapetaka yang dapat menghancurkan keharmonisan keluarga jika kita tak pandai mengelolanya. Mungkin uang yang dibayarkan kepada para korban lumpur adalah uang kotor sehingga mereka yang menerimanya banyak mendapatkan masalah.

    Daris Ilma

  • Lapindo Mulai Mengebor Gas di Sidoarjo Agustus

    Lapindo Mulai Mengebor Gas di Sidoarjo Agustus

    Sidoarjo – Lapindo Brantas Incorporated memulai proses pengeboran sumur Gas Alam Terkompresi (CNG) di Kalidawir Kecamatan Tanggungalin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Agustus mendatang

    Sumur sedalam satu kilometer ini untuk menggenjot produksi gas untuk keperluan gas perkotaan. Gas dipasok untuk warga Sidoarjo dan Surabaya.
    “Proses pengeboran, masing-masing sumur satu bulan,” kata juru bicara Lapindo Brantas Incorporated Diaz Roychan.

    Lapindo merencanakan produksi gas meningkat antara 10 juta-15 juta metrik kaki kubik (mmscf) per hari. Sebelumnya, Lapindo memiliki lima sumur gas menghasilkan sekitar 5 juta mmscf per hari.

    Pengeboran diperkirakan selesai 2012 mendatang. Lapindo mengantongi kontrak eksploitasi gas hingga 2020 mendatang. Total hasil produksi 70 persen diserahkan negara, sedangkan 30 persen untuk keuntungan Lapindo. Sedangkan, seluruh biaya eksplorasi dan eksploitasi ditanggung Lapindo.

    Eksploitasi dimulai 1999 lalu, di sumur Wunut Kecamatan Porong dilanjutkan di Tanggulangin 2003 lalu. Lantas, diteruskan mengebor sumur Banjarpanji-1 pada 2006 hingga terjadi luapan lumpur.

    Awalnya, gas yang diproduksi dipasok ke PT Gas Negara (PGN) untuk didistribusikan ke sejumlah industri di Jawa Timur. Selain untuk keperluan industri, CNG juga digunakan untuk memasok bahan bakar taksi dan busway.

    Sedangkan sambungan gas ke rumah tangga (city gas) dimulai Desember 2010. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas menunjuk Lapindo untuk memasok gas. Sedangkan operator distribusi diserahkan kepada PT Petrogas Jatim Utama, Badan Usaha milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

    Semula diluncurkan 2.900 sambungan rumah tangga di Rungkut Surabaya. Sambungan gas dilanjutkan ke Desa Ngingas dan Wedoro Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan tahun ini dipasang 4.800 sambungan yang terdiri dari desa Kludan 400 sambungan, Ngaban 200 sambungan, Kalitengah 400 sambungan, Kalidawir 900 sambungan, Gempolsari 400 rumah, Medaeng 1.200 sambungan dan Tambaksawah 1.250 sambungan.

    Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan, Maksum menjelaskan pemasangan jaringan CNG ini diberikan secara cuma-cuma. Tujuannya agar warga beralih menggunakan gas yang lebih murah dibandingkan kayu bakar atau minyak tanah. “Jaringan transmisi telah tersambung, tinggal sambungan ke rumah warga,” katanya.

    Gas CNG lebih murah 50 persen dibandingkan gas elpiji. Selain itu juga lebih aman, berbeda dengan gas elpiji yang rawan meledak. Gas CNG mudah menguap sehingga meminimalisasi ledakan. Kadar gas lebih bersih, gas CNG ini terhubung langsung ke kompor rumah tangga memakai katup seperti keran air minum. (EKO WIDIANTO)

    (c) TEMPO Interaktif

  • Pakde Karwo Izinkan Lapindo Ngebor Lagi, Asal..

    Pakde Karwo Izinkan Lapindo Ngebor Lagi, Asal..

    SURABAYA- Rencana Lapindo Brantas Inc. untuk melakukan pengeboran di Desa Kalidawir Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo di tahun ini semakin berat. Pasalnya setelah mendapatkan penolakkan dari warga sekitar sumur pengeboran, kini Lapindo Brantas harus memenuhi syarat baru yang diajukan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

    Gubernur Soekarwo memberikan syarat kepada Lapindo agar melunasi dulu ganti rugi kepada korban lumpur senilai Rp452 miliar.

    “Ada tanggungan yang belum dibayar. Ini harus dibayar dulu kalau mau ngebor lagi. Ini rasa keadilan,” kata Soekarwo, kepada wartawan usai salat Jumat (20/5/2011) di Masjid Baitul Hamdi komplek kantor Gubernur Jatim, Jalan Pahlawan.

    Soekarwo beberapa waktu lalu pernah mengatakan Lapindo berjanji akan menyelesaikan sisa pembayaran yang belum terbayar pada 15 Mei. Namun hingga kini, Soekarwo belum mengetahui apakah pembayaran ganti rugi itu sudah dilakukan atau belum.

    “Mestinya sudah rampung. Tapi batas memang sampai akhir 2012. Tolong kalau mau ngebor lagi ya dipercepat pembayarannya. Itu pun kalau masyarakat di sekitarnya mau menerimanya,” ujar Soekarwo.

    Sementara itu, juru bicara Lapindo Brantas Diaz Raichan mengatakan jika Lapindo Brantas akan tetap melakukan pengeboran di wilayah Desa Kalidawir Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo. Karena pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc. itu berkaitan dengan program city gas pemerintah pusat. Lapindo menargetkan tahun ini sudah bisa melakukan pengeboran baru di wilayah Desa Kalidawir Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo.

    “Yang jelas program city gas harus tetap jalan karena ini program pemerintah pusat,” ujar Diaz.

    Diaz mengatakan dalam hal ini sebenarnya yang mempunyai kuasa adalah BP Migas yang telah memberikan amanah kepada Lapindo Brantas untuk melakukan pengeboran di wilayah Sidoarjo. BP Migas memberikan kuasa pertambangan kepada Lapindo di sekitar Sidoarjo sampai dengan 2020.

    “Kuasa sebenarnya BP Migas. Namun kita tetap bekerja sama dengan pemerintah daerah karena lokasinya yang dekat-dekat perkampungan,” ujar Diaz.

    Diaz mengatakan jika syarat yang diajukan oleh Gubernur Soekarwo, tampaknya bisa dipenuhi oleh Lapindo Brantas.  “Kalau cuma Rp452 miliar mungkin tahun ini lunas. Targetnya memang 2012 pertengahan sudah lunas semua,” ujar Diaz.

    Pemerintah pusat melalui menteri ESDM sejak 2010 lalu mencanangkan program city gas bagi Surabaya dan sekitarnya. Lapindo merupakan satu-satunya perusahaan gas yang menjadi penyedia gas dalam program ini. Kata Diaz, untuk memenuhi kebutuhan gas program city gas ini Lapindo hanya mengambil dari sumur Kalidawir saja.

    “Semua diambilkan dari sumur di Kalidawir ini. Kita anggap cukup untuk kebutuhan gas di Surabaya, Sidoarjo, dan Mojokerto. Oleh karenanya untuk memenuhi itu kita mesti harus memaksimalkan sumur yang ada di Kalidawir ini. Semuanya ada lima sumur dan yang beroperasi saat ini masih dua sumur,” katanya. (Amir Tejo)

    (c) Okezone

     

     

  • Awas! Lumpur Datang!

    Awas! Lumpur Datang!

    Sidoarjo – Kata-kata itu sepertinya memang pantas untuk melukiskan bagaimana kekuasaan lumpur atas wilayah penduduk. Ketika lumpur datang, mau tak mau orang harus pergi untuk menyelamatkan jiwanya. Pelan tapu pasti. Itulah Lumpur Lapindo yang hingga kini tak jua berhenti. Sekarang jika anda lihat, pusat semburan Lumpur Lapindo tidak lagi satu tetapi telah menjadi dua.  Dan kedua semburan lumpur itu letaknya berdampingan. Saling melengkapi satu sama lain layaknya makhluk hidup. Tapi dengan adanya dua pusat semburan ini lengkaplah sudah penderitaan masyakat Sidoarjo atau lebih tepatnya korban Lumpur Lapindo. Bayangkan saja, satu semburan sudah membuat penderitaan yang luar biasa. Banyak rumah penduduk, hamparan sawah, pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah yang tenggelam.  Bagaimana jika dua pusat semburan? Mungkin tak akan ada lagi Negara Indonesia. Negara yang penuh dengan kecurangan.

    Ledakan pipa gas milik PT. Pertamina pada tanggal 22 November 2007 kemarin, menyisahkan kepedihan yang amat sangat bagi korban. Banyak pekerja lapindo yang meninggal dunia karena tak sempat menyelamatkan dirinya. Wilayah yang terendam lumpurpun bertambah luas. Ledakan tersebut berlangsung malam hari sekitar pukul 19.00. Langit yang semula berwarna biru berubah menjadi merah dan udara menjadi panas.  Semua berteriak “Kiamat! Kiamat!” mereka panik. Semua berhamburan keluar dari rumah masing-masing.

    Setelah ledakan pipa gas pertamina  banyak sekali gelembung-gelembung kecil atau yang sering disebut Buble bermunculan di desa sekitar pusat semburan. Jutaan orang menjadi pengangguran karena tempat mereka bekerja telah tenggelam. Sawah yang terletak di Desa Besuki kini tak bisa dipakai lagi karena zat berbahaya yang terkandung dalam lumpur. Saat itu musim panen akan berlangsung. Karena kejadian itu, mereka tak dapat menikmati jerih payah  mereka selama berbulan-bulan ini.

    Karomah (35 tahun), salah satu warga Desa Besuki yang menyewa lahan pertanian untuk ia kelola. Lahan yang ia sewa berada tepat di depan rumahnya sehingga dengan mudah ia mengontrol lahannya. Tapi kini, ia tak bisa lagi menggunakan lahan itu karena tanah tersebut telah tercemar oleh lumpur. Padi dan sayur-mayur yang telah ia tanam tak dapat ia jual karena mati. ia tak dapat mengembalikan uang tanam yang ia pinjam pada tetanganya karena tak ada hasil dari panen kali ini. Ia semakin bingung karena ia tak bisa lagi bekerja sementara hutang terus menumpuk.

    Ia mengaku hanya bercocok tanam itulah pekerjaan yang bisa ia kerjaan. Dulu ia pernah bekerja di pabrik tapi hanya bertahan beberapa bulan. Ia segera keluar karena merasa tidak ada kecocokan dengan pekerjaan yang sedang ia geluti. Selain itu, jika ia terus bekerja di pabrik ia hanya akan merepotkan tetangganya. Ia hanya memiliki satu sepeda gayung. Dan sepeda itu biasanya dipakai suaminya untuk pergi ke tempat kerja.

    Jika menggantungkan pemasukan dari suaminya saja sangat tidak cukup. Karena pekerjaan sang suami adalah sebagai kuli bangunan. Itupun kalau ada yang membutuhkan tenaganya.

    “Dulu sebelum ada lumpur saya masih bisa menyisihkan beberapa karung padi hasil ngasak. Saat nggak punya uang, padi itu saya selep dan berasnya saya jual.  Selain itu saya bisa menjual sisa sayur yang ada pada tetangga, lumayan buat ceperan. Sekarang, tidak ada yang bisa saya andalkan. Sawah sudah tidak bisa ditanami.”

    Malang memang menjadi seorang penyewa lahan. Lahan yang telah tenggelam lumpur memang mendapatkan ganti rugi. Tetapi uang ganti rugi itu diberikan kepada pemilik lahan. Sementara sebagai penyewa lahan hanya bisa pasrah. Menungu jika pemilikm lahan memberinya secuil hasil hasil ganti rugi. Tapi yang ia tak mendapatkan sedikitpun uang hasil ganti rugi itu.

    “Saya tak bisa menggantungkan gaji suami saja. Saya harus mempunyai pekerjaan sendiri untuk membanntu suami memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal.” Ucapnya  dengan suara yang semakin berat. Ia bangkit dari keterpurukannya. Ia kembali meminjam uang untuk menyewa lahan pertanian. Untung saja sang peminjam tidak meminta jaminan atas uang yang ia pinjamkan.

    Sayangangya tak ada lahan yang disewakan disekitar tempat tinggalnya. Kali ini lahan yang ia sewa letaknya sangat jauh. Jaraknya sekitar 5 km dari rumahnya. Mau tak mau setiap hari ia harus pergi ke tampat kerjanya yang baru. Sepeda satu-satunya yang biasa dipakai suaminya kali ini terpaksa ia pakai. Bayangkan saja setiap hari harus mengayuh sejauh 5 km demi memenuhi kebutuhan hidup. sementara yang disana hanya duduk dan menunjuk saja sudah mendapatkan uang.

    Untungnya hasil panen pertama cukup memuaskan. Ia bisa menjual Gerbisnya dalam jumlah banyak. Uang hasil panen tersebut ia pergunakan untuk melunasi hutang-hutang yang sudah menumpuk.

    “Gali lubang tutup lubang. Itulah kami.” Ucapnya sambil masuk ke dalam dan kembali keluar sambil membawa garbis hasil panennya.

    “Ini garbis yang saya tanam. Silahkan dimakan.” Kali ini  mimik  wajahnya berubah ceria. Ia senang bisa kembali bergulat dengan lumpur yang memang selama ini telah melekat dalam hidupnya.

    Apakah pemilik PT. Lapindo pernah memikirkan nasib rakyat kecil seperti mereka yang menderita karena nafsunya untuk menjadi orang terkaya?

    Apakah anda ingat lagu yang dinyanyikan Iwan Fals yang berjudul “Guru Oemar Bakrie”? Bakrie yang dulu berbeda dengan Bakrie yang sekarang. Dulu Bakrie sangat dipuji dengan kesederhanannya dan kejujurannya. Seperti yang digambarkan dalam lirik “ Tas hitam dari kulit buaya”, “laju sepeda kumbang selalu seperti itu dulu waktu jaman jepang”, dan “Jadi guru jujur berbakti memang makan ati”.

    Tapi Bakrie yang sekarang? Bisa anda nilai sendiri. Ia menuruti nafsunya agar menjadi kaya dengan mengeruk isi bumi. Ia tega menghabiskan uang milyaran rupiah untuk merayakan ulang tahun pernikahannya sementara disini korban lumpur menangis menunggu uang ganti rugi yang belum juga dibayar. Ia tega menghabiskan milyaran rupiah untuk pesta pernikahan anaknya dan bulan madu anaknya.

    Dimanakah peran pemerintah dalam kasus ini? Pemerintah sepertinya tutup telinga, tutup mata dan tutup hati nuraninya.

    DARIS ILMA

  • Patahan Tanah di Ketapang Makin Parah

    Patahan Tanah di Ketapang Makin Parah

     

    Sidoarjo: Patahan tanah di Desa Ketapang, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, dampak dari semburan lumpur Lapindo makin gawat. Patahan tanah sudah menelan sedikitnya 38 rumah warga.

    Kerusakan terparah paling nampak di RT 02, 03, 04, dan RT 08. Banyak tembok dan lantai rumah warga di empat rukun tetangga itu retak-retak. Bahkan beberapa rumah sudah tampak miring.

    Menurut warga, kejadian paling baru terjadi saat bangunan Pondok Pesantren Maslakul Huda ambles. Warga jelas resah. Mereka kini tengah berupaya agar wilayah mereka dimasukkan dalam areal peta berdampak.

    Tak hanya di Desa Ketapang, sedikitnya 54 warga dari lain RT dan lain desa mengajukan tuntutan serupa. Tapi sampai saat ini tuntutan warga belum dijawab pemerintah.(ICH)

     

    (c) Metrotvnews

  • Menyoal Dana Talangan Lapindo

    Menyoal Dana Talangan Lapindo

    Firdaus cahyadi – Akhirnya pemerintah memutuskan memberikan dana talangan kepada Lapindo untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi, yang telah dibelokan menjadi jual beli aset korban lumpur itu. Sebuah media online pada tanggal 25 April 2011 lalu menuliskan, bahwa uang yang harus digelontorkan pemerintah untuk menalangi Lapindo sebesar Rp. Rp1,104 triliun. Dana talangan itu digelontorkan karena Lapindo mengaku tidak memiliki uang untuk menyelesaikan kewajibannya kepada korban lumpur.

    Setidaknya ada dua hal yang bisa dipersoalkan dalam kebijakan pemberian dana talangan terhadap Lapindo untuk menyelesaikan kewajibanya tersebut. Pertama, tentu saja adalah benarkah pihak Lapindo atau Group Bakrie memang sudah bangkrut sehingga tidak lagi memiliki uang untuk menyelesaikan kewajibannya?

    Pengakuan pihak Lapindo bahwa pihaknya tidak memiliki uang itu harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum dana talangan itu dikucurkan. Sebagai ilustrasi misalnya, menurut buku yang diterbitkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dengan judul ‘Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Huni’ menyebutkan bahwa PT. Lapindo Brantas ternyata menguasai 49 sumur pengeboran migas di Blok Brantas. Bahkan pada Februari 2011 lalu Lapindo berencana memperdalam pengeboran titik eksplorasi di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin. Titik eksplorasi itu hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat semburan lumpur.

    Tidak hanya itu, portal berita detik.com (1/5) menuliskan bahwa mayoritas saham Klub sepakbola asal Belgia, Royal Cercle Sportif Vise (CS Vise) kini dikuasai Keluarga Bakrie melalui PT Pelita Jaya Cronus. Klub tersebut resmi dibeli Pelita 15 April 2011. Dengan melihat fakta tersebut di atas mungkinkah Group Bakrie, termasuk Lapindo benar-benar tidak lagi memiliki uang sehingga tidak mampu menyelesaikan kewajibannya?

    Kedua, hal yang perlu dipersoalkan lagi adalah paradigma pemerintah dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo ini. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan paradigma bahwa kasus lumpur Lapindo akan selesai seiring dengan selesainya persoalan jual beli aset korban lumpur. Karena menggunakan paradigma itulah maka pemerintah mengambil jalan pintas untuk menalangi Lapindo untuk menyelesaikan kewajibannya.

    Dengan mengelontorkan dana talangan, pemerintah berkeyakinan bahwa kasus Lapindo akan segera selesai. Dan itu artinya tidak lagi menjadi beban politik pemerintah. Benarkah demikian? Ternyata tidak. Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo bukan hanya persoalan hilangnya rumah dan tanah warga yang ditenggelamkan lumpur. Semburan lumpur Lapindo juga telah menyebabkan hilangnya hak warga Porong atas pekerjaan, pendidikan yang layak, kesehatan dan lingkungan hidup.

    Coba simak, pada tanggal 14 April 2011 lalu misalnya, Aulia Nadira Putri, bayi usia 3,5 bulan meninggal dunia di Rumah Sakit (RS) Siti Hajar Sidoarjo, Jawa Timur. Bayi tak berdosa itu meninggal dunia karena diduga terlalu sering menghirup gas beracun dari lumpur Lapindo. Seperti ditulis oleh portal berita okezone.com, pihak RS Siti Hajar, mengungkapkan bahwa bayi tersebut menderita sesak napas karena udara lingkungan yang tidak sehat.

    Jarak rumah keluarga Aulia Nadira Putri memang hanya beberapa meter dari tanggul lumpur Lapindo. Tak heran dengan jarak sedekat itu gas beracun dari lumpur Lapindo tercium dari rumahnya. Bagi kesahatan orang dewasa, gas beracun itu bisa berakibat fatal, apalagi bagi seorang bayi berusia 3,5 bulan yang sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna seperti orang dewasa.

    Penyelesaian Semu

    Sebelumnya, pada tahun 2008 telah muncul surat rekomendasi Gubernur Jawa Timur tanggal yang menyebutkan bahwa tingkat hidrokarbon di udara kawasan Porong, Sidoarjo yang telah mencapai 55.000 ppm. Padahal ambang batas normalnya hanya 0,24 ppm.  Kandungan hidrokarbon yang sedemikian tinggi dapat mengakibatkan sesak nafas bahkan tercekik pada manusia. Pada kandungan 1000 ppm saja, paling lama 8 jam waktu yang aman untuk terpapar gas ini.

    Polusi udara di Porong, Sidoarjo pun tercermin dari meningkatnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Data Walhi Jawa Timur  menyebutkan bawa pada tahun 2006, saat munculnya semburan Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, tapi pada tahun 2008 meningkat menjadi 46 ribu orang.

    Persoalan lingkungan hidup yang hancur dan gangguan kesehatan warga Porong seperti tersebut di atas tidak pernah diperhitungkan dalam mekanisme jual beli aset korban lumpur. Begitu pula persoalan anak putus sekolah, hilangnya pekerjaan dan persoalan sosial lainnya. Jual beli aset korban lumpur hanya berfokus pada aset fisik korban lumpur yang menjadi objek dagang.

    Paradigma bahwa persoalan lumpur Lapindo akan selesai dengan sendirinya seiring dengan selesainya proses jual beli aset ternyata bukan hanya diyakini pemerintah. Mantan petinggi Group Bakrie, Aburizal Bakrie pun memiliki paradigma seperti itu. Hal itu tercermin dalam pernyataannya pada kuliah tamu di Universitas Airlangga Surabaya (27/4). Ical, panggilan akrab Aburizal Bakrie, mengatakan bahwa tanggungjawab keluarga Bakrie dalam kasus Lapindo sudah hampir tuntas. Ia meperkirakan pada tahun 2012 soal jual beli aset korban lumpur telah tuntas.

    Pertanyaannya kemudian adalah jika kasus lumpur Lapindo dianggap selesai seiring dengan selesainya proses jual beli aset, lantas siapa yang akan bertanggungjawab terhadap hilangnya hak warga atas pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan lingkungan hidup akibat semburan lumpur Lapindo?

    Persoalan hilangnya hak warga di luar tanah dan rumah perlu diperhatikan dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Tanpa memperhatikan persoalan tersebut, penyelesaian kasus lumpur Lapindo tak lebih hanya sekedar penyelesaian semu. Setumpuk persoalan itu, cepat atau lambat, akan kembali mencuat setelah proses jual beli aset korban lumpur selesai. Dan itu artinya, pemerintah akan tetap dibebani kasus ini meskipun telah menggelontorkan trilyunan rupiah uang rakyat untuk menalangi Lapindo.

    (c) http://satuportal.net

  • Purwaningsih Menagih Janji

    Purwaningsih Menagih Janji

    Sidoarjo –  Dua warga Siring Barat yang menjadi korban gas metan pada Sebtember 2010 silam sampai kini kondisinya masih memperhatinkan. Purwaningsih salah satu korban, kedua kakinya masih terbungkus perban akibat luka bakar, sedangkan anaknya Devi Purbawiyanto kondisinya sudah sembuh tapi masih nampak bekas luka bakar di kedua tangan dan kakinya.

    Kini sudah delapan bulan berlalu, Purwaningsih masih belum bisa melupakan saat – saat dirinya digulung api di tempat tinggalnya di Siring Barat. Saat kejadian, dirinya dan anaknya sedang melihat televisi di warung miliknya yang letaknya tidak jauh dari semburan gas dan air lumpur di belakang rumah Okki Andrianto. Tiba – tiba saja api langsung masuk dari luar dan membakar dirinya dan anaknya Devi

    Saat dirawat  di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sidoarjo Devi telah dirawat selama 35 hari dan menjalani pencucian luka sebanyak tiga kali, sedang Purwaningsih menjalani pencucian luka sebanyak lima kali dan harus tinggal di RSUD selama 53 hari. Disaat kondisi Purwaningsih dan anaknya belum sembuh benar, pihak rumah sakit mendadak menyarankan mereka untuk pulang. “Saat di rumah sakit saya disarankan pulang padahal kondisi saya masih belum sembuh, saat itu saya minta jangan pulangkan dulu, tapi pihak rumah sakit memaksa memulangkan saya dan anak saya” ujar Purwaningsih menceritakan saat mereka dirawat di rumah sakit.

    Sehari setelah dipulangkan dari rumah sakit, kondisi Purwaningsih semakin memburuk, akhirnya dirinya harus di larikan ke Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya, di RKZ dirinya di bantu Jemaat gerejanya untuk biaya berobat, sebulan di RKZ dan menjalani operasi sebanyak tiga kali, dirinya terpaksa pulang karena tidak punya biaya lagi, selama di RKZ biaya pengobatanya mencapai 60 Juta lebih, keluarganya terpaksa menggadaikan rumahnya yang ada di Siring Barat seharga 50 Juta. “Saya di RKZ biaya sendiri, rumah saya, terpaksa saya gadaikan, dan dari hasil sumbangan teman Jemaat untuk menutupi biaya perawatan saya” cerita Purwaningsih.

    Penderitaan Purwaningsih tidak berhenti sampai disini, dirinya harus menjalani rawat jalan dua minggu sekali, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan saat melakukan rawat jalan. Sekali Rawat Jalan, Purwaningsih harus mengeluarkan biaya sebesar 500 – 700 ribu, jumlah uang yang sangat besar bagi keluarga Purwaningsih  karena suaminya tidak berkerja lagi setelah usaha toko sembakonya pailit pada 2007 silam.

    Yang semakin memedihkan lagi adalah ketika Purwaningsih mengingat saat Saifullah Yusuf wakil Gubernur  disertai Asisten Kesejahteraan Masyarakat Pemprov Jatim, Edy Purwinarto, Dirut RSU Dr Soetomo, Slamet R Yuwono dan Kepala Dinkes Jatim, Pawik Supriadi menjenguk dirinya di RSUD Sidoarjo, dan menjanjikan akan menangung biaya pengobatan sampai dirinya sembuh “Saat di rumah sakit rombongan Wakil Gubernur menjanjikan akan menanggung biaya pengobatan saya sampai sembuh, tapi setelah pulang dari Rumah Sakit Umum tidak ada yang melihat kondisi saya” ungkapnya.

    Tidak hanya wakil Gubernur yang menjanjikan menanggung biaya pengobatan Purwaningsih, Bupati Sidorjo yang saat itu dijabat Win Hendarso dan wakilnya, Saiful Ilah juga menjanjikan hal yang sama. “Saya berharap wakit Gurbernur dan Bupati Sidoarjo, memenuhi janji – janjinya untuk membiyai pengobatan saya sampai sembuh, apalagi sekarang kami tidak punya biaya lagi, barang – banrang saya sudah habis terjual untuk biaya berobat” ugkap Purwaningsih.

    Demikian pula Devi, anak Purwaningsih juga masih berharap, pemerintah yang pernah menjanjikan biaya pengobatan dirinya dan ibunya benar-benar memenuhi janji –  janjinya, dan rencanaya dirinya akan mendatangi Bupati Sidoarjo, untuk meminta bantuan atas biaya pengobatan ibunya “Papa saya pernah ke Bupati tapi tidak ketemu dengan Bupati. Saya berharap Pak Bupati mau melihat kondisi Ibu saya yang membutuhkan biaya besar untuk berobat, karena Pak Bupati dulu pernah berjanji menanggung biaya pengobatan ibu saya, “ Ungkap Devi. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Lumpur Penimbun Nurani

    Lumpur Penimbun Nurani

    dr. Egha Zainur Ramadhani – Entah apa yang ada dalam benak mereka. Ketika sekelompok warga, menarik perhatiannya, dan menuntun kendaraan yang ditumpanginya untuk singgah di dekat gundukan tanggul yang tinggi itu.

    Entah apa yang terasa, saat orang-orang itu mengantarnya berkeliling, menceritakan asal-muasal berhektar-hektar lumpur di hadapannya, sembari menyelipkan sebuah pesan, “kami tak tergoda dengan cicilan ganti rugi itu, selama keadilan belum kami rasakan”.

    Boleh jadi sebuah memori saat ia berkeras mengatakan banjir lumpur ini bermula dari gempa jogja terlintas kembali. Boleh jadi lobby-lobby dengan pemerintah dan pihak-pihak lain yang gencar dilakukannya kala itu muncul di benaknya. Atau, boleh jadi kepalanya hanya mengangguk-angguk tanpa makna, mengingat lumpur di hadapannya juga tengah merendam nuraninya. Boleh jadi…

    Sejarah mencatat, inilah salah satu tragedi kontrovesial yang belum berujung, semenjak kemunculannya pada pertengahan 2006 lalu. Tak hanya ‘mengusir’ paksa ribuan orang dari 3 kecamatan; sendi perekonomian, kesehatan, dan akses beberapa wilayah di Jawa Timur juga terpengaruh.

    Jika kemudian bencana ini kini terlihat terhenti, sesungguhnya itu hanyalah kamuflase belaka. Kamuflase yang terjadi saat tatapan mata terhadang oleh tingginya tanggul. Kamuflase saat melihat lumpur di dalamnya seolah telah mengendap. Kamuflase yang semoga tidak memburamkan sisi kritis kita. Karena kenyataan yang ada berkata lain.

    Tanggul penahan itu hanyalah solusi sementara. Fakta menunjukkan, rentetan kejadian yang di alami penduduk di sekitar tanggul menjadi bukti masih aktifnya efek lumpur ini. Beberapa bangunan di dekat tanggul menjadi tak layak huni karena kerusakan struktur dan pondasinya. Rasa air sumur yang pahit juga kiat menguatkan hal tersebut.

    Maka, sungguh ironi ketika menengok kembali asal muasal lumpur maut ini, dan menyandingkannya dengan akibat yang ada kini. Sangat ironi karena ulah manusia ada didalamnya.

    Berawal dari sebuah perusahaan bertajuk Lapindo, anak perusahaan grup konglomerat di negeri ini, yang mengebor ranah Minyak dan Gas Bumi (migas) berdasar klausul Kontrak Kerja Sama dengan pemerintah di Blok Brantas. Disinyalir, ada tindakan di luar prosedur kala itu yang baru diketahui kemudian. Lapindo diduga ‘sengaja menghemat’ biaya operasional dengan tidak memasang casing (selubung bor). Pemasangan selubung ini termasuk dalam standar operasional dalam pengeboran migas.

    Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing memang berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun, ceritanya lain jika dilihat dari perspektif keamanan dan keselamatan lingkungan. Dan, benar saja, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali di wilayah penambangan tersebut.

    Kambing hitam segera dicari. Gempa Jogja yang belum lama terjadi ditunjuk menjadi penanggungjawabnya. Alhasil, segeralah teori semburan pasca gempa dimaklumatkan untuk mencari permakluman.
    Pada awalnya teori yang seolah logis ini dapat merasuk ke dalam opini masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kelogisan teori ini dipertanyakan. Puncaknya, dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition yang dilaksanakan di Afrika Selatan, terkuak data sesungguhnya. Kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dan dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli:

    “3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA JOGJA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PENGEBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pengeboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini”.

    Siapa Menanam, seharusnya dia yang Menuai. Hanya, faktor ‘kuasa’ dan ‘kekuasaan’ kadang memberi pengaruh lain. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan ‘bersertifikat’ untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo). Sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak.

    Bisa dibayangkan, bagaimana dengan warga yang belum bersertifikat, mengingat proses sertifikasi tanah itu sendiri belum merata? Bagaimana pula dengan wilayah bencana yang terus meluas ini, masihkah ditanggung APBN di kelak kemudian hari?

    Apalagi sebuah penelitian ilmiah oleh Richard Davies dan peneliti lainnya, yang diterbitkan dalam Journal of the Geological Society, memprediksi semburan ini masih akan berlangsung sekurang-kurangnya dalam 26 tahun ke depan.

    Semoga napas kesabaran ini masih cukup panjang menghadapinya. Ahh… Kadang jadi berandai-andai, alangkah nikmatnya saat punya ‘teman’ berkuasa. Kesalahan yang ada bisa dipoles dan dibebankan pada negara, toh saya juga adalah warga negara.

    (c) www.satuportal.net
    Lomba Artikel 5 Tahun Kasus Lapindo, Lumpur Penimbun Nurani

  • Sekolah Tenggelam, Ujian Nasional Numpang

    Sekolah Tenggelam, Ujian Nasional Numpang

    32 siswa MA Khalid bin Walid mengikuti ujian nasional di rumah kepala sekolahnya di Desa Glagaharum, Porong, Sidoarjo. Hal ini dikarenakan gedung sekolah utama di Desa Renokenongo terendam lumpur sejak 24 Oktober 2008 silam.

    Sudah dua kali MA Khalid bin Walid menyelenggarakan UAN di luar gedung utama. Pada tahun 2009, sekolah ini mengadakan UAN di toko bahan bangunan dan tahun ini di rumah kepala sekolahnya yang berjarak 50 meter dari toko bahan bangunan.

    Salah satu siswa, Ika Fatma Riawanti (18) mengakui kalau rumah tempat belajarnya sekarang sangat tidak memenuhi standart untuk proses belajar mengajar. Ika juga berharap supaya pihak terkait merelokasi sekolahnya agar adik kelasnya nanti bisa melaksanakan UAN di gedung sekolah yang layak. (fahmi)

    This slideshow requires JavaScript.

  • Bapepam-LK panggil Dirut Bumi

    Bapepam-LK panggil Dirut Bumi

    Jakarta, Bisnis.com – Bapepam-LK memanggil Dirut PT Bumi Resources Tbk terkait transaksi akuisisi tiga perusahaan batu bara senilai Rp6,18 triliun.

    “Pak Ari [Dirut Bumi, Ari S Hudaya] sudah kami periksa pekan ini,” ujar Kabiro Pemeriksaan dan Penyedidikan Bapepam-LK Sarjito kepada pers hari ini.

    Dia menjelaskan tidak tertutup kemungkinan dilakukan pemeriksaan terhadap direksi atau komisaris Bumi yang lain apabila diperlukan.

    Transaksi pembelian saham PT Pendopo Energi Batubara, PT Darma Henwa Tbk dan PT Fajar Bumi Sakti dilakukan pada akhir tahun lalu.

    Bapepam-LK mengindikasikan harga transaksi itu terlalu di atas harga pasar sehingga perlu diadakan pemeriksaan untuk membuktikan dugaan itu. (tw)

    Irvin Avriano

  • Siaran Pers: Korban Lumpur Menuntut Presiden Bersikap Tegas terhadap Lapindo

    Lapindo telah melewati batas waktu. Saat ini, masa kontrak rumah kami habis, dan Lapindo belum melaksanakan perintah Perpres tersebut. Kami terusir lagi dari rumah kontrakan. Sampai hari ini, setidaknya 1.254 kepala keluarga Desa Kedungbendo, Jatirejo, Renokenongo, Siring terbengkalai. Lapindo harus bertanggung jawab. Presiden harus tegas. Apalagi, ahli geologi dunia sudah menyatakan bahwa semburan lumpur yang melenyapkan kehidupan kami adalah akibat dari kesalahan pemboran Lapindo.

    Pada Konferensi Internasional di Cape Town, Afrika Selatan, yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG), 42 ahli geologi dunia menyatakan lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh kesalahan pemboran dan hanya 3 ahli yang berpendapat karena gempa bumi Yogyakarta dua hari sebelumnya. Begitu pula, Kepolisian Daerah Jawa Timur sudah berkeyakinan bahwa Lapindo salah dalam pemboran.

    Terlebih lagi, pada 29 Agustus 2008 lalu, kami telah dimediasi Komnas HAM dengan pihak-pihak Menteri Pekerjaan Umum, Departemen Sosial, Badan Pertanahan, dan Badan Pelaksana BPLS, di mana pihak-pihak tersebut menyepakati bahwa pola pembayaran 80 persen harus tetap dilaksanakan dalam bentuk tunai (cash and carry). Tanah warga yang bukti kepemilikannya Letter C, Pethok D, dan SK Gogol dinyatakan tetap bisa dibuat akte jual beli (AJB). Namun demikian, Lapindo selalu mangkir bahwa tanah dan bangunan tersebut tidak bisa di-AJB-kan.

    Di media, Lapindo kerap melakukan kebohongan, selalu memutar balikkan fakta-fakta tersebut. Ini membuat semakin beratnya tekanan psikologis kami. Lapindo bertindak seakan-akan tanggung jawabnya bukanlah merupakan ketetapan yang diatur oleh Peraturan Presiden, melainkan sekadar sekadar sedekah yang bisa diberikan dan bisa tidak. Ini menyakitkan hati kami.

    Karena itu, Presiden harus melindungi hak kami, warga negara Indonesia, dari kelaliman perusahaan besar Lapindo Brantas. Jika Presiden tidak mampu melindungi hak-hak kami, tidak mampu menegakkan Peraturan Presiden yang dibuatnya sendiri, kami tidak tahu apakah masih ada artinya seorang presiden di Republik ini.

    Jakarta, 11 November 2008
    Korban Lumpur Lapindo (Kedungbendo, Jatirejo, Siring, Renokenongo)

    Kontak:
    Warga, Hari Suwandi 081913805688
    Pengacara, Abdul Haris: 08811853990
    Pendamping, Paring Waluyo Utomo: 085648286843

    Humas Warga: 
    Mardiansyah 081 750 016 163
    Dawam Riyadi  081 331 789 937
    Suwarno 0888 35 33 968
     

  • Batal Dibayar 20%, Pengungsi Pasar Baru Tutup Tanggul

    “Kami hanya ingin bersilaturahmi dan mengenang saat-saat kami masih di desa ini, sekaligus meminta kejelasan kapan 20%nya akan dibayar?” tutur Sunoko, warga Renokenongo. “Kami hanya hanya dapat kertas, tulisan surat bukti pembayaran (Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang ditandatangani 16 September 2008). Katanya uang akan cair 2 minggu lagi. Namun setelah kami cek lagi rekening kami masih kosong. ”

    Data soal berapa jumlah warga Renokenongo yang belum dibayar 20% simpang siur. Menurut warga ada sekitar 1000 kepala keluarga belum mendapatkan pembayaran. Namun menurut Ahmad Zulkarnaen, humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, ada 495 berkas permohonan pembayaran yang masuk bulan Agustus 2008. Yang jelas semua berkas ini belum dibayar.

    Pihak BPLS yang kami mintai konfirmasi mengenai hal ini menyatakan telah melakukan pendekatan terhadap warga untuk menyelesaikan masalah ini, “warga Renokenongo pada bulan Juli 2008 telah kami mintai data aset untuk selanjutnya kami verifikasi dan diserahkan ke fihak PT Minarak Lapindo Jaya,” ujar Zulkarnain selaku Humas BPLS.

    Warga selanjutnya menyerahkan berkas mereka pada pertengahan Agustus untuk dilakukan verifikasi oleh pihak BPLS. Ada sebanyak 495 berkas warga yang diterima oleh pihak BPLS. Proses verifikasi sendiri berjalan hingga pertengahan september 2008. Tanggal 16 september 2008 terjadi Ikatan jual beli antara warga dan pihak PT MLJ. “ Proses pembayaran sendiri harusnya dilakukan paling lambat 10 hari setelah terjadinya ikatan jual beli terjadi. Kami telah menghimbau kepada warga bahwa dalam ketika proses pembayaran sedang berlangsung penanggulan juga akan tetap dilaksanakan. Tapi setelah lebih dari satu bulan warga tidak dibayar juga, akhirnya mereka melakukan penutupan tanggul.” Lanjut Zulkarnain.

    PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar dari PT Lapindo Brantas menyatakan, terlambatnya proses pembayaran diakibatkan oleh terjadinya krisis keuangan global yang berdampak pada perusahaan induk mereka. Pernyataan itu dikeluarkan oleh PT MLJ ketika dimintai konfirmasi oleh pihak BPLS mengenai keterlambatan proses pembayaran ini. “Kami ini orang kecil pak, gak ngerti sama krisis global-krisis global yang dibilang sama orang-orang itu. Kami hanya ingin hak kami yang 20 % dibayar dulu, biar bisa dingin hati warga ini.” Ujar Darto, 50 tahun, salah seorang warga yang ikut aksi penutupan tanggul.

    Sebelumnya warga juga mendapat pernyataan akan mendapatkan tambahan jatah hidup untuk satu bulan ketika proses pembayaran telah lewat dari waktu yang ditentukan. “Tapi sampai satu setengah bulan waktunya sudah lewat kami tetap tidak dapat apa-apa sama sekali. Itu yang ngomong pak Suliyono, orang BPLS juga” lanjut Darto. Menurut Zulkarnain ketika kami konfirmasi, seharusnya memang ada pemberian tambahan jatah hidup selama satu bulan ketika terjadi keterlambatan proses pembayaran. “Aturannya memang PT MLJ memberikan tambahan jadup ketika pembayaran 20% itu belum juga terbayar dua minggu setelah terjadi ikatan jual beli. Di pasar baru porong sendiri ada sekitar 2000 jiwa yang tinggal. Jadi PT MLJ harus mengeluarkan dana sekitar 600 jutaan untuk membayar jadup untuk satu bulan.” Ujar Zulkarnain.

    Warga sendiri bertekad untuk tetap menduduki tanggul hingga uang pembayaran sebesar 20 persen itu cair. “Kami kurang apa lagi, Pak? kami sudah nurut banget. Ditawarkan resettlement, kami ikut. dilarang demo, kami gak ikut-ikut demo. Tapi sekarang kami ditipu lagi, kami selama ini merasa tidak diperlakukan secara manusiawi. Mana keadilan sosial bagi warga indonesia itu?”ungkap Darto.
    Warga tidak akan membiarkan penanggulan dilanjutkan hingga ada kejelasan mengenani pembayaran 20 persen kapan akan dibayarkan, “saya ini sudah 55 tahun, sudah bau tanah. Tapi sebelum saya mati, saya musti berjuang mempertahankan hak-hak kami. Kalau seperti ini terus, sampai mati pun saya tidak akan terima. Arwah saya akan datangi Si Bakrie itu, saya mintai dia pertanggungjawaban,” tandas Darto. [mas]
     

  • GMKI Mendukung Korban Lapindo

    Meski pola pembayaran 20%-80% telah diatur dalam perpres 17/2007 namun Lapindo hanya membayar 20 % dan itupun baru sebagian yang dibayar sementara yang 80% belum sama sekali dibayar. Beruntung Novik telah menerima 20 % dan dia mengisahkan bagaimana Lapindo mangkir; 80% yang mustinya dibayar setelah uang kontrakan abis beberapa bulan lalu hingga kini belum dibayar. Presiden sebagai pihak yang mengeluarkan Perpres diam saja ketika Lapindo Brantas mengingkari skema ini.

    “Hampir tiga tahun kami ditelantarkan, tanpa ada kepastian kapan kami bisa kembali hidup normal seperti dulu” tutur Novik.

    Kondisi warga luar peta tak kalah buruk, Iwan misalnya, harus banyak rugi ketika tambaknya semakin lama semakin turun produksinya. Kondisi buruk ini, yang bikin Iwan geram dan memaki ketidakmampuan pemerintah melindungi warganya.

    “Bagi saya Presiden sudah tidak becus melaksanakan tugasnya” kata Iwan dengan nada tinggi. Iwan juga menantang mahasiswa yang ada disitu untuk terlibat dalam penanganan permasalahan korban Lapindo. “Kalau memang takut untuk bergerak membantu perlawanan korban Lapindo, lebih baik tanggalkan status kemahasiswaan kalian”.

    Peserta Kongres sendiri pada sesi tanya jawab, lebih banyak memberikan dukungan bagi perjuangan korban Lapindo, bagi mereka duka korban Lapindo adalah duka Indonesia, karena itu perjuangan Korban juga mesti didukung oleh semua elemen bangsa tidak terkecuali mahasiswa yang telah terlanjur dicap sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

    Panitia Kongres ini, Yordan Batara-Goa ketika dimintai konfirmasi, menyatakan dukungannya terhadap perjuangan korban. “Saya juga berharap dalam forum kongres ini, dimunculkan hasil yang bisa memberi solusi bagi pergumulan warga yang menjadi korban.” [re/mam]

     

  • Kompas – World Urban Forum Digelar di Nanjing

    World Urban Forum IV mendiskusikan enam sub tema yaitu “Territorial Balance in Urban Development”, “Promoting Social Equity and Inclusiveness”, “Making Citis Productive and Equitable”, “Harminizing the Built and Natural Environments”, “Preserving the Historical Roots and Soul the City”, and “A City for All Generations”.

    Executive Director UN-HABITAT Dr Anna Tibaijuka mengungkapkan, World Urban Forum bermanfaat untuk melakukan promosi interaksi dan dialog antara stakeholder kota, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta.

    Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Djoko Kirmanto dijadwalkan akan membawakan topik “Safe and Productive Cities” dalam WUF IV hari Rabu (5/11) pagi besok.

    Korban Lapindo Ikut Pameran WUF

    Pameran WUF IV digelar di Nanjing International Expo Center, Nanjing, China. Salah satu yang ikut berpameran adalah korban Lapindo. Winarko, Koordinator Masyarakat Sipil untuk Korban Lapindo yang ditemui di sela-sela Pameran WUF IV mengatakan, keikutsertaan korban Lapindo dalam pameran forum perkotaan dunia ini untuk menyadarkan masyarakat global tentang lenyapnya tempat tinggal warga akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

    Winarko yang datang bersama dua warga yang juga korban Lapindo membagikan brosur dan video yang berisi informasi tentang fakta lumpur Lapindo. Data terakhir menyebutkan, 75.000 orang dari 17.000 keluarga yang terusir akibat desa mereka terendam lumpur Lapindo.

    “Kami ingin PBB dan LSM internasional mendorong pemerintah Indonesia bertindak lebih tegas terhadap perusahaan Lapindo dan menyelesaikan persoalan ini,” kata Winarko.

    “Kami menuntut pemerintah menghentikan semburan lumpur dan memaksa Lapindo mengganti kerugian warga, serta memulihkan lingkungan di sekitar, termasuk memulihkan kehidupan masyarakat. Forum WUF sangat pas karena di sini banyak orang dari berbagai dunia hadir,” katanya.

  • Hujan Datang, Glagaharum Tak Tenang

    Kepanikan ini makin menjadi kalau hujannya turun malam hari. “Tidur tak nyenyak, kita harus jaga-jaga,” tutur Nuryadi (38 tahun), koordinator warga Glagaharum. Jarak antara Glagaharum dan tanggul 300 meter. “Sekarang tanggul sudah sampai perbatasan Renokenongo dan Glagaharum, kan sudah sangat dekat dengan rumah warga yang belum masuk peta” lanjutnya.

    Meski kecemasan meliputi seluruh warga desa namun hanya 15 RT dari Glagaharum yang masuk dalam peta terdampak dan ini membuat kecemburuan antar warga.

    Tak hanya itu, semburan lumpur lapindo juga telah merusak sungai dan saluran irigasi desa Glagaharum. “Sudah tertutup tanggul semua sungai-sungainya” sambung Nuryadi. Dengan tidak berfungsinya sungai dan saluran desa ini, potensi banjir semakin besar untuk warga, meski secara sekilas kelihatan aman, desa Glagaharum menyimpan potensi bahaya bagi warganya. Warga berharap nasib mereka ini segera diperhatikan “Setidaknya ada kejelasan soal jaminan keselamatan kami ini” kata Nuryadi yang masih terus belum tahu mengapa pemerintahnya abai terhadap keadaan warga yang telah terundung bencana ini. [re]

  • Lapindo Mangkir, Nasib Pengungsi Pasar Baru Kian Tak Menentu

    Kabar yang beredar antar pengungsi simpang-siur. Sajis (54 tahun), warga Renokenongo yang kini mengungsi di pasar baru, mendapat kabar kalau PT. Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang menangani pembayaran, kehabisan dana untuk pembayaran ini. Sajis menandatangani PIJB pada 16 September 2008 dan dalam PIJB Minarak harusnya membayar dua minggu setelah penandatanganan.

    Meski mangkir membayar, Minarak Lapindo tak bikin pernyataan resmi atau permintaan maaf kepada korban yang tak menentu nasibnya setelah terusir dari desa mereka dua tahun lebih.

    Lapindo bikin surat resmi soal kesulitan dana ini tapi hanya ditujukan pada Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) dan ditembuskan ke Gubernur Jawa Timur dan Lapindo Brantas Inc. Dalam surat yang ditandatangani Bambang Mahargyanto, Direktur Utama Minarak Lapindo, menyebutkan Minarak tak bisa membayar karena kesulitan duit dan meminta BPLS supaya menekel tugas mereka terutama yang berkaitan dengan korban. Surat itu dibikin tanggal 28 Oktober 2008.

    Di pengungsian pasar baru Porong ada 420 berkas kepemilikan tanah yang belum mendapatkan 20 persen ganti rugi sesuai dengan peraturan presiden (14/2007). BPLS, yang dibentuk pemerintah untuk menangani lumpur Lapindo. Alih-alih membela warga yang terlantar nasibnya dan memperingatkan Minarak Lapindo supaya segera membayar malah sebaliknya menjadi corong Minarak. Pada Minggu (2/11) BPLS sibuk menjelaskan kondisi Minarak Lapindo pada pengungsi. Sementara Lapindo yang tidak membayar tak ada sepatah kata maaf buat warga yang kecewa.

    Ahmad Zulkarnaen, humas BPLS, kembali mengobral omong kalau BPLS tidak tutup mata terhadap masalah ini. Ketika ditanya kapan warga akan dibayar, “kami akan usahakan, tapi tidak bisa memastikan kapan.”

    Para pengungsi ini yang sejak Mei lalu dicabut jatah makannya oleh Minarak Lapindo tak tahu lagi musti bagaimana mendapatkan hak mereka. Dan karena penanganan kesehatan yang tak serius banyak diantara mereka yang jadi gila. “Ada sekitar tujuh orang yang berperilaku aneh,” tutur Giyanti, salah seorang pengungsi, karena tak ada pemeriksaan resmi Giyanti tak berani menganggap mereka gila.[re/mam]

  • Koran Tempo – Jangan Hambat Kasus Lapindo

    Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

    Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

    Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

    Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan “well kick” terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

    Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

    Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.[Editorial Koran Tempo, 31/10]

  • AAPG Day 2: showdown at the Lusi corral

    Things were a bit different from the other sessions at this conference: photographers and cameramen were roaming the room, and on my way in I had a press release from Lapindo Brantas thrust into my hands, informing me that most of the previously reported findings were based on ‘incorrect data’, and that this would be the first time ‘official data’ were presented to the scientific community. It transpired that this was also stretching the truth a bit; as the session unfolded it became apparent that this was more an issue of which data (specifically, which of the various measurements and estimates of borehole pressure) should be used, and how to interpret them. Contrary to their own press office, then, Lapindo Brantas – to their credit – seem to have been quite open about sharing their records with any interested party, even if they might disagree with how it is then used.

    The debate consisted of two talks from the pro-earthquake camp, followed by questions, then two talks from the pro-drilling camp, followed by more questions and a general discussion, ending with a poll of the audience. Below I’m summarising from notes I took during the session; as such, there may be some unintentional inaccuracies.

    First up was Adriano Mazzini, who reviewed his arguments that the eruption was the result of the Yogyakarta earthquake reactivating a pre-existing fault that runs through the area. Main points:

    • There is clear evidence of displacement along this fault after the eruption, and other small mud eruptions also occurred along its trace at the time Lusi erupted. This does indeed signal that this fault acted as a conduit for upwelling fluids.
    • However, the question of what triggered this trigger – the ultimate cause of the fault suddenly becoming an open pathway for mud – is still open. The timing of the fault reactivation is not known, so it could just as easily have been the result of stresses induced by a nearby well blow-out as by an earthquake. In support of the latter, pressure losses in well at the time of the earthquake might indicate that there were measurable stresses being induced in the subsurface, more than is assumed by the pro-drilling camp.
    • Lusi’s eruption has been abnormally lengthy; natural mud volcano eruptions tend to last a few days (and in this respect it seems that Lusi also differs from the other eruptions in the area he talked about, which were further from the borehole). It might be something to do with this being an entirely new system, but it could just as easily be a sign of unnatural influences on the triggering of the eruption.
    • This area of Indonesia is “ideal”, both in terms of prevailing tectonic, structural and lithological conditions, for the formation of mud volcanoes, and the existence of a highly suitable ‘piercement structure’ (the fault) in the area meant that an eruption was only a matter of time. This last point would become important in the later discussion.

    The next speaker, from Lapindo Brantas, was the person who oversaw the borehole, which mades his slightly defensive tone entirely understandable. The talk aimed to use data from the borehole to demonstrate that a blow-out had not occurred.

    • The most important claim was that there was no evidence of the well being connected to Lusi’s plumbing, which you would expect if a well blow-out was the trigger. For example, following the eruption of Lusi they performed an “injection test”, where drilling mud was pumped into the borehole. As they did this, the pressure in the well slowly built up, which can only happen if the well is sealed; if there was a breach in the well, the fluid would escape.
    • The pressure losses at around the time of the earthquake talk prompted the decision to case the unsealed part of the borehole before drilling deeper. As they were puling out the drill string to do so on the 28th May, there was a ‘kick’ in the hole – an increase in pressure due to fluid entering from the surrounding rock. The pressure increase from this kick, and whether it was enough to trigger a blow-out, is one of the major sticking points of this whole argument.
    • The pro-drilling people have published calculations that indicated that it was more than high enough to trigger a blow-out. It was claimed here that these calculations were performed incorrectly, and should give much lower (and safe) pressures. I can’t claim enough expertise to tell if these criticisms were valid or not.
    • Either way, borehole records after the kick are inconsistent with it being the result of a well blow-out.

    The first speaker from the pro-drilling camp, Mark Tingay, gave a very nice presentation which actually addressed the pros and cons of both theories, although he was clear which he favoured.

    • Earthquake reactivation of the fault seems unlikely from the calculated differential shear stresses it induced in the area around Lusi (for more details you can read Maria’s post on this, since she was involved in this study). He had a nice plot to illustrate this point, which I reproduce schematically here.

      lusidebatefig.png

      Basically, the earthquakes which are known to have triggered mud volcanism (green dots) were either larger and/or closer to the induced eruptions than Lusi was to the Yogyakarta earthquake (big red dot), and other seismicity in the area prior to the eruption (orange dots) appears to have induced similar, or in some cases greater, differential stresses. There is of course a lot of uncertainty about how strong the fault was (how large a differential stress you need to cause it to fail), but the point is that there was nothing special about the May 27th earthquake in terms of the force it exerted in the area.

    • The apparent disconnection of the well from Lusi could be due to the lower part being sealed off due to it being blocked by rock fragments from the blow-out (which is apparently quite common), or shearing.
    • The evidence following the kick is “unclear”, but the stresses that it induced were an order of magnitude larger than those due to the earthquake
    • This was a problematic hole, with lots of pressure losses and kicks, and the ‘drilling window’ – the range of pressures where the drilling mud will safely just sit there – was very narrow. This was a result of the well design being based on holes drilled through this sequence quite a distance away, where the underlying carbonates were not overpressured. However, in another well very close by, the carbonates were under extremely high pressure, and they almost lost that well to a blow-out when they hit them. By not taking this into account, it would have been nearly impossible to stop a blow-out following the kick.
    • There is a series of linear surface fractures leading between the well and the Lusi vent, which have not erupted any mud but are an indication of sub-surface fracturing.

    The final presentation was by Richard Davies, the person whose paper implicating the drilling kicked off my interest in this subject.

    • This talk was a review of the events in the well leading up to the Lusi eruption. It was a very good summary, but most of the points have been covered in my accounts of the previous speakers.
    • However, in the middle of the talk, proving that for every expert there is an equal and opposite expert, another (non Lapindo Brantas) drilling engineer came up to the stage to show us how all the well pressure data was consistent with the initial kick being due to a blow-out (I think that the main argument was that you had pressure losses after the hole was sealed).

    The discussion following the talks emphasised a couple of other points of disagreement, such as the shaking intensity in the Lusi region from the May 27th earthquake: the pro-drillers say I-II, pro-quakers claim IV. Mazzini also argues that the eruption is entirely sourced within the mudstones with the water produced by clay minerals reacting to form illite and water, whereas Davies et al. say that the water is mainly from the underlying carbonates. It is a lot of water, although I guess it would be hard to claim the earthquake would cause the carbonates to breach.

    However, more interesting was that several people picked up on the suggestion that this was clearly a prime area for mud volcano formation, and wondered quite loudly why the hell any drilling was being done there in the first place. To sum up the mood, one questioner complimented the second speaker for standing up there to defend the drilling, when it really should be the geologists who told him to drill there in the first place. It’s a good point; perhaps the focus should be less on the drilling practice on this specific well, because whatever your procedures and safety precautions, accidents can and do happen, and more on well siting decisions in general, particularly decisions to drill in “primed” areas like this one, where the margin for error is rather slim.

    This attitude might explain why in the closing straw poll, more than 50% of the audience was willing to blame the whole mess on the drilling. Only a tiny fraction thought that the earthquake was solely to blame, with roughly equal numbers of the remaining half either thinking it could have been both, or finding it inconclusive either way. In conclusion, it was a very interesting session, and was conducted in a very fair-minded and respectful manner given the contentious nature of the debate.

    Sumber: http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2008/10/aapg_day_2_showdown_at_the_lus.php?

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin