Author: Redaksi Kanal

  • Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi

    Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi

    Oleh Anton Novenanto

    PENULISAN ARTIKEL INI dipicu oleh sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan seorang kawan setelah membaca dua artikel saya yang dimuat di korbanlumpur.info beberapa waktu lalu (Novenanto 2015a, 2015b). Pertanyaan itu adalah, ‘darimanakah nominal dana talangan untuk Lapindo sebesar Rp 781 milyar itu bisa muncul dalam usulan APBN-P 2015?’

    Jawaban sederhana atas pertanyaan itu, tentunya, adalah ‘dari sisa kewajiban Lapindo membayar aset korban lumpur dalam peta area terdampak 22 Maret 2007’. Akan tetapi, nalar kritis rupanya tak berhenti di situ. Pertanyaan demi pertanyaan terus meluncur semakin deras. Berapakah total aset warga-korban? Adakah warga-korban yang sudah lunas sepenuhnya? Jika ya, berapa? Lalu, berapakah pula yang belum lunas? Apakah ada yang belum dibayar sama sekali? Seluruh pertanyaan itu menuntut suatu penelusuran elaboratif yang lebih serius.

    Dalam tulisan sebelumnya, saya berada pada suatu pendapat bahwa dana talangan untuk Lapindo baru menyentuh sebagian kecil dari seluruh korban lumpur Lapindo. Akan tetapi, saya belum pernah merinci siapa sajakah yang ‘sebagian kecil’ itu. Sebagai usaha untuk menjawab beberapa pertanyaan yang muncul belakangan itu, saya pun melakukan penelusuran ulang beberapa dokumen lawas, khususnya yang terkait posisi keuangan Lapindo dalam usahanya membayar kewajiban membeli aset (tanah dan bangunan) dari warga-korban.

    Alih-alih menemukan yang ‘sebagian kecil’ itu, hasil penelusuran saya justru menemukan beberapa kejanggalan terkait strategi politik-ekonomi kasus Lapindo, khususnya yang berhubungan dengan reduksi bertahap kewajiban Lapindo pada warga-korban. Kejanggalan-kejanggalan itu pun memperkuat suatu pendapat bagaimana keputusan politik yang diambil pemerintah terkait kasus Lapindo tidak lebih dari alat legitimasi bagi kepentingan politik-ekonomi perusahaan, yaitu menghindar dari kewajiban atas kasus lumpur Lapindo (Schiller et al. 2008), dan lagi-lagi rakyat Indonesialah yang harus menanggung kerugian terbesar dari keputusan pemerintah yang menguntungkan korporasi. Pada akhirnya, keputusan Dana Talangan untuk Lapindo merupakan suatu momentum pengambilalihan seluruh tanggung jawab atas bencana lumpur Lapindo dari Lapindo ke tangan pemerintah.

    ***

    KEWAJIBAN LAPINDO PADA warga-korban lumpur di Porong mengacu pada Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dikeluarkan tanggal 8 April 2007.

    Ayat 1 Pasal 15 Perpres 14/2007 tertulis:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat [miring ditambahkan, AN] yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah [miring ditambahkan, AN] yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.

    Berdasarkan butir tersebut, pemerintah memerintahkan Lapindo untuk membeli aset (tanah dan bangunan) warga. Akan tetapi, terdapat satu—di antara beragam—kejanggalan, yaitu ketiadaan nominal nilai tukar aset yang harus dibayarkan oleh Lapindo pada warga-korban. Hanya disebutkan bahwa pembayaran dilakukan seperti yang dilakukan terhadap peta area terdampak 4 Desember 2006 (selanjutnya, ‘Peta 4 Desember’). Klausul ini tertulis jelas pada Ayat 2 Pasal 15:

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006 [miring ditambahkan, AN], 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka [sic] dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis [miring ditambahkan, AN].

    Peta 4 Desember merupakan lampiran dari surat Lapindo kepada Timnas tanggal 4 Desember 2006 (selanjutnya, ‘Surat 4 Desember’). Melalui surat itu, Lapindo menyatakan kesanggupannya untuk membayar warga di empat desa sebagai ‘bentuk kepedulian sosial dan tanggung jawab moral’ perusahaan. Disebutkan bahwa nilai tukar aset adalah sebagai berikut: Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah pekarangan, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan, dan Rp 120 ribu per meter persegi tanah sawah. Tertulis dalam surat itu, ‘harga tersebut adalah kemampuan maksimal yang dapat kami [Lapindo, AN] tawarkan’.

    Jika kita membaca teliti isi Surat 4 Desember dan membandingkannya dengan butir-butir Pasal 15 Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan beberapa persamaan. Misalnya, dalam Surat 4 Desember dituliskan ‘jual-beli dilakukan dengan akta jual-beli dengan mendasarkan kepada bukti kepemilikan yang sah atas tanah,’ bandingkan dengan Ayat 1 Pasal 15 terkutip di atas. Contoh lain, Surat 4 Desember menyebutkan, ‘pelaksanaan pembayaran dilakukan sebelum berakhirnya masa sewa 2 (dua) tahun,’ bandingkan dengan Ayat 2 Pasal 15 terkutip di atas.

    Sebuah klausul penting dalam Surat 4 Desember namun tidak muncul dalam Perpres 14/2007 adalah opsi relokasi. Bila kita hanya mengacu pada Perpres 14/2007 saja, seolah-olah jual-beli adalah satu-satunya jalan keluar bagi masalah sosial yang dihadapi korban lumpur Lapindo. Dalam Surat 4 Desember itu, Lapindo menawarkan untuk merelokasi warga-korban ke ‘Kawasan Sidoarjo Baru’. Di kawasan itu Lapindo berjanji akan disediakan juga fasilitas umum, seperti sekolah, puskesmas, fasilitas olahraga, mesjid, balai desa dan lahan pemakaman.

    Surat 4 Desember memicu reaksi dari warga yang wilayahnya sudah terendam lumpur Lapindo tapi tidak dicantumkan dalam Peta 4 Desember. Mereka adalah warga yang baru terkena dampak luapan lumpur Lapindo pasca ledakan pipa Pertamina, 22 November 2006. Mereka menghendaki agar Lapindo juga turut bertanggung jawab atas kerugian yang dideritanya. Bersamaan dengan itu, sebagian besar korban lain menganggap Surat 4 Desember tidak memiliki ikatan hukum yang kuat dan oleh karenanya pemerintah perlu menerbitkan payung hukum yang mengatur proses jual-beli aset warga-korban oleh Lapindo. Dalam konteks inilah, pemerintah melakukan revisi peta area terdampak dan menerbitkan peta baru yang dirilis tanggal 22 Maret 2007 (selanjutnya, ‘Peta 22 Maret’). Menyusul kemudian penerbitan Perpres 14/2007 yang mengacu pada peta tersebut sebagai dasar penghitungan kewajiban yang harus dibayarkan Lapindo pada warga-korban.

    ***

    HASIL PENELUSURAN DOKUMEN yang saya lakukan menunjukkan bahwa basis data penghitungan nilai jual-beli aset, yang kemudian diklaim sebagai ‘kompensasi’ pada korban, adalah jumlah berkas yang diklaimkan ke Lapindo. Basis data semacam ini meniadakan faktor manusia, yang dihitung sebagai ‘korban’ adalah tanah dan bangunan yang terendam lumpur Lapindo mengingat atas dasar itulah nilai ‘kompensasi’ ditentukan. ‘Kompensasi’ atas bencana lumpur Lapindo tidak mengindahkan faktor manusia dan hanya mengutamakan luas/fungsi tanah dan bangunan yang hilang. Bahkan, harta-benda lain yang turut tenggelam juga tidak pernah dianggap sebagai sebuah kerugian yang harus diganti oleh Lapindo. Oleh karena itu, untuk berpikir tentang kerugian atas hilangnya jalinan sosial-budaya masyarakat dan kenangan atas segala yang-pernah-Ada masih jauh dalam benak para pengambil kebijakan di negeri ini.

    Dalam praktiknya, mekanisme ‘jual-beli’ semacam itu memunculkan beragam ketidakadilan, namun hal itu tidak menjadi bahasan utama tulisan ini karena data tentang itu perlu mengacu pada temuan-temuan di lapangan. Penelusuran dokumen hanya bertujuan mencari kalkulasi ekonomis dan dengan begitu kita dapat membongkar sebagian kepentingan politis yang melatarbelakanginya.

    Untuk melakukan kewajibannya pada warga, Lapindo mendirikan perusahaan baru bernama Minarak Lapindo Jaya (selanjutnya, ‘Minarak’). Dari Laporan Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) (Richard 2011: 90–94), kita dapat mengetahui bahwa sampai Januari 2011 total berkas klaim yang masuk ke Minarak adalah 13.237 berkas dengan total nilai tukar aset mencapai Rp 4.056,4 milyar (lihat Tabel 1). Dari seluruh berkas itu 79 berkas belum lolos verifikasi oleh BPLS terdiri dari 12 berkas yang masih dalam proses verifikasi, 64 berkas masih sengketa kepemilikan atau jenis aset (tanah sawah, tanah pekarangan atau bangunan), dan 3 berkas di tangan polisi. Nilai tukar ke-79 berkas itu mencapai Rp 257,3 milyar. Dengan demikian, sampai Januari 2011 terdapat 13.158 berkas yang sudah lolos verifikasi BPLS dan dari jumlah itu ada 15 berkas yang belum terikat oleh Ikatan Jual-Beli (IJB) dengan Minarak. Ini berarti terdapat 13.143 berkas yang sudah terikat IJB dengan Minarak. Nilai tukar dari berkas itu sebesar Rp 3.799,2 milyar.

    Tabel 1

    Bila kita melihat kembali Perpres 14/2007, pembayaran pada warga dilakukan secara tunai dan bertahap dengan skema 20 persen di muka dan sisanya (80 persen) dibayarkan ‘paling lambat sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis’. Dalam praktiknya, hanya uang muka 20 persen dibayarkan seluruhnya secara tunai karena begitu kita masuk pada laporan pembayaran sisa 80 persen kita akan menemukan bahwa Minarak tidak membayar seluruh warga dengan cara tunai. Dari total uang muka 20 persen dari nilai tukar 13.143 berkas IJB yang mencapai Rp 725,8 milyar, 7 (tujuh) berkas belum dibayarkan (senilai Rp 0,3 milyar) dan sisanya 13.136 berkas sudah dibayar lunas (senilai Rp 725,6 milyar).

    Dalam menentukan pembayaran sisa 80 persen Minarak membedakan berkas ‘non-sertifikat’ dengan berkas ‘sertifikat’. Yang dimaksud dengan berkas ‘sertifikat’ adalah berkas yang dilengkapi surat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), seperti sertifikat hak milik atau hak guna. Sementara berkas ‘non-sertifikat’ merujuk pada berkas yang tidak dilengkapi surat-surat yang dikeluarkan oleh BPN. Hal ini dimungkinkan terjadi karena mayoritas warga-korban tidak atau belum mengurus sertifikat tanah mereka ke BPN. Seperti kebanyakan penduduk di Indonesia, khususnya di Jawa, selama ini mereka hanya mengandalkan surat ekstra-legal yang dikeluarkan oleh lurah ataupun camat, seperti Letter C, Pethok D, ataupun Surat Gogol. Keberadaan surat-surat semacam ini merupakan dampak dari pemberlakukan sistem agraria yang dualistik di Indonesia dan merupakan sumber utama kemunculan konflik agraria yang jamak terjadi. Ketiadaan sertifikat tanah dari BPN menyebabkan kelemahan posisi tawar warga-korban yang hanya mengandalkan surat-surat ekstra-legal tersebut. Dari total 94 berkas yang bermasalah, misalnya, 77 berkas adalah berkas ‘non-sertifikat’ dengan nilai tukar sekitar Rp 241,9 milyar (lihat Tabel 2).

    Mengacu pada peraturan perundangan tentang jual-beli tanah di republik ini, Minarak hanya bersedia membayar tunai berkas ‘sertifikat’ dan untuk berkas ‘non-sertifikat’ Minarak menerapkan opsi relokasi (yang populer di kalangan korban dengan istilah ‘cash and resettlement’ yaitu menukar aset warga-korban dengan tanah dan/atau rumah baru di Kahuripan Nirvana Village). Kahuripan Nirvana Village (selanjutnya, ‘KNV’) dikelola oleh salah satu unit usaha Bakrieland, Mutiara Masyhur Sejahtera (selanjutnya, ‘MMS’). Peralihan kewajiban Minarak pada MMS itu dituangkan dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) No. AGR-041/LGL/2007 tertanggal 21 Maret 2007 (lih. Sari 2014: 4), yang ini berarti terjadi persis sehari sebelum Peta 22 Maret dirilis.

    Tabel 2

    ***

    KEJANGGALAN PERTAMA YANG patut kita catat adalah menyangkut ketiadaan pengaturan opsi relokasi (atau cash and resettlement) dalam Perpres 14/2007 yang terbit pada April 2007. Perpres hanya menyebutkan kewajiban Lapindo untuk membeli aset warga yang dilaksanakan dengan mekanisme ‘akta jual-beli kepemilikan tanah […] yang disahkan oleh Pemerintah’, yang membawa kita pada kejanggalan kedua.

    Seperti pernah dibahas sebelumnya (Gustomy 2012; Kurniawan 2012), proses jual-beli antara warga dan perusahaan merupakan sesuatu yang janggal karena bertentangan dengan UU Pokok Agraria No 5/1960 yang tidak mengizinkan perusahaan sebagai subjek hukum yang berhak untuk mendapatkan hak milik atas tanah. Perpres tersebut tidak ‘mengingat’ UU Pokok Agraria No 5/1960 sebagai landasan hukumnya tapi justru berpegang pada UU Tata Ruang No 24/1992, UU Lingkungan Hidup No 23/1997, UU Migas No 22/2001, dan UU Pemerintahan Daerah No 32/2004. Ketiadaan UU Pokok Agraria sebagai landasan hukum Perpres 14/2007 membuka peluang atas pelbagai macam tafsir hukum dan sosial atas apa yang dimaksudkan dengan perintah ‘jual-beli’. Juga tidak dijelaskan status dan peruntukan objek tanah yang sudah dibeli oleh Lapindo dari warga-korban. Padahal, mengacu pada UU Pokok Agraria segala praktik jual-beli tanah yang melibatkan perusahaan akan batal secara hukum dan status tanah akan otomatis menjadi tanah negara. Dari sebab itu, Perpres 14/2007 yang justru menjadi dasar bagi praktik jual-beli antara warga-korban dan perusahaan (Lapindo) adalah sesuatu yang janggal.

    Pada 24 Maret 2008 atau setahun setelah Peta 22 Maret diumumkan, BPN pusat menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo (selanjutnya, ‘Juklak BPN’) untuk mengatur secara rinci alur mekanisme jual-beli aset warga-korban dengan Lapindo. Menurut juklak tersebut, terdapat 4 (empat) mekanisme jual-beli aset antara warga-korban dan Lapindo yang didasarkan pada jenis surat atas tanah, yaitu tanah dengan sertifikat ‘hak milik’, tanah dengan surat ‘Yasan/Letter C/Petok D/Gogol’, tanah dengan sertifikat ‘hak guna bangunan (HGB)’, dan tanah pemerintah pusat/daerah. Klasifikasi mekanisme jual-beli tanah semacam itu mengacu pada UU Pokok Agraria. Dalam setiap bagan alir mekanisme jual-beli disebutkan bahwa setelah IJB dibuat status tanah akan menjadi ‘tanah negara’, Lapindo hanya akan mendapatkan ‘hak guna bangunan’ di atas tanah negara itu.

    Akan tetapi, apa lacur sebagian besar warga-korban sudah mengikatkan diri dengan Minarak sebelum Juklak BPN itu dirilis. Saya menduga, Juklak BPN itu dikeluarkan sebagai respons atas pelbagai reaksi sosial dari warga-korban yang ditekan oleh Minarak untuk menerima opsi relokasi ke KNV. Padahal sebagian besar dari mereka menghendaki pembayaran secara tunai, 80 persen sekaligus, sesuai dengan yang disebutkan dalam Perpres 14/2007. Lapindo/Minarak, dengan dalih terkena dampak krisis ekonomi global, menyatakan tidak sanggup untuk membayar kewajibannya tersebut pada warga-korban secara tunai sekaligus.

    Strategi Minarak untuk menolak membayarkan berkas ‘non-sertifikat’ secara tunai merupakan sebuah strategi jitu untuk melakukan penghematan uang belanja perusahaan dibandingkan jika harus membayar tunai. Perhitungan kasar Gustomy (2012: 80) menunjukkan bahwa praktik tukar guling semacam itu akan menghemat pengeluaran Minarak paling sedikit Rp 750.000 per meter persegi tanah pekarangan. Sayang kita tidak bisa mendapatkan data rinci tentang luas tanah sawah, tanah pekarangan dan bangunan yang menjadi objek transaksi. Bila kita menghitung secara jeli, jumlah berkas ‘sertifikat’ (8.190 berkas) memang lebih banyak dibandingkan jumlah berkas ‘non-sertifikat’ (5.047 berkas), namun nilai tukar berkas ‘sertifikat’ lebih kecil. Berkas ‘sertifikat’ memiliki nilai tukar sekitar Rp 1.704,1 milyar, sedangkan nilai tukar berkas ‘non-sertifikat’ mencapai Rp 2.352,3 milyar (Tabel 2). Dari besaran nilai tukar tersebut, kita hanya dapat membayangkan mengapa Minarak berusaha semaksimal mungkin untuk memaksakan opsi relokasi pada korban dengan berkas ‘non-sertifikat’ dengan melihat berapa rupiah yang dapat dihemat dari opsi tersebut.

    Mengacu pada UU Pokok Agraria No 5/1960 dan Juklak BPN seluruh lahan yang tercantum dalam PAT 22 Maret statusnya akan menjadi tanah negara dan Lapindo hanya dapat mengajukan permohonan ‘hak guna bangunan (HGB)’ di atas tanah negara tersebut. Oleh karena itu, kejanggalan ketiga, atas dasar apakah bila nantinya Pemerintah memberikan HGB pada Lapindo. Yang patut kita ingat, Lapindo adalah perusahaan migas dan segala perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk Lapindo tentunya selalu terkait dengan kegiatan industri, eksplorasi atau eksploitasi, migas. Jika betul demikian, maka Perpres 14/2007 merupakan legitimasi hukum bagi Lapindo untuk mendapatkan lahan tersebut untuk kepentingan perusahaan. Apalagi, di antara peraturan perundangan yang melatarbelakangi penerbitan Perpres 14/2007 terdapat UU Migas yang mengatur tentang pembebasan lahan yang melibatkan perusahaan migas, seperti diatur lebih lanjut dalam PP No 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

    ***

    KEJANGGALAN KEEMPAT TERKAIT kewajiban Lapindo berdasarkan Perpres 14/2007 terlihat bila kita membandingkan nilai tukar total berkas klaim bulan Januari 2011 dan Desember 2013. Mengandalkan data yang bisa kita peroleh dari website BPLS, saya menemukan penurunan total nilai tukar aset yang menjadi kewajiban Lapindo dari Rp 4,06 trilyun menjadi Rp 3,83 trilyun (lihat Tabel 3). Kemanakah larinya kewajiban Lapindo sekitar Rp 200an milyar tersebut?

    Tabel 3

    Tidak banyak publik yang tahu bahwa pada 21 Desember 2010 Menteri Keuangan Agus Martowardojo menerbitkan sebuah Peraturan Menteri Keuangan No 239/PKM.011/2010 tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang Diterima atau Diperoleh Masyarakat yang Terkena Luapan Lumpur Sidoarjo untuk Tahun Anggaran 2010 (selanjutnya, ‘Permenkeu 239/2010’). Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa proses transaksi tanah dan bangunan antara warga-korban dan Minarak dikenai pajak penghasilan dan pajak tersebut ditanggung oleh pemerintah dengan pagu anggaran dalam APBN 2010 sebesar Rp 205 milyar. Jika nilai tersebut ditambahkan dengan nilai total aset posisi Desember 2013 (Rp 3,83 trilyun), maka kita akan menemukan angka yang mendekati nilai total aset posisi Januari 2011 (Rp 4,06 trilyun). Yang perlu diingat, dana Rp 205 milyar itu adalah pagu yang dianggarkan oleh pemerintah dan artinya nilai itu bisa berkurang menyesuaikan dengan kondisi riil.

    Masih mengacu pada Permekeu 239/2010 tersebut, Minarak memiliki kewajiban untuk mengirimkan laporan keuangan bulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak mengenai data transaksi aset terkait kasus Lapindo. Jika kewajiban itu betul dilaksanakan, maka pemerintah (c.q., Dirjen Pajak) seharusnya sudah memegang rincian laporan keuangan transaksi aset yang tercantum dalam Peta 22 Maret. Tentunya, kita membutuhkan dokumen tersebut terkait rincian transaksi aset antara warga-korban dengan Minarak. Akan tetapi, Permenkeu 239/2010 sudah cukup untuk menunjukkan kejanggalan kelima, tentang bagaimana Pemerintah menanggung beban pajak penghasilan dari transaksi aset dalam Peta 22 Maret.

    Jika kita mengacu pada peraturan perundangan yang ada, keputusan ‘jual-beli’ memang mewajibkan adanya pajak penghasilan. Dalam transaksi ‘normal’ pajak ditanggung oleh kedua belah pihak sama rata, kecuali disepakati berbeda. Dalam kasus Lapindo, sangat tidak etis tentu bila pajak itu dibebankan pada warga-korban dan oleh karena itu perusahaan sebagai pembeli yang berkewajiban membayarnya. Akan tetapi, alih-alih dibayarkan, nilai pajak sebesar Rp 205 milyar itu pun harus dibebankan pada APBN dan ini berarti, lagi-lagi, rakyatlah yang harus menanggungnya.

    ***

    DI BALIK HIRUK-PIKUK awal tahun seputar polemik KPK vs. kepolisian, pemerintah berhasil meloloskan satu klausul tambahan dalam APBN-P 2015, yaitu Dana Talangan untuk Lapindo, tanpa banyak perdebatan di parlemen. Besaran Dana Talangan untuk Lapindo/Minarak adalah senilai Rp 781.688.212.000,00, atau sebesar kekurangan kewajiban keuangan Minarak per Desember 2013. Artinya, pada tahun 2014 lalu Minarak sudah tidak lagi membayarkan sisa kewajiban mereka pada warga-korban. Mengacu pada laporan keuangan per Desember 2013, kita akan mendapatkan informasi bahwa nilai yang belum terbayarkan tersebut terdiri dari: 1) 54 berkas yang belum dibayarkan sama sekali senilai Rp 19,9 milyar; 3.174 berkas yang sudah lunas 20 persen dan sudah dicicil sebagian sisa 80 persen tapi masih belum lunas sebesar Rp 692,07 milyar; dan 3) 114 berkas yang baru dibayarkan 20 persen saja dan belum mendapatkan sisa 80 persen sama sekali senilai Rp 69,72 milyar (Tabel 3).

    Dari data yang ada itu, kita dapat menghitung tunggakan terbesar Minarak adalah pada kelompok cash and carry yang menyisakan 3.174 berkas belum lunas. Berdasarkan data Januari 2011 (Tabel 1), total kelompok cash and carry adalah 7.040 berkas. Ini berarti 3.866 berkas dari 9.895 berkas yang sudah lunas seluruhnya adalah dari kelompok ini dan sisanya (6.029 berkas) berasal dari kelompok cash and resettlement. Akan tetapi, berdasarkan data Januari 2011, total berkas yang ditukar guling mencapai 5.907 berkas, berarti ada selisih 122 berkas. Kita tidak tahu ke-122 berkas ini, terdiri dari 8 berkas sudah IJB tapi belum dibayar sekali dan 114 berkas baru dibayar uang mukanya saja (lihat Tabel 3), masuk dalam kelompok yang mana: cash and carry atau cash and resettlement. Dugaan saya, ke-122 berkas itu adalah berkas ‘non-sertifikat’ yang pemiliknya menghendaki pembayaran secara cash and carry, padahal Minarak hanya bersedia menukarnya dengan aset di KNV.

    Dengan demikian, penganggaran Dana Talangan untuk Lapindo tidak hanya menandai proses pengambilalihan kewajiban Lapindo pada sebagian warga-korban akan tetapi juga menandai proses pelimpahan segala potensi masalah tanah yang sudah dan akan muncul. Dalam dokumen Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 yang disusun Pemerintah, kita dapat menemukan satu paragraf (5.2.1.2.3) yang berbunyi:

    Pemerintah akan mengalokasikan dana talangan untuk PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya disebabkan oleh PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya tidak mampu membayar sisa pelunasan ganti rugi kepada para korban lumpur lapindo [sic]. PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo jaya [sic] akan menyiapkan 13.237 berkas dengan nominal Rp 3,3 trilyun yang akan digunakan sebagai jaminan atas dana talangan tersebut [miring ditambahkan, AN]. Dana talangan Pemerintah tersebut akan dilunasi oleh PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya dalam waktu empat tahun. Apabila PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya tidak dapat membayar maka Pemerintah akan memperoleh jaminan tersebut [miring ditambahkan, AN].

    Keputusan semacam ini memunculkan kejanggalan keenam. Dana Talangan untuk Lapindo masuk dalam pos ‘Pembiayaan Nonutang’. Mengacu pada UU Keuangan Negara No 17/2003, pos ‘pembiayaan’ dalam APBN adalah ‘setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya’ (pasal 1, butir 17). Dan, menurut PP No 45/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN, yang termasuk dalam ‘pembiayaan non-utang’ adalah ‘penjualan aset pemerintah, privatisasi BUMN, dan pengembalian penerusan pinjaman dan pembiayaan non-utang lainnya’ (pasal 134, ayat 2). Jika kita memproyeksikan skenario terburuk yang terjadi, yaitu Dana Talangan tersebut tidak dikembalikan oleh Lapindo/Minarak dalam kurun waktu empat tahun, maka kemungkinan terbesar yang dapat dilakukan Pemerintah sebagai usahanya mengembalikan uang rakyat itu adalah melakukan penjualan aset berupa lahan seluas Peta 22 Maret. Dengan demikian, yang harus repot dalam kasus Lapindo bukan lagi Lapindo melainkan Pemerintah. Ini membawa kita pada kejanggalan terakhir yang dibahas dalam artikel ini, kejanggalan ketujuh.

    Selama ini, pengetahuan yang menyebar di masyarakat adalah Perpres 14/2007 sebagai penanda pembagian tanggung jawab antara Lapindo dan Pemerintah (cf. Batubara & Utomo 2012; McMichael 2009; Schiller et al. 2008). Lapindo bertanggung jawab atas wilayah di dalam Peta 22 Maret, Pemerintah bertanggung jawab atas wilayah di luar Peta 22 Maret. Keputusan Pemerintah untuk memberikan Dana Talangan untuk Lapindo melalui APBN 2015 dengan jaminan 13.237 berkas lahan dalam Peta 22 Maret yang selama ini dipegang oleh Lapindo menandakan pengambilalihan seluruh tanggung jawab atas korban lumpur Lapindo ke tangan Pemerintah dan ini berarti meniadakan sama sekali tanggung jawab Lapindo dalam kasus ini.

    Tentunya masih banyak kejanggalan lain yang harus diungkap, khususnya terkait dugaan korupsi. Ketika trilyunan uang dikeluarkan di suatu lokasi tanpa adanya transparansi anggaran, sangat potensial untuk dijadikan ajang korupsi, terlepas bahwa ini adalah kasus bencana. Artikel ini hanyalah satu usaha mengurai beberapa kejanggalan terkait dengan politik-ekonomi keputusan pemerintah atas kasus Lapindo; itu pun masih hanya sebatas pada persoalan jual-beli aset warga-korban yang termasuk dalam Peta 22 Maret. Melalui artikel ini, saya hanya menawarkan satu lagi potongan mosaik kasus Lapindo sebagai pelengkap potongan-potongan sebelumnya dan berharap dapat memicu usaha pencarian potongan-potongan yang lain lagi yang masih tersembunyi (atau yang memang sengaja disembunyikan?).

    Heidelberg, 2 Februari 2015

    Referensi:

    Batubara, B. & P. W. Utomo 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo (ed H. Prasetia). Yogyakarta: INSISTPress.

    Gustomy, R. 2012. Menjinakkan negara, menundukkan masyarakat: menelusuri jejak strategi kuasa PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. In Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (ed) H. Prasetia, 31–97. Depok: Yayasan Desantara.

    Kurniawan, J. A. 2012. Lumpur Lapindo: sebuah potret mitos tentang negara hukum Indonesia. In Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (ed) H. Prasetia, 99–148. Jakarta: Yayasan Desantara.

    McMichael, H. 2009. The Lapindo mudflow disaster: environmental, infrastructure and economic impact. Bulletin of Indonesian Economic Studies 45, 73–83.

    Novenanto, A. 2015a. Menyoal dana talangan untuk Lapindo (http://korbanlumpur.info/2015/01/menyoal-dana-talangan-untuk-lapindo).

    ––––––– 2015b. Masih menyoal dana talangan untuk Lapindo: Etika (http://korbanlumpur.info/2015/01/masih-menyoal-dana-talangan-untuk-lapindo-etika).

    Richard, J. R. 2011. Report into the Past, Present and Future Social Impacts of Lumpur Sidoarjo. Humanitus Sidoarjo Fund.

    Sari, R. A. 2014. Problematik yuridis pendaftaran tanah bagi warga eks-korban lumpur Sidoarjo yang memilih skema “cash and resettlement” di Perumahan Kahuripan Nirvana Village, Sidoarjo. Jurnal Novum 2, 1–12.

    Schiller, J., A. Lucas & P. Sulistiyanto 2008. Learning from the East Java mudflow: disaster politics in Indonesia. Indonesia 85, 51–77.

  • Ini Mekanisme Pemberian Dana Talangan Lapindo

    Ini Mekanisme Pemberian Dana Talangan Lapindo

    TEMPO.CO, Jakarta – Kebijakan pemerintah menalangi dana ganti rugi PT Minarak Lapindo Brantas sebesar Rp 781,7 miliar dipertanyakan dalam rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sigit Sosiantomo, mempertanyakan mekanisme pengembalian dana tersebut kepada pemerintah. “Bunyi talangan ini harus jelas, skemanya seperti apa,” kata Sigit di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 3 Februari 2015.

    Menurut Sigit, sebenarnya pemerintah tak perlu memberikan dana talangan. Salah satu alternatif solusinya adalah memberi keleluasaan perusahaan milik Aburizal Bakrie tersebut untuk mengelola tanah yang sudah dibeli dari penduduk. 

    Luas tanah yang mencapai 600 hektare itu, kata dia, sangat berpotensi menghasilkan uang. “Itu luas sekali, dan letaknya di tengah kota,” katanya. Ia mengatakan selama ini Lapindo tak bisa menghasilkan uang karena tak diberi keleluasaan mengelola tanah tersebut. 

    Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan mekanisme talangan ini sudah jelas. Kewajiban membayar ganti rugi tetap ada di tangan PT Minarak Lapindo Brantas. “Kami akan konfirmasi ulang, kalau mereka tak mampu bayar, akan kami beri talangan, dengan syarat mereka beri jaminan berupa aset,” ujarnya.

    Skema talangannya juga akan memastikan dua hal. Pertama, ketidakmampuan Lapindo untuk membayar harus dinyatakan secara tertulis. Kedua, aset Lapindo yang dijaminkan harus melewati audit Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan.

    Dana talangan ini kemudian disetujui oleh Badan Anggaran untuk masuk ke dalam Penyertaan Modal Negara yang berada di bawah Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memang menyatakan dana ini bukan termasuk belanja karena berupa talangan.

    Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mochamad Basuki Hadimuljono mengatakan, dengan pengambilalihan ini, pemerintah bakal mengambil aset milik PT Minarak Lapindo senilai sekitar Rp 3,03 triliun yang terdiri atas 641 hektare milik masyarakat yang terdampak langsung lumpur dan aset lain, seperti puluhan sumur yang telah berproduksi. 

    TRI ARTINING PUTRI

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/02/04/090639776/Ini-Mekanisme-Pemberian-Dana-Talangan-Lapindo

  • Banggar Setujui Suntikan Modal untuk Lapindo

    Banggar Setujui Suntikan Modal untuk Lapindo

    BeritaSatu.com | Jakarta – Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menyetujui sejumlah penyertaan modal negara (PMN) untuk beberapa perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) di bawah koordinasi Kementerian Keuangan.

    PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) mendapat tambahan Rp 20,35 triliun sebagai cikal bakal bank infrastruktur, terdiri dari pengalihan investasi di Pusat Investasi Pemerintah sebesar Rp 18,35 triliun dan PMN Rp 2 triliun. Selanjutnya PT BPJS Kesehatan Rp 5 triliun, terdiri dari dana operasional BPJS Kesehatan Rp 3,46 triliun dan cadangan pembiayaan Rp 1,54 triliun. Kemudian PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) sebesar Rp 1,5 triliun.

    Selanjutnya PT Minarak Lapindo sebanyak Rp 781,7 miliar untuk dana talangan korban lumpur Lapindo dengan mekanisme perusahaan tersebut akan diaudit BPKP dan secara tertulis menyatakan tidak mampu menanggung kerugian sehingga negara menyiapkan dana cadangan. Kemudian Organisasi lembaga keuangan internasional sebesar Rp 250,5 miliar untuk penjaminan beberapa parameter perhitungan alokasi anggaran seperti asumsi nilai tukar, eksposur penjaminan, dan matrik probability of default. Terakhir, kewajiban penjaminan sebesar Rp 843,5 miliar.

    “Di luar itu, ada dana bergulir Rp 6,1 trilliun di mana Rp 5,1 triliun di antaranya untuk FLPP (fasilitas likuiditas penjaminan perumahan), kemudian dana cadangan jika sewaktu-waktu pembangunan power plant batu bara berkapasits 10.000 megawatt oleh PLN ada default,” kata Plt Kepala BKF Andin Hadianto kepada Beritasatu.com, Rabu (4/2).

    Andin menyatakan meskipun Banggar telah mengetok palu terkait pemberian sejumlah PMN tersebut, bukan tidak mungkin pada pembahasan selanjutnya dengan Komisi XI besok terjadi perubahan lagi mengingat Banggar hanya berwenang menyetujui besaran anggaran saja.

    Penulis: Yosi Winosa/FMB

    Sumber: http://www.beritasatu.com/makro/246317-banggar-setujui-suntikan-modal-untuk-lapindo.html

  • [Januari 2015] Membuka Sumbat Informasi Kasus Lapindo

    Pada tahun 2008 – 2009, Kanal Newsroom pernah menerbitkan Buletin Kanal sebagai satu usaha diseminasi informasi kasus lumpur Lapindo. Sasarannya adalah ‘korban Lapindo’. Sayang kendala mahalnya ongkos cetak yang tidak bersahabat membuat penerbitan buletin harus berhenti dan konsentrasi tenaga diarahkan pada pengelolaan situs http://korbanlumpur.info.

    Ide penerbitan kembali Buletin Kanal dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, diskusi internal awak Kanal Newsroom berpendapat bahwa definisi ‘korban Lapindo’ melampaui sebatas warga yang harus mengungsi akibat hunian mereka tersapu oleh lumpur Lapindo. Warga ini adalah ‘korban langsung’ lumpur Lapindo.

    Penggunaan APBN untuk menangani dampak semburan lumpur Lapindo menjadikan ‘seluruh rakyat Indonesia’ resmi sebagai korban Lapindo dalam pengertian yang luas. APBN yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih berguna bagi pengembangan ekonomi republik ini terpaksa dialokasikan untuk menutupi dan menutup-nutupi segala ulah-tingkah Lapindo.

    Kedua, distribusi dan redistribusi informasi kasus Lapindo yang dilakukan media arusutama masih berkutat seputar wacana ‘ganti rugi’ –yang sebenarnya telah direduksi menjadi ‘jual beli aset’. Kecenderungan semacam ini mengubur persoalan-persoalan mendasar kasus Lapindo, seolah-olah dengan lunasnya kewajiban Lapindo atau Pemerintah membayar ‘ganti rugi’ pada warga berarti pula selesai sudah penanganan kasus Lapindo.

    Padahal, masih banyak persoalan sosial-ekologis lainnya, lama dan baru, akibat luapan lumpur panas tersebut. Pembuangan lumpur ke Kali Porong, gas beracun dan mudah terbakar, menurunnya kualitas air tanah, konflik horizontal antar-warga, pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur, atau degradasi kesehatan masyarakat di seputar semburan lumpur hanyalah beberapa dari pelbagai persoalan sosial-ekologis tersebut.

    Ketiga, semakin banyak pribadi maupun lembaga yang berminat atas kasus ini namun tidak menemukan ruang untuk memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dan pendapatnya tentang kasus ini. Buletin Kanal hadir kembali dalam bentuk digital (pdf), selain untuk menghemat biaya produksi juga demi memudahkan distribusi informasi kasus Lapindo pada publik luas. Harapannya, publik dapat menjadi agen redistribusi informasi tersebut karena tanpa dukungan publik semacam itu kasus Lapindo tidak akan pernah tuntas.

    Sudah waktunya kita buka semua sumbat informasi kasus Lapindo demi petaka industri semacam ini tidak terulang lagi di tanah air kita, dan di bumi ini!

     — Anton Novenanto, editor edisi ini.

    Daftar tulisan:

    1. Membuka Sumbat Arus Informasi Kasus Lapindo [pdf]
    2. Menuntut Negara Hadir Secara Elegan dalam Kasus Lapindo [pdf]
    3. Negara Salah Kaprah dalam Mempertanggungjawabkan Pemulihan Korban Lumpur Lapindo [pdf]
    4. Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo [pdf]
    5. Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo [pdf]
    6. Lapindo di Media (Januari 2015) [pdf]

    Unduh Buletin Kanal Volume XI, Januari 2015 versi lengkap di sini

  • BPLS Diskriminatif Tangani Korban Lumpur Lapindo

    BPLS Diskriminatif Tangani Korban Lumpur Lapindo

    22 Januari 2015 | JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – BPLS dianggap tebang pilih dalam memberikan ganti rugi bencana lumpur di Sidoarjo. Untuk itulah anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sadarestuwati mendesak Kepala BPLS Suroso agar bisa adil dan pilih kasih.

    Menurutnya selama ini BPLS terlalu mendiskriminasi para pengusaha yang tokonya atau pabriknya terendam lumpur Lapindo. Estu, panggilan Sadarestuwati, mengatakan bahwa para pengusaha ini korban semburan lumpur, sehingga juga perlu diberikan ganti rugi oleh negara, dan tidak hanya rakyat kecil saja.

    “Sertifikat tanah dan bangunan mereka sejak tahun 2008 sudah diserahkan kepada BPLS, tapi sampai sekarang belum dapat ganti rugi. Gimana ini, bahkan ada kabar sertifikat mereka digadai di bank, tapi sepeser pun mereka tidak dapat juga,” kata Estu dalam rapat dengar pendapat dengan Ketua BPLS, di Gedung KK V Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/1/2015).

    Estu, minta BPLS memasukan nama para pengusaha ke dalam daftar penerima ganti rugi yang sesuai dengan harga yang sudah dipatokan oleh pemerintah. Jangan sampai hal ini menyesengsarakan mereka yang notabene rakyat Indonesia juga.

    “Saya minta mereka para pengusaha harus dimasukkan nama-namanya, nanti saya dan anggota Komisi V lainnya akan mengontrol masalah ini sampai benar-benar tuntas. Dan harus ada pertemuan khusus antara BPLS dengan para pengusaha dalam waktu dekat ini,” tegasnya.

    Selain Estu, ada pula wanita anggota Komisi V lainnya yang secara lantang meminta langkah nyata BPLS untuk para korban lumpur lapindo yaitu Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi PAN. Yasti menyatakan semua korban lumpur harus mendapatkan haknya tanpa dipersulit oleh BPLS maupun pemerintah.

    “Mereka para pengusaha ini di mata hukum sah mendapat rugi. Wajar pak Ketua BPLS kalau mereka menuntut haknya. Karena selama tujuh tahun tidak mendapat rugi. Kita sebagai manusia harus juga punya hati nurani, memikirkan nasib mereka,” pungkasnya. (ris)

    Mandra Pradipta

    Sumber: http://teropongsenayan.com/5357-estu-dan-yasti-tuding-bpls-diskriminatif-tangani-korban-lumpur-lapindo

  • BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    Kamis, 22 Januari 2015 | Sidoarjo (Antara Jatim) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo meminta rekening warga korban lumpur di dalam peta areal terdampak tidak terblokir menyusul adanya rencana penerimaan ganti rugi kepada warga.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto, Kamis, mengatakan, sampai dengan saat ini pihaknya masih terus memberikan imbauan kepada warga supaya rekening mereka tidak sampai terblokir oleh pihak bank.

    “Karena kalau sampai rekening tersebut terblokir pihak bank maka proses pengurusannya akan lebih lama lagi sementara rencana pencarian ganti rugi kepada warga kurang sedikit lagi,” katanya.

    Ia mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan jual beli aset warga apakah melalui BPLS atau melalui teknis yang lainnya.

    “Kami masih belum memiliki petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan dana tersebut. Namun demikian, kami siap jika memang dilibatkan dalam proses pembelian aset warga oleh pemerintah,” katanya.

    Menurutnya, saat ini pihaknya juga melakukan koordinasi dengan pihak Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc terkait dengan jumlah berkas yang belum diselesaikan oleh mereka.

    “Kami juga melakukan koordinasi dengan mereka terkait dengan pembayaran tersebut, kami juga melakukan pendataan terhadap warga yang belum terlunasi. Kami yakin warga yang tanahnya belum terlunasi sudah memiliki kelengkapan berkas,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah pusat akan mengambil alih pembayaran ganti rugi kepada warga korban lumpur lapindo dari Minarak Lapindo Jaya. Jumlah dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah tersebut mencapai lebih dari Rp700 miliar. (*)

    Reporter: Indra Setiawan | Redaktur: Endang Sukarelawati

    Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/150034/bpls-minta-rekening-warga-tidak-terblokir

  • Menkeu Lapor ke DPR

    Jakarta – Pemerintah melalui Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro melaporkan rencana pemberian talangan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Anggaran yang dibutuhkan adalah Rp 781 miliar.

    Dana ini digunakan untuk membayar kompensasi kepada warga di dalam area terdampak yang semestinya menjadi tanggung jawab Lapindo. Namun sampai saat ini belum ada kepastian.

    “Warga di dalam area terdampak bergantung pada Minarak Lapindo, tapi sampai sekarang masih ada tunggakan Rp 781 miliar, sehingga warga di situ tidak mendapat kepastian. Maka itu, pemerintah susun skema yang sifatnya dana talangan,” jelas Bambang saat rapat kerja dengan Komisi XI di gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Kamis (21/1/2015).

    Dengan demikian, lanjut Bambang, korban akan segera mendapatkan dana ganti rugi. Nantinya pihak Lapindo akan berurusan langsung dengan pemerintah untuk membayar dana talangan tersebut.

    “Kalau dulu utang piutang warga dengan Minarak Lapindo, maka sekarang adalah pemerintah dengan Minarak Lapindo,” tuturnya.

    Dana talangan tersebut, menurut Bambang, tidak masuk ke pos belanja negara dalam APBN-Perubahan 2015. Sebab, nantinya harus dikembalikan oleh Lapindo.

    Pemerintah pun akan membuat perjanjian secara tertulis. “Nanti akan ada perjanjian mengenai skema tersebut sesuai dengan layaknya,” ujar Bambang. (mkl/hds)

    Sumber: http://finance.detik.com/read/2015/01/22/162930/2811107/4/ingin-beri-dana-talangan-buat-korban-lumpur-lapindo-menkeu-lapor-ke-dpr

  • Lapindo Berkubang Dana Talangan

    25 Desember 2014 | Realitas MetroTV,  Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim masih menghantui warga terdampak.

  • Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    mongabay.co.id – Presiden Joko Widodo dalam kampanye lalu di Sidoarjo, mengungkapkan selama ini negara absen lumpur Lapindo. Jadi, negara harus hadir sebagai wujud kedaulatan rakyat. Setelah terpilih, Jokowi baru-baru ini memberikan dana talangan buat Lapindo Rp781 miliar karena perusahaan berdalih tak mampu membayar. Upaya Jokowi dinilai berbagai kalangan bukan solusi, bahkan mengkerdilkan kehadiran negara. Presiden semestinya mampu memberikan jaminan pemulihan sosial, lingkungan dan hak-hak dasar yang selama ini terenggut dari warga Sidoarjo, sekitar. Salah satu rekomendasi KontraS agar pemerintah audit lingkungan Lapindo menyeluruh.

    “Dengan dana talangan dan sita aset, Jatam melihat itu tindakan mengkerdilkan kehadiran negara. Solusi pemerintah Jokowi tidak menyeluruh,” kata Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, baru-baru ini.

    Dia mengatakan, temuan Jatam dan Walhi Jatim menunjukan terjadi penurunan kualitas Sungai Porong sangat drastis. Air tanah di sekitar terdampak  lumpur Lapindo, tercemar logam berat dan zat kimia lain. “Pemerintahan Jokowi tidak bisa hanya mengartikan kehadiran negara dari dana talangan.”

    Menurut dia, jika permasalahan finansial perusahaan  dan pelanggaran HAM diselesaikan dengan uang negara, ke depan kasus ini akan terulang kembali. “Hanya pertolongan dana pajak dan uang rakyat?”

    Semestinya, kata Bagus, pemerintah perlu memberikan pemulihan sosial dan ekologis. Pemerintah,  harus meluaskan horison pandangan tidak hanya fokus wilayah tergenang. “Artinya melihat sebaran dari daya rusak praktik lumpur Lapindo, tidak hanya terpusat wilayah tergenang.”

    Dia mencontohkan, sebaran korban mengungsi, mencari kerja di wilayah lain, karyawan bekerja di sana meskipun tidak berdomisili di wilayah itu. “Permasalahan utama tidak ada data korban valid. Baik korban rumah terendam, maupun yang kehilangan hak sosial ekologis.”

    Tak jauh beda dengan KontraS. Haris Azhar, Koordinator KontraS mengatakan, kebijakan Jokowi tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Justru, hanya menguntungkan kelompok tertentu. “Hanya menggelontorkan dana kompensasi kepada korban Lapindo menurut kami itu tindakan sangat tidak tepat. Merendahkan nilai penanganan kasus juga merendahkan penderitaan korban,” katanya.

    Bahkan, langkah itu justru berujung pada pendekatan bisnis. Padahal, kasus lumpur Lapindo ada banyak aspek harus diperhatikan. “Wapres Jusuf Kalla hanya  mengatakan akan mengambil alih aset Lapindo jika tak mampu membayar dana talangan.”

    Haris menilai, respon Jokowi tidak sebanding dengan besaran dampak, kerugian warga di beberapa desa itu. “Ketika Jokowi mengatakan negara harus hadir, itu tidak bisa hanya memberikan Rp781 miliar. Seolah-olah dengan uang itu, permasalahan selesai.”

    Dalam Lapindo,  jelas ada kejahatan patut diduga itu sudab disadari sejak awal, meliputi berbagai aspek. “Harusnya ada upaya tidak sekadar menghitung kerugian materil belaka. Penting juga ada penghukuman kejahatan korporasi.”

    Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Ekosoc KontraS mengatakan,  dalam perspektif hukum dan HAM kebijakan ini tidak bisa meniadakan proses advokasi dan pertolongan kepada warga, terutama di Kecamatan Porong dan sekitar.

    Dia mengatakan, Jokowi mengundang pemerintah Sidoarjo, Gubernur Jatim ke Jakarta, hanya memberikan kompensasi. “Kita melihat pendekatan hanya nilai rupiah. Bukan pendekatan melihat sejauh mana proses normalisasi masyarakat lokal.”

    KontraS mengajukan, delapan rekomendasi kepada Presiden Jokowi,  dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Pertama, mendesak kapolri selaku orang yang bertanggung jawab terkait SP3 pidana Polda Jatim. Kedua, meminta Kementerian Keuangan, menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis membeli aset PT. Minarak Lapindo.

    Ketiga, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk audit lingkungan terhadap Lapindo secara menyeluruh.  Karena kegiatan mereka berdampak terhadap lingkungan.

    Keempat, meminta Jaksa Agung menggugat perdata karena ada indikasi wanpresrasi dan perbuatan melawan hukum oleh Lapindo. Kelima, meminta presiden tidak hanya mengeluarkan dana talangan, juga membentuk tim percepatan pemulihan non judicial terpadu. “Tim terdiri dari beberapa kementerian berbasiskan HAM. Ini penting karena ada beberapa pabrik tutup. Ribuan terdampak.”

    Keenam, meminta Kementerian Pekerjaan Umum aktif menyampaikan bukti-bukti kepada Polri terkait penyalahgunaan tata ruang oleh Lapindo.  Ketujuh, meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi  membuka data seluas mungkin karena hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan ada banyak fakta ditutup-tutupi oleh Lapindo. “Ini yang kita sesalkan seakan-akan itu kejadian biasa.”

    Kedelapan, meminta BPK berkoordinasi dengan kementerian terkait, terutama Energi Sumber Daya Mineral.”Dalam pemeriksaan Komnas HAM, muncul bukti dari BPK yang menguatkan bahwa proses pengeboran tidak prosedur. Tahapan-tahapan ada dilewati dan tidak sistematis. Sayang, bukti-bukti tidak ditindaklanjuti pemerintah. Baik pemerintah SBY maupun Jokowi. Padahal sangat kuat,” ucap Munir.

    Puri Kencana Putri, Kepala Biro Riset KontraS mengatakan, dalam laporan Komnas HAM dua tahun lalu, ada 15 kasus pelanggaran HAM yang berdimensi serius. “Bisa dipakai mendorong langkah-langkah judicial dan non judicial. Juga bisa dihadirkan untuk pemulihan terhadap hak-hak korban,” katanya.

    Laporan pelanggaran HAM itu  antara lain, hak atas hidup,  hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, dan hak atas kesehatan. Lalu, hak atas pekerjaan, pendidikan, berkeluarga dan melanjutkan keturunan, kesejahteraan, jaminan sosial, pengungsian, kelompok rentan terutama mereka penyandang cacat, lansia dan anak-anak.

    Indra Nugraha

    Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/01/14/korban-lapindo-perlu-pemulihan-sosial-dan-ekologis/

  • DPR Akan Kaji Dana Talangan Lapindo

    DPR Akan Kaji Dana Talangan Lapindo

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU Pera), Basuki Hadimuljono menyatakan akan anggarkan Rp781 miliar untuk dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo. Terkait hal ini, DPR akan kaji dulu sebelum menentukan akan menyetujui atau menolak penganggaran dana tersebut.

    “Tentu nanti akan dilihat apa alasannya. Setiap dana dari APBN itu harus dipertanggungjawabkan karena dana dari masyarakat,” jelas Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja pada ROL, Kamis (8/1).

    Dalam hal ini, pemerintah harus bisa memberikan landasan yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan terkait penganggaran dana talangan tersebut. Selain itu, DPR juga akan mengevaluasi sejauh mana perkembangan dan efektivitas dana yang sudah diberikan pemerintah terkait masalah lumpur Lapindo ini.

    Ini dilakukan sebagai salah satu upaya agar tetap ada akuntabilitas dan transparansi anggaran yang diberikan. Pemerintah juga harus bisa memastikan sampai kapan dana ini akan dikucurkan. Kerasionalan pemerintah dalam pengajuan dana talangan ini akan menjadi acuan bagi DPR

    “DPR bisa menerima kalau alasannya itu bisa dipertanggungjawabkan, objektif, dan masuk akal. DPR punya kewenangan untuk menerima atau menolak,” lanjut Hakam.

    Jika penganggaran dana talangan ini disetujui oleh DPR, Hakam menilai lebih baik dana talangan ini disalurkan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan tidak langsung ke Lapindo. Pasalnya BPLS merupakan kepanjangan tangan negara.

    Menurut Hakam, Korporasi, dalam hal ini Lapindo, harus bertanggungjawab dalam konteks pertanggungjawaban korporasinya. Pemerintah dalam hal ini hanya bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat yang terkena dampak lumpur Lapindo. (C01)

    Ichsan Emrald Alamsyah

    Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/08/nhv87e-dpr-akan-kaji-dana-talangan-lapindo

  • Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto

    (Artikel sebelumnya: Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo)

    MENJELANG BERAKHIRNYA TAHUN 2014, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengambil sebuah keputusan penuh resiko. Rapat kabinet telah memutuskan untuk memberikan dana talangan bagi Lapindo yang gagal memenuhi kewajiban untuk melunasi sisa pembayaran jual-beli tanah dan bangunan yang berada di wilayah terdampak lumpur Lapindo.

    Rencana dana talangan untuk Lapindo merupakan salah satu butir kontrak politik Jokowi dengan korban Lapindo, pemilik tanah dan bangunan yang telah menunggu bertahun-tahun dalam ketidakpastian tentang kapan Lapindo akan melunasi sisa kewajibannya pada mereka. Kontrak politik itu disepakati dalam kampanye Jokowi di atas tanggul lumpur. Kebetulan kampanye mengambil waktu yang bersamaan dengan hari peringatan delapan tahun semburan lumpur Lapindo, 29 Mei 2014.

    Dalam Pemilihan Presiden 2014 Jokowi menang dengan mengalahkan satu-satunya kandidat lawannya, Prabowo. Berada di belakang Prabowo adalah Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Aburizal adalah figur utama dalam Bakrie & Brothers, perusahaan induk Lapindo Brantas yang dituduh sebagai penyebab semburan karena melakukan malpraktik pemboran. Kekhawatiran publik kala itu adalah bila Prabowo naik menjadi presiden, kasus Lapindo tidak akan pernah tuntas, atau lebih tepatnya, ‘dituntaskan’. Oleh karenanya, terpilihnya Jokowi sebagai presiden telah meningkatkan harapan publik, khususnya korban lumpur, tentang penyelesaian tuntas kasus Lapindo.

    Desakan publik terus meningkat seiring meningkatnya imaji kehancuran akibat luapan lumpur memasuki musim penghujan. Curah hujan yang deras mendorong kebocoran tanggul sehingga lumpur masuk ke beberapa rumah warga yang belum pindah dari wilayah yang memang rawan terkena luberan. Para warga ini tidak hendak pindah karena Lapindo tidak mau membayar tanah dan bangunan mereka sekalipun wilayah mereka sudah dicantumkan dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007.

    Bersamaan dengan itu, sebagian korban lain dari kelompok cash and carry diberitakan menghalangi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melakukan perbaikan tanggul yang bocor. Mereka berdalih bahwa BPLS bekerja di atas tanah yang masih milik mereka karena Lapindo belum melunasi kewajibannya. Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jatim pun harus turun tangan berhadapan dengan para korban ini. Aparat kepolisian pun diturunkan untuk menjamin perbaikan dan perawatan tanggul oleh BPLS.

    ***

    WACANA AGAR PEMERINTAH perlu segera mengeluarkan dana talangan demi membantu Lapindo membayar para korban itu terus menguat. Melalui Sekretaris Kabinet Andi Wijadjanto, Jokowi menyatakan akan mendesak Lapindo untuk membayar kewajibannya pada korban lumpur. Pernyataan itu segera digantikan oleh pernyataan lain dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tentang rencana pemerintah membeli aset Lapindo dan dengan uang hasil pembelian itu perusahaan bisa melunasi kewajiban mereka pada warga. Wacana ini mendapat reaksi langsung dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan rencana pembelian aset hanya akan menguntungkan Lapindo. Menurut Jusuf Kalla, pemerintah seharusnya melakukan sita aset Lapindo, bukan justru membelinya.

    Wacana tentang rencana dana talangan untuk Lapindo semakin konkret dalam rapat kabinet. Dalam rapat itu diputuskan bahwa pemerintah akan menganggarkan di APBN dana talangan sebesar Rp781 milyar untuk diberikan pada Lapindo sebelum Lapindo mendistribusikannya pada para korban yang berhak. Sebagai jaminannya, Lapindo berkewajiban untuk menyerahkan asetnya pada pemerintah. Selain itu, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan uang negara dan bila Lapindo gagal pemerintah akan melakukan sita aset perusahaan.

    Bola panas rencana dana talangan untuk Lapindo sekarang berada di tangan DPR. Tentunya tidak sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari DPR karena berada di kubu oposisi adalah Partai Golkar. Kali ini, para aparatus pemerintahan sepertinya sudah satu suara. Akan tetapi, publik melihat rencana pemerintah untuk memberi tenggat empat tahun pada Lapindo tidak lebih dari sekadar akal-akalan belaka. Apalagi, Lapindo sebenarnya sejak masa Presiden Yudhoyono telah mengajukan dana talangan untuk melunasi kewajibannya pada korban lumpur di Porong.

    ***

    DALAM BENAK MAYORITAS publik, Lapindo tidak akan mengembalikan uang tersebut. Imaji semacam ini muncul dari pengalaman publik melihat tindak-tanduk Lapindo yang tidak pernah mengutamakan etika dalam berhadapan dengan warga maupun pemerintah. Persoalan etika yang melekat dalam kasus Lapindo sudah dimulai sebelum lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, bahkan sebelum pemboran Sumur Banjar Panji 1 dilakukan.

    Lapindo masuk dalam kategori tidak beretika karena telah melakukan kebohongan publik tentang bagaimana perusahaan itu mendapatkan sebidang tanah di Desa Renokenongo. Dengan bantuan Lurah Renokenongo, Lapindo berbohong pada si pemilik lahan dengan mengatakan bahwa di lokasi itu akan digunakan sebagai peternakan, bukan sebagai sumur eksplorasi gas alam. Tentunya, publik juga bertanya-tanya bagaimana Lapindo bisa mendapatkan izin pemboran sumur eksplorasi gas alam di kawasan padat huni dan berdekatan dengan infrastruktur vital lainnya, antara lain: jalan tol dan rel kereta api.

    Persoalan etika Lapindo juga kembali menyeruak dalam keputusan mereka untuk tidak lagi memasang selubung pengaman pada kedalaman tertentu dalam pemboran sumur Banjar Panji 1. Hal ini dilakukan untuk penghematan biaya operasional kegiatan eksplorasi. Akan tetapi, ketiadaan selubung pengaman itu berujung fatal pada runtuhnya dinding sumur di bawah tanah yang menyebabkan mata bor macet di dalam. Runtuhnya dinding sumur meningkatkan tekanan di bawah tanah dan memicu keretakan pada lapisan tanah di sekeliling sumur. Keretakan lapisan tanah merambat sampai pada sumber lumpur panas. Untuk mengatasi krisis tersebut, Lapindo melakukan penyemenan bagian atas sumur eksplorasi yang mengakibatkan semakin meningkatnya tekanan dari bawah tanah. Keretakan lapisan bawah tanah pun sampai ke permukaan, beberapa puluh meter dari mulut sumur Banjar Panji 1. Lumpur panas pun mulai menyembur mengikuti lontaran gas alam.

    Kita juga patut mempertanyakan etika Lapindo yang bersikeras mengkambinghitamkan gempa bumi 26 Mei 2006 di Yogyakarta sebagai penyebab semburan. Klaim semacam ini akan menguntungkan perusahaan karena klaim itu bertujuan mengubah citra perusahaan sebagai pelaku (yang menyebabkan semburan lumpur) menjadi salah satu korban lumpur. Sebagai korban dari sesuatu yang disebabkan oleh gejala alamiah, Lapindo pun berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti halnya para korban lumpur yang lain.

    Dalam dimensi pencitraan yang lain, Lapindo juga kerap menyatakan diri sebagai ‘penyelamat’ bagi para warga-korban. Kali ini, dengan mengatasnamakan ‘Ibunda Bakrie’ sebagai figur yang mendesak Keluarga Bakrie untuk membantu para korban yang menghadapi kesusahan, Lapindo membingkai tindakan mereka membayar ‘ganti-rugi’ pada korban sebagai bantuan, bahkan sedekah, bukannya sebagai kewajiban hukum mengikuti Perpres 14/2007. Karena bantuan atau sedekah, Lapindo pun secara suka-suka memberi para korban dan praktik itu dilakukan bukan dalam bingkai bahwa Lapindo sedang membayar hutang pada korban namun justru kinilah para korban itu yang sedang berhutang pada Lapindo. Ini jelas adalah sebuah strategi tidak etis yang diterapkan Lapindo terkait dengan kewajibannya pada korban.

    ***

    BERAGAM PRAKTIK TIDAK etis yang selama ini dilakukan Lapindo rupanya masih belum cukup untuk membuka cakrawala pemerintah dalam melihat kasus Lapindo. Sikap pemerintah yang selalu permisif terhadap Lapindo, bahkan setelah pergantian tampuk kepemimpinan, patut terus dipersoalkan secara kritis. Pertanyaan saya pun masih sama: aset apa yang akan dijaminkan Lapindo untuk mendapatkan dana talangan dari pemerintah?

    Dalam tulisan sebelumnya (‘Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo’), saya mempersoalkan tentang logika rencana pemerintah untuk menyita aset yang status sudah pasti bakal menjadi ‘milik negara’. Pemikiran semacam itu muncul atas dasar wacana bahwa aset Lapindo yang akan disita pemerintah adalah tanah dalam peta area terdampak. Mengacu pada pasal 26 & 27 UU Agraria No 5/1960, tanah yang dibeli Lapindo akan batal secara hukum dan statusnya akan menjadi ‘tanah negara’. Tidak hanya itu, Lapindo juga tidak berhak untuk meminta kembali uang yang sudah dikeluarkan untuk membeli tanah dari warga.

    Jika Lapindo menjaminkan asetnya sebagai perusahaan pertambangan, maka lagi-lagi publik harus mempertanyakannya. Mengacu pada Pasal 4 PP No. 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, disebutkan bahwa ‘Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana’ (ayat 1).

    Oleh karena itu, menjaminkan sesuatu yang tidak pernah menjadi miliknya — apakah itu tanah yang dibeli dari warga ataupun barang dan peralatan lain sebagai kontraktor eksplorasi gas alam— tidak hanya sebuah tindakan yang tidak masuk akal secara hukum, tapi juga tidak etis!

    (bersambung: Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi)

    Heidelberg, 13 Januari 2014
    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya yang menggeluti kasus Lapindo sejak 2008. Penulis berterima kasih secara khusus pada Prasojo Bayu yang mengangkat kembali persoalan etika dalam kasus Lapindo.

    Versi PDF [unduh]

  • Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto 

    RENCANA PEMERINTAH MENALANGI hutang Lapindo pada korban lumpur di Sidoarjo senilai Rp 781 milyar menggunakan dana taktis APBN 2015 patut didiskusikan secara kritis.

    Berangkat dari perspektif ‘korban’, mayoritas publik menilai pelunasan hutang Lapindo tersebut merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan mengingat korban sudah terlalu menunggu dalam ketidakpastian. Dana talangan adalah solusi darurat yang harus diambil oleh pemerintah untuk memberi kepastian pada para korban.

    Hanya sedikit dari publik yang tahu bahwa dana talangan hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Padahal, masih banyak kelompok korban lain yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan setiap kelompok itu menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain.

    Pada saat yang bersamaan, terdapat sekelompok orang yang berangkat dari perspektif ‘korporasi’ mempertanyakan secara kritis rencana pemerintah tersebut. Pemberian dana talangan merupakan strategi ekonomi-politik yang hanya menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial. Dalam kasus Lapindo, korporasi itu adalah Grup Bakrie. Logikanya sederhana: bukannya menghukum, negara justru membantu si pelaku kejahatan.

    Belajar dari pengalaman sebelumnya, dana talangan berujung pada praktik koruptif para penyedia dan penerima dana talangan, seperti kasus BLBI dan kasus Bank Century. Dana talangan itu tidak pernah kembali ke kas negara. Kritik dari kelompok ini dapat dirangkum dalam sebuah pertanyaan kritis: apakah pemerintah juga akan menyediakan dana talangan bagi korban Lapindo yang terlilit hutang akibat tertundanya pembayaran hak mereka selama bertahun-tahun?

    Terlepas dari pro-kontra terhadap rencana dana talangan untuk kasus Lapindo, yang tak kalah menarik perhatian adalah rencana pemerintah untuk menyita aset perusahaan bila dana tersebut tidak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Rencana ini mendorong penulis untuk meninjau kembali kasus Lapindo menggunakan perspektif ‘objek’ – tanah yang menjadi medium relasi kuasa antara para agen yang terlibat di dalamnya.

    ***

    KOMPLEKSITAS PENANGANAN KASUS Lapindo bermula sejak penandatanganan Perpres 14/2007 tentang BPLS pada 8 April 2007. Salah satu hal prinsipil dalam Perpres itu adalah tentang bagaimana pemerintah menyederhanakan konsep ‘ganti-rugi’ menjadi praktik ‘jual-beli’.

    Secara sosiologis, terdapat perbedaan hakiki dalam relasi sosial yang disebabkan oleh masing-masing konsep itu. Dalam logika ‘ganti-rugi’ relasi sosial yang terjadi adalah antara korban dan pelaku dengan mengandaikan otoritas superior (penegak hukum, negara, juri) yang mengawasi proses tersebut. Sementara itu, dalam proses ‘jual-beli’ relasi sosial yang terjadi adalah antara penjual dan pembeli, dalam hal ini warga sebagai penjual dan Lapindo sebagai pembeli. Objek yang diperjualbelikan adalah tanah dan bangunan dalam peta area terdampak (PAT) tertanggal 22 Maret 2007.

    Sekalipun nilai tukar dari objek yang sedang dipertukarkan sama besarnya, hakikat pertukarannya tidak pernah sama. Dalam proses ‘ganti-rugi’, pelaku mengganti kerugian yang diderita oleh korban tanpa ada peralihan kepemilikan apapun. Sementara itu, ‘jual-beli’ mengutamakan peralihan kepemilikan dari pembeli ke penjual. Dan justru di sinilah letak masalahnya ketika objek yang sedang diperjualbelikan, salah satunya, adalah tanah.

    Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, seperti Lapindo atau Minarak, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali dan status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).

    Mekanisme jual-beli antara warga-korban dan Lapindo telah diatur dalam Surat Kepala BPN tanggal 24 Maret 2008. Dan, menurut Perpres 48/2008, tanah dalam peta area terdampak statusnya beralih menjadi ‘barang milik negara’. Jika betul demikian, maka pertanyaan kritis kita adalah: bagaimana mungkin negara menyita aset yang statusnya sudah pasti bakal menjadi ‘tanah negara’?

    Berdasarkan penelusuran singkat tersebut, penulis berpendapat bahwa rencana ‘dana talangan’ dan ‘sita aset’ Lapindo merupakan bukti dari kedangkalan pemerintah memahami lansekap-bencana lumpur Lapindo. Pemerintah, dan publik umum (termasuk media massa) telah secara sempit memahami kasus Lapindo sebatas ‘ganti-rugi’ (itupun sebenarnya sudah direduksi menjadi ‘jual-beli’) apalagi untuk sampai pada persoalan pemulihan sosial-ekologis.

    ***

    BILA KITA MAU secara jeli memahami kasus Lapindo, kita akan menjumpai pelbagai fakta yang menunjukkan bahwa sisa hutang Lapindo melampaui Rp781 milyar. Lapindo juga masih berhutang pada para pengusaha melalui mekanisme B-to-B yang jumlahnya mencapai senilai Rp514 milyar. Selain itu, masih banyak korban dari kelompok cash and resettlement, misalnya, yang belum mendapatkan kepastian kapan mereka akan mendapatkan sertifikat atas tanah dan rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Bagi kelompok ini, selama Lapindo belum menyerahkan sertifikat tersebut proses transaksi belumlah selesai dan Lapindo masih berhutang pada mereka.

    Selain persoalan ekonomi, dampak dan resiko sosial-ekologis juga kerap luput dari amatan publik. Pembuangan lumpur ke Selat Madura menyebabkan pendangkalan dan pencemaran di sepanjang DAS Porong yang berujung pada menurunnya produksi perikanan pantai timur Sidoarjo. Sampai kini belum terdengar program jangka panjang untuk melakukan normalisasi DAS Porong. Alih fungsi lahan akibat proyek relokasi jalan raya, jalan tol, dan juga permukiman kembali korban Lapindo merupakan sumber bagi meluasnya persoalan pada jaring sosial-ekologis yang lain.

    Dana talangan memang penting dan mendesak bagi para korban, namun rencana itu baru menyentuh sebagian dari kasus Lapindo. Dana itu hanyalah solusi darurat dan parsial karena diperuntukkan bagi sebagian korban dari kelompok cash and carry. Tentunya, masih banyak persoalan lain yang memunculkan dan dimunculkan oleh lumpur Lapindo yang membutuhkan perhatian dan tindakan konkret dari pemerintah.

    Pemerintah tidak pernah tegas, misalnya, untuk mengusut pemberian izin pada Lapindo untuk melakukan pemboran Sumur Banjar Panji 1, dan juga sumur-sumur yang lain, di kawasan padat huni. Pemerintah juga tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk melunasi pembayaran pada korban sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru mereduksi tanggung jawab Lapindo secara bertahap.

    ***

    SEBAGAI BAGIAN DARI publik kritis, kita seharusnya terus mempertanyakan ‘kemauan politik’ pemerintah untuk secara serius memahami kompleksitas kasus Lapindo dan mengusutnya sampai tuntas. Karena bila bukan pemerintah, lalu otorita  politik apa lagi yang bisa?

    Kasus Lapindo akan selalu menjadi uji kasus bagi siapapun yang duduk di kursi kekuasaan, termasuk Presiden Joko Widodo. Tentunya, publik sangat berharap agar dalam masa pemerintahan saat ini keadilan betul-betul ditegakkan. Kini saatnya menenggelamkan sang raksasa jahat dalam lumpur Lapindo, bukannya justru melindungi dan ikut tenggelam bersamanya.

    (bersambung: Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika)

    Heidelberg, 11 Januari 2015

    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya. Mendalami kasus Lapindo sejak 2008 hingga kini.

    Catatan penulis: beberapa pendapat dalam artikel ini pernah disampaikan ke beberapa media cetak tanpa ada kejelasan.

    Versi PDF [unduh]

  • Negara Salah Kaprah dalam Mempertanggungjawabkan Pemulihan Korban Lumpur Lapindo

    Negara Salah Kaprah dalam Mempertanggungjawabkan Pemulihan Korban Lumpur Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    Saat ini pemerintah Jokowi telah membayarkan ganti rugi sebesar Rp. 781 milyar kepada korban semburan lumpur lapindo. Keputusan tersebut diambil setelah PT. Minarak Lapindo Jaya sepakat menjaminkan aset tanah korban yang sudah diganti sebesar Rp 3,03 triliun kepada pemerintah karena seharusnya perusahaan tersebut memberikan ganti rugi sebesar Rp 3,8 M. Pemerintah memberikan waktu 4 (empat) tahun bagi PT. Minarak Lapindo Jaya untuk mengganti dana talangan tersebut bila tidak sanggup melunasi talangan tersebut maka aset tanah korban yang sudah dimiliki perusahaan sebesar Rp 3,03 triliun diserahkan kepada pemerintah.

    Banyak pihak memandang bahwa rencana ini akan membawa terobosan penting dalam penuntasan kasus lumpur Lapindo. Namun demikian, KontraS menilai bahwa rencana ini tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa diikuti dengan skema rencana pemulihan komprehensif atas praktik pelanggaran HAM yang dialami oleh warga Sidoarjo.

    Komnas HAM dalam laporan penyelidikannya berjudul “Laporan Tim Komnas HAM Lumpur Lapindo” yang diselesaikan pada 25 Oktober 2012 telah menemukan adanya praktik pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis dan meluas. Namun hasil paripurna lembaga tersebut menyimpulkan dengan tidak bulat atas adanya praktik pelanggaran HAM pada kasus lumpur lapindo. Padahal kuat adanya kejahatan kemanusian dengan cakupan korban dari berbagai kelas sosial, gender, umur, dan kelompok profesi.

    UU No. 39/1999 tentang HAM menjadi acuan utama dalam menemukan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) pelanggaran terhadap HAM dari korban lumpur Lapindo: hak atas hidup, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas pengungsi, serta hak kelompok rentan (penyandang cacat, orang berusia lanjut, anak dan perempuan)

    Kunci temuan Komnas HAM pada kasus pelanggaran HAM berdimensi Ekosob dan Sipil-Politik ini memang tidak diindahkan oleh pemerintahan SBY yang sarat dengan kepentingan politik transaksional. Tapi kunci ini juga tidak disentuh oleh pemerintahan Jokowi untuk menghadirkan ruang pertanggungjawaban negara.

    Kegegabahan negara untuk menempuh pengambilalihan aset PT Minarak Lapindo Jaya, sesungguhnya telah menghilangkan aspek rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban. Berdasarkan beberapa temuan dari hasil penyelidikan Komnas HAM seharusnya negara segera menindaklanjuti dengan penegakan hukum melalui mekanisme perdata, pidana maupun administrasi diantaranya :

    • Adanya tindakan hukum ingkar janji (wansprestasi) sesuai pasal 1243 KUHPerdata yang dilakukan oleh pihak perusahaan PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo. Faktanya pelunasan pembayaran ganti rugi yang dilakukan sejak Juli 2007 kembali dijanjikan pada bulan Desember 2012 namun hingga saat ini tidak ada kejelasan pembayarannya.
    • Adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata terkait perbuatan yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas Inc selaku operator dilapangan. Faktanya berdasarkan hasil riset Neal Adams Service dan dikuatkan laporan BPK disebutkan adanya ketidakmampuan teknis pelaksanaan pengeboran di lapangan. Sehingga korban bisa menuntut ganti rugi baik materiil/immaterial karena kelalaian yang mengakibatkan timbulnya korban dan kerugian.
    • Penyalahgunaan penggunaan tata ruang dalam kegiatan eksplorasi tambang, sebagaimana Pasal 69 Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun 2006 tentang RTRW 2006-2020 ditetapkan bahwa Kabupaten Sidoarjo difokuskan untuk pengembangan kawasan pemukiman dan perindustrian. Kemudian dikuatkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No. 16 Tahun 2003 tentang RTRW Sidoarjo 2003-2013 menjelaskan wilayah kecamatan Porong, Sidoarjo sebagai kawasan pertanian, pemukiman dan perindustrian
    • Tindakan perusahaan PT Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran dan berdampak pada perusakan lingkungan, Negara wajib mengaudit aspek lingkungan hidup secara menyeluruh sebagai bentuk pertanggungjawaban bisnis sebagaimana dimandatkan dalam pasal 48 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

     

    Kelimabelas hak yang terlanggar dan terbukanya celah keperdataan serta kepidanaan, sesungguhnya membuka ruang tanggung jawab negara dalam mendorong mekanisme pemulihan efektif (effective remedies) sesuai dengan komitmen Indonesia sebagai pelaku negara pihak dalam 2 instrumen utama hukum HAM internasional: Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pemulihan efektif  harus dapat menyentuh 3 (tiga) pondasi utama sebagaimana yang juga tercantum di dalam konsep Guiding Principles on Business and Human Rights (2011): (1) negara harus mengambil langkah-langkah progresif untuk memastikan, baik melalui mekanisme judisial, administratif, atau cara-cara yang sesuai dengan otoritas jurisdiksinya untuk memberikan pemulihan kepada para korban, (2) negara harus memastikan tidak ada upaya yang bisa mengurangi hak dari para korban untuk mendapatkan pemulihan, (3) negara harus menyediakan upaya non-judisial sebagai mekanisme komplementer dari sistem judisial yang bisa menjamin pemenuhan pemulihan. Ketiga hal ini harus dijalankan dalam atmosfer legitimasi, ketersediaan akses, transparansi, kesetaraan, pemenuhan hak komprehensif, dan sumber pembelajaran agar kasus serupa tidak terjadi di masa depan.

    KontraS memandang penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM, harus diikuti dengan upaya advokasi yang melibatkan seluruh lembaga-lembaga negara dalam upaya pemulihan hak-hak korban lumpur Lapindo. Termasuk kapasitas kepala negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo melalui jajaran pemerintahan untuk:

    1. Kementerian Keuangan menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis untuk melakukan pembelian aset PT Minarak Lapindo.
    2. Kapolri menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya untuk melakukan penyelidikan berdasarkan hasil laporan Komnas HAM dan membuka perkara pidana yang telah di-SP3 oleh Polda Jatim.
    3. Jaksa Agung harus menempuh proses hukum secara perdata terkait adanya tindakan wansprestasi dan perbuatan melawan hukum atas tindakan PT Lapindo Brantas Inc yang melalaikan kewajiban hukum dan berdampak kerugian pada korban.
    4. Membentuk Tim Percepatan Pemulihan melalui mekanisme non judisial yang terdiri dari Kemensos, Kemenkes, Kemenakertrans, Kemendikbud yang berkoordinasi dengan LPSK, guna mendorong kemampuan warga Sidoarjo untuk hidup normal kembali.
    5. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan POLRI untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU No 26 Tahun 2007 dan RTRW Sidoarjo 2003-2013.
    6. Menkoinfo dan Komisi Informasi Publik membuka akses informasi atas kejahatan yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Lapindo melalui mekanisme yang tersedia dengan melibatkan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel.
    7. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan audit lingkungan hidup secara menyeluruh atas tindakan perusahaan yang merugikan korban lumpur lapindo
    8. BPK segera melakukan koordinasi kepada kementrian terkait, utamanya Kementerian ESDM atas temuan adanya penyalahgunaan tindakan non procedural pengeboran di Sidoarjo yang berakibat pada timbulnya korban dan kerugian.

     

    Jakarta, 9 Januari 2015

    Badan Pekerja  

    Haris Azhar, MA

    Koordinator KontraS

    Sumber: http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1986

    Versi PDF [unduh]

  • Pemerintahan Jokowi Belum Serius Tuntaskan Lumpur Lapindo

    JAKARTA, SACOM – Jika berhenti pada pemberian ‘dana talangan’ Rp 781 milyar saja, berarti pemerintahan Jokowi tak serius menuntaskan kasus Lumpur Lapindo.

    Demikian siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang disampaikan baru-baru ini kepada suaraagraria.com.

    Memang pemberian dana sudah menyentuh pada aspek korban, namun sayangnya soal lumpur ini juga harus menyentuh aspek-aspek lainnya.

    ‘Keputusan dana talangan baru menyentuh satu dimensi saja dari kasus Lapindo, yaitu dimensi korban. Keputusan itu hanya berlaku pada kelompok korban cash and carry yang sudah lama menanti terpenuhinya hak mereka,’ sebut siaran pers JATAM.

    Korban tentu saja merasa bersyukur dengan dana tersebut, mengingat uang adalah solusi yang mendesak buat korban yang terkena dampak langsung lumpur lapindo. Namun dengan memberikan dana talangan berarti soal ini otomatis selesai, dana itu harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo.

    Banyak dimensi-dimensi lain yang harus disentuh, ini jikalau pemerintahan Jokowi mau dianggap sebagai Presiden yang peduli dengan penyelesaian kasus ini.  Apa saja dimensi-dimensi yang dimaksud?

    Pertama, dimensi pelaku.  Sampai saat ini belum ada pihak yang dimintai pertanggungjawabannya dalam konteks pelanggaran. Jadi masyarakat satu Indonesia belum tahu persis apakah kasus ini termasuk pelanggarankah, apakah melanggar HAM, ataukah sebaliknya, ini soal masalah alam yang tak bisa diusut.

    Kedua adalah dimensi data. Sampai saat ini pemerintah belum memiliki data yang akurat soal jumlah korban. Sampai saat ini pemerintah berpegangan pada data aset korban, semisal tanah dan bangunan. Jika terhenti sampai di situ, maka sama saja pemerintah tidak memperhitungkan aspek manusia sama sekali. Pemahamannya, uang bisa mengganti korban manusia.

    Jika sebatas mengganti aset, apakah sudah dipikirkan bagaimana nasib kehidupan para korban setelah dipindahkan ke tempat yang baru. Padahal banyak dari mereka yang hidup dari tanahnya yang sudah tenggelam.  

    Pemerintah juga dinilai belum menyentuh aspek sosial-ekologis. Maksudnya, adalah soal kualitas air bawah tanah yang berada di sekeliling tanggul lumpur.

    JATAM menduga terjadi penurunan yang sangat drastis kualitas air tanah yang membuat pemukiman di sekitar tanggul lumpur menjadi tidak layak huni.

    Pembuangan lumpur ke Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi kualitas lingkungan bahkan sampai ke Selat Madura.

    Penurunan kualitas air ini sangat mungkin, mengingat beberapa penelitian yang dilakukan secara independen mengatakan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo.

    Salah satu penelitian WALHI menemukan bahwa ada senyawa kimia dalam lumpur yang bisa memicu kanker. Sialnya lagi, senyawa itu tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat.

    Ini harus menjadi warning. Bukan main-main atau sekedar omongan kosong, buktinya dari data Puskesmas setempat persoalan kesehatan di sana meningkat menjadi tahap yang sangat serius.

    Sampai era SBY pemerintah juga tak serius memandang dampak sosial yang ditimbulkan lumpur ini. Seperti, bagaimana rencana relokasi puluhan bangunan sekolah yang tenggelam, bagaimana langkah pemulihan krisis, atau bagaimana rencana normalisasi Kali Porong ke depannya.

    Kembali kepada dimensi pelaku. Sanksi hukum pun tak ada. Padahal Lapindo jelas sudah melanggar Perpres 14/2007 karena gagal membayar sisa 80 persen ‘paling lambat sebulan sebelum masa 2 (dua) tahun habis’ (Pasal 15 Ayat 2) kepada para korban.

    Okelah dananya ditalangi dulu oleh pemerintahan Jokowi. Namun seharusnya pemerintah menggeret masuk BPK dan KPK untuk mengawasi dana besar itu. Ini soal uang rakyat, ini soal bagaimana agar korban lumpur Lapindo tidak ‘jatuh ketiban tangga pula’, karena duit yang sudah menjadi hak mereka tidak mereka terima secara ‘pulen’.

    Sumber: http://suaraagraria.com/detail-21382-pemerintahan-jokowi-belum-serius-tuntaskan-lumpur-lapindo.html

  • Beranikah Jokowi Usut Aktor Penyebab Muncratnya Lumpur Lapindo?

    JAKARTA, SACOM – Kita sama-sama tahu siapa pemilik Lapindo Brantas, penyebab muncratnya lumpur di Sidoarjo itu. Beranikah Jokowi mengungkapnya?

    Jangan anggap dana 781 milyar penanganan lumpur panas Lapindo bahwa kasus itu selesai. Pemerintah juga harus berani mengusut tuntas aktor pelakunya.  

    Untuk diketahui, Rapat Kabinet Jokowi pada tanggal 19 Desember 2014 memutuskan menggelontorkan dana talangan kepada Lapindo Brantas Inc. Bagus buat sebagian korban, namun belum menjawab aspek pelaku,

    “Kita berpendapat bahwa keputusan dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir,” tegas siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

    Soal siapakah yang paling bertanggung jawab atas kasus Lapindo ini silahkan Anda simpulkan sendiri.

    Yang jelas komunitas korban yang tergabung dalam Korban Lumpur Lapindo Menggugat (KLM), seperti dilansir merdeka.com, pernah memberikan ‘Bandit Awards’ untuk Bapak kita yang terhormat Aburizal Bakrie, atau akrab disapa Ical itu.

    Bandit Awards, menurut para korban adalah sebagai bentuk sindiran atas nasib mereka yang terkatung-katung  selama bertahun-tahun dan betapa dahsyatnya dampak sosial-ekologis akibat “muncrat selamanya” lumpur panas itu.

    Pertanyaannya sekarang, apakah Jokowi memiliki keberanian? Seharusnya iya. Soalnya dia dipilih langsung oleh rakyat. Dan lihat saja betapa dia disambut meriah lewat arak-arakan usai pelantikannya sebagai Presiden 20 Oktober 2014. Termasuk didukung dan disambut juga oleh warga korban di Sidoarjo.

    Tentu saja harus punya nyali yang besar. Masalahnya yang dihadapinya bukan main-main. Ical adalah konglomerat besar, dan politikus senior  yang punya teman politikus senior juga, seperti Amien Rais atau Akbar Tanjung.

    Dia juga Ketua Umum Golkar, partai paling senior di Indonesia, setelah PDI-P dan PPP.  Manuvernya dengan Koalisi Merah Putih di parlemen seolah juga  menunjukkan “betapa seniornya” Bapak kita yang satu itu. Bahkan dia juga punya media pers sendiri yang juga harus diperhitungkan dan tidak boleh dianggap remeh.

    Tapi bukan berarti Jokowi tidak boleh berani. Harus berani lah, lagi-lagi kan dia didukung dan dipilih oleh rakyat secara langsung. Ini berarti Jokowi di “backing” oleh rakyat Indonesia.  Lagipula pengungkapan kan juga bagus untuk menjelaskan, apakah yang dituduh selama ini sebagai pelaku benar-benar bersalah dan harus bertanggung jawab atau tidak. 

    Sumber: http://suaraagraria.com/detail-21376-beranikah-jokowi-usut-aktor-penyebab-muncratnya-lumpur-lapindo.html

  • Walhi: Lapindo Belum Layak Jadi Geopark

    KBR, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menolak rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan banjir lumpur panas  Lapindo sebagai kawasan geopark.

    Geopark dikenal sebagai kawasan terpadu dengan warisan geologi guna mempromosikan pembangunan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Bambang Catur, kawasan Lapindo belum layak untuk dijadikan geopark karena masih perlu kajian lebih lanjut. Lokasi itu, kata dia, berbahaya bagi manusia.

    “Penelitian terakhir menyebutkan kandungan logam berat di ikan di sekitar Lapindo cukup tinggi, misalkan kandungan timah hingga 100 kali lipat. Ini berkorelasi dengan data kesehatan 2005-2009, warga dengan gangguan kesehatan saluran pernafasan cukup tinggi dari 23 ribu jadi 52 ribu, naik dua kali lipat selama 4 tahun,” jelas Bambang Catur dalam perbincangan dalam Sarapan Pagi KBR, Selasa (30/12).

    Karenanya, ia berharap Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) membuat kajian tersendiri soal ini guna memastikan keamanan lingkungan di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.

    “Saya tidak membaca BPLS melakukan kajian-kajian. Penetapaan apa pun yang penting landasan-landasannya. Kalau nyatanya kawasan itu berbahaya bagi manusia, bagaimana mungkin kita mengundang anak-anak dalam kandungan lumpur yang berbahaya itu,” ujar Bambang.

    Soal rencana pembuatan geopark di kawasan lapindo sebelumnya diungkap Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Menurut Basuki, rencana itu bagian dari edukasi bagi masyarakat. Terlebih lagi di dalam lumpur terkandung mineral yang mungkin dapat dimanfaatkan.

    Anto Sidharta

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3375674_4262.html

  • Bis zum Hals im Sumpf

    Der weltweit grösste Schlammvulkan faucht und sprudelt seit acht Jahren. «Lusi» hat dreizehn Dörfer verschlungen und ist inzwischen zum Sinnbild des Polit-Sumpfs in Indonesien geworden. Anwohner halten Dämme besetzt und rufen nach Kompensation.

    Nach der Trockenperiode wartet man auf Ostjava sehnlichst auf das kühlende Nass. Die Reisfelder sind noch karg, die Vegetation halb verdorrt und die Luft staubig. Der 1650 Meter hohe Vulkan Penanggungan verschwindet im gelbtrüben Dunst und ist von der indonesischen Kleinstadt Sidoarjo aus gerade noch knapp auszumachen.

    Gestank von faulen Eiern

    Doch nicht alle Bewohner im 30 Kilometer südlich von Surabaya liegenden Sidoarjo sehnen sich nach Wasser. Mit den Regengüssen drohen nämlich die Dämme um den Schlammvulkan «Lusi» zu bersten; verdünnt und aufgeweicht, stinkt die graue Brühe dann noch penetranter. Hätte man den Schlamm nicht immer wieder abgepumpt, wären die bis fünfzehn Meter hohen Umrandungen, die den fauchenden Schlund weitläufig umgeben, längst überflutet und noch mehr Siedlungen in Mitleidenschaft gezogen worden.

    Der Kosename «Lusi» steht für Lumpur Sidoarjo. Die Anwohner nennen die stellenweise verkrustete Oberfläche, unter der dreizehn Dörfer begraben liegen, auch «Lumpur Lapindo». Lapindo Brantas heisst die Firma, die hier vor acht Jahren nach Erdgas bohrte. Mit verheerenden Folgen: Sie stiess damals in einer Tiefe von 1750 Metern, in die man nach nur 20 Tagen vorgestossen war, zwar auf ein Gasgemisch. Doch es roch verdächtig nach faulen Eiern, erwies sich als betäubend und war erst noch leicht entflammbar: eindeutig Schwefelwasserstoff. Doch es sollte noch schlimmer kommen.

    Indonesien liegt auf einer tektonischen Bruchlinie der Erdkruste, wo die eurasische auf die australische Platte stösst. Erdbeben und Vulkanausbrüche sind auf dem Archipel, der sich von Aceh bis Papua erstreckt, fast an der Tagesordnung. Allein auf der Insel Java, wo über die Hälfte der indonesischen Bevölkerung von 250 Millionen Menschen lebt, zählt man heute 35 aktive Vulkane. Wie auf einer Perlenschnur reihen sich diese speienden Berge von Bali quer durch Java bis nach Sumatra. An der Oberfläche gedeiht die Natur prächtig, doch in der «Unterwelt» ist einiges in Bewegung.

    Wenn sie auf Sumatra oder Kalimantan jeweils nach Erdgas gebohrt hätten, erklärt der 47-jährige Pitando Hariyadi, habe man die Bohrlöcher an den Wänden vorschriftsgemäss immer mit Stahlrohren abgedichtet. Mit dieser Sicherheitsmassnahme wolle man sogenannte «kick backs» aus der Tiefe verhindern, die im Bohrprozess beim Durchbrechen von Hochdruckzonen immer wieder aufträten. «Auf Java nicht nötig», hätten seine Vorgesetzten damals gesagt. Dass hier Schlamm und Gase mitunter urplötzlich aus dem Erdinnern hervorquellen, hatten schon die Niederländer in früheren Berichten festgehalten.

    Hariyadi hatte einen kurzen Arbeitsweg. Sein Haus in Reno Kenongo, einem Dorf, das es längst nicht mehr gibt, war nur 500 Meter von der Bohrstelle entfernt. Er erinnert sich genau an jenen 29. Mai im Jahr 2006: Wegen austretenden Schwefelgases hatte man das Bohrloch behelfsmässig zugestopft. Der Pfropfen wirkte, aber nur lokal: Im grösseren Umkreis der Bohrstelle schossen plötzlich graue Fontänen in die Höhe; der Druck aus der Tiefe hatte die Erdkruste an anderen Stellen durchbrochen. Innerhalb weniger Tage bildeten sich Schlünde, aus denen immer grössere Mengen Schlamm ausgeworfen wurden, bis zu 180 000 Tonnen pro Tag. Zuerst verschwanden die Baumaschinen, dann Reisfelder und Gärten, eine Hauptstrasse, einzelne Häuser und schliesslich ganze Dörfer. Heute erstreckt sich «Lusi» über eine fünf Quadratkilometer grosse «Mondlandschaft», in der einst 30 000 Menschen lebten. Die Eruptionen haben inzwischen etwas nachgelassen; doch es sprudelt, faucht, raucht und stinkt immer noch, und Geologen schliessen nicht aus, dass der mittlerweile weltweit grösste Schlammvulkan noch jahrzehntelang aktiv sein könnte.

    Auch ein politischer Sumpf

    Längst ist «Lusi» auch zum Sinnbild des politischen Sumpfs in Indonesien geworden. In sicherer Entfernung vom Ort des Auswurfs sind inzwischen zwar mit staatlicher Hilfe, die sich gesamthaft auf umgerechnet etwa 500 Millionen Dollar beläuft, neue Siedlungen entstanden; doch der penetrante Gestank bleibt, und die meisten der Vertriebenen, die zwei Jahre lang in Massenunterkünften leben mussten, warten immer noch auf eine anständige Entschädigung. Das hat seinen besonderen Grund: Weder der Staat noch die Firma Lapindo Brantas, die zum Imperium eines einflussreichen Politikers gehört, fühlen sich verantwortlich.

    Zwei Tage vor der Eruption von «Lusi» bebte im 250 Kilometer westlich von Sidoarjo gelegenen Yogyakarta die Erde. Jene Erschütterungen vom 27. Mai 2006 forderten damals gegen 4000 Tote, und der nahe Yogyakarta gelegene Vulkan Merapi rief sich prompt feuerspeiend in Erinnerung. Für Lapindo Brantas und ein Heer von Juristen war und ist damit der Fall klar: Nicht die Bohrungen, so heisst es jeweils vor den Gerichten und an Fachkonferenzen, hätten die Schlamm-Eruption provoziert, sondern das Erdbeben von Yogyakarta. Für höhere Gewalt, so die Firma, hafte man nicht.

    Die Fachwelt ist allerdings geteilter Meinung. Dass Sicherheitsvorkehrungen beim Drillen missachtet wurden, ist unbestritten. Aber ob das Anbohren der urzeitlichen Schichten und Kammern Javas das Unglück provozierte oder ob das Erdbeben über jenen labilen tektonischen Platten zum plötzlichen Druckaufbau führte, bleibt umstritten. Die Faszination der Geologen ist gross, doch das Ausmass der Verwüstung ist längerfristig noch nicht absehbar. Der frühere indonesische Präsident Susilo Bambang Yudhoyono sowie lokale Gerichte machten die Bohr- und Explorationsfirma zumindest mitverantwortlich. Doch gegen Lapindo Brantas, die zum Imperium der Bakrie- Gruppe gehört, war bisher kein Kraut gewachsen. Die Bakrie-Gruppe gehört nämlich der Familie um Aburizal Bakrie, den Parteipräsidenten der mächtigen Golkar-Partei. Es ist ein offenes Geheimnis, dass Yudhoyono nach seiner Wiederwahl 2009 im Parlament auf die Unterstützung von Golkar angewiesen war.

    Auf Transparenten, die an den Staumauern befestigt sind, schneidet das Politiker-Duo schlecht ab. Der frühere Präsident wird als Lügner und Bückling bezeichnet, der seine Wahlversprechen nicht eingehalten habe. Bakrie sei ein skrupelloser Schurke, der sich aus der Verantwortung stehle. Zwar hat die Bakrie-Gruppe seinerzeit finanzielle Nothilfe geleistet, die – damit daraus kein Schuldeingeständnis abgeleitet werden kann – als «humanitäre Geste» bezeichnet wurde. Viel mehr ist nun nicht zu erwarten, denn inzwischen hat das hauptsächlich im Energiegeschäft verankerte Firmenimperium Milliardenschulden angehäuft und ist ohnehin praktisch bankrott.

    Blockierte Zugänge

    Um Druck auf Joko Widodo, den neuen Präsidenten, und auf die Öffentlichkeit zu machen, halten Wachposten rund um «Lusi» seit geraumer Zeit die Zugänge besetzt und lassen keine Bauarbeiter durch: Bagger, Pumpen und Rohre, mit denen man die Brühe früher jeweils zur Entlastung in den nahegelegenen Fluss Porong leitete, verrosten und verleihen der Szenerie zusätzlich eine apokalyptische Note. Die Dämme, so die Überlegung der Besetzer, sollen durch den Druck des Regenwassers nur überlaufen und allenfalls gar bersten, damit alle Welt sehe, welche Zustände in Indonesien herrschten.

    Während des diesjährigen Wahlkampfes war Widodo hier zu Besuch und tauchte seine Hände demonstrativ in die stinkende Brühe. Entsprechend hoch sind nun die Erwartungen an ihn: Die Bakrie-Gruppe soll endlich für den immensen Schaden geradestehen und die Betroffenen entschädigen. Weil Bakrie aber selbst tief im Schuldensumpf steckt, ist dies unwahrscheinlich. Und weil Präsident Widodo – noch mehr als sein Amtsvorgänger – im Parlament auf die politische Unterstützung von Golkar angewiesen ist, dürfte sich so rasch nichts ändern. Eine kleine Hoffnung der Anwohner besteht darin, dass Bakrie bei der anstehenden Umbesetzung der Golkar-Spitze abgelöst wird. Geologen wie Hardi Prasetyo, der Chef der BPLS-Behörde, die sich mit allen Folgen der Eruption auseinandersetzt, beobachten und vermessen «Lusi» täglich. Die demonstrierenden Anwohner sind für ihn mittlerweile zur Nebensache geworden. Er beschäftigt sich bereits mit der Zukunft und möchte insbesondere herausfinden, welche Baum- und Pflanzenarten auf dieser langsam verkrustenden Oberfläche dereinst gedeihen. Dann könnte man die neue Landschaft vielleicht auch einer neuen Nutzung zuführen, meint er.

    Sehr ermutigend sieht es derzeit nicht aus. Wo die Brühe hinreicht, wächst bis jetzt jedenfalls kein Pflänzchen. Einsam ragt die rotweisse indonesische Flagge aus dem Sumpf, die Prasetyo weit draussen auf halbwegs festem Grund in den Boden gerammt hat. Kritischere Berufskollegen von Prasetyo warnen vor allzu kühnen Phantasien. Auf 150 Millionen Kubikmeter werden die seit 2006 ausgeworfenen Schlammmassen derzeit geschätzt. Je dicker und schwerer die Decke werde, umso grösser werde die Gefahr, dass die neuen Hohlräume im Erdreich einst einbrechen – mit oder auch ohne Erdbeben als Auslöser.

    Manfred Rist

    Sumber: http://www.nzz.ch/international/bis-zum-hals-im-sumpf-1.18452158

  • Hindari Lumpur Lapindo, KAI Bangun Rel Baru

    Hindari Lumpur Lapindo, KAI Bangun Rel Baru

    TEMPO.CO, Banyuwangi – Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Hermanto Dwi Atmoko, mengatakan pemerintah akan mulai membangun jalur kereta api baru wilayah tak jauh dari semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur tahun 2014. “Jalur baru ini untuk mengantisipasi meluapnya lumpur Lapindo ke jalur kereta di Porong, Sidoarjo,” kata Hermanto di Banyuwangi, Sabtu malam, 27 Desember 2014.

    Menurut Hermanto, jalur baru kereta api itu berada di Kecamatan Tulangan, Sidoarjo ke Stasiun Gunung Gangsir, Kabupaten Pasuruan, sepanjang 18 kilometer. “Ini jalur shortcut untuk menghindari meluapnya lumpur Lapindo,” ujar Hermanto.

    Saat ini, kata Hermanto, Kementerian Perhubungan sedang melakukan pembebasan lahan untuk jalur kereta baru itu. Namun dia enggan menyebutkan rincian anggaran yang dikucurkan Pemerintah.

    Selama jalur kereta baru belum rampung, Hermanto melanjutkan, Pemerintah telah meninggikan jalur kereta lama di Porong menjadi hampir dua meter. Peninggian ini untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu tanggul Lapindo jebol. Jalur kereta lama ini berada persis di sisi barat tanggul lumpur Lapindo.

    Tanggul lumpur Lapindo masih sering jebol sehingga lumpur meluap. Seperti terjadi pada Kamis malam 25 Desember lalu. Hujan lebat menyebabkan tanggul lumpur Lapindo di Titik 73 A Desa Kedungbendo, Sidoarjo. Lumpur pun meluber ke permukiman warga di Desa Gempolsari dan Desa Kalitengah yang berada di sisi timur tanggul.

    IKA NINGTYAS

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/29/058631614/Hindari-Lumpur-Lapindo-KAI-Bangun-Rel-Baru

  • Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    [Siaran Pers] Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    • Rapat Kabinet, Jumat (19/12) lalu, memutus pemberian “dana talangan” sebesar Rp 781 milyar pada Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Dana talangan bisa jadi adalah langkah solutif bagi sebagian korban, namun kita melihat keputusan itu bukan satu-satunya langkah penyelesaian kasus Lapindo yang multidimensi ini. Untuk itu, kita menuntut elegansi negara hadir dan memahami kompleksitas kasus Lapindo.
    • Keputusan dana talangan baru menyentuh satu dimensi saja dari kasus Lapindo, yaitu “dimensi korban”. Keputusan itu hanya berlaku pada kelompok korban cash and carry yang sudah lama menanti terpenuhinya hak mereka. Bagi korban tersebut, dana itu adalah solusi mendesak yang tak bisa ditolak untuk segera dilakukan Pemerintah. Akan tetapi, solusi itu tidak menyentuh “dimensi pelaku”. Oleh karena itu, kita berpendapat bahwa dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir.
    • Persoalan terutama dalam bencana lumpur panas Lapindo adalah ketiadaan data akurat tentang korban. Selama ini, data korban hanya merujuk pada jumlah aset (tanah dan bangunan) dan tidak pernah memperhitungkan aspek manusia. Manusia (korban bencana) telah direduksi menjadi materi (uang “ganti-rugi”). Sampai saat ini, tidak ada yang pernah tahu berapakah jumlah riil korban Lapindo? Siapa sajakah mereka? Pindah kemana sajakah orang-orang itu? Bagaimana pula mereka mengatasi ketegangan antara terputus dari hunian lama dan beradaptasi di hunian baru?
    • Pemerintah juga perlu menyentuh aspek sosial-ekologis. Kini, kualitas air bawah tanah di sekeliling tanggul lumpur menurun drastis membuat wilayah di sekitar semburan tidak lagi bisa masuk dalam kategori layak huni. Pembuangan lumpur ke Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi lingkungan sampai ke Selat Madura. Padahal, pelbagai riset ilmiah independen menemukan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo. Penelitian WALHI, misalnya, menemukan kandungan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) yang tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat. Bukannya menindaklanjuti secara lebih serius, pemerintah justru meragukan dan mengabaikan temuan-temuan tersebut. Pemerintah mengingkari fakta tersebut dengan menyatakan lumpur tidak mengandung zat berbahaya. Hal ini tentunya ironi mengingat degradasi ekologi berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Data puskesmas setempat menunjukkan persoalan kesehatan di sekitar semburan meningkat serius.
    • Sampai kini belum terlihat keseriusan pemerintah memulihkan kehidupan sosial-ekologis para korban Lapindo. Tidak ada kabar tentang rencana relokasi puluhan bangunan sekolah yang tenggelam dalam lumpur. Tidak ada perhatian khusus bagi pemulihan krisis sosial-psikologis bagi korban Lapindo, khususnya anak-anak dan perempuan, dua kelompok paling rentan dalam setiap bencana. Tidak ada kabar tentang rencana normalisasi Kali Porong. Pemerintah tidak bisa mengandaikan bahwa begitu korban mendapatkan uang “ganti-rugi” kehidupan ekonomi korban akan pulih secara sendirinya. Yang dibutuhkan warga-korban bukan hanya ikan, melainkan juga kail. Mereka memang butuhkan uang segar untuk bertahan hidup sementara, akan tetapi mereka lebih membutuhkan jaminan atas kehidupan yang layak, pekerjaan yang layak, hunian yang layak.
    • “Dalam kasus [Lapindo] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat,” begitu pernyataan yang dilontarkan Joko Widodo di hadapan korban Lapindo pada 29 Mei 2014 lalu. Makna “negara hadir” jangan dikerdilkan sebatas memberikan dana talangan sebagai solusi akhir bagi kasus Lapindo. Negara juga harus hadir menjatuhkan sanksi yang setimpal bagi para pelaku kasus Lapindo.
    • Kita sangat menyayangkan bahwa sampai kini tidak ada sanksi hukum pada Lapindo yang telah secara jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 karena kegagalannya membayar sisa 80 persen “paling lambat sebulan sebelum masa 2 (dua) tahun habis” (Pasal 15 Ayat 2) pada para korban. Belajar dari pengalaman pemberian dana talangan pada korporasi, pemerintah harus mengoptimalkan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, untuk melakukan audit keuangan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan uang rakyat untuk menalangi Lapindo. Pemerintah harus memaksa Lapindo untuk mengembalikan seluruh dana yang diambilkan dari uang rakyat, karena termasuk dalam rakyat adalah para korban Lapindo!
    • Apabila penyelesaian kasus Lapindo oleh pemerintah mandeg pada urusan ganti-rugi semata (dengan mekanisme dana talangan), kita dapat menilai betapa amatir dan naifnya pemerintah kita. Hal semacam ini tentunya hanya akan menambah deretan praktik busuk korporasi dalam menyelesaikan masalah finansial internal mereka dengan menggunakan uang rakyat. Kedaulatan rakyat akan kembali disalahgunakan bila penegakkan hukum atas kasus Lapindo diabaikan, apalagi sampai para pelakunya dibebaskan dari segala tanggung jawab.
    • Kita menuntut elegansi negara hadir dalam kasus Lapindo. Untuk itu, kita mengajak pemerintah untuk memperluas horizon dalam melihat multidimensionalitas kasus Lapindo, bahwa lansekap-bencana lumpur Lapindo telah melampaui sebidang tanah yang sudah menjadi lautan lumpur di sekeliling semburan utama di Porong, Sidoarjo. Hanya dengan demikian, kita dapat menyaksikan penyelesaian kasus Lapindo secara runut dan menyeluruh.

    Porong, 29 Desember 2014

    Kanal (korbanlumpur.info) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

    Kontak: Catur (+62 81 336 607 872); Beggy (+62 85 269 133 520)

    Versi PDF [unduh]

  • Kubangan Lumpur Lapindo

    Hampir 9 (sembilan) tahun lumpur Lapindo menyembur. Sampai saat ini, lebih dari 50.000 penduduk terusir-paksa dari hunian mereka.

    Simak liputan tim redaksi Berita Satu.