Category: Kanal Korban

  • Aset Pribadi Dipaksa B2B

    korbalumpur.info – Penyelesaian jual beli tanah antara korban Lumpur dengan Lapindo masih menyisakan berbagai macam permasalahan. Salah satunya adalah adanya warga yang ‘dipaksa’ untuk menerima penyelesaian secara business to business atau B2B. Hal ini misalnya dialami oleh Rudi Farid, warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Perumtas I).

    Padahal, aset yang dia miliki merupakan aset milik pribadi, yang dia beli sejak tahun 2002. “Tetapi oleh pihak Lapindo, tiba-tiba berkas saya dianggap milik badan usaha, sehingga diselesaikan secara B2B,” katanya kepada Kanal Korban Lapindo, tadi malam.

    Farid menjelaskan, bahwa dirinya memang mempunyai usaha yang bernama CV Global Citra Mandiri, yang bergerak dibidang percetakan. Usaha ini sudah berjalan sejak tahun 2001, setahun sebelum dia pindah ke Perumtas. “Tetapi, rumah di Perumtas itu adalah rumah tinggal pribadi, bukan atas nama CV saya,” terangnya.

    Dia mengaku kaget, ketika pada saat penanda tanganan berita acara berkasnya pada 3 Oktober 2007, dia diberitahu oleh pihak Minarak Lapindo Jaya bahwa berkasnya diperlakukan secara B2B. Berkasnya kemudian dibawa ke Jakarta seperti halnya berkas perusahaan-perusahaan lain yang menjadi korban Lumpur Lapindo.

    Tentu saja dia tidak mau menerima skema ini, karena faktanya bahwa rumah tersebut memang bukan aset percetakannya. Dengan skema B2B, maka harga aset tanah dan bangunan tidak akan sama dengan yang ditentukan dalam Perpres 14/2007, yaitu 1 juta per meter persegi untuk tanah dan 1,5 juta per meter persegi untuk bangunan.

    “Harga B2B akan dinegoisasikan lagi dengan pihak Minarak, dan pastinya akan lebih rendah dari harga Perpres,” ujarnya.

    Sejak saat itu, dia sudah melakukan berbagai macam upaya agar berkasnya diberlakukan sama dengan milik korban Lumpur lainnya, yaitu sesuai dengan Perpres. Tetapi sejauh ini, jawaban yang diperoleh dari pihak Lapindo maupun MLJ selalu tidak jelas. “Rasanya saya seperti diping pong oleh mereka,” sesalnya.

    Padahal, sejak Bencana Lumpur terjadi, usahanya sudah berhenti total. Dan sejauh ini dia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pihak Lapindo, terkait dengan usahanya yang sudah gulung tikar tersebut.

    Karena itu, dia berharap agar pemerintah memperhatikan nasibnya yang terus diperlakukan tidak jelas oleh Lapindo. (ako)

  • Kembali Hentikan Penanggulan

    Kembali Hentikan Penanggulan

    korbanlumpur.info – Pagi ini (10/09) korban-korban lumpur Lapindo dari desa Kedungbendo, Ketapang dan Gempolsari kembali melakukan aksi menghentikan penanggulan lumpur Lapindo. Aksi ini adalah kelanjutan dari aksi serupa yang dilakukan korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES) dua minggu sebelumnya. Saat itu, warga dari desa-desa terdampak menutup semua pintu masuk tanggul.

    Ahmad Zulkarnain, humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang menemui warga di posko GEPPRES, saat itu, membikin pernyataan menghormati tuntuntan warga dan memahami kalau BPLS bekerja di atas tanah korban yang baru dibayar 20%. Dia berjanji akan menghentikan penanggulan sampai sisa 80% dibayarkan kepada warga.

    Namun janji tinggal janji. Sehari setelah aksi, BPLS kembali meneruskan penanggulan. Karena merasa diabaikan tuntutan pelunasan 80%, maka warga kembali melakukan aksi blokade penanggulan.

    Warga menempel dan membagikan pernyataan Zulkarnain kepada supir-supir bego, eskavator, dan truk yang melakukan aktivitas penanggulan. Aksi yang diikuti oleh sekitar 100-an warga tidak ada pengawalan oleh pihak kepolisian karena aksi ini dilakukan secara spontan.

    Aksi yang spontan dilakukan oleh warga tiga desa ini karena pihak BPLS tidak mematuhi pernyataan yang meraka buat sendiri “aksi ini sengaja kami lakukan, karena BPLS tidak sportif kepada kami” kata Ikhsan, warga Kedung Bendo. Selain itu aksi ini di tujukan kepada pihak Lapindo Brantas Inc untuk segera menyelesaikan sisa pembayan 80% kepada warga karena pada saat ini masa kontrakan warga sudah habis dua tahun. Jika Lapindo tidak segera membayar warga akan melakukan aksi yang lebih besar dari aksi ini.

    “Jika Lapindo tidak segera melakukan pembayaran sisa 80% maka kami akan melakukan aksi yang lebih besar lagi atau kalau perlu kami akan menutup jalan” tegas Hari Suwandi, koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES) Kedong Bendo.

    Akhirnya aksi spontan ang dilakukan tiga desa ini berakhir setelah para pekerja yang melakukan penanggulan berhenti beraktifitas. Dan sebagian warga masih tetap memantau aktifitas penanggulan.

    “Kami akan terus memberhentikan penanggulan di tanah kami sebelum Lapindo melakukan sisa pembayan 80% kepada kami,” tutur Hari. [novik]

  • Normalkan Kembali Kali Porong

    korbanlumpur.info  – Kerusakan berat yang terjadi di Kali Porong akibat pembuangan lumpur Lapindo, mengakibatkan kekhawatiran warga Jabon. Hari rabu (10/08) sekitar 60-an warga yang berasal dari desa-desa yang terletak di sepanjang selatan sisi Kali Porong mengadakan aksi demonstrasi untuk menuntut penghentian pembuangan lumpur ke Kali Porong sebelum normalisasi dijalankan. Mereka beranggapan Lapindo dan BPLS tidak peka dengan warga yang ada di sekitar Kali Porong.

    Dengan terus menerus menggelontorkan lumpur ke Kali Porong tanpa diimbangi usaha normalisasi yang maksimal, maka bencana bagi mereka tinggal menunggu waktu. Sekarang yang terlihat bekerja hanya tiga eskavator yang mengaduk-aduk lumpur, jelas tidak seimbang dengan banyaknya lumpur yang terus mengendap di Kali Porong.

    Sudirman Al Rosyad, Kepala Desa Semambung menyatakan bahwa pembuangan ke Kali Porong harus dievaluasi kembali. “Kami tidak ingin peristiwa banjir yang terjadi dulu di Kali Sogo akibat pembuangan lumpur terulang lagi” katanya. Peristiwa melubernya air ke desa-desa disepanjang sungai akibat tidak bisa lancarnya aliran sungai menurutnya karena kinerja Lapindo dan BPLS tidak maksimal menangani kerusakan Kali Porong. “Kalau ini terus dibiarkan, kurang dari satu bulan desa kami juga akan mengalami banjir” sambungnya.

    Aksi yang dimulai sekitar pukul sembilan pagi ini, kemudian ditambah dengan kedatangan massa dari desa Besuki, dan desa Keboguyang. Kedatangan massa ini karena mereka merasa juga akan mengalami dampak akibat pembuangan lumpur ke Kali Porong.

    Setelah sekitar dua jam berdemonstrasi, proses negosiasi mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka harus menemui Bupati Sidoarjo, akhirnya dengan tertib massa membubarkan diri, dan menyatakan akan segera mendatangi Bupati untuk menuntut hal yang sama. “Lapindo dan BPLS harus mengembalikan fungsi Kali Porong” tegas Sudirman lagi. [re]

  • Buka Bersama Korban

    korbanlumpur.info – Begitu kijang kancil, kendaraan patroli polisi, datang di posko pengungsi Tol Porong-Gempol ratusan anak, yang baru selesai sholat magrib, langsung mengepungnya. Girang betul mereka melihat dua kardus besar yang diturunkan dari mobil tersebut. Mereka tahu kardus itu berisi makanan jatah takjil, hidangan pembuka buka puasa.

    Sejak hari pertama puasa mereka dapat jatah takjil dari Kepolisian Resort Sidoarjo. Sore ini jatah takjil mereka telat jumlahnya pun tidak mencukupi.

    Anak-anak ini adalah anak korban lumpur Lapindo dari RT 01-04 RW 05 Desa Besuki yang mengungsi di tol Porong-Gempol sejak Febuari lalu. Mereka mengungsi setelah beberapa kali luapan lumpur menggenangi pemukiman mereka.

    “Kami memilih tol karena lebih tinggi tempatnya dari pemukiman,” tutur Ali Mursyid, koordinator lapangan warga Besuki.

    Menurut Perpres 48 tahun 2008 warga Besuki ini termasuk daerah yang terdampak. Tanah, rumah dan pekarangan mereka akan dibeli pemerintah yang diambilkan dari APBN. Hingga kini mereka belum mendapatkan serupiah pun dari pembelian ini. Tak hanya kehilangan rumah dan tanah mereka, penduduk yang rata-rata petani dan buruh pabrik juga banyak yang kehilangan pekerjaan. Banyak diantara mereka menjadi pengemis di sepanjang pengungsian.

    Warga pengungsian ini juga tidak mendapat jatah makanan baik dari Lapindo atau dari pemerintah. Mereka mengharapkan makanan dari para penderma, salah satunya dari Kepolisian Resort Sidoarjo yang tiap sore mengirimkan jatah takjil yang berisi bubur kacang hijau yang dibungkus wp-content plastik. Mereka berebut karena memang jumlahnya tidak mencukupi.

    Sesaat kemudian kerumunan kian banyak dan ibu-ibu juga ikut berdesakan. Mashudi (43 tahun), warga RT 01 RW 05 Besuki, sadar betul jatah tak cukup, dia berteriak memberi komando,

    “Yang dapat anak-anak usia SD, anak-anak SMP tidak dapat,” tutur Mashudi.

    Anak-anak lalu berbaris rapi, ibu-ibu menunggu dengan cemas di kiri-kanan barisan. Satu persatu bubur dibagikan, persediaan menipis. Orang-orang yang lapar mulai cemas tak dapat jatah. Mereka merangsek kebarisan.

    Jatah habis dan masih banyak anak yang belum mendapatkannya, sementara orang-orang tua beradu mulut. Tak hanya itu, meja pimpong yang digunakan untuk menaruh kardus juga jungkirkan warga yang tidak dapat jatah. Anak-anak hanya diam dan menyingkir.

    Adu mulut tak terhindarkan.

    “Diancuk, kamu sudah dapat jatah, mundur jangan minta lagi, kasian yang belum dapat,” tuduh seorang bapak dan dijawab tak kalah sengit oleh ibu-ibu yang merasa dituduh, “mana saya belum dapat.” Ibu yang lain bilang dia ingin punya wp-content pembungkus bubur dan dia tak ingin isinya.

    “Buat tempat gula,” katanya.

    “Orang-orang sini jadi mudah marah,” tutur Mashudi setelah orang-orang menyingkir saat azan Isya dikumandangkan.

  • TP2LS Sambangi Korban Lumpur

    korbanlumpur.info – “Apakah warga (di luar peta area terdampak), dari hati yang paling dalam, menginginkan wilayahnya masuk peta?” tanya Priyo Budi Santoso pada pertemuan dengan warga di Siring Barat, sore hari ini (06/09/08). Pertemuan ini sendiri belum direncanakan sebelumnya.

    Hadir pada pertemuan itu Priyo Budi Santoso (ketua TP2LS), Ario Wijanarko, dan Abdullah Azwar Anas, yang mewakili TP2LS. Sedangkan di pihak warga, hadir tokoh-tokoh masyarakat dari desa-desa peta area terdampak dan desa-desa terdampak (di luar peta area terdampak) lainnya.

    Setelah sebelumnya sempat melihat-lihat beberapa lokasi di wilayah Siring Barat, para wakil TP2LS mendengarkan keluhan dan tuntutan para tokoh-tokoh warga. “Semua wilayah Besuki harus masuk peta area terdampak karena Besuki Timur pun merasakan dampak yang sama dengan Besuki Barat,” tuntut Cak Irsyad, wakil dari Besuki Timur.

    Sementara para wakil dari Geppres menuntut agar pembayaran uang muka 20% segera dibayarkan bagi para korban yang belum menerimanya. Selain itu, Geppres juga menuntut agar pembayaran 80% segera dilunasi karena telah terlambat tiga bulan.

    Sementara itu, para wakil dari desa-desa terdampak menuntut agar wilayah mereka segera dimasukkan ke dalam peta area terdampak. “Kami menginginkan kejelasan status dan proses ganti rugi karena kondisi di Siring Barat telah sangat memprihatinkan,” terang Cak Jarot, wakil dari Siring Barat.

    “Yang perlu dimasukkan ke dalam peta area terdampak bukan hanya tiga desa saja, tapi seluruh desa-desa yang berada di pinggir tanggul. Desa Glagah Arum, misalnya. Kami harap TP2LS segera menetapkan status bagi desa-desa ini dan jangan menunggu setelah kondisi semakin parah,” tambah wakil dari desa Glagah Arum.

    Pihak TP2LS sendiri berjanji pada warga akan segera menyelesaikan kasus luapan lumpur Lapindo ini. Pada hari rabu, tanggal 10 September, TP2LS akan mengadakan rapat gabungan yang khusus membahas kasus ini dengan berbagai pihak yang terkait. Mereka pun meyakinkan warga akan menekan pihak Lapindo untuk segera mengabulkan tuntutan-tuntutan warga. Ketika ditanya apakah warga boleh mengikuti rapat ini, wakil dari TP2LS mengatakan, “Serahkan saja hal ini pada kami semua,” sambil menunjukkan dua orang rekannya satu persatu.

    Pada kesempatan yang sama, pihak TP2LS sendiri mengabarkan pada warga bahwa pilihan Cash and Resettlement yang ditawarkan oleh Lapindo bersifat tidak memaksa. “Jadi, warga boleh saja menolak pilihan itu dan tetap menuntut Cash and Carry,” terang Priyo Budi Santoso.

    Para korban berharap pihak TP2LS membantu perjuangan korban dalam menekan pihak Lapindo untuk segera membayar kewajiban-kewajibannya pada warga. Pertemuan ini sendiri hanya berjalan sekitar 30 menit saja, sehingga banyak warga masih belum puas untuk menyalurkan unek-uneknya.

    Diharapkan agar TP2LS tidak berlaku sama seperti Lapindo, yang hanya memberikan janji-janji manis saja pada warga yang kondisinya semakin parah pasca dua tahun tragedi lumpur Lapindo ini. Karena jika kasus ini terus berlarut-larut tanpa kejelasan dan tindak lanjutnya, bukan tidak mungkin kemarahan dan keputusaan para korban akan meluap. Sabar pun ada batasannya bukan? [cek]

  • Yang Hidup Saja Ditelantarkan

    Yang Hidup Saja Ditelantarkan

    korbanlumpur.info  – Sehari sebelum puasa Nawawi bin Zaenal Mansur (45 tahun) duduk di atas pepuingan. Anak bontotnya Khairul Rozikin (9 tahun) berjongkok di sebelah kirinya, sementara Isna al-Muntaziroh, istrinya, duduk di belakangnya dan memimpin doa. Khusuk mereka menatap arah barat pada sebuah kuburan umum Dusun Renokenongo yang tenggelam dalam air asin yang keluar bersama lumpur Lapindo. Kuburan ini ditandai kumpulan pepohonan kamboja yang daunnya dirontok-keringkan panasnya lumpur.

    Mereka mendoakan arwah leluhur dan keluarga supaya diampuni dosanya. Di desa Nawawi, ini tradisi menjelang bulan puasa. Nawawi menyebutnya nyekar, menabur bunga di kubur. Doa khusus dia tujukan pada Zaenal Mansur, sang ayah, seorang pejuang 45. Kali ini dia tak membawa bunga dan tak bisa menaburnya di atas kubur sang ayah. Dia minta maaf untuk ini.

    Tahun lalu, dia masih bisa ke kuburan bapaknya karena air asin dan lumpur mengering. Ketika itu dia lihat bendera merah putih dari seng di atas kubur sudah mulai peot.

    Saget gripis-gripis kengeng toyo asin [bisa pecah-pecah tergenang air asin],” tutur Nawawi dengan logat Jawa halus.

    Menjelang puasa tahun ini, Nawawi tak lagi bisa nyekar. Nawawi tak habis pikir dengan Lapindo dan pemerintah yang lamban menangani soal lumpur Lapindo ini. Sudah dua tahun ini dia hidup berpindah-pindah.

    Pada awal luapan lumpur pertama, Mei 2006, dia mengungsi ke balai Desa Renokenongo. Beberapa bulan setelah itu luapan lumpur mengakibatkan meledaknya pipa gas milik pemerintah, dan ledakan ini menyebabkan desanya tenggelam total. Dia bersama istri dan empat anaknya lalu mengungsi ke Pasar Baru Porong. Tiga bulan kemudian, dia menerima uang kontrak yang dia pakai sewa rumah di Kalitengah, Tanggulangin. Setelah dua tahun, masa kontraknya habis dan dia tak punya uang untuk memperpanjang. Dengan berat hati dan cemas dia sekeluarga kembali di rumahnya yang amblas satu meter dan hampir rubuh di RT 08 RW II Dusun Renokenongo.

    “Saya menjadi ketua RT selama 13 tahun,” tutur Nawawi.

    Sebagian korban memang sudah menerima uang 20 persen itu. Mereka ini korban luapan pertama. Tapi Nawawi bersama korban lainnya pasca ledakan pipa gas 22 November 2006 lainnya termasuk sial. Mereka belum mendapatkan uang 20 persen tersebut.

    Nawawi kecewa dengan pemerintah yang menyia-nyiakan bapaknya yang ikut berjuang untuk kemerdekaan namun tak bisa berbuat apa-apa melihat kuburan bapak dan leluhurnya yang tenggelam dalam lumpur. Dia tak dapat menuntut ganti rugi apapun.

    Tak hanya kuburan Dusun Renokenongo yang tenggelam. Kuburan Dusun Sengon, masih dalam Desa Renokenongo, juga terendam di tengah lumpur di dalam tanggul Lapindo. Penduduknya tak bisa lagi nyekar di kubur keluarga mereka. Mereka hanya mendoakan dari atas tanggul menghadap kuburan yang juga ditandai gerumbul kamboja yang mengering.

    Muhammad Yunus (40 tahun) adalah salah satu warga Sengon yang keluarganya dimakamkan di kuburan umum Dusun Sengon. Sore itu Yunus tak bisa nyekar dan hanya mendoakan arwah keluarga dari atas tanggul. Dia menangis melihat kubur orang-orang yang dicintainya tenggelam oleh lumpur.

    Yunus lebih beruntung daripada Nawawi. Setelah rumahnya di Dusun Sengon rubuh oleh luapan Lumpur, dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di Banjarasri, Tanggulangin. Dia juga sudah menerima uang 20 persen. Kini dia menuntut kapan rumah yang dijanjikan Lapindo bisa ditinggali.

    Soal kuburan yang tenggelam, menurut Yunus, tak ada bahasan ganti rugi sama sekali. Penduduk sudah pusing memikirkan tuntutan dasar mereka yang tak jelas kapan dilunasi.

    Yunus ingin kuburan yang sudah tenggelam ini dipindahkan ke tempat lain supaya dia bisa berziarah.”Warga sakjane pengen makame dileh, kersane saget ziarah, warga maunya kubur itu dipindah supaya bisa ziarah.”

    Persoalan kuburan ini tak hanya soal ziarah dan tradisi yang hilang. Namun juga soal bagaimana kalau warga dari kampung-kampung yang tenggelam ini mati. Pertanyaannya, mau dimakamkan di mana mereka kalau meninggal? Untuk warga Renokenongo yang kembali ke desa karena kontrakannya habis dan mati mereka akan dikuburkan di makam tetangga desa mereka, Glagaharum.

    Selama dua tahun pasca luapan lumpur, sudah 30 orang warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong yang meninggal. Mereka nebeng makam di desa Juwet Kenongo.

    ““Mereka dikumpulkan di pojok, tak boleh milih tempat sembarangan,”” tutur Nizar warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar.

    Selain dua kuburan di Desa Renokenongo, kuburan-kuburan di Desa Siring, Kedungbendo, Mindi, Jatirejo Timur, Jatianom juga ditenggelamkan lumpur Lapindo. Jelang Ramadlan warga Mindi melakukan aksi nyekar di tanggul dan mendoakan leluhur mereka di sana.

    “Di Jatirejo ada dua kuburan satu di Jatirejo Timur dan Barat. Yang di Jatirejo Timur sudah tenggelam dan yang di Barat masih,” tutur Ahmad Novik (29 tahun) warga Jatirejo.

    Penduduk Besuki yang setengah kampungnya ditenggelamkan lumpur masih beruntung karena kuburan mereka masih bisa digunakan. Dulu sempat tergenang lumpur tapi kini sudah kering. Meski kuburan itu dilapisi lumpur namun penduduk masih bisa menggunakannya. Sore sehari menjelang Ramadlan, penduduk Besuki memadati kuburan berlumpur itu untuk menjalankan tradisi nyekar dan mendoakan arwah keluarga mereka.

    Suroso adalah salah satu warga Besuki yang nyekar sore itu. Tak hanya menjelang Ramadlan, biasanya, Suroso ziarah ke makam orang tuanya setiap malam Jumat.

    “Ini sudah menjadi adat kebiasaan yang diharuskan menjelang puasa dan Idul Fitri,” tutur Suroso.

    Soal kuburan yang tenggelam dan tradisi yang hilang ini belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun PT Minarak Lapindo Jaya. Jangankan untuk mengurus hal-hal semacam ini, melunasi tuntutan-tuntutan dasar macam perlunasan uang tanah, rumah dan sawah saja mereka nunggak.

    Persoalannya akan lebih rumit lagi kalau melihat luapan lumpur yang dialirkan di sungai-sungai di sekitar tanggul yang membunuh ekosistem dan merusak lingkungan.

    “Jangankan yang mati yang hidup saja ditelantarkan,” tutur Nawawi patah arang.

    Nyekar ke kuburan di Desa Besuki

  • Ojek Tanggul, Mengais Rejeki Di Tengah Bahaya

    korbanlumpur.info – Sudah dua tahun ini Marsudiono (42 tahun) jadi tukang ojek di tanggul lumpur Lapindo. Baginya bau busuk lumpur, debu, dan terik matahari yang menyengat sudah menjadi sego jangan alias sudah biasa baginya.

    Yudi, begitu sapaan akrab Mardudiono, tak tahu kalau luapan lumpur itu mengandung logam berat yang berbahaya macam Cadmium, Chromium, Arsen juga Merkuri. Dia hanya tahu kalau bau itu bisa membahayakan kesehatannya dan sialnya bapak dua anak ini tidak punya pilihan lain saat saya tanya apakah dia tidak takut? “Takut juga, tapi bagaimana lagi kan harus cari duit,” tutur Yudi.

    Rumah Yudi dulunya di dekat tugu masuk desa Siring. Di antara tugu dan pintu masuk menuju pusat semburan lumpur, tepatnya, di RT 11 RW 02 nomer 17. Dia menempati rumah seluas 350 meter bersama istri Surotin (39 tahun) dan dua orang anaknya Ryan Priyambodo (17 tahun) dan Yora Lensinawati (12 tahun).

    Di rumah tersebut Yudi menyewakan 10 ruangan pada karyawan-karyawan dari luar daerah. Sebelum lumpur meluap Siring merupakan kawasan industri yang cukup sibuk.

    “Perkamar 75 ribu sebulannya,” tutur Yudi.

    Banyak perusahaan dan salah satu perusahaan yang terkenal adalah PT. Catur Putera Surya (CPS). PT ini mencuat namanya pada tahun 1993-an karena kasus pembunuhan buruhnya yang benama Marsinah karena menuntut kenaikan gaji 20%. Marsinah lalu menjadi salah satu simbol perlawanan buruh.

    Tokohnya pernah difilmkan oleh sutradara Slamet Rahardjo Djarot pada 2001. Waktu awal semburan lumpur orang-orang Siring bilang ini karena kualat dengan Marsinah. Tak jelas apa maksudnya. Yudi tak begitu percaya. “Orang hanya menjadikannya guyonan saja,” tutur Yudi.

    Kini semuanya telah hilang. Kehidupan bertetangga Yudi, kos-kosannya sebagai penopang hidupnya sekeluarga musnah. Dia sudah menerima 20 persen ganti rugi tanah pekarangan dan rumahnya. Namun itu belum cukup untuk bertahan hidup dia musti bekerja dan itu juga dialami oleh banyak keluarga dari Siring dan Jati Rejo.

    Ojek di sekitar luapan lumpur Lapindo menjadi pilihan mereka. Sebanyak 150 orang dari dua desa itu yang kehilangan pekerjaan dan memilih menjadi ojek tanggul dan mengantarkan orang yang penasaran dengan luapan lumpur Lapindo.

    Orang-orang dari luar daerah banyak yang penasaran dengan tanggul. Tanggul menjadi lokasi wisata dadakan. Kata ‘wisata’ sebenarnya kurang pas untuk lokasi bencana di mana ribuan orang dipaksa keluar dari tempat tinggal dan merenggut puluhan nyawa. Kata yang lebih pas mungkin ‘ziarah’.

    “Ziarah lebih pas agar orang mengingat kalau di tempat ini pernah ada orang yang meninggal dan diusir dari tempat tinggalnya,” tutur Yudi.

    Tarifnya bervariasi tergantung jauh dekatnya putaran. Paling mahal 50 ribu untuk mengelilingi seluruh tanggul yang meliputi empat desa. “Biasanya butuh waktu empat jam,” tutur Yudi.

  • Janji Manis DPR ke Korban Lapindo

    korbanlumpur.info – Aktivitas para wakil korban Lapindo hari ini (2/9) ke DPR, bertemu dengan Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar. Setelah Senin (1/9) kemarin bertemu dengan Fraksi Kebangkitan Bangsa di DPR dan Partai Keadilan Sejahtera di kantornya daerah Mampang Prapatan. Hasilnya, korban Lapindo harus tetap menunggu langkah konkret DPR.

    Acara pertama adalah bertemu dengan FDIP yang diwakili oleh Supomo, Eva Kusumandari, Jakobus Mayong Padang dan Permadi. Pertemuan diawali dengan mendengarkan suara korban. banyak hal yang disampaikan oleh korban dari area yang didalam perpres dan  9 desa yang terdampak diluar perpres. Seperti Suwito, ketua  Geppres yang menceritakan Lapindo masih enggan untuk membayar uang yang 80%. Atau Abdus Salam, wakil dari desa yang terdampak. Ia memrotes pemerintah yang tidak berbuat apa-apa terhadap gas yang banyak muncul, tanah yang turun, rumah yang retak dan gangguan kesehatan.

    Keluh kesah warga seperti biasa hanya didengarkan dan dijanjikan akan diteruskan ke pihak-pihak yang berkepentingan. Namun saat di desak, langkah konkrit apa yang bisa dilakukan. Para anggota dewan itu menjawab secara normatif. Lagi-lagi janji manis yang diberikan. “PDIP seharusnya jika peduli ada penderitaan rakyat porong, seharusnya secara resmi meberikan peringatan ke pemerintah,” ujar Siti Maemunah dari Jaringan Advokasi Tambang. Supomo hanya menjawab, “Kami akan rapatkan itu.” Tak ada kesepakatan apapun dengan PDIP.

    Agenda berikutnya adalah bertemu dengan Ketua PKB, yang juga wakil ketua DPR Muhaimin Iskandar. Muhaimin didampingi oleh anggota DPR dari FKB, Aryo Wijanarko. Dalam pertemuan ini, Muhaimin menjanjikan ia akan menemui presiden SBY dan membawa laporan yang diberikan Korban Lapindo. Akan tetapi ia tidak berjanji bisa mempertemukan perwakilan korban dengan SBY. “Saya usahakan, tapi saya tidak berjanji bisa mempertemukan anda ke SBY.” kata dia di akhir pembicaraaan.  [navy]

  • Setelah Dua Tahun Ngontrak, Tinggal Di Mana?

    korbanlumpur.info – Hari mengontrak dua tahun rumah dua kamar di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II setelah rumahnya di Kedung Bendo, ditenggelamkan lumpur Lapindo. Cak Hari, sapaan akrab Hari Suwandi, tak ada duit untuk memperpanjang kontrakan. Duit 20 persen dari rumahnya yang terpaksa dijual pada Lapindo sudah habis dan 80 persennya nunggakLapindo milik keluarga Bakrie itu enggan mengeluarkan duit untuk melunasinya.

    Harusnya, seturut pasal 15 Perpres No. 14/2007, sisa 80 persen uang Hari dibayar sebulan sebelum masa kontrakanya habis. Tepatnya pada bulan Juli tahun ini. Cak Hari, yang gara-gara lumpur Lapindo tak hanya kehilangan rumah tapi juga pekerjaannya, pusing tujuh keliling. Nilai 20 persen yang diterima Cak Hari, yakni sebesar 31.268.000 rupiah, sudah habis untuk makan sehari-hari dan dibagikan pada tiga anaknya perempuannya yang sudah berkeluarga.

    Masing-masing saya bagi tiga jutaan,” tutur Hari.

    Di Kedung Bendo rumahnya yang lama, Cak Hari dan sebelas anggota keluarganya, terdiri dari istri, 3 putrinya, 3 menantu, dan tiga cucu, menempati rumah seluas 54 meter di tanah seluas 75,34 meter. Setelah bencana lumpur Lapindo Cak Hari hanya bisa mengontrak rumah kecil dan tak cukup 11 orang. Keluarganya pecah.

    Anak-anak ada yang ngungsi ke mertuanya dan ada yang ngontrak sendiri,” kata Cak Hari, di rumah kontrakannya, di Blok S, yang habis masa sewanya itu.

    Cak Hari, sebenarnya, sudah mempersiapkan uang untuk kontrakan ini, beberapa hari sebelum kontrakannya habis. Uang didapat dari hasil menggadaikan sepeda motor milik menantunya Ahmad Novik pada Bank Citra Abadi, bank simpan pinjam di dekat pom bensin Tanggulangin. “Saya tarik (gadaikan) dua juta,” tutur Cak Hari.

    Setelah dapat uang Cak Hari akan menitipkan uanguntuk kontrakan namun ditolak orang suruhan Ahmad Zuhron karena takut terpakai dan habis.

    Beberapa hari setelah kedatangan pertama orang suruhan Zuhron datang dan uang tersebut sudah dipakai Cak Hari untuk makan. “Sisanya tinggal tujuh ratus ribu,” kata Cak Hari.

    Semua uang itu dikasihkan dan kurangnya Cak Hari minta waktu untuk cari pinjaman. Empat hari kemudian orang suruhan Ahmad Zuhron datang ke rumah Hari dan menagih pembayaran perlunasan. Cak Hari bilang cuma punya duit itu dan tidak bisa cari tambahan. Dengan duit 700 ribu Cak Hari meminta diizinkan ngontrak setengah tahun.

    Kalau tidak diperbolehkan, ya, balik ngungsi ke pasar atau tidur di tanggul,” tutur Cak Hari pasrah.

    Multajam

    Nasib serupa juga dialami oleh Multajam, 43 tahun, dan keluarganya. Sama seperti Hari, sudah dua tahun Multajam menganggur. Pabrik sabun Debrima tempat dia bekerja tak lagi beroperasi karena digulung lumpur Lapindo. Sehari-hari biaya hidupnya dan kedua anaknya bergantung pada Taslimah, 37 tahun, istrinya, yang kerja di pabrik rokok Andalas. Per 1000 batang rokok yang diproduksi, Taslimah mendapat bayaran 2.400 rupiah.

    Paling banter sehari dia menghasilkan 3000 batang. Kerjanya tak tentu, kadang dalam sebulan libur 3 minggu. Tergantung pada pesanan.

    Multajam, yang dulu tinggal di Desa Kedung Bendo RT 05/RW 02 dengan aset rumah seukuran 110 meter di tanah seluas 213 meter ini, pusing. Uang 80 persen belum juga dibayarkan Lapindo. Di pihak lain, kebutuhannya tak bisa diajak kompromi. Ongkos sekolah dua anaknya, Ahmad Ulum Fahrudin dan Ferry Afriyanto, di SMK dan SMP tak bisa ditunda.

    Lebih pusing lagi, Multajam dihadapkan pada pola baru, cash and resettlement. Dengan skema ini, bangunan dibeli dan akan dibayar 2 bulan setelah penandatanganan, sementara tanah diganti tanah baru, satu banding satu. Multajam menolak.

    Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus) nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

    Pembayaran pertama 20 persen diterima Multajam pada Agustus 2006. Multajam tak punya sawah, hanya punya pekarangan dan bangunan. Totalnya dia menerima, 75,6 juta. Uang 20 persen pembayaran tanah dan bangunan ini lalu dipakai Multajam untuk mengontrak rumah di Perumahan Tanggul Angin Anggun Sejahtera. Karena khawatir pencairan keduanya sulit dia memilih tipe yang murah di komplek Blok M 5/64. Dia mengontrak dua tahun. Kontrak itu habis kini, dan uang 80 persen belum dibayar oleh Lapindo. Multajam bingung mau tinggal di mana selanjutnya. Karena sudah memasuki kepala empat dia juga kesulitan mendapat kerja.

    Wis tuwek ngene arep kerjo opo? Kalah saingan karo sing nom-nom (sudah tua begini mau kerja apa? Kalah sama yang muda-muda),” tutur Multajam dengan logat Jawa Timuran.

    Cak Hari dan Multajam disiksa Lapindo dengan pola cash and carry namun Lapindo juga menggantung nasib orang-orang yang memilih cash and resettlement.

    Juminah

    Ini yang terjadi pada Juminah, 66 tahun, bukan nama sebenarnya, dan keluarganya yang memilih cash and resettlementSebelum Lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya sekaligus tempat kerjanya di Kedung Bendo, RT 02 RW 01, Porong, Juminah adalah janda beranak enam. Hidupnya begantung pada usaha dompet yang dikelola Baskoro (bukan nama sebenarnya), anaknya 40 tahun. Tiap bulan, pendapatan Baskoro lima sampai enam juta rupiah. Juminah dan kedua anaknya, termasuk Baskoro dan istrinya, menempati rumah sederhana berukuran 75 meter.

    Rumah ini juga dijadikan tempat usaha. Walau tidak kaya kehidupan mereka tenang. Ketenangan ini terenggut setelah Lapindo gagal dalam pengeboran dan mengakibatkan ribuan warga belasan desa di tiga kecamatan di Sidoarjo kehilangan rumah tinggal, pekerjaan, semua harta milik dan kehidupan sosial mereka.

    Baskoro sibuk mengungsikan keluarganya. Awalnya mereka mengungsi di balai desa, lalu pindah ke Tulangan dan terakhir di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (Perum TAS II) blok S7/39. Selama setahun Baskoro mengurusi pindah-pindah ini dan mengabaikan pekerjaannya.

    Setahun pasca bencana dan setelah keluarganya aman di Perum TAS II Baskoro baru bisa memulai usaha dompetnya kembali. Selain memproduksi Baskoro juga memasarkan dompet-dompetnya dan ini bukan pekerjaan mudah untuk pengusaha yang vakum setahun.

    Dia harus cari pelanggan-pelanggan baru. Tak hanya itu, omzetnya juga berkurang drastis hingga 50 persen. Kerugian macam ini tak dihitung oleh Lapindo saat membahas ganti rugi. Hanya usaha-usaha menengah ke atas yang dapat ganti rugi. Usaha-usaha kecil rumahan diabaikan. Akibatnya, banyak korban Lapindo kehilangan pekerjaan. Rata-rata mereka akhirnya jadi tukang ojek di lokasi bencana.

    Bagi warga kecil macam Baskoro yang dihitung ganti ruginya hanyalah tanah, rumah dan sawah. Itu pun sebenarnya bukan ganti rugi, melainkan jual beli. Untuk sawah 120 ribu permeter, satu juta permeter untuk tanah, dan satu juta setengah per meter untuk rumah. Sedangkan kerugiannya atas penghasilan setahun serta penurunan omzetnya tak masuk hitungan.

    Total harusnya Baskoro mendapat ganti rugi 187,5 juta. Namun ini tidak bayar kontan oleh Lapindo. Sebagai tahap awal Baskoro hanya mendapat 20 persen yakni 37,50 juta ini sesuai dengan hitungan cash and carry di pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Belakangan, Lapindo tak menaati peraturan pemerintah ini dan membikin peraturan baru yakni cash and resettlementIni membingungkan warga, termasuk Baskoro, dan karena bingung dia memilih cash and resettlement.

    Hitungannya tetap pada rumah yakni 1,5 juta rupiah per meter namun tanahnya diganti dengan tanah baru di tempat lain di wilayah Sidoarjo. Pilihan tanahnya ukuran 90 meter dan 120 meter. Untuk warga yang tanah kurang dari ukuran tesebut harus nomboki dan ini yang dialami Baskoro dan keluarga yang hanya memiliki tanah 75 meter persegi. Uang kekurangan ini dipotong langsung dari uang rumahnya. Ini tidak adil.

    Kami harus nomboki 15 juta,” tutur Baskoro.

    Sementara, pembayaran atas bangunan oleh Lapindo baru dilakukan setelah dua bulan dari Agustus 2008. Itu pun jika Lapindo tidak mangkir. Baskoro gamang karena sebentar lagi hendak puasa di mana kebutuhan hidup melonjak dan kontrakannya pun akan segera habis. Dia tidak tahu, dengan cara apa harus memenuhi semua biaya itu. [mam]

  • Beringin: Dusun Yang Terpinggirkan

    korbanlumpur.info – Apa yang terjadi terhadap dusun Beringin desa Pamotan sungguh memprihatinkan, sumur-sumur warga telah keluar gelembung-gelembung gas sehingga airnya tidak bisa dipakai lagi, selain itu, semburan api juga bermunculan dibeberapa rumah dan pekarangan warga. dusun Beringin, Pamotan terletak di sebelah barat pusat semburan lumpur Lapindo dan berjarak sekitar 2 km. Sama seperti desa-desa di luar peta area terdampak, kondisi kerusakan lingkungan dan turunnya kualitas kesehatan tidak dilihat sama sekali oleh Pemerintah.

    Kondisi ini sudah mulai sekitar bulan Januari 2008 dan hingga sekarang tidak ada penanganan serius. “Ini sudah sejak Januari, awalnya cuma kecil, sekarang semakin membesar” ujar Semiwati, 56 tahun warga Beringin. Semiwati menuturkan, di rumah kakanya Amani, api sudah keluar di dapur. “Awalnya kita mau nyalain kompor, tiba-tiba api menyambar ke sebelahnya, dulu itu bekas bak kontrol selokan” tambahnya. Dirumah Amani itu, semburannya diberi pipa untuk mengalirkan gas dan atapnya dilobangi agar gas bisa keluar ruangan, karena posisi keluarnya semburan api ada di dapur, keluarganya terkadang memakainya sebagai kompor. Sedangkan di rumah Semiwati sendiri air sumur sudah tidak bisa digunakan, gelembung-gelembung gas muncul dan airnya berbau serta berasa asin “Airnya banger, coba saja kalau nggak percaya” ujarnya. Dan memang benar, air itu berbau dan rasanya asin, tentu saja kondisi air yang seperti seharusnya tidak bisa dipakai lagi.

    Namun warga tidak punya pilihan lain, dengan air yang bercampur gas, mereka masih tetap menggunakannya untuk aktifitas sehari-hari. Semiwati sudah sedemikian kesal dengan kinerja pemerintah yang tidak tanggap, menurutnya warga sama sekali tidak terperhatikan, BPLS hanya memberi bantuan air yang tidak konstan pengirimannya “Dua hari sekali, cuma dua tandon pula, tentu tidak cukup, karena sumur warga sudah rusak semua” lagipula, kerusakan sudah terjadi sejak januari, tapi bantuan air baru ada satu bulan kemarin. Bantuan air bersih sama sekali tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan warga. Warga sendiri mengaku gelisah atas kondisi ini “Itu katanya mengandung gas beracun, kita was-was juga, gimana kalau keracunan, gimana kalau tiba-tiba apinya membesar” sambung Semiwati.

    Sampai sekarang, mereka berharap agar wilayah mereka segera diselesaikan dan warga bisa diselamatkan.[re]

  • Warga Yang Ditahan Sudah Dilepas

    korbanlumpur.info – Seluruh korban lapindo, baik tujuh orang dari Mindi maupun tiga orang dari Jatirejo yang kemarin ditangkap ketika melakukan aksi penutupan tanggul sudah dilepas oleh pihak kepolisian.

    Seperti diberitakan kemarin, tujuh orang dari desa Mindi dan tiga orang dari desa Jatirejo ditahan ketika melakukan aksi demonstrasi dengan menutup akses masuk di tanggul semburan lumpur Lapindo.

    Tujuh orang Mindi itu adalah: Shohibul Izar warga RT 02 RW 01, Abdul Mukti warga RT 20 RW III, Muhammad Fatoni warga RT 07 RW III, Tri Joko Nugroho warga RT 21 RW III, Abdul Haris warga RT 14 RW II, Syamsul Ali warga RT 15 RW II, Boneran warga RT 14 RW II.

    Sedang tiga orang desa Jatirejo: Udin warga RT 10 RW 02, Suherianto warga RT 09 RW 02 dan Kukuh warga RT 08 RW 02.

    Menurut Subagyo SH, Pengacara dari Tim Advokasi Korban lapindo, korban sudah seluruhnya dilepaskan, yang terakhir adalah tiga warga dari Desa jatirejo, yang disangka melakukan perusakan alat berat. “Sudah dilepas semua, baik 7 warga Mindi dan 3 warga jatirejo yg merusak alat berat kontraktor penanggulan” begitu pernyataan Subagyo.

    Tujuh orang dari Mindi yang ditahan di Polsek Porong dilepaskan sekitar pukul 01.00 dinihari sedang tiga orang dari Jatirejo yang ditahan di Polres Sidoarjo dilepaskan sekitar pukul 13.30 siang hari.[re]

  • Tanggul Cincin Lapindo Jebol

    Tanggul Cincin Lapindo Jebol

    korbanlumpur.info – Sidoarjo: Tiga bego, eskavator, berlomba menjulurkan lengan pengeruknya di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo. Satu bego mengeruk lumpur dari pusat semburan dan membuangnya di sisi timur tanggul sementara dua bego lainnya mengeruk tanah dan meninggikan tanggul. Pusat semburan ini biasa disebut lokasi tanggul cincin karena bentuk tanggulnya yang melingkar. Sisi timur tanggul ini jebol pada malam tadi.

    Awalnya cuman air di permukaan lumpur yang meluber di sisi timur tanggul lalu disusul dengan lumpur yang volumenya semakin meningkat karena operasi penanggulan sehari kemarin dihentikan oleh para korban Lapindo dari berbagai desa.

    “Lumpur mulai meluber jam 8 malam kemarin dan ini yang merusak tanggul,” tutur Ahmad Zulkarnain, corong Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo atau BPLS.

    Warga menuntut supaya Lapindo segera melunasi hutang 80% dari harga pekarangan, rumah, dan sawah mereka yang tenggelam dalam lumpur. Harusnya Lapindo membayar bulan lalu namun ternyata mangkir dan warga menutup penanggulan karena merasa tanah yang ditanggul masih miliknya.

    “Lapindo baru membayar dua puluh persen,” tutur Dumadi, warga Reno Kenongo yang turut dalam aksi penutupan tanggul kemarin. Tak hanya itu warga Reno Kenongo yang tergabung dalam Pagar Rekontrak bahkan belum mendapat bayaran tanah dan bangunannya sepeserpun.

    “Bayar dulu baru tanggul,” demikian bunyi tuntutan di spanduk-spanduk warga. Zulkarnain menghargai tuntutan warga ini dan membikin pernyataan tertulis yang berisi akan menghormati tuntutan warga dan tidak melakukan penanggulan hingga ada kepastian tuntutan tersebut dibayar oleh lapindo.

    Namun operasi penanggulan dilakukan lagi pada hari berikutnya.

    Selain jebol di sisi timur, cincin tanggul di sebelah timur cincin juga mulai retak. Retakannya lebih dari 10 meter dan lumpur mulai meluber dari dua retakan kecil. Retakan ini terdapat di tanggul tepat di tengah antara dukuh Wangkal, Sengon (desa Renokenongo) dengan perumtas Kedung Bendo.

    Retakan ini jelas membahayakan warga-warga desa di sebelah timur tanggul. “Bukan tidak mungkin ada desa baru yang akan terdampak lumpur,” jelas Zulkarnain.

  • Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    korbanlumpur.info – Meskipun aksi di tempat lain dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian, warga yang menduduki akses ke tanggul di Desa Ketapang masih tetap bertahan. Sampai pukul 02.00 hari Selasa (26/8) warga masih tinggal di tenda darurat yang siang tadi didirikan oleh warga. “Kami tetap bertahan sampai tuntutan kami dipenuhi,” ujar Abdul Syukur (40 tahun) kepada Kanal.

    Bersama dengan puluhan korban lainnya dari Desa Kedung Bendo dan Gempolsari, Cak Syukur, demikian pria 40 tahun ini biasa dipanggil, yang merupakan warga Desa Ketapang memilih tidur di tanggul. Tidak hanya, laki-laki dewasa yang memutuskan untuk tinggal di tanggul, tetapi juga ibu-ibu maupun anak-anak kecil semuanya tidur di tenda yang dibangun seadanya itu.

    “Rumah kami kan sudah tenggelam, kontrak 2 tahun juga sudah habis. Kami tidak punya lagi tempat untuk tinggal,” terang bapak satu putra ini.

    Pendapat senada diungkapkan oleh Anto (29 tahun) warga Desa Kedung Bendo yang juga bertahan di tanggul. Pemuda lajang yang akrab dipanggil Gambar ini menegaskan tekad bahwa warga tidak khawatir aksi mereka akan dibubarkan oleh aparat. “Atas dasar apa aparat membubarkan kami. Sepanjang belum dilunasi, tanah ini kan masih milik kami,” tegasnya ketika ditemui dini hari tadi.

    Koordinator aksi di tanggul Desa Ketapang, Hari Suwandi menjelaskan bahwa memang beberapa kali dia dihubungi aparat dari Polres Sidoarjo. Pihak kepolisian menanyakan bagaimana situasi aksi yang dilakukan oleh warga di Desa Ketapang. Dan sejauh ini, situasi aksi di Desa Ketapang memang relatifterkendali. “Tadi malam kami mengadakan istighotsah yang dipimpin oleh Ustadz Matsukril dari Desa Kedung Bendo,” terang Hari.

    Menurut rencana, aksi korban Lumpur Lapindo dengan menutup tanggul akan dilanjutkan selama beberapa hari ke depan. Dan selama tuntutan mereka belum dipenuhi, warga akan tetap menduduki tanggul.

    “Bahkan kalau perlu kami akan mendirikan gubuk untuk tempat tinggal kami dan keluarga di atas tanah dimana dulu rumah kami berdiri,” tegasnya. (ako)

  • BPLS Tidak Berkutik dengan Desakan Warga

    BPLS Tidak Berkutik dengan Desakan Warga

    korbanlumpur.info – Aksi penutupan tanggul oleh warga korban Lumpur Lapindo benar-benar membuat pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pusing tujuh keliling. Aktivitas penanggulan yang berhenti total selama seharian kemarin (Senin, 25/8), menyebabkan beberapa titik tanggul mengalami kritis akibat volume lumpur yang terus meningkat, sementara pengaliran ke sungai Porong dan penguatan tanggul tidak bisa dilakukan.

    Padahal, aksi warga tidak hanya akan berlangsung satu hari. Warga akan terus menutup akses ke tanggul, yang notabene adalah tanah mereka sendiri, sampai tuntutan sisa pembayaran 80 persen terpenuhi. Posisi BPLS kian terjepit karena warga berhasil ‘memaksa’ mereka menandatangani surat pernyataan, yang isinya ‘membiarkan’ warga untuk terus menutup akses ke tanggul.

    Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh Humas BPLS, Ahmad Zulkarnaen, yang kewalahan menghadapi desakan warga. Bertempat di Posko GEPPRES di Desa Jatirejo, Zulkarnaen tadi malam harus menghadapi berondongan pertanyaan dan gugatan dari korban yang mempertanyakan ketidaktegasan BPLS selaku pihak yang seharusnya bertanggungjawab menangani semua dampak yang timbul dari Bencana Lumpur Lapindo.

    Awalnya, Zulkarnaen datang ke Posko untuk memberi penjelasan terkait alasan pembubaran aksi warga di akses tanggul Desa Siring. Warga menganggap bahwa pihak kepolisian sebenarnya tidak berhak membubarkan aksi mereka karena aksi mereka tidak dilakukan di tempat umum, tetapi di lahan milik mereka sendiri. Warga juga sudah memberitahukan mengenai aksi mereka ini kepada kepolisian dan BPLS.

    Bahkan, dalam berbagai kesempatan, pihak BPLS selalu mengatakan bahwa mereka menghargai dan akan memfasilitasi tuntutan warga. Tetapi korban merasa hal itu hanya sebatas omong kosong semata. Ketika sampai pada kebutuhan misalnya BPLS seharusnya tegas membantu hak warga, mereka terkesan hanya pasif dan membiarkan saja.

    Karena itu, dalam kesempatan pertemuan kemarin, warga habis kesabarannya dengan posisi tidak jelas BPLS tersebut. Mereka menuntut agar Zulkarnaen yang dianggap mewakili BPLS mempertegas posisinya terhadap tuntutan warga. Warga kemudian menodong Zulkarnaen untuk menandatangani surat pernyataan bermaterei seperti di atas.

    Dengan ditandatanganinya surat pernyataan ini, warga memegang bukti bahwa ke depan BPLS akan mendukung tuntutan korban. Terkait dengan tuntutan sisa pembayaran 80 persen saat ini, BPLS tidak akan menghalangi aksi warga untuk menutup tanggul sampai ada perkembangan/keputusan positif terhadap tuntutan korban.

  • 7 Warga Mindi Diamankan Aparat

    7 Warga Mindi Diamankan Aparat

    korbanlumpur.info – Maghrib tadi tujuh warga Mindi yang ikut dalam aksi menutup tanggul lumpur Lapindo diamankan aparat. Mereka masih belum tahu kesalahannya.

    Saat ditemui di Polsek, Tujuh warga ini bercerita, saat ditangkap mereka bilang polisi langsung datang satu truk dan bilang kalau waktu aksinya sudah habis.

    Mereka adalah Shohibul Izar warga RT 02 RW 01, Abdul Mukti warga RT 20 RW III, Muhammad Fatoni warga RT 07 RW III, Tri Joko Nugroho warga RT 21 RW III, Abdul Haris warga RT 14 RW II, Syamsul Ali warga RT 15 RW II, Boneran warga RT 14 RW II.

    Sebelumnya, sekitar pukul 16.00 WIB, kira-kira 10 orang warga Jatirejo memecahkan kaca bego, eskavator, yang diparkir di titik 25. Setelah aksi ini tiga orang warga Jatirejo yang diduga melakukan perusakan ditangkap aparat kepolisian dari polsek Porong dan Satuan Samapta Kepolisian Resort Sidoarjo.

    Tak hanya melakukan penangkapan polisi juga membubarkan warga Siring yang melakukan aksi penutupan di pintu masuk ke pusat semburan. Aksi damai ini dilakukan karena Lapindo ingkar janji dalam pembayaran tanah, rumah dan sawah warga yang seharusnya dibayar bulan Juli lalu.

    Kebanyakan warga baru dibayar 20 persen dan sebagian bahkan belum dibayar sama sekali. Karena itulah warga korban Lapindo dari beberapa desa melakukan aksi menutup penanggulan sejak subuh tadi.

    “Bayar dulu baru tanggul,” begitu tulisan warga dalam spanduk-spanduk mereka.

    Penutupan ini dilakukan warga di desa masing-masing; antara lain di desa Siring, Reno Kenongo, Jatirejo, Kedung Bendo dan Ketapang, Mindi (di Pejarakan dekat spill way)  menyebabkan operasi penanggulan lumpur macet total.

    Hingga siang aksi yang diamankan oleh aparat gabungan dari Polsek Porong dan Satuan Samapta ini berjalan tanpa kekerasan.

    Kasat Samapta Polres Sidoarjo T Harahap yang ditemui saat mengamankan aksi di titik Reno Kenongo memahami tuntutan warga. Sebab, menurutnya karena memang Lapindo belum membayar sisa utangnya. Dia bilang akan bersatu dengan warga untuk mengamankan aksi ini.

    Sampai pada insiden perusakan kaca-kaca Bego di yang diparkir di dekat lokasi desa Jatirejo. Aksi ini dilakukan beberapa orang dan masa aksi tetap tenang di titik masing-masing.

    Setelah itu polisi yang melakukan pengamanan mulai membubarkan masa aksi yang paling dekat dengan titik Jatirejo adalah Siring dan ini yang dibubarkan aparat. sound system, spanduk dan terpal diangkut semua dalam truk polisi dan dibawa di Polsek Porong.

    Meski kejadian pengerusakan di titik penutupan Jatirejo yang berdekatan dengan titik Siring tapi Polisi juga membubarkan aksi penutupan tanggul di dua titik lainnya yang jaraknya lebih dari 5 kilo meter dan tidak mengerti apa-apa dengan aksi pengerusakan ini. Dua titik tersebut adalah titik Renokenongo dan Mindi.

    Tak hanya membubarkan aksi polisi juga mengangkut sound system dan spanduk, terpal dari Reno Kenongo dan Di titik Mindi polisi membawa terpal. Tak hanya itu masa aksi yang saat pembubaran ini sedang bergantian untuk menunaikan shalat Magrib juga ditangkap polisi tanpa alasan yang jelas.

    Saat ketemu T Harahap di Polsek Porong dia hanya bilang polisi tidak menangkap tapi cuma meminta keterangan.

  • Aksi Damai Korban Lapindo Dibubarkan Aparat

    korbanlumpur.info – Aksi warga korban lumpur yang menutup akses ke lokasi semburan Lumpur yang berlangsung dengan damai, dibubarkan paksa oleh aparat keamanan. Yang dibubarkan adalah massa yang menduduki tanggul di pintu masuk desa Siring, akses yang langsung menuju ke titik R1 atau pusat semburan lumpur. Dilaporkan bahwa ada 3 orang warga yang ditahan dalam insiden ini.

    Dari beberapa informasi yang berhasil dikumpulkan tim Kanal, diperoleh keterangan bahwa pembubaran ini dipicu oleh adanya provokasi yang berupa perusakan terhadap peralatan berat yang berada di dalam lokasi tanggul. Diduga, perusakan ini dilakukan oleh beberapa orang pemuda yang kelihatan sedang mabuk, di lokasi bekas desa Jatirejo.

    Begitu mendapat laporan adanya perusakan ini, polisi kemudian menangkap ketiga pemuda tersebut. Bersamaan dengan penangkapan ini, ratusan petugas kepolisian juga membubarkan massa di Siring yang jaraknya paling dekat dengan lokasi penangkapan. “Sebagian besar peserta aksi tampaknya sedang pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat,” ujar Rere, warga Renokenongo yang menyaksikan kejadian tersebut.

    Kapolres Sidoarjo, AKBP Maruli Simanjuntak yang memimpin langsung pembubaran itu, menyatakan bahwa aksi blokade warga harus selesai sebelum jam 18.00. Jumlah massa yang berkurang hingga tinggal puluhan orang sore itu juga didominasi oleh kaum ibu, tidak berdaya menghadapi pembubaran oleh polisi yang beranggotakan ratusan personel. Spanduk dan berbagai macam alat aksi lainnya dilaporkan ikut disita oleh polisi.

    Saat ini, kelompok korban dari komponen GEPPRES yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan aksi masih mengadakan pertemuan untuk menyikapi aksi pembubaran oleh aparat keamanan ini.

    Sementara itu, aksi blokade yang berlangsung di titik lainnya, yaitu di bekas jalan tol Desa Renokenongo dan pintu masuk di Desa Ketapang. Di Desa Ketapang, peserta aksi yang sebagian besar adalah warga Kedung Bendo melanjutkan aksi malam ini dengan istighotsah. Warga bertekad untuk bertahan sampai tuntutan sisa pembayaran 80 persen segera dipenuhi. (ako)

  • Bikin Film Di Tengah Demo

    Bikin Film Di Tengah Demo

    Ada pemandangan lain di tengah demonstrasi ribuan korban lumpur Lapindo hari ini (25/08). Beberapa anak muda berpakaian kasual, tampak membawa peralatan pembuatan film ditengah kerumunan warga yang sedang menuntut hak-hak mereka. Kamera besar mereka men-shoot ke sekumpulan anak kecil yang bersepeda di atas tanggul.

    Mereka adalah mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta) yang sedang mengerjakan tugas pembuatan film. Setting yang dipakai adalah sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Ceritanya, ada anak-anak korban Lapindo yang berusaha mencari obat untuk ibunya yang sedang sakit. Ibu itu teracuni gas metan setelah lama berjualan di dekat wilayah lumpur Lapindo.

    Seperti diketahui, penelitian WALHI menyatakan lingkungan sekitar semburan lumpur telah tercemar PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) 8.000 kali melebihi ambang batas. PAH merupakan senyawa yang berbahaya. Senyawa itu menyebakan tumor atau kanker secara lansung. Parahnya lagi, PAH bisa berubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi tinggi akan resiko tumor dan kangker.Kenyataan ini sengaja ditutupi dan bahkan dimentahkan tanpa pernah dibuat penelitian tandingannya baik oleh pemerintah maupun pihak Lapindo Brantas.

    Menurut pengakuan Pidi, salah satu mahasiswa IKJ yang terlibat pada pembuatan film ini, setidaknya ada 20 mahasiswa IKJ yang ikut di Porong, untuk mengerjakan tugas itu. Mereka menggunakan pemain yang seluruhnya berasal dari korban, karena ingin mendapatkan gambaran nyata kondisi anak-anak korban Lapindo.

    Saat pengambilan gambar, korban Lapindo yang sedang melakukan aksi antusias melihat kerja para mahasiswa ini. Korban sendiri berharap semua kampanye yang dibuat, seharusnya bisa dipakai sebagai usaha menekan baik pihak Pemerintah maupun Lapindo.  Agar segera menyelesaikan masalah yang muncul akibat semburan lumpur itu.[re]

  • Korban Lapindo Bersatu Tutup Langgul

    Korban Lapindo Bersatu Tutup Langgul

    korbanlumpur.info – Gabungan beberapa kelompok korban kembali berunjuk rasa hari ini (25/08). Aksi ini karena masih berlarutnya proses pembayaran ganti rugi warga secara cash and carry. Juga belum jelasnya status desa-desa diluar peta area terdampak.

    Massa terdiri dari kelompok Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden), dan Paguyuban 4 Desa (Gedang, Ketapang, Glagaharum, dan Plumbon), juga tim 3 Desa (Mindi, Siring dan Jatirejo). Meskipun berbeda tuntutan, mereka melakukan aksi bersama menuntut penyelesaian desa-desa mereka.

    Geppres adalah kelompok desa-desa didalam peta area terdampak, yang sampai sekarang masih berjuang mendapatkan ganti rugi 80% secara cash and carry. Ini karena pihak Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menyatakan tidak akan membeli tanah warga yang berstatus kepemilikan Petok D dan Letter C.

    Sedangkan Paguyuban 4 Desa menuntut dimasukkannya wilayah mereka kedalam peta area terdampak. Sebab kesehatan dan keselamatan daerah mereka sangat rentan. Selain tinggal dekat tanggul yang bisa roboh sewaktu-waktu. Lingkungan mereka juga mengalami kerusakan dan terpolusi oleh logam berat dan PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) . “Kami ini juga korban, tolong pemerintah jujur melihat kondisi desa-desa kami” kata Jarot dari Siring Barat.

    Sejak pagi, ribuan massa  bergerak menutup semua akses masuk ke tanggul di beberapa titik. Mereka menolak dilanjutkannya proses penanggulan sebelum persoalan mereka diselesaikan. Warga menyatakan bahwa area teanggul itu masih tanah hak milik mereka, karena belum diselesaikan pembayarannya. Mereka mengancam akan menduduki tanggul secara permanen bila tuntutannya tidak dipenuhi.

    “Ini tanah warga dan warga masih punya hak di sini karena Lapindo belum menyelesaikan sisa pembayaran 80%. Sampai kapanpun kami akan tetap disini kalau Lapindo menolak membayar secara cash and carry” tutur Suwito Koordinator Geppres ditengah-tengah massa. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada pihak-pihak terkait yang datang untuk merundingkan permasalahan ini. [re]

  • Ribuan Korban Lapindo Menutup Tanggul

    korbanlumpur.info – Sidoarjo: Sejak subuh tadi Dumadi bersama dengan sekitar 470 keluarga  dari Desa Reno Kenongo yang tanahnya tergenang lumpur Lapindo menutup operasi penanggulan PT Minarak Lapindo Jaya. Mereka merasa masih memiliki tanah yang kini ditanggul. Mereka menutup pintu titik 43 yang letaknya tepat di bekas desa mereka alias Reno Kenongo.

    “Lapindo baru membayar dua puluh persen tanah kami, delapan puluh persennya tidak jelas,” jelas Dumadi di pinggir luapan lumpur.

    Selain Dumadi dan tetangganya, ribuan warga dari beberapa desa lainnya yang menjadi korban Lapindo juga melakukan aksi serupa yakni menduduki tanah mereka dan menyetop penanggulan.

    Aksi ini dilakukan setelah Lapindo mengingkari janjinya untuk melunasi sisa pembayaran yang mustinya di bayar bulan lalu.

    Aksi penutupan penanggulan ini dilakukan warga supaya mereka tidak merugikan orang lain. Sebelumnya mereka melakukan aksi menutup akses jalan raya Surabaya-Malang yang terletak di pinggir Tanggul.

    “Kami warga kecil yang dirugikan dan kami tak ingin merugikan orang lain. Kami menghentikan penanggulan karena tanah ini masih milik kami,” jelas Dumadi. [mam]

  • Living on the Poisonous Stream

    The residents of Permisan village near the Porong river in East Java have been harvesting fish from their ponds for generations, but since an environmental disaster at the Lapindo Brantas gas mining site in May 2006, the area has been suffering from vast eruptions of volcanic mud, which have buried nearby villages and displaced thousands of people.

    Whilst Permisan is not in the immediate vicinity of the mud flow, it does rely on the local river water to replenish its fish ponds, and since the company has been using the river to deposit the excess mud from the disaster zone, the fishermen have noticed that their fish harvests are getting smaller and less frequent.

    In this video, the residents of the community filmed their own story to demonstrate that their rights to livelihood have been violated and to request the acknowledgement of this by those responsible, and their assistance to help the community to manage their resources more effectively to ensure the sustainability of their local economy and way of life.