Category: Kanal Korban

  • Aku Ingin Pulang

    Tragedi lumpur Lapindo adalah bencana ekologis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sejak bencana itu terjadi pada 29 Mei 2006 hingga hari ini tidak ada upaya nyata untuk menghentikan semburan lumpur ini. Warga korban luapan lumpur panas yang mengungsi di Pasar Baru Porong mencapai 14.768 jiwa. Meskipun sebagian kecil dari mereka telah mendapat bantuan kompensasi dari pihak Lapindo, warga terlanjur kehilangan mata pencaharian, tempat bernaung, segenap harta benda serta hidup dan kebersamaan yang telah terbangung.

    Telah banyak warga yang mengalami gangguan fisik, sebanyak 49.639 jiwa menjalani rawat jalan, 1.130 orang menjalani rawat inap tersebar di berbagai pos kesehatan dan rumah sakit. Penderita gangguan jiwa telah puluhan orang diakibatkan tinggal di lokasi pengungsian. Anak-anak terganggu dalam aktivitas belajar mengajar, 33 gedung sekolah negeri dan swasta, mulai tingkat TK hingga SMA telah terendam lumpur.

    Kerugian akibat Lumpur mencapai Rp 33 Triliun, serta tidak terhitung angka kerugian akibat bencana lingkungan dan sosial yang terjadi. Dan angka-angka akan terus bertambah sepanjang lumpur tetap mengalir….… Entah sampai kapan, hanya ada satu yang pasti …warga Porong yang desanya telah terendam lumpur, tidak akan pernah pulang kembali ke rumahnya.

    Untuk lebih jelas tentang peristiwa ini silahkan lihat di Jatam (www.jatam.org), Walhi (www.walhi.or.id), dan Gekko Studio (www.gekkovoices.com).

    Klik untuk melihat video :

  • Lapindo dinominasikan sebagai pelanggar hak pemukiman warga

    Lapindo dinominasikan sebagai pelanggar hak pemukiman warga

    korbanlumpur.info – Porong: Bencana Lapindo telah membawa dampak yang sedemikian besar. Terdapat paling tidak 17 ribu keluarga kehilangan tempat tinggal, serta sekitar 75 ribu warga yang terpaksa menjadi gelandangan akibat terjangan Lumpur panas. Sementar puluhan ribu lainnya terancam untuk mengalami nasib serupa.

    Karena itulah, Centre on Housing Rights and Evictions, COHRE, lembaga pemantau Hak Pemukiman yang berkedudukan di Geneva, Swiss berencana menominasikan Lapindo sebagai pelanggar hak pemukiman warga.

    Untuk mendapatkan fakta yang mendukung nominasi ini, COHRE mengirim dua orang staf-nya untuk melakukan fact and finding mission ke Sidoarjo. “Tujuan kami adalah untuk mempelajari tentang bagaimana bencana yang tampaknya disebabkan oleh kesalahan industri ini sudah melanggar hak pemukiman warga,” ujar Zoe Gray, officer dari COHRE yang bersama Malavika Vartak melakukan kunjungan selama 3 hari ke Sidoarjo dari tanggal 18-20 Agustus 2008.

    Disamping melihat lokasi semburan, COHRE juga menemui berbagai kelompok korban dan sejumlah lembaga dan individu yang selama ini terlibat mendampingi korban Lumpur Lapindo. Selain itu, delegasi COHRE juga melihat langsung ke desa-desa yang terletak di luar peta terdampak yang sudah mengalami berbagai kerusakan akibat semburan lumpur, seperti keluarnya semburan gas, amblesan tanah dan hilangnya berbagai akses terhadap fasilitas yang sebelumnya mudah didapat.

    Pelanggar hak pemukiman warga (housing rights violator) merupakan salah satu dari 3 jenis award yang diberikan COHRE setiap tahun, bersama dengan pelindung hak pemukiman (housing rights protector) bagi negara dan pejuang hak pemukiman (housing rights defender bagi individu.

    Lapindo, diusulkan untuk dinominasikan sebagai pelanggar hak pemukiman oleh beberapa lembaga dan individu yang peduli dengan masalah Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hal ini disebabkan karena fakta bahwa Bencana Lumpur yang disebabkan oleh Lapindo telah menyebabkan puluhan ribu korban di Sidoarjo telah kehilangan rumah tinggal secara permanen. Sementara tanggungjawab perusahaan dalam menangani masalah ini masih jauh dari yang diharapkan.

    Menurut COHRE, hak akan pemukiman yang layak merupakan hak semua orang. Disamping tersedianya perumahan, situasi dimana pemukiman tersebut berada juga harus layak untuk ditinggali oleh warga. “Dan bencana lumpur ini jelas menyebabkan puluhan ribu orang telah kehilangan hak-hak pemukiman maupun terkurangi haknya akan lingkungan pemukiman yang tenang dan layak,” ujar Zoe Gray.

    COHRE juga menilai bahwa skema ganti rugi yang ditetapkan oleh pemerintah jauh dari memadai. Warga seharusnya memperoleh kembali aset dan kualitas hidup seperti yang sebelumnya mereka peroleh sebelum semburan lumpur terjadi. Disamping itu, semua hal yang terkait dengan faktor ekonomi, sosial dan budaya seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam merumuskan strategi yang tepat bagi upaya pemukiman kembali warga.

    Setelah penyelidikan lapangan ini dilakukan, COHRE akan membuat laporan terkait dengan hak akan pemukiman korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang sudah terlanggar. Dan kalau Lapindo terbukti melakukan hak pemukiman warga sesuai dengan usulan pihak yang menominasikan, maka Lapindo akan mendapatkan gelar pelanggar hak perumahan warga. “Hasilnya akan diumumkan akhir tahun ini di Swiss,” pungkas Zoe Gray.

  • Lapindo Tidak Mampu Selesaikan Warga Pengontrak

    korbanlumpur.info – Harapan Warga Pengontrak untuk segera pihak Lapindo menyelesaikan permasalahan warga pengontrak dan mereka mendapatkan hak-hak-nya setara dengan korban lainnya tampaknya masih jauh panggang dari api. Dari hasil pertemuan Anton Yuwono sebagai Koordinator Warga Pengontrak Perum TAS 1 dengan Diaz Roihan dari pihak Lapindo, selasa (12/08/2008) di daerah Juanda, Waru, Sidoarjo, tidak menghasilkan apa-apa.

    Diaz menyatakan bahwa dia belum bisa menyelesaikan urusan warga pengontrak. “Sampai sekarangpun saya tidak bisa memutuskan masalah ini, jadi tunggu saja saya akan koordinasikan dengan pimpinan saya” ucap Diaz seperti disitir oleh Anton ketika pertemuan itu.

    Menurut Anton yang menemui Diaz Roihan karena diminta datang ke kantor itu, tetap bersikukuh bahwa hak-hak warga pengontrak harus diperlakukan sama, karena itu semua hasil kesepakatan dengan beberapa pihak. “Waktu itu Pak Diaz sendiri juga menghadiri pertemuan, Pak Rawendra mengatakan di sidang DPRD Sidoarjo tidak ada masalah untuk warga Pengontrak akan diperlakukan yang sama, baik yang ber-KTP Sidoarjo maupun yang ber-KIPEM, dan diberikan hak yang sama” Kata Anton menirukan pernyataannya ketika menemui Diaz.

    “Di kantor Dinas Sosial sidoarjo warga bersama Lapindo dan Pemkab, Yusuf Marta mengatakan tidak ada bedanya warga yang ber-KTP atau ber-KIPEM akan diperlakukan sama” imbuhnya.

    Tapi rupanya pihak Lapindo masih juga mengulur waktu dan tidak berupaya serius menyelesaikan persoalan dengan warga pengontrak tersebut. Diaz seperti dikutip anton menyatakan lapindo sudah menyatakan tidak bisa diberikan jadup bagi warga pengontrak kecuali mereka yang ber-KTP Sidoarjo, karena warga sudah tanda tangan waktu kompensasi. “Disitu letak diskriminasi Lapindo terhadap warga pengontrak, karena waktu itu pengontrak diberitahu oleh RT RW nya tidak masalah” ungkap Anton menanggapi pernyataan Diaz tersebut.

    Rupanya memang dibutuhkan perjuangan tidak kenal lelah dari warga yang terus menerus harus menelan pil pahit ketika mencoba menuntut hak-nya yang ditenggelamkan lumpur Lapindo. “Kami masih tetap akan menuntut jadup dan uang kontrak serta bantuan UKM sampai dipenuhi. Dalam waktu dekat, kami akan baerkirim surat ke Presiden bersama jaringan korban yang lain yang juga belum terselesaikan. Kami akan minta bertemu untuk mengungkapkan kenyataan yang ada. Presiden harus mengerti apa yang terjadi di masyarakat,” tekad Anton yang akan terus menuntut hak-haknya bersama warga pengontrak lainnya. [re]

  • Desa Pejarakan Kesulitan Air Bersih

    Desa Pejarakan Kesulitan Air Bersih

    korbanlumpur.info – Setelah kejadian bocornya gorong-gorong I yang ada di Desa Pejarakan, kegeraman warga Pejarakan kali ini semakin bertambah.

    Sudah sejak bulan Juli sampai sekarang, pengiriman air bersih yang seharusnya didapatkan warga secara rutin ternyata tidak sesuai dengan komitmen awal BPLS.

    Pengiriman air bersih yang sebelumnya dipegang langsung oleh Lapindo (yang bekerjasama dengan PDAM Sidoarjo), sejak 1 Juli lalu dioper ke BPLS. Pengoperan ini pun tidak disertai dengan alasan yang jelas.

    Awalnya, BPLS di depan para warga dan pihak desa berkomitmen untuk mengirimkan air bersih tujuh kali dalam seminggu. Jika hari minggu tidak bisa dikirim, maka akan ada pengiriman dua kali pada hari sabtu atau senin. Nyatanya, seperti komitmen-komitmen lain dari BPLS, hal itu berakhir menjadi janji-janji yang membuat warga geram.

    Mengalami hal ini, warga bukannya hanya berdiam diri. Beberapa kali warga mendatangi pihak BPLS untuk meminta kejelasan akan hal ini. Tapi BPLS malah menyuruh warga untuk menanyakan langsung pada supir yang biasa mengantarkan air bersih. Ketika dikonfirmasikan kepada supir, sang supir malah menyuruh warga menanyakan hal tersebut pada BPLS karena menurutnya tak ada perintah.

    Pada minggu ini saja (minggu terakhir bulan Agustus) pengiriman terlambat empat hari. Dengan berapi-api, Ibu Lis, warga Pejarakan, mengutarakan unek-uneknya, “Dalam seminggu mas, kadang kita itu dikirim air cuma empat kali seminggu. Coba bayangin kita aja pernah gak mandi dua hari. Padahal air merupakan salah satu kebutuhan utama. Masa’ kita yang terus-terusan nelpon bahkan mendatangi posko BPLS tiapga ada pengiriman air, padahal ini harusnya menjadi tanggungjawab mereka.”

    Masalah lainnya adalah waktu pengiriman yang tidak teratur. Pada hari Jumat (22/08/08), pengiriman dilakukan pada pukul 03.15 WIB. Beberapa warga yang mengetahui adanya pengiriman, langsung “menguras” profile tank berukuran 5000 liter. Sekitar satu jam kemudian, air yang tersisa hanya sekitar seperempat. Padahal masih ada warga yang belum mengambil air karena tidak tahu adanya pengiriman tersebut. Menurut kesaksian salah satu warga, Pak Sarjono, air bersih terkadang dikirim pada jam sebelas siang. “Padahal banyak warga yang menggunakan air bersih pada pagi hari sebelum pergi ke kantor atau sekolah”.

    Sumur warga sendiri sudah tidak digunakan. “Airnya berwarna kuning dan membuat kulit gatal-gatal kalo dipakai mandi” kata Bu Lis. Menurut Bu Lis juga, jika air sumur itu digunakan untuk menyiram tanaman, maka tanaman tersebut akan mati beberapa hari setelahnya.

    Ketika ditanya solusi yang diharapkan warga, tujuh orang yang sedang mengantri untuk mengambil air itu pun serentak menjawab, “Pengiriman air harus rutin tujuh kali dalam seminggu, dengan waktu yang juga rutin agar warga tidak berebutan”. Para warga mengancam akan mendemo BPLS jika pengiriman yang telat masih berlanjut.

    “Karena air bersih adalah salah satu hak warga yang air sumurnya dicemari oleh Lapindo”, kata Bu Lis sambil membawa ember berisi air menuju rumahnya.[cek/tang]

  • Lumpur Cemari Saluran Irigasi

    Lumpur Cemari Saluran Irigasi

    korbanlumpur.info – Selama ini tidak banyak yang diketahui oleh masyarakat luas, bahwa pembuangan lumpur ke Kali Porong bermasalah dan tidak sesukses seperti apa yang direncanakan oleh pihak Lapindo Brantas Inc dan BPLS.

    Permasalahan muncul saat saluran irigasi Sungai Brantas yang berasal dari Mojokerto untuk pengairan sawah warga tercemar oleh luberan lumpur dari Kali Porong.

    Luberan ini muncul karena gorong-gorong I yang ada di Desa Pejarakan mengalami kerusakan, kemungkinan kerusakan ini disebabkan oleh endapan lumpur di Kali Porong yang kondisinya sudah cukup mengkhawatirkan. Endapan lumpur di Kali Porong menyebabkan aliran sungai terganggu. Yang kemudian membuat alirannya mandeg.

    Hal ini membuat warga Pejarakan sengsara, karena selain masalah bocornya gorong-gorong, selama ini air sumur juga sudah tidak bisa dikonsumsi warga. Desa-desa lain juga mengalami hal yang serupa.

    Kebocoran ini diketahui oleh pihak Dinas Pengairan pada tanggal 19 Agustus 2008. Informasi yang didapatkan dari pihak Dinas Pengairan apabila ini tidak segera diatasi, maka sawah-sawah warga sepanjang aliran irigasi akan tercemar.

    Ketika ditanya mengenai tindakan BPLS atas kejadian ini, pihak Dinas Pengairan mengatakan, “wah mas, kalo nunggu responnya pihak BPLS, kebocoran ini malah nggak akan cepat diselesaikan. Ya lebih baik kita selesaikan sendiri dengan tindakan cepat”.

    Tiga hari setelah kejadian, usaha penutupan sumber kebocoran irigasi baru dapat diselesaikan. Namun usaha penutupan ini belum dapat menghilangkan kekhawatiran warga Pejarakan, karena tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terjadi lagi. [cek/tang]

  • Anak-Anak Muhajirin

    Anak-Anak Muhajirin

    korbanlumpur.info – Mulanya anak-anak sering merengek dan minta kembali ke rumah setiap saat, lebih-lebih kalau malam. Ini bikin Lilik Kaminah, korban Lapindo asal Desa Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong, tambah senewen. Mereka sudah pusing memikirkan rumah dan tempat kerja mereka yang musnah diterjang lumpur. Akibatnya, anak-anak jadi dibiarkan main apa saja tanpa pengawasan.

    “Hidupnya nggak  normal, terlalu bebas, sing penting mburu menenge, lek gak sumpek—, hidupnya tidak normal, terlalu bebas, yang penting tidak menangis, biar tidak (makin) sumpek,” tutur ibu 30 tahun yang biasa dipanggil Mbak Kami.

    Desa Renokenongo punya lima dukuh. Sejak meluapnya lumpur Lapindo Mei 2006, secara bertahap desa-desa ini terendam lumpur. Pertama tiga dukuh: Balungnongo, Wangkal dan Renomencil. Penduduknya lalu mengungsi di balai desa Renokenongo. Sementara dua dukuh lainnya, Sengon dan Renokenongo masih bisa ditempati.

    Namun setelah meledaknya pipa gas pertamina di dekat lokasi luapan lumpur pada 22 November 2006, tanggul lumpur ambrol dan lima dukuh di Renokenongo tenggelam, termasuk balai desa yang digunakan mengungsi. Orang-orang Balungnongo, Wangkal dan Renomencil lantas terpencar mencari kontrakan. Sementara warga Sengon dan Renokenongo mengungsi ke pasar Baru Porong. Beberapa media memberitakan ledakan ini mengakibatkan 8-14 orang meninggal namun banyak penduduk yang meyakini korbannya jauh lebih banyak.

    Keadaan semacam ini berlangsung hingga satu tahun dan Lapindo belum punya kejelasan tanggungjawabnya atas musibah pada warga ini. Walau mumet dengan ketidakjelasan ini, mereka tak ingin kehilangan semuanya. Paling tidak mereka ingin anak-anak mereka lebih baik dan tak ingin mereka juga larut dalam kepiluan.

    Ide inilah yang kemudian melatarbelakangi pendirian Taman Kanak-Kanak Muhajirin di tengah-tengah pengungsian Pasar Baru Porong. Nama ‘Muhajirin’ dipilih untuk pengingat bahwa mereka hijrah (lebih tepatnya diusir) dari tempat tinggal mereka menuju pengungsian.

    Mereka hanya modal dengkul dan semangat waktu hendak mendirikan TK ini. Awalnya semua sekolah di Renokenongo tenggelam dalam lumpur Lapindo: SDN I dan II Renokenongo, SMP II Porong dan MI hingga MA milik Yayasan Khalid bin Walid. Belakangan, MI-MA Khalid bin Walid masih bisa digunakan meski bangunannya sudah rusak berat. Sementara SD dan SMP sudah tidak bisa digunakan dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain.

    SDN I Renokenongo dipindah ke SD Glagaharum (SD Glagah meminjamkan ruangan dan siswa SDN I Renokenongo masuk sore), SDN II Renokenongo pindah SDLB Juwet Kenongo (masuk pagi) dan SMP II Porong pindah ke SMP I (masuk sore).

    “Yang SD dan SMP gedungnya pindah tapi murid dan gurunya tetep,” tutur Ahmad Surotun Nizar, warga dukuh Reno pada saya.

    Setelah tahun ajaran 2007, pengungsi-pengungsi di pasar Porong punya keluhan sama. Anak-anak usia TK mereka tak bisa sekolah. Lapindo juga belum memberikan ganti rugi sepeserpun.

    “Kalau ke TK paling dekat di desa Gedang dan itu bayar empatratus ribu rupiah, kami tak punya duit,” tutur Mbak Kami.

    Para pengungsi ini mengorganisasikan diri dalam “Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak alias Pagar Rekontrak.” Mereka didampingi beberapa aktivis dari Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia), organisasi nirlaba yang mengurusi kaum miskin perkotaan.

    Keluhan soal TK ini lalu dibahas dalam rapat pengurus Pagar Rekontrak dan didampingi beberapa pendamping dari Uplink dan karena kebutuhannya mendesak mereka lalu mendirikan TK Muhajirin ini dengan apa adanya.

    “Ruangnya hanya disekat kain, meja-mejanya dari triplek, pendaftaran pertama ada 70 anak yang masuk, semuanya digratiskan,” tutur Mbak Kami.

    Mbak Kami punya putra berusia 5 tahun yang ikut masuk TK namanya Ahmad Fiqhi. Mbak Kami yang pernah punya pengalaman mengajar lalu didaulat untuk mengajar.

    Tak ada target bisa membaca atau menghitung di TK ini. Tujuan pertama dan utama mereka supaya anak-anak tidak menangis. Mereka dibantu untuk mengungkapkan apa isi pikiran mereka dengan melukis. Mereka di kasih kertas dan pensil dan disarankan untuk melukis apa saja yang menarik menurut mereka.

    Di luar dugaan, lukisan anak-anak ini berkisar pada rumah, lumpur, bulldozer, bego (istilah yang digunakan pengungsi untuk menyebut eskavator) dan alat-alat berat di sekitar lumpur.

    Selain melukis mereka juga menceritakan rumahnya di sana, mainnya di mana, bego yang di sana warna merah atau biru.

    Kegiatan TK ini juga membantu Mbak Kami untuk melupakan sejenak persoalan berat yang dihadapinya karena Lapindo belum memberikan tanggungjawabnya setelah dua tahun.

    Pengungsi di Pasar Baru Porong belum mendapatkan uang pembelian tanahnya sepeserpun mereka hanya dapat uang jatah hidup dan dihentikan bulan Mei lalu. “Aku justru bingung kalau nggak ada kegiatan ini. Dengan anak-anak bawaannya kita bisa ketawa,” tutur Mbak Kami getir.

    FOTO-FOTO: LALA/UPLINK, IMAM S

  • Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    korbanlumpur.info – Menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini, kegundahan menyelimuti perasaan Mutomaroh. Korban Lumpur Lapindo dari desa Kedung Bendo ini dulunya mempunyai usaha kerajinan perhiasan emas. Sebelum terjadinya semburan lumpur yang kini menenggelamkan desanya, dia mampu memberi tunjangan hari raya (THR) kepada 6 orang anak buahnya.

    “Sekarang usaha saya sudah gulung tikar. Memikirkan dana untuk pengeluaran hari raya saja sudah sulit” tuturnya kepadatim media Kanal korban Lapindo.

    Meluncurlah kemudian kesaksian Mbak Waroh, demikian ibu muda berusia 30 tahun ini biasa dipanggil, tentang bagaimana usahanya yang harus tutup setelah terjadi semburan lumpur.

    Menurutnya, usaha emas yang dulu digelutinya merupakan usaha turun temurun selama beberapa generasi. Keluarganya membuat berbagai macam perhiasan emas, seperti gelang, cincin, anting-anting, kalung dan sebagainya. Semua pekerjaan dilakukan di rumahnya sendiri, yang salah satu ruangannya dirombak jadi tempat produksi.

    Sebagian besar pesanan berasal dari pedagang di Bali, disamping dari beberapa tempat di sekitar Sidoarjo. Usaha kecil inibahkan mampu mempekerjakan 6 orang tetangganya di desa. “Setiap bulan, rata-rata keuntungan kami bisa mencapai 15 juta” kenang perempuan yang hanya tamatan SD ini.

    Bahkan dari usahanya ini, dia sudah mampu membuat satu rumah sendiri di sebelah rumah orang tuanya. Namun apa hendakdikata, lumpur kemudian menenggelamkan desanya, termasuk tempat usaha dan rumahyang baru selesai dibangun. “Bahkan saya dan suami belum sempat meninggali rumah yang kami beli dengan kerja keras kami sendiri itu,” tuturnya.

    Usaha Yang Hilang

    Ibu dari dua orang putra ini kemudian menjelaskan, bahwa usahanya langsung berhenti begitu lumpur merendam desa Kedung Bendo pasca ledakan pipa gas pertamina pada November 2006.

    Rumahnya yang agak jauh dari tanggul membuatnya dia masih sempat menyelamatkan beberapa peralatan produksi, sepertimesin giling, pemoles dan lainnya. Peralatan tersebut kemudian dititipkan kepada temannya di Japanan, Pasuruan, dengan harapan nantinya kalau lumpur sudah surut akan bisa dipakai lagi untuk usaha.

    Tetapi harapan tersebut tinggal harapan semata, karena alih-alih surut, lumpur semakin membesar dan menenggalamkan desanya secara permanen sampai sekarang. Setelah itu, dia dan keluarga mengungsi bersama sebagian besar korban lainnya ke Pasar Baru Porong. “Kami terpaksa tinggal disana selama 3 bulan lebih, dengan kondisi yang sangat menyesakkan,” kenangnya pahit.

    Setelah itu, dia mengontrak rumah di Japanan dengan harapan untuk memulai lagi usahanya. Tetapi keinginan tersebut sekali lagi tidak dapat terwujud. Untuk menyiapkan tempat produksi yang layak dan aman, memerlukan dana yang cukup besar. “Padahal uang tabungan sudah ludes semua untuk kebutuhan sehari-hari selama di pengungsian,” lanjutnya.

    Disamping itu, para pelanggan yang biasanya memberi pesanan kepadanya juga sudah berpindah kepada pengrajin di daerah lain. “Lha wong sebelumnya selama 3 bulan di pengungsian itu kami tidak bisa bekerjasama sekali karena tempatnya tidak memungkinkan,” lanjut Mbak Waroh.

    Karena usahanya yang dulu sudah tidak mungkin dikerjakan lagi, Mbak Waroh dan suaminya harus memutar otak untuk tetap bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Tetapi saya lebih kasihan mikir anak-anak (mantan anak buahnya, red), sebab mereka kondisinya lebih berat dari kami,” katanya.

    Dan kenangan akan para mantan anak buahnya itu semakin kuat menjelang bulan ramadhan seperti sekarang ini. Sebab dulunya pada bulan ramadhan dan pada musim liburan merupakan puncak ramainya bisnis yang diageluti. Dan hari raya depan adalah untuk yang kedua kalinya dia lewati tanpa kegembiraan seperti dulu sebelum ada lumpur.

    Segera Lunasi Sisa Pembayaran

    Namun segala kesulitan ini tampaknya masih akan lebih lama lagi dialami oleh Mbak Waroh dan ribuan korban lumpur Lapindo lainnya. Setelah dua tahun lebih, ternyata Lapindo masih jauh dari komitmen untuk membayar uang jual beli tanah warga yang sudah tenggelam oleh lumpur akibat kesalahan pemboran Lapindo itu.

    “Padahal, saya itu sebenarnya sudah terima lhodengan model ganti rugi itu, meskipun tidak adil. Tetapi kenapa mereka tidak segera bayar,” ujarnya. Menurut Mbak Waroh ganti rugi yang adil seharusnya menghitung pendapatan yang hilang akibat dia tidak bisa bekerja selama dua tahun ini. Juga kerugian immaterial lainnya seperti semua kesulitan dan ketidaknyamanan hidup yang terpaksa harus mereka alami.

    Karena itu, dia meminta kepada pemerintah untuk segera mendesak Lapindo menyelesaikan pembayaran sisa 80 persennya secara tunai. “Uang itu nantinya akan kami pakai untuk beli rumah sekaligus memulai lagi usaha kami yang dulu,” pungkasnya.

    Semoga tuntutan mbak Waroh dan puluhan ribu korban Lapindo lainnya segera terpenuhi. Agar mereka segera bisa menikmati kebahagiaan dan berbagi senyum di Hari Raya seperti sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo. (ako)

  • Gas Liar di Siring Barat

    Gas Liar di Siring Barat

    korbanlumpur.info – Seumur hidup Sumargo, 38 tahun, tak pernah membayangkan ada gas bisa keluar dari dalam rumahnya. Selama ini dia hidup tenang bersama istri tercintanya Muslimah, 29 tahun, dan anaknya yang tampan Nur Mudian, 11 tahun. Mereka menempati rumah kecil sederhana di RT 01/01 Kelurahan Siring Barat, Porong, Sidoarjo.

    Di Siring Barat ada empat RT 1, 2, 3 dan 12. Sementara delapan RT lainnya berada di Siring Timur. Antara Siring Timur dan Siring Barat dipisahkan oleh rel kereta api dan jalan tol yang menghubungkan kota Surabaya dan dengan Malang. Kini, pemisah mereka ditambah lagi satu yakni tanggul lumpur Lapindo tepat di sebelah rel.

    Delapan RT di Siring Barat telah menjadi kampung mati karena terendam lumpur Lapindo. Para penduduknya telah tercecer ke mana-mana. Sedangkan empat RT ini masih bertahan hidup dengan lingkungan yang buruk. Air bersih tercemar dan bau lumpur menyengat dihirup warga empat RT ini. Delapan RT ini masuk dalam peta yang tanahnya akan dibeli Lapindo sedang empat RT tidak masuk peta.

    Orang-orang di delapan RT tersebut baru mendapatkan ganti rugi 20 persen sementara 80 persennya masih belum dibayar Lapindo. “Kami baru dibayar dua puluh persen, dan delapan puluh persennya masih gantung,” tutur Cak Rois, salah seorang warga Siring Timur yang rumahnya terendam lumpur.


    Belakangan, di empat RT ini muncul semburan-semburan gas liar yang menakutkan warga karena terkadang disertai percikan api. Gas-gas ini muncul sembarangan bahkan sampai di dalam rumah warga salah satunya di dalam rumah Sumargo. 

    Saya ketemu Sumargo sekeluarga, Rabu pagi, dia menunjukkan tempat gas itu muncul, yakni tepat di depan pintu rumahnya. Gas ini keluar dari retakan kecil di lantai rumahnya yang diplaster. Awalnya mereka hanya mencium bau gas yang menyengat dan selanjutnya mereka takut menggunakan api, tak berani memasak di lantai. Kalau gas ini di sulut mereka akan keluar api.

    Sumargo mempraktekkannya dengan menyulutkan api dari korek dan api menyala persis kayak sulap. Saya terkejut.

    Sejak gas liar itu keluar Sumargo menjadi was-was dan hidupnya dan keluarganya jadi tidak tenang. Sebelumnya semburan gas liar ini ditemukan di beberapa tempat di empat RT di Siring Barat. Salah satunya di tanah milik Amari, 200 meter dari rumah Sumargo, semburan gas di tempat ini lebih besar bahkan bisa digunakan untuk memasak.

    Warga menjadi gelisah dan menuntut supaya pemerintah memperhatikan hal ini. Mereka menuntut diperlakukan sama dengan warga Siring Timur yang masuk peta dan mendapatkan ganti rugi. Berkali-kali mereka mengajukan tuntutan ke Bupati bahkan empat kali ke presiden namun tak juga ada respon balik.


    Pada tanggal 19 Agustus 2008 kemarin semburan baru muncul Siring Barat. Tempatnya di perbatasan tanah milik Toni dan Hubyo.

    Semburan gas ini mulai muncul setahun lalu dan penduduk Siring Barat sudah mengeluhkan hal ini pada pemerintah. Selama ini mereka bersabar menunggu dan mereka sudah jengkel. Mereka mengancam kalau misalnya dua bulan ke depan tidak ada kepastian dari pemerintah mereka akan turun ke jalan. Mereka berani mati untuk memperjuangkan hak mereka.

    “Wis rak wedi mati nek koyo ngene, sudah tidak takut mati kalau begini,”” tutur Ibu Hartini 53 tahun warga Siring Timur pada saya.

    IMAM SHOFWAN

  • Lagi, Api Menyembur Di Desa Siring

    Lagi, Api Menyembur Di Desa Siring

    korbanlumpur.info – Untuk ke sekian kalinya semburan api muncul lagi di area luar peta terdampak Lumpur Lapindo. Lokasi semburan api berada di Kelurahan Siring, di RT 03, tepatnya di tanah Bapak Doli dan lokasi ini hanya berjarak beberapa meter dari tepi jalan utama Sidoarjo-Malang. Menurut keterangan warga, semburan api mulai muncul sekitar pukul 05.00 wib. Dan seperti yang terjadi sebelumnya, kejadian kali ini membuat warga resah dan semakin was-was. Di lokasi yang sama, beberapa bulan yang lalu semburan api juga memakan 3 korban luka bakar.

    Menurut warga Siring barat, selama ini sudah banyak bermunculan semburan-semburan gas dan api, namun sampai sekarang belum ada keputusan dan tindakan yang jelas dari pihak Lapindo Brantas Inc dan BPLS untuk mengambil tindakan yang serius. Padahal, berdasarkan dari fakta-fakta lapangan, kondisi desa Siring barat dan desa-desa sekitarnya sudah tidak layak untuk ditempati sebagai pemukiman warga. Selain sering muncul semburan-semburan gas dan api, di desa Siring dan sekitarnya, tingkat polusi udara, air, bau gas yang menyengat sangatlah tinggi dan berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kesehatan, keselamatan dan hak hidup warga semakin meluas.

    Sejauh ini sudah banyak warga yang menderita sakit dan banyak juga yang meninggal akibat mengalami tekanan psikis.

    Sekitar pukul 9.00 wib, Humas BPLS Achmad Zulkarnain dan staff Humas Akhmad Kushairi juga hadir di lokasi kejadian. Seketika itu juga warga mengelilingi mereka berdua dan langsung mencerca dengan berbagai pertanyaan dan menumpahkan rasa kekesalan atas ketidak seriusan BPLS. Namun seperti biasanya, jawaban-jawaban yang dilontarkan Achmad Zulkarnain atas pertanyaan yang dilontarkan wartawan dan warga Siring berkaitan dengan tindak lanjut atas kejadian ini sangat mengecewakan.

    “BPLS mencoba semaksimal mungkin, tapi yang punya wewenang, sekali lagi adalah Presiden”. Padahal berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang BPLS, BPLS memiliki tugas untuk menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil (Pasal 1, ayat 1). Bahkan berdasarkan SK Gubernur Jawa Timur tanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS, warga harus segera dievakusi.

    Agar pemerintah dan Lapindo Brantas Inc segera mengambil tindakan untuk memasukan desa Siring barat dan sekitarnya ke dalam area peta terdampak lumpur lapindo, warga sengaja untuk membiarkan semburan api terus membara. Hal ini dilakukan karena selama ini tidak ada keseriusan tindakan dari pihak pemerintah Daerah, pemerintah Pusat maupun Lapindo Brantas Inc untuk memberikan solusi bagi warga di luar area peta terdampak.

    Bang Rois sebagai salah satu dari korban lumpur Lapindo mengatakan, “Siring barat harus masuk ke dalam area peta terdampak, karena hampir 70 % pemukiman warga, baik di dalam rumah mapun di luar rumah warga pernah mengeluarkan semburan api, sehingga area Siring barat tidak layak huni karena diapit oleh pengeboran dari Wunut, Gedang sebelah utara dan Siring sebelah timur. Jadi Siring barat diserang semburan gas dari berbagai arah, jadi wilayah Siring tidak bisa dipisah-pisahkan dengn Siring timur, karena aset Siring barat juga ada yang di wilayah Siring timur, beberapa contoh antara lain masjid, sekolahan, makam, balai desa, sanak famili dll”.

    Bang Rois juga menambahkan,”Pemerintah harus segera memasukkan Siring barat ke dalam area peta terdampak. Apa sih beratnya memasukkan wilayah terdampak, wong memang daerah Siring barat tidak layak huni dan sering keluar semburan api dan gas. Sebagai contoh, Siring barat sebelah selatan, Siring barat sebelah barat, Siring barat seelah utara dan Siring barat sebelah utara sampai selatan pernah mengeluarkan api semua. Anak-anak dan warga lanjut usia harus segera mendapatkan perhatian karena kesehatannya mulai terancam, setidaknya ada cek kesehatan rutin”.

    Selain itu warga juga mengancam, apabila pihak pemerintah dan Lapindo Brantas Inc tidak segera merespon aspirasi warga, maka warga akan melakukan demo besar-besaran, memblokade jalan, blokade tanggul dan demi keselamatan masyarakat umum akan melarang kendaraan bermotor untuk melintas jalan desa Siring barat agar tidak terkena dampak semburan gas yang semakin banyak.[tang/jar]

  • Warga Kedung Bendo Lanjutkan Aksi Memperingati Kemerdekaan

    Warga Kedung Bendo Lanjutkan Aksi Memperingati Kemerdekaan

    korbanlumpur.info – Pada hari Minggu, 17 Agustus sekitar pukul 11.15 wib, warga Kedung Bendo yang berasal dari kelompok GEPPRES (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden), melakukan aksi pemasangan spanduk serta poster-poster tuntutan di atas dan sekitar tanggul yang dulunya merupakan wilayah desa Kedung Bendo.

    Aksi ini diikuti oleh sekitar 100-an warga  yang terdiri dari bapak, ibu, pemuda dan anak-anak. Selain itu, dalam aksi ini turut hadir juga perwakilan warga korban lumpur Lapindo dari PerumTAS. Aksi yang dilakukan oleh warga merupakan lanjutan dari aksi yang dilakukan warga korban lumpur Lapindo setelah upacara peringatan 17 Agustus yang diselenggarakan oleh BPLS di atas tanggul cincin, Jatirejo. Tepatnya diatas komplek Ponpes Ahas, yang sudah terkubur lumpur Lapindo.

    Sebelum aksi dimulai, warga berkumpul di sekitar kompleks Masjid Kedung Bendo untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan perangkat dan perlengkapan aksi, seperti spanduk, poster dan kesiapan barisan warga. Sekitar pukul 11.15 wib, ratusan warga mulai merapatkan barisan untuk menuju tanggul yang berjarak sekitar 300 meter dari masjid.

    Beberapa spanduk dan poster-poster berisi tuntutan warga Kedung Bendo yang ingin segera diselesaikannya pembayaran sistem cash and carry juga mulai dibentangkan. Setelah barisan aksi solid, iring-iringan warga yang penuh semangat mulai bergerak menuju tanggul.

    Untuk menyemangati para peserta aski, koordinator lapangan Bapak Hari Suwandi meneriakkan yel-yel, “Merdeka?” Dengan serentak warga menyahut,“Belum!”

    Selain itu para warga juga meneriakkan tuntutan-tuntutan, “Bayar dulu baru ditanggul”, “Tanah ini masih milik kami”.

    Pukul 11.30 wib, warga tiba ditanggul sebelah barat desa Kedung Bendo. Dengan serentak, sebagian peserta aksi bahu membahu naik ke atas tanggul yang tingginya sekitar 10 meter. Sesampainya di atas tanggul, warga dengan semangat meneriakkan yel-yel dan meneriakkan dengan bebas semua kegelisahan mereka selama ini yang tak kunjung mendapatkan kepastian penyelesaian pembayaran cash and carry oleh pihak Lapindo Brantas Inc., padahal masa kontrak rumah sudah habis.

    Dengan tetap meneriakkan yel-yel, beberapa warga yang berada di atas tanggul mulai menggali lubang yang akan digunakan untuk tiang penyangga spanduk. Setelah berjalan sekitar 15 menit, dua spanduk yang berjejer telah selesai dipasang.

    Setelah pemasangan selesai, warga dengan tertib mulai turun dari atas tanggul dan pulang ke rumah masing-masing. Sebelum aksi berakhir, sebagaimana informasi yang didapatkan dari koordinator lapangan Bapak Hari Suwandi.

    “Apabila Lapindo Brantas tidak dengan segera menyelesaikan pembayaran cash and carry maka warga dengan jumah kekuatan yang lebih banyak dan besar akan melakukan aksi pendudukan dan blokade tanggul sampai pihak Lapindo Brantas melaksanakan kewajibannya”. [tang]

  • Warga Peringati 17 Agustus Diatas Tanggul

    Warga Peringati 17 Agustus Diatas Tanggul

    korbanlumpur.info – Jatirejo: Sekitar 500 warga korban lumpur Lapindo dari beberapa desa, menghadiri acara upacara bendera yang diselenggarakan oleh BPLS di atas tanggul cincin, Jatirejo. Tepatnya di atas komplek Ponpes Ahas, yang sudah terkubur lumpur Lapindo.

    Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah undangan, diantaranya adalah jajaran polsek Porong, perwakilan Kodim Sidoarjo, perwakilan masyarakat Korban Lumpur lapindo, (GKLL dan Geppres), kelompok masyarakat yang berkegiatan di atas tanggul, mulai dari pengojek sampai pekerja tanggul. Tetapi, tidak terlihat warga GKLL yang hadir.

    Setelah acara upacara selesai digelar, warga Korban Lapindo yang menuntut pembayaran sistem cash and carrymelakukan aksi membentang spanduk tuntutan pembayaran sisa 80% kepada pihak BPLS.

    Para ibu-ibu dengan emosi mengadukan nasibnya kepada perwakilan BPLS, yang diwakili oleh Humas mereka, Zulkarnain. Mereka mengharapkan kepada BPLS untuk mengingatkan Lapindo supaya segera menyelesaikan sisa pembayaran 80 persen karena jatuh tempo pembayaran sudah lewat satu bulan. “Tolong pak Zul perhatikan kami, kontrakan kami sudah habis kami tidak punya uang lagi untuk mengontrak rumah. Tolong selesaikan pembayaran 80%”, tegas Uswati warga Jatirejo RT 10.

    Selain itu warga juga mengancam jika dalam akhir bulan agustus belum ada kepastian soal pembayaran 80 persen maka warga mengancam akan  menduduki tanggul dan memberhentikan semua aktifitas penanggulan. “Kalau sampai bulan ini belum ada kepastian maka kami akan menduduki tanggul ini karena kami masih punya hak atas tanah ini” tegas Pak Ikhsan, korban dari Desa Kedung Bendo dengan nada tinggi.
    BPLS sendiri menyikapinya dengan menjanjikan pertemuan dengan warga di Posko GEPPRES. Mereka berjanji kepada warga akan duduk bersama untuk membicarakan lebih lanjut soal tuntutan warga yang tergabung dalam Gabungan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES). “Monggo kalau warga menuntut penyelesaian 80% dengan di fasilitasi oleh kami. Kami akan memfasilitasi” tegas Zulkanain menenangkan warga [man/nov]

  • Bayar Dulu, Baru Ditanggul

    Bayar Dulu, Baru Ditanggul

    korbanlumpur.info – Jatuh tempo sisa pembayaran 80 persen terhadap aset warga seperti yang diamanatkan oleh Perpres 14/2007 sudah lewat lebih dari dua bulan. Tetapi sampai sekarang, Minarak Lapindo Jaya (MLJ) masih juga belum ada tanda-tanda untuk membayar aset warga tersebut. Sehingga, warga memutuskan untuk memasang pathok-pathok penanda bekas tanah milik warga di lokasi yang kini sudah tertimbun lumpur setinggi 10 meter.

    “Sepanjang kami belum dilunasi, tanah ini masih milik warga“, tegas Hari Suwandi, koordinator aksi dari Desa Kedung Bendo, Tanggulangin Sidoarjo. Aksi yang dilakukan tadi pagi, melibatkan sebanyak 300 warga dari 5 desa yang sudah tenggelam (Reno Kenongo, Siring, Jatirejo, Ketapang dan Kedung Bendo).

    Dalam aksi yang dikoordinasikan oleh korban yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES), warga memasang pathok-pathok penanda bekas tanah dan rumah kami yang sekarang sudah tenggelam. Aksi ini merupakan kelanjutan aksi sebelumnya, dimana warga memasang spanduk peringatan disekeliling tanggul.

    Aksi ini merupakan peringatan kepada pemerintah dan BPLS untuk segera mendesak Minarak untuk segera membayar sisa uang jual beli sebesar 80 persen. Sesuai amanat Perpres, jatuh tempo pembayaran adalah satu bulan sebelum masa kontrak 2 tahun habis. ”Padahal sekarang masa kontrak warga sudah habis, sementara masih belum ada kejelasan dari Minarak,“ tegas Ahmad Novik, salah seorang tokoh pemuda yang ditemui tim SuaraPorong.

    Sementara aksi berlangsung, Wakapolres Sidoarjo, Kompol Denny Nasution mengunjungi Posko GEPPRES yang terletak di tepi jalan Raya Porong di Desa Jatirejo. Pada kesempatan itu Wakapolres menawarkan kepada warga untuk mengajak Bupati dan BPLS bersama-sama dengan perwakilan warga untuk bersama-sama mendatangi Minarak, dan menanyakan alasan kenapa tidak segera melakukan pembayaran. Ketika ditanyakan kapan hal itu akan dilaksanakan, Wakapolres menjawab enteng, “dalam minggu-minggu kedepan.“

    Hal ini tidak memuaskan warga yang melakukan aksi. Suharto, salah seorang warga Jatirejo menyebut bahwa hal itu hanya untuk menenangkan warga yang kini sudah berada dalam posisi yang sangat terjepit. Meski begitu, warga akan menerima tawaran pertemuan tersebut, untuk melihat kejelasan sikap Minarak. Kalaupun pertemuan itu tidak membuahkan hasil, warga sudah siap dengan rencana selanjutnya.

    Warga akan akan menutup seluruh akses menuju tanggul dan memaksa BPLS menghentikan segala aktivitas di tanah mereka. “Warga berkeyakinan bahwa sepanjang mereka masih belum dilunasi pembayaran 80 persen secara tunai, tanah dibawah timbunan lumpur itu masih tanah mereka. “Jadi, bayar dulu, baru boleh ditanggul,”“ pungkas Hari Suwandi. (win)

  • Diperlakukan Beda, Warga Pejarakan Menolak

    Diperlakukan Beda, Warga Pejarakan Menolak

    korbanlumpur.info – Warga desa Pejarakan Kecamatan Jabon mengaku resah dengan wacana bahwa tipe bangunan mereka akan diperlakukan berbeda-beda. “Mereka membedakan bukan hanya antara tembok atau gedek (bambu), tapi bahkan sampai beda antara lantai keramik atau tidak, tembok memakai plesteran semen atau tidak, bahkan tipe genteng karangpilang atau biasa. Sampai segitu pembedaannya,” demikian ungkap Suwojo, warga desa Pejarakan.

    Dari hasil pertemuan sosialisasi antara BPLS dan warga, dinyatakan bahwa penilaian harga tiap bangunan di tiga desa berdasar Perpres No 48 Tahun 2008 akan dibedakan. “Untuk pengukuran tanah, dilakukan BPN. Tapi pengukuran bangunan juga penilaian nilai bangunan dilakukan PT Cipta Karya,” imbuh pemuda desa Pejarakan ini.

    Berbeda dengan korban lumpur Lapindo yang ada dalam peta 22 Maret 2007 berdasar Perpres No 14 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa harga bangunan disamakan seharga 1,5 juta rupiah, warga di tiga desa ini (Pejarakan, Kedung Cangkring, dan Besuki) tidak mendapat kebijakan yang sama.

    “Itu pernyataan langsung Pak Bajuri dari BPLS,” jelas Suwojo. Keadaan ini tampaknya sudah berdampak buruk bagi proses konsolidasi gerakan rakyat yang ingin mendapat hak-haknya kembali. “Warga jelas bergejolak dan resah. Namun mereka ditakut-takuti, kalau tidak mengikuti, tidak akan diikutkan (pembayarannya),” ujar pria berusia 37 tahun itu.

    Aparat Desa sendiri tampaknya juga tidak berpihak ke warga, bahkan sudah diangkat menjadi pelaksana terbawah BPLS yang juga mendapat dana operasional. “Mereka bilang sendiri, pelaksana terbawah BPLS itu kepala desa, dan mereka diberi uang operasional untuk itu,” tambah Suwojo.

    Pembedaan penilaian nilai bangunan antara warga yang di dalam peta area terdampak versi Perpres No 14 Tahun 2007 dan 3 desa yang dinaungi Perpres No 48 Tahun 2008 jelas berpotensi menimbulkan kecemburuan dan perpecahan. Suwojo menyatakan bahwa warga menginginkan persamaan perlakuan. “Kalau kita, ya, maunya disamakan saja (dengan versi Perpres 14/2007).”

    Selain itu, untuk pengukuran tanah sendiri juga menyisakan masalah tersendiri. Kepala Desa tidak mau memberikan surat-surat tanah warga (Petok D dan Letter C) kepada warga dengan dalih menunggu hasil pengukuran. “Setahu saya, itu ada di kepala desa, tapi dia bilang yang boleh tahu hanya kepala desa dan camat,” terang Suwojo yang bertempat tinggal di RT 6 RW 4 desa Pejarakan ini.

    Tentu saja menjadi tanda tanya besar, mengapa warga dilarang mengetahui informasi luas lahan tempat tinggalnya sendiri. Keberadaan warga di atas tanahnya dibuktikan dengan surat-surat tersebut, tanpa memiliki sendiri surat-surat itu, posisi warga akan lemah jika dilakukan pengukuran tanah ulang oleh BPN. “Kita akan memaksa kepala desa untuk menunjukkan (surat-surat) itu. Kan tanah itu hak kita, kenapa kita tidak boleh meminta Petok D dan Letter C kita?,” tandasnya.

    Sekali lagi terlihat bahwa pemerintah tidak serius menyelesaikan persoalan warga korban lumpur Lapindo. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu menciptakan potensi keresahan dan ketegangan di dalam warga sendiri. Aparat pemerintahan pun lebih sering tidak memihak kepentingan warga, sehingga posisi korban semakin dilemahkan dengan berbagai cara.

    “Mereka (BPLS)  masih meminta kita untuk percaya kepada mereka, sekarang, ya sudah tidak bisa lagi,” pungkas Suwojo menunjukkan kemarahannya akan nasibnya yang tak kunjung mendapatkan penyelesaian berarti. [re]

  • Tewas Akibat Gas: Kisah Pilu Warga Korban Lumpur Lapindo

    Tewas Akibat Gas: Kisah Pilu Warga Korban Lumpur Lapindo

    korbanlumpur.info – Desa Siring bagian barat, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo adalah sedikit wilayah dari 12 desa lainnya yang menjadi korban lumpur Lapindo. Akibat luapan lumpur Lapindo, Desa Siring barat mengalami kerusakan lingkungan sangat parah. Rumah-rumah warga mengalami keretakan pada dindingnya.

    Kondisi dinding yang retak itu sangat rawan ambruk, dan sangat mungkin menimbun penghuni rumah. Selain dinding, lantai rumah rumah warga juga mengalami kerusakan. Bahkan di tengah-tengah lantai rumah warga, keluar bau gas yang mudah terbakar. Bau gasnya mirip sekali dengan gas elpiji, bahkan cenderung menyengat.

    Semburan semburan berskala kecil dan besar juga tersebar luas di wilayah ini, mulai dari Siring barat, Jatirejo barat, Mindi, dan desa-desa lainnya di sekeliling tanggul lumpur Lapindo. Hingga kini, jumlahnya mencapai 94 titik semburan baru di desa-desa tersebut. Khusus Desa Siring barat, korban telah berjatuhan akibat gangguan kesehatan, karena kondisi lingkungan yang rusak.

    Sejak empat bulan yang lalu, kondisi Siring barat semakin hari semakin parah. Di antaranya sepasang suami isteri yang telah meninggal akibat sesak nafas. Sesak nafas itu menghinggapi sepasang suami-isteri itu karena tekanan gas yang sangat tinggi di lingkungan rumahnya. Suami isteri itu bernama Yakup dan Ny Yakup.

    Ny. Yakup meninggal tanggal 28 April 2008. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak nafas akibat kandungan gas. Sebelumnya, telah warga ada warga Jatirejo barat yang bernama Sutrisno juga meninggal dunia pada 14 Maret 2008 akibat sesak nafas karena tingginya kadar gas beracun di lingkungan rumahnya.

    Selain sepasang suami isteri di atas, ada korban lainnya dari warga Siring barat. Ia bernama Unin Qoriatul. Hasil pemeriksaan dokter tanggal 28 April 2008 menyatakan, di dalam saluran pernafasan Unin Qoriatul terdapat cairan yang tampak dalam bentuk bayangan gas. Kondisi ini membuat kesehatan Unin Qoriatul drop.

    Selain di Siring, warga Jatirejo barat juga mengalami nasib yang sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal pada 26 Maret 2008 meninggal dunia. Akibat kematiannya sama, yakni mengalami sesak nafas akibat tekanan gas yang begitu tinggi di lingkungan rumahnya.

    Walau telah ada korban korban berjatuhan, pemerintah dan PT Lapindo Brantas tak kunjung bertanggung jawab secara maksimal. Hampir tiap hari petugas dari PT Vergaco melakukan inspeksi untuk mendeteksi kondisi lingkungan di desa-desa di atas. Namun, hasil inspeksi itu tak pernah disosialisasikan ke warga.

    Pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab untuk memberikan peringatan dini atas bahaya lingkungan ini, nyatanya hal itu tidak dilakukan. Sampai-sampai korban pada berjatuhan. Akankah negara membiarkan rakyatnya terenggut kematian terus menerus? Padahal negara sangat memiliki kapasitas untuk membuat proteksi atas keselamatan rakyatnya.

    Dunia harus tahu, bahwa ada pengabaian yang dilakukan pemerintah atas warga korban lumpur Lapindo yang berada di luar peta area terdampak. [ring]

  • Warga Blokade Tanggul dengan Spanduk

    Warga Blokade Tanggul dengan Spanduk

    korbanlumpur.info, Porong – Hari ini, Sabtu 9 Agustus 2008, warga desa korban lumpur Lapindo dari desa Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, dan Renokenongo melakukan aksi pemasangan spanduk penolakan proyek penanggulan. Aksi dipimpin langsung oleh masing masing koordinator lapangan di tiap desa.

    Warga Siring dan Jatirejo melakukan pemasangan spanduk di pintu masuk dumtruck di pintu masuk bekas kantor Koramil. Aksi dipimpin langsung korlap Siring, Rois Hariyanto, dan korlap Jatirejo, Suwito. Sedangkan warga Kedung Bendo melakukan pengusiran eskavator yang mengerjakan penanggulan di Jalan Demak, Desa Ketapang.

    Aksi dipimpin langsung oleh korlap Kedung Bendo, Usman dan Hari Suwandi. Aksi warga Kedung Bendo ini mendapat dukungan langsung dari Kepala Desa kedung Bendo, H Hasan. Sementara aksi pemasangan spanduk di Desa Renokenongo dipimpin langsung oleh korlap Renokenongo, Mahmudatul Fatchiya. Aksi pemasangan spanduk warga Renokenongo ini dilakukan di sepanjang tanggul Desa Renokenongo.

    Aksi pemasangan dan blokade sesaat ini dilakukan untuk memperingatkan BPLS agar segera memaksa PT Minarak Lapindo Jaya untuk membayar pelunasan aset mereka. Sebab selama ini mereka hanya dibayar dengan uang muka 20 persen oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Kini telah jatuh tempo pembayaran sisa 80 persennya. Tapi belakangan, Andi Darussalam Tabusala, Vice President Minarak Lapindo Jaya menyatakan tidak akan membayar sisa uang 80 persen yang seharusnya diterima warga, jika bukti kepemilikan tanah warga hanya Letter C dan Pethok D, atau SK Gogol. PT Minarak Lapindo Jaya hanya bersedia membayar tanah warga yang bersertifikat hak milik.

    Menurut Suwito, pihaknya memberi batas waktu paling lama seminggu kepada PT Minarak Lapindo Jaya dan BPLS untuk merealisasikan sisa pembayaran secara tunai (cash) sisa uang 80 persen. “Jika tanah kami tidak dibayar, maka kami akan melakukan aksi massa yang lebih besar. Akan tetapi aksi massa tersebut akan kami lakukan secara damai, dan tidak mengganggu masyarakat umum,” ujar Suwito, Koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres).

    Beragam spanduk kini telah menancap di beberapa titik tanggul lumpur Lapindo dari empat desa. “Bayar dulu, baru tanggul”, “Lapindo perampas tanah rakyat”, “Letter C, Pethok D bisa di-AJB-kan”, begitulah ungkapan tuntutan warga  yang mereka tuangkan dalam beberapa spanduk.

    Warga berkomitmen, spanduk-spanduk itu akan mereka jaga secara bergiliran. Mereka akan mempertahankan spanduk spanduk itu jika ada pihak pihak lain yang berupaya menurunkannya. (ring)

  • Warga Pengontrak Tetap Menuntut

    Warga Pengontrak Tetap Menuntut

    Dua tahun sudah semburan Lumpur Lapindo merusak sendi-sendi kehidupan rakyat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, dan hingga sekarang masih banyak ketidakadilan yang belum terselesaikan dalam kasus ini. Salah satunya adalah mereka yang dulu statusnya adalah pengontrak sebelum lumpur menenggelamkan rumah dan tempat usaha mereka.

    Anton dulu tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (TAS I) blok L-9/6. Dalam perbincangan dengan tim media, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya apa yang diminta oleh pengontrak itu tidak muluk-muluk. “Ini tidak seperti apa yang dikatakan oleh Yusuf Martak pada waktu itu, bahwasannya warga pengontrak itu menuntut minta rumah. Itu yang sesungguhnya, ucapannya Yusuf Marta itu tidak betul sama sekali. Karena warga pengontrak itu menuntut Jadup yang disamakan dengan warga yang lain” tegas Anton.

    Menurutnya tuntutan pengontrak hanyalah meminta uang kontrak dan jatah hidup yang diberikan kepada mereka sama dengan korban lain, dimana sekitar 315 KK hanya mendapatkan uang kontrak senilai 2,5 juta dan jatah hidup tidak dapat sama sekali. Padahal menurut perjanjian dengan pihak Lapindo ada kesepakatan untuk memberikan kepada semua korban lumpur, uang kontrak sebesar 5 juta dan jatah hidup 300 ribu/jiwa/bulan selama 6 bulan, serta uang boyongan 500 ribu rupiah.

    Selain itu, karena dulunya warga pengontrak ini menggantungkan hidupnya dari usaha kecil di tengah-tengah lingkungan perumahan, dan itu semua ikut hilang ketika lumpur menenggelamkan rumah mereka, para pengontrak juga menuntut ganti rugi UKM. Setali tiga uang, tuntutan ini juga tidak dipenuhi Lapindo, padahal Lapindo sudah pernah menjanjikan untuk memberi ganti rugi UKM kepada mereka yang usahanya hancur akibat semburan lumpur.

    “Untuk ganti rugi UKM memang sudah ada yang dapat bervariasi antara 5 juta hingga 7 juta, tapi kebanyakan dari kami belum menerima itu” demikian sambung bapak berusia 50 tahun ini. Dari pihak pemerintah sendiri mulai dari DPRD, Bupati hingga departemen sosial hanya selalu berjanji untuk membawa aspirasi warga ini, nyatanya hingga lebih dari 1,5 tahun harapan mereka belum juga terwujud. ““Semua mengatakan selalu dan selalu akan diperjuangkan tapi sampai sekarang realisasinya tidak ada”,” kata Anton.

    Kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga pengontrak ini jelas memberikan dampak langsung. Mereka kehilangan mata pencaharian, dan kalaupun berusaha membangun dari awal lagi, tidak ada modal yang mencukupi untuk melanjutkan usaha mereka.

    ““Keadaan warga pengontrak sudah terlalu minus dan susah karena selama ini mereka tidak bisa bekerja, selama ini mata pencaharian mereka ya disana (di perumahan TAS I yang tenggelam), setelah adanya lumpur mereka tidak dapat bekerja, secara ekonomi keadaan mereka sudah kolaps,”” demikian lanjut bapak yang telah dikaruniai 3 anak ini.

    Namun segala kesusahan ini tidak membuat perjuangan warga melemah, Anton dan warga lainnya akan tetap menuntut hak-hak mereka yang selama ini dipungkiri baik oleh lapindo maupun oleh pemerintah. “Selama jadup dan kontrak kami belum dibayar, kami tetap akan menuntut!,”” demikian pungkas Anton dengan tegas.[re]

  • Berbeda Tuntutan, Satu Perjuangan

    korbanlumpur.info, Sidoarjo – Ada yang berbeda dalam pertemuan antara perwakilan Korban Lapindo dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN di Pendopo Kabupaten Sidoarjo kemarin. Selain kelompok Gerakan Pendukung Perpres (GEPPRES), pertemuan tersebut juga diikuti oleh perwakilan dari kelompok korban yang lain. “”Kami mencoba membangun solidaritas antar korban lapindo. Jadi berbeda tujuan, tetapi satu perjuangan”,” tutur Mustofa, ketua GEPPRES.

    Memang selain GEPPRES, hadir juga perwakilan dari kelompok 9 desa di luar Peta, 3 desa terdampak Perpres 48/2008, Perwakilan Warga Perumtas, dan Warga Pengontrak. Selain kelompok-kelompok Korban Lapindo ini, turut mendampingi juga beberapa orang pengacara dan paralegal dari Tim Advokasi Posko Bersama Korban Lapindo.

    Perkembangan yang sangat menggembirakan ini bisa dirunut sebulan ke belakang. Pada tanggal 11-12 Juli 2008, diadakan pertemuan nasional antara kelompok-kelompok korban, dengan lembaga dan individu yang peduli dengan masalah Lapindo di Jakarta.

    “Salah satu pelajaran yang bisa didapat dari pertemuan tersebut adalah adanya perpecahan yang terjadi antara berbagai kelompok korban. ”Dan ini tampaknya disengaja, dengan tujuan untuk memecah belah kekuatan korban,”” jelas Chalid Muhammad, salah seorang fasilitator dalam pertemuan tersebut.

    Karena itu, agenda untuk menyatukan seluruh elemen korban Lapindo menjadi agenda penting yang dirumuskan dari pertemuan itu. “Sebagai salah satu mandat dari pertemuan ini adalah dengan membentuk Posko Bersama, dimana seluruh kelompok korban bisa saling berinteraksi, berbagi informasi terkait dengan posisi masing-masing, serta saling mendukung tuntutan masing-masing kelompok”,” terang Paring Waluyo, koordinator Tim Pengorganisasian Posko Bersama.

    Dan pertemuan yang difasilitasi oleh Bupati itu menjadi langkah awal untuk membentuk kesatuan di antara seluruh korban Lapindo ini. Sebelum pertemuan sekaligus aksi bersama ribuan korban Lapindo kemarin, bentuk kekompakan kelompok-kelompok korban ini lebih dulu ditunjukkan dengan adanya pembagian piket secara bergiliran dari masing-masing kelompok dan desa untuk menjaga Sekretariat Posko Bersama di Desa Gedang.

    Adanya kebersamaan seluruh korban lumpur ini menimbulkan optimisme tersendiri di tingkat korban untuk mencapai tuntutan mereka.

    “Kami sudah capek di permainkan oleh Lapindo, masa masih harus bertengkar dengan sesama korban. Lebih baik kami pakai energi kami untuk membangun kekuatan diantara sesama korban. Kalau ada yang perlu dilawan itu bukan sesama korban, tetapi pihak Lapindo yang mengingkari janji-janji yang mereka berikan sendiri,”” tukas Abadi Trisanto, ketua Presidium Posko Bersama sekaligus koordinator kelompok Perwakilan Warga Perumtas I.

  • Diundang Pertemuan, Lapindo Mangkir

    korbanlumpur.info – Beragam cara dilakukan oleh Lapindo, berkelit dari tanggung jawabnya menyelesaikan ganti rugi korban Lumpur Lapindo. Kemarin, ketika diundang untuk bertemu dengan warga korban Lumpur Lapindo dari Kelompok Gerakan Pendukung GEPPRES, tidak satupun perwakilan dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ), maupun dari Lapindo Brantas Incorporation (Lapindo) yang nongol.

    ““Saya sebenarnya hari ini juga mengundang Minarak, tetapi tidak ada yang datang,”” demikian penjelasan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso ketika menerima perwakilan warga. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, kenapa tidak ada perwakilan Lapindo maupun MLJ dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh perwakilan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Badan Pertanahan Nasional di Pendopo Kabupaten Sidoarjo tersebut.

    Pertemuan ini sebenarnya ditujukan untuk mengklarifikasi kenapa MLJ, perusahaan yang didirikan oleh Grup Bakrie untuk menyelesaikan masalah sosial kasus Lumpur Lapindo, tidak segera melunasi sisa pembayaran 80 persen. “Seharusnya kan setelah PIJB dan pembayaran 20 persen dilaksanakan,

    “Minarak segera melunasi sisa pembayaran karena batas waktunya sudah lewat. Jadi tinggal transfer saja,”” tegas Hasan, salah satu perwakilan warga dari Desa Kedungbendo.

    Namun, setelah batas waktu sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yaitu satu bulan sebelum masa kontrak dua tahun habis (bulan Juli yang lalu), MLJ tidak segera melunasi sisa pembayaran. Yang ada kemudian MLJ secara sepihak memaksakan kepada warga untuk menerima skema baru yang disebut dengan Cash and Resettlement yang lebih menguntungkan mereka, dan merugikan warga.

    Bahkan, dalam nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Andi Darussalam dari MLJ dan beberapa perwakilan warga yang tergabung dalam GKLL dan disaksikan oleh Emha Ainun Nadjib, MLJ mengancam tidak akan membayar warga yang tidak mengikuti tawaran mereka. Pada poin ke 5 dari nota kesepahaman itu disebutkan bahwa warga yang tidak mengikuti skema CnR, tidak akan dibayar sisa pembayarannya.

    Hal ini tentu saja menimbulkan kegelisahan yang mendalam bagi sebagian besar warga. Apalagi masa kontrak mereka sebagian besar sudah habis bulan Juli dan Agustus ini. Ditambah dengan tahun ajaran baru dan lebaran dua bulan lagi, hal ini membuat warga yang sudah dua tahun menderita ini berada dalam posisi yang sangat terjepit. Karena itu mereka berinisiatif untuk meminta kejelasan kepada pihak-pihak terkait.

    Atas ketidakhadiran MLJ dan Lapindo dalam pertemuan itu, Bupati meminta pihak BPLS untuk proaktif agar MLJ memberi kejelasan penyelesaian bagi warga yang tidak menerima skema Cash and Resettlement. ””Dalam kapasitas saya selaku anggota dewan pengarah, saya meminta BPLS untuk mengingatkan MLJ dan instansi terkait lainnya untuk menjelaskan masalah ini,”” tandas Bupati.

  • Harapan Baru untuk “Cash and Carry”

    korbanlumpur.info – Sorak sorai langsung terdengar ketika Suwito, perwakilan warga yang masuk dan ditemui bupati keluar dan menyampaikan hasil pertemuan di pendopo Kabupaten Sidoarjo. Korban lapindo sudah beberapa kali harus berdemo ke Bupati untuk mempertanyakan nasibnya, juga beberapa kali sudah sujud syukur ketika tuntutan mereka seolah terpenuhi, dan mereka sudah lelah ditipu, lalu, apalagi yang baru sekarang?

    Siang itu (05/08/2008), matahari sudah bergeser dan warga yang menunggu di luar pendopo kabupaten masih bertanya-tanya dalam hati, apakah betul asset tanah warga yang Petok D dan Letter C bisa di-AJB-kan, yang artinya bisa mendapatkan ganti rugi secara cash and carry? Sementara di dalam, Perwakilan warga yang ditemui Bupati menyampaikan segala harapan dan tuntutannya.

    Dengan membawa sebendel bukti berisi peraturan-peraturan dan risalah rapat serta komitmen pihak-pihak terkait, warga mengadu dan meminta Bupati merespon tuntutan warga untuk segera dibayar ganti rugi asset mereka secara cash and carry. Sudah lama mereka diombang-ambingkan dan digoyang isu-isu dan informasi yang tidak jelas. Pihak Minarak lapindo Jaya setelah melaukan pertemuan dengan GKLL menyatakan tidak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun (tempointeraktif, 26 Juni 2008).

    Pasca pernyataan itu, tentu saja korban lumpur yang mayoritas memiliki bukti asset berupa Petok D dan Letter C resah, tidak ada angin tidak ada hujan mereka yang sudah berharap segera menerima sisa ganti rugi 80% karena masa kontrakannya habis kembali menelan pil pahit. Jika sebelumnya mereka melalui GKLL giat menuntut cash and carry, namun akhirnya cash and resettlement yang didapat.

    Pihak Minarak lapindo Jaya berkilah bahwa pemilik asset dengan bukti kepemilikan Petok D dan Letter C tidak bisa di-AJB-kan. Padahal Badan Pertanahan Nasional sudah mengeluarkan surat pada tanggal 24 Maret 2008 mengenai mekanisme AJB untuk semua bukti kepemilikan (Sertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol, Yasan serta tanah asset Pemda dan yang berstatus HGB). Belum lagi jika merujuk pada banyak risalah rapat dan komitmen yang bukan hanya ditanda tangani Andi Darusalam selaku Vice President PT Minarak lapindo jaya tetapi juga pejabat negara baik daerah maupun pusat, yang jelas menyatakan bahwa Petok D, Letter C dsb diperlakukan sama dengan sertifikat dan berhak mendapat ganti rugi yang sama.

    Namun semua itu seolah menguap, dan komitmen yang ditanda tangani seolah tidak ada. Lalu, pada tanggal 25 Juni 2008, keluarlah pernyataan itu: ʽPT MLJ tak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapunʼ Perih dan menyakitkan!’

    Namun, sorak-sorai pada 5 Agustus 2008 di depan Pendopo Kabupaten kemarin seolah memberikan titik cahaya kepada mereka yang memilih untuk tetap menuntut hak mereka secara cash and carry. Bupati Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan bahwa semua asset warga dengan bukti kepemilikan Petok D, Letter C, SK Gogol bisa di-AJB-kan dan Pihak lapindo harus menunaikan kewajibannya membayar sisa ganti rugi 80% secara cash and carry.

    Bukan akhir dari segalanya memang, masih butuh perjuangan untuk tetap menuntut tanggung jawab Lapindo dalam mengganti rugi asset warga yang telah tenggelam. Mereka mengepalkan tangan dan berteriak mengungkapkan kegembiraannya. Bapak-bapak dan kaum muda meloncat-loncat mengekspresikan kelegaannya, beberapa ibu terlihat menangis terharu mendengar berita itu. Harapan itu masih ada dan terjaga, harapan untuk mendapatkan lagi kehidupan mereka yang telah ditenggelamkan oleh Lapindo baik dengan lumpur maupun dengan tindakan-tindakan mereka yang mengingkari hak-hak warga.

    Sorak sorai itu terdengar optimis, kelegaan yang menyeruak setelah kegundahan akan terbayarnya aset mereka terjawab. Tapi perjuangan tidak boleh hanya berhenti pada kelegaan.

  • Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    korbanlumpur.info – BPLS kembali tebar janji, dalam pertemuan dengan perwakilan 3 desa (desa Besuki, Pejarakan, dan Kedung Cangkring) menanggapi permasalahan setelah dikeluarkannya Pepres 48/2008 tentang revisi Perpres 14/2007 tentang Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

    Bapak Sarjono dari desa Pejarakan yang dimintai konfirmasi menyatakan bahwa BPLS menyatakan akan segera mengadakan sosialisasi untuk memusyawarahkan penentuan harga ganti rugi lahan warga di 3 desa. Sosialisasi itu sendiri akan dilakukan per RT.

    Sarjono yang datang pada pertemuan itu menyesalkan langkah ini, dia menilai bahwa itu akan memperlambat proses pembayaran, semestinya sosialisasi itu bisa dilakukan bersamaan beberapa RT, sehingga tidak mengulur waktu. Dia mengkhawatirkan waktunya tidak cukup untuk masa anggaran 2008 ini. Untuk diketahui bahwa pembayaran DP 20% guna membeli lahan warga di 3 desa diambilkan dari APBN-P 2008, sehingga harus segera direalisasi sebelum masa anggaran yakni bulan Desember 2008.

    Pihak BPLS sendiri menyatakan bahwa harga pembayaran akan mengacu pada harga seperti yang sudah dilakukan di dalam peta area terdampak sebelumnya yakni: 120 ribu untuk tanah sawah, satu juta untuk tanah pekarangan dan 1,5 juta untuk bangunan. Namun untuk penentuan harga sendiri rupanya masih harus melewati proses musyawarah, meskipun patokannya tetap harga-harga seperti tertulis sebelumnya itu.

    Selain tentang sosialisasi musyawarah penentuan harga, BPLS melalui Kepala Pokja Perlindungan Sosial BPLS, Bajuri Edy Cahyono, menjanjikan bahwa sisa pembayaran warga yang 80% akan diselesaikan dalam 1 tahun. ”katanya … sudahlah pak percayalah dengan saya, jadi kalau anggaran (untuk membayar sisa) 80%-nya itu (diambilkan dari) APBN 2009, jadi yang tadinya itu kalau (mekanisme pembayaran seperti) di lapindo (menunggu masa) kontrak 2 tahun yang dalam peta, yang disini (3 desa) kontrak 1 tahun, dan 1 bulan sebelum masa kontrak habis 80%-nya sudah diturunkan” begitu ungkap Sarjono menirukan pernyataan staf BPLS.

    Ini berbeda dengan bunyi dalam Perpres 48/2008 yang menyatakan bahwa pembayaran pada 3 desa yang dimasukkan melalui Perpres 48/2008 untuk sisa 80% dibayarkan setelah pembayaran pada peta area terdampak sebelumnya selesai. Mengenai ini, staf Humas BPLS seperti dikutip pada kapanlagi.com (31/07/2008 BPLS siapkan posko verifikasi ganti rugi) menyatakan Untuk korban lumpur versi Perpres No.14/2007 mendapat ganti rugi dari Lapindo Brantas dengan skema pencairan dana 20% dan pelunasan 80%-nya harus menunggu dua tahun. Berbeda dengan versi Perpres No.48/2008. Skema pencairan sama, yakni 20%, selanjutnya, pelunasan 80%.Namun, untuk pelunasan 80% warga tidak harus menunggu lama. Maksimal akhir Desember 2008 sudah cair.

    Entah versi mana yang benar? Sebelum Desember 2008, 1 bulan sebelum masa kontrak yang 1 tahun selesai, atau menunggu Lapindo menyelesaikan pembayaran dalam peta area terdampak sebelumnya?

    Selain permasalahan penentuan harga dan kepastian pembayaran sisa 80%, Sarjono juga menyatakan kegelisahannya akan status pengontrak, khususnya yang ada diwilayah desa Pejarakan. Menurutnya ada beberapa pengontrak yang mayoritas bekerja di industri-industri kecil di Pejarakan, selama ini tidak terperhatikan. padahal mereka selama ini juga sudah dianggap seperti penduduk asli. Tetapi rekomendasi yang diberikan oleh Kepala Desa Pejarakan hanya mengusulkan 384 KK yang tidak termasuk pengontrak yang tinggal di desa Pejarakan. Ini juga yang hendak diperjuangkan oleh Sarjono untuk para pengontrak mendapatkan haknya juga.

    Secara keseluruhan, Sarjono menginginkan ini bukan lagi sekedar janji-janji seperti yang sudah-sudah, karena masyarakat sudah bosan dengan segala janji yang tidak juga kunjung terbukti, bahkan seringkali diingkari. Tapi sekali ini, masyarakat tidak lagi mau dibohongi.