Category: Lapindo di Media

  • SBY Diminta Bawa Lapindo ke Pengadilan

    SBY Diminta Bawa Lapindo ke Pengadilan

    Dalam aksinya massa membawa spanduk dan poster bertuliskan penuntasan kasus Lapindo serta membawa peti mati keadilan. Mereka juga melakukan orasi menuntut penyelesaian kasus Lapindo.

    Koordinator aksi, Andrie Wijaya mengatakan aksi ini dilakukan setiap tanggal 29 untuk mengingat jika kasus Lapindo sudah berjalan 4 tahun dan belum juga ada perhatian dari pemerintah.

    “Aksi kali ini mengangkat bahwa banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah dan disembunyikan fakta-fakta,”ujarnya, Sabtu (29/01/2011).

    Dirinya juga menjelaskan jika saat ini baru selesai melakukan uji kesehatan terhadap perempuan dan anak-anak. Hasilnya kondisi kesehatan terhadap perempuan dan anak menurun yang diduga akibat paparan gas yang mereka hirup selama 4 tahu terakhir.

    Dengan aksi ini mereka juga meminta pemerintah untuk memaksa Lapindo menutup semburan lumpur dan merehabilitasi ekosistem.  Tidak hanya itu saja, pemerintah juga membawa Lapindo ke pengadilan sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan pelanggar HAM berat. (crl)

    (c) Okezone

  • Sanggar Al Faz untuk Anak-anak Korban Lumpur Lapindo

    Sanggar Al Faz untuk Anak-anak Korban Lumpur Lapindo

    Sidoarjo – Sebuah sanggar anak didirikan untuk anak–anak korban lumpur Lapindo. Sanggar bernama Al Faz ini didirikan tahun 2008 dan berfungsi sebagai taman bermain, sekaligus belajar bagi anak-anak korban lumpur yang tinggal di kawasan Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    Pendiri Sanggar Al Faz Muhammad Irsyad mengatakan, hingga saat ini ada sekitar 30 anak yang beraktifitas di sanggar di setiap hari Sabtu sore dan Minggu pagi. Sebagian dari mereka bahkan telah duduk di bangku SMP dan SMA.

    Pendirian Sanggar Al Faz didorong oleh rasa keprihatinan Irsyad terhadap perkembangan mental dan kepribadian anak–anak korban lumpur.

    “Pada waktu itu, kepribadian dan perkembangan anak, kurang begitu terperhatikan, karena orang tuanya sibuk mengurusi ganti rugi. Karena itulah, sanggar ini berdiri,” kata Irsyad, Sabtu (29/1).

    Kegiatan di Sanggar Al Faz terbagi dalam beberapa kelompok, seperti menari, menyanyi dan belajar alat musik, termasuk gamelan dan alat musik tradisional lainnya. Tidak itu saja, sanggar Al Faz juga menyediakan perpustakaan yang berisi buku-buku pengetahuan dan pelajaran untuk anak-anak.

    Sanggar Al Faz, juga menggelar diskusi yang bertemakan persoalan di masyarakat setiap pekan. Topik bahasan dari diskusi yang digelar beragam, mulai dari kesehatan, pendidikan hingga penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

    Irsyad dan penduduk Desa Besuki Timur juga membangun radio komunitas Kanal Besuki Timur (KBT) FM. Radio ini menyiarkan informasi seputar perkembangan dan isu-isu terbaru terkait lumpur Lapindo.(E3)(Yovinus Guntur Wicaksono)

    (c) VHRmedia

  • Hentikan Melakukan Kebohongan, Lapindo!

    Hentikan Melakukan Kebohongan, Lapindo!

    Jakarta, (29/01/2011) – Tidak beraninya pemerintah SBY menyeret Lapindo ke pangadilan, membuat Lapindo dan pemiliknya semakin leluasa mengumbar kebohongan ke publik. Terakhir kali Ical, 24/01/2011, mengatakan korban Lapindo telah menjadi miliader dan tinggal 80 KK yang belum lunas dari hanya 12 ribu KK, padahal ada 70 ribu KK yang menjadi korban dan masih 5997 KK yang belum dibayar lunas hingga akhir 2010.

    Sederetan kebohongan Lapindo dan pemiliknya, menjadi pembenaran bagi pemerintah mengabaikan korban dan melakukan pembiaran semburan lumpur tetap berlangsung. Dan hal ini telah berlangsung sejak lumpur kali pertama menyembur, 29 Mei 2006.

    Korban pun semakin jauh dari rasa keadilan, fakta-fakta keadilan dilapang seperti masuk dalam Peti Mati lalu membusuk didalamnya. Lapindo dan Bakrie selalu mampu berkelit dari tanggung jawab dengan mengucapkan mantra kebohongannya. Dan ternyata perilaku bohong ini tidak hanya dilakukan oleh Lapindo, perusahaan lainnya dibawah Bakrie Group seperti Arutmin, Adaro dan KPC tidak bayar pajak dan menunggak Royalti. KPC melakukan penyerobotan lahan HPH milik PT. Porodisa dan berbohong bahwa wilayah yang diserobotnya adalah miliknya.

    Setali tiga uang, Lapindo dan Pemerintah malah berkolaborasi melakukan kebohongan-kebohongan.  Mulai dari menyatakan semburan lumpur adalah bencana, lumpur tidak berbahaya dan beracun, buble juga tidak berbahaya atau bahkan difasilitasi oleh peraturan yakni Kepres 14/2007 lalu diganti Perpres 48/2008 dan terakhir Perpres 40/2009.

    Ini tak bisa dibiarkan terus menerus, karena kebohongan demi kebohongan seolah Lapindo telah melakukan yang terbaik dan sangat peduli terhadap korban. Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo, menuntut :

    1. Hentikan pencitraan dengan melakukan kebohongan atas fakta-fakta kehancuran dan ketidakadilan yang terjadi.
    2. Pemerintah segera memaksa Lapindo menutup semburan lumpur Lapindo dan melakukan rehabilitasi atas kerusakan ekosistem dalam skala besar.
    3. Memaksa dan menuntut Lapindo membayar seluruh kerugian tanpa menggunakan uang rakyat (baca: APBN)
    4. Pemerintah membawa Lapindo ke Pengadilan sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan pelanggaran HAM berat.
    5. SBY harus memenuhi janji-janjinya untuk menanggani Lapindo secara maksimal dan terang benderang.
    6. Mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak melupakan masalah lumpur Lapindo, serta tidak terpengaruh opini “menyesatkan” yang berupaya mengalihkan tanggung jawab dalam penyelesaian masalah ini.

     

    Siaran Pers, 29 Januari 2011 Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo
    (JATAM, KIARA, WALHI, Institut Hijau Indonesia, ICEL, Kontras, LBH Masyarakat, Lapis Budaya, Imparsial, Satu Dunia, WALHI Jatim, Solidaritas Perempuan)

     

    (c) http://www.jatam.org

  • Ical Sesumbar, Korban Lapindo Terlantar

    Ical Sesumbar, Korban Lapindo Terlantar

    SIDOARJO – Klaim Aburizal Bakrie atau Ical bahwa korban Lapindo telah menjadi miliarder tidak saja jauh panggang dari api. Lebih dari itu, pihak Lapindo telah mengingkari janjinya untuk ke sekian kali. Hingga akhir Januari 2011 ini, terhitung empat bulan lebih PT Minarak Lapindo tidak membayarkan cicilan Rp 15 juta per bulan kepada warga yang berhak.

    Keterlambatan pembayaran cicilan warga ini sangat menyengsarakan warga. Pasalnya, warga sangat mengantungkan hidup pada pembayaran cicilan. Terlebih, kebanyakan warga korban Lapindo sekarang masih belum memperoleh pekerjaan yang layak. Mulyadi, warga yang dulu tinggal di Desa Jatirejo, pun harus mengubur dalam-dalam keinginannya membangun rumah lagi.

    Sampai menjelang  lima tahun semburan lumpur Lapindo, Cak Mul, demikian Mulyadi biasa dipanggil, belum bisa membangun rumah kembali. Ia terpaksa harus menumpang hidup di rumah kontrakan saudaranya di kawasan Gempol, Kabupaten Pasuruan. “Saya sampai sekarang belum bisa membangun rumah kembali. Anak-istri, saya titipkan di rumah mertua  di Mojokerto. Di sini saya numpang di rumah kakak saya,” tuturnya.

    Cak Mul sangat kecewa dengan perlakuan Lapindo. Setelah menyatakan tidak mampu melunasi sisa pembayaran tanah dan bangunan 80 persen secara tunai sekaligus, pihak Lapindo menyatakan akan membayar dengan mengangsur Rp 15 juta per bulan. Namun janji tinggal janji. “Minarak sudah seenaknya memperlakukan korban lumpur. Sudah empat bulan ini saya belum ditransfer. Terakhir bulan Desember 2010 saya mendapatkan trasferan, tapi  hanya lima juta,” ungkap pria 45 tahun yang sehari-hari mengais rezeki di tanggul penahan lumpur ini.

    Cak Mul sendiri seharusnya menerima Rp 15 juta per bulan. Uang ganti rugi itu kemudian harus dia bagi dengan ke lima saudaranya. Wajar jika uang selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari. Mulyadi dan istrinya sekarang tidak mempunyai penghasilan lagi sejak lumpur Lapindo menenggelamkan rumah dan kampung tempat mereka bekerja. Dulu Mulyadi bekerja sebagai tukang becak di Desa Jatirejo, sedangkan istrinya berjualan nasi di depan rumah.

    Perlakuan Lapindo yang seenaknya sendiri itu tidak saja dialami Mulyadi. Harwati, asal Desa Siring, juga mengalami hal serupa. “Saya bulan Januari ini hanya ditrasfer lima juta. Dan pada bulan-bulan sebelumnya saya tidak ditransfer sama sekali. Terakhir saya mendapat transferan utuh Rp 15 juta pada bulan Oktober 2010,” ujarnya. Perempuan yang suaminya meninggal sejak 2007 silam ini harus membanting tulang untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Sehari-hari Harwati juga memanfaatkan tanggul penahan lumpur untuk mencari nafkah.

    Harwati terpaksa mengojek di tanggul penahan lumpur untuk mengantar tamu berkeliling. Meskipun Harwati sudah menerima cicilan sekitar Rp 75 juta dari Rp 150 juta dari sisa ganti ruginya, sampai saat ini dirinya juga belum bisa membangun rumah kembali. Ia dan kedua anaknya kini tinggal bersama orang tuanya di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong.

    Hampir lima tahun hidup Harwati terombang-ambing oleh sikap Lapindo. Anehnya, pemerintah pun seolah tak kuasa menekan Lapindo. “Saya sangat kecewa dengan pemerintah, seakan-akan sudah lepas tangan dari kasus Lapindo. Meskipun korban Lapindo sering dizalimi Lapindo yang sering mengingkari janjinya membayar cicilan tepat waktu, Pemerintah diam saja,” tandas Harwati. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Taufik Basari: Klaim Ical Jauh dari Fakta

    Taufik Basari: Klaim Ical Jauh dari Fakta

    “Ical mengatakan hanya tinggal 80 orang saja yang belum mendapat ganti rugi, mana tunjukkan orang-orangnya. Juga ada 11.920 yang sudah mendapat ganti rugi dan menjadi miliarder, mana orang-orangnya tunjukkan,” kata pendamping dan pengacara korban lumpur Lapindo, Taufik Basari di Jakarta, Selasa (25/1/2011).

    Memang telah dilakukan ganti rugi atau jual beli antara pihak Lapindo dan korban lumpur, namun itu semua hanya dinilai berdasarkan aset, dan korban tidak mempunya pilihan.

    “Jadi seperti diberi uang kaget, seolah-olah korban mendapat uang berlipat-lipat, tapi tidak dipikirkan bagaimana nasib pekerjaan, kehidupan sehari-hari yang dahulu dimiliki. Penyelesaian bagi korban ini instan,” terang Taufik.

    Dia juga menuding, apa yang disampaikan Ical soal jumlah korban hanya tinggal 80 orang yang belum mendapat ganti rugi, jauh dari fakta.

    “Sepanjang pengetahuan kita yang berhubungan dengan korban di lapangan lebih banyak dari 80. Jumlah korban begitu banyaknya, dan ingat tidak ada yang pernah disampaikan kepada publik jumlahnya berapa dan siapa saja yang menerima,” tutupnya. (ndr/gah)

    (c) detikcom, Ical Ditantang Tunjukkan Korban Lapindo yang Telah Jadi Miliarder

  • Februari, Lahan Arteri Porong Harus Siap

    Februari, Lahan Arteri Porong Harus Siap

    “Februari nanti semua proses pembebasan lahan sudah harus rampung karena pada bulan tersebut pembangunan jalan arteri sudah harus dimulai,” kata Gubernur Jawa Timur Soekarwo, di Surabaya, Kamis (20/1/2011) malam.

    Ia mengaku mendapat perintah dari Wakil Presiden Boediono agar jalan arteri Porong-Kejapanan-Gempol itu sudah bisa dimanfaatkan untuk umum pada 17 Agustus 2011.

    “Kami diberi waktu enam bulan untuk merealisasikan pembangunan jalan arteri itu. Dalam perhitungan kami, Februari sudah harus mulai dibangun sehingga pada 17 Agustus 2011 sudah bisa dimanfaatkan,” katanya saat ditemui di Gedung Negara Grahadi.

    Sebelumnya, Soekarwo mengadakan pertemuan dengan pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Bupati Sidoarjo, Wakil Bupati Pasuruan, dan sejumlah pejabat teras Pemprov Jatim untuk mematangkan rencana pembangunan jalan arteri itu.

    Dalam rapat di Grahadi itu, gubernur mendapatkan penjelasan bahwa hingga saat ini lahan yang sudah dibebaskan mencapai 83,20 persen dari total kebutuhan lahan untuk jalan arteri seluas 123,77 hektare.

    Lahan yang dibutuhkan itu tersebar di Kabupaten Sidoarjo seluas 99,62 hektare dan di Kabupaten Pasuruan seluas 21,70 hektare, ditambah cadangan lahan tersisa 2,45 hektare.

    Lahan yang terbebaskan di Kabupaten Sidoarjo hingga kini sudah mencapai 89,64 persen, sedangkan di Kabupaten Pasuruan baru mencapai 50,11 persen.

    “Untuk di Kabupaten Sidoarjo, bupatinya sudah siap melakukan konsinyasi, sedangkan di Kabupaten Pasuruan, kami meminta agar wabup terus melakukan pendekatan dengan warga,” kata gubernur.

    Jalan arteri Porong-Kejapanan-Gempol sangat diperlukan untuk mengatasi kemacetan di Jalan Raya Porong sebagai jalur utama yang menghubungkan Surabaya dengan Malang dan Pasuruan.

    Selain jalan arteri, pemerintah juga mengupayakan relokasi jalan tol ruas Porong-Gempol akibat jalan tol lama terdampak semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas sejak 2006.

    (c) Kompas

  • Korban Lumpur Lapindo Ngeluruk Pendopo

    Korban Lumpur Lapindo Ngeluruk Pendopo

    SIDOARJO – Puluhan korban lumpur panas Porong yang masuk dalam skema cash and carry ngeluruk Pendopo Kabupaten Sidoarjo, Rabu (19/1) sekitar pukul 16.30 WIB. Mereka menagih janji pada Bupati Sidoarjo H Saiful Ilah.

    Ketika datang, puluhan warga dari empat desa masing-masing Siring, Reno Kenongo, Jatirejo, dan Kedung Bendo langsung menuju depan rumah dinas bupati yang ada di sebelah barat pendopo. Sekitar 10 menit mereka duduk di depan rumah dinas sambil menggelar tikar, korban lumpur digiring ajudan bupati ke pendopo.

    Menurut Yadi, warga yang masuk dalam pola cash and carry proses pembayarannya tersendat-sendat. Bahkan ada yang belum menerima pembayaran uang muka 20 persen. Apalagi pembayaran sebanyak 80 persen. “Kami bersama warga lainnya ya ngomong pada pemilik rumah yang kami kontrak, pembayarannya setelah dapat ganti rugi,” tukas Yadi dibenarkan warga lainnya.

    Selama ini, warga berpegang pada Peraturan Presiden (Perpres) 14/2007 mengenai pembayaran itu. Bupati Sidoarjo H Saiful Ilah yang menemui warga empat desa berjanji terus memperjuangkan korban Lumpur. “Semua keluhan kami tampung dan kami perjuangkan. Mereka itu anak-anak saya,” tuturnya.nmif

    (c) Surya

  • Mengendus Hulu Air Lapindo

    Iskandar, yang memimpin salah satu sesi lokakarya, bukan kesal pada topik lumpur itu. Debat berlarat-larat tentang penyebab semburan lumpur yang membuat Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu kehilangan selera. Satu kelompok meyakini muntahan lumpur itu terjadi akibat kelalaian dalam proses pengeboran, kelompok lain menyodorkan bukti bahwa gempa di Yogyakartalah pemicunya. “Bukannya malah fokus membahas cara menghentikan semburan lumpur,” katanya pekan lalu.

    Empat setengah tahun sudah lumpur dari lapangan Lapindo membanjiri Kecamatan Porong dan menenggelamkan 18 desa. Kawasan itu sekarang menjadi lautan lumpur. Rupa-rupa cara sudah dilakukan untuk menyumpal lubang semburan, dari pengeboran miring hingga menimbun lubang semburan dengan puluhan bola beton. Tapi semburan lumpur panas itu tak kunjung reda.

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyo-no pun tak sabar lagi dan memerintahkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mencari solusi permanen. “Tapi belum ada metode yang masuk akal untuk menghentikan semburan,” kata juru bicara Badan Penanggulangan, Achmad Zulkarnain.

    Memang begitu banyak usulan tek-nologi untuk menyumbat lumpur yang dialamatkan ke Badan Penanggulangan. Geolog Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya, Amien Widodo, misalnya, tetap meyakini teknik pengeboran miring atau relief well sebagai metode paling ampuh untuk mematikan semburan lumpur Lapindo.

    Cara itu sudah terbukti manjur di Brunei Darussalam. Pada 1979, akibat kesalahan dalam pengeboran, lumpur menyembur di lepas pantai Brunei. Perlu waktu hampir 30 tahun dan 20 relief well untuk menyumpalnya. Teknik ini pernah gagal di Lapindo, kata Amien, karena lokasi pengeboran kelewat dekat dengan pusat semburan. Dia mengusulkan pengeboran miring dilakukan dari luar tanggul lumpur.

    l l l
    Sejak 29 Mei 2006, air panas bercampur lumpur menyembur dari Blok Brantas. Iskandar Zulkarnain, 51 tahun, menghitung volumenya sudah melampaui 150 juta meter kubik. Sudah berulang kali tanggul penahan lumpur diperluas, juga diperkuat, berulang kali pula tanggul setinggi 20 meter itu jebol.

    Dalam lumpur panas, kata Iskandar, terkandung 70 persen air. Sejak Mei lalu, Iskandar dan tim Pusat Penelitian Geoteknologi menelisik dari mana air lumpur Lapindo itu bersumber. Dia berkeyakinan, ada pasokan air selama empat tahun ini yang jumlahnya diperkirakan tak kurang dari 75 juta meter kubik. Ia menyusup sebagai air tanah di kedalaman 700 meter hingga 3 kilometer ke lapisan tanah di bawah danau lumpur. “Pertanyaannya, dari mana air sebanyak itu,” kata Iskandar.

    Menurut Iskandar, kemungkinannya sangat kecil air Lapindo berasal dari cekungan di Porong itu sendiri, walaupun di sekitar lautan lumpur itu memang ada Sungai Porong dan juga rawa-rawa. Buktinya, kata Karit Lumbangaol, anggota tim, air rawa maupun Sungai Porong tidak pernah menyusut. Berarti, air lumpur Lapindo dipasok dari daerah di luar lautan lumpur.

    Iskandar meragukan intrusi air laut dari Selat Madura sebagai sumbernya. Penelitian Antonio Mazzini dari Universitas Oslo, Norwegia, bersama geolog G.G. Akhmanov dari Moscow State University, Rusia, pada 2008, menunjukkan kadar garam air lumpur Lapindo 39 persen lebih rendah daripada air laut. Demikian pula dengan kandungan unsur magnesium, kalium, dan sulfur oksida air Lapindo, juga jauh lebih rendah daripada air laut di Selat Madura.

    Analisis air dengan menggunakan isotop oksigen dan deuterium yang dilakukan Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral beberapa waktu lalu juga menyimpulkan sumber air lumpur Lapindo berhu-bungan dengan magma. Mata Iskandar dan timnya pun mengarah ke barat daya Porong, ke arah Gunung Penanggungan, sekitar delapan kilometer dari semburan lumpur.

    Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia Lambok M. Hutasoit pernah mengajukan hipotesis serupa. Melihat tingginya volume semburan lumpur, dia menduga air Lapindo berasal dari -daerah yang cukup tinggi. Untuk memas-tikan hubungan lumpur Porong dengan daerah resapan air di Gunung Penanggungan, Lambok mengusulkan -analisis isotop pada air lumpur. Kalau air itu berumur tua, kata dia, berarti yang terperangkap memang air dalam formasi tanah di bawah Porong. Jika umur air itu masih muda, berarti ada air tanah yang terbawa masuk.

    Agar air bisa mengalir hingga menembus formasi di bawah danau lumpur, ia memerlukan zona tembus air atau permeable. Zona ini biasanya berupa struktur patahan yang poros. “Fungsinya serupa dengan pipa air di bawah tanah,” kata Karit. Zona itu berada tepat di antara dua patahan lempeng.

    Dari penelitian dengan metode gaya berat dan audio-magnetotelluric serta magnetotelluric, ditemukan patahan yang melintang dari arah barat daya ke timur laut. Sesar ini membentang dari Desa Watukosek di kaki Gunung Penanggungan dan melewati Porong. Sesar Watukosek ini berada di keda-laman 200 meter dan semakin terbenam hingga kedalaman 1.500-3.000 meter saat mengarah ke Porong.

    Zona itulah, kata Iskandar, yang diduga merupakan “pipa” yang mengge-lontorkan air dari Penanggungan ke lautan lumpur Lapindo. Untuk memastikan zona aliran air temuan tim Pusat Penelitian Geoteknologi, masih perlu pengeboran di sejumlah titik. Jika temuan awal Iskandar ini nanti benar-benar terbukti, bisa jadi akan ada jalan untuk menyumbat semburan lumpur panas itu.

    Caranya dengan mencekik “pipa” air tersebut dengan mengubah zona tembus air menjadi zona kedap air. Misalnya dengan menyuntikkan partikel-partikel halus ke dalam zona tembus air itu. Partikel ini akan menyumbat pori-pori yang menjadi jalur air. Jika pasokan air mampat, kemungkinan lumpur Lapindo pun akan macet.

    Cara itu, menurut Iskandar, akan menaikkan tinggi muka air tanah di zona antara Lapindo dan Gunung Penanggungan. Sekali pukul, dua target kena.

    Sapto Pradityo, Anwar Siswadi (Bandung), Eko Widianto (Sidoarjo)

    (c) Majalah Tempo

  • Korban Lapindo Dihadang Demo SBY

    Korban Lapindo Dihadang Demo SBY

    Warga sudah berkerumun di Pendopo Sidoarjo sejak pukul 07.00 WIB. Setelah sejumlah aparat kepolisian dari Polres Sidoarjo menghadang mereka untuk berangkat ke Surabaya, mereka hanya duduk-duduk di Pendopo. Padahal rencananya warga akan menyampaikan aspirasinya ke Presiden SBY untuk segera mengambil alih penyelesaian gantirugi karena pihak Lapindo terus menerus ingkar janji. Bupati Sidoarjo Saiful Ilah sebelumnya juga berjanji kepada warga korban Lapindo untuk mengupayakan penyelesaian ganti rugi, namun janji itu belum juga terwujud.

    Sempat terjadi ketegangan antara warga dan pihak kepolisian. Kepala Polres Sidoarjo AKBP M Iqbal dan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo akhirnya memfasilitasi sejumlah perwakilan saja dari warga untuk diupayakan bertemu dengan Presiden SBY.

    “Kami sudah berada di Pendopo sejak jam 7 pagi. Ketika mau berangkat ke Grahadi, kita dihadang polisi tidak boleh berangkat. Dan tadi perwakilan kami difasilitasi Kapolres meluncur ke Grahadi Surabaya untuk bertemu Presiden,” kisah seorang warga bernama Irfan, saat di Pendopo Sidoarjo menunggu kabar dari rekan perwakilan yang berangkat ke Grahadi.

    “Kami kecewa tidak diperbolehkan demo (ke Grahadi). Padahal kami hanya mengingatkan Presiden agar menjalankan Perpres 14/2007,” tambah Irfan dengan nada kesal. Setelah dilarang untuk melakukan aksi unjuk rasa di Gedung Grahadi Surabaya, warga tidak langsung pulang. Mereka bertahan di Pendopo Sidoarjo.

    “Jika perwakilan kami tidak ditemui Presiden dan tidak mendapatkan kejelasan soal gantirugi kami, kami berencana akan mencabut surat kami yang berada di notaris,” ujar M. Soim, warga lainnya.

    “Kami berharap Presiden menerima perwakilan kami, dan segera mengambil tindakan agar nasib kami tidak semakin menderita. Karena sudah empat tahun lebih kami dibiarkan Lapindo dan ppemerintah. Padahal Perpres-nya kan sudah jelas: ganti rugi aset tanah dan bangun di bayar 20-80 persen,” tambahnya.

    Warga yang bertahan dengan sekema cash and carry tersebut bertekat akan terus melakukan aksi sampai proses ganti rugi mereka tuntas. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Tuntut Penyelesaian Ganti Rugi, Korban Lapindo Akan Datangi Presiden

    Tuntut Penyelesaian Ganti Rugi, Korban Lapindo Akan Datangi Presiden

    Warga yang menerima skema cicilan Rp 15 juta/bulan menuntut PT MLJ segera melunasi pembayaran. Terakhir mereka menerima pembayaran cicilan sisa 80 persen pelunasan jual-beli aset tanah dan bangunan itu pada Oktober 2010. Peraturan Presiden 14/2007 mewajibkan pihak Lapindo membayar aset warga dengan skema 20-80 persen. Pelunasan 80 persen seharusnya sudah dibereskan Lapindo pada 2008, namun Lapindo gagal melunasi dengan alasan kesulitan keuangan dan akhirnya berhasil memaksa warga agar menerima skema cicilan Rp 15 juta/per bulan.

    Robi’i, salah satu perwakilan dari Desa Jatirejo Kecamatan Porong, menyayangkan keterlambatan pembayaran cicilan warga. “Kami merasa dibohongi lagi karena sudah satu bulan lebih Minarak belum mentransfer cicilan kami,” ungkapnya saat ditemui di kantor PT MLJ. Tidak kali ini saja Lapindo mengingkari janjinya membayar cicilan tepat waktu. Bulan-bulan sebelumnya pun PT MLJ hanya membayar setelah didemo warga.

    “Tidak kali ini saja Lapindo terlambat membayar cicilan warga. Bahkan sebelum Hari Raya, Minarak tidak membayar cicilan sampai 5 bulan,” kata Saman, perwakilan warga lainnya. Tidak hanya mempertanyakan keterlambatan pembayaran warga, perwakilan warga juga menagih janji ke PT MLJ yang beberapa waktu lalu di Sun City, Sidoarjo, pernah mengatakan akan merapel cicilan yang belum dibayar pada November 2010.

    “Saya juga menagih janji Andi Darusalam yang akan merapel pembayaran bulan November. Jadi pada bulan Desember ini akan dibayar dua kali. Tapi ternyata sampai pertengahan bulan warga juga belum menerima pembayaran cicilan,” ungkap Robi’i. Andi Darusalam Tabusalla adalah Vice President PT MLJ yang sekarang juga dikenal sebagai manajer tim nasional sepak bola Indonesia.

    Warga ditemui perwakilan dari PT MLJ, sedangkan Andi Darussalam yang tidak berada di lokasi kembali memberikan janji kepada warga. “Pak Andi menjanjikan lewat telepon akan segera mentransfer cicilan warga, secepatnya hari Kamis besok,” ujar Saman.

    Jika sampai Kamis (16/12/2010) warga tidak ada pembayaran cicilan Rp 15 juta/bulan, warga berencana akan melakukan aksi di Kantor Gubernur Jawa Timur saat Presiden SBY mengantor selama tiga hari di sana. “Jika sampai hari Kamis tidak ada pembayaran, kita akan melakukan aksi di Gedung Grahadi,” ungkap Saman usai pertemuan dengan pihak PT MLJ.

    Menagih Bupati

    Sementara itu, sejumlah warga lain yang masih bertahan dengan tuntutan pembayaran 80 persen cash and carry mendatangi kantor Bupati Sidoarjo, pada hari yang sama. Mereka menagih janji Bupati Saiful Ilah yang pernah mengatakan akan mengupayakan penyelesaian ganti rugi bagi warga yang bertahan dengan tuntutan cash and carry. Sebelum dilantik menjadi Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah pernah menjanjikan warga yang saat itu melakukan aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo, bahwa ia akan segera menyelesaikan proses ganti rugi warga setelah dirinya dilantik pada September 2010.

    “Saya dan warga yang bertahan (dengan tuntutan cash and carry) mendatangi Bupati hanya untuk menagih janji yang pernah beliau sampaikan di rapat kerja Pansus (Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo—red) sebelum beliau dilantik,” kata Zainal Arifin, koordinator warga yang saat itu menunggu bertemu Bupati. “Beliau kan pernah menjanjikan secara lisan untuk mengurusi ganti rugi kami, dan janji itu sekarang saya tagih,” tambahnya.

    Bukan hanya menagih janji, warga juga akan meminta Bupati Sidoarjo yang sudah menjabat selama dua bulan ini untuk memfasilitasi warga bertemu Presiden SBY yang rencananya akan berkantor di Kantor Gubernur Jawa Timur selama 3 hari tersebut. “Kami juga meminta Bupati untuk memfasiltasi kami bertemu Presiden SBY. Kami akan menyampaikan aspirasi kami yang sudah ditetapkan dalam Perpres 14/2007,” ungkap Zainal. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

     

  • Ketika Rohman Tidak Mendapatkan Informasi

    {mp3remote}http://dc249.4shared.com/img/449021331/4cb533c/dlink__2Fdownload_2FpJ9_5FTXZu_3Ftsid_3D20101210-223041-4c01103b/preview.mp3{/mp3remote}

    Oleh : Hisam Ulum  dan Ahmad Novik

    Warga Besuki Timur yang tidak masuk peta area terdampak lumpur Lapindo hidup berbatasan dengan tanggul penahan lumpur, yang kerap membuat mereka cemas. Ketika kesehatan mereka terganggu, pelayanan khusus pun tidak ada, bahkan informasi mengenai jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin pun sangat kurang. Hal ini lah yang dialami Rohman. Dirinya yang tidak mendapat informasi apa-apa mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), sebuah program layanan kesehatan yang sesungguhnya bisa dinikmati keluarga Rohman. Akibatnya, Saat Ibunya sakit Liver dan Jantung harus terhambat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang semestinya.

  • Indoleaks Rilis Lumpur Lapindo Bukan Bencana Alam

    Indoleaks Rilis Lumpur Lapindo Bukan Bencana Alam

    Jakarta – Indoleaks merilis data-data soal ‘bencana’ lumpur Lapindo. Data-data yang merupakan hasil penelitian seorang konsultan minyak asal Amerika Serikat Simon Wilson itu menyebutkan, lumpur Lapindo yang hingga kini menggenangi sebagian wilayah Sidoarjo, Jawa Timur itu bukanlah bencana alam.

    Menurut Wilson, peristiwa banjir lumpur itu terjadi sekitar 2 Juni 2006. Kejadian itu, boleh jadi disebabkan karena alat bor yang dicabut dari sumur bor oleh operator pengeboran, PT Lapindo Brantas.

    “Sekitar tengah malam 28 Mei 2006 ketika sumur itu dalam kondisi yang tidak stabil dan membutuhkan perbaikan untuk mengatasi kehilangan sirkulasi,” kata Wilson dalam laporannya yang dirilis oleh Indoleaks seperti yang diterima detikcom, Jumat (10/12/2010). Indoleaks merupakan semacam ‘wikileaks’.

    Wilson menilai, tindakan PT Lapindo Brantas itu tidak kompeten dan telah malanggar panduan pengeboran minyak yang baik (good oilfield practices). “Menurut pendapat saya, dengan terus menerus menarik pipa di sumur itu suatu tindakan yang ceroboh dan kalalaian,” kata Wilson.

    Wilson menyebutkan ada beberapa penyebab lumpur terus menerus keluar dan akhirnya menenggelamkan rumah warga Sidoarjo. Namun penyebab utamanya adalah pengeboran minyak yang tidak profesional, dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.

    Pendapat Wilson ini semakin menguatkan bahwa insiden yang disebabkan oleh PT Lapindo Brantas tersebut bukanlah bencana alam. Jika peristiwa itu benar-benar kecelakaan, maka perusahaan milik grup Bakrie itu, yang saat itu melakukan pengeboran, harus bertanggung jawab.

    Sebelumnya, tim ilmuwan Inggris yang dipimpin Profesor Richard Davies dari Universitas Durham, menyatakan para pengebor gas bersalah atas timbulnya masalah lumpur Lapindo di Jawa Timur. Menurut mereka, ada kaitan antara semburan lumpur tersebut dengan pengeboran di sumur eksplorasi gas oleh perusahaan energi lokal PT Lapindo Brantas.

    Hasil penelitian itu dimuat jurnal Marine and Petroleum Geology. Tim yang dipimpin oleh para pakar dari Universitas Durham, Inggris menyatakan, bukti baru semakin menguatkan kecurigaan bahwa musibah lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan manusia (human error).

    “Mereka telah salah memperkirakan tekanan yang bisa ditoleransi oleh sumur yang mereka bor. Saat mereka gagal menemukan gas setelah mengebor, mereka menarik alat bor keluar saat lubang sangat tidak stabil,” kata Durham.

    PT Lapindo Brantas sendiri telah membantah sebagai pemicu musibah itu dengan kegiatan pengeboran gas yang dilakukannya. Menurut PT Lapindo, lumpur itu diakibatkan oleh gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelumnya.

    Bantahan PT Lapindo Brantas ini mendapat dukungan dari Senayan. Tim pengawas lumpur Lapindo DPR menyimpulkan, semburan lumpur disebabkan faktor alam sehingga sulit ditanggulangi. Keputusan itu kontan saja mengundang kontroversi. ( Ken Yunita)

    (c)  detikNews

  • Warga Meminta Informasi Jamkesmas

    {mp3remote}http://dc192.4shared.com/img/449034233/e1b981a5/dlink__2Fdownload_2FEIdABwAG_3Ftsid_3D20101210-222404-397260a1/preview.mp3{/mp3remote}

    oleh : Hisam Ulum dan Ahmad Novik

    Pada 20 Oktober 2010 sekitar 20an warga Besuki Timur, Kecamatan Jabon, mengirimkan surat permintaan informasi terkait Jaminan Kesehataan Masyarakat (Jamkesmas) ke pihak Dinas Kesehatan Sidoarjo. warga berharap bisa mengetahui layanan kesehatan terkain jaminan kesehatan yang sudah di programkan pemerintah. Apalagi warga semakin menderita sejak lumpur Lapindo menghancurkan perekonomian mereka. Setidaknya, dengan diketahuinya informasi mengenai layanan kesehatan tersebut, warga bisa mendapatkan layanan kesehatan lebih baik.

  • Kisah Waras dan Jamkesmas

    {mp3remote}http://dc227.4shared.com/img/386391390/bde1c0f0/dlink__2Fdownload_2Fo159xdpW_3Ftsid_3D20100918-011954-120df714/preview.mp3{/mp3remote}

     

    Oleh : Daris Ilma  dan Ahmad Novik

    Tidak adanya perhatian khusus dan informasi yang jelas soal kesehatan dari pihak terkait membuat persoalan tersendiri bagi korban lumpur Lapindo

  • 18 Pelanggaran HAM Lapindo Diabaikan

    18 Pelanggaran HAM Lapindo Diabaikan

    JAKARTA – Pemerintah dinilai mengabaikan rekomendasi Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengenai 18 butir pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam kasus lumpur Lapindo. Dengan mengabaikan rekomendasi tersebut, artinya, pemerintah telah melanggar Undang-Undang.

    Demikian yang disampaikan Komisioner Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue dalam jumpa pers “Catatan Komnas HAM terhadap situasi HAM 2010, di Hotel Sahid, Jakarta, Jumat (10/12/2010).

    “Rekomendasi 18 butir pelanggaran HAM sudah kami sampaikan pada Presiden dan DPR, tapi tindak lanjutnya belum ada. Padahal dalam Undang-Undang ada aturan rekomendasi Komnas HAM itu untuk ditindak lanjuti,” katanya.

    Adapun pelanggaran-pelanggaran HAM yang ditemukan Komnas HAM dalam kasus Lapindo antara lain pelanggaran hak atas perumahan, hak pendidikan, hak anak, hak atas kesehatan, hak perempuan, dan hak pekerja.

    “Ada 18 hak yang tidak ada kaitannya dengan proses hukum seperti hak anak, tapi harus dipenuhi pemerintah,” kata Syafruddin.

    Pemerintah, lanjut dia, seharusnya memenuhi hak-hak para korban yang dilanggar tanpa harus menunggu proses hukum kasus Lapindo selesai atau menunggu pembuktian adanya dugaan pelanggaran HAM berat.

    “Itu harus dipenuhi, dihormati, dilindungi negara. Tidak ada kaitannya dengan SP3 (Surat Penghentian Proses Penyidikan) perkara itu, proses hukum pidana atau menunggu dugaan pelanggaran HAM berat,” katanya.

    Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menambahkan, pemerintah, baik pusat maupun daerah merupakan pemangku tanggung jawab utama dalam pemenuhan HAM warga negara. Namun, peran pemerintah dalam penegakkan HAM, terutama peran pemerintah daerah, dinilai masih kurang hingga saat ini.

    (c) KOMPAS.com

  • Perlu Niat Politik Hentikan Semburan

    Perlu Niat Politik Hentikan Semburan

    Hal itu mengemuka dalam Seminar Nasional Empat Tahun Lumpur Sidoarjo bertajuk ”Pengelolaan Lumpur Sidoarjo dalam Perspektif Teknik dan Ilmu Kebumian”, Selasa (30/11) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

    Sebagai pembicara, Deputi Pengendalian Pencemaran Kementerian Lingkungan Hidup MR Karliansyah, Ketua Dewan Pembina Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, dan Deputi Operasional Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Sofyan Hadi.

    ”Dari segi keilmuan, peluang untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo ada. Itu sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah,” kata Andang. Menurut dia, salah satu faktor kesulitan upaya penghentian semburan adalah tiadanya informasi dan data terbaru tentang kondisi di bawah permukaan pada area semburan lumpur. Padahal, data itu sangat diperlukan sebelum mengambil tindakan penanganan. Data terakhir tentang kondisi di bawah permukaan di wilayah itu dibuat tahun 1990.

    Menurut Andang, alat untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan tanah bernama Seismik Tiga Dimensi (3D Seismic). Dibutuhkan dana sekitar Rp 20 miliar untuk memakai alat itu dan mendapatkan data.

    Sofyan mengatakan, pihaknya tengah meneliti dan mengkaji penggunaan alat 3D Seismic. BPLS merencanakan dan menyediakan anggaran untuk pengadaan alat itu pada 2011.

    Sofyan menggarisbawahi jika penanganan dampak sosial harus diutamakan. Jika dilakukan upaya penghentian semburan dengan biaya tinggi tetapi pembayaran ganti rugi korban lumpur belum terselesaikan, akan timbul kecemburuan sosial.

    Sebenarnya berbagai upaya untuk menutup semburan telah dilakukan, tetapi belum berhasil. Upaya itu antara lain penggunaan bola-bola beton, snubbing unit, dan relief well. (APO)

    (c) Kompas

  • Penyakit Aneh Mewabah Di Desa Besuki

    Puluhan warga di RT 01 Desa Besuki terjangkit penyakit aneh. Salamun(55) misalnya, keluarganya yang berjumlah tujuh orang hampir seluruhnya menderita penyakit ini. Awal mula gejala yang dirasakan adalah demam disusul linu pada sekujur tubuh. Berikutnya kaki mengalami pembengkakan dan lumpuh untuk beberapa hari. Rata-rata kelumpuhan dialami setelah lima hari demam.

    Arif(13), cucu Salamun sudah lebih delapan hari menderita penyakit ini. Sebelumnya ia sudah dibawa ke dokter di kawasan Mindi, dan didiagnosa hanya karena kelelahan. Setelah mendapatkan obat yang diberikan, kondisinya membaik dan kembali bisa bersekolah. Namun dua hari setelahnya, kakinya membengkak dan nyaris tidak bisa berjalan hingga saat ini.

    Saat ditemui pada kamis(25/11), pihak keluarga sedang membawanya ke puskesmas karena kondisinya yang makin parah. Ia diminta menjalani rawat inap di puskesmas. Namun karena kekhawatiran persoalan biaya, keluarganya membawanya kembali ke rumah. Sulisno ayah Arif, berencana memenuhi persyaratan Jamkesmas untuk meringankan biaya dan segera bisa melakukan perawatan bagi bocah kelas V MI Maarif Darul Ulum ini. Dokter yang menangani Arif, Jahro, menyatakan gejala yang dideritanya mirip penyakit Chikungunya. Hal ini juga dikuatkan dengan pengakuan beberapa warga yang menyatakan bahwa menjangkitnya penyakit ini berawal dari gigitan nyamuk.

    Cerita yang sama dialami oleh Alfina(21), ia dan beberapa keluarganya mengalami hal yang sama. Saat ini kakinya bengkak dan tidak bisa berjalan. Saat ditemui ia hanya bisa tergeletak tak berdaya.

    Kawasan besuki yang dikelilingi tanggul lumpur di sebelah barat dan genangan bekas lahan sawah yang terendam lumpur cukup rentan untuk perkembangan berbagai jenis nyamuk. Bisa jadi penyakit ini akan terus berkembang mewabah ke seluruh warga Besuki. Karena sudah lebih dari 12 orang yang mengalami hal serupa, harusnya ada penanganan yang serius dari pejabat kesehatan setempat sebelum mewabah lebih luas. (hisyam)

  • Hakim Tolak Gugatan Transparansi, Warga Kecewa

    Hakim Tolak Gugatan Transparansi, Warga Kecewa

     

    Sidang yang tidak dihadiri oleh kuasa hukum dari penggugat sempat mundur dari jadwal. Rencananya sidang digelar pukul 10.00, namun baru pukul 14.30 sidang mulai dibuka untuk umum. Gugatan warga ini berawal ketika pada Juni 2010 lalu, 5 warga yang mewakili 70 warga pemilik lahan dari Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Simo, Desa Juwet Kenongo, Desa Kebon Agung, Kecamatan Porong dan Desa Ketapang, Desa Kali Sampurno, Kecamatan Tanggulangin mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Mereka menggugat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Bupati Sidoarjo, Panitia Pembebasan Tanah (P2T) dan PT Sucofindo Appraisal Utama terkait transparansi harga tanah yang digusur untuk relokasi tol Porong-Gempol dan arteri.

    Dalam putusannya, majelis hakim juga menyatakan tidak sependapat dengan saksi ahli yang menyebutkan hasil penelitian Tim Appraisal mengenai harga tanah tergusur harus diinformasikan ke pemilik lahan. Menurut hakim, tidak ada dalil yang menguatkan keharusan dibukanya informasi tersebut ke pemilik lahan. Berdasarkan hal itu, hakim memutuskan bahwa hasil penelitian tersebut merupakan rahasia negara dan hanya diserahkan ke pihak Panitia Pembebasan Tanah (P2T), sementara warga tidak boleh mengetahui hasil penelitian Tim Appraisal tersebut.

    Terang saja, hasil keputusan sidang gugatan itu membuat warga penggugat kecewa. Warga penggugat yang turut hadir menyaksikan sidang tersebut menganggap majelis hakim tidak cermat mengamati bukti-bukti yang sudah disajikan dalam persidangan. Kastawi, salah satu penggugat, menyatakan banyak dalil yang menunjukkan hasil penelian Tim Appraisal itu bisa ditunjukkan ke pemilik tanah. Di antaranya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 2007 yang menyatakan hasil penelitian merupakan salah satu pedoman yang harus digunakan untuk musyawarah pengadaan tanah.

    “Padahal Peraturan Kepala BPN No. 03/ 2007 sudah jelas menyatakan hasil penilaian Tim Appraisal itu sebagai pedoman musyawarah pengadaan tanah. Kalau  majelis hakim menolak gugatan dan mengangap hasil penilaian Tim Appraisal itu rahasia negara, itu akan merugikan pemilik tanah,” ungkap Kastawi setelah keluar dari persidangan. “Sekarang saja warga yang sudah mau menerima tanahnya dibebaskan banyak yang tidak bisa membangun rumah kembali,” tambahnya.

    Purwoedi, warga penggugat lainnya, juga menyangkal hasil keputusan majelis hakim tersebut. Pasalnya, hakim menyatakan lahan yang dimiliki Purwoedi bukan miliknya tetapi masih milik orang tuanya, sehingga Purwoedi dianggap tidak berhak mengajukan gugatan. “Majelis hakim di persidangan menyatakan tanah saya masih milik orang tua saya, jadi saya tidak berhak mengajukan gugatan. Padahal tanah itu sudah diwariskan ke saya,” kisah Purwoedi dengan kesal.

    Dengan ditolaknya gugatan warga yang tanahnya digusur untuk reloksi tol Porong-Gempol dan jalur arteri, warga berencana akan mempelajari hasil keputusan majelis hakim tersebut dan akan  mengajukan banding. Setelah sidang ditutup, warga langsung meninggalkan Pengadilan Negeri Sidoarjo. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

     

  • Kulit Tangan Endang Masih Melepuh

    Kulit Tangan Endang Masih Melepuh

    Saat ini tangan kirinya masih memerah akibat tersambar api 7 Juli 2009 lalu.

    Menurut Erli Cendrawasih, 47, istri Oki Andrianto, kondisi Endang, belum pulih. Bahkan luka akibat tersambar api bisa dibilang masih cukup parah. Kulit tangan kirinya masih melepuh. “Kulitnya tampak masih merah,”ujarnya, Sabtu (20/11).

    Endang kini tinggal bersama adiknya, di Gempol Pasuruan. Menurutnya meski telah dirawat di RSD Sidoarjo dan sempat dirawat di RS Pusdik Gasum Porong, dia masih butuh perawatan. “Kami hanya bisa membelikan salep kulit,” tuturnya.

    Erli mengaku tak sanggup membawa Endang ke rumah sakit. Keluarganya kini telah bangkrut sejak ledakan gas membakar sebagian isi rumahnya, 7 Juli 2009 lalu.

    Sementara itu, Purwaningsih, 51, masih tergolek di RS Katolik St Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya hingga Sabtu (20/11). Hadi Wiyanto, suami korban bercerita jika istrinya masih terbaring dalam ranjang ruang inap Paviliun 12/92. “Persiapan mau dioperasi,”katanya.

    Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung bakal meminta klarifikasi RSD Sidoarjo terkait kejadian itu. Jika benar RSD meminta paksa pulang dua pasien itu, pihaknya merasa prihatin. “Kami yakin rumah sakit punya prosedur standar pasien bisa pulang atau tidak. Namun kami tetap akan cek masalah ini,” tandasnya.

    (c) Surya

  • Pasien Korban Gas Lapindo Dipulangkan Paksa dari RS

    Pasien Korban Gas Lapindo Dipulangkan Paksa dari RS

    Pasien lainnya, yakni Devi Purbawiyanto, 23, nasibnya sama. Meski tidak lagi pindah rumah sakit, warga Desa Siring Barat RT 3/RW 1 Kec Porong ini mengaku dua kakinya masih perih karena luka bakar akibat semburan gas, pada 7 September 2010 silam. “Meski secara fisik sudah kuat, namun kaki saya masih nyeri,” ucapnya, Jumat (19/11).

    Devi yang juga anak Ny Purwaningsih ini terpaksa hidup nebeng di rumah kontrakan kerabatnya, Ny Eviyanto, di Perum Sidokare Indah Blok H/19 Sidoarjo. Dia tinggal di rumah itu sejak diminta pulang RSD Sidoarjo, 13 Oktober 2010 lalu. “Meski belum sembuh, ibu juga diminta pulang sejak dua minggu lalu,” bebernya.

    Devi menyatakan tidak menerima penjelasan panjang lebar dari RSD Sidoarjo saat diminta pulang. Seorang perawat RSD Sidoarjo hanya menyampaikan dirinya boleh pulang. Hanya saja dia diminta rawat jalan setelah diminta pulang RSD Sidoarjo. Berbekal uang bantuan yang diberikan teman sesama jemaat gereja, keduanya memeriksakan kondisi luka bakar tersebut.

    Selama ini biaya perawatan di RSD Sidoarjo ditanggung dana bantuan Pemkab Sidoarjo melalui Bupati Sidoarjo kala itu Win Hendrarso senilai Rp 15 juta dan ditambah bantuan Wagub Jatim Saifullah Yusuf Rp 5 juta.

    Dana ini diberikan kepada keduanya saat dua pejabat tersebut menjenguk korban di RSD Sidoarjo, September lalu. Biaya perawatan juga ditanggung Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Namun BPLS hanya membantu untuk sebulan, padahal kami berada di RSD hampir 1,5 bulan,” ucap Devi lirih.

    Kini Devi bingung dengan nasib ibunya yang masih dirawat di RKZ Surabaya. Ibunya telah tergolek di RKZ Surabaya hampir dua pekan. Saat pulang dari RSD Sidoarjo, kondisi Ny Purwaningsih belum pulih. Indikasinya luka bekas percikan api bubble masih mengeluarkan darah. “Pantatnya juga masih lengket, kayaknya (luka) masih basah,” ujar Devi.

    Dia menyatakan keluarga merujuk ibunya ke RKZ atas inisiatif sendiri. Biaya pengobatan ditanggung sendiri. Namun biaya itu berasal dari bantuan sejumlah teman-temannya, sesama jemaat sebuah gereja di Gempol Pasuruan. “Kami sendiri sudah tidak punya uang lagi,” katanya.

    Humas RSD Sidoarjo, Ahmad Zainuri, membantah memaksa pulang kedua pasien tersebut. Mereka dibolehkan pulang karena secara medis kondisinya sudah membaik. Kedua pasien sudah dilepas infusnya dan juga sudah bisa minum obat secara oral (melalui mulut). “Mereka dibolehkan pulang dengan catatan tetap butuh rawat jalan,” tandasnya dihubungi Surya, Jumat (19/11).

    Dia menyatakan, RSD Sidoarjo telah merawat pasien itu sesuai kemampuan. Devi telah dirawat selama 35 hari. Selama waktu itu, Devi sudah menjalani pencucian luka sebanyak tiga kali. Sedangkan Ny Purwaningsih telah dirawat selama 53 hari dan menjalani pencucian luka selama lima kali.

    Meski begitu, pihak RSD Sidoarjo mengaku belum tahu kondisi terakhir kedua korban. Saat diberitahu jika kini Ny Purwaningsih tergolek di RKZ Surabaya hampir dua pekan, Zainuri mengaku belum tahu. “Kalau tentang itu kami belum tahu,” ujarnya seraya berjanji mengecek informasi tersebut.

    Pemulangan paksa kedua pasien luka bakar semburan gas ini cukup ironis. Sebab kedua pasien ini sempat dijanjikan bakal dirawat sembuh total. Wagub Jatim Saifullah Yusuf bahkan sempat menyatakan jika RSD Sidoarjo tidak mampu menangani pasien itu, RSU Dr Soetomo siap merawatnya.

    Dalam kunjungan 14 September 2010 itu, rombongan Gus Ipul (panggilan Saifullah Yusuf disertai asisten Kesejahteraan Masyarakat Pemprov Jatim Edy Purwinarto, Dirut RSU Dr Soetomo, Slamet R Yuwono dan Kepala Dinkes Jatim, Pawik Supriadi. Sebelumnya, Rabu 8 September, Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, Ketua DPRD, Dawud Budi Sutrisno, dan Wakil Bupati Saiful Ilah juga datang menjenguk. Bupati Win yang kini telah lengser dan digantikan Saiful Ilah kala itu juga berjanji, Pemkab Sidoarjo menjamin seluruh pembiayaan kedua korban hingga sembuh. “Pembiayaannya digratiskan. Selain itu, pemkab juga akan memberi bantuan dana untuk keluarga mereka,” kata Bupati Win.

    Kedua korban itu terluka bakar usai bubble di halaman rumah Oki Andrianto, 55, warga Siring Barat Kec Porong, tiba-tiba terbakar, Selasa (7/9) silam. Kobaran api membara di kubangan semburan berdiameter 10 meter ini. Api lantas menjalar ke bangunan rumah yang sudah tidak dihuni pemiliknya tersebut.

    Selain rumah Oki, percikan api juga menghanguskan rumah milik Suncono, 55. Sebuah warung juga tersambar api meski tak ludes. Hanya TV dan perabot rumah tangga yang hangus. Warung ini milik Ny Purwaningsih, 51, yang juga tersambar api hingga terluka bakar. Selain dia, anaknya, Devi Purbawiyanto, 23, juga terluka bakar di sekujur tubuhnya. nain

    (c) Surya