Category: Suara Publik

  • Surat Terbuka untuk Bapak Joko Widodo Terkait Solusi Lumpur Lapindo

    Surat Terbuka untuk Bapak Joko Widodo Terkait Solusi Lumpur Lapindo

    KEPADA Bapak Joko Widodo yang saya hormati,

    Nama saya Andri Gunawan Wibisana.  Saya dosen hukum lingkungan di UI.  Beberapa tahun terakhir, salah satu isu yang saya teliti adalah penyelesaian kasus Lumpur Lapindo. Saya telah menerbitkan beberapa artikel terkait penelitian ini.  Dari penelitian ini, saya melihat bahwa kasus Lumpur Lapindo tidak hanya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah SBY dalam menyelesaikan persoalan lingkungan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pemerintah SBY gagal menegakkan hukum dalam pencemaran yang dilakukan oleh korporasi yang kepemilikannya terkait dengan orang kuat di Indonesia, Aburizal Bakrie.

    Selama ini, Pemerintah SBY telah memilih untuk menyelesaikan persoalan kompensasi bagi korban Lapindo dengan dua jalan. Di satu sisi, mereka yang termasuk ke dalam Peta Area Terdampak (PAT) akan diberikan kompensasi oleh PT Lapindo Brantas. Di sisi lain, mereka yang berada di luar PAT akan diberikan kompensasi oleh Negara dengan dana dari APBN. Trilyunan rupiah telah digelontorkan oleh negara baik untuk kompensasi ini maupun untuk biaya penanggulangan Lumpur Lapindo.

    Jalan yang ditempuh oleh SBY tersebut tidaklah adil, karena secara diskriminatif telah membedakan korban ke dalam dua kelompok.  Dengan adanya perbedaan kelompok ini, maka pemerintah telah membedakan perlakuan bagi para korban. Sialnya, korban yang termasuk ke dalam PAT mengalami keterlambatan pembayaran.  Nasib mereka semakin terkatung-katung dengan ketidakmampuan PT Lapindo untuk membayar kompensasi yang menjadi kewajibannya.

    Pada sisi lain, jalan yang ditempuh oleh SBY tersebut juga tidak sesuai dengan prinsip pencemar ‘membayar’ (the polluter pays principle), karena pencemar (dalam hal ini PT Lapindo) hanya dikenai beban yang sebenarnya ringan, yaitu hanya berkewajiban untuk membayar kompensasi pada korban hanya di daerah PAT.

    Tidak mungkin bagi saya untuk berharap Prabowo dapat melakukan penyelesaian kasus Lumpur Lapindo ketika dia sendiri bahkan telah menawarkan posisi “menteri utama” kepada Aburizal Bakrie.  Tetapi, saya berharap jika Bapak Jokowi menjadi Presiden yang akan datang, Bapak bisa menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo secara tuntas dan adil. Saya lihat Bapak berani melakukan kontrak politik dengan para korban Lumpur Lapindo dan berjanji akan menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo melalui Dana Talangan.

    Namun demikian, izinkan saya mengusulkan hal berikut kepada Bapak. Solusi Dana Talangan yang ditawarkan oleh Bapak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-X/2012.  Putusan ini diajukan oleh pemohon yang menuntut dihapuskannya pembedaan perlakuan antara korban yang berada di dalam PAT dan di luar PAT.  Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa penggunaan APBN untuk penanganan kasus Lumpur Lapindo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali penggunaan APBN ini dimaknai bahwa: ‘Negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah Peta Area Terdampak oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu.’

    Putusan MK tersebut dengan demikian menegaskan bahwa negara tidak boleh mengizinkan adanya perlakuan yang berbeda di antara para korban Lumpur Lapindo. Jika negara bermaksud melunasi kompensasi untuk korban di luar PAT, maka negara juga harus menjamin bahwa korban di dalam PAT juga akan dilunasi kompensasinya. Solusi Dana Talangan dari Bapak sudah menghilangkan dualisme pembayaran kompensasi yang selama ini terjadi.  Dengan Dana Talangan ini, maka seluruh korban akan diberikan kompensasi melalui dana yang disediakan oleh negara.

    Tetapi, perlu Bapak sadari bahwa Dana Talangan ini belumlah merupakan solusi yang menyeluruh untuk menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo. Dana Talangan ini adil bagi para korban Lumpur Lapindo, namun tidaklah adil dalam kacamata warga negara lainnya. Sebaliknya, solusi Data Talangan ini justru berpotensi akan membebaskan perusahaan pencamar, yaitu Lapindo, dari kewajiban dan tanggung jawabnya. Singkatnya, solusi Dana Talangan ini berpotensi melanggar prinsip pencemar membayar.

    Karenanya, untuk menghindari persoalan dari Dana Talangan yang diusulkan Bapak, maka Dana Talangan perlu disertai dengan serangkaian langkah hukum.  Ini berarti sesuai dengan solusi yang Bapak tawarkan, Pemerintah menanggung semua kompensasi bagi para korban Lumpur Lapindo.  Namun demikian, langkah Pemerintah ini perlu disertai dengan Gugatan Pemerintah kepada PT Lapindo Brantas untuk meminta penggantian (reimbursement) atas semua pengeluaran yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk menangani kasus Lumpur Lapindo. Di samping itu, Gugatan Pemerintah di atas juga perlu disertai dengan dihidupkannya kembali penyelidikan dan penyidikan atas dugaan tindak pidana dalam kasus Lumpur Lapindo.

    Solusi di atas penting untuk menegaskan bahwa pada satu sisi negara hadir dalam melindungi para korban, dan pada sisi lain negara pun hadir untuk membuat para pencemar dan penjahat lingkungan membayar serta bertanggungjawab atas kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan solusi ini, pemerintah berarti menegaskan bahwa Indonesia bukanlah surga bagi para penjahat lingkungan, bukanlah negara yang akan membiarkan para pencemar bertindak seolah-olah mereka tidak bersalah dan tak bisa tersentuh hukum.

    Dibandingkan dengan pasangan Prabowo-Hatta, Bapak Jokowi dan JK jelas memberikan harapan yang lebih besar dalam hal penyelesaian kasus Lumpur Lapindo secara tuntas dan adil. Bapak Jokowi dan JK tidak memiliki beban politik transaksional dengan pihak yang selama ini dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya luapan Lumpur Lapindo.  Namun demikian, harapan ini tidak akan berarti apa-apa, jika upaya yang akan ditempuh hanyalah sebatas pada pengambilalihan pembayaran kompensasi kepada korban melalui Dana Talangan. Bapak harus secara tegas menyatakan akan menyelesaikan dua cara penyelesaian Lumpur Lapindo: Pertama, mengambil alih pembayaran kompensasi bagi seluruh korban Lumpur Lapindo; dan kedua, pada saat bersamaan menggugat Lapindo untuk membayar semua biaya yang telah dikeluarkan oleh negara, serta mengusut dugaan tindak pidana dalam kasus Lumpur Lapindo. Sudah saatnya penjahat lingkungan diminta pertanggungjawabannya atas kejahatan lingkungan yang mereka lakukan.  Sudah saatnya negara bersikap tegas terhadap para penjahat lingkungan.***

    Penulis adalah pengajar di Universitas Indonesia.

    Sumber: http://indoprogress.com/2014/07/surat-terbuka-untuk-bapak-joko-widodo-terkait-solusi-lumpur-lapindo/

  • Relasi Kuasa antara Korban Lapindo dan Grup Bakrie

    Relasi Kuasa antara Korban Lapindo dan Grup Bakrie

    Oleh Anton Novenanto

    [sumber: http://novenanto.lecture.ub.ac.id/relasi-kuasa-antara-korban-lapindo-dan-grup-bakrie]

    Salah satu hal yang selalu menarik perhatian saya dalam mengamati perkembangan kasus Lapindo adalah mengamati strategi Grup Bakrie dalam mendayagunakan jejaring sosial, politik, dan ekonomi agar bisa bertahan dari krisis yang ditimbulkan oleh semburan lumpur tersebut. Catatan singkat ini hanyalah sebagian kecil dari usaha saya melakukan penelusuran terhadap strategi politik ekonomi Grup Bakrie dalam rangka mengamankan diri dari kasus Lapindo.

    Sepenggal informasi

    Catatan ini dipicu oleh sepenggal informasi yang hadir dalam sebuah berita pendek di harian Jakarta Post:

    Bakrieland spends Rp 3.1t on acquisition

    Publicly listed developer Bakrieland Development announced Thursday that it would take over shares of PT Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), formerly owned by PT Minarak Labuan Indonesia, in a Rp 3.1 trillion (US$260 million) deal.

    In a published prospectus, Bakrieland said it had signed an agreement on June 30 to acquire 750,000 MMS shares, which brings the company’s ownership in the developer to 99.21 percent.

    MMS operates 500 hectares of land in Sidoarjo, East Java, which Bakrieland says will be developed into a superblock.

    The transaction is considered big for Bakrieland, which is owned by politically wired business tycoon Aburizal Bakrie, given the company used its December book for the acquisition.

    As of December, the company had Rp 140.45 billion in cash and cash equivalents and Rp 1.08 trillion in inventory.

    The company’s liabilities stood at Rp 5.13 trillion and total assets were Rp 12.3 trillion. The company booked Rp 232.23 billion in net losses last year, an improvement from its Rp 1.1 trillion losses in 2012.

    Minarak Labuan, meanwhile, was closely associated to Bakrie’s Lapindo Brantas, which was considered responsible for the high-profile Sidoarjo mud disaster. (Courtesy of Jakarta Post, 4 Juli 2014)

    Berita itu menghadirkan sepenggal informasi yang membantu kita memahami kompleksitas relasi kuasa korban Lapindo dan Grup Bakrie. Dari berita itu kita mendapatkan informasi menarik bahwa Minarak Labuan, yang selama ini adalah ternyata pemilik saham PT Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), akan memindahkan kepemilikan sahamnya itu pada Bakrieland Development. Minarak Labuan, seperti ditulis dalam bagian akhir berita tersebut, merupakan salah satu aktor dalam kasus Lapindo. Sementara itu, MMS adalah perusahaan pengembang perumahan, Kahuripan Nirvana Village (KNV), yang diperuntukkan bagi korban Lapindo.

    Serpihan informasi tentang posisi Minarak Labuan, sebagai bagian dari gurita bisnis Grup Bakrie, dalam kasus Lapindo yang tersampaikan melalui berita itu tentunya hanya akan bermakna dan, oleh karenanya, menjadi penting bagi produksi pengetahuan tentang kasus Lapindo bila dia dihubungkan dengan serpihan-serpihan informasi yang lain. Untuk itu, saya merasa penting untuk mengajak pembaca menelusuri kembali keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo sebagai salah satu usaha merekonstruksi pengetahuan tentang kasus tersebut.

    Beban Lapindo

    Selama ini, dengan mengandalkan data yang berhasil terkumpul, saya hanya berhasil melacak keterlibatan Minarak Labuan sebagai pihak yang memberikan pinjaman berupa dana segar pada Energi Mega Persada (EMP), pemilik seluruh saham Lapindo Brantas, untuk membiayai pengeluaran mitigasi awal semburan lumpur Lapindo (upaya menutup semburan – yang gagal – dan membangun tanggul) (Novenanto 2013: x–xi). Pinjaman dari Minarak Labuan merupakan hal yang tidak hanya penting, tapi juga mendesak dibutuhkan oleh Lapindo Brantas mengingat, sekalipun pemerintah pusat sudah membentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas di Sidoarjo (Timnas) sebagai badan ad hoc pemerintahan yang berfungsi untuk melakukan tiga langkah mitigasi – menutup semburan, menangani luapan lumpur, dan mengatasi permasalahan sosial –, seluruh pembiayaan usaha mitigatif tersebut dibebankan pada Lapindo, seperti tertulis dalam Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 (Keppres 13/2006), yang terbit pada September 2006.

    Pada 4 Desember 2006, setelah mendapat banyak tekanan dari korban dan juga dari pemerintah, Lapindo Brantas menyatakan kesanggupannya untuk membeli tunai tanah dan bangunan yang terendam lumpur dari para warga yang disampaikan melalui suratnya pada Timnas (dengan tembusan yang ditujukan juga pada presiden dan wakil presiden). Harga yang disanggupi adalah Rp 1 juta per meter persegi tanah pekarangan, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan, dan Rp 120.000 per meter persegi tanah sawah. Untuk menjalankan mekanisme, yang kemudian lebih dikenal dengan “cash and carry”, itu disebutkan Lapindo akan membayar secara bertahap: uang muka 20% dan sisanya (80%) dibayar sekaligus sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan. Mekanisme pembayaran semacam ini kemudian dilegalkan dalam Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) yang dirilis empat bulan setelah surat Lapindo pada Timnas itu.

    Jika seluruh nilai aset korban tersebut harus dibayar dengan tunai, maka mengikuti kalkulasi Lapindo harus mempunyai uang tunai sebesar Rp 3,8 triliun (+ US$ 421 juta). Hal ini merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, mengingat aset total Lapindo kala itu hanya sekitar US$ 90 juta. Artinya, sekalipun perusahaan itu dijual hasilnya masih jauh dari cukup untuk bisa membayar kewajiban pada korban lumpur “dalam peta”. Peta yang dimaksud di sini adalah peta area terdampak tertanggal 22 Maret 2007, dilampirkan pada Perpres 14/2007, sebuah wilayah yang menjadi tanggung jawab Lapindo.

    Peta 22 Maret 2007

    Yang kerap kali luput oleh publik dan media adalah salah satu butir tentang opsi relokasi yang tercantum dalam surat 4 Desember 2006. Selain menyatakan kesanggupannya untuk membeli tanah dan bangunan warga, Lapindo juga menyatakan tetap membuka kesempatan bagi warga yang menghendaki pilihan relokasi ke “Kawasan Sidoarjo Baru”. Pada waktu surat itu dirilis, belum terdapat kejelasan dimanakah lokasi “Sidoarjo Baru” itu, namun, mengandalkan visualisasi imajiner yang disampaikan Lapindo, banyak korban menolak opsi relokasi itu dengan alasan kawasan “Sidoarjo Baru” itu “terlalu modern atau terlalu kota” padahal mereka menghendaki untuk pindah ke wilayah yang “masih berbau desa”. Belakangan, setelah melalui proses yang panjang dan berliku, banyak korban akhirnya memilih opsi “cash and resettlement” ini.

    Disposisi “relasi kuasa”

    Untuk memenuhi kewajiban tersebut tanpa harus menutup anak perusahaannya itu, Grup Bakrie pun harus memutar otak bisnisnya dan salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan menyalurkan dana segar ke Lapindo melalui anak perusahaannya yang lain, Minarak Labuan, sebuah perusahaan konstruksi berbasis di Labuan, Malaysia. Dana dari Minarak Labuan itu diberikan dalam bentuk pinjaman kepada EMP, yang sejak Juli 2008 dikonversikan menjadi saham EMP di Lapindo, dan sejak saat itu Lapindo menjadi di bawah kepemilikan Minarak Labuan – masih dalam Grup Bakrie, namun beda manajemen. Strategi Grup Bakrie dalam kasus Lapindo tidak berhenti di situ, setelah melalui proses negosiasi panjang Minarak Labuan pun berhasil mengakuisisi andil Medco Energi (pada Maret 2007) dan Santos (Desember 2008) di Blok Brantas. Alhasil, begitu masuk tahun 2009, Blok Brantas sudah berada sepenuhnya dalam kendali Grup Bakrie, melalui Minarak Labuan (Novenanto 2013: xi).

    Tidak banyak orang, termasuk saya, yang tahu secara pasti tentang posisi dan keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo. Kebanyakan korban, peneliti, jurnalis, pejabat, ataupun aktivis hanya familiar dengan “Minarak” karena nama itu merujuk pada “Minarak Lapindo Jaya” (MLJ), sebuah perusahaan yang baru dibentuk Lapindo Brantas khusus untuk melakukan pembayaran kepada korban “dalam peta”. Publik – termasuk saya, sebelumnya – memahami bahwa MLJ ini didirikan untuk merespons Perpres 14/2007, untuk memudahkan mekanisme pembayaran “ganti-rugi” pada korban. (Alasan yang paling mendasar adalah Lapindo Brantas adalah perusahaan asing, didirikan dan terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, yang menurut undang-undang tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli tanah di Indonesia, cf. Batubara & Utomo 2012). Akan tetapi, berdasarkan sebuah penelusuran dokumen, ada satu hal menarik yang jarang terungkap di media massa maupun di ruang publik lain, yaitu sebuah fakta bahwa MLJ sudah berdiri sebelum Perpres 14/2007 keluar. Bahkan, kesepakatan antara Lapindo dan MLJ tentang penyerahan penanganan pembelian tanah dan bangunan korban “dalam peta” pada MLJ sudah sebelum peta area terdampak dirilis. Disposisi tanggung jawab terhadap korban itu dituangkan dalam Surat Kesepakatan Bersama No. AGR-041/LGL/2007 tertanggal 21 Maret 2007 (Sari 2014: 4) ini berarti sehari sebelum peta area terdampak dirilis pada 22 Maret 2007.

    Sayang, saya tidak bisa melacak kapan tepatnya MLJ didirikan (informasi semacam ini perlu dicari dengan melakukan penelusuran ke lembaga pemerintahan yang mengurusi pendaftaran perusahaan baru), namun yang penting bagi catatan ini adalah sebuah fakta bahwa telah terjadi pergeseran relasi kuasa antara korban Lapindo dan Grup Bakrie: dari yang sebelumnya korban berinteraksi langsung dengan Lapindo Brantas, menjadi korban berinteraksi dengan MLJ. Dalam prosesnya transaksi dengan warga, MLJ hanya mau melakukan transaksi dengan korban yang bisa menunjukkan bukti hak atas tanah dan bangunan yang sudah terendam lumpur dan menolak korban yang tidak memiliki bukti tersebut. Bagi warga yang tidak memiliki bukti hak atas aset mereka, MLJ memaksakan opsi “cash and resettlement” ke sebuah perumahan modern, Kahuripan Nirvana Village (KNV). Rupanya, MLJ telah melakukan kesepakatan dengan Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), perusahaan pengembang KNV. Intinya, MMS berkewajiban untuk menyediakan rumah baru bagi korban lumpur Lapindo di KNV dan MLJ berkewajiban untuk membayar segala biayanya.

    Tidak jelas kapan kesepakatan antara MLJ dan MMS itu terjadi, namun, menjelang jatuh tempo pembayaran sisa 80%, pada tanggal 25 Juni 2008, MLJ berhasil “membujuk”, untuk tidak mengatakan “memaksa”, para korban “tanpa sertifikat” yang tergabung dalam GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo) untuk menandatangani Nota Kesepahaman tentang penyelesaian sisa pembayaran dengan mekanisme “cash and resettlement” ke KNV. Dari enam butir kesepakatan yang tercantum dalam Nota Kesepahaman itu yang paling menarik adalah pernyataan yang merupakan penegasan sikap bahwa MLJ “tidak akan melaksanakan pembayaran cash and carrykepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan Petok D/Letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun” (Butir 5). Untuk korban dengan kondisi demikian, MLJ memberlakukan mekanisme “cash and resettlement”, barter dengan rumah baru di KNV.

    Tidak semua korban sepakat dengan Nota Kesepahaman antara MLJ dan GKLL tersebut.  Sejumlah korban yang tetap menuntut pembayaran sisa aset dengan mekanisme “cash and carry” menggabungkan diri dalam Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden). Kelompok ini melihat mekanisme “cash and resettlement” melanggar Perpres 14/2007 yang secara jelas mencantumkan kewajiban Lapindo untuk membayar dengan mekanisme tunai, “cash and carry” dan, sejak saat itu, korban “dalam peta” terbelah menjadi dua kelompok besar: “cash and carry” dan “cash and resettlement”.

    Berbarengan dengan terbelahnya korban “dalam peta” muncul relasi kuasa baru yang melibatkan aktor baru, yaitu: MMS, perusahaan pengelola KNV. Karena nilai aset yang bervariasi, MMS menawarkan beberapa tipe rumah yang berbeda agar korban dapat memilih unit rumah dengan harga yang sesuai dengan nilai sisa asetnya. Selain itu, MMS juga menerapkan suatu kondisi bahwa bila nilai sisa aset korban melebihi harga sebuah rumah baru di KNV, MMS akan mengembalikan sisanya (susuk), namun bila nilai aset tidak mencukupi harga sebuah rumah baru di KNV korban harus membayar selisihnya. Ikatan semacam ini membuat kelompok “cash and resettlement” tidak lagi terikat dalam relasi kuasa dengan MLJ, melainkan dengan MMS, pengelola KNV, dan dalam prosesnya MMS akan menagih hak mereka pada MLJ.

    Kewajiban yang belum tuntas

    Untuk korban yang bersikeras dengan mekanisme “cash and carry”, pada Desember 2008, MLJ menyatakan akan membayar mereka dengan mekanisme cicilan bulanan sebesar Rp 30 juta per berkas, yang kemudian direvisi menjadi Rp 15 juta per berkas. Namun, memasuki tahun 2013, MLJ menghentikan secara sepihak pembayaran cicilan tersebut. Menyikapi hal ini, korban pun mulai melakukan aksi demonstrasi. Para korban ini pun mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No. 15 Tahun 2013 tentang APBN Perubahan 2013. Inti dari permohonan kelompok korban ini adalah telah tindak diskriminatif yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok korban “cash and carry”. Dalam APBN Perubahan 2013, pemerintah hanya mencantumkan pelunasan pembayaran kompensasi bagi korban “di luar peta” dan dengan demikian berarti tidak bertanggung jawab atas korban “dalam peta” dari kelompok “cash and carry”.

    Gugatan korban diajukan pada 19 September 2013 dan dikabulkan oleh MK melalui Putusan No. 83/PUU-XII/2013 yang dibacakan pada 26 Maret 2014. Sekalipun banyak korban menyambut “kemenangan” itu, putusan MK itu telah menimbulkan multitafsir dan masih belum final mengingat para korban harus menunggu regulasi baru yang memfasilitasi pelaksanaan putusan itu. Kabar terakhir, Menteri PU, sebagai Ketua Dewan Pengarah BPLS, memberi ultimatum pada MLJ untuk segera menuntaskan tanggung jawabnya sebelum 30 Juni 2014, sebagai responsnya terhadap keputusan itu (JPNN.com, 29 Mei 2014), akan tetapi sampai hari ini belum juga ada tanda bahwa MLJ akan segera melunasi kewajibannya tersebut.

    Selama ini, pemerintah, khususnya BPLS, berdalih bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menengahi konflik antara kelompok “cash and carry” dan MLJ terkait belum tuntasnya pembayaran ganti-rugi tersebut. Alasan naif yang meluncur adalah pemerintah, dalam hal ini BPLS, hanya bertanggung jawab atas korban “di luar peta” sehingga apa yang terjadi dengan korban “dalam peta” bukanlah urusan pemerintah melainkan Lapindo (seperti diatur dalam Perpres 14/2007) dan oleh karena itu tidak ada payung hukum yang mengatur pemerintah untuk bertanggung jawab juga atas kelompok ini. Para pejabat pemerintah yang naif itu, termasuk presiden republik ini(!), hanya sekadar mengingatkan Lapindo untuk segera melunasi pembayarannya, tanpa pernah bisa (atau tidak mau[?]) menghukum Lapindo yang sudah secara kasat mata telah melanggar peraturan yang ditetapkannya. Tentunya, setelah putusan MK keluar, kita bertanya-tanya: apakah pemerintah akan benar-benar melakukan intervensi terhadap relasi kuasa antara kelompok “cash and carry” dan MLJ? Jika ya, bagaimana bentuknya intervensi itu? Jika tidak, otoritas politik macam apa lagi yang dapat menjamin nasib para korban tersebut?

    Kok baru sekarang?
    Kok baru sekarang?

    Sampai saat ini, perhatian publik terhadap perkembangan kasus Lapindo lebih terfokus pada relasi kuasa antara korban (“cash and carry”) dan MLJ seputar kapan perusahaan itu akan membayar lunas para korban ini. Belakangan, persoalan sertifikat aset korban di KNV mulai mencuat ke permukaan seiring dengan semakin banyaknya aksi massa yang mengangkat hal tersebut. Salah satu pemicunya adalah, berdasarkan kesepakatan awal dengan kelompok korban “cash and resettlement”, MMS berjanji akan memberikan sertifikat tanah dan bangunan di KNV pada korban setelah setahun mereka menandatangani kontrak dengan MMS. Namun, sampai April 2014, dari seluruh 2.151 berkas korban, baru 332 berkas yang disahkan BPN dan 75 berkas yang sudah tuntas dan diserahkan pada korban (vivanews.co.id, 4 April 2014), yang menunjukkan betapa lambatnya proses sertifikasi aset di KNV. Banyak korban berpendapat bahwa pembayaran terhadap kelompok “cash and resettlement” belumlah 100% tuntas sampai sertifikat tanah dan rumah di KNV sampai ke tangan mereka.

    Dari seluruh rangkaian fakta tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa proses pembayaran ganti-rugi pada korban Lapindo, baik dari kelompok “cash and carry” maupun kelompok “cash and resettlement”, belum semuanya tuntas. Selama ini, perhatian publik lebih terfokus pada kelompok “cash and carry” karena relasi kuasa yang terjadi antara kelompok ini dan MLJ lebih kentara dan cenderung konfliktual. Tentunya, hal ini membuat relasi kuasa antara kelompok “cash and resettlement” dan MMS menjadi sedikit terabaikan, padahal ada problem laten, terkait dengan sertifikasi aset di KNV, yang menandakan bahwa pembayaran ganti-rugi bagi kelompok ini – yang dilakukan dengan mekanisme barter – pun belumlah tuntas. Namun, sekali lagi “uang” (bagi kelompok “cash and carry”) seolah-olah lebih menarik di mata publik dibandingkan “sertifikat” (bagi kelompok “cash and resettlement”) – sekalipun keduanya sebenarnya tidak lebih dari “selembar kertas”.

     

    Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Memperluas horizon, mengurai kompleksitas

    Pada titik ini, kita perlu kembali pada penggalan informasi yang terlontar dalam berita Jakarta Post yang dikutip di awal tadi. Berita tersebut menjawab sebagian kecil dari pertanyaan yang beredar selama ini, “darimanakah modal MMS untuk mendapatkan lahan untuk KNV dan membangun seluruh rumah yang diperuntukkan bagi korban Lapindo itu?” Jawabnya, “dari Minarak Labuan!” Sebelum ini, saya masih yakin bahwa MMS yang mengelola KNV itu merupakan unit usaha Grup Bakrie namun terlepas sepenuhnya dari Minarak Labuan, akan tetapi penggalan informasi dalam berita Jakarta Post tersebut membuka satu misteri di balik kompleksitas relasi kuasa antara Grup Bakrie dan korban Lapindo, yaitu tentang keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo.

    Transaksi saham MMS tersebut memunculkan pertanyaan besar, khususnya di kalangan pelaku ekonomi. Berdasarkan laporan harian Trimegah Securities tanggal 4 Juli 2014 (unduh di sini), kita mendapat informasi bahwa untuk membiayai akuisisi saham MMS itu, Bakrieland harus menjual Epicentrum Walk (senilai Rp 297 milyar) dan tiga hektar tanah di Rasuna Episentrum (senilai Rp 869 milyar) ke Bumi Serpong Damai (BSD), satu unit usaha properti milik Grup Sinarmas. Menurut analisis Trimegah itu, langkah Bakrieland tersebut – melepas tanah tiga hektar di Rasuna Epicentrum untuk mengakuisisi MMS dan mengelola tanah seluas 500 hektar di Sidoarjo – bukanlah sebuah langkah yang menguntungkan. Akan tetapi, saya melihat bahwa pilihan pahit itu terpaksa diambil Grup Bakrie karena membutuhkan tanah di Sidoarjo itu sebagai salah satu strateginya untuk melancarkan kewajiban pada korban Lapindo. Tentunya perlu penelusuran lebih lanjut untuk melacak keputusan tersebut dalam konteks persaingan bisnis antar elite bisnis kelas kakap: Grup Bakrie vs. Grup Sinarmas.

    Jika kita jeli mencermati berita tersebut, maka kita menemukan fakta menarik bahwa nilai transaksi akuisisi saham Minarak Labuan di MMS oleh Bakrieland (Rp 3,1 triliun) kurang lebih setara dengan nilai ganti-rugi yang sudah dibayarkan MLJ pada korban “dalam peta” per 16 Desember 2013 (Rp 3,049 triliun). Kesamaan nominal ini membawa imajinasi saya kembali pada proses konversi saham Lapindo Brantas dari EMP ke Minarak Labuan pada pertengahan 2008. Saya kemudian bertanya-tanya: apakah yang terjadi dalam transaksi antara Minarak Labuan dan Bakrieland atas saham MMS adalah proses yang serupa dengan transaksi antara Minarak Labuan dan EMP atas saham Lapindo Brantas? Dalam artian begini, dalam transaksi dengan EMP, Minarak Labuan telah sebelumnya memberikan pinjaman pada EMP. Sebagai usahanya mengembalikan hutangnya itu, EMP mengkonversinya menjadi saham atas Lapindo Brantas dan, sebagai hasilnya, Lapindo Brantas beralih kepemilikan ke Minarak Labuan. Nah, dalam transaksi saham MMS, pertanyaannya kemudian: motif apa yang mendorong Bakrieland untuk pada akhirnya mengakuisisi saham perusahaan properti tersebut dari Minarak Labuan?

    Dari transaksi tersebut, kita bisa menarik konklusi sederhana bahwa keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo melampaui sekadar memberi pinjaman pada Lapindo Brantas terkait pembiayaan tindakan mitigatif awal semburan lumpur, namun juga menjamin pembayaran ganti-rugi pada korban Lapindo. Selama ini, mekanisme pembayaran itu berlangsung dengan dua cara: pembayaran tunai (cicilan bulanan pada kelompok korban “cash and carry”) dan barter (rumah baru di KNV pada kelompok korban “cash and resettlement”). Dengan melihat mekanisme itu, kita dapat melihat bahwa selama ini Minarak Labuan telah berperan sebagai aktor utama yang merepresentasikan Grup Bakrie dalam berhadap-hadapan dengan korban Lapindo – melalui dua anak perusahaannya, MLJ dan MMS. Jika MLJ berinterelasi dengan kelompok “cash and carry”, maka MMS berinterelasi dengan kelompok “cash and resettlement”. Yang kemudian relevan saat ini adalah sebuah fakta bahwa transaksi saham MMS, yang berarti peralihan kepemilikan MMSdari Minarak Labuan ke Bakrieland Development, menandai untuk sekian kalinya pergantian aktor yang merepresentasi Grup Bakrie untuk berhadap-hadapan dengan korban Lapindo, khususnya kelompok “cash and resettlement”.

    Bagan Relasi Kuasa antara Grup Bakrie dan Korban Lapindo
    Bagan Relasi Kuasa antara Grup Bakrie dan Korban Lapindo

     

    Merangkai mosaik kasus Lapindo

    Harus diakui, usaha mengurai kompleksitas relasi kuasa korban Lapindo dan Grup Bakrie bukanlah hal yang mudah. Selain karena banyaknya aktor yang terlibat dalam kasus Lapindo, informasi yang tentang kasus tersebut hadir, sering kali secara sporadis, dalam bentuk penggalan-penggalan di pelbagai waktu dan ruang yang berbeda. Catatan ini ditulis untuk tujuan mengurai kompleksitas kasus Lapindo dengan memusatkan perhatian pada relasi kuasa yang terbentuk antara korban Lapindo dan Grup Bakrie, yang dimulai dari penggalan informasi yang dihadirkan dalam berita Jakarta Post. Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa historiografi (penulisan sejarah) tentang kasus Lapindo disusun berdasarkan keterputusan-keterputusan informasi yang menyebar di ruang publik.

    Menyusun historiografi tentang kasus Lapindo ibarat merangkai mosaik yang gambar utuhnya tidak pernah kita ketahui. Kesulitan itu ditambah dengan sebuah kenyataan bahwa kepingan-kepingan mosaik itu ada yang jelas terlihat, namun banyak yang tersembunyi dan sering kali tercampur dengan kepingan mosaik dari gambar yang lain. Hal semacam ini, pada satu sisi, usaha semacam itu membutuhkan keuletan, energi, kesabaran, dan ketahanan tingkat tinggi. Pada sisi lain, kita dihadapkan pada sebuah ketidakpastian tentang kapan usaha semacam itu akan purna sehingga kita akan menjumpai gambaran seutuhnya tentang kasus Lapindo yang kompleks ini? Tentunya, pertanyaan semacam ini perlu dilihat sebagai sebuah tantangan, ketimbang hambatan, untuk merangkai mosaik kasus Lapindo.

    Referensi acuan:

    Batubara, B. & P. W. Utomo 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo (ed H. Prasetia). Yogyakarta: INSISTPress.

    JPNN.com, 29 Mei 2014. Rp 781 miliar hak korban Lapindo macet. (http://www.jpnn.com/read/2014/05/29/237212/Rp-781-Miliar-Hak-Korban-Lapindo-Macet-).

    Novenanto, A. 2013. Menguak ketertutupan informasi kasus Lapindo. Dalam Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (ed) A. Novenanto, v–xviii. Jakarta & Yogyakarta: MediaLink & Kanisius.

    Sari, R. A. 2014. Problematik yuridis pendaftaran tanah bagi warga eks-korban lumpur Sidoarjo yang memilih skema “cash and resettlement” di Perumahan Kahuripan Nirvana Village, Sidoarjo. Jurnal Novum 2, 1–12.

    vivanews.co.id, 4 April 2014. Gembira, Warga Perumahan Kahuripan Nirwana Terima Sertifikat.(http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/494270-gembira–warga-perumahan-kahuripan-nirwana-terima-sertifikat).

  • Tanggapan Terbuka untuk Awang Harun Satyana

    Tanggapan Terbuka untuk Awang Harun Satyana

    Oleh Anton Novenanto

    Catatan ini merupakan tanggapan terbuka atas tulisan Awang Harun Satyana berjudul “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo (?)” yang termuat dalam blog-nya (geotrekindonesia.wordpress.com). Tulisan Awang tersebut merupakan tanggapan Awang terhadap keberadaan sebuah buku yang ditulis oleh Henri Nurcahyo (2014) berjudul sama dengan judul tulisan Awang tersebut – hanya saja, judul buku itu tanpa tanda tanya (?) di belakangnya.

    Hal yang dapat dipetik dari tanggapan Awang itu, dan juga tanggapan saya ini, merupakan bukti bahwa pertarungan kuasa atas Kasus Lapindo masih belumlah tuntas. Bisa jadi, penerbitan buku Rekayasa Dongeng tidak mengakhiri pertarungan wacana itu, tapi justru mengawali pertarungan kuasa dalam ruang-ruang reproduksi budaya, yang lebih dahsyat dibandingkan perdebatan di forum ilmiah.

    Tanggapan Awang tentang buku Rekayasa Dongeng, tampaknya, tidak disusun berdasarkan pembacaannya terhadap bukunya langsung, tapi lebih mengacu pada artikel resensi saya terhadap buku tersebut, yang dimuat di korbanlumpur.info, yang merupakan reproduksi dari artikel asli yang dimuat pertama kali di Jawa Pos (Minggu, 5 Januari 2014). Dengan mengutip tiga paragraf dari resensi tersebut, Awang menyimpulkan keberadaan “dua tuduhan” yang sedang ditujukan pada dirinya. Karena Awang menggunakan artikel resensi saya tersebut sebagai acuan utamanya menulis, saya terusik untuk menuliskan tanggapan terbuka untuk beliau terkait tanggapannya tersebut.

    1. “Dua Tuduhan”

    Saya menganggap Awang tidak etis dalam melontarkan “dua tuduhan” dalam tulisannya tersebut. “Dua tuduhan” itu adalah sebagai berikut, seperti dikutip langsung dari tulisan Awang itu:

    1. Sebagai seorang geolog saya harusnya tidak menggunakan dongeng untuk pencarian kebenaran, saya harusnya menggunakan argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah.

    2. Saya telah memanipulasi dongeng Timun Mas untuk memenangkan kasus Lapindo.

    Tidak jelas siapa yang sedang dimaksud Awang telah melontarkan “dua tuduhan” terhadapnya itu. Apakah Henri Nurcahyo, sang penulis buku? Ataukah saya, sang penulis resensi atas buku tersebut, yang menjadi acuan utama Awang dalam menuliskan tanggapannya tersebut?

    Dalam tradisi diskusi ilmiah, tentulah sangat tidak etis apabila seseorang memberikan tanggapan terhadap tulisan orang lain tanpa melakukan pembacaan menyeluruh dan teliti terhadap tulisan yang sedang ditanggapinya tersebut. Saya menyimpulkan bahwa Awang belum/tidak membaca buku Rekayasa Dongeng karya Henri Nurcahyo sebab tulisan itu hanya mengutip artikel resensi saya dan saya tidak menemukan adanya kutipan langsung dari buku tersebut dalam tanggapan Awang tersebut, yang memang betul-betul “menuduh”-nya. Saya lalu khawatir, karena yang diacu adalah artikel saya, Awang sebenarnya sedang menuduh saya melontarkan “dua tuduhan” itu kepadanya.

    Dalam Rekayasa Dongeng, Henri justru menunjukkan rasa “terima kasih”-nya pada Awang karena telah memberinya inspirasi menulis buku Rekayasa Dongeng. Tulis Henri (h. 3):

    Adalah Awang Harun Satyana, geolog yang mempopulerkan dan banyak mengupas dugaan semburan lumpur yang terjadi ratusan tahun yang lalu itu, ketika peristiwa semburan Lumpur Lapindo masih belum lama terjadi. Sebagai pakar geologi dia menggunakan keilmuannya menelusuri sejarah geologi terkait lumpur tersebut. Dengan segala kerendahaan hati, saya banyak mengutip pernyataan Awang dalam penulisan buku ini. Justru berangkat dari kajian yang dilakukan Awang dan kolega pakar geologi lainnya itulah yang membuat saya untuk menyeriusi lagi kaitan antara dongeng Timun Mas dan semburan lumpur, khususnya Lumpur Lapindo sebagai contoh.

    Sekalipun, masih dalam paragraf yang sama, Henri langsung secara tegas melakukan pembedaan antara peristiwa semburan lumpur Lapindo dan dongeng Timun Mas sebagai dua entitas yang pada awalnya tidak saling berhubungan dan oleh karena itu, bagi Henri,

    Membicarakan keduanya dalam satu bahasan yang sama tidak lebih dari upaya untuk memaknai dongeng Timun Mas tersebut yang kebetulan juga menyebut-nyebut mengenai danau lumpur sebagaimana yang terjadi di Porong sekarang ini.

    2. Menjawab tuduhan pertama: “data ilmiah”

    Kadar keilmiahan dongeng sebagai data ilmiah bukanlah perhatian utama Henri dalam Rekayasa Dongeng, hal itu terungkap dalam paragraf pembuka catatan pengantar Ayu Sutarto, Guru Besar Universitas Jember, untuk buku itu.

    Dalam era teknologi informasi ini bentuk-bentuk folklor lisan seperti gosip, desas-desus, kabar burung, kabar angin, ramalan dan othak-athik gathuk “menggabungkan satu gejala atau peristiwa dengan gejala atau peristiwa lain hingga terkesan memiliki keterkaitan” terkesan semakin banyak diminati. Peminatnya bukan hanya terdiri dari orang-orang yang berlatar pendidikan rendah, melainkan juga mereka yang berpendidikan tinggi. (h. 9)

    Ayu melihat bahwa peristiwa bencana, termasuk semburan lumpur Lapindo, selalu disertai dengan kemunculan desas-desus dan, menurutnya,

    Desas-desus lumpur Lapindo semakin bernuansa sejarah ketika seorang geolog, Awang Satya Laksana, menelusuri fenomena semburan lumpur tersebut dari berbagai aspek. (h. 14)

    Saya lalu melihat bahwa “tuduhan” pertama tentang “data ilmiah” disimpulkan dari satu paragraf kutipan langsung artikel resensi saya, yang disampaikan ulang dalam tanggapan Awang tersebut. Paragraf itu berbunyi demikian:

    Tentu saja, pencarian kebenaran dengan mengkaitkan dongeng Timun Mas dengan kondisi ekologis (danau lumpur) di dunia nyata, seperti yang dilakukan Awang, merupakan bukti bahwa dongeng berfungsi sebagai wacana. Usaha semacam ini merupakan ironi karena dilakukan oleh seorang geolog, yang idealnya menyusun argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah, bukan dari sebuah dongeng.

    Jika pembaca membaca halaman per halaman Rekayasa Dongeng, maka pembaca tidak akan menemukan dua kalimat yang menyusun paragraf yang dikutip Awang tersebut. Yang artinya, dua kalimat tersebut adalah kalimat saya dan artinya, harus saya akui, kesimpulan tentang “ironi” itu adalah pendapat dari saya. (Dalam 206 halaman Rekayasa Dongeng, Henri menyebut kata “ironi” hanya satu kali (!) (h. 104) dan itu pun konteksnya bukan tentang metodologi atau data ilmiah.)

    Dalam tanggapannya atas “tuduhan” pertama itu, Awang kembali mengingatkan pembaca bahwa dongeng Timun Mas muncul pertama kali dalam kasus Lapindo dalam sebuah makalah yang disampaikannya di sebuah forum ilmiah di Bali (Satyana 2007) (makalah dapat diunduh di sini). Dengan sangat yakin Awang mengklaim bahwa “sumber-sumber sejarah” yang digunakannya dalam menyusun argumen (seperti Kitab Pararaton, Serat Kanda, dan Babad Tanah Jawi) untuk makalahnya itu adalah betul “data ilmiah”. Tentu saja, dalam kesempatan ini, saya tidak hendak memberi kuliah pada pembaca tentang bilamana data dikatakan ilmiah dan bilamana data itu tidak ilmiah. Yang menjadi pertanyaan saya adalah: apakah ketiga sumber yang digunakan oleh Awang tersebut bisa dikategorikan sebagai “sumber sejarah”?

    Di kalangan sejarawan, perdebatan tentang apakah ketiga “kitab” tersebut itu dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah (historiografi) Jawa sudah lama terjadi. Yang mendasari perdebatan adalah, tentu saja, kitab-kitab itu anonim – tidak jelas siapa yang menulisnya. Hal ini berbeda, misalnya, dengan Nagarakertagama yang jelas-jelas mencantumkan identitas penulisnya, sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan, bukan atas dasar ilmiah, namun atas dasar kredibilitas sang penulisnya, Mpu Prapanca (Riana 2009; Slametmulyana 1979).

    Jika kita masuk ke ranah substansi dari Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, maka kedua kitab itu lebih berfungsi sebagai narasi yang ditulis untuk melegitimasi berdirinya rejim politik (Mataram Islam). Secara singkat, terdapat sebuah kesepakatan – yang tentu saja dapat dipertanyakan kembali – di kalangan para sejarawan bahwa dua kitab itu bukan “sumber sejarah”, melainkan “tafsir terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah tertentu” semacam “karya sastra” bahkan beberapa menyebut “ramalan” (Braker 1980; Carey 2008; Day 1978; Drewes 1966; Florida 1995; Pigeaud 1967; Rahardjo 2011; Ras 1987; Ricklefs 1972, 1979). Sementara itu, Kitab Pararaton lebih bercerita tentang proses berdirinya dua kerajaan besar Jawa, Singasari dan Majapahit, beserta silsilah para raja (itu juga sebabnya nama kitab itu adalah Para Raton, dari “para ratu”) dan peristiwa “penting” pada masa dua kerajaan tersebut (Noorduyn 1975; Phalgunadi 1996).

    Bahwa kitab-kitab tersebut adalah bukti kebesaran sejarah Jawa memang tak dapat dipungkiri, namun untuk menggunakannya sebagai “sumber penulisan sejarah” Jawa merupakan hal yang perlu dipikirkan ulang, apalagi sampai mengklaim bahwa data-data yang tersampaikan dalam kitab-kitab tersebut adalah “data ilmiah”. Fakta semacam ini tentunya terkadang menyakitkan bagi orang Jawa, termasuk saya, yang sudah mengganggap bahwa kitab-kitab tersebut adalah betul “sejarah Jawa”. Saya tidak paham apakah Awang mengikuti problematika perdebatan tentang metodologi penulisan sejarah (Jawa) dengan mengacu pada kitab-kitab tersebut dalam menulis makalahnya, dan beberapa tulisan selanjutnya.

    Dalam tulisan lain, masih di dalam blognya, yang berjudul “Gunung-gununglumpur Jawa & Madura: pendekatan geo-histori,” Awang kembali menggunakan secuil informasi dalam Serat Pararaton yang mencantumkan tentang sebuah peristiwa Pagunungan Anyar sebagai sebuah gununglumpur. Tentunya, kesimpulan ini sangat dangkal. Serat Pararaton hanya menyebutkan peristiwa dan tahun kejadiannya. Untuk itu, untuk mengklaim bahwa peristiwa Pagunungan Anyar adalah sebuah gununglumpur diperlukan sumber sejarah dan arkeologis yang lain sebagai pembanding dan tidak bisa hanya dengan mengandalkan informasi sepenggal yang muncul dalam Serat Pararaton.

    Pada titik ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa Awang perlu berhati-hati ketika menjumpai suatu sumber, karena sebagai seorang ilmuwan tentunya tidak bisa begitu saja mencomot sebuah pernyataan untuk digunakan menyusun argumen tanpa melakukan verifikasi dan menguji reliabilitasnya. Dalam kasus penggunaan tiga “kitab bersejarah” itu, perlulah diimbangi dengan dokumen/arsip sejarah ataupun bukti-bukti arkeologis sehingga tesis tentang Pagunungan Anyar adalah memang betul sebuah gununglumpur dapat dibuktikan secara ilmiah, bukan – meminjam istilah Ayu Sutarto – berdasarkan “desas-desus”.

    3. Menjawab tuduhan kedua: “manipulasi dongeng”

    Untuk menjawab tuduhan kedua tentang “manipulasi dongeng” Awang mengklaim bahwa dia tidak sedang melakukan manipulasi terhadap dongeng Timun Mas. Argumen yang dilontarkan adalah dongeng Timun Mas itu (yang menyebutkan tentang danau lumpur) diambilnya dari sebuah buku yang diterbitkan tahun 1999 oleh Elex Media Komputindo, penulisnya adalah S. Ashari. Intinya adalah dia tidak sedang mengarang dongeng itu, tapi dongeng itu ditemukan dan diambil dari sebuah buku yang sudah diterbitkan sebelum semburan lumpur Lapindo terjadi.

    Dalam bukunya, Henri menggunakan kata “rekayasa” dan sama sekali tidak menggunakan kata “manipulasi”. Kata “manipulasi” muncul dalam artikel resensi saya dan oleh karena itu saya mengajak kita membuka KBBI untuk mencari definisi kata “manipulasi”. Di situ kita dapat ditemukan definisi kedua dari kata “manipulasi” sebagai berikut:

    upaya kelompok atau perseorangan untuk memengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain.

    Dari definisi tersebut, secara gamblang kita dapat melihat bahwa sebuah usaha menulis paper dalam sebuah forum ilmiah (seperti yang dilakukan Awang) merupakan sebuah usaha melakukan manipulasi perilaku, sikap dan pendapat orang lain (audiens forum itu) terhadap sebuah fenomena (gununglumpur) dengan menggunakan data-data tertentu (dongeng Timun Mas). Buku Ashari, paper Awang, buku Henri, dan tanggapan saya ini merupakan sebuah upaya “manipulasi” – mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain.

    Jika pembaca membaca Rekayasa Dongeng, maka pembaca akan menemukan bahwa begitu banyak varian dongeng Timun Mas yang beredar di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Uniknya, tidak semua versi itu mencantumkan keberadaan danau lumpur tempat Buto Ijo mati tenggelam. Pertanyaan kita, mengapa Awang hanya mengangkat dongeng Timun Mas yang “berlumpur”, yang ini berarti mengabaikan keberadaan versi lain dongeng, yang “tidak berlumpur”? Artinya, sekali lagi, publik perlu mempertanyakan kredibilitas keilmiahan paper Awang tersebut, yang seolah-olah tidak melakukan verifikasi data dengan baik, seperti seharusnya proses penulisan sebuah naskah akademik.

    Sampai pada titik ini, saya merasa perlu untuk melontarkan sebuah kritik terhadap kalimat terakhir yang ditulis Awang dalam tanggapannya itu: “Pengejaran ilmu pengetahuan tak ada urusannya dengan politik.” Kalimat itu sangat kontradiktif dengan apa yang ditulis dalam paragraf sebelumnya tentang perjalanan “politik” Awang ke beberapa lembaga negara (seperti, ditulisnya, Polda Jatim, DPD, DPR, DPRD Jatim, Komnas HAM, dan Mahkamah Konstitusi) terkait dengan kasus Lapindo.

    Pengejaran ilmu pengetahuan akan selalu terkait dengan keputusan politik yang akan diambil, dalam kasus Lapindo apakah semburan itu alamiah atau industrial. Betul, Awang tidak terlibat secara langsung dalam mengambil keputusan, namun setidaknya pengetahuan “ilmiah” yang ditawarkannya itu sedikit banyak menjadi pertimbangan bagi pengambilan keputusan tersebut. Artinya, ini lagi-lagi membuktikan posisi politis para ilmuwan itu jauh berbahaya dibandingkan para politis, karena ilmuwan selalu berada di belakang layar pengambilan banyak keputusan politik yang sering kali membahayakan publik.

    4. Pernyataan terbuka

    Dalam paper untuk konferensi di Bali, khususnya dalam bagian tentang kondisi geologi, Awang sepertinya cukup paham bahwa pemboran Sumur Banjar Panji 1 berada pada wilayah kondusif bagi gununglumpur. Pertanyaannya kemudian, mengapa BP Migas (sekarang SKK Migas), tempat Awang bekerja, memberikan izin pemboran di sebuah wilayah dengan kondisi yang rentan semacam itu? Pemberian izin semacam itu sama saja dengan menjerumuskan perusahaan pada sebuah kondisi bahaya, seperti yang ditulis dalam tanggapannya “Sumur Banjarpanji 1 […] adalah korban […], bukan penyebab”.

    Dari seluruh data geologis yang disampaikan Awang – dan juga para geolog lain – wilayah Blok Brantas adalah wilayah yang rentan bagi kelahiran sebuah gununglumpur, hal ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa di Blok Brantas (juga di kawasan lain yang berpotensi lahir sebuah gununglumpur) tidak boleh ada lagi aktivitas pemboran. Hal ini dilakukan untuk menghindari “korban-korban” selanjutnya dari gununglumpur, entah itu perusahaan pemboran, warga sekitar, ataupun publik luas.

     

    Heidelberg, 11 Juli 2014

     

    Referensi acuan:

    Braker, L. F. 1980. Dichtung und Wahrheit, some notes on the development of the study of Indonesian historiography. Archipel 20, 35–44.

    Carey, P. 2008. The power of prophecy. Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press.

    Day, A. 1978. Babad Kandha, Babad Kraton and variation in modern Javanese literature. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 134, 433–450.

    Drewes, G. 1966. The struggle between Javanism and Islam as illustrated by the Serat Dermagandul. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 122, 309–365.

    Florida, N. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Durham & London: Duke University Press.

    Noorduyn, J. 1975. The eastern kings of Majapahit. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131, 479–489.

    Nurcahyo, H. 2014. Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo. Surabaya: Asosiasi Tradisi Lisan.

    Phalgunadi, I. G. P. 1996. The Pararaton: a Study of the Southeast Asian Chronicle. New Delhi: Sundeep Prakashan.

    Pigeaud, T. G. 1967. Literature of Java: Vol I (Synopsis of Javanese Literature 900-1900 A.D.). The Hague: Martinus Nijhoff.

    Rahardjo, S. 2011. Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.

    Ras, J. J. 1987. The genesis of the Babad Tanah Jawi; Origin and function of the Javanese court chronicle. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143, 343–356.

    Riana, K. I. 2009. Kakawin Dēśa Warņnana uthawi Nāgara Kŗtāgama. Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

    Ricklefs, M. C. 1972. A consideration of three versions of the “Babad Tanah Djawi,” with exerpts on the fall of Madjapahit. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London 35, 285–315.

    ––––––– 1979. The evolution of Babad Tanah Jawi texts: In response to Day. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 135, 443–454.

    Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

    Slametmulyana 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

     

  • Teror Lapindo

    Teror Lapindo

    Oleh: Anton Novenanto (http://novenanto.lecture.ub.ac.id/teror-lapindo/)

    Bagi para peneliti yang mendalami kasus Lapindo –setidaknya saya–, artikel pendek Gregory Forth (“Heads under bridges or in mud. Reflections on a Southeast Asian “diving rumor”, 2009) mungkin sepintas tidak menarik ataupun relevan bagi perkembangan kasus tersebut. Namun, membaca ulang artikel tersebut, saya semakin terbuka dalam melihat sebuah fenomena baru yang saat ini sedang berkembang di Indonesia, yaitu bagaimana kasus Lapindo telah meninggalkan jejak bagi persoalan budaya tidak hanya di Porong, Sidoarjo, namun juga di segala penjuru Indonesia.

    Berburu kepala manusia untuk lumpur Lapindo

    Dalam artikelnya, Forth mengangkat tema rumor yang menyebar dalam masyarakat terkait dengan proyek pembangunan (modernisasi); bahwa dalam setiap pembangunan bangunan modern (jembatan, bendungan, dan, termasuk juga, gereja) membutuhkan kepala manusia, khususnya anak-anak, sebagai tumbal yang ditaruh sebagai pondasi dari struktur bangunan agar kuat dan bertahan lama. Rumor semacam ini, bahwa pembangunan membutuhkan tumbal manusia, menurut catatan Forth, juga menjadi tradisi di Eropa.

    Rumor telah menjadi perhatian Forth sejak lama. Namun, pada musim panas 2008, ketika Forth berkunjung ke Flores, tempatnya melakukan penelitian sejak 1984, dia terkesima dengan kemunculan sebuah rumor yang menyebar di sana tentang kebutuhan kepala anak-anak untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo di Jawa Timur. Jumlah yang dibutuhkan, menurut rumor itu, adalah ribuan dan hal itu menimbulkan ketakutan pada orangtua maupun anak-anak di Flores. Setiap harinya, para orangtua selalu mengawasi anak-anak mereka (sekolah, bermain) agar mereka tidak menjadi sasaran penculikan dan tumbal untuk menutup semburan lumpur Lapindo. Menurut catatan Forth, rumor serupa juga sempat menyebar di Sumba, Bali dan Kalimantan.

    Forth mencatat beberapa perbedaan antara rumor kepala manusia untuk lumpur Lapindo dan rumor kepala manusia untuk proyek pembangunan yang biasa beredar di Flores. Dalam rumor terkait lumpur Lapindo relasi yang muncul adalah bipartit –Jawa dan non-Jawa (Flores)–, sementara dalam rumor pembangunan biasa relasinya adalah tripartit –orang asing (Eropa), orang lokal (Flores), dan pekerja bangunan (biasanya datang dari Jawa). Dalam rumor terkait pembangunan biasa, diceritakan bahwa pelaku penculikan adalah para pekerja proyek pembangunan (yang kebanyakan adalah orang Jawa itu).

    Dalam pandangan Forth, relasi yang terbangun dalam rumor terkait kasus Lapindo yang beredar di Flores itu bukanlah sekadar relasi antara Jawa dan non-Jawa (Flores), namun lebih pada relasi antara mereka dan “negara” (atau “negara yang Jawa-sentris”). Diceritakan tentang adanya sekelompok “ninja” dari Jawa yang sengaja pergi ke Flores untuk mencari anak-anak non-Jawa untuk diambil kepalanya. Menurut rumor itu, kepala anak-anak Jawa tidak lagi efektif untuk dijadikan tumbal menutup semburan itu. Bila dalam rumor perburuan kepala sebelumnya anak-anak itu diculik dulu baru dipotong kepalanya, untuk kasus Lapindo diceritakan bahwa para ninja ini langsung membunuh anak-anak itu dan memotong kepala mereka seketika itu juga. Pada saat yang sama, BPLS juga berusaha menutup semburan dengan “bola-bola beton,” yang, lagi-lagi, menyerupai kepala manusia.

    Rumor dan teror

    Apa relevansi kisah tentang rumor pencarian kepala manusia itu di Flores tersebut dengan perkembangan kasus Lapindo di Indonesia sekarang ini? Belajar dari catatan Forth tersebut, kejadian lumpur Lapindo telah membuat orang Flores melakukan modifikasi atas rumor bahwa kepala manusia tidak hanya berguna dan dibutuhkan demi kelancaran proyek pembangunan (modernisasi), namun juga untuk menghentikan bencana lingkungan – lumpur Lapindo yang disebabkan oleh proyek pembangunan (pertambangan).

    Yang menarik bagi saya, tentu saja, bukanlah kadar kesahihan dari informasi yang inheren dalam rumor tersebut, namun lebih pada bagaimana rumor telah menjadi, apa yang disebut Michel Foucault (1972) sebagai, “wacana” yang menggerakkan dinamika sosial. Sebagai wacana, rumor telah menjadi struktur kuasa yang mengatur tindakan sekelompok manusia (Wolf 1999), dalam kasus ini para orangtua di Flores untuk mengawasi anak-anak mereka dari ancaman para ninja imajiner dari Jawa. Artikel Forth tersebut menunjukkan pada kita bahwa ada persoalan yang hegemonik, laten, dan kultural dari kasus Lapindo, yang bisa jadi lebih serius ketimbang semburan lumpur dan usaha mitigasi terhadapnya. Persoalan itu tidak hanya menyerang para korban ataupun orang yang tinggal di sekitar semburan di Porong, tapi juga menghinggapi bangsa Indonesia.

    Rumor, yang disertai dengan kepanikan, merupakan sebuah manifestasi rasa cemas dari sekelompok masyarakat terhadap sebuah perubahan yang akan terjadi pada mereka (Semedi 2014). Inheren dalam setiap rumor adalah ketidakpastian. Panik, menurut Enrico Quarantelli (1954), adalah perilaku yang menyertai suatu kondisi ketidaktahuan tentang apa yang bakal terjadi itu dan oleh karenanya perilaku macam ini biasanya “non-sosial” (dalam artian, lebih berorientasi pada menyelamatkan diri sendiri) dan “non-rasional” (dalam artian, lebih dilakukan secara spontan). Akan tetapi, nalar reflektif manusia modern telah membuka sebuah horizon tentang resiko-resiko yang inheren dalam setiap tindakan rasional manusia untuk mengatasi ancaman masa depan (Beck 1992). Alih-alih digerakkan oleh kepanikan, dinamika masyarakat semacam ini lebih diwarnai oleh pelbagai macam kecemasan yang muncul akibat mereka mengetahui apa yang bakal terjadi pada hidup mereka, sekalipun pengetahuan itu sifatnya hanya kalkulasi prakiraan semata. Oleh karena itu, kecemasan akan memicu perilaku-perilaku yang sosial (berorientasi pada orang lain), rasional (terukur, terencana, memperhitungkan untung/rugi), dan, dalam banyak kasus, sangat politis (memanipulasi perilaku orang lain).

    Efek Lapindo

    Menurut catatan BPK-RI (2007), kalkulasi ekonomi kerugian setahun pertama akibat semburan lumpur Lapindo telah mencapai angka 30 triliun rupiah. Untuk menangani itu, sampai tahun anggaran 2012 berakhir, BPLS telah menyedot uang APBN sebesar 3,5 triliun rupiah, yang sebagian besar habis untuk mengatasi semburan, merelokasi jalan, dan membeli aset korban “di luar peta.” Jumlah itu belum termasuk uang yang sudah dikeluarkan oleh Lapindo untuk biaya mitigasi awal dan pembayaran aset korban “di dalam peta.” Sampai Desember 2013, menurut catatan yang termuat di website BPLS (bpls.go.id, diakses terakhir 3 Juli 2014), Lapindo sudah menyelesaikan hampir 80 persen dari pembayaran pada korban, dengan nominal sebesar 3,049 triliun rupiah. Di luar itu, Lapindo sudah mengucurkan uang lebih dari 3 triliun rupiah untuk membiayai usaha awal mitigasi semburan lumpur yang dilakukan oleh Timnas PLPS (Lapindo Brantas 2011).

    Bagi warga Sidoarjo, kasus Lapindo telah meninggalkan trauma mendalam, mengingat dampak sosial-ekologi yang ditimbulkan oleh semburan lumpur itu cukup dahsyat. Selain itu, kecemasan warga tekait dengan resiko yang terkandung dalam sebuah gununglumpur (mud-volcano), seperti: tanah ambles dan retak (Abidin et al. 2008), kandungan logam berat dalam lumpur (Juniawan et al. 2012), endapan lumpur di Kanal Porong dan Selat Madura (Karyadi et al. 2012), gas hidrokarbon yang keluar bersamaan dengan semburan lumpur (Nusantara 2010), ataupun tanggul jebol. Semburan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti melahirkan pertanyaan tentang kemungkinan perluasan dampak sosial-ekologis dari lumpur Lapindo.

    Kasus Lapindo, sekalipun diklaim tidak akan mempengaruhi posisi Aburizal Bakrie dan Partai Golkar dalam kancah politik nasional, rupanya cukup signifikan dalam mempengaruhi kegagalan pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Partai Golkar dalam pemilihan presiden tahun ini (sesuatu yang sudah banyak diprediksikan oleh banyak kalangan). Kasus Lapindo telah menjadi “dosa politik yang tak termaafkan” dari Aburizal, sehingga tidak ada partai politik yang menginginkan koalisi dengan Partai Golkar jika tetap mengajukan ketua umumnya itu untuk maju sebagai kandidat calon presiden. Partai Golkar pun harus masuk dalam koalisi Partai Gerindra untuk mencalonkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden tahun ini. Disebutkan, jika pasangan ini memenangkan pemilihan presiden, maka Aburizal akan mendapatkan posisi sebagai “menteri utama” dalam kabinet mereka. Tentu saja, transaksi politik semacam ini juga berarti atribusi “dosa politik” Aburizal terkait kasus Lapindo pada pasangan tersebut.

    Terganjal Lapindo
    Terganjal Lapindo

    Wacana “Lapindo”

    Kasus Lapindo telah memaksa para pejabat pemerintah, dari level kepala desa sampai menteri, dan petinggi Lapindo, untuk berpikir keras dalam menyusun strategi politis untuk saling menyelamatkan diri dari ancaman pidana dan hukum. Salah satu yang paling mengancam adalah, tentu saja, perihal ijin dan pemboran non-prosedural Sumur Banjar Panji 1. Berdasarkan catatan tim dari BPK-RI, ijin pemboran Sumur Banjar Panji 1 telah melanggar beberapa aturan hukum tentang pertambangan dan juga peraturan daerah tentang tata ruang Kabupaten Sidoarjo, serta proses pemboran sumur tersebut dilakukan tanpa pengawasan ketat dari badan pemerintah manapun, khususnya BP Migas. Hal ini tentu saja kontradiktif dengan pernyataan seorang geolog BP Migas yang mengakui bahwa Blok Brantas merupakan salah satu tempat yang potensial bagi lahirnya sebuah gununglumpur (Satyana 2007); alih-alih mengawasi ketat proses pemboran di Blok Brantas, BP Migas justru membiarkan proses itu berjalan tanpa kontrol.

    Jika betul demikian, maka sanksi hukum mengancam para pejabat pemerintah tersebut. Jadi, sekalipun pada bulan Agustus 2006 Tim Investigasi –dibentuk oleh Menteri ESDM dan dipimpin oleh Rudi Rubiandini– menyatakan bahwa semburan lumpur dipicu oleh kesalahan pemboran –dan kemudian ini yang diyakini oleh publik sampai sekarang– (Rubiandini 2007; Tim Walhi 2008), para pejabat pemerintah pun mati-matian menjadi garda depan untuk meyakinkan publik bahwa semburan dipicu oleh gempabumi.

    Perubahan sikap pemerintah semacam itu dan pengingkaran terhadap kecelakaan industrial justru memancing resistensi keras dari publik. Wacana bahwa lumpur Lapindo adalah bencana industri bukannya tambah surut dan hilang, namun justru semakin kuat dan meluas. Imajinasi kehancuran yang melekat dalam lumpur Lapindo – lagi-lagi, terima kasih pada media massa dan teknologi informasi – telah menyebar luas tidak hanya di seputaran Porong, tapi juga sampai ke seluruh penjuru tanah air dan telah suatu teror tersendiri bagi warga yang tinggal berdampingan dengan kegiatan pertambangan.

    Di Sidoarjo, hal itu termanifestasikan dalam penolakan warga setempat terhadap aktivitas pemboran sumur baru oleh Lapindo di Kalidawir, yang masih merupakan areal Blok Brantas (ARA 2012). Bahkan, Bupati Sidoarjo Saiful Illah sempat menyatakan untuk tidak akan mengeluarkan izin pemboran baru pada Lapindo di wilayahnya selama pembayaran pada korban Lapindo masih belum tuntas (Sumedi 2013). Reaksi juga muncul di tempat lain. Di Jombang, warga menolak rencana Exxon Mobile melakukan eksplorasi di Blok Gunting (Praditya 2013). Dari Bandulan, Kabupaten Semarang, datang kabar tentang rencana eksplorasi panas bumi yang mendapat penolakan dari warga setempat (Munir 2014). Di Samarinda, warga mempertanyakan semburan lumpur yang terjadi di ladang minyak perusahaan asal Prancis, Total, di Blok Mahakam (Kaltim Pos, 16 November 2013).

    Reaksi-reaksi tersebut terkait erat dengan kekhawatiran warga bahwa peristiwa semacam lumpur Lapindo di Porong juga akan melanda mereka. Selain itu, resistensi warga lokal terhadap kegiatan pertambangan juga semakin meningkat di beberapa tempat di Indonesia, seperti di Rembang, di Blora, di Urutsewu, di Mataram, di Flores, dan masih banyak yang lain. Pada saat yang sama, sekelompok organisasi non-pemerintahan menjadikan hari semburan pertama lumpur Lapindo, 29 Mei, sebagai Hari Anti-Tambang (Hantam). Setiap tahunnya, solidaritas masyarakat sipil terhadap korban Lapindo di pelbagai kota telah bertransformasi menjadi gerakan menolak aktivitas pertambangan.

    Selama ini, para korban telah menjadikan tanggal 29 Mei 2006 (hari menyemburnya lumpur Lapindo) sebagai waktu sosial dan sakral dengan menggelar kegiatan-kegiatan komemoratif yang dipusatkan pada “29 Mei” setiap tahunnya. Uniknya, mereka tidak sekadar mengidentifikasi diri sebagai korban bencana lingkungan (semburan lumpur), tapi juga sebagai korban tragedi politik manusia –ketidaktegasan pemerintah dalam menangani dampak turunan dari bencana itu. Di tahun 2013 lalu, misalnya, mereka memasang monumen nisan Tragedi Lumpur Lapindo, yang tertulis:

    Lumpur Lapindo telah mengubur kampung kami.

    Lapindo hanya mengobral janji palsu.

    Negara abai memulihkan kehidupan kami.

    Suara kami tak pernah padam, agar bangsa ini tidak lupa.

    Di tahun 2014 ini, tema yang diangkat dalam rangkaian peringatan semburan adalah “Saatnya tenggelamkan sang raksasa lumpur Lapindo,” yang secara lugas menyerang Aburizal Bakrie dan Partai Golkar yang dipimpinnya.

    Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)
    Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)

    Jika rumor pencarian kepala anak di Flores untuk menutup semburan lumpur Lapindo –terlepas benar atau salah– telah memancing reaksi para orangtua, maka imaji kehancuran lingkungan dan ketidakbecusan politik bencana oleh pemerintah telah memicu tindakan masyarakat dalam bersikap terhadap pemerintah dan industri tambang di Indonesia. Rentetan peristiwa tersebut, tentu saja, merupakan bukti bahwa kasus Lapindo telah menjadi sebuah struktur kuasa yang tidak hanya mengatur perilaku masyarakat, tapi juga menteror siapa saja yang tinggal di republik ini.

    Pustaka acuan

    Abidin, H. Z., R. J. Davies, M. A. Kusuma, H. Andreas & T. Deguchi 2008. Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006 – present). Environmental Geology.

    ARA 2012. Warga masih trauma; Lapindo: “well test” bukan pengeboran sumur gas. Kompas, 26 Mei, h. 21.

    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2007. Laporan Pemeriksaan atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan.

    Beck, U. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity (trans M. Ritter). London, Newbury Park, New Delhi: Sage Publication.

    Forth, G. 2009. Heads under bridges or in mud. Anthropology Today 25, 3–6.

    Foucault, M. 1972. The Archaeology of Knowledge (trans A. M. S. Smith). New York: Pantheon Books.

    Juniawan, A., B. Rumhayati & B. Ismuyanto 2012. The effect of carbon organic total and salinity on the discharge of heavy metals Pb and Cu in Lapindo mud into the Aloo River.Journal of Pure and Applied Chemistry Research 1, 41–50.

    Karyadi, Soegiarto & A. Harnanto 2012. Pengaliran Lumpur Sidoarjo ke Laut Melalui Kali Porong. Malang: Bayumedia Publishing.

    Lapindo Brantas 2011. Social Impact Report: Sidoarjo Mud Volcano. Jakarta.

    Munir, S. 2014. Eksploitasi geotermal Gedong Songo; Warga dihantui trauma Lapindo. Kompas.com, 3 Juni (available on-line: http://regional.kompas.com/read/2014/06/03/0920383/Ekpsloitasi.Geothermal.Gedong.Songo.Warga.Dihantui.Trauma.Lapindo.).

    Nusantara, B. C. 2010. Empat tahun janji tak pasti. Jurnal Dinamika HAM 10, 105–121.

    Praditya, I. I. 2013. Trauma lumpur Lapindo hambat eksplorasi migas di Jatim. Liputan6.com15 November (available on-line: http://bisnis.liputan6.com/read/747016/trauma-lumpur-lapindo-hambat-eksplorasi-migas-di-jatim?wp.trkn).

    Quarantelli, E. L. 1954. The nature and conditions of panic. The American Journal of Sociology 60, 267–275.

    Rubiandini, R. 2007. Kejadian dan Penanggulangan Semburan Lumpur di Sekitar Sumur Banjarpanji-1 Lapindo Brantas Inc. Bandung.

    Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

    Semedi, P. 2014. Palm oil wealth and rumour panics in West Kalimantan. Forum for Development Studies 1–20 (available on-line: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08039410.2014.901240).

    Sumedi, D. P. 2013. Pemkab Sidoarjo belum izinkan Lapindo ngebor lagi. Tempo.co, 11 September (available on-line: http://www.tempo.co/read/news/2013/09/11/206512392/Pemkab-Sidoarjo-Belum-Izinkan-Lapindo-Ngebor-Lagi).

    Tim Walhi 2008. Kejadian dan penanggulangan semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. In Lapindo: Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi (ed) D. Setiawan, 1–37. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

    Kaltim Pos, 2013. Total yakin tak seperti Lapindo, 16 November (available on-line: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/41047/total-yakin-tak-seperti-lapindo.html.

    Wolf, E. R. 1999. Envisioning Power: Ideologies of Dominance and Crisis. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

  • Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    IMG_20140528_180212Oleh: Henri Nurcahyo

    Sudah delapan tahun lumpur Lapindo menyembur, masih juga belum ada kejelasan penyelesaian persoalan yang menyelimutinya. Semburan lumpur itu bukan hanya sebuah peristiwa geologi semata, namun juga bencana sosial, bencana intelektual dan juga bencana budaya. Lapindo telah menggunakan segala macam cara untuk menciptakan wacana pembenaran bahwa mereka tidak bersalah.

    Celakanya, kalangan ahli geologi sendiri, malah tidak satu suara untuk menegaskan penyebab terjadinya semburan. Apakah ilmu geologi tidak cukup canggih untuk menjelaskan peristiwa eksakta seperti itu? Bahkan organisasi profesi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) sendiri hingga kini tidak pernah punya sikap resmi terkait semburan yang mencelakakan itu. Para ilmuwan berebut mengumbar serangkaian teori dan kepintarannya bersilang pendapat sehingga malah membingungkan masyarakat. Inilah yang disebut Bencana Intelektual.

    Padahal, dalam logika awam, penyebab terjadinya semburan lumpur itu karena Lapindo melakukan penyeboran di situ. Lepas apakah ada pengaruh gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum semburan, lepas dari kesalahan prosedur pengeboran, lumpur tidak akan menyembur kalau Lapindo tidak mengebor di kawasan yang sebetulnya sudah diketahui punya potensi kuat menyemburkan lumpur itu. Proses awal mula penentuan lokasi pengeboran itu sendiri saja sudah sarat dengan rekayasa dan manipulasi.

    Peristiwa semburan lumpur Lapindo ini adalah bencana budaya, karena masyarakat diteror oleh perang wacana untuk menerima logika yang seolah-olah ilmiah. Para guru pasti akan bingung menjawab ketika ditanya muridnya perihal apa yang menyebabkan terjadinya semburan itu. Kebingungan ini akan terus membekas selama puluhan tahun, persis seperti wacana pembenaran pembantaian terhadap (mereka yang dituduh) PKI yang mengendap di kepala rakyat negeri ini selama puluhan tahun, sampai kemudian muncul upaya mencari kebenaran setelah Soeharto runtuh.

    Teror wacana budaya ini juga merambah wilayah dongeng, yang menyebut-nyebut dongeng Timun Mas untuk menguatkan alasan bahwa memang sudah wajar terjadi semburan lumpur di Porong. Sebab, dongeng Timun Mas adalah varian Cerita Panji, sebuah kisah legenda yang berpusat di Daha (Kediri) dan Jenggala (Sidoarjo). Dalam dongeng itu memang disebutkan sang raksasa tenggelam dalam lautan lumpur akibat lemparan terasi (belacan) oleh Timun Mas. Rekayasa ini diperkuat dengan kitab-kitab kuno yang seolah-olah sah sebagai sumber sejarah.

    Banyak orang yang dengan mudah percaya tafsir mainstream terhadap dongeng tersebut. Padahal, sesungguhnya dongeng Timun Mas seperti yang banyak dikenal orang selama ini bukan dongeng Jawa Timur, melainkan Jawa Tengah. Sementara yang berkembang di Jawa Timur sendiri adalah dongeng Timun Mas dalam versi yang lain. Saya menemukan sedikitnya ada tiga versi berbeda mengenai dongeng ini, sebagaimana yang menjadi bahan cerita ludruk dan Wayang Kancil. Dongeng Timun Mas versi Jatim ini memang tidak populer, namun yang jelas dalam versi ini justru sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya lautan lumpur.

    Sebagaimana varian Cerita Panji lainnya, tokoh perempuan selalu identik dengan Dewi Sekartaji, sedangkan tokoh lelaki yang menjadi pahlawan penyelamat si perempuan adalah penyamaran Panji Asmorobangun. Pakem seperti itulah yang juga terdapat dalam dongeng Ande-ande Lumut yang juga merupakan varian Cerita Panji. Disebutkan bahwa Kleting kuning adalah Dewi Sekartaji, sedangkan Panji Asmorobangun menyamar sebagai Ande-ande Lumut.

    Rekayasa dongeng ini, dengan menyejajarkan dongeng Timun Mas dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo, tanpa disadari justru membuahkan blunder tersendiri. Karena dalam dongeng itu tokoh Raksasa dikalahkan oleh gadis desa yang lemah tak berdaya bernama Timun Mas. Lantas, mengapa dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo ini yang tenggelam justru “timun mas” dan bukan raksasanya? Itulah sebabnya para pegiat pembela korban lumpur lantas menguatkan logika ini dengan menjadikannya tema peringatan 8 tahun semburan lumpur Lapindo. Pesan utama dalam dongeng itu malah semakin dipertegas dengan kalimat, “sudah saatnya menenggelamkan raksasa dalam kubangan lumpur Lapindo”.

    Paradigma seperti ini sudah dipakai untuk mendasari peringatan semburan lumpur setahun lalu, dengan membuat ogoh-ogoh berupa raksasa berbaju kuning, kemudian dilemparkan ke kubangan lumpur. Ogoh-ogoh itu masih ada hingga sekarang.

    Dan saat ini Dadang Christanto yang jauh-jauh datang dari Australia semakin mempertegas penderitaan para Timun Mas itu. Mereka divisualkan dengan patung-patung manusia dengan tangan menengadah, membawa sisa-sisa perabotan rumahtangga sebagai harta yang terakhir. Juga para seniman Taring Padi dari Yogyakarta menyajikan puluhan instalasi berupa tangan-tangan yang terbenam, hanya kelihatan bagian lengan dan lima jari tangannya seperti orang tenggelam. Ini juga tangan-tangan Timun Mas yang masih menderita hingga sekarang, masih terombang-ambing oleh perdebatan kaum elitis. Bukan pada tempatnya mereka yang tenggelam, justru si Raksasa itulah yang seharusnya terbenam dalam kubangan laknat ini. Tunggu saja waktunya. (*)

    Henri Nurcahyo, penulis buku “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo”, penerbit Asosiasi Tradisi Lisan.

    Sumber: Jawa Pos, 1 Juni 2014

  • SBY, Selamatkan Bakrie Ya!

    SBY, Selamatkan Bakrie Ya!

    patung-SBYTidak lama lagi masa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir. SBY punya banyak janji, di antaranya penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Kasus Lapindo muncul pada 2006, setelah dua tahun masa jabatan SBY jilid pertama. Pada 2009, ketika belangsung pemilihan presiden, SBY mencalonkan diri lagi dan membuat janji akan menuntaskan kasus Lapindo apabila terpilih kembali. (more…)

  • Lapindo innuendo

    Lapindo innuendo

    After nearly eight years, justice has been delayed and, hence, denied, for many people affected by the mudflow disaster stemming from gas drilling activities in the East Java regency of Sidoarjo. The Constitutional Court’s verdict favoring those affected last week has provided relief as it holds the state responsible for compensating those made to suffer without discrimination.

    The Finance Ministry says it needs time to study the ruling, but as the court’s ruling is final and binding, the question now is when the people will have their rights fulfilled.

    The unanimous decision to grant the plaintiffs’ demand for the revision of the 2013 state budget is a testament to the state’s failure, if not reluctance, to protect citizens afflicted by disaster. Siti Askabul Maimanah, Rini Arti, Sungkono, Dwi Cahyani, Tan Lanny Setyawati and Marcus Johny Ranny had challenged the state budget for not allocating compensation despite the severity of the mudflow damage.

    Presidential Regulation No. 14/2007 requires PT Lapindo Brantas as the operator of the gas well to pay Rp 3.83 trillion (US$ 338 million) in compensation to residents of 12 villages near the epicenter of the disaster, Rp 3.04 trillion of which has been paid. The government, according to the regulation, is accountable for compensating residents outside those villages.

    Whatever the motive behind the sharing of the burden between the government and Lapindo, partly owned by the family of Golkar Party chairman and presidential candidate Aburizal Bakrie, all the victims deserve compensation. Regardless of the government’s demarcation to divide the responsibility, all victims are entitled to equal treatment.

    The court’s ruling provides legal certainty to mudflow victims of their right and justification for the government to push Lapindo to fulfill the compensation payments. Any attempt to buy time or negotiate the implementation of the verdict will amount to violation of the rule of law, which will only cost the government its credibility.

    It is unlikely that the government will dare turn a deaf ear to the verdict. The political year will force President Susilo Bambang Yudhoyono’s administration to do its utmost to take any measure possible to uphold the Constitution.

    With or without pressure, the government bears the responsibility to protect people affected by a disaster, either natural or man-made, as soon as it strikes. The long road the six mudflow victims took to reach justice would not have happened if state protection was guaranteed in the first place.

    The Supreme Court has unfortunately declared the mudflow in Sidoarjo a natural disaster, but as far as the Constitutional Court verdict is concerned, Lapindo cannot escape the responsibility of rehabilitating the lives of those displaced and the local economy hurt by the mudflow.

    The mudflow disaster shows the price we have to pay for allowing politics to blur efforts to mitigate disaster, which is a matter of humanity.

    Source: http://www.thejakartapost.com/news/2014/04/02/editorial-lapindo-innuendo.html

  • Kasus Hambalang Tidak Separah Lapindo

    Kasus Hambalang Tidak Separah Lapindo

    Oleh: Ndhy rezha

    siaga ogoh-ogoh Bakrie

    Korupsi kasus korupsi! Mungkin inilah kasus kejahatan yang paling mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat baik itu pers maupun para pakar hukum dan politik di negara ini, terlebih yang terlibat di dalamnya adalah nama-nama besar yang sangat dikenal oleh masyarakat kita.

    Seperti halnya dengan apa yang menimpa Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Angelina Sondakh. Ketiga politisi Partai Demokrat ini terlibat dalam kasus yang sama hingga cacian dan makian masyarakat tak pelak lagi membanjiri setiap ruang yang terisi oleh nama mereka bertiga.

    Namun benarkah kasus Hambalang pantas untuk mendapat perhatian yang lebih ketimbang kasus-kasus kejahatan lainnya? Ada hal yang unik ketika media mengangkat kasus korupsi yang melibatkan nama-nama besar. Media seolah menyatukan antara pandangan atas kerugian material dan sisi moralitas. Artinya pandangan atas rusaknya moral dari para koruptor dihitung berdasar pada jumlah kerugian yang diakibatkan kasus korupsi yang dilakukan.

    Meskipun mencuri tetap mencuri seberapa pun besar nilai dari barang yang diambil, namun hal ini wajar-wajar saja, bila ditilik dari pandangan masyarakat tentang kasus-kasus kejahatan lainnya semacam pembunuhan yang ‘level’ kerusakan moralnya dinilai dari alasan melakukan pembunuhan, jumlah korban hingga bagaimana cara pelaku menghabisi korban.

    Jika kita telah setuju dengan pandangan seperti ini maka ada kasus yang lebih tidak bermoral daripada kasus Hambalang sebab kerugian yang dihasilkan tidak terhitung jumlahnya bahkan sisi kemanusiaan dan lingkungan seolah terabaikan.

    Namun mengapa kasus ini bak tenggelam ke dalam lumpur panas yang keluar tanpa henti?

    Lapindo, saya sempat berpikir bila ini adalah kejahatan paling fenomenal yang pernah terjadi namun tidak ada pelaku yang dinilai bertanggung jawab atas perkara ini. Awalnya saya berpikir bila kasus ini telah selesai, padahal faktanya kasus Lapindo tidak pernah dimejahijaukan, meskipun telah ada beberapa nama yang ditetapkan sebagai tersangka, namun kasus ini seolah lenyap bak ditenggelamkan oleh lumpur. Bagaimana bisa kasus sebesar ini tenggelam begitu saja?

    Bila kerugian negara akibat kasus Hambalang yang ditaksir mencapai 463 milliar berdasarkan pada laporan BPK yang disampaikan oleh ketuanya Hadi Purnomo pada 4 september 2013 lalu, maka nilai tersebut hanya secuil bahkan setitik dari tingkat kerusakan lingkungan dan kerugian akibat genangan lumpur lapindo yang menenggelamkan lebih dari 16 desa di Sidoarjo, Jawa Timur.

    463 Milliar vs kerusakan lahan pertanian seluas 198 ha, lebih dari 1.873 orang yang kehilangan mata pencaharian dan lebih dari 8.000 jiwa kehilangan tempat tinggal akibat dampak dari lumpur ini. Belum lagi kerugian-kerugian materil dan nonmateril lain yang tidak terhitung nilainya.

    Tuntutan atas penuntasan kasus Hambalang tidak lain merupakan bagian dari skenario untuk mendiskreditkan pemerintah. Momentum Hambalang digunakan untuk semakin memperburuk citra pemerintah di mata publik, faktanya kasus korupsi yang selalu dikaitkan dengan sosok presiden SBY ini seolah menjadi masalah yang paling menarik perhatian di tengah masalah besar lain yang seolah terabaikan.

    Seperti kita ketahui bersama, kasus Lumpur Lapindo bermula pada 29 mei 2006 silam. Kesalahan pengeboran di kawasan sumur gas milik Lapindo Brantas inc menyebabkan semburan lumpur dengan volume 100.000 meter kubik setiap harinya, hingga membentuk sebuah danau lumpur yang menutupi lebih dari 198 ha lahan warga dari 16 desa. Namun pemberitaan kasus ini seolah ragu-ragu hingga pada 2007 pasca pengumuman ganti rugi oleh pihak Lapindo Brantas atas kerugian yang diakibatkan aktivitas mereka, kasus Lapindo sangat jarang dipublikasikan.

    Padahal kasus ini belum sekalipun dibawa ke persidangan. Masalah yang selalu diangkat justru lebih diberatkan pada ganti rugi lahan yang seolah melupakan sisi kerusakan lingkungan akibat dampak dari bencana tersebut. Bahkan ketika proses ‘ganti rugi’ yang juga bermasalah pemberitaan atas Lapindo masih saja ‘kikir’ sebab hanya beberapa kali tayang dan kemudian kembali lenyap begitu saja. Bandingkan dengan pemberitaan atas kasus korupsi?

    Media seolah mengabaikan ‘asas praduga tak bersalah’ dari para petinggi negara maupun parpol yang dianggap terlibat dalam kasus korupsi. Pemberitaan atas kasus korupsi seolah membuat seorang terduga menjadi terpidana. Permainan psikologi ini telah dilakukan beberapa media dengan sangat alot sejak kasus korupsi mulai merebak di kalangan petinggi parpol negara ini.

    Bandingkan dengan kasus penyelewengan pajak yang menyeret nama Gayus Tambunan. Sosok Gayus sangat fenomenal sebab meski di dalam penjara ia masih bisa melakukan suap kepada beberapa sipir penjara untuk pergi berlibur keluar negeri dan bahkan menonton tenis di Bali dengan memakai wig dan kacamata untuk menyamarkan wajahnya dari pengamatan.

    Untuk catatan: Gayus terlibat dalam kasus penyelewengan pajak yang melibatkan beberapa nama perusahaan besar termaksud perusahaan milik salah satu petinggi parpol yang juga ikut menonton tenis di bali pada waktu bersamaan saat Gayus juga berada di sana. Namun hal ini tidak pernah diselidiki dengan seksama, ketika Gayus tertangkap kembali semua berakhir tidak ada alasan mengapa Gayus berada di Bali. Apa memang ia hoby tennis?

    Lalu apa hubungan antara Gayus, Hambalang, dan Lapindo? Secara teknis opini kita tentang ketiga kasus ini dibentuk oleh satu media! Media yang selalu kita anggap terpercaya sebab berhasil melakukan distorsi sosial atas pandangan kita terhadap kinerja pemerintah.

    Sumber: http://www.siaga.co/news/2014/01/15/kasus-hambalang-tidak-separah-lapindo/

     

  • (Rekayasa) Dongeng sebagai Wacana

    (Rekayasa) Dongeng sebagai Wacana

    Artikel ini adalah versi asli dari yang dimuat di Jawa Pos, Minggu 5 Januari 2014 (versi PDF)

    Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur LapindoJudul Buku    : Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo

    Penulis          : Henri Nurcahyo

    Penerbit         : Asosiasi Tradisi Lisan Jawa Timur

    Tahun           : 2014

    Halaman       : vi + 210 halaman

    Peresensi       : Anton Novenanto. Dosen pada Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya, Malang

    Sejak lahirnya, 29 Mei 2006, lumpur panas di Porong, Sidoarjo telah menjadi suatu arena pertarungan kuasa yang mahadahsyat. Sampai saat ini, pertarungan kuasa mengerucut pada dua kubu utama: kubu bencana alam dan kubu bencana industri. Indikasi keberadaan dua kubu dapat dilihat dengan mudah dari nama yang digunakan. Para aktor kubu bencana alam akan menggunakan terminologi “lumpur Sidoarjo”, atau Lusi; sementara aktor pada kubu bencana industri bersikeras menggunakan istilah “lumpur Lapindo”.

    Dari sini, kita pun dapat membaca kecenderungan Henri Nurcahyo dalam buku terbarunya berjudul: Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo (selanjutnya, Rekayasa Dongeng). Henri berada pada kubu bencana industri.

    Permasalahan utama yang diangkat dalam Rekayasa Dongeng adalah bagaimana folklore, atau cerita rakyat yang diwariskan secara lisan, dipergunakan dalam pertarungan kuasa terkait kasus Lapindo ini. Rekayasa Dongeng merupakan respons dari usaha seorang geolog, Awang Harun Satyana, yang menggunakan dongeng Timun Mas untuk menunjukkan bahwa semburan lumpur di Porong itu hanyalah gejala alam belaka.

    Tentu saja, pencarian kebenaran dengan mengkaitkan dongeng Timun Mas dengan kondisi ekologis (danau lumpur) di dunia nyata, seperti yang dilakukan Awang, merupakan bukti bahwa dongeng berfungsi sebagai wacana. Usaha semacam ini merupakan ironi karena dilakukan oleh seorang geolog, yang idealnya menyusun argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah, bukan dari sebuah dongeng.

    Henri berpendapat, lumpur Lapindo dan folklor Timun Mas adalah dua entitas berbeda. Satu-satunya keterhubungan antara keduanya adalah “kebetulan [dongeng Timun Mas] juga menyebut mengenai danau lumpur sebagaimana yang terjadi di Porong sekarang ini” (3),  meskipun begitu sebuah dongeng berangkat dari “fakta yang sudah ada sebelumnya” (18). Oleh karenanya, keberadaan danau lumpur dalam dongeng Timun Mas menggelitik untuk ditelusuri lebih dalam.

    Bagi Henri, setiap cerita rakyat mengandung kearifan lokal yang dapat digali dengan mencari makna dari simbol yang dimunculkan. Henri melihat bahwa dalam folklor Timun Mas tersimpan pesan moral tentang bagaimana relasi negara (raksasa) dan rakyat (Timun Mas) (43-47). Ada dua pesan yang hendak disampaikan. Pertama, pesan pada pengelola negara agar tidak semena-mena pada rakyatnya dan meremehkan kekuatan yang dimiliki oleh rakyatnya. Kedua, pesan pada rakyat agar tidak mudah menyerah dengan kondisi yang ada.

    Dalam Bab 11 (Kontroversi Dongeng Timun Mas), Henri mengungkapkan pelbagai versi dongeng Timun Mas dalam masyarakat dan tidak semuanya menyebut tentang danau lumpur. Hal ini memperjelas tesis bahwa dongeng Timun Mas, yang menyebutkan danau lumpur, telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk memenangi pertarungan kuasa, pencarian kebenaran dalam kasus Lapindo.

    Inilah yang menarik dari Rekayasa Dongeng. Titik beratnya bukanlah pada mencari “kebenaran” di balik sebuah dongeng, melainkan bagaimana sebuah dongeng berfungsi sebagai salah satu “wacana” dalam arena pertarungan kuasa pencarian kebenaran. Di sinilah tesis utama Rekayasa Dongeng, tentang bagaimana selama ini dongeng Timun Mas telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendukung pendapat salah satu kubu (kubu bencana alam) adalah sesuatu yang problematik.

    Selama ini kasus Lapindo lebih banyak dikaji dari aspek geologis, hukum, politik ekonomi, gerakan sosial, media massa, planologi, ataupun psikologis. Nyaris tidak ada penulis yang menggunakan pendekatan budaya untuk mengkaji kasus Lapindo. Jika betul demikian, maka Henri adalah pionir.

    Penulisan dan penerbitan Rekayasa Dongeng merupakan bukti nyata bahwa pertarungan kuasa, pencarian kebenaran, atas kasus Lapindo masih terus bergulir, masih belum tuntas. Rekayasa Dongeng melampaui dari apa yang ditulis Ayu Sutarto dalam pengantarnya sebagai “laporan jurnalistik yang bernuansa folkloristik dan historik” (16). Rekayasa Dongeng, menurut saya, justru menghidupkan dan menghidupi arena pertarungan kuasa seputar kasus Lapindo.

    Dengan menawarkan gagasan tentang bagaimana kubu “bencana alam” telah menggunakan fitur-fitur budaya, dongeng, sebagai “amunisi” dalam pertarungan kuasa atas Kasus Lapindo, Henri telah membuka peluang bagi siapapun untuk melakukan rekonstruksi, bahkan dekonstruksi atas segala narasi budaya tentang bencana lumpur panas tersebut.

    Dengan kata lain, Rekayasa Dongeng merupakan salah satu wacana penting bagi siapapun yang hendak, sedang, dan pernah mendalami kasus Lapindo.

  • Shifting strategy? A reflection of seven years of Lapindo mud

    By Anton Novenanto
    [This is the original English version of an article published in German entitled “Sieben Jahre des Lapindo-Falls: Eine Rücksau”, translated by Melinda Sudibyo, appeared in Suara Watch Indonesia! Vol. 1 (October), 2013 (pdf file of the German version)]
    Lapindo Mud

    I understand mud-volcano disaster in East Java as not merely environmental problem, but rather as a political ecological matter. The root of all the aftermath problems of such disaster is related to the political ecological context in Indonesia. It, then, represents a political ecological disaster in Indonesia (Batubara 2010; McMichael 2009;  Schiller et al. 2008).

    On May 29, 2006, hot mud erupted in Porong, Sidoarjo as a result of a drilling activity for oil and natural gas exploration of Lapindo Brantas Inc. [Lapindo] in Banjar Panji 1 Well. Until now, the mudflow is still erupting. It becomes a threat for people who live surrounding that area. Nobody can be sure about if it will still occur and stop in the near in the future. A group of geologists predicts that it will occur at least for three decades (Davies et al. 2011), while during fieldwork I heard rumours within people of Porong saying it will remains for a century and some others said that it will not stop at all.

    Nevertheless, thousands of people have lost their livelihood. They were forcedly displaced, as it is impossible to return to old homes. The mudflow has engulfed dozens of villages and every public and commercial facility (factories, toll road, schools, government offices, etc.) on those areas. It has forcedly displaced more than 30,000 inhabitants of those villages. Ten factories have been covered by mud so that they must stop their activities, and were forced to dismiss thousands of their workers. The disconnection of Porong-Gempol toll way has disrupted transportation between Tanjung Perak port in Surabaya (East Java capital) and other industrial areas in southern and eastern East Java (e.g., Pasuruan, Probolinggo, Malang, Jember, Lumajang, and Banyuwangi), plus Bali and Lombok. For that reason, the impact of this hazard is not only affecting the local communities in Sidoarjo, but also influencing environmental, social, and economic lives in the other regions in East Java (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia 2007; Danareksa 2006; McMichael 2009; Schiller et al. 2008).

    However, the handling of the disaster aftermath has never been well designed since the beginning. The situation is getting worst on the grounds that ambiguous position of the leading figure of Lapindo’s shareholders, Aburizal Bakrie, who was also the Minister of Public Welfare. Once, in February 2008, Aburizal led the cabinet meeting about the handling of the mudflow impacts for 45 minutes, replacing the President Yudhoyono who had to leave earlier (Setyarso et al. 2008). Aburizal was acting, on one hand, as the State representation (Minister of Public Welfare) and, on the other, as prominent figure of The Bakries, Lapindo’s holding company.

    Natural vs. Man-Made Disaster

    The politicisation of disaster is started from its scientific explanation (see Anderson 2011; Button 2010), it is also occurred in the case of mud-volcano disaster in East Java. Although there are contradicting scientific claims concerning the birth of such mud-volcano, the geologists agreed about the distinction between ‘cause’ and ‘trigger’ (Batubara 2009). For the cause, geologists have agreed that the geological land structures in Sidoarjo, East Java are conducive for the birth of mud-volcano. These geological conditions are proven by the existence of other mud-volcanoes in the surroundings of the one in Porong. But, what was the trigger for that mud-volcano birth? Such question is still highly debated and competed.

    According to daily report of Energi Mega Persada [EMP], Lapindo’s parent company, Lapindo started to spud the Banjar Panji 1 Well in Renokenongo Village, Porong, Sidoarjo, on March, 9, 2006 (Adams 2006; Wilson 2006). It means that the drilling was barely four months when mud and gas begun to erupt on May 29, 2006 in Siring Village, about 150-200 meters from Banjar Panji 1 Well. The next day (May 30, 2006), Kompas Daily raised the issue in its national pages by quoting a statement from Syahdun, the foreman of PT Tiga Musim Mas Jaya, the subcontractor for Lapindo’s drilling in Banjar Panji 1 Well, who said that the leaks were linked to the drilling activities in that well (LAS 2006). So, the breach was due to industrial accident. In other words, it is man-made disaster.

    The discourse of “man-made disaster” was getting stronger after Medco Brantas [Medco], who had 32 percent shares in the well, issued a letter entitled “Banjar Panji 1 Well Drilling Incident” to Lapindo on June 5, 2006 (Medco 2006). In that letter, Medco claimed that the incident in that exploration well occurred due to the “gross negligence” of the Operator, that is, Lapindo. Medco claimed that Lapindo did not follow the drilling procedure that had been agreed before. Prior to the well incident, Medco had warned Lapindo about the instalment of safety casing as the borehole reached the depth of 8,500 ft. [ca. 2,591 m], but Lapindo neglected that warning. The mud and gas from the Earth’s belly came out from the cracked borehole walls that were not protected by a proper safety casing (cf. LAS 2006). Such claim was strengthened by two reports from third parties—by TriTech Petroleum (Wilson 2006) and by Neal Adams Services (Adams 2006). Both reports were ordered and funded by Medco. Critically, we can assume that Medco was trying to escape from the incident consequences by saying “Lapindo had made a gross negligence”. But, somehow, the discourse of “man-made disaster” has already arisen and has remained as “public truth” in the Lapindo case.

    In mid-October 2008, there was a meeting of the American Association of Petroleum Geology (AAPG) in Cape Town, South Africa, in which one of the panels focused on discussing the birth of mud-volcano in East Java. As there was no final conclusion, the forum took a vote to decide about the trigger of that mud-volcano birth. More than half of the voters (42 of 74 people who had rights to vote in that conference) voted for the drilling argument; three voted for the earthquake argument; 13 voted that the mud-volcano’s birth was combination of both drilling and earthquake; and the remains said that the discussion was not to be concluded (Batubara 2009; Mudhoffir 2008). However, voting mechanism is a non-scientific process of decision-making; rather, it is political mechanism. Such mechanism of deciding scientific truth has downgraded the scientific process of finding about the nature of a natural phenomenon. One could say that the voting is a totally scandal for the geological, scientific forum. Thus, the reproduction of the voting result that had been winning the drilling argument could be used a boomerang for the argument’s proponents. The critical question arises as to how can in a scientific forum exist on the basis of power and domination of the majority over the minority? Scientific debate has to be solved in a scientific way, that is, by doing further scientific research, not by voting. In short, expert debate and its conclusion have muddied the truth about the mud-volcano (cf. Batubara 2009).

    Batubara (2009) gives two different scenarios laid behind that expert debate. First, if the geologists had agreed to the drilling argument, then all the liabilities caused by the mud-volcano would be borne to Lapindo solely; and second, if the experts had agreed to the earthquake argument, then the government would cover all the liabilities. According to Presidential Decree No 14 Year 2007 (Perpres 14), Lapindo had to pay up to IDR 3.8 trillion [c.a. USD 241m] for the purchasing of the impacted lands and buildings as per March 22, 2007. However, since the mudflow has not stopped yet, the impacted areas have grown larger and larger. Schiller et al. argue that it is obvious that Lapindo, with its modalities, tried to withdraw all the responsibilities related to the mud-volcano with “a substantial public relations effort using the mass media, academic conferences and seminars, and paid ‘experts’ to tell its side of the story” (Schiller et al. 2008: 62–63); that is, framing the mudflow not as man-made disaster but as natural disaster.

    Distorted Information

    One strategy for the successful construct of environmental issues is to control public debate in the media (see Button 1996, 2002; Gamson & Modigliani 1989; Hannigan 1995: 77–78). In mid-2008, The Bakries occupied Surabaya Post Daily’s shares, one of the prestigious newspapers in Surabaya. The Bakries set two prominent figures of Minarak Lapindo Jaya[1] (Bambang Prasetyo Widodo and Gesang Budiarjo) as the managing directors of the newspaper (Tapsell 2010: 9). After that acquisition, some journalists were complaining about the change of the organisation culture until the naming of such event. Dhimam Abror Djuraid, Surabaya Post’s chief editor, the Post was very conscious in naming that event. Referring to Lapindo’s legal status in this incident, Djuraid said in an interview:

    If I called it Lumpur Lapindo [Lapindo Mud], I’m attributing all the guilt to Lapindo. But the facts are not that simple. The court trial is still in progress, it hasn’t been decided that Lapindo is guilty for this disaster. (in Novenanto 2009: 17)

    Similarly, such effort to not using the term Lumpur Lapindo was found in other media group (television) affiliated to The Bakries. Karni Ilyas argues that the naming of a disaster event must refer to the place, not the company. Ilyas gave BhopalChernobyl, and Buyat, for examples (Ambarwati, 2007 in Andriarti 2010: 80). At the time of the interview [2007], Ilyas was Anteve’s chief editor. Recently, he is TVOne’s news director in chief. Both Anteve and TVOne are subsidiaries of The Bakries.

    Both Ilyas and Djuraid assured that the naming of the incident, as Lumpur Sidoarjo, was not under direct order from the owner of their media, The Bakries. However, they were very aware that the term Lumpur Lapindo was highly associated with the making of public opinion concerning the full responsibility of Lapindo in the mud incident.

    In both media (TVOne and Surabaya Post), there has been “special treatment” [perlakuan khusus] for any news about Lapindo. There is an internal censor mechanism for any news about Lapindo.[2] Andriarti (2010) tracked down that some TVOne’s journalists—from reporter level to producer level—had been trying very hard to stick idealistically with journalism principles in making news on Lapindo. Still, the organisation rules [the structure] of TVOne were too strong for those actors’ manoeuvres. Based on her interviews with some journalists of TVOne, Andriarti (2010: 112–115) discovered that any news materials about Lapindo were “being monitored” [selalu diawasi]. For such news, as it could be predicted, the people in Jakarta office would take any measures needed to secure the image of TVOne’s shareholders. The similar internal censorship can also be found in the Surabaya Post, as the chief editor has decided not to write any (bad) news about Lapindo (Novenanto 2009: 40; Tapsell 2010: 9). A Surabaya Post journalist, confirmed this position, as that journalist said:

    It is true that we have been told to not write bad things about Lapindo in relation to the mud-volcano. Bosses have said, “don’t write the details”, like if there is a rally against Lapindo. Mostly we are pressured to use sources from our own company, those that are also involved with Lapindo. (in Tapsell 2010: 9)

    Reflection

    Elsewhere I had argue, instead of constructing a concrete imagination, the media are deconstructing imagination of Lapindo case (Novenanto 2008, 2009, 2010a, 2010b). In addition, the more complicated Lapindo case represented in media, the more public surfeits to follow the detail and the origin of such case (Lim 2013: 13–14). Such condition is beneficial for The Bakries and Lapindo.

    According to my observation, I witness that most people, especially new comers to Lapindo case, only see the case partially. Bakrie factor is the easiest to see and the most appealing element in the case. Most of them are using Lapindo case as ammunition to attack Aburizal’s political and economy agendas, but less of them are focusing on the completion of the disaster aftermath, the comprehensive handlings of the victims, and further risk reduction mitigation strategies for the ecological degradations in Sidoarjo.

    The media reportages concerning Lapindo case are whirling public opinions around the issues of unfinished payments, Lapindo legal status, and the controversy of the trigger (see Suryandaru 2009). I argue, although the Lapindo case is a facticity, highly newsworthy, yet there is no single media organisation which has a clear agenda setting about how this case should be solved. Thus, the reportages on Lapindo case are only re-writing old issues and, if any, emerging new problems.

    I totally understand why such conditions occurred. Many people have exhausted in following the case. Many activists have declared their losses of defending the case on behalf of the victims. It needs a special militancy for anyone who wants to study the case. However, I propose that Lapindo case could not be resolved by hit-and-run tactic; rather, I argue it should be cracked down from inside, the Trojan horse tactic. But, all in all, my subsequent question would be: who wants to be sacrificed by sent inside that Trojan horse, without being defeated by the enemy first?

    Reference:

    Adams, N. 2006. Causation Factors for the Banjar Panji No 1 Blowout. Jakarta.

    Anderson, M. D. 2011. Disaster Writing: the Cultural Politics of Catastrophe in Latin America. Charlottesville & London: University of Virginia Press.

    Andriarti, A. 2010. Relasi Struktur dan Agen dalam Produksi Berita (Sebuah Studi terhadap Kasus Lapindo di Sebuah Televisi Berita). University of Indonesia, Depok.

    Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia 2007. Laporan Pemeriksaan Atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo – Ringkasan Eksekutif. Jakarta.

    Batubara, B. 2009. Perdebatan tentang penyebab lumpur Sidoarjo. Disastrum 1, 13–25.

    ––––––– 2010. Pendahuluan: defisit pengetahuan global menghadapi “man-made disaster” dan implikasinya bagi warga di negara berkembang. In Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil (eds) B. Batubara & H. Prasetya. Jakarta: Yayasan Desantara.

    Button, G. V. 1996. The negation of disaster: the media response to oil spills in Great Britain. In The angry earth (eds) A. Oliver-Smith & S. Hoffman. New York & London: Routledge.

    ––––––– 2002. Popular media reframing of man-made disasters. In Catastrophe and Culture (eds) A. Oliver-Smith & S. Hoffman, 143–158. Santa Fe: School of American Research.

    ––––––– 2010. Disaster Culture: Knowledge and Uncertainty in the Wake of Human and Environmental Catastrophe. Walnut Creek: Left Coast Press.

    Danareksa 2006. Bakrie Group: Riches to rags riches to … Jakarta.

    Davies, R. J., S. Mathias, R. E. Swarbrick & M. Tingay 2011. Probabilistic longevity estimate for the LUSI mud volcano, East Java. Journal of the Geological Society, London 168, 517–523.

    Gamson, W. A. . & A. Modigliani 1989. Media discourse and public opinion on nuclear power: a constructionist approach. American Journal of Sociology 95, 1–37.

    Hannigan, J. 1995. Environmental Sociology. Oxon: Routledge.

    LAS 2006. Sumur gas bocor, penduduk diungsikan [Gas well leaked, residents evacuated]. Kompas, 30 May (available on-line: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0605/30/daerah/2687880.htm, accessed 24 May 2009).

    Lim, M. 2013. Many clicks but little sticks: social media activism in Indonesia. Journal of Contemporary Asia 1–22.

    McMichael, H. 2009. The Lapindo mudflow disaster: environmental, infrastructure and economic impact. Bulletin of Indonesian Economic Studies 45, 73–83.

    Medco E&P Brantas 2006. Banjar Panji-1 Well Drilling Incident.

    Mudhoffir, A. M. 2008. Berebut Kebenaran: Governmentality pada Kasus Lapindo. University of Indonesia, Depok.

    Novenanto, A. 2008. “The Lapindo case” by mainstream media. Indonesian Journal of Social Sciences 1, 125–138.

    ––––––– 2009. Mediated Disaster: the Role of Alternative and Mainstream Media in the East Java Mud-Volcano Disaster. Leiden University, Leiden.

    ––––––– 2010a. Kasus Lapindo, keterbukaan informasi publik, dan peran media massa. In Keterbukaan Informasi Publik dalam Kasus Lapindo. Surabaya: Aliansi Jurnalis Independen; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jawa Timur.

    ––––––– 2010b. Agenda-agenda terbayang untuk kasus Lapindo. In Menggugat Hak Warganegara: Kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Surabaya.

    Schiller, J., A. Lucas & P. Sulistiyanto 2008. Learning from the East Java mudflow: disaster politics in Indonesia. Indonesia 85, 51–77.

    Setyarso, B., Gunanto & M. Syaifullah 2008. Lumpur meluap, fulus mengucur [mud overflowed, money poured]. Tempo Magazine, 3 March.

    Suryandaru, Y. S. 2009. Laporan Analisis Media Kasus Lumpur Lapindo.

    Tapsell, R. 2010. Newspaper ownership and press freedom in Indonesia. In The 18th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia. Adelaide.

    Wilson, S. 2006. Preliminary Report on the Factors and Causes in the Loss of Well Banjar Panji-1.


    [1] Minarak Lapindo Jaya (MLJ) is a new company, established to deal with any matter related to the transactions of Sidoarjo residents’ lands and buildings. Based on the villagers’ documents, they mentioned that the transactions were between the villagers (as the sellers) and MLJ, not Lapindo Brantas or The Bakries (as the buyer).
    [2] However, internal censorship had also been a measure for other directors-related-news about Century affair, which was connected to Erick Thohir, chief director of TVOne (Andriarti 2010: 109).
  • Mendesakkan Agenda Pemulihan Sosial-Ekologis Akibat Lumpur Lapindo

    Pada tanggal 29 Mei ini kita memperingati tujuh tahun lumpur panas Lapindo menyembur dari bumi Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

    Dibandingkan dengan jenis bencana lain, bencana lumpur Lapindo adalah bencana yang unik. Luapan lumpur Lapindo telah memaksa warga di 12 desa di tiga kecamatan di Kabupaten Sidoarjo pindah untuk selamanya dari kampung halamannya. Ribuan warga terusir paksa tidak bisa kembali menghuni rumah lama mereka. Ribuan lainnya sedang berada pada kecemasan tingkat tinggi menanti waktu sebelum diusir paksa setelah wilayah mereka “masuk peta”. Sementara itu, masih ada ribuan warga lainnya yang harus bertahan hidup dalam kondisi lingkungan beresiko tinggi. (more…)

  • Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo

    Oleh: Bosman Batubara

    PADA bulan Agustus tahun 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengeluarkan putusan bahwa bencana Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Keputusan Komnas HAM ini diambil berdasarkan pemungutan suara di kalangan komisionernya. Dari 11 orang komisioner, 5 orang (Syafruddin Ngulma Simeulue, Kabul Supriyadhie, Nur Khalis, Munir Mulkhan dan Saharudin Daming) sepakat menyatakan bahwa Lumpur Lapindo adalah kejahatan HAM berat, sementara 6 orang yang lain (Ifdhal Kasim, Yosep Adi Prasetyo, Johny Nelson Simanjuntak, M. Ridha Saleh, Hesti Armiwulan dan Ahmad Baso) menyatakan bahwa Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat (Nugroho, 2012). Tulisan ini, akan melihat argumentasi di balik putusan tersebut. (more…)

  • Kasus Lumpur Lapindo di Tangan Ksatria Negarawan

    Oleh: Subagyo

    Mantan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, dan Bupati Sidoarjo sekarang, Saiful Illah, mengatakan bahwa masalah lumpur Lapindo itu hanya berada dalam satu persen wilayah Kabupaten Sidoarjo. Tapi mengapa yang hanya di satu persen itu tidak terselesaikan hingga tujuh (tujuh) tahun ini?

    Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur rupanya merasa tidak bebas untuk menyelesaikan masalah lumpur Lapindo, sebab kewenangan penyelesaiannya telah diambil seluruhnya oleh Pemerintah Pusat (Presiden) dengan dibentuknya Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melalui Perpres No. 14/2007. Pemerintah Daerah ini tidak mau melangkahi kewenangan pemerintah pusat.

    Namun sayangnya, Presiden SBY yang telah diberi gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath oleh Ratu Inggris pada Oktober 2012 lalu dan memperoleh World Statesman Award 2013 dari The Appeal Of Conscience Foundation Amerika Serikat, ternyata tidak mampu membereskan masalah satu persennya wilayah Kabupaten Sidoarjo itu.

    SBY telah menggariskan aturan dalam Pasal 15 Perpres No. 14/2007 (yang sudah diperkuat dengan Putusan MA No. 24 P/HUM/2007) bahwa pembayaran bertahap yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah dalam peta area terdampak 4 Desember 2006,  sebesar 20 persen dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun terakhir.

    Ketika Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) membuat perjanjian serah kewajiban tersebut kepada PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ), Presiden SBY tidak melarangnya. Padahal peralihan kewajiban hukum itu membutuhkan instrumen hukum tersendiri yang berbeda dengan peralihan hak. Ketika kemudian MLJ tidak melaksanakan kewajiban Lapindo yang dialihkan kepadanya hingga sekarang, Presiden SBY juga hanya bisa “menghimbau.” Aneh benar negara ini, dan enak benar pelakunya, bahwa pelanggaran hukum buatan Presiden itu hanya diberi sanksi “himbauan.”

    Lapindo dan MLJ, anak-anak Grup Bakrie ini, begitu mudahnya membuat janji-janji yang diselingi berbagai argumentasi hukum yang dibuat-buat. Setelah ramai-ramai disoal warga korban sejak tahun 2008, maka membuat janji cicilan Rp 30 juta perbulan, lalu ngadat, janji lagi cicilan Rp 15 juta perbulan, ngadat lagi, janji lagi dengan cicilan Rp 5 juta perbulan. Itupun dikeluhkan warga karena cicilan sering macet. Akhirnya MLJ secara terbuka berjanji akan melunasinya Desember 2012.

    Janji-janji panjang itu ternyata tidak direalisasi hingga tahun 2013. Ada janji lagi akan diselesaikan Mei 2013. Ternyata diingkari lagi dan dijanjikan lagi akan diselesaikan Nopember 2013. Berdasarkan tradisi ingkar tersebut, sulit dipercaya bahwa Nopember 2013 nanti akan benar-benar selesai.

    Presiden SBY yang semestinya dapat menggunakan kewenangan paksaan pemerintahan (bestuurdwang) terhadap Grup Bakrie, hingga sekarang tidak melakukan apa-apa untuk menegakkan peraturan yang dibuatnya. Di Inggris digelari kesatria, di Amerika Serikat digelari negarawan, tapi bisa-bisanya SBY tunduk kepada korporasi di dalam negeri sendiri. Bagaimana tidak dikatakan tunduk jika tidak berani menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri dan diam diremehkan partikelir?

    Jika ada yang menyatakan bahwa dibalik musibah itu ada hikmah, ada peluang, ada hal-hal yang positif, namun hal itu juga tidak lantas menjadi alasan untuk melupakan hal-hal yang buruk yang seharusnya dipertanggungjawabkan dan diselesaikan. Hal itu juga menyangkut masa depan para korban dan menjadi model contoh penyelesaian masalah serupa di negeri ini di masa depan.

     

    Bahaya Racun Lumpur Lapindo dan Masa Depan

    Selain masalah belum tuntasnya penyelesaian jual-beli tanah korban dalam peta terdampak, yang juga mulai turut menyedot APBN untuk biaya korban di luar area peta terdampak 22 Maret 2007, juga terdapat masalah kesehatan warga korban yang belum banyak mendapatkan perhatian.

    Walhi Jawa Timur pernah melakukan kerjasama penelitian kandungan aromatic hydrocarbons (PAH) dengan beberapa pihak. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2007 sampai Januari 2008 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Kimia Analitik, Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga Surabaya.

    Dokumen penelitian tersebut menyatakan, berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg. Berdasarkan seluruh titik pengambilan sampel, ternyata lumpur Lapindo mengandung kadar Chrysene di atas ambang batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang kesemuanya di atas ambang batas.

    Kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo mencapai 2000 kali  di atas ambang batas, bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan lingkungan.

    Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan 5 – 10 tahun ke depan. Dampak terhadap ksehatan adalah bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan), kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan kulit, kanker, permasalahan reproduksi,  membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit.

    Sebagian dampak gas beracun lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia tampak pula dari hasil penelitian Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Surabaya (BTKLS) pada Maret – Mei 2010.

    Lembaga bawahan Kementerian Kesehatan RI ini menyimpulkan bahwa dari 53 responden di empat desa sekitar tanggul lumpur Lapindo (Gempolsari, Kalitengah, Besuki dan Glagah Arum) atau 81,1 persen responden mengalami gangguan restriksi, 5 persen mengalami gangguan obstruksi dan 9,4 persen masih normal. Hampir semua rumah di empat desa yang diteliti termasuk kategori rumah tidak sehat. Hanya 11,11 persen rumah di Desa Gempolsari yang masuk kategori rumah sehat.

    Selain itu, beberapa kesimpulan hasil penelitian BTKLS menunjukkan keadaan-keadaan lingkungan di desa-desa yang buruk, termasuk memburuknya kualitas air sumur dan air sungai. Dampak-dampak buruk tersebut menjadi beban warga korban Lapindo, yang kian lama kian dilupakan masyarakat lainnya, dengan kian bertambahnya masalah di negara ini, terutama masalah korupsi yang kian merajalela.

    Sebenarnya Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat melakukan kewenangan hukumnya untuk menyelamatkan warga korban Lapindo berdasarkan Pasal 14 ayat 1 huruf j dan g UU No. 32/2004 jo. UU No. 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah, guna menanggulangi masalah lingkungan dan sosialnya. Itu justru menjadi urusan wajib menurut undang-undang yang kedudukannya di atas Perpres. Namanya urusan wajib, jika tidak dilaksanakan ya menjadi pelanggaran hukum.

    Pemerintah Daerah mesti melakukan terobosan hukum, tidak perlu menunggu kewenangan pemerintah pusat yang tidak dapat diharapkan ketegasannya sebagai ksatria Inggris dan negarawan versi Amerika Serikat itu.

    Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/05/31/kasus-lumpur-lapindo-di-tangan-ksatria-negarawan-564456.html

  • The ‘Evolution’ of Lapindo Mudflow Mitigation Policy

    On September 8, 2006, the President established Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo (Timnas, National team for mudflow mitigation in Sidoarjo). Timnas was established after the signing of Keppres 13/2006. According to Keppres 13, Timnas would tenure for six months, and could be extended if needed (Keputusan Presiden 2006, Art. 7). At that time, the government thought six months was enough to handle such crisis. It seems, the government did not expect that the mud-volcano and its impacts would be as huge as we can empirically experience this present day. Of course, six months was not enough. On March 8, 2007, the President issued Presidential Decree No. 5 Year 2007 about the extension of Timnas’s tenure for a month (Keppres 5/2007). (more…)

  • Perpres 14/2007, Legalisasi Korupsi Lapindo

    Perpres 14/2007, Legalisasi Korupsi Lapindo

    SUBAGYO. Masyarakat korban lumpur Lapindo semakin terlunta-lunta. Masa depan dan keselamatan rakyat di wilayah-wilayah kerja korporasi pertambangan terancam akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Bukan untung, malah buntung.

    Dalam rangka penyelesaian kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Tetapi hari demi hari yang kita lihat adalah nasib para korban yang seolah-olah hidup di dalam kontes penderitaan. (more…)

  • The Goat that Couldn’t Stop the Mud Volcano

    The Goat that Couldn’t Stop the Mud Volcano

    Sacrifice, Subjectivity, and Indonesia’s “Lapindo Mudflow”

    By Phillip Drake

    The little goat hangs in mid-air, legs extended. In this moment of suspension he looks back at the men in black and white ceremonial clothing, the men who threw him. They give away his life to the spirits and to the pit. But the image keeps him present above ground, perpetually a moment from his fate, dragging his rope-leash, haloed by clouds of smoke and steam rising out of the bubbling hot mud, waiting to be swallowed.

    The viewers of the image never see him land. The image denies resolution, disallowing any guarantee of the goat’s expiration, of the completion of the violence done to him. The audience receives only that moment of suspension, the horror of a helpless body facing certain pain and annihilation.

    Published on the front page of the Sunday edition of the Jawa Pos, Indonesia’s most-widely circulated newspaper, on November 5, 2006, the image of the goat sacrifice — the animal flying into a pool of hot mud — accompanied a long article about local factories’ financial losses caused by Indonesia’s infamous mud volcano, commonly known as the “Lapindo” mudflow, after Lapindo Brantas, a gas exploration company drilling at the disaster site (Figure 1). In addition to the dramatic economic losses facing residents and factories in the area, this giant, uncontrollable geyser of mud has swallowed the homes of approximately 40,000 people in the Sidoarjo district of East Java. The four final sentences of the article, set off with a “Meanwhile. . .” to signal the transition, have no substantive connection to the factory losses and serve only to contextualize the image of the goat. By mentioning the arrival of mystics who performed several sacrifices to appeal to supernatural forces to stop the mudflow, these sentences justify the presence of the photo of the goat’s spectacular death, which overwhelms this and other stories in the paper through its powers of attraction and provocation.

    GOAT JAWA POS ARCHIVE

     [Figure 1: The image of the suspended goat on the front page of the Jawa Pos, 5 November 2006. Courtesy of PT. Media Virtual Indonesia and the Jawa Pos archive.]

    The spectacular rendering of the goat’s death instrumentalizes animal being for the purposes of commodity production and circulation, the making and selling of newspapers. The weighty issues that surround the sacrifice — the frailty of bodies, the finitude of life, bodily “gifts,” structures of power, sacredness, meaning, non-meaning, and the horror of destruction — are condensed and muted in the image that sells, in the service of a media economy that contributes to the ideological production and maintenance of an array of subject positions that typically support the social and economic order.

    This image of the goat is one example of various aesthetic and ideological operations in both sacrifice and representations of sacrifice that generate subjectivities. Observing that symbolic and physical acts of violence against the animal, the scapegoat, or subhuman individual who is sacrificed articulate and arrange subjectivities into social hierarchies, this essay explores the implications of this violence ― both in a specific case where individuals’ rights and status are in question and in the theoretical context of expressing and resisting power. I hope to refine understandings of both a general theory of animal sacrifice and a specific, located incident by bringing them into dialogue. I will consider the staging of unequal power relations in both the execution and the representation of the sacrifice ritual by tracing the various ways sacrificial violence expresses subjectivity. In recognizing these manifestations of power, we — who have the cognitive faculties, cultural determinations, and social agencies that enable us to perform violence, to abstain from it, and to contemplate it — refine our capacity to understand violence toward other animals (including other members of our own species), and the ways it shapes us within ecological networks, so that we can become better, or at least more self-aware, actors in our ecological communities.

    While this exploration of subjectivities generated through violence against the animal speaks to questions of ecological orientation that are important everywhere in the world, I frame these questions with a discussion about the recognition of victims’ otherness and hardship during the Lapindo mudflow in East Java. The mudflow is an ongoing ecological disaster that resists being fixed down to any agreed-upon narrative. Disputes over causes, effects, compensation, and institutional responses unsettle understandings of the event, as various individuals and institutions represent and become represented in different politicized narratives. Each of these representations weave, and are woven with, arrangements of power. As political and economic elites seek to protect their power and interests during the crisis, they often resort to denying the rights and status of mudflow victims, a denial that echoes the dehumanizing objectification of the other that is expressed in animal sacrifice. There is nothing extraordinary about claims that political and economic elites protect their interests at the expense of others. This paper suggests, however, that these dehumanizing procedures depend on an ontological demotion of the status of others. It becomes possible to prolong residents’ exposure to physical and social hazards related to the mudflow, not because they are poor or unfortunate in terms of social hierarchies, but because their subhuman status makes this exposure to danger seem natural.

    Why Sacrifice? The recent emergence of “biopower” as a theoretical paradigm for understanding the organization and execution of power has complicated the politics of social justice. Various theorists present distinctive versions of biopower, for instance, as the production and regulation of life (Foucault), as the capacity to suspend laws and produce beings without political or living rights (Agamben), or as the interiorized power from “no place” that merges with being and desire to become self-replicating (Hardt and Negri). In each case power constrains the horizons of individuals’ being and behaving in the world, making individuals regular, predictable, and dispensable. This regularization threatens to intrude into the practices and goals of social justice movements, potentially warping their status as truly oppositional or distinct from the influence of power.

    Although acts of sacrifice also express uneven power between beings, Georges Bataille’s writings on sacrifice emphasize the subversive potential of sacrificial violence. For Bataille, sacrifice is fraught with anguish, ecstasy, profanity, and sacredness. Sacrifice resounds with conflict and contradictions that make it profoundly irregular and unpredictable. At the same time, the sacrifice destroys and degrades life and is an act that is easily subsumed within broader and more enduring systems of biopower, as we see in Rene Girard’s writings on the “scapegoat mechanism” in sacrifice rituals. The scapegoat quells feelings of violence and discontent, serving “as a substitute for all the members of the community, […]  protecting all the members of the community from their respective violence” (101-2). Tracing the structure of sacrifice in both history and myth as it becomes superseded by judicial systems in modern societies, Girard suggests that the scapegoat mechanism is central to establishing and regulating human communities. Bataille’s version of sacrifice, by contrast, always threatens to unsettle disciplinary systems. Sacrifice provokes hermeneutic procedures that could potentially disrupt regularity and order. Through dynamic and ever-appropriable productions of meaning and subjectivity, for both the killers and the killed, sacrifice generates the possibility of developing new ways to understand and, using the terms of Peter Singer, give “consideration” to the being of “others” (163).

    This openness to appropriations is radicalized in Bataille’s writings on sacrifice. Bataille understands sacrifice as a means of “giving” or “destroying” excess energies and resources that threaten to reduce individuals and objects to mere “things.” Bataille draws on Marcel Mauss’s anthropological work on the gift to note the links between religious and economic exchanges and to suggest that the “expenditure” of excess energy generates ongoing value for the giver ( 69). Both the gift givers and receivers (the members of society) benefit: the latter from the spiritual, psychic, or disciplinary effects of the destruction, and the former from the “profit” of giving. The giver profits by “restoring the divine order” from the profanity and poverty of everyday life that is dominated by mindless work and consumption, that reduces beings and relations in the world to “utilities” and “things” (ibid. 56). As gifts, “things” that can be accumulated and consumed are invested with increased social and spiritual value. Sacrifice brings the giver, the “accursed share” whose being and labor “is a surplus taken from the mass of useful wealth,” out of the “order of things” and into the “intimate order” (ibid. 59). Immediately problematic is the fact that this experience of binding the self to this intimate order is precluded by self-extinction. Quite simply, we cannot experience our death and the benefits of expenditure when we are already gone (“Hegel, Death, and Sacrifice” 27).

    Any attempt to access the experience of the sacrifice and its benefits becomes an exercise in “fiction” (ibid. 20). The ritual of sacrifice performs the impossibility of the elation that comes with dying. As Dennis King Keenan notes in his reading of Bataille, sacrifice is itself mimetic, containing neither truth nor a stable basis for its economy of exchanges. Whatever meanings emerge from sacrifice become manifest out of layered acts of mimesis, out of conceptual appropriations made possible in the performance of the ritual (41). Keenan also notes the resemblance between the scapegoat and the poet, in the sense that both are substitutes for self-expenditure that mimic the impossible original act (41). This similarity breaks, however, when the scapegoat “is murdered as a means to an end,” the end being the performance of sacrifice, while the poet sustains death through contemplation and “interiorization” (41-2).

    This fictive quality, this mimesis of a mimetic act extends into all representations of the goat’s death. Through different conventions that mediate and make possible the repeated experience of the event that is also impossible, each depiction “sacrifices sacrifice,” to use the terms of Keenan’s response to Jean-Luc Nancy’s analysis of Bataille’s writing on sacrifice. According to Keenan, Nancy reads Bataille’s version of sacrifice as revealing non-meaning, or, using Derrida’s phrasing, providing “access to the immediate and indeterminate identity of a non-meaning” or  “the possibility of maintaining non-meaning,” while Bataille’s “obsessive” sacrifice of sacrifice “opens sacrifice to others and separates it violently from itself” (54-5). Since neither meaning nor non-meaning can be fully revealed or sustained in fixed or finalized terms, the sacrifice of sacrifice performs a moment of “dis-appropriation” that cannot foreclose the potentiality, or postponed expressions of meaning or non-meaning — the “reappropriating” and “trans-appropriating” of death (44). Art performs this sacrifice of sacrifice through mimesis, which enables individuals to “dwell” in aporia or enact the dis/re/trans-apppropriation of death and meaning, but Keenan suggests, via Bataille, that the sacrifice ritual, itself, is fictive, mimicking itself and the impossible task of experiencing the effect of giving away one’s own life (44).

    It follows that the image of the goat’s sacrifice (like all other representations of sacrifice) generates both aporia and the potential for various appropriations in meaning, which also manifest as articulations of subjectivity. Jacques Derrida observes that “carnivorous” animal sacrifice “is essential to the structure of subjectivity, which is to say to the founding of the intentional subject as well and to the founding, if not of the law, at least of right, the difference between law and right, justice and right, justice and law, here remaining open over an abyss” ( 247). Each articulation of subjectivity depends on the construction and destruction of the animal. By “construction” I mean the ideological violence that establishes who does and does not receive justice, right, or law. The violence that marks a being with animality, degradation, or subhuman-ness makes possible the symbolic or physical destruction of this being, from which the exalted subject emerges as “not-degraded.” This ideological violence is a sacrifice before the sacrifice (or before the sacrifice of sacrifice) that installs a being into the sacrifice mechanism. We see this, perhaps uncomfortably, in Bataille, where the act of elevating beings out of the order of things through sacrifice depends on the already-objectified status of certain beings. The necessity of elevation involves a degradation that implies previous attempts at elevation either failed or were never tried.

    Implied in Derrida’s statement about animal sacrifice is the permeable and undecidable nature of subjectivity. Our experiences and actions in the world are not determined or organized by transcendent categories of thought or ego, but rather develop through engagements in the world. Subjectivity is always fractured and evolving, shaped by experiences, practices, and events that are internalized, performing the “function of misrecognition” that forms, “hails,” or “overdetermines” the “I” (Althusser 161). As Derrida notes, the destruction of the animal enables individuals to stake their claim as subjects with specific (exalted) legal privileges and rights. Cary Wolfe also references the centrality of animals in shaping understandings of humanness:

    [T]he animal possesses a specificity as the object of both discursive and institutional practices, one that gives it particular power and durability in relation to other discourses of otherness. For the figure of the “animal” in the West (unlike, say, the robot or the cyborg) is part of a cultural and literary history stretching back at least to Plato and the Old Testament, reminding us that the animal has always been especially, frightfully nearby, always lying in wait at the very heart of the constitutive disavowals and self-constructing narratives enacted by that fantasy figure called “the human.” (6)

    This ontological demotion of the animal, the privileged signifier of sub-humanness, which disidentifies beings’ relative rights and status represents, once again, the sacrifice before sacrifice (or the always-sacrificable status) of the individual who is objectified as the scapegoat or “excess” that must be vanquished.

    It is doubtful that this process, where mimetic articulations of subjectivity promote and demote the ontological status of beings, cab be escaped. The instability and vulnerability of ideological appropriations of sacrifice also destabilizes the orders of power that articulate ontological hierarchies. As understandings of the sacrifice ritual remain perpetually open for appropriations, so do articulations of subjectivity that both express and resist power. Rather than falling into the regularizing modes of biopower, Bataille’s version of sacrifice perpetually threatens to undo order, as a fervent and transgressive performance of the possibility of revelation or access to impossible meaning “because seeking distances it” (“Hegel, Death, and Sacrifice” 28). Neither power nor resistance is secured or finally made regular in the votive, volatile act of sacrifice.

    The Lapindo Mudflow. The Lapindo mudflow is frequently cited as one of the world’s largest mud volcanoes and the most expensive disaster in Indonesia’s history. Since it began on May 29, 2006, it has released as much as 180,000 m3 of mud per day into the Porong subdistrict of Sidoarjo in East Java and continues to flow six years later (Dewan; Mazzini et al. 1751). Beyond displacing over 40,000 area residents, the mud contains toxins and gases that have been responsible for dozens of deaths, thousands of incidents of illness, and continues to threaten people’s lives in the region (Rumiati; Soedjono). In addition to the mudflow, which is currently being collected in a giant embankment and pumped into a nearby river, residents also face danger from flammable gasses and subsidence (sinking land), which has destroyed a range of structures, including homes, roads, and the portions of the mud embankment itself (Utomo 42).

    Despite its unusual geological character, most observers consider the mudflow a social disaster, as controversies involving some of Indonesia’s most prominent and powerful political and business figures have marred the disaster management effort (Schiller et al. 62-4). Most famous is the debate over what triggered the mudflow: human error caused by unsafe drilling in a gas exploration mine less than 150 m from the center of the mudflow or by a massive earthquake occurring two days earlier in Yogyakarta, over 200 km away. Although various scientists have published reports that support both sides in the debate, and there are reasonable explanations to justify either conclusion, the majority of published reports by independent experts (those not affiliated with the central government or Lapindo Brantas) show that drilling has had some influence in causing the mud volcano.

    At stake in these trigger debates is responsibility for funding and overseeing the expensive and difficult disaster management effort. Ostensibly, if drilling triggered the mudflow, Lapindo Brantas would pay; if earthquakes triggered it, the government would pay. While a properly detailed account of the complex history, politics, and competing interests that have given shape to this disaster would be difficult to fit into a book, much less an article, it is enough in this context to note that these controversies have damaged the disaster management effort, leaving contractors and aid workers with little direction, support, or supervision (Hamdi et al. 10). After six years, workers have had little success controlling the mudflow and limiting the impact of subsidence, regional infrastructure remains in ruins, and victims have received only a fraction of the financial support promised to them to aid their relocation (Suparno). With the local economy and regional infrastructure in ruins, there are simply not enough ecological or local charity resources for the necessary assistance to residents who are left to live in crumbling houses on sinking land, often forced to beg for food and income. Significant corporate or government intervention remains the only realistic means of restoring livelihoods and ensuring safety.

    Because the recognition and classification of victims has been subject to controversy, thousands of individuals have been essentially left without support to live in safety, much less to relocate, leaving them scrambling with residents from other villages to form political coalitions to protect their rights and interests. The primary mechanism for providing aid to victims has been a sale and purchase program (akta jual-beli), which has  delivered financial support based on land ownership and the location of damaged property. Instead of a formal compensation program that would require one institution taking accountability for the funding and management of assistance to victims, this program was funded by a newly-formed subsidiary of Lapindo Brantas and managed by a government-appointed organization of public officials and engineers. As Lapindo Brantas’s finances dried up due to the global economic conditions, the completion of sale and purchase payments stalled, with most victims receiving less than half of the promised sums.

    Despite these difficulties facing victims who qualify for the sale and purchase program, their access to supportive resources is greater than most victims who fail to qualify. Thousands of individuals living in the same neighborhoods as officially-recognized victims are ineligible for assistance because they either own no property, lack the proper formal certification of their property, or live outside the land area designated by several presidential decrees for sale and purchase payments (HSF 90-4). Neither Lapindo Brantas nor the central government has been clear about the rationale in the drawing of these specific boundaries, which in some cases literally run along neighboring property lines, and has often turned neighbors against each other (Orolo). As arbitrary as these boundaries may seem, it is hard to imagine they are being set without deliberation, considering the high financial stakes and limited supply of funds.

    Whatever the financial implications, the act of differentiating those victims whose losses will be recognized – and compensated for – and victims whose losses receive no formal recognition resonates with both Bataille’s version of sacrifice and the “bare life” of Agamben’s account of homo sacer. In the latter, the mudflow stands as the state of exception through which sovereign power is able suspend laws and produce individuals as homo sacer, those who can be killed but not sacrificed. As polar extremes in relation to the legal order, homo sacer and the sovereign “present two symmetrical figures that have the same structure and are correlative: the sovereign is the one with respect to whom all men are potentiallyhomines sacri, and homo sacer is the one with respect to whom all men act as sovereigns” (84). In other words, through the recognition and ascription of homo sacer, the people of a given society experience the ascension of their status through their participation with expressions of sovereignty: an experience of sovereignty through being not homo sacer. Andrew Norris notes that the stakes of this relation extend beyond claims to power and social status, to figure in the ways we recognize the metaphysical distinctiveness of the human (10). As Johanna Oksalawrites in her reading of Norris, “homo sacer must die so that the rest of the political community may affirm the transcendence of their bodily, animal life” (31).

    In terms of Agamben’s account of homo sacer, the grouping of residents who are affected by the mudflow into two groups of victims ― those with legal and financial rights and those without ― is made to appear as a natural expression of sovereign power. Any casual survey of residents in the neighborhoods surrounding the levees will reveal a diverse range of interests and concerns about the mudflow and the institutional handling of the disaster, including the fair administration of compensation schemes, the completion of infrastructure projects, the invigoration of the local economy and generation of jobs, the improved monitoring of pollutants and other environmental impacts in the nearby fields and rivers, and the reconstruction of schools and mosques. But the sovereign power, expressed via both national and local government institutions that tend to promote the interests of political and economic elites over developing more egalitarian policies, strips local residents of their distinctiveness, crudely categorizing these residents as either those who are entitled to the right of compensation or those who are not. Although the access to rights and resources is of crucial importance to local residents, the very fact that government officials can literally draw lines that establish these rights indicates the already-degraded status of most residents in the region. As Peter Fitzpatrick notes, in submitting to Western legal structures that simultaneously work to control both the spaces exterior and interior to sovereignty, “we are … bare before the law, and ‘always/already’ sacrificed in relation to it” (69). By drawing what appears to be arbitrary boundaries with regard to specific rights to compensation, the sovereign power of the government expresses its ability to revoke any and all rights from all citizens.

    Earlier we considered the sacrifice before sacrifice as a process that makes possible the installation of the subject within the structure of sacrifice as object for the purposes of revealing or gaining access to a essential or transcendent meaning that restores the truth to the objectified subject. Fitzpatrick goes further; he identifies the sacrifice before a legal system where sovereignty can be expressed. From the perspective of articulating power relations that stage and naturalize the demoted status of individuals as “things,” “homo sacer,” or “mudflow victims,” it becomes possible to recognize the close relationship between Agamben’s and Bataille’s systems of power and violence. Bataille’s version of sacrifice, in its stubborn pursuit of meaning, in its recognition of the impossibility of meaning while also recognizing the impossibility of nonmeaning through the never-ending generation of appropriative potentials, more accurately describes the irregular and unknowable influences and effects that permeate power relations. This irregularity gestures toward the potential limits of biopower’s capacity to manage subjectivity. As we observe specific “human” subject positions that are generated through violence against the nonhuman animal in the following sections, biopower’s lack of stability becomes increasingly apparent.

    Sacrifice as Spectacle. The Jawa Pos features the aforementioned image of the goat sacrifice at the top and center of its front page, which is paradigmatic of the mass media’s participation in the economy of spectacle. In its position of prominence, the image composes what Guy Debord refers to as an “unreal unity,” a commodity in the economy of images that mediates social relations and masks real conditions of exploitation and disharmony (35). The successful production and circulation of this image depends on its appeal, on the power of the aesthetic provocation – be it shock, wonder, or contemplation – generated in the composition and framing of the image.

    The image-as-spectacle, aestheticized and commodified, obscures the actual act of violence. The spectacle preempts the violence done to the goat by transforming ecological complexity into a dramatic moment, a moment designed for mass consumption. To invoke the well-known terminology of Judith Butler, the spectacular image “dematerializes” the violence being done to the goat. Butler conceptualizes the representative production of bodies through a pun on “matter”: “[T]o know the significance of something is to know how and why it matters, where ‘to matter’ means at once ‘to materialize’ and ‘to mean’” (32). The goat’s existence and death neither materialize nor matter in the context of the spectacle, of the image’s aesthetic rendering. As Timothy Morton observes, there is something “suspiciously anti-ecological” about the aesthetic – as a faculty of sense and understanding – insofar as it is a “product of distance: of human beings from nature, of subjects from objects, of mind from matter” (24).

    The aesthetic staging of the violence toward the animal also structures the newspaper’s audience as human subjects removed from nature. As the image provokes the audience to experience and contemplate the destruction of the goat, the rendering of the goat’s life and death into stylized, aesthetic forms and effects intensifies the division between the human subject and the animal object. The privileged perspective for experiencing and contemplating the violence in the aestheticized image belongs to the audience, the human subjects articulated in the annihilation of the nonhuman. The aesthetic mediates the ways we recognize and understand the status and subjectivity of all beings – including people – that are subsumed within the category of the nonhuman. Theses subjects are converted into objects and symbols. Once conceived as object or symbol, the nonhuman is made vulnerable to violence, a violence in which the pain and horror of destruction is muted and obscured for the audience’s digestion. When considered beside Bataille’s view that sacrifice seeks to recover beings from the “order of things,” the irony is apparent. The aesthetic operations that serve the economy of spectacle transform beings into things, even when representing a ritual that attempts to preserve beings as distinct from things.

    Still, just as commodity production is not inherently malignant for labor, the aesthetic is not merely a structure of estrangement and obfuscation. Morton is explicit about his ambivalence toward the role of aesthetics in nature, noting the “crucial role” aesthetics plays in how “humans experience their place in the world,” and in framing “ways of feeling and perceiving this place” (2). The aesthetic may be anti-ecological, but, citing the work of both Marcuse and Adorno, Morton suggests that the aesthetic also offers ways of helpfully reconceiving human and nonhuman relationships. For Marcuse, “art could help ecology by modeling an environment based on love (eros) rather than death (thanatos) – as is the current technological-industrial world.” Adorno notes Kant’s notion of the “absence of interest” that characterizes the aesthetic in contrast to the practical realm: here “the aesthetic promotes nonviolence toward nature. Art is not so much a space of positive qualities (eros), but of negative ones: it stops us from destroying things, if only for a moment” (24-5). The operations of the aesthetic are thus not necessarily subsumable within the commodity structure; they can, in fact, become antagonistic to commodity production, even when the very act of depiction recontextualizes the image’s referents and renders them vulnerable to commodification.

    In addition to noting the disparate potential outcomes of aesthetic rendering, it is necessary to observe the impact of cultural location in our understandings of sacrifice aesthetics. While the notion of aesthetic distance circulates within a Western critical tradition that develops out of the work of Kant, an array of ethnic, religious, traditional, and modern influences shape cultural production and reception – and by extension, the aesthetic experience – for Indonesians in diverse ways (Luvaas 265). Surely the “hybrid” nature of cultural forms in Indonesia does not preclude experiences of aesthetic distance, but it is also likely that local witnesses of the goat sacrifice, most of whom would be familiar with traditional feasts (slametan) and the Muslim Feast of Sacrifice (Idul Adha) that feature animal sacrifice, would experience it differently than Western observers.

    Most Indonesian readers of the newspaper will also be familiar with various traditions of sacrifice that occur throughout its islands. Even so, this exposure does not guarantee an aesthetic experience of the image of the goat that is firmly distinct from that of non-Indonesian and/or Western readers. Benedict Anderson famously observes the role of newspapers in circulating news and ideas that fostered a sense of common experience that joined individuals from vastly different ethnic and cultural backgrounds into “imagined communities,” which culminate in the modern nation state (33). Today’s media climate, however, where the production, circulation, and consumption of news content “flows” on a global scale, challenges the role of national categories for determining or comparing aesthetic responses (Jenkins 2). Yet, even as cultures “converge” in the global era of media to complicate the ways we distinguish aesthetic sensibilities, some differences in aesthetic experience are likely to endure, regardless of whether they are shaped by national, cultural, religious, or economic beliefs and practices.

    While an exploration of categories that determine aesthetic experience would be of interest, they are not a central concern of this essay. It is enough to note that the image is composed and circulated to sell newspapers, where its commodity function serves as one mode of appropriation of the sacrificial violence toward the animal, one that abstracts the violent event as a consumable “fetish.” As a mode of appropriation, the spectacular image-as-commodity can influence other hermeneutic or ideological appropriations. Nonetheless, no appropriation or category of appropriation can guarantee access to a more primary or authentic meaning in the idea or experience of sacrifice. Keenan’s reading of art as a mimetic sacrifice of sacrifice indicates that the only guarantee of understanding or appropriating the act is the lack of guarantees: the incessant potential for other appropriations.

    All modes of appropriation, however, like the aesthetic and economic operations at work in the production of spectacle, reproduce the violent act as a “fiction” that threatens to render it distant and abstract. Similarities between the goat and those individuals adversely impacted by the mudflow once again arise, as respective hardships become recognized through abstract representations. In the image, the goat’s death is transformed into both an artwork and a commodity, while official policies that respond to the mudflow assign individuals and their hardships to categories of victimhood: those who legally are entitled to compensation and those who are not. The government and Lapindo Brantas recognize the qualitative specificity of hardship through the economy of land ownership. One’s status and experiences of suffering become identified with the classification and measurement of owned land.

    The act of identification, however, is not inherently antagonistic to the rights and interests of victims. For any individual, institution, or policy aiming to deliver assistance to people in need, needs and individuals in need must be recognized and classified. The established terms of this recognition and classification inevitably erase the meaning and truth of ideas and experiences that are always already inaccessible to representation (or they sacrifice sacrifice). These representative proceduresshould aspire, however, to avoid demoting the represented individuals’ social and ontological status. The classification of victims based on land ownership organizes individuals’ social and political status, but the fact that individuals can be so easily organized and classified indicates their ontological demotion. In other words, these representations raise questions not only about the denial of rights to those in the social margins, but also about the naturalization of the very denial of their rights.  

    Reason Does Not Enter – Tradition vs. Modernity. Through Bataille’s version of sacrifice we come to see the emergence of a horizon of potential subject positions in both the act of sacrifice and representations of that act. Both articulate and naturalize subject positions into hierarchies of social and ontological status by contrasting the animal, or subhuman, with the human. The human, with superior faculties and claims to rights, has the capacity to kill, benefit from killing, observe the killing, represent the killing, or contemplate representations of the killing. In the context of sacrifice rituals in Indonesia, the hierarchical organization of subject positions frequently emerges in the tension between tradition and modernity played out in cultural production, politics, religion, and economic practices.

    A brief look at some trends will provide a sense of the intersecting influences of tradition and modernity in Indonesia. Culturally, Indonesia is experiencing the same rapid development of digitized, mass entertainment that is transforming cultural production around the world, all while protecting and celebrating its diverse and rich traditional arts that are tied to locality and ethnicity (Heryanto and Hadiz 257). Politically, Indonesia is in the throes of massive liberalizing and democratizing reforms (reformasi) that began with the fall of the authoritarian Suharto government in 1998, while it also retains many of the previous patrimonial structures that secure the status of political and economic elites (Hadiz 716). Regarding religious practices, Indonesia has the largest population of Muslims of any nation in the world. Comprised of a broad and diverse collection of cultural and ethnic groups, Indonesians are widely known for practicing and promoting tolerance toward individuals from other religions and cultural systems, a tolerance perhaps influenced by the nation’s well-known history of syncretism, of integrating traditional mysticism and modern religion (Geertz, “Ritual and Social Change” 35). At the same time, fundamentalist groups have recently augmented their cultural presence, influencing various laws and court cases related to social conduct (Liang). The tension between tradition and modernity is also prevalent in the national economy, where local, informal production still provides livelihoods for almost half the population, even during the economy’s rapid development and emergence into the global sphere (Islam 52).

    Sacrifice, too, can be deployed to confirm both traditional and modern cultural narratives. The ritual of sacrifice, for instance, expresses the significance of traditional cosmologies in the contemporary world, where geological evidence presents only a partial explanation for the existence of the mud volcano. Indonesian theologian Bernard Adeney-Risakotta writes that “most Indonesians believe in invisible powers which reside all around them….  For some people, these local, invisible powers are to be cultivated, placated, feared, served or even worshiped” (235). While we find little success combating the mudflow with “modern” tools (e.g., pumps, tractors, and science), the sacrifice ritual appeals to forces extending beyond reason. Noting the ways that some Indonesian newspapers often accept the mystical origins of unusual events (as opposed to the Western media’s dependence on scientific explanation), Adeney-Risakotta writes that “human tragedies, including natural disasters, do not have a single, fixed ontological meaning, . . .  but rather [meaning changes] in relation to human responses to the tragedy” (229). Whether these mystics believed their sacrifice would stop the mudflow, the sacrifice ritual fits within naturalized spiritual narratives that continue to shape their understanding of the world, narratives that are sustained by the destruction of the animal’s life.

    In his well-known studies of Javanese spirituality and rituals, Clifford Geertz observes that the maintenance of cosmological equanimity – between mankind, nature, and the spirits – is central to most traditional belief systems in Java. Within Javanese tradition, Geertz suggests, “to ‘be human’ is to be Javanese,” where “man, his society, and his natural environment strike a harmony almost mathematical,” a harmony maintained by strict conformity to social practices and values that “religious ritual and belief dramatize” (“Religious Belief” 138). Geertz notes the cultivation of harmony in his description of the slametan feast, which is still common in Java today. The slametan is a large communal meal that is held in conjunction with significant events (e.g., births, deaths, and marriages) and features offerings to ancestors and local spirits to ensure the procession of events without incident (ibid. 139; Hefner 538).

    When something is out of balance in the cosmos, when corruption proliferates and spirits become angry, people frequently see signs. In his personal account of life as a mudflow refugee, religious teacher H.M. Maksum Zuber observes the mudflow surging every time an official from the central government visited the disaster site: “The higher the position of officials at the site, the higher the explosions of mud,” finally growing “fierce with a blind rage, causing mud to gush and swallow anything that got in its way” after a visit from the president (7). In this context of social and environmental disorder, it is possible to see the goat sacrifice as an attempt to respond to and pacify agitated spirits or unseen forces.

    The goat sacrifice captured in the Jawa Pos photograph has been one of many rituals performed at the disaster site as attempts to stop the mudflow. In addition to the goat in the photo, that day’s sacrifices included another goat, along with several chickens. There was even a contest held a month earlier by a local businessman who offered a house to anyone who could stop the mudflow with mystical powers (Schiller et al. 55). The event included offerings of goats, cows, chickens, a bull’s head, and a magical bandana (“Mystics Can’t Stop Mud”).

    While these offerings and mystical powers draw on traditional beliefs and practices, when performed in the national media before the mudflow ― which, due to its associations with gas exploration drilling, is generally considered a very modern disaster ―  there is a danger that something is lost – in addition to the goat – when the sacrifice is taken out of context. Having already noted the ways the aesthetic and commodity functions of the newspaper image appropriate the context of the physical killing of the goat, it is also worth noting that these functions appropriate the historical and cultural backdrop of sacrifice rituals. By framing the various mystical and traditional rituals in the carnival-like setting of the mudflow, the news media rearticulates these practices as spectacle.

    It is likely that some of the mystical “contestants” can be dismissed as mere exhibitionists. The links between mysticism and the mudflow are nonetheless real enough to resonate across Indonesia. In Java, for instance, earthquakes and volcanoes are often understood through myths about deities; most mountains have human guardians who mediate the spiritual and material worlds through rituals (Adeney-Risakotta 236). It is also notable that it was mystics from Sumatra who performed the sacrifice of the goat in the Jawa Pos photograph. In what was perhaps the most striking case of mysticism and magic related to the mudflow, anthropologist Gregory Forth notes that the well-publicized effort to stop the mudflow triggered a resurgence in “construction sacrifice” rumors in the eastern Indonesian islands of Flores and Sumba in 2007-2008. According to legend, human heads endow man-made structures with strength, durability, and spiritual guardianship to prevent natural threats, and children’s heads are typically seen as the most powerful (4). In the past, suspicious-looking outsiders have been attacked, even killed due to kidnapping fears. As the Lapindo mudflow drew national attention, construction sacrifice rumors spread, complete with stories of attempted kidnappings, discovered headless bodies, disappearing children, and arrivals of suspicious strangers. In some cases the fear was great enough that parents kept their children from school (5).

    Forth cites other researchers who suggest that the development of notions of construction sacrifice and head-stealing emerges out of a history of colonial contact, where powerful outsiders arrive and impose laws and practices while extracting wealth. In this colonial context, the rumors articulate and solidify the divide between subjects as local residents and subjects as outsiders. There occurs a similar process with the sacrifice of the goat at the mudflow, where killing the goat expresses not only traditional cosmologies but also a defiance of contemporary cultural, intellectual, and spiritual movements. In other words, some may interpret killing the goat through sacrifice as a way for these men to express their identities in opposition to modernity and the cultural narratives and ideologies often associated with modernity (e.g., globalization, liberalism, and secularism).

    On the other hand, once the sacrifice is framed and circulated as a mass-media image, the killing of the goat articulates the modernity and rationality of readers and producers of the newspaper by provincializing the ritual of sacrifice and those who partake in it. We see this provincializing effect against those involved in the sacrifice quite literally in the caption of the image: “It does not make sense: a supernatural group performs a ritual of throwing a young goat [a kid] into the Lapindo mud in Porong, Sidoarjo, yesterday” (Tak masuk akal: kelompok supernatural melakukan ritual membuang anak kambing ke lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, kemarin). Although generally used interchangeably with the English expression, “it does not make sense,” the expression “tak masuk akal” literally translates as “reason does not enter,” which seems more appropriate to an interpretation of a sacrifice ritual that articulates distinctions between subjects operating inside and outside the realm of modern reason.

    From the perspective of most readers and producers of the newspaper who inhabit a modern, globally connected “imagined community,” reason does not enter into myths, mysticism, and barbaric rituals. Reason sustains modernity, asHorkheimer and Adorno’s renowned analysis of enlightenment culture highlights: “The principle according to which reason is simply opposed to everything unreasonable underlies the true opposition between enlightenment and mythology” (70). Reason dictates that animal sacrifices will not stop a mudflow, that such killing of animals serves no rational purpose. Horkheimer and Adorno note, in fact, the role of reason in the recognition of humanity: “Throughout European history the idea of the human being has been expressed in contradistinction to the animal. The latter’s lack of reason is the proof of human dignity” (203). Once again we see the animal playing a prominent role in the construction of what Wolfe calls the “fantasy” of the human, where – like earlier notions of aesthetic contemplation, media consumption, and possession of property – reason provides the ideological prop upon which mankind elevates itself. The unreasonable, the ostensibly mindless iterators of outdated superstitious practices, are made to resemble something less-than-human. In this sense, the killing of the goat establishes a chauvinistic perspective of reason, from which the killing of the animal turns the killers, also, into animals.

    However unreasonable one thinks the practices and beliefs of those who sacrifice the animal, it is important to note that to many residents and interested observers, reason does not always enter into a range of other events related to the mudflow, including activities performed within modern, scientific paradigms of reason. Reason also does not always seem to enter into, or at least to guide, the disaster management effort, which has been more alienating than helpful to most local residents (Hamdi et al. 10). Reason does not enter in the way elite politics have hijacked discourses about causality, transparency, and accountability, drowning the voices and interests of victims within an exclusive and opaque apparatus of power (Utomo 28-9).

    Perhaps the most prominent moment of unreason in the disaster management effort was the decision in 2007 to drop hundreds of high-density concrete balls into the mudflow’s main crater. Scientists and engineers from the Bandung Institute of Technology (ITB) developed a plan to plug the main spring with concrete balls using what they called the “high density chained balls method” (Istadi 1727): “The idea is to jam the gullet of the geyser with 1,000 or more balls linked together like charm bracelets, in bunches of four, the biggest of them weighing about 175 pounds” (Mydans). Certainly, reason plays an important role in the planning and execution of the concrete ball drop, even if the ITB experts were acting on questionable evidence and predictions about the plan’s outcome, and even if other geologists doubted the plan (ibid.). But to other interested parties, especially local residents waiting for financial assistance, the plan represented the flagrant misuse of scarce funds that could have many more “reasonable” uses (Zuber 98).

    Even in a publication summarizing social and technical operations by management officials and researchers at the mudflow, a collection of experts at the Surabaya Institute of Technology (ITS) notes that disaster management officials have devoted too many resources to seeking technological solutions to the mudflow. Considering the size and complexity of the mudflow, the ITS report suggests that long-term projects that emphasize social and geographical welfare would be far more beneficial to the social and economic conditions around the mudflow. They would also be cheaper to administer (Wiguna et al. 54). Although the balls actually managed to stop the mudflow for a few hours, the mudflow quickly returned to its normal output, and the project was cut short in the face of growing expenses and public ridicule.

    The ITB plan is paradigmatic of technocrats’ crude faith in solutions stemming from advancement of technologies and expertise, a faith that problematizes the centrality of reason in ideologies of modernity and has been a target of much critique (Mayer). Horkheimer and Adorno note, for instance, that reason takes on a mythic quality as modern science employs it to secure human control over nature and the world (19-20). Indeed, there is a simple and naïve quality to the plan, as if a child could have designed it, yet it also demonstrates humanity’s gross overconfidence the capacity to control nature. This combination of simplicity and arrogance in the conception and operation of the plan undermines its integrity as a product of scientifically-rigorous reason.

    Aesthetic similarities between the goat sacrifice and the dropping of the concrete balls also challenge reason as an epistemic category that secures the distinctiveness of tradition and modernity. Both acts, the sacrifice and the ball drop, demonstrate antagonism and arrogance toward nature (or nonhuman beings or forces) by denying the being of the goat and the power and complexity of geological forces. Together, the acts articulate subjectivities associated both with modernity (e.g., as humans, consumers, practitioners of technology, etc.) and with tradition (e.g., as animals, the faithful, practitioners of ritual, etc.). Forth even suggests some connection between the concrete balls and the spread of head-stealing rumors, noting that the balls where shaped “not unlike human heads” (6).

    As these acts blur the boundaries that typically articulate the distinctiveness of tradition and modernity, we become better accustomed to recognizing the ways these subjectivities are produced and circulated. Far from arbitrary categories that should be abandoned, modern and traditional subjectivities are structured and habituated through beliefs and practices that are overdetermined by a host of social forces and by nonhumans. It is not just cultural, economic, and political phenomena that shape subjectivity; mudflows and animals have an impact as well. The ways individuals enter into dialogue with the nonhuman world of animals and natural forces goes far into determining one’s subjectivity, whether it means articulating a person as distinctly human, modern, traditional, animal, or something else.

    Tensions between tradition and modernity are even prevalent in contemporary religious movements and institutions in Indonesia. Islam’s prominence and influence manifests through an expansive range of modern institutions and social structures. In contrast to localized and informal spiritual traditions, Islam is highly organized and widely visible throughout Indonesia, influencing politics, education, business, and everyday public life (Hefner 548). Yet ambiguities arise during events like the annual Feast of Sacrifice (Idul Adha), which commemorates Abraham’s willingness to sacrifice his son Ishmael at God’s command. Most households perform an animal sacrifice, and dense urban neighborhoods streets will literally run red with animal blood. Despite the institutionalization of the Feast of Sacrifice, which is a national holiday, when one witnesses or even participates in the actual taking of animal life, the gruesomeness of the act – the screams, twitching, and gore – momentarily disrupts the ostensibly clean distinction between the modernity of organized religion and the barbaric violence often associated with traditional mysticism.

    More important than upsetting attempts to plot coordinates of modernity, a project precluded by the range of cultural and historical influences that shape beliefs and practices, the Feast of Sacrifice exemplifies the naturalization of both the sacrifice ritual and the instrumental usage of animal life. This naturalization of animal sacrifice also naturalizes the range of human and subhuman subjectivities articulated in the sacrifice ritual. As Wolfe observes in considering speciesist ideologies that privilege the human, these can evolve to justify incredible violence against beings who do not qualify as “properly human” (8).

    Conclusion. Keenan emphasizes that the power of sacrifice and representations of sacrifice lies in the endless generation of potential for appropriations, which we see expressing a range of ideological narratives and subject positions. In the violent act of sacrifice, an expression of control that establishes an ostensible ontological order within the ecological community, individuals betray the variability and contingency of subjectivity. This variability in subjectivity is also present in systems of biopower, where expressions of control, on both biological and social registers, must constantly evolve and be reconfigured to account for the ways biopower transforms both subjects and the conditions of power (Hardt and Negri392). While Bataille’s version of sacrifice does not offer an exit from this everlasting dance between control and subjectivity, it at least forbids the foreclosure of a possibility of exit. In other words, the sacrifice ritual may not reveal any meaning or essence that we can use to secure certain subject positions, but it also cannot secure the impossibility or absence of meaning or essence (Keenan 43-4). The act of sacrifice, like the act of artistic production, submits ideas and identities to be appropriated by others through their experiences and interpretations of the sacrifice or artwork. Even if neither meaning nor non-meaning can be guaranteed, we kill and create as if the potential to generate new meanings still exists.

    Thus, at every rendering of sacrifice – the sacrifice before sacrifice that installs the individual within systems of power that establish who qualifies as a candidate to be sacrificed, the actual sacrifice where death occurs, and then the representation of the sacrifice – there is the potential for the scapegoat to exceed the ways he or she is represented, in spite of the social and ontological demotions ascribed to him or her. This potential has important implications for social justice movements around the world that strive to deliver certain rights and dignities to individuals marginalized by power.

    In the context of the Lapindo mudflow, where victims face the threat of social and ontological demotion through their subjection to the legal discourses and instruments that identify and classify the status of different forms of hardship, the instrumentalization of the goat in sacrifice prompts us – victims, officials, and researchers alike – to explore more deeply the processes through which we recognize and put to use individuals’ bodies, rights, and capacities to suffer. Crucially, the privileged “human” emerges through ritualized, instrumentalized, and destructive interactions with the goat: the goat who holds in place an array of subjects and relationships to generate and sustain an “imagined community” of humans. While this essay touches on some of the cultural, political, religious, and environmental factors that shape these understandings of human and nonhuman being in the context of social justice in the aftermath of the Lapindo mudflow, further research must be done to more accurately and exhaustively account for the social and ontological conditions through which power is expressed and naturalized in ecological communities through literal and symbolic violence.

    This work demands much of researchers, both in methods and training. Methodologically, it requires inquiry into causal relationships in complex social and natural systems to identify determining agents and to analyze relationships between actors, events, and systems that always threaten to give or take away the meaning of sacrifice. It follows that researchers adopting such an interdisciplinary, ecological approach require training, access to knowledge, and the capacity to synthesize diverse and often discordant information. Perhaps more daunting to researchers, however, is the realization that they, too, represent sacrifice through their work. They, too, appropriate, and submit to appropriation, the deaths of others. They, too, must come to realize in their own work the impossibility of pinning sacrifice to determinations or meaning, as well as the inability to guarantee or reveal this impossibility as necessary. It is a project that will miss its target, possibly but not necessarily because of researchers’ shortcomings, but also because sacrifice undermines researchers’ capacity to even question whether or not that target ever existed.

    Notes
    I would like to thank John Rieder, John Zuern, and the anonymous reviewers from Humanimalia for their comments on an earlier draft of this essay. The usual disclaimers apply.

    1. Although I am unable to verify the biological sex of the goat, based on personal experience – both witnessing goat sacrifices and conversing informally with participants – male goats are more frequently sacrificed in Indonesia than female goats. For the purposes of this essay, I find it more palatable to possibly mischaracterize the goat’s sex than to ascribe him with the objectifying pronoun “it.”

    2. The naming of the mudflow has been subject to contention, with many suspecting behind-the-scenes manipulation by media executives and politicians. Studies have shown that through the first three years of the mudflow, the national media most often referred to the disaster as the “Lapindo mudflow.” In the last two years, “Sidoarjo mudflow” has become more common (Ilmie).

    3. In her book, , Nicole Shukin employs the double meanings that the word “rendering” indicates:

    Rendering signifies both the mimetic act of making a copy, that is, reproducing or interpreting an object in linguistic, painterly, musical, filmic, or other media (new technologies of 3-D digital animation are, for instance, called “renderers”) and the industrial boiling down and recycling of animal remains…. The double entendre of rendering is deeply suggestive of the complicity of “the arts” and “industry” in the conditions of possibility of capitalism. (20, emphasis in original)

    We see a similar complicity between aesthetic and commodity functions in the rendering of the goat’s body and death through the image.

    4. For an extensive summary of the two competing positions regarding the disputed trigger of the mudflow, see both Davies et al. and Kadurin et al.

    5. Schiller et al.’s “Learning From the East Java Mudflow” provides an excellent account of events through the first two years; Bosman Batubara’s “Resistance Through Memory” presents a useful depiction of victims’ struggles; Anton Novenanto’s “The Lapindo Case” covers matters related to the national media, particularly questions about representation and the circulation of information and misinformation; most recently the non-profit, Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) has published a report on the social impact of the mudflow, including a detailed timeline.

    6. There are even reports of increased crime in the area and some victims entering into prostitution (Muradi; Zuber 90).

    7. Lapindo Brantas and the Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo – the BPLS) have provided other forms of assistance, including temporary food, water, health, rent, and work assistance; however, this assistance has come in neither the quantity or regularity to significantly improve victims conditions (HSF 66).

    8. Lapindo Brantas formed Minarak Lapindo Jaya to handle the “sale and purchase” process, while the government established the BPLS to oversee all geological, infrastructural, and social projects.

    9. My findings are based on compiled conversations and formal interviews with Porong-area residents between 2008-2011. The formal interviews occurred in 2010-2011, during a year of focused research on residents’ experiences and political practices in response to the mudflow with assistance from the Surabaya Institute of Technology (ITS) in East Java. These interviews focused on several dozen residents in the villages of Besuki, Mindi, Renokenongo, and Kedungbendo, areas most vulnerable to flooding due to levee failures.

    10. Incidentally, in personal interviews with victims of the mudflow, while some have expressed religious explanations for their hardship – e.g. a test or punishment – each has stated that the mudflow was caused by drilling.

    11. Again, in every conversation or interview, residents of the villages around the levees invariably mention drilling as the cause of the mudflow.

    12. Citing R. A. Drake’s analysis of the head-stealing rumors, Forth writes, “the notional head-stealing has been construed as a transformation of indigenous head-hunting and traditional construction sacrifice, attributed ironically to powerful outsiders who have denied these practices to indigenous peoples by outlawing local warfare” (6).

     

    Works Cited
                                                                                                                                  
    Adeney-Risakotta, Bernard. “Is There a Meaning in Natural Disasters? Constructions of Culture, Religion and Science.” Exchange 38 (2009): 226-43.

    Agamben, Giorgio. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Trans. Daniel Heller-Roazen. Stanford: Stanford UP, 1995.

    Althusser, Louis. “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards an
    Investigation).” Lenin and Philosophy, and Other Essays. Trans. Ben Brewster. London:
    New Left Books, 1971: 121-73.

    Anderson, Benedict.  Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
    Nationalism. New York: Verso, 1983.

    Bataille, Georges. The Accursed Share: An Essay on General Economy, Vol. 1. Trans. Robert Hurley. New York: Zone Books, 1988.

    _____. “Hegel, Death, and Sacrifice.” Yale French Studies 78 (1990): 9-28.

    Batubara, Bosman. “The Victims of the Lapindo Mudflow Disaster Continue to Assert Their Rights to Compensation.” Inside Indonesia 101 (July – Sep. 2010). Online. 26 Sep. 2010.

    Butler, Judith. Bodies that Matter.  New York: Routledge, 1993.

    Davies, Richard, Michael Manga, Mark Tingay,  Susila Lusianga, and Richard Swarbrick. “Discussion: Sawolo et al. (2009) the Lusi Mud Volcano Controversy: Was it caused by Drilling?” Marine and Petroleum Geology 27 (2010): 1651–7.

    Debord, Guy. Society of the Spectacle. Trans. K. Knabb. London: Rebel Press, 2000.

    Derrida, Jacques. Acts of Religion. Ed. Gil Anidjar. New York: Routledge, 2002.

    ‘Dewan, Angela. “Money Can’t Buy Him Love.” Asia Sentinel. 31 May 2011. Online. 31 May 2011.

    Forth, Gregory. “Heads Under Bridges or In Mud: Reflections on a Southeast Asian ‘Diving Rumor.’” Anthropology Today 25:6 (Nov. 2009): 3-6.

    Fitzpatrick, Peter. “Bare Sovereignty: Homo Sacer and the Insistence of Law.”Politics, Metaphysics, and Death: Essays on Giorgio Agamben’s Homo Sacer. Ed. Andrew Norris. Durham: Duke UP, 2005: 49-73.

    Foucault, Michel. Society Must be Defended: Lectures at the College de France 1975-76. Trans. David Macey. New York: Picador, 2003.

    Geertz, Clifford. “Religious Belief and Economic Behavior in a Central Javanese Town: Some Preliminary Considerations.” Economic Development and Cultural Change 4:2 (Jan. 1956): 134-58.

    _____. “Ritual and Social Change: A Javanese Example.” American Anthropologist59:1 (Feb. 1957): 32-54.

    Girard, Rene. Violence and the Sacred. Trans. Patrick Gregory. Baltimore: Johns Hopkins UP, 1972.

    Hadiz, Vedi R. “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo- Institutionalist Perspectives.” Development and Change 35:4 (2004): 697-718.

    Hamdi, Mujtaba, Wardah Hafidz and Gabriela Sauter. “Uplink Porong: Supporting Community-Driven Responses to the Mud Volcano Disaster in Sidoarjo, Indonesia.” Gatekeeper: The Role of Local Organizations in Sustainable Development 137:J (Aug. 2009): 1-16.

    Hardt, Michael and Antonio Negri. Empire. Cambridge: Harvard UP, 2000.

    Hefner, Robert W. “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.”Journal of Asian Studies 46:3 (Aug. 1987): 533-54.

    Heryanto, Ariel and Vedi R. Hadiz. “Post-Authoritarian Indonesia: A Comparative Southeast Asian Perspective.” Critical Asian Studies 37:2 (2005): 251-75.

    Horkheimer, Max and Theodor Adorno. Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments. Ed. Gunselin Schmid Noerr. Trans. Edmund Jephcott. Stanford: Stanford UP, 1987.

    HSF (Humanitus Sidoarjo Fund). “Social Impact Report: Report Into the Past, Present and Future Social Impacts of Lumpur Sidoarjo.” Humanitus Foundation, March 2011.

    Ilmie, M. Irfan. “Lumpur Lapindo ataukah Lumpur Sidoarjo?” Antara News. 30 May 2010. Online. 4 June 2010.

    Islam, Iyanatul. “Poverty, Employment and Wages: An Indonesian Perspective.”International Labor Organization – JMHLW – Government of Indonesia Seminar on Strengthening Employment and Labour Market Policies for Poverty Alleviation and Economic Recovery in East and Southeast Asia. Jakarta 29 April – 1 May 2002.

    Istadi, Bambang P., Gatot H. Pramono, Prihadi Sumintadireja, and Syamsu Alam. “Modeling Study of Growth and Potential Geohazard for LUSI Mud Volcano: East Java, Indonesia.” Marine and Petroleum Geology 26 (2009): 1724-39.

    Jenkins, Henry. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press, 2006.

    Kadurin, Sergey, Igor A. Losev, Lubov Y. Eremina, Maxim Belmesov, and Igor K. Nikolaevich. LUSI Research Report. Report for the Russian Institute of Geological Studies, the Institute of Electro Physics, and OOO RINeftGaz, 2010.

    Keenan, Dennis King. The Question of Sacrifice. Bloomington, IN: Indiana UP, 2005.

    Liang Jamison. “Homophobia on the Rise.” Inside Indonesia 100 (April-June 2010). Web. 2 Aug 2010.

    Luvaas, Brent. “Dislocating Sounds: The Deterritorialization of Indie Pop.” Cultural Anthropology 24:2 (2009): 246-79.

    Mayer, Anna-K. “Reluctant Technocrats: Science Promotion in the Neglect-of-Science Debate of 1916-1918.” History of Science 43 (2005): 139–59.

    Mazzini, A. Nermoen, A. Krotkiewski, M. Podladchikov, Y. Planke, and S. Svensen, H. “Strike-slip Faulting as a Trigger Mechanism for Overpressure Release Through Piercement Structures. Implications for the Lusi Mud Volcano, Indonesia.” Marine and Petroleum Geology 26 (2009): 1751-65.

    Morton, Timothy. Ecology Without Nature: Rethinking Environmental Aesthetics. Cambridge, MA: Harvard UP, 2007.

    Muradi “Human Security Perspective in Social Effect Management of Mud Volcano Disaster in Sidoarjo.” Presentation at Open Forum: The East Java Mudflow: Learning From an Un-natural Disaster (Flinders, Australia: Flinders Asia Center & Flinders Institute Asia Pacific, 2007).

    Mydans, Seth. “Spirits Are Angry. Bad Time to Bomb Their Volcano.” New York Times. 28 March 2007. Online. 13 Sep. 2007.

    “Mystics Can’t Stop Mud.” New Zealand News. 16 Oct. 2006. Web. 24 Apr. 2008.

    Norris, Andrew. “Introduction: Giorgio Agamben and the Politics of the Living Dead.” Politics, Metaphysics, and Death: Essays on Giorgio Agamben’s Homo Sacer. Ed. Andrew Norris. Durham: Duke UP, 2005: 1-30.

    Novenanto, Anton. “‘The Lapindo Case’ by the Mainstream Media.” Indonesian Journal of Social Sciences 1:3 (2009): 125-38.

    Oksala, Johanna. “Violence and the Biopolitics of Modernity.” Foucault Studies 10 (November 2010): 23-43.

    Orolo, Dedi. “Status Tak Jelas.” Warta Jenggala Online. 14 Oct. 2010. Web. 14 Oct. 2010.

    Rumiati, Agnes Tuti and Desi Cahyaningtyas. “Analisis Kondisi Dampak Sosial Akibat Luapan Lumpur Sidoarjo.” Seminar Nasional 4 Tahun Lumpur Sidoarjo: Pengelolaan Lumpur Sidoarjo dalam Perspektif Teknik dan Ilmu Kebumian. Surabaya, Indonesia: 30 Nov. 2010.

    Schiller, Jim, Anton Lucas, and Priyambudi Sulistiyanto.  “Learning From the East Java Mudflow: Disaster Politics in Indonesia.” Indonesia 85 (Apr. 2008): 51-77.

    Shukin, Nicole. Animal Capital: Rendering Life in Biopolitical Times. Minneapolis: University of Minnesota Press, 2009.

    Singer, Peter. “All Animals Are Equal.” Animal Rights and Human Obligations. Eds. Tom Regan and Peter Singer. Upper Saddle River: Prentice-Hall, 1989: 148-162.

    Soedjono, Eddy. “Penyediaan Air Minum di Sekitar Kawasan Bencana Lumpur Sidoarjo.” Seminar Nasional 4 Tahun Lumpur Sidoarjo: Pengelolaan Lumpur Sidoarjo dalam Perspektif Teknik dan Ilmu Kebumian. Surabaya, Indonesia: 30 Nov. 2010.

    Suparno. “Tanggul Lumpur Lapindo Jebol, Satu Eksavator Tenggelam.” Detik Surabaya. 28 April 2011. Web. 28 April 2011.

    Utomo, Paring Waluyo. “Menggapai Mimpi yang Terus Tertunda: Menelusuri Proses ‘Ganti Rugi’ Terhadap Korban Lumpur Lapindo.” Disastrum 1:1 (2009), 27-45.

    Wiguna, P. A., Wahudi, C. and Widodo, A. Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo. Surabaya, Indonesia: PSKB, LPPM, ITS, 2009.

    Wolfe, Cary. Animal Rites: American Culture, the Discourse of Species, and Posthumanist Theory. Chicago: U of Chicago P, 2003.

    Zuber, H.M. Maksum. Titanic Made by Lapindo. Trans. B. Batubara and S. Masykur. Yogyakarta, Indonesia: Lafadl Pustaka, 2009.

    © http://www.depauw.edu/humanimalia/issue%2007/drake.html

  • Mengapa Kita Tidak Ikut Jalan kaki Porong-Jakarta?

    Refleksi Kecil 6 Tahun Perlawanan Korban Lumpur Lapindo

    Oleh: Rere Christanto

    25 Juli 2012 menjadi hari yang penuh kejutan bagi sebagian besar korban lumpur Lapindo. Pada sebuah siaran langsung yang dipancarkan dari media televisi milik keluarga Bakrie, mereka menghadirkan seorang korban lumpur lapindo yang sejak lebih dari sebulan sebelumnya telah menghiasi layar pemberitaan media dengan aksi jalan kakinya dari Sidoarjo menuju Jakarta. Tapi alih-alih mengungkapkan bagaimana susahnya dia selama lebih dari 6 tahun kehidupannya dihancurkan oleh lumpur panas sebagaimana diumbarnya ketika pertama kali meniatkan langkahnya berjalan menuju ibu kota, Hari Suwandi sang korban lumpur menangis sesenggukan dan meminta maaf kepada keluarga Bakrie atas ulahnya menista nama baik mereka, tidak kurang lagi ia menyatakan keyakinannya bahwa keluarga Bakrie akan sanggup menyelesaikan penggantian kerugian yang sampai sekarang masih menjadi tanggungan yang belum juga terselesaikan.

    Kejutan adalah sesuatu yang jamak terjadi pada kasus semburan lumpur Lapindo. Ketika pertama kali muncul pada akhir Mei 2006 kita terkejut bagaimana kegiatan pengeboran yang belum menyelesaikan analisa dampak lingkungannya dibiarkan ada di tengah lingkungan padat penghuni dan memunculkan bencana semasif itu. Ketika kemudian Presiden mengeluarkan peraturan bernomor 14 pada tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo kita terbengong-bengong menyaksikan mengapa pemerintah tidak mengambil tindakan hukum dan malah memberikan Lapindo sebagai pihak yang paling bisa ditunjuk sebagai biang keladi masalah sebuah keleluasaan mengambil tanah warga dengan mekanisme yang sangat longgar untuk korporasi tersebut. Ketika bencana industrial ini telah berjalan lebih dari 6 tahun, kita lagi-lagi masih memutar dahi melihat bagaimana sekelompok warga negara dibiarkan begitu saja meregang nyawa ditengah lingkungan dan kondisi yang hancur dan tidak ada inisiatif sama sekali dari Negara untuk menyelamatkan mereka. Lalu kemudian seorang yang ketika pertama kali muncul menyatakan kegeramannya kepada seorang politisi cum pengusaha yang selama ini telah menghancurkan hidupnya tiba-tiba diwawancarai dan menangis meminta maaf. Mungkin ada baiknya kita semua berhenti terkejut dan mulai melihat apa yang terjadi dalam perjalanan kasus ini.

    Ilusi Negara, Mengapa Pemerintah Tidak Dipihak Kita?

    Untuk memulainya, mungkin kita mesti memeriksa lagi bagaimana kita memposisikan diri pada carut marut perjuangan korban lapindo. Hal pertama yang paling tampak pada aksi-aksi kita (korban lumpur lapindo) adalah ketergantungan kita pada harapan akan keberpihakan negara bersama elit penguasa dan para politisi di belakangnya. Ketika pertama kali korban Lapindo turun jalan dan menutup akses jalan raya Porong serta menyerbu langsung kantor korporasi sebagaimana awal-awal perjuangan ini bermula, sebenarnya kita telah menyasar musuh yang sesungguhnya. Sebuah aksi langsung ditujukan kepada pihak yang memang harusnya bertanggung jawab atas segala kehancuran atas hidup kita. Justru ketakutan Bakrie terhadap eskalasi aksi langsung korban lapindo ini yang memaksa pemerintah turun tangan menerbitkan aturan yang pada dasarnya dibuat untuk melindungi kepentingan lapindo.

    Simak saja dari awal ketika lumpur muncrat. Semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 pertama kali diketahui muncul di areal persawahan Desa Renokenongo, sekitar 100 meter dari tempat pengeboran PT Lapindo Brantas. Lumpur kemudian meluas dan tidak bisa dikendalikan sehingga menenggelamkan ribuan rumah di sekitarnya. Hingga April 2007, dibutuhkan nyaris satu tahun setelah semburan itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007). Perpres ini memerintahkan Lapindo membeli (dan artinya masyarakat harus mau menjual) tanah dan bangunan yang telah tenggelam dan hanya dibatasi kepada daerah yang dinyatakan masuk peta area terdampak. Artinya, Lapindo tidak perlu memikirkan lagi bahwa lumpur masih akan meluas, dan akan menenggelamkan desa-desa yang lainnya, karena mereka hanya diberi tanggungjawab untuk membeli tanah dan bangunan di 4 desa di dalam peta area terdampak.

    Beberapa bulan kemudian, kebutuhan untuk memperluas tanggul semakin mendesak, karena semburan belum berhenti mengeluarkan lumpur panas. Maka, Pemerintah kembali menerbitkan Perpres 48/2008, yang menambahkan 3 desa baru untuk masuk peta area terdampak. Kali ini, bukan Lapindo yang akan mengeluarkan dana untuk pebayaran tanah dan bangunan, namun seluruh masyarakat Indonesia akan dipaksa membayar kebutuhan perluasan tanggul dengan menenggelamkan 3 desa, yakni melalui dana APBN. Ini kemudian diikuti oleh sejumlah Perpres yang muncul sesudahnya untuk menambah jumlah wilayah yang akan dibeli pemerintah melalui dana APBN. Dengan analisa telanjang, kita bisa mengambil kesimpulan, Perpres tidak dibuat untuk menyelamatkan masyarakat tapi lebih untuk mengamankan Lapindo dari kehancuran yang lebih dalam.

    Sejak saat Perpres ini dimunculkan, sejak itulah serangan kepada Lapindo dialihkan menjadi harapan agar pemerintah bertindak menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo. Ilusi yang menyertai harapan akan berpihaknya penguasa kepada warganya alih-alih kepada korporasi segera muncul dengan desakan agar seluruh lembaga negara turun menyelesaikan kasus ini. Maka kemudian aksi-aksi korban lapindo berpindah arah mendatangi Presiden, menteri, anggota Parlemen, Lembaga yudisial dan komisi Negara untuk memaksa Lapindo menuntaskan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden yang telah dibuat.

    Di titik inilah kita mesti membaca ulang pilihan untuk meminta negara bertindak bagi kita. Ini bukan berarti bahwa aksi-aksi tersebut kemudian menjadi tidak bermakna, juga bukan dimaksudkan agar korban lapindo berhenti memaksa pemerintah turut bertanggungjawab atas kehancuran yang terjadi akibat kesalahan korporasi tersebut. Namun kita mesti melampaui buaian indah bahwa pemerintah dibuat untuk melindungi kepentingan rakyatnya.

    Negara, pemerintah serta semua lembaga dan birokrasi yang dimilikinya harus dilacak sebagai bagian dari permasalahan itu sendiri. Pemerintah dibakukan ada untuk menjamin bahwa kekuasaan hanya bisa diakses oleh sekelompok orang saja, yang tanpanya kemudian kita merasa tidak berdaya menghadapi permasalahan sosial. Seolah-olah tanpa Presiden kita tidak bisa memaksa Bakrie untuk bertanggungjawab terhadap kehancuran yang diakibatkannya. Ini bukan soal apakah Presiden kita tegas atau tidak. Karena pada dirinya, tidak ada penguasa yang akan bertindak tanpa memikirkan akan keberlangsungan kuasanya sendiri. Bagi para elit politik pilihan untuk terlibat bagi kebutuhan publik adalah bagian dari tarik-menarik kuasa. Selama korban lapindo tidak dianggap begitu dibutuhkan untuk masa depan kekuasaan, selama itu juga tidak akan ada harapan bahwa pejabat publik mau campur tangan pada urusan ini.

    Dengan memeriksa ulang posisi negara, kita bisa menerima penjelasan mengapa Presiden seolah mati kutu dihadapan Aburizal Bakrie, mengapa para politisi hanya muncul mempermasalahkan kasus lumpur Lapindo cuma di momen-momen mendekati pemilihan umum, mengapa hukum tidak bekerja menghadapi pelanggaran industrial yang terang benderang seperti ini, mengapa Komnas HAM tidak jua berani menyatakan adanya pelanggaran HAM berat pada kasus ini. Korban lapindo selamanya akan terkerdilkan sejak kita bukan lagi terror bagi kelanggengan kekuasaan tersentral Negara.

    Dari Individu ke Keterwakilan

    Efek samping dari munculnya Perpres 14/2007 kemudian bukan hanya soal distorsi posisi perlawanan dan pemiskinan imajinasi aksi, namun juga mereduksi tuntutan akan hilangnya kehidupan yang sudah dilibas lumpur panas.

    Sejak Perpres menyebutkan bahwa penanggulangan masalah sosial korban lumpur Lapindo adalah soal pembayaran lahan yang tenggelam atau akan ditenggelamkan oleh lumpur panas, disaat itulah batas pertarungan kita telah diwp-content menjadi melulu urusan berapa uang yang kita terima dari penjualan tanah kita yang memang telah tidak mungkin lagi ditinggali baik oleh Lapindo maupun oleh Negara. Sekali lagi kita mesti melihat bahwa refleksi ini tidak untuk mengecilkan arti aksi-aksi tuntutan pembayaran tanah dan bangunan yang telah diusung selama ini. Bahwa kehilangan tanah, sawah, rumah dan tempat hidup kita adalah sesuatu yang wajib diganti oleh Lapindo Brantas inc sebagagai pihak yang menyebabkan semua ini adalah sebuah keniscayaan. Namun pada saat bersamaan kita harus meloncati jeratan Perpres dan bergerak memaksa Lapindo juga mempertanggungjawabkan kehilangan kehidupan kita yang lebih luas.

    Tragedi ini bukan hanya kisah pilu hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur. Ini juga kisah hancurnya masa depan beratus ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, atau bahkan lebih luas dari sekedar 3 kecamatan ini. Mari kita runut kehancuran yang tidak bisa dilihat oleh Presiden, kehancuran yang melebihi Perpres.

    Di sektor ekonomi dan tenaga kerja sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166 ribu orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak. Menurut data Greenomic perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun, sedang menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

    Bagi korban Lapindo, selain kehilangan rumah dan tanah, mereka juga terancam kesehatannya karena lingkungan yang tidak sehat. Penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh hidrokarbon mencapai tingkat 8 ribu – 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.

    Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Dalam catatan Puskesmas Jabon pasca semburan lumpur juga tercatat dua kasus gangguan jiwa serius.

    Di sektor pendidikan, tercatat 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Potensi kerusakan sosial yang diakibatkan oleh semburan lumpur panas juga telah begitu kuat. Masyarakat yang dulunya terkumpul di desanya, harus terpencar ke berbagai wilayah. Solidaritas sosial yang dulu terbangun semakin memudar. Kasus yang sering terjadi adalah perebutan status lahan atau tanah. Posisi masyarakat yang dibuat Lapindo sebagai mitra jual-beli tanah membuat banyak keluarga yang harus berkonflik karena pembagian uang hasil pembayaran tanah dan rumah. Selain itu keselamatan warga yang tidak terjamin dengan berdirinya tanggul-tanggul penahan lumpur menjadikan warga antar desa sering berkonflik untuk saling menyelamatkan desanya. Setiap warga ingin desanya selamat tetapi tidak ada jaminan baik dari pemerintah ataupun Lapindo tentang hal itu sehingga mereka memilih jalan sendiri dengan misalnya mengalirkan lumpur menjauhi desanya yang dampaknya mengalir ke desa lain yang juga tidak mau tenggelam.

    Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga hilangnya keterikatan warga dengan sejarah leluhurnya di desa. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang secara keterikatan jelas tidak akan sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Berapa kita menilai kerugian sosial budaya begini dalam satuan mata uang mana pun?

    Dari sekian catatan diatas, kita bisa dengan jelas melihat bahwa selain membatasi kita dengan ilusi pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan saja, Perpres juga telah mencerabut potensi perlawanan masing-masing individu dan mengalihkannya hanya menjadi angka-angka semata dalam berkas-berkas bukti kepemilikan lahan.

    Kehancuran yang kita rasakan adalah kehancuran hidup sebagai masing-masing individu. Pekerjaan kita yang hilang, kesehatan kita yang terdegradasi, pendidikan kita yang berantakan adalah persoalan-persoalan yang kita hadapi sebagai individu. Namun Perpres menisbikan hal tersebut dan hanya mengakui korban sebagaimana dia ditulis dalam tumpukan berkas-berkas yang ditumpuk untuk menunggu cicilan pembayaran. Karena itulah mudah bagi pemerintah dan korporasi untuk berdalih bahwa mereka sudah hampir menyelesaikan kasus ini berdasarkan berapa angka berkas lahan yang telah dicicil. Dan bagi kitapun ilusi ini berlanjut dengan melupakan setiap komponen hidup yang telah dihilangkan dari masing-masing kita.

    Dari masing-masing individu yang punya hasrat menyampaikan kemarahan karena hancurnya hidupnya akibat ulah korporasi, kita dikecilkan menjadi hanya kumpulan KK (Kepala Keluarga) yang menuntut pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan, lalu kita dikecilkan lagi menjadi sekian berkas yang menunggu untuk dibayar. Dari sini setiap potensi konflik yang bisa dimunculkan kita sebagai individu dengan kemerdekaan yang telah diganggu bisa dikanalkan melalui perwakilan-perwakilan keluarga, lalu menjadi perwakilan kelompok desa dan berakhir dengan munculnya elit-elit baru yang tidak kalah birokratisnya dibanding negara dan korporasi yang harusnya kita serang dalam kasus ini.

    Disetiap desa dan kelompok perlawanan korban lumpur lapindo kemudian elit-elit baru ini mengambil peranan mediasi dengan kekuasaan dan seringkali akan berakhir dengan semakin melemahnya tuntutan demi tuntutan yang diperjuangkannya. Wakil-wakil kelompok kemudian bertransformasi menjadi pengambil keputusan hidup setiap individu yang tergabung dalam kongsinya. Kita yang sudah tidak mampu lagi menemukan kekuasaan menentukan pilihan tuntutan pengembalian hidup karena Negara sudah menutup akses kita membuat tuntutan yang lain diluar yang sudah digariskan melalui Perpres kemudian juga ditundukkan oleh perwakilan-perwakilan kita yang punya hak melakukan negosiasi atas nama kita. Bukan lagi setiap individu merasakan hasrat memenangkan kembali kehidupannya yang telah direnggut, sekarang kita menunggu hasil-hasil yang dibawa oleh negosiasi wakil-wakil kita dengan pemerintah dan lapindo yang hanya berakhir semakin menyedihkan.

    Media Massa dan Kita adalah Penonton

    Munculnya elit-elit warga ini pada gilirannya juga semakin menjauhkan pola aksi-aksi langsung warga menjadi mediasi baik melalui negosiasi tertutup mereka dengan negara dan korporasi maupun melalui aksi rebut simpati di media. Untuk kasus kegagapan menilai media ini, ada baiknya kita berkaca kembali melalui kasus Hari Suwandi diatas.

    Beberapa dari kita masih ingat bagaimana ketika memulai aksinya pertama kali di pinggiran tanggul penahan lumpur panas, Hari Suwandi dilepas dengan berderai air mata dan harapan akan terbukanya mata pemerintah maupun lapindo untuk segera menuntaskan kasus ini (baca: membayar sisa ganti rugi). Dengan sorotan media yang tiap hari mengulas perjalanan Hari Suwandi “berjihad” ke ibu kota, tak pelak isu soal kasus lapindo terlihat kembali ke permukaan.

    Namun disinilah pangkal permasalahannya. Ilusi lain tentang bahwa media massa adalah alat perlawanan yang bisa dipakai untuk memperjuangkan tuntutan bukan saja sekedar lomba kegenitan belaka untuk muncul secara nasional dan ajang verifikasi ketokohan seseorang, namun juga semakin menjauhkan kita dalam partisipasi aktif perlawanan. Arus komunikasi dan informasi tentu saja adalah hal penting untuk membangun basis solidaritas perlawanan kita dengan mereka yang merasa punya kemarahan yang sama di tempat-tempat lain. Tapi media massa mainstream adalah makhluk berbeda. Kebutuhan media massa adalah menarik sebanyak-banyak penonton terpaku didepan layar kaca, karenanya faktor penampilan menjadi faktor penting bagi media massa. Ketika logika penampilan adalah apa yang utama dalam media massa, maka apa yang akan ditampilkan akan disaring hanya berdasarkan apa yang akan memberi mereka keuntungan lebih besar. Isu-isu menarik akan dicari dan dikemas untuk menjaring penonton. Pada gilirannya, kita tetap akan dipaksa menjadi penonton saja, didudukkan untuk melihat tokoh-tokoh dan wakil-wakil kita yang dalam logika tampilan media massa dianggap menarik untuk mengambil peran dan berbicara serta bertindak mewakili kita.

    Sama halnya dengan mediasi melalui negosiasi wakil-wakil kelompok, mediasi melalui media populis semacam televisi adalah bagian dari usaha menjauhkan kita dari kemampuan kita mengambil keputusan sendiri atas hidup kita. Ketika Hari Suwandi berjalan dari Porong menuju Jakarta, kita melihatnya disirakan media dan kita menaruh perlawanan kita ditangannya. Maka ketika kemudian Hari Suwandi menangis dan meminta maaf kepada keluarga bakrie kita terkejut dan merasa dikhianati karena bukan itu yang kita inginkan. Tapi mengapa? Mengapa kita menaruh kemarahan individu kita hanya pada citra Hari Suwandi di layar kaca? Kalau dari awal kita bukan hanya sekedar penonton untuk perlawanan ini, kalau sedari semula setiap kita adalah individu yang punya hak menentukan tuntutan apa yang harus kita ajukan untuk mengembalikan hidup kita yang dirampas oleh lumpur panas, kita tidak harus merasa dikhianati oleh Hari Suwandi. Karena dia bukan masing-masing dari kita, dia bukan manifestasi pilihan kita, dia bukan citra yang kita taruh untuk mewakili masing-masing kita sebagai individu korban Lapindo.

    Mencari Lapangan Bermain yang Lain: Bukan Sebuah Proposal

    Setelah 6 tahun lebih skandal lumpur Lapindo berjalan, rasa lelah dan frustrasi akan semakin sering menghinggapi kita. Refleksi singkat ini hanya catatan individu yang juga seringkali merasa lelah dengan segala kekalahan bertubi-tubi menghadapi gabungan Negara dan korporasi terutama dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Refleksi ini juga tidak bertendensi mengajukan proposal apapun akan pilihan apa yang terbaik untuk penyelesaian kasus ini. Namun dengan semakin panjangnya waktu berjalan mau tidak mau kita mesti melihat lagi bagaimana relasi perlawanan kita dan bagaimana kita memposisikan diri.

    Perhatian utama dari refleksi ini adalah ketidakrelevanan lagi lapangan bermain kita melawan Negara dan korporasi. Memakai institusi Negara yang nyata-nyata bagian dari akar permasalahan dalam usaha memaksakan tuntutan kita kepada lapindo jelas tidak akan membawa kita kemana-mana. Berharap aturan hukum dan perundang-undangan serta turunannya semacam Peraturan Presiden akan memberi angin perubahan hanya akan menambah luka. Hukum dan aturan tertulis produksi pemerintah adalah media perlawanan yang tidak akan bisa kita menangkan. Institusi Negara tidak dinubuatkan untuk melindungi dan mendukung perlawanan warga. Usaha untuk memperbaiki dan atau menegakkan kemurnian aturan yang dibuat oleh mereka jelas bisa kita anggap kesia-siaan. Sejak aturan itu ditujukan memang untuk mengamputasi gerak perlawanan kita sendiri.

    Pun demikian dengan hilangnya perlawanan masing-masing individu yang terorganisir tergantikan oleh perwakilan-perwakilan yang kenyataannya tidak berjuang untuk pilihan kita. Kita mesti melacak ulang apa saja yang telah dihilangkan dari kita untuk kemudian berusaha mewujudkannya kembali. Yang direnggut dari kita bukan sekedar tanah atau rumah kita, namun seluruh hidup kitalah yang telah ditenggelamkan oleh lumpur panas. Ketika wakil-wakil kita terus menerus menurunkan level tuntutan yang menyisakan kita hanya jadi semacam peminta-minta yang berharap kebaikan hati penguasa dan pengusaha untuk membayar sesuatu yang semestinya memang milik kita, jelas itu pertanda riil bahwa kita telah jauh dari kemerdekaan menentukan yang kita inginkan kembali pada hidup kita.

    Lalu mediasi populis melalui media massa mainstream terbukti juga tidak memberi dampak apa-apa kepada kita kecuali bahwa kita dipertontonkan guyonan yang lebih garing dari Opera van Java. Menjauhkan kita dari tindakan langsung yang mungkin bisa kita ambil karena kita sudah muak dengan ketidakberpihakan negara dan kebebalan korporasi.

    Adalah lebih memungkinkan ketimbang terus menerus melawan kejahatan korporasi di lapangan bermain yang tidak memungkinkan kita merebut kemenangan, kita bisa membuat pola aksi lain yang tidak lagi mengimajinasikan konsep lama yang nyatanya tidak membebaskan kita sama sekali. Sebagaimana sebuah pertandingan sepakbola, memakai Negara, konsep keterwakilan dan media massa mainstream untuk melakukan perlawanan serupa dengan bertanding tandang ke sebuah stadion yang dipenuhi supporter tuan rumah dengan pengadil lapangan yang dibayar khusus untuk memenangkan tim tuan rumah. Kita akan cuma jadi tim yang selalu kalah di tempat seperti itu.

    Lupakan imajinasi lama, yang tidak lagi punya daya gerak, untuk melanjutkan lagi pertarungan melawan keserakahan korporasi yang dilindungi Negara kita perlu keluar dari jebakan-jebakan yang selama 6 tahun lebih ini mengurung ide-ide perlawanan kita menjadi lebih maju. Kita perlu mengkaji lagi aksi-aksi langsung yang memang menyerang jantung korporasi, sekali lagi menjadi terror untuk keberlangsungan tatanan yang menyebabkan kita tertindas, diluar semua mediasi yang diwakilkan ke pihak lain di luar diri kita sendiri. Setelah 6 tahun lebih perlawanan korban lapindo berjalan, daripada selalu terkejut mengapa kita selalu dikalahkan, bukankah tidak terlalu muluk-muluk jika kita mencari tahu apakah kita masih punya kemungkinan untuk menang. Setidaknya itu tidak lebih buruk ketimbang menangis di sebuah siaran langsung setelah berjalan kaki dari Porong ke Jakarta kan?

    Sumber: http://selamatkanbumi.com/ID/refleksi-perlawanan-porong/

  • Lapindo Tenggelamkan Komnas HAM?

    Lapindo Tenggelamkan Komnas HAM?

    Subagyo – Pada 8 Agustus 2012 rapat paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memutuskan tidak memiliki cukup bukti permulaan adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus lumpur Lapindo.

    Pendapat tersebut berbeda dengan kesimpulan tim penyelidik ad hoc bentukan Komnas HAM yang menyimpulkan terdapat cukup bukti adanya pelanggaran HAM yang berat, berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

    Pendapat Komnas HAM tersebut menimbulkan dua pertanyaan. Apakah itu hanya persoalan paradigma dalam implementasi hukum HAM, ataukah ada intervensi ekstra lembaga yang membuahkan kesimpulan seperti itu? (more…)

  • Korban Lumpur Lapindo Jadi Miliarder?

    Korban Lumpur Lapindo Jadi Miliarder?

    Firdaus Cahyadi – Entah apa yang dirasakan oleh korban lumpur Lapindo bila membaca pernyataan Ical—panggilan akrab Aburizal Bakrie—di portal berita Detik.com (25 Januari). Ical mengatakan bahwa warga yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo telah mendapat uang pengganti dan bantuan dalam nilai di atas rata-rata. Judul berita di portal itu pun berbunyi, Ical: Korban Lumpur Lapindo Jadi Miliarder.

    Menurut Ical, dari 12 ribu kepala keluarga korban semburan lumpur, sebanyak 11.920 di antaranya sudah selesai. Sedangkan untuk 80 orang sisanya belum dibayarkan karena tidak setuju dengan program tersebut. Benarkah demikian? Fakta di lapangan ternyata berbicara lain. Menurut pendamping korban lumpur Paring Waluyo, dari 13.200 warga yang rumahnya tenggelam, baru 55 persen yang telah dibayar lunas. Sedangkan yang 45 persen dan sebagian warga desa lainnya belum dibayar lunas. (more…)

  • Hari HAM dan Korban Lumpur Lapindo

    Hari HAM dan Korban Lumpur Lapindo

    Jakarta – Hasil penyidikan Komnas HAM dalam kasus Lapindo masih misteri. Sebegitu sulitkah menemukan adanya pelanggaran HAM dalam kasus lumpur Lapindo?

    ***

    Tanggal 10 Desember adalah hari yang bersejarah bagi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia. Tanggal 10 Desember 1948, Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berhasil mengikrarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia Dunia (UN Universal Declaration of Human Rights), dan sejak itu pula, setiap tahunnya tanggal 10 Desember dijadikan sebagai peringatan hari HAM sedunia. (more…)