Blog
-
Jejak Lumpur Lapindo yang Tetap Berbekas di Pemerintah Baru SBY
“Ternyata (responden) tidak yakin, simpangan besar sekali untuk kasus Lapindo,” kata Fajar Nursahid, Kepala Divisi Penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dalam penyampaian hasil survei Pesan Publik untuk SBY-Boediono di kantornya, Jakarta, Selasa (20/10). Berdasarkan survei yang dirilis LP3ES, tampak sebanyak 52 persen responden tidak yakin KLL akan selesai dalam 5 tahun pemerintahan SBY ke depan.Sedangkan 38 persen merasa yakin dan hanya 10 persen responden yang tidak menentukan sikap. Ketidakyakinan itu, menurut Fajar, juga dilihat dari pandangan masyarakat para pemilih 3 pasangan kadidat presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2009 lalu.Masih dari hasil survei, 47 persen para pemilih SBY-Boediono menyatakan ketidakyakinannya bahwa pilihan mereka akan dapat menyelesaikan KLL. Sedangkan 43 persen responden merasa yakin dan 10 persen tidak tahu.Bagaimana dengan para pemilih Mega-Prabowo dan JK-Wiranto? Ternyata besaran simpangannya sangat besar. Sebanyak 67 persen para pemilih Mega-Prabowo tidak yakin SBY dapat menyelesaikan KLL, dan hanya 29 persen yang yakin.Lebih heboh lagi, para pemilih JK-Wiranto yang sebanyak 76 persen mengambil sikap tidak yakin dan hanya 19 persen yang yakin bahwa SBY akan menyelesaikan KLL. Lebih lanjut, LP3ES sendiri merasa prihatin dengan persoalan ini karena sudah lebih dari 3 tahun KLL tidak kunjung selesai.“Fakta menunjukkan bahwa pemerintah tidak pro-aktif untuk menyelesaikan soal ini. Menganggap masalah Lapindo tidak penting,” ungkap Suhardi Suryadi, Direktur LP3ES, dalam kesempatan yang sama. Survei ini merupakan hasil wawancara melalui telepon pada 14 dan 15 Oktober 2009.Jumlah sampel 1.990 orang yang ditentukan secara sistematis berdasarkan buku telepon residential yang diterbitkan PT Telkom yang mewakili masyarakat pengguna telepon di 33 ibu kota provinsi. Sebesar 50:50 perempuan dan laki-laki yang mayoritasnya berusia 36-50 tahun dengan tingkat pendidikan akhir perguruan tinggi dan SMA. Margin of error lebih kurang 2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.“Soal biaya (dari kami) sendiri,” demikian Suhardi Suryadi, Direktur LP3ES. -
Festival Budaya Anak Pinggiran Jawa Timur (FBAPJT)
Menurut Rere (27), sekretaris panitia, sebenarnya, festival ini dilaksanakan pada tanggal 23-25 oktober kemarin. Tapi, karena beberapa sumber daya yang harus dialokasikan pada korban gempa di Sumatra rencana ini harus diundur. Lokasi acara ini pun juga harus dipindah, semula kegiatan direncanakan di Lapangan Desa Besuki, tapi karena pada bulan Desember diperkirakan akan turun hujan, maka lokasinya dipindah di Pasar Baru Porong.
Hingga kini, panitia telah mempersiapkan komunitas-komunitas anak yang akan tampil dalam acara tersebut. Contohnya Komunitas Al-Faz di desa Besuki tengah berlatih kesenian jaranan dan musik tradisional, juga komunitas An Nuqoyah di Sumenep tengah mempersiapkan teater anak.
Selain seni, dalam festival ini diselenggarakan workshop, seperti seni rupa, menulis opini dan membuat balon kertas. festival juga diisi dengan diskusi publik serta karnaval budaya yang akan dilaksananakan di akhir acara.
Festival ini diikuti oleh pendamping dan Pemerhati anak se Jawa Timur yang terdiri dari 40 komunitas dan 400-500 anak.

Semburan Lumpur Lapindo Bertambah
Gempa Tasik Bukti Lumpur Lapindo Bukan Bencana Alam
Demikian analisis dari pengamat Migas Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini di Jakarta, Kamis (10/9/2009).
Rudi menjelaskan, setelah gempa Tasikmalaya berkekuatan 7,3 SR dan gempa Yogya 6,8 SR ternyata tidak ada mud vulcano. Juga tidak ada sumur migas yang blow out. “Padahal gempa Yogya tahun 2006 hanya 6,3 SR. Jadi apakah DPR masih bersikukuh gempa adalah penyebab semburan lumpur di Lapindo,” tanyanya.
Dia berharap agar bukti autentik ini tidak dikesampingkan. Sehingga memaksa Tuhan mengirim gempa yang lebih besar sebagai bukti bahwa penyebab semburan Lapindo bukan karena lindu. (ful)
Warga Besuki Timur Minta Sidoarjo Tidak Diskriminatif Tangani Korban Lumpur
“Kami juga harus diperhatikan,” kata Adib Rosyadi, Koordinator Aksi, Selasa (13/10).
Warga Besuki Timur, berada di sebelah timur tol Porong lama. Mereka merupakan bagian dari warga Desa Besuki. Akan tetapi, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 tahun 2008, tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), hanya warga Besuki Barat yang dimasukkan dalam wilayah peta terkena dampak. Hal itu rupanya memantik ketidakpuasan warga Besuki Timur.
Warga Besuki Timur, merasa didiskriminasikan oleh pemerintah. Mereka beralasan, beberapa wilayah di Besuki Timur juga menjadi korban luapan lumpur Lapindo, tapi kenapa hanya Besuki Barat yang dimasukkan peta terkena dampak. “Di wilayah kami ada lahan milik warga seluas tiga hektar yang tidak bisa ditanami, tapi belum diganti,” terang dia.
Jika memang tidak masuk peta, kata Adib, warga tidak protes. Tapi, lanjutnya, untuk menyenangkan hati warga, ia berharap agar pemerintah bisa memenuhi fasilitas umum dan fasilitas sosial yang diminta warga. Pemerintah harus merelokasi fasilitas untuk warga berupa masjid, sekolah, balai desa, dan lapangan sepak bola, dari Desa Besuki Barat menuju Besuki Timur. Karena, wilayah Besuki Barat, sesuai dengan Perpres Nomor 48 tahun 2008, wilayah Besuki Barat telah dimasukkan ke wilayah peta terkena dampak.
Artinya, fasilitas itu, tidak lagi dipergunakan oleh warga Besuki Barat karena ditinggal mengungsi. Selain itu, fasilitas juga terancam ditenggelamkan oleh BPLS karena wilayah Besuki Barat hendak dijadikan wilayah pembuangan lumpur. Ia menambahkan, jika fasum dan fasos tenggelam, warga Besuki Timur tidak lagi bisa memanfaatkan fasilitas itu. “Padahal warga kami juga punya hak, kami minta fasum dan fasos dipindah,” terangnya.
Warga mengancam, jika pemerintah tidak segera merelokasi fasum, warga akan menghentikan pembangunan irigasi untuk mengalirkan air menuju desa sekitar Besuki. Saluran irigasi itu, akan ditutup karena warga Besuki Timur juga tidak bisa menikmati. “Dari pada hanya kami yang rugi, lebih baik semua harus rugi,” ancamnya.
Jauh Bukan Alasan Untuk Tidak Terkena Dampak Lumpur Lapindo
Penghasilan warga Tegal Sari menurun drastis sejak lapindo mengalirkan lumpur ke sungai porong dan sempat menggenangi tambak warga. Menurut Samijan (41) warga Tegal Sari, saya mendapatkan Rp 7jt setiap kali panen sebelum ada lumpur. Sekarang Rp 300rb setiap kali panen sudah bagus.
“Demi mencukupi istri dan ketiga anak, saya terkadang mencari kepiting setiap malam di pesisir pantai untuk menutupi kebutuhan”. Tambah Samijan sambil menggelengkan kepala.
Hal serupa diakui oleh Nasir (28), seorang kuli angkut ikan di tambak. Dia mengalami penurunan pendapatan sejak adanya lumpur di sungai porong yang masuk tambak warga Tegal sari, karena sekarang tidak semua tambak diisi bibit ikan oleh pemiliknya karena pasti merugi.
“Sekarang saya mencari kepiting di pesisir pantai seperti warga lainnya dengan Rp 25rb per hari, padahal saat menjadi kuli angkut ikan dulu saya bisa mendapat Rp 100rb per hari” sahut Nasir.
Warga Tegal Sari berharap pemerintah dan lapindo memberi jalan keluar atas masalah yang mereka alami ini, dengan memberi ganti rugi panen atau memberi pekerjaan pengganti yang layak. Warga juga berharap ada ketegasan dari pemerintah menangani kasus ini hingga tuntas. (fahmi)
Air Bersih Barang Mahal Di Desa Siring Barat
Warga Siring Barat membeli air bersih setiap hari. Menurut Sulkan (69), warga Siring Barat, warga disini selalu membeli air bersih seharga Rp 1300/jurigen setiap hari. Bantuan air dari Pemda Sidoarjo kurang diminati karena warnanya kekuningan dan rasanya tidak enak.
”Bantuan dari pemda airnya berwarna kekuningan. Demi kesehatan, kami rela mengeluarkan tambahan biaya hidup walaupun penghasilan kami turun drastis semenjak adanya lumpur lapindo”, tambah Sulkan.
Seluruh sumur warga Siring Barat menjadi keruh akibat adanya lumpur. Menurut Wahidin, warga menggunakan air sumur hanya untuk mandi dan mencuci, sedangkan untuk dikonsumsi sehari-hari warga membeli air bersih dari pedagang air keliling.
Hal serupa diakui oleh Yadi (25), pedagang air keliling yang sering melewati Desa Siring Barat, warga disini lebih memilih air bersih yang saya jual daripada air bantuan dari pemda Sidoarjo karena warnanya kekuningan.
”Saya senang dagangan saya selalu habis. Saya juga sedih melihat penderitaan waga Siring Barat yang harus mengeluarkan uang untuk air bersih setiap hari, padahal penghasilan mereka berkurang”, sahut Yadi.
Sudah tiga tahun lebih warga Siring Barat menjalani hidup seperti ini. Mereka berharap pemerintah atau lapindo mengganti air bantuan yang selama ini diberi dengan air yang benar-benar bersih, atau memberi kompensasi berupa uang untuk membeli air bersih setiap hari. (mi/va’)