Blog

  • Jejak Lumpur Lapindo yang Tetap Berbekas di Pemerintah Baru SBY

    Jejak Lumpur Lapindo yang Tetap Berbekas di Pemerintah Baru SBY

    “Ternyata (responden) tidak yakin, simpangan besar sekali untuk kasus Lapindo,” kata Fajar Nursahid, Kepala Divisi Penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dalam penyampaian hasil survei Pesan Publik untuk SBY-Boediono di kantornya, Jakarta, Selasa (20/10). Berdasarkan survei yang dirilis LP3ES, tampak sebanyak 52 persen responden tidak yakin KLL akan selesai dalam 5 tahun pemerintahan SBY ke depan.
    Sedangkan 38 persen merasa yakin dan hanya 10 persen responden yang tidak menentukan sikap. Ketidakyakinan itu, menurut Fajar, juga dilihat dari pandangan masyarakat para pemilih 3 pasangan kadidat presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2009 lalu.
    Masih dari hasil survei, 47 persen para pemilih SBY-Boediono menyatakan ketidakyakinannya bahwa pilihan mereka akan dapat menyelesaikan KLL. Sedangkan 43 persen responden merasa yakin dan 10 persen tidak tahu.
    Bagaimana dengan para pemilih Mega-Prabowo dan JK-Wiranto? Ternyata besaran simpangannya sangat besar. Sebanyak 67 persen para pemilih Mega-Prabowo tidak yakin SBY dapat menyelesaikan KLL, dan hanya 29 persen yang yakin.
    Lebih heboh lagi, para pemilih JK-Wiranto yang sebanyak 76 persen mengambil sikap tidak yakin dan hanya 19 persen yang yakin bahwa SBY akan menyelesaikan KLL. Lebih lanjut, LP3ES sendiri merasa prihatin dengan persoalan ini karena sudah lebih dari 3 tahun KLL tidak kunjung selesai.
    “Fakta menunjukkan bahwa pemerintah tidak pro-aktif untuk menyelesaikan soal ini. Menganggap masalah Lapindo tidak penting,” ungkap Suhardi Suryadi, Direktur LP3ES, dalam kesempatan yang sama. Survei ini merupakan hasil wawancara melalui telepon pada 14 dan 15 Oktober 2009.
    Jumlah sampel 1.990 orang yang ditentukan secara sistematis berdasarkan buku telepon residential yang diterbitkan PT Telkom yang mewakili masyarakat pengguna telepon di 33 ibu kota provinsi. Sebesar 50:50 perempuan dan laki-laki yang mayoritasnya berusia 36-50 tahun dengan tingkat pendidikan akhir perguruan tinggi dan SMA. Margin of error lebih kurang 2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
    “Soal biaya (dari kami) sendiri,” demikian Suhardi Suryadi, Direktur LP3ES.
  • Festival Budaya Anak Pinggiran Jawa Timur (FBAPJT)

    Menurut Rere (27), sekretaris panitia, sebenarnya, festival ini dilaksanakan pada tanggal 23-25 oktober kemarin. Tapi, karena beberapa sumber daya yang harus dialokasikan pada korban gempa di Sumatra rencana ini harus diundur. Lokasi acara ini pun juga harus dipindah, semula kegiatan direncanakan di Lapangan Desa Besuki, tapi karena pada bulan Desember diperkirakan akan turun hujan, maka lokasinya dipindah di Pasar Baru Porong.

    Hingga kini, panitia telah mempersiapkan komunitas-komunitas anak yang akan tampil dalam acara tersebut. Contohnya Komunitas Al-Faz di desa Besuki tengah berlatih kesenian jaranan dan musik tradisional, juga komunitas An Nuqoyah di Sumenep tengah mempersiapkan teater anak.

    Selain seni, dalam festival ini diselenggarakan workshop, seperti seni rupa, menulis opini dan membuat balon kertas. festival juga diisi dengan diskusi publik serta karnaval budaya yang akan dilaksananakan di akhir acara.

    Festival ini diikuti oleh pendamping dan Pemerhati anak se Jawa Timur yang terdiri dari 40 komunitas dan 400-500 anak.

  • Semburan Lumpur Lapindo Bertambah

    Semburan Lumpur Lapindo Bertambah

     
    Bubble itu banyak muncul di sepanjang Sungai Ketapang yang membelah pemukiman warga Desa Ketapang. Jika sebelumnya hanya muncul di permukaan sungai, kini juga bermunculan di daratan. Diantaranya di dalam rumah Suud, 47, warga RT 8 RW 3.
     
    “Kalau disulut korek api, langsung menyala, “ kata Ny Tarmi, istri Suud, Minggu (18/10).
     
    Bubble ini muncul dalam sepekan belakangan, bahkan ada yang muncul dari retakan lantai rumah. Kendati telah melapor ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), tapi tidak ada tindak lanjut dari laporan itu.
    “Makanya ya tetap kami biarkan saja, meski kami diliputi rasa was-was, “ ujar Bambang, tetangga Suud.
    Zainuri, warga Ketapang RT 3 RW 1 mengatakan kemungkinan jumlah bubble akan terus bertambah di kawasan Desa Ketapang. Sejumlah warga yang halaman rumahnya muncul bubble, ada yang memanfaatkan untuk menanak nasi pagi hari.
    “Itu masih ada bekasnya,” katanya sambil menunjuk tungku perapian dari batu bata.
    Kendati resah, warga nekat bertahan di rumahnya masing-masing. Sebab mereka tidak bias berbuat apa-apa karena kawasan desa itu belum ditetapkan sebagai daerah rawan. Warga juga tidak menerima ganti rugi yang kerap disebut bantuan sosial (bansos).
     
    “Kami belum dapat apa-apa,” ungkap Ny Tarmi.
    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain menyatakan, bubble di kawasan Desa Ketapang bagian dari 135 titik bubble yang menyebar di sekitar pusat semburan. Selain di desa tersebut, bubble yang sama juga muncul di Desa Siring Barat, Jatirejo Kelurahan Mindi. Kecamatan Porong, Desa Besuki, Kedungcangkring, Desa Kedung Bendo dan Pamotan Kecamatan Tanggulangin.
    “Sejak tiga hari lalu memang muncul di Ketapang. Kalau disulut api memang menyala,” beber Izul, panggilan Ahmad Zulkarnain.
    Menurutnya, bubble itu merupakan gas berbahaya karena mengandung gas metan yang mudah terbakar dan bisa meledak. Namun bukan termasuk gas beracun yang bisa mematikan manusia. Munculnya bubble itu kata Izul, diduga kuat karena meningkatnya tekanan di bawah permukaan tanah.
    “Setelah sempat mati, kini aktif lagi. Tetapi jumlahnya tetap bukan bertambah,” kata Izul.
    Izul membantah BPLS tidak menangani bubble tersebut. Caranya dengan mengalirkan gas metan yang keluar memakai pipa yang dibangun di atas bubble itu. Soal harapan warga menerima ganti rugi, Izul menyatakan Desa Ketapang belum ditetapkan sebagai kawasan rawan sehingga belum masuk sebagai warga yang akan menerima ganti rugi.
    “Untuk menetapkan daerah rawan, ada tim sendiri yang turun, “ pungkasnya. st3
  • Gempa Tasik Bukti Lumpur Lapindo Bukan Bencana Alam

    Demikian analisis dari pengamat Migas Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini di Jakarta, Kamis (10/9/2009).

    Rudi menjelaskan, setelah gempa Tasikmalaya berkekuatan 7,3 SR dan gempa Yogya 6,8 SR ternyata tidak ada mud vulcano. Juga tidak ada sumur migas yang blow out. “Padahal gempa Yogya tahun 2006 hanya 6,3 SR. Jadi apakah DPR masih bersikukuh gempa adalah penyebab semburan lumpur di Lapindo,” tanyanya.

    Dia berharap agar bukti autentik ini tidak dikesampingkan. Sehingga memaksa Tuhan mengirim gempa yang lebih besar sebagai bukti bahwa penyebab semburan Lapindo bukan karena lindu. (ful)

  • Warga Besuki Timur Minta Sidoarjo Tidak Diskriminatif Tangani Korban Lumpur

    “Kami juga harus diperhatikan,” kata Adib Rosyadi, Koordinator Aksi, Selasa (13/10).

    Warga Besuki Timur, berada di sebelah timur tol Porong lama. Mereka merupakan bagian dari warga Desa Besuki. Akan tetapi, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 tahun 2008, tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), hanya warga Besuki Barat yang dimasukkan dalam wilayah peta terkena dampak. Hal itu rupanya memantik ketidakpuasan warga Besuki Timur.

    Warga Besuki Timur, merasa didiskriminasikan oleh pemerintah. Mereka beralasan, beberapa wilayah di Besuki Timur juga menjadi korban luapan lumpur Lapindo, tapi kenapa hanya Besuki Barat yang dimasukkan peta terkena dampak. “Di wilayah kami ada lahan milik warga seluas tiga hektar yang tidak bisa ditanami, tapi belum diganti,” terang dia.

    Jika memang tidak masuk peta, kata Adib, warga tidak protes. Tapi, lanjutnya, untuk menyenangkan hati warga, ia berharap agar pemerintah bisa memenuhi fasilitas umum dan fasilitas sosial yang diminta warga. Pemerintah harus merelokasi fasilitas untuk warga berupa masjid, sekolah, balai desa, dan lapangan sepak bola, dari Desa Besuki Barat menuju Besuki Timur. Karena, wilayah Besuki Barat, sesuai dengan Perpres Nomor 48 tahun 2008, wilayah Besuki Barat telah dimasukkan ke wilayah peta terkena dampak.

    Artinya, fasilitas itu, tidak lagi dipergunakan oleh warga Besuki Barat karena ditinggal mengungsi. Selain itu, fasilitas juga terancam ditenggelamkan oleh BPLS karena wilayah Besuki Barat hendak dijadikan wilayah pembuangan lumpur. Ia menambahkan, jika fasum dan fasos tenggelam, warga Besuki Timur tidak lagi bisa memanfaatkan fasilitas itu. “Padahal warga kami juga punya hak, kami minta fasum dan fasos dipindah,” terangnya.

    Warga mengancam, jika pemerintah tidak segera merelokasi fasum, warga akan menghentikan pembangunan irigasi untuk mengalirkan air menuju desa sekitar Besuki. Saluran irigasi itu, akan ditutup karena warga Besuki Timur juga tidak bisa menikmati. “Dari pada hanya kami yang rugi, lebih baik semua harus rugi,” ancamnya.

  • Jauh Bukan Alasan Untuk Tidak Terkena Dampak Lumpur Lapindo

    Penghasilan warga Tegal Sari menurun drastis sejak lapindo mengalirkan lumpur ke sungai porong dan sempat menggenangi tambak warga. Menurut Samijan (41) warga Tegal Sari, saya mendapatkan Rp 7jt setiap kali panen sebelum ada lumpur. Sekarang Rp 300rb setiap kali panen sudah bagus.

    “Demi mencukupi istri dan ketiga anak, saya terkadang mencari kepiting setiap malam di pesisir pantai untuk menutupi kebutuhan”. Tambah Samijan sambil menggelengkan kepala.

    Hal serupa diakui oleh Nasir (28), seorang kuli angkut ikan di tambak. Dia mengalami penurunan pendapatan sejak adanya lumpur di sungai porong yang masuk tambak warga Tegal sari, karena sekarang tidak semua tambak diisi bibit ikan oleh pemiliknya karena pasti merugi.

    “Sekarang saya mencari kepiting di pesisir pantai seperti warga lainnya dengan Rp 25rb per hari, padahal saat menjadi kuli angkut ikan dulu saya bisa mendapat Rp 100rb per hari” sahut Nasir.

    Warga Tegal Sari berharap pemerintah dan lapindo memberi jalan keluar atas masalah yang mereka alami ini, dengan memberi ganti rugi panen atau memberi pekerjaan pengganti yang layak. Warga juga berharap ada ketegasan dari pemerintah menangani kasus ini hingga tuntas. (fahmi)

     

     

  • Air Bersih Barang Mahal Di Desa Siring Barat

    Warga Siring Barat membeli air bersih setiap hari. Menurut Sulkan (69), warga Siring Barat, warga disini selalu membeli air bersih seharga Rp 1300/jurigen setiap hari. Bantuan air dari Pemda Sidoarjo kurang diminati karena warnanya kekuningan dan rasanya tidak enak.

    ”Bantuan dari pemda airnya berwarna kekuningan. Demi kesehatan, kami rela mengeluarkan tambahan biaya hidup walaupun penghasilan kami turun drastis semenjak adanya lumpur lapindo”, tambah Sulkan.

    Seluruh sumur warga Siring Barat menjadi keruh akibat adanya lumpur. Menurut Wahidin, warga menggunakan air sumur hanya untuk mandi dan mencuci, sedangkan untuk dikonsumsi sehari-hari warga membeli air bersih dari pedagang air keliling.

    Hal serupa diakui oleh Yadi (25), pedagang air keliling yang sering melewati Desa Siring Barat, warga disini lebih memilih air bersih yang saya jual daripada air bantuan dari pemda Sidoarjo karena warnanya kekuningan.

    ”Saya senang dagangan saya selalu habis. Saya juga sedih melihat penderitaan waga Siring Barat yang harus mengeluarkan uang untuk air bersih setiap hari, padahal penghasilan mereka berkurang”, sahut Yadi.

    Sudah tiga tahun lebih warga Siring Barat menjalani hidup seperti ini. Mereka berharap pemerintah atau lapindo mengganti air bantuan yang selama ini diberi dengan air yang benar-benar bersih, atau memberi kompensasi berupa uang untuk membeli air bersih setiap hari. (mi/va’)

  • Korban Lapindo Menolak Disebut Berterima Kasih

    Yudi (49) warga Siring menyatakan bahwa kalau persoalan bersilaturahmi, silahkan saja. Menurutnya silaturahmi itu baik-baik saja, akan tetapi dia tidak merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada keluarga Bakrie.

    “Tidak masalah Bakrie bersilaturahmi dengan korban lumpur, tapi pembayaran baik yang cash n carry, cicilan, relokasi harus tetap dibayarkan. Jangan seperti kemarin yang cicilan sempat telat, sampai-sampai ibu saya yang sudah tua pas dengar itu langsung dadanya sakit”, jelasnya.

    Hal senada juga diucapkan oleh Khoiri (49), menurutnya, dia tidak terwakili oleh pemberitaan tentang korban lapindo yang berterima kasih ke keluarga Bakrie di Jakarta. Khoiri sendiri adalah salah satu korban, yang hingga sekarang belum dilunasi pembayarannya oleh Lapindo.

    “Biar saja Lapindo diputus tidak bersalah, tapi yang namanya merusak ya harus tetap bertanggung jawab. Kalau Bakrie tidak mau bayar, ya saya nagihnya ke SBY, orang SBY yang menganjurkan kami mengikuti perpresnya”, pungkasnya.

    Meskipun santer diberitakan bahwa korban Lapindo telah hidup lebih baik, kenyataannya masih banyak korban yang belum selesai pembayarannya dan harus hidup tanpa kejelasan akan masa depannya. Bahkan, Perumahan Kahuripan Nirwana Village yang selalu digembar gemborkan sebagai solusi terbaik untuk ribuan korban Lapindo, nyatanya baru berdiri dan dihuni oleh sekitar 300-an keluarga. Kenyataan ini jelas membutuhkan penanganan serius baik dari Pemerintah maupun Lapindo, yang berdasarkan Perpres harus memberi ganti rugi kepada korban, bukan dengan sekedar mengeluarkan berita tentang 18 orang korban yang berterima kasih kepada keluarga Bakrie. [mi/re]

  • Geologists Warn of Expanding Danger Zone

    The zone under threat from hot mud bubbling from the ground in the Porong area of Sidoarjo, East Java, is expanding further, as geologists warn land subsidence will continue at a massive rate there.

    Geologist Andang Bachtiar, who chairs the Indonesian Geologists Association, said land subsidence of up to 12 meters, found at one of the affected houses in Siring Barat in mid-July, should be seen as a natural sign of a collapsed zone. (more…)

  • Satu per Satu Tinggalkan Siring…

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pun meminta agar warga segera meninggalkan Siring. Apalagi sejak Selasa (21/7), bantuan sosial mulai ditransfer ke rekening warga, khususnya RT 3 RW 1 Desa Siring. Bantuan untuk warga lainnya segera menyusul.

    Memang, siapa yang bisa tahan tinggal di Siring? Di desa yang kini penduduknya berjumlah 196 jiwa itu, walau sudah mulai menurun, terdapat 33 semburan gas metana yang mudah sekali terbakar dan membuat pusing. Berlama-lama tinggal di Siring sama saja menunggu musibah yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawa.

    Sejak 2008, rentetan musibah menimpa desa yang berjarak sekitar 200 meter dari kolam penampungan lumpur Lapindo itu. Pada Mei 2008, tiga pekerja menjadi korban ledakan gas metana yang terbakar. Lantas, pada Januari 2009, salah satu rumah warga ambruk karena dinding rumah yang retak parah.

    Tak berhenti di situ, pada akhir Juni 2009, muncul semburan lumpur yang merupakan semburan terbesar di Desa Siring. Semburan lumpur bercampur gas metana yang keluar di rumah Okky Andriyanto (55), warga RT 3 RW 1 Desa Siring, kemudian terbakar pada Selasa (7/7). Sepekan kemudian, dua bangunan rumah Okky ambles ke dalam tanah.

    “Siapa yang sanggup tinggal di daerah seperti ini? Ibarat tempurung kelapa, kami ada di dalam tempurung itu. Sekitar kami adalah bahaya yang sewaktu-waktu mengincar keselamatan jiwa,” tutur Mahmud Marzuki, warga Siring.

    Tak punya pilihan

    Pemerintah melalui BPLS menyiapkan skema bantuan sosial bagi wilayah di sekitar semburan lumpur Lapindo yang tidak layak huni. Ada tiga desa yang akan mendapat bantuan tersebut, yaitu Desa Mindi, Jatirejo, dan Siring, Kecamatan Porong. Ketiga desa itu tidak layak huni karena banyak terdapat semburan gas berbahaya dan tanahnya rawan ambles.

    Bantuan sosial itu berupa uang evakuasi Rp 500.000 per kepala keluarga (KK), uang kontrak rumah Rp 2,5 juta per KK untuk satu tahun, dan uang jatah hidup Rp 300.000 per bulan per jiwa selama enam bulan. Ada sebanyak 756 KK atau 2.174 jiwa di tiga desa itu. BPLS menyiapkan dana Rp 60 miliar untuk bantuan sosial tersebut.

    Awalnya, warga Siring enggan menerima bantuan sosial itu karena pemerintah belum menjamin nasib aset rumah dan tanah mereka bila ditinggalkan mengungsi. Namun, rentetan bencana di Siring berhasil “memaksa” warga Siring untuk meninggalkan kampung halaman mereka. Satu per satu warga pun mulai mengemasi perabotan rumah dan mengungsi.

    “Saya tidak punya pilihan lain selain pergi dari sini. Bila tidak mengungsi, bisa-bisa jiwa kami yang terancam. Apalagi, kondisi di sini semakin hari semakin berbahaya saja,” tutur Siti Hidayati (31), warga Siring yang berencana mengungsi ke rumah famili di Desa Wunut, Kecamatan Porong. [Aris Prasetyo]

  • Pemerintah Dinilai Lamban

    Pemerintah Dinilai Lamban

    Demikian dinyatakan anggota Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS), Sabtu (18/7), saat berkunjung ke rumah Okky Andriyanto (55), warga RT 03 RW 01 Siring, yang di rumahnya keluar semburan gas dan lumpur. Empat anggota TP2LS yang berkunjung ke Siring adalah Fakhrudin Djaya, Nizar Dahlan, Tamam Ahda, dan Ali Mubarok.

    ”Pemerintah sangat lamban bertindak. Padahal, dengan kondisi di Siring seperti ini, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak merelokasi seluruh warga Siring. Tanah yang kemungkinan ambles sewaktu-waktu sangat sulit diprediksi. Relokasi ini untuk mencegah dampak yang lebih luas saja,” kata Nizar.

    Menurut Nizar, pemerintah sejauh ini sama sekali belum menyerahkan proposal mengenai upaya untuk merelokasi warga di wilayah berbahaya, di luar pusat semburan. Padahal, pihak legislatif siap mendukung untuk menganggarkan dana berapa pun yang diperlukan, melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Keputusan merelokasi warga sangat bergantung pada pemerintah.

    Fakhrudin menambahkan, pihaknya telah mengusulkan revisi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Revisi tersebut menyangkut nasib warga di luar peta terdampak, yang dinyatakan tidak layak huni agar segera direlokasi. Namun, belum ada tanggapan tentang usulan revisi itu.

    Bingung

    Sementara itu, Okky Andriyanto, yang dua bangunan rumahnya ambles pada Selasa pekan lalu, menyatakan belum ada kejelasan mengenai nasibnya. Sampai hari Sabtu, ia sama sekali belum menerima uang bantuan sosial dari pemerintah meskipun sudah menandatangani perjanjian pemberian bantuan.

    ”Bingung, kalut, itu yang saya rasakan. Apalagi, bisnis saya ikut terhenti akibat semburan. Pemerintah belum juga bertindak apa-apa karena uang bantuan belum saya terima,” kata Okky.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, setelah warga menandatangani perjanjian bantuan sosial, mereka harus menyerahkan berkas berisi fotokopi kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan surat nikah. Jika berkas itu selesai diserahkan, warga akan dibuatkan rekening dan buku tabungan di Bank Rakyat Indonesia. Melalui rekening itulah bantuan sosial akan diberikan.

    Bantuan sosial itu berupa uang kontrak rumah Rp 2,5 juta setahun per keluarga, uang evakuasi Rp 500.000 per keluarga, dan uang jatah hidup Rp 300.000 per bulan per jiwa selama enam bulan. Bantuan sosial diberikan kepada 576 keluarga (2.174 jiwa) di tiga desa yang dinyatakan tidak layak huni, yakni Siring, Mindi, dan Jatirejo, semuanya di Kecamatan Porong. (APO)

  • Warga Keberatan Isi Perjanjian

    Warga Keberatan Isi Perjanjian

    Saat ini ada 15 keluarga di Desa Siring yang masih bertahan sejak amblesnya rumah Okky Andriyanto (55) di RT 3 RW 1 pada Selasa (14/7).

    Warga keberatan pada isi perjanjian nomor empat poin (c), yaitu ”bila kondisi Siring dinyatakan aman oleh pejabat berwenang untuk ditinggali, maka warga diperbolehkan kembali mendiami rumah mereka”. Menurut mereka, Siring tidak mungkin pulih kembali seperti sebelum muncul semburan lumpur dan gas. Karena itu, pemerintah harus merelokasi seluruh warga.

    “Pemerintah bila membuat kebijakan jangan setengah-setengah. Bila seperti itu, nasib warga masih mengambang. Apalagi, belum ada jaminan mengenai nasib tanah dan rumah kami,” kata Mahmud Marzuki, koordinator warga Siring, Kamis di Sidoarjo.

    Menurut

    Kepala Desa Siring Mohammad Pain Ghozali, warga Siring ada yang menerima skema bantuan sosial dan ada yang menolak.

    ”Kami memberikan kebebasan kepada warga untuk mengungsi atau bertahan. Namun, kami anjurkan mengungsi demi keselamatan jiwa,” katanya.

    Pemerintah memberikan bantuan sosial bagi warga di Desa Siring, Mindi, dan Jatirejo, Kecamatan Porong, yang wilayahnya dinyatakan tak layak huni akibat semburan lumpur. Bantuan itu berupa uang evakuasi Rp 500.000 per keluarga, uang kontrak rumah Rp 2,5 juta setahun, dan uang jatah hidup Rp 300.000 per bulan per jiwa selama enam bulan.

    Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur menganggap penetapan relokasi dan ganti rugi tanah warga Desa Siring merupakan wewenang pemerintah pusat. ”Kami hanya bisa mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk memberikan bantuan dari alokasi APBD perubahan,” kata Gubernur Jatim Soekarwo.

    Menurut Soekarwo, Pemprov Jatim masih menunggu rekomendasi Komisi D DPRD Jawa Timur terkait kasus amblesnya tanah Desa Siring. Rekomendasi yang dibutuhkan adalah langkah menyiapkan lahan permukiman warga yang layak. (APO/ABK)

  • Desa Siring Mulai Dikosongkan

    Desa Siring Mulai Dikosongkan

    Evakuasi perabotan rumah warga dibantu sekitar 100 personel Satuan Samapta Kepolisian Resor Sidoarjo dan personel Komando Distrik Militer Sidoarjo.

    ”Kondisi Siring makin berbahaya dan sangat tidak layak huni. Aset rumah dan tanah akan kami pikirkan kemudian karena keselamatan jiwa warga lebih penting,” kata Ketua RT 03 RW 01 Desa Siring Gandu Suyanto.

    Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain mengatakan, rongga di bawah permukaan tanah yang menyebabkan rumah Okky ambles pada Selasa lalu bersifat lokal. Rongga itu diduga tak akan melebar atau menjalar ke wilayah lain. Namun, ada kemungkinan banyak terdapat rongga di bawah permukaan tanah di Desa Siring yang belum diketahui.

    ”Kami kesulitan memetakan lokasi mana saja yang terdapat rongga sehingga rawan ambles. Peralatan milik BPLS, yakni ground penetrating radar (alat pemantau kondisi di bawah permukaan tanah), hanya mampu menjangkau hingga kedalaman 100 meter,” ujar Zulkarnain.

    Siring terdapat 33 titik semburan gas dan lima titik di antaranya mengeluarkan lumpur. Dinding 20 rumah di desa itu retak dan berpotensi ambruk.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso mengatakan, dalam waktu dekat, bantuan sosial bagi warga Siring akan segera dicairkan. Namun, pemerintah tak merencanakan relokasi warga secara keseluruhan. Pemerintah hanya menyediakan uang evakuasi, uang kontrak rumah selama setahun, dan uang jatah hidup per bulan selama enam bulan.

    Anggota DPRD Jatim, Mohammad Mirdasy, Rabu di Surabaya, mendesak pemerintah pusat agar segera bertindak serius menyikapi semakin parahnya kondisi Desa Siring. Pemerintah segera merelokasi warga serta memberikan hak ganti rugi tanah dan rumah. (APO/ABK/RAZ)

  • Rumah Warga Ambles

    Rumah Warga Ambles

    Rumah yang dindingnya retak antara lain rumah Siti Hidayati (31) yang berjarak 20 meter dari rumah Okky.

    Tidak ada korban jiwa karena penghuni rumah Okky sudah mengungsi dua minggu lalu. Namun, peristiwa itu membuat warga panik. Keluarga Siti beserta empat keluarga lain langsung mengungsi. Tiga truk milik Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sidoarjo dikerahkan untuk mengangkut perabot warga.

    Amblesnya rumah diduga akibat semburan lumpur di rumah Okky yang keluar sejak 26 Juni sehingga terjadi rongga di bawah permukaan tanah. Hal itu dikemukakan Kepala Divisi Gas pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dodie Irmawan.

    Sejauh ini semburan di rumah Okky menimbulkan timbunan pasir dan tanah sebanyak 150 meter kubik.

    Camat Porong Syaiful Aji mengimbau, warga yang dinding rumahnya retak untuk mengungsi. Pihaknya tengah menyiapkan bekas gedung Pengadilan Negeri Sidoarjo di Kecamatan Porong untuk menjadi tempat pengungsian sementara. Selain itu, ada bantuan sosial dari BPLS bagi warga untuk evakuasi, kontrak rumah setahun, dan jatah hidup selama enam bulan.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso yang datang ke lokasi menyatakan, pemerintah belum memiliki rencana untuk merelokasi warga secara keseluruhan.

    Saat ini di Desa Siring ada 33 titik semburan gas, lima di antaranya mengeluarkan lumpur.

    Belum bersikap

    Meski Desa Siring semakin mengkhawatirkan, Pemprov Jatim belum menentukan sikap. Pemprov masih menunggu penelitian Lembaga Geologi dan kajian BPLS untuk memastikan apakah amblesnya tanah di wilayah itu berpotensi meluas atau tidak.

    ”Sebenarnya tiga desa di luar peta terdampak (salah satunya Siring) setahun lalu sudah kami tetapkan sebagai daerah berbahaya. Pemprov Jatim pada 1 April 2008 telah membentuk Tim Kajian Kelayakan Permukiman,” kata Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Pemprov Jatim Chairul Djaelani.

    Dari hasil penyelidikan di lapangan, tim merekomendasikan wilayah yang perlu mendapat perhatian khusus. Di Desa Siring ada 4 RT yang tidak layak huni, di Desa Jatirejo ada 2 RT, dan di Desa Mindi ada 3 RT.

    Dalam rekomendasi yang dikirimkan Pemprov Jatim kepada pemerintah pusat pada 5 Mei 2008 disebutkan, dari sembilan RT yang dinyatakan tidak layak huni tersebut, terdapat 628 keluarga yang terdiri atas sekitar 2.700 jiwa. (APO/ABK)

  • Distressed Mudflow Children Send Letters to The Moon

    Distressed Mudflow Children Send Letters to The Moon

    lapindo050709-mataPeople have their own ways of expressing what they feel. Fifty children displaced by the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo did so by writing letters to the moon in an event held in Batu city earlier this month.

    Together with 50 other children from Wukir village, Torong Rejo subdistrict, Junrejo district, Batu City, and 10 street children from Malang municipality, they wrote letters on pieces of paper and attached them to threads hanging from a balloon made of paper.

    Then they floated them into sky, symbolically sending all the letters to the moon. (more…)

  • Lapindo dan Hilangnya Negara

    Tapi fakta-fakta tersebut hanya secuil cerita dari kehancuran yang dihasilkan lumpur Lapindo. Karena sesungguhnya yang terjadi di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin, dan Jabon) ini adalah absennya negara dari tanggungjawab melindungi masyarakat. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No 14/2007, yang kemudian disusul dengan Peraturan Presiden No 48/2008, justru semakin menunjukkan Negara lepas tangan dari tanggung jawabnya atas ratusan ribu kepala yang sedang menderita. (more…)

  • Bupati Sidoarjo: Warga Siring Barat Harus Segera Dievakuasi

    WIN HENDRARSO mengatakan hal itu saat meninjau bersama Muspida ke tempat semburan lumpur yang keluar dari rekahan tanah di halaman seorang warga di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, Jumat (26/06).

    Kawasan Siring Barat, sudah tidak layak huni dan harus dimasukkan peta terdampak yang ditanggung oleh pemerintah pusat. Apalagi dengan munculnya semburan lumpur, sudah cukup sebagai bukti, agar warga di Siring Barat mendapat perlakuan yang sama dengan korban lumpur lainnya, katanya menegaskan.

    Ia mengemukakan, material pasir laut dan kulit kerang itu keluar dari perut bumi. Ini menunjukkan kalau kawasan itu dulunya laut, seperti kawasan Sidoarjo lainnya yang merupakan delta.

    Pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan Gubernur Jatim terkait masalah ini. “Secepat mungkin saya akan membicarakan masalah ini dengan Gubernur, biar masalah Siring Barat mendapat penanganan lebih cepat,” katanya seperti dikutip Antara.

    Dalam kesempatan itu, beberapa warga termasuk OKI ANDRIYANTO, pemilik rumah yang terdapat semburan lumpur meminta, agar Bupati bertindak secepat mungkin.

    “Warga harus dievakuasi, selain diberi bansos dan dikontrakkan rumah yang penting harus diberi ganti rugi,” satu diantara warga.

    Sementara itu, AHMAD ZULKARNAIN Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), mengatakan, sebenarnya untuk bantuan sosial seperti uang kontrak rumah dua tahun Rp5 juta per KK, uang evakuasi Rp500 ribu per KK dan uang jaminan hidup Rp300 ribu per bulan per jiwa selama 6 bulan sudah ada.

    “Kalau untuk bansos tinggal mencairkan saja dananya. Sedangkan untuk ganti rugi masih menunggu payung hukumnya. Hanya itu yang saat ini bisa kami lakukan,” katanya.(ant/ipg)

  • Indonesia’s Muddy Justice

    Victims blame a mining company for a volcanic mudslide that took their homes.

    In the final part of its series on Corporations on Trial, People & Power’s Juliana Ruhfus visits East Java where Scientists and Indonesian activists allege a devastating volcanic eruption three years ago is a man-made disaster but lawyers are facing an uphill battle to gain compensation for the victims.

    ————————————————————————————————–

    (more…)

  • Dari Fahmi untuk Calon Presiden RI

    Dari Fahmi untuk Calon Presiden RI

    Yth. Bapak/ Ibu
    Capres-Cawapres
    Republik Indonesia

    Dengan hormat,

    Saya Fahmi dari Desa Jatirejo Kecamatan Porong, Sidoarjo, yang sudah tiga tahun ini rumah, kenangan dan cita-cita saya dan pemuda-pemuda lainnya ditenggelamkan oleh Lapindo. Sebelum ada Lapindo, kehidupan kami sangat berkecukupan dari bertani, berdagang dan lain-lain. Orang tua saya bersosialisasi dengan tetangga, saya juga bisa berkumpul dengan teman sebaya saya. Banyak sekali kenangan indah saya di Desa Jatirejo yang pasti tidak bisa saya ulangi di rumah kontrakan saya sekarang.

    29 Mei 2006 lalu Sumur Banjar Panji 1 Jebol dan mengeluarkan isi perut bumi yang berupa lumpur panas. Di saat itu pula kehidupan saya dan warga sedikit demi sedikit terusik dari ketenangan. Alat-alat berat pun mulai masuk desa kami untuk membuat tanggul yang kira-kira 15 meter tingginya. Tanggul pun jebol dan langsung menenggelamkan semuanya. Dan kondisi Porong pun dan warganya menjadi kacau. Lingkungan kotor, air kotor, udara kotor, jalanan rusak, desa sekitar tanggul tidak layak huni, kondisi mental warga terganggu, ganti rugi tidak berjalan sesuai Perpres, dll. yang tidak mungkin bisa saya sebut satu per satu, yang intinya adalah warga diusir paksa dari tanah leluhurnya yang mereka tempati puluhan tahun, tanpa kejelasan nasib.

    Harapan saya kepada Bapak/ Ibu Capres-Cawapres adalah jika terpilih nanti lihatlah wargamu di Porong yang sudah 3 tahun ini terusik kehidupannya. Selesaikan masalah ini secepatnya, kembalikan kehidupan warga seperti dulu. Saya mohon dengan sangat…

    Porong, 26 Mei 2009

    Fahmi
    (20 tahun)
    Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo

  • Dari Brayen Gapeyor Untuk Calon Presiden RI

    Dari Brayen Gapeyor Untuk Calon Presiden RI

    Kepada Yth.
    Bapak/Ibu Calon Persiden 2009
    di Tempat

    Dengan izin Yang Maha Kuasa saya pemuda korban dampak luapan lumpur bisa menulis seuntai kata yang menjadi masalah yang mengumpal di hati saya, kini waktunya saya harus mencurahkannya pada acara pengiriman 1.000 surat kepada Bapak/Ibu calon Presiden 2009.

    Derita yang harus saya jalani kini tambah sangat menyakitkan, dampak dengan adanya luapan lumpur Lapindo:

    • Tanah yang dulunya buat bercocok tanam/pertanian kini harus kita tinggalkan karena sudah tidak layak lagi kita buat pertanian.
    • Air dulunya sangat jernih bisa dibuat masak dan dibuat kebutuhan sehari-hari, kini air itu sudah gak layak pakai lagi.
    • Udara yang sebelum adanya luapan lumpur Lapindo sangat segar dan sejuk kini setelah adanya luapan lumpur Lapindo udara bisa mengakibatkan penyakit sesak nafas dan batuk-batuk.

    Harapan saya kepada Bapak/Ibu calon Presiden yang melihat keadaan yang diderita korban luapan lumpur Lapindo dan menindak lanjuti masalah yang sudah lama dianggap sebelah mata.

    Hormat saya,

    Brayen Gapeyor
    (17 Tahun)
    Desa Permisan, Kecamatan Jabon, Sidoarjo