Blog

  • Adinda Bakrie Gelar Resepsi Mewah

    JAKARTA —- Pesta pernikahan Adinda Bakrie, putri pemilik PT Lapindo Brantas Indra Usmansyah Bakrie, digelar dengan segenap kemegahan di Hotel Mulia, Jakarta, kemarin malam. Tiga ruang utama lantai dasar hotel itu disatukan, lalu disulap menjadi ruang resepsi yang gemerlap. Sejumlah artis papan atas dan kelompok musik pengiring Twilight Orchestra memeriahkan pesta itu.

    Para tamu datang dari pucuk-pucuk pimpinan di negeri ini, para pengusaha papan atas, hingga para diplomat negara-negara sahabat. Tampak, antara lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution, Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardoyo, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, dan sejumlah menteri lainnya. Juga terlihat pengusaha Chairul Tanjung dan lain-lain.

    Mempelai pria dari keponakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie itu adalah Seng-Hoo Ong. Ia seorang manajer keuangan, putra dari salah satu keluarga terkaya di Singapura.

    Megahnya pesta ini sudah terasa sejak gerbang hotel. Jajaran karangan bunga berdesakan di kiri-kanan jalan masuk menuju pintu lobi sebelah utara. Seakan tak cukup, tanda ucapan selamat itu berjajar hingga gerbang dan parkir hotel bagian belakang.

    Begitu masuk ke ruang resepsi, tamu diarahkan dengan jalur berkelok dengan pembatas kain merah marun. Alunan musik dari sebuah grand piano sudah menyambut di sana.

    Kemegahan pun lengkap di ruang pesta. Tiga ballroom Hotel Mulia dijadikan satu dengan 15 lampu kristal berukuran besar tergantung di langit-langit. Pasangan mempelai duduk di kuade mewah, di sebelah kanan pintu masuk.

    Aneka hidangan mulai dari menu lokal hingga luar negeri bertebaran di setiap sudut ruang resepsi. Gunungan buah anggur berbagai jenis disusun laiknya monumen setinggi tiga meteran.

    Musik hidup pun digarap begitu wah. Sekitar 50 meter di seberang kuade mempelai dibangun panggung yang tak kalah komplet. Vina Panduwinata, Christopher Abimanyu, Memes, dan Mike Indonesian Idol bergantian menyuguhkan penampilan di atas pentas. Semuanya diiringi puluhan musisi yang tergabung dalam Twilight Orchestra.

    AGOENG WIJAYA | Koran Tempo

  • Lumpur Lapindo, Polisi Minta Keterangan 2 Ahli Tambahan

    JAKARTA – Kepolisian akan meminta keterangan dua saksi ahli tambahan untuk membaca laporan pengeboran sumur Banjar Panji 1 oleh PT Lapindo Brantas. Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Rusli Nasution mengatakan dua ahli baru dimintai keterangan pekan depan. “Setelah itu kami mengajukan berkas ke kejaksaan lagi,” kata Rusli ketika dihubungi Tempo kemarin.

    Rusli enggan menyebutkan nama kedua ahli yang akan dimintai keterangan. Menurut dia, kepolisian telah menyertakan catatan pengeboran dalam berkas pemeriksaan dan keterangan ahli yang membaca catatan pengeboran itu. Dari awal, katanya, catatan pengeboran sudah disertakan.

    Ia membantah catatan pengeboran berbeda dengan permintaan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Menurut Rusli, catatan pengeboran yang diminta kejaksaan sama dengan catatan dalam bukti kepolisian. Rusli mengatakan berkas ke kejaksaan sebenarnya sudah lengkap. Kepolisian mengetahui alat perekam kegiatan pengeboran dari para ahli. “Alatnya sama, hanya beda persepsi saja,” katanya.

    Kejaksaan Agung beberapa kali mengembalikan berkas acara pemeriksaan kasus semburan lumpur Lapindo. Sejauh ini terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab semburan lumpur Lapindo. Lapindo menyatakan semburan lumpur akibat bencana alam, sedangkan sejumlah ahli mengatakan semburan itu akibat aktivitas pengeboran di sumur Banjar Panji 1.

    Pekan lalu, kejaksaan mengumumkan dugaan perbedaan data petugas pengeboran PT Lapindo dengan data Real Time Chart (RTC) atau alat pencatat pengeboran dari waktu ke waktu. Menurut juru bicara Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan, hasil RTC belum pernah dibaca ahli.

    Dalam gelar perkara dua pekan lalu, kejaksaan mengembalikan berkas penyidikan kepada polisi. Kejaksaan meminta polisi melengkapi hasil pembacaan RTC yang kemudian akan dibahas bersama para ahli dari kedua pihak. Hasil pertemuan akan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

    Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman S. Sumawiredja mengatakan kejaksaan meminta polisi menerjemahkan laporan pengeboran sumur Banjar Panji 1, Porong, Sidoarjo oleh PT Lapindo. Terjemahan sudah dibawa ke Kejaksaan Agung untuk diproses.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, belum bisa dihubungi. Pekan lalu, Ia menyatakan petugas pengeboran PT Lapindo telah mencatat kegiatannya sesuai dengan standar operasi pengeboran. Hasil catatan, kata dia, bisa dimonitor setiap waktu. Prinsipnya, tak ada perbedaan antara catatan petugas pengeboran dan data di RTC.

    Hasil kajian Tim Independen Keteknikan bentukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan pengeboran sudah benar. “Tentunya mereka juga sudah melakukan analisis data RTC yang sudah di kepolisian,” kata dia lewat pesan singkat pekan lalu. “Perlu kesepahaman dan keahlian dari para ahli untuk menginterpretasi data tersebut.”

    PRAMONO | ANTON APRIANTO | FAMEGA | PURWANTO

    © Koran Tempo

  • Lumpur Lapindo Berpotensi Timbulkan Kanker

    SURABAYA – Lumpur Lapindo yang menyembur di kawasan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ternyata mengandung gas berbahaya, yaitu policyclic aromatic hydrocarbons (PAH).

    Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengatakan hasil penelitian Walhi mengungkapkan PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo melebihi 8.000 kali lipat di atas ambang batas normal.

    “Batas normal PAH hanya 0,05 miugram per kilogramnya, tapi ini mencapai 8.000 kali lipatnya,” kata Catur. Padahal, kata dia, tingginya PAH membuat siapa pun yang menghirupnya akan terkena berbagai penyakit.

    Bambang menyatakan, meskipun senyawa kimia ini tidak langsung menyebabkan tumor dan kanker, senyawa ini yang terhirup akan mengubah metabolisme tubuh menjadi senyawa tertentu yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, kanker kulit, dan kanker kandung kemih.

    PAH, kata Bambang, terbentuk akibat proses pembakaran fosil di dalam tanah yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan inilah yang membuat PAH berbahaya. Selain melalui pernapasan, PAH bisa masuk ke tubuh melalui makanan.

    Hanya, efek PAH ini, menurut Bambang, baru bisa dirasakan sekitar 10 tahun setelah si korban mengkonsumsi makanan yang mengandung PAH.

    Penelitian lumpur Lapindo yang dilakukan Walhi memakan waktu hampir dua tahun, yaitu sejak November 2006 dan baru selesai pertengahan Mei lalu. “Hasilnya mengejutkan karena lumpur Lapindo mengandung unsur PAH yang cukup tinggi,” kata Bambang.

    Selain mengandung PAH, lumpur Lapindo mengandung logam berat berupa timbal yang mencapai 2.000 kali lipat dari ambang batas wajar. Karena itu, Walhi mendesak pemerintah segera mengambil langkah darurat untuk mengungsikan seluruh warga yang berada di sekitar kawasan lumpur. Pemerintah juga didesak secara berkala memeriksa kondisi kesehatan warga, apalagi akibat dari PAH ini baru dirasakan 10 tahun mendatang.

    Walhi, kata Bambang, dua pekan lalu mengirimkan hasil penelitian tersebut ke Menteri Lingkungan Hidup. “Tapi tidak ditanggapi, kami akan melapor ke Komisi Nasional HAM,” kata Bambang.

    Koordinator warga Desa Siring Barat, Bambang Kuswanto, juga meminta pemerintah segera merelokasi semua warga korban lumpur Lapindo. “Saat ini hampir (di) seluruh rumah warga keluar gas. Kalau benar mengandung PAH, berarti kami tiap hari menghirupnya, jadi pemerintah harus segera merelokasi kami,” kata Kuswanto.

    Hingga saat ini, pemerintah belum membuat keputusan merelokasi dan memberi ganti rugi kepada warga tiga Desa di Desa Siring barat, Jatirejo Barat, dan Mindi. Padahal kondisi warga di tiga desa ini sangat memprihatinkan akibat bermunculannya semburan gas liar yang disertai mulai retaknya bangunan rumah akibat terjadinya tanah ambles.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • BPLS Sangsikan Temuan Walhi

    SURABAYA — Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyangsikan temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur yang menyatakan adanya kandungan policyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dalam lumpur Lapindo.

    “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak ada yang mengungkapkan adanya PAH,” kata juru bicara BPLS, Ahmad Zulkarnain, kemarin.

    Dalam penelitian yang dilakukan Walhi selama kurang-lebih dua tahun sejak November 2006 dan baru selesai pada pertengahan Mei lalu, lembaga ini menemukan adanya kandungan zat berbahaya jika dihirup manusia.

    Menurut Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara, dalam penelitiannya, Walhi menemukan adanya kandungan PAH dalam lumpur Lapindo hingga 8.000 kali lipat dari ambang batas normal, yakni 0,05 miugram per kilogram. PAH sangat berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, di antaranya tumor dan kanker paru serta kanker kulit.

    “Kenapa hanya Walhi yang merilis PAH ini? Padahal banyak peneliti asing yang menyatakan lumpur masih aman,” katanya. Keamanan ini, kata Zulkarnain, bisa dilihat dari adanya tumbuhan yang bisa hidup di atas lumpur. “Buktinya mangrove bisa hidup, ikan yang dilepas di kolam lumpur juga hidup,” ujarnya.

    Dokter spesialis penyakit paru Slamet Hariadi mengatakan PAH memang berpotensi menyebabkan penyakit batuk dan sesak napas. “Ambang batas aman kandungan PAH di tempat terbuka maksimal hanya 1 mikrogram per meter kubik. Jika lebih dari itu, harus mendapat perhatian,” kata Kepala Bagian Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Dr Soetomo ini.

    Menurut Slamet, gas radon yang menyembur dari bumi juga berpotensi menyebabkan penyakit kanker paru. “Ini termasuk jenis gas berbahaya,” ujarnya.

    Meski kadar kandungannya kecil, kata Slamet, gas itu berpotensi muncul di semburan lumpur Lapindo. Sebab, semburan lumpur berasal dari lapisan dalam bumi atau gunung berapi. “Ambang batas untuk radon hanya 4 picocuries per liter,” katanya.

    Jika kandungan kedua gas itu tinggi jauh melebihi ambang batas maksimal, menurut Slamet, masyarakat sekitar semburan rentan mengalami penyakit paru, sesak napas, dan kanker paru. “Orang tua lebih rentan menderita penyakit itu, apalagi jika setiap hari menghirup dua gas itu,” katanya.

    Pada 2007, Slamet sempat melakukan penelitian kandungan gas di sekitar semburan lumpur Lapindo, tapi baru menemukan kandungan H2S dengan kadar 110 miligram per meter kubik dan gas klor (Cl) dengan kadar 20 miligram per meter kubik. Padahal ambang batas kedua gas ini hanya 15 miligram per meter kubik untuk H2S dan 1,45 miligram per meter kubik untuk Cl. “Kandungan kedua gas cukup tinggi dan berbahaya untuk kesehatan,” katanya.

    Menurut Slamet, saat itu dia tidak meneliti kandungan PAH lantaran tidak mempunyai alat yang memadai. “Sedangkan untuk mengukur radon, baru empat laboratorium di dunia yang bisa melakukan. Di Indonesia belum ada,” katanya.

    YEKTHI HM | Koran Tempo

  • Java’s Lusi volcano ‘on the verge of collapse’

    A mud volcano, which began erupting two years ago on the Indonesian island of Java, forcing thousands of people to flee their homes, could be on the verge of collapse, British scientists have found.

    The Lusi volcano has displaced 50,000 people, submerged homes, factories and schools and is flowing at a rate of more than 3.5 million cubic feet a day. Despite efforts to halt the flow, including dropping giant concrete balls into the crater, the hot, noxious grey mud continues to spurt from the site in Sidoardjo, East Java.

    Many believe gas drilling caused the phenomenon, which began two days after an earthquake in May, 2006. The government has ordered the drilling firm to pay compensation. But research by Durham University and the Bandung Institute of Technology has found the volcano is collapsing and could subside to depths of more than 460 ft.

    Inflammable gas had begun escaping from the ground, threatening those who have so far escaped the mud.

    Sumber: Daily Telegraph

  • Plan to build new coast with mudflow

    INDONESIA’S Environment Minister wants to dredge a $730 million, 24 kilometre-long channel to build a new coastline in East Java with the mud from an unstoppable “volcano” that erupted from a gas drilling well two years ago.

    The announcement by Rachmat Witoelar came after the Government’s response to the disaster was condemned by its own Human Rights Commission. An inquiry described the failure to halt the mudflow and compensate victims as a gross violation of human rights.

    Conceding that authorities could not stop the devastating torrent, Mr Witoelar said yesterday that it could be channelled to the coast. There, it could be used to build a new coastline stretching at least 15 kilometres.

    In an interview with the Herald, Mr Witoelar said he would soon submit the radical proposal to cabinet. All attempts to plug the volcano had failed and “it is beyond the capacity of us to stop it”, he said.

    The Human Rights Commission’s scathing report marked yesterday’s second anniversary of the eruption near Surabaya, which has flooded seven square kilometres with toxic mud and displaced 36,000 people.

    It noted that the gas company Lapindo, owned by Indonesia’s richest man and the Minister for People’s Welfare, Aburizal Bakrie, had been protected by the state, while victims had not received promised compensation.

    Although Lapindo drilled without a required safety casing to prevent mud and gas escaping, it claims the leak was caused by an earthquake more than 600 kilometres away. Mr Bakrie said his firm would pay $300 million in relocation compensation as a benevolent gesture, but the Government has been left with costs which will run into the billions.

    A study by British and Indonesian geological experts released this week warns the disaster will worsen. The weight of the more than 1 billion barrels of mud spouting from the leak each day is likely to collapse into a huge crater, with mud drowning more villages and diverting rivers.

    The mud was now 20 metres thick and causing the area to sink, said Richard Davies, professor of geology at the University of Durham. It could drop 140 metres over the next 10 years.

    Mr Witoelar said attempts to drill relief wells and erect dams had failed. “We have tried everything to stop it; I believe it will not stop,” he said. “My ministry has made plans for a solution: to channel to the sea, for 24 kilometres. It’s big, around 200 metres wide.”

    He defended the Government’s failure to seek damages from Mr Bakrie’s company. “We are afraid we might lose,” he said. “The scientists are split. Perhaps they should be paying more, but we cannot have a judicial decision that they win – we would have to refund the $300 million they have already paid.”

    Mr Bakrie had maintained he was not liable, the Environment Minister said, but he was paying the costs of rehousing some of those affected due to a “moral responsibility”. He denied Mr Bakrie’s presence in cabinet had influenced any decisions on the mudflow.

    The Australian mining giant Santos is a minority shareholder in the Lapindo well and has agreed to pay a proportional share of compensation costs.

    Mark Forbes in Jakarta

    Sumber: Sidney Morning Herald

  • Lapindo, Davies, dan Tingay

    Kasus semburan lumpur Lapindo kini menghangat lagi. Polisi akan meminta keterangan para ahli untuk membaca laporan pengeboran sumur Banjar Panji I milik PT Lapindo Brantas yang menyemburkan lumpur panas tersebut. Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Rusli Nasution menyatakan dua ahli baru dimintai keterangan bulan depan (Koran Tempo, 28 Juli 2008). Siapa dua ahli itu? Kita tunggu saja.

    Yang jelas, perkembangan kasus Lapindo makin hangat lagi setelah sekian lama redup. Pekan lalu, misalnya, masyarakat Indonesia seakan kembali tersedak ketika Dr Mark Tingay dari Curtin University, Australia, menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo terjadi karena kesalahan manusia.

    Kesimpulan dari berbagai kajian ilmiah yang dilakukan tim Curtin University, menurut Tingay, menunjukkan bahwa semburan lumpur itu bukan akibat gempa bumi Yogya. Alasannya, gempa Yogya yang berkekuatan 6,3 skala Richter ketika sampai di Sidoarjo getarannya hanya tinggal 2 skala Richter. Kekuatan getaran 2 skala Richter sama dengan gelombang kecil di pinggir kolam. Tak akan bisa memicu perubahan struktur geologis yang menyebabkan munculnya semburan lumpur dari perut bumi Sidoarjo (Koran Jakarta, 24, 25, dan 26 Juli 2008).

    Sebelumnya, Richard J. Davies, pakar geologi Inggris, juga mengumumkan hasil penelitiannya tentang penyebab munculnya semburan lumpur panas tersebut. Dengan dedikasi ilmiahnya yang meyakinkan, Davies, ahli geologi dari Department of Earth Science, University of Durham, Inggris, menyatakan bahwa munculnya semburan lumpur panas Sidoarjo bukanlah peristiwa alami, melainkan lebih diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam melakukan pengeboran migas.

    Davies dalam makalahnya yang dimuat dalam jurnal Earth Planetary Science and Letters edisi terbaru berjudul “Birth of Mud Volcano: East Java”, 29 Mei 2006, mengungkapkan kesimpulannya yang diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: Lusi (lumpur Sidoarjo) muncul karena adanya tekanan tinggi pada kedalaman 2,5-2,8 kilometer pengeboran migas terbuka, sehingga menimbulkan pecahan pada batu-batuan (lapisan bumi). Lusi menunjukkan bahwa gunung lumpur itu muncul akibat adanya retakan-retakan pada lapisan-lapisan tanah di kedalaman berkilo-kilometer, sehingga menyebabkan air dari lapisan yang amat dalam keluar dan bercampur lumpur pada lapisan-lapisan bumi di atasnya.

    Dengan melihat aktivitas semburan lumpur yang telah berlangsung 173 hari (kini 660 hari–Red), kami yakin semburan tersebut akan terus aktif dalam beberapa bulan, bahkan beberapa tahun ke depan. Permukaan tanah di daerah yang terletak beberapa kilometer dari semburan lumpur akan mengalami penurunan (subsidence) dalam beberapa bulan ke depan, dan penurunannya makin parah di daerah yang berdekatan dengan pusat semburan. Dengan membuat model dan pengukuran amblesnya permukaan tanah, akan bisa diprediksi sejauh mana dampak gunung lumpur tersebut terhadap penduduk lokal.

    Sebetulnya, apa yang disimpulkan Mark Tingay dan Davies hampir sama dengan apa yang disimpulkan Prof Dr Rudi Rubiandini, Guru Besar Geologi ITB, dan Dr Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Davies dan Tingay, dengan tradisi ilmiahnya yang ketat, baru menyimpulkan setelah melakukan serangkaian studi dan analisis yang panjang dan teliti, baik di lapangan maupun literatur. Makalah Davies bisa dimuat di jurnal geologi terkemuka dunia tersebut setelah tim redaksi jurnal yang terdiri atas para pakar geologi Universitas Durham melakukan kajian mendalam.

    Tentu saja, kesimpulan Tingay, Davies, dan sejumlah pakar ITB tidak akan bisa diterima oleh pihak Lapindo Brantas. “Siapa pun bisa membuat interpretasi atau pendapat atas terjadinya semburan lumpur tersebut,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat PT Lapindo Yuniwati Teryana saat dimintai tanggapan atas kesimpulan Davies. Yuniwati menjelaskan bahwa Lapindo telah melakukan kajian dengan para ahli.

    Kesimpulannya menyebutkan: pengeboran yang dilakukan sudah sesuai dengan standar pengeboran yang berlaku secara nasional maupun internasional. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang dikenal dekat dengan Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo Brantas, menyatakan bahwa laporan hasil penelitian pihak asing tidak bisa mempengaruhi keputusan pemerintah. Pemerintah telah menetapkan semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional, dan karena itu ganti rugi masyarakat yang terkena dampak diambil dari APBN.

    Sungguh mengherankan bila cara berpikir wakil presiden negeri sebesar Indonesia sama dengan Kepala Divisi Humas Lapindo. Padahal, faktanya, bila pengeboran sudah sesuai dengan standard operasi, kenapa ada operator pengeboran yang disalahkan dan dijadikan tersangka oleh kepolisian? Dan publik sejak awal sudah mengetahui dari pendapat para ahli perminyakan bahwa blow out (semburan lumpur tersebut) terjadi karena pada pengeboran di sumur Banjar Panji-1, khususnya pada kedalaman 4.000 feet ke atas, Lapindo “sengaja” tidak digunakan casing (selubung). Akibatnya, ketika ada tekanan tinggi dari dalam yang menimbulkan semburan tersebut, operator Lapindo tidak bisa mengatasinya. Dan akibatnya terjadilah semburan lumpur yang hingga kini sudah berlangsung dua tahun lebih itu. Bagaimana mekanisme munculnya semburan lumpur akibat tiadanya casing tersebut, Tingay, Davies, Rudi, dan Andang mempunyai penjelasan yang nyaris sama.

    Memang benar, pihak Lapindo berkukuh pada pendapat bahwa semburan lumpur itu muncul akibat pengaruh gempa bumi di Yogyakarta, dua hari sebelumnya. BPPT dan LIPI secara institusi agaknya pro terhadap pendapat terakhir ini. Meski demikian, sejumlah ilmuwan independen, termasuk para pakar geologi dari ITB dan BPPT sendiri, menolak pendapat tersebut. Bahkan seorang pakar geologi dari IAGI menuduh ilmuwan BPPT dan LIPI yang berpendapat bahwa semburan lumpur itu akibat pengaruh gempa bumi di Yogya sudah terkooptasi oleh pemilik Lapindo, yang notabene Menteri Koordinator Kesra Aburizal Bakrie.

    Lantas, mana yang benar? Sampai saat ini pengadilan belum memutuskan siapa yang salah, Lapindo atau gempa bumi. Namun, meski belum ada keputusan pasti siapa yang salah, peraturan presiden yang terkait dengan Lapindo sejak awal menyiratkan bahwa semburan lumpur itu akibat gempa bumi. Dan pemerintah sudah memutuskan bahwa kasus semburan lumpur Sidoarjo adalah bencana alam, sama dengan gempa bumi Yogya. Karena bencana alam, pemerintah yang menanggung segala kerugian akibat semburan lumpur itu dengan dana APBN. Tragis memang, uang rakyat dipakai untuk menanggung kerugian yang amat besar akibat ulah Lapindo. Padahal sebagian besar rakyat Indonesia sangat miskin dan hidupnya sangat menderita.

    Wahyudin Munawir, alumnus Geofisika ITB, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, penulis buku Lapindo Gate

  • Aburizal Bakrie Luncurkan Komunitas Budaya Indonesia

    JAKARTA – Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Rabu (6/8), di Galeri Nasional, Jakarta, meluncurkan Komunitas Budaya Indonesia (KBI). KBI akan menjadi pusat gerak untuk upaya mengetengahkan peranan kebudayaan dalam bina bangsa dan bina negara.

    “Saya harapkan KBI tak hanya jadi suatu organisasi yang hanya menggelar seminar-seminar, apalagi event organizer. Saya berharap KBI punya kantor sendiri, alat-alat organisasi dan organisasi ini mesti berkembang. Punya library yang baik dan lengkap,” kata Aburizal Bakrie, yang datang telat dari dari jadwalnya.

    Pada acara peluncuran diperkenalkan tim inti KBI, yakni Azyumardi Azra (berhalangan hadr), Edi Sedyawati, Putu Wijaya, Sapto Raharjo, Putu Wijaya, Sugihartatmo, Taufil Abdullah, dan termasuk Aburizal Bakrie. KBI sebagai pusat gerak, semata-mata bertujuan memperluas kesadaran masyarakat Indonesia akan adanya sejumlah permasalahan budaya di dalam tubuh bangsa Indonesia, yang apabila dibiarkan tak terkendali akan berpeluang melemahkan bangsa, dari segi martabat maupun daya saingnya.

    Aburizal Bakrie mengatakan, persoalan budaya memang kurang mendapat perhatian. Tidak seperti persoalan sandang pangan, kesehatan, dan pendidikan yang mendapat perhatian besar. Padahal, persoalan budaya adalah persoalan mulia. “Sekarang baru peluncurannya, bentuknya belum. Saya akan dukung secara pribadi,” tandas Aburizal Bakrie yang juga mendukung Achmad Bakrie Institute dan Freedom Institute.

    KBI akan mendalami dan “intervensi” isu-isu pokok hubungan antarbudaya, industri budaya, jejaring data budaya, seni tradisi, perubahan budaya, dan orientasi budaya kaula muda Indonesia. Bertolak dari isu-isu pokok itu, maka kegiatan KBI dapat berupa kegiatan-kegiatan pembahasan tatap-muka, yang dapat berbentuk seminar, lokakarta, maupun diskusi-diskusi kecil yang tersebar. Juga ada penelitian, penerbitan (bentuk cetak, auditif maupun audia visual). (NAL)

    Sumber: Kompas

  • Nilai Aneh untuk Lapindo

    Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup menempatkan PT Lapindo Brantas sebagai perusahaan yang memperoleh nilai cukup bagus dalam soal lingkungan hidup sungguh membingungkan. Publik tahu apa yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah lebih dari dua tahun lumpur menyembur dari ladang pengeboran yang dikelola PT Lapindo Brantas, dan membuat sengsara warga sekitarnya.

    Akibat semburan yang bahkan masih berlangsung hingga sekarang, lebih dari 10 ribu rumah tenggelam. Enam desa harus dihapus dari peta, ribuan orang kehilangan tempat bernaung dan harapan. Belum lagi kerugian ekonomi bernilai puluhan triliun rupiah akibat lumpuhnya industri dan infrastruktur. Bagaimana mungkin kemudian Lapindo justru mendapat nilai baik dalam hal pengelolaan lingkungan.

    Memang, yang mendapat label biru (artinya bagus) dari Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) bukanlah unit perusahaan Lapindo yang melakukan pengeboran sehingga kemudian terjadi semburan lumpur. Penerima label ini adalah anak perusahaan Lapindo Brantas yang memproduksi gas. Tapi, apa bedanya bila pemilik perusahaan itu sama?

    Penghargaan lingkungan seharusnya diberikan kepada perusahaan yang benar-benar bersih dari unsur perusakan dan pencemaran lingkungan. Bukan hanya pencemaran lingkungan, mereka juga harus memenuhi tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar. Apakah kedua faktor itu sudah dipenuhi oleh PT Lapindo Brantas?

    Yang kita tahu, penyelesaian bencana lumpur Lapindo belum tuntas. Sampai sekarang, lumpur masih menyembur. Kerusakan lingkungan sudah pasti akan bertambah luas dan parah dari hari ke hari. Upaya ganti rugi kepada korban yang diberikan oleh pemerintah dan Lapindo, jelas, tak menghapus dampak kerusakan itu. Apalagi tidak semua korban lumpur mendapat ganti rugi sebagaimana yang seharusnya.

    Bahkan siapa yang harus bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan itu pun sampai sekarang belum jelas. Belum ada kepastian hukum, apakah semburan lumpur Lapindo akibat kelalaian dalam proses pengeboran, atau memang bencana alam. Semua masih merupakan kontroversi. Maka, di tengah kontroversi seperti ini, bukanlah langkah tepat memasukkan Lapindo sebagai perusahaan yang relatif ramah lingkungan.

    Seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup lebih berhati-hati dalam memberi peringkat pelestari lingkungan. Apalagi, dalam daftar peringkat itu, perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam lebih banyak perusahaan kecil. Bagaimana dengan perusahaan besar yang membabat hutan habis-habisan, atau perusahaan tambang yang mencemari sungai dan laut dengan limbahnya?

    Penghargaan seperti yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup seharusnya menjadi pendorong bagi perusahaan untuk meningkatkan komitmennya terhadap pelestarian lingkungan. Tujuan ini hanya bisa berhasil bila ada kriteria yang jelas. Tanpa kejelasan kriteria, masyarakat akan semakin skeptis terhadap keseriusan pemerintah melestarikan lingkungan.

    Koran Tempo

  • BPLS Kesulitan Tangani Semburan Gas Mudah Terbakar

    SIDOARJO-MI: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hingga kini kesulitan menangani atau melakukan pipanisasi pada bubble (semburan gas) yang kandungan metana (gas mudah bakar) tinggi, karena dilarang warga.

    Staf Humas BPLS Ahmad khusairi di Sidoarjo, Jumat (1/8) mengatakan,  warga melarang BPLS untuk melakukan pipanisasi yang bertujuan untuk membuang konsentrasi gas yang keluar menyertai semburan-semburan tersebut.

    “Kalau konsentrasi gas dibiarkan menyatu tetap mengepul di area itu, akan berbahaya dan bisa terjadi kebakaran,” katanya menegaskan.

    Menurut dia, diantara semburan yang tidak boleh ditangani (pipanisasi) terutama kawasan Siring Barat Kecamatan Porong. Bahkan, warga Siring Barat yang areanya terdapat bubble, hampir semua menolak dilakukan pipanisasi.

    Ia mengatakan, warga beralasan sengaja membiarkan kawasannya seperti itu biar masyarakat luas, khususnya pemerintah pusat tahu bahwa Siring Barat banyak keluar semburan yang mudah terbakar dan sudah tidak layak huni.

    “Biar yang Jakarta melihat kalau semburan yang ada di Siring Barat tetap menyembur dan supaya dimasukkan peta atau mendapatkan ganti rugi,” katanya mengutip penolakan warga Siring Barat.

    Sementara itu, Mahmud, salah seorang warga Siring Barat mengakui warga memang menolak semburan yang ada di Siring Barat dilakukan pipanisasi.

    “Ini dilakukan warga sebagai upaya mendesak kepada pemerintah pusat untuk segera merespons tuntutan warga agar mendapatkan ganti rugi seperti korban lumpur lainnya karena mereka juga terdampak semburan lumpur Lapindo,” katanya. (Ant/OL-03)

    Sumber: Media Indonesia

  • Lumpur Lapindo Mengandung Senyawa Kimia Berbahaya

    Wawancara dengan Bambang Catur Nusantara, Direktur Walhi Jawa Timur

    Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bahwa lumpur Lapindo mengandung senyawa kimia polycyclik aromatic hydrocarbons (PAH) mengejutkan banyak pihak, termasuk pemerintah, yang selama ini selalu berdalih lumpur yang menyengsarakan puluhan ribu jiwa secara sosial dan ekonomi itu aman bagi kesehatan.

    Wartawan Tempo, Rohman Taufik, akhir pekan lalu mewawancarai Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara untuk mendapatkan penjelasan mengenai temuan itu. Berikut ini petikan wawancaranya:

    Apa yang mendorong Walhi melakukan penelitian tentang PAH?

    Sebenarnya sudah bisa diduga sejak awal, lumpur Lapindo mengandung senyawa PAH. Setelah kami teliti, ternyata benar. Bahkan, di luar dugaan, PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo 8.000 kali lipat dari ambang batas normal.

    Lumpur Lapindo setidaknya mengandung dua jenis PAH, yaitu chrysene dan benz (a) antracene. Senyawa kimia ini jika masuk ke dalam tubuh akan langsung mempengaruhi sistem metabolisme, yang akan menimbulkan berbagai penyakit. Selama ini korban Lapindo bersentuhan langsung dengan PAH dalam kategori terpapar lama dalam 24 jam berturut-turut. PAH dalam kadar yang terendah saja sangat mudah masuk ke tubuh melalui pori-pori kulit.

    Apa saja efek paling buruk jika terkena PAH?

    PAH bisa menyebabkan tumor dan kanker, khususnya kanker kulit, paru, serta kandung kemih. PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.

    Senyawa ini sebenarnya tidak secara langsung menyebabkan tumor ataupun kanker, tapi pada orang yang terkena, PAH dalam sistem metabolisme tubuh akan langsung diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif serta sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker.

    Senyawa kimia ini sangat mudah larut dalam tubuh, sehingga jika orang terpapar lama dalam waktu lima hingga sepuluh tahun, orang tersebut langsung akan terkena tumor dan kanker. Karena kadarnya 8.000 kali lipat, risiko terkena tumor dan kanker dipastikan lebih cepat.

    Korban Lapindo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong, di setiap blok telah ditemukan sekitar lima anak yang menderita benjolan di lehernya, yang mirip tumor. Selain itu, banyak korban yang terkena penyakit kulit.

    Kondisi seperti ini seharusnya segera ditindaklanjuti. Terhadap semua korban lumpur Lapindo, harus dilakukan general check-up.

    Dari hasil penelitian Walhi, kandungan PAH dalam lumpur Lapindo sejauh radius berapa kilometer?

    Kami mengambil sampel di 20 titik, terjauh di radius 1,5 kilometer dari pusat pusat semburan. Hasilnya, PAH terkandung di semua titik yang kami teliti. Ada kemungkinan lebih jauh lagi radiusnya. Sebenarnya kami juga meneliti lumpur di Sungai Porong. Untuk sementara, baru logam berat yang kami teliti.

    Banyak yang ragu dengan temuan Walhi, bahkan ada yang mengatakan laboratorium di Indonesia belum mampu mendeteksi PAH

    Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung demikian pesat. Laboratorium Universitas Airlangga yang kami gunakan juga bisa dicek akurasinya.

    Sebenarnya logika berpikir yang harus dibangun bukan mencari-cari kelemahan penelitian kami. BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) seharusnya melihat fakta ini sebagai ancaman. Memang, dalam kasus lumpur Lapindo, tidak ada keberpihakan terhadap warga. Menteri Lingkungan, misalnya, malah memberikan anugerah kepada Lapindo dengan predikat taat lingkungan.

    PAH sebenarnya lazim ditemukan di area pengeboran, tapi anehnya, Kementerian Lingkungan ataupun Bapedal tak pernah menelitinya. Mereka hanya berkutat pada logam berat. Atau mungkin mereka takut karena PAH memang sangat membahayakan, sehingga sengaja tidak dicari tahu kandungannya. Padahal, kalau sejak awal diketahui, bisa langsung diantisipasi.

    Apa langkah lebih lanjut yang dilakukan Walhi?

    Karena menyangkut keselamatan banyak orang, kami akan kirimkan hasil penelitian ke semua pihak, seperti BPLS, Menteri Kesehatan, Gubernur, juga Presiden. Tujuan kami supaya ribuan korban Lapindo segera diperhatikan dan mendapat penanganan serius. Dua pekan lalu kami sudah berikan kepada Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Saat berada di Jakarta, kami sampaikan juga ke Kementerian Lingkungan Hidup, tapi tidak ditanggapi.

    Penelitian ini apakah tidak terlambat? Semburan lumpur sudah berlangsung lebih dari dua tahun.

    Penelitiannya sudah lama. Hasil laboratoriumnya memang baru keluar beberapa waktu lalu. Sejak awal kami sudah memprediksi ancaman seperti ini, tapi tidak pernah ada yang menanggapinya.

    Sejak awal kasus lumpur, Walhi selalu dibenturkan dengan korban Lapindo, tapi kenapa Walhi merilis masalah ini?

    Sebuah korporasi memang akan menggunakan berbagai cara agar kepentingannya tidak terganggu. Kami tahu ada aktor yang bermain, karena Walhi dianggap mengganggu mereka, sehingga banyak ditemui spanduk seolah-olah warga menolak kehadiran kami. Ini aneh. Kami melakukan investigasi untuk kepentingan warga korban, malah ditolak. Kami sudah melacak siapa yang memasang spanduk, ternyata bukan warga. Bukan hanya (tentang) spanduk, kami juga sering diteror.

    Bahkan posko bersama yang kami dirikan di Porong diancam akan dibakar oleh sekelompok orang. Kami tak akan terusik. Tugas kami memang menyoroti masalah lingkungan.

    Sumber: Tempo

  • Yo opo rek, Pejabat Ngelucu

    Para pelawak sudah tak lucu lagi. Padahal rakyat masih butuh hiburan. Bayangkan, harga bensin naik, listrik byar-pet melulu, para pejabat hobi menilep duit rakyat, jaksa suka main mata dengan makelar suap, dan sebagainya–bagaimana mungkin semua itu tidak membikin kepala dan perasaan rakyat jadi spaning?

    Karena para juru hibur profesional sudah kehilangan jurus melucu, posisi itu pun diambil alih pemerintah. Kali ini kementerian lingkungan hidup yang membikin rakyat ngakak. Kantor itu baru saja menobatkan PT Lapindo Brantas sebagai salah satu perusahaan yang mengelola lingkungan dengan baik. Ha-ha-ha!

    Pancen wis wolak-waliking jaman,” celetuk kawan saya. Kata dia, lha wong semburan lumpur Lapindo telah membikin enam desa kelelep, 10 ribu rumah ambles, dan menyebabkan ribuan penghuninya jadi pengungsi, kok dianggap mengelola lingkungan hidup dengan baik? “Lelucon wagu!” sumpah serapahnya.

    Saya bilang kepadanya, yang dinilai baik itu adalah anak perusahaan Lapindo Brantas yang memproduksi gas, bukan Lapindo yang mengebor itu. Kawan saya malah melotot, “Apa bedanya? Kan pemiliknya sama. Logikamu itu sama saja dengan perumpamaan yang menyebut aku orang dermawan karena tangan kananku suka sedekah, padahal tangan kiriku aktif nilep duit sana-sini–persis para anggota parlemen itu!”

    Lalu ia berceramah. Jargon-jargon pro-lingkungan yang dikoarkan pemerintah selama ini, kata dia, hanya omong kosong. Gerakan penanaman sejuta pohon yang dulu di-blow-up media hanyalah pertunjukan teater sesaat. “Tetapi ketika kekuatan modal yang bicara, lenyaplah semua itu,” ia mengakhiri orasinya.

    Tampaknya ia benar-benar murka. Saya kira ia akan semakin muntap jika melihat kasus di Kulon Progo, Yogyakarta, saat ini. Di sana, para pemodal tengah berusaha mereklamasi pantai Kulon Progo untuk menambang bijih besi. Itu artinya, akan melenyapkan hampir 3.000 hektare lahan dan gumuk pasir yang dikelola warga. Padahal di sana tumbuh subur tanaman cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, juga padi yang telah menghidupi belasan ribu jiwa di empat kecamatan. Sedangkan gumuk pasir melindungi mereka dari ancaman tsunami.

    Penambangan itu tinggal menunggu lampu hijau saja dari Pak Presiden. Saya berdebar menanti: apakah akan ada lawakan besar lain di Kulon Progo? Dan apakah rakyat akan tertawa oleh lawakan itu?

    Tulus Wijanarko Wartawan Tempo

    © Koran Tempo

  • Gas Lapindo Bisa Menjalar Hingga Cepu

    TEMPO Interaktif, Surabaya – Koordinator tim riset dari Pusat Penelitian dan Pengawasan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Subaktian Lubis, mengatakan hasil riset timnya menunjukkan jika semburan gas liar Lapindo ternyata mengikuti patahan sesar yang membujur dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah barat hingga kawasan Cepu.

    “Setelah kita pantau, seluruh semburan gas liar ternyata mengikuti patahan sesar lemah yang ada di bawah permukaan tanah,” kata Subaktian, Kamis (15/4).

    Di kawasan Porong sendiri setidaknya terdapat dua sesar lemah yang keduanya membujur ke arah barat hingga kawasan Cepu, Jawa Tengah. Kedua sesar ini, satu berada tepat di bawah pusat semburan lumpur Lapindo, serta satunya di bawah saluran pembuangan lumpur (spill way) atau di sekitar Desa Pejarakan yang berjarak sekitar 1 km ke arah selatan dari pusat semburan Lapindo.

    Letak dua sesar yang berbeda ini, ternyata juga membuat sifat semburan gas liar yang keluar berbeda. Sesar di bawah semburan lumpur Lapindo mengeluarkan gas yang kadang diikuti lumpur. Hal ini bisa dilihat dari semburan-semburan di Desa Siring bagian barat.

    Sementara untuk sesar yang melalui saluran pembuangan, semburan gas liar hanya mengeluarkan air jernih bercampur gas methan. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari sifat gas-gas liar yang saat ini banyak keluar di kawasan Desa Mindi.

    Subaktian menambahkan, antara gas yang keluar di semburan liar dan pusat semburan lumpur Lapindo memiliki sifat berbeda. Jika di pusat semburan yang keluar adalah gas beracun H2S dan tidak bisa terbakar, maka gas yang keluar di semburan liar merupakan gas methan yang tidak beracun, hanya saja gas ini sangat mudah terbakar.

    “Saya memperkirakan kalau di kawasan pusat semburan terus subsident (ambles), maka semburan liar akan terus keluar mengikuti arah patahan. Dan mungkin saja akan keluar hingga di Cepu karena garis sesar ini memang terhubung hingga Cepu,” tambahnya.

    Saat dihubungi, anggota Tim Independen bentukan Gubernur Jatim, Tantowi Ismail, mengatakan gas-gas methan ini akan lebih berbahaya lagi kalau diikuti keluarnya gas prophan dan buthan. “Kalau methan masih mending karena sangat ringan dan meski terbakar akan mudah melayang terbawa angin ke atas,” kata Tantowi.

    Sedangkan jika yang keluar prophan dan buthan yang memiliki sifat berat, maka tidak mudah terbang dan akan menyebar ke arah horisontal. “Bisa dibayangkan kalau mengenai orang yang merokok atau tukang bakso, maka akan langsung meledak,” kata Dosen Teknik Kimia ITS Surabaya ini.

    © TempoInteraktif

  • Mei, Lapindo Hentikan Jatah Makan Pengungsi

    SIDOARJO — Lapindo Brantas Inc. tetap akan menghentikan bantuan jatah makan bagi pengungsi yang hingga saat ini masih bertahan di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong, Sidoarjo, per 1 Mei mendatang.

    “Kita sudah mengirim surat ke bupati supaya seluruh pengungsi bersiap, karena 1 Mei kita pasti tidak lagi memberikan bantuan jatah makan,” kata juru bicara Lapindo, Yuniwati Teriana, ketika dihubungi Tempo kemarin.

    Penghentian jatah makan ini dilakukan Lapindo, menurut Yuniwati, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yang menyatakan para pengungsi harus segera meninggalkan lokasi pengungsian setelah mendapatkan uang paket kontrak rumah senilai Rp 5 juta (untuk dua tahun), plus bantuan transportasi Rp 500 ribu, serta uang makan Rp 300 ribu per jiwa per bulan selama enam bulan berturut-turut.

    Meski warga hingga saat ini belum menerima jatah paket uang kontrak tersebut, Lapindo berdalih bahwa pihaknya telah mensosialisasikan kepada perwakilan warga agar segera mengambil uang paket ini. Apalagi, pengungsi yang hingga saat ini masih bertahan di lokasi pengungsian adalah mereka yang sejak Agustus 2006 mendiami lokasi pengungsian tersebut.

    Warga sendiri memang menolak jatah uang paket ini, karena mereka meminta jatah uang paket tersebut diganti dengan sebuah lahan kosong yang nantinya akan digunakan warga untuk membangun rumah secara bersamaan setelah dibayarnya ganti rugi. Tuntutan inilah yang membuat 2.049 jiwa dari 602 keluarga tersebut menolak menerima jatah uang paket kontrak rumah dan memilih tetap tinggal di pengungsian.

    Yuniwati menambahkan, Lapindo tidak bisa memenuhi tuntutan warga, apalagi dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007 juga tidak diatur ganti rugi sebagaimana yang dituntut oleh warga. “Apalagi, kalau kita laksanakan (tuntutan warga), warga lainnya akan ikut meminta hal yang sama,” Yuniwati menambahkan.

    Jika warga tetap minta disediakan lahan, Lapindo sebenarnya juga telah menyediakan lahan di kawasan perumahan Kahuripan Nirvana Village, atau kawasan yang akan dibangun 7.000 unit rumah untuk menampung warga yang menginginkan ganti rugi berupa sebuah rumah siap huni. Hanya, pembayaran rumah ini akan diambil dari sisa ganti rugi 80 persen, bukan dari jatah uang paket kontrak.

    Saat ini, kata dia, setidaknya ada 182 warga, khususnya yang berasal dari perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera, yang telah menandatangani pembelian rumah di perumahan yang berada di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, tersebut. “Jika pengungsi mau, mereka kami persilakan untuk ikut di perumahan ini,” ujar Yuniwati.

    Dihubungi secara terpisah, koordinator pengungsi, Pitanto, mengancam akan menggelar berbagai aksi jika Lapindo menghentikan bantuan jatah makan tersebut. “Kita lihat saja, jika mereka menghentikan, kita pasti akan menggelar aksi besar-besaran,” kata Pitanto.

    Apalagi, jatah makan bagi pengungsi, kata dia lagi, merupakan kewajiban bagi Lapindo untuk menyediakannya. Sebab, warga mengungsi bukan karena murni bencana alam, melainkan karena ulah Lapindo yang lalai dalam menjalankan aktivitas pengeboran di Sumur Banjar Panji 1 yang berada di Desa Renokenongo.

    ROHMAN TAUFIQ

    © Koran Tempo

     

    Sumber : Tempo

  • Semburan Liar Rambah Trotoar Jalan

    SIDOARJO — Fenomena gas liar sebagai dampak semburan lumpur Lapindo Brantas mulai merambah gorong-gorong trotoar di jalan raya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Gas liar yang mudah terbakar ini menjalar ke trotoar karena tanah di Desa Siring Barat ambles sekitar 0,1-0,5 sentimeter setiap hari sehingga kontur tanah miring ke arah timur atau pusat semburan lumpur.

    Untuk menghindari percikan api di trotoar, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) akan membuka penutup trotoar. “Percikan api bisa membakar air di bawah trotoar,” kata juru bicara BPLS Ahmad Zulkarnain di Sidoarjo kemarin. Kandungan low explosive limit (LEL), kata dia, saat ini sudah mencapai 100 persen.

    Fenomena sejak dua pekan itu baru terdeteksi kemarin setelah beberapa waktu lalu warga di sekitar jalan raya Porong mengeluh pusing dan mual. Selain dihuni warga, trotoar ini sering menjadi tempat beristirahat sopir angkutan umum rute Porong-Surabaya. Polisi sudah memasang garis polisi karena air di dalam gorong-gorong mulai mengalir ke jalan raya.

    Semburan gas liar ini membuat warga resah karena gorong-gorong ini merupakan satu-satunya tempat pembuangan air. “Air di sepanjang got jadi mudah terbakar,” kata Gandu Suyanto, warga Siring. Warga minta BPLS membuat saluran baru. Mereka juga minta direlokasi karena tanah terus ambles setiap hari.

    Menanggapi keluhan warga, Ahmad Zulkarnain mengatakan akan memasang gorong-gorong berjenis U-Gatter. Dengan gorong-gorong berbentuk huruf “U” ini, aliran air dari semburan liar bisa dialirkan ke Kali Tengah. BPLS juga berencana memasang pipa khusus untuk memisahkan air dengan gas agar tidak membahayakan warga.

    Untuk melihat dampak amblesan tanah, BPLS terus mengukur pergerakan tanah dengan Geo-Radar. Penelitian sejak tiga bulan lalu ini sampai sekarang belum bisa disimpulkan. “Masih dirumuskan,” kata Zulkarnain.

    Sementara itu, tanah yang terus ambles ini membuat jalur kereta di kilometer 32.850 hingga 32.950 tergenang air. Bahkan genangan hampir menutup seluruh badan rel. “Tapi untuk sementara masih aman karena belum tertutup total,” kata juru bicara PT Kereta Api Daerah Operasi VIII Sudarsono.

    Agar kereta tetap beroperasi, kereta yang melintas diharuskan mengurangi kecepatan dari 70 kilometer per jam menjadi 10 kilometer. Jika kondisi makin parah, rel kereta akan ditinggikan kembali. Dia berharap 40 jadwal perjalanan kereta per hari tidak terganggu oleh genangan air.

    Rohman Taufiq | Koran Tempo

  • Gas Berbahaya di Gorong-gorong

    BPLS: Gas Jenis Metana dan Sangat Mudah Terbakar

    Sidoarjo, Kompas – Semburan gas yang mudah terbakar di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (8/4), semakin meluas dan merembes masuk ke gorong-gorong di tepi Jalan Raya Porong. Kondisi ini meresahkan warga karena membahayakan warga dan pengguna jalan.

    Yayak (35), salah seorang warga RT 12 RW 2 Desa Siring Barat yang rumahnya berada persis di depan gorong-gorong, merasa khawatir dengan adanya konsentrasi gas tersebut.

    “Kalau ada pengguna jalan yang membuang puntung rokok ke gorong-gorong itu, pasti akan langsung terbakar, rumah saya bisa langsung kena,” kata Yayak.

    Ia menuturkan, keadaan tersebut telah berlangsung sebulan terakhir. Bahkan, gas juga telah masuk ke dalam rumahnya melalui retakan-retakan yang muncul sejak dua bulan terakhir. “Bau gas itu menyengat sekali. Kalau malam, saya sekeluarga pusing-pusing,” ujar Yayak.

    Hal serupa dialami Sudarti (60). Bahkan, saat ini lantai di rumahnya terasa panas, sementara retakan-retakan di lantai dan tembok rumahnya juga semakin banyak.

    Karena kondisi seperti itu, Sudarti tidak lagi berani memasak atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan api karena khawatir terbakar. “Sekarang kalau mau memasak, terpaksa menumpang di rumah tetangga atau beli makanan jadi daripada rumah terbakar,” kata Sudarti.

    Sangat mudah terbakar

    Dari hasil pengukuran tim pemantau gas Fergaco di sekitar semburan lumpur Lapindo, kandungan low explosive limit (LEL)–gas mudah terbakar jenis metana–di gorong-gorong itu sudah melebihi 100 persen dalam radius 25 meter.

    “Artinya, gorong-gorong itu sudah berbahaya dan sangat mudah terbakar jika tersulut api,” ungkap Kepala Humas Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain.

    Metana adalah gas yang sangat mudah terbakar. Kandungan metana 5-15 persen di udara sudah cukup untuk menimbulkan ledakan jika ada api. Namun, gas itu tidak beracun jika terhirup.

    Meskipun demikian, metana bisa menyebabkan orang mati lemas karena gas itu mengurangi konsentrasi oksigen yang dihirup manusia. Dalam gas tersebut, tidak ditemukan adanya kandungan gas beracun hydrogen sulfide (H2S).

    Achmad menjelaskan, sampai saat ini belum dapat dipastikan asal gas yang ada di gorong-gorong itu. “Ada kemungkinan gas berasal dari air yang membawa partikel gas dari sekitar Desa Siring yang mengalir ke gorong-gorong atau memang ada sumber gelembung gas di gorong-gorong tersebut,” katanya.

    Saat ini BPLS sedang memikirkan rencana meminimalkan risiko terjadinya kebakaran, apalagi gorong-gorong berada di pinggir jalan utama. Salah satunya adalah dengan memasang pita pengaman di sekitar muara gorong-gorong yang terhubung dengan sebuah kali kecil.

    “Selain itu, BPLS akan membuat ventilasi di sepanjang gorong-gorong agar gas dapat keluar dan tidak terkonsentrasi dalam jumlah besar,” kata Achmad.

    Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar yang dimintai penjelasan mengatakan bahwa sampai sekarang banyak ahli yang memaparkan teori tentang fenomena keluarnya gas di sekitar luapan lumpur Lapindo.

    Namun, salah satu penjelasan yang bisa dipakai tentang munculnya gas di gorong-gorong itu, menurut Andang, adalah struktur bawah tanah yang tertekan akibat materi lumpur yang keluar sehingga mengakibatkan gas ikut keluar ke permukaan dari celah-celah lapisan tanah.

    Menurut Andang Bachtiar, satu-satunya cara untuk mengatasi keluarnya gas di gorong-gorong adalah melokalisasi gas tersebut ke lokasi yang aman untuk kemudian dibakar.

    “Jika dibiarkan terkonsentrasi begitu saja, akan membahayakan karena mudah terbakar. Apalagi letaknya dekat dengan permukiman penduduk dan jalan raya,” kata Andang.

    Saat ini di Desa Siring Barat yang terdiri dari empat RT itu (RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 12) terdapat sekitar 50 titik gelembung gas dan 4 titik semburan air bercampur gas.

    Puluhan rumah warga juga retak-retak, yang diduga terjadi akibat subsidence (penurunan tanah). Hal ini diduga kuat berkaitan dengan semburan lumpur Lapindo yang hanya berjarak sekitar 800 meter dari desa tersebut, yang menyebabkan kekosongan dalam tanah. (A13)

    Sumber : Kompas

  • Activists criticize environmental rating

    A government environmental report praising some of the country’s biggest polluters will lead to further deterioration of the environmental situation, according to green groups.

    Furthermore, they said they suspected the Proper (environmental performance rating of companies) rating system was designed to help the polluters improve their image and silence critics.

    “Many of the companies in the report are not eligible for green credits,” Indonesian Environmental Forum (Walhi) executive director Berry Furqan told The Jakarta Post on Tuesday.

    “The assessment shows the government lacks the will to take serious action to improve the environment and force companies to uphold better management of the environment.”

    The Proper system gives companies a rating of gold (the highest), green, blue, minus blue, red, minus red and black (the lowest), depending on their performance against government environmental management standards. The assessment is not mandatory.

    Walhi particularly questioned the minus ratings, which it claimed were created so polluters could avoid receiving the worst rating.

    “If the government wants to enforce the law, there is no need to use minus blue or minus red. It is not fair,” Berry said.

    Walhi plans to file an official protest with the environment ministry over the report. The ministry announced the Proper rating of 516 companies last week based on the companies’ air and water pollution control, environmental impact analysis (Amdal) and implementation of corporate social responsibility.

    Green ratings were awarded to 46 companies that surpassed the environmental standards set by the government. They included PT Holcim Indonesia, PT Riau Andalan Pulp and Paper Mill, PT Toba Pulp Lestari, Tbk, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Chandra Asri, PT Unilever Indonesia, PT Semen Gresik and PT Indah Kiat Pulp and Paper.

    The blue rating went to 180 companies that complied with the government’s environmental standards, including PT Lapindo Brantas in Sidoarjo, ConocoPhillips Indonesia Ltd, PT Medco EP, PT Pertamina and PT Lippo Cikarang.

    The blue minus rating was given to 161 companies including PT Dow Chemical Indonesia, PT Freeport Indonesia, PT Aneka Tambang, PT International Nickel Indonesia and PT Indo Lampung Perkasa.

    Network for Mining Advocacy (Jatam) coordinator Siti Maimunah said the Proper rating was of greater benefit to companies than to the environment or to communities living near the companies’ operational areas.

    “The Proper program has prompted the companies to manipulate data,” she said.

    The government assessed companies only by their managerial performance and the documents they submitted, she added.

    A member of the Proper team, Gempur Adnan, denied allegations the minus ratings were made to accommodate the interests of big companies. “To meet the minus blue rating is not that easy for companies. They must work hard to improve their environmental management,” he said.

    He also denied there were any backroom deals with companies, saying the process was completely transparent and came under the review of an independent team consisting of activists and media.

    Adianto P. Simamora, The Jakarta Post

  • A disastrous award?

    Environmental NGOs, including the Mining Advocacy Network (Jatam), strongly protested last week the results of a Ministry of Environment audit on 516 companies, since this included an environmental award for PT Lapindo Brantas, allegedly responsible for an environmental disaster.

    Activists doubted the audit’s transparency and objectiveness. NGOs protested some audit results and awards, especially those involving companies thought to have a poor record on environmental damage, local community relations and human rights.

    State Minister for the Environment Rachmat Witoelar openly questioned the auditing team — which he himself selected — about the validity of published rankings, “as some big companies which have come under public scrutiny were awarded high marks.”

    The ministry also has a program to present environmental awards for individuals (Kalpataru) and for cities (Adipura). The awards for cities have also often been controversial.

    The NGOs have reason to protest. The inclusion in the award list of gas exploration company PT Lapindo Brantas, which allegedly caused the mud disaster in Sidoarjo, East Java, is very questionable. It is hard for the general public, especially the mudflow victims, to accept that the government gives an environmental award to this company.

    The check and balance role of environmental NGOs deserves praise, since the environment is one of our critical problems, but one which receives relatively little attention from government. No matter the shortcomings of the ministry in auditing these companies, the audit is important as a means to encourage state-owned and private companies to improve environmental performance.

    Companies are facing more pressure to contain pollution and environmental damage, to adopt environmental targets and go green. Local communities are becoming more courageous and knowledgeable on the environment. Investors and trading partners from advanced countries are more demanding on environmental requirements. Overseas companies are under pressure to be environmentally friendly to follow legislation, maintain their markets, keep good community relations and access bank credits.

    On Wednesday, the ministry announced the results of its audit on 516 companies for the 2006-2007 period. These companies voluntarily took part in an environmental rating program, popularly known as Proper. The program classified companies into gold, green, blue, blue minus, red, red minus and black categories. They were judged according to achievements in controlling air and water pollution and in fulfilling environmental impact analyses (Amdal). Corporate social responsibility (CSR) program performance was also included.

    There was only one winner in the red category, which went to Bandung-based geothermal firm Magna Nusantara Ltd. The company is praised for its energy-saving efforts. The green category was won by 46 companies, including PT Unilever Indonesia, PT Riau Andalan Pulp and Paper Mill, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Indah Kiat Pulp and Paper and PT Astra Daihatsu Motor.

    The blue category was won by 180 companies. There are big names in the list, including PT LG Electronics Indonesia, PT Indorama Synthetics, Bandung and Purwakarta and pharmaceutical company PT Otsuka Indonesia. Meanwhile 43 companies were categorized as being in the worst polluter group.

    Indonesia has one of the worst environmental records in the world, especially given its poor forestry management. Amid worsening global warming indicators companies are eager to go green either to boost earnings or to win prestige. Many companies have no choice but to produce environmentally friendly products, to meet the demands of increasingly aware buyers.

    The ‘Proper’ audit program deserves our support, although since it started in 2003 it remains a voluntary scheme. The government needs to provide incentives, including fiscal rewards to encourage more companies to go green. There should also be sanctions against companies which damage our environment.

    The award to PT Lapindo Brantas is a disastrous decision. Perhaps only a few people, including the auditing team members and the company, believe this award is deserved.

    The Jakarta Post

  • GEPPRES Temui Bupati, Minta Ganti Rugi Sesuai Perpres 14/2007

    SIDOARJO, Jawa Pos – Ribuan warga yang tergabung dalam gerakan pendukung Perpres (Geppres) No 14 Tahun 2007 menemui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso kemarin. Mereka meminta dukungan atas terhambatnya proses pelunasan ganti rugi untuk korban lumpur. Selain itu, warga menyatakan mendukung pelaksanaan perpres yang murni tanpa ada manipulasi.

    Ribuan warga itu tiba di alun-alun Sidoarjo pukul 12.30. Dengan menggunakan sepeda motor dan mobil, mereka beriringan dari posko masing-masing. Mereka yang tergabung dalam Geppres adalah warga Desa Renokenongo dan Kelurahan Jatirejo, Kecamatan Porong. Juga warga Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin.

    Selain warga tiga desa itu, tergabung juga warga yang mendukung pembayaran ganti rugi dengan skema 20:80 persen.

    Pukul 13.00 warga diterima bupati di ruang rapat Pendapa Delta Wibawa. Turut menyambut, wakil dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Pada pertemuan tersebut warga menceritakan kronologi awal munculnya Perpres No 14 Tahun 2007 sampai munculnya istilah cash and resettlement. Dalam perpres dijelaskan pembayaran dengan skema 20:80 secara tunai. Status bukti tanah yang berbentuk letter C dan pethok tidak dipermasalahkan.

    “Sebab, sudah ada izin dari BPN yang memberi pengecualian pada korban lumpur,” ujar Mahmudatul Faqiah, salah seorang warga. Karena itu, lanjut dia, sikap PT Minarak yang mempermasalahkan status tanah dianggap tidak benar.

    Mahmudatul menyayangkan adanya kesepakatan yang dibuat PT Minarak dengan warga yang mengatasnamakan korban lumpur. Kesepakatan yang dimaksud adalah ganti rugi cash and resettlement. Yakni, sistem ganti rugi dengan tanah direlokasi dan bangunan dibayar tunai.

    Kesepakatan itu terjadi antara korban lumpur yang tegabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dan PT Minarak. “Kesepakatan ini antara dua pihak tanpa persetujuan BPLS dan pemerintah. Jadi, kami menyayangkan hal tersebut,” jelas Mahmudah.

    Sekdakab Vinno Rudy Muntiawan membenarkan Mahmudah. Menurut dia, berdasar penjelasan dan informasi dari BPN, status tanah letter C dan Pethok D untuk korban lumpur memang tidak dipermasalahkan. Karena itu, bisa diaktajualbelikan. “Tapi, mengapa PT Minarak mempermasalahkan, kami juga tidak tahu,” katanya.

    Bupati Win menambahkan, dirinya tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kesepakatan antara GKLL dan PT Minarak. Dia baru tahu adanya kesepakatan itu setelah GKLL dan PT Minarak mengumumkan pembayaran dengan skema cash and resettlement. “Jadi, jalan ceritanya, saya kurang begitu tahu,” jelasnya.

    Mendapat tanggapan seperti itu, Mahmudatul berharap Pemkab Sidoarjo mengambil sikap terkait nasib warga yang tidak jelas. Dia mengatakan, sekitar 2.000 warga yang tanahnya hanya punya bukti surat letter C atau pethok D.

    Karena itu, menurut versi PT Minarak, lahan tersebut tidak bisa diaktajualbelikan. Padahal, kontrak rumah mereka hampir habis. “Kami harap ada kebijakan dari pemerintah yang berpihak pada masyarakat,” katanya. (riq/ib)

  • Ganti Rugi Lapindo Tanah Nonsertifikat Bisa Dibuatkan Akta

    Sidoarjo, Kompas – Surat-surat bukti kepemilikan tanah selain sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan milik korban lumpur Lapindo, seperti Letter C dan Petok D, bisa dibuatkan akta jual beli atau AJB tanah sehingga sah sebagai bukti untuk mendapatkan ganti rugi.

    Hal itu terungkap dalam dialog antara perwakilan warga korban lumpur Lapindo dari Desa Kedungbendo, Renokenongo, Jatirejo, serta Siring dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso di Pendapa Kabupaten Sidoarjo, Selasa (5/8). Pada pertemuan itu dibahas status bukti kepemilikan tanah nonsertifikat serta mekanisme ganti rugi resettlement (pemukiman kembali).

    Menurut Sekretaris Daerah Sidoarjo Vinno Rudi Muntiawan, Badan Pertanahan Nasional menyepakati bahwa tanah milik korban lumpur, yang hanya memiliki Letter C atau Petok D, tidak dipermasalahkan untuk memperoleh ganti rugi. “Hal yang justru dipersoalkan adalah mekanisme ganti rugi dengan cara resettlement. Itu dasarnya dari mana?” tutur Vino.

    Hasil dialog tersebut disambut gembira ratusan warga empat desa yang menunggu di luar pendapa. Menurut Suwito, salah satu perwakilan warga Desa Jatirejo, dengan sahnya bukti kepemilikan nonsertifikat milik warga korban lumpur Lapindo, ia mendesak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) segera merealisasikan pemberian ganti rugi.

    “Kami juga meminta Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) ikut memberi ganti rugi rumah warga yang termasuk dalam peta terdampak lumpur dengan bukti kepemilikan tanah berupa Letter C atau Petok D,” kata Suwito. Berpegang perpres Wakil Presiden PT MLJ Andi Darussalam Tabussala menyatakan, pihaknya tetap bersikukuh membayar sisa 80 persen ganti rugi kepada warga yang memiliki sertifikat tanah.

    “Kami tetap berpegang pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007, yang bisa kami bayar adalah yang bisa diukur, yaitu pemilik sertifikat hak milik. Selain itu tidak bisa kami bayar,” ujar Andi yang dihubungi melalui telepon.

    Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Jalaludin Alham mengatakan, kedudukan PT MLJ dan warga korban lumpur sama-sama kuat berdasarkan Perpres No 14/2007. Menurut dia, dalam perpres tersebut memang tidak diatur bukti kepemilikan nonsertifikat bisa dibuat AJB.

    “Namun, pada perpres itu juga tidak diatur tentang resettlement. Warga bisa menolak itu,” katanya.

    Seusai pertemuan di Pendapa Kabupaten Sidoarjo, Bupati Sidoarjo menolak memberikan penjelasan lebih jauh. “Kita lihat saja praktik di lapangan nanti,” ujarnya singkat. (APO)