Blog

  • Kisah Eef, Lowie dan Anak Korban Lapindo

    Eef dan Lowie (baca: if dan lui), demikian pasangan muda ini memperkenalkan diri, tengah dalam perjalanan keliling Indonesia ketika mereka mendengar tentang bencana Lapindo. Karena rasa ingin tahu, mereka kemudian mampir melihat-lihat ke lokasi semburan lumpur dalam perjalannya ke Bali.

    Selepas melihat tanggul dan desa-desa yang tenggelam, mereka tanya tentang bagaimana nasib warga yang sebelumnya tinggal disana. Oleh pemandunya, mereka diarahkan ke Pasar Baru Porong (selanjutnya, “Paspor”), karena di sanalah sebagian besar warga yang mengungsi masih tinggal.

    Hal pertama yang menjadi pertanyaan mereka ketika berada di pasar adalah, bagaimana nasib anak-anak? Bagaimana sekolah mereka? Apakah mereka bisa bermain dengan normal? Dan berbagai pertanyaan seputar anak-anak, yang justru tidak pernah saya dengar dari pejabat ketika mereka datang ke Paspor.

    Dari si guru yang menemui, mbak Lilik Kaminah, meluncurlah cerita tentang sekolah TK Paspor yang serba darurat dan ala kadarnya. Kurang lebih begini tutur mbak Kami, demikian dia biasa dipanggil:

    Selepas lumpur menenggelamkan desa mereka (Desa Renokenongo), sebagian warga disana mengungsi ke paspor. Salah satu perhatian para orang tua yang mempunyai anak usia sekolah adalah, bagaimana nasib sekolah anak2 mereka, khususnya usia TK dan SD, yang sekolahan mereka ikut tenggelam oleh lumpur.

    Ternyata di pengungsian Paspor, sarana pendidikan, seperti halnya dengan banyak kebutuhan lainnya, tidak disediakan oleh pemerintah maupun Lapindo. Setelah beberapa lama meminta dan menunggu tanpa ada kejelasan kapan akan disediakan fasilitas sekolah, akhirnya para orang tua mencari sendiri2 sekolah lain di desa terdekat.

    Bagi anak usia SD maupun SMP, untuk pindah ke sekolah lain ini mungkin tidak masalah, karena mereka bisa berangkat sendiri. Disamping itu, proses adaptasi dengan teman2 sebaya dan guru2 yang baru dikenal juga relatif mudah. Namun bagi anak usia TK yang masih terlalu kecil terdapat beberapa kesulitan bagi mereka untuk pindah ke TK lain.

    Orang tua tidak mungkin mereka melepas anak2 itu berangkat sendirian, sementara mengantar dan nungguin di sekolah juga sulit. Dalam banyak kasus juga sebagian dari mereka kesulitan untuk adaptasi dengan teman2 dan guru2 baru. Pada beberapa kasus ditemui bahwa teman2 baru mereka mengolok2 anak2 tersebut dengan, ”…hei anak lumpur,” atau ”hei anak Lapindo” atau ”hei anak pengungsi”, sehingga membuat anak2 korban itu jadi tertekan

    Karena itu, setelah beberapa waktu, para warga pengungsi di Paspor memutuskan untuk membuka sendiri sekolah TK. Bagaimana dengan guru dan fasilitas sekolah? Guru diambil dari warga yang punya anak usia TK, yang tahu kira-kira cara mengelola sekolah TK dari mengamati selama mereka mengantar anak2 sekolah, dulunya sewaktu sebelum ada semburan lumpur.

    Sedangkan peralatan dan buku2 diambil dari sumbangan, dan sebagian perabotan dibikin sendiri oleh warga. Maka demikianlah, sekolah TK paspor yang serba sukarela dan seadanya ini mulai berjalan dan mendidik sekitar 60 orang anak2.

    Mendengar cerita ini, Eef dan Lewis menyatakan ingin melihat sekolah TK itu keesokan harinya (karena hari itu sudah sore, sehingga sekolah tutup). Kenapa mereka begitu tertarik dengan anak2 TK ini, pikir saya. Usut punya usut, ternyata mereka, khususnya si cewek, Eef adalah mahasiswi yang tengah belajar menjadi guru olahraga bagi anak-anak, dan tertarik dengan masalah-masalah pendidikan anak usia dini.

    Dan di beberapa negara yang pernah mereka kunjungi, kerap mereka melakukan kegiatan dengan anak-anak usia prasekolah sampai sekolah dasar. ”Lalu bagaimana dengan faktor bahasa”, tanya saya, ”kalian kan gak bisa bahasa Indonesia, sedangkan anak-anak itu gak mungkin ngomong Inggris.” ”Jangan khawatir, lihat saja sendiri,” tukas mereka.

    Maka kemudian, ketika mereka kembali keesokan harinya, saya benar-benar terperangah. Ternyata mereka benar-benar bisa berinteraksi secara langsung dengan anak2 TK itu. Saya tentu saja tidak tahu apa yang ada dibenak anak2 TK itu terhadap dua bule tersebut. Apakah mereka menanggap dua orang itu londo edan, atau mereka merasa bahwa dua orang asing ini memang tulus bermain dengan mereka.

    Yang jelas, mereka saling bermain, bernyanyi (yup, menyanyi…!) dan melakukan berbagai permainan yang mengedepankan unsur senang-senang dan olah raga. Ternyata untuk anak-anak TK itu, betapa bahasa bukan menjadi halangan bagi mereka untuk bisa bersenang-senang dan bermain. Selama dua jam penuh sampai waktu sekolah habis, mereka masih asik bermain.

    Maka yang awalnya dua orang backpacker tadi cuman mampir dalam perjalanannya ke Bali, menjadi tinggal selama beberapa hari dan berinteraksi dengan anak2 TK paspor. Yang awalnya dua orang turis bokek dan gak bawa duit, akhirnya membelikan seperangkat buku ajar dan alat2 peraga lainnya yang membantu berjalannya kelas dengan lebih baik.

    Dan sayapun termangu ketika menyadari bahwa kenapa yang punya kepedulian semacam ini adalah 2 orang pengelana, dari ujung bumi, dan terjadi setelah anak2 TK itu ada disitu hampir setahun. Tidak adakah relawan-relawan di negeri ini yang bisa membantu sekolah TK kami yang serba darurat itu dan membantu dan mengajak anak2 kami bermain2, sehingga mereka bisa merasakan rasa kenormalan, barang sehari atau dua hari.

    Atau, tidak seperti kepada si Eef dan Lowie, sedemikian sulitnyakah ternyata menggerakkan kepedulian anak bangsa sendiri terhadap kondisi-kondisi seperti yang dihadapi anak2 di Paspor.

    Atau pembentukan opini dan kampanye yang dilakukan pemerintah dan pemodal bahwa Lapindo sudah bertanggungjawab, (termasuk menyediakan pendidikan bagi anak2 kami) sudah sedemikian merasuk, sehingga orang kemudian enggan membantu.

    Atau jangan-jangan sesederhana bahwa karena publik memang tidak tahu ada situasi-situasi seperti ini di lapangan yang dialami korban lapindo, karena tersisihnya masalah ini dari hiruk pikuk isu lain yang lebih serius (ganti rugi, tanggul jebol, jalanan macet, dsb) dalam bencana multi dimensi ini. Atau, jangan…jangan…
    Tau ah, bingung…

    Tiba-tiba, mbak Kami, si guru dadakan tadi mendatangi dan sambatan ke saya. ”Mas, besok -besok ajak orang bule lagi ya, siapa tahu bisa bantu biaya foto dan buku raport anak-anak, sebab kalo ndak ada itu, nanti anak2 gak bisa nerusin ke SD.” Nah lho….!

    IIFFFFF… LUUIIIII… Ternyata mereka sudah kembali ke negerinya.

    Dan TK kami masih di Pasar Porong, masih seperti setahun yang dulu, tetap sedikit yang peduli…

  • Lapindo, Ecocide, dan Culture Genocide

    Oleh: M. Ridha Saleh

    Sejak 29 Mei 2006 hingga detik ini, semburan lumpur Lapindo membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar ataupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lumpur telah menggenangi 12 desa di tiga kecamatan, merendam tak kurang dari 10.426 unit rumah, merusak area pertanian dan peternakan, serta menggenangi sarana dan prasarana publik. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini serta lebih dari 8.200 jiwa dipindahpaksakan dan 25 ribu jiwa diungsikan.

    Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah. Lalu pipa gas milik Pertamina meledak akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur. Dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam bahkan sampai merenggut nyawa manusia. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-jalan tol-Porong. Sebuah saluran udara tegangan ekstratinggi milik PT PLN serta seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.

    Semburan lumpur yang diakibatkan oleh aktivitas pengeboran PT Lapindo Brantas menuai berbagai kritik ataupun gugatan formal dari pihak-pihak yang peduli. Namun, sebaliknya, tidak sedikit wacana bermunculan yang memposisikan PT Lapindo Brantas tidak bersalah dalam kasus ini.

    Dalam konteks ekologi manusia, benarkah PT Lapindo telah melakukan praktek ecocide dan apakah di sana–dalam konteks hak asasi manusia–terdapat dan/atau ditemukan culture genocide?

    Wacana ecocide

    Franz J. Broswimmer-lah yang mengartikan bahwa ecocide is the killing of an ecosystem. Pemusnahan ekosistem dalam hal ini tidak boleh dilepaskan dari kenyataan bahwa ekosistem merupakan tata dan rangkaian kehidupan manusia. Dari pengertian Broswimmer, kita bisa mengerti bahwa apa yang terjadi di sekitar luapan lumpur Lapindo merupakan suatu tindakan yang mengakibatkan terjadinya pemusnahan ekologi dan hilangnya hak-hak dasar kehidupan masyarakat di Sidoarjo.

    Lebih lanjut Broswimmer menjelaskan bahwa pemusnahan ekosistem dilakukan melalui tindakan sistematis. Sistematis dalam konteks ecocide tentu berbeda dengan unsur sistematis yang dimaksudkan dalam konteks genocide. Sistematis dalam ecocide adalah suatu tindakan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak disengaja oleh pelaku dan menyebabkan musnahnya satuan-satuan penting fungsi ekologi, sosial, dan budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia.

    Ada tiga unsur dampak yang dimaksudkan dalam wacana ecocide, yaitu pertama, dampaknya sangat panjang terhadap suatu satuan dan fungsi kehidupan serta tidak dapat dipulihkan kembali. Kedua, terdapatnya satuan dan fungsi yang musnah pada suatu rangkaian kehidupan dari kondisi semula. Ketiga, terdapatnya penyimpangan-penyimpangan fisik dan psikis manusia.

    Satu hal yang juga penting dalam wacana ecocide, tidak terlalu mempersoalkan penyebab kejadian, tapi lebih menekankan konteks, akibat, dan dampak kejadian serta sejauh mana bahaya kehidupan itu akan terancam dari kejadian tersebut.

    Jika kita mengacu pada wacana ecocide dalam konteks semburan lumpur Lapindo, kita dapat melihat indikasi-indikasi secara gamblang bahwa di sana terdapat praktek ecocide, karena yang paling nyata dari dampak yang diakibatkan oleh semburan lumpur Lapindo adalah dampaknya yang sangat panjang dan musnahnya satuan-satuan penting fungsi ekologi, sosial, dan budaya terhadap kehidupan manusia.

    Culture genocide

    Culture genocide dapat diartikan sebagai tindakan kejahatan luar biasa terhadap satuan fungsi dan tatanan kehidupan secara massal, dengan mengubah atau menghancurkan sejarah dan simbol-simbol peradaban suatu kelompok atau komunitas. Culture genocide, menurut pakar hukum internasional dan kebiasaan hukum pidana internasional, bukan bagian dari tindakan dan tidak dapat disebut sebagai unsur praktek genocide, karena genocide hanya mengakui unsur-unsur perlakuan yang bersifat fisik, seperti yang terurai dalam Statute Roma dan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

    Adakah praktek culture genocide dalam kasus lumpur Lapindo? Sejauh ini kasus lumpur Lapindo luput dari wacana-wacana hak asasi manusia. Justru kasus tersebut lebih didominasi oleh masalah teknis saintis dan hukum positif. Padahal kasus ini, dalam konteks hak asasi manusia, dapat dikategorikan sebagai kasus yang memiliki dimensi yang sangat serius terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, jika kita mencermati secara mendalam, dalam kasus tersebut terdapat unsur-unsur tindakan yang menyebabkan hilangnya tatanan kehidupan, yaitu hilangnya sejarah, termasuk simbol-simbol masyarakat setempat.

    Mengungkapkan berbagai wacana dan dimensi yang terjadi pada kasus semburan lumpur Lapindo, sesungguhnya saya tidak ingin memojokkan PT Lapindo Brantas. Saya bermaksud agar hukum dapat ditegakkan, keadilan dapat dipenuhi, dan kebenaran dapat diungkapkan. (***)

    Sumber: Koran Tempo, 21 Februari 2008

  • Lumpur Lapindo, Lumpurnya “Tuhan”?

    Oleh: Jonatan Lassa PhD

    Without correct words, there will be no correct practice. (Dombrowsky)

    Rabi Greenberg menuturkan kisah lucunya tahun 1950-an di New York City yang dilanda musim kering dan pemerintah membuat awan buatan sebagai awal teknologi hujan buatan.

    Hal ini menyebabkan agamawan bertanya, apakah manusia mengambil alih peran Tuhan? ”Saya ingat sebuah kartun di the New Yorker yang melukiskan sekelompok pendeta yang kelihatan amat cemas sedang duduk mengelilingi meja dan melihat keluar melalui jendela, menyaksikan turunnya hujan. Seorang pendeta berkata, ’Ini hujan kita, atau hujan mereka?’” (John Naisbit, 2001:49)

    Kita membayangkan suasana batin yang mungkin melingkupi Senayan dan Istana terkait peristiwa di Sidoarjo. Karikatur imajiner yang bisa menggambarkan batin penguasa dan rohaniwan Indonesia dengan pertanyaan, ”Ini lumpur Lapindo atau lumpurnya Tuhan?” Kini, dalam realitas, DPR dan pemerintah memerlukan jawaban ”bencana alam atau bencana teknologi”?

    Dalam tradisi mendefinisikan/ pendefinisian atas sesuatu, sebuah definisi terdiri dua bagian, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) dan kelompok kata atau konsep yang digunakan untuk mendefinisikan (definien). Sebuah definiendum harus bermakna sama dengan definien.

    Neil Britton mengatakan, ”Sebagaimana seorang/pihak menafsirkan sesuatu bergantung pada apa yang disyaratkan untuk dilakukan terhadap sesuatu dimaksud.” Namun, Britton mengingatkan definisi bukan sekadar alat bantu berpikir, tetapi juga soal orientasi mental dan emosi, model pemaknaan dan cara pandang pemberi definisi.

    Definisi

    Salinan UU No 24/2007 mendefinisikan, ”bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”

    Karena itu, peristiwa Sidoarjo memenuhi kecirian definisi bencana UU No 24/2007. Jika ditanyakan kepada rakyat yang mengalami, jawabannya, ”rumah terkubur, pekerjaan hilang, aset penghidupan hancur, kerugian nasional mencapai paling sedikit Rp 7 triliun. Orang dari kaya menjadi miskin. Yang miskin makin melarat. Secara psikis tidak ada kata yang bisa menyamai pengalaman mengalami bencana itu.” Definisi ini dikenal dengan definisi situatif.

    Pada titik ini, kata ’bencana’ tidak merepresentasikan diri sendiri. Bencana juga tidak sekadar merepresentasikan lingkungan yang rusak. Bencana dan lingkungan yang rusak merepresentasikan manusia dan kepentingan manusia di baliknya.

    Istilah ”bencana alam” bermakna kausalitas. Salinan UU No 24/2007 mengatakan, ”Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”

    Kelemahan paling mendasar UU No 24/2007 adalah tidak memberi ruang atau definisi kausalitas bencana untuk interaksi atau keterkaitan antara yang alami dan buatan manusia. Secara empiris, ini bertentangan karena ada yang dikenal sebagai ”bencana antara”. Peristiwa yang satu men-triger yang lain. Bisa saja kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian men-trigger kejadian alam yang ekstrem. Misal, eksploitasi hutan memicu mudahnya banjir. Sebaliknya, peristiwa alam seperti gempa bisa memicu kecelakaan kebakaran seperti gempa Kobe 1995 atau kecelakaan nuklir di Jepang setahun silam.

    Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Perlu penelitian mendalam. Saya kira tidak bisa dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis.” (Kompas, 19/2/2008)

    Perlu diketahui, sains tidak menawarkan kepastian 100 persen. Sains datang dengan skenario, probabilitas, kemungkinan, dan solusi trial and error. Ini yang terjadi dengan sains dalam konteks lumpur di Sidoarjo. Dalam tradisi epistemik di universitas-universitas dunia, sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan akan mendapat banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Inilah alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru” tepatnya setahun silam dalam sebuah workshop internasional. (Tempo Interaktif, 6/3/2007)

    Istilah bencana alam

    Karena itu, istilah hitam-putih ”bencana alam” sebenarnya problematik dan masalah utama adalah pada paradigma dan kuasa tafsir atas bencana. Maka, tafsir bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada ahli teknis geologis/geofisik saja. Dalam epistemologi bencana, alam adalah alam. Bencana adalah bencana. Bukan alam yang mengeksplorasi migas di Sidoarjo.

    Tafsir bencana adalah sebuah konsensus yang seharusnya trans-disiplin (baca: antara pengambil kebijakan dan ahli lintas disiplin, termasuk ilmuwan sosial dan pihak yang dianggap korban/pelaku).

    Rakyat yang dipersepsikan ”bodoh” tidak bisa menerima begitu saja bahwa ini adalah lumpurnya Tuhan. Ketiadaan konsensus atas bencana di Sidoarjo ternyata mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Namun, keputusan tentang penanggung jawab bencana Sidoarjo adalah bukan semata-mata putusan hukum. Diperlukan keputusan politik karena lepas dari faktor kausalitas yang tidak pasti karena keterbatasan sains dan ketidakpastian pengetahuan, ada situasi obyektif menunjukkan, jumlah rakyat miskin di Sidoarjo yang terjadi dalam dua tahun terakhir membutuhkan keberpihakan politik dari penguasa di DPR maupun eksekutif.

    Melemparkan tanggung jawab kepada sains yang tidak pasti adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan rakyat. Dan sains hendaknya dimandatkan untuk tidak merampas mandat pengambilan keputusan yang bersifat politik. Kepastian keberpihakan dari negara diperlukan dalam menyelesaikan ketidakpastian hidup dan penghidupan rakyat di Sidoarjo yang semakin tak menentu. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 28 Februari 2008

  • Tanah untuk Korban Lumpur Lapindo

    Oleh: Mohammad Na’iem

    Sampai hari ini nasib korban lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, masih belum menentu. Penyelesaian tuntas dan bermartabat–tidak hanya bagi korban, tapi juga bagi pemerintah dan pengusaha–belum ditemukan. Korban lumpur masih bertahan dalam derita di tengah sisa kesabaran. Sementara itu, pemerintah dan Kelompok Bakri sebagai pengusaha tetap tersandera oleh janji menyelesaikan masalah.

    Bagi pemerintah, tidaklah mudah menyelesaikan persoalan ganti rugi, karena constraint anggaran dalam skema tight money policy, sesuai dengan arahan IMF-World Bank, tak mudah dilanggar. Dalam praktek anggaran, semua dana sudah ada posnya masing-masing dan dijaga, dengan peraturan untuk mencegah korupsi, tapi ini berimplikasi pada tiadanya dana untuk keperluan mendadak, khususnya jika ada bencana.

    Sementara itu, di pihak pengusaha, Bakri Group sebagai pemilik Lapindo tidaklah bisa diharapkan berpikir sebagai pihak penyelesai tunggal. Bagaimanapun, namanya pengusaha, pemilik Lapindo tetaplah sebuah badan usaha yang menghitung untung-rugi. Jika pengeluaran untuk biaya sosial mencapai batas yang bisa mereka terima, hitung-hitungan yang kemudian dilakukan adalah kembali ke soal menang-kalah, untung atau buntung, sedangkan ukuran moralitas dalam kaitan dengan korban Lapindo akan diabaikan.

    Adapun bagi rakyat yang menjadi korban, tanpa turunnya keputusan pemerintah yang tepat dan bantuan dari Lapindo tidak ada jalan keluar dari nasib buruk yang tiba-tiba terjadi. Jika tuntutan tidak dipenuhi, radikalisme yang terjadi mungkin akan menghasilkan kerusakan yang lebih parah lagi. Pada tiga kepentingan itu tarik-menarik terjadi dan dengan perhitungan itu pula skema penyelesaian ini disusun.

    Hal penting yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana perkembangan paling mutakhir di lapangan. Kini, akibat tidak adanya penyelesaian yang relatif tuntas atas masalah, konflik terjadi antar dan inter-tiga pihak (pemerintah, pengusaha, dan warga masyarakat yang didampingi NGO atau dipimpin para tokohnya) ibarat benang kusut yang sulit diurai.

    Apakah memang tidak ada penyelesaian rasional dan bermartabat untuk kasus lumpur ini? Tentu saja ada. Rasional yang dimaksud adalah penyelesaian yang masuk akal bagi tiga pihak (pemerintah, pengusaha, dan rakyat sekaligus) praktis karena bisa dilaksanakan dengan ketersediaan sumber daya dan dana yang ada.

    Penyelesaian juga harus bermartabat, maksudnya adalah bermartabat tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi pengusaha, terlebih bagi korban lumpur Lapindo. Pemerintah dianggap bermartabat jika ia tetap bertanggung jawab kepada rakyat. Pengusaha dianggap bermartabat jika memiliki kepedulian terhadap masyarakat. Jalan itu ada dan dapat dilakukan segera. Pihak-pihak di atas rakyat (pengusaha dan pemerintah) tidak perlu mencari cara menghindar, apalagi lari, dari tuntutan menyelesaikan masalah lumpur Lapindo.

    Lahan bagi korban

    Problem pokok yang harus dipecahkan bagi korban lumpur Lapindo adalah tiadanya lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha. Tiadanya lahan kemudian merembet ke tiadanya kepastian usaha, bahkan tiadanya kepastian hidup dalam waktu yang tidak terprediksi sampai berapa lama akan berlangsung.

    Namun, penyelesaian menyeluruh bisa dimulai jika pemerintah segera menyediakan lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha. Caranya, dengan pengalihfungsian, sebagian kecil saja, lahan hutan jati yang ada di Jawa, yang pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani, untuk dijadikan kawasan permukiman korban Lapindo. Luas hutan di Jawa, total jika dihitung, kurang-lebih mencapai 2 juta hektare. Kalau Presiden memanggil Direktur Utama Perum Perhutani dan meminta persetujuannya untuk alih fungsi lahan itu tentu Direktur Utama Perum Perhutani tidak akan dapat menolak karena sifatnya sangat emergency. Lahan yang akan digunakan dapat dipilih lahan-lahan hutan yang kondisinya marginal atau kurang produktif untuk kepentingan produktivitas hutan. Jumlah lahan bisa dihitung sesuai dengan kebutuhan, misalnya 2.000-5.000 hektare. Sejak awal data statistik menyangkut siapa saja korban, berapa jumlah kerugian menjadi amat penting, dan dari statistik itu dibangun satu pola baku bagaimana lahan eks Perhutani tersebut bisa dibagi.

    Lalu lahan manakah yang akan diberikan kepada para korban lumpur Lapindo itu? Memenuhi permintaan para korban yang ingin tetap tinggal dekat tanah warisan leluhur, maka lahan Perhutani yang dipilih adalah yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pasuruan, KPH Probolinggo, atau KPH Malang, Jawa Timur. Jumlah 2.000-5.000 hektare lahan marginal Perhutani di tiga tempat itu kami kira sudah dapat mencukupi kebutuhan tempat tinggal dan tempat usaha para korban.

    Ketika keputusan mengalihfungsikan lahan Perum Perhutani menjadi lahan permukiman dan usaha itu dibuat, langkah yang harus dilakukan kemudian adalah langkah teknis berikutnya. Tapi paling tidak sudah ada keputusan paling pokok bahwa korban lumpur sudah akan mendapatkan tanah untuk tempat tinggal dan usaha. Langkah berikutnya melibatkan Kelompok Bakri sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab dan sejauh ini tidak ingin disebut tidak bertanggung jawab sebagai pemicu atas seluruh masalah yang muncul, yakni dengan memberikan dana untuk pembangunan perumahan dan tempat usaha bagi para korban. Pada saat bersamaan dibuka pula peluang pihak lain, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk membangun sarana lain, seperti masjid dan taman. Untuk mencegah terjadinya konflik yang tidak perlu, soal-soal SARA harus diperhatikan. Bantuan kepada warga beragama hendaknya yang sifatnya substantif agama, dan bukan bangunan formal agama.

    Langkah lebih lanjut sudah barang tentu memulihkan kehidupan mereka agar normal kembali, dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Dana yang mungkin dianggarkan oleh pemerintah adalah dana subsidi untuk hidup, misalnya selama setahun, sampai masyarakat bisa dilepas ke pekerjaan semula. Akan lebih baik lagi kalau kemudian pemerintah memberikan fasilitas penunjang yang memungkinkan terbukanya kembali peluang kerja bagi mereka, misalnya menanam dengan pola penanaman secara tumpang sari, seperti dimungkinkan menanam tanaman jambu mete di antara tanaman kayu jati (seperti contoh di Vietnam). Alternatif lain dari jambu mete adalah mangga Probolinggo, jambu Madura, atau kelengkeng dataran rendah. Pihak perusahaan makanan juga bisa ikut membantu memulihkan kehidupan ekonomi warga dengan menampung hasil produk kedelai dan kacang tanah untuk industri kecap atau makanan ringan. Demikian juga produk yang lain, sehingga selain ekonomi segera pulih, ada nilai tambah dari hasil produk pertanian warga.

    Tentu di lahan eks Perhutani tersebut dimungkinkan pula tersedia lahan pengganti untuk industri-industri yang ikut tenggelam oleh lumpur. Dengan begitu, penyerapan tenaga kerja terjadi dan secara umum ekonomi Jawa Timur bisa segera dipulihkan.

    Menyangkut pengelolaan lahan seluas 2.000-5.000 hektare lahan eks Perum Perhutani tersebut, tentulah harus dilakukan dengan cara yang benar. Cara pengelolaan yang bisa dipilih di antaranya dengan pendekatan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lahan tersebut sejak awal tetap harus diarahkan sebagai hutan dengan tempat tinggal, dengan fokus produk lahan tidak hanya kayu, tapi juga tanaman musiman komersial.

    Warga masyarakat harus dipandu sehingga dapat melakukan penanaman yang sejak dalam rencana sudah menggunakan bibit tanaman, pola tanam, dan jenis tanaman terpilih terseleksi dalam satu sistem silvikultur (budi daya) secara intensif. Bibit tanaman diupayakan dari bibit yang unggul, terseleksi, ditanam di lingkungan yang optimal, dan dijaga keberadaannya dalam kondisi sehat hingga akhir daur. Para aktivis kehutanan bisa masuk dalam kerja besar ini. Terkait dengan apa yang dihasilkan dari hutan rakyat dengan sistem pengelolaan yang intensif ini, akan muncul pula industri kecil rakyat, berbagai produk buah-buahan, home industry, dan banyak pula peluang usaha memanfaatkan produk hasil hutan. Dengan demikian, mereka tidak hanya diberi ikan, tapi diberi pancing untuk berkembang lebih optimal dalam kehidupan mereka.

    Bagaimana dengan lahan eks lumpur Lapindo jika di masa depan bisa digunakan lagi. Sejak awal harus ada keputusan bahwa lahan tersebut adalah lahan negara, yang peruntukannya, jika kondisi sudah memungkinkan, akan dihutankan kembali. Pengelolaan diserahkan kepada Perhutani. Maka Perhutani pun tidak begitu dirugikan. Potensi konflik jangka pendek (penjarahan dan sejenisnya) ataupun potensi konflik jangka panjang pun bisa diminimalisasi.

    Bagaimana dengan Kelompok Bakri yang sudah menderita kerugian secara ekonomi, dan dalam kacamata bisnis, tentu tidak dianggap tidak ada? Pemerintah bisa memutuskan satu langkah khusus, misalnya memberi Kelompok Bakri lahan tambang senilai Lapindo di tempat yang lain, sebagai ganti kerugian atas eksplorasi Lapindo, tapi dengan catatan bahwa pihak Lapindo memang melaksanakan tugas sebagaimana yang dibebankan kepadanya. Namun, apabila pemilik Lapindo tidak menuntut ganti rugi di kemudian hari, itu tentu akan lebih baik.

    Hal yang mesti diatur dan harus terselesaikan juga adalah bagaimana agar berbagai pihak yang kini berkonflik akibat lumpur Lapindo (rakyat, pengusaha, dan pemerintah) bisa menyepakati penyelesaian ini dengan kepala dingin. Penyelesaian yang diusulkan itu tentulah bukan penyelesaian yang sempurna bagi semua pihak (first best solution), melainkan pilihan cara yang paling mungkin (second best solution) dilakukan, hingga semua pihak (rakyat, pemerintah, dan penguasa) tetap duduk sebagai pihak-pihak yang bermartabat. Rakyat korban tidak menjadi pengemis. Pemerintah tetap dapat disebut sebagai yang bertanggung jawab. Sementara itu, Bakri Group sebagai pemilik Lapindo akan tercatat sebagai kelompok usaha yang bertanggung jawab kepada masyarakat korban eksplorasi. Dalam hal ini, peran NGO yang terlibat dalam pendampingan warga masyarakat amatlah penting. (***)

    Sumber: Koran Tempo, 15 Agustus 2007

  • Ronde-ronde Lumpur Lapindo

    Oleh: Emha Ainun Nadjib

    Kapan-kapan kampung kita juga tidak dijamin tak akan tertimpa gempa, banjir, tanah longsor, atau segala jenis keisengan geologi bumi dan alam lainnya. Juga rumah saya. Kapan saja, mungkin semenit mendatang, kita bisa mengalami sesuatu yang mengerikan: bangkrut, kehilangan, kecewa, kaget, syok, stres, depresi, atau apa pun, pada diri kita, keluarga, kantor, komunitas, klub, golongan. Kemungkinan itu ada pada semua dan setiap kita. Karena itu, saya tidak berani tak bersungguh-sungguh melakukan apa pun, apalagi terkait dengan penderitaan sesama manusia. Itulah keberangkatan tulisan ini.

    Bertele-telenya, sangat seret dan macetnya, penanganan hak sekitar 50 ribu korban lumpur di Sidoarjo, yang kampungnya tenggelam, kira-kira kronologinya begini. Sampai setahun lebih setelah 29 Mei 2006 adalah ronde 1: korban vs Lapindo. Ronde 2: korban vs Minarak Lapindo. Kemudian setelah Presiden turun gunung adalah ronde 3: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) vs Minarak Lapindo.

    Pada 10 Juli 2007, Presiden marah besar mendengar laporan (tidak melalui jalur birokrasi) kemacetan itu, kemudian Nirwan Bakrie dipanggil Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Maka, ini adalah ronde 4: Presiden vs Bakrie. Dan kalau ini gagal, ronde 5 adalah rakyat vs Lapindo.

    Wallahualam. Di tengah-tengah menulis ini, saya ditelepon oleh Direktur Operasional PT Minarak Lapindo yang melaporkan bahwa besok akan dilaksanakan pembayaran untuk korban yang verifikasinya menggunakan Letter C dan Petok D–kriteria yang sebelumnya ditolak untuk mendapatkan hak bayar, meskipun masih ada kontroversi tentang luas bangunan.

    Batas psikologis

    Sejak beberapa hari yang lalu, saya menghitung bahwa Senin, 16 Juli, lusa mungkin merupakan batas psikologis akhir bagi para korban lumpur Sidoarjo ketika Presiden dan aparat pemerintahnya harus memastikan validitas kebijakan dan kinerja untuk memastikan pembayaran ganti rugi bagi penduduk korban lumpur.

    Beberapa hari ini, terutama kemarin, agak repot saya meredam kemarahan para korban, menunda amukan mereka sampai akhirnya kemarin Presiden marah besar kepada Minarak. Sudah pasti itu sangat mengurangi tensi emosi korban untuk sejenak waktu. Tapi, kalau ini gagal lagi, kesempatan berikutnya bukan naik tensi lagi, tapi pasti menjadi ledakan atau minimal letusan.

    Sejak Presiden pulang dari turun gunung di Sidoarjo, sebenarnya hal itu melahirkan langkah maju secara kebijakan dibanding tahap sikap sebelumnya, tapi belum diaplikasikan secara signifikan di lapangan. Pada 26 Juni 2007 pagi, Presiden Yudhoyono menyaksikan pembayaran simbolis Minarak Lapindo kepada 163 korban, dan sampai kini tahap yang itu saja pun belum tuntas. Padahal angka 163, yang dengan pembayaran sebelumnya berjumlah 522, adalah produk verifikasi Tim Nasional yang kini sudah dibubarkan. Hasil verifikasi BPLS, yang jadwalnya diaplikasikan dalam pembayaran sejak 1 Juli 2007, sampai menjelang habis dua minggu tidak memberikan optimisme kepada psikologi korban. Dari 400 berkas hasil BPLS, oleh Minarak Lapindo hanya diterima 38.

    Masalah utama yang mengganjal proses ini adalah tidak adanya kalimat kebijakan eksplisit dari Presiden bahwa hak verifikasi atas tanah dan bangunan korban ada di tangan BPLS, sementara Minarak Lapindo adalah kasir. Pihak Minarak ikut berada dalam proses verifikasi BPLS dan berlaku sebagai pengambil keputusan akhir diterima atau tidaknya berkas verifikasi. Ribuan tanda tangan Bupati Sidoarjo tetap tidak berlaku bagi Minarak, meskipun hal itu yang membuat Presiden marah dan kemudian mengambil keputusan untuk ngantor di Sidoarjo selama 3 hari.

    Situasi ketidakpercayaan muncul lagi seperti sebelumnya, dan hari demi hari emosi ketidakpercayaan itu akan meningkat curam dan akan sangat mudah melahirkan anarkisme jika sampai Senin 16 Juli lusa Presiden tidak segera mengambil langkah yang tegas.

    Tuhan, ayam, dan pemerintah

    Tuhan menciptakan janin dengan perlindungan maintenance, sistem, dan fasilitas yang menjamin tercapainya goal menjadi bayi. Bahkan sampai bayi itu kelak dewasa dan mati, jaminan sistem dan fasilitas Tuhan itu tetap berlangsung, termasuk mekanisme kontrolnya.

    Induk ayam pun bertelur dan mengeraminya untuk menciptakan suhu dan kehangatan demi pematangan telur itu, menjamin perlindungan dan panduan rezeki sampai kelak telur itu menjadi anak ayam, kemudian dewasa dan didemokratisasi, diindependenkan.

    Negara dan pemerintah tinggal meniru ayam. Kalau membuat keputusan, ya, disertai maintenance, sistem, fasilitas, dan mekanisme kontrol seketat mungkin. Harus diakui hal itu tak tersiapkan secara memadai dalam kasus lumpur sehingga bertele-tele sampai setahun lebih. Dalam pertemuan Cikeas 24 Juni 2007, Presiden bertanya: Minarak ini apa? Ternyata beliau tak pernah mendapat laporan yang mencukupi tentang anak perusahaan Lapindo yang khusus menangani korban itu. Bahkan tatkala kemudian Presiden turun gunung, kesadaran dan peningkatan kinerja “induk ayam” itu pun tidak cukup progresif. Keputusan hasil Presiden berkantor tiga hari di Sidoarjo kurang dikawal secara ketat oleh mesin birokrasi.

    Air mata seember

    Mohon izin saya kemukakan sedikit background berikut ini, untuk menghindari bias dan salah sangka di seputar masalah ini. Saya tercampak ke lubang pekerjaan yang sama sekali jauh melampaui batas kemampuan saya. Sebanyak 10.476 keluarga (sekitar 45 ribu orang, sekitar 94 persen dari seluruh korban) menyampaikan surat mandat untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam menyampaikan jumlah korban lumpur Lapindo sesuai dengan data yang mereka miliki kepada Presiden, termasuk tuntutan dan harapan agar Presiden mengambil langkah taktis untuk mengatasi permasalahan mereka.

    Surat itu disampaikan pada 22 Juni 2007, kemudian 16 perwakilan penduduk yang menandatangani surat itu bertemu dengan Presiden di Cikeas pada 24 Juni 2007 sore. Berlangsunglah pertemuan satu setengah jam. Presiden sangat capek oleh berbagai urusan dan beban sehingga meminta saya memimpin rapat yang dihadiri 16 perwakilan korban lumpur, wakil Institut Teknologi Surabaya (ITS), 4 menteri, serta Kepala BPLS. Presiden menangis tiga kali dengan aktualisasi ekspresi yang berbeda-beda. Dan saya yakin di muka bumi ini, sejak zaman Nabi Adam, tak ada presiden yang sedemikian bodohnya sehingga tidak tahu bahwa, biarpun menangis seember, tidaklah bisa menyelesaikan masalah.

    Karena itu, dalam rapat itu tidak saya katakan kepada beliau: “Pak, meskipun sampean nangis sampai seember, itu tidaklah menyelesaikan masalah.” Bahkan di tengah rapat, ketika Bambang Sakri, salah seorang perwakilan korban, menangis terus-menerus selama mengemukakan keluhannya, saya berdiri dan berjalan mendatanginya, saya elus pundaknya, saya peluk dan saya bisiki: “Ancene arek Sidoarjo gembeng-gembeng (Memang orang Sidoarjo dikit-dikit nangis).”

    Dalam rapat itu Presiden mengalami 4 kali eskalasi keputusan. Pertama, kata Presiden: “Dalam waktu dekat saya akan ke Sidoarjo.” Setelah omong-omong lagi, menjadi, “Besok saya ke Sidoarjo.” Kemudian meningkat lagi, “Besok saya akan ngantor tiga hari di Sidoarjo.” Terakhir, “Besok jam 2 siang saya akan berangkat ke Sidoarjo bersama Cak Nun dan Saudara-saudara semua perwakilan korban.”

    Maka lahirlah keputusan Sidoarjo yang lumayan mengubah keadaan. Pertama, semula proses ganti rugi tanpa time schedule, kini jelas batas akhirnya: 14 September. Kedua, kriteria verifikasi tanah dan bangunan korban sangat diperlonggar: kalau tak ada IMB Letter C, Petok D, ya, data ITS. Kalau tak ada, ya, cukup kesaksian warga yang ditandatangani dari birokrasi terbawah sampai bupati. Ketiga, hak verifikasi ada pada BPLS, Minarak Lapindo tinggal membayar.

    Sampai anak-cucu

    Ini telur yang lumayan, tapi yang angrem siapa agar menetas? Kita yang di bawah harus lebih proaktif. Secara moral, kita semua bertanggung jawab atas semua korban, baik yang menerima ganti rugi (DP) 20 persen, yang menuntut 50 persen, 100 persen, maupun bahkan yang punya ide-ide 300 persen dan 500 persen. Hak amanat hanya dari yang 20 persen dan 50 persen serta 16 pengusaha Gabungan Pengusaha Korban Lumpur (GPKL). Tapi ketika kita merekayasa agar Menteri tertentu datang ke Surabaya untuk dipertemukan dengan mereka, diskusi sangat memikirkan korban secara keseluruhan.

    Terakhir beberapa hari yang lalu saya dari Jakarta bersama Direktur Operasional Minarak, anak perusahaan Lapindo yang bertugas menangani korban lumpur, mengadakan pertemuan dengan perwakilan penduduk. Kemudian terjadi kesepakatan, bersalaman, dan baca Al-Fatihah bareng. Ada kesepakatan bahwa sekitar 442 luasan tanah hasil verifikasi BPLS, besok segera dibayar oleh Minarak Lapindo. Tapi kemudian gagal lagi.

    Sekarang rondenya adalah Presiden vs Bakrie. Tidak ada kaitan formal hukum antara Grup Bakrie dan Lapindo atau perusahaan induknya. Tapi, sebagaimana Lapindo sendiri menyebut apa yang dilakukannya kepada korban lumpur adalah solidaritas kemanusiaan dan tolong menolong, penyebutan Bakrie di atas adalah karena ada keterkaitan kultural, kemanusiaan, dan kebangsaan antara Lapindo dan Bakrie. Apalagi Presiden pernah menceritakan kepada saya bahwa ia sudah berkata keras kepada Bakrie: “Anda harus bayar itu. Kalau tidak, nanti akan sangat panjang sampai ke anak-cucu.”

    Kita saksikan bersama bagaimana ronde ini berlangsung. Lapindo punya banyak kekuatan dan kelemahan dari berbagai sisi, demikian juga pemerintah. Pihak-pihak lain yang terkait juga dipaksa melakukan latihan-latihan. Jab, swing, hook, straight, dan uppercut tersimpan dan diasah. Namun, yang saya dambakan bukanlah itu semua, melainkan kemaslahatan bersama, dan itulah sebabnya hari demi hari saya terus berupaya menyambung semua pihak yang terlibat dan mencoba merangkul mereka ke semesta nilai-nilai manusia yang lebih tinggi dari transaksi ekonomi, formalisme hukum, apalagi dendam dan kebencian.

    Tapi pada 12 Juli 2007 pagi, Direktur Operasi Minarak Lapindo melaporkan: pengajuan hasil verifikasi BPLS sebanyak 344 berkas, sudah dibayar 52, yang 292 akan dilaksanakan pembayarannya hari ini. Apakah itu secercah harapan? Meskipun janji Presiden ketika turun gunung setiap seminggu dibayar 1.000 sampai 14 September 2007?(***)

    Sumber: Koran Tempo, 13 Juli 2007

  • Interpelasi Kasus Lapindo

    Oleh: Toto Sugiarto

    Berita baik terkirim dari Senayan. Sebanyak 129 anggota DPR mengajukan hak interpelasi lumpur Lapindo. Mereka mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani kasus ini.

    Namun, apakah berita baik ini akan berakhir menyenangkan? Seriuskan DPR menggulirkan interpelasi ini?

    Urgensi interpelasi

    Mengapa interpelasi Lapindo penting? Ada tiga hal yang mendasari interpelasi ini penting bagi rakyat dan negara.

    Pertama, pemerintah tidak serius membela rakyat dan terkesan membiarkan rakyat tenggelam dalam penderitaan. Dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, pemerintah melegitimasi ketidakadilan dari kuasa kapital. Rakyat korban Lapindo dipaksa menerima 20 persen pembayaran transaksi jual-beli harta. Sisanya dibayarkan dua tahun kemudian tanpa bunga. Yang paling menyedihkan, transaksi yang merugikan ini dipayungi produk hukum buatan pemerintah. Ini pemihakan nyata pemerintahan kepada kuasa kapital.

    Kedua, kerugian negara. Luapan lumpur telah merusak dan menenggelamkan infrastruktur dan mengganggu perekonomian Jawa Timur dan nasional.

    Kerugian juga ditimbulkan oleh isi Perpres 14/2007 yang membebankan sebagian besar biaya penanggulangan kepada negara. Negara, antara lain, dibebani keharusan membiayai pengalihan infrastruktur, kanalisasi lumpur dari kali porong sampai ke laut, dan biaya sosial kemasyarakatan di luar peta 22 Maret 2007.

    Ketiga, kasus Lapindo menegaskan pemerintah tidak serius menegakkan hukum. Amat mengherankan jika pemerintah tidak menyeret pihak-pihak yang jelas merugikan rakyat dan negara ke pengadilan.

    Berdasar tiga hal itu, pemerintah terlihat mengesampingkan kepentingan rakyat dan negara serta lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital. Karena itu, pengajuan hak interpelasi menjadi urgen, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No 22/2003, yaitu hak untuk meminta keterangan pemerintah tentang kebijakan penting dan strategis serta berdampak (negatif yang) luas pada kehidupan masyarakat dan bernegara.

    Hak dan kewajiban

    Dengan pertimbangan bahwa penderitaan rakyat akan kian berat dan panjang serta kerugian negara kian besar jika kasus Lapindo dibiarkan, maka hak interpelasi DPR menjadi kewajiban. DPR wajib mempertanyakan sikap pemerintah yang terasa lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital dan mengorbankan rakyat dan negara.

    DPR juga wajib menyuarakan nurani rakyat, saat mereka berteriak menuntut keadilan.

    Selain mempertanyakan, DPR perlu melakukan tekanan agar pemerintah mengakhiri konflik kepentingan dalam dirinya sekarang ini. DPR perlu menekan pemerintah agar membuang faktor-faktor yang menyumbat penyelesaian dampak sosial lumpur Lapindo. Setelah konflik kepentingan teratasi, diharapkan pemerintah akan berhenti berlaku tidak adil terhadap rakyat.

    Tujuannya, rakyat harus diselamatkan. Hak milik rakyat yang terenggut dan harus dikembalikan. Adalah tugas pemerintah yang merupakan pemegang otoritas negara untuk menjamin hak-hak dasar warga negara.

    Catatan akhir

    Dalam kasus lumpur Lapindo ini, pemerintah tampak telah terkooptasi oleh kekuatan kapital. Adalah tidak mungkin mengharap langkah radikal pemerintah dalam menolong para korban tanpa tekanan dari DPR.

    Karena itu, DPR perlu serius menggulirkan interpelasi ini. Langkah ini harus diselesaikan hingga korban lumpur Lapindo terselamatkan dan perekonomian Jawa Timur dan nasional kembali berjalan normal.

    Jika perlu, berakhir dengan pemakzulan (impeachment). Pemerintah yang tidak lagi bisa menjamin hak-hak dasar warga negara, pemerintah yang “menggadaikan” atau bahkan “menjual” nasib rakyatnya kepada suatu kuasa karena merasa berutang budi atau demi mendapat keuntungan, harus diberhentikan.

    Meski prinsip demokrasi amat mengagungkan keteraturan rotasi kepemimpinan melalui pemilu ke pemilu, namun prinsip demokrasi jugalah yang menempatkan kepentingan rakyat dan negara di atas segala-galanya.

    Pemerintahan yang tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat dan negara di atas segalanya, perlu dipertanyakan kelanjutan legitimasi kekuasaannya. Di titik ini, DPR perlu mempertanyakan kepada otoritas hukum, apakah legitimasi rakyat masih layak dipegang pemerintahan sekarang.

    Di sisi lain, DPR perlu membuktikan, dirinya tidak melupakan “ibu yang mengandungnya”. Dengan serius memperjuangkan nasib rakyat yang teraniaya, seperti korban lumpur Lapindo, DPR membuktikan dirinya bukan “anak durhaka”. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 18 Juni 2007

  • Lapindo dan Hak untuk Tahu

    Oleh: Agus Sudibyo

    Kehancuran infrastruktur di sekitar lokasi lumpur Lapindo kian memprihatinkan.

    Jika sebelumnya jumlah penduduk yang harus dipindahkan “hanya” 6.000 kepala keluarga (KK), kini menjadi 13.000 KK. Jika semula putusnya jalan tol Surabaya-Gempol adalah dampak terburuk lumpur Lapindo atas jalur transportasi umum, kini yang terjadi lebih buruk lagi. Jalan arteri Porong sebagai satu-satunya jalur transportasi yang tersisa juga sulit diselamatkan, juga jalur kereta api Surabaya-Malang/Banyuwangi.

    Ratusan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 Sidoarjo, Jawa Timur, sempat berdemo di depan Istana Merdeka, menuntut pemerintah serius memperjuangkan nasib mereka.

    Sungguh mencengangkan. Semakin lama kita tidak paham atas apa yang terjadi dengan Lapindo. Bukan hanya masyarakat, pemerintah pun ternyata tidak tahu persis skala bencana yang terjadi. Prediksi skala bencana, skala kerusakan, serta eskalasi kerugian dan korban, banyak yang tidak akurat. Berbagai cara untuk mengurangi luapan lumpur juga tidak efektif. Teknologi yang memungkinkan eksplorasi kekayaan alam bernilai ekonomi tinggi tidak dibarengi ketersediaan informasi dan pengetahuan tentang dampak buruk di kemudian hari.

    Peran iptek

    Eskalasi dampak semburan lumpur menunjukkan paradoks ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) modern. Kemajuan iptek telah memberi manfaat dan kemudahan bagi manusia. Tetapi, kemajuan iptek juga dapat membuat kehidupan manusia terkepung risiko-risiko yang tak terbayangkan sebelumnya. Iptek untuk memperluas cakrawala pengetahuan, tetapi tidak otomatis membangun kapasitas guna memprediksi aneka kemungkinan negatif yang menyertainya.

    Persoalannya, penggunaan teknologi tinggi dalam eksplorasi alam di Indonesia hampir selalu dipaksakan. Berbagai keputusan untuk melakukan eksplorasi yang tidak ramah lingkungan, atau yang terlalu dekat permukiman penduduk dan infrastruktur publik, selalu diputuskan sepihak oleh pemerintah dan pengusaha.

    Keberadaan masyarakat dengan aneka beban bukan faktor signifikan dalam menentukan apakah sebuah proyek eksplorasi bisa dilakukan atau tidak. Masyarakat adalah penonton pasif proses pengerukan sumber-sumber alam dan potensi daerah. Mereka bukan hanya tidak tahu bagaimana dan untuk apa hasil eksplorasi kekayaan alam dialokasikan, tetapi juga tidak mendapat penjelasan tentang risiko eksplorasi bagi keselamatan dan kelangsungan hidup mereka.

    Namun, jika tiba-tiba terjadi kecelakaan dan masyarakat sekitar menjadi korban, pihak-pihak itu cenderung lamban membuat antisipasi. Yang lebih menggelikan, ada upaya penyebaran persepsi, yang terjadi bukan kesalahan teknis-prosedur eksplorasi, tetapi gejala alam yang lazim terjadi di tempat lain, seperti diwacanakan majalah LUSI (singkatan Lumpur Sidoarjo). “Karena gejala alam biasa, tidak semestinya pihak perusahaan memikul tanggung jawab sepenuhnya,” begitu kira-kira maksudnya.

    Daulat publik

    “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.” Sulit membayangkan bagaimana perintah konstitusi ini dilaksanakan di tengah kesemrawutan manajemen eksplorasi kekayaan alam, yang bukannya semakin menyejahterakan, tetapi justru kian menyengsarakan masyarakat.

    Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus Lapindo? Kita harus terus mengingatkan semua pihak bahwa publik berdaulat atas pengelolaan kekayaan alam. Jika pelibatan publik dalam kegiatan eksploitasi kekayaan alam merupakan pilihan yang tidak realistis, setidaknya ada mekanisme yang memfasilitasi publik untuk mengetahui seluk-beluk proyek eksploitasi kekayaan alam itu.

    Secara minimal, daulat publik diwujudkan dalam bentuk “hak publik untuk tahu” (right to know). Publik berhak atas informasi yang komprehensif tentang kelayakan aneka fasilitas pertambangan, terutama yang berperangkat teknologi tinggi, dan langkah-langkah antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan fatal. Tak kalah penting, hak publik untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana proyek eksplorasi itu relevan bagi kesejahteraan masyarakat.

    Kasus Lapindo menunjukkan keterbukaan informasi bukan hanya penting dalam kerangka pemberantasan korupsi. Keterbukaan informasi adalah prinsip universal bagi semua aspek kehidupan publik, termasuk untuk menghindarkan publik dari dampak buruk proyek-proyek pertambangan yang selalu diputuskan dan dilaksanakan secara eksklusif dan penuh kerahasiaan.

    Andai sejak awal keterbukaan informasi diwujudkan dalam proyek PT Lapindo Brantas, kecelakaan fatal mungkin bisa dihindari dan ratusan ribu orang tidak harus kehilangan rumah, kampung, makam leluhur, sekolah, dan mata pencarian untuk sebuah proyek yang belum tentu mereka pahami apa manfaatnya. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 20 April 2007

  • Lapindo dan Absennya Pemerintah

    Oleh: Tata Mustasya

    Jika tak ada perubahan kebijakan mendasar, sejarah bakal mencatat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mangkir dari salah satu kewajiban pentingnya. Akan tertulis, pemerintah absen, dengan tidak melindungi sepenuhnya hak-hak masyarakat Sidoarjo dari semburan lumpur panas.

    Padahal, buku-buku teks kebijakan publik—misalnya Economics of the Public Sector oleh Joseph E Stiglitz—menegaskan perlunya peran pemerintah (government role) mengoreksi eksternalitas negatif akibat aktivitas ekonomi, misalnya ada pajak terhadap pencemaran oleh pabrik. Dengan demikian, biaya sosial polusi tidak ditanggung masyarakat yang “tidak bersalah”, juga pengusaha mempunyai insentif untuk meminimalisasi polusi.

    Jika keberadaan eksternalitas negatif menuntut intervensi pengambil kebijakan, amat ganjil jika perampasan aneka hak masyarakat di Sidoarjo tak mampu menghadirkan pemerintah secara penuh. Yang paling nyata, timbulnya ketidakjelasan ganti rugi. Ada apa dengan Lapindo dan absennya pemerintah?

    Bukan perilaku pasar

    Perlu dicatat, sikap Lapindo—dengan tidak bertanggung jawab terhadap kerugian masyarakat—bukan perilaku “ekonomi pasar”. Sebaliknya, ekonomi pasar menuntut pertanggungjawaban dan penghormatan hak milik (property rights).

    Kasus bangkrutnya perusahaan energi raksasa, Enron, di Amerika Serikat (AS) tahun 2001 merupakan contoh. Terbukti melakukan penipuan keuangan, Chief Executive Officer (CEO) Enron Jeffrey Skilling—salah satu lulusan terbaik Harvard Business School—divonis hukuman penjara 24 tahun 4 bulan. Skilling dan beberapa petinggi Enron lain telah menyembunyikan prospek buruk Enron untuk mendongkrak harga saham dan nilai pasar perusahaan itu. Dengan manipulasi mereka, Enron berkembang menjadi perusahaan ketujuh terbesar di AS dan mendapat predikat America’s Most Innovative Company dari majalah Fortune pada tahun 1996-2001.

    Hukuman berat itu menunjukkan pentingnya sebuah perekonomian pasar yang melindungi hak- hak pelakunya dan publik. Dalam kasus Enron, yang dilindungi adalah investor dan 21.000 pegawai. Para petinggi Enron bahkan harus menyerahkan aset-aset pribadi untuk ganti rugi.

    Yang menarik, penegak hukum di AS melakukan yurisprudensi dalam vonis petinggi Enron dan kantor akuntan Arthur Andersen sebagai auditor. Kejahatan Enron dan Arthur Andersen sebagai perusahaan harus dibebankan kepada individu para eksekutif puncak meski kesalahan mereka sekadar “tidak mau tahu” terhadap praktik bisnis kotor.

    Dalam satu aspek, perilaku Lapindo lebih destruktif dibandingkan dengan Enron. Lapindo merugikan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai akad ekonomi dengan perusahaan itu. Mereka bukan investor atau pegawai.

    Lapindo juga terindikasi mencari celah untuk “efisiensi” ganti rugi. Relokasi—bukan penggantian uang— menghilangkan pilihan warga terhadap tempat tinggal baru. Lebih jauh, kerugian warga disimplifikasi menjadi hilangnya hak milik (properties) dan menafikan kerugian karena hilangnya pekerjaan dan tekanan psikologis.

    Peran pemerintah

    Presiden Yudhoyono—atas nama warga—harus memaksa Lapindo membayar ganti rugi dalam bentuk uang, bukan cuma komitmen. Urgensi peran pemerintah mutlak. Hal ini disebabkan pertama, kerugian dan hilangnya hak milik telanjur terjadi dan begitu nyata; kedua, kekuatan tawar Lapindo dan warga yang amat asimetris. Dalam kondisi ini, “negosiasi” bipartit antara Lapindo mustahil berlangsung adil. Langkah konkretnya, bentuk sebuah auditor independen untuk menghitung kerugian. Valuasi kerugian jangan dikendalikan Lapindo.

    Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu.

    Selanjutnya, Presiden harus melakukan terobosan sehingga kesalahan Lapindo dapat ditarik dan dibebankan ke pundak petinggi perusahaan ini, bukan melulu operator lapangan. Langkah ini mencegah skenario—yang mulai dilontarkan beberapa politisi—untuk membebankan biaya kerugian kepada negara dengan dalih bencana nasional. Di sinilah ada hambatan ekonomi-politik yang kuat.

    Pemilik saham terbesar PT Energi Mega Persada—sebagai pemegang terbesar saham Lapindo saat lumpur panas pertama kali terjadi—merupakan pemain penting di pasar politik. Konsekuensi, ketegasan Yudhoyono mungkin bisa mengubah keseimbangan politik yang merepotkan.

    Persoalannya, di sisi lain, publik mulai curiga pemerintah juga melibatkan diri dalam “skandal” ini. Teori strukturalis menemukan faktanya di mana elite politik bermain mata dengan pebisnis besar bukan melulu soal kepentingan, tetapi juga kedekatan alami dari banyak aktivitas, seperti golf dan makan malam. Tidak heran baik Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Bupati Sidoarjo kerap terlihat berbicara atas nama Lapindo, bukan masyarakat yang dirugikan.

    Menyikapi mangkirnya pemerintah, ada pihak-pihak yang memiliki kewajiban moral untuk bertindak. Pertama, aktivis (misalnya di bidang lingkungan dan hak asasi manusia), tokoh agama, dan cendekiawan; Kedua, partai politik, terutama partai yang memiliki basis kuat di Jawa Timur, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 22 Maret 2007

  • Sonny Keraf: Ada Kesungkanan karena Aburizal Bakrie Ada di Pemerintahan

    APA boleh buat: nasi sudah jadi bubur, sawah telah jadi lumpur. Semburan gas dan lumpur panas dari sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung hampir sebulan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pada Senin pekan lalu menyatakan, semburan itu bukan akibat gempa, “Tapi karena kesalahan pengeboran.”

    Lapindo Brantas, anak perusahaan Energi Mega Persada, salah satu perusahaan yang tergabung dalam kelompok usaha Bakrie, awalnya memang menyebut gempa yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei lalu sebagai penyebab. Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) yang seharusnya mengontrol eksplorasi ini mengamini pernyataan itu. Tapi, “Itu manipulasi informasi,” ujar Sonny Keraf, Wakil Ketua Komisi VII DPR–komisi yang salah satunya membawahkan bidang lingkungan.

    Kejengkelan Sonny terhadap BP Migas–lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan eksplorasi minyak dan gas di Indonesia–sudah sampai ubun-ubun. Ia menunjukkan data inefisiensi penyelenggaraan kegiatan hulu migas (cost recovery) yang terus meroket dari tahun ke tahun, sementara produksi migas justru menurun. Pada 2002 cost recovery tercatat US$ 3,1 miliar, tapi tahun berikutnya menjadi US$ 5,3 miliar. Tahun lalu angka itu terus naik menjadi US$ 7,5 miliar, setara dengan Rp 24,2 triliun.

    Selasa pekan lalu, Sonny menerima wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, serta fotografer Cheppy A. Muchlis untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya Gedung Nusantara I, DPR-RI. Menteri Lingkungan Hidup dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid ini menjawab semua pertanyaan dengan tenang, tak meledak-ledak.

     

    Mengapa bencana Lapindo Brantas ini terjadi?

    Kalau ditarik ke hulu, sangat mungkin berawal dari proses tender yang jatuhnya ke perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama. Karena berada dalam satu grup, kontrol dari kontraktor terhadap proses kerja perusahaan yang melakukan pengeboran tidak berjalan semestinya.

    Maksud Anda ada indikasi kolusi?

    Kalau saya dan Anda masih satu kelompok dan Anda mendapat tender dari saya, akan ada kecenderungan saya tidak akan dengan tegas mengontrol, mengendalikan, atau menegur Anda dan seterusnya. Polisi harus mengusut bagaimana kaitan antara Lapindo Brantas dan kontraktor, apakah ada indikasi kolusi atau tidak. Sebab, hal itu sangat berpengaruh terhadap proses kontrol, termasuk pemilihan teknologi dan peralatan yang digunakan. Bisa saja ada upaya penghematan untuk menaikkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga prosedur operasi standar tidak dipenuhi.

    Apa alasan tudingan Anda ini?

    Ketika Lapindo Brantas, BP Migas, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut pergeseran patahan akibat gempa di Yogyakarta (sebagai penyebab semburan lumpur) dalam penjelasan resmi di Komisi VII, saya langsung curiga. Penjelasan yang seragam ini merupakan manipulasi informasi, karena belakangan terbukti penyebabnya bukan itu.

    Kini tim independen sudah dibentuk. Anda percaya?

    Saya tidak percaya kepada tim ini. Saya tidak yakin BP Migas akan obyektif dan tidak campur tangan. Ini berdasarkan pengalaman di Newmont Minahasa, tatkala ada tim teknis yang dibentuk oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Teman-teman dalam tim tidak bisa leluasa mengungkapkan temuan mereka karena ada intervensi dari berbagai pihak. Itu membuat tidak semua yang ditemukan bisa diungkap. Problemnya, kalau tim ini sama sekali terlepas dari BP Migas, kita terbentur pada kendala teknis: siapa yang akan membiayai? Di luar itu saya mengharapkan ada tim pemantau dari masyarakat, mungkin dari Walhi dan pakar geologi serta geoscience di bidang perminyakan. Ini penting karena kita tahu Lapindo Brantas dimiliki oleh kelompok Bakrie. Saya khawatir ada kesungkanan dalam mengungkapkan ini, karena Pak Aburizal Bakrie ada di dalam pemerintahan sekarang.

    Apa alasan kekhawatiran itu?

    Dalam penjelasan awal yang saya anggap ada manipulasi untuk menyalahkan alam tadi, saya mendapatkan kesan jangan-jangan ini disebabkan Lapindo dimiliki kelompok usaha Bakrie.

    Anda melihat langsung penanganan di lapangan, bagaimana menurut Anda?

    Ada tiga hal menarik. Pertama, tidak ada koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat, baik dari BP Migas, Lapindo Brantas, pemerintah provinsi, kabupaten, maupun instansi lain. Lembaga penelitian dari berbagai universitas datang sendiri-sendiri dan mengambil sampel di titik yang berbeda, sehingga bisa saja temuan mereka sangat bervariasi. Ini disebabkan lemahnya kepemimpinan dalam manajemen penanganan bencana.

    Kedua, tidak ada komunikasi yang baik dengan masyarakat. Taruhlah satu-dua hari pertama orang masih sibuk dengan berbagai upaya untuk memahami fenomena ini. Tapi, paling lama satu minggu setelah itu, seharusnya ada pihak yang powerful–disegani, dipercaya, kredibel–untuk tampil mengatasi suasana dan menjelaskan ke masyarakat. Fungsi ini harus dilakukan BP Migas karena menurut undang-undang memang lembaga inilah yang memiliki kewenangan untuk itu.

    Ketiga, seorang penduduk yang pernah bekerja di pengeboran minyak dan rumahnya berhadapan langsung dengan sumur itu menyebutkan tidak ada aktivitas tanggap darurat yang jelas begitu bencana terjadi. Agak lama setelah bupatinya turun tangan, baru Lapindo menyediakan alat berat membangun tanggul bersama masyarakat. Tapi itu baru seminggu kemudian. Sudah terlambat.

    Tentang materi lumpur itu sendiri?

    Ini juga menarik. Pemerintah, termasuk Lapindo, di Komisi VII mengatakan bahwa lumpur itu bukan bahan beracun dan berbahaya (B3). Itu pernyataan yang gegabah. Salah satu anggota Komisi VII, Catur Sapto Edi (PAN), yang memahami betul soal B3, mengatakan itu kekeliruan yang besar. Sebab, di lapangan ditemukan tarbol, yaitu gumpalan minyak hitam, seperti ter yang mengapung di atas lumpur. Itu saja berarti ada B3. Belakangan ada temuan dari ITS di Surabaya dan pihak yang lain bahwa ditemukan juga fenol serta zat-zat lain.

    (Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 45 Tahun 2002 untuk air golongan III, yakni air untuk peternakan dan pembudidayaan ikan, ambang kandungan fenol adalah 1 miligram per liter. Sedangkan dari sampel lumpur yang diambil 40 meter di utara jalan tol Porong-Gempol, kandungan fenol tercatat tiga kali lebih tinggi, yakni 3,37 miligram per liter-Red).

    Menteri Negara Lingkungan Hidup pernah mengatakan bahwa lumpur itu tidak beracun?

    Itu juga mengejutkan saya. Dalam dialog di radio dengan Ketua Komisi VII Agusman Effendi pada 12 Juni lalu, Pak Rachmat Witoelar mengatakan bahwa lumpur itu bukan B3. Saya tanyakan lewat SMS. Beliau mengatakan informasi itu didapatnya dari lapangan. Untungnya Pak Rachmat lalu meralat pernyataannya.

    Tentang kompensasi per keluarga senilai Rp 200 ribu itu, layakkah?

    Saya yakin tidak semua masyarakat sekitar yang terkena lumpur mendapat kompensasi. Di lapangan saya temukan warga yang tinggal sangat dekat dengan tanggul pun mengaku tidak mendapat apa pun. Saya tidak tahu mereka ngomong benar atau tidak. Jadi ada kemungkinan pembagian kompensasi tidak merata. Saya tidak tahu kelanjutannya sekarang.

    Bagaimana menghitung kompensasi bagi penduduk atas kerugian yang mereka alami?

    Ada satu sub dalam tim independen yang melakukan perhitungan itu, baik kerugian material maupun imaterial. Material misalnya sawah mereka yang rusak dan kesehatan yang terganggu. Imaterial misalnya biaya yang muncul karena mereka kehilangan hari kerja, baik karena sakit maupun karena mereka harus mengawasi lumpur agar tidak membanjiri rumah. Kemudian sejauh mana sumur dan air mereka terkena. Juga harus diperhitungkan kerugian jalan tol, tidak hanya Jasa Marga tapi juga warga pengguna yang aktivitasnya terhambat. Belum lagi pabrik-pabrik di sekitarnya yang terhenti kegiatannya. Tentang ini Komisi VII sudah mengeluarkan dua sikap. Pertama, semua kerugian harus ditanggung Lapindo Brantas. Kedua, agar biaya yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk ganti rugi tidak dimasukkan ke cost recovery. Kalau biaya itu termasuk cost recovery, negara dan pemerintah provinsi akan ikut menanggung karena ada porsi dari bagi hasil.

    Artinya, masyarakat yang jadi korban, masyarakat juga yang harus membayar?

    Betul. Itu kan tidak fair.

    Apakah ada sinyal Lapindo Brantas akan memasukkan ganti rugi itu sebagai cost recovery?

    Tahun lalu Komisi VII melakukan diskusi panjang dengan BP Migas tentang parameter cost recovery, karena kami lihat tidak ada ukuran jelas dalam menentukan ini. Tentu saja BP Migas mengatakan ada, tetapi di dalam prakteknya banyak hal yang tidak jelas. Saya katakan secara ekstrem pembantu (rumah tangga) ekspatriat yang sakit pun masuk cost recovery. Ini luar biasa merugikan. Itu sebabnya kami khawatir, biaya ganti rugi nantinya akan diklaim Lapindo Brantas sebagai cost recovery dengan alasan biaya ini muncul dalam proses pengeboran.

    Tapi rekomendasi Komisi VII kan tidak mengikat?

    Komisi VII akan meminta BP Migas tidak menyetujui itu.

    Anda yakin BP Migas akan melakukan itu?

    Itulah. Saya lihat BP Migas memang sangat lemah. Tapi, karena ini keputusan politik, seharusnya BP Migas bisa lebih tegas.

    Apa penyebab kelemahan BP Migas?

    Sebenarnya di sana banyak ahli. Saya khawatir ini cuma masalah kepemimpinan. Mungkin Pak Kardaya (Kardaya Warnika, Ketua BP Migas–Red) kurang tegas menggunakan wewenangnya. Saya tidak tahu apakah karena beliau tidak mampu mengontrol pengusaha migas karena tekanan dari pemerintah atau karena lobi-lobi lain.

    Tapi Ketua BP Migas kan dipilih oleh DPR juga?

    Pak Kardaya memang dipilih oleh Komisi VII. Jadi harus lebih diberdayakan. Juga pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral perlu mendorong BP Migas agar lebih kuat mewakili pemerintah dalam mengendalikan kegitan-kegiatan di sektor hulu ini. Jika memang nanti ditemukan ada unsur kelalaian prosedural dari Lapindo, BP Migas harus ikut bertanggung jawab. Kalau perlu Pak Kardaya mundur.

    Seperti apa contoh kelalaian prosedural itu?

    Seperti yang sudah diungkapkan media, Medco ternyata sudah mengingatkan kepada Lapindo bahwa casing (selubung) harus segera dipasang pada mata bor. Polisi harus mengusut ini untuk mengetahui seberapa besar unsur kelalaian dan kesengajaan. Kalau memang terbukti, harus ada proses pidana dan perdata. Kalau perlu, izin Lapindo dicabut karena merugikan masyarakat.

    Bagaimana memastikan investigasi terhadap kasus ini bisa obyektif?

    Di sini menurut saya hasil kerja tim independen menjadi penting. Dengan seluruh kepakaran yang dimiliki, mereka harus meneliti dan menyisir semua dokumen, termasuk dokumen seismik dan dokumen teknis lainnya. Kalau seluruh dokumen ini bisa dibuka untuk semua pihak, termasuk wartawan, kerja polisi pun bisa dikontrol. Apalagi kalau ada tim pemantau dari lembaga seperti Walhi dan pakar geoscience lainnya. Tim pemantau dari luar menjadi penting untuk mengingatkan tim independen kalau-kalau, entah karena lalai atau sengaja, mengabaikan dokumen atau bukti tertentu.

     

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Bernapas dalam Lumpur

    Infeksi saluran pernapasan akut menggerogoti kesehatan warga yang wilayahnya tergenang luapan lumpur panas. Penyakit minamata mengancam.


    BAU telur busuk yang menyengat hidung kini biasa dihidu warga desa Renokenongo, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Di sana, lumpur panas bercampur hidrogen sulfida (H2S) sudah hampir sebulan terus menyembur dari perut bumi.

    Banjir lumpur panas bahkan sudah menjadi bencana dan meluber ke desa-desa tetangga seperti Jatirejo dan Siring. Paru warga setempat dipaksa menghirup udara tercemar. Hasilnya, lebih dari 800 warga mesti menjalani perawatan medis. Sebagian terpaksa ngendon di bangsal rumah sakit.

    “Mayoritas pasien mengalami infeksi saluran pernapasan akut,” kata Komisaris Polisi Hadi Wahyana, Kepala Rumah Sakit Bhayangkara, Porong, yang kebanjiran pasien dadakan. Gejala yang dialami warga adalah sesak napas, pusing, mual, dan muntah. Ada juga pasien yang mengidap gangguan pencernaan seperti diare.

    Serbuan udara tercemar gas yang baunya mirip belerang itu menjadi ancaman lebih serius bagi mereka yang memiliki riwayat sakit paru kronis. Contohnya Suwoto, 76 tahun. Nyawa warga Renokenongo ini tak tertolong, meski sempat menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Hal serupa dialami Abdul Syukur Achyar, 57 tahun, warga Jatirejo yang meninggal pada hari yang sama.

    Penyakit Suwoto kambuh pada Senin dua pekan lalu. Keesokan harinya, ia langsung dibawa ke RS Bhayangkara. Hampir sepekan dirawat, kondisinya tak kunjung membaik. Ayah enam anak itu akhirnya dirujuk ke RSUD Sidoarjo. Di sana tim medis juga tak bisa berbuat banyak. Nyawa Suwoto tak bisa diselamatkan. “Udara tercemar membuat penyakitnya tambah parah dan sulit disembuhkan,” kata Hadi, yang bolak-balik menangani Suwoto sejak 2004.

    Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Airlangga Surabaya, Profesor Mukono, mengatakan bahwa semburan gas mempercepat proses meninggalnya Suwoto dan Syukur. Gas berbau busuk yang mereka hirup membawa dampak psikologis dan kesehatan yang makin buruk. Gejala yang terlihat, antara lain, mual, pening, dan jantung berdebar-debar. Kematian mereka, dalam istilah orang Jawa Timur, jadi seperti disengkakne (dipacu).

    Tak mau terperangkap udara tercemar gas yang diduga beracun, warga di daerah genangan lumpur makin banyak yang mengungsi. Pasar Baru Porong yang disediakan untuk tempat pengungsian makin berjubel.

    Bertahan di rumah dan bernapas di antara kubangan lumpur bukan lagi pilihan, karena kesehatan pernapasannya bakal terus tergerus. Tengok saja nasib keluarga Suparman, 49 tahun, warga Jatirejo. Gara-gara bertahan tinggal di rumah, istri, anak, dan dirinya sendiri harus opname di rumah sakit akibat saluran pernapasannya bermasalah.

    Bukan cuma udara tercemar bau busuk yang berbahaya. Pencemaran air di lokasi semburan lumpur oleh raksa, sulfat, nitrit, dan amonia bebas juga menimbulkan masalah. Soalnya, zat-zat itu potensial mengganggu kesehatan.

    Tim ahli dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) sudah menyatakan bahwa dari uji sampel, kandungan air di sana menunjukkan lonjakan zat-zat yang luar biasa. Kandungan raksa mencapai 2,565 miligram per liter (baku mutu 0,002 miligram per liter), sulfat 1437,5 miligram per liter (baku mutu 0), nitrit 6,60 miligram per liter (baku mutu 0,06), dan amonia bebas 154,5 miligram per liter (baku mutu mustinya 0).

    Mukono mengingatkan ada bahaya mengintai lantaran merebaknya zat-zat itu. Amonia bebas, misalnya, bila langsung terkena kulit akan menimbulkan iritasi dan gatal-gatal. Penyakit yang sama muncul bila terjadi kontak langsung dengan nitrit.

    Ancaman bahaya lebih besar pun sudah diramalkan. “Bila raksa masuk ke tubuh secara menahun, bisa timbul penyakit minamata,” kata Mukono. Penyakit yang muncul akibat mengkonsumsi makanan tercemar logam berat merkuri ini (Latin hydrargyrum, bersimbol Hg, raksa) pernah terjadi di Minamata, Jepang, pada 1950-an. Akibatnya, ratusan orang tewas.

    Penyakit minamata terjadi jika masyarakat mengkonsumsi makanan atau air yang mengandung raksa selama 20 tahun atau lebih. Raksa yang mengendap dalam tubuh akan memicu munculnya gangguan saraf pusat. Sebab itu, masyarakat di kawasan semburan lumpur panas harus berhati-hati.

    Dwi Wiyana, Sunudyantoro, Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Maut di Mulut Sumur

    Semburan lumpur dan gas di tambang-tambang minyak dan gas acap terjadi. Biasanya terjadi karena operator teledor.

    MALAM di Gaoqiao biasanya larut dalam kesenyapan ala pedesaan Cina. Ada suara jangkrik dan angin dingin. Tapi, tidak malam itu. Sebuah ledakan keras merobek langit Gaoqiao. Suaranya berdebum. Ribuan orang yang meringkuk di balik selimut terkesiap. Sebagian warga mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Belum lagi mata terbuka sempurna, hawa panas dan bau busuk merayap ke rumah-rumah penduduk.

    Sebagian warga berhamburan meninggalkan rumah. Namun, banyak juga yang bertahan di rumah sembari menutup rapat-rapat jendela, pintu, dan lubang angin: pilihan yang keliru, sebab dengan begitu makin banyak racun yang terhirup ke paru-paru. Dalam hitungan menit, ribuan orang pun menggelepar.

    Rumah sakit-rumah sakit Kai panik. Mereka kebanjiran 243 mayat dan ribuan orang yang keracunan gas hidrogen sulfida serta sebagian kulitnya melepuh. Mereka datang dari 28 desa di Kai. Sekitar 41 ribu orang lainnya diungsikan menjauhi Gaoqiao. Esok harinya, pemerintah Cina mengumumkan ledakan 23 Desember 2003 itu terjadi karena semburan gas liar di tambang gas Chuangdongbei, Gaoqiao. Tambang itu dikelola Sichuan Petroleum Administration, milik China National Petroleum Corporation.

    Kejadian itu mirip dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Bedanya, di Gaoqiao hanya gas yang muncrat dari mulut sumur. Tak ada lumpur. Walau begitu, gas-gas yang baunya seperti kentut itu mencopot ratusan nyawa.

    Tragedi itu membuat miris pemerintah Cina. Mereka langsung mengirim tim pengendali bencana ke desa yang bersuhu rata-rata 0 sampai 4 derajat Celsius itu. Langkah pertama, tim itu adalah membakar gas, agar tak menyebar. Setelah itu, tim menyuntikkan 260 ton lumpur dan semen untuk menutup sumur.

    “Ini salah operator,” kata San Huashan, Deputi Direktur Keselamatan Kerja dan Administrasi Negara Cina seperti dikutip kantor berita Xinhua. “Mereka tidak mempersiapkan perangkat untuk menangani gas sulfur bertekanan tinggi.” Kesalahan itu, tutur San, bermula dari kesalahan operator memperkirakan kapasitas produksi dan kandungan gas di sumur.

    Tim pengendali juga menemukan sederet dosa operator lainnya, antara lain mereka tidak membakar gas yang keluar dan ada katup pengendali tekanan yang sengaja dilepaskan. Akibat keteledoran itu adalah sebuah semburan pembunuh yang dikenang sejarah. Sembilan bulan kemudian, pengadilan memvonis enam karyawan Sichuan Petroleum dengan hukuman penjara tiga sampai enam tahun.

    Bisnis tambang memang tak steril dari kecelakaan semburan lumpur dan gas. Di Indonesia kecelakaan seperti di Gaoqiao itu pernah terjadi di sumur Randublatung-A di Desa Sumber, Blora, Jawa Tengah, pada 2 Februari 2002. Semburan gas busuk itu membuat 4.400 penduduk mual dan pusing. Kepolisian Blora mencatat, sekitar 300 warga dirawat jalan dan dua orang lainnya dirawat inap di Rumah Sakit Cepu karena batuk dan sesak napas.

    Sumur Pertamina yang berjarak 100 meter dari pemukiman penduduk itu ditaksir memiliki 6 juta barel cadangan hidrokarbon. Gas yang menyelimuti Desa Sumber itu mengandung etana, propana, butana, pentana, karbondioksida, dan hidrogen sulfida. Untuk menyumpal kebocoran, kata Kepala Operasi Pemadaman R. Sujatmo, Pertamina menyemprotkan lumpur berat ke sumur. Perusahaan tambang pelat merah itu juga mengalirkan beribu-ribu liter air lewat pipa sepanjang 2,3 kilometer.

    Konsultan Geologi dan Perminyakan Untung Sumartoto mengungkapkan, semburan gas liar yang disertai keluarnya air dan tanah seperti di sumur Banjar Panji-1, Porong, jarang terjadi. “Biasanya gas atau minyak saja,” kata Untung.

    Albert Tilaar, konsultan yang pernah bekerja di perusahaan tambang asing, bercerita, kejadian di Porong itu pernah terjadi di Riau. “Lumpur menyembur hingga membentuk menjadi bukit,” ujarnya. Di tempat lain, kebocoran itu mengisap benda-benda yang ada di muka bumi. “Ada traktor beserta sopirnya terisap ke dalam bumi.” Namun, musibah itu selesai setelah operator menginjeksi lumpur dan semen.

    Efri Ritonga, Sohirin, L.R. Baskoro

    Sumber: No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Ke Mana Lumpur Dibuang

    SUDAH berhari-hari warga Desa Kedungbendo bergotong-royong membangun tanggul penahan lumpur. Penduduk setempat tak ingin kampung mereka terendam lumpur dari sumur PT Lapindo Brantas seperti tiga desa di sekitar Lapindo-Desa Siring, Jatirejo, dan Renokenongo. Tapi, akhirnya, pekan lalu jebol juga tanggul di Kedungbendo.

    Sudah hampir sebulan kebocoran di Lapindo terjadi, tapi amuk lumpur itu belum bisa dihentikan, juga belum bisa dibuang. Lapindo sejatinya telah menyiapkan tiga kolam penampung lumpur. Satu ada di sebelah utara jalan tol Porong-Gempol atau hanya 200 meter dari sumur Lapindo. Dan dua kolam lainnya berada di sebelah selatan jalan tol Porong-Gempol. “Itu bisa menampung lumpur sampai tiga pekan,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo Brantas.

    Ternyata perhitungan Imam meleset, jangkauan lumpur meluas ke Kedungbendo yang letaknya berdekatan dengan kolam pertama. Belakangan, para pejabat setempat baru sadar bahwa volume lumpur yang menyembur dari ladang Lapindo itu lebih besar dari yang diperkirakan semula, 5.000 meter kubik per hari. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperkirakan volume lumpur yang mengalir dari dasar bumi itu sebesar 50 ribu meter kubik per hari.

    Taksiran tersebut sama dengan hitungan tim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) yang telah meneliti di 16 titik di kawasan yang digenangi lumpur. “Itu angka paling ekstrem,” kata Anggraeni, salah satu anggota tim ITS.

    Untuk mencegah perluasan lumpur, ITS mengusulkan agar areal kolam penampung lumpur yang semula 24 hektare diperluas jadi 225 hektare. “Lokasinya di kecamatan Porong, Tanggulangin, dan kecamatan Jabon,” kata Hasan Basri.

    Saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo baru menyiapkan lahan 85 hektare dan 24 hektare di antaranya di Desa Renokenongo. Jika semua kolam telah siap, diperkirakan bisa menampung lumpur selama dua bulan. Rencananya, setelah lumpur diendapkan di kolam, air di bagian permukaan akan dialirkan ke kali Porong.

    Teori ini bisa jalan jika kolam-kolam itu saling berdekatan. Masalahnya, letak kolam pertama dengan kolam kedua dan ketiga berjauhan. Saat ini kolam kedua dan ketiga masih melompong alias belum teraliri lumpur.

    Semula Lapindo berharap lumpur secara otomatis mengalir ke kolam tersebut karena bantuan gaya gravitasi. Namun, lumpur ternyata tidak bergerak arah ke kolam. Lumpur itu malah menerjang belasan pabrik dan rumah warga Jatirejo dan Renokenongo.

    Lapindo sebenarnya berusaha mengalirkan lumpur itu ke kolam kedua dan ketiga dengan sedotan mesin. “Tapi hanya jalan sebentar dan akhirnya macet,” ujar Subakri, Sekretaris Desa Renokenongo. Alhasil, kini lumpur bergerak semaunya sendiri. Duh.

    ZA, Sunudyantoro dan Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Hidup di Atas Garis Lumpur

    Di bawah Porong, Sidoarjo, membentang garis lumpur. Inilah penyebab lumpur terus menyembur deras dan menggenangi empat desa.

    PERBURUAN itu hampir mencapai klimaksnya. Sudah dua hari mesin pengeruk itu menderu-deru menggaruk lumpur. Akhirnya, keran merah yang dicari-cari itu menyembul. Ukurannya cukup besar, diameternya setengah meter. Tapi, karena terpendam lumpur sedalam tiga meter, keran itu sulit dicari.

    Puluhan orang berseragam hitam segera membersihkan keran itu dengan kecekatan seorang geolog. Mereka sisihkan lumpur dengan teliti. “Kini kami tinggal memasang snubbing unit ke sumur ini,” ujar seorang petugas berseragam. Snubbing unit atau peralatan pengebor yang mudah dipindahkan itu diangkut delapan truk trailer. “Ini untuk mendeteksi dan menyumbat sumber retakan yang menyemburkan lumpur,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo, menimpali.

    Perburuan selanjutnya adalah mencari sumber aliran lumpur. Inilah salah satu pekerjaan tersulit. Sudah hampir sebulan ledakan lumpur di Kecamatan Porong, Sidoarjo, terjadi, tapi lumpur terus saja menyembur. Menurut hitungan Lapindo, saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur dimuntahkan dari perut bumi.

    Menurut Imam, jika pusat semburan sudah ditemukan, baru dilakukan penyuntikan materi penyumbat rekahan. Menurut perhitungannya, paling cepat penyuntikan selesai pertengahan Juli. Namun, perkiraan ini terlalu ambisius karena sampai akhir pekan lalu tim ahli belum menemukan di mana pusat semburan. Inilah repotnya.

    Padahal, semakin lama petaka ini dibiarkan, akan semakin luas dan tinggi genangan lumpur. Tim ahli geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) punya taksiran lain soal volume lumpur yang sudah menenggelamkan empat desa di Sidoarjo. Menurut lembaga ini, volume semburan per hari mencapai 50 ribu meter kubik, 10 kali lipat dari taksiran Lapindo. Luas genangannya dalam petaka yang sudah berumur hampir sebulan ini mencapai 110 hektare lebih. Jadi, sampai pekan lalu diperkirakan sudah 1,1 juta meter kubik lumpur yang dimuntahkan.

    Temuan itu didapat setelah mereka meneliti ketinggian lumpur di 16 lokasi. Di dekat sumber lumpur, kedalaman lumpur mencapai 6 meter. Semakin menyamping kian rendah mencapai 3 meter dan paling pinggir 1,5 meter. “Anggota tim sempat terperanjat karena semula volume yang ditaksir tak setinggi itu,” kata Makky Sandra Jaya, sekretaris tim yang dibentuk oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) dan Lapindo.

    Dari mana datangnya lumpur yang tak berhenti mengalir itu? Menurut penyelidikan tim ahli geologi ITS, mereka menemukan dua patahan kulit bumi di bawah permukaan jalan tol dan di Desa Renokenongo. Retakan itu ada di kedalaman 6.000 meter, lebih dalam dari sumur Lapindo yang baru mencapai kedalaman 3.000 meter.

    Menurut Seno Puji Sarjono, anggota tim tersebut, lumpur panas yang menyembur dan merendam empat desa di Kecamatan Porong naik dari patahan yang retak tersebut. Tim itu kini masih meneliti retakan ini memiliki hubungan dengan pengeboran. “Juga apakah retakan itu menyambung ke lubang bor,” ujarnya.

    Untuk mengetahui lokasi patahan, tim menggunakan pemancar gelombang radio buatan Australia. Tim ini telah mengendus kemungkinan adanya retakan lain seperti di Desa Jatirejo dan Jalan Raya Porong. Hasil penelitian retakan ini akan menentukan pemasangan snubbing unit. “Sebab, jangan-jangan nanti satu ditutup, muncul retakan yang lain,” kata Seno.

    Adanya retakan bumi di bawah tambang Lapindo ini juga diungkap Rovicky Dwi Putrohari, geolog Indonesia yang kini bekerja di Malaysia. Menurut dia, patahan di daerah Porong itu membujur dari timur laut ke barat daya. Pendapat Rovicky ini mengutip penelitian Arse Kusumastuti, yang menemukan bahwa pernah terjadi runtuhan (collapse) di daerah itu pada masa lampau.

    Geolog yang rajin mengulas soal gempa dan pergeseran kulit bumi di berbagai milis ini menuturkan, dalam pengeboran, ujung mata bor itu sampai pada lapisan lempung. Lapisan ini menjadi tak stabil karena tercampur dengan air bawah tanah, sehingga menjadi seperti bubur.

    Melihat adanya patahan itu, Rovicky memperkirakan empat kemungkinan sumber kebocoran. Pertama, keluar dari pinggir lubang lama yang sudah diberi pipa selubung oleh Lapindo. Kedua, berasal dari lubang yang belum diselimuti casing, lalu lumpur keluar melalui patahan yang terpotong lubang sumur. Ketiga, sumber lumpur tidak ada hubungannya dengan sumur Banjar Panji-1.

    Jika sudah diketahui sumber kebocoran, maka ada dua skenario penyumbatan. Pertama menyuntikkan lumpur dan semen lewat lubang sumur Banjar Panji-1. Kedua, membuat sumur baru di samping sumur lama, lalu dari samping diinjeksi lumpur dan semen ke pusat kebocoran. Kita berharap sumber kebocoran itu bisa segera disumbat sebelum lumpur pelan-pelan menenggelamkan Sidoarjo.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Adi Mawardi, Sunudyantoro, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Karena Lambat, Tak Selamat

    PENANGANAN kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, banyak menuai kritik. Sejak petaka ini muncul pada 29 Mei lalu, gerak pemerintah tak cukup gesit. Buktinya, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar kasus ini segera ditangani, tak pernah jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Akibatnya, bencana meluas.

    Baru pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menunjuk Grup Bakrie harus ikut menanggung beban kerugian yang ditimbulkan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie-yang belum sekali pun melongok ke Sidoarjo-akhirnya juga menyatakan Lapindo Brantas harus bertanggung jawab. Namun soal detailnya bagaimana, Ical-sapaan akrabnya-meminta kasus ini ditanyakan kepada Nirwan Bakrie, adiknya yang kini banyak menangani perusahaan keluarga Bakrie.

    29 Mei

    Semburan lumpur panas terjadi di kawasan pengeboran gas milik Lapindo Brantas yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Manajemen Lapindo menyebutkan ini akibat gempa bumi.

    5 Juni

    PT Medco E&P Brantas, rekanan kerja sama operasi pengeboran, mengirim surat ke Lapindo. Medco pada 18 Mei telah mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing) di kedalaman 8.500 kaki untuk mengantisipasi kebocoran.

    12 Juni

    Komisi E DPRD Jawa Timur dalam dengar pendapat meminta Lapindo bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat. Suara senada diungkapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. Namun General Manager Lapindo, Imam Agustino, menyatakan tanggung jawab harus dipikul bersama dengan pemerintah.

    14 Juni

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta BP Migas melakukan investigasi.

    15 Juni

    Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Sutedjo Yuwono, menyatakan kementerian yang dipimpin Aburizal Bakrie ini belum perlu berkunjung langsung ke Sidoarjo. Alasanya, sudah diwakili Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Energi. Ketua DPR Agung Laksono menilai gerak pemerintah lamban.

    16 Juni

    General Manager Lapindo, Imam Agustino, membantah luapan lumpur akibat kesalaham timnya dalam pengeboran. Menteri Lingkungan Hidup menyatakan pengenaan sanksi atas Lapindo masih menunggu hasil tim investigasi.

    19 Juni

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro di Surabaya menyatakan, semburan lumpur panas bukan akibat gempa bumi, tapi kesalahan pengeboran.

    20 Juni

    Wakil Presiden Jusuf Kalla di Sidoarjo meminta Lapindo bertanggung jawab atas seluruh kerugian warga. Hadir dua wakil Grup Bakrie: Nirwan Bakrie dan Ari Sapta Hudaya. Nirwan meminta maaf atas nama keluarga Bakrie dan bersedia mengganti kerugian. Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teriyana, tetap menyatakan pihaknya telah melakukan pengeboran menurut prosedur operasi standar (SOP).

    21 Juni

    Menteri Aburizal Bakrie menyatakan Lapindo harus bertanggung jawab. Menteri Pertanian Anton Apriyantono meminta Lapindo memberikan ganti rugi atas lahan pertanian yang rusak.

    22 Juni

    Kepolisian RI menyatakan rekanan PT Lapindo, PT Medici Citra Nusantara, tak melaksanakan prosedur standar operasi pengeboran. Kelalaian pemasangan selubung (casing) pipa bor bisa dimasukkan ke kategori pidana.

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berujung pada Dua Dinasti

    KELUARGA Bakrie, tak bisa tidak, harus menanggung beban kerugian akibat bencana semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Semburat puluhan ribu kubik lumpur yang kini merendam empat desa dan membuat puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk mengungsi ini berpangkal pada kesalahan pengeboran oleh Lapindo Brantas Incorporated.

    Kontraktor pengeboran itu adalah Alton International Indonesia. Perusahaan yang baru didirikan pada Oktober 2004 ini dimiliki Alton International Singapore (30 persen)-anak perusahaan Federal International (2000) Ltd, yang bermarkas di 47/49, Genting Road, Singapura. Dalam siaran pers Federal pada 20 Januari lalu disebutkan, perusahaan patungan ini dimiliki pula oleh PT Medici Citra Nusantara.

    Jika ditelisik lebih jauh, baik Lapindo maupun Alton punya kaitan dengan keluarga Bakrie. Di Lapindo, bendera Grup Bakrie berkibar lewat PT Energi Mega Persada, yang bakal segera dimerger dengan PT Bumi Resources Tbk, anak perusahaan Grup Bakrie lainnya. Di Alton, jejak keluarga Bakrie terekam lewat kepemilikan saham Federal International atas nama Syailendra Surmansyah Bakrie (12,29 persen). Ia tak lain anak Indra Usmansyah Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie.

    Yang menarik, pertautan antara kontraktor pengeboran dan perusahaan operator ladang migas di Sidoarjo ini tak hanya berujung pada keluarga Bakrie. Di kedua perusahaan itu tertera pula nama pasangan suami-istri Rachman Latief. Di Energi Mega, Rennier Abdul Rachman Latief tercatat sebagai pemilik 3,11 persen saham, sekaligus menjabat komisaris. Ia pun dipercaya sebagai Presiden Direktur Lapindo. Sementara itu, sang istri, Nancy Urania Rachman Latief, merupakan pemilik 12,33 persen saham Federal.

    Dari komposisi itu, jelas keluarga Bakrie dan keluarga Rachman Latief termasuk yang akan kena “getah” kasus ini. Tapi bukan tak mungkin PT Medco E&P Brantas (anak perusahaan PT Medco Energi Internasional milik keluarga Panigoro) dan Santos Ltd (Australia) harus ikut menanggung beban kerugian. Sebab, keduanya ikut urunan modal mendanai proyek pengeboran itu (masing-masing 32 persen dan 18 persen). Sedangkan sisa participating interest (50 persen) didanai sendiri oleh Lapindo.

    Alton International Indonesia

    Berdiri pada Oktober 2004, Alton International Indonesia pada 20 Januari 2006 mengantongi kontrak proyek pengeboran ladang migas dari Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur. Kontrak dari anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk senilai US$ 24 juta (lebih dari Rp 220 miliar) ini berlaku setahun sejak pertengahan Februari 2006. Sekitar 30 persen sahamnya dimiliki oleh Alton International Singapore-anak perusahaan Federal International (2000) Ltd (Singapura)-sedangkan sisanya oleh PT PT Medici Citra Nusantara.

    Lapindo Brantas Inc

    Lapindo Brantas Incorporated berdiri pada 1996. Sebelum jatuh ke tangan PT Energi Mega Persada pada Maret 2004, perusahaan ini dimiliki oleh Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok migas Brantas seluas 3.050 kilometer persegi. Wilayah operasinya mencakup penambangan darat di Jawa Timur dan penambangan lepas pantai di Selat Madura, di antaranya lapangan gas Wunut dan Carat di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.

    PT Energi Mega Persada 

    PT Energi Mega Persada merupakan salah satu anak perusahaan milik Grup Bakrie, lewat PT Kondur Indonesia dan PT Brantas Indonesia. Bisnis intinya di bidang penambangan dan perdagangan minyak dan gas. Salah satunya di Selat Malaka, Sumatera, dan Blok Brantas di Jawa Timur. Pada 2004, perusahaan ini pun berhasil mengakuisisi penuh wilayah kerja penambangan di Blok Kangean, Jawa Timur. Tak lama lagi, Energi Mega bakal dilebur dengan PT Bumi Resources Tbk, salah satu anak perusahaan Grup Bakrie lainnya.

    Metta Dharmasaputra, Yandhrie Arvian, Y. Tomi Aryanto

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Menangguk Ampas Berlumpur

    Keluarga Bakrie diminta menanggung semua kerugian. Medco dan Santos belum tentu selamat.

    SOSOK yang paling dinanti itu akhirnya muncul juga. Di Pasar Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Nirwan Bakrie bersama rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla datang menemui ribuan pengungsi korban lumpur panas. Kehadiran pemegang kendali usaha Grup Bakrie itu, Selasa pekan lalu, menyedot perhatian.

    Ia langsung diberondong tuntutan ganti rugi. Soalnya, Lapindo Brantas Incorporated, salah satu anak perusahaan Grup Bakrie, dituding menjadi biang keladi semburan lumpur panas sebulan terakhir ini di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Lumpur merendam Desa Jatirejo, Renokenongo, Siring, dan Kedungbendo. Sawah produktif yang terbenam lumpur kini sudah 127,29 hektare, dan mengancam 503 hektare lainnya. Lumpur juga menggenangi jalan tol Gempol-Surabaya setinggi 20 sentimeter.

    Rata-rata volume semburan melejit, dari 5.000 meter kubik per hari menjadi 50 ribu. Jika ditotal, volume lumpur yang sudah muntah mencapai 1,1 juta meter kubik–setara dengan 183 ribu truk ukuran sedang.

    Jusuf Kalla meminta kelompok usaha Bakrie menanggung seluruh kerugian. “Keluarga Bakrie harus berada di depan,” katanya sembari menunjuk Nirwan dan direksi Lapindo. “Sebagai perusahaan nasional, Lapindo harus memberikan contoh.” Nirwan, yang didampingi Presiden Direktur PT Bumi Resources Tbk (anak perusahaan Grup Bakrie) Ari Saptari Hudaya dan General Manajer Lapindo Imam P. Agustino, pun mengangguk takzim.

    Memang sulit menampik keberadaan keluarga Bakrie di balik kasus ini. Selain Lapindo, perusahaan kontraktor pengeboran yang ditunjuk, PT Medici Citra Nusantara, ternyata juga punya kaitan dengan keluarga Bakrie. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari lalu.

    Alton Indonesia didirikan Medici dan Alton International Singapore (AIS)–anak perusahaan Federal International (2000) Ltd-pada Oktober 2004. Di Federal inilah, Syailendra Surmansyah Bakrie (anak Indra Usmansyah Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie) dan Nancy Urania Rachman Latief (istri Rennier Abdul Rachman Latief, Komisaris PT Energi Mega Persada, induk Lapindo) tercatat sebagai pemilik saham.

    Kepemilikan saham Nancy dan Syailendra yang semula kurang dari 7 persen membengkak jadi sekitar 23 persen, setelah membeli 42 juta lembar saham pada 9 Januari lalu. “Kami percaya mereka dapat membantu memperkuat bisnis kami di Indonesia,” kata Koh Kian Kiong, CEO Federal, sumringah.

    Mimpi Koh terbukti. Tak sampai dua minggu, Alton Indonesia menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta. “Kontraktor ini terpilih karena masih orang dekat Lapindo,” ujar sumber Tempo. Terakhir, total saham Nancy dan Syailendra hampir mencapai 25 persen, yang merupakan pemilik saham mayoritas Federal.

    * * *
    KEMBALI ke soal ganti rugi, menurut Jusuf, Lapindo antara lain harus membayar gaji buruh yang pabriknya tutup, memperbaiki jalan, sekolah, serta mengembalikan rumah warga seperti semula. “Warga tak boleh rugi satu sen pun,” katanya. Nirwan berjanji akan memenuhi tuntutan itu. “Atas nama keluarga Bakrie, kami pun minta maaf,” katanya.

    Keesokan harinya, giliran sang kakak, Aburizal Bakrie, yang meminta Lapindo bertanggung jawab. Detailnya bagaimana, ia meminta ditanyakan langsung ke Grup Bakrie. “Jangan tanya saya, saya kan Menko Kesra,” kata Ical yang belum sekali pun melongok lokasi bencana.

    Petaka di Sidoarjo bermula ketika sepetak sawah di Desa Renokenongo menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter pada 29 Mei lalu. Karena lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji 1, tudingan langsung mengarah ke Lapindo. Di sumur itulah Lapindo melakukan pengeboran gas pertama, awal Maret lalu.

    Sepucuk surat tertanggal 5 Juni 2006 dari Medco E&P Brantas menguatkan tudingan tersebut. Surat dari Budi Basuki, wakil Medco di komite operasi itu, ditujukan kepada General Manager Imam P. Agustino. Dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo itu disebutkan, pada rapat teknis 18 Mei 2006, anak perusahaan Medco Energi Internasional ini telah mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing).

    Selubung berdiameter 9-5/8″ (sekitar 25 sentimeter) mestinya dipasang di kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter). Fungsinya untuk mengantisipasi potensi hilangnya sirkulasi lumpur (loss) dan tendangan balik yang memuntahkan lumpur ke arah atas (kick) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung (batu gamping), sebagaimana disetujui dalam program pengeboran.

    Tapi Lapindo, menurut Medco–yang memiliki partisipasi modal kerja 32 persen di blok Brantas–tidak melaksanakannya. Itu sebabnya, sumur tak mampu menahan tekanan saat terjadi tendangan balik sehingga terjadi kebocoran. Atas dasar itu, Medco menilai Lapindo telah melakukan kelalaian (gross negligence), seperti tertuang dalam dokumen perjanjian operasi bersama (JOA) Blok Brantas, artikel 1.28.

    Mengacu pada klausul 4.6 dari JOA Brantas, Lapindo sebagai operator harus bertanggung jawab terhadap klaim dari pihak lain, termasuk menanggung biaya pemulihan agar situasi menjadi normal kembali setelah kebocoran.

    Dody Mochtar, juru bicara Santos Ltd, membenarkan klausul tersebut. Menurut dia, keberadaan klausul ini membuat Santos, yang memiliki penyertaan modal operasi 18 persen, tak bisa dimintai pertanggungjawaban. “Kami berpangku pada perjanjian kerja sama operasi,” katanya.

    Suara senada disampaikan Direktur Utama Grup Medco, Hilmi Panigoro. Menurut dia, keberadaan Medco di blok itu hanya sebatas partisipasi modal kerja, bukan operator. Kewenangannya pun sebatas memberikan advis teknis. “Dalam perjanjian sudah jelas, apa yang menjadi tanggung jawab operator dan pemegang saham,” katanya kepada Sofian dari Tempo. Soal penggantian kerugian, Hilmi juga menyatakan tak akan jadi masalah. “Semua operasi telah diasuransikan, termasuk klaim,” ujarnya.

    Masalahnya ternyata tak segampang itu. Pihak asuransi pagi-pagi sudah menyatakan tak serta-merta kerugian yang timbul dari pengeboran bisa diklaim. “Bila Lapindo terbukti harus bertanggung jawab, ya dilihat dulu cakupan polis asuransinya,” kata Amir Mochtar, Direktur Pemasaran Tugu Pratama Indonesia.

    Tugu Pratama, bersama Jasa Asuransi Indonesia, Wahana Tata, Central Asia, dan Astra Buana, tergabung dalam konsorsium yang menangani aset milik Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), termasuk ladang migas di Sidoarjo. Untuk itu, kantor Matthews Daniel–perusahaan yang biasa menilai besarnya kerugian di bidang energi dan perminyakan–sedang menghitung dampak akibat luapan lumpur di Sidoarjo. “Mereka juga menentukan penyebab kerusakan,” kata Amir. Perusahaan ini pula yang akan membuktikan apakah kerusakan akibat lumpur panas bisa dijamin oleh perjanjian asuransi.

    Peluang itu tampaknya kian kecil. Sebab, dari hasil pemeriksaan 32 saksi, polisi menyimpulkan PT Medici tidak melaksanakan pengeboran menurut prosedur standar. “Diduga, selubung pada pipa bor tidak digunakan,” kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Besar Bambang Kuncoko. Jika dugaan ini benar, kelalaian itu bahkan bisa digolongkan tindak pidana.

    Jika begini masalahnya, bisa-bisa keluarga Bakrie memang harus sendirian menanggung semua ampas berlumpur ini. Padahal, satu sumber di pemerintah menyebutkan, biaya untuk menutup kebocoran akibat pengeboran saja bisa mencapai US$ 20-100 juta. Itu belum termasuk biaya sosial sebagai dampak banjir lumpur. Karena itu, kata seorang kolega keluarga Bakrie, total biaya kerugian ditaksir mencapai US$ 200 juta (sekitar Rp 1,9 triliun).

    Tapi itu semua masih sebatas pernyataan yang harus dibuktikan. Sebab, semua pihak yang terlibat: Lapindo, Medco, Santos, maupun asuransi, sampai saat ini masih mengunci rapat-rapat dokumen perjanjian di antara mereka. Menurut sumber Tempo, dalam soal Medco dan Lapindo, jika mengacu pada perjanjian pengelolaan Blok Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil, kesimpulan akhirnya bisa lain. Dalam perjanjian itu disebutkan, setiap operasi pengeboran harus mendapat persetujuan dari semua pihak yang ikut menyertakan modal.

    Bisa saja salah satu pihak tidak mau memberikan persetujuan, sehingga bebas dari tanggung jawab. Namun, jika dari hasil pengeboran ditemukan cadangan migas, pihak tadi baru bisa turut mengenyam hasilnya, dengan syarat dikenakan biaya penalti–karena tidak ikut menanggung risiko di awal pengeboran.

    Pertanyaannya, apakah Medco dan Santos telah memberikan persetujuan itu. Sekretaris Perusahaan Medco, Andy Karamoy, menyatakan belum bisa menjawabnya. “Semuanya masih dikaji,” tuturnya. Namun, kata sumber tadi, “Bila benar sudah ada persetujuan, Medco dan Santos harus ikut ambil risiko.” Lagi pula, bila selama ini mereka mendapat laporan dari operator dan tidak menyatakan keberatan, itu sama saja dengan membiarkan potensi kerusakan terjadi. “Jadi jangan cuma teriak di akhir,” ujarnya.

    Untuk menekan beban kerugian, sebetulnya masih ada satu peluang yang bisa dimanfaatkan Lapindo. Caranya, memasukkan sebagian beban itu ke cost recovery alias penggantian biaya eksplorasi. Modus ini tentu harus diwaspadai, karena negaralah yang bakal harus nombok. Abdul Mutalib Masdar, praktisi di bidang perminyakan, mewanti-wanti biaya eksplorasi tak bisa begitu saja dimasukkan ke cost recovery, bila pelaksanaannya tak sesuai dengan prosedur.

    Dalam kaitan ini, kata sumber yang terlibat proses pengeboran, BP Migas pada Agustus 2004 sesungguhnya pernah mengingatkan agar Lapindo berhati-hati dalam melakukan pengeboran di Banjar Panji. “Bila tidak diantisipasi dengan desain selubung (pipa bor) yang bagus, potensi kebocoran akan besar,” katanya. Nah, peringatan itulah yang tampaknya diabaikan Lapindo.

    Yandhrie Arvian, Metta Dharmasaputra, Rohman Taufiq, Adi Mawardi (Sidoarjo)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berjibaku Melawan Lumpur

    Area semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, terancam menjadi kawah atau ambles. Di Texas pernah terjadi, tanah seluas 16 hektare ambles 25 meter.

    LELAKI-LELAKI itu menuang lumpur ke dalam botol dengan ketelitian ilmuwan. Di bawah siraman matahari yang menyengat, empat pria itu setengah membungkuk di tepi jalan tol Surabaya-Gempol Km 38. Warna seragam mereka oranye, menyilaukan mata, memang. Itu adalah seragam khusus untuk bekerja di zona bahaya seperti di kawasan lumpur panas di Sidoarjo.

    Tak jauh dari keempat orang itu, mesin pengeruk menderum-derum. ”Tangan-tangan” mesin pengeruk itu beradu dengan tanah sawah. Mereka sedang beradu cepat dengan waktu, mengubah sawah menjadi waduk yang bisa menampung 240 ribu meter kubik lumpur. Dan itu tak bisa dilakukan dalam semalam seperti kisah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kalau rencana itu terhambat, petaka lumpur panas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, akan makin melebar ke mana-mana.

    Petaka itu bermula 29 Mei lalu, ketika tiba-tiba di tengah sawah menyembur lumpur panas dengan semburan gas setinggi delapan meter. Semburan itu terjadi hanya beberapa puluh meter dari ladang pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Lumpur pun meluber ke mana-mana.

    Petaka itulah yang membuat sejumlah ilmuwan berseragam oranye datang ke Porong. Mereka adalah para ahli dari Institut Teknologi Surabaya, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Alert Disaster Control (Asia) Pte. Ltd. Kanada, dan Abel Engineering/Well Control, Texas. Mereka berjibaku meredam teror lumpur yang panasnya sekitar 50 derajat Celsius.

    ”Mereka akan menggunakan snubbing unit dan membuat sumur baru,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo. Snubbing unit adalah alat untuk mendeteksi adanya kebocoran di luar pipa selubung pengeboran (casing). Jika lokasi kebocoran diketahui, mereka akan menutup lubang itu.

    Untuk menutup kebocoran itu, pakar pengeboran minyak dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini R.S., mengusulkan dua cara. Pertama dengan cara menyuntikkan lumpur berat ke dalam sumur pengeboran yang diduga bocor. Lumpur itu, tutur doktor ITB itu, akan menutup rembesan sehingga semburan lumpur di permukiman penduduk akan mati dengan sendirinya. ”Baru setelah itu disemen semuanya,” ujarnya. Cara ini hanya butuh waktu sebulan.

    Alternatif lainnya, menurut Rudi, membuat sumur bor seperti yang diusulkan tim ahli Lapindo. Sumur itu digali bersebelahan dan menembus lubang pengeboran yang diduga bocor. Dari sumur itu lalu disuntikkan lumpur dan semen. Cara kedua ini diperkirakan memakan waktu lebih lama, sampai tiga bulan.

    Selain urusan menyumbat lumpur, perkara gawat yang juga harus dirampungkan adalah menangani lumpur yang sudah tersembur. ”Ini soal yang paling mendesak,” kata Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS), Mohammad Nuh. Ihwal racun lumpur, tim ITS sudah melakukan penelitian. Hasilnya, cukup gawat: kadar merkurinya 2,5 ppm (satu bagian per sejuta). Lumpur itu juga memiliki nilai BOD, COD—dua indikator pencemaran air—serta minyak yang cukup tinggi. Jika langsung dibuang ke sungai akan mengganggu ekologi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah setempat dan ITS sepakat akan mengendapkan lumpur ke waduk-waduk buatan. Setelah air terpisah dari lumpur, racun-racunnya akan dinetralkan. Hasilnya baru dibuang ke Kali Porong.

    Lumpur panas bukan satu-satunya ancaman di kawasan Porong. Warga di sana kini khawatir daerah mereka akan ambles karena lumpur yang terkuras akan menghasilkan rongga di bawah tanah. Kondisi itu bisa menyebabkan tanah ambles seperti yang terjadi di Texas pada 1991. Saat itu akibat luapan lumpur tanah seluas 16 hektare ambles hingga kedalaman 25 meter.

    Kemungkinan lain, Porong bisa menjadi ladang kawah seperti di Desa Kuwu, wilayah timur Kabupaten Purwodadi. Di desa ini muncul letupan-letupan lumpur yang airnya mengandung garam, padahal lokasinya jauh dari laut. Tanahnya yang sangat labil mengisap siapa saja yang berada di atas Bleduk Kuwu. Pernah seekor sapi terisap.

    Saat para peneliti sibuk menutup sumber semburan lumpur, polisi juga melakukan penyelidikan. Kepala Polri Jenderal Sutanto mengakui anak buahnya sudah mengundang ahli yang mengetahui soal pengeboran. Mereka juga memeriksa pekerja dan manajemen anak perusahaan Grup Bakrie itu. ”Kami selidiki, ternyata tidak ada casing (baja penutup) dalam kedalaman sekian meter. Kalau tidak dibangun, itu salah,” katanya di Jakarta, Jumat lalu.

    Persoalan casing atau pipa selubung lubang pengeboran memang mencuat ke permukaan setelah beredar dokumen dari salah satu rekanan proyek Lapindo. Dalam surat itu disebutkan, Lapindo, operator proyek pengeboran, tidak memasang casing berdiameter 9-5/8 inci pada sumur di kedalaman 8.500 kaki (2,5 kilometer). Padahal, pemasangan pipa ini merupakan salah satu rambu keselamatan pengeboran yang harus dipatuhi.

    Pada rapat teknis 18 Mei, rekanan Lapindo mengingatkan bahwa pipa selubung harus dipasang sebelum pengeboran mencapai sasaran, yaitu formasi Kujung di kedalaman sekitar 9.200 kaki (2,7 kilometer). Rupanya peringatan itu tidak diindahkan sehingga 11 hari kemudian muncratlah lumpur panas.

    Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (perusahaan induk dari PT Lapindo) mengakui bahwa casing itu memang belum dipasang. ”Casing itu sebenarnya akan kami pasang. Sebelum itu dipasang, kondisi sumur masih stabil. Kami sudah melakukan sesuai prosedur,” ujar Faiz Shahab, salah seorang bos Lapindo.

    Biang semburan lumpur ini memang sempat menjadi perdebatan di kalangan ahli geologi dan pengeboran. Lapindo sebelumnya menyatakan semburan itu terjadi akibat gempa. Mulyo Guntoro, peneliti yang pernah terlibat dalam survei beberapa sumur Lapindo menilai, petaka akibat itu pengeboran dilakukan tegak lurus dan bukan miring. Saat bor patah, lumpur bertekanan tinggi menyembur. Kesalahan lain, menurut Mulyo, karena tidak adanya pemadatan tanah.

    Rudi Rubiandini menilai kesalahan yang dilakukan Lapindo Brantas bukan dari cara pengeborannya. Tapi, perusahaan itu salah memilih titik pengeboran. Soal pengeboran yang tegak lurus, dia menduga perusahaan itu berniat mengurangi biaya. ”Ditambah lagi ketika lumpur keluar, tindakannya lambat,” katanya. Kini, dampak negatif dirasakan ribuan warga Jawa Timur.

    Untung Widyanto, Sunudyantoro, Adi Mawardi, Rohman Taufik, Rana Akbari Fitriawan, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Bakrie Terkait Lapindo

    NAMA Lapindo Brantas Incorporated tiba-tiba menjadi menu tetap media massa dalam tiga pekan terakhir. Sayangnya, bukan hal baik yang membuat nama perusahaan itu mencuat setiap hari. Lapindo dituding menjadi penyebab semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi mulai 29 Mei 2006.

    Sampai Jumat lalu, semburan lumpur panas itu belum juga bisa disetop. Sudah puluhan ribu kubik lumpur panas muncrat dan merendam tiga desa di Porong, yakni Renokenongo, Jatirejo, dan Siring. Puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk terpaksa mengungsi. ”Tanah kami tiba-tiba jadi kolam,” kata Faqih, warga Renokenongo.

    Warga selama ini tak peduli dengan keberadaan Lapindo. Padahal perusahaan ini sudah beroperasi di daerah itu sejak 1996. Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok seluas sekitar 300 hektare. Wilayah operasinya mencakup lapangan gas Wunut dan Carat, di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.

    Namun, sejak peristiwa itu terjadi, warga hampir setiap hari membicarakan Lapindo. Meskipun awalnya mereka tak tahu siapa pemilik perusahaan yang membuat mereka terpaksa meninggalkan rumah dan sawahnya, belakangan mereka mendengar kelompok usaha Bakrie ada di belakang perusahaan tersebut.

    Lapindo pada mulanya dimiliki Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Tapi pada Maret 2004 kedua perusahaan itu diakuisisi oleh PT Energi Mega Persada. Di perusahaan yang sudah masuk bursa inilah kelompok usaha Bakrie dikaitkan.

    Hubungan Energi Mega dengan Grup Bakrie diakui oleh Yuniwati Teryana, Vice President Human Resources and Relations Lapindo. Hanya, dia menolak memerinci berapa persen dan atas nama siapa kepemilikan saham Bakrie di Energi Mega Persada. Namun sumber Tempo menyebutkan bahwa Bakrie ada di Energi Mega melalui Kondur Indonesia.

    Dalam laporan keuangan Energi Mega disebutkan, Kondur merupakan pemegang saham terbesar perusahaan itu dengan menguasai 30,41 persen saham. Selain Kondur ada PT Brantas Indonesia (19,95 persen), UBS AG Singapura (8,44 persen), Rennier Abdu Rachman Latief (4,71 persen), Julianto Benhayudi (3,31 persen), dan publik 33,18 persen.

    Seolah tak terpengaruh kasus tersebut, pada Rabu pekan lalu Energi Mega dan Bumi Resources—juga anggota Grup Bakrie—mengumumkan rencana merger mereka. Jika disetujui rapat umum pemegang saham luar biasa pada 28 Juli mendatang, kelak Bumi akan menjadi perusahaan baru hasil merger, dengan modal dasar Rp 30 triliun.

    YA, Sunudyantoro, Kukuh S. Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Lebur dalam Genangan Lumpur

    Kubangan lumpur panas di Sidoarjo meluas. Kerugian diperkirakan miliaran rupiah

    DWI Cahyani tak habis-habisnya merenungi nasibnya. Tiba-tiba saja usahanya yang beromzet sekitar US$ 250 ribu (Rp 2,45 miliar) per bulan ludes dalam sekejap. Penyebabnya pun tak pernah terpikir olehnya. Senin tiga pekan lalu, lumpur panas tiba-tiba menggenangi pabriknya sampai setinggi lutut.

    Tak ada lagi yang tersisa di perusahaan yang terletak di Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu. Mesin-mesin pabriknya lumpuh tak bisa digunakan. Bahan baku rotan senilai Rp 1 miliar amblas. Pabrik mebel rotan miliknya, PT Victory Rottanindo, pun terpaksa merumahkan 250 karyawannya. Kebangkrutan sudah membayang di pelupuk mata Dwi.

    Padahal, sebelum bencana ini terjadi, setiap bulannya Victory biasa mengirim sampai 25 kontainer mebel rotan ke berbagai negara. Setiap kontainer nilainya sekitar US$ 10 ribu. Pas kejadian, Victory sebetulnya sudah siap mengapalkan empat kontainer ke Inggris. ”Tapi truk kontainer tak bisa masuk,” kata Dwi.

    Victory Rottanindo tak sendirian. Delapan pabrik lainnya di Jatirejo juga terpaksa berhenti operasi sejak dua pekan lalu. ”Setidaknya 683 tenaga kerja yang dirumahkan,” kata Cipto Budiono, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur.

    Jumlah itu masih bisa membengkak karena luapan lumpur yang mengandung hidrogen sulfida (H2S) itu sudah merendam 18 pabrik lain. Masalah kerusakan mesin, distribusi barang, dan pembatalan pesanan menguras pikiran pemilik pabrik. Persoalan ini kian pelik karena hingga akhir pekan lalu banjir lumpur belum juga bisa diatasi.

    Petaka lumpur ini bermula ketika pada 29 Mei lalu sebidang sawah di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter. Hanya berselang empat hari, warga Renokenongo kembali dikejutkan oleh suara berdebum. Tanah merekah, lumpur panas pun terus mengalir.

    Karena lokasi semburan tak jauh dari sumur Banjar Panji 1, tudingan pun mengarah ke Lapindo Brantas Incorporated. Perusahaan yang selama ini melakukan pengeboran di sumur Banjar Panji itu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Lapindo langsung membangun kolam penampungan dan tanggul untuk mencegah lumpur panas meluas. Tapi upaya itu tak membuahkan hasil.

    Ibarat kubangan raksasa, lumpur panas itu kini sudah menggenangi tiga desa: Renokenongo, Siring, dan Jatirejo. Ini membuat 2.700 warga diungsikan ke pasar Porong, Sidoarjo. Derasnya aliran lumpur yang mencapai 5.000 meter kubik—setara dengan 1.250 truk ukuran sedang—per hari juga merendam 64,8 hektare sawah yang belum sebulan ditanami.

    Akibatnya, nilai padi yang puso diperkirakan mencapai Rp 389 juta. Kerugian itu, kata Faqih, warga Renokenongo, belum termasuk biaya menanam padi yang berkisar Rp 500 ribu per petak. Bila satu hektare sawah dibagi menjadi tujuh petak, kerugian biaya tanam akibat lumpur panas mencapai Rp 226 juta.

    Lumpur panas juga luber sampai ke jalan tol Gempol-Surabaya. Semula Jasa Marga hanya menutup separuh badan jalan tol dari arah Gempol menuju Porong. Aliran lumpur juga sudah tidak merangsek sampai jal tol setelah Lapindo membuat tanggul. Tapi tanggul itu justru membuat lumpur mengarah ke perkampungan.

    Penduduk pun marah dan menjebol tanggul. Akibatnya, lumpur kembali membanjiri tol. Sejak Jumat lalu, perusahaan penyelenggara jalan tol itu terpaksa menutup jal tol itu di kilometer 38, karena tinggi lumpur sudah 20 sentimeter. Gara-gara penutupan ini, Jasa Marga diperkirakan merugi Rp 180 juta sampai 380 juta per hari.

    Kepala cabang tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menjelaskan, selain pemasukan berkurang, sarana pelengkapan jalan tol yang ada di sana juga rusak. Kerusakan ini diperkirakan merugikan Jasa Marga Rp 200 juta. Beban tersebut masih harus ditambah dengan retaknya jalan akibat tergerus lumpur panas. Tapi besar kerugian konstruksi masih dihitung.

    Yang pasti, kata Bachriansyah, seluruh kerugian akan dibebankan kepada Lapindo. Kerugian dihitung per hari sejak 6 Juni lalu. ”Besarnya berapa, masih diperinci,” katanya.

    Bak terkena efek domino, lumpur panas ini juga menyebabkan kerugian di tempat lain. Kemacetan yang terjadi di jalan tol Gempol-Surabaya membuat para eksportir harus merogoh kocek tambahan.

    Direktur PT Lintas Utama Sejahtera, Isdarmawan Asrikan, mengungkapkan akibat kopi dan cengkeh miliknya terlambat tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dia mesti menambah Rp 1 juta per kontainer. Biaya tambahan itu antara lain untuk transportasi, relokasi, transportasi bahan baku ekspor-impor, dan keterlambatan (closing time).

    Padahal, setiap hari ada seribu peti kemas dari Pasuruan, Probolinggo, Malang, Jember, dan Banyuwangi yang melintasi jalan tol Gempol-Surabaya. ”Kemacetan itu membuat ekspotir rugi Rp 1 miliar per hari,” kata Isdarmawan, yang juga Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Jawa Timur.

    Rangkaian peristiwa itu pun akhirnya menyedot perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia meminta Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral segera menginvestigasi kasus tersebut. ”Lapindo juga harus memberikan ganti rugi kepada masyarakat di sekitar lokasi pengeboran,” katanya.

    Tapi, menurut Faiz Shahab, Direktur Operasional PT Energi Mega Persada, perusahaan induk Lapindo Brantas, besarnya dana kompensasi akan dipastikan setelah penyebab semburan diketahui. Soalnya, sumber semburan bukan berasal titik pengeboran, tapi dari tiga titik yang berjarak 150-500 meter dari lokasi pengeboran.

    Selain itu, Energi Mega masih menunggu hasil pendataan yang dilakuan tim terpadu yang dipimpin Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Tim ini, kata Faiz, tengah mendata jenis kerusakan dan luas dampak kerusakan. ”Jadi kami tak bisa menyebut berapa angka ganti ruginya,” katanya seusai rapat umum pemegang saham Energi Mega, Rabu lalu.

    Repotnya, penyelesaian masalah lumpur panas ini memakan waktu lama. Faiz memperkirakan, soal ini baru beres pada akhir Oktober nanti. Bila ini benar terjadi, sudah bisa dibayangkan berapa kerugian yang bakal diderita oleh masyarakat setempat, juga para pengusaha dan eksportir.

    Karena itu, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo meminta Lapindo pada tahap awal ini segera memberikan uang muka ganti rugi kepada semua perusahaan yang terkena dampak luapan lumpur. ”Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya. Paling tidak, pengusaha-pengusaha yang pabriknya tutup seperti Dwi bisa menggaji karyawannya.

    Yandhrie Arvian, Zed Abidien, Kukuh S. Wibowo, Rohman Taufiq, Sunudyantoro

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Memburu Gas, Memanen Lumpur

    Kampung-kampung di Porong, Sidoarjo, diterjang lumpur panas. Ada dugaan, semburan lumpur itu akibat salah prosedur pengeboran.

    TEROR itu datang pada awal pagi. Ketika itu Renokenongo, desa tak terkenal di Sidoarjo, Jawa Timur, baru saja menggeliat. Orang-orang kampung menyeruput kopi, menghisap rokok sisa kemarin, menyapu halaman. Haji Soleh juga sedang menikmati hawa pagi saat tiba-tiba terdengar, “Bum…!” Lantai rumahnya meledak. Dari balik retakannya, mengalirlah lumpur panas. Baunya menyengat, bikin mual.

    Lelaki itu kaget. Juga puluhan penduduk di Renokenongo. Hari itu ada sepuluh rumah yang meleduk di Renokenongo. Semuanya di dekat kediaman Soleh. “Keluarga langsung saya ungsikan,” ujarnya.

    Ledakan pada Jumat pagi dua pekan lalu itu membuat warga ketar-ketir. Maklum, empat hari sebelumnya, ledakan serupa terjadi di sawah milik Probosutejo. Di tengah persawahan yang adem ayem itu tiba-tiba menyembur lumpur panas setinggi delapan meter. Hawa panas–suhunya sekitar 50 derajat Celsius, cukup untuk merebus telur–ikut menyebar cepat. Lumpur dan udara panas ini merendam 15 rumah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo.

    Warga Renokenongo terkesiap. Mereka tak menduga lumpur panas bisa seluas itu. Bahkan kini sudah 12 hektare sawah yang tenggelam dalam lumpur. Sekitar seribu orang mengungsi ke gedung olahraga dan markas kepolisian sektor setempat. Pabrik-pabrik di desa itu terpaksa juga tutup. “Kami terpaksa membatalkan produksi kursi rotan senilai US$ 10 ribu yang akan diekspor ke Belanda,” kata Dwi Cahyani, Direktur PT Victory Rotanindo.

    Jalan tol Gempol-Surabaya pun ikut kena getahnya, karena aliran tanah cair itu sampai ke sana. Pengelola jalan tol pun kelabakan membangun tanggul darurat dengan bertruk-truk tanah. Sampai Sabtu lalu, muncratan lumpur dan gas itu belum ada tanda-tanda berhenti.

    Lumpur petaka itu bermula dari sawah Probosutejo. Ledakan itu terjadi setelah PT Lapindo Brantas mengebor sumur minyak Banjar Panji di Porong. Entah mengapa, seperti adegan di film horor, tanah di sawah itu tiba-tiba merekah. Bum! Gas putih membubung. Lumpur mengalir kencang, bergumpal-gumpal seperti air yang muncrat dari pipa air minum. Hujan tuduhan pun jatuh ke Lapindo. Perusahaan ini dituding biang lahirnya “mata lumpur”.

    General Manager PT Lapindo Brantas, Imam Agustino, menolak tuduhan itu. Imam yakin, luapan lumpur bukan berasal dari pipa pengeboran yang saat ini mencapai kedalaman hampir 3 kilometer. “Itu dari retakan tanah akibat gempa Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu,” katanya. “Pengeboran Lapindo sudah dilakukan sesuai dengan standar baku industri migas.”

    Lumpur menyembur akibat gempa? Mulyo Guntoro tak sepakat dengan dalih itu. Lelaki ini justru percaya, petaka di Renokenongo itu akibat kesembronoan Lapindo. “Pengeboran di kedalaman lebih dari 2 kilometer seharusnya dilakukan miring, bukan lurus seperti yang dilakukan Lapindo saat ini,” kata ahli geologi dari Pusat Studi Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya.

    Guntoro mengaku pernah diajak Lapindo melakukan pemetaan gas di Sidoarjo. Dia menduga perusahaan ini melakukan kesalahan prosedur saat mata bor mencapai lapisan gas. Karena terlambat menyumbat, lumpur yang berada di lapisan atas ikut tersedot keluar bersama dengan gas. “Akibatnya, mereka tidak lagi bisa menyuntikkan lumpur untuk menyumbat, karena tekanan di dalam lubang pengeboran pasti sudah sangat besar,” kata dosen UPN itu.

    Lapindo dalam catatan Guntoro telah melakukan beberapa kesalahan dalam pengeboran di Renokenongo. Menurut dia, salah satu keteledoran Lapindo adalah tidak pernah melakukan pemadatan tanah di lokasi yang bakal dieksplorasi. Akibatnya, saat ada kebocoran, lumpur segera menyembur keluar. Selain itu, perusahaan itu tidak pernah berusaha menyumbat aliran-aliran kecil patahan tanah yang berada di sekitar lokasi pengeboran. “Tekanan gas dari dalam tanah pasti akan tinggi naik jika terjadi pengeboran di sekitarnya,” tutur Guntoro.

    Faktor gempa yang dijadikan dalih Lapindo juga dibantah Guntoro. Menurut dia, retakan tanah baru bisa terjadi jika ada gempa dengan kekuatan lebih dari 5 pada skala Richter. Padahal gempa yang terjadi di Yogyakarta dan dirasakan di Sidoarjo hanya berkekuatan 2 pada skala Richter. “Jadi, lucu jika mereka beralasan ada gempa,” ujarnya.

    Apa pun alasan Lapindo, kawasan Renokenongo kini merana. Pohon-pohon meranggas seperti terbakar. Saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur menyembur. Dalam dua pekan, berarti volume lumpur yang mengubur desa itu setara dengan 14 ribu truk kecil. Kendati begitu, Imam menjamin lumpur dan gas yang keluar masih aman bagi kesehatan manusia. “Dari hasil penelitian, lumpur ini tidak mengandung racun seperti yang ditakutkan,” katanya.

    Namun klaim itu ditolak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur. Dari hasil investigasi, organisasi pencinta lingkungan itu menemukan sumur-sumur warga yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi pengeboran dalam kondisi tercemar.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Ridho Syaiful, selama tiga bulan beroperasi, anak perusahaan PT Energi Mega Persada itu tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman terhadap warga terdekat. Padahal, dalam surat edaran Menteri Pertambangan dan Energi, disebutkan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi harus diumumkan untuk melindungi kepentingan sosial rakyat.

    “Kami tak pernah diajak rembukan, tahu-tahu terkena getahnya,” ujar Imam Sudarti, yang tinggal tak jauh dari lokasi Lapindo.

    Walhi mendesak pemerintah daerah dan Polri melakukan tindakan hukum kepada Lapindo Brantas untuk menyelamatkan lingkungan dan menghindari kerugian masyarakat. Menurut Ridho, pemerintah harus segera mencabut kontrak Lapindo Brantas sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjamin kesehatan serta perbaikan lingkungan.

    Soal kerusakan lingkungan, Made Sutarsa, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, menjelaskan bahwa pengeboran yang dilakukan Lapindo sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang ada. “Kebocoran itu murni karena gejala alam, gempa,” katanya yakin. Amdal perusahaan itu dikeluarkan Kantor Menteri Lingkungan Hidup pada 1990.

    Menurut Manajer Umum Lapindo, Rewindra, dengan analisis dampak lingkungan itu, pihaknya tidak perlu lagi meminta izin warga ketika mau melakukan eksplorasi. “Yang penting kan sudah sesuai dengan amdal,” katanya. Perusahaan ini diizinkan melakukan eksploitasi dan eksplorasi di Sidoarjo hingga tahun 2020.

    Untuk mengatasi banjir lumpur, sejak awal musibah, Lapindo sebenarnya telah menginjeksikan lumpur padat ke retakan tanah. Namun upaya itu gagal sehingga genangan lumpur terus meluas, bahkan sampai ke jalan tol Surabaya-Gempol kilometer 38. Mereka kini hanya membuat tanggul agar laju lumpur tidak semakin luas.

    Lapindo juga berencana membawa lumpur untuk dibuang ke kali mati, bekas aliran Sungai Brantas di daerah perbatasan Sidoarjo-Pasuruan yang saat ini tidak lagi dialiri air. Upaya ini tinggal menunggu negosiasi antara Lapindo dan pemerintah Sidoarjo dan Pasuruan.

    “Kami angkat tangan, tidak bisa menghentikan semburan lumpur,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendarso. Menurut dia, pemerintah daerah dan Lapindo telah mengirim surat permohonan bantuan kepada Wakil Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

    Sucahyono, Kepala Divisi Operasional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) menjelaskan bahwa diperlukan waktu minimal 30 hari untuk menghentikan muncratan lumpur. Kasus di Porong ini, ujarnya, pernah terjadi di Riau, dan aliran lumpur baru bisa dihentikan setelah dibuat pengeboran sumur terarah secara miring dari tempat lain. “Tujuannya mencari titik pusat aliran lumpur dan memompakan bahan penyumbat,” katanya.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Kukuh S Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 16/XXXV/12-18 Juni 2006