Tag: kompas

  • Ada Kendala di Lapindo

    Perjanjian Dana Pinjaman Harus Segera Ditandatangani

    SIDOARJO, KOMPAS — Perjanjian dana pinjaman untuk menalangi pembayaran ganti rugi bagi warga korban semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, harus segera ditandatangani oleh pemerintah dan perusahaan. Akta perjanjian itu menjadi dasar untuk mencairkan anggaran Rp 781 miliar dan pijakan melakukan validasi berkas sebagai syarat pembayaran kepada korban.

    “Hingga saat ini, perjanjian dana pinjaman belum ditandatangani, walau peraturan presiden (perpres) tentang pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo dengan dana pinjaman pemerintah, sudah disahkan. Masih ada sejumlah hal yang menjadi kendala,” ujar Dwinanto Hesti Prasetyo, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (1/7), di Sidoarjo.

    Dwinanto tidak menyebutkan kendala itu. Namun, BPLS akan mematangkan persiapan kapan pun perjanjian itu ditandatangani. Oleh karena itu, BPLS melakukan pencocokkan data warga korban lumpur sebagai langkah persiapan menuju validasi berkas pemberian ganti rugi.

    Pengamatan di Pendopo Delta Wibawa, Sidoarjo, tim verifikasi BPLS memanggil sekitar 300 masyarakat korban semburan lumpur di tiga kecamatan, yakni Jabon, Tanggulangin, dan Porong. Mereka diminta membawa kartu identitas, buku rekening, dan kuitansi pembayaran ganti rugi yang sudah diterima.

    Data bermasalah

    Sebelumnya, Jumat pekan lalu, BPLS memanggil 44 pemilik berkas untuk mengikuti verifikasi. Namun, karena banyak ditemukan data bermasalah, dan pasokan data masyarakat korban lumpur dari Lapindo kurang lancar, verifikasi dihentikan dan baru dibuka lagi Rabu.

    Dari 300 berkas itu, sebanyak 193 berkas dinyatakan cocok secara administrasi. Sisanya, 107 berkas, belum bisa diproses karena berbagai sebab. Sebanyak 90 berkas, pemiliknya tidak hadir.

    Adapun 17 berkas tidak bisa diproses, sebab bermasalah. Permasalahannya beragam, tetapi kebanyakan karena ketidaksesuaian data. Misalnya, nama pemilik berkas dan pemilik rekening berbeda. Selain itu, nama sama, tetapi alamat yang tertera pada berkas tidak sama dengan yang tertera di buku rekening.

    “Kami berharap Kamis besok bisa membereskan yang 107 berkas. Pemilik yang belum hadir diharapkan segera hadir. Data yang tidak sama akan diperbaiki. Termasuk tadi ada persoalan ahli waris yang belum bisa menunjukkan surat keterangannya,” kata Dwinanto.

    Saat ini BPLS baru melakukan pendataan administrasi. Adapun verifikasi terkait dengan nilai pembayaran ganti rugi akan dilakukan pada tahap berikutnya, setelah perjanjian pinjaman antara pemerintah dan PT Lapindo Brantas atau Minarak Lapindo Jaya, ditandatangani.

    Informasi lain yang diperoleh Kompas, salah satu faktor penghambat karena adanya perubahan pihak yang harusnya melakukan penandatanganan dana pinjaman. Bila sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, diubah menjadi Menteri Keuangan. Hal itu sesuai arahan dari Jaksa Agung.

    Seorang warga korban lumpur Lapindo dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Hartini, mengatakan, ia mendapat panggilan mengikuti pencocokan data di Pendopo Delta Wibawa secara mendadak. Ia bingung, karena tidak disebutkan secara rinci berkas mana yang dimaksud.

    Selain itu, korban lumpur mengeluhkan tak ada pengumuman nilai nominal sisa ganti rugi yang akan mereka terima. Jika nilai ganti rugi ditentukan perusahaan, hal itu bisa merugikan warga korban lumpur. (nik)

    Harian Kompas, 2 Juli 2015, h. 24.

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    Bencana lumpur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipicu oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc pada 29 Mei lalu genap sembilan tahun terjadi. Persoalan masih menggantung, terutama terkait pembayaran ganti rugi kepada warga yang menjadi korban terdampak yang belum selesai.

    Pola penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo menciptakan masalah tersendiri. Pembagian pemberian ganti rugi antara wilayah yang masuk peta area terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan penelantaran dan perpecahan di tingkat warga.

    Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 dan Perpres No 40/2009, pemberian ganti rugi kepada korban dikategorikan dalam dua kelompok. Wilayah yang masuk PAT akan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas Inc. Sementara desa-desa yang berada di luar PAT diberi ganti rugi oleh negara. Dalam perkembangannya, PT Minarak Lapindo tak mampu memenuhi kesepakatan itu. Akibatnya, masih banyak korban yang tidak jelas nasibnya saat ini.

    Tetap bertahan

    “Kalau hujan deras, ndak ada yang berani di dalam rumah. Kami semua kumpul di emperan depan, takut rumahnya ambruk,” ujar Bu Sanik (65), warga RT 010 RW 002 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

    Bu Sanik adalah salah satu warga yang saat ini bersama 18 kepala keluarga (KK) lainnya masih bertahan di lokasi PAT lumpur Lapindo. Bukan hanya keluarga Bu Sanik, hampir sebagian besar warga RT 010 RW 002 yang masih tinggal di wilayah PAT gelisah jika hujan turun. Ancaman rumah ambruk dan banjir air bercampur lumpur menghantui mereka.

    Pertengahan Maret lalu, tanggul penahan lumpur yang berada di belakang rumah warga Desa Gempolsari itu jebol. Air bercampur lumpur setinggi hampir setengah meter masuk ke rumah warga. Sekitar 100 warga dari RT 010 RW 002 mengungsi ke Balai Desa Gempolsari. Ini merupakan kejadian yang ketiga kalinya di tahun 2015.

    Desa Gempolsari berdasarkan Perpres No 14/2007 termasuk salah satu desa yang masuk dalam PAT lumpur Lapindo. Ada 99 KK dengan 314 jiwa warga Desa Gempolsari yang terdampak lumpur. Sebagian besar sudah pindah dari Gempolsari. Yang masih tersisa adalah warga RT 010 dan sebagian kecil RT 009 dari RW 002 yang berjumlah 19 KK dengan 114 jiwa. Area itu termasuk dalam 641 hektar yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), seperti tertuang dalam Perpres No 14/2007.

    Kini, kondisi lingkungan dan tempat tinggal seluruh warga yang masih bertahan di wilayah ini sudah tidak layak huni. Lingkungan yang lembab akibat seringnya terendam lumpur menyebabkan fisik bangunan terkikis dan rapuh. Sebagian besar rumah lantainya sudah ambles dan lebih rendah dari endapan lumpur yang ada di halaman.

    Mereka yang masih tinggal di area itu bukannya tidak ingin pindah, belum lunasnya sisa pembayaran oleh PT Minarak Lapindo Jaya menyebabkan mereka terus bertahan di situ. Selain karena belum memiliki tempat hunian lain, mereka juga khawatir jika meninggalkan lokasi, sementara tanah dan bangunan belum lunas, mereka akan kehilangan hak atas tanah dan bangunan milik mereka.

    Memberdayakan kelompok

    Di antara penelantaran oleh negara dan PT Lapindo, tetap muncul inisiatif-inisiatif dari para korban untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti yang dilakukan Harwati (39). Meskipun telah sembilan tahun terpaksa meninggalkan rumahnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Harwati belum memperoleh pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Kini, ia tinggal di rumah orangtuanya di Desa Candipari sambil menjadi tukang ojek di salah satu area tanggul lumpur Lapindo.

    Kematian suami dan ibunya karena kanker beberapa tahun setelah bencana lumpur membuat Harwati bertekad mengumpulkan kembali para tetangga dan keluarganya yang telah tercerai berai. “Kira-kira setahun saya berkeliling ke desa-desa sekitar mencari tahu keberadaan keluarga besar dan tetangga di Desa Siring dulu. Daripada stres kalau belum ada penumpang, lebih baik keliling,” cerita Harwati.

    Setelah mengetahui tempat tinggal mereka, Harwati mengajak tetangga dan keluarga yang sudah ditemukannya untuk berkumpul, membuat arisan kecil-kecilan, hanya agar bisa menyambung kembali ikatan sosial yang telah dihancurkan lumpur Lapindo. Saat ini, tak kurang dari 20 perempuan aktif berkumpul dalam Komunitas Ar-Rohmah yang didirikannya. Mereka memiliki usaha kecil-kecilan membuat produk kreatif, seperti tas kain, selimut, bed cover dari perca. Uang kas yang dikumpulkan sedikit demi sedikit digunakan untuk membantu biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit.

    “Saya tak mau kejadian seperti suami saya yang ditolak rumah sakit ketika berusaha mengobati kankernya terulang kembali. Bikin trauma sekali,” ungkapnya. Pemerintah dan (apalagi) PT Lapindo tidak memedulikan persoalan ini. Warga sendiri yang harus mengupayakan penyelesaian.

    Malu diganti negara

    Pengategorian korban bencana lumpur juga mengakibatkan perpecahan di kalangan warga, baik yang berada di PAT maupun di luar PAT. Seperti yang terjadi pada warga Desa Besuki. Abdul Rokhim (48) menuturkan bahwa tahun 2007 ia dan ratusan warga lainnya menuntut ganti rugi. Tempat tinggalnya memang tidak masuk dalam PAT berdasarkan Perpres No 14/2007.

    Namun, Rokhim menyatakan, dampak luapan lumpur itu juga dirasakan warga yang rumahnya di luar peta tersebut. “Saya tidak bisa kerja lagi karena pabrik sudah tutup, apalagi harus beli air untuk kebutuhan sehari-hari karena air di rumah tidak layak,” tutur Rokhim.

    Pemerintah akhirnya menerbitkan Prepres No 48/2008 yang memasukkan sebagian Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, untuk diberi ganti rugi dari APBN. Namun, peraturan itu menjadikan jalan tol sebagai dasar menentukan wilayah yang masuk penggantian. Akibatnya, hanya Besuki bagian Barat yang masuk. Keputusan ini mengakibatkan kelompok warga yang semula bersatu di atas kepentingan bersama Desa Besuki menjadi terpecah belah. Suasana kekeluargaan pun hancur.

    Akhirnya, Rokhim dan warga Besuki bagian Timur harus berjuang kembali menuntut ganti rugi. Keberuntungan masih dimiliki Rokhim, bagian timur Desa Besuki pun masuk dalam penggantian melalui Perpres No 37/2012. Kini, meski telah tinggal di rumah baru, kegundahan Rokhim tak hilang karena, “Saya pribadi malu karena saya merasakan diganteni (diganti) oleh negara, seluruh rakyat Indonesia. Mestinya yang bertanggung jawab Lapindo,” ungkapnya. Keadilan hukum seharusnya diberikan kepada pelaku bencana industri seperti Lapindo.

    MG Retno Setyowati/Yohan Wahyu/BI Purwantari/Litbang Kompas

    Kompas Siang, 4 Juni 2015

  • Bencana Itu Belum Berakhir

    Bencana Itu Belum Berakhir

    Sembilan tahun setelah erupsi pertama lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006, bencana multidimensi itu belum berakhir. Bencana ini tak hanya menenggelamkan ratusan hektar tanah dan bangunan, tetapi juga merusak pranata sosial dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi, herannya pertanggungjawaban negara dan pelaku industri atas bencana ini terbatas pada kerangka jual beli tanah.

    Bencana industri ini dilatari oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI) di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang dimulai pada 8 Maret 2006. Pada 27 Mei 2006, pengeboran itu mencapai kedalaman 9.297 kaki (2.789 meter). Dua hari setelah itu, erupsi pertama terjadi di sumur Banjar Panji 1. Erupsi ini mendesakkan 5.000 meter kubik lumpur panas menyembur dan menggenangi wilayah sekitarnya. Desakan lumpur panas ini terus membesar dan mencapai sekitar 170.000 meter kubik per hari pada Maret 2007.

    Kini, sembilan tahun sesudahnya, tak kurang dari 100.000 meter kubik lumpur panas masih keluar setiap hari dari wilayah bekas pengeboran PT LBI. Bencana lumpur menenggelamkan 12 desa di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Ikut tenggelam di dalamnya 11.241 bangunan dan 362 hektar sawah. Sebanyak 10.641 kepala keluarga (KK) meliputi 39.700 jiwa kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan.

    Lumpur juga menggenangi puluhan pabrik yang menyebabkan ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Pemilik pabrik merugi dan harus merelokasi pabriknya. Banyak usaha kecil juga mati. Industri kecil dan menengah di Sentra Industri Kulit Tanggulangin, Sidoarjo, mengalami penurunan omzet penjualan hingga 80 persen dan membuat sekitar 270 pengusaha dan perajin tas dan koper gulung tikar. Hingga kini, sentra industri kulit Tanggulangin belum pulih.

    Di luar itu, dampak bencana lumpur merusak banyak infrastruktur vital skala nasional: jalan KA Surabaya-Malang/Banyuwangi, jalan arteri Porong, pipa PDAM dari Pandaan/Umbulan ke Surabaya, jaringan SUTT 150 dan 70 KV Waru-Porong Bangil, pipa gas Pertamina, kali Porong (kanal DAS Kali Brantas), dan Kali Ketapang (penyedia air irigasi dan tambak), serta memutus Jalan Tol Porong-Gempol sepanjang 6 kilometer.

    Jasa Marga harus memindahkan ruas jalan tol, bergeser sekitar 3 kilometer ke arah barat. Kebutuhan lahan untuk membangun jalur Jalan Tol Porong-Gempol baru seluas 50 hektar dengan total biaya mencapai Rp 800 miliar. Saat ini baru Seksi Kejapanan-Gempol (3,55 km) yang rampung.

    Tak ditangani

    Dampak bencana ini tak sebatas kehancuran fisik bangunan, tanah, fasilitas umum dan sosial, tetapi juga sumber penghidupan serta kondisi lingkungan. Menurut data Greenomics, pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, kerugian ekonomi akibat semburan sekitar Rp 33,2 triliun. Sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsung ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung Rp 16,5 triliun.

    Di samping itu, kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan masyarakat belum ditangani. Kerusakan paling mengkhawatirkan adalah kualitas tanah, air, dan udara. Kualitas udara dipengaruhi oleh gas berbahaya yang dikeluarkan dari perut bumi. Air tanah di sumur-sumur penduduk yang bermukim di sekitar lokasi semburan banyak yang tidak bisa digunakan lagi. Air sumur berwarna kuning, keruh, dan berbau yang bisa berdampak bahkan sudah terjadi pada kesehatan masyarakat sekitar lumpur.

    Aroma gas dengan kandungan hidrokarbon yang tinggi mengakibatkan banyak warga terdampak menderita sesak napas. Pantauan Walhi di Puskesmas Porong menunjukkan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terus meningkat pasca semburan lumpur. Tahun 2007 terdapat 28.640 kasus. Dua tahun kemudian angkanya melonjak hingga 52.543 kasus.

    Aroma gas masih terus menebar di sekitar kawasan terdampak. Hasil penelitian Walhi pada 2006-2008 menemukan zat polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH), senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik (penyebab kanker), terkandung di dalam air Kali Porong dan lumpur yang menggenangi wilayah tersebut.

    Selain itu, pranata sosial masyarakat ikut hancur. Ikatan sosial yang semula cukup erat berubah bahkan hilang sama sekali. Hal itu tampak kasatmata ketika berlangsung pemberian ganti rugi dari negara ataupun pihak Lapindo. Pola pemberian ganti rugi yang memisahkan korban di Peta Area Terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan perpecahan warga dan kecemburuan satu sama lain. Sebagian warga menilai telah terjadi praktik diskriminasi terhadap mereka yang notabene sama-sama menjadi korban.

    Di antara warga sendiri muncul kelompok yang kemudian berperan sebagai calo atau makelar untuk mengurus percepatan pemberian ganti rugi. Pola yang umum terjadi adalah para calo dadakan ini mengutip imbalan untuk “jasa” yang mereka berikan. Sejumlah warga menilai hal itu sangat tidak etis karena mengomodifikasikan bencana yang menimpa warga. Hal ini rentan memunculkan konflik antarwarga.

    Jual beli

    Selama sembilan tahun, penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo masih sebatas kerangka jual beli. Melalui peraturan presiden, negara dan Lapindo membeli tanah dan bangunan yang dimiliki para korban. Sayangnya hingga kini, persoalan ganti rugi korban di Peta Area Terdampak (PAT) masih terus muncul.

    Hingga Desember 2014, PT Minarak Lapindo, perusahaan juru bayar PT LBI, hanya mampu mengganti Rp 3,03 triliun dari total ganti rugi PAT sebesar Rp 3,8 triliun. Artinya, masih ada sisa kewajiban Rp 781,7 miliar. Pada Februari 2015, pemerintah memutuskan mengalokasikan dana untuk menalangi yang belum dibayarkan PT Minarak Lapindo. Ada 114 berkas yang hanya menerima 20 persen ganti rugi. Mereka itu yang selama 9 tahun terakhir hidupnya terkatung-katung.

    Mereka yang telah menerima ganti rugi pun tak lepas dirundung masalah. Yang telah mendapatkan ganti rugi dan tinggal di rumah baru pun sangat sulit memperoleh lahan garapan baru. Kehancuran sendi-sendi kehidupan warga Porong merupakan bencana yang tak berkesudahan.

    (MG RETNO SETYOWATI/DWI ERIANTO/LITBANG KOMPAS)

    Sumber: Harian Kompas (30 Mei 2015)

  • Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS – Sudah sembilan tahun warga korban luapan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menderita. Mereka tidak hanya kehilangan rumah, tanah, dan kampung halaman, tetapi juga hak-hak asasi sebagai manusia ataupun warga negara. Pemerintah wajib memulihkan hak itu dan tidak hanya fokus pada penanganan semburan lumpur.

    Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Muhammad Nurkhoiron mengatakan, sejak Januari lalu pihaknya melakukan riset penanganan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Pihaknya membuat kajian atas tanggung jawab negara dalam penyelesaian hak-hak para korban.

    “Kami melakukan audiensi dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Bupati Sidoarjo Syaiful Ilah dan pihak terkait lainnya. Hasil kajian sementara, penanganan terhadap korban lumpur sebatas penanggulangan semburan,” ujarnya.

    Hingga kini belum ada upaya konkret pemerintah untuk memulihkan hak warga korban lumpur seperti hak mendapatkan akses ekonomi berupa lapangan pekerjaan yang layak, pendidikan, kesehatan, kartu identitas, dan memulihkan kembali kehidupan sosial mereka. Dari tiga tahap pemulihan, yakni rehabilitasi, ganti rugi, dan rekonstruksi, belum satu pun yang terpenuhi.

    Pemerintah masih berkutat pada upaya pelunasan pembayaran ganti rugi terhadap warga korban lumpur. Itu pun hingga kini belum ada kejelasan kapan dana talangan sebesar Rp 781 miliar yang sudah dialokasikan dalam APBN itu dicairkan.

    “Dana talangan ini untuk membantu warga korban mendapatkan hak ganti rugi atas tanah dan rumah yang tenggelam oleh semburan lumpur. Hak ganti rugi ini merupakan kewajiban PT Lapindo Brantas, tetapi tidak kunjung dilunasi selama sembilan tahun,’ kata Nurkhoiron.

    Dia mengatakan, dari hasil audiensi dengan BPLS selaku ujung tombak penanganan korban lumpur, diperoleh fakta bahwa penanganan sebatas penanggulangan luapan dan pembuangan ke Kali Porong. Upaya pemulihan warga korban pada kondisi kehidupan mereka sebelum terkena bencana, sangat minim bahkan hampir tidak ada.

    “Kehadiran negara yang direpresentasikan melalui BPLS sebagai panitia ad hoc, masih dalam konteks fisik berupa pembangunan infrastruktur,” ujarnya.

    Sunarmi (42), warga korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, mengatakan, selama ini kehidupannya sangat susah. Keluarganya harus berpindah rumah karena mengontrak. Tidak hanya itu, dia dan suaminya kehilangan pekerjaan sebagai buruh pabrik karena perusahaan tempatnya bekerja tenggelam oleh lumpur.

    “Kini kami mengojek di atas tanggul untuk bertahan hidup. Selama ini tidak ada perhatian dari perusahaan ataupun pemerintah untuk memulihkan kehidupan kami seperti sebelumnya. Bahkan, uang ganti rugi yang menjadi hak dasar kami juga tidak dibayar,” kata Sunarmi.

    Rabu (13/5), ratusan warga korban lumpur Lapindo akan kembali berunjuk rasa. Sasaran kali ini Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. Tuntutannya masih sama, yakni pembayaran pelunasan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc.

    Warga korban lumpur kini kebingungan karena tidak tahu harus bertanya atau mengadu ke mana untuk menanyakan perkembangan proses pencairan dana talangan. Tak ada pihak yang memberikan sosialisasi ataupun bisa dikonfirmasi. (NIK)

    Sumber: Harian Kompas, 13 Mei 2015, hlm. 22.

  • Rel Kereta Api Porong Ditinggikan

    Rel Kereta Api Porong Ditinggikan

    SIDOARJO, KOMPAS — Mengantisipasi banjir susulan yang merendam jalur kereta api dan Jalan Raya Porong di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, PT Kereta Api Indonesia, Sabtu (2/5), meninggikan rel. Peninggian dilakukan supaya perjalanan kereta tidak terganggu banjir sehingga penumpang tak telantar.

    Sejak pagi, sejumlah pekerja sudah berada di jalur kereta api yang menghubungkan Stasiun Tanggulangin dan Stasiun Porong, tepatnya di sisi selatan tanggul penahan lumpur Lapindo. Kereta jenis mesin Multi Tie Tamper (MTT) juga dioperasikan di lapangan.

    Menurut Inspektur Lapangan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) VII M Yudhi, permukaan rel ditinggikan sekitar 30 sentimeter (cm) dari kondisi normal. Peninggian untuk mengantisipasi banjir susulan karena wilayah Sidoarjo masih berpotensi diguyur hujan deras selama Mei ini.

    “Sehari sebelumnya kami melakukan pengangkatan rel karena terendam banjir setinggi 21 cm di atas permukaan atau kepala rel. Sabtu ini baru dilakukan peninggian dengan menambah bantalan berupa batu kerikil atau kericak,” ujar Yudhi di Sidoarjo.

    Kereta MTT yang dioperasikan mengangkat rel secara otomatis lalu memasukkan kericak di bawah rel sehingga terangkat. Kereta ini didesain khusus untuk pembangunan jalur kereta.

    Jumat lalu banjir menenggelamkan jalan raya Porong dan jalur KA sepanjang sekitar 1 kilometer. Akibatnya, 20 jadwal perjalanan KA terganggu dan sebagian batal berangkat. Padahal, kondisi KA terisi penuh penumpang karena musim liburan.

    Selain menenggelamkan rel KA, banjir juga mengakibatkan Jalan Raya Porong rusak parah akibat terendam air. Badan jalan dipenuhi lubang besar dan membuat banyak pengendara motor terjatuh. Kondisi kian parah karena permukaan aspal pun mengelupas. Selain karena hujan deras, banjir juga disebabkan luapan Sungai Ketapang akibat sedimentasi oleh lumpur Lapindo. Penyebab lain, permukaan tanah turun 2 cm karena pengaruh dari semburan lumpur Lapindo. Saat bersamaan, mesin pompa milik Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) kurang maksimal menyedot air.

    Dwinanto Hesti Prasetyo dari Humas BPLS mengatakan, pihaknya mengerahkan 10 mesin pompa di titik tanggul penahan lumpur Lapindo. Khusus di Jalan Raya Porong disiagakan tiga pompa. Sisanya di permukiman warga Desa Gempolsari yang juga terendam banjir.

    Sementara itu, banjir yang menggenangi sebagian wilayah di Kabupaten Pasuruan, Sabtu, mulai surut. Warga pun membersihkan rumahnya dan sekolah yang terendam air dan lumpur.

    KA anjlok

    Sementara itu, KA jurusan Medan-Tanjung Balai, Sabtu, anjlok karena patah roda di jalur Km 90 di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Akibat kejadian itu, 493 penumpang KA telantar hingga Sabtu siang. Tak ada korban dalam kejadian itu.

    Seorang penumpang KA, Khairuddin Yoes (56), menuturkan, mereka merasakan ada guncangan dua kali dan muncul asap dari bawah KA itu. “Kereta cepat berhenti,” ujarnya.

    Kepala Humas PT KAI Daop I Rapino Situmorang menyampaikan, penyebab pasti kejadian itu belum diketahui dan masih diselidiki. (nik/dia/dri)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/05/03/15025631/Rel.Kereta.Api.Porong.Ditinggikan

  • Sejumlah Persoalan Hantui Pencairan Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    Sejumlah Persoalan Hantui Pencairan Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS.com — Pencairan dana talangan untuk pelunasan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur Lapindo di area terdampak di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, semakin dekat. Namun, sejumlah persoalan perlu dituntaskan terkait validasi data yang disampaikan PT Lapindo Brantas dan negosiasi dengan perusahaan.

    Dwinanto Hesti Prasetyo dari Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), di Sidoarjo, Minggu (22/2), mengatakan, hingga saat ini verifikasi data korban lumpur masih terus dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim. Data korban yang sudah terbayar juga diverifikasi ulang supaya valid.

    ”Selain mengadakan verifikasi di lapangan, BPKP membuka pengaduan dan mempersilakan warga korban lumpur untuk menyampaikan persoalan yang mereka hadapi,” ujar Dwinanto.

    Dwi mengatakan, sejak verifikasi data disosialisasikan BPKP, banyak warga korban yang mendatangi kantor BPLS. Ada yang ingin memastikan apakah datanya sudah tervalidasi, tetapi tidak sedikit yang mengaku belum terverifikasi sama sekali oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar PT Lapindo Brantas.

    Persoalan lain, ada 100 warga korban lumpur yang tercatat sudah mendapat ganti rugi dalam bentuk penggantian rumah tinggal di Perumahan Kahuripan Nirvana Village. Namun, hingga saat ini atau hampir sembilan tahun, rumah yang dijanjikan belum dibangun.

    Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan pentingnya verifikasi data korban lumpur karena data yang disampaikan PT MLJ tidak disertai lampiran yang menjelaskan secara rinci. Verifikasi pun penting agar pembayaran sesuai dengan proporsi penerima ganti rugi.

    ”Verifikasi harus dilakukan ulang untuk menghindari salah hitung, salah ukur, dan salah pendokumentasian. Karena itu, sebelum anggaran dicairkan, verifikasi ulang harus dituntaskan,” ujar Khofifah, di Sidoarjo, Sabtu.

    Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu mengatakan, dana talangan untuk pelunasan pembayaran ganti rugi warga korban lumpur sudah disahkan dalam Undang-Undang APBN Perubahan 2015, Jumat lalu. Besaran nilainya Rp 781 miliar.

    Saat ini pemerintah mengerjakan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) sesuai dengan paparan data yang disampaikan PT Lapindo Brantas dan PT MLJ. Targetnya, dalam minggu ini DIPA sudah selesai Apabila sesuai dengan rencana pemerintah, pencairan dana talangan paling cepat dilakukan akhir Februari 2015.

    Sesuai dengan laporan MLJ, tunggakan pembayaran terhadap warga korban lumpur di peta area terdampak yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas mencapai 3.337 berkas tanah dan bangunan. Total nilai tunggakan Rp 781 miliar. (NIK)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/02/23/17323231/Sejumlah.Persoalan.Hantui.Pencairan.Ganti.Rugi.Lumpur.Lapindo

  • Amankan Aset Lapindo, Pemerintah Bentuk Tim Khusus

    JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah akan membentuk tim khusus untuk mengamankan aset milik PT Minarak Lapindo Jaya yang akan menjadi jaminan dana talangan dari pemerintah. Langkah ini dilakukan setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan pemerintah memberikan dana talangan sisa ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781,7 miliar yang seharusnya menjadi kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono mengatakan, menindaklanjuti persetujuan pemberian dana talangan bagi korban lumpur Lapindo, pemerintah akan membentuk tim untuk mengamankan aset yang menjadi jaminan atas dana talangan ini. “Presiden mengatakan harus hati-hati. Harus ada perjanjiannya,” kata Basuki,  baru-baru ini.

    Menurut Basuki, tim yang akan menilai aset milik Lapindo ini terdiri dari beberapa instansi pemerintah, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kejaksaan Agung. Pemerintah juga menggandeng Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit seluruh aset Lapindo.

    Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto masih menyusun formasi tim khusus tersebut.  Yang jelas, tim inilah yang akan berunding dengan Minarak Lapindo Jaya. Menurut Andi, pemerintah turun tangan dalam pembayaran sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo untuk mengakhiri ketidakjelasan yang dialami korban lumpur Lapindo selama delapan tahun terakhir.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, pemerintah akan mengalokasikan dana talangan untuk Minarak Lapindo Jaya lantaran perusahaan tersebut tidak mampu membayar sisa pelunasan ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781,7 miliar. Basuki menambahkan, dana talangan ganti rugi ini akan disalurkan kepada para korban lewat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Sebagai gantinya, Minarak Lapindo Jaya harus menyiapkan 13.237 berkas sertifikat lahan seluas 641 hektare (ha) di wilayah peta terdampak lumpur Lapindo. Nilai aset  yang akan menjadi jaminan tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp 3,3 triliun.

    Pemerintah memberi waktu empat tahun kepada Minarak Lapindo Jaya untuk melunasi dana talangan itu. Bila sampai batas waktu itu  PT Minarak Lapindo Jaya tak bisa melunasi dana talangan ini, seluruh aset jaminan tersebut menjadi milik pemerintah.

    Sifatnya pinjaman

    Juru Bicara BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo bilang, BPLS masih menunggu arahan dari Kementerian PU-Pera untuk menentukan mekanisme penyaluran ganti rugi ke korban. Maklum, meski penyaluran sisa ganti rugi bagi masyarakat korban lumpur Lapindo direncanakan lewat BPLS, hingga kini anggaran yang digunakan untuk dana talangan ini belum masuk ke anggaran BPLS. “Anggaran dana talangan ini ada di Kementerian Keuangan, karena sifatnya pinjaman,” kata Hesti, kepada KONTAN, Rabu (11/2).

    Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2015, anggaran dana talangan untuk ganti rugi lumpur Lapindo ini dialokasikan dalam pos pembiayaan non utang. Nah, sembari menunggu arahan dari Kementerian PU, “Kami sedang menyusun persiapan perencanaan pembayaran,” kata Dwinanto.

    Asep Munazat Zatnika

    Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/12/125011926/Amankan.Aset.Lapindo.Pemerintah.Bentuk.Tim.Khusus

  • Dana Talangan: Uang dari Pajak

    Dana Talangan: Uang dari Pajak

    Harian KOMPAS | Jumat, 06-02-2015 | Halaman: 17

    Belum pernah terjadi anggaran negara dialokasikan untuk menalangi ganti rugi korporasi. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015, dialokasikan dana Rp 781,7 miliar untuk digelontorkan ke PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Grup Bakrie.

    Anggaran tersebut ditujukan untuk menalangi jual beli tanah dan aset antara PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan warga korban lumpur Lapindo. Jual beli adalah status yang diinginkan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab, bukan ganti rugi sebagaimana diserukan warga.

    Sampai saat ini, sekitar 20 persen dari total areal terdampak lumpur belum dibayar oleh PT MLJ. Perusahaan mengklaim tak mampu bayar sehingga meminta dana talangan dari pemerintah pada 2014.

    Presiden Joko Widodo berketetapan mengalokasikan dana talangan itu. Berbagai spekulasi pun bermunculan dengan keputusan tersebut. Namun, dalam perspektif positif, kebijakan itu mungkin merupakan bentuk pemenuhan janji Joko Widodo. Selain itu, pilihan ini adalah langkah yang paling diharapkan korban lumpur Lapindo. Mereka telah menunggu delapan tahun atas hak-haknya tanpa kejelasan dari PT MLJ.

    Alokasi dana talangan ini disetujui Badan Anggaran DPR, Selasa (3/2) malam. Pembahasan biasanya bertele-tele, tetapi dana talangan ini diselipkan dalam rapat kerja tentang penyertaan modal negara (PMN). Pembahasannya singkat.

    Pemerintah dan DPR hanya butuh waktu satu jam membahas dana talangan ini. Sementara untuk membahas PMN ke badan usaha milik negara (BUMN) yang nilainya jauh di bawah dana talangan, butuh waktu berhari-hari.

    Misalnya untuk PT Pelni dan PT Garam yang masing-masing dianggarkan Rp 500 miliar dan Rp 300 miliar. DPR mensyaratkan kehadiran direktur utama untuk menjawab beragam pertanyaan.

    Sementara itu, dana talangan Lapindo, pada saat disetujui pun skema utang piutangnya belum tuntas, misalnya menyangkut tenor dan bunga. Nilai agunannya pun belum valid karena masih dihitung BPKP. Direktur Utama PT MLJ pun juga tidak perlu repot-repot hadir menjawab pertanyaan.

    Publik berhak mengetahui soal ini karena dana talangan merupakan uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak. Jika pemerintah dan DPR sepakat tanpa kejelasan skema utang piutangnya, pembayar pajak berhak menggugat.

    Dana talangan ke PT MLJ pada dasarnya adalah uang rakyat. Dan niat baik untuk tujuan baik saja kerap tidak cukup. Perlu tata kelola yang benar untuk menjamin semuanya berjalan baik. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

  • Kaltim Siap Tampung Korban Lumpur Lapindo

    Kaltim Siap Tampung Korban Lumpur Lapindo

    SAMARINDA, KOMPAS.com – Kalimantan Timur (Kaltim) siap menampung warga Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) yang menjadi korban lumpur Lapindo. Hal itu diungkapkan langsung Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak. Menurutnya, salah satu wilayah yang disiapkan dalam program transmigrasi warga Sidoarjo adalah Kecamatan Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kertanegara. Awang juga berencana menyiapkan usaha untuk warga korban lumpur Lapindo ini, yakni kerajinan kulit.

    “Kaltim siap menampung warga Tanggulangin, Sidoarjo, yang jadi korban lumpur Lapindo untuk tinggal di Kaltim. Mereka diharapkan dapat membantu pengembangan industri kecil di bidang kerajinan kulit di Kota Sejarah, Sanga-sanga,” kata Awang, Senin (27/1/2014).

    Dijelaskan Awang, jika program transmigrasi dan usaha kerajinan ini sukses, Awang berharap Sanga-sanga akan diubah menjadi Lingkungan Industri Kecil (LIK) dengan jenis produksi industri logam, kayu, plastik, tempat duduk motor, sandal serta sepatu.

    “Caranya orang dari Tanggulangin kita bawa ke Sanga-sanga mungkin 20 orang. Mereka bisa menularkan keahlian mereka kepada warga di sini untuk membuat kerajinan tangan. Dengan begitu, Sanga-sanga tidak akan menjadi kota hantu,” jelasnya.

    Untuk itu, dia mengharapkan Bupati Kukar segera merapatkan rencana tersebut. Pemprov Kaltim juga akan meminta PT Pertamina untuk membantu melalui program Community Social Responsibility (CSR).

    “Ini merupakan instruksi saya, saya mengharapkan Bupati Kukar segera merapatkan rencana tersebut, dengan PT Pertamina yang ada di Kukar agar dapat turut membantu menyuseskan program tersebut,” ujarnya.

    Apalagi, lanjut dia, tempat-tempat yang dimiliki Pertamina masih banyak yang tidak difungsikan. Sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi kawasan pengembangan usaha kerajinan tangan tersebut. Meski begitu, tenaga kerja yang didatangkan tentu tidak banyak, yakni sesuai kebutuhan.

    “Kehadiran mereka diharapkan mendorong warga Sanga-sanga menjadi lebih kreatif, sehingga jika ada orang Malaysia mencari kerajinan kulit dan rotan, bisa saja ke Kaltim, ke Sanga-sanga,” katanya.

    Dia menambahkan, Pemprov Kaltim juga akan mendukung melalui Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan membantu pemindahan warga Sidorajo ke Kaltim. Selain itu, Awang juga menjelaskan jika Gubernur Jatim Sukarwo telah memberikan informasi bahwa Jatim siap mengirimkan tenaga kerja ke Kaltim, terutama ke Sanga-sanga.

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/01/27/2140556/Kaltim.Siap.Tampung.Korban.Lumpur.Lapindo

  • Sudah Triliunan, Kok Belum Semua Korban Lapindo Dapat Ganti Rugi?

    Sudah Triliunan, Kok Belum Semua Korban Lapindo Dapat Ganti Rugi?

    JAKARTA, KOMPAS.com — Pengucuran dana dari APBN untuk penanganan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, terus menjadi polemik. Ada yang pro atas kebijakan pemerintah menyikapi lumpur Lapindo. Ada pula yang mengkritik. Lalu, sampai kapan pemerintah harus mengucurkan dana dari rakyat untuk semburan lumpur Lapindo? (more…)

  • Benang Kusut Lumpur Lapindo

    Sejak Mei 2006 atau dua tahun tujuh bulan sejak menyemburnya lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, belum seluruh persoalan tertuntaskan, terutama persoalan sosial dan lingkungan akibat semburan. Bila diumpamakan benang, lumpur Lapindo ibarat benang yang kusut berkepanjangan.

    Persoalan utama dampak semburan lumpur Lapindo adalah ganti rugi tanah dan bangunan milik ribuan warga yang terendam lumpur sehingga harus mengungsi. Sejauh ini, bos Lapindo, Aburizal Bakrie, menyatakan telah menghabiskan Rp 3,5 triliun hanya untuk membayar ganti rugi. Namun, pembayaran ganti rugi belakangan ini tersendat. Diduga, pemicunya adalah krisis keuangan global yang mengakibatkan kekayaan Grup Bakrie menguap hingga menyisakan 10 persen saja, seperti yang dikatakan Aburizal.

    Meskipun demikian, PT Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo Brantas Inc yang bertugas menyelesaikan ganti rugi korban lumpur) berulang kali menegaskan akan menuntaskan pembayaran ganti rugi. Sejauh ini, iktikad baik itu terlihat dengan masih berlangsungnya proses pembayaran ganti rugi meski kerap tersendat dan dicicil.

    Kenyataannya, tak semua dari sekitar 13.000 korban lumpur merasa puas. Sebagian memang sudah merasa tenang dengan menerima ganti rugi tanah dan bangunan. Namun, sebagian yang lain belum menerima ganti rugi sama sekali, yaitu sekitar 1.400 pemilik berkas termasuk warga Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, yang tinggal di pengungsian Pasar Porong Baru.

    Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengingatkan pemerintah pusat agar menyiapkan skenario terburuk jika Minarak benar- benar tidak memiliki dana untuk ganti rugi. Skenario itu adalah pilihan dana talangan dari APBN sebagai ganti rugi korban lumpur. Syaratnya, kata Jalaluddin, Minarak harus memberi jaminan kepada pemerintah bahwa suatu saat mereka sanggup membayar atas dana talangan yang dikeluarkan.

    Rupanya sebagian korban lumpur enggan mengerti kondisi keuangan Lapindo. Menurut Wakil Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo Pitanto, warga tidak paham jika disodori penjelasan bahwa saham-saham Lapindo berjatuhan di lantai bursa sehingga bangkrut dan pembayaran ganti rugi tersendat. “Kami tidak mengerti soal itu. Yang jelas, tanah dan rumah kami terendam. Kami hanya menginginkan ganti rugi yang menjadi hak kami, tidak peduli uang itu dari mana,” ujarnya.

    Persoalan lain yang tidak boleh luput dari perhatian adalah dampak lingkungan akibat semburan lumpur Lapindo. Hingga saat ini lumpur masih menyembur sebanyak 100.000 meter kubik per hari. Sebagian lumpur itu dibuang ke Sungai Porong. Dampaknya sudah mulai terasa, yaitu usaha tambak di bagian hilir sungai tercemari endapan lumpur yang mengandung gas berbahaya. Selain itu, endapan lumpur belum seluruhnya hilang dari Sungai Porong yang mengakibatkan terganggunya aliran sungai menuju laut.

    Apakah pemerintah harus turun tangan sepenuhnya? Mungkin juga tidak, seperti yang dikatakan Kepala Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Soenarso. “Yang diurusi pemerintah tidak hanya lumpur Lapindo,” katanya. Jawaban yang masuk akal. Apalagi, pada 2009 seluruh pejabat negeri ini akan disibukkan hajatan besar bernama pemilu.

    Sampai saat ini belum ada jawaban bagaimana penyelesaian semburan lumpur Lapindo dan kapan berakhirnya. Persoalan ini ibarat benang kusut yang memerlukan tidak hanya satu tangan untuk dapat mengurainya.

    ARIES PRASETYO (Dimuat pada Catatan Akhir Tahun Kompas, 30 Desember 2008)

  • Korban Menagih Janji PT MLJ

    SIDOARJO, KOMPAS – Sekitar 150 korban lumpur Lapindo dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Sidoarjo mendatangi kantor perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya, Selasa (30/12) pukul 08.00 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka menagih janji PT MLJ yang hendak mencicil sisa ganti rugi 80 persen pada Desember 2008.

    Warga bermaksud menemui perwakilan PT MLJ untuk menanyakan cicilan pertama sisa ganti rugi 80 persen yang jatuh tempo akhir Desember 2008. Namun, tak satu pun staf PT MLJ berada di kantor.

    Koordinator warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo, Koes Sulassono, mengatakan, hingga saat ini tak sampai 200 dari 1.170 warga Perumtas korban lumpur yang mendapatkan cicilan ganti rugi.

    Kesepakatan kami dengan Minarak yang difasilitasi Presiden pada awal Desember di Istana Negara menyatakan, sisa ganti rugi 80 persen dicicil Rp 30 juta setiap bulan. Nyatanya, tidak semua warga sudah mendapatkan cicilan. Yang mendapat pun hanya dibayar Rp 15 juta,” kata Koes.

    Menurut Koes, jika sampai 10 Januari 2009 tidak ada kejelasan mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80 persen, warga Perumtas akan berangkat ke Jakarta lagi untuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membantu penyelesaian ganti rugi. Warga yang ke Jakarta akan lebih banyak dibanding pada 3 Desember lalu yang berjumlah 1.000 orang.

    ”Kami juga sudah mengirim surat kepada Menteri Sosial dan Menteri Pekerjaan Umum untuk melaporkan bahwa realisasi ganti rugi tidak sesuai dengan kesepakatan di Jakarta,” kata Koes.

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabussala saat dihubungi mengatakan, pihaknya sedang mengkaji kembali mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80 persen.

    Dalam pesan singkatnya Andi mengemukakan, persoalan tersebut mendapat perhatian khusus perusahaan dan sedang dilakukan rapat koordinasi. (APO)

  • Korban Lumpur Lapindo Rayakan Tahun Baru di Tenda

    SIDOARJO, KOMPAS – Warga korban lumpur Porong yang tergabung dalam Laskar Bonek Korban Lumpur (Lasbon K-Pur) memilih tinggal di tenda keprihatinan dalam menyambut Tahun Baru Islam 1430 Hijriah dan Tahun Baru 2009.

    “Kami lebih memilih tinggal di tenda keprihatinan sebagai salah satu bentuk reaksi atas nasib kami yang selama dua tahun ini masih belum jelas,” kata Haryanto, salah satu koordinator aksi, ketika dikonfirmasi di Sidoarjo, Minggu (28/12).

    Ia mengatakan, tidak ada acara yang spesial untuk menyambut pergantian tahun baru 1430 Hijriah. “Mungkin kami hanya melakukan renungan malam untuk mengingat kembali nasib kami yang selama dua tahun ini masih belum jelas,” ujarnya.

    Lasbon K-Pur merupakan warga yang setuju dengan realisasi pembayaran ganti rugi dengan skema cash and resettlement. Kegiatan itu diakuinya juga sebagai langkah untuk mengantisipasi rencana pembongkaran paksa tenda keprihatinan yang mereka dirikan 16 Desember lalu. “Kami mendapatkan informasi jika aparat keamanan akan membongkar paksa tenda kami. Oleh karena itu, kami akan bertahan,” katanya.

    Haryanto menambahkan, tenda keprihatinan tersebut sengaja dibuat untuk mengawal realisasi janji Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menanggung ganti rugi atas nasib mereka. Selain itu, tenda keprihatinan tersebut, sengaja tidak dibongkar hingga pergantian tahun baru masehi, dari 2008 ke 2009.

    MLJ, kata dia, pernah berjanji akan membangun 450 unit rumah setiap tiga bulan dan diselesaikan dalam waktu tiga bulan. “Mereka (MLJ) berjanji akan memulai pembangunannya pada awal tahun depan, dan kami ingin melihat realisasinya,” katanya.

    Sementara itu,  Ulfiati,  salah seorang korban yang lain menilai, seharunya korban lumpur yang menerima skema pembayaran cash and resettlement sudah bisa menempati rumah mereka sejak Oktober lalu. Akan tetapi, hingga kini rumah yang dijanjikan itu belum juga siap dihuni.

    “Seharusnya, kami sudah bisa menempati rumah tersebut sejak Oktober lalu,  karena penandatanganan ikrar jual beli (PIJB) sudah dilakukan sejak April 2008,” ujarnya.

    Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/28/18024586/korban.lumpur.lapindo.rayakan.tahun.baru.di.tenda

  • DPR Pertanyakan 4 Desa Tidak Masuk Area Terdampak Lumpur

    JAKARTA, KOMPAS — Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) mempertanyakan tidak dimasukkannya 4 desa yaitu Besuki Timur, Mindi, Siring, dan Jatirejo ke dalam peta area terdampak.

    Dalam laporannya pada rapat dengar pendapat umum dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (17/12) malam, Ketua Dewan Pengarah BPLS Djoko Kirmanto memaparkan bahwa bagi 4 desa tersebut, BPLS menyiapkan program darurat jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

    “Kenapa tidak dimasukkan (peta area terdampak)? Ini harus dijelaskan, karena ini menjadi landasan kita. Empat desa itu kan sudah kita sepakati,” kata Ketua TP2LS Priyo Budi Santoso.

    Atas hal ini, Djoko menjawab jika masuk ke peta area terdampak maka warga di 4 desa tersebut akan mendapat pembayaran sama besar dengan yang dibayarkan Lapindo. “Oleh karena itu, kita siapkan dana darurat 2009,” ujar Djoko.

    Padahal, ada tuntutan warga desa Jatirejo, Siring Barat, dan Mindi untuk dimasukkan peta area terdampak karena merasa rumah mereka sudah tidak layak huni, demikian pula tuntutan warga desa Besuki dan desa-desa sekitar luapan lumpur yang sudah merasa tidak aman.

    Namun, anggota TP2LS Abdullah Azwar Anas justru mempertanyakan mengapa pemerintah tidak menetapkan ambang batas rasional yang bisa dibayarkan pemerintah kepada warga 4 desa tersebut.

    “Berapa ambang batas rasional yang tidak memberatkan pemerintah? Seharusnya ini ditetapkan jika pemerintah tidak ingin disamakan dengan jual beli yang dilakukan Lapindo. Itu yang ingin kami dengan dari pemerintah. Kalau tidak, rapat kita ya sama saja,” kata anggota Fraksi PKB ini.

    Menurut Anas, ada warga yang mengatakan bahwa mereka bersedia dibayar tidak sama dengan jual beli Lapindo asalkan pembayaran cepat selesai.

    Inggried Dwi Wedhaswary

  • Pemerintah Siapkan Program Darurat bagi Korban Lumpur Lapindo

    JAKARTA, KOMPAS – Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Djoko Kirmanto mengatakan, pemerintah menyiapkan program darurat pada tahun 2009 bagi warga di sekitar area luapan lumpur Lapindo. Program tersebut, diperuntukkan jika terjadi hal yang tidak terduga di 4 desa yaitu Besuki Timur, Mindi, Siring, dan Jatirejo.

    Sebab, Djoko mengatakan, Besuki Timur dinyatakan sebagai daerah yang tidak terkena dampak. Sementara, Desa Mindi, Siring, dan Jatirejo jika dimasukkan sebagai area terdampak akan membengkakkan anggaran.

    “Untuk Mindi, Siring, dan Jatirejo kalau dimasukkan ke dalam peta area terdampak akan menambah anggaran hingga triliunan. Pemerintah sangat berhati-hati sambil menunggu hitungan ekonomisnya. Namun, bila terjadi hal tidak terduga, kami sudah menyiapkan program darurat 2009,” papar Djoko dalam rapat dengan pendapat umum dengan Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR, Rabu (17/12) malam, di Gedung DPR.

    Program darurat tersebut, biaya untuk memobilisasi (mengevakuasi korban), biaya jaminan hidup, dan dana untuk membeli rumah sederhana sehat. Dalam laporan awalnya, Djoko menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur sudah dimulai, seperti pembangunan jalan dan jembatan. “Pembangunan jalan tol masih menunggu,” kata Djoko, yang juga menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum.

    Inggried Dwi Wedhaswary

    Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/17/20284761/pemerintah.siapkan.program.darurat.bagi.korban.lumpur.lapindo

  • Harus Berani Bersikap Tegas

    AMIN FTH

    Mencuatnya berita Aburizal Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia ternyata tidak membawa angin segar untuk korban lumpur Lapindo. Pihak Lapindo masih adem ayem menyuguhkan skema penundaan pembayaran ganti rugi tanpa kejelasan waktu.

    Hingga kini tragedi tragis semburan lumpur Lapindo masih menyisakan duka bagi para warga Porong, Sidoarjo. Mereka bukan hanya kehilangan tempat tinggal, harta, dan mata pencaharian, melainkan juga ketidakpastian masa depan.

    Sebagian besar para korban sampai sekarang masih belum mendapatkan tempat tinggal tetap, bahkan hingga kini masih banyak yang masih terlunta-lunta di penggungsian. Ny Jumik (52), misalnya, harus mengembuskan napas terakhirnya di pengungsian (30/11). Warga Desa Renokenonggo ini wafat setelah dua tahun mengidap penyakit kanker dan tumor tanpa bantuan pengobatan, baik dari Lapindo maupun pemerintah. Korban lainnya, Luluk, warga Desa Jatirejo Barat, Yakup dan istrinya, warga Desa Siring, mengalami nasib sama.

    Berdasarkan diagnosis dokter, mereka menderita sesak napas akibat menghirup gas beracun di sekitarnya (www.korbanlapindo.net). Menurut penelitian para ahli, lumpur Lapindo mengandung zat beracun yang mengakibatkan gangguan pernapasan, bahkan mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) 2.000 kali lipat di atas normal, yang secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit kanker dan tumor.

    Semua pihak mengetahui semburan lumpur Lapindo bukan karena malapetaka alam murni, melainkan karena tindakan manusia. Kecongkakan sebuah perusahaan besaryang tidak berpikir pada masyarakat kecil di dekatnyamelakukan pengeboran tanpa memakai casing yang seharusnya digunakan untuk menjamin bahan yang keluar dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan kecerobohan tersebut mempunyai akibat fatal.

    Sekalipun ini bukan sebuah tindakan kejahatan, faktanya malapetaka ini telah menimbulkan puluhan ribu orang kehilangan kampung halaman dan masa depan. Ironisnya, hingga kini pertanggungjawaban PT Lapindo sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam tragedi ini masih sepi dari realisasi.

    Lapindo selalu menghadirkan penundaan pembayaran 80 persen cash and carry yang dijanjikan dengan alasan pailit. Skema ini terasa kontras ketika Aburizal Bakriesalah satu pemilik Lapindo bertengger sebagai orang terkaya di negeri ini.

    Bukan suatu yang membanggakan ketika para korban lumpur Lapindo lebih percaya untuk mengadukan nasib mereka pada Kedubes Belanda. Negara yang telah menjajah bangsa ini selama bertahun-tahun tersebut dinilai lebih memerhatikan hak ekonomi dan sosial warganya (www.kompas.com).

    Kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapat dengan pihak Lapindo mungkin menjadi secercah harapan bagi para korban. Selama ini perlakuan pemerintah terhadap Lapindo terkesan lunak, tidak ada sanksi hukum, sanksi sosial, dan sanksi ekonomi pun diulur-ulur.

    Presiden selaku pemimpin negara dan pemerintahan selaiknya berani bertindak tegas, menjalankan motor keadilan, meskipun itu harus menggerus orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya.

    Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/12/10085782/harus.berani.bersikap.tegas

  • Sekolah Swasta Bertahan

    Jumat, 10 Oktober 2008

    Sidoarjo, KOMPAS – Pihak sekolah swasta milik Yayasan Kholid bin Walid di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, memilih tetap bertahan meski wilayah itu sedang dalam proses pembangunan tanggul kolam penampungan lumpur Lapindo. Alasannya, hingga kini pihak sekolah belum menemukan lokasi atau gedung baru sebagai gantinya.

    Kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini belum dimulai seperti sekolah lain yang kembali masuk pada hari Kamis (9/10). Kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang terdiri atas taman kanak-kanak, madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), madrasah tsanawiyah (SMP), dan madrasah aliyah (SMA) itu baru akan dimulai pada hari Senin (13/10).

    Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Kholid bin Walid, Ali Asa’ad, mengatakan, meski proses pembangunan kolam lumpur sudah dimulai, kegiatan belajar-mengajar di sekolah tetap akan berlangsung seperti biasa. Ia mengatakan, hingga kini pihaknya belum menemukan gedung baru sebagai pengganti gedung yang ada saat ini jika nanti dirobohkan untuk pembangunan tanggul.

    Anggota staf Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), Akhmad Kusairi, berharap agar gedung sekolah milik Yayasan Kholid bin Walid tidak digunakan lagi sebagai tempat belajar-mengajar. Luapan air lumpur membuat sekolah tersebut tidak layak digunakan lagi. (APO)

  • Renokenongo Dijaga Polisi

    Selasa, 14 Oktober 2008 | 11:47 WIB

    SIDOARJO, KOMPAS –  Sehari setelah unjuk rasa besar rakyat korban lumpur panas PT Lapindo Brantas, desa Reno Kenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur dijaga ratusan polisi, Selasa (14/10).

    Polisi berseragam dan berkendaraan roda dua berkeliling di jalan-jalan desa yang sudah dirobohkan rumah-rumahnya karena luapan lumpur. Di tengah teriknya matahari, terlihat para polisi yang lelah berkeliling dengan motornya berhenti di sudut-sudut desa. Warung minum menjadi lokasi favorit berkumpulnya aparat negara.

    Mungkin karena kepanasan, para polisi membuka seragam mereka dan hanya mengenakan kaos dalam coklat. Minuman botol dingin dan televisi menyala menjadi selingan pembicaraan mereka.

    Di salah satu sudut desa, beberapa truk polisi diparkir. Truk itu sebelumnya membawa ratusan polisi lain yang ditugaskan berjaga-jaga mengantisipasi kemungkinan unjuk rasa rakyat korban. Rakyat berunjuk rasa karena tanah mereka ditanggul sementara ganti rugi 20 persen saja belum diberikan.

    Kegiatan penanggulan terus dilakukan dalam pengawasan dan pengawalan polisi. Rakyat korban hanya bisa menyaksikan tak punya daya. “Kami pasrah campur marah. Tapi apa daya kami. Mau keras kami lebih dikerasin dan kalah,” ujar Heri, warga Reno Kenongo.

    Meskipun marah, Heri tak banyak bisa berbuat untuk menuntut hak-haknya. Negara dinilainya tidak berdaya dalam memperjuangkan dan melindungi hak-hak warga. Seperti warga lain, Heri sambil menahan marah dan melupakan kegetiran kehilangan sejarah membongkar rumahnya sendiri. Kuburan keluarga di depan rumahnya sudah lama terendam lumpur dan tak lagi bersisa. “Kami sudah kehilangan semua termasuk keberanian untuk marah menuntut hak,” ujarnya.

    Wisnu Nugroho A

  • Lumpur Sidoarjo “Mengalir” sampai London

    Hampir dua setengah tahun lumpur panas Lapindo mengalir tanpa hambatan, menenggelamkan ribuan bangunan, mengubur ribuan hektar sawah produktif, jalan tol, mengusir ribuan warga, dan memutus sejarah keluarga serta komunitas. Ribuan mil dari Sidoarjo, Jawa Timur, di London (Inggris) dan Cape Town, Afrika Selatan, geolog lulusan berbagai universitas terkemuka mendiskusikannya.

    Secara garis besar temanya sama: semburan dipicu pengeboran Sumur Banjar Panji-1 atau dipicu oleh gempa bumi dua hari sebelumnya?

    Dua pertanyaan besar yang penting dan sensitif, yang menghangatkan diskusi di berbagai seminar dan diskusi maya, melalui komunitas surat elektronik termasuk di Tanah Air.

    Dua hari setelah diskusi di London, Kamis (23/10) siaran pers datang dari pihak PT Energi Mega Persada, perusahaan pengebor sumur BP-1. Pada pertemuan Masyarakat Geologi London itu, mereka memaparkan data bahwa pengeboran tidak memicu semburan lumpur.

    Dua geolog PT Energi Mega Persada, Bambang Istadi dan Nurrochmat Sawolo, Selasa (28/10), rencananya akan mempresentasikan data-data mereka pada pertemuan di Cape Town. Konferensi disponsori Asosiasi Geolog Petroleum Amerika.

    Prinsip paparannya sama: lumpur tak terkait pengeboran. Mereka mengakui adanya komunitas ilmuwan yang beranggapan sebaliknya: pengeboranlah pemicu semburan lumpur.

    Keduanya berkomentar tidak tahu dari mana komunitas itu mendapatkan data orisinal dan menegaskan bahwa temuan itu tidaklah tepat.

    Sebelumnya, geolog Inggris, Richard Davies, menggemparkan komunitas geologi. Dia menyatakan semburan lumpur dipicu pengeboran sumur BP-1, bukan bencana alam.

    Di Indonesia, sejumlah geolog mendukung pandangan Davies. Mereka meminta pihak Lapindo Brantas Inc, membuka data asli—memuat perkembangan pengeboran detik per detik.

    Tak mendapat respons semestinya, para geolog meminta media memfasilitasi pertemuan netral. Seperti pernah dikatakan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Andang Bachtiar, ”Jika perlu kurung kami tiga hari tiga malam untuk diskusi dan mencari pemecahan, bukan kesalahan.”

    Berbulan-bulan digaungkan, berbulan-bulan tak bersambut. Komunitas geolog ”anti-bencana alam” mengaku tak direspons pihak Lapindo, juga pemerintah sekalipun. Sementara itu, pihak ”pro bencana alam” menyatakan, penyebab semburan sudah jelas. Begitulah situasi dijagat geolog Indonesia.

    Butuh kepastian

    Kembali kepada warga, harapan mereka jauh dari muluk-muluk, cuma satu: tuntutan dikabulkan. Hidup turun-temurun di tanah yang kemudian terkubur, banyak yang mengaku kecewa. Namun, ada juga yang merasa diperlakukan layak. Entah berapa kali perwakilan warga silih berganti mendatangi ibukota Jakarta. Sebagian berhasil.

    Turun peraturan presiden (perpres) memuat desa mereka ke dalam peta terdampak dan ganti rugi sesuai skema warga. Terakhir, Juli 2008 lalu, pemerintah dan DPR mendukung harapan warga Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring dimasukkan ke perpres baru.

    Sejauh ini pemerintah hanya sanggup memberi solusi penanggulangan dan pengaliran lumpur ke sungai yang terhambat. Menteri Pekerjaan Umum, atas nama pertemuan para pakar, memilih opsi terburuk: semburan tak bisa dihentikan.

    Pemerintah pusat mengaku ”menyerah”, pemerintah daerah ikut pusat, sedangkan para calon gubernur yang berebut takhta Jawa Timur seperti enggan ”belepotan” lumpur. Geolog pun terbelah dua, yang yakin lumpur dapat dihentikan dan yang tidak.

    Jauh di London dan Cape Town sana, lumpur panas diperlakukan istimewa: didiskusikan para pakar kelas dunia di ruangan eksklusif. Entah hasilnya. Seperti harapan korban, mereka hanya menanti mata yang terbuka atas nasib mereka di sini. Tak perlu sampai jauh di London sana. (GSA)

  • Pengungsi Pasar Baru Tak Mampu Mengontrak, DPRD Meminta 20 Persen Ganti Rugi Dicairkan

    Sabtu, 11 Oktober 2008

    SIDOARJO, KOMPAS – Pengungsi korban lumpur Lapindo di Pasar Baru Porong, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, mengaku tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah. Uang kontrak Rp 5 juta untuk dua tahun yang diberikan PT Minarak Lapindo Jaya pada bulan Ramadhan lalu sudah habis dibelanjakan untuk keperluan Idul Fitri.

    Kini, mereka sangat membutuhkan pencairan uang ganti rugi sebesar 20 persen untuk mengontrak rumah. Hal tersebut terungkap saat kunjungan Panitia Khusus (Pansus) Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo yang dipimpin Maimun Siraj ke tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Jumat (10/10).

    ”Kami harap agar pencairan ganti rugi sebesar 20 persen bisa direalisasikan. Pengungsi saat ini sangat membutuhkan uang itu untuk mengontrak rumah. Jika uang itu belum mereka terima, kemungkinan besar mereka belum bisa keluar dari Pasar Baru Porong karena mereka tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah,” tutur Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo Maimun Siraj.

    Kunjungan itu dimaksudkan untuk mengetahui kondisi pengungsi korban lumpur Lapindo yang berencana pindah setelah menerima uang kontrak dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Anggota DPRD juga menanyakan perkembangan proses pemberian ganti rugi korban lumpur.

    Maimun Siraj mengatakan, selain untuk mengetahui kondisi terkini pengungsi korban lumpur di Pasar Baru Porong, maksud kedatangan DPRD sekaligus atas permintaan pemilik kios Pasar Baru Porong yang berencana kembali menggunakan kios mereka pada awal 2009. Mereka belum bisa menempati kios-kios itu karena masih dihuni oleh sekitar 564 keluarga.

    Untuk Lebaran

    Basuki Ahmad (45), salah satu pengungsi di Pasar Baru Porong, mengungkapkan bahwa uang Rp 5 juta yang diberikan PT MLJ pada Ramadhan lalu sudah habis untuk belanja kebutuhan Lebaran. Kini mereka mengaku tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah. ”Harga rumah kontrakan saat ini sudah mahal. Apalagi untuk kontrakan di sekitar Sidoarjo sulit didapat. Jadi, kami sangat membutuhkan realisasi uang ganti rugi sebesar 20 persen agar kami bisa segera pindah untuk mengontrak rumah.”

    Staf Social Support PT MLJ Suliyono menjelaskan, hingga hari ini realisasi ganti rugi 20 persen bagi pengungsi di Pasar Baru Porong masih terus berlangsung. Menurut dia, 344 berkas dari 564 berkas yang sudah dilakukan penandatanganan akta jual beli pada Selasa (7/10) dan Kamis (9/10). Uang bisa dicairkan paling cepat setelah 14 hari kerja sejak penandatanganan akta tersebut.

    ”Proses realisasi ganti rugi masih terus berlangsung. Kami sudah menyediakan dana sekitar Rp 37 miliar untuk uang ganti rugi sebesar 20 persen bagi seluruh pengungsi korban lumpur Lapindo yang berada di Pasar Baru Porong,” kata Suliyono. (APO)