Tag: sisa 80 persen

  • Pembayaran Ganti Rugi Korban Lumpur Tetap Diprioritaskan

    Kamis, 16 Oktober 2008 | Kompas

    SIDOARJO, Kompas – PT Lapindo Brantas Inc melalui PT Minarak Lapindo Jaya tetap memrioritaskan pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, meski saat ini terjadi krisis keuangan global yang menimpa sebagian besar perusahaan di Indonesia. Diharapkan, pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo tidak terkendala akibat krisis tersebut.

    Demikian dikatakan Vice President Relations PT Lapindo Brantas Inc Yuniwati Teryana kepada Kompas, Kamis (16/10), di Sidoarjo. Pernyataan tersebut untuk menanggapi keluhan beberapa korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang belum menerima pembayaran uang muka ganti rugi sebesar 20 persen atau sisa ganti rugi sebesar 80 persen meski sudah lewat jatuh tempo pembayaran.

    Krisis keuangan global yang terjadi turut berpengaruh bagi perusahaan di Indonesia, termasuk PT Lapindo Brantas Inc. Namun, penanggulangan musibah korban lumpur merupakan salah satu prioritas bagi kami. Kami berharap, pembayaran ganti rugi tidak terkendala dan kondisi perusahaan segera pulih, jelas Yuniwati.

    Sejauh ini, PT Lapindo Brantas Inc telah membayar sisa ganti rugi 80 persen kepada korban lumpur Lapindo sebanyak 3.781 berkas dengan nilai Rp 1,153 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk uang muka 20 persen kepada pemilik 12.759 berkas korban lumpur senilai Rp 709,72 miliar.

  • Pengungsi Lumpur Lapindo PBP Kesulitan Kontrak Rumah

    Sidoarjo (ANTARA News) – Pengungsi korban luapan lumpur Lapindo di Pasar Baru Porong (PBP) Sidoarjo kini kebingungan tidak bisa mengontrak rumah, karena uang kontrak rumah dari PT Minarak Lapindo Jaya sudah habis untuk kebutuhan lebaran 2008 lalu.

    Informasi yang dihimpun ANTARA, Sabtu menyebutkan, mereka berharap uang muka ganti rugi 20 persen segera dicairkan agar bisa segera keluar dari PBP dan mengontrak rumah.

    Basuki Ahmad (45), salah satu pengungsi korban lumpur yang mengungsi di PBP mengatakan, uang Rp 2,5 juta yang diberikan PT MLJ, sudah habis untuk kebutuhan Lebaran 2008.

    Menurut dia, kebanyakan warga kini tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah. Selain itu, uang sejumlah Rp2,5 juta, tidak cukup untuk mengontrak rumah layak huni.

    “Harga rumah kontrakan saat ini sudah mahal. Apalagi untuk kontrakan di sekitar Sidoarjo, sudah sulit didapat. Jadi, kami sangat membutuhkan realisasi uang ganti rugi sebesar 20 persen agar kami bisa segera pindah untuk mengontrak rumah,” katanya.

    Sementara itu Ketua Panitia Khusus (Pansus) lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo, Maimun Siradj mengharapkan agar pencairan ganti rugi sebesar 20 persen itu secepatnya direalisasikan.

    “Pengungsi saat ini amat membutuhkan uang tersebut untuk mengontrak rumah. Jika uang itu belum mereka terima, kemungkinan besar mereka belum bisa keluar dari PBP, karena mereka tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah,” katanya.

    Menurut rencana sebanyak 565 Kepala Keluarga (KK) yang masih mengungsi di PBP berencana meninggalkan PBP usai Lebaran dan akan ditempati oleh pedagang, sekitar awal tahun 2009, setelah PBP direnovasi.

    Sementara itu, Staf Sosial Support PT MLJ, Suliyono mengatakan hingga saat ini realisasi ganti rugi sebesar 20 persen bagi pengungsi di PBP masih terus berlangsung.

    Ia menjelaskan, sebanyak 344 berkas dari 565 berkas sudah dilakukan penandatanganan akta jual beli, Selasa (7/10) dan Kamis (9/10) lalu dan uang bisa dicairkan paling cepat setelah 14 hari kerja sejak penandatanganan akta tersebut.

    “Proses realisasi uang muka 20 persen ganti rugi masih terus berlangsung. Kami sudah menyediakan dana sekitar Rp37 miliar untuk uang muka ganti rugi 20 persen bagi seluruh pengungsi korban lumpur yang berada di Pasar Baru Porong,” tambahnya.(*)

    © Antara

  • Lapindo Belum Bayar Uang Muka Korban Lumpur

    Sidoarjo (ANTARA News) – Warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. baik yang mendukung program pembayaran ganti rugi dengan cash and carry maupun cash and resettlement kini makin resah, karena hingga kini belum mendapat transfer pencairan dana 20 persen uang muka.

    Sebelumnya, warga korban lumpur yang mengungsi di Pasar Porong Baru (PPB) juga resah, karena pasca Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) uang muka ganti rugi 20 persen, seharusnya 14 hari kemudian ditransfer, namun hingga kini tak kunjung masuk.

    Informasi yang dihimpun ANTARA News, Kamis menyebutkan, kini korban lumpur yang pro cash and resetlement pasca Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) akhir tahun 2007 sampai penandatangan uang kembalian tahun 2008, juga mengaku belum dapat transfer uang kembalian dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

    Warga sudah mengkonfirmasi ke PT MLJ, namun hanya dijawab PT MLJ kini sedang terimbas dampak krisis global.

    Amir Suhadak, salah seorang warga yang mendukung cash and resettelement mengatakan, sebetulnya jawaban PT MLJ itu menambah keresahan warga, karena warga khawatir tidak dibayar.

    “Berdasarkan ketentuan yang tertulis, maksimal pembayaran dua bulan, setelah tanda tangan. Tapi, hingga kini uang kembalian belum masuk ke rekening kami,” katanya.

    Menurut dia, sebelum Lebaran 2008, dirinya pernah menanyakan masalah ini ke kantor PT MLJ di Surabaya, dan dijanjikan setelah Lebaran. Namun, ternyata hingga kini belum cair.

    Sementara itu, Vice President Relation PT Lapindo Brantas Inc (LBI) Yuniwati Teryana mengakui krisis global membawa dampak pada perusahaannya. Namun, PT LBI tetap akan mengutamakan tanggung jawab kepada warga.

    “Lapindo akan tetap melunasi ganti rugi korban lumpur. Tanggungjawab kepada korban lumpur akan tetap menjadi prioritas,” katanya berjanji. (*)

    © Antara

  • Renokenongo Ditanggul: Warga Protes

    korbanlumpur.info  – Melihat truk hilir mudik mengusung tanah dan eskavator membikin dasar tanggul lalu memadatkannya warga Renokenongo hanya bisa aksi berteriak menuntut penanggulan dihentikan.

    “Warga iki kurang opo, warga kurang apa, kami disuruh cash and carry kami ikut, cash and ressetlement kami ikut, cash and relokasi kami ikut, tapi tidak direalisasikan. Sekarang tanah kami ditanggul, kami jangan dibodohi terus,” teriak Imron, warga Renokenongo RT 17/04, dihadapan ratusan polisi yang menghalau aksi.

    Sejak lumpur menenggelamkan desa Renokenongo, dua tahun lalu, warga Renokenongo menjadi tercerai berai; sebagian mengungsi di pasar Baru Porong, sebagian pindah ngontrak di tempat lain, dan sebagian masih tinggal di rumah mereka meski kondisinya membahayakan karena amblesan tanah. Aksi siang ini adalah aksi warga yang masih tinggal di desa dan sebagian besar mereka belum mendapatkan uang pembelian tanah mereka.

    “Kami belum mendapatkan pembayaran dua puluh persen,” tutur Samik (40 tahun). “Kalau ditanggul kami akan tinggal di mana?” tambahnya.

    Peremuan beranak 2 ini sudah mendapatkan uang kontrak untuk dua tahun memang dan uang itu ia gunakan untuk makan bersama suami dan anaknya karena tak punya pekerjaan lagi akibat sawahnya terendam lumpur.

    “Duit 5 juta dapat apa, Mas?” tutur Samik.

    Penanggulan terus  dilakukan di tengah desa Renokenongo tanpa memperdulikan tuntutan warga. Tepatnya di perbatasan dukuh Renokenongo dan dukuh Risen. Ratusan warga beraksi di jalan depan rumah Malik (RT 05/02 Renokenongo) dan ratusan polisi dari Polres Sidoarjo menghalau mereka tepat di pinggir jalan eskavator. Seorang polisi malah duduk di samping sopir eskavator, mereka abai dengan tuntutan warga.

    Di lapangan ada Bajuri Edy Cahyono, bagian lapangan BPLS, dan Suliono, pegawai Minarak Lapindo Jaya. Saat diminta untuk menghentikan penanggulan mereka tak bisa berbuat apa-apa.”Saya hanya pelaksana, atasan saya yang ambil keputusan. Saya sudah sms Pak Sunarso tapi belum dibalas,” tutur Bajuri.Suliono, lebih parah, hanya diam saja saat dicecar tuntutan supaya Lapindo membayar dulu baru menanggul.

    “Anda boleh bekerja tapi selesaikan dulu pembayaran dengan warga,” tuntut Gunawan (29 tahun), warga RT 07/02 Renokenongo.

    Meski emosi warga tak bisa berbuat apa-apa menanggapi jawaban Bajuri dan diamnya Suliono. Mereka lalu duduk-duduk di jalur penanggulan mereka kecewa dengan polisi yang tidak membela orang kecil, “sing jelas ora mbelo warga, Mas, yang jelas tidak membela warga, Mas?” tutur Anang Sutarno (35 tahun), warga RT 09/02 Renokenongo, “Aparat mboten saget Mbelani wong cilik, aparat tidak bisa membela orang kecil,” tegas Gunawan.[mam]

  • Belum Dilunasi, Warga Renokenongo Hadang Pembangunan Tanggul Baru

    korbanlumpur.info – Ratusan warga Desa Renokenongo menghadang upaya penanggulan yang dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Jumat (9/10). Ini karena proses pembayaran tanah dan bangunan warga Desa Renokenongo berlarut-larut dan belum tuntas hingga kini. BPLS berencana membangun tanggul baru di area perbatasan Desa Renokenongo-Glagaharum.

    Alat-alat berat dan truk sirtu yang telah siap sedia melakukan penanggulan akhirnya berhenti. Menurut Juwito (58) warga RT 07/RW 02 Renokenongo, sejak pukul 08.00 WIB alat berat sudah terlihat di selatan Desa Renokenongo. Warga yang melihat alat-alat berat datang langsung membunyikan kentongan dan bunyi-bunyian untuk mengumpulkan warga dan menghentikan proses penanggulan.

    “Warga ini tidak mencari-cari masalah, kami cuma menuntut hak,” tutur Juwito.

    Sekitar 100 rumah masih berdiri dan berpenghuni di wilayah Desa Renokenongo. Mereka bertahan di situ karena memang belum mendapatkan pelunasan pembayaran gantirugi tanah mereka.

    “Bukan hanya kurang (pembayaran) 80 persen. (Uang muka) yang 20 persen saja masih ada yang belum dibayar,” jelas Juwito yang juga ketua BPD Renokenongo ini.

    Usaha penanggulan ini sendiri dijaga oleh setidaknya seratusan polisi tapi itu tidak menyurutkan niat warga untuk menghentikan pembuatan tanggul baru.

    Pihak BPLS dan PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar PT Lapindo Brantas Inc. yang berusaha membujuk warga juga tidak berhasil mengurangi tuntutan warga untuk bertahan di desanya sebelum proses pembayaran selesai.

    “Yang pasti tidak boleh nanggul sebelum (tanah dan bangunan) warga dibayar lunas,” tandas Juwito lagi.

    Untuk selanjutnya, Juwito menyatakan warga akan terus berjaga-jaga dan akan tetap menolak proses penanggulan di wilayah desa Renokenongo sampai ganti rugi warga terbayar. [re]

  • Kembali Hentikan Penanggulan

    Kembali Hentikan Penanggulan

    korbanlumpur.info – Pagi ini (10/09) korban-korban lumpur Lapindo dari desa Kedungbendo, Ketapang dan Gempolsari kembali melakukan aksi menghentikan penanggulan lumpur Lapindo. Aksi ini adalah kelanjutan dari aksi serupa yang dilakukan korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES) dua minggu sebelumnya. Saat itu, warga dari desa-desa terdampak menutup semua pintu masuk tanggul.

    Ahmad Zulkarnain, humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang menemui warga di posko GEPPRES, saat itu, membikin pernyataan menghormati tuntuntan warga dan memahami kalau BPLS bekerja di atas tanah korban yang baru dibayar 20%. Dia berjanji akan menghentikan penanggulan sampai sisa 80% dibayarkan kepada warga.

    Namun janji tinggal janji. Sehari setelah aksi, BPLS kembali meneruskan penanggulan. Karena merasa diabaikan tuntutan pelunasan 80%, maka warga kembali melakukan aksi blokade penanggulan.

    Warga menempel dan membagikan pernyataan Zulkarnain kepada supir-supir bego, eskavator, dan truk yang melakukan aktivitas penanggulan. Aksi yang diikuti oleh sekitar 100-an warga tidak ada pengawalan oleh pihak kepolisian karena aksi ini dilakukan secara spontan.

    Aksi yang spontan dilakukan oleh warga tiga desa ini karena pihak BPLS tidak mematuhi pernyataan yang meraka buat sendiri “aksi ini sengaja kami lakukan, karena BPLS tidak sportif kepada kami” kata Ikhsan, warga Kedung Bendo. Selain itu aksi ini di tujukan kepada pihak Lapindo Brantas Inc untuk segera menyelesaikan sisa pembayan 80% kepada warga karena pada saat ini masa kontrakan warga sudah habis dua tahun. Jika Lapindo tidak segera membayar warga akan melakukan aksi yang lebih besar dari aksi ini.

    “Jika Lapindo tidak segera melakukan pembayaran sisa 80% maka kami akan melakukan aksi yang lebih besar lagi atau kalau perlu kami akan menutup jalan” tegas Hari Suwandi, koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES) Kedong Bendo.

    Akhirnya aksi spontan ang dilakukan tiga desa ini berakhir setelah para pekerja yang melakukan penanggulan berhenti beraktifitas. Dan sebagian warga masih tetap memantau aktifitas penanggulan.

    “Kami akan terus memberhentikan penanggulan di tanah kami sebelum Lapindo melakukan sisa pembayan 80% kepada kami,” tutur Hari. [novik]

  • NGOs slam govt over mudflow

    Nongovernmental organizations on Thursday threw their support behind mudflow victims from Sidoarjo, East Java, by urging the government to compensate them before the post-Ramadan holiday of Idul Fitri at the latest.

    As many as 24 Jakarta-based NGOs, grouped under the Coalition of Justice for Lapindo Mudflow Victims, criticized the government for “neglecting” the fate of those displaced by the sludge that has devastated the area since May 2006.

    Some 25 representatives of the victims met with the coalition at the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) headquarters in Jakarta to seek the NGOs’ backing for their demands.

    “We ask President Susilo Bambang Yudhoyono to take stern measures to resolve the fate of Sidoarjo mudflow victims,” coalition coordinator Usman Hamid told the meeting.

    “The President must also be brave and ask all relevant parties, including his minister responsible for this matter, to complete payment of compensation before Idul Fitri.”

    The representatives, from 10 villages in Sidoarjo, arrived in Jakarta on Friday to push for a clear response over compensation payments, which have yet to be completed two years after the disaster struck.

    During their stay in Jakarta, they met with Public Works Minister Djoko Kirmanto and representatives from the Social Services Ministry and the National Land Agency.

    The representatives also met with politicians and legislators from several parties, including the National Awakening Party (PKB), the Indonesian Democratic Party for Struggle (PDI-P) and the Prosperous Justice Party (PKS).

    “The Democratic Party and the Golkar Party rejected our request for separate meetings,” said Sep Muhammad, one of the representatives.

    The mudflow victims will return to Sidoarjo on Friday after the President turned down their appeal for a dialog.

    © Jakarta Post

  • Mudflow submerges Renokenongo

    SIDOARJO: Renokenongo, one of the four villages flooded by Lapindo Brantas’ mudflow in May, 2006, was inundated by a mudflow from the overflowing giant pool in Porong, Sidoarjo, threatening hundreds of victims who were still holding out in the village and have yet to receive compensation either from the mining company or the government.

    The Sidoarjo Mudflow Handling Agency (BPLS) called on Lapindo to pay compensation to the Renokenongo residents so that they can move to safe areas in the regency.

    BPLS spokesman Achmad Zulkarnain said the overflowing pool was caused by the subsidence of soil in the disaster location and the possible solution was to build an outer embankment to prevent the mudflow from destroying the remaining houses in the village.

    Andi Darussalam Tabusalla, vice president of PT Minarak Lapindo Jaya, a unit of Lapindo, called on villagers to remain patient because his company was committed to paying compensation to the victims for their damaged assets.

    “It’s our social responsibility to pay the compensation for the victims,” he said. —JP

  • Setelah Dua Tahun Ngontrak, Tinggal Di Mana?

    korbanlumpur.info – Hari mengontrak dua tahun rumah dua kamar di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II setelah rumahnya di Kedung Bendo, ditenggelamkan lumpur Lapindo. Cak Hari, sapaan akrab Hari Suwandi, tak ada duit untuk memperpanjang kontrakan. Duit 20 persen dari rumahnya yang terpaksa dijual pada Lapindo sudah habis dan 80 persennya nunggakLapindo milik keluarga Bakrie itu enggan mengeluarkan duit untuk melunasinya.

    Harusnya, seturut pasal 15 Perpres No. 14/2007, sisa 80 persen uang Hari dibayar sebulan sebelum masa kontrakanya habis. Tepatnya pada bulan Juli tahun ini. Cak Hari, yang gara-gara lumpur Lapindo tak hanya kehilangan rumah tapi juga pekerjaannya, pusing tujuh keliling. Nilai 20 persen yang diterima Cak Hari, yakni sebesar 31.268.000 rupiah, sudah habis untuk makan sehari-hari dan dibagikan pada tiga anaknya perempuannya yang sudah berkeluarga.

    Masing-masing saya bagi tiga jutaan,” tutur Hari.

    Di Kedung Bendo rumahnya yang lama, Cak Hari dan sebelas anggota keluarganya, terdiri dari istri, 3 putrinya, 3 menantu, dan tiga cucu, menempati rumah seluas 54 meter di tanah seluas 75,34 meter. Setelah bencana lumpur Lapindo Cak Hari hanya bisa mengontrak rumah kecil dan tak cukup 11 orang. Keluarganya pecah.

    Anak-anak ada yang ngungsi ke mertuanya dan ada yang ngontrak sendiri,” kata Cak Hari, di rumah kontrakannya, di Blok S, yang habis masa sewanya itu.

    Cak Hari, sebenarnya, sudah mempersiapkan uang untuk kontrakan ini, beberapa hari sebelum kontrakannya habis. Uang didapat dari hasil menggadaikan sepeda motor milik menantunya Ahmad Novik pada Bank Citra Abadi, bank simpan pinjam di dekat pom bensin Tanggulangin. “Saya tarik (gadaikan) dua juta,” tutur Cak Hari.

    Setelah dapat uang Cak Hari akan menitipkan uanguntuk kontrakan namun ditolak orang suruhan Ahmad Zuhron karena takut terpakai dan habis.

    Beberapa hari setelah kedatangan pertama orang suruhan Zuhron datang dan uang tersebut sudah dipakai Cak Hari untuk makan. “Sisanya tinggal tujuh ratus ribu,” kata Cak Hari.

    Semua uang itu dikasihkan dan kurangnya Cak Hari minta waktu untuk cari pinjaman. Empat hari kemudian orang suruhan Ahmad Zuhron datang ke rumah Hari dan menagih pembayaran perlunasan. Cak Hari bilang cuma punya duit itu dan tidak bisa cari tambahan. Dengan duit 700 ribu Cak Hari meminta diizinkan ngontrak setengah tahun.

    Kalau tidak diperbolehkan, ya, balik ngungsi ke pasar atau tidur di tanggul,” tutur Cak Hari pasrah.

    Multajam

    Nasib serupa juga dialami oleh Multajam, 43 tahun, dan keluarganya. Sama seperti Hari, sudah dua tahun Multajam menganggur. Pabrik sabun Debrima tempat dia bekerja tak lagi beroperasi karena digulung lumpur Lapindo. Sehari-hari biaya hidupnya dan kedua anaknya bergantung pada Taslimah, 37 tahun, istrinya, yang kerja di pabrik rokok Andalas. Per 1000 batang rokok yang diproduksi, Taslimah mendapat bayaran 2.400 rupiah.

    Paling banter sehari dia menghasilkan 3000 batang. Kerjanya tak tentu, kadang dalam sebulan libur 3 minggu. Tergantung pada pesanan.

    Multajam, yang dulu tinggal di Desa Kedung Bendo RT 05/RW 02 dengan aset rumah seukuran 110 meter di tanah seluas 213 meter ini, pusing. Uang 80 persen belum juga dibayarkan Lapindo. Di pihak lain, kebutuhannya tak bisa diajak kompromi. Ongkos sekolah dua anaknya, Ahmad Ulum Fahrudin dan Ferry Afriyanto, di SMK dan SMP tak bisa ditunda.

    Lebih pusing lagi, Multajam dihadapkan pada pola baru, cash and resettlement. Dengan skema ini, bangunan dibeli dan akan dibayar 2 bulan setelah penandatanganan, sementara tanah diganti tanah baru, satu banding satu. Multajam menolak.

    Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus) nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

    Pembayaran pertama 20 persen diterima Multajam pada Agustus 2006. Multajam tak punya sawah, hanya punya pekarangan dan bangunan. Totalnya dia menerima, 75,6 juta. Uang 20 persen pembayaran tanah dan bangunan ini lalu dipakai Multajam untuk mengontrak rumah di Perumahan Tanggul Angin Anggun Sejahtera. Karena khawatir pencairan keduanya sulit dia memilih tipe yang murah di komplek Blok M 5/64. Dia mengontrak dua tahun. Kontrak itu habis kini, dan uang 80 persen belum dibayar oleh Lapindo. Multajam bingung mau tinggal di mana selanjutnya. Karena sudah memasuki kepala empat dia juga kesulitan mendapat kerja.

    Wis tuwek ngene arep kerjo opo? Kalah saingan karo sing nom-nom (sudah tua begini mau kerja apa? Kalah sama yang muda-muda),” tutur Multajam dengan logat Jawa Timuran.

    Cak Hari dan Multajam disiksa Lapindo dengan pola cash and carry namun Lapindo juga menggantung nasib orang-orang yang memilih cash and resettlement.

    Juminah

    Ini yang terjadi pada Juminah, 66 tahun, bukan nama sebenarnya, dan keluarganya yang memilih cash and resettlementSebelum Lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya sekaligus tempat kerjanya di Kedung Bendo, RT 02 RW 01, Porong, Juminah adalah janda beranak enam. Hidupnya begantung pada usaha dompet yang dikelola Baskoro (bukan nama sebenarnya), anaknya 40 tahun. Tiap bulan, pendapatan Baskoro lima sampai enam juta rupiah. Juminah dan kedua anaknya, termasuk Baskoro dan istrinya, menempati rumah sederhana berukuran 75 meter.

    Rumah ini juga dijadikan tempat usaha. Walau tidak kaya kehidupan mereka tenang. Ketenangan ini terenggut setelah Lapindo gagal dalam pengeboran dan mengakibatkan ribuan warga belasan desa di tiga kecamatan di Sidoarjo kehilangan rumah tinggal, pekerjaan, semua harta milik dan kehidupan sosial mereka.

    Baskoro sibuk mengungsikan keluarganya. Awalnya mereka mengungsi di balai desa, lalu pindah ke Tulangan dan terakhir di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (Perum TAS II) blok S7/39. Selama setahun Baskoro mengurusi pindah-pindah ini dan mengabaikan pekerjaannya.

    Setahun pasca bencana dan setelah keluarganya aman di Perum TAS II Baskoro baru bisa memulai usaha dompetnya kembali. Selain memproduksi Baskoro juga memasarkan dompet-dompetnya dan ini bukan pekerjaan mudah untuk pengusaha yang vakum setahun.

    Dia harus cari pelanggan-pelanggan baru. Tak hanya itu, omzetnya juga berkurang drastis hingga 50 persen. Kerugian macam ini tak dihitung oleh Lapindo saat membahas ganti rugi. Hanya usaha-usaha menengah ke atas yang dapat ganti rugi. Usaha-usaha kecil rumahan diabaikan. Akibatnya, banyak korban Lapindo kehilangan pekerjaan. Rata-rata mereka akhirnya jadi tukang ojek di lokasi bencana.

    Bagi warga kecil macam Baskoro yang dihitung ganti ruginya hanyalah tanah, rumah dan sawah. Itu pun sebenarnya bukan ganti rugi, melainkan jual beli. Untuk sawah 120 ribu permeter, satu juta permeter untuk tanah, dan satu juta setengah per meter untuk rumah. Sedangkan kerugiannya atas penghasilan setahun serta penurunan omzetnya tak masuk hitungan.

    Total harusnya Baskoro mendapat ganti rugi 187,5 juta. Namun ini tidak bayar kontan oleh Lapindo. Sebagai tahap awal Baskoro hanya mendapat 20 persen yakni 37,50 juta ini sesuai dengan hitungan cash and carry di pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Belakangan, Lapindo tak menaati peraturan pemerintah ini dan membikin peraturan baru yakni cash and resettlementIni membingungkan warga, termasuk Baskoro, dan karena bingung dia memilih cash and resettlement.

    Hitungannya tetap pada rumah yakni 1,5 juta rupiah per meter namun tanahnya diganti dengan tanah baru di tempat lain di wilayah Sidoarjo. Pilihan tanahnya ukuran 90 meter dan 120 meter. Untuk warga yang tanah kurang dari ukuran tesebut harus nomboki dan ini yang dialami Baskoro dan keluarga yang hanya memiliki tanah 75 meter persegi. Uang kekurangan ini dipotong langsung dari uang rumahnya. Ini tidak adil.

    Kami harus nomboki 15 juta,” tutur Baskoro.

    Sementara, pembayaran atas bangunan oleh Lapindo baru dilakukan setelah dua bulan dari Agustus 2008. Itu pun jika Lapindo tidak mangkir. Baskoro gamang karena sebentar lagi hendak puasa di mana kebutuhan hidup melonjak dan kontrakannya pun akan segera habis. Dia tidak tahu, dengan cara apa harus memenuhi semua biaya itu. [mam]

  • Tanggul Penahan Lumpur Lapindo Jebol

    PT MLJ Mengaku Membayar Ganti Rugi Bertahap

    SIDOARJO, KOMPAS – Tanggul lumpur Lapindo di titik 44 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jebol pada hari Selasa (26/8) sekitar pukul 05.00. Sehari sebelumnya, warga menduduki tanggul dan memblokir akses kendaraan proyek penanganan lumpur untuk menuntut ganti rugi.

    Pada Senin lalu, sekitar 500 warga memblokir lima pintu masuk menuju tanggul dalam upaya menuntut sisa pembayaran ganti rugi sebesar 80 persen yang belum diterima dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Aksi itu membuat aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur terhenti. Polisi membubarkan aksi pada pukul 17.00 sehingga kegiatan penanganan tanggul pulih.

    Tanggul yang jebol selebar 6 meter dan tinggi 3 meter tersebut mengakibatkan lumpur meluber dan menutupi jalan yang dilalui truk dan traktor di areal tanggul. Luberan lumpur juga mengenai Desa Renokenongo, tetapi belum membahayakan warga yang masih tinggal di desa tersebut.”

    Jebolnya tanggul sudah kami perkirakan. Hal tersebut akibat terhentinya aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur karena pemblokiran warga,” kata Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Selasa.

    Jika tanggul yang jebol tidak segera ditangani, kata Zulkarnain, dikhawatirkan lumpur akan meluber lebih luas ke permukiman warga Desa Renokenongo.

    Apalagi saat ini seluruh lumpur yang keluar dari semburan dibuang ke kolam penampungan karena pipa pembuangan ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga sejak Rabu pekan lalu.

    Berdasarkan perhitungan BPLS, daya tampung kolam seluas 110 hektar tersebut menyisakan waktu sekitar 15 hari lagi. Lebih dari itu, kolam tidak mampu menampung semburan lumpur sebanyak 100.000 meter kubik setiap hari.

    ”Kami berharap dapat kembali membuang lumpur ke laut melalui Sungai Porong,” kata Zulkarnain.

    Koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres), Suwito, yang kemarin memimpin pemblokiran akses ke tanggul, bersikukuh meminta PT MLJ segera membayarkan sisa ganti rugi sebesar 80 persen.

    ”Kami belum menentukan langkah berikutnya. Kami akan berkoordinasi lagi dengan seluruh warga dalam mengupayakan pembayaran sisa ganti rugi yang belum kami terima,” tuturnya.

    Bertahap

    Sebelumnya, Wakil Presiden PT LMJ Andi Darussalam Tabussala mengemukakan, pihaknya sudah membayar sisa ganti rugi 80 persen senilai hampir Rp 210 miliar untuk 538 warga penerima ganti rugi cash and resettlement. Selain itu, ganti rugi cash and carry senilai hampir Rp 148 miliar juga sudah dibayarkan untuk 648 warga.

    ”Kami tetap bertanggung jawab menyelesaikan ganti rugi. Jika ada keluhan, warga korban lumpur saya minta menghadap langsung ke PT MLJ,” ujar Andi. Menurut dia, sampai kini pembayaran sisa ganti rugi tetap berlangsung meski secara bertahap.

    Saat ini masih ada sekitar 1.000 korban lumpur yang belum menerima ganti rugi karena masih dalam proses verifikasi oleh BPLS. (APO)

  • Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    korbanlumpur.info – Meskipun aksi di tempat lain dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian, warga yang menduduki akses ke tanggul di Desa Ketapang masih tetap bertahan. Sampai pukul 02.00 hari Selasa (26/8) warga masih tinggal di tenda darurat yang siang tadi didirikan oleh warga. “Kami tetap bertahan sampai tuntutan kami dipenuhi,” ujar Abdul Syukur (40 tahun) kepada Kanal.

    Bersama dengan puluhan korban lainnya dari Desa Kedung Bendo dan Gempolsari, Cak Syukur, demikian pria 40 tahun ini biasa dipanggil, yang merupakan warga Desa Ketapang memilih tidur di tanggul. Tidak hanya, laki-laki dewasa yang memutuskan untuk tinggal di tanggul, tetapi juga ibu-ibu maupun anak-anak kecil semuanya tidur di tenda yang dibangun seadanya itu.

    “Rumah kami kan sudah tenggelam, kontrak 2 tahun juga sudah habis. Kami tidak punya lagi tempat untuk tinggal,” terang bapak satu putra ini.

    Pendapat senada diungkapkan oleh Anto (29 tahun) warga Desa Kedung Bendo yang juga bertahan di tanggul. Pemuda lajang yang akrab dipanggil Gambar ini menegaskan tekad bahwa warga tidak khawatir aksi mereka akan dibubarkan oleh aparat. “Atas dasar apa aparat membubarkan kami. Sepanjang belum dilunasi, tanah ini kan masih milik kami,” tegasnya ketika ditemui dini hari tadi.

    Koordinator aksi di tanggul Desa Ketapang, Hari Suwandi menjelaskan bahwa memang beberapa kali dia dihubungi aparat dari Polres Sidoarjo. Pihak kepolisian menanyakan bagaimana situasi aksi yang dilakukan oleh warga di Desa Ketapang. Dan sejauh ini, situasi aksi di Desa Ketapang memang relatifterkendali. “Tadi malam kami mengadakan istighotsah yang dipimpin oleh Ustadz Matsukril dari Desa Kedung Bendo,” terang Hari.

    Menurut rencana, aksi korban Lumpur Lapindo dengan menutup tanggul akan dilanjutkan selama beberapa hari ke depan. Dan selama tuntutan mereka belum dipenuhi, warga akan tetap menduduki tanggul.

    “Bahkan kalau perlu kami akan mendirikan gubuk untuk tempat tinggal kami dan keluarga di atas tanah dimana dulu rumah kami berdiri,” tegasnya. (ako)

  • BPLS Tidak Berkutik dengan Desakan Warga

    BPLS Tidak Berkutik dengan Desakan Warga

    korbanlumpur.info – Aksi penutupan tanggul oleh warga korban Lumpur Lapindo benar-benar membuat pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pusing tujuh keliling. Aktivitas penanggulan yang berhenti total selama seharian kemarin (Senin, 25/8), menyebabkan beberapa titik tanggul mengalami kritis akibat volume lumpur yang terus meningkat, sementara pengaliran ke sungai Porong dan penguatan tanggul tidak bisa dilakukan.

    Padahal, aksi warga tidak hanya akan berlangsung satu hari. Warga akan terus menutup akses ke tanggul, yang notabene adalah tanah mereka sendiri, sampai tuntutan sisa pembayaran 80 persen terpenuhi. Posisi BPLS kian terjepit karena warga berhasil ‘memaksa’ mereka menandatangani surat pernyataan, yang isinya ‘membiarkan’ warga untuk terus menutup akses ke tanggul.

    Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh Humas BPLS, Ahmad Zulkarnaen, yang kewalahan menghadapi desakan warga. Bertempat di Posko GEPPRES di Desa Jatirejo, Zulkarnaen tadi malam harus menghadapi berondongan pertanyaan dan gugatan dari korban yang mempertanyakan ketidaktegasan BPLS selaku pihak yang seharusnya bertanggungjawab menangani semua dampak yang timbul dari Bencana Lumpur Lapindo.

    Awalnya, Zulkarnaen datang ke Posko untuk memberi penjelasan terkait alasan pembubaran aksi warga di akses tanggul Desa Siring. Warga menganggap bahwa pihak kepolisian sebenarnya tidak berhak membubarkan aksi mereka karena aksi mereka tidak dilakukan di tempat umum, tetapi di lahan milik mereka sendiri. Warga juga sudah memberitahukan mengenai aksi mereka ini kepada kepolisian dan BPLS.

    Bahkan, dalam berbagai kesempatan, pihak BPLS selalu mengatakan bahwa mereka menghargai dan akan memfasilitasi tuntutan warga. Tetapi korban merasa hal itu hanya sebatas omong kosong semata. Ketika sampai pada kebutuhan misalnya BPLS seharusnya tegas membantu hak warga, mereka terkesan hanya pasif dan membiarkan saja.

    Karena itu, dalam kesempatan pertemuan kemarin, warga habis kesabarannya dengan posisi tidak jelas BPLS tersebut. Mereka menuntut agar Zulkarnaen yang dianggap mewakili BPLS mempertegas posisinya terhadap tuntutan warga. Warga kemudian menodong Zulkarnaen untuk menandatangani surat pernyataan bermaterei seperti di atas.

    Dengan ditandatanganinya surat pernyataan ini, warga memegang bukti bahwa ke depan BPLS akan mendukung tuntutan korban. Terkait dengan tuntutan sisa pembayaran 80 persen saat ini, BPLS tidak akan menghalangi aksi warga untuk menutup tanggul sampai ada perkembangan/keputusan positif terhadap tuntutan korban.

  • Aksi Damai Korban Lapindo Dibubarkan Aparat

    korbanlumpur.info – Aksi warga korban lumpur yang menutup akses ke lokasi semburan Lumpur yang berlangsung dengan damai, dibubarkan paksa oleh aparat keamanan. Yang dibubarkan adalah massa yang menduduki tanggul di pintu masuk desa Siring, akses yang langsung menuju ke titik R1 atau pusat semburan lumpur. Dilaporkan bahwa ada 3 orang warga yang ditahan dalam insiden ini.

    Dari beberapa informasi yang berhasil dikumpulkan tim Kanal, diperoleh keterangan bahwa pembubaran ini dipicu oleh adanya provokasi yang berupa perusakan terhadap peralatan berat yang berada di dalam lokasi tanggul. Diduga, perusakan ini dilakukan oleh beberapa orang pemuda yang kelihatan sedang mabuk, di lokasi bekas desa Jatirejo.

    Begitu mendapat laporan adanya perusakan ini, polisi kemudian menangkap ketiga pemuda tersebut. Bersamaan dengan penangkapan ini, ratusan petugas kepolisian juga membubarkan massa di Siring yang jaraknya paling dekat dengan lokasi penangkapan. “Sebagian besar peserta aksi tampaknya sedang pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat,” ujar Rere, warga Renokenongo yang menyaksikan kejadian tersebut.

    Kapolres Sidoarjo, AKBP Maruli Simanjuntak yang memimpin langsung pembubaran itu, menyatakan bahwa aksi blokade warga harus selesai sebelum jam 18.00. Jumlah massa yang berkurang hingga tinggal puluhan orang sore itu juga didominasi oleh kaum ibu, tidak berdaya menghadapi pembubaran oleh polisi yang beranggotakan ratusan personel. Spanduk dan berbagai macam alat aksi lainnya dilaporkan ikut disita oleh polisi.

    Saat ini, kelompok korban dari komponen GEPPRES yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan aksi masih mengadakan pertemuan untuk menyikapi aksi pembubaran oleh aparat keamanan ini.

    Sementara itu, aksi blokade yang berlangsung di titik lainnya, yaitu di bekas jalan tol Desa Renokenongo dan pintu masuk di Desa Ketapang. Di Desa Ketapang, peserta aksi yang sebagian besar adalah warga Kedung Bendo melanjutkan aksi malam ini dengan istighotsah. Warga bertekad untuk bertahan sampai tuntutan sisa pembayaran 80 persen segera dipenuhi. (ako)

  • Ribuan Korban Lapindo Menutup Tanggul

    korbanlumpur.info – Sidoarjo: Sejak subuh tadi Dumadi bersama dengan sekitar 470 keluarga  dari Desa Reno Kenongo yang tanahnya tergenang lumpur Lapindo menutup operasi penanggulan PT Minarak Lapindo Jaya. Mereka merasa masih memiliki tanah yang kini ditanggul. Mereka menutup pintu titik 43 yang letaknya tepat di bekas desa mereka alias Reno Kenongo.

    “Lapindo baru membayar dua puluh persen tanah kami, delapan puluh persennya tidak jelas,” jelas Dumadi di pinggir luapan lumpur.

    Selain Dumadi dan tetangganya, ribuan warga dari beberapa desa lainnya yang menjadi korban Lapindo juga melakukan aksi serupa yakni menduduki tanah mereka dan menyetop penanggulan.

    Aksi ini dilakukan setelah Lapindo mengingkari janjinya untuk melunasi sisa pembayaran yang mustinya di bayar bulan lalu.

    Aksi penutupan penanggulan ini dilakukan warga supaya mereka tidak merugikan orang lain. Sebelumnya mereka melakukan aksi menutup akses jalan raya Surabaya-Malang yang terletak di pinggir Tanggul.

    “Kami warga kecil yang dirugikan dan kami tak ingin merugikan orang lain. Kami menghentikan penanggulan karena tanah ini masih milik kami,” jelas Dumadi. [mam]

  • Dibutuhkan Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Daya tampung kolam penampungan lumpur Lapindo diperkirakan hanya bertahan 21 hari sejak pipa pembuangan lumpur ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga pada Rabu lalu. Agar lumpur tidak meluber dibutuhkan tempat penampungan yang baru.

    Demikian penjelasan Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Jawa Timur, kemarin. Saat ini, lanjut Zulkarnain, ada empat kolam penampungan yang digunakan untuk membuang lumpur Lapindo, yakni kolam Perumtas, Siring, Ketapang, dan Glagaharum I.

    Luas semua kolam penampungan sekitar 110 hektar. Nama keempat kolam tersebut diambil dari nama desa yang kini tenggelam oleh lumpur panas Lapindo,” kata Zulkarnain.

    Setiap hari, lanjutnya, sekitar 100.000 meter kubik lumpur masih keluar. ”Padahal, kami tidak pernah tahu kapan lumpur ini akan berhenti menyembur,” kata Zulkarnain. Ia berharap warga kembali mengizinkan pembuangan lumpur ke Sungai Porong.

    Unjuk rasa

    Di tempat berbeda, warga delapan desa korban lumpur Lapindo menyatakan akan memblokir areal tanggul di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Senin (25/8) pagi ini. Sebab, hingga kemarin pihak Lapindo belum juga melunasi sisa ganti rugi yang menjadi hak korban lumpur.

    ”Sampai sekarang Lapindo tidak pernah menjelaskan kapan sisa ganti rugi akan dibayar. Padahal, masa kontrak rumah warga sudah mulai habis,” kata Rois, koordinator warga Desa Siring.

    Berdasarkan surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh pimpinan Lapindo dan Bupati Sidoarjo pada 4 Desember 2006, pihak Lapindo akan membayar ganti rugi dengan skema 20 persen di muka dan sisanya dibayar selambat-lambatnya dua bulan sebelum masa kontrak rumah para korban lumpur habis. Selama menunggu pencairan sisa ganti rugi itu, warga diberi uang kontrak rumah untuk masa dua tahun.

    Pada umumnya, warga korban lumpur mengontrak rumah pada Agustus 2006. Karena itu, Agustus ini banyak warga korban lumpur yang sudah habis masa kontraknya. Lumpur Lapindo tidak hanya mengakibatkan tenggelamnya sejumlah desa atau tempat tinggal warga. Kemarin toko-toko di sepanjang Jalan Raya Porong yang langsung berhadapan dengan tanggul penahan lumpur pun semakin banyak yang tutup.

    Menurut beberapa pemilik toko yang ditemui, transaksi semakin merosot akibat banyak warga Porong yang menjadi korban lumpur pindah.(APO/LAS/NAW)

  • Lapindo Tidak Mampu Selesaikan Warga Pengontrak

    korbanlumpur.info – Harapan Warga Pengontrak untuk segera pihak Lapindo menyelesaikan permasalahan warga pengontrak dan mereka mendapatkan hak-hak-nya setara dengan korban lainnya tampaknya masih jauh panggang dari api. Dari hasil pertemuan Anton Yuwono sebagai Koordinator Warga Pengontrak Perum TAS 1 dengan Diaz Roihan dari pihak Lapindo, selasa (12/08/2008) di daerah Juanda, Waru, Sidoarjo, tidak menghasilkan apa-apa.

    Diaz menyatakan bahwa dia belum bisa menyelesaikan urusan warga pengontrak. “Sampai sekarangpun saya tidak bisa memutuskan masalah ini, jadi tunggu saja saya akan koordinasikan dengan pimpinan saya” ucap Diaz seperti disitir oleh Anton ketika pertemuan itu.

    Menurut Anton yang menemui Diaz Roihan karena diminta datang ke kantor itu, tetap bersikukuh bahwa hak-hak warga pengontrak harus diperlakukan sama, karena itu semua hasil kesepakatan dengan beberapa pihak. “Waktu itu Pak Diaz sendiri juga menghadiri pertemuan, Pak Rawendra mengatakan di sidang DPRD Sidoarjo tidak ada masalah untuk warga Pengontrak akan diperlakukan yang sama, baik yang ber-KTP Sidoarjo maupun yang ber-KIPEM, dan diberikan hak yang sama” Kata Anton menirukan pernyataannya ketika menemui Diaz.

    “Di kantor Dinas Sosial sidoarjo warga bersama Lapindo dan Pemkab, Yusuf Marta mengatakan tidak ada bedanya warga yang ber-KTP atau ber-KIPEM akan diperlakukan sama” imbuhnya.

    Tapi rupanya pihak Lapindo masih juga mengulur waktu dan tidak berupaya serius menyelesaikan persoalan dengan warga pengontrak tersebut. Diaz seperti dikutip anton menyatakan lapindo sudah menyatakan tidak bisa diberikan jadup bagi warga pengontrak kecuali mereka yang ber-KTP Sidoarjo, karena warga sudah tanda tangan waktu kompensasi. “Disitu letak diskriminasi Lapindo terhadap warga pengontrak, karena waktu itu pengontrak diberitahu oleh RT RW nya tidak masalah” ungkap Anton menanggapi pernyataan Diaz tersebut.

    Rupanya memang dibutuhkan perjuangan tidak kenal lelah dari warga yang terus menerus harus menelan pil pahit ketika mencoba menuntut hak-nya yang ditenggelamkan lumpur Lapindo. “Kami masih tetap akan menuntut jadup dan uang kontrak serta bantuan UKM sampai dipenuhi. Dalam waktu dekat, kami akan baerkirim surat ke Presiden bersama jaringan korban yang lain yang juga belum terselesaikan. Kami akan minta bertemu untuk mengungkapkan kenyataan yang ada. Presiden harus mengerti apa yang terjadi di masyarakat,” tekad Anton yang akan terus menuntut hak-haknya bersama warga pengontrak lainnya. [re]

  • Resah, Warga Ancam Blokade

    Sidoarjo – Surya-Ratusan warga korban lumpur Desa Siring resah, karena sudah dua bulan ganti rugi 80 persen belum juga dibayar Lapindo. Padahal, sesuai perjanjian, pembayaran 80 persen dilunasi setelah warga menerima pembayaran yang 20 persen.

    “Padahal pembayaran uang muka 20 persen, sudah dilakukan akhir Juni, seharusnya paling lambat 14 hari pembayaran itu dilakukan setelah masa kontrak rumah habis,” kata H Mursidi, salah satu korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Rabu (13/8).

    Dengan belum dibayarnya hak mereka, ujar Mursidi, warga menilai Lapindo mengingkari komitmen kepada korban lumpur. “Kami mengikuti aturan cash and carry karena lahan kami bersertifikat, tapi sekarang mana komitmennya Lapindo kok belum juga ditransfer,” paparnya.

    Mursidi mengaku pernah tanya ke Vice President PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darusalam Tabusalla, tapi justru hanya mendapat jawaban melalui SMS yang isinya Minarak masih mengurus dan sedang konsentrasi menangani menengah.

    Mursidi mengancam, jika dalam minggu ini Minarak belum melunasi 80 persen warga akan memblokade jalur penanggulan dan jalan raya Porong. “Kami akan merebut kembali aset kami, kami akan patok kawasan kami yang terendam lumpur,” ancam Mursidi.

    Andi Darusalam Tabusalla, menjelaskan jika masalah pembayaran ganti rugi 80 persen saat ini sudah berjalan. “Kalau ada keterlambatan itu mungkin hanya masalah akunting perbankan saja,” kilahnya, di Kantor Minarak, Rabu (13/8). (iit)

     © Surya

  • Korban lapindo Demo Patoki Tanah Mereka

    Korban lapindo Demo Patoki Tanah Mereka

    Korban Lapindo yang sampai sekarang belum terselesaikan pembayaran sisa ganti rugi 80%-nya menuntut penyelesaian secara cash and carry sesuai Perpres 14/2007. Mereka memasang patok-patok ditanggul sebagai peringatan bahwa tanah itu masih tanah mereka karena belum lunas dibayar. Mereka meminta BPLS tidak meneruskan pengerjaan tanggul selama tanah mereka belum dibayar lunas.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

  • Korban lapindo Demo Usai Upacara

    Korban lapindo Demo Usai Upacara

    Seusai upacara bendera memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia, Korban Lapindo melakukan aksi demo dengan membentangkan spanduk dan menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar secara cash and carry.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

    © Liputan 6

  • Kontrak Habis, Ganti Rugi Tak Segera Dilunasi

    Mendesak, Normalisasi Sungai Porong

    SIDOARJO, KOMPAS  Sekitar 100 warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berunjuk rasa lagi menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80 persen. Saat ini kontrak rumah mereka sudah habis. Warga yang tidak memiliki uang terpaksa mengungsi kembali ke Pasar Baru Porong.

    Unjuk rasa dilakukan seusai upacara peringatan HUT Kemerdekaan Ke-63 RI di areal tanggul lumpur Lapindo, Minggu (17/8). Upacara itu diikuti anggota Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), karyawan PT Lapindo Brantas, anggota Batalyon Zeni Tempur V Brawijaya, dan warga korban lumpur dengan inspektur upacara Mayor (Inf) Rukun Santoso.

    Selesai upacara pada pukul 08.30, warga Jatirejo lantas mengibarkan spanduk bertuliskan tuntutan pembayaran sisa ganti rugi.

    Uswanti (31), salah satu warga, berteriak sambil menangis di hadapan anggota BPLS. Ia meminta agar BPLS memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo yang belum juga menerima sisa ganti rugi 80 persen.

    “”Masa kontrak kami sudah habis sejak Juli lalu. Seharusnya kami sudah menerima sisa ganti rugi pada Juni 2008. Kenyataannya, hingga kini ganti rugi belum kami terima,”” ujar Uswanti.

    Mereka juga belum menerima uang perpanjangan kontrak. Akibatnya, Uswanti, suami, dan dua anaknya kembali menempati Pasar Baru Porong. Sebelumnya ia mengontrak rumah di Kelurahan Sidokare, Kecamatan Sidoarjo. ””Kami terpaksa meninggalkan rumah kontrakan karena tidak punya uang untuk memperpanjang kontrak,”” katanya.

    Warga lain, Mohamad Amrul (48), mengancam akan menduduki tanggul dan menghentikan proyek penanggulangan lumpur jika sisa pembayaran tidak segera dilunasi.

    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain menyatakan, pihaknya terus mengupayakan penyelesaian sisa ganti rugi 80 persen kepada PT Minarak Lapindo Jaya.

    Normalisasi Sungai Porong

    Sebanyak 11 kepala desa di Kecamatan Porong beserta Camat Porong Totok Mariyanto mendesak BPLS melakukan normalisasi Sungai Porong. Penyebabnya, kondisi sungai terus mendangkal akibat pembuangan lumpur ke sungai.

    ”Akibat pembuangan lumpur ke sungai, air menjadi susah mengalir, sedangkan permukaan air terus naik. “Kami khawatir jika musim hujan tiba permukiman warga yang terletak di sekitar sungai bisa terendam luapan air sungai,”” kata Totok.

    Menjawab desakan tersebut, Zulkarnain menyatakan, BPLS akan menambah alat keruk untuk memperdalam sungai agar air mengalir lancar. 

    Adapun upaya lain, yaitu menggelontorkan air ke sungai agar lumpur hanyut tidak bisa dilakukan. ”Air untuk menggelontor sungai berasal dari dam Lengkong, Mojokerto. Padahal, pada musim kemarau ini debit air di sana menipis,” kata Zulkarnain. (APO)

    © Kompas