Category: Suara Publik

  • Penolakan Warga atas Rencana Pengeboran Lapindo di Jombang: Sebuah Reportase Singkat dan Komentar

    Penolakan Warga atas Rencana Pengeboran Lapindo di Jombang: Sebuah Reportase Singkat dan Komentar

    Oleh: Lutfi Amiruddin

    Pada 7 April 2018 lalu, saya menyempatkan diri datang ke Desa Blimbing, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Kunjungan ini dilandasi oleh salah satu berita daring berjudul “Diduga Proyek PT Lapindo, Warga Kesamben Tolak Pengeboran” (3 April 2018).

    Saya tiba di desa itu menjelang maghrib dan mengambil beberapa foto. Saya hanya bisa memotret jalan tol dan spanduk penolakan pengeboran Lapindo yang masih terpasang di depan langgar Al-Amin.

    Spanduk Protes Warga Blimbing, Jombang

    Saya masuk ke langgar untuk sholat maghrib berjamaah dan kesempatan ini saya manfaatkan untuk berkenalan dengan beberapa warga. Seorang jamaah menanyakan identitas saya, keperluan saya datang ke tempat itu, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Di akhir obrolan singkat itu, dia menyarankan agar saya tidak perlu menanyakan hal-hal terkait rencana pengeboran Lapindo. (more…)

  • Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah yang susah payah Anda bangun dari jerih payah Anda, kemudian ditenggelamkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah tempat Anda membina hubungan dengan keluarga, membesarkan dan mendidik anak, ternyata dalam waktu tertentu harus dihancurkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika Anda harus meninggalkan kampung halaman Anda karena kesalahan yang tidak pernah Anda buat sebelumnya?

    Dari pertanyaan semacam itulah sebenarnya, saya ingin menggambarkan bahwa masalah rumah bukanlah melulu berhubungan dengan uang. Rumah adalah kebudayaan. Di dalam rumah terjadi interaksi di antara anggota keluarga. Di rumah berlangsung upaya membesarkan dan mendidik anak. Tetapi celakanya, dalam kasus Lapindo, yang tampil di hadapan kita seolah-olah hanyalah masalah jual beli rumah dan tanah saja. Tidak ada perhitungan bagaimana menyelesaikan masalah hancurnya kebudayaan ini. Di lain pihak, pemberitaan media seolah menggiring masyarakat kepada pemahaman, bahwa kasus Lapindo melulu masalah jual beli rumah dan tanah. Padahal di luar itu semua, ada hal yang lebih penting untuk dibahas, yaitu penghancuran lingkungan sekaligus tatanan sosial-budaya masyarakat secara terencana, yang bahkan berlangsung hingga 9 tahun bencana lumpur Lapindo.

    Penghancuran Ekologi

    Temuan Walhi (2008) menunjukkan bahwa lingkungan yang berada dekat dengan semburan lumpur telah tercemar dan dan mengandung senyawa logam berat polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang melebihi ambang batas normal. Senyawa inilah yang dapat memicu sel kangker dalam tubuh. Di samping pula, kandungan unsur lainnya, seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan kromium (Cr) yang dapat memicu berbagai penyakit. Hasil ini diperkuat oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan besi (Fe) pada air tanah di desa sekitar semburan lumpur.

    Pembuangan lumpur ke Kanal Porong ternyata tidak menyelesaikan masalah dan justru menimbulkan masalah baru. Pada warga Desa Kalisogo yang dekat dengan aliran Kanal Porong ditemukan kecenderungan mengalami penyakit tertentu. Warga yang menggunakan air tanah untuk dikonsumsi sehari-hari memiliki kecenderungan beberapa penyakit, seperti diare, mual, muntah, hingga nyeri perut (Putri dan Yudhastuti, 2013). Pembuangan lumpur ke Kanal Porong juga meningkatkan kandungan kadmium (Cd) dan timbal (Pb) pada ekosistem. Hal ini berpengaruh pula pada kondisi ikan yang hidup pada ekosistem tersebut, yang tentu saja tidak aman bila dikonsumsi (Purnomo, 2014).

    Informasi lain menunjukkan bahwa akibat pembuangan lumpur ke Kanal Porong dan Sungai Ketapang membuat ikan tercemar. Ikan di wilayah tambak Desa Penatarsewu misalnya, memiliki kondisi yang berlendir dan bau. Ini membuat warga tidak mau mengkonsumsinya (Dewi Rachmawati, 2013: 86). Penelitian di atas semakin membuktikan bahwa lumpur Lapindo ini memicu resiko ekologis yang semakin mengkhawatirkan.

    Menjadi semakin jelas, bahwa bencana lumpur Lapindo bukan hanya masalah ganti rugi semata. Kerusakan lingkungan menjadi ancaman serius di wilayah ini. Maka, pemulihan kondisi ekologis menjadi sangat relevan untuk diwacanakan.

    Penghancuran Sosial-Budaya

    Dalam kasus Lapindo, kebudayaan masyarakat dari desa-desa yang ditenggelamkan benar-benar dihilangkan dari akarnya. Ada banyak keluarga dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka untuk melakukan relokasi. Sebab, tinggal di lokasi yang dekat dengan sumber semburan lumpur bukanlah masalah yang gampang. Anda harus berurusan dengan kondisi lingkungan yang rusak: air yang keruh, udara yang busuk, dan tanah yang beracun.

    Sementara itu, melakukan relokasi juga bukanlah perkara mudah. Masalah pindah rumah bukan hanya perihal berpindah secara fisik-geografis semata. Relokasi adalah proses sosial-budaya. Hal inilah yang tak pernah ada dalam logika para pemangku kepentingan yang menangani kasus Lapindo. Anggapan umum yang beredar hanyalah: “Kalau korban lumpur sudah mendapatkan cicilan uang jual beli aset lalu pindah ke relokasi, masalahnya beres”. Sekali lagi, yang terjadi tidaklah sesederhana itu.

    Bagi mereka yang mengalami sendiri proses pemindahan paksa ini, pindah rumah benar-benar hal yang tidak sederhana. Selain harus mempertimbangkan masalah harga tanah di lokasi yang baru, seseorang harus mempertimbangkan kondisi di lokasi tujuannya: Dengan siapa dia tinggal? Dengan sanak keluarga, tetangga lama, atau dengan tetangga baru? Apakah di rumah barunya dia masih bisa bekerja atau justru jadi pengangguran? Bagaimana dengan sekolah anak-anaknya? Siapa teman-teman mereka? Tak jarang kondisi lokasi desa/kota juga menjadi pertimbangan tersendiri yang memusingkan.

    Dampak dari kasus Lapindo ini bukan semata masalah uang ganti rugi saja, melainkan lebih dari itu, masalah sosial budaya. Kondisi sosial budaya yang telah ada dan melekat pada masyarakat, hancur akibat bencana ini.

    Sebelum mempertimbangkan banyak hal tentang relokasi, seseorang harus benar-benar ikhlas bahwa rumah dan kampung halamannya akan dihancurkan. Agar seseorang dapat secara legal dihitung menjadi “korban” bencana lumpur Lapido, rumah dan tanahnya harus terlebih dahulu masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT). Baru setelah itu, dia akan diperlakukan dengan cara tertentu, seperti penghitungan dan pengukuran rumah dan tanah.

    Dengan masuk dalam PAT, sebenarnya seseorang telah merelakan diri sebagian dari hidupnya dihancurkan. Rumah, pekarangan, dan sawah, harus direlakan untuk dijadikan tanggul penahan ataupun kolam lumpur. Dan tentu saja, kehidupan yang ada di dalamnya juga ikut hilang.

    Saya katakan kehidupan sosial dihancurkan karena memang, bagi masyarakat, rumah, pekarangan, dan sawah bukan saja aset yang bernilai ekonomis, melainkan bagian dari kehidupan sosial budaya itu sendiri. Penghancuran ini juga bukan hanya pada produk budaya yang sifatnya artefak saja. Dampak dari kasus Lapindo juga dapat melahirkan rusaknya ikatan sosial.

    Laporan Utomo dan Batubara (2009), misalnya, menunjukkan bahwa warga justru terlibat dalam berbagai macam konflik di antara tetangga sebagai dampak dari bencana ini. Laporan Amiruddin (2012) menemukan bahwa konflik horizontal juga setelah pindah di lokasi resettlement. Sebagai contohnya adalah warga yang tinggal KNV, sebuah pemukiman yang dibangun oleh pihak Lapindo dan dijual kepada warga korban. Ternyata, kasus Lapindo tak hanya menenggelamkan aset saja, melainkan juga memporak-porandakan hubungan sosial di antara warga.

    “Terencana”

    Dari gambaran di atas, saya ingin mengatakan bahwa dari kasus Lapindo ternyata melahirkan penghancuran; dari satu penghancuran melahirkan penghancuran yang lain. Dari penghancuran ekologis, menciptakan penghancuran sosial budaya. Dari penghancuran dan penenggelaman desa, melahirkan penghancuran hubungan sosial antar tetangga. Dari penghancuran tempat tinggal, melahirkan penghancuran pranata sosial di tempat tinggal yang baru. Bermula dari penghancuran di satu tempat dan waktu tertentu, melahirkan penghancuran pada dimensi tempat dan waktu yang lain, dan seterusnya.

    Menurut saya, bentuk-bentuk penghancuran sebagai dampak dari krisis ekologis ini ternyata tidak hadir begitu saja. Dia muncul di tengah relasi manusia dengan lingkungan ekologisnya dan berjalan dalam skema tertentu. Penghancuran ini berjalan secara terencana. Saya katakan terencana karena memang penanganan bencana ini telah mengalami perencanaan yang matang dengan melibatkan banyak jejaring ilmuwan.

    Ada perhitungan-perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penanganannya, seperti, misalnya, mengapa limbah lumpur ini dialirkan ke Sungai (Kanal) Porong? Mengenai hal ini Harnanto (2011) memiliki jawaban kenapa lumpur harus dialirkan ke Sungai Porong:

    Ada tiga prinsip pengelolaan lumpur yang berhubungan dengan Kali Porong, yakni pembuangan lumpur ke Kali Porong didistribusikan di palung sungai melalui beberapa lokasi di hilir spillway, semakin ke hilir semakin baik; memanfaatkan potensi daya air Kali Porong pada saat musim hujan, yang melimpah dan murah, untuk menghanyutkan lumpur ke laut; dan pengamanan fungsi Kali Porong untuk menjaga kinerja Kali Porong sebagai kanal banjir (floodway) Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. (Harnanto, 2011: 1).

    Sebagai ilmuwan yang bekerja untuk BPLS, tentunya pertimbangan-pertimbangan Hartanto di atas didasarkan pada metode ilmiah, sehingga dari hasil penelitiannya itu lahir pula alasan pembenar atas kebijakan pembuangan lumpur ke Kali Porong, dan bukan usaha untuk menyumbat sumber semburan. Padahal, pembuangan lumpur ke Sungai Porong jelas-jelas berdampak pada kehidupan warga. Karena dampak tersebut, pada akhirnya warga harus bersusah payah untuk bertahan hidup (Dewi Rachmawati, 2013), serta kemunculan penyakit baru (Putri dan Yudhastuti, 2013).

    Perencanaan lain misalnya, dilakukan Turniningtyas Rachmawati, dkk (2011) tentang proses pemukiman kembali. Para ilmuwan ini merumuskan lokasi pemukiman kembali yang sesuai dengan preferensi korban. Sebelumnya, melalui Majalah Solusi (Edisi 06, 31 Desember 2007-7 Januari 2008) pihak Lapindo telah menggiring opini warga agar mau memilih opsi resettlement sebagai pengganti pilihan cash and carry. Ini berarti korban sebenarnya diajak untuk menuruti kemauan pihak Lapindo agar mau ikut dalam skema yang mereka rencanakan.

    Apakah negara absen dalam bencana ini? Negara sama sekali tak pernah absen. Jauh sebelum lumpur menyembur di tengah pemukiman warga, siapa lagi yang memberikan ijin berdirinya perusahaan pengeboran di tengah pemukiman padat penduduk kalau bukan negara, melalui Ditjen Migas dan BP Migas? Ijin yang disampaikan kepada wargapun bukan pendirian perusahaan pengeboran, melainkan usaha peternakan. Dengan demikian, lanjut Novenanto, “kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas” (Novenanto, 2015: 46).

    Pun demikian dengan penanganan bencana lumpur dinaungi oleh peraturan presiden. Hingga saati ini saja, telah dikeluarkan enam peraturan; Perpres No. 14/2007, Pepres No. 48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 48/2011, Perpres No. 37/2012, dan Perpres No. 33/2013. Namun yang patut dipertanyakan adalah, peran macam apa yang disandang oleh penyelenggara negara melalui aturan itu? Novenanto berargumen justru melalui peraturan presiden itulah “negara hadir untuk melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya—sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan” (2015: 46). Dengan kata lain, justru melalui peraturan presiden itu, korporasi dapat meraih kekuasaan atas penanganan lumpur Lapindo dengan skema-skemanya, yang pada akhirnya akan melahirkan penghancuran tatanan sosial-budaya dan penghancuran ekologis.

    James C. Scott (1998) pernah mendedahkan dalam bukunya, bahwa melalui proyek-proyek pembangunan yang diusung negara, justru gagal dalam mengayomi masyarakat. Bagi Scott ini disebabkan karena pandangan dan kondisi masyarakat lokal tak pernah diperhatikan. Atas nama efisiensi, maka negara lebih menafikkan kompleksitas masalah kehidupan lainnya. Demikian halnya yang terjadi pada penanganan bencana lumpur Lapindo. Skema-skema yang diciptakan, justru menciptakan malapetaka baru bagi warga, dan melapangkan jalan korporasi. Peraturan presiden adalah mekanisme legal bagi korporasi untuk memisahkan warga dari tanahnya (land exclusion) (Karib, 2012), lalu melakukan pengusiran paksa, dengan memperluas perusakan lingkungan.

    Oleh karena itu, kasus Lapindo adalah bentuk yang sekaligus mampu melahirkan penghancuran yang terencana; melibatkan perencanaan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis-akademis dan dinaungi kebijakan negara, demi melapangkan kuasa korporasi.

    Mengapa kita harus “mengingat Lapindo”?

    Penghancuran ini akan terus berlangsung hingga lebih dari 20 tahun ke depan, seiring prediksi ahli bahwa usia semburan lumpur yang mencapai kurun waktu itu pula (Batubara dan Utomo, 2011: 45). Prediksi para ahli ini sepertinya akan menjadi kenyataan karena memang berbagai macam upaya dilakukan, namun belum ada satupun cara yang membuahkan hasil. Tercatat sejak 2006, ada beberapa upaya penutupan semburan, dari cara yang sifatnya saintifik seperti Snubbing Unit method, Well Side Tracking method, Relief Wells method, High Density Chained Balls method, hingga cara yang sifatnya supranatural pernah dilakukan (Batubara dan Utomo, 2011).

    Setelah gagalnya usaha-usaha tersebut, tidak ada lagi upaya penghantian sumber semburan. Sejak saat itu, upaya yang dilakukan Lapindo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hanya meninggikan tanggul penahan lumpur saja sembari mengaduk-aduk lumpur agar dapat lancar mengalir ke Kanal Porong. Jika memang kondisinya demikian, sampai kapan proses penghancuran terencana ini berlangsung? Lalu, desa-desa dan kehidupan-kehidupan mana yang akan menunggu giliran untuk dihancurkan?

    Pengalaman saya berikut ini mungkin dapat memberikan sedikit ilustrasi:

    Akhir 2007, ketika perjalanan antara Surabaya-Malang, saya pernah menyempatkan diri singgah di sebuah warung makan. Lokasinya tidak jauh dari tanggul penahan lumpur. Waktu itu luas dan tinggi tanggul belum setinggi tahun 2015 sekarang ini.

    Saat itu saya mengobrol dengan seorang warga Kelurahan Gedang, Kecamatan Porong. Saya mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan sehari-harinya setelah munculnya lumpur Lapindo. Saya bukan wartawan, tetapi entah mengapa dia sangat serius menjawabnya. Hal yang paling saya ingat dari obrolan itu adalah dia (masih) merasa aman dengan kondisi lingkungannya. Perasaan aman disebabkan antara tanggul lumpur dan rumahnya dipisahkan oleh jalan raya Porong. Dia merasa aman meskipun setiap hari mencium bau menyengat, terutama ketika angin bertiup ke arah rumahnya, dan air di rumahnya mulai mengeruh. Dia merasa aman dan masih merasa tenang tinggal di rumahnya tanpa harus bingung mencari lokasi pindah sambil menuntut ganti rugi.

    Namun apa yang terjadi tahun 2013 lalu semuanya bertolak belakang. Kelurahan Gedang masuk dalam Perpres No. 33/2013. Dapat dipastikan seluruh warga yang tempat tinggalnya masuk dalam Peta Area Terdampak harus pindah. Setelah terancam dengan pencemaran air, tanah, dan udara, maka relasi sosial warga ini dimungkinkan akan terancam. Sebab dalam proses ini, mereka harus segera meninggalkan kampung halaman untuk mencari pemukiman baru. Konflik horizontal dan kemungkinan untuk tinggal tercerai-berai antara tetangga terbuka lebar. Seseorang yang semula merasa aman ternyata harus rela terusir dari kampung halamannya.

    Dari ilustrasi di atas patutlah kita bertanya, apakah kita akan selalu merasa aman dengan kondisi lingkungan kita? Jangan-jangan halaman belakang rumah kita juga akan terancam dengan kasus serupa? Apakah kita bersedia kalau tempat tinggal kita diambil alih dan dirusak oleh korporasi? Apakah kita hanya pasrah dan menunggu waktu saja? Dari tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk mengingat, bahwa yang terjadi pada kasus Lapindo bukan hanya masalah pelunasan jual beli aset saja. Saya ingin mengajak anda mengingat bahwa yang terjadi di Sidoarjo ini adalah sebuah tragedi, sebuah pengahancuran entitas sosial, budaya, dan lingkungan yang terencana.

    Dalam editorial Majalah Solusi edisi perdana (19-25 November 2008) tertulis:

    Cerita masa lalu itu sebaiknya kita simpan saja di memori kita sebagai catatan sejarah. Kini yang penting bagaimana membenahi persoalan di seputar semburan lumpur Sidoarjo secara tepat.

    Dari ajakan tersebut kita patut mempertanyakan; untuk membenahi persoalan, kenapa memori masa lalu ini cukup disimpan saja? Mengapa tidak kita buka saja memori-memori ini sebagai pelajaran? Bukankah kita memiliki reputasi buruk mengenai ingatan, mudah lupa dengan peristiwa-peristiwa penting di tanah air? Dengan menyimpan memori, bukankah kita pada akhirnya tidak pernah menuntaskan berbagai macam tragedi masa lalu di negeri ini?

    Maka, kesadaran yang harus kita miliki bersama adalah kita harus mengingat bahwa kasus Lapindo adalah sebuah penghancuran bentuk kehidupan yang terencana. Sebuah proyek penghancuran tata kehidupan manusia dengan lingkungan fisiknya. Logika ini jelas bertentangan dengan logika yang dibangun oleh pihak Lapindo melalui Majalah Solusi tersebut. Logika yang diusung oleh Majalah Solusi hanya akan menguburkan dan akhirnya membusukkan ingatan sosial. Pada akhirnya, masalah sosial dan lingkungan takkan pernah terselesaikan secara tuntas. Dengan menyimpan memori, kita hanya akan menumpuk-numpuk kebohongan; kebohongan satu ditumpuk dengan kebohongan yang lain, dan seterusnya. Bukankah berdirinya perusahaan pengeboran di tengah-tengah pemukiman warga Porong ini didasarkan atas kebohongan? Dari sinilah kita menemukan bahwa “Mengingat Lapindo” menjadi semakin relevan.

    Lutfi Amiruddin, Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

    Pustaka Acuan

    Amiruddin, Lutfi. 2012. Solidarity of Lapindo Mudflow Victims in Resettlements. Tesis pada Management of Infrastructure and Community Development, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

    Anonim. 2008. Mencari Solusi. Majalah Solusi, Edisi 01 (19-25 November).

    —–. 2008. Columbus. Majalah Solusi, Edisi 06 (31 Desember 2007-7 Januari 2008).

    Utomo, Paring W. dan Bosman Batubara. 2009. Skema Ganti Rugi Terhadap Korban Lumpur Panas Di Sidoarjo (Kajian di Desa Ketapang dan Besuki Timur), Laporan Penelitian. Surabaya.

    Batubara, Bosman dan Paring W. Utomo. 2011. Kronik Lumpur Lapindo, Skandal Bencana Industri Pemboran Migas di Sidoarjo. Yogyakarta: Insist Press.

    Harnanto, Aris. 2011. Peranan Kali Porong Dalam Mengalirkan Lumpur Sidoarjo ke Laut. Badan Pelaksana, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Bapel-BPLS), Oktober 2011.

    Karib, Fathun. 2012. Programming Disaster: Switching Network, Village, Politics, and Exclusion beyond Lapindo Mudflow. Tesis (tidak diterbitkan), University of Passau, Germany.

    Novenanto, Anton. 2015. “Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya?” Kanal, Vol. XI (Maret 2015).

    Purnomo, Tarzan. 2014. “Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackiswater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud.” Proceeding of International Conference on Research, Implementation and Education of Mathematics and Sciences 2014, Yogyakarta State University, (18-20 May).

    Putri, Tika A. dan Ririh Yudhastuti. 2013. Kandungan Besi (Fe) Pada Air Sumur dan Gangguan Kesehatan Masyarakat di Sepanjang Sungai Porong Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon Sidoarjo. Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya.

    Rachmawati, Dewi F. 2013. Strategi Survival Petani Tambak Di Tengah Bencana Industri Lumpur Lapindo Di Desa Penatarsewu, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Skripsi (tidak diterbitkan), Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang.

    Rachmawati, Turniningtyas A, dkk. 2011. “Disaster Risk Reduction to Municipal Spatial Plan: A Case Study of Mudflow Disaster in Sidoarjo, Indonesia.” European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No. 4.

    Scott, James C. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven & London: Yale University Press.

    Walhi Jawa Timur. 2008. Logam Berat dan PAH Dalam Air dan Lumpur Lapindo (Riset Awal Walhi Jawa Timur 2007-2008). Sidoarjo: Walhi Jawa Timur.

  • Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Pada tahun 2007 BPK menghasilkan sebuah dokumen penting dalam kasus lumpur Lapindo. Lembaga ini melakukan audit kinerja atas kejadian semburan lumpur Lapindo. Temuan-temuan dan rekomendasinya sangat penting, namun tidak pernah dijadikan pijakan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan lumpur Lapindo.

    BPK menemukan fakta-fakta bahwa Lapindo Brantas Inc. (LBI) tidak mampu menangani masalah di Sumur Banjarpanji 1 berupa rekahan pada formasi yang menyebabkan lumpur menyembur ke permukaan. Bahkan, pada bahan presentasi untuk Pertemuan Intosai-WGEA di Tanzania pada Juni 2007, Anwar Nasution menyampaikan bahwa kejadian lumpur Lapindo merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia.

    BPK juga menemukan bahwa regulasi dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam di Indonesia saat ini tidak melindungi warga dan lingkungan. Utamanya pada kawasan-kawasan padat huni, tidak ada kekhususan pengelolaan sektor ini. Ditambah pula lemahnya pengawasan yang dilakukan lembaga negara dalam proses eksplorasi dan eksploitasi.

    Resiko semburan lumpur Lapindo semakin tinggi karena: LBI tidak menggunakan perusahaan kontraktor yang telah memiliki reputasi dalam pengeboran; penggunaan alat yang tidak sesuai standar; serta, kualifikasi tenaga teknis yang kurang atau tidak bisa dikontrol dengan baik oleh pemerintah.

    Setahun setelah kejadian semburan lumpur Lapindo itu, BPK juga menyimpulkan bahwa pemerintah sangat kurang dalam merespon kejadian semburan dan cenderung lambat. Akibatnya warga semakin kesulitan dalam menemukan lokasi yang lebih aman dan juga percepatan pemulihan ekonomi mereka. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan perlindungan atas properti warga dan juga tidak pernah dilakukannya assesmen resiko dalam desain penanganan lumpur Lapindo. Pengelolaan dilakukan seadanya, tanpa pemahaman mendasar bagaimana lumpur Lapindo telah berdampak dalam berbagai dimensi kehidupan warga dan butuh penanganan yang khusus.

    Ketiadaan laporan yang konsisten para periset maupun pengurus negara terkait kandungan berbahaya lumpur dan air yang dikeluarkan lumpur Lapindo menambah ketidakjelasan bagaimana penanganan keluhan warga atas tercemarnya air sumur, kawasan pertanian, tambak, kawasan laut, dan juga permukiman.

    Rekomendasi BPK agar pemerintah segera melakukan riset mendalam dampak kandungan bahan berbahaya lumpur sepertinya tidak pernah dilakukan serius. Ini terlihat laporan penanganan lingkungan yang ditampilkan BPLS dalam situsnya (www.bpls.go.id) hanya berisi sebaran gelembung gas dan penurunan muka tanah. Padahal, Tarzan Purnomo (2014) menunjukkan logam berat telah menyebar di kawasan pertambakan dan sungai di wilayah timur area semburan lumpur Lapindo. Lumpur tidak saja mencemari air namun sudah mengkontaminasi tubuh ikan. Penelitian-penelitian serupa yang telah dihasilkan sejak 2007 menunjukkan kandungan logam berat mencemari kawasan di sekitar semburan Lapindo.

    Purnomo memeriksa kawasan tertentu secara periodik selama tiga kali. Di Renokenongo memeriksa kolam ikan, di Gempolsari memeriksa sungai, di Tegalsari memeriksa kolam tandon, dan kolam biasa di Permisan. Penelitian ini menunjukkan jumlah kandungan logam berat yang jauh melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 45/2002 dan Kepmen LH No. 51/2004. Pemeriksaan kandungan Cadmium (Cd) pada air menunjukkan jumlah 0.018 – 0.080 part per million (ppm). Padahal, ambang batas keamanan hanya pada level 0.01 ppm. Hal yang sama juga ditemukan pada kandungan Timbal (Pb) yang ditemukan sejumlah 0.013-0.074 ppm. Padahal, ambang bakunya hanya pada level 0.03 ppm.

    Yang mengejutkan adalah temuan kandungan logam berat Cd dan Pb pada tubuh ikan. Jumlah Cd ditemukan 0.037-1.542 ppm, padahal ia tak boleh lebih dari 0.001 ppm sebagai ambang batas keamanan. Demikian halnya Pb ditemukan ribuan kali lipat melebihi ambang batas 0.008 ppm dengan temuan sejumlah 0.179-1.367 ppm. Logam berat dalam dosis tinggi bersifat karsinogenik pemicu kanker dalam waktu panjang. Hasil penelitian ini sepertinya juga konsisten dengan temuan sebelumnya pada tahun 2009.

    Riset Walhi yang memeriksa kandungan logam berat dalam air dan lumpur Lapindo di puluhan titik area semburan lumpur Lapindo dan sungai Porong pada 2008 juga menemukan hal serupa. Jumlah Cd dan Pb juga ribuan kali diatas ambang baku.

    tabel kandungan logam berat

    Diduga kuat ada korelasi erat antara pemburukkan kualitas lingkungan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Misal, peningkatan jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong tercatat sejumlah 24.719 (pada 2005) menjadi 52.543 (2009). Kenaikan lebih dari dua kali lipat juga terjadi pada penyakit Gastrytis yang berjumlah 22.189 (tahun 2009) dari jumlah semula 7.416 warga (tahun 2005).

    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bekerjasama dengan Walhi Jatim pernah memeriksa 20 warga korban Lapindo yang tinggal di wilayah semburan lumpur Lapindo pada 2010. Dari seluruh warga yang diperiksa itu, 75% mengalami kelainan pada pemeriksaan lengkap Haematologi.

    grafik kesehatan

    Rekomendasi agar dilakukan revisi atas kebijakan monitoring eksplorasi dan eksploitasi migas juga tidak dilakukan oleh pemerintah. Di kawasan di sekitar semburan lumpur Lapindo, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM masih mengijinkan LBI untuk mendalamkan sumur pengeboran mereka di Desa Kalidawir yang jaraknya kurang dari tiga kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah Timur.

    Menyusun kebijakan pengelolaan bencana yang tidak hanya berbasis bencana alam juga lambat dikerjakan. BPK menyarankan adanya pembangunan kebijakan komperehensif atas bencana dan perlu dilakukan penguatan kapasitas institusi pengelola bencana berdasar pengalaman bencana alam dan bencana buatan manusia, seperti lumpur Lapindo. Sayang, wacana penanganan bencana industri sepertinya baru akan dibahas beberapa tahun lagi.

    Pemerintah pimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sepertinya berniat untuk memperbaiki karut marut persoalan lumpur Lapindo. Jokowi menjanjikan akan menalangi kompensasi untuk korban Lapindo yang mestinya menjadi beban LBI, melalui Minarak Lapindo Jaya (MLJ) juru bayar LBI untuk jual beli aset dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang tak kunjung selesai. Sayang, hingga menjelang 9 (sembilan) tahun usia semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015 nanti, janji itu belum ada realisasinya.

    Niat Jokowi itu pun sepertinya hanya solusi parsial atas dampak semburan lumpur Lapindo. Kerusakan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo sepertinya akan menapaki waktu yang panjang untuk bisa dipulihkan. Jika pemerintah tidak melakukan kajian mendalam yang bisa menghasilkan gambaran krisis sosial-ekologis yang terjadi akibat semburan itu, maka penyelesaiannya juga hanya menyentuh permukaan saja. Kerusakan lingkungan, relasi sosial yang hancur, pendidikan anak-anak yang terancam, kesehatan yang tidak terjamin, dan sumber ekonomi yang hilang, bila tidak ditelusuri mendalam niscaya akan semakin memperpanjang umur krisis di wilayah bagian selatan Sidoarjo ini.

    Berbagai dokumen temuan atas dampak semburan mestinya menjadi bahan untuk dibaca ulang agar memahami situasi. Pemerintahan Jokowi harus melakukan kajian kebutuhan yang mendalam dan melibatkan warga untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi tindakan dan upaya pemulihan sosial-ekologis di sekitar lumpur Lapindo.

    Semua institusi negara mesti terlibat dalam upaya pemulihan korban Lapindo. Tidak bisa lagi krisis multi dimensi yang dihasilkan lumpur Lapindo ditangani badan khusus BPLS yang hanya menangani “wilayah terdampak” dan tindakan-tindakan terbatas seperti saat ini.

    Bambang Catur Nusantara, Badan Pengurus Jatam dan editor korbanlumpur.info

    Pustaka Acuan

    Purnomo, Tarzan (2014) Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackishwater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud, Proceeding of International Conference on Research Implementation and Education of Mathematichs and Sciences 2014, Yogyakarta State University, 18-20 May.

  • Politik Janji

    Politik Janji

    Dalam kasus Lapindo, janji khususnya tentang pelunasan ‘ganti rugi’ adalah sarana kekuasaan yang sangat efektif. Janji diberikan tidak hanya oleh perwakilan Lapindo ataupun Minarak, tapi juga oleh pengurus negara. Setelah sebelumnya melempar janji pencairan ‘dana talangan’ pada korban akan dilakukan bulan Mei ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono meralatnya dan melempar janji baru bahwa pencarian dana itu akan dilakukan paling lambat sebelum Lebaran.

    Jika kita mengacu pada Perpres 14/2007, maka relasi yang terbentuk antara warga dan Lapindo sebagai penjual dan pembeli. Kita juga akan menjumpai kebenaran pepatah “pembeli adalah raja.” Ya, Lapindo adalah raja yang dapat mengendalikan laju transaksinya dengan warga.

    Seperti raja, Lapindo mendapatkan keistimewaan dengan ketidakberdayaan negara dan para pengurusnya untuk menjamin transaksi antara warga dan Lapindo berlangsung secara setara. Sekalipun berperan sebagai pihak yang mewajibkan Lapindo untuk membeli tanah dan bangunan warga melalui penerbitan Perpres 14/2007, negara tidak pernah hadir dan berdaya untuk memaksa Lapindo menyelesaikan peraturan itu. Negara tidak pernah memberi sanksi setimpal saat Lapindo melanggar peraturan dengan  kekuatan hukum yang mengikat itu. Alih-alih menghukum, negara justru “membantu” Lapindo untuk melunasi kewajibannya itu dengan cara menalanginya terlebih dahulu. Rencana ini, rupanya, menjadi blunder ketika Lapindo tidak menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan dana yang dikumpulkan dari uang rakyat itu.

    Seperti raja, Lapindo dengan leluasa memodifikasi transaksi seperti telah diatur dalam Perpres 14/2007 dengan mendesakkan skema “cash and resettlement” bagi warga tanpa sertifikat tanah/bangunan. Warga dipaksa menukar nilai aset mereka dengan bangunan baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Padahal, Perpres 14/2007 mengatur pembayaran dilakukan secara tunai, bertahap. Dan lagi, alih-alih memberikan sanksi atas modifikasi itu, para pengurus negara dari legislatif maupun eksekutif justru mendukung rencana Lapindo itu.

    Seperti raja, kelakuan Lapindo didukung oleh klaim-klaim berbau religius para pemuka agama bahwa segala yang telah diberikan perusahaan adalah “sodaqoh,” sedekah, amal pada warga yang sedang tertimpa musibah, pada korban yang tidak berdaya. Alih-alih impas, kini banyak warga yang dipaksa seolah-olah berhutang budi pada Lapindo, khususnya pada keluarga Bakrie. Padahal, yang terjadi adalah jual beli aset. Warga yang sudah terlebih dahulu memberikan kepemilikan aset mereka pada Lapindo. Jika demikian, apa yang diberikan Lapindo itu tak lebih dari kewajiban seorang pembeli pada penjual, yaitu membayar apa yang sudah diterimakan padanya.

    Saya melihat, ada fakta yang dihilangkan dalam pembingkaian proses transaksi antara warga dan Lapindo. Fakta itu adalah kenyataan bahwa warga sudah terlebih dahulu memberikan tanah dan bangunan dengan cara melimpahkan hak kepemilikan (proprietary) mereka pada Lapindo. Secara teoretik, “pemberi” seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan “penerima.” Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada kasus Lapindo.

    Saat ini, fakta “warga sebagai pemberi” telah direduksi, bahkan dieliminir. Warga kini dibingkai dan diposisikan sebagai mereka yang “meminta(-minta).” Seolah-olah, warga berada dalam posisi seperti pengemis yang mengharapkan pemberian dari pihak lain, entah itu negara ataupun Lapindo. Faktanya, para warga ini sudah memberikan aset mereka. Penghilangan fakta “warga sebagai pemberi” muncul dari adanya pra-pengandaian publik tentang mereka adalah korban yang tidak berdaya. Padahal, warga dengan pelbagai pergulatan psikologisnya perlu dilihat sebagai pihak yang sangat berdaya dan telah berani melepaskan (kepemilikan) aset mereka pada pihak lain.

    Tidak mudah untuk melepas atau memberikan sesuatu, apalagi jika sesuatu itu amat berharga. Tidak hanya dibutuhkan suatu keberdayaan dan keberanian, namun juga kerelaan; yang semua itu seolah-olah tak dimiliki Lapindo dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai pihak yang sudah menerima pemberian para warga itu.

    Dalam kalender tahunan masyarakat Indonesia, terdapat momentum budaya yang selalu terulang, salah satunya adalah Lebaran. Berdasarkan catatan saya, pasca lumpur Lapindo menyembur pada 29 Mei 2006, Lebaran telah menjadi momentum unik untuk melontarkan janji-janjinya pada warga. Tidak hanya Lebaran saja, kampanye pemilihan umum, presiden dan juga kepala daerah telah menjadi ajang untuk mengumbar janji tentang pelunasan ganti rugi. Strategi semacam ini rupanya telah menular pada pengurus negara ini, dengan lontaran janji pejabat pemerintah yang akan melunasi pembayaran sebelum Lebaran 2015.

    Seperti sudah banyak disampaikan dalam kesempatan lain, pelunasan ganti rugi aset hanyalah salah satu persoalan yang harus segera dituntaskan. Yang perlu kita ingat, menurut prediksi para geolog lumpur masih akan terus menyembur secara masif sampai puluhan tahun. Artinya, apa yang terjadi sampai saat ini belum separuh dari apa yang akan terjadi.

    Sekarang, menjelang 9 tahun lumpur Lapindo menyembur, pemerintah, lagi-lagi, hanya bisa sebatas memberikan janji menyelesaikan persoalan ganti rugi yang tak kunjung tuntas. Padahal, di luar itu masih banyak persoalan sosial-ekologis yang muncul akibat semburan lumpur Lapindo. Jika hanya sampai itu kapasitas pengurus negara republik ini, maka sudah layak dan pantas bagi kita untuk terus mempertanyakan wujud “kehadiran negara” dalam kasus ini. (*)

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    Judul tulisan ini mengutip kalimat dalam komik Muasal Lumpur Lapindo karya Rahman Seblat. Kalimat singkat itu hendak menyampaikan pesan sederhana, namun tegas menegasikan anggapan umum tentang posisi warga terdampak lumpur Lapindo yang selama ini dianggap “tak berdaya.”

    Faktanya, di tengah pelbagai resiko dan bahaya ekologis yang menimpanya, warga menyimpan potensi kekuatan besar untuk bertahan hidup dan yang tak kalah pentingnya mereka adalah faktor pendorong bagi arah kebijakan mitigasi bencana lumpur Lapindo. Selama ini, terdapat pra-anggapan bahwa warga itu selalu tak berdaya menghadapi tekanan politik-ekonomi koalisi negara dan korporasi. Pra-anggapan itu dimanifestasikan dengan melekatkan identitas baru pada mereka: “korban.”

    Dalam situasi bencana, posisi sebagai “korban” didapatkan bukan karena pilihan mandiri melainkan akibat tekanan dari luar (bahaya dan resiko ekologis) yang biasanya di luar kendali mereka. Pada saat yang bersamaan, identitas “korban” adalah juga suatu politik budaya yang strategis untuk menekankan bahwa mereka ini membutuhkan “bantuan” dari pihak lain agar dapat kembali ke situasi “normal” dan mengejar pelbagai “ketertinggalan”-nya. Dan, negara merupakan lembaga politik yang paling masuk akal untuk memainkan peran normalisasi bagi kehidupan mereka.

    Peran sebagai “korban” muncul dari suatu relasi sosial yang melibatkan keberadaan aktor lain, “pelaku.” Relasi antara “korban” dan “pelaku” selalu dibayangkan sebagai relasi yang timpang, bahwa “aktor-pelaku” selalu memerdayai “aktor-korban,” dan untuk mengembalikan ketimpangan itu dibutuhkan “aktor-mediator” yang memediasi keduanya.

    Dalam kasus Lapindo, situasi menjadi rumit ketika publik, khususnya warga terdampak, meyakini bahwa semburan lumpur panas itu tidak lahir secara “alamiah” tetapi muncul akibat ulah operator Sumur Banjar Panji 1, Lapindo Brantas, yang lalai dan sengaja mengabaikan prosedur pengeboran yang baik dan benar. Keyakinan semacam ini menghadirkan operator pengeboran sebagai “aktor-pelaku” dalam kasus ini.

    Dalam situasi semacam ini, negara diharapkan hadir sebagai “aktor-mediator” yang bertugas secara adil mengembalikan ketimpangan relasi antara korban dan pelaku dengan membela korban dan menghukum pelaku. Sayangnya, temuan demi temuan menunjukkan bahwa ternyata kelalaian dan pengabaian prosedur itu juga dilakukan oleh negara sebagai pemberi izin pengeboran. Hal ini tentu saja menambahkan negara sebagai salah satu “aktor-pelaku” dalam kasus Lapindo.

    Dan, begitulah konstruksi pemahaman publik tentang relasi kuasa dalam kasus Lapindo: warga adalah “korban” yang berhadap-hadapan dengan kolusi negara dan Lapindo sebagai “pelaku.” Dengan pemahaman semacam ini, kasus Lapindo bukanlah sekadar bencana ekologis akibat semburan lumpur panas, melainkan sebuah tragedi politik-ekonomi/ekologi di sektor industri migas di republik ini.

    Hal penting yang patut kita catat, kesadaran tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi ini justru muncul dan dipertahankan oleh para warga terdampak lumpur Lapindo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama aparatus negara dan petinggi perusahaan terus berjuang keras memaksakan logika “bencana alam” atas lumpur Lapindo dengan memanipulasi fakta sedemikian rupa. Akan tetapi, semakin kuat manipulasi itu dilancarkan, semakin kuat pula resistensi yang muncul dan berujung pada terus menguatnya kesadaran bahwa kasus Lapindo adalah tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Sayangnya, pemberitaan media arusutama cenderung membingkai perjuangan warga terdampak lumpur Lapindo sebagai tindakan yang kontraproduktif dengan kebutuhan publik luas. Tidak hanya itu, warga selalu dibingkai dalam posisi yang tak berdaya, “korban” yang hanya pasif menunggu para pemegang otoritas dan kewenangan untuk turun tangan mengentaskan permasalahan yang mereka hadapi. Padahal, warga terdampak lumpur Lapindo itu, dengan caranya masing-masing, telah dan tetap berdaya menghadapi pelbagai krisis sosial dan ekologis yang mendera mereka.

    Di antara kelompok warga yang ada, dua yang patut dicatat. Pertama, komunitas Sanggar Alfaz dan kedua, kelompok belajar Ar-RohmahSanggar Alfaz adalah ruang belajar bersama yang didirikan oleh beberapa warga Desa Besuki Timur dari keprihatinan atas kehidupan anak-anak di desa itu. Ketika para orangtua sibuk berjuang untuk mendapatkan “kompensasi” atas kerugian yang diderita, kebutuhan psikologis anak-anaknya yang masih dalam masa pertumbuhan itu terabaikan.

    Anak-anak ini tidak hanya kehilangan ruang, tapi juga waktu untuk bermain dan belajar. Mereka harus menghadapi dan mengatasi krisis psikologis sesuai usia mereka dalam kondisi yang penuh kepanikan, kecemasan, dan ketidakpastian akibat lumpur Lapindo. Pada 2012, anak-anak itu merilis kumpulan cerita dan puisi karya mereka berjudul Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita. Membaca narasi anak-anak ini, mata kita akan semakin terbuka tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Buku "Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita"
    Sampul buku “Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita”

    Kelompok belajar Ar-Rohmah didirikan oleh para perempuan tangguh yang merasa tidak mendapatkan jaminan dari para pengurus negara. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur Lapindo yang tidak pernah diperhatikan para pengurus negara, para perempuan tangguh itu pun bergerak. Mereka tidak hanya menuntut jaminan kesehatan, tapi juga jaminan bagi pendidikan anak-anak mereka yang telah diabaikan negara.

    Bersama dengan sanitasi, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi pembangunan sumber daya manusia. Kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo dan gas hidrokarbon yang keluar bersamanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, khususnya kualitas air tanah dan udara di sekitar semburan. Ditambahkan dengan goncangan psikologis akibat krisis sosial dan ekologis, degradasi itu berujung pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang jelas mengganggu proses belajar-mengajar anak-anak, yang lagi-lagi diabaikan oleh aparatus negara.

    Melalui Sanggar Alfaz dan kelompok Ar-Rohmah, warga tetap berdaya meski negara alpa untuk memperhatikan kebutuhan mereka yang luput dari pemberitaan media arusutama yang seolah-olah gagal “move on” dari liputan tentang persoalan “pelunasan ganti rugi.”

    Persoalan materiil memang penting untuk dituntaskan, namun itu baru lapisan terluar dari tragedi ini. Masih ada inti problem yang tak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan, yaitu: kolusi negara dan korporasi yang berdampak pada pengabaian kebutuhan dan kepentingan warga sipil. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • Muasal Lumpur Lapindo

    Muasal Lumpur Lapindo

    Judul Komik: Muasal Lumpur Lapindo

    Dicetak oleh: RTJ Publishing | SeblatKomik

    Komikus: Rahman Seblat

    Sumber cerita: Anton Novenanto, Mujtaba Hamdi, korbanlumpur.info

    (more…)

  • Bola Panas “Ganti Rugi”

    Bola Panas “Ganti Rugi”

    Oleh: Anton Novenanto

    Memasuki bulan Mei 2015, persoalan “ganti rugi” korban Lapindo masih sekeruh warna lumpur panas yang tak kunjung berhenti menyembur di Porong, Sidoarjo.

    Pada Minggu (29 Maret 2015), Tempo memuat pernyataan Menteri PU Basuki Hadimuljono tentang janji pemerintah untuk menyelesaikan kekurangan pembayaran “ganti rugi” pada Mei 2015. Sekaligus, Basuki menyatakan bahwa BPKP sudah selesai melakukan tugasnya mengaudit aset Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Hasil audit menunjukkan bahwa aset MLJ sejumlah Rp 2,7 triliun, dari dugaan awal Rp 3,03 triliun.

    Persis sebulan setelah itu, Tempo memuat pernyataan humas BPLS Dwinanto Hesty Prasetyo bahwa proses pencairan dana tersebut masih menunggu peraturan presiden yang “draf hukumnya sudah diproses.” Dari Dwinanto juga kita mengetahui tentang adanya dua tahap yang harus dilalui sebelum pemerintah akhirnya menalangi hutang MLJ pada korban. Pertama, verifikasi oleh BPKP; kedua, penerbitan peraturan presiden berdasarkan hasil verifikasi tersebut.

    “Ganti rugi” adalah salah satu dari pelbagai persoalan kasus Lapindo lainnya, namun persoalan ini selalu menjadi tolok ukur bagi publik untuk menilai keseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini. Kisah warga menuntut kerugian, MLJ yang tidak dapat memenuhi kewajibannya, ataupun pemerintah yang berusaha menjadi perantara selalu menarik media massa dan perhatian publik. Namun, bingkai yang ditawarkan media nyaris seragam: “kasus Lapindo akan selesai begitu ‘ganti rugi’ korban lunas seluruhnya.” Bagi saya, bingkai ini sangat problematis.

    Ketidak(pernah)jelasan jaminan hak-hak korban Lapindo, warganegara republik ini, adalah tema yang terus terulang, bahkan sampai menjelang 9 (sembilan) tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei nanti. Hak-hak warganegara telah diabaikan sejak pemerintah memberikan izin pengeboran sumur eksplorasi di kawasan padat huni. Pemerintah pun selalu permisif dan melindungi perusahaan yang mengakibatkan jatuhnya lebih banyak korban dari warganegara. Dalam taraf tertentu pemerintah berusaha meringankan beban perusahaan dengan pelbagai dalihnya.

    Hal prinsipil pertama yang kerap luput adalah persoalan “ganti rugi” telah direduksi menjadi “jual beli” aset (tanah dan bangunan) warga. Sesuai Perpres 14/2007, aset di dalam PAT 22 Maret 2007 dibeli oleh Lapindo dan di luar PAT oleh pemerintah.

    Prinsip kedua yang juga luput adalah ketidak(pernah)jelasan pemerintah mengusut tuntas kasus Lapindo. Pemerintah, misalnya, tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar ketentuan Perpres 14/2007, yang mewajibkan perusahaan untuk melunasi pembelian sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru berencana menalangi kekurangan pembayaran itu dengan jaminan aset “milik negara” (!).

    Prinsip ketiga, yang terutama, adalah pemerintah belum punya nyali untuk mengubah kembali perspektifnya untuk melihat lumpur Lapindo sebagai “bencana industri” dan cenderung melihatnya sebagai bencana alam biasa.

    Pada masa awal semburan pemerintah yakin bahwa semburan itu disebabkan oleh pengeboran yang non-prosedural. Sayang, dalam perjalanannya, pemerintah justru mengabaikan bukti-bukti yang mendukung hal itu dan beralih pada dugaan-dugaan yang diusulkan oleh perusahaan. Perubahan sikap secara drastis semacam ini mengindikasikan betapa kuatnya pergulatan internal dalam tubuh dan tekanan eksternal terhadap pemerintah.

    Sebagai pihak yang mengeluarkan izin pengeboran, pemerintah berada dalam posisi terjepit. Dan jalan keluar yang dipilih untuk menyelamatkan diri adalah membantah bahwa segala kelalaian itu pernah terjadi dan mengambinghitamkan alam yang memang tidak dapat membela diri dalam dunia politik manusia.

    Pelunasan “ganti rugi” hanyalah satu persoalan yang belum menyentuh akar dari kasus Lapindo, karut-marut pengelolaan industri migas di republik ini. Kasus Lapindo bukanlah sekadar “peristiwa” bencana lumpur panas di Porong, melainkan buah simalakama politik migas di republik ini.

    Pada 29 Mei 2015 nanti, lumpur Lapindo akan genap sembilan tahun menyembur. Saat itu, kita akan mengenang bagaimana politik manusia atas alam telah berujung pada penghancuran ekologi dan masyarakat dan bagaimana pelunasan “ganti rugi” pada korban tidak akan pernah bisa memulihkan segala macam kehancuran yang terjadi.

    Heidelberg, Tag der Arbeit 2015

  • Golkar dan Lapindo

    Golkar dan Lapindo

    Versi PDF unduh di sini.

    MENYUSUL kekalahan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tahun 2014 lalu, Partai Golkar berada dalam posisi tersulit sepanjang sejarah republik ini. Golkar memiliki budaya politik untuk selalu merapat dan berkoalisi dengan pemegang kekuasaan. Di era Indonesia memilih presidennya secara langsung, kandidat Golkar selalu kalah. Namun, Golkar selalu berhasil memperkuat posisi politiknya untuk merapat pada kursi kekuasaan.

    Pada pemilihan presiden 2004, kandidat Golkar (Wiranto-Salahuddin Wahid) kalah di putaran pertama. Pada putaran kedua partai pun melimpahkan dukungannya kepada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalla pun ditunjuk sebagai ketua umum partai periode 2004-2009. Sementara beberapa kader penting masuk dalam kabinet dan pelbagai posisi strategis lainnya.

    Pada tahun 2009, kandidat Golkar (Jusuf Kalla-Wiranto), lagi-lagi, kalah dalam pemilihan presiden satu putaran. Akan tetapi, Golkar berhasil mempertahankan posisinya sebagai partai pendukung sang penguasa. Salah satu kader kunci bagi keberhasilan itu adalah Aburizal Bakrie yang terpilih sebagai ketua umum partai, mengalahkan Surya Paloh dalam Munas di Riau, Pekanbaru, Oktober 2009.

    Di bawah pimpinan Aburizal, Golkar menginisiasi pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi partai pendukung pemerintah dan Aburizal duduk sebagai ketuanya. Berangkat dari perjalanan semacam itu, kita dapat berkesimpulan bahwa dalam peta politik nasional, politisi Partai Golkar tidak pernah merasakan bagaimana menjadi oposisi.

    ‘Aburizalisasi Golkar’

    Tidak seperti zaman sebelumnya, Golkar mulai memperhitungkan kekuatan ‘figur’ (Aburizal) dan menggarapnya sebagai magnet partai. Rasionalisasinya adalah memperkokoh mesin partai warisan Orde Baru yang sudah berjalan baik.

    Untuk mencapai tujuan itu beberapa kader penting partai yang tidak sepaham dengan Aburizal dan ide-idenya diberhentikan. Sebagian lain memilih loncat ke partai lain. Mereka tidak sepakat dengan gerakan ‘Aburizalisasi Golkar,’ suatu gerakan menjadikan persoalan personal Aburizal menjadi persoalan kelembagaan partai. Salah satu yang paling kentara adalah, tentu saja, penggalangan dukungan partai atas kasus Lapindo.

    Sebagai ketua umum partai, Aburizal tidak perlu harus hadir sendiri untuk mengklarifikasi segala tuduhan publik terkait kasus Lapindo. Dia cukup memfungsikan kader partainya untuk menyuarakan kepentingannya. Hasilnya, kader dan simpatisan partai dari level nasional sampai level kampung telah disulap menjadi agen ‘normalisasi’ kasus Lapindo agar sesuai dengan versi Aburizal, dan Lapindo.

    Praktik ‘normalisasi’ itu dilakukan di pelbagai medan pertarungan kekuasaan. Yang paling masif adalah penggiringan opini di ruang-ruang publik. Di DPR, Golkar menginisiasi pendirian Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) dan memimpinnya. Pada praktiknya, yang dimaksud ‘pengawasan’ adalah melancarkan pelbagai skema penyelesaian kasus Lapindo menuruti kepentingan Aburizal, dan Lapindo.

    Golkar adalah kunci bagi lolosnya pengalokasian dana APBN untuk Lapindo. Sejak 2007, trilyunan rupiah uang rakyat telah digelontorkan untuk menangani dan menutupi segala macam akibat dan ulah Lapindo. Tak hanya itu, di bawah kendali Golkar, DPR pun menyatakan lumpur Lapindo sebagai ‘bencana alam,’ alih-alih ‘bencana teknologi.’

    Di tingkat lokal, Golkar merekrut beberapa korban Lapindo yang haus kekuasaan menjadi kader partai. Para korban ditawari beragam posisi, mulai anggota legislatif (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) sampai kepala daerah (Sidoarjo), asalkan mereka menyuarakan dan mendukung Aburizal, dan Lapindo.

    Dengan demikian, Golkar telah menjadi alat yang sangat efektif bagi Aburizal bukan hanya untuk melakukan ‘normalisasi’ namun juga melepaskan diri dari kasus Lapindo.

    Hak angket Lapindo, untuk (si)apa?

    Beberapa pengamat politik memprediksikan bahwa pasca pesta demokrasi 2014 lalu Golkar akan mengulang pola yang terjadi sebelumnya, yakni merapat ke penguasa. Pola itu diputus oleh sikap Aburizal, sebagai ketua umum partai, yang bersikeras untuk tetap mendukung Koalisi Merah Putih pimpinan Partai Gerindra. Padahal Golkar mendapatkan suara lebih banyak ketimbang Gerindra.

    Sikap Aburizal itu memicu reaksi keras dari sebagian besar eksponen partai. Menjadi oposan bertentangan dengan budaya politik partai. Bibit resistensi pun berkembang, namun casus belli bagi konflik internal Golkar adalah Munas Bali yang memilih kembali Aburizal sebagai ketua umum. Beberapa kader penting mengklaim Munas Bali tidak sah. Mereka pun menggelar Munas tandingan di Jakarta dan mengangkat Agung Laksono sebagai ketua umum partai.

    Perseteruan internal Golkar berlanjut menjadi makin runyam ketika lembaga negara lain turun campur. Dalam pelbagai pernyataannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan dukungannya pada kubu Agung Laksono. Pernyataan itu sangat politis. Eksekutif membutuhkan dukungan dari parlemen bagi terlaksananya program. Tambahan suara dari Golkar di parlemen akan sangat menguntungkan bagi pemerintah. Dalam konteks tersebut, SK Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.AH.11.01 (23 Maret) yang menyatakan kubu Agung sebagai kubu yang sah menjalankan Golkar sangat problematis.

    Kubu Aburizal mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta yang pada 1 April lalu melemparkan putusan sela yang memerintahkan penundaan pemberlakuan SK tersebut. Selain itu, kubu Aburizal mewacanakan untuk melancarkan hak angket menggugat keputusan itu, yang langsung mendapatkan reaksi dari kubu Agung untuk menginisiasi hak angket untuk kasus Lapindo.

    Filsuf Prancis Jacques Derrida berpendapat bahwa dalam dunia politik hal paling sulit dalam politik bukanlah memperjuangkan kemerdekaan ‘liberté’ atau menciptakan kesetaraan ‘egalité, melainkan menjalin persaudaraan ‘fraternité.’Lewat buku Politics of Friendship (2005), Derrida mengungkapkan motif politik persaudaraan tidak murni sosial namun sangat pribadi: menyelamatkan diri sendiri.

    Berangkat dari argumen Derrida tentang politik persaudaraan, hak angket Lapindo – jika benar dilaksanakan – perlu dilihat sebagai strategi pendukung Agung Laksono untuk menyelamatkan diri dari kasus Lapindo. Caranya adalah melepaskan beban yang ditimpakan pada Golkar dan mengembalikannya ke pundak Aburizal. Wacana yang dipelihara dan disebarluaskan adalah ‘kasus Lapindo merupakan persoalan pribadi Aburizal dan perusahaannya, bukan persoalan Partai Golkar.’

    Kita berharap wacana hak angket Lapindo tidak berubah menjadi, apa yang disebut Derrida ‘simulakra,’ ruang yang diciptakan terlihat seolah-olah penting dan perlu bagi kepentingan bersama, namun sebenarnya hanya dibuat-buat untuk menutupi motif pribadi dari para penciptanya.

    Kita sangat mendukung pengusutan tuntas kasus Lapindo. Namun, kita juga berhak dan perlu bertanya: apakah hak angket akan efektif bagi tujuan itu? Kita harus terus mengingatkan pemerintah bahwa ada persoalan sangat mendesak untuk dilakukan: memulihkan dampak dan krisis sosial-ekologis akibat lumpur Lapindo.***

    Anton Novenanto, pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya, Malang

    Sumber: http://indoprogress.com/2015/04/golkar-dan-lapindo/

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Oleh: Anton Novenanto

    (Bagian terakhir dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan di sini)

    BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR Sidoarjo, atau BPLS adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur Lapindo melalui penerbitan Perpres 14/2007 pada 8 April 2007. Pembentukan BPLS menunjukkan betapa spesialnya kasus Lapindo dibandingkan bencana lingkungan lain di Indonesia. BPLS merupakan representasi negara dalam kasus Lapindo yang masih bekerja sampai saat ini.

    Secara garis besar, tugas BPLS tidak berbeda dengan Timnas: menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial dan infrastruktur (Perpres 14/2007, Pasal 1, Ayat 2). BPLS berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya itu kepada Presiden (Pasal 1 Ayat 3), namun segala arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Dewan Pengarah BPLS (Pasal 3 Ayat 1), bukan oleh Presiden. Ada perbedaan struktur pengorganisasian BPLS jika dibandingkan dengan Timnas yang berada di bawah supervisi yang diketuai Menteri ESDM. Dewan Pengarah BPLS diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum, Menteri ESDM hanya duduk sebagai anggota dewan tersebut. Struktur semacam ini menandai hal yang substansial dalam orientasi agenda kerja BPLS yang lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur; bandingkan dengan orientasi penanganan kecelakaan industri migas yang dilakukan Timnas (lihat tulisan sebelumnya).

    Perubahan itu dapat juga dilacak dalam peraturan perundangan yang melandasi Perpres 14/2007. Landasan hukum Keppres 13/2006 orientasinya adalah ‘industri migas’, sementara landasan hukum Perpres 14/2007 adalah ‘manajemen tata ruang’. Perpres 14/2007 disusun dengan ‘mengingat’ UU Tata Ruang No 24/2007, UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, UU Migas No. 22/2001, UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 jo UU No. 8/2005. Dengan demikian, seperti halnya Timnas, BPLS tidak sedang dibentuk atas logika ‘penanganan bencana’. Pada bagian ini, kita akan menelusuri bagaimana negara (c.q. BPLS) berperan untuk melebarkan bencana pembangunan dengan memfokuskan diskusi pada proses pemindahan penduduk secara paksa.

    Salah satu klausul penting Perpres 14/2007 adalah ihwal pembagian tanggung jawab penanganan masalah sosial kemasyarakatan antara pemerintah dan Lapindo. Perpres mengatur bahwa Lapindo ‘hanya’ bertanggung jawab untuk ‘membeli tanah dan bangunan’ warga yang termasuk dalam Peta 22 Maret 2007 (Pasal 15, Ayat 1) dan tanggung jawab atas wilayah di luar peta tersebut ‘dibebankan pada APBN’ (Pasal 15, Ayat 3). Perpres juga mengatur tentang pembagian kewajiban penanganan fisik antara Lapindo (yang dibebani biaya penanggulangan semburan lumpur dan pembuangan lumpur ke Kali Porong; Pasal 15, Ayat 5) dan pemerintah (yang menanggung biaya relokasi infrastruktur; Pasal 15, Ayat 6). Hingga kini, tidak pernah jelas dasar hukum dari pembagian tanggung jawab semacam itu.

    Hingga tulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahan atas Perpres 14/2007 melalui penerbitan peraturan presiden baru, yaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 September 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011 (Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan 8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Jika kita melihat struktur peraturan perundangan yang melandasi penerbitan revisi Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan bahwa revisi tersebut dilandasi oleh peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, a.l.: UU Keuangan Negara (17/2003), UU Perbendaharaan Negara (1/2004), UU APBN (2008, 2009, 2011, 2012, dan 2013). Hal semacam itu dapat dilihat dalam konteks bahwa revisi atas Perpres 14/2007 melibatkan penambahan biaya kompensasi untuk membeli wilayah ‘di luar peta’ yang juga harus dikosongkan akibat degradasi lingkungan yang akut. Pengosongan suatu wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Yang tak kalah menarik adalah, tentu saja, reduksi kewajiban Lapindo untuk membiayai upaya penanggulangan semburan dan pembuangan lumpur ke Kali Porong. Hal itu disampaikan dalam Perpres 40/2009 yang menghapus seluruh Pasal 15 Ayat 5, dan menambahkan upaya-upaya itu dalam Pasal 15 Ayat 6. Perpres 40/2009 juga menambahkan satu ayat yang berbunyi:

    Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN. (Pasal 15 Ayat 7)

    Dengan demikian, sejak Perpres 40/2009 keluar seluruh biaya penanggulangan lumpur Lapindo ditanggung pemerintah. Mengacu penggalan-penggalan data yang tersaji acak di website BPLS (bpls.go.id), dan Nota Keuangan APBN (Perubahan), kita bisa mengalkukasi secara sederhana jumlah dana yang dianggarkan pemerintah terkait penanganan lumpur Lapindo, yang sejak 2007 sampai 2015 secara akumulatif mencapai nilai Rp 11,72 trilyun (lih. Tabel 1). Anggaran tersebut disalurkan, terutama, melalui BPLS, dan ini berarti negara telah mengambil perannya dalam kasus Lapindo. Negara berperan aktif sebagai aktor utama yang mengatur: a) pembagian kewajiban penanganan bencana antara Lapindo dan pemerintah (Perpres 14/2007); b) mereduksi kewajiban Lapindo tersebut (Perpres 40/2009); dan c) mengambil alih kewajiban perusahaan dan membebankannya pada APBN. Yang paling kontroversial tentunya adalah peran negara sebagai legitimator pemindahan paksa penduduk dengan cara menerbitkan peta-peta baru, seperti yang akan kita bahas setelah ini.

    Tabel 1. APBN untuk Lapindo
    Tabel 1. APBN untuk Lapindo

    ***

    TIMNAS MENAMAI PETA 22 Maret 2007 dengan ‘peta area terdampak’. Baik representasi Lapindo ataupun aparatus negara akan selalu merujuk pada istilah tersebut peta itu bila sedang berbicara tentang area ‘terdampak’ lumpur Lapindo. Secara naif, mereka menyebut wilayah di luar peta 22 Maret bukan sebagai ‘area terdampak’ lumpur Lapindo, hanya ‘tak layak huni’. Sekalipun beda istilah, praktik yang terjadi di lapangan tetap sama: pemindahan penduduk dari hunian mereka secara paksa, dan proses itu dilegitimasi dengan peta baru yang menjadi lampiran revisi atas Perpres 14/2007.

    ‘Wilayah 3 Desa’ – Revisi pertama atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 48/2008 (17 Juli 2008), mengatur tentang penambahan wilayah baru yang harus dikosongkan untuk kebutuhan pembangunan tanggul dan saluran pembuangan sampai Kali Porong. Istilah yang populer untuk menyebut wilayah tersebut adalah ‘wilayah 3 Desa’ merujuk pada 3 (tiga) desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) di Kecamatan Jabon. Mekanisme yang diterapkan bagi para penduduk ketiga desa tersebut adalah seperti yang berlaku pada penduduk ‘dalam peta’, jual beli tanah dan bangunan. Hanya saja pembelinya bukan lagi Lapindo, tapi pemerintah. Nilai tukar aset bagi wilayah ini mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh Lapindo (Pasal 15b Ayat 6), atau yang jamak disebut ‘harga Lapindo’.

    Perpres 48/2008 juga mengatur bahwa status tanah dan bangunan yang dibeli tersebut akan menjadi ‘Barang Milik Negara’ (Pasal 15c Ayat 1) yang dikelola oleh Menteri Keuangan dan digunakan oleh BPLS (Pasal 15c Ayat 2). Akan tetapi, dalam proses jual beli aset di wilayah ‘3 Desa’ tersebut PP Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum No. 36/2005 jo PP 65/2006 tidak berlaku (Pasal 15b Ayat 4) yang ini menunjukkan ketidakjelasan landasan hukum dan tujuan pembelian tanah tersebut. Untuk memperjelas wilayah mana saja yang harus dikosongkan, sebuah peta baru dibuat oleh BPLS. Pengosongan wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Berdasarkan data yang tersaji di website BPLS, terdapat 1.804 berkas klaim masuk dari wilayah ‘3 Desa’ tersebut. Sampai Desember 2012, 1.793 berkas dinyatakan sudah lolos verifikasi dengan nilai tukar total mencapai Rp 627,78 milyar dan 1.768 berkas sudah lunas dibayar (senilai Rp 511,32 milyar). Beberapa berkas yang bermasalah, sehingga tidak lolos verifikasi, dipicu oleh sengketa tanah seputar kepemilikan dan juga jenis tanah (sawah atau pekarangan). Selain itu, persoalan tanah komunal (seperti, tanah kas desa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial) juga menyisakan pertanyaan pada siapakah yang berhak atas kompensasi mengingat penduduk tercerai-berai di hunian barunya.

    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)
    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)

    ‘Wilayah 9 RT’ – Revisi kedua atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 40/2009 (23 September 2009) mencantumkan wilayah baru yang dimasukkan sebagai area ‘tidak layak huni’. Wilayah ini kemudian populer dengan sebutan ‘wilayah 9 RT’, mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) di tiga desa (Siring, Jatirejo, dan Mindi) yang terkena dampak deformasi tanah dan munculnya semburan gas berbahaya (Pasal 15b Ayat 1a). Wilayah ‘9 RT’ harus dikosongkan segera dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 15b Ayat 8), dan bagi penduduknya pemerintah akan memberi bantuan sosial (uang kontrak rumah, tunjangan hidup, dan biaya evakuasi) (Pasal 15b Ayat 9).

    Perpres 40/2009 tidak menyebutkan tentang hak warga untuk menerima kompensasi atas tanah dan bangunan mereka. Warga hanya diminta untuk segera mengosongkan wilayah tersebut. Kompensasi bagi warga di wilayah ini baru diatur dalam Perpres 68/2011 tentang perubahan ketiga atas Perpres 14/2007 (27 September 2011). Mekanisme kompensasi yang berlaku tetap sama, jual beli tanah dan bangunan (Pasal 15b Ayat 3), penghitungan nilai kompensasi juga disamakan dengan wilayah sebelumnya. Dan pada bulan Oktober 2011, BPLS merilis sebuah peta baru yang mencantumkan ‘wilayah 9 RT’. Data di website BPLS menyebutkan bahwa dari total 789 berkas klaim ‘wilayah 9 RT’ yang masuk, 769 berkas telah lolos verifikasi (senilai Rp 436,80 milyar). Pada Desember 2012, sejumlah 757 berkas (Rp 376,07 milyar) sudah terbayar. Sisanya masih bermasalah pada hal yang sama, a.l.: sengketa kepemilikan, debat luas dan jenis tanah (sawah/pekarangan), dan tanah komunal.

    2012 12 00 Peta kerja small
    Peta Kerja Oktober 2011

    Wilayah 66 RT’ – Perpres 68/2011 mencantumkan pembentukan ‘Tim Terpadu’ yang dibentuk oleh Dewan Pengarah BPLS untuk mengkaji wilayah terkena dampak lumpur Lapindo (Pasal 15b Ayat 1b). Hasil kajian tim tersebut adalah pemetaan wilayah baru yang harus segera dikosongkan karena dinyatakan sebagai wilayah tak layak huni dalam Perpres 37/2012 tentang perubahan keempat atas Perpres 14/2007 (5 April 2012). Wilayah baru tersebut dikenal dengan ‘wilayah 65 RT’ mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) yang harus dikosongkan yang kali ini mencakup 8 (delapan) desa/kelurahan, yaitu: Besuki, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Gempolsari, Kalitengah, dan Wunut.

    Pada 8 Mei 2013, terbit Perpres 33/2013 tentang perubahan kelima atas Perpres 14/2007 yang merinci batas-batas wilayah yang sebelumnya sudah diatur dalam Perpres 37/2012 dan menambahkan 1 (satu) RT di Kelurahan Porong yang kemudian membuat wilayah baru itu sekarang disebut ‘wilayah 66 RT’. Selain merinci batas-batas dan penambahan wilayah baru, Perpres 33/2013 mengatur kompensasi tanah wakaf yang menjadi kewenangan Kementerian Agama (Pasal 15b Ayat 10).

    Untuk wilayah ’66 RT’, BPLS menargetkan sekitar 5.000 berkas klaim masuk. Sampai Desember 2012, BPLS menerima 4.422 berkas klaim dengan nilai tukar mencapai Rp 451,93 milyar, dan baru 3.556 berkas yang terbayar (Rp 261,33 milyar). Dengan demikian, diperkirakan masih ada sekitar seribu berkas lagi yang menjadi tanggung

    Peta 5 April 2012
    Peta 5 April 2012

    an pemerintah. Sayang, website BPLS tidak mencantumkan data mutakhir tentang kelanjutan proses pembayaran tersebut.

    ***

    PEMINDAHAN PAKSA BESAR-BESARAN lain yang dilakukan oleh negara, namun luput dari amatan publik adalah terkait pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur. Relokasi infrastruktur mensyaratkan pembebasan lahan baru untuk pembangunan, dan dengan demikian menandai fase lain pemindahan paksa akibat lumpur Lapindo. Untuk merelokasi infrastruktur (jalan tol dan jalan raya), pada Juli 2007 ditentukan luasan lahan yang dibutuhkan. Penentuan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/260/KPTS/013/2007. Menurut rencana awal tersebut, infrastruktur baru akan melintasi wilayah di 15 (limabelas) desa yang meliputi 11 (sebelas) desa di Kabupaten Sidoarjo dan 4 (empat) desa di Kabupaten Pasuruan. Luas lahan yang dibutuhkan mencapai 132,16 ha. Namun, setelah melakukan penghitungan riil dan beberapa kesepakatan dengan instansi yang lain, pada April 2010 disepakati bahwa lahan yang dibutuhkan ‘hanya’ 123,77 ha.

    Kebutuhan lahan untuk relokasi
    Kebutuhan lahan untuk relokasi

    Pengurangan itu meloloskan Desa Kludan di Kabupaten Sidoarjo dari proyek pembebasan lahan itu. Namun, sebagian warga di 14 (empatbelas) desa yang lain harus merelakan tanah dan bangunan mereka untuk digantikan dengan infrastruktur jalan raya dan jalan tol (lihat Peta Relokasi Infrastruktur). Sepuluh desa/kelurahan di Kabupaten Sidoarjo yang yang terkena dampak relokasi infrastruktur adalah Desa Kali Sampurno, Desa Kali Tengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin, Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Kesambi, Kelurahan Juwet Kenongo, Kelurahan Porong, dan Desa Kebon Agung di Kecamatan Porong, serta Desa Kedungcangkring di Kecamatan Jabon. Dan empat desa di Kabupaten Pasuruan adalah Desa Carat, Desa Gempol, Desa Kejapanan, dan Desa Legok di Kecamatan Gempol.

    Seperti halnya proyek pembangunan infrastruktur makro lainnya, beberapa permasalahan sempat tercatat terkait proses pengosongan lahan dan pembangunan relokasi infrastruktur yang dilakukan BPLS tersebut. Yang paling kentara adalah tingginya nilai kompensasi yang diminta sebagian warga dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pemerintah. Beberapa warga meminta kompensasi setara ‘harga Lapindo’, yang berlaku untuk tanah dan bangunan dalam Peta 22 Maret 2007. Beberapa warga lain, menuntut nilai yang lebih tinggi lagi karena aset mereka terletak di pinggir jalan utama. Beberapa tanah status kepemilikannya dipegang oleh banyak orang yang berujung pada sengketa internal sehingga mempersulit proses pemberian kompensasi. Pelbagai masalah terkait pembebasan lahan tersebut berdampak pada pembangunan jalan (tol maupun arteri) secara parsial. Infrastruktur baru dibangun terputus-putus dalam 4 (empat) paket, dan baru menjadi satu kesatuan sehingga bisa beroperasi penuh pada Maret 2012.

    Percepatan pembangunan infrastruktur baru, menggantikan infrastruktur lama yang terendam lumpur Lapindo, dilandasi lebih oleh motif ekonomi, yaitu mengembalikan nadi transportasi dari/ke Pelabuhan Tanjung Perak ke/dari wilayah industri besar di Jawa Timur bagian Selatan dan Timur. Dan atas nama ‘kepentingan umum’ itulah lagi-lagi rakyat harus dikorbankan dengan cara pemindahan paksa. Negara, lagi-lagi, hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi proses yang tidak bakal terjadi jika saja negara tidak pernah memberi izin Lapindo untuk melakukan pengeboran migas di kawasan padat huni.

    Peta Infrastruktur 2010 lowres

    ***

    PRESIDEN JOKOWI TELAH memerintahkan jajaran menteri di kabinetnya untuk memenuhi kontrak politik yang disepakatinya pada korban Lapindo, memberikan pinjaman bersyarat pada Lapindo yang tidak mampu melunasi kewajibannya membayar aset warga yang dimasukkan dalam ‘area terdampak’ lumpur Lapindo. Jumlah pinjaman tidak main-main, Rp 781,69 milyar. Syarat yang diberikan adalah Lapindo harus menyerahkan 13.327 berkas aset warga sebagai jaminan dan Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan pinjaman tanpa bunga itu. Jika Lapindo gagal mengembalikannya, aset akan diambil alih negara –yang sebenarnya adalah keputusan yang paradoks, karena seperti sudah dibahas sebelumnya, mengacu pada UU Pokok Agraria No 6/1956, tanah yang dibeli Lapindo itupun secara hukum statusnya adalah tanah negara; bagaimana mungkin negara menyita asetnya sendiri (Novenanto 2015a; 2015b).

    Aksi negara menalangi hutang Lapindo itu telah diklaim sebagai ‘kehadiran negara’ yang dianggap telah absen selama ini. Namun, seperti disampaikan dalam rangkaian tulisan ini, negara adalah aktor penting dalam kasus Lapindo. Negara telah hadir, bahkan sebelum pengeboran Sumur Banjar Panji 1, dengan memberi izin pengeboran migas di kawasan padat huni. Dengan demikian, negara telah berperan dalam penentuan lokasi terjadinya suatu bencana industrial. Bahkan, negara tidak pernah mengawasi kegiatan ‘industri berbahaya’ itu. Peran aktor-aktor negara semakin kentara dengan menerbitkan peta area terdampak dan melegitimasi pemindahan paksa para penghuninya melalui penerbitan Perpres 14/2007 dan juga revisi terhadapnya. Tidak hanya itu, negara juga telah melegitimasi perluasan pemindahan paksa terkait proyek relokasi infrastruktur yang rusak. Untuk penanganan dampak lumpur Lapindo, negara telah menganggarkan dana sebesar Rp 11,72 trilyun; dana yang sebenarnya bisa digunakan untuk pengembangan di sektor lain.

    Kasus Lapindo bukanlah sekadar masalah bencana lumpur panas menyembur di kawasan padat huni. Kasus Lapindo adalah pembuktian kebobrokan pengelolaan industri migas di negeri ini, tidak hanya pada proses perizinan tapi juga tata kelola penanganan kecelakaan industrial yang riskan terjadi. Oleh karena itu, satu-satunya ketidakhadiran negara dalam kasus Lapindo adalah untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada Lapindo yang telah melakukan kesalahan fatal dalam industri migas yang penuh resiko. (habis)

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Timnas)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Timnas)

    Oleh: Anton Novenanto

    (Bagian 2 dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya klik di sini)

    SELAMA INI, PUBLIK menganggap bahwa negara tidak banyak berperan dalam penanganan awal semburan lumpur. Salah satu argumen yang kerap direpetisi adalah seputar pembiayaan penanganan awal dibebankan pada anggaran belanja Lapindo sehingga negara tidak bisa banyak berbuat untuk mengatasi semburan (Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008). Bila mayoritas publik mengatakan bahwa pembebanan anggaran semacam itu sebagai ‘hukuman’, saya melihat bahwa keputusan itu sebagai pemberian keistimewaan pada Lapindo untuk bebas melakukan apapun, bahkan, jika perlu, mengorbankan rakyat sipil. Kecenderungan semacam ini semakin memperkuat argumen yang hendak disampaikan melalui tulisan ini: negara hadir demi melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya –sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan.

    Dua pertanyaan terlontar: pertama, bagaimana Lapindo bisa mendapatkan keistimewaan tersebut? Kedua, mengingat keistimewaan tersebut bagaimanakah negara memainkan perannya dalam kasus Lapindo? Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, kita perlu menelusuri proses penanganan awal semburan lumpur Lapindo yang berada di bawah koordinasi Tim Nasional Penanganan Semburan Lumpur di Sidoarjo (selanjutnya, ‘Timnas’). Timnas yang dibentuk 8 September 2006 memang hanya bertugas selama tujuh bulan, namun tim yang diketuai Basuki Hadimuljono (sekarang Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) itu telah meletakkan pondasi dasar bagi proses pemindahan paksa warga di 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Sidoarjo.

    ***

    PADA 12 JUNI 2006, Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, membentuk tim terpadu untuk menangani luapan lumpur Lapindo (BPK 2007, 70). Tim diketuai Bupati Sidoarjo dan terbagi menjadi tiga tim koordinatif, a.l., Koordinasi Pengendalian Situasi yang berada di bawah wewenang Dandim 0816 Sidoarjo, Koordinasi Teknis ditangani oleh Lapindo dan BP Migas, dan Koordinasi Rehabilitasi Sosial dan Kehumasan menjadi tanggung jawab Wakil Bupati Sidoarjo, Saiful Illah (KomnasHAM 2012, 65).

    Dua hari setelah itu, pada 14 Juni 2006, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membentuk tim khusus yang diketuai Rudi Rubiandini dari Jurusan Teknik Perminyakan, ITB, untuk menginvestigasi insiden tersebut (Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008, 65). Pada awal September 2006, tim mengumumkan bahwa hasil investigasi menemukan bahwa semburan lumpur terjadi akibat kelalaian Lapindo yang tidak memasang selubung pengaman sesuai rencana ketika mengebor Sumur Banjar Panji 1 (Tim Walhi 2008, 2). Dengan kata lain, pemerintah (c.q. tim investigasi) menyatakan bahwa semburan lumpur adalah bencana buatan manusia, akibat kecelakaan industrial.

    Selang beberapa hari setelah itu, pada 8 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 (Keppres 13/2006) tentang Timnas. Timnas direncanakan bertugas selama 6 (enam) bulan, namun menjelang habis masa kerjanya belum tampak tanda-tanda lumpur akan berhenti sehingga pada 8 Maret 2007 keluar Keppres 5/2007 tentang Perpanjangan Masa Tugas Timnas yang diperpanjang selama 1 (satu) bulan. Kerja Timnas berakhir pada 8 April 2007 berbarengan dengan penerbitan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menggantikan Timnas.

    Terlepas dari kontroversi yang melingkupinya –terkait status keputusan presiden yang berada di luar struktur hukum formal di Indonesia (Gustomy 2012, 75–78; Batubara and Utomo 2012, 165–168), Keppres 13/2006 adalah peraturan pertama yang dikeluarkan pemerintah pusat dalam rangka mengatasi lumpur Lapindo dan Timnas adalah lembaga mitigasi pertama yang dibentuk khusus untuk menangani semburan lumpur Lapindo. Sekalipun hanya bekerja selama tujuh bulan, Timnas telah meletakkan pondasi dasar bagi pembangunan bencana yang akan dilanjutkan oleh BPLS sampai sekarang.

    Keppres 13/2006 melanjutkan kesimpulan tim investigasi, bahwa semburan lumpur terkait dengan kegiatan industri migas (kecelakaan teknologi). Hal ini dapat dilacak dari peraturan perundangan yang melatarbelakanginya, yaitu UU Migas No. 22/2001, PP No. 19/1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan, PP No. 11/1979 tentang Keselamatan Kerja pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi, dan PP No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi jo PP No. 34/2005. Melihat komposisi semacam ini, agenda kerja utama Timnas terkait dengan kegiatan industri migas, bukan mitigasi bencana. Timnas bekerja di bawah supervisi Menteri ESDM, yang memang representasi presiden yang mengurus industri migas di republik ini –sementara BPLS berada di bawah Menteri PU).

    Timnas dibentuk untuk melaksanakan tiga tugas, yaitu menutup semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial (Butir Ketiga). Dan, untuk melakukan ketiga tugas itu segala biaya yang diperlukan Timnas dibebankan pada anggaran Lapindo (Butir Keenam). Klausul terkait pembiayaan ini sangat problematis. Sekilas, publik akan melihat politik anggaran semacam ini adalah sesuatu yang ‘baik’ karena publik meyakini semburan bersumber dari ulah Lapindo sehingga wajar bila Lapindo harus menanggung seluruh biaya penanganannya. Akan tetapi, politik anggaran semacam ini membuat seluruh tindakan penanganan awal semburan lumpur sangat tergantung pada keputusan jajaran direksi Lapindo (bdk. Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008; Tim Walhi 2008). Lebih-lebih, BPK (2007, 73) menyebutkan bahwa Lapindo tidak pernah serius membiayai usaha penanganan awal tersebut, sehingga dapat disimpulkan kegagalan menutup semburan perlu dilihat dari kacamata politik-ekonomi sebuah perusahaan yang tidak mau menderita kerugian.

     ***

    LUMPUR PANAS YANG terus meluap adalah faktor alam yang memaksa pindahnya puluhan ribu penduduk, tetapi luapan itu tidak akan terus terjadi bila saja Lapindo tidak lalai dalam mengebor dan usaha menutup semburan berhasil dilakukan. Untuk menutup semburan satu teknik telah diusahakan: mengebor ‘sumur pertolongan’ (relief well), yaitu sumur yang dibor untuk memotong sumur utama ketika terjadi ledakan bawah tanah (blowout), seperti yang dialami oleh Sumur Banjar Panji 1. Pengeboran dilakukan dari titik yang berbeda di sekitar sumur utama dan diikuti dengan injeksi cairan khusus untuk menghentikan kebocoran yang ada. Teknik ini dikenalkan pada 1930an di Texas, Amerika Serikat.

    Agak sedikit berbeda, ahli pengeboran Lapindo mengklaim bahwa sebelum mengebor sumur pertolongan telah dilakukan dua metode lain: mengebor ulang Sumur Banjar Panji 1 (snubbing unit) dan mengebor lubang lain secara miring untuk memotong Sumur Banjar Panji 1 (sidetracking well) (Istadi et al. 2009). Namun, seperti dibahas sebelumnya (bagian 1) pengeboran ulang sumur utama, yang dilakukan pada 2 Juni 2006, merupakan kesalahan fatal (Adams 2006, 57); sementara itu, pengeboran miring perlu dilihat sepaket dengan teknik sumur pertolongan karena tindakan tersebut dilakukan untuk memperoleh data awal sebelum mulai mengebor sumur pertolongan (Rubiandini 2007). Laporan pemeriksaan BPK (2007, 59–60) menyebutkan bahwa telah dilakukan pengeboran tiga sumur pertolongan dan tiga sumur observasi sebagai rangkaian usaha menutup semburan lumpur Lapindo yang dipimpin oleh William Abel, konsultan pengeboran dari Houston, Texas, AS. Dalam wawancara pada bulan September 2006, Abel sangat yakin bahwa teknik itu akan berhasil, katanya, ‘Dalam sejarah pengeboran, belum pernah ada blowout yang gagal diatasi’ (dikutip dalam Normile 2006). Sayangnya, kali ini dia harus keliru, usaha itu gagal.

    Kegagalan menutup semburan berdampak pada meluasnya luapan lumpur panas dan memaksa puluhan ribu warga untuk pindah dari hunian mereka. Volume semburan lumpur mencapai 70.000-150.000 m3/hari dengan suhu mencapai 70o Celcius (Davies et al. 2007). Dalam waktu tiga minggu saja, lumpur sudah mengubur area padat penduduk seluas 90 hektar dan memaksa lebih dari 2.000 penduduk mengungsi. Hanya jeda seminggu setelah itu, area yang terbenam lumpur mencapai 145 hektar dan semakin banyak orang yang harus pergi dari rumah mereka. Pada bulan September 2006, area yang terendam mencapai 240 hektar. Di akhir 2006, luasan wilayah terdampak berlipat ganda, menjadi 450 hektar, menyusul ledakan pipa gas bawah tanah milik Pertamina yang meruntuhkan tanggul di Timur Laut, pada 22 November, dan mengakibatkan lumpur menggenangi kompleks perumahan padat huni, Perumahan Tanggulangin Asri Sejahtera (PerumTAS).

    Luas area yang tergenang lumpur terus melebar seiring dengan kegagalan upaya menutup pusat semburan. Kini, untuk menahan meluasnya lumpur telah dibangun tanggul semipermanen sepanjang mencapai 8 (delapan) kilometer di sekeliling semburan utama mengelilingi wilayah seluas mencapai 800 hektar. Sekalipun usaha membendung dan membuang sebagian lumpur ke Selat Madura, melalui Kali/Kanal Porong sudah dilakukan,[i] luapan lumpur tak kunjung surut. Selain persoalan lumpur, dampak ekologis lain yang kasat mata adalah deformasi (penurunan/kenaikan) dan pergeseran (yang mengakibatkan keretakan) permukaan tanah, semburan-semburan kecil gas yang mudah terbakar, serta degradasi kualitas air tanah dan udara.

    Dampak kolateral tersebut telah menyebabkan wilayah di luar tanggul lumpur menjadi kawasan tak layak huni dan oleh karenanya para penduduknya harus mengungsi ke tempat lain. Estimasi saya, berdasarkan foto peta satelit yang disediakan GoogleEarth, wilayah terdampak langsung itu mencapai lebih dari 1.500 hektar, yang mencakup 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan. Kelimabelas desa/kelurahan itu antara lain: Desa Gempolsari, Desa Kedungbendo, Desa Kalitengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin; Desa Renokenongo, Desa Glagaharum, Kelurahan Siring, Kelurahan Gedang, Kelurahan Jatirejo, Kelurahan Mindi, dan Kelurahan Porong di Kecamatan Porong; serta Desa Kedungcangkring, Desa Pejarakan, dan Desa Besuki di Kecamatan Jabon. Pada dua tahun pertama, jumlah penduduk yang harus pindah diperkirakan mencapai 39.000 jiwa. Jumlah ini belum termasuk korban tambahan pasca terbitnya Perpres 68/2011 (sekitar 3.000 jiwa), Perpres 37/2012 dan Perpres 33/2013 (belum ada estimasi jumlah korban berdasarkan kedua perpres terakhir tersebut). Pemerintah tidak pernah merilis berapa jumlah resmi penduduk yang harus meninggalkan rumah mereka akibat lumpur Lapindo, sejak 2006 sampai sekarang.

    Tidak ada angka resmi dari pemerintah yang menyebutkan luasan wilayah yang harus dikosongkan akibat semburan lumpur Lapindo. Menurut prediksi para geolog, lumpur dari perut bumi akan keluar secara masif sampai 30 tahun sejak pertama kali menyembur, dan masih akan terus menyembur dalam volume yang lebih kecil sampai ratusan tahun ke depan (Davies et al. 2011). Sayang, pemerintah belum pernah merilis ke publik prediksi jangka panjang perluasan dampak lumpur Lapindo.

    Pada 13 Desember 2006, Timnas menyatakan pengeboran sumur pertolongan harus dihentikan karena permukaan tanah tidak stabil sehingga dapat membahayakan para awak (Hadimuljono 2007, 63–65). Alasan itu bisa jadi benar, tapi Rudi Rubiandini, ketua tim investigasi yang juga bertanggung jawab untuk menutup semburan, berpendapat bahwa tidak berlanjutnya usaha menutup semburan juga disebabkan ihwal non-teknis, yaitu ketidakseriusan untuk menutup semburan yang indikasinya dapat dilihat dari ketidaksesuaian usaha dengan kaidah keilmuwan (KomnasHAM 2012, 64; Mudhoffir 2013, 26). BPK pun menemukan persoalan administrasi keuangan sebagai kendala utama kegagalan menutup semburan karena di awal Timnas dan/atau Lapindo tidak memperkirakan biaya total yang akan dikeluarkan untuk mengebor sumur pertolongan itu, yang mencapai Rp 237,91 milyar. Tentang penutupan semburan, BPK berpendapat:

    Penyusunan anggaran dan kegiatan oleh Timnas tidak didasarkan pada kemampuan penyandang dana [Lapindo, AN], hal ini menunjukkan tidak adanya kejelasan likuiditas dana yang tersedia. Semua alternatif penanganan tidak akan efektif berjalan jika terhalang keterbatasan dana dan hanya dilaksanakan setengah jalan. (BPK 2007, 75)

    Keppres 13/2006 memang tidak mengatur secara jelas tentang kewenangan Timnas untuk memaksa Lapindo melakukan seluruh pembayaran tepat waktu. Akan tetapi, itu bukan berarti negara tidak berperan dalam urusan menutup semburan. Justru, negara (c.q. Presiden) adalah aktor utama yang memerintahkan pembiayaan penutupan semburan tersebut pada Lapindo. Ditambah lagi, negara (c.q. Timnas) merupakan aktor yang melegitimasi penghentian usaha penutupan semburan tersebut dan dengan demikian negara berperan penting memunculkan biaya lain yang lebih jauh besar.

    ***

    DALAM PEMBAHASANNYA TENTANG ‘bencana pembangunan’, Oliver-Smith (2010) tidak berbicara tentang faktor bahaya lingkungan yang tak terduga, tiba-tiba, apalagi alamiah. Dia justru sedang membahas proses yang dilakukan secara terencana atas nama kemajuan dan kepentingan umum, atau yang kerap disebut ‘pembangunan’. Menurutnya, pada satu sisi, pembangunan dilakukan untuk menghadirkan infrastruktur baru demi pencapaian kemajuan suatu bangsa; namun, pada sisi lain, pada hakikatnya pembangunan adalah ‘penghancuran dan pencabutan manusia dari hunian dan komunitasnya’ (Oliver-Smith 2010, 3). ‘Pemindahan paksa’ menjadi kata kunci dalam pembahasan Oliver-Smith tentang bencana pembangunan dan menurutnya proses itu tidak terjadi secara tiba-tiba; sebuah proses yang juga terjadi dalam kasus Lapindo.

    Secara kasat mata, lumpur Lapindo memang faktor alam utama bagi terjadinya pemindahan paksa bagi puluhan ribu warga di sekitar semburan. Namun, seperti telah dibahas sebelumnya, faktor manusia menjadi kunci utama bagi munculnya semburan. Kondisi itu diperparah dengan dihentikannya usaha menutup semburan oleh, lagi-lagi, manusia. Faktor manusia kembali menjadi penting dalam menentukan siapa yang harus pindah dan siapa yang harus bertahan melalui proses, yang disebut James Scott (1998, 3), ‘pemetaan’. Pemetaan bukan hanya sekadar menghadirkan gambar bumi dalam selembar kertas tapi menunjukkan kuasa negara dalam memprioritaskan modifikasi lingkungan dan manusia yang tinggal di atasnya (bdk. Crampton 2001; Elden 2010).

    Dalam kasus Lapindo, perkembangan wilayah yang terbenam lumpur dapat ditelusuri dari proyek penanggulan yang mengikuti skala prioritas yang dibuat pemerintah atas dasar, lagi-lagi, ‘kepentingan umum’. Pada bulan-bulan awal semburan, prioritas pemerintah adalah melindungi ruas jalan tol Porong-Gempol yang merupakan tulang punggung perekonomian Jawa Timur. Segala proyek penanggulan lumpur kemudian ditujukan agar lumpur tidak meluap sampai jalan tol, kalaupun hal itu terjadi pemerintah akan mengusahakan agar jalan tol dapat segera digunakan lagi dengan segala caranya. Salah satunya adalah membangun tanggul yang menghalangi laju lumpur menuju jalan tol. Tidak jelas kapan upaya penanggulan secara resmi dilakukan. Mengacu catatan BPLS, pada masa sebelum Timnas dibentuk proyek penanggulangan dilakukan oleh satuan militer Kodam V Brawijaya dengan menggunakan uang dari Lapindo (Karyadi, Soegiarto, and Harnanto 2012).[ii]

    Negara tidak hanya sudah berperan aktif dalam proyek penanggulan awal, tapi juga sebagai aktor yang menentukan nilai tukar dan mekanisme kompensasi yang diberikan pada korban Lapindo. Mengacu sebuah studi, nilai kompensasi bagi korban Lapindo datang dari Saiful Illah, Wakil Bupati kala itu (sekarang, Bupati Sidoarjo), sekitar bulan September 2006 (Karib 2012, 67–68). Konteks pada waktu itu adalah pemerintah membutuhkan sebidang tanah di Desa Jatirejo untuk membangun tanggul di sisi Barat semburan. Tujuannya adalah menahan luapan lumpur ke rel kereta api dan jalan raya Porong. Saiful, didampingi aparat militer, menemui 12 (duabelas) warga Jatirejo dan meminta mereka untuk menjual tanah dan rumahnya untuk kepentingan bersama. Dia menawarkan uang sejumlah Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan dan Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah pekarangan. Saiful berargumen harga tersebut jauh di atas harga tanah ‘normal’ sebelum lumpur menyembur yang berkisar antara Rp 75.000 dan Rp 150.000 per meter persegi. Para warga yang berada di bawah tekanan psikologis tidak memiliki opsi lain kecuali menerimanya. Informasi tentang harga tersebut menyebar cepat di kalangan korban yang lain yang pada saat itu juga sedang menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian mereka tapi masih belum ada kepastian tentang mekanisme dan nilai kompensasi. Belakangan, nilai yang ditawarkan Saiful dan mekanisme ‘jual beli aset’ semacam itulah yang diterapkan juga sebagai acuan penentuan dan pemberian kompensasi kepada seluruh korban Lapindo.

    ***

    TIMNAS YANG DIBENTUK belakangan semakin membuktikan kehadiran negara dalam proses pemindahan warga secara paksa dari hunian mereka. Dari beberapa dokumen yang ada, terlihat jelas bagaimana Timnas telah menjadi perantara bagi warga dan Lapindo dalam rangka negosiasi nilai kompensasi dan mekanismenya. Salah satunya adalah Surat Pernyataan yang ditandatangani Ketua Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono di atas meterai Rp 6.000 pada tanggal 13 November 2006. Di dalam surat itu tertulis bahwa Basuki, atas nama Timnas, bersedia memfasilitasi dan meneruskan permintaan ganti rugi dengan cara cash and carry korban Lapindo kepada Lapindo. Tidak hanya itu, tertulis juga bahwa ‘proses verifikasi data, negosiasi ganti rugi tanah dan bangunan, serta realisasi pembayaran tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Maret 2007’. Turut membubuhkan tanda tangan dalam surat itu adalah Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Pada 27 November 2006, Timnas melayangkan surat resmi kepada pimpinan Lapindo terkait penyelesaian dampak sosial-ekonomi akibat lumpur Lapindo. Surat itu berisi empat butir: 1) masyarakat menghendaki ganti rugi dengan cara tunai (cash and carry); 2) masyarakat menghendaki pernyataan kesanggupan dari Lapindo untuk penanggulangan masalah sosial-ekonomi; 3) ganti rugi dihitung berdasarkan nilai berikut: Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan (termasuk bangunan tingkat); dan, 4) ganti rugi tanah sawah ditentukan sebesar Rp 120.000 per meter persegi. Surat itu ditandatangani oleh Basuki, dan dengan mengetahui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dari selembar surat itu, kita dapat melihat bagaimana representasi negara hadir untuk menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian sosial-ekonomi yang diderita warga. Relasi kuasa yang terjadi bukan antara warga dan Lapindo, melainkan antara negara (c.q., Timnas, Bupati, DPRD Sidoarjo) dengan Lapindo.

    Surat itu mendapatkan balasan pada 4 Desember 2006 ketika Lapindo melayangkan surat kepada Timnas, u.p. Basuki Hadimuljono. Dalam surat itu, Lapindo menyatakan kesanggupannya untuk memberi warga kompensasi atas kerugian yang diderita mereka sebagai bentuk ‘kepedulian sosial dan tanggung jawab moral’ perusahaan.[iii] Nilai yang disepakati sama dengan yang ditulis dalam surat Timnas, sementara mekanisme yang disanggupi oleh Lapindo adalah ‘jual beli’, yang berarti terjadi perpindahan kepemilikan atas aset dari warga ke Lapindo. Yang menarik adalah surat yang ditandatangani oleh Manajer Umum Lapindo Imam Agustino itu diarahkan kepada Timnas (sebagai lembaga representasi negara) dan bukan kepada warga. Surat itu ditembuskan kepada lembaga negara yang lain, a.l., Presiden, Wakil Presiden, Ketua dan Anggota Tim Pengarah Timnas, Bupati Sidoarjo, dan Ketua DPRD Sidoarjo –tidak disebutkan sama sekali bahwa surat itu sedang ditujukan pada warga– sehingga semakin jelas bagaimana sebenarnya negara telah hadir dalam kasus Lapindo ini.

    Hal lain yang tak kalah menarik adalah jika kita melihat Peta Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006 yang menjadi lampiran surat Lapindo itu (lihat Peta 1). Peta yang dibuat oleh Lapindo dan disetujui oleh Basuki Hadimuljono itu menentukan wilayah mana saja yang akan dibeli Lapindo dan mana yang tidak. Di peta itu juga Basuki menambahkan suatu wilayah yang ditandainya dengan huruf “A” sebagai wilayah yang juga harus dibeli oleh Lapindo. Sekalipun hanya selembar kertas, peta itu memiliki efek kuasa yang menentukan pemindahan paksa para penduduk yang tinggal di atas wilayah yang akan dibeli oleh Lapindo. Mengingat peta itu disetujui oleh negara (c.q. Timnas), kita harus berpikir ulang tentang asumsi umum negara absen dalam proses pemindahan penduduk secara paksa terkait kasus Lapindo.

    Peta 4 Desember 2006
    Peta 4 Desember 2006

    Peta adalah politik. Peta telah menjadi instrumen paling efektif dalam proses pemindahan paksa korban Lapindo. Peta 4 Desember 2006 tidak mencantumkan wilayah yang baru terkena dampak luapan lumpur Lapindo pasca meledaknya pipa gas bawah tanah Pertamina pada 22 November 2006 malam. Ledakan yang mengakibatkan belasan orang meninggal dunia itu juga menyebabkan runtuhnya tanggul sisi Utara dan membuat lumpur meluber ke perumahan padat huni PerumTAS. Gelombang kedua pengungsi pun datang, jumlah korban pun melonjak pesat. Para korban baru ini menuntut agar tanah dan bangunan mereka yang terbenam lumpur Lapindo juga harus dimasukkan ke dalam peta area terdampak sehingga mereka juga mendapatkan kompensasi atas kerugian yang mereka derita.

    Pada tanggal 22 Maret 2007, peta baru dirilis (lihat Peta 2). Kali ini semakin terlihat bagaimana peran negara dalam proses pemindahan paksa. Peta itu dibuat oleh Timnas dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono. Kali ini, semakin banyak representasi negara yang turut menyetujuinya, a.l., Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Ketua DPRD Jawa Timur Fatur Rosyid, Ketua Pansus Lumpur di DPRD Jawa Timur Y. A. Widodo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dengan demikian, Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang kemudian menjadi acuan bagi Perpres 14/2007, dilegitimasi oleh 6 (enam) aparatus negara yang menunjukkan bagaimana kuasa negara hadir dalam kasus Lapindo.

    Peta 22 Maret 2007
    Peta Area Terdampak 22 Maret 2007

    Timnas hanya bertugas selama tujuh bulan. Pada 8 April 2007, Timnas digantikan oleh BPLS melalui penerbitan Perpres 14/2007. Kita memang bisa saja menilai Timnas bekerja dalam segala keterbatasannya karena seluruh pembiayaan mengikuti anggaran Lapindo, namun Timnas juga telah meletakkan pondasi dasar bagi sebuah rencana pemindahan penduduk secara paksa melalui penerbitan peta area terdampak. Pola semacam ini berlanjut pada masa kerja BPLS, hingga kini. Dari uraian bagian ini, kita dapat menyaksikan bagaimana negara hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi terjadinya pemindahan penduduk secara paksa. Pada bagian selanjutnya, kita akan terus menelusuri peran negara dalam melegitimasi perluasan bencana pembangunan itu. (bersambung)

    [i] Dampak dari pembuangan itu adalah percepatan sedimentasi di sepanjang Kanal Porong dan terbentuknya pulau baru seluas sekitar 45 hektar di muara, hanya dalam kurun kurang dari 9 (sembilan) tahun.

    [ii] Biaya pembangunan dan pemeliharaan tanggul menjadi beban Lapindo secara legitim sejak 8 September 2006 (Keppres 13/2006) sampai 23 September 2009 (Perpres 40/2009, yang menandai peralihan tanggung jawab keuangan atas tanggul kepada APBN). Ini berarti selama lebih dari tiga tahun Lapindo dengan leluasa mengendalikan proyek penanggulan. Laporan Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) menyebutkan bahwa Lapindo telah mengeluarkan dana sebesar Rp 1,35 Trilyun untuk penanganan luapan lumpur (Richard 2011, 96).

    [iii] Sampai saat ini dasar hukum kesanggupan Lapindo untuk ‘membeli’ tanah dan bangunan warga tidak pernah dilontarkan secara jelas dan terjadi inkonsistensi dari perwakilan Lapindo dalam menyatakan alasan pembelian itu (‘perintah Ibunda Bakrie’, ‘tanggung jawab sosial perusahaan’, ‘mengikuti Perpres 14/2007’, ‘murni transaksi jual beli’, ‘sedekah’, dsb.). Berdasarkan analisis atas konteks historis kemunculan surat Lapindo tersebut, saya membuat dugaan sederhana. Surat itu dirilis pada masa Timnas, yang berarti dasar hukum bagi seluruh keputusan seharusnya mengacu pada peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu seputar kegiatan industri migas. Ini berarti dasar keputusan jual beli aset warga dilakukan dalam logika perusahaan migas yang sedang memberi kompensasi, yang memang diatur dalam peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu PP No. 35/2004 khususnya Bab VII (Pasal 62 – Pasal 71). PP No. 35/2004 mengatur tentang penggunaan tanah dalam kegiatan industri migas. Disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah ‘wajib mengizinkan Kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan’ (Pasal 62 Ayat 2). Untuk kebutuhan itu, ada beberapa cara yang bisa diterapkan, yaitu: ‘jual beli, tukar menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain’ (Pasal 63 Ayat 2) dengan ‘memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak terakhir’ (Pasal 65 Ayat 1). Status tanah tersebut ‘menjadi milik negara’ (Pasal 67 Ayat 1) dan kontraktor berhak membangun fasilitas mereka di atas tanah tersebut (Pasal 69 Ayat 2), yang koheren dengan UU Pokok Agraria No. 5/1960 (Pasal 26 & Pasal 27). Jadi, keputusan Lapindo membeli tanah dan bangunan warga dilandaskan pada logika perusahaan migas yang sedang mencari lahan untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi. Dugaan saya ini mungkin sedikit berbeda dengan pendapat yang selama ini bergulir yang membahas proses jual beli itu hanya mengacu pada UU Pokok Agraria No. 5/1960 (lih. Kurniawan 2012; Putro and Yonekura 2014). Yang patut dicatat, sekalipun UU Pokok Agraria adalah peraturan perundangan tertinggi tentang persoalan pertanahan di Indonesia, UU tersebut tidak pernah dijadikan sebagai landasan hukum bagi peraturan presiden terkait penanganan lumpur Lapindo.

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Pra Semburan)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Pra Semburan)

    (Bagian 1, dari 3 tulisan)

    Oleh: Anton Novenanto

    PADA TANGGAL 29 Mei 2014, pada masa kampanye pemilihan presiden lalu, di atas tanggul lumpur Lapindo, Joko ‘Jokowi’ Widodo melantangkan pentingnya kehadiran negara dalam kasus Lapindo. Kutipan langsung ucapan Jokowi yang tercatat di pelbagai media massa adalah demikian: ‘Dalam kasus [Lapindo, AN] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat’.

    Sebagai seseorang yang baru mengikuti kasus Lapindo sejak 2008, saya merasa sangat terganggu dengan pernyataan semacam itu, yang muncul dan seketika diterima sebagai ‘kebenaran bersama’ karena berangkat dari pengandaian bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Wacana ‘negara absen’ telah bergulir lama di ruang publik, khususnya di kalangan korban. Hal ini berangkat dari rangkaian peristiwa yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah tidak pernah hadir sebagai lembaga politik yang berdaulat untuk mengatasi segala persoalan yang muncul, khususnya yang terjadi antara korban dan korporasi. Alih-alih membantu, korban merasa negara telah membiarkan mereka bertarung sendirian dalam relasi kuasa yang timpang ketika berhadap-hadapan dengan korporasi dan jejaring pendukungnya.

    Argumen yang diangkat melalui tulisan mungkin sangat bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Jokowi tersebut dan dengan apa yang diyakini publik umum bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Justru sebaliknya, saya berargumen bahwa negara –melalui representasi aparatus birokrasi dan lembaga pemerintah– justru selalu terlibat aktif dalam merancang desain politik bencana lumpur Lapindo. Keterlibatan itu dapat dilacak dalam pernyataan-pernyataan yang terarsipkan dalam dokumen-dokumen publik tentang kasus Lapindo yang sudah menjadi rahasia umum dan beredar luas. Temuan-temuan tersebut saya hadirkan berdasarkan kronologis waktu dengan harapan agar pembaca yang awam dengan kasus Lapindo dapat teringat kembali pada apa saja peran negara dalam kasus Lapindo.

    ***

    SAYA MUNGKIN TERMASUK satu dari segelintir orang yang meyakini bahwa ‘kasus Lapindo’ sudah dimulai jauh sebelum lumpur panas menyembur pada bulan Mei 2006. Keyakinan semacam itu lahir dari sebuah pertanyaan kritis, bagaimana Lapindo bisa memperoleh izin pengeboran sumur eksplorasi migas di kawasan padat huni?

    Yang perlu kita ingat, industri migas, sepertinya halnya industri tambang yang lain, tergolong dalam ‘industri berbahaya’ (Benson & Kirsch 2010) yang beresiko tinggi dan oleh karenanya tidak boleh diselenggarakan dengan main-main. Pelaksanaan kegiatan industri migas harus direncanakan dan dilakukan mengikuti serangkaian prosedur yang rinci, hati-hati, dan teliti agar tidak justru berdampak fatal tidak hanya bagi manusia dan lingkungan yang berada di sekitarnya tapi juga rerantai sosial-ekologis yang lebih luas, dan khususnya bagi industri itu sendiri. Selain sudah menjadi kewajiban dari industri migas sendiri untuk menjaga keamanan dari kegiatannya yang penuh resiko tersebut, adalah tugas pemerintah untuk menjamin agar segala kegiatan industri berbahaya yang dilakukan di wilayah kedaulatannya dilakukan secara prosedural sehingga tidak mengancam warga negaranya.

    Pengawasan Pemerintah atas kegiatan industri migas tertuang dalam UU Migas No. 22/2001. Ada dua lembaga negara yang berkewajiban mengawasi kegiatan industri migas. Pertama, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM (Ditjen Migas) yang memfokuskan pengawasan pada ketaatan kegiatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 41 Ayat 1). Kedua, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang mengawasi pelaksanaan kegiatan berdasarkan kontrak kerjasama yang berlaku (Pasal 41 Ayat 2).

    Ditjen Migas – Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/075/M.PE/1992 menyebutkan bahwa setiap kontraktor migas ‘wajib menyampaikan laporan harian secara tertulis mengenai kegiatan pengeboran kepada Direktorat Jenderal [Migas, AN]’ (Pasal 9 Ayat 1). Lebih lanjut, menurut Surat Keputusan Menteri ESDM No. 1088K/20/MEM/2003, Ditjen Migas memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dan menentukan apakah kecelakaan tersebut masuk dalam kategori pidana ataukah kecelakaan operasional.

    Dalam laporan lengkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (2007a)[1] disebutkan bahwa Ditjen Migas tidak pernah menerima laporan harian pengeboran Lapindo dan tidak pernah menegur apalagi memberi sanksi pada Lapindo. Ini berarti seluruh kegiatan pengeboran Lapindo, termasuk eksplorasi Sumur Banjar Panji 1, tidak pernah berada dalam pengawasan Ditjen Migas sebagai representasi dari pemerintah. Dalam kondisi demikian, antara 30 Mei dan 2 Juni 2006, Ditjen Migas melakukan investigasi terhadap kejadian semburan gas atau uap air di sekitar Sumur Banjar Panji 1 dan wajar bila Ditjen Migas tidak berhasil menemukan penyebab kejadian tersebut. Ditjen Migas justru melimpahkan tanggung jawab mencari penyebab itu pada hasil penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).

    BP Migas – PP 42/2002 tentang BP Migas dan PP 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas mengatur kewenangan BP Migas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan Kontraktor berdasarkan ketentuan kontrak kerjasama yang berlaku. Seperti halnya yang seharusnya terjadi pada Ditjen Migas, setiap Kontraktor berkewajiban untuk mengirimkan laporan tertulis secara periodik pada BP Migas terkait pelaksanaan kontrak kerjasama (Pasal 93 Ayat 2).

    Dalam proses penyelidikan BPK (2007a), BP Migas tidak berhasil menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa lembaga tersebut telah 1) melakukan kajian terhadap program pengeboran Lapindo dan 2) memberikan persetujuan terhadap program tersebut untuk memastikan kelayakannya dan kesesuaian dengan kaidah teknik perminyakan yang baik (pemilihan tempat, kedalaman pengeboran, kekuatan rig, ukuran dan rencana pemasangan selubung pengaman). Program pengeboran hanya ditandatangani oleh Lapindo dan subkontraktor pengeboran (PT Medici Citra Nusa). BP Migas hanya terbukti melakukan pengawasan dan pengendalian sebatas biaya operasional saja.

    ***

    MASA KRITIS MENJELANG 29 Mei 2006 – Dari laporan BPK, kita dapat mengetahui bahwa Lapindo tidak secara rutin mengirimkan laporan harian pengeboran pada BP Migas. Terkait laporan pengeboran pada masa kritis menjelang semburan lumpur (20-30 Mei 2006), BP Migas hanya mendapatkan laporan harian untuk tanggal 22 dan 30 Mei saja, sementara untuk hari yang lain tidak ada laporan masuk ke BP Migas (BPK 2007a). Ketiadaan laporan harian tentunya mempersulit BP Migas untuk melakukan pengawasan atas pengeboran dan memberikan saran-saran teknis yang mungkin dapat membantu penanggulangan awal permasalahan pengeboran Sumur Banjar Panji 1.

    Laporan Neal Adams Services (Adams 2006) menyebutkan bahwa pengeboran Sumur Banjar Panji 1 dimulai sejak 9 Maret 2005 (sekitar pukul 13:30 WIB) dan berhenti pada 3 Juni 2006. Tentu, yang menarik adalah apa yang terjadi pada masa-masa kritis menjelang semburan. Laporan Adams (2006) menyebutkan bahwa saat pengeboran mencapai kedalaman 2.630m,[2] pada tanggal 22 Mei, operator mencatat terjadinya peningkatan jumlah lumpur yang keluar dari dalam sumur. Hal ini koheren dengan keterangan warga pada KomnasHAM yang menyebutkan bahwa pada 23 Mei air bercampur lumpur sudah terdeteksi keluar ke permukaan tanah dan volume semakin membesar setelah gempabumi di Jogjakarta/Jawa Tengah pada 27 Mei (KomnasHAM 2012).

    Menurut Adams (2006), keluarnya lumpur pada 22 Mei dapat terjadi akibat ketiadaan selubung pengaman (safety casing). Selubung pengaman terakhir dipasang pada kedalaman 1.096m, yang berarti dinding sumur sepanjang 1.534m tidak pada posisi terlindungi dan rawan runtuh. Dengan kondisi demikian, Lapindo tetap saja meneruskan pengeboran. Pada 27 Mei, ketika operator mengebor dari kedalaman 2.771m sampai 2.813m, sensor mendeteksi kadar H2S di dalam sumur mencapai 25ppm. Pengeboran dilanjutkan, sementara sebagian besar kru dievakuasi. Pada 28 Mei, saat pengeboran mencapai kedalaman 2.834m keluar lumpur dari lapisan berpori, retak atau berongga yang berhasil ditembus oleh mata bor yang tidak muncul ke permukaan (lost circulation). Menyikapi hal itu, operator memutuskan untuk menarik mata bor sampai kedalaman 2.591m, yang dinilai Adams (2006) sebagai keliru karena mata bor seharusnya ditinggal di dalam lubang.

    Dini hari 29 Mei, ketika mata bor mencapai kedalaman 1.294m, operator mendeteksi adanya cairan masuk ke dalam sumur (well kick) dan usaha untuk mengatasinya adalah dengan menutup sumur. Operator berhasil menutup sumur, tapi tidak berhasil menarik keluar mata bor yang macet di dalam sumur. Beberapa jam kemudian, gas H2S terdeteksi di permukaan bumi di sekitar sumur dan kru mulai dievakuasi (Adams 2006). Keesokan harinya (30 Mei), intensitas dan frekuensi gas berkurang dan pada malam harinya operator memasukkan semen ke dalam sumur dan gas semakin berkurang. Hari berikutnya (31 Mei), operator melanjutkan penyemenan dan gas terus berkurang. Namun pada 1 Juni, air bercampur lumpur terdeteksi mengalir keluar dari titik-titik di sekitar bibir sumur. Operator mulai menyelamatkan peralatan dari lokasi pengeboran. Pada 2 Juni, operator mengebor kembali sumur sampai kedalaman 1.078m dan mendeteksi lontaran-lontaran material ke bibir sumur (firing guns) dan keretakan tanah di sekitar bibir sumur. Pada hari berikutnya (3 Juni), operator mulai membongkar tiang pengeboran, dan laporan harian berakhir di sini (Adams 2006).

    Adams (2006) menilai bahwa gelembung gas yang terdeteksi pada 29 Mei adalah indikator yang jelas dari terjadinya blowout bawah tanah. Alih-alih menanganinya, Operator justru fokus pada mempertahankan sumur eksplorasi, padahal jika fokus dialihkan pada blowout, mungkin kejadian itu bisa diatasi. Sementara itu, pengeboran ulang sumur pada 2 Juni dinilai sebagai ‘berbatas tipis dengan pelanggaran kriminal karena mengancam personil, peralatan, dan lingkungan sekitar’ (Adams 2006).

    Dari rangkaian kronologis semacam ini, kita dapat menilai bahwa pernyataan perwakilan Lapindo memang betul adanya, lumpur tidak keluar langsung dari sumur karena sumur berhasil ditutup rapat. Lapindo bahkan mengklaim keberhasilan menutup sumur membuktikan bahwa lumpur ‘tidak keluar dari sumur’ (Suradi 2009), yang tentu saja adalah pernyataan yang layak dipersoalkan.

    Berita tentang semburan air dan gas di sekitar Sumur Banjar Panji 1 mulai muncul di media massa nasional sejak 30 Mei. Pada hari yang sama itu, perwakilan Lapindo menyampaikan siaran pers untuk menjelaskan kejadian tersebut (EMP 2006). Seperti disampaikan di atas, sejak 1 Juni Lapindo telah berupaya menutup sumur untuk sementara dan memindahkan rig ke tempat yang aman dan pada 4 Juni rig sudah berhasil diturunkan seluruhnya. BP Migas baru mengirimkan tim ke lokasi Sumur Banjar Panji 1 pada 5 Juni, beberapa setelah sumur berhasil ditutup (BPK 2007a). Ini berarti, tanpa sempat BP Migas memberikan bantuan teknis pada krisis yang dialami, Lapindo sudah melakukan tindakan yang dianggapnya cukup preventif untuk mengatasi krisis tersebut.

    Pada 5 Juni, salah satu pemegang andil Kontrak Kerjasama Blok Brantas Medco melayangkan surat kepada Lapindo, sang operator blok, yang membuka secara publik intensi Lapindo untuk tidak memasang selubung seperti rencana. Dalam rapat Sidoarbeberapa minggu sebelum insiden (18 Mei), Medco sudah memperingatkan Lapindo tentang hal tersebut, tapi peringatan itu diabaikan. Medco pun mengklaim, dalam suratnya itu, bahwa insiden Banjar Panji 1 terjadi akibat ‘kelalaian berat’ (gross negligence) Lapindo yang tidak mematuhi program pengeboran yang telah disepakati bersama.

    Berdasarkan pendapat beberapa analis pengeboran, keberhasilan operator menutup sumur berdampak pada meningkatnya tekanan di bagian dalam sumur dan menyebabkan keretakan lapisan tanah di sekitarnya, yang diperparah dengan usaha operator untuk melakukan pengeboran ulang pada 2 Juni (bdk.: Adams 2006, Davies et al. 2008, 2010; Rubiandini dalam Tim Walhi 2008, Wilson 2006). Bahkan diakui oleh mandor pengeboran Sumur Banjar Panji 1, Syahdun, kebocoran gas yang terjadi pada 29 Mei 2006 disebabkan oleh runtuhnya dinding sumur bagian dalam (Saputra 2006). Proses semacam itulah yang mengakibatkan menyemburnya gas, air dan lumpur dari titik-titik di sekitar bibir Sumur Banjar Panji 1 yang waktu itu sudah tertutup rapat. Keretakan dan runtuhnya lapisan tanah di sekitar dinding sumur dapat terjadi akibat tidak dipasangnya selubung pengaman yang memang berfungsi untuk menahan tekanan dalam sumur.

    Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)
    Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)

    ***

    DARI URAIAN TERSEBUT dapat kita lihat bahwa negara (c.q., Ditjen Migas dan BP Migas) berperan penting dalam memberikan izin kegiatan industri migas tanpa pengawasan yang ketat padahal kegiatan semacam itu termasuk dalam kategori berbahaya dan penuh resiko. Lebih lanjut, dalam ringkasan eksekutifnya, BPK (2007b) menyebutkan tentang peran BP Migas dalam pemberian izin lokasi pengeboran oleh Pemkab Sidoarjo. Ada dua hal patut kita catat terkait izin lokasi itu. Pertama, lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 (dan juga sumur-sumur Lapindo lainnya) tidak sesuai dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No 16/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo. Perda tersebut mengatur bahwa lokasi tempat sumur-sumur itu untuk kawasan pertanian, permukiman, dan perindustrian. Tidak disebutkan sama sekali tentang pertambangan, apalagi migas.

    Kedua, mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku (Instruksi Presiden No 1/1976 dan UU Pertambangan No 11/1967), lokasi pengeboran sumur migas harus berada sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, permukiman, atau objek yang mudah terbakar. Faktanya, Sumur Banjar Panji 1 berada 5 (lima) meter dari permukiman terdekat, 37 meter dari jalan tol (Surabaya-Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Sekalipun mengaku melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, Pemkab Sidoarjo berdalih pemberian izin lokasi didasarkan atas pertimbangan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas (BPK 2007b).

    Peran aktif aparatur negara juga sampai ke level kepala desa (lurah) terutama untuk mendapatkan lahan lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo, Lapindo. Sebelum mendapatkan lokasi pengeboran itu, di akhir 2005 kehadiran Lapindo ditolak warga di dua desa, Siring dan Jatirejo, di Kecamatan Porong. Untuk memudahkan mendapatkan lokasi, Lapindo pun dibantu oleh Lurah Renokenongo, Mahmudatul Fatchiah, yang menyampaikan pada warganya tentang kebutuhan lahan untuk usaha peternakan, bukan untuk pengeboran sumur gas alam (Batubara & Utomo 2012). Pada Maret 2006, Lapindo berhasil mendapatkan tanah di wilayah Desa Renokenongo dengan harga berkisar antara Rp 60.000 sampai Rp 125.000 per meter persegi. Berdasarkan pengakuan beberapa warga, uang pembebasan lahan diperoleh dari Lurah Renokenongo, bukan dari Lapindo (KomnasHAM 2012). Saat itu, tidak satupun direksi Lapindo yang berhadapan langsung dengan warga dalam proses pembebasan lahan tersebut. Bahkan si pemilik tanah, saat itu, tidak memperoleh informasi yang jelas tentang siapa yang akan mengelola tanah mereka dan untuk apa.

    Dengan demikian, kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas. (bersambung)

    [1] Untuk memudahkan pengutipan, saya memisahkan ‘laporan lengkap’ dengan ‘ringkasan eksekutif’ dari laporan BPK tersebut.

    [2] Laporan Neal Adams menggunakan skala ‘kaki’ (feet), untuk memudahkan pembaca Indonesia saya menggunakan padanan dalam skala ‘meter’ dengan pembulatan ke atas/bawah menghindari koma.

  • Talangan APBN Buat Lapindo

    Talangan APBN Buat Lapindo

    Ada satu keputusan amat penting dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 antara DPR dan pemerintah: dana talangan Rp 781,7 miliar ke PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Anggaran itu untuk menalangi jual-beli tanah dan aset antara MLJ dan warga korban lumpur Lapindo.

    Jual-beli, bukan ganti rugi, merupakan skema yang sejak awal diinisiasi MLJ. Sampai saat ini sekitar 20 persen dari total area terkena dampak lumpur belum dibayar MLJ. Perusahaan mengklaim nyaris bangkrut dan tak mampu membayar (baca: membeli) tanah dan aset warga. Pada 2014, MLJ meminta dana talangan dari pemerintah. Di era Presiden SBY, dana talangan tak dikabulkan. Saat Presiden Jokowi bertakhta, permintaan itu mulus.

    Ini pertama kalinya anggaran negara (APBN) dialokasikan untuk menalangi ganti rugi korporasi swasta. Berbagai spekulasi muncul. Dalam perspektif positif, kebijakan ini merupakan pemenuhan janji Presiden Jokowi saat kampanye pemilihan presiden. Poin pertama Nawa Cita Jokowi-JK ditegaskan: “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.” Dana talangan ini sebagai akad “negara hadir”, seperti kehendak korban lumpur Lapindo. Selama delapan tahun mereka bagai menunggu “Godot” tanpa kejelasan mendapatkan hak-haknya dari MLJ.

    Biasanya, pembahasan anggaran di DPR alot dan bertele-tele. Sedangkan dana talangan ini mulus. Jika kemudian ada penjelasan terang dari Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto bahwa “anggaran itu politis”, segala spekulasi terjawab sudah.

    Padahal, di APBN-P 2015, dana talangan untuk anak perusahaan Grup Bakrie itu masuk dalam bagian pembiayaan. Artinya, skemanya adalah utang-piutang antara MLJ dan pemerintah. Masalahnya, saat anggaran disetujui, skema utang-piutang sebagaimana lazimnya belum ditentukan dan disepakati: berapa bunga, tenor, serta nilai agunan.

    Soal agunan, misalnya, berapa nilai aset MLJ? Hadiyanto menjamin nilai aset MLJ, termasuk lahan yang terendam lumpur, minimal Rp 2 triliun. Nilai agunan itu belum valid karena masih dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Jika di kemudian hari MLJ tidak mampu membayar utang, lalu negara mengambil alih dan ternyata nilai agunan kurang, siapa yang bertanggung jawab?

    Presiden Jokowi tentu wajib memastikan “negara selalu hadir” sebagai pelindung warga. Dalam kasus lumpur Lapindo, kehadiran negara mutlak adanya (Mustasya, 2007). Karena, pertama, kerugian dan hilangnya hak milik warga sudah terjadi dan begitu nyata. Kedua, kekuatan tawar MLJ dengan warga bersifat asimetris. Dalam kondisi seperti itu, negosiasi bipartit antara MLJ dan warga mustahil berlangsung adil. Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan oleh wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu yang abai akan prinsip kehati-hatian.

    Meski demikian, sebagai bentuk utang-piutang, tata kelolanya harus jelas. Tujuannya ada dua. Pertama, agar tak timbul masalah di kemudian hari. Kedua, dana talangan itu berasal dari APBN, artinya dari pajak warga. Warga berhak dan harus tahu bagaimana skema utang-piutang itu disepakati. Dengan tenor, bunga, dan nilai agunan yang jelas, publik bisa berpartisipasi untuk mengawasi agar tidak terjadi “perselingkuhan” di kemudian hari.

    Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

  • Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi

    Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi

    Oleh Anton Novenanto

    PENULISAN ARTIKEL INI dipicu oleh sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan seorang kawan setelah membaca dua artikel saya yang dimuat di korbanlumpur.info beberapa waktu lalu (Novenanto 2015a, 2015b). Pertanyaan itu adalah, ‘darimanakah nominal dana talangan untuk Lapindo sebesar Rp 781 milyar itu bisa muncul dalam usulan APBN-P 2015?’

    Jawaban sederhana atas pertanyaan itu, tentunya, adalah ‘dari sisa kewajiban Lapindo membayar aset korban lumpur dalam peta area terdampak 22 Maret 2007’. Akan tetapi, nalar kritis rupanya tak berhenti di situ. Pertanyaan demi pertanyaan terus meluncur semakin deras. Berapakah total aset warga-korban? Adakah warga-korban yang sudah lunas sepenuhnya? Jika ya, berapa? Lalu, berapakah pula yang belum lunas? Apakah ada yang belum dibayar sama sekali? Seluruh pertanyaan itu menuntut suatu penelusuran elaboratif yang lebih serius.

    Dalam tulisan sebelumnya, saya berada pada suatu pendapat bahwa dana talangan untuk Lapindo baru menyentuh sebagian kecil dari seluruh korban lumpur Lapindo. Akan tetapi, saya belum pernah merinci siapa sajakah yang ‘sebagian kecil’ itu. Sebagai usaha untuk menjawab beberapa pertanyaan yang muncul belakangan itu, saya pun melakukan penelusuran ulang beberapa dokumen lawas, khususnya yang terkait posisi keuangan Lapindo dalam usahanya membayar kewajiban membeli aset (tanah dan bangunan) dari warga-korban.

    Alih-alih menemukan yang ‘sebagian kecil’ itu, hasil penelusuran saya justru menemukan beberapa kejanggalan terkait strategi politik-ekonomi kasus Lapindo, khususnya yang berhubungan dengan reduksi bertahap kewajiban Lapindo pada warga-korban. Kejanggalan-kejanggalan itu pun memperkuat suatu pendapat bagaimana keputusan politik yang diambil pemerintah terkait kasus Lapindo tidak lebih dari alat legitimasi bagi kepentingan politik-ekonomi perusahaan, yaitu menghindar dari kewajiban atas kasus lumpur Lapindo (Schiller et al. 2008), dan lagi-lagi rakyat Indonesialah yang harus menanggung kerugian terbesar dari keputusan pemerintah yang menguntungkan korporasi. Pada akhirnya, keputusan Dana Talangan untuk Lapindo merupakan suatu momentum pengambilalihan seluruh tanggung jawab atas bencana lumpur Lapindo dari Lapindo ke tangan pemerintah.

    ***

    KEWAJIBAN LAPINDO PADA warga-korban lumpur di Porong mengacu pada Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dikeluarkan tanggal 8 April 2007.

    Ayat 1 Pasal 15 Perpres 14/2007 tertulis:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat [miring ditambahkan, AN] yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah [miring ditambahkan, AN] yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.

    Berdasarkan butir tersebut, pemerintah memerintahkan Lapindo untuk membeli aset (tanah dan bangunan) warga. Akan tetapi, terdapat satu—di antara beragam—kejanggalan, yaitu ketiadaan nominal nilai tukar aset yang harus dibayarkan oleh Lapindo pada warga-korban. Hanya disebutkan bahwa pembayaran dilakukan seperti yang dilakukan terhadap peta area terdampak 4 Desember 2006 (selanjutnya, ‘Peta 4 Desember’). Klausul ini tertulis jelas pada Ayat 2 Pasal 15:

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006 [miring ditambahkan, AN], 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka [sic] dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis [miring ditambahkan, AN].

    Peta 4 Desember merupakan lampiran dari surat Lapindo kepada Timnas tanggal 4 Desember 2006 (selanjutnya, ‘Surat 4 Desember’). Melalui surat itu, Lapindo menyatakan kesanggupannya untuk membayar warga di empat desa sebagai ‘bentuk kepedulian sosial dan tanggung jawab moral’ perusahaan. Disebutkan bahwa nilai tukar aset adalah sebagai berikut: Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah pekarangan, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan, dan Rp 120 ribu per meter persegi tanah sawah. Tertulis dalam surat itu, ‘harga tersebut adalah kemampuan maksimal yang dapat kami [Lapindo, AN] tawarkan’.

    Jika kita membaca teliti isi Surat 4 Desember dan membandingkannya dengan butir-butir Pasal 15 Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan beberapa persamaan. Misalnya, dalam Surat 4 Desember dituliskan ‘jual-beli dilakukan dengan akta jual-beli dengan mendasarkan kepada bukti kepemilikan yang sah atas tanah,’ bandingkan dengan Ayat 1 Pasal 15 terkutip di atas. Contoh lain, Surat 4 Desember menyebutkan, ‘pelaksanaan pembayaran dilakukan sebelum berakhirnya masa sewa 2 (dua) tahun,’ bandingkan dengan Ayat 2 Pasal 15 terkutip di atas.

    Sebuah klausul penting dalam Surat 4 Desember namun tidak muncul dalam Perpres 14/2007 adalah opsi relokasi. Bila kita hanya mengacu pada Perpres 14/2007 saja, seolah-olah jual-beli adalah satu-satunya jalan keluar bagi masalah sosial yang dihadapi korban lumpur Lapindo. Dalam Surat 4 Desember itu, Lapindo menawarkan untuk merelokasi warga-korban ke ‘Kawasan Sidoarjo Baru’. Di kawasan itu Lapindo berjanji akan disediakan juga fasilitas umum, seperti sekolah, puskesmas, fasilitas olahraga, mesjid, balai desa dan lahan pemakaman.

    Surat 4 Desember memicu reaksi dari warga yang wilayahnya sudah terendam lumpur Lapindo tapi tidak dicantumkan dalam Peta 4 Desember. Mereka adalah warga yang baru terkena dampak luapan lumpur Lapindo pasca ledakan pipa Pertamina, 22 November 2006. Mereka menghendaki agar Lapindo juga turut bertanggung jawab atas kerugian yang dideritanya. Bersamaan dengan itu, sebagian besar korban lain menganggap Surat 4 Desember tidak memiliki ikatan hukum yang kuat dan oleh karenanya pemerintah perlu menerbitkan payung hukum yang mengatur proses jual-beli aset warga-korban oleh Lapindo. Dalam konteks inilah, pemerintah melakukan revisi peta area terdampak dan menerbitkan peta baru yang dirilis tanggal 22 Maret 2007 (selanjutnya, ‘Peta 22 Maret’). Menyusul kemudian penerbitan Perpres 14/2007 yang mengacu pada peta tersebut sebagai dasar penghitungan kewajiban yang harus dibayarkan Lapindo pada warga-korban.

    ***

    HASIL PENELUSURAN DOKUMEN yang saya lakukan menunjukkan bahwa basis data penghitungan nilai jual-beli aset, yang kemudian diklaim sebagai ‘kompensasi’ pada korban, adalah jumlah berkas yang diklaimkan ke Lapindo. Basis data semacam ini meniadakan faktor manusia, yang dihitung sebagai ‘korban’ adalah tanah dan bangunan yang terendam lumpur Lapindo mengingat atas dasar itulah nilai ‘kompensasi’ ditentukan. ‘Kompensasi’ atas bencana lumpur Lapindo tidak mengindahkan faktor manusia dan hanya mengutamakan luas/fungsi tanah dan bangunan yang hilang. Bahkan, harta-benda lain yang turut tenggelam juga tidak pernah dianggap sebagai sebuah kerugian yang harus diganti oleh Lapindo. Oleh karena itu, untuk berpikir tentang kerugian atas hilangnya jalinan sosial-budaya masyarakat dan kenangan atas segala yang-pernah-Ada masih jauh dalam benak para pengambil kebijakan di negeri ini.

    Dalam praktiknya, mekanisme ‘jual-beli’ semacam itu memunculkan beragam ketidakadilan, namun hal itu tidak menjadi bahasan utama tulisan ini karena data tentang itu perlu mengacu pada temuan-temuan di lapangan. Penelusuran dokumen hanya bertujuan mencari kalkulasi ekonomis dan dengan begitu kita dapat membongkar sebagian kepentingan politis yang melatarbelakanginya.

    Untuk melakukan kewajibannya pada warga, Lapindo mendirikan perusahaan baru bernama Minarak Lapindo Jaya (selanjutnya, ‘Minarak’). Dari Laporan Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) (Richard 2011: 90–94), kita dapat mengetahui bahwa sampai Januari 2011 total berkas klaim yang masuk ke Minarak adalah 13.237 berkas dengan total nilai tukar aset mencapai Rp 4.056,4 milyar (lihat Tabel 1). Dari seluruh berkas itu 79 berkas belum lolos verifikasi oleh BPLS terdiri dari 12 berkas yang masih dalam proses verifikasi, 64 berkas masih sengketa kepemilikan atau jenis aset (tanah sawah, tanah pekarangan atau bangunan), dan 3 berkas di tangan polisi. Nilai tukar ke-79 berkas itu mencapai Rp 257,3 milyar. Dengan demikian, sampai Januari 2011 terdapat 13.158 berkas yang sudah lolos verifikasi BPLS dan dari jumlah itu ada 15 berkas yang belum terikat oleh Ikatan Jual-Beli (IJB) dengan Minarak. Ini berarti terdapat 13.143 berkas yang sudah terikat IJB dengan Minarak. Nilai tukar dari berkas itu sebesar Rp 3.799,2 milyar.

    Tabel 1

    Bila kita melihat kembali Perpres 14/2007, pembayaran pada warga dilakukan secara tunai dan bertahap dengan skema 20 persen di muka dan sisanya (80 persen) dibayarkan ‘paling lambat sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis’. Dalam praktiknya, hanya uang muka 20 persen dibayarkan seluruhnya secara tunai karena begitu kita masuk pada laporan pembayaran sisa 80 persen kita akan menemukan bahwa Minarak tidak membayar seluruh warga dengan cara tunai. Dari total uang muka 20 persen dari nilai tukar 13.143 berkas IJB yang mencapai Rp 725,8 milyar, 7 (tujuh) berkas belum dibayarkan (senilai Rp 0,3 milyar) dan sisanya 13.136 berkas sudah dibayar lunas (senilai Rp 725,6 milyar).

    Dalam menentukan pembayaran sisa 80 persen Minarak membedakan berkas ‘non-sertifikat’ dengan berkas ‘sertifikat’. Yang dimaksud dengan berkas ‘sertifikat’ adalah berkas yang dilengkapi surat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), seperti sertifikat hak milik atau hak guna. Sementara berkas ‘non-sertifikat’ merujuk pada berkas yang tidak dilengkapi surat-surat yang dikeluarkan oleh BPN. Hal ini dimungkinkan terjadi karena mayoritas warga-korban tidak atau belum mengurus sertifikat tanah mereka ke BPN. Seperti kebanyakan penduduk di Indonesia, khususnya di Jawa, selama ini mereka hanya mengandalkan surat ekstra-legal yang dikeluarkan oleh lurah ataupun camat, seperti Letter C, Pethok D, ataupun Surat Gogol. Keberadaan surat-surat semacam ini merupakan dampak dari pemberlakukan sistem agraria yang dualistik di Indonesia dan merupakan sumber utama kemunculan konflik agraria yang jamak terjadi. Ketiadaan sertifikat tanah dari BPN menyebabkan kelemahan posisi tawar warga-korban yang hanya mengandalkan surat-surat ekstra-legal tersebut. Dari total 94 berkas yang bermasalah, misalnya, 77 berkas adalah berkas ‘non-sertifikat’ dengan nilai tukar sekitar Rp 241,9 milyar (lihat Tabel 2).

    Mengacu pada peraturan perundangan tentang jual-beli tanah di republik ini, Minarak hanya bersedia membayar tunai berkas ‘sertifikat’ dan untuk berkas ‘non-sertifikat’ Minarak menerapkan opsi relokasi (yang populer di kalangan korban dengan istilah ‘cash and resettlement’ yaitu menukar aset warga-korban dengan tanah dan/atau rumah baru di Kahuripan Nirvana Village). Kahuripan Nirvana Village (selanjutnya, ‘KNV’) dikelola oleh salah satu unit usaha Bakrieland, Mutiara Masyhur Sejahtera (selanjutnya, ‘MMS’). Peralihan kewajiban Minarak pada MMS itu dituangkan dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) No. AGR-041/LGL/2007 tertanggal 21 Maret 2007 (lih. Sari 2014: 4), yang ini berarti terjadi persis sehari sebelum Peta 22 Maret dirilis.

    Tabel 2

    ***

    KEJANGGALAN PERTAMA YANG patut kita catat adalah menyangkut ketiadaan pengaturan opsi relokasi (atau cash and resettlement) dalam Perpres 14/2007 yang terbit pada April 2007. Perpres hanya menyebutkan kewajiban Lapindo untuk membeli aset warga yang dilaksanakan dengan mekanisme ‘akta jual-beli kepemilikan tanah […] yang disahkan oleh Pemerintah’, yang membawa kita pada kejanggalan kedua.

    Seperti pernah dibahas sebelumnya (Gustomy 2012; Kurniawan 2012), proses jual-beli antara warga dan perusahaan merupakan sesuatu yang janggal karena bertentangan dengan UU Pokok Agraria No 5/1960 yang tidak mengizinkan perusahaan sebagai subjek hukum yang berhak untuk mendapatkan hak milik atas tanah. Perpres tersebut tidak ‘mengingat’ UU Pokok Agraria No 5/1960 sebagai landasan hukumnya tapi justru berpegang pada UU Tata Ruang No 24/1992, UU Lingkungan Hidup No 23/1997, UU Migas No 22/2001, dan UU Pemerintahan Daerah No 32/2004. Ketiadaan UU Pokok Agraria sebagai landasan hukum Perpres 14/2007 membuka peluang atas pelbagai macam tafsir hukum dan sosial atas apa yang dimaksudkan dengan perintah ‘jual-beli’. Juga tidak dijelaskan status dan peruntukan objek tanah yang sudah dibeli oleh Lapindo dari warga-korban. Padahal, mengacu pada UU Pokok Agraria segala praktik jual-beli tanah yang melibatkan perusahaan akan batal secara hukum dan status tanah akan otomatis menjadi tanah negara. Dari sebab itu, Perpres 14/2007 yang justru menjadi dasar bagi praktik jual-beli antara warga-korban dan perusahaan (Lapindo) adalah sesuatu yang janggal.

    Pada 24 Maret 2008 atau setahun setelah Peta 22 Maret diumumkan, BPN pusat menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo (selanjutnya, ‘Juklak BPN’) untuk mengatur secara rinci alur mekanisme jual-beli aset warga-korban dengan Lapindo. Menurut juklak tersebut, terdapat 4 (empat) mekanisme jual-beli aset antara warga-korban dan Lapindo yang didasarkan pada jenis surat atas tanah, yaitu tanah dengan sertifikat ‘hak milik’, tanah dengan surat ‘Yasan/Letter C/Petok D/Gogol’, tanah dengan sertifikat ‘hak guna bangunan (HGB)’, dan tanah pemerintah pusat/daerah. Klasifikasi mekanisme jual-beli tanah semacam itu mengacu pada UU Pokok Agraria. Dalam setiap bagan alir mekanisme jual-beli disebutkan bahwa setelah IJB dibuat status tanah akan menjadi ‘tanah negara’, Lapindo hanya akan mendapatkan ‘hak guna bangunan’ di atas tanah negara itu.

    Akan tetapi, apa lacur sebagian besar warga-korban sudah mengikatkan diri dengan Minarak sebelum Juklak BPN itu dirilis. Saya menduga, Juklak BPN itu dikeluarkan sebagai respons atas pelbagai reaksi sosial dari warga-korban yang ditekan oleh Minarak untuk menerima opsi relokasi ke KNV. Padahal sebagian besar dari mereka menghendaki pembayaran secara tunai, 80 persen sekaligus, sesuai dengan yang disebutkan dalam Perpres 14/2007. Lapindo/Minarak, dengan dalih terkena dampak krisis ekonomi global, menyatakan tidak sanggup untuk membayar kewajibannya tersebut pada warga-korban secara tunai sekaligus.

    Strategi Minarak untuk menolak membayarkan berkas ‘non-sertifikat’ secara tunai merupakan sebuah strategi jitu untuk melakukan penghematan uang belanja perusahaan dibandingkan jika harus membayar tunai. Perhitungan kasar Gustomy (2012: 80) menunjukkan bahwa praktik tukar guling semacam itu akan menghemat pengeluaran Minarak paling sedikit Rp 750.000 per meter persegi tanah pekarangan. Sayang kita tidak bisa mendapatkan data rinci tentang luas tanah sawah, tanah pekarangan dan bangunan yang menjadi objek transaksi. Bila kita menghitung secara jeli, jumlah berkas ‘sertifikat’ (8.190 berkas) memang lebih banyak dibandingkan jumlah berkas ‘non-sertifikat’ (5.047 berkas), namun nilai tukar berkas ‘sertifikat’ lebih kecil. Berkas ‘sertifikat’ memiliki nilai tukar sekitar Rp 1.704,1 milyar, sedangkan nilai tukar berkas ‘non-sertifikat’ mencapai Rp 2.352,3 milyar (Tabel 2). Dari besaran nilai tukar tersebut, kita hanya dapat membayangkan mengapa Minarak berusaha semaksimal mungkin untuk memaksakan opsi relokasi pada korban dengan berkas ‘non-sertifikat’ dengan melihat berapa rupiah yang dapat dihemat dari opsi tersebut.

    Mengacu pada UU Pokok Agraria No 5/1960 dan Juklak BPN seluruh lahan yang tercantum dalam PAT 22 Maret statusnya akan menjadi tanah negara dan Lapindo hanya dapat mengajukan permohonan ‘hak guna bangunan (HGB)’ di atas tanah negara tersebut. Oleh karena itu, kejanggalan ketiga, atas dasar apakah bila nantinya Pemerintah memberikan HGB pada Lapindo. Yang patut kita ingat, Lapindo adalah perusahaan migas dan segala perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk Lapindo tentunya selalu terkait dengan kegiatan industri, eksplorasi atau eksploitasi, migas. Jika betul demikian, maka Perpres 14/2007 merupakan legitimasi hukum bagi Lapindo untuk mendapatkan lahan tersebut untuk kepentingan perusahaan. Apalagi, di antara peraturan perundangan yang melatarbelakangi penerbitan Perpres 14/2007 terdapat UU Migas yang mengatur tentang pembebasan lahan yang melibatkan perusahaan migas, seperti diatur lebih lanjut dalam PP No 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

    ***

    KEJANGGALAN KEEMPAT TERKAIT kewajiban Lapindo berdasarkan Perpres 14/2007 terlihat bila kita membandingkan nilai tukar total berkas klaim bulan Januari 2011 dan Desember 2013. Mengandalkan data yang bisa kita peroleh dari website BPLS, saya menemukan penurunan total nilai tukar aset yang menjadi kewajiban Lapindo dari Rp 4,06 trilyun menjadi Rp 3,83 trilyun (lihat Tabel 3). Kemanakah larinya kewajiban Lapindo sekitar Rp 200an milyar tersebut?

    Tabel 3

    Tidak banyak publik yang tahu bahwa pada 21 Desember 2010 Menteri Keuangan Agus Martowardojo menerbitkan sebuah Peraturan Menteri Keuangan No 239/PKM.011/2010 tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang Diterima atau Diperoleh Masyarakat yang Terkena Luapan Lumpur Sidoarjo untuk Tahun Anggaran 2010 (selanjutnya, ‘Permenkeu 239/2010’). Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa proses transaksi tanah dan bangunan antara warga-korban dan Minarak dikenai pajak penghasilan dan pajak tersebut ditanggung oleh pemerintah dengan pagu anggaran dalam APBN 2010 sebesar Rp 205 milyar. Jika nilai tersebut ditambahkan dengan nilai total aset posisi Desember 2013 (Rp 3,83 trilyun), maka kita akan menemukan angka yang mendekati nilai total aset posisi Januari 2011 (Rp 4,06 trilyun). Yang perlu diingat, dana Rp 205 milyar itu adalah pagu yang dianggarkan oleh pemerintah dan artinya nilai itu bisa berkurang menyesuaikan dengan kondisi riil.

    Masih mengacu pada Permekeu 239/2010 tersebut, Minarak memiliki kewajiban untuk mengirimkan laporan keuangan bulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak mengenai data transaksi aset terkait kasus Lapindo. Jika kewajiban itu betul dilaksanakan, maka pemerintah (c.q., Dirjen Pajak) seharusnya sudah memegang rincian laporan keuangan transaksi aset yang tercantum dalam Peta 22 Maret. Tentunya, kita membutuhkan dokumen tersebut terkait rincian transaksi aset antara warga-korban dengan Minarak. Akan tetapi, Permenkeu 239/2010 sudah cukup untuk menunjukkan kejanggalan kelima, tentang bagaimana Pemerintah menanggung beban pajak penghasilan dari transaksi aset dalam Peta 22 Maret.

    Jika kita mengacu pada peraturan perundangan yang ada, keputusan ‘jual-beli’ memang mewajibkan adanya pajak penghasilan. Dalam transaksi ‘normal’ pajak ditanggung oleh kedua belah pihak sama rata, kecuali disepakati berbeda. Dalam kasus Lapindo, sangat tidak etis tentu bila pajak itu dibebankan pada warga-korban dan oleh karena itu perusahaan sebagai pembeli yang berkewajiban membayarnya. Akan tetapi, alih-alih dibayarkan, nilai pajak sebesar Rp 205 milyar itu pun harus dibebankan pada APBN dan ini berarti, lagi-lagi, rakyatlah yang harus menanggungnya.

    ***

    DI BALIK HIRUK-PIKUK awal tahun seputar polemik KPK vs. kepolisian, pemerintah berhasil meloloskan satu klausul tambahan dalam APBN-P 2015, yaitu Dana Talangan untuk Lapindo, tanpa banyak perdebatan di parlemen. Besaran Dana Talangan untuk Lapindo/Minarak adalah senilai Rp 781.688.212.000,00, atau sebesar kekurangan kewajiban keuangan Minarak per Desember 2013. Artinya, pada tahun 2014 lalu Minarak sudah tidak lagi membayarkan sisa kewajiban mereka pada warga-korban. Mengacu pada laporan keuangan per Desember 2013, kita akan mendapatkan informasi bahwa nilai yang belum terbayarkan tersebut terdiri dari: 1) 54 berkas yang belum dibayarkan sama sekali senilai Rp 19,9 milyar; 3.174 berkas yang sudah lunas 20 persen dan sudah dicicil sebagian sisa 80 persen tapi masih belum lunas sebesar Rp 692,07 milyar; dan 3) 114 berkas yang baru dibayarkan 20 persen saja dan belum mendapatkan sisa 80 persen sama sekali senilai Rp 69,72 milyar (Tabel 3).

    Dari data yang ada itu, kita dapat menghitung tunggakan terbesar Minarak adalah pada kelompok cash and carry yang menyisakan 3.174 berkas belum lunas. Berdasarkan data Januari 2011 (Tabel 1), total kelompok cash and carry adalah 7.040 berkas. Ini berarti 3.866 berkas dari 9.895 berkas yang sudah lunas seluruhnya adalah dari kelompok ini dan sisanya (6.029 berkas) berasal dari kelompok cash and resettlement. Akan tetapi, berdasarkan data Januari 2011, total berkas yang ditukar guling mencapai 5.907 berkas, berarti ada selisih 122 berkas. Kita tidak tahu ke-122 berkas ini, terdiri dari 8 berkas sudah IJB tapi belum dibayar sekali dan 114 berkas baru dibayar uang mukanya saja (lihat Tabel 3), masuk dalam kelompok yang mana: cash and carry atau cash and resettlement. Dugaan saya, ke-122 berkas itu adalah berkas ‘non-sertifikat’ yang pemiliknya menghendaki pembayaran secara cash and carry, padahal Minarak hanya bersedia menukarnya dengan aset di KNV.

    Dengan demikian, penganggaran Dana Talangan untuk Lapindo tidak hanya menandai proses pengambilalihan kewajiban Lapindo pada sebagian warga-korban akan tetapi juga menandai proses pelimpahan segala potensi masalah tanah yang sudah dan akan muncul. Dalam dokumen Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 yang disusun Pemerintah, kita dapat menemukan satu paragraf (5.2.1.2.3) yang berbunyi:

    Pemerintah akan mengalokasikan dana talangan untuk PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya disebabkan oleh PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya tidak mampu membayar sisa pelunasan ganti rugi kepada para korban lumpur lapindo [sic]. PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo jaya [sic] akan menyiapkan 13.237 berkas dengan nominal Rp 3,3 trilyun yang akan digunakan sebagai jaminan atas dana talangan tersebut [miring ditambahkan, AN]. Dana talangan Pemerintah tersebut akan dilunasi oleh PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya dalam waktu empat tahun. Apabila PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya tidak dapat membayar maka Pemerintah akan memperoleh jaminan tersebut [miring ditambahkan, AN].

    Keputusan semacam ini memunculkan kejanggalan keenam. Dana Talangan untuk Lapindo masuk dalam pos ‘Pembiayaan Nonutang’. Mengacu pada UU Keuangan Negara No 17/2003, pos ‘pembiayaan’ dalam APBN adalah ‘setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya’ (pasal 1, butir 17). Dan, menurut PP No 45/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN, yang termasuk dalam ‘pembiayaan non-utang’ adalah ‘penjualan aset pemerintah, privatisasi BUMN, dan pengembalian penerusan pinjaman dan pembiayaan non-utang lainnya’ (pasal 134, ayat 2). Jika kita memproyeksikan skenario terburuk yang terjadi, yaitu Dana Talangan tersebut tidak dikembalikan oleh Lapindo/Minarak dalam kurun waktu empat tahun, maka kemungkinan terbesar yang dapat dilakukan Pemerintah sebagai usahanya mengembalikan uang rakyat itu adalah melakukan penjualan aset berupa lahan seluas Peta 22 Maret. Dengan demikian, yang harus repot dalam kasus Lapindo bukan lagi Lapindo melainkan Pemerintah. Ini membawa kita pada kejanggalan terakhir yang dibahas dalam artikel ini, kejanggalan ketujuh.

    Selama ini, pengetahuan yang menyebar di masyarakat adalah Perpres 14/2007 sebagai penanda pembagian tanggung jawab antara Lapindo dan Pemerintah (cf. Batubara & Utomo 2012; McMichael 2009; Schiller et al. 2008). Lapindo bertanggung jawab atas wilayah di dalam Peta 22 Maret, Pemerintah bertanggung jawab atas wilayah di luar Peta 22 Maret. Keputusan Pemerintah untuk memberikan Dana Talangan untuk Lapindo melalui APBN 2015 dengan jaminan 13.237 berkas lahan dalam Peta 22 Maret yang selama ini dipegang oleh Lapindo menandakan pengambilalihan seluruh tanggung jawab atas korban lumpur Lapindo ke tangan Pemerintah dan ini berarti meniadakan sama sekali tanggung jawab Lapindo dalam kasus ini.

    Tentunya masih banyak kejanggalan lain yang harus diungkap, khususnya terkait dugaan korupsi. Ketika trilyunan uang dikeluarkan di suatu lokasi tanpa adanya transparansi anggaran, sangat potensial untuk dijadikan ajang korupsi, terlepas bahwa ini adalah kasus bencana. Artikel ini hanyalah satu usaha mengurai beberapa kejanggalan terkait dengan politik-ekonomi keputusan pemerintah atas kasus Lapindo; itu pun masih hanya sebatas pada persoalan jual-beli aset warga-korban yang termasuk dalam Peta 22 Maret. Melalui artikel ini, saya hanya menawarkan satu lagi potongan mosaik kasus Lapindo sebagai pelengkap potongan-potongan sebelumnya dan berharap dapat memicu usaha pencarian potongan-potongan yang lain lagi yang masih tersembunyi (atau yang memang sengaja disembunyikan?).

    Heidelberg, 2 Februari 2015

    Referensi:

    Batubara, B. & P. W. Utomo 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo (ed H. Prasetia). Yogyakarta: INSISTPress.

    Gustomy, R. 2012. Menjinakkan negara, menundukkan masyarakat: menelusuri jejak strategi kuasa PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. In Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (ed) H. Prasetia, 31–97. Depok: Yayasan Desantara.

    Kurniawan, J. A. 2012. Lumpur Lapindo: sebuah potret mitos tentang negara hukum Indonesia. In Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (ed) H. Prasetia, 99–148. Jakarta: Yayasan Desantara.

    McMichael, H. 2009. The Lapindo mudflow disaster: environmental, infrastructure and economic impact. Bulletin of Indonesian Economic Studies 45, 73–83.

    Novenanto, A. 2015a. Menyoal dana talangan untuk Lapindo (http://korbanlumpur.info/2015/01/menyoal-dana-talangan-untuk-lapindo).

    ––––––– 2015b. Masih menyoal dana talangan untuk Lapindo: Etika (http://korbanlumpur.info/2015/01/masih-menyoal-dana-talangan-untuk-lapindo-etika).

    Richard, J. R. 2011. Report into the Past, Present and Future Social Impacts of Lumpur Sidoarjo. Humanitus Sidoarjo Fund.

    Sari, R. A. 2014. Problematik yuridis pendaftaran tanah bagi warga eks-korban lumpur Sidoarjo yang memilih skema “cash and resettlement” di Perumahan Kahuripan Nirvana Village, Sidoarjo. Jurnal Novum 2, 1–12.

    Schiller, J., A. Lucas & P. Sulistiyanto 2008. Learning from the East Java mudflow: disaster politics in Indonesia. Indonesia 85, 51–77.

  • Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto

    (Artikel sebelumnya: Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo)

    MENJELANG BERAKHIRNYA TAHUN 2014, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengambil sebuah keputusan penuh resiko. Rapat kabinet telah memutuskan untuk memberikan dana talangan bagi Lapindo yang gagal memenuhi kewajiban untuk melunasi sisa pembayaran jual-beli tanah dan bangunan yang berada di wilayah terdampak lumpur Lapindo.

    Rencana dana talangan untuk Lapindo merupakan salah satu butir kontrak politik Jokowi dengan korban Lapindo, pemilik tanah dan bangunan yang telah menunggu bertahun-tahun dalam ketidakpastian tentang kapan Lapindo akan melunasi sisa kewajibannya pada mereka. Kontrak politik itu disepakati dalam kampanye Jokowi di atas tanggul lumpur. Kebetulan kampanye mengambil waktu yang bersamaan dengan hari peringatan delapan tahun semburan lumpur Lapindo, 29 Mei 2014.

    Dalam Pemilihan Presiden 2014 Jokowi menang dengan mengalahkan satu-satunya kandidat lawannya, Prabowo. Berada di belakang Prabowo adalah Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Aburizal adalah figur utama dalam Bakrie & Brothers, perusahaan induk Lapindo Brantas yang dituduh sebagai penyebab semburan karena melakukan malpraktik pemboran. Kekhawatiran publik kala itu adalah bila Prabowo naik menjadi presiden, kasus Lapindo tidak akan pernah tuntas, atau lebih tepatnya, ‘dituntaskan’. Oleh karenanya, terpilihnya Jokowi sebagai presiden telah meningkatkan harapan publik, khususnya korban lumpur, tentang penyelesaian tuntas kasus Lapindo.

    Desakan publik terus meningkat seiring meningkatnya imaji kehancuran akibat luapan lumpur memasuki musim penghujan. Curah hujan yang deras mendorong kebocoran tanggul sehingga lumpur masuk ke beberapa rumah warga yang belum pindah dari wilayah yang memang rawan terkena luberan. Para warga ini tidak hendak pindah karena Lapindo tidak mau membayar tanah dan bangunan mereka sekalipun wilayah mereka sudah dicantumkan dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007.

    Bersamaan dengan itu, sebagian korban lain dari kelompok cash and carry diberitakan menghalangi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melakukan perbaikan tanggul yang bocor. Mereka berdalih bahwa BPLS bekerja di atas tanah yang masih milik mereka karena Lapindo belum melunasi kewajibannya. Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jatim pun harus turun tangan berhadapan dengan para korban ini. Aparat kepolisian pun diturunkan untuk menjamin perbaikan dan perawatan tanggul oleh BPLS.

    ***

    WACANA AGAR PEMERINTAH perlu segera mengeluarkan dana talangan demi membantu Lapindo membayar para korban itu terus menguat. Melalui Sekretaris Kabinet Andi Wijadjanto, Jokowi menyatakan akan mendesak Lapindo untuk membayar kewajibannya pada korban lumpur. Pernyataan itu segera digantikan oleh pernyataan lain dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tentang rencana pemerintah membeli aset Lapindo dan dengan uang hasil pembelian itu perusahaan bisa melunasi kewajiban mereka pada warga. Wacana ini mendapat reaksi langsung dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan rencana pembelian aset hanya akan menguntungkan Lapindo. Menurut Jusuf Kalla, pemerintah seharusnya melakukan sita aset Lapindo, bukan justru membelinya.

    Wacana tentang rencana dana talangan untuk Lapindo semakin konkret dalam rapat kabinet. Dalam rapat itu diputuskan bahwa pemerintah akan menganggarkan di APBN dana talangan sebesar Rp781 milyar untuk diberikan pada Lapindo sebelum Lapindo mendistribusikannya pada para korban yang berhak. Sebagai jaminannya, Lapindo berkewajiban untuk menyerahkan asetnya pada pemerintah. Selain itu, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan uang negara dan bila Lapindo gagal pemerintah akan melakukan sita aset perusahaan.

    Bola panas rencana dana talangan untuk Lapindo sekarang berada di tangan DPR. Tentunya tidak sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari DPR karena berada di kubu oposisi adalah Partai Golkar. Kali ini, para aparatus pemerintahan sepertinya sudah satu suara. Akan tetapi, publik melihat rencana pemerintah untuk memberi tenggat empat tahun pada Lapindo tidak lebih dari sekadar akal-akalan belaka. Apalagi, Lapindo sebenarnya sejak masa Presiden Yudhoyono telah mengajukan dana talangan untuk melunasi kewajibannya pada korban lumpur di Porong.

    ***

    DALAM BENAK MAYORITAS publik, Lapindo tidak akan mengembalikan uang tersebut. Imaji semacam ini muncul dari pengalaman publik melihat tindak-tanduk Lapindo yang tidak pernah mengutamakan etika dalam berhadapan dengan warga maupun pemerintah. Persoalan etika yang melekat dalam kasus Lapindo sudah dimulai sebelum lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, bahkan sebelum pemboran Sumur Banjar Panji 1 dilakukan.

    Lapindo masuk dalam kategori tidak beretika karena telah melakukan kebohongan publik tentang bagaimana perusahaan itu mendapatkan sebidang tanah di Desa Renokenongo. Dengan bantuan Lurah Renokenongo, Lapindo berbohong pada si pemilik lahan dengan mengatakan bahwa di lokasi itu akan digunakan sebagai peternakan, bukan sebagai sumur eksplorasi gas alam. Tentunya, publik juga bertanya-tanya bagaimana Lapindo bisa mendapatkan izin pemboran sumur eksplorasi gas alam di kawasan padat huni dan berdekatan dengan infrastruktur vital lainnya, antara lain: jalan tol dan rel kereta api.

    Persoalan etika Lapindo juga kembali menyeruak dalam keputusan mereka untuk tidak lagi memasang selubung pengaman pada kedalaman tertentu dalam pemboran sumur Banjar Panji 1. Hal ini dilakukan untuk penghematan biaya operasional kegiatan eksplorasi. Akan tetapi, ketiadaan selubung pengaman itu berujung fatal pada runtuhnya dinding sumur di bawah tanah yang menyebabkan mata bor macet di dalam. Runtuhnya dinding sumur meningkatkan tekanan di bawah tanah dan memicu keretakan pada lapisan tanah di sekeliling sumur. Keretakan lapisan tanah merambat sampai pada sumber lumpur panas. Untuk mengatasi krisis tersebut, Lapindo melakukan penyemenan bagian atas sumur eksplorasi yang mengakibatkan semakin meningkatnya tekanan dari bawah tanah. Keretakan lapisan bawah tanah pun sampai ke permukaan, beberapa puluh meter dari mulut sumur Banjar Panji 1. Lumpur panas pun mulai menyembur mengikuti lontaran gas alam.

    Kita juga patut mempertanyakan etika Lapindo yang bersikeras mengkambinghitamkan gempa bumi 26 Mei 2006 di Yogyakarta sebagai penyebab semburan. Klaim semacam ini akan menguntungkan perusahaan karena klaim itu bertujuan mengubah citra perusahaan sebagai pelaku (yang menyebabkan semburan lumpur) menjadi salah satu korban lumpur. Sebagai korban dari sesuatu yang disebabkan oleh gejala alamiah, Lapindo pun berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti halnya para korban lumpur yang lain.

    Dalam dimensi pencitraan yang lain, Lapindo juga kerap menyatakan diri sebagai ‘penyelamat’ bagi para warga-korban. Kali ini, dengan mengatasnamakan ‘Ibunda Bakrie’ sebagai figur yang mendesak Keluarga Bakrie untuk membantu para korban yang menghadapi kesusahan, Lapindo membingkai tindakan mereka membayar ‘ganti-rugi’ pada korban sebagai bantuan, bahkan sedekah, bukannya sebagai kewajiban hukum mengikuti Perpres 14/2007. Karena bantuan atau sedekah, Lapindo pun secara suka-suka memberi para korban dan praktik itu dilakukan bukan dalam bingkai bahwa Lapindo sedang membayar hutang pada korban namun justru kinilah para korban itu yang sedang berhutang pada Lapindo. Ini jelas adalah sebuah strategi tidak etis yang diterapkan Lapindo terkait dengan kewajibannya pada korban.

    ***

    BERAGAM PRAKTIK TIDAK etis yang selama ini dilakukan Lapindo rupanya masih belum cukup untuk membuka cakrawala pemerintah dalam melihat kasus Lapindo. Sikap pemerintah yang selalu permisif terhadap Lapindo, bahkan setelah pergantian tampuk kepemimpinan, patut terus dipersoalkan secara kritis. Pertanyaan saya pun masih sama: aset apa yang akan dijaminkan Lapindo untuk mendapatkan dana talangan dari pemerintah?

    Dalam tulisan sebelumnya (‘Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo’), saya mempersoalkan tentang logika rencana pemerintah untuk menyita aset yang status sudah pasti bakal menjadi ‘milik negara’. Pemikiran semacam itu muncul atas dasar wacana bahwa aset Lapindo yang akan disita pemerintah adalah tanah dalam peta area terdampak. Mengacu pada pasal 26 & 27 UU Agraria No 5/1960, tanah yang dibeli Lapindo akan batal secara hukum dan statusnya akan menjadi ‘tanah negara’. Tidak hanya itu, Lapindo juga tidak berhak untuk meminta kembali uang yang sudah dikeluarkan untuk membeli tanah dari warga.

    Jika Lapindo menjaminkan asetnya sebagai perusahaan pertambangan, maka lagi-lagi publik harus mempertanyakannya. Mengacu pada Pasal 4 PP No. 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, disebutkan bahwa ‘Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana’ (ayat 1).

    Oleh karena itu, menjaminkan sesuatu yang tidak pernah menjadi miliknya — apakah itu tanah yang dibeli dari warga ataupun barang dan peralatan lain sebagai kontraktor eksplorasi gas alam— tidak hanya sebuah tindakan yang tidak masuk akal secara hukum, tapi juga tidak etis!

    (bersambung: Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi)

    Heidelberg, 13 Januari 2014
    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya yang menggeluti kasus Lapindo sejak 2008. Penulis berterima kasih secara khusus pada Prasojo Bayu yang mengangkat kembali persoalan etika dalam kasus Lapindo.

    Versi PDF [unduh]

  • Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto 

    RENCANA PEMERINTAH MENALANGI hutang Lapindo pada korban lumpur di Sidoarjo senilai Rp 781 milyar menggunakan dana taktis APBN 2015 patut didiskusikan secara kritis.

    Berangkat dari perspektif ‘korban’, mayoritas publik menilai pelunasan hutang Lapindo tersebut merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan mengingat korban sudah terlalu menunggu dalam ketidakpastian. Dana talangan adalah solusi darurat yang harus diambil oleh pemerintah untuk memberi kepastian pada para korban.

    Hanya sedikit dari publik yang tahu bahwa dana talangan hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Padahal, masih banyak kelompok korban lain yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan setiap kelompok itu menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain.

    Pada saat yang bersamaan, terdapat sekelompok orang yang berangkat dari perspektif ‘korporasi’ mempertanyakan secara kritis rencana pemerintah tersebut. Pemberian dana talangan merupakan strategi ekonomi-politik yang hanya menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial. Dalam kasus Lapindo, korporasi itu adalah Grup Bakrie. Logikanya sederhana: bukannya menghukum, negara justru membantu si pelaku kejahatan.

    Belajar dari pengalaman sebelumnya, dana talangan berujung pada praktik koruptif para penyedia dan penerima dana talangan, seperti kasus BLBI dan kasus Bank Century. Dana talangan itu tidak pernah kembali ke kas negara. Kritik dari kelompok ini dapat dirangkum dalam sebuah pertanyaan kritis: apakah pemerintah juga akan menyediakan dana talangan bagi korban Lapindo yang terlilit hutang akibat tertundanya pembayaran hak mereka selama bertahun-tahun?

    Terlepas dari pro-kontra terhadap rencana dana talangan untuk kasus Lapindo, yang tak kalah menarik perhatian adalah rencana pemerintah untuk menyita aset perusahaan bila dana tersebut tidak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Rencana ini mendorong penulis untuk meninjau kembali kasus Lapindo menggunakan perspektif ‘objek’ – tanah yang menjadi medium relasi kuasa antara para agen yang terlibat di dalamnya.

    ***

    KOMPLEKSITAS PENANGANAN KASUS Lapindo bermula sejak penandatanganan Perpres 14/2007 tentang BPLS pada 8 April 2007. Salah satu hal prinsipil dalam Perpres itu adalah tentang bagaimana pemerintah menyederhanakan konsep ‘ganti-rugi’ menjadi praktik ‘jual-beli’.

    Secara sosiologis, terdapat perbedaan hakiki dalam relasi sosial yang disebabkan oleh masing-masing konsep itu. Dalam logika ‘ganti-rugi’ relasi sosial yang terjadi adalah antara korban dan pelaku dengan mengandaikan otoritas superior (penegak hukum, negara, juri) yang mengawasi proses tersebut. Sementara itu, dalam proses ‘jual-beli’ relasi sosial yang terjadi adalah antara penjual dan pembeli, dalam hal ini warga sebagai penjual dan Lapindo sebagai pembeli. Objek yang diperjualbelikan adalah tanah dan bangunan dalam peta area terdampak (PAT) tertanggal 22 Maret 2007.

    Sekalipun nilai tukar dari objek yang sedang dipertukarkan sama besarnya, hakikat pertukarannya tidak pernah sama. Dalam proses ‘ganti-rugi’, pelaku mengganti kerugian yang diderita oleh korban tanpa ada peralihan kepemilikan apapun. Sementara itu, ‘jual-beli’ mengutamakan peralihan kepemilikan dari pembeli ke penjual. Dan justru di sinilah letak masalahnya ketika objek yang sedang diperjualbelikan, salah satunya, adalah tanah.

    Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, seperti Lapindo atau Minarak, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali dan status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).

    Mekanisme jual-beli antara warga-korban dan Lapindo telah diatur dalam Surat Kepala BPN tanggal 24 Maret 2008. Dan, menurut Perpres 48/2008, tanah dalam peta area terdampak statusnya beralih menjadi ‘barang milik negara’. Jika betul demikian, maka pertanyaan kritis kita adalah: bagaimana mungkin negara menyita aset yang statusnya sudah pasti bakal menjadi ‘tanah negara’?

    Berdasarkan penelusuran singkat tersebut, penulis berpendapat bahwa rencana ‘dana talangan’ dan ‘sita aset’ Lapindo merupakan bukti dari kedangkalan pemerintah memahami lansekap-bencana lumpur Lapindo. Pemerintah, dan publik umum (termasuk media massa) telah secara sempit memahami kasus Lapindo sebatas ‘ganti-rugi’ (itupun sebenarnya sudah direduksi menjadi ‘jual-beli’) apalagi untuk sampai pada persoalan pemulihan sosial-ekologis.

    ***

    BILA KITA MAU secara jeli memahami kasus Lapindo, kita akan menjumpai pelbagai fakta yang menunjukkan bahwa sisa hutang Lapindo melampaui Rp781 milyar. Lapindo juga masih berhutang pada para pengusaha melalui mekanisme B-to-B yang jumlahnya mencapai senilai Rp514 milyar. Selain itu, masih banyak korban dari kelompok cash and resettlement, misalnya, yang belum mendapatkan kepastian kapan mereka akan mendapatkan sertifikat atas tanah dan rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Bagi kelompok ini, selama Lapindo belum menyerahkan sertifikat tersebut proses transaksi belumlah selesai dan Lapindo masih berhutang pada mereka.

    Selain persoalan ekonomi, dampak dan resiko sosial-ekologis juga kerap luput dari amatan publik. Pembuangan lumpur ke Selat Madura menyebabkan pendangkalan dan pencemaran di sepanjang DAS Porong yang berujung pada menurunnya produksi perikanan pantai timur Sidoarjo. Sampai kini belum terdengar program jangka panjang untuk melakukan normalisasi DAS Porong. Alih fungsi lahan akibat proyek relokasi jalan raya, jalan tol, dan juga permukiman kembali korban Lapindo merupakan sumber bagi meluasnya persoalan pada jaring sosial-ekologis yang lain.

    Dana talangan memang penting dan mendesak bagi para korban, namun rencana itu baru menyentuh sebagian dari kasus Lapindo. Dana itu hanyalah solusi darurat dan parsial karena diperuntukkan bagi sebagian korban dari kelompok cash and carry. Tentunya, masih banyak persoalan lain yang memunculkan dan dimunculkan oleh lumpur Lapindo yang membutuhkan perhatian dan tindakan konkret dari pemerintah.

    Pemerintah tidak pernah tegas, misalnya, untuk mengusut pemberian izin pada Lapindo untuk melakukan pemboran Sumur Banjar Panji 1, dan juga sumur-sumur yang lain, di kawasan padat huni. Pemerintah juga tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk melunasi pembayaran pada korban sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru mereduksi tanggung jawab Lapindo secara bertahap.

    ***

    SEBAGAI BAGIAN DARI publik kritis, kita seharusnya terus mempertanyakan ‘kemauan politik’ pemerintah untuk secara serius memahami kompleksitas kasus Lapindo dan mengusutnya sampai tuntas. Karena bila bukan pemerintah, lalu otorita  politik apa lagi yang bisa?

    Kasus Lapindo akan selalu menjadi uji kasus bagi siapapun yang duduk di kursi kekuasaan, termasuk Presiden Joko Widodo. Tentunya, publik sangat berharap agar dalam masa pemerintahan saat ini keadilan betul-betul ditegakkan. Kini saatnya menenggelamkan sang raksasa jahat dalam lumpur Lapindo, bukannya justru melindungi dan ikut tenggelam bersamanya.

    (bersambung: Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika)

    Heidelberg, 11 Januari 2015

    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya. Mendalami kasus Lapindo sejak 2008 hingga kini.

    Catatan penulis: beberapa pendapat dalam artikel ini pernah disampaikan ke beberapa media cetak tanpa ada kejelasan.

    Versi PDF [unduh]

  • Bencana

    Putu Setia

    Bencana sering datang di akhir tahun. Bisa dimaklumi. Musim hujan memang di bulan-bulan akhir tahun dan berlanjut ke awal tahun. Hujan yang ditunggu para petani menjadi pangkal bencana. Ada tanah longsor, seperti di Banjarnegara. Penyebabnya, konspirasi antara hujan dan kostur tebing yang tak banyak pohon karena penduduk bertanam kentang. Ada banjir di berbagai kota yang, menurut salah seorang penyiar televisi-dengan mimik meyakinkan-disebabkan oleh hujan. Bukan karena rupiah melemah.

    Itulah komentar saya kepada Romo Imam soal bencana. “Apakah tsunami yang dahsyat di Aceh karena hujan pula?” tanya Romo. Saya gelagapan disanggah. Saya jawab: “Bukan hujan sih, tetapi terjadi di akhir tahun, sehari setelah Natal, sepuluh tahun lalu. Sekarang diperingati dengan rasa syukur yang dalam. Sayang, Presiden Jokowi batal ke sana.”

    Romo Imam tersenyum: “Ya, sebaiknya Presiden jangan datang, supaya Pak Jusuf Kalla tak salah tingkah. Tak lazim ada dua matahari di satu tempat, apalagi saat mendung. Jusuf Kalla sebagai wakil presiden banyak berperan di saat-saat awal pemulihan Aceh. Kini sebagai wakil presiden pula, beliau pantas memimpin rasa syukur setelah Aceh berhasil bangkit.”

    Jalan pikiran Romo ini cenderung tak konsisten. Tadinya mau diskusi soal bencana di akhir tahun, tiba-tiba soal peringatan satu dasawarsa tsunami Aceh. “Lalu lumpur Lapindo yang kini mengancam lagi warga Sidoarjo apa ada kaitannya dengan akhir tahun dan hujan?” Nah, kan sudah berganti tema lagi, tak fokus Romo ini. “Ya, ya, Romo, karena hujan deras. Tanggul jebol lumpur pun meluber menggenangi rumah-rumah penduduk.”

    Romo batuk sesaat. “Tanpa hujan pun tanggul Lapindo pasti jebol. Betul ada pompa yang mengalirkan lumpur cair ke Kali Porong, tetapi penduduk mempermainkan pompa itu agar lumpur tetap meluber dan menjebol tanggul. Penduduk sudah tak tahan lagi, delapan tahun tak menerima ganti rugi yang dijanjikan.”

    Waduh, ini soal apa lagi, pikir saya. “Romo, sekarang Presiden Jokowi sudah mengambil alih dengan memberi talangan. Lapindo sudah tak punya uang, tetapi juga tidak menyebut bangkrut,” kata saya. Jawaban spontan ini membuat Romo panas: “Bangkrut bagaimana? Bosnya mondar-mandir dengan jet pribadi dan seperti tak pernah bersalah, terus mengkritik pemerintah. Kalau bertanggung jawab, jual asetlah.”

    Wah, saya harus betul-betul diam. “Pernah menonton Perjuangan Suku Naga yang dipentaskan Bengkel Teater Rendra?” Pertanyaan Romo ini membuat saya hampir pingsan. Kaget, kenapa sampai ke Rendra. Saya menggeleng. “Bencana dan keberuntungan adalah sukma yang tak terpisahkan. Lumpur Lapindo mengancam lagi dan itu bencana bagi rakyat. Jika Jokowi diam, itu juga bencana buat pemerintahannya yang bisa disebut tak peduli pada wong cilik. Tapi keberuntungan bagi bos Lapindo yang tak mengeluarkan duit lagi.”

    Ini lucu dan seperti dipaksakan, tapi saya takut tertawa. Romo melanjutkan, kali ini agak kalem: “Sekarang bencana belum berakhir meski kita berharap tak lagi datang. Puncak musim hujan terjadi akhir bulan Januari sampai Februari. Bagi yang percaya kalender Cina, Imlek pada pertengahan Februari dan harus hujan supaya ada keberuntungan. Mudah-mudahan Jakarta dan daerah aliran Begawan Solo tidak banjir bandang. Tapi jika itu terjadi, para pejabat kita pasti punya pembenaran dengan mencari kambing hitam.”

    “Romo yakin akan ada kambing hitam,” tanya saya. “Kan tahun depan memang Shio Kambing,” jawab Romo enteng. Ah, Romo kena bencana, tak bermutu, mati angin di ujung tahun.

    Sumber: http://www.tempo.co/read/carianginKT/2014/12/28/1542/Bencana

  • Akal-akalan Selamatkan Lapindo

    Akal-akalan Selamatkan Lapindo

    Firdaus Cahyadi

    Berita mengejutkan itu datang dari pemerintah Joko Widodo terkait dengan penyelesaian kasus Lapindo. Pemerintah secara resmi kembali menggunakan uang pajak rakyat untuk menyelamatkan Lapindo dari tanggung jawabnya dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo.

    Demi menyelamatkan Lapindo dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pun ditabrak. Putusan MK dalam uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2013 menyatakan bahwa PT Minarak Lapindo Jaya berkewajiban bertanggung jawab dengan mengganti kerugian masyarakat, dan pemerintah harus menjamin terlaksananya ganti rugi tersebut. Dana talangan pemerintah seakan menghapus tanggung jawab Lapindo itu.

    Pemerintah berdalih dana talangan itu bertujuan untuk menyelamatkan korban lumpur. Memang, dalam jangka pendek, korban lumpur yang belum mendapatkan uang jual-beli aset dapat bernapas lega karena mendapatkan haknya yang kehilangan tanah dan rumahnya akibat keganasan semburan lumpur Lapindo.

    Tapi napas lega korban lumpur itu hanya jangka pendek. Dalam jangka panjang, mereka harus tetap menanggung sendiri dampak buruk yang mereka alami akibat semburan lumpur.

    Sebelumnya, pemerintah berusaha membersihkan Lapindo dari noda lumpur dengan cara menamakan lumpur Lapindo menjadi lumpur Sidoarjo. Nama itu diberikan bukan sebuah kebetulan, namun sebuah kesengajaan untuk menghilangkan Lapindo dari pusaran kasus semburan lumpur.

    Langkah berikutnya tentu saja adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden yang membagi beban tanggung jawab penanganan kasus Lapindo dengan pemerintah. Uang pajak rakyat pun digunakan pemerintah untuk ikut menangani kasus ini.

    Seiring dengan langkah itu, pemerintah melalui kepolisian pun menghentikan kasus pidana Lapindo. Penghentian kasus itu memberikan posisi tawar yang semakin kuat bagi Lapindo ketika berhadapan dengan korban lumpur yang menuntut hak-haknya. Sedangkan pemerintah, dengan sengaja justru semakin bertekuk lutut di hadapan Lapindo dalam kasus semburan lumpur ini. Pendek kata, posisi Lapindo semakin kuat, sedangkan posisi negara dan korban lumpur semakin lemah.

    Makin melemahnya posisi negara itu kemudian yang sebenarnya memaksa pemerintahan Jokowi memberikan dana talangan terhadap korban lumpur. Pemerintah seakan didesak di pojok ruangan sehingga benar-benar tak berdaya menyelesaikan kasus yang sudah menyengsarakan rakyat selama delapan tahun lebih ini. Pemerintah seperti tidak punya pilihan selain memberikan dana talangan.

    Pemerintah memang tidak punya pilihan kebijakan lain selain memberikan dana talangan dalam kasus Lapindo ini, jika pemerintah masih saja mengikuti paradigma usang pemerintah sebelumnya yang mengasumsikan semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam, bukan akibat pengeboran. Selama asumsi itu dipertahankan, selama itu pula pemerintah akan bertekut lutut di depan Lapindo.

    Nampaknya, pemerintahan Jokowi tetap mengikuti paradigma lama pemerintahan sebelumnya dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Dan, karena masih mengikuti paradigma lama itulah pemerintah tidak punya pilihan lain selain menyelamatkan Lapindo dari kubangan lumpur. Sedangkan korban lumpur dan masyarakat pembayar pajak lainnya hanya sekadar menjadi tumbalnya.*

    Sumber: http://www.tempo.co/read/kolom/2014/12/23/1857/Akal-akalan-Selamatkan-Lapindo

  • Head in the sand mentality bodes ill for Golkar

    If ever an organisation was in need of regeneration and a policy makeover, it would be Golkar. For all of its past history as the late president Suharto’s political machine, it remains the largest and best organised party in Indonesia, with the potential to dominate again.

    Yet, after surviving Suharto’s downfall in 1998, when at one point it looked to be going down with him, it has failed to come to terms with the democratic era and remains, 16 years later, rooted in the past and a prisoner of personalised politics.

    Under Vice-President Jusuf Kalla and now the increasingly-autocratic tycoon Aburizal Bakrie – both leftovers from Suharto’s New Order rule – the once all-powerful party has seen its share of the national vote plunge from 22 to 14 per cent.

    Now, after winning its lowest number of seats, failing to nominate Mr Bakrie as a presidential candidate and ending up in the opposition for the first time in its 50-year history, the party has elected him to a second term.

    Anywhere else, a political leader with that sort of record would have either resigned or been forced from office. But not Mr Bakrie – and not Golkar, where a winner-takes-all mentality continues to trump democratic decision-making.

    By calling last week’s Bali convention ahead of schedule and crafting rules that among other things did away with a secret ballot, Mr Bakrie was playing with a stacked deck that forced all six of his rivals out of the race.

    Leaving aside allegations of intimidation and payoffs, the final spectacle of all 543 provincial and district delegates voting for Mr Bakrie by acclamation could have been taken from the old New Order playbook.

    There was more to it than that, of course. As events have shown throughout this election season, the underlying motivation of some influential party elders in keeping Mr Bakrie in the driving seat has been purely personal.

    Advisory council head Akbar Tanjung could have joined the revolt against the chairman, but instead supported him – first in taking the party into Mr Prabowo Subianto’s majority opposition and now in his re-election.

    Like Mr Bakrie, Mr Akbar is miffed at President Joko Widodo for not choosing him as his running mate. But mostly he detests Mr Kalla for deposing him as chairman after the Susilo Bambang Yudhoyono-Kalla ticket won the 2004 presidential election.

    That’s why, for all of his so-called peace-making efforts in Bali, he was clearly against Golkar entering Mr Joko’s ruling coalition, which would have been unlikely, in any case, to chop and change the new Cabinet to accommodate a latecomer.

    One of Mr Bakrie’s rivals, former House Speaker Agung Laksono, had already said he would join the government if he won. The others had the same thoughts, worried about the party’s chances in 2019 if the party stays in opposition.

    Among them were four politicians in their 40s and early 50s, led by deputy party treasurer Airlangga Hartarto and former vice-speaker Priyo Budi Santoso, who will now have to wait even longer to make a clean break with the past.

    Mr Bakrie’s motives are easier to understand. A wide body of opinion believes that without the chairmanship of Golkar, and its still-powerful influence over Indonesia’s political and business life, the tycoon is finished.

    That’s hard to swallow, particularly for someone as teflon-coated as Mr Bakrie, whose Indonesian ethnicism has helped him survive a face-off with Suharto, a near-bankruptcy and an environmental disaster. But it does explain the desperation with which he is clinging on.

    Certainly, there is nothing either he or Mr Kalla have done to set Golkar on a new path. Remembering the sparse largesse Mr Kalla offered during his earlier term as vice-president, many in the rank-and-file would have seen little to gain this time from following him into government.

    Mr Bakrie has understandably been less than generous too. Listed in 2007 as Forbes magazine’s richest Indonesian, with a net worth of US$5.4 billion (S$7 billion), his fortunes have slumped to a point where he didn’t even make this year’s Top 50.

    Not only did he fail to follow through on his 2009 promise of financing a 25-floor party headquarters and a 1 trillion rupiah (S$107 million) trust fund, but election candidates were also told to cough up for his expenses if they wanted him to campaign for them. Mr Bakrie appears to have redeemed himself somewhat with many of the regional branches by taking the leadership role in the opposition coalition and pushing through a law ending direct elections for governors, district chiefs and mayors.

    But it may come at a cost, with the formerly-supportive Democratic Party widely expected to change tack and vote for Dr Yudhoyono’s last-hour presidential decree – issued in response to a public outcry – which scraps the controversial legislation.

    The fallout from that could see the Democrats and perhaps the National Mandate Party moving to the centre and leaving the opposition without the majority it enjoys now. One Golker insider says: “It may be the undoing of the coalition.”

    As the consummate apparatchik, who helped rescue Golkar from the post-Suharto doldrums, Mr Akbar is no doubt aware that Mr Bakrie will lead Golkar nowhere, even if he has cut the size of the central board from 380 to a still-unwieldy 199.

    If Golkar falls into further disarray, it could well finish in single digits in 2019 – except for the fact that no other party, least of all Ms Megawati Sukarnoputri’s dithering Indonesian Democratic Party – Struggle, looks capable of gaining any dominance.

    The bottom line to all this has become depressingly clear. While Indonesia’s citizens have wholeheartedly embraced democratic rule, the political parties have not. They remain locked in the past, constrained by vested and familial interests and unwilling to regenerate or move with the times.

    “The whole political party system needs an overhaul,” says one veteran Golkar politician. “The government should be part of the solution, but how does it do that without being interventionist?”

    John Mcbeth [email protected]
    Sumber: http://www.straitstimes.com/news/opinion/more-opinion-stories/story/head-the-sand-mentality-bodes-ill-golkar-20141209

  • Bakrie 2019: The return of Soeharto

    Kornelius Purba

    Golkar Party chairman Aburizal Bakrie easily won his reelection as party boss in Bali this week because of, among other reasons, his convincing assurance that  he would make local party leaders in 415 cities and regencies and 34 provinces across the country become mayors, regents or governors. They would not need to make any preparations or woo voters. Voters would be meaningless. His mantra was enticing: let us repeat what Soeharto did for the country!

    During his 32-year rule, Soeharto’s Golkar completely controlled the country. Only Soeharto had the right to decide on regents, mayors and governors and on nearly all aspects of life in Indonesia. The glorious era of Soeharto and Golkar should be restored was the message in Bali. And Golkar is very close to the goal of reviving Soeharto’s heyday. Now, when party members want to get lucrative local government positions, they only need two things: Aburizal’s blessing and money!

    How about Aburizal’s own future? The business tycoon — some of his companies are reportedly facing serious financial problems — aims to replace President Joko “Jokowi” Widodo in 2019. Aburizal expects it to be a very smooth win. Even when 150 million voters do not want him to lead the country, he can ignore them. In 2019, Aburizal believes, Golkar will fully control the country at all levels. It will be very easy for him to get full control of the country into his own hands.

    Just ignore the Constitution, which mandates a direct presidential election. As the second-largest political party after the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), Golkar, Aburizal firmly believes, will be the final arbiter in all political aspects of the country by means of indirect elections. There will be no more direct elections. Since 2005 Indonesian voters have had the right to directly elect their mayors, regents and governors. And since 2004, voters have had the right to choose their head of state and government. The Golkar-led Red-and-White Coalition rejects the people’s constitutional right.  

    Indonesians will be denied their right to determine the future of the nation. The coalition leaders apparently believe that God has entrusted Aburizal and the loser of the July presidential election, Prabowo Subianto, with the authority to abolish the direct-election system because it is too costly and too complicated for them (in their eyes, Indonesians are probably too stupid to practice democracy). Golkar under Aburizal’s leadership will take all necessary means to enforce the Law on Regional Elections. His success is almost guaranteed.  

    Shortly before ending his term of office in October, then president Susilo Bambang Yu-dhoyono issued a government regulation in lieu of law (Perppu) to annul the law that reinstated indirect local elections. To me, Yudhoyono is a traitor to our democracy. His Democratic Party fully supported the law. He became president for 10 years thanks to the direct-election system. He issued the Perppu simply because people were angry with his party’s support for the law. He is a great pretender; a genius soap opera actor.

    The law was supported by Golkar, the Democrats, Gerindra, the Prosperous Justice Party (PKS), the National Mandate Party (PAN) and the United Development Party (PPP). The House of Representatives will decide the fate of the Perppu early next year and, Insya Allah (God willing) the Red-and-White Coalition believes, it will face no serious opposition to annulling the Perppu and restoring the indirect-election system.

    Let me give a few examples. Next year the popular Surabaya Mayor Tri Rismaharini will end her first five-year term. She would easily win reelection under the direct-election system. But now chairman of Golkar’s Surabaya chapter Adies Kadir knows for sure he stands a great chance of taking over the mayor’s position simply with Aburizal’s consent and of course money. The money is needed to buy the votes of 50 members of Surabaya Legislative Council. It is much cheaper and easier for Adies because he does not need the votes of actual Surabaya citizens.  As long as the 50 legislators are happy with him, and as long as Aburizal likes him, Rismaharini can do nothing to beat him.

    Jakarta Governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama will end his term in 2017. From this point on Golkar chairman of Jakarta chapter Zainudin should accumulate his financial resources. Of course he must also make sure that Aburizal does not change his mind and pick another person to contest the 2017 gubernatorial election.

    Isn’t it so very easy? Thanks to Soeharto, Aburizal believes that he will also be able to pursue his dream of becoming president. In public of course he must hide his ambition. From now on he just needs to concentrate on how to amend the Constitution and in 2019 there will be no more direct presidential elections. The People’s Consultative Assembly (MPR) will take over the voting right of Indonesians to elect their president. The MPR comprises the 560-member House and the 132-member Regional Representative Council.

    Changing the Constitution apparently is just a technicality for Aburizal, as he pointed out in a recent interview with a national newspaper how an indirect presidential election was possible.

    Aburizal only needs to find effective ways to eliminate his potential rivals, including Prabowo, in the 2019 (indirect) presidential election. With former Golkar chairman Akbar Tandjung as his chief advisor, it seems that Aburizal will not face any hurdles to realizing his promise and dream: indirect elections. The Jokowi camp, the Great Indonesia Coalition, is trying to weaken the Red-and-White Coalition. At least for a while, Aburizal and Prabowo are still in full control of the coalition. So, Soeharto’s complete return in 2019 is almost guaranteed.

    The writer is senior managing editor of The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2014/12/07/bakrie-2019-the-return-soeharto.html

  • Dan Kau Dekatkan Kematian yang Belum Ditakdirkan Tuhan

    Mutiara Andalas, SJ 

    Membaca kisah-kisah mengenai tragedi lumpur, saya menemukan narasi dominan dengan pengisah korporasi Lapindo. Sumber kisahnya bencana alam lumpur panas di Sidoarjo. Untuk memberi bobot pada kisahnya, korporasi Lapindo meminjam tutur akademisi, bahkan ilmuwan geologi untuk menjelaskan sebab tragedi. Pengeboran gas korporasi Lapindo bukan penyebab tragedi lumpur panas di Sidoarjo. Pengisah menjauhkan tragedi ini dari korporasi Lapindo. Ia mengoreksi kabar miring di tengah masyarakat bahwa kecerobohan korporasi Lapindo dalam mengebor gas alam menyebabkan tragedi lumpur panas. Kalaupun terdapat hubungan antara korporasi Lapindo dan tragedi lumpur panas, menurut pengisah, pemilik korporasi Lapindo tergerak hatinya kepada korban lumpur dengan membeli lahan mati mereka setelah tragedi. Dengan menampilkan pemilik korporasi sebagai sosok yang peduli dengan korban bencana alam lumpur panas, pengisah mendorong pendengar untuk melihat keserupaannya dengan sosok historis raja Airlangga. Membangun kembali kerajaan dari puing-puing reruntuhan, Airlangga menghadirkan ‘kahuripan nirwana’ di bumi Sidoarjo. Jauh dari berlebihan, menurut pengisah, khalayak publik memandang pemilik korporasi Lapindo yang menghadirkan kehidupan surgawi di bumi Sidoarjo pasca tragedi lumpur panas sebagai Airlangga baru.

    Di tengah dominannya narasi tragedi versi korporasi Lapindo, manusia lumpur mencari ruang bicara dan menciptakan ruang perlawanan. Anak-anak manusia lumpur menyeruak sebagai subyek baru yang mengisahkan tragedi. Mereka sejatinya telah bersuara, tetapi kita mengabaikan ratapan mereka sebelumnya. Ketika korporasi Lapindo membela diri dengan suara parau sebagai bersih dalam tragedi lumpur panas, anak-anak manusia lumpur memperlihatkan tangan Lapindo yang berlumur kejahatan. Meskipun penguasaan bahasa mereka masih terbatas, mereka artikulatif mengisahkan tragedi lumpur Lapindo. Tanpa ketakutan, apalagi keraguan, telunjuk dakwaan mereka mengarah pada korporasi Lapindo sebagai pengrusak kehidupan mereka. Bahkan, Daniati dalam puisi Lapindo, memandang Lapindo berperilaku seolah-olah dirinya Tuhan yang menggariskan takdir kehidupan, termasuk merenggut kehidupan mereka secara dini.

    Dan kau dekatkan kematian
    Yang belum ditakdirkan Tuhan
    Wahai semburan Lumpur Lapindo
    Mengapa kau telah tiba
    Dan muncul di kehidupan kami
    Kau telah merusak kebahagiaan kami

    Materi utama pengisahan tragedi perspektif manusia lumpur adalah kumpulan puisi anak-anak berjudul Lumpur Masih Menggila Dengarkan Anak-anak Bercerita! (2012). Tanpa mengabaikan kajian sastra yang lebih sistematik untuk membedah puisi-puisi mereka, saya memilih menerapkan pendekatan afektif, yaitu membaca puisi-puisi itu secara empatik dan memperhatikan bagian-bagian dari puisi yang menyentuh hati. Kisah-kisah mereka potensial menghantar khalayak pembaca pada kisah yang mendalam mengenai tragedi lumpur panas Lapindo. Mereka mengisahkan putusnya hubungan warga dengan kampung halaman dan antarwarga. Berhadapan dengan korporasi Lapindo yang secara sistematik menenggelamkan kisah tragedi perspektif manusia lumpur dan cuci tangan dari tanggung jawab terhadap mereka, puisi anak-anak lumpur Lapindo memiliki kandungan subversif, lebih lanjut liberatif. Puisi-puisi mereka merupakan perlawanan terbuka terhadap narasi Korporasi yang memungkiri kebenaran. Puisi-puisinya memiliki nada kemendesakan dan tuntutan kepada korporasi Lapindo untuk segera ambil tanggung jawabnya. Menjelang Pilpres 2014 yang sudah di pelupuk mata, narasi anak-anak lumpur Lapindo dapat mencelikkan penglihatan publik akan paras sesungguhnya dari seorang kandidat presiden yang mangkir dari tanggung jawab terhadap korban lumpur Lapindo.

    Berteologi dari Lumpur

    Rumah menjadi awalan bagi anak-anak untuk mengisahkan tragedi lumpur Lapindo. Ia bukan sekedar ruang meneduhkan badan. Karena memberikan keberakaran, kehilangan rumah bagi anak-anak manusia lumpur berarti dicerabut paksa keberakaran mereka. Menyimbolkan kebahagiaan, bahkan kahuripan nirwana meminjam kosakata pujangga pada era Airlangga, kehilangan rumah berarti meraibkan secara paksa kebahagiaan mereka. Halaman terhubung dekat sekali dengan rumah adalah halaman. Beragam tanaman dan satwa piaraan hidup terkait dengan pemeliharanya. Melampaui sebagai ruang bermain, anak-anak menjadikan halaman sebagai ruang kehidupan sebagaimana rumah. Mereka juga melihat halaman sebagai ruang kehidupan bagi beragam tanaman dan satwa piaraan. Di halaman semua ciptaan Allah hidup bersama secara harmonis sebagai komunitas ciptaan. Bahkan, ciptaan manusia mengakui ketergantungannya pada ciptaan-ciptaan lain. Penulis kitab Kejadian melukiskan harmoni antarciptaan itu sebagai Firdaus. Dalam puisi Lumpur Lapindo, Nurul Huda memandang halaman rumahnya sebagai surga.

    Rumah yang dulu indah yang kini tenggelam
    Sekolah, masjid, balai desa juga rata
    Jalan pun tak lagi bisa digunakan
    Halamanku yang dulu bagai surga
    Kini telah menjadi lautan yang tak bernafas

    Semburan lumpur Lapindo menenggelamkan rumah orang tua anak-anak disekitar lokasi pengeboran gas. Halaman rumah yang anak-anak seringkali memakainya untuk ruang menjalin persahabatan juga tenggelam. Anak-anak melihat perubahan air yang semula jernih menjadi keruh. Mereka mengenang kembali saat-saat mandi dengan air segar sebelum semburan lumpur Lapindo mengeruhkan, bahkan mencemarkan air di rumah. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dasar akan minum, keluarga-keluar sekarang harus membeli air bersih. Semburan lumpur Lapindo juga merenggut kehidupan tanaman dan satwa di sekitar rumah mereka. Selain kehilangan fasilitas ruang belajar, tenggelamnya sekolah memisahkan ikatan persahabatan antaranak. Kumpulan puisi anak-anak itu menyingkap dampak lanjutan kerugian fisik, yaitu beban psikis manusia lumpur. Hubungan beberapa orang tua merenggang akibat beban berat pascatragedi. Menganggur, apalagi dalam periode yang relatif lama, karena kehilangan sawah, tambak atau penghentian hubungan kerja, dekat dengan kematian dini. Penyangga hidup bersama juga porak-poranda pascatragedi. Anak-anak hidup sekali melukiskan kerusakan fatal akibat tragedi. “Kedatangan lumpur panas Lapindo,” tutur Mauliah Rizka dalam puisi Sebuah Lautan Lumpur yang Penuh dengan Derita,” membawa kematian.” Penderitaan mereka bahkan sudah menyentuh batas saat kata-kata “duka”, “susah”, “hampa” dan “bencana” terlalu miskin untuk mengaksarakannya.

    Semburan lumpur panas menenggelamkan ruang-ruang kehidupan warga. Dari rumah, halaman, sawah, sekolah, dan desa yang tenggelam, anak-anak manusia lumpur menelisik sebab semburannya. Alih-alih menyembur secara alami, sesuatu, lebih tepatnya sebuah korporasi menyebabkannya menyembur dari perut bumi. Mereka kemudian mengeja hubungan antara semburan lumpur dan korporasi Lapindo yang mengebor gas alam di lokasi semburan. “Kini semua telah hilang,” tutur M. Yusuf Afreza dalam puisi Lumpur Lapindo, “Yang nampak hanya dirimu, lautan lumpur Lapindo.” Dalam perbendhaharaan kosa kata anak-anak, semburan lumpur panas terjadi akibat ulah ‘nakal’ korporasi Lapindo, bahkan sosok Bakrie. Mereka kemudian menamai semburan itu sebagai lumpur Bakrie. Sebagaimana tuturan Putri Dwi Novita,

    Enam tahun yang lalu saya masih kelas O kecil. Ada lumpur Bakrie yang nakal saya tahu itu. Karena dia sudah merusak pernafasanku. Terus dia sudah merusak jalan raya. Sekarang saya sudah tidak punya teman lagi. Semua pindah entah dimana. Harapan saya adalah lumpur Bakrie nakal harus pergi sejauh-jauhnya.

    Kenakalan Bakrie mendapatkan penilaian moral dalam beberapa puisi anak-anak manusia lumpur. Mereka menanyakan hati nurani Bakrie dengan mangkirnya dari tanggung jawab terhadap warga korban. Puisi-puisi lain melintasi ranah moral dan memasuki teologi. Ketika mengambil rujukan dari perikop Kitab Suci untuk memaknai penderitaan mereka, alih-alih jelas, kabur. Ketika menemukan rumusan-rumusan teologis dalam puisi mereka yang menimbulkan kerancuan kepada kita, saya mengundang pembaca untuk kembali pada pengalaman manusiawi mereka. Cara sederhana ini membantu kita melacak pengalaman manusiawi yang kemudian mengkristal menjadi rumusan teologis mengenai tragedi lumpur Lapindo. Manusia lumpur kemungkinan besar menggunakan pengetahuan, sekurang-kurangnya kenangan atas perikop Kitab Suci yang pernah mereka dengar. Barangkali anak-anak manusia lumpur mengalami keterbatasan perbendhaharaan kata-kata dari Kitab Suci untuk mengisahkan penderitaannya. Meskipun pilihan kosa kata mereka barangkali masih jauh dari tepat, tetapi kita hendaknya mengurungkan hasrat untuk mengeja arah kata-kata mereka. Dalam puisi Lumpur Lapindo, Yolanda Olivia meraba-raba makna atas tragedi dengan kata-kata berikut. Mengerucut pertanyaan teologis yang menjadi hati tulisan.

    Aku pun sejenak berpikir
    Apa yang dicari bencana ini?
    Apakah ini sebuah karma?
    Atau sebuah bencana yang maha dahsyat?

    Berlawanan tujuan penggunaan kata bagi manusia lumpur dalam perbandingan dengan penyalahgunaannya oleh korporasi Lapindo. “Kini kenangan berubah menjadi air mata,” tutur Rochiza Arddiansyah dalam puisi Tatapku, “Seuntaian kata menjadi janji-janji manis.” Selain narasi versi korporasi Lapindo, kita menyadari beredarnya semacam teologi penderitaan diantara manusia lumpur. Singkatnya, teologi ini menempatkan manusia sebagai pendosa dan memahami tragedi yang dialaminya sebagai azab illahi. Korporasi dapat menyalahgunakan teologi semacam ini untuk menutupi kejahatan, lebih lanjut membersihkan tangan kotornya. Atau, ia meminjam tangan para pemuka agama yang nota bene dekat dengan manusia lumpur untuk mengkampanyekan teologi ini. Pemuka agama menjejalkan nasehat saleh kepada mereka untuk memaknai tragedi sebagai cobaan Tuhan. Ia bungkam terhadap kejahatan korporasi Lapindo sebagai dosa berat di ruang ekonomi. Entah dengan melemparkan tanggung jawab atas tragedi kepada Tuhan atau kepada manusia lumpur, korporasi Lapindo hendak melepaskan diri dari dakwaan baik hukum maupun agama. Melawan teologi penderitaan di atas, abjad demi abjad manusia lumpur mengeja sebuah teologi penderitaan alternatif dari air matanya. “Disana orang tak berdosa atas ulahmu,” tutur Rochiza Arddiansyah lebih lanjut, “menjadi korban lumpur Lapindo.” Tragedi lumpur Lapindo merupakah ulah manusia, bukan bencana alam, apalagi malapetaka dari Tuhan. Mereka memohon Tuhan keadilan karunia untuk melalui saat-saat sulit kehidupan sebagai manusia lumpur yang seringkali sudah di ambang daya tahan mereka.
    Manusia lumpur mengajukan pertanyaan teologi bukan dalam waktu senggang, melainkan dalam waktu genting. Mereka mengajukan pertanyaan kepada Tuhan dari tengah-tengah darurat kemanusiaan, bahkan sebagai umat beriman. Pertanyaan mereka mengandung kegentingan dan kemendesakan. Rentetan penderitaan yang nampak tanpa akhir menciptakan krisis kemanusiaan, bahkan iman. Namun, kita jangan tergesa-gesa menarik simpulan bahwa mereka orang-orang yang telah kehilangan harapan, lebih lanjut iman kepada Tuhan. Sebaliknya, mereka mengajukan pertanyaan sebagai pribadi-pribadi beriman. Pertanyaan, bahkan gugatan kepada Tuhan jauh dari berlawanan dengan sikap berserah mereka kepada-Nya. Kita belajar merengkuh baik berserah dan menggugat sebagai ragam bahasa yang manusia lumpur belajar memberdayakannya untuk komunikasi dengan Tuhan. Bahasa-bahasa demikian juga menemukan ruang bernafas dalam puisi anak-anak manusia lumpu. Puisi-puisi itu mengandung perlawanan terhadap pribadi, korporasi atau rezim yang menggagahi martabat suci mereka manusia dan ciptaan Alllah. Sebagaimana Salma Nabila melaraskannya secara liris dalam puisi Kesedihan di Desaku,

    Ya Allah
    Apakah semua ini akan terus begini?

    Ya Allah bantulah kami
    Agar dapat melewati semua ini.

    Saya melihat kebutuhan untuk membicarakan bahasa ratapan, bahkan gugatan dalam puisi anak-anak manusia lumpur. Bahasa-bahasa ini perlu garis bawah di tengah godaan besar manusia lumpur mengarahkan telunjuk kesalah pada diri sendiri. Ketika penderitaan akibat tragedi seolah tanpa akhir dan tanpa kemungkinan jalan keluar, mereka dapat meragu mengenai penyebab tragedi semburan lumpur. Godaan membersit untuk menudingkan telunjuk kedosaan pada diri sendiri. Jangan kita menyepelekan godaan dalam diri manusia lumpur untuk menyalahkan diri dalam tragedi ini. Karena memandangnya sebagai kemustahilan bahkan untuk mengajukan pertanyaan kepada Tuhan, sebagian dari mereka mungkin sekali mendakwa diri. Logikanya, Tuhan memberikan cobaan dalam bentuk semburan lumpur Lapindo karena mereka bersalah kepada-Nya entah menyadarinya atau tidak. Korporasi Lapindo kemudian bebas dari dakwaan. Di tengah godaan untuk melarikan diri dari persoalan yang membelitnya entah kepada Tuhan atau diri sendiri, gugatan anak-anak manusia lumpur memiliki arti penting. Alamat gugatan yang awalnya Tuhan akhirnya sampai pada subyek alamat yang seharusnya, yaitu korporasi Lapindo. Puisi Lumpur Lapindo karya Giri Pratama melukiskan indah sekali pergumulan manusia lumpur melepaskan diri dari perangkap menyalahkan diri dalam tragedi.

    Ya Tuhan
    Mengapa engkau berikan cobaan ini kepada kami
    Apa salah kami Tuhan?
    Sehingga lumpur Lapindo menenggelamkan desa kami

    Tragedi lumpur Lapindo menyadarkan kita akan keterbatasan, bahkan bahaya menerapkan sebuah teologi penderitaan yang lahir pada sebuah konteks tertentu pada konteks lain. Teologi ini seringkali menyederhanakan kompleksitas persoalan dengan mengalamatkannya entah sebagai kesalahan manusia atau cobaan Tuhan. Pemeluk teologi penderitaan ini abai dengan anak-anak manusia lumpur sebagai subyek yang berteologi atas penderitaan mereka. Padahal, sebagaimana saya memperlihatkannya kepada khalayak pembaca dalam tulisan ini, anak-anak manusia lumpur menemukan korporasi Lapindo sebagai pelaku tragedi. Tragedi lumpur panas Lapindo mengundang saya untuk mengeja teologi penderitaan manusia lumpur berangkat dari konteks setempat. Dalam membangun teologi penderitaan alternatif, saya menyertakan suara anak-anak manusia lumpur. Mustahil saya menyusun sebuah teologi penderitaan tanpa berpijak pada sebuah konteks tertentu. Kalau mengabaikan konteks setempat, bahayanya teologi penderitaan tersebut terlibat dalam menyembunyikan identitas pelaku tragedi. Sebaliknya, teologi penderitaan yang saya mengejanya dari puisi anak-anak membongkar penyamaran pelaku. Sebagaimana puisi Lumpur Lapindo yang Kejam karya Zulfika Rohmah,

    Pada tanggal 29 Mei 2006
    Datanglah lumpur Lapindo yang kejam
    Pada hari itu dimulailah penderitaan
    Dan aku sangat sedih

    Lumpur Lapindo ulah manusia
    Namanya Pak Bakrie

    Selain menggugat hati nurani pemilik korporasi Lapindo, anak-anak manusia lumpur dalam puisi-puisinya mengalamatkan keserakahan pada korporasi tersebut. Pengeboran gas alam, sebagaimana mata pencaharian-mata pencaharian lain, jauh dari serta merta karakternya negatif. Korporasi Lapindo menyamarkan peruntukan pengeboran gas dengan peternakan unggas ketika mencari izin usaha. Cara korporasi Lapindo mengebor gas alam yang sangat ceroboh menyebabkan semburan lumpur panas yang merenggut kehidupan warga dan alam di sekitarnya. Logika mengeruk keuntungan ekonomis menghalalkan pelanggaran standar keselamatan kerja terutama bagi masyarakat dan lingkungan sekitar lokasi. Selain korban manusia, semburan lumpur Lapindo juga merenggut kehidupan flora dan fauna, dan menanduskan lahan yang sebelumnya produktif untuk pertanian dan perikanan. Anak-anak manusia lumpur menggunakan metafor babi untuk berbicara mengenai karakter pemilik korporasi Lapindo. Aburizal Bakrie, di mata mereka, identik dengan babi yang kotor, ceroboh dan serakah. Bahkan, dalam agama Islam, hewan ini termasuk kategori najis. Melawankan kenajisan dengan kekudusan, Yesus bersabda,”Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu” (Matius 7, 6). Puisi anak-anak manusia lumpur mendorong komunitas agama untuk memaknai keserakahan sebagai kenajisan, bahkan dosa kontemporer dalam ranah ekonomi.

    Permohonan anak-anak manusia lumpur kepada Tuhan untuk berkenan menghentikan semburan lumpur Lapindo merupakan kritik tajam terhadap korporasi Lapindo. Tanpa maksud berprasangka buruk terhadap korporasi Lapindo, hingga tujuh tahun pascatragedi korporasi Lapindo masih jauh dari itikad baik untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Manusia lumpur lebih dari sabar menunggu korporasi Lapindo memenuhi tanggungjawabnya. Alih-alih menyelesaikannya, pemilik korporasi mangkir. Pemerintah ompong ketika harus menjalankan fungsinya menagih tanggung jawab pemilik korporasi Lapindo di ruang hukum. Peninggian tanggul pembatas di sekitar lokasi semburan lumpur memiliki arti simbolis. Pemerintah hanya menghambat semburan lumpur dari menyebar ke lokasi-lokasi lain, tetapi kehilangan kuasa menekan korporasi Lapindo untuk menangani sumber semburan lumpur. Korporasi Lapindo dan pemerintah mengabaikan penderitaan manusia lumpur. sebagaimana Ach. Syahrul dalam puisi Lumpur Lapindo, harapan manusia lumpur tinggal pada satu sosok. Kehilangan kepercayaan pada korporasi Lapindo, manusia lumpur mengimani Tuhan yang berkuasa menghentikan semburan lumpur.

    Lapindo

    Karena kau
    Desa itu terendam lumpur

    Lapindo

    Karena kau warga menjadi kesusahan

    Kata ganti ‘dia’ yang menunjuk pada semburan lumpur panas berubah menjadi ‘kau’ dalam puisi Lapindo karya Imroh Atus. Perubahan kata ganti ini menyingkapkan pengenalan lebih lanjut manusia lumpur terhadap sosok pelaku tragedi. Sketsa paras pelaku semakin jelas arsirannya. Mustahil orang menerka lukisan sosok itu dengan yang lain. Pengucapan kata ‘kau’ mendapatkan penekanan dalam puisi-puisi mereka karena mengarah pada pelaku tragedi. Jika dalam puisi Lumpur Lapindo Nur Af’idatul dan Algita Puspita memberikan tekanan pada ‘lumpur’ sebagai sumber tragedi, dengan judul puisi sama, Dwi Mahdiana dan Anna Mardiyana menyebut ‘Lapindo’ sebagai pelaku tragedi. Jika sebutan Lapindo masih menunjuk pada korporasi, dalam puisi Hancurlah Kotaku, Tyas Setyaning mengarahkan telunjuk pada pemilik korporasi tersebut. Dengan menyebut nama ‘Bakrie’, manusia lumpur membongkar penyamaran pelaku tragedi, yang bahkan sampai menggiring masyarakat untuk menyetarakannya dengan sosok historis masa lalu bernama raja Airlangga yang menghadirkan kahuripan nirwana selama pemerintahannya.

    Ratapan Sekaligus Perlawanan

    Setelah mengeja teologi ekofeminis pembebasan dari Porong, saya menyampaikan beberapa catatan pinggir untuk memperkaya lukisan tentangnya. Teologi secara tradisional merupakan ilmu iman (intellectus fidei). Kajian kritis teolog akan pewahyuan Tuhan menggunakan metode yang terukur keterpelajarannya. Definisi ini, menurut teolog pembebasan Jon Sobrino, rentan menjerumuskannya pada syahwat sterilitas. Teolog menyaring Tuhan dalam konsep-konsep yang tersedia dan melucuti kuasa sabda-Nya dari potensi liberatifnya. Jauh dari maksud mengebawahkan teologi sebagai kajian akademik, teolog perlu beraskese secara akademik. Karena obsesi akademik terhadap Tuhan sebagai obyek teologi tradisional, penglihatannya seringkali kabur terhadap Tuhan yang berkenan dalam ciptaan manusia dan ciptaan-ciptaan ekologis lain pada zaman ini. Kajian akademiknya tanpa daya (a feeling of professional impotence) dihadapan persoalan rakyat yang disalib rezim kekerasan pada masa kini (Sobrino, Jesus the Liberator, 1-6).

    Dalam konteks tragedi lumpur Lapindo, teolog sekedar ahli retorika akademik ketika tutup mata terhadap keserakahan korporasi Lapindo yang mengakibatkan penderitaan, bahkan merenggut kehidupan manusia lumpur. Ia memuaskan diri setelah menemukan sosok Tuhan keadilan dalam warta Kitab Suci, tetapi gagal melihat paras kontrasnya dalam sosok pemilik korporasi Lapindo yang mengeruk keuntungan ekonomi, bahkan jika resikonya mengancam kehidupan warga disekitar lokasi pengeboran. Paling jauh teolog macam ini menyodorkan sebuah teologi penderitaan yang entah mendakwa secara gegabah manusia lumpur sebagai kaum pendosa atau sok tahu terhadap tragedi semburan lumpur panas sebagai cobaan Tuhan. Hatinya menuli terhadap ratapan manusia lumpur yang korporasi Lapindo menyalib paksa kehidupan mereka di Porong, Golgotha zaman ini. Sebaliknya, teolog ekofeminis pembebasan dari Porong ini berikhtiar untuk mengisahkan Tuhan, meminjam kosakata Jon Sobrino, “dari tengah-tengah lokasi penyaliban dan memiliki harapan akan pembebasan.”

    Anak-anak manusia lumpur melaras puisi secara liris dari reruntuhan lokasi-lokasi kehidupan yang dekat dengan hati mereka. Menarik mengkaji pilihan mereka menggunakan bahasa puisi untuk mengisahkan penderitaan dan perlawanannya terhadap korporasi Lapindo. Untuk menilai puisi-puisi mereka, kriteria utamanya bukan membedah sisi luar puisi (politics of canonicity), melainkan sisi dalamnya sebagai anthem of resistance. Bahasa puisi memiliki kuasa untuk mengisahkan kehidupan mereka, bahkan juga hubungan mereka dengan Tuhan. Barangkali puisi sepintas mengisahkan secara kurang mendetail kisah-kisah mereka, tetapi menyampaikan bagian-bagian menonjolnya. Bagian-bagian lain kita perlu membacanya diantara spasi-spasi puisi. Selain membaca abjad-abjad tersurat, lebih banyak kisah mereka tersirat dalam puisi-puisi itu. Teologi manusia lumpur tersimpan dalam ratapan yang seringkali nirkata. Kesadaran ini menghantar saya pada gagasan Kwok Pui-Lan mengenai lokasi teologi perempuan Dunia Ketiga. Menurutnya, sebagian besar teologi perempuan Dunia Ketiga masih belum tersimpan dalam bentuk tulisan. Sebagian besar bersemayam dalam hidup kaum perempuan. Selain memperhatikan dokumen tertulis, kita perlu menyendengkan telinga untuk mendengarkan penuturan mereka.

    Puisi-puisi anak-anak lumpur Lapindo mengandung kekayaan teologis. Bahkan, dalam kisah-kisah yang sangat manusiawi, mereka alamiah sekali menyertakan Tuhan sebagai Subyek kisah. Jauh dari berlebihan saya menghormati mereka sebagai teolog alamiah (natural theologian). Saya melihatnya sebagai sebuah jembatan titian untuk berbicara lebih lanjut menempatkan dalam dialog antara para teolog alamiah dan mereka yang menekuni ilmu teologi di bangku akademik (academic theologian). Teologi jangan melepaskan diri dari persoalan-persoalan kemanusiaan dan ekologi. Dalam tragedi lumpur Lapindo, tragedi kemanusiaan dan ciptaan-ciptaan lain mengajukan pertanyaan teologis. Anak-anak manusia lumpur memperhatikan baik ciptaan manusia maupun ciptaan-ciptaan yang mengalami penderitaan, bahkan kematian dini dalam tragedi Lapindo. Dari perspektif teolog akademik yang mendalami ekoteologi, tragedi lumpur Lapindo itu kisah antipenciptaan. Dwi Rizki dalam puisi Lapindo dengan menyentuh sekali melukis kisah antipenciptaan metafor perubahan warna daun.

    Keindahan alam yang hijau
    Kini berubah menjadi kuning mengering
    Sawah yang luas membentang
    Kini berubah menjadi lautan

    Pembebasan bukan kata yang tersurat besar, tebal, miring, atau bergaris bawah dalam puisi anak-anak manusia lumpur. Bahkan, dalam penglihatan telanjang, kata ini nihil dalam puisi-puisi mereka. Namun, saat membaca baris-baris puisi mereka, kata ‘pembebasan’ terasa sekali. Pembebasan sebagai lawan kata dari ‘PT Lapindo Brantas’ dalam puisi-puisi mereka. Kita dapat juga menemukan di dalamnya padanan kata dari pembebasan. Selain dalam lawan dan padanan kata, kisah-kisah mereka dalam puisi menunjuk pada pembebasan. Ketika merindukan situasi sebelum tragedi, anak-anak manusia lumpur sejatinya berkisah tentang pembebasan. Sebagaimana puisi Sekolahku karya Fira,

    Mana sekolahku yang dulu
    Mana temanku yang dulu
    Mana keceriaan yang dulu
    Yang selalu membuat hatiku senang
    Kini engkau tiada lagi
    Terkubur dalam luapan lumpur

    Di Porong teolog alamiah dan akademik berjumpa dan berdialog satu sama lain. Saya, yang meniti karir dalam teologi akademik, berguru kepada anak-anak manusia lumpur, para teolog alamiah. Mereka guru teologi saya dalam mengeja sebuah teologi ekofeminis pembebasan dari lokasi tragedi lumpur Lapindo. Selain pada ciptaan manusia, dampak tragedi lumpur Lapindo yang merenggut kehidupan ciptaan-ciptaan ekologis lain. Jika sebelum tragedi mereka berteologi dari “rumah tempatku berlindung” atau “rumah Allah tempatku memohon” sebagaimana tutur Winda Ayu Tri dalam puisi Lumpur Panas Lapindo, setelah tragedi lumpur Lapindo, mereka berteologi dari lokasi-lokasi semburan lumpur yang telah meluluhlantakkan lokasi-lokasi kehidupan itu. Memandang tragedi ini secara teologis sebagai kisah antipenciptaan, mereka menghantar saya untuk sampai korporasi Lapindo sebagai monster yang mengacau tata hidup bersama ciptaan di lokasi tragedi. Keserakahan pemilik korporasi ini dalam mengeruk kekayaan alam mengubah Porong yang semula Firdaus bagi para warganya. Setara pentingnya menyebut Tuhan sebagai harapan terakhir hidup manusia lumpur dan menyebut korporasi Lapindo sebagai illah antipenciptaan kontemporer dalam ranah ekonomi yang menghancurkan kehidupan mereka. Untuk menyamarkan paras serakahnya, ia berlindung di belakang pada sosok historis Airlangga, bahkan kurang ajar sekali dengan menyembunyikan diri di balik punggung Tuhan. Penamaan korporasi Lapindo sebagai illah antipenciptaan ini penting untuk mendaku kesucian manusia lumpur dari dakwaan keberdosaan sehingga Allah mencobai, bahkan menghukumnya. Teologi penderitaan yang anak-anak manusia lumpur mengejanya dari lokasi tragedi menamai secara lain, bahkan lebih artikulatif, pengabjadan teologi ekofeminis pembebasan saya.

    Jurnal Perempuan Edisi 80, “Tubuh Perempuan dalam Ekologi”
    Penulis adalah pengajar di Fakultas Teologi dan Prodi Kajian Bahasa Inggris
    Universitas Sanata Dharma Yogyakarta