Tag: lapindo

  • Sudah 14 Tahun Lumpur Lapindo, Pulihkah?

    Bambang Catur Nusantara

    Dewan Nasional WALHI dan Koordinator Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (POSKOKKLuLa).

    Selama empat belas tahun, terhitung sejak 29 Mei 2006, lumpur Lapindo telah mengakibatkan terusir sedikitnya 20 ribu keluarga dari tempat tinggal mereka. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menangani masalah ini melalui beberapa Peraturan Presiden yang terus mengalami revisi sebagai akibat terus meluasnya dampak semburan. Selain mengatur dampak sosial ekonomi warga dengan skema penggantian jual beli, salah satu yang masih dilakukan hingga saat ini adalah pembuangan lumpur di sungai Porong.

    Sungai Porong merupakan sungai yang penting bagi kehidupan warga di Sidoarjo sejak dari masa lampau. Air sungai digunakan untuk sumber air irigasi pertanian dan budidaya perikanan. Sejak pembuangan lumpur ke sungai Porong pada 2007, ditemukan kandungan logam berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada air, sedimen, dan biota. Penelitian awal yang dilakukan WALHI Jawa Timur pada tahun 2008, menemukan setidaknya dua jenis logam berat Pb dan Cd, yang melampaui ambang batas aman. Penelitian itu dilakukan pada area di sekitar semburan lumpur dan air sungai Porong. Pada 2013, Tarzan Purnomo, seorang peneliti dari UNESA, menemukan kandungan logam berat Timbal pada tubuh ikan, ribuan kali diatas ambang batas aman.

    Pada tahun 2010, JATAM dan PoskoKKLuLa memeriksa kesehatan korban Lapindo yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan. Dalam pemeriksaan diketahui, hasil Haematologi lengkap menunjukkan 75% dari 20 terperiksa, ternyata dalam kondisi tidak normal. Sepuluh tahun kemudian, pemeriksaan kesehatan umum (MCU) Maret tahun 2020, kepada sejumlah 25 warga korban lumpur yang tinggal di sekitar semburan, menunjukkan mayoritas mengalami infeksi saluran kemih (ISK). Sejumlah 16 warga dari 25 terperiksa mengalami infeksi ini. Ahli kesehatan yang dimintai pendapat terkait infeksi saluran kemih menyatakan ada tiga faktor utama penyebab infeksi: kualitas air minum, pola hidup, dan stress. Dalam situasi di wilayah lumpur Lapindo, tiga faktor ini bisa saling bertautan pada hidup warga.   

    Hasil pemeriksaan logam berat pada air dan sedimen yang dilakukan PoskoKKLuLa pada tahun 2018 dan 2019 juga tetap menunjukkan temuan kontaminasi Pb dan Cd. Pada sembilan lokasi yang diperiksa, menunjukkan ada lokasi yang meski airnya tidak mengandung kedua jenis logam berat, namun pada kompositnya ditemukan logam berat. Jika menggunakan rujukan KemenLH No 51/2004 yang menetapkan baku mutu air untuk pelabuhan Pb 0.05 mg/L dan Cd 0.01 mg/L dan untuk wisata bahari Pb 0.005 mg/L dan Cd 0.002 mg/L, maka hanya lokasi di Tanjungsari, Desa Kupang, yang memenuhi syarat untuk area budidaya dan pelabuhan. lokasi lain tak layak.

    Hasil pemeriksaan pada biota Kupang menunjukkan Cd sejumlah 20.68 mg/kg dan Pd sejumlah 17.36 mg/kg. Batas aman konsumsi untuk Kupang hanya 1,5mg/kg. Sedangkan Cd batas aman 1 mg/kg. Kupang yang diperiksa puluhan kali melebihi ambang batas aman dikonsumsi. Pada pemeriksaan sebelumnya oleh Walhi Jatim dan PoskoKKLula (2017), jenis udang, ikan, dan rumput laut hampir seluruhnya mengandung Pb dan Cd melebihi baku mutu SNI 7387:2009.

    Gambar1. Peta lokasi titik pemeriksaan logam berat

    Jika diperbandingkan dengan temuan hasil biomonitoring maka kondisi logam berat ini berkesesuaian dengan hasil amatan dengan indikator biota tidak bertulang belakang (makroinvertebrata) pada empat lokasi sungai Brantas Porong yang di tiga lokasi menunjukkan tercemar berat, hanya di wilayah Tanjungsari Desa Kupang, yang wilayahnya tercemar ringan.

    Sementara wilayah irigasi di Kedungcangkring, pemeriksaan laboratorium tidak menemukan kandungan logam berat Pb, dalam pemeriksaan biomonitoring juga menunjukkan level tercemar ringan. Di lokasi Keboguyang dan lokasi Gempolsari, kondisinya tercemar sedang. Pada dua lokasi lain, Tambak Kalisogo dan Glagaharum menunjukkan tercemar berat. Dua lokasi terakhir merupakan saluran irigasi aktif untuk sawah, kolam, dan juga perikanan tambak di sisi paling timur.

    LokasiKondisi Badan SungaiKondisi Air Sungai
    Titik 1: Sungai Brantas, GempolTidak SehatTercemar Berat
    Titik 2: Sungai Brantas, BesukiTidak SehatTercemar Berat
    Titik 3: Sungai Brantas, TanjungsariKurang SehatTercemar Berat
    Titik 4: Sungai Brantas, TlocorTidak SehatTercemar Berat
    Titik 5: Irigasi BesukiKurang SehatTercemar Berat
    Titik 6: Irigasi BuaranTidak SehatTercemar Berat
    Titik 7: Irigasi PermisanTidak SehatTercemar Berat
    Titik 8: Irigasi GlagaharumTidak SehatTercemar Berat
    Titik 9: Irigasi PologuntingTidak SehatTercemar Berat
    Tabel 1. Hasil pantau biomonitoring.

    Pemeriksaan melalui biomonitoring ini mempermudah penilaian awal kualitas air sungai. Pemeriksaan yang dilakukan Agustus 2019 pada lokasi titik sampel Gempol, Tanjungsari, dan Tlocor, menunjukkan bagian Sungai Porong dekat pembuangan lumpur Lapindo(Gempol dan Besuki) tercemar berat, di wilayah tengah (Tanjungsari) tercemar ringan, dan wilayah hilir (Tlocor) tercemar berat. Sementara sungai irigasi bagian timur tanggul lumpur Lapindo menunjukkan satu lokasi tercemar ringan(Besuki), dua lokasi tercemar sedang(Buaran dan Pologunting), dan dua lokasi tercemar berat(Glagaharum dan Permisan).

    Sejak awal hingga saat ini, informasi terkait situasi sosial, lingkungan, kesehatan, maupun dampak lainnya pada area-area terdampak belum sepenuhnya bisa diketahui oleh masyarakat yang tinggal disana. Hampir tidak ada informasi yang berkaitan dengan lingkungan yang bisa menggambarkan buruknya wilayah semburan lumpur Lapindo ini.

    Kondisi ini juga kemudian diperparah dengan belum jelasnya pemulihan hak-hak korban Lapindo. Degradasi kualitas lingkungan seharusnya disandingkan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Hasil penelusuran rekam tren penyakit di Puskesmas sekitar semburan lumpur Lapindo, menunjukkan adanya dampak kesehatan yang serius pada warga. Jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong, Tanggulangin, dan Jabon mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2007. Di Puskesmas Porong paring tinggi peningkatannya. Dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Catatan tren penyakit pada tahun 2019 juga menunjukkan ISPA masih yang teratas. Rata-rata di masing-masing puskesmas masih diatas 15 ribu. Hasil medical check up (diinisiasi PoskoKKLuLa dan JATAM, 2019) pada 25 warga menunjukkan 7 warga mengalami restriksi ringan pada paru-paru, dua diantaranya menunjukkan indikasi pneumonia. 

    Tabel 2. Tren ISPA di Puskesmas Porong 

    Pemantauan secara periodik kualitas udara dilakukan setiap musim sejak 2017 oleh PoskoKKLuLa dengan menggunakan ecochecker, lempeng perak. Seluruhnya konsisten menunjukkan paparan hidrogen sulfida (H2S). Lempeng perak yang terpasang selama satu bulan, telah mengubah warna perak menjadi gelap. Paparan H2S ini terkonfirmasi dengan gas detector. Penggunaan lempeng tembaga untuk mengidentifikasi paparan klorin digunakan pada musm kemarau dan hujan tahun 2019, menunjukkan perubahan warna yang sama. Yang terakhir, pemeriksaan menggunakan gas detector pada bulan Maret 2020 menunjukkan adanya PAH di udara sekitar area semburan lumpur Lapindo.   

    Gambar 3. Hasil olah pemantauan udara dengan lempeng perak (Desember 2017 – Januari 2018), warna merah menunjukkan perubahan paparan H2S yang tinggi

    Pada akhir 2019, tiga puskesmas di sekitar area semburan tetap mencatat ISPA sebagai penyakit dengan penderita paling banyak. Jika dibandingkan tren ISPA tahun 2016 dan 2017, jumlah ini naik beberapa ribu warga. Tren ini menunjukkan persoalan pernafasan menjadi yang paling utama diantara kasus kesehatan yang lain, pada situasi wabah Covid 19 saat ini, warga dalam posisi sangat rentan.

    Wabah Covid 19 telah membatasi ruang gerak korban Lapindo. Pengojek di atas tanggul terpukul paling awal. Tidak ada pegunjung di area semburan. Sebagian warga korban Lapindo yang masih menggantungkan penghasilan dari jasa ojek mengantarkan pengunjung lokasi semburan. Alternatif pendapatan lain juga tidak ada, wilayah Sidoarjo menerapkan pembatasan sosial berskala besar sejak April. Saat ini diperpanjang untuk ketiga kali.

    Dengan situasi seperti ini, pengurus negara seharusnya melakukan mitigasi perluasan dampak lumpur lapindo dengan melakukan serangkaian tindakan: pertama, memeriksa kualitas lingkungan hidup di sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Setidaknya logam berat harus diperiksa pada air, sedimen, tanah di sekitar lumpur Lapindo sepanjang sungai Porong, sungai irigasi, dan sumur warga di sekitar semburan. Pemeriksaan juga sangat perlu dilakukan pada biota air dan laut yang menjadi bahan konsumsi, seperti Kupang, kerang, dan ikan; kedua: melakukan pemantauan kesehatan warga dengan melakukan pemeriksaan kesehatan (MCU) untuk mendapatkan gambaran utuh kondisi kesehatan dan perubahan-perubahannya, lalu melakukan upaya pencegahan pemburukannya; ketiga, melakukan pendampingan untuk pemulihan ekonomi warga melalui serangkaian program penguatan ketrampilan, permodalan, dan akses pasar. Ketergantungan korban Lapindo pada pihak lain sebagai satu-satunya sumber pendapatan, seperti saat Covid 19 ini, akan selalu menjadikan warga dalam posisi rentan; keempat, pengetatatan ijin ekstraksi sumber daya alam pada wilayah kelola rakyat dengan mengutamakan hak rakyat untuk menolak kegiatan yang merugikan penghidupan mereka. Penghentian ijin pengeboran migas di Sidoarjo menjadi salah satu kebijakan mencegah risiko bencana yang berulang; kelima, ketiadaan panduan pengelolaan menangani bencana industri membuat situasi lumpur Lapindo tidak mendapatkan penanganan komprehensif. Sudah seharusnya disusun panduan khusus memitigasi bencana industri dan mengelola risiko bencana industri. BNPB perlu prioritaskan penyusunan panduan ini. Jika tidak segera dilakukan, niscaya kegagapan dalam mengelola risiko bencana industri seperti pada kasus lumpur Lapindo masih akan terus dijumpai. Risiko bencananya tak mampu dicegah, lingkungan tak bisa diperbaiki, dan hidup warga tak bisa dipulihkan. Rakyat yang akan terus diminta mensubsidi, menjadi korban, lagi dan lagi.     

  • Kerjasama Lapindo dan BUMD Tingkatkan PAD Sidoarjo

    Kerjasama Lapindo dan BUMD Tingkatkan PAD Sidoarjo

    Sidoarjo, Sidoarjoterkini.com – Kerjasama di bidang gas antara Lapindo Brantas Inc dengan PD Aneka Usaha murni bisnis. Namun, salah satu tujuan kerjasama itu agar ada tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemkab Sidoarjo.

    Pasalnya, PD Aneka Usaha merupakan BUMD milik Pemkab Sidoarjo. “Kerjasama gas Lapindo dengan PD AU (Aneka Usaha), melalui Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dan sama dengan perusahaan swasta lainnya yang mengambil gas dari Lapindo,” ujar Comersial Manager Lapindo Brantas Inc, Anthoni Roy.

    Kerjasama antara Lapindo dengan PD AU, lanjut pria yang akrab disapa Roy ini, merujuk pada Pedoman Tata Kerja Nomor (PTKN) 029/PTJ/VII/2009 tentang penunjukan penjual dan penjualan gas bumi/LNG/LPG bagian negara. BUMD berpeluang mengelola distribusi gas kerjasama dengan K3S (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).

    Meski demikian, PJBG tidak bisa dilakukan antara Lapindo dan BUMD saja. Melainkan harus seizin SKK Migas. “Semua PJBG baik dengan PD AU maupun perusahaan gas lainnya harus ada rekomendasi atau ijin dari SKK Migas,” jelas Roy.

    Sedangkan kerjasama dengan PD AU dimulai sekitar tahun 2011 lalu. Untuk berapa banyak suplai gas yang dibeli PD AU, Roy mengaku tidak bisa menyebutkan karena menyangkut kerjasama.

    Roy mengaku kewenangan Lapindo hanya memberikan gas sesuai PJBG pada PD AU. Selanjutnya, apakah gas itu akan dijual ke perusahaan atau siapapun, menjadi kewenangan perusahaan yang bersangkutan.

    Selain bekerjasama dengan PD AU, Lapindo juga bekerjasama dengan perusahaan gas lainnya. Dalam hal distribusi gas, Lapindo berpegang teguh pada PJBG.

    Terpisah, Direktur PD Aneka Usaha, Amral Soegianto mengatakan untuk usaha gas yang dijalankannya sesuai dengan PJBG dengan Lapindo dan pihak terkait lainnya. “Selama ini kita sudah bisa menyumbang PAD untuk Pemkab Sidoarjo,” tandasnya.

    ST-12

    http://sidoarjoterkini.com/2015/06/12/kerjasama-gas-lapindo-dan-bumd-untuk-tingkatkan-pad-sidoarjo/

  • Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    mongabay.co.id – Presiden Joko Widodo dalam kampanye lalu di Sidoarjo, mengungkapkan selama ini negara absen lumpur Lapindo. Jadi, negara harus hadir sebagai wujud kedaulatan rakyat. Setelah terpilih, Jokowi baru-baru ini memberikan dana talangan buat Lapindo Rp781 miliar karena perusahaan berdalih tak mampu membayar. Upaya Jokowi dinilai berbagai kalangan bukan solusi, bahkan mengkerdilkan kehadiran negara. Presiden semestinya mampu memberikan jaminan pemulihan sosial, lingkungan dan hak-hak dasar yang selama ini terenggut dari warga Sidoarjo, sekitar. Salah satu rekomendasi KontraS agar pemerintah audit lingkungan Lapindo menyeluruh.

    “Dengan dana talangan dan sita aset, Jatam melihat itu tindakan mengkerdilkan kehadiran negara. Solusi pemerintah Jokowi tidak menyeluruh,” kata Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, baru-baru ini.

    Dia mengatakan, temuan Jatam dan Walhi Jatim menunjukan terjadi penurunan kualitas Sungai Porong sangat drastis. Air tanah di sekitar terdampak  lumpur Lapindo, tercemar logam berat dan zat kimia lain. “Pemerintahan Jokowi tidak bisa hanya mengartikan kehadiran negara dari dana talangan.”

    Menurut dia, jika permasalahan finansial perusahaan  dan pelanggaran HAM diselesaikan dengan uang negara, ke depan kasus ini akan terulang kembali. “Hanya pertolongan dana pajak dan uang rakyat?”

    Semestinya, kata Bagus, pemerintah perlu memberikan pemulihan sosial dan ekologis. Pemerintah,  harus meluaskan horison pandangan tidak hanya fokus wilayah tergenang. “Artinya melihat sebaran dari daya rusak praktik lumpur Lapindo, tidak hanya terpusat wilayah tergenang.”

    Dia mencontohkan, sebaran korban mengungsi, mencari kerja di wilayah lain, karyawan bekerja di sana meskipun tidak berdomisili di wilayah itu. “Permasalahan utama tidak ada data korban valid. Baik korban rumah terendam, maupun yang kehilangan hak sosial ekologis.”

    Tak jauh beda dengan KontraS. Haris Azhar, Koordinator KontraS mengatakan, kebijakan Jokowi tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Justru, hanya menguntungkan kelompok tertentu. “Hanya menggelontorkan dana kompensasi kepada korban Lapindo menurut kami itu tindakan sangat tidak tepat. Merendahkan nilai penanganan kasus juga merendahkan penderitaan korban,” katanya.

    Bahkan, langkah itu justru berujung pada pendekatan bisnis. Padahal, kasus lumpur Lapindo ada banyak aspek harus diperhatikan. “Wapres Jusuf Kalla hanya  mengatakan akan mengambil alih aset Lapindo jika tak mampu membayar dana talangan.”

    Haris menilai, respon Jokowi tidak sebanding dengan besaran dampak, kerugian warga di beberapa desa itu. “Ketika Jokowi mengatakan negara harus hadir, itu tidak bisa hanya memberikan Rp781 miliar. Seolah-olah dengan uang itu, permasalahan selesai.”

    Dalam Lapindo,  jelas ada kejahatan patut diduga itu sudab disadari sejak awal, meliputi berbagai aspek. “Harusnya ada upaya tidak sekadar menghitung kerugian materil belaka. Penting juga ada penghukuman kejahatan korporasi.”

    Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Ekosoc KontraS mengatakan,  dalam perspektif hukum dan HAM kebijakan ini tidak bisa meniadakan proses advokasi dan pertolongan kepada warga, terutama di Kecamatan Porong dan sekitar.

    Dia mengatakan, Jokowi mengundang pemerintah Sidoarjo, Gubernur Jatim ke Jakarta, hanya memberikan kompensasi. “Kita melihat pendekatan hanya nilai rupiah. Bukan pendekatan melihat sejauh mana proses normalisasi masyarakat lokal.”

    KontraS mengajukan, delapan rekomendasi kepada Presiden Jokowi,  dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Pertama, mendesak kapolri selaku orang yang bertanggung jawab terkait SP3 pidana Polda Jatim. Kedua, meminta Kementerian Keuangan, menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis membeli aset PT. Minarak Lapindo.

    Ketiga, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk audit lingkungan terhadap Lapindo secara menyeluruh.  Karena kegiatan mereka berdampak terhadap lingkungan.

    Keempat, meminta Jaksa Agung menggugat perdata karena ada indikasi wanpresrasi dan perbuatan melawan hukum oleh Lapindo. Kelima, meminta presiden tidak hanya mengeluarkan dana talangan, juga membentuk tim percepatan pemulihan non judicial terpadu. “Tim terdiri dari beberapa kementerian berbasiskan HAM. Ini penting karena ada beberapa pabrik tutup. Ribuan terdampak.”

    Keenam, meminta Kementerian Pekerjaan Umum aktif menyampaikan bukti-bukti kepada Polri terkait penyalahgunaan tata ruang oleh Lapindo.  Ketujuh, meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi  membuka data seluas mungkin karena hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan ada banyak fakta ditutup-tutupi oleh Lapindo. “Ini yang kita sesalkan seakan-akan itu kejadian biasa.”

    Kedelapan, meminta BPK berkoordinasi dengan kementerian terkait, terutama Energi Sumber Daya Mineral.”Dalam pemeriksaan Komnas HAM, muncul bukti dari BPK yang menguatkan bahwa proses pengeboran tidak prosedur. Tahapan-tahapan ada dilewati dan tidak sistematis. Sayang, bukti-bukti tidak ditindaklanjuti pemerintah. Baik pemerintah SBY maupun Jokowi. Padahal sangat kuat,” ucap Munir.

    Puri Kencana Putri, Kepala Biro Riset KontraS mengatakan, dalam laporan Komnas HAM dua tahun lalu, ada 15 kasus pelanggaran HAM yang berdimensi serius. “Bisa dipakai mendorong langkah-langkah judicial dan non judicial. Juga bisa dihadirkan untuk pemulihan terhadap hak-hak korban,” katanya.

    Laporan pelanggaran HAM itu  antara lain, hak atas hidup,  hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, dan hak atas kesehatan. Lalu, hak atas pekerjaan, pendidikan, berkeluarga dan melanjutkan keturunan, kesejahteraan, jaminan sosial, pengungsian, kelompok rentan terutama mereka penyandang cacat, lansia dan anak-anak.

    Indra Nugraha

    Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/01/14/korban-lapindo-perlu-pemulihan-sosial-dan-ekologis/

  • Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto

    (Artikel sebelumnya: Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo)

    MENJELANG BERAKHIRNYA TAHUN 2014, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengambil sebuah keputusan penuh resiko. Rapat kabinet telah memutuskan untuk memberikan dana talangan bagi Lapindo yang gagal memenuhi kewajiban untuk melunasi sisa pembayaran jual-beli tanah dan bangunan yang berada di wilayah terdampak lumpur Lapindo.

    Rencana dana talangan untuk Lapindo merupakan salah satu butir kontrak politik Jokowi dengan korban Lapindo, pemilik tanah dan bangunan yang telah menunggu bertahun-tahun dalam ketidakpastian tentang kapan Lapindo akan melunasi sisa kewajibannya pada mereka. Kontrak politik itu disepakati dalam kampanye Jokowi di atas tanggul lumpur. Kebetulan kampanye mengambil waktu yang bersamaan dengan hari peringatan delapan tahun semburan lumpur Lapindo, 29 Mei 2014.

    Dalam Pemilihan Presiden 2014 Jokowi menang dengan mengalahkan satu-satunya kandidat lawannya, Prabowo. Berada di belakang Prabowo adalah Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Aburizal adalah figur utama dalam Bakrie & Brothers, perusahaan induk Lapindo Brantas yang dituduh sebagai penyebab semburan karena melakukan malpraktik pemboran. Kekhawatiran publik kala itu adalah bila Prabowo naik menjadi presiden, kasus Lapindo tidak akan pernah tuntas, atau lebih tepatnya, ‘dituntaskan’. Oleh karenanya, terpilihnya Jokowi sebagai presiden telah meningkatkan harapan publik, khususnya korban lumpur, tentang penyelesaian tuntas kasus Lapindo.

    Desakan publik terus meningkat seiring meningkatnya imaji kehancuran akibat luapan lumpur memasuki musim penghujan. Curah hujan yang deras mendorong kebocoran tanggul sehingga lumpur masuk ke beberapa rumah warga yang belum pindah dari wilayah yang memang rawan terkena luberan. Para warga ini tidak hendak pindah karena Lapindo tidak mau membayar tanah dan bangunan mereka sekalipun wilayah mereka sudah dicantumkan dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007.

    Bersamaan dengan itu, sebagian korban lain dari kelompok cash and carry diberitakan menghalangi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melakukan perbaikan tanggul yang bocor. Mereka berdalih bahwa BPLS bekerja di atas tanah yang masih milik mereka karena Lapindo belum melunasi kewajibannya. Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jatim pun harus turun tangan berhadapan dengan para korban ini. Aparat kepolisian pun diturunkan untuk menjamin perbaikan dan perawatan tanggul oleh BPLS.

    ***

    WACANA AGAR PEMERINTAH perlu segera mengeluarkan dana talangan demi membantu Lapindo membayar para korban itu terus menguat. Melalui Sekretaris Kabinet Andi Wijadjanto, Jokowi menyatakan akan mendesak Lapindo untuk membayar kewajibannya pada korban lumpur. Pernyataan itu segera digantikan oleh pernyataan lain dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tentang rencana pemerintah membeli aset Lapindo dan dengan uang hasil pembelian itu perusahaan bisa melunasi kewajiban mereka pada warga. Wacana ini mendapat reaksi langsung dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan rencana pembelian aset hanya akan menguntungkan Lapindo. Menurut Jusuf Kalla, pemerintah seharusnya melakukan sita aset Lapindo, bukan justru membelinya.

    Wacana tentang rencana dana talangan untuk Lapindo semakin konkret dalam rapat kabinet. Dalam rapat itu diputuskan bahwa pemerintah akan menganggarkan di APBN dana talangan sebesar Rp781 milyar untuk diberikan pada Lapindo sebelum Lapindo mendistribusikannya pada para korban yang berhak. Sebagai jaminannya, Lapindo berkewajiban untuk menyerahkan asetnya pada pemerintah. Selain itu, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan uang negara dan bila Lapindo gagal pemerintah akan melakukan sita aset perusahaan.

    Bola panas rencana dana talangan untuk Lapindo sekarang berada di tangan DPR. Tentunya tidak sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari DPR karena berada di kubu oposisi adalah Partai Golkar. Kali ini, para aparatus pemerintahan sepertinya sudah satu suara. Akan tetapi, publik melihat rencana pemerintah untuk memberi tenggat empat tahun pada Lapindo tidak lebih dari sekadar akal-akalan belaka. Apalagi, Lapindo sebenarnya sejak masa Presiden Yudhoyono telah mengajukan dana talangan untuk melunasi kewajibannya pada korban lumpur di Porong.

    ***

    DALAM BENAK MAYORITAS publik, Lapindo tidak akan mengembalikan uang tersebut. Imaji semacam ini muncul dari pengalaman publik melihat tindak-tanduk Lapindo yang tidak pernah mengutamakan etika dalam berhadapan dengan warga maupun pemerintah. Persoalan etika yang melekat dalam kasus Lapindo sudah dimulai sebelum lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, bahkan sebelum pemboran Sumur Banjar Panji 1 dilakukan.

    Lapindo masuk dalam kategori tidak beretika karena telah melakukan kebohongan publik tentang bagaimana perusahaan itu mendapatkan sebidang tanah di Desa Renokenongo. Dengan bantuan Lurah Renokenongo, Lapindo berbohong pada si pemilik lahan dengan mengatakan bahwa di lokasi itu akan digunakan sebagai peternakan, bukan sebagai sumur eksplorasi gas alam. Tentunya, publik juga bertanya-tanya bagaimana Lapindo bisa mendapatkan izin pemboran sumur eksplorasi gas alam di kawasan padat huni dan berdekatan dengan infrastruktur vital lainnya, antara lain: jalan tol dan rel kereta api.

    Persoalan etika Lapindo juga kembali menyeruak dalam keputusan mereka untuk tidak lagi memasang selubung pengaman pada kedalaman tertentu dalam pemboran sumur Banjar Panji 1. Hal ini dilakukan untuk penghematan biaya operasional kegiatan eksplorasi. Akan tetapi, ketiadaan selubung pengaman itu berujung fatal pada runtuhnya dinding sumur di bawah tanah yang menyebabkan mata bor macet di dalam. Runtuhnya dinding sumur meningkatkan tekanan di bawah tanah dan memicu keretakan pada lapisan tanah di sekeliling sumur. Keretakan lapisan tanah merambat sampai pada sumber lumpur panas. Untuk mengatasi krisis tersebut, Lapindo melakukan penyemenan bagian atas sumur eksplorasi yang mengakibatkan semakin meningkatnya tekanan dari bawah tanah. Keretakan lapisan bawah tanah pun sampai ke permukaan, beberapa puluh meter dari mulut sumur Banjar Panji 1. Lumpur panas pun mulai menyembur mengikuti lontaran gas alam.

    Kita juga patut mempertanyakan etika Lapindo yang bersikeras mengkambinghitamkan gempa bumi 26 Mei 2006 di Yogyakarta sebagai penyebab semburan. Klaim semacam ini akan menguntungkan perusahaan karena klaim itu bertujuan mengubah citra perusahaan sebagai pelaku (yang menyebabkan semburan lumpur) menjadi salah satu korban lumpur. Sebagai korban dari sesuatu yang disebabkan oleh gejala alamiah, Lapindo pun berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti halnya para korban lumpur yang lain.

    Dalam dimensi pencitraan yang lain, Lapindo juga kerap menyatakan diri sebagai ‘penyelamat’ bagi para warga-korban. Kali ini, dengan mengatasnamakan ‘Ibunda Bakrie’ sebagai figur yang mendesak Keluarga Bakrie untuk membantu para korban yang menghadapi kesusahan, Lapindo membingkai tindakan mereka membayar ‘ganti-rugi’ pada korban sebagai bantuan, bahkan sedekah, bukannya sebagai kewajiban hukum mengikuti Perpres 14/2007. Karena bantuan atau sedekah, Lapindo pun secara suka-suka memberi para korban dan praktik itu dilakukan bukan dalam bingkai bahwa Lapindo sedang membayar hutang pada korban namun justru kinilah para korban itu yang sedang berhutang pada Lapindo. Ini jelas adalah sebuah strategi tidak etis yang diterapkan Lapindo terkait dengan kewajibannya pada korban.

    ***

    BERAGAM PRAKTIK TIDAK etis yang selama ini dilakukan Lapindo rupanya masih belum cukup untuk membuka cakrawala pemerintah dalam melihat kasus Lapindo. Sikap pemerintah yang selalu permisif terhadap Lapindo, bahkan setelah pergantian tampuk kepemimpinan, patut terus dipersoalkan secara kritis. Pertanyaan saya pun masih sama: aset apa yang akan dijaminkan Lapindo untuk mendapatkan dana talangan dari pemerintah?

    Dalam tulisan sebelumnya (‘Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo’), saya mempersoalkan tentang logika rencana pemerintah untuk menyita aset yang status sudah pasti bakal menjadi ‘milik negara’. Pemikiran semacam itu muncul atas dasar wacana bahwa aset Lapindo yang akan disita pemerintah adalah tanah dalam peta area terdampak. Mengacu pada pasal 26 & 27 UU Agraria No 5/1960, tanah yang dibeli Lapindo akan batal secara hukum dan statusnya akan menjadi ‘tanah negara’. Tidak hanya itu, Lapindo juga tidak berhak untuk meminta kembali uang yang sudah dikeluarkan untuk membeli tanah dari warga.

    Jika Lapindo menjaminkan asetnya sebagai perusahaan pertambangan, maka lagi-lagi publik harus mempertanyakannya. Mengacu pada Pasal 4 PP No. 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, disebutkan bahwa ‘Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana’ (ayat 1).

    Oleh karena itu, menjaminkan sesuatu yang tidak pernah menjadi miliknya — apakah itu tanah yang dibeli dari warga ataupun barang dan peralatan lain sebagai kontraktor eksplorasi gas alam— tidak hanya sebuah tindakan yang tidak masuk akal secara hukum, tapi juga tidak etis!

    (bersambung: Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi)

    Heidelberg, 13 Januari 2014
    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya yang menggeluti kasus Lapindo sejak 2008. Penulis berterima kasih secara khusus pada Prasojo Bayu yang mengangkat kembali persoalan etika dalam kasus Lapindo.

    Versi PDF [unduh]

  • Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto 

    RENCANA PEMERINTAH MENALANGI hutang Lapindo pada korban lumpur di Sidoarjo senilai Rp 781 milyar menggunakan dana taktis APBN 2015 patut didiskusikan secara kritis.

    Berangkat dari perspektif ‘korban’, mayoritas publik menilai pelunasan hutang Lapindo tersebut merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan mengingat korban sudah terlalu menunggu dalam ketidakpastian. Dana talangan adalah solusi darurat yang harus diambil oleh pemerintah untuk memberi kepastian pada para korban.

    Hanya sedikit dari publik yang tahu bahwa dana talangan hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Padahal, masih banyak kelompok korban lain yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan setiap kelompok itu menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain.

    Pada saat yang bersamaan, terdapat sekelompok orang yang berangkat dari perspektif ‘korporasi’ mempertanyakan secara kritis rencana pemerintah tersebut. Pemberian dana talangan merupakan strategi ekonomi-politik yang hanya menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial. Dalam kasus Lapindo, korporasi itu adalah Grup Bakrie. Logikanya sederhana: bukannya menghukum, negara justru membantu si pelaku kejahatan.

    Belajar dari pengalaman sebelumnya, dana talangan berujung pada praktik koruptif para penyedia dan penerima dana talangan, seperti kasus BLBI dan kasus Bank Century. Dana talangan itu tidak pernah kembali ke kas negara. Kritik dari kelompok ini dapat dirangkum dalam sebuah pertanyaan kritis: apakah pemerintah juga akan menyediakan dana talangan bagi korban Lapindo yang terlilit hutang akibat tertundanya pembayaran hak mereka selama bertahun-tahun?

    Terlepas dari pro-kontra terhadap rencana dana talangan untuk kasus Lapindo, yang tak kalah menarik perhatian adalah rencana pemerintah untuk menyita aset perusahaan bila dana tersebut tidak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Rencana ini mendorong penulis untuk meninjau kembali kasus Lapindo menggunakan perspektif ‘objek’ – tanah yang menjadi medium relasi kuasa antara para agen yang terlibat di dalamnya.

    ***

    KOMPLEKSITAS PENANGANAN KASUS Lapindo bermula sejak penandatanganan Perpres 14/2007 tentang BPLS pada 8 April 2007. Salah satu hal prinsipil dalam Perpres itu adalah tentang bagaimana pemerintah menyederhanakan konsep ‘ganti-rugi’ menjadi praktik ‘jual-beli’.

    Secara sosiologis, terdapat perbedaan hakiki dalam relasi sosial yang disebabkan oleh masing-masing konsep itu. Dalam logika ‘ganti-rugi’ relasi sosial yang terjadi adalah antara korban dan pelaku dengan mengandaikan otoritas superior (penegak hukum, negara, juri) yang mengawasi proses tersebut. Sementara itu, dalam proses ‘jual-beli’ relasi sosial yang terjadi adalah antara penjual dan pembeli, dalam hal ini warga sebagai penjual dan Lapindo sebagai pembeli. Objek yang diperjualbelikan adalah tanah dan bangunan dalam peta area terdampak (PAT) tertanggal 22 Maret 2007.

    Sekalipun nilai tukar dari objek yang sedang dipertukarkan sama besarnya, hakikat pertukarannya tidak pernah sama. Dalam proses ‘ganti-rugi’, pelaku mengganti kerugian yang diderita oleh korban tanpa ada peralihan kepemilikan apapun. Sementara itu, ‘jual-beli’ mengutamakan peralihan kepemilikan dari pembeli ke penjual. Dan justru di sinilah letak masalahnya ketika objek yang sedang diperjualbelikan, salah satunya, adalah tanah.

    Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, seperti Lapindo atau Minarak, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali dan status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).

    Mekanisme jual-beli antara warga-korban dan Lapindo telah diatur dalam Surat Kepala BPN tanggal 24 Maret 2008. Dan, menurut Perpres 48/2008, tanah dalam peta area terdampak statusnya beralih menjadi ‘barang milik negara’. Jika betul demikian, maka pertanyaan kritis kita adalah: bagaimana mungkin negara menyita aset yang statusnya sudah pasti bakal menjadi ‘tanah negara’?

    Berdasarkan penelusuran singkat tersebut, penulis berpendapat bahwa rencana ‘dana talangan’ dan ‘sita aset’ Lapindo merupakan bukti dari kedangkalan pemerintah memahami lansekap-bencana lumpur Lapindo. Pemerintah, dan publik umum (termasuk media massa) telah secara sempit memahami kasus Lapindo sebatas ‘ganti-rugi’ (itupun sebenarnya sudah direduksi menjadi ‘jual-beli’) apalagi untuk sampai pada persoalan pemulihan sosial-ekologis.

    ***

    BILA KITA MAU secara jeli memahami kasus Lapindo, kita akan menjumpai pelbagai fakta yang menunjukkan bahwa sisa hutang Lapindo melampaui Rp781 milyar. Lapindo juga masih berhutang pada para pengusaha melalui mekanisme B-to-B yang jumlahnya mencapai senilai Rp514 milyar. Selain itu, masih banyak korban dari kelompok cash and resettlement, misalnya, yang belum mendapatkan kepastian kapan mereka akan mendapatkan sertifikat atas tanah dan rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Bagi kelompok ini, selama Lapindo belum menyerahkan sertifikat tersebut proses transaksi belumlah selesai dan Lapindo masih berhutang pada mereka.

    Selain persoalan ekonomi, dampak dan resiko sosial-ekologis juga kerap luput dari amatan publik. Pembuangan lumpur ke Selat Madura menyebabkan pendangkalan dan pencemaran di sepanjang DAS Porong yang berujung pada menurunnya produksi perikanan pantai timur Sidoarjo. Sampai kini belum terdengar program jangka panjang untuk melakukan normalisasi DAS Porong. Alih fungsi lahan akibat proyek relokasi jalan raya, jalan tol, dan juga permukiman kembali korban Lapindo merupakan sumber bagi meluasnya persoalan pada jaring sosial-ekologis yang lain.

    Dana talangan memang penting dan mendesak bagi para korban, namun rencana itu baru menyentuh sebagian dari kasus Lapindo. Dana itu hanyalah solusi darurat dan parsial karena diperuntukkan bagi sebagian korban dari kelompok cash and carry. Tentunya, masih banyak persoalan lain yang memunculkan dan dimunculkan oleh lumpur Lapindo yang membutuhkan perhatian dan tindakan konkret dari pemerintah.

    Pemerintah tidak pernah tegas, misalnya, untuk mengusut pemberian izin pada Lapindo untuk melakukan pemboran Sumur Banjar Panji 1, dan juga sumur-sumur yang lain, di kawasan padat huni. Pemerintah juga tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk melunasi pembayaran pada korban sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru mereduksi tanggung jawab Lapindo secara bertahap.

    ***

    SEBAGAI BAGIAN DARI publik kritis, kita seharusnya terus mempertanyakan ‘kemauan politik’ pemerintah untuk secara serius memahami kompleksitas kasus Lapindo dan mengusutnya sampai tuntas. Karena bila bukan pemerintah, lalu otorita  politik apa lagi yang bisa?

    Kasus Lapindo akan selalu menjadi uji kasus bagi siapapun yang duduk di kursi kekuasaan, termasuk Presiden Joko Widodo. Tentunya, publik sangat berharap agar dalam masa pemerintahan saat ini keadilan betul-betul ditegakkan. Kini saatnya menenggelamkan sang raksasa jahat dalam lumpur Lapindo, bukannya justru melindungi dan ikut tenggelam bersamanya.

    (bersambung: Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika)

    Heidelberg, 11 Januari 2015

    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya. Mendalami kasus Lapindo sejak 2008 hingga kini.

    Catatan penulis: beberapa pendapat dalam artikel ini pernah disampaikan ke beberapa media cetak tanpa ada kejelasan.

    Versi PDF [unduh]

  • Ical, Golkar, dan Lapindo

    Ical, Golkar, dan Lapindo

    SETELAH melalui berbagai polemik dan intrik, Aburizal Bakrie kembali terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar untuk periode 2014–2019. Ical, sapaan Aburizal Bakrie, terpilih secara aklamasi melalui munas yang diselenggarakan di Westin Resort, Nusa Dua, Bali (3/12). Apa lagi yang dicari Ical di Partai Golkar?

    Dulu para pengusaha punya prinsip jangan menaruh telur dalam satu keranjang. Biasanya, pengusaha ”menaruh” kakinya di beberapa partai sekaligus. Selain menyokong partai A, juga menyumbang partai B. Meski menjadi pengurus partai C, juga diam-diam membeli ”saham” di partai D. Itu dulu. Sekarang perilaku politik para saudagar berubah.

    Kini pengusaha cenderung menaruh telurnya di satu keranjang. Lihat saja Ical di Partai Golkar dan Surya Paloh di Partai Nasdem. Hary Tanoesoedibjo ikut ”basah” di politik setelah adiknya tersangkut kasus hukum di KPK. Dia sempat ngebet memimpin Nasdem meski akhirnya menyingkir, walaupun sudah keluar dana miliaran rupiah. Politikus baru itu kemudian masuk Hanura dan dijadikan bakal calon wakil presiden.

    Kalau dipikir, orang seperti Ical dengan kekayaan yang melimpah ruah lebih enak menjadikan parpol sebagai hobi. Tak perlu ngoyojadi capres atau memimpin partai dengan segala cara.

    Pakar ekonomi politik James Buchanan memunculkan teori pilihan rasional (rational choice theory) untuk menggambarkan bahwa merupakan sebuah pilihan rasional bila seseorang yang terjun ke politik memperjuangkan kepentingan pribadinya (Deliarnov, 2006). Jadi, jangan heran bila artikulasi kepemimpinan Ical di Partai Golkar tidak mungkin merugikan Grup Bakrie. Misalnya dalam kasus lumpur Lapindo.

    Ketika Ical menjadi ketua umum Partai Golkar periode 2009–2014, partai berlambang pohon beringin itu berupaya agar pemerintah mengambil alih pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo. Sebelumnya, Partai Golkar juga berupaya keras agar kasus Lapindo dianggap sebagai bencana alam. Intinya, Partai Golkar berupaya agar beban perusahaan Grup Bakrie itu bisa seringan mungkin untuk kasus lumpur Sidoarjo.

    Lapindo masih berutang Rp 781 miliar. Juga, perusahaan itu sudah angkat tangan karena sebelumnya sudah mengucurkan uang Rp 9 triliun lebih untuk ganti rugi korban Lapindo. Gara-gara itu, utang Grup Bakrie meningkat tajam. Kekuatan politik yang dimiliki Ical bisa menjadi penopang bisnis keluarga Bakrie.

    Terlepas dari semua itu, yang harus diutamakan sekarang adalah bagaimana ganti rugi bagi korban Lapindo bisa dituntaskan. Pemerintah harus merelakan APBN Rp 781 miliar untuk memberikan kepastian bagi korban Lapindo. Setelah itu, silakan pemerintah menagih ke Lapindo. Kalau bisa. (*)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/10014/Ical-Golkar-dan-Lapindo

  • Gubernur Jatim Tolak Niat Lapindo Ngebor di Sidoarjo Lagi

    Gubernur Jatim Tolak Niat Lapindo Ngebor di Sidoarjo Lagi

    Metrotvnews.com, Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur melarang PT Lapido Brantas melakukan pengeboran pada Agustus 2013, selama ganti rugi untuk warga korban lumpur Lapindo belum diselesaikan.

    “Sikap saya tidak akan pernah berubah. Selama ganti rugi belum dilunasi, saya tidak akan mengizinkan untuk melakukan pengeboran. Ini memang wewenang bupati tapi, Pemprov juga bisa melarang pengeboran,” kata Gubernur Jatim Soekarwo di Surabaya, Selasa (9/7). (more…)

  • Sidoarjo Mud Volcano Budget Share Raises Eyebrows

    Criticism has mounted over the government’s lack of discussion regarding the Rp 155 billion ($15.7 million) fund allocation in the 2013 state budget for the management of the Sidoarjo mud volcano in East Java.

    The announcement of compensation in the revised budget, approved last night, has raised concerns about the government’s ability to swiftly compensate residents whose homes and land were swamped by the still-growing lake of mud that began gushing in May 2006.

    It also triggered questions over whether a political deal between the Democratic Party and the Golkar Party had been involved in the budgeting. (more…)

  • Long Wait For Victims of Indonesian Mud Volcano


    Thousands left homeless by a volcanic mud eruption in Indonesia are still waiting for the final payment of their compensation.

    It’s been seven years since the Lapindo mud flow disaster, when a sea of mud first began bubbling up, submerging homes and livelihoods.

    Many blame oil drilling activities for the river of mud that erupted, but the company involved, Lapindo, says a volcanic eruption hundreds of kilometres away triggered the flow. (more…)

  • Rumah Baru Supadmi

    Supadmi (46 tahun) sedang membangun sendiri rumah barunya di Dusun Pandokan, Desa Kedungcangkring. Dalam memilih rumah barunya, Supadmi tak berpikir panjang. Baginya, yang penting dekat dengan jalan raya dan harga tanahnya murah [40 juta rupiah untuk tanah ukuran 5 x 42 meter). Dia sudah habis sekitar 130 juta. Sampai saat ini Supadmi belum mendapat sertifikat. Dia hanya memegang akta jual beli.

    Supadmi memiliki 5 (lima) anak. Dua diantaranya sudah pisah rumah. Seorang anak perempuannya bekerja di Pabrik Salon Pas di Buduran, Sidoarjo.

    Supadmi merupakan warga Desa Siring Barat yang mendapat uang penjualan dari APBN. Sejak setahun lalu, proses pembayaran sudah lunas.  (more…)

  • Perjalanan Cak Taman

    Cak Taman (45 tahun) berasal dari Besuki (Barat) sekarang menghuni rumah barunya di Dusun Podokaton, Desa Kedungcangkring. Setelah Besuki Barat “masuk peta”, Taman mengikuti seorang tokoh desa Besuki yang menawarkan tanah kapling di Desa Meranggen. Namun, Taman menjual tanah itu karena lokasinya sepi dan terlalu jauh dari desa asalnya, Besuki.

    Selain masalah lokasi dan jarak, Taman juga kecewa karena harga tanah yang dibelinya ternyata lebih mahal lima juta rupiah dari harga umumnya. Ditambah lagi, ternyata sang tokoh yang menawarkan tanah kapling itu tidak turut pindah ke Meranggen. Taman memilih dan memutuskan untuk tinggal di Desa Kedungcangkring adalah karena lokasinya tidak jauh dari warga Besuki Barat. (more…)

  • Tolak 80% Dicicil, Warga Geppres Aksi Tutup Jalan Raya Porong

    Tolak 80% Dicicil, Warga Geppres Aksi Tutup Jalan Raya Porong

    Sekitar 750 orang warga korban lumpur Lapindo melakukan aksi menutup jalan di jalan raya Porong-Gempol pada hari Kamis (04/12). Aksi yang sempat menyebabkan kemacetan sepanjang 5 kilometer ini dilaksanakan oleh warga yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden No. 14 tahun 2007 atau Geppres.

    Aksi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap perwakilan warga yang sedang berada di Jakarta. Sejak tanggal 30 November 2008, sejumlah 40 orang perwakilan warga berangkat ke Jakarta guna menuntut kejelasan mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80%. Dua hari berikutnya perwakilan warga Geppres bertambah hingga pencapai 70 orang.

    Perwakilan warga Geppres bertolak ke Jakarta bersama dengan 1.500 orang warga korban yang berasal dari Perumtas yang telah berangkat ke Jakarta lebih awal, yaitu pada hari Sabtu (29/11). Sebelum keberangkatan baik warga yang tergabung dalam Geppres maupun Perumtas telah menyusun agenda bersama yang akan mereka sampaikan pada Presiden.

    Seperti yang dituturkan Rafi’i, salah seorang warga yang tergabung dalam tim relawan Desa Jatirejo, terdapat tiga tuntutan bersama yang telah disusun oleh perwakilan Tim Geppres bersama denga Tim 16 dari Perumtas. Ketiga tuntutan tersebut yaitu, 1) pembayaran sisa ganti rugi 80% segera dilaksanakan terhadap semua jenis sertifikat tanah warga, 2) Petok D, Letter C, dan SK Gogol sama kedudukannya dengan Sertifikat Hak milik sesuai dengan risalah menteri dan Perpres No. 14/2007, dan yang terakhir pembayaran 80% harus dikawal seperti pada pembayaran 20%.

    Dalam rapat koordinasi itu juga disepakati untuk membentuk tim negosiator yang nantinya akan menemui presiden dan menyampaikan tuntutan. Tim negosiator sendiri terdiri dari 3 orang dari perwakilan Geppres dan 2 orang dari Tim 16.

    “Hari senin itu (1/12) perwakilan Geppres diundang rapat oleh Tim 16 Perumtas. Mereka menyatakan tim Geppres tidak lagi tergabung dengan Perumtas,” tutur Samanuddin, Koordinator Lapangan dari desa Jatirejo. Dan pada hari Rabu kemarin (3/12), sejumlah 1500 orang warga dari Perumtas melakukan aksi dengan mengepung istana Presiden.

    Dalam aksi tersebut, sejumlah 9 orang perwakilan dari Tim 16 Perumtas akhirnya melakukan pertemuan dengan Presiden. Dalam pertemuan itu disepakati pembayaran sisa ganti rugi 80% untuk warga korban Lapindo akan dibayar secara cicil.  Besarannya yaitu 30 juta rupiah setiap bulannya. Sedangkan perwakilan Geppres menyatakan menolak sistem pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar cicil.

    Mereka menilai model pembayaran itu tidak sesuai dengan Perpres No. 14 tahun 2007. Pada saat itu mereka melakukan aksi di Kedutaan Belanda untuk meminta tempat mengungsi di negara tersebut. Perwakilan warga Perumtas menyatakan pembayaran 30 juta perbulan hanya untuk warga Perumtas.

    Aksi yang dilakukan warga dari Geppres di jalan raya Porong-Gempol dimaksudkan sebagai bentuk dukungan terhadap aksi yang dilakukan oleh tim Geppres yang ada di Jakarta. Aksi tersebut dimulai pada pukul 08.30 WIB. Mereka menolak skema pembayaran ganti rugi 80% secara cicilan dan menuntut pembayarannya dibayar lunas segera. Sejumlah besar aparat kepolisian dari Polres Sidoarjo diturunkan untuk mengamankan aksi ini.

    Aksi yang sebelumnya  berjalan lancar ini akhirnya berujung ricuh. Aparat kepolisian memaksa para peserta aksi untuk tidak menutup keseluruhan badan jalan.  Upaya tersebut mendapatkan perlawanan dari pihak warga hingga terjadi beberapa kali bentrokan fisik dengan aparat. “Kendala kami salah satunya karena warga dari 4 desa ini belum saling mengenal satu sama lain. Jadi kami tidak tahu siapa warga yang memulai kericuhan. Malahan ada sebagian aparat kepolisian berpakaian preman yang ikut memprovokasi warga,” ungkap Rafi’i.

    Sejumlah warga mengalami luka memar akibat merasakan pentungan aparat keamanan. Peserta aksi yang kebetulan sebagian besar perempuan tidak sanggup menghadapi tindakan represif oleh aparat keamanan.

    Dalam kericuhan ini setidaknya ada 3 orang yang warga yang diamankan oleh pihak keamanan. Mereka adalah Iskak, warga Jatirejo RT 11, Sungkowo RT 12, dan Sugeng, juga dari Jatirejo RT 8. Setelah kericuhan mereda, warga selanjutnya menuju Pasar baru Porong sembari menunggu kabar dari perwakilan mereka di Jakarta.

    Pada saat yang sama, perwakilan warga yang berada di Jakarta tengah bertemu dengan Kapolda Metro Jaya. Mereka berharap Kapolda Metro Jaya dapat memfasilitasi pertemuan mereka dengan Presiden SBY. Warga Geppres yang menunggu di Pasar Baru Porong juga menanti kejelasan tentang 3 orang warga yang diamankan oleh aparat keamanan dari Polres Sidoarjo.

    “Kapolres meminta perwakilan warga sebanyak 5 orang untuk melepasakan warga yang ditahan. Teman-teman kami itu juga didampingi oleh 5 orang pengacara. 3 orang dari YLBHI dan dua lagi dari Malang,” ujar Samanuddin.

    Hingga pukul setengah 5 sore warga belum juga mendapatkan kejelasan mengenai status 3 orang warga yang ditahan tersebut. Mereka pun memutuskan untuk menuju ke Mapolres Sidoarjo guna menuntut agar ketiga teman mereka dibebaskan. Sekitar 200 orang warga yang datang kembali mendapatkan blokade kawat berduri dari aparat kepolisian. Namun tidak sampai terjadi bentrok seperti aksi pada siang harinya.

    Menjelang malam perwakilan warga yang ada di dalam kantor Mapolres Sidoarjo menemui warga yang berada di luar kantor. Sempat terjadi perdebatan antara perwakilan warga yang ada didalam dengan warga yang ada di luar. Bahkan warga yang ditahan pun akhirnya keluar juga menenangkan warga. “Bapak-bapak silahkan pulang dulu saja,  anak dan istri sudah menunggu dirumah. Saya dan teman-teman yang lain sudah ada yang urus,” ujar salah seorang warga yang ditahan. Baru pada keesokan pagi harinya, (Jum’at,5/12) ketiga orang warga resmi dibebaskan. (mas)

  • Kesepakatan SBY-Lapindo dan Tim 16 Perumtas Menyisakan Persoalan

    Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  kecewa terhadap SBY, yang seolah tidak berdaya menghadapi Lapindo Brantas. Sikap marah yang ditunjukkan SBY tidak bisa diartikan sebagai keseriusan SBY menuntaskan kasus ini. Sebab, dengan kewenangan yang dimilikinya, harusnya Presiden dapat mengambil tindakan  jauh lebih tegas, dibanding saat ini yang kerap melindungi pemilik PT Lapindo Brantas. seperti yang selama ini terjadi. Kompromi yang dilakukan SBY,  memperlihatkan kelemahan SBY sebagai pimpinan Republik ini. Lagi-lagi,  korbanlah yang terus dirugikan.

    Pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan PenanggulanganLumpur Sidoarjo menyatakan, dana jual beli bertahap untuk area peta terdampak versi 4 Desember 2006, sebanyak 20% dibayarkan dimuka, sisanya paling lambat sebulan sebelum belum masa kontrak rumah dua tahun habis. Celakanya, ketentuan tersebut hanya  di atas kertas. Prakteknya, berbagai janji dan kesepakatan tersebut disendat-sendat. Sampai kontrak warga korban Lumpur, termasuk warga Tim 16 Perumtas habis, sisa uang mereka tak dilunasi. Bahkan masih banyak pembayaran 20%  yang belum dilunasi. 

    Langkah-langkah SBY-JK menangani semburan lumpur panas Lapindo, cenderung menguntungkan keluarga Bakrie – pemilik Lapindo dan mengalahkan warga. Diantaranya,  Pertama. Perpres No. 14 Tahun 2007, yang salah satunya mengatur pembayaran dan membagi warga dalam kelompok di dalam peta terdampak dan diluar peta. Status warga korban berubah menjadi mitra jual beli. Ini belum selesai, pengelompokan di dalam dan di luar peta, proses pembayaran yang ditunda-tunda dan bentuknya kerap berubah, membuat warga korban  terpecah belah satu sama lain.

    Kedua. Diskriminasi juga dilakukan PT Lapindo Brantas terhadap warga korban yang memiliki tanah dengan status letter C, petok D atau belum bersertifikat. Meskipun Pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional telah menjamin bahwa para korban ini berhak atas jual beli menurut Perpres 14 tahun 2007, tapi perusahaan ngotot tak mau membayar.  Ketiga.  Penegakan hukum yang seolah mandek ditempat. Kinerja para penegak hukum sangatlah buruk, terkesan tak berdaya mengurus kasus ini, Penyidikan polisi juga tidak transparan dan tak mengalami kemajuan.

    Keempat. Penanganan semburan lumpur dan perusakan lingkungan sekitarnya. Di lapang, warga berhadapan  dengan  konflik, ketidakpastian dan tinggal di lingkungan yang tidak sehat, akibat semburan lumpur dan gas serta jatuhmiskin.

    Ketidakadilan diatas terus berlangsung. Kesepakatan terakhir warga korban Tim 16 Perumtas, yang baru ditandatangani SBY, disaksikan para menterinya, membuat nasib warga makin tidak pasti dan justru menyisakan berbagai persoalan. Mengapa begitu?

    Pertama. Kesepakatan serupa telah dilakukan satu setengah tahun lalu – bersama SBY, dan sekarang berulang lagi tanpa kepastian. Dari tuntutan jual beli tunai 100%, pemerintah dan Lapindo memaksakannya menjadi  tunai 20% : 80%. Dan kini, angka 80% untuk warga tim 16 Perimtas berubah menjadi cicilan sebulan Rp 30 juta,dan uang kontrak 2,5 juta. Artinya,  Presiden melanggar Perpresnya sendiri.

    Kedua. Perubahan kesepakatan ini menjadi alat efektif memecah belah warga, karena pemerintah menutup mata terhadap fakta beragamnya kelompok warga korban Lapindo di lapang. yag menuntut , akibat penanganan selama ini. Tak hanya kelompok yang tergabung dalam Tim 16, yang jumlahnya 4 ribuan orang. Ada kelompok-kelompok lain  yang masih menuntut pembayaran tunai cash and carry sesuai Perpres No. 14 Tahun 2007. Oleh karenanya, kesepakatan yang dibuat delegasi Tim 16 dengan PT Lapindo – SBY sebenarnya hanya mengikat  pihak-pihak yang bernegosiasi saja, bukan seluruh korban.

    Ketiga. Tidak ada jaminan bahwa persoalan yang diahadapi warga korban lainnya seperti yang tidak bersertifikat dan berada di luar peta are terdampak akan dapat diselesaikan dengan baik pasca kesepakatan ini. Merujuk kepada pengalaman yang sudah-sudah, persoalan di lapangan selalu saja menempatkan korban pada posisi yang tidak menguntungkan.

    Mencermati situasi ini, Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  menyampaikan:

    1. Logika “Bantu yang Kaya Lebih Dulu, Yang miskin Belakangan”, yang ditunjukkan pemerintah RI dalam menanggapi aksi korban lumpu Lapindo kali ini menunjukkan kembali politik anti-rakyat dari pemerintahan SBY. Dalam keadaan sebelum krisis keuangan, apalagi sekarang, Pemerintah harus mendahulukan kepentingan korban lumpur Lapindo daripada kepentingan PT Lapindo, yang beralasan tak mampu membayar sesuai kesepakatan. Pemerintah justru harus mempercepat pembayaran, bukan memperpanjang masa pencicilanpembayaran. Ironis, Menteri Keuangan bisa mengantisipasi penyuntikan dana ke lembaga-lermbaga keuangan, tetapi melayani warga negaraIndonesia yang serba lemah tidak ada tanggapan sama sekali, justru menunda penuntasan hak.
    2. Menyerukan warga korban Lapindo terus bersatu dan menuntut hak-haknya termasuk membayaran  tunai 80%. Terus menyuarakan tuntutannya, termasuk kebutuhan dasar dan layanan kesehatan.
    3. Menyerukan media membantu korban Lapindo, dengan tak mengaburkan kesepakatan Tim 16 dengan PT lapindo Brantas – SBY, sebagai kesepakatan seluruh korban Lapindo.
    4. Pemerintah melakukan sosialisasi dengan benar kepada masyarakat tentang negosiasi yang telah dilakukan, mencakup siapa yang melakukan negosiasi, hasil negosiasi, impilikasi dari hasil negosiasi tersebut. Termasuk menjelaskan kepada publik dan korban bahwa negosiasi hanya dilakukan antara PT Lapindo dengan Tim 16, bukan dengan keseluruhan korban.
    5. Mendesak aparat keamanan menghentikan pendekatan represif dalam menangani aksi-aksi dan protes warga korban Lapindo, baik di dalam peta maupun luar peta terdampak.

    Kontak Media:
    Wardah Hafidz (UPC), 08161161830 – Bambang Sulistomo(GMLL)0818103674 – Berry Nahdian Forqan (WALHI) 08125110979 – Chalid Muhammad (aktivis lingkungan) 0811847163 – Firdaus Cahyadi (Satu Dunia) 0081513275698 – Siti Maimunah (Jatam) 0811920462 – Taufik Basari (LBHM) 081586477616 – Usman Hamid (Kontras), 0811812149

    Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo:
    Jatam, Kontras, Walhi, Satu Dunia, LBH Masyarakat, GMLL, UPC, Uplink, Imparsial,  YLBHI, LBH Jakarta, ICEL, Lapis Budaya, Elsam, Yappika, HRWG, Air Putih, TIFA

  • Koran Tempo – Jangan Hambat Kasus Lapindo

    Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

    Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

    Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

    Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan “well kick” terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

    Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

    Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.[Editorial Koran Tempo, 31/10]

  • AAPG Day 2: showdown at the Lusi corral

    Things were a bit different from the other sessions at this conference: photographers and cameramen were roaming the room, and on my way in I had a press release from Lapindo Brantas thrust into my hands, informing me that most of the previously reported findings were based on ‘incorrect data’, and that this would be the first time ‘official data’ were presented to the scientific community. It transpired that this was also stretching the truth a bit; as the session unfolded it became apparent that this was more an issue of which data (specifically, which of the various measurements and estimates of borehole pressure) should be used, and how to interpret them. Contrary to their own press office, then, Lapindo Brantas – to their credit – seem to have been quite open about sharing their records with any interested party, even if they might disagree with how it is then used.

    The debate consisted of two talks from the pro-earthquake camp, followed by questions, then two talks from the pro-drilling camp, followed by more questions and a general discussion, ending with a poll of the audience. Below I’m summarising from notes I took during the session; as such, there may be some unintentional inaccuracies.

    First up was Adriano Mazzini, who reviewed his arguments that the eruption was the result of the Yogyakarta earthquake reactivating a pre-existing fault that runs through the area. Main points:

    • There is clear evidence of displacement along this fault after the eruption, and other small mud eruptions also occurred along its trace at the time Lusi erupted. This does indeed signal that this fault acted as a conduit for upwelling fluids.
    • However, the question of what triggered this trigger – the ultimate cause of the fault suddenly becoming an open pathway for mud – is still open. The timing of the fault reactivation is not known, so it could just as easily have been the result of stresses induced by a nearby well blow-out as by an earthquake. In support of the latter, pressure losses in well at the time of the earthquake might indicate that there were measurable stresses being induced in the subsurface, more than is assumed by the pro-drilling camp.
    • Lusi’s eruption has been abnormally lengthy; natural mud volcano eruptions tend to last a few days (and in this respect it seems that Lusi also differs from the other eruptions in the area he talked about, which were further from the borehole). It might be something to do with this being an entirely new system, but it could just as easily be a sign of unnatural influences on the triggering of the eruption.
    • This area of Indonesia is “ideal”, both in terms of prevailing tectonic, structural and lithological conditions, for the formation of mud volcanoes, and the existence of a highly suitable ‘piercement structure’ (the fault) in the area meant that an eruption was only a matter of time. This last point would become important in the later discussion.

    The next speaker, from Lapindo Brantas, was the person who oversaw the borehole, which mades his slightly defensive tone entirely understandable. The talk aimed to use data from the borehole to demonstrate that a blow-out had not occurred.

    • The most important claim was that there was no evidence of the well being connected to Lusi’s plumbing, which you would expect if a well blow-out was the trigger. For example, following the eruption of Lusi they performed an “injection test”, where drilling mud was pumped into the borehole. As they did this, the pressure in the well slowly built up, which can only happen if the well is sealed; if there was a breach in the well, the fluid would escape.
    • The pressure losses at around the time of the earthquake talk prompted the decision to case the unsealed part of the borehole before drilling deeper. As they were puling out the drill string to do so on the 28th May, there was a ‘kick’ in the hole – an increase in pressure due to fluid entering from the surrounding rock. The pressure increase from this kick, and whether it was enough to trigger a blow-out, is one of the major sticking points of this whole argument.
    • The pro-drilling people have published calculations that indicated that it was more than high enough to trigger a blow-out. It was claimed here that these calculations were performed incorrectly, and should give much lower (and safe) pressures. I can’t claim enough expertise to tell if these criticisms were valid or not.
    • Either way, borehole records after the kick are inconsistent with it being the result of a well blow-out.

    The first speaker from the pro-drilling camp, Mark Tingay, gave a very nice presentation which actually addressed the pros and cons of both theories, although he was clear which he favoured.

    • Earthquake reactivation of the fault seems unlikely from the calculated differential shear stresses it induced in the area around Lusi (for more details you can read Maria’s post on this, since she was involved in this study). He had a nice plot to illustrate this point, which I reproduce schematically here.

      lusidebatefig.png

      Basically, the earthquakes which are known to have triggered mud volcanism (green dots) were either larger and/or closer to the induced eruptions than Lusi was to the Yogyakarta earthquake (big red dot), and other seismicity in the area prior to the eruption (orange dots) appears to have induced similar, or in some cases greater, differential stresses. There is of course a lot of uncertainty about how strong the fault was (how large a differential stress you need to cause it to fail), but the point is that there was nothing special about the May 27th earthquake in terms of the force it exerted in the area.

    • The apparent disconnection of the well from Lusi could be due to the lower part being sealed off due to it being blocked by rock fragments from the blow-out (which is apparently quite common), or shearing.
    • The evidence following the kick is “unclear”, but the stresses that it induced were an order of magnitude larger than those due to the earthquake
    • This was a problematic hole, with lots of pressure losses and kicks, and the ‘drilling window’ – the range of pressures where the drilling mud will safely just sit there – was very narrow. This was a result of the well design being based on holes drilled through this sequence quite a distance away, where the underlying carbonates were not overpressured. However, in another well very close by, the carbonates were under extremely high pressure, and they almost lost that well to a blow-out when they hit them. By not taking this into account, it would have been nearly impossible to stop a blow-out following the kick.
    • There is a series of linear surface fractures leading between the well and the Lusi vent, which have not erupted any mud but are an indication of sub-surface fracturing.

    The final presentation was by Richard Davies, the person whose paper implicating the drilling kicked off my interest in this subject.

    • This talk was a review of the events in the well leading up to the Lusi eruption. It was a very good summary, but most of the points have been covered in my accounts of the previous speakers.
    • However, in the middle of the talk, proving that for every expert there is an equal and opposite expert, another (non Lapindo Brantas) drilling engineer came up to the stage to show us how all the well pressure data was consistent with the initial kick being due to a blow-out (I think that the main argument was that you had pressure losses after the hole was sealed).

    The discussion following the talks emphasised a couple of other points of disagreement, such as the shaking intensity in the Lusi region from the May 27th earthquake: the pro-drillers say I-II, pro-quakers claim IV. Mazzini also argues that the eruption is entirely sourced within the mudstones with the water produced by clay minerals reacting to form illite and water, whereas Davies et al. say that the water is mainly from the underlying carbonates. It is a lot of water, although I guess it would be hard to claim the earthquake would cause the carbonates to breach.

    However, more interesting was that several people picked up on the suggestion that this was clearly a prime area for mud volcano formation, and wondered quite loudly why the hell any drilling was being done there in the first place. To sum up the mood, one questioner complimented the second speaker for standing up there to defend the drilling, when it really should be the geologists who told him to drill there in the first place. It’s a good point; perhaps the focus should be less on the drilling practice on this specific well, because whatever your procedures and safety precautions, accidents can and do happen, and more on well siting decisions in general, particularly decisions to drill in “primed” areas like this one, where the margin for error is rather slim.

    This attitude might explain why in the closing straw poll, more than 50% of the audience was willing to blame the whole mess on the drilling. Only a tiny fraction thought that the earthquake was solely to blame, with roughly equal numbers of the remaining half either thinking it could have been both, or finding it inconclusive either way. In conclusion, it was a very interesting session, and was conducted in a very fair-minded and respectful manner given the contentious nature of the debate.

    Sumber: http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2008/10/aapg_day_2_showdown_at_the_lus.php?

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Conclusive Vote on Cause of Indonesian Mud Volcano

    Professor Richard Davies
    Professor Richard Davies

    A Durham University scientist has played a key role in helping determine the cause of the Java mud volcano, Lusi.

    Two years’ of global public debate over the possible causes of Lusi has finally concluded. A resounding vote of international petroleum geologists from around the globe, including Durham University geologist Professor Richard Davies, concluded the mud volcano was triggered by drilling of a nearby gas exploration well.

    This may have implications for compensation of the local population affected. (more…)

  • TEMPO Interaktif – Pengusutan Hukum Kasus Lapindo Buntu

    "Tanpa itu, hasil konferensi hanya sebagai referensi kita," kata Mulyono,
    kepala seksi penerangan hukum kejaksaan tinggi, di Surabaya kemarin.

    Dalam pertemuan geolog dunia itu mayoritas peserta mengatakan semburan lumpur
    yang sudah berlangsung sejak Mei 2006 tersebut akibat kesalahan pengeboran.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka.
    Namun, sampai saat ini pengusutan hukum kasus semburan lumpur tersebut masih
    menemui jalan buntu.

    Kejaksaan menilai penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur belum sempurna
    meskipun telah empat kali dilimpahkan.

    Kepala Polda Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja beberapa waktu yang
    lalu meminta kejaksaan segera menyatakan sempurna (P-21) atas berkas perkara
    Lapindo.

    "Kasus lumpur terjadi karena kesalahan dan kelalaian. Saya hanya berharap
    kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik
    terang," kata Herman.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, mempertanyakan pemungutan suara dalam
    konferensi di Afrika Selatan itu. “Diskusi ilmiah, yang seharusnya untuk
    mengungkapkan kebenaran ilmiah, namun diakhiri dengan voting, tidak lazim dalam
    forum ilmiah,” kata Yuniwati melalui siaran pers. AQIDA | KUKUH SW | ROHMAN
    TAUFIQ

     

  • KOMPAS – Geolog Dunia Yakin Lumpur Tak Dipicu Gempa

    ”Pemungutan suara diambil setelah empat presentasi dan tanya jawab hingga dua
    setengah jam,” kata ahli pengeboran minyak anggota Drilling Engineers Club (DEC)
    Susila Lusiaga kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/10). Kamis pagi, ia dan
    ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini baru tiba dari
    Cape Town.

    Sejauh ini, hasil pemungutan suara itu menjadi dukungan terbesar bahwa
    semburan lumpur tak terkait gempa. Sebaliknya, terkait pengeboran sumur
    Banjarpanji- 1 (BP-1).

    Sebelumnya, secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil, para geolog
    dan ahli pengeboran menyatakan pengeboranlah pemicu utama, yang dibantah
    geolog-geolog lain. Dua kubu pun tercipta.

    Atas dasar hasil pemungutan suara itu pula, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo
    (GMLL) meminta pemerintah serius menanggapinya. Bahkan, pemerintah didesak
    menjadikan hasil diskusi itu sebagai salah satu bukti penguat kasus gugatan
    hukum terhadap Lapindo Brantas Inc.

    ”Sikap (pemungutan suara) itu jelas dari para pihak independen yang
    meyakinkan dan dapat dipercaya. Itu layak dipertimbangkan,” kata Taufik Basari
    dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, salah satu anggota GMLL.

    Berdasarkan hasil pertemuan di Cape Town, GMLL akan menyurati Presiden.
    Intinya, meminta agar penanganan hukum dan sosial diperbaiki.

    ”Surat akan segera kami kirim dalam waktu dekat,” kata salah satu deklarator
    GMLL Letjen Mar (Purn) Soeharto.

    Dihubungi di Cape Town, geolog yang juga Senior Vice President PT Energi Mega
    Persada Bambang Istadi mengatakan, pemungutan suara tidak mewakili pendapat
    geolog seluruh dunia. Lama presentasi dan diskusi juga terbatas.

    ”Namun, kesempatan itu membuka peluang menentukan kerja sama menentukan
    kejadian sebenarnya,” kata dia. Ia dan Nurrochmat Sawolo, Senior Drilling
    Adviser PT Energi Mega Persada, memaparkan fakta dan data seputar pengeboran
    sumur BP-1 dalam sesi diskusi tersebut.

    Rencananya, lanjut Bambang, Lapindo akan mengadakan forum diskusi tertutup,
    termasuk mengundang geolog Inggris Richard Davies, yang menyatakan pengeboran
    sebagai pemicu semburan, untuk membaca dan menganalisa data serta fakta
    pengeboran. ”Mari saling terbuka, tanpa prasangka. Analisa data dari hasil
    lapangan,” kata dia.

    Penderitaan warga

    Di tengah pembahasan geolog tingkat dunia, London, Inggris, dan Cape Town,
    Afrika Selatan, puluhan ribu warga korban lumpur masih tinggal dalam
    kekhawatiran. ”Warga fokus pada tuntutan yang belum juga dipenuhi,” kata
    pendamping warga, Paring Waluyo.

    Saat ini, tak sedikit warga yang belum menerima ganti rugi 20 persen. Apalagi
    sisa 80 persennya. Kelompok warga yang menerima skema pindah tempat tinggal dan
    kembalian pun, mengeluhkan sistem pengangsuran kembalian.

    ”Semua skema yang dipilih warga untuk ganti rugi, menyisakan kekecewaan
    karena pembayaran tersendat dan itu terus bertambah,” kata Paring. Sementara
    itu, semburan lumpur terus terjadi tanpa solusi lain, selain penanggulangan dan
    mengalirkan ke sungai yang terkendala.

    Pihak Lapindo, hingga awal September 2008, mengaku telah mengucurkan dana Rp
    4,39 triliun untuk berbagai keperluan. (GSA)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01082166/geolog.dunia.yakin.lumpur.tak.dipicu.gempa