Tag: renokenongo

  • Desa Hendak Dihapus, Korban Lapindo Menolak

    Selasa, 02 Februari 2016

    Korban Lapindo berdialog dengan pegawai Kelurahan Siring (foto: Eko W)

    Porong – Pembayaran ganti rugi 80% korban Lapindo yang tergabung dalam peta 22 Maret 2007 silam secara keseluruhan sudah terealisasi pada September 2015 lalu. Namun hal ini bukan menjadi akhir dari permasalahan yang dihadapi oleh para korban Lapindo terutama yang berasal dari desa Siring Timur. Wacana pengahapusan desa mereka telah disosialisasikan oleh Pemkab Sidoarjo pada November 2015 di Kecamatan Porong. Desa-desa yang akan dihapus dalam peta administrasi kecamatan Porong yakni Siring, Jatirejo, dan Renokenongo.

    Sejumlah delapan warga korban Lapindo mendatangi kantor kelurahan Siring untuk menanyakan hasil dari sosialisasi penghapusan desa oleh DPR Komisi 10 pada bulan Januari 2016. Harwati (39) salah satu warga desa Siring Timur ikut mendatangi kantor kelurahan Siring yang berada di Kelurahan Gedang. Ia menanyakan apa saja yang dibahas dalam sosialisasi tersebut kepada pemerintahan kelurahan. Selain itu, ia juga menanyakan apakah aset desa juga dibahas dalam sosialisasi tersebut.

    Inisiatif penghapusan desa dan kelurahan oleh pemerintah kabupaten Sidoarjo tidak bisa diterima oleh Korban Lapindo dari desa Siring. Mereka memandang penghapusan desa dan kelurahan seharusnya mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya terkait kejelasan aset-aset desa yang menjadi bagian yang terdampak lumpur Lapindo. Warga melihat, ada beberapa aset desa dan kelurahan yang masih luput dari pendataan. Di Kelurahan Siring saja sudah ditemukan persoalan demikian. “Iya ada dua aset yag belum disebutkan yaitu lumbung dan bangunan NU yang sampai sekarang masih dipertanyakan oleh warga,” terang Harwati.

    Kedua aset yang diterangkan Harwati, pernah dilakukan pembayaran 20% dan diambil oleh salah satu tokoh masyarakat. Sementara pembayaran 80% tidak diambil. Dana ganti rugi lumbung dan bangunan NU tidak jelas kemana, awalnya dipercayakan kepada ketua RT namun sampai sekarang tidak ada informasi status dana pengganti tersebut.

    Harwati menerangkan, selain aset desa itu, masih ada bangunan publik yang seharusnya diperjelas statusnya. Bangunan sekolah SD 1 Siring, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya selayaknya juga diurus karena menjadi aset kolektif warga.

    Korban Lapindo dari desa Siring sepakat akan menindaklanjuti masalah rencana pengahapusan desa dengan mengumpulkan lebih banyak lagi korban Lapindo yang kini tinggal di berbagai wilayah. Mereka berencana mengumpulkan bukti data aset desa yang dimiliki Siring saat masih berstatus desa hingga menjadi kelurahan.

    Dalam waktu dekat, mereka berencana menindaklanjuti menyikapi rencana ini dengan mendatangi berbagai pihak. “Saya dan kawan-kawan sudah sepakat akan meneruskan masalah ini, bahkan nanti kita juga akan mengirimkan surat keberatan serta audiensi ke DPRD,” tutur Harwati. (Eko W)

     

  • Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    TEMPO.CO, Sidoarjo- Menjelang lebaran Idul Fitri, puluhan warga korban lumpur lapindo mendatangi titik 42 Desa Renokenongo Porong Sidoarjo. Mereka berkumpul tepat di bawah tenda biru dan menggelar istighozah dilanjutkan tabur bunga di pinggir tanggul titik 42.

    Pada istighozah itu mereka mendoakan arwah sesepuhnya yang sudah meninggal dan makamnya terendam oleh luapan panas Lapindo. ”Kami ingin mendoakan sesepuh, semoga beliau diterima di sisi-Nya,” kata penanggung jawab sementara Desa Renokenongo, Subakrie, kepada wartawan usai acara istighozah, Kamis, 24 Juli 2014.

    Menurut Subakrie, kegiatan itu biasa dilakukan tiap tahun menjelang Idul Fitri guna mengingat dan mendoakan arwah sesepuhnya yang makamnya dulu berada di sekitar titik 42 itu. Selain itu, tradisi dalam Islam ketika menjelang lebaran biasanya nyekar ke makam-makam. “Karena di sini makamnya sudah terendam, maka kami hanya nyekar di tanggul saja,” katanya.

    Koordinator penggerak istighosah, Djuwito, mengatakan acara itu sengaja digelar menjelang lebaran, bahkan biasanya satu atau dua hari menjelang lebaran. “Namun karena sekarang hari Kamis dan nanti malam tepat malam Jumat yang terakhir dari bulan ramadan maka kami selenggarakan hari ini,” kata dia.

    Istighozah itu, kata dia, selain mendoakan arwah sesepuhnya, mereka berharap supaya menyentuh hati pemerintah segera melunasi ganti rugi yang belum terbayarkan hingga saat ini. “Sudah delapan tahun kami terlunta-lunta disiksa oleh pemerintah, mereka sudah tak peduli pada kami,” kata dia.

    Subakrie, mengatakan Presiden SBY pernah berjanji untuk menyelesaikan masalah ganti rugi ini pada masa pertengahan masa jabatannya atau pada masa akhir masa jabatannya. “Dan sekarang sudah masuk pada masa akhir masa jabatanya, kami berharap sebelum berakhir masa jabatannya untuk menyelesaikan masalah ganti rugi,” kata dia.

    Menurut Subakrie, pihak korban lumpur yang dibantu oleh beberapa pengacara dan para mahasiswa fakultas hukum Surabaya telah melayangkan permohonan kepada SBY, inti permohonan kami hanya ada dua, yaitu meminta dana talangan kepada pemerintah dan pembayaran ganti rugi dilaksanakan oleh pemerintah. “Keduanya ini sama-sama menguntungkan kami,” kata dia.

    Permohonan itu, kata Subakrie, sudah diterima kantor Sekretaris Negara dan akan segera diberikan kepada SBY untuk diminta tandatangani dan pengesahan dari presiden. Dalam waktu dekat, korban Lapindo akan pergi ke Jakarta untuk menemui SBY. “Tepatnya satu minggu setelah lebaran,” kata dia.

    Selain itu pula, para korban lumpur ini akan sowan kepada presiden yang baru untuk membantu memuluskan atau merealisasikan ganti rugi itu. “Semoga pak SBY dan presiden yang baru masih punya hati nurani untuk membantu kami,” kata dia.

    © MOHAMMAD SYARRAFAH | Kamis, 24 Juli 2014

    Sumber: http://ramadan.tempo.co/read/news/2014/07/24/155595556/Korban-Lapindo-Nyekar-Leluhur-di-Tanggul-Lumpur

     

     

  • Korban Lapindo Nyekar dan Gelar Istigosah

    Korban Lapindo Nyekar dan Gelar Istigosah

    TEMPO.COSidoarjo– Sekitar 200-an korban semburan lumpur Lapindo menggelar tabur bunga dan Istigosah di atas tanggul titik 42 Desa Renokenongo hari ini. Selain tabur bunga, warga memanfaatkan momen itu untuk melepas kangen kepada para tetangga yang kini hidupnya sudah berpencar.  (more…)

  • Balsem Tak Merata, Warga Korban Lumpur Lapindo Geruduk Kantor Kelurahan

    Balsem Tak Merata, Warga Korban Lumpur Lapindo Geruduk Kantor Kelurahan

    Sidoarjo – Puluhan warga korban Lumpur Lapindo mendatangi kantor kelurahan 3 desa yang terpusat di samping kantor Kecamatan Porong. Mereka mempertanyakan kenapa mereka tidak mendapat jatah Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (balsem).

    (more…)

  • Di Desaku dan Paspor

    Dahulu di desaku sebelum ada lumpur Lapindo aku tenang-tenang saja. Aku sangat ceria bermain bersama teman-temanku. Aku selalu masuk sekolah. Teman-temanku sekolah sangat banyak tapi semenjak ada lumpur Lapindo semua berubah.

    Aku kehilangan semua teman-temanku aku sangat sedih ditambah lagi rumah dan sekolahku tenggelam lumpur Lapindo semuanya tenggelam lumpur Lapindo aku sangat sedih sekali. Sekarang aku hidup bersama keluargaku di pengungsian pasar baru Porong alias paspor kalau tidur gak enak banyak nyamuknya dan aku gak bisa tidur.

    Aku hidup di situ merasa kekurangan teman. Aku berpisah dengan teman-temanku sekolah. Kalau belajar gak bisa konsentrasi. Meskipun di paspor ramai tapi aku tetap sedih karena itu rumahku satu-satunya, dan aku tidak punya tempat tinggal lagi. Aku sangat ingin sekali punya rumah biar tidurnya bisa nyaman dan tidak ada nyamuknya dan aku bisa belajar dengan tenang sekarang aku sekolahnya nggak enak.

    Aku ingin sekolah di desaku sendiri. Kenapa kok bisa aku menjadi korban lumpur Lapindo dan sampai sekarang rumah ku masih tenggelam. Aku ingin sekali keluar dari pasar baru porong, aku sudah nggak betah tinggal di pasar baru porong, di sini itu gak enak aku ingin sekali punya rumah sendiri, biar aku bisa rajin belajar lagi, dan sekolah yang nyaman, aku sangat merasa kekurangan teman-teman. Di sini teman-temanku sedikit, dulu banyak sekali.

    Semoga nanti kalau aku punya rumah aku bisa ketemu teman-temanku yang dulu dan aku bisa ceria lagi, jangan sampai hal ini terjadi lagi. Ya Tuhan jangan sampai rumahku yang baru nanti tenggelam lumpur Lapindo lagi. Aku berdo’a agar lumpur Lapindo cepat berhenti biar gak ada desa yang tenggelam lagi. Semua jadi senang dan bahagia and aku juga ikut senang. Semoga do’a aku tercapai. Aku tutup dulu ya.

    Nur Ainiyah, siswi SD Renokenongo II

  • Perjuangan Paguyuban Pasar Baru Porong di Jakarta

    Pada 13 Juni 2007 aku diajak, ketua Peguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo untuk memperjuangkan pengungsi di Pasar Baru, Porong, ke jakarta. Pusat kegiatannya di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Aku pikir berada di Ibukota itu sangat menyenangkan, tapi tidak ternyata di sana orangnya begitu sombong dan bisanya merendahkan orang yang tidak mampu termasuk kami.

    Beberapa lama kemudian seorang wartawan mendatangi kelompok kami. Dia bertanya, “untuk apa bambu runcing yang berada di pengungsian Pasar Baru, Porong itu?” “Apakah untuk perang?” Tanya wartawan tersebut sambil merendakan. Lalu kami menjawab “bambu runcing itu untuk semangat juang para korban lumpur panas Lapindo.”

    Beberapa lama kemudian aku juga berfikir bahwa bukan kita aja yang direndahkan tapi anak pinggiran-pinggiran yang di Jakarta juga begitu tidak ada yang merasa iba ataupun terharu dengan kondisi kami.

    Pada waktu itu juga ada lomba melukis untuk memberikan semangat, sore hari kami pulang ke penginapan (di rumah seseorang) begitu capeknya kami, sehabis mandi kami menulis dan melukis sepanduk untuk dibuat pawai besoknya. Pada malam hari kami bertengkar dengan salah satu kelompok kami dari perwakilan Kedungbendo.

    Pagi pun tiba, kami kesiangan untuk pergi ke Tugu Proklamasi manuju ke Monas. Kami terlambat begitu pawai dimulai kami merasa senang bahwa ada sedikit warga yang mendukung kami, dan kami mulai semangat lagi, kami begitu lelah. Sore hari kami kembali ke Tugu Proklamasi di sana begitu ramai dan banyak pameran-pameran lalu kami kembali pulang ke penginapan untuk mempersiapkan barang-barang buat kembali ke pengungsian Pasar Baru, Porong; tiket kereta api pun habis tidak ada yang tersisa untuk kami, lalu kami menyewa travel untuk pulang.

    Pada saat sampai di pengungsian aku merasa senang karena disambut orang-orang banyak dan ini disebut sebagai pengalaman yang mebuat kita tahu bagaimana merasakan orang-orang begitu semangat untuk menghadapi hidup.

    Dian Utami, siswi SMPN 3 Porong

  • Dari Icha Noviyanti untuk Calon Presiden RI

    Dari Icha Noviyanti untuk Calon Presiden RI

    Porong, 24 Mei 2009

    Kepada
    Yth Calon Presiden RI
    di tempat

    Salam Calon Presiden,

    Nama saya Icha Noviyanti. Saya kelas VI SD, saya bersekolah di SDN Reno Kenongo I yang sekarang pindah di SDN Glagaharum.

    Keadaan sekolah saya sangat memprihatinkan. Karena sekolah saya tenggelam Lumpur, jadi saya harus bersekolah mengontrak atau menampung. Dan saya juga harus masuk siang.

    Saya ingin bapak calon persiden kalau sudah menjadi persiden, bapak bisa melihat keadaan sekolah saya. Seandainya bapak bisa ke tempat saya, bapak akan saya ajak berkeliling untuk melihat rumah saya yang tenggelam, sekolah saya yang tenggelam, dan tempat bermain saya yang tenggelam juga.

    Seandainya Bapak/Ibu terpilih menjadi persiden, besar harapan saya persiden terpilih nantiknya, bisa merubah kehidupan kami semua menjadi baik.

    Terima kasih, semoga persiden terpilih nanti bisa lebih melihat rakyat bawah.

    Salam
    Icha Noviyanti

     

  • Budaya Hilang, Kehidupan Korban Muram

    Kehidupan sosial budaya korban Lapindo remuk sudah, lahir dan batin. Ikatan kekerabatan hancur, yang berakibat semakin rentannya kehidupan sehari-hari. Begitu pula, tradisi dan budaya tak bisa lagi dijalankan, yang lalu berefek hilangnya kekuatan batin, lenyapnya ingatan bersama, yang telah lama menjadi daya tahan ampuh dalam menghadapi kerasnya hidup.

    Tanyalah Mbok Lina, dia akan tahu bagaimana hidupnya berubah begitu kekerabatan dan kehidupan komunal itu lenyap. Sore itu, di pengungsian Pasar Porong Baru, Mbok Lina (65), sedang membersihkan kulit buluh bambu, sendiri. “Buat gedek, mau bikin gubuk nanti kalau sudah pindah,” ujarnya. Bersama sekitar 500 keluarga dari Desa Renokenongo, Mbok Lina nanti akan pindah kalau sudah memperoleh uang ganti rugi. Dia menyiapkan sendiri bambu-bambu itu.

    Dulu, sewaktu di Dusun Sengon, Desa Renokenongo, Mbok Lina merasa berbagai persoalan hidup lebih ringan, karena ada kebersamaan, saling membantu. Mbok Lina hidup juga dari adanya solidaritas yang terbangun puluhan tahun ini. Dia mengerjakan sawah milik tetangga. “Dulu iso nggarap sawah Haji Sarim, Haji Daelan, Haji Karyo. Tak kurang haji-haji di Sengon punya sawah yang bisa digarap,” kenang Mbok Lina.

    Mbok Lina dulu bisa mengerjakan banyak hal di sawah tetangga-tetangga itu. “Ya tanam, membersihkan rumput dari padi, juga panen.” Dari kampung Mbok Lina, sedikitnya ada enam orang yang turut bekerja di sawah bersamanya.

    Kini semua lenyap. Beberapa nama orang yang dulu sering memberi bantuan pekerjaan, diceritakannya meninggal beberapa waktu setelah lumpur meleduk. “Sakit-sakitan memikirkan (krisis) Lapindo ini,” kata Mbok Lina. Kalaupun tidak, mereka ini juga sudah tidak lagi mampu membeli sawah karena belum selesai pembayaran ganti rugi kepada mereka. Mbok Lina menyebut salah seorang ahli waris yang sudah membeli sawah di kawasan Tulangan, Sidoarjo.

    Toh, Mbok Lina tidak bisa ikut membantu mengerjakan sawah di sana. “Nggak begitu kenal sama anaknya,” begitu alasan Mbok Lina. Tentu saja memang tidak mudah membentuk lagi kebersamaan warga seperti dulu. Perasaan saling kenal dan tepo seliro bukan hal yang bisa muncul begitu saja dalam semalam.

    Sekarang, Mbok Lina hanya menggantungkan hidup dari pemberian lima orang anaknya: Buarin, Mulyono, Roibah, Sriasih, dan Narto. Tapi anak-anaknya telah hidup sendiri-sendiri. Praktis, Mbok Lina hanya tinggal hidup berdua dengan suaminya Senawan (70) yang telah sakit-sakitan. “Sejak pindah ke pasar (pengungsian), dia sakit, kepikiran rumahnya yeng tenggelam.”

    Untuk pembiayaan suaminya, Mbok Lina sudah mengeluarkan biaya tidak kurang dari dua juta rupiah, jumlah uang yang tidak sedikit bagi seorang tua yang telah kehilangan rumah dan tidak punya penghasilan itu. Dari anak-anaknya, Mbok Lina mengaku diberi uang seminggu sekali rata-rata sekitar 30 ribu rupiah. “Itu pun kalau sudah dapat gaji.” Dengan uang sebesar itu, Mbok Lina dan suaminya harus menyiasati menyambung hidupnya.

    Bila nanti benar-benar harus keluar dari Pasar Porong Baru dan memulai hidup dengan uang kompensasi seadanya, Mbok Lina tidak tahu apakah di tempatnya yang baru bisa kembali bekerja di sawah. Dia jelas tidak tahu karakteristik orang-orang di tempatnya yang baru nanti. Menurut rencana, komunitas warga Renokenongo ini akan pindah ke wilayah Desa Tambakrejo, Kecamatan Krembung, sebuah daerah di sebelah barat Kecamatan Porong di sisi utara aliran Kali Porong. “Yo embuh, semoga tetangga-tetangga nanti di sana pengertian, tepo seliro,” ujar Mbok Lina, lirih.

    Jika Mbok Lina merasakan betul kehidupan lahirnya berantakan lantaran ikatan komunitas telah dihancurkan Lapindo, Nawawi tahu rasanya kehidupan batin terkoyak. Nawawi bin Zaenal Mansur (45) kini tak bisa lagi nyekar di makam orang tua seperti dulu. Di hari menjelang puasa yang sumuk itu, Nawawi bersama anak dan istrinya duduk di atas pepuingan. Ia khusyuk berdoa. Matanya menerawang ke arah sebuah kuburan umum Dusun Renokenongo. Cuma terlihat pucuk kamboja yang mengering. Kuburan itu telah lenyap.

    Doa khusus dia tujukan pada Zaenal Mansur, sang ayah, seorang pejuang kemerdekaan. Kali ini dia tak membawa bunga dan tak bisa menaburnya di atas kubur sang ayah. Tahun lalu, dia masih bisa ke kuburan bapaknya karena air asin dan lumpur mengering. Ketika itu dia lihat bendera merah putih dari seng di atas kuburan sudah mulai peot.

    Menjelang puasa tahun ini, Nawawi tak lagi bisa nyekar. Nawawi tak habis pikir dengan Lapindo dan pemerintah yang lamban menangani soal lumpur Lapindo ini. Sudah dua tahun ini dia hidup berpindah-pindah.

    Tak hanya kuburan Dusun Renokenongo yang tenggelam. Kuburan Dusun Sengon, masih dalam Desa Renokenongo, juga terendam di tengah lumpur di dalam tanggul Lapindo. Penduduknya tak bisa lagi nyekar di kubur keluarga mereka. Mereka hanya mendoakan dari atas tanggul menghadap kuburan yang juga ditandai gerumbul kamboja yang mengering.

    Muhammad Yunus (40 tahun) adalah salah satu warga Sengon yang keluarganya dimakamkan di kuburan umum Dusun Sengon. Sore itu Yunus tak bisa nyekar dan hanya mendoakan arwah keluarga dari atas tanggul. Dia menangis melihat kubur orang-orang yang dicintainya tenggelam oleh lumpur.

    Soal kuburan yang tenggelam, menurut Yunus, tak ada bahasan ganti rugi sama sekali. Penduduk sudah pusing memikirkan tuntutan dasar mereka yang tak jelas kapan dilunasi. Yunus ingin kuburan yang sudah tenggelam ini dipindahkan ke tempat lain supaya dia bisa berziarah. “Warga sebenarnya ingin makam dipindah, kersane saget ziarah, supaya bisa ziarah.”

    Soal kuburan ini tak hanya soal ziarah dan tradisi yang hilang. Namun juga soal bagaimana kalau warga dari kampung-kampung yang tenggelam ini mati. Pertanyaannya, mau dimakamkan di mana mereka kalau meninggal? Untuk warga Renokenongo yang kembali ke desa karena kontrakannya habis dan mati mereka akan dikuburkan di makam tetangga desa mereka, Glagaharum.

    Selama dua tahun pasca luapan lumpur, sudah 30 orang warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong yang meninggal. Mereka nebeng makam di Desa Juwet Kenongo.

    “Mereka dikumpulkan di pojok, tak boleh milih tempat sembarangan,” tutur Nizar warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar Porong Baru.

    Selain dua kuburan di Desa Renokenongo, kuburan-kuburan di Desa Siring, Kedungbendo, Mindi, Jatirejo Timur, Jatianom juga ditenggelamkan lumpur Lapindo. Jelang Ramadlan warga Mindi melakukan aksi nyekar di tanggul dan mendoakan leluhur mereka di sana.

    “Di Jatirejo ada dua kuburan satu di Jatirejo Timur dan Barat. Yang di Jatirejo Timur sudah tenggelam dan yang di Barat masih,” tutur Ahmad Novik (29 tahun) warga Jatirejo.

    Sementara penduduk Besuki yang setengah kampungnya ditenggelamkan lumpur masih beruntung karena kuburan mereka masih bisa digunakan. Dulu sempat tergenang lumpur tapi kini sudah kering. Meski kuburan itu dilapisi lumpur namun penduduk masih bisa menggunakannya. Sore sehari menjelang Ramadlan, penduduk Besuki memadati kuburan berlumpur itu untuk menjalankan tradisi nyekar dan mendoakan arwah keluarga mereka.

    Suroso adalah salah satu warga Besuki yang nyekar sore itu. Tak hanya menjelang Ramadlan, biasanya, Suroso ziarah ke makam orang tuanya setiap malam Jumat.

    “Ini sudah menjadi adat kebiasaan yang diharuskan menjelang puasa dan Idul Fitri,” tutur Suroso. Dan berapa besar kerugian atas hilangnya tradisi ini? Lapindo tak bicara. Pemerintah pun bungkam. [ba/re/mam]

  • Batal Dibayar 20%, Pengungsi Pasar Baru Tutup Tanggul

    “Kami hanya ingin bersilaturahmi dan mengenang saat-saat kami masih di desa ini, sekaligus meminta kejelasan kapan 20%nya akan dibayar?” tutur Sunoko, warga Renokenongo. “Kami hanya hanya dapat kertas, tulisan surat bukti pembayaran (Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang ditandatangani 16 September 2008). Katanya uang akan cair 2 minggu lagi. Namun setelah kami cek lagi rekening kami masih kosong. ”

    Data soal berapa jumlah warga Renokenongo yang belum dibayar 20% simpang siur. Menurut warga ada sekitar 1000 kepala keluarga belum mendapatkan pembayaran. Namun menurut Ahmad Zulkarnaen, humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, ada 495 berkas permohonan pembayaran yang masuk bulan Agustus 2008. Yang jelas semua berkas ini belum dibayar.

    Pihak BPLS yang kami mintai konfirmasi mengenai hal ini menyatakan telah melakukan pendekatan terhadap warga untuk menyelesaikan masalah ini, “warga Renokenongo pada bulan Juli 2008 telah kami mintai data aset untuk selanjutnya kami verifikasi dan diserahkan ke fihak PT Minarak Lapindo Jaya,” ujar Zulkarnain selaku Humas BPLS.

    Warga selanjutnya menyerahkan berkas mereka pada pertengahan Agustus untuk dilakukan verifikasi oleh pihak BPLS. Ada sebanyak 495 berkas warga yang diterima oleh pihak BPLS. Proses verifikasi sendiri berjalan hingga pertengahan september 2008. Tanggal 16 september 2008 terjadi Ikatan jual beli antara warga dan pihak PT MLJ. “ Proses pembayaran sendiri harusnya dilakukan paling lambat 10 hari setelah terjadinya ikatan jual beli terjadi. Kami telah menghimbau kepada warga bahwa dalam ketika proses pembayaran sedang berlangsung penanggulan juga akan tetap dilaksanakan. Tapi setelah lebih dari satu bulan warga tidak dibayar juga, akhirnya mereka melakukan penutupan tanggul.” Lanjut Zulkarnain.

    PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar dari PT Lapindo Brantas menyatakan, terlambatnya proses pembayaran diakibatkan oleh terjadinya krisis keuangan global yang berdampak pada perusahaan induk mereka. Pernyataan itu dikeluarkan oleh PT MLJ ketika dimintai konfirmasi oleh pihak BPLS mengenai keterlambatan proses pembayaran ini. “Kami ini orang kecil pak, gak ngerti sama krisis global-krisis global yang dibilang sama orang-orang itu. Kami hanya ingin hak kami yang 20 % dibayar dulu, biar bisa dingin hati warga ini.” Ujar Darto, 50 tahun, salah seorang warga yang ikut aksi penutupan tanggul.

    Sebelumnya warga juga mendapat pernyataan akan mendapatkan tambahan jatah hidup untuk satu bulan ketika proses pembayaran telah lewat dari waktu yang ditentukan. “Tapi sampai satu setengah bulan waktunya sudah lewat kami tetap tidak dapat apa-apa sama sekali. Itu yang ngomong pak Suliyono, orang BPLS juga” lanjut Darto. Menurut Zulkarnain ketika kami konfirmasi, seharusnya memang ada pemberian tambahan jatah hidup selama satu bulan ketika terjadi keterlambatan proses pembayaran. “Aturannya memang PT MLJ memberikan tambahan jadup ketika pembayaran 20% itu belum juga terbayar dua minggu setelah terjadi ikatan jual beli. Di pasar baru porong sendiri ada sekitar 2000 jiwa yang tinggal. Jadi PT MLJ harus mengeluarkan dana sekitar 600 jutaan untuk membayar jadup untuk satu bulan.” Ujar Zulkarnain.

    Warga sendiri bertekad untuk tetap menduduki tanggul hingga uang pembayaran sebesar 20 persen itu cair. “Kami kurang apa lagi, Pak? kami sudah nurut banget. Ditawarkan resettlement, kami ikut. dilarang demo, kami gak ikut-ikut demo. Tapi sekarang kami ditipu lagi, kami selama ini merasa tidak diperlakukan secara manusiawi. Mana keadilan sosial bagi warga indonesia itu?”ungkap Darto.
    Warga tidak akan membiarkan penanggulan dilanjutkan hingga ada kejelasan mengenani pembayaran 20 persen kapan akan dibayarkan, “saya ini sudah 55 tahun, sudah bau tanah. Tapi sebelum saya mati, saya musti berjuang mempertahankan hak-hak kami. Kalau seperti ini terus, sampai mati pun saya tidak akan terima. Arwah saya akan datangi Si Bakrie itu, saya mintai dia pertanggungjawaban,” tandas Darto. [mas]
     

  • Koran Tempo – Jangan Hambat Kasus Lapindo

    Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

    Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

    Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

    Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan “well kick” terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

    Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

    Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.[Editorial Koran Tempo, 31/10]

  • AAPG Day 2: showdown at the Lusi corral

    Things were a bit different from the other sessions at this conference: photographers and cameramen were roaming the room, and on my way in I had a press release from Lapindo Brantas thrust into my hands, informing me that most of the previously reported findings were based on ‘incorrect data’, and that this would be the first time ‘official data’ were presented to the scientific community. It transpired that this was also stretching the truth a bit; as the session unfolded it became apparent that this was more an issue of which data (specifically, which of the various measurements and estimates of borehole pressure) should be used, and how to interpret them. Contrary to their own press office, then, Lapindo Brantas – to their credit – seem to have been quite open about sharing their records with any interested party, even if they might disagree with how it is then used.

    The debate consisted of two talks from the pro-earthquake camp, followed by questions, then two talks from the pro-drilling camp, followed by more questions and a general discussion, ending with a poll of the audience. Below I’m summarising from notes I took during the session; as such, there may be some unintentional inaccuracies.

    First up was Adriano Mazzini, who reviewed his arguments that the eruption was the result of the Yogyakarta earthquake reactivating a pre-existing fault that runs through the area. Main points:

    • There is clear evidence of displacement along this fault after the eruption, and other small mud eruptions also occurred along its trace at the time Lusi erupted. This does indeed signal that this fault acted as a conduit for upwelling fluids.
    • However, the question of what triggered this trigger – the ultimate cause of the fault suddenly becoming an open pathway for mud – is still open. The timing of the fault reactivation is not known, so it could just as easily have been the result of stresses induced by a nearby well blow-out as by an earthquake. In support of the latter, pressure losses in well at the time of the earthquake might indicate that there were measurable stresses being induced in the subsurface, more than is assumed by the pro-drilling camp.
    • Lusi’s eruption has been abnormally lengthy; natural mud volcano eruptions tend to last a few days (and in this respect it seems that Lusi also differs from the other eruptions in the area he talked about, which were further from the borehole). It might be something to do with this being an entirely new system, but it could just as easily be a sign of unnatural influences on the triggering of the eruption.
    • This area of Indonesia is “ideal”, both in terms of prevailing tectonic, structural and lithological conditions, for the formation of mud volcanoes, and the existence of a highly suitable ‘piercement structure’ (the fault) in the area meant that an eruption was only a matter of time. This last point would become important in the later discussion.

    The next speaker, from Lapindo Brantas, was the person who oversaw the borehole, which mades his slightly defensive tone entirely understandable. The talk aimed to use data from the borehole to demonstrate that a blow-out had not occurred.

    • The most important claim was that there was no evidence of the well being connected to Lusi’s plumbing, which you would expect if a well blow-out was the trigger. For example, following the eruption of Lusi they performed an “injection test”, where drilling mud was pumped into the borehole. As they did this, the pressure in the well slowly built up, which can only happen if the well is sealed; if there was a breach in the well, the fluid would escape.
    • The pressure losses at around the time of the earthquake talk prompted the decision to case the unsealed part of the borehole before drilling deeper. As they were puling out the drill string to do so on the 28th May, there was a ‘kick’ in the hole – an increase in pressure due to fluid entering from the surrounding rock. The pressure increase from this kick, and whether it was enough to trigger a blow-out, is one of the major sticking points of this whole argument.
    • The pro-drilling people have published calculations that indicated that it was more than high enough to trigger a blow-out. It was claimed here that these calculations were performed incorrectly, and should give much lower (and safe) pressures. I can’t claim enough expertise to tell if these criticisms were valid or not.
    • Either way, borehole records after the kick are inconsistent with it being the result of a well blow-out.

    The first speaker from the pro-drilling camp, Mark Tingay, gave a very nice presentation which actually addressed the pros and cons of both theories, although he was clear which he favoured.

    • Earthquake reactivation of the fault seems unlikely from the calculated differential shear stresses it induced in the area around Lusi (for more details you can read Maria’s post on this, since she was involved in this study). He had a nice plot to illustrate this point, which I reproduce schematically here.

      lusidebatefig.png

      Basically, the earthquakes which are known to have triggered mud volcanism (green dots) were either larger and/or closer to the induced eruptions than Lusi was to the Yogyakarta earthquake (big red dot), and other seismicity in the area prior to the eruption (orange dots) appears to have induced similar, or in some cases greater, differential stresses. There is of course a lot of uncertainty about how strong the fault was (how large a differential stress you need to cause it to fail), but the point is that there was nothing special about the May 27th earthquake in terms of the force it exerted in the area.

    • The apparent disconnection of the well from Lusi could be due to the lower part being sealed off due to it being blocked by rock fragments from the blow-out (which is apparently quite common), or shearing.
    • The evidence following the kick is “unclear”, but the stresses that it induced were an order of magnitude larger than those due to the earthquake
    • This was a problematic hole, with lots of pressure losses and kicks, and the ‘drilling window’ – the range of pressures where the drilling mud will safely just sit there – was very narrow. This was a result of the well design being based on holes drilled through this sequence quite a distance away, where the underlying carbonates were not overpressured. However, in another well very close by, the carbonates were under extremely high pressure, and they almost lost that well to a blow-out when they hit them. By not taking this into account, it would have been nearly impossible to stop a blow-out following the kick.
    • There is a series of linear surface fractures leading between the well and the Lusi vent, which have not erupted any mud but are an indication of sub-surface fracturing.

    The final presentation was by Richard Davies, the person whose paper implicating the drilling kicked off my interest in this subject.

    • This talk was a review of the events in the well leading up to the Lusi eruption. It was a very good summary, but most of the points have been covered in my accounts of the previous speakers.
    • However, in the middle of the talk, proving that for every expert there is an equal and opposite expert, another (non Lapindo Brantas) drilling engineer came up to the stage to show us how all the well pressure data was consistent with the initial kick being due to a blow-out (I think that the main argument was that you had pressure losses after the hole was sealed).

    The discussion following the talks emphasised a couple of other points of disagreement, such as the shaking intensity in the Lusi region from the May 27th earthquake: the pro-drillers say I-II, pro-quakers claim IV. Mazzini also argues that the eruption is entirely sourced within the mudstones with the water produced by clay minerals reacting to form illite and water, whereas Davies et al. say that the water is mainly from the underlying carbonates. It is a lot of water, although I guess it would be hard to claim the earthquake would cause the carbonates to breach.

    However, more interesting was that several people picked up on the suggestion that this was clearly a prime area for mud volcano formation, and wondered quite loudly why the hell any drilling was being done there in the first place. To sum up the mood, one questioner complimented the second speaker for standing up there to defend the drilling, when it really should be the geologists who told him to drill there in the first place. It’s a good point; perhaps the focus should be less on the drilling practice on this specific well, because whatever your procedures and safety precautions, accidents can and do happen, and more on well siting decisions in general, particularly decisions to drill in “primed” areas like this one, where the margin for error is rather slim.

    This attitude might explain why in the closing straw poll, more than 50% of the audience was willing to blame the whole mess on the drilling. Only a tiny fraction thought that the earthquake was solely to blame, with roughly equal numbers of the remaining half either thinking it could have been both, or finding it inconclusive either way. In conclusion, it was a very interesting session, and was conducted in a very fair-minded and respectful manner given the contentious nature of the debate.

    Sumber: http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2008/10/aapg_day_2_showdown_at_the_lus.php?

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Conclusive Vote on Cause of Indonesian Mud Volcano

    Professor Richard Davies
    Professor Richard Davies

    A Durham University scientist has played a key role in helping determine the cause of the Java mud volcano, Lusi.

    Two years’ of global public debate over the possible causes of Lusi has finally concluded. A resounding vote of international petroleum geologists from around the globe, including Durham University geologist Professor Richard Davies, concluded the mud volcano was triggered by drilling of a nearby gas exploration well.

    This may have implications for compensation of the local population affected. (more…)

  • TEMPO Interaktif – Pengusutan Hukum Kasus Lapindo Buntu

    "Tanpa itu, hasil konferensi hanya sebagai referensi kita," kata Mulyono,
    kepala seksi penerangan hukum kejaksaan tinggi, di Surabaya kemarin.

    Dalam pertemuan geolog dunia itu mayoritas peserta mengatakan semburan lumpur
    yang sudah berlangsung sejak Mei 2006 tersebut akibat kesalahan pengeboran.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka.
    Namun, sampai saat ini pengusutan hukum kasus semburan lumpur tersebut masih
    menemui jalan buntu.

    Kejaksaan menilai penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur belum sempurna
    meskipun telah empat kali dilimpahkan.

    Kepala Polda Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja beberapa waktu yang
    lalu meminta kejaksaan segera menyatakan sempurna (P-21) atas berkas perkara
    Lapindo.

    "Kasus lumpur terjadi karena kesalahan dan kelalaian. Saya hanya berharap
    kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik
    terang," kata Herman.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, mempertanyakan pemungutan suara dalam
    konferensi di Afrika Selatan itu. “Diskusi ilmiah, yang seharusnya untuk
    mengungkapkan kebenaran ilmiah, namun diakhiri dengan voting, tidak lazim dalam
    forum ilmiah,” kata Yuniwati melalui siaran pers. AQIDA | KUKUH SW | ROHMAN
    TAUFIQ

     

  • KOMPAS – Geolog Dunia Yakin Lumpur Tak Dipicu Gempa

    ”Pemungutan suara diambil setelah empat presentasi dan tanya jawab hingga dua
    setengah jam,” kata ahli pengeboran minyak anggota Drilling Engineers Club (DEC)
    Susila Lusiaga kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/10). Kamis pagi, ia dan
    ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini baru tiba dari
    Cape Town.

    Sejauh ini, hasil pemungutan suara itu menjadi dukungan terbesar bahwa
    semburan lumpur tak terkait gempa. Sebaliknya, terkait pengeboran sumur
    Banjarpanji- 1 (BP-1).

    Sebelumnya, secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil, para geolog
    dan ahli pengeboran menyatakan pengeboranlah pemicu utama, yang dibantah
    geolog-geolog lain. Dua kubu pun tercipta.

    Atas dasar hasil pemungutan suara itu pula, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo
    (GMLL) meminta pemerintah serius menanggapinya. Bahkan, pemerintah didesak
    menjadikan hasil diskusi itu sebagai salah satu bukti penguat kasus gugatan
    hukum terhadap Lapindo Brantas Inc.

    ”Sikap (pemungutan suara) itu jelas dari para pihak independen yang
    meyakinkan dan dapat dipercaya. Itu layak dipertimbangkan,” kata Taufik Basari
    dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, salah satu anggota GMLL.

    Berdasarkan hasil pertemuan di Cape Town, GMLL akan menyurati Presiden.
    Intinya, meminta agar penanganan hukum dan sosial diperbaiki.

    ”Surat akan segera kami kirim dalam waktu dekat,” kata salah satu deklarator
    GMLL Letjen Mar (Purn) Soeharto.

    Dihubungi di Cape Town, geolog yang juga Senior Vice President PT Energi Mega
    Persada Bambang Istadi mengatakan, pemungutan suara tidak mewakili pendapat
    geolog seluruh dunia. Lama presentasi dan diskusi juga terbatas.

    ”Namun, kesempatan itu membuka peluang menentukan kerja sama menentukan
    kejadian sebenarnya,” kata dia. Ia dan Nurrochmat Sawolo, Senior Drilling
    Adviser PT Energi Mega Persada, memaparkan fakta dan data seputar pengeboran
    sumur BP-1 dalam sesi diskusi tersebut.

    Rencananya, lanjut Bambang, Lapindo akan mengadakan forum diskusi tertutup,
    termasuk mengundang geolog Inggris Richard Davies, yang menyatakan pengeboran
    sebagai pemicu semburan, untuk membaca dan menganalisa data serta fakta
    pengeboran. ”Mari saling terbuka, tanpa prasangka. Analisa data dari hasil
    lapangan,” kata dia.

    Penderitaan warga

    Di tengah pembahasan geolog tingkat dunia, London, Inggris, dan Cape Town,
    Afrika Selatan, puluhan ribu warga korban lumpur masih tinggal dalam
    kekhawatiran. ”Warga fokus pada tuntutan yang belum juga dipenuhi,” kata
    pendamping warga, Paring Waluyo.

    Saat ini, tak sedikit warga yang belum menerima ganti rugi 20 persen. Apalagi
    sisa 80 persennya. Kelompok warga yang menerima skema pindah tempat tinggal dan
    kembalian pun, mengeluhkan sistem pengangsuran kembalian.

    ”Semua skema yang dipilih warga untuk ganti rugi, menyisakan kekecewaan
    karena pembayaran tersendat dan itu terus bertambah,” kata Paring. Sementara
    itu, semburan lumpur terus terjadi tanpa solusi lain, selain penanggulangan dan
    mengalirkan ke sungai yang terkendala.

    Pihak Lapindo, hingga awal September 2008, mengaku telah mengucurkan dana Rp
    4,39 triliun untuk berbagai keperluan. (GSA)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01082166/geolog.dunia.yakin.lumpur.tak.dipicu.gempa

     

  • Geologists Blame Gas Drilling for Indonesia Mud Disaster

    img_0641The University of Durham, in northeastern England, said 74 top scientists in petroleum geology debated Lusi at a conference in Cape Town, South Africa on Tuesday.

    Four experts put forward varying hypotheses, including the university’s professor of geology, Richard Davies, it said in a press release.

    Forty-two scientists voted in favour of Davies’ argument that the cause lay with a gas exploration well, Banjar-Panji-1, that was being drilled in the area by oil and gas company Lapindo Brantas, it said. (more…)

  • ANTARA – Kaukus DPR Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Lapindo

    "Wilayah empat desa ini sudah diusulkan dan mendapatkan persetujuan

    DPR
    RI

    tanggal 11 September 2008," kata Suripto yang juga Wakil Ketua Komisi III
    (bidang hukum) DPR itu.

    Menurut politisi PKS itu, kondisi keempat wilayah desa itu sudah sangat tidak
    layak huni lagi akibat dampak lumpur yang menyebabkan sumber-sumber penghidupan
    warga disana seperti sumur dan sawah, tidak dapat digunakan lagi.

    Tidak layaknya daerah tersebut juga dikarenakan munculnya bubble gas baru yang
    tidak terkendali. khususnya di Siring Barat, Mindi dan Jatirejo Barat serta
    penurunan tanah (land subsidience) sehingga banyak bangunan yang retak dan akan
    ambruk.

    Kaukus juga mendesak agar pembayaran pembelian tiga desa, yakni Besuki,
    Kedungcangkring dan Pejarakan yang juga diluar peta terdampak agar dilakukan
    secepatnya paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah berakhir. (*)

     

  • ANTARA – Semburan Lumpur Sidoarjo Diperkirakan Berlangsung 140 Tahunasus Lapindo Butuh Advokasi Internasional

    Dalam konferensi geologi internasional yang berlangsung 21-22 Oktober lalu,
    semua geolog internasional sepakat semburan lumpur Sidoarjo (Lusi), yang
    dikenal sebagai lumpur Lapindo adalah sebuah mud volcano yang biasa muncul
    akibat remobilisasi sedimen dan fluida cekungan bawah tanah.

    Gunung lumpur itu sudah tidak menjadi isu hangat lagi dalam konferensi geologi
    internasional yang berlangsung di Burlington House Piccadilly London. Namun isu
    pemicu terjadinya Mud Volcano menjadi fokus diskusi dalam pertemuan pakar
    geologi dunia itu.

    Beberapa geolog kelas dunia itu bahkan berpendapat, merasa beruntung karena
    bisa menjadi saksi dan mempelajari gunung lumpur raksasa yang sedang lahir dan
    tumbuh.

    Pada kesempatan itu juga dijelaskan bahwa gunung lumpur akibat remobilisasi
    lumpur bawah tanah itu sudah lama menjadi obyek penelitian ilmuwan global. Ilmuwan
    Eric Deville dari Perancis dalam membe
    rikan
    ceramah utamanya mengatakan, "mud volcano adalah sebuah sistem bumi agar
    lestari".

    Puncak sesi diskusi mengenai Lusi ketika Dr. Richard Davies dan ketiga temannya
    menyatakan bahwa semburan Lumpur Sidoarjo adalah akibat pemboran (drilling) BJP
    I.

    Namun peserta seminar Dr. Nurrohmat Sawolo ahli drilling dari PT Energi Mega
    Persada (EMP) langsung menepis hipotesa tersebut. Karena semua data yang
    dijadikan dasar penyimpulan Davies sangat beda dengan data drilling otentik
    yang dimiliki Lapindo. Padahal data versi Lapindo itu asli dan menjadi pegangan
    kepolisian dan kejaksaan RI dalam penyidikan kasus Lusi, katanya.

    Pembicara dari

    Indonesia
    ,
    Bambang Istadi menyimpulkan bahwa semburan Lusi bukan disebabkan oleh "underground
    blowout". "Dasarnya ada empat fakta berdasar data autentik
    Lapindo," jelasnya. Pertama, data rekaman tes temperatur dan sonan selama
    50 hari terhadap sumur BJP I menunjukan hasil menolak fenomena blowout. Fakta
    kedua tidak ada luberan, gas, steam, ataupun lumpur keluar dari Sumur BJP
    ketika dibuka.

    Fakta ketiganya adalah melalui re-entry diketahui mata bor tidak jatuh walau
    semburan yang berjarak 200 meter dari sumut BJP itu sudah berlangsung satu
    setengah bulan. Bila terjadi underground blowout pasti mata bor itu jatuh
    karena material lumpur yang keluar sudah jutaan ton.

    Fakta keempat tidak ditemukan "synthetic oil based drilling" dalam
    tes di berbagai titik survey semburan. "Semua fakta menunjukan sumur BJP
    masih sehat dan tidak terkoneksi dengan semburan," jelasnya.

    Peserta conference Dr. Christopher Jackson dari Imperial College London
    menyarankan solusi. "Harus segera ada kerjasama dan sharing data agar
    penyimpulan pemicu semburan Lusi menjadi benar," ujarnya.

    Sejak awal peserta geolog internasional yang datang dari Ame
    rika, Kanada, Perancis, Italy, Norwegia, Australia,
    German, Turki, Namibia, dan penjuru Inggris, Wales dan Skotlandia dalam
    konferensi ini sepakat bahwa Lusi sebuah mud volcano sebagai produk
    remobilisasi sedimen dan aliran fluida diwilayah cekungan bumi yang lemah.
    Karena itu semburan Lusi tidak bisa ditutup. (*)

     

  • Renokenongo Dijaga Polisi

    Selasa, 14 Oktober 2008 | 11:47 WIB

    SIDOARJO, KOMPAS –  Sehari setelah unjuk rasa besar rakyat korban lumpur panas PT Lapindo Brantas, desa Reno Kenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur dijaga ratusan polisi, Selasa (14/10).

    Polisi berseragam dan berkendaraan roda dua berkeliling di jalan-jalan desa yang sudah dirobohkan rumah-rumahnya karena luapan lumpur. Di tengah teriknya matahari, terlihat para polisi yang lelah berkeliling dengan motornya berhenti di sudut-sudut desa. Warung minum menjadi lokasi favorit berkumpulnya aparat negara.

    Mungkin karena kepanasan, para polisi membuka seragam mereka dan hanya mengenakan kaos dalam coklat. Minuman botol dingin dan televisi menyala menjadi selingan pembicaraan mereka.

    Di salah satu sudut desa, beberapa truk polisi diparkir. Truk itu sebelumnya membawa ratusan polisi lain yang ditugaskan berjaga-jaga mengantisipasi kemungkinan unjuk rasa rakyat korban. Rakyat berunjuk rasa karena tanah mereka ditanggul sementara ganti rugi 20 persen saja belum diberikan.

    Kegiatan penanggulan terus dilakukan dalam pengawasan dan pengawalan polisi. Rakyat korban hanya bisa menyaksikan tak punya daya. “Kami pasrah campur marah. Tapi apa daya kami. Mau keras kami lebih dikerasin dan kalah,” ujar Heri, warga Reno Kenongo.

    Meskipun marah, Heri tak banyak bisa berbuat untuk menuntut hak-haknya. Negara dinilainya tidak berdaya dalam memperjuangkan dan melindungi hak-hak warga. Seperti warga lain, Heri sambil menahan marah dan melupakan kegetiran kehilangan sejarah membongkar rumahnya sendiri. Kuburan keluarga di depan rumahnya sudah lama terendam lumpur dan tak lagi bersisa. “Kami sudah kehilangan semua termasuk keberanian untuk marah menuntut hak,” ujarnya.

    Wisnu Nugroho A