Author: Korban Lumpur

  • Ganti Rugi Belum Tuntas, Warga Temui Pansus

    Ganti Rugi Belum Tuntas, Warga Temui Pansus

    Sidoarjo – Sudah hampir lima tahun kasus Lapindo belum juga ada penyelesaian. Mulai dari proses ganti rugi sampai masalah dampak sosial yang lainnya. Warga korban Lapindo yang berada di dalam peta area terdampak sampai sekarang pun ganti ruginya juga tidak kunjung selesai, baik warga yang menyepakati skema ganti rugi secara dicicil 15 Juta per bulan, hingga warga yang belum menerima pembayaran ganti rugi sepeser pun.

    Proses ganti rugi yang berlarut–larut tanpa ada penyelesaian membuat perwakilan warga dari beberapa kelompok mendatangani Panitia Khusus (Pansus) Lumpur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo, (jumat 15/04/2011) Mereka  mendesak pemerintah untuk segera mengambil alih penanganan korban lumpur Lapindo yang tak kunjung selesai ini.

    Warga yang kesemuanya merupakan korban Lapindo yang berada di peta terdampak berdasarkan Perpres 14/2007 ini, menganggap PT. Minarak Lapindo Jaya, anak perusahan PT Lapindo Berantas INC. tidak punya itikad baik untuk menuntaskan proses ganti rugi warga. Baik itu ganti rugi secara dicicil ataupun ganti rugi yang dituntut warga berdasar skema 20%-80% “Minarak sudah tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan ganti rugi warga, sudah beberapa kali Minarak tidak membayar cicilan warga dengan tepat waktu, ini saja sudah tiga bulan warga tidak menerima pembayaran cicilan” ungkap Samanhudi perwakilan korban dari Desa Jatirejo, Porong.

    Menanggapi tuntutan korban Lapindo ketua Pansus M. Zainal Lutfi mengatakan akan memperjuangkan tuntutan warga pada agenda dengar pendapat dengan pemerintah  pada pekan depan. Dalam dengar pendapat nanti pansus akan mengusulkan untuk merevisi Peraturan Presiden (Perpres) yang intinya pemerintah mengambil alih penanganan dampak dari lumpur Lapindo “Kami akan menyampaikan tuntutan warga ke pemerintah, selain itu kami Pansus akan mengusulkan ada perubahan Perpres yang mengatur penanganan dampak lumpur Lapindo di ambil alih pemerintah” ungkap Politisi PAN ini setelah menemui warga korban Lapindo.

    Perpres 14/2007, Perpres 48/ 2008 dan perpres 40/ 2009 menurut Ketua Pansus harus di revisi menjadi satu peraturan Presiden yang mengatur pengambil alihan penanganan dampak lumpur Lapindo oleh pemerintah. “Perpres yang sudah ada sekarang harus direvisi, agar pengambil alihan persoalan lumpur Lapindo ada payung hukumnya” katanya

    “Jika revisi Perpres ini disetujui ditahun ini saya yakin Tahun 2012 persoalan ganti rugi korban baik dalam area terdampak maupun diluar area terdampak bisa tertangani semua” lanjutnya

    Dalam pertemuan nanti Pansus akan mengajak perwakilan korban Lapindo untuk bertemu dengan Menteri Pekerja Umum (PU), Menteri Keuangan dan Menteri Enegi dan  Sumber Daya Mineral (ESDM), selaku dewan pengarah BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) “Pansus akan mengajak perwakilan korban baik dalam peta terdampak maupun diluar peta terdampak, untuk menyampaikan persoalan di Menteri PU, Menteri ESDM dan Menteri Keuangan, harapannya ada hasil dari pertemuan nanti” Ungkap Lutfi.

    Meskipun Pansus yang telah dibentuk untuk kedua kalinya ini tidak bisa berbuat banyak dalam membantu persoalan warga korban lapindo, kali ini perwakilan warga akan mendukung langkah yang diambil Pansus Lumpur ini. Warga berharap ada kejelasan soal ganti ruginya, mereka menyatakan siap ikut serta dalam pertemuan dengan pemerintah nanti, meskipun harus menggunakan dana pribadi. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Ratusan Korban Lapindo Luruk Kantor Gubernur

    Surabaya –  Ratusan korban Lapindo dari aliansi 45 RT mendatangi kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan Surabaya, Rabu (30/3) pagi ini.

    Pantauan Tempo, dengan membawa ratusan sepeda motor, massa langsung diarahkan polisi untuk masuk ke dalam kompleks kantor Gubernur.

    Di kantor Gubernur, massa hingga saat ini hanya duduk di sekitar taman. “Intinya kami minta Gubernur temui kami secara langsung,” kata Muhammad Yasin, koordinator warga.

    Pertemuan dengan Gubernur tambah, Yasin, sangat diperlukan mengingat Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. “Kami minta Gubernur usulkan ke pusat supaya wilayah kami masuk kawasan yang mendapatkan ganti rugi,” ujar Yasin menambahkan.

    Sejumlah 45 RT ini setidaknya berasal dari Desa Mindi sebanyak 18 RT, Pamotan 8 RT, Ketapang 12 RT, dan Besuki 7 RT. Menurut warga, pada 6 Agustus 2010 lalu tim ahli bentukan Gubernur sebenarnya telah merekomendasikan ke-45 RT ini merupakan wilayah yang berbahaya seiring terus terjadinya amblesan tanah dan pencemaran air.

    Hanya saja, hasil rekomendasi itu hingga kini tak jelas arahnya. Rumah warga yang mulai retak hingga saat ini juga tak pernah mendapatkan kepastian ganti rugi.

    Korban luapan lumpur Lapindo setidaknya terbagi ke dalam empat golongan besar. Pertama adalah golongan warga di empat Desa Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo. Empat kawasan ini ganti rugi sudah ditetapkan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya.

    Golongan kedua adalah warga di desa Pejarakan, Kedungcangkring dan Besuki, ganti rugi warga tiga desa ini ditetapkan dibayar melalui APBN. Dan golongan ke-tiga adalah warga di 9 RT Siring Barat, Jatirejo Barat dan sebagian desa Mindi, ke-9 RT ini ganti rugi saat ini sudah mulai diproses dan rencananya akan dibayar oleh APBN.

    Sedangkan golongan terakhir adalah warga 45 RT yang saat ini berunjuk rasa di Kantor Gubernur Jawa Timur.

    Asisten Kesejahteraan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Edy Purwinarto mengatakan, pihaknya pada Senin (28/3) lalu sebenarnya sudah menemui perwakilan 45 RT. “Kita sudah jelaskan, Gubernur sudah usulkan ganti rugi tapi keputusannya di pusat,” kata Edy.

    Meski demikian, karena warga ngotot ingin bertemu Gubernur, Edy berjanji akan menyampaikan sehingga Gubernur bisa secara langsung menemui warga. (FATKHURROHMAN TAUFIQ)

  • Lapindo Ingkari Status Tanah Warga

    Lapindo Ingkari Status Tanah Warga

    Sidoarjo – Hampir lima tahun kasus semburan lumpur Lapindo berjalan, namun hingga sekarang penyelesaian yang diharapkan warga tak juga tuntas, ganti rugi warga yang menjadi korban pun sampai kini juga belum terselesaikan. Warga yang menerima skema ganti rugi dengan cara dicicil sudah 2 bulan lebih belum dibayar oleh lapindo, bahkan sejak Januari 2011 warga hanya menerima cicilan 5 juta per bulan, dari yang seharusnya di cicil 15 Juta per bulan.

    Bukan cerita baru Lapindo secara sengaja telat membayar cicilan warga, sudah sekian kali lapindo mengingkari janjinya yang pernah disampaikan dihadapan Presiden. Keterlambatan pembayaran cicilan warga ini praktis membuat warga menjadi tersiksa. Pasalnya, banyak warga yang sampai sekarang masih mengandalkan cicilan dari Lapindo untuk kebutuhan hidup sehari-hari, setelah rumah dan mata pencahariannya hilang oleh lumpur lapindo.

    Tidak hanya mengingkari janjinya untuk tepat waktu dalam membayar cicilan warga, Lapindo juga sampai sekarang belum membayar ganti rugi aset tanah dan bangunan warga Gempolsari Kecamatan Tanggulangin sama sekali, menurut Abdul Haris Kepala Desa Gempolsari, ada 18 warga Gempolsari yang belum menerima pembayaran skema 20 % yang seharusnya di bayar pada 2007 silam, “Warga saya ada 18 warga yang belum menerima skema pembayar 20 persen” ungkap Haris.

    PT Minarak Lapindo Jaya anak perusahan Lapindo Brantas yang ditunjuk untuk mengurusi pembayaran ganti rugi warga tidak mengakui aset tanah ke 18 Warga Gempolsari ini sebagai tanah kering, Minarak menganggap tanah warga sebagai tanah sawah. Padahal, surat-surat yang dimiliki warga membuktikan tanah tersebut adalah tanah darat. “Minarak tidak mengakui tanah warga Gempolsari ini tanah kering, Minarak bersikeras mengakui tanah warga ini tanah sawah, padahal surat warga tanah darat, dan BPLS dan Tim Verifikasi sudah menyatakan tanah darat, lah kok Minarak masih bersikeras tidak mau mambayar ganti rugi warga” terang Haris saat ditemui di kantornya.

    Aset warga Gempolsari yang sampai sekarang belum dibayar oleh Lapindo terdiri dari 7 aset tanah dan bangunan dan 11 aset berupa tanah pekarangan saja. Warga yang memiliki aset tanah dan bangunan yang tidak diakui sebagai tanah darat sampai kini masih tinggal didesa Gempolsari, tepatnya di RT 10.  Tidak diakuinya tanahnya sebagai tanah darat membuat Sulastri (34 Tahun) marah atas sikap Lapindo, pasalnya dirinya dan ke 17 pemilik aset, tidak segera dibayar oleh lapindo “Saya tidak habis pikir dengan sikap Lapindo yang tidak mengakui tanah saya sebagai tanah darat, padahal surat saya menyatakan tanah darat” kata Sulastri dengan kesalnya.

    Sulastri tidak hanya marah terhadap Lapindo, dirinya juga menyesalkan sikap pemerintah yang seakan – akan tutup mata dengan kondisi warga “Saya sudah menyampaikan persoalan ini sampai ke pemerintah pusat tapi sampai kini juga tidak ada kejelasan, padahal sudah hampir lima tahun saya menunggu tidak ada kejelasan yang pasti” ungkapnya.

    Sulastri bahkan mengatakan bahwa Minarak malah menawarkan solusi lain kepada warga, tanah warga yang ada bangunannya dihargai sebagai tanah darat yaitu 1 juta per meter, dan tanah yang tidak ada bangunanya dihargai sebagai tanah sawah  yaitu 120 ribu per meter “Terkhir Minarak menawarkan tanah yang ada bangunannya diakui tanah kering dan tanh yang tidak ada bangunnya di hargai tanah sawah, ya kami tidak mau”  ungkap sulatri menceritakan tawaran Andi darusalam, direktur Minarak Lapindo Jaya. Padahal Sulastri tidak membutuhkan tawaran yang neko-neko, Sulatri dan warga Gempolsari hanya berharap ada kejelasan soal ganti ruginya karena selama hampir lima tahun warga menunggu kejelasan yang tidak pasti. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Ganti Rugi Korban Lapindo Diselewengkan

    Ganti Rugi Korban Lapindo Diselewengkan

    Sidoarjo – Polres Sidoarjo menemukan indikasi adanya dugaan penyelewengan ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo di tiga desa di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang diduga dilakukan oknum Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

    Kepala Polres Sidoarjo AKBP M Iqbal, Rabu (2/3/2011), mengatakan, saat ini petugas kepolisian telah memeriksa sejumlah saksi dan menemukan indikasi penyelewengan uang ganti rugi warga korban lumpur Lapindo itu.

    “Terkait dengan kasus ini, kami juga telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim untuk membantu mengusut kasus ini,” ucapnya.

    Ia mengemukakan, meski polisi telah memeriksa sejumlah orang sebagai saksi, polisi masih belum menentukan tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan uang ganti rugi ini.

    Hingga saat ini, polisi masih terus melakukan penyelidikan kasus serta memeriksa sejumlah saksi, mulai dari warga, staf BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo), dan Badan Pertanahan Nasional.

    Dari pemeriksaan sementara, polisi sudah menemukan indikasi penyelewengan uang ganti rugi korban Lumpur Lapindo. “Indikasi diperoleh dari keterangan staf BPN dimana antara luasan tanah yang ada dengan nilai uang ganti ruginya tidak sesuai,” paparnya.

    Namun, polisi masih belum bisa mengetahui berapa nilai uang yang telah diselewengkan, dan karena itu, polisi berkoordinasi dengan BPKP untuk menghitung berapa nilai uang yang diselewengkan.

    Dirinya juga membantah jika pemeriksaan yang dilakukan oleh kepolisian tersebut dianggap lambat oleh masyarakat.

    “Kami tidak lambat dalam melakukan pemeriksaan, tetapi harus melalui tahapan yang harus dilalui. Karena kasus dugaan korupsi seperti ini sudah ada prosedur pemeriksaan yang harus dilalui,” tuturnya.

    Sebelumnya, warga Desa Besuki, Kecamatan Jabon, melaporkan adanya dugaan penyelewengan uang ganti rugi warga yang diduga dilakukan oleh oknum tim verifikasi BPLS.

    Dalam laporannya, modus penyelewengan dengan meminta bayaran pada warga apabila tanahnya ingin diberi ganti rugi sebagai tanah kering, dan bukan tanah sawah.

    Warga yang tidak mau memberi bayaran ganti ruginya dipersulit karena oknum tim verifikasi BPLS tersebut, mengubah status tanah kering menjadi tanah sawah yang nilai ganti ruginya jauh lebih rendah.

     

    (c) kompas.com

  • Lapindo Mud Volcano Set to Erupt for Quarter-Century

    Lapindo Mud Volcano Set to Erupt for Quarter-Century

    PARIS – A mud volcano that has displaced more than 13,000 Indonesian families will erupt for at least a quarter of century, emitting belches of flammable gas through a deepening lake of sludge, scientists reported on Thursday.

    Underground pressure means the volcano “Lusi,” in Sidoarjo, East Java, is likely to gush grey mud until 2037, when volumes will become negligible, according to their computer model. But gas will continue to percolate through it for decades and possibly centuries to come. (more…)

  • Sumur Warga Sidoarjo Diduga Tercemar Lumpur Lapindo

    Sumur Warga Sidoarjo Diduga Tercemar Lumpur Lapindo

    Sidoarjo – Warga Desa Besuki Timur Kecamatan Porong mengeluhkan sumur air minum diduga tercemar air lumpur Lapindo.

    Akibatnya, air sumur warga berubah keruh berwarna kuning dan rasanya berubah asin. Sehingga, warga harus mengeluarkan uang ekstra untuk membeli air minum. “Air sumur tak layak konsumsi,” kata warga setempat Adib Rosadi, Senin (21/2).

    Ia mengaku tak nyaman tinggal di daerah yang dekat dengan tanggul lumpur Lapindo. Warga selalu was-was dan khawatir jika sewaktu-waktu tanggul jebol. Lantaran selama sebulan terakhir terjadi dua kali tanggul penahan lumpur longsor dan ambrol. Sehingga, setiap malam warga terus mengawasi dan memantau tanggul.

    Apalagi daerah pemukiman warga juga mengeluarkan gas metana bercampur air dan lumpur (bubble) yang mudah terbakar. Bahkan, aneka tanaman dan pohon Mangga mengering dan mati. Selain itu, sawah warga yang berimpitan dengan lumpur Lapindo tercemar, tanaman mati dan mengering. “Sawah tak bisa ditanami,” ujarnya.

    Adib tak sendirian, ia bersama ribuan warga Desa Mindi, Besuki Timur, Pamotan Kecamatan Porong dan Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo menuntut ganti rugi. Mereka yang berasal dari 45 Rukun Tentangga ini telah melaporkannya kepada Gubernur Jawa Timur, Menteri Pekerjaan Umum dan Presiden. “Kami dipingpong, tak ada tindaklanjutnya,” ujarnya.

    Ia berharap Pemerintah memperhatikan nasib warga yang berada di sekitar kolam penampungan. Mereka meminta Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan 45 RT ini sebagai daerah yang berbahaya dan mendapat ganti rugi.

    Sebanyak 45 RT tersebut tersebar di Desa Mindi sebanyak 18 RT, Desa Besuki Timur 7 RT, Desa Pamotan 8 RT dan Desa Ketapang sebanyak 12 RT. Sejumlah rumah warga rusak, dinding bangunan retak akibat penurunan permukaan tanah di sekitar kolam penampungan.

    Hasil penelitian Tim Kajian Kelayakan Pemukiman Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada 6 Agustus 2010 lalu tegas menyebutkan jika pemukiman warga di 45 RT tersebut tak layak huni.

    Pemukiman warga, katanya, sama dengan warga di 9 RT Desa Siring, Desa Jatirejo dan Desa Mindi Kecamatan Porong yang telah ditetapkan sebagai daerah berbahaya dan tak layak huni. Mereka mendapatkan jaminan hidup, uang sewa rumah dan biaya pindah rumah.

    Menanggapi keluhan warga, juru bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Achmad Khusiri menyatakan telah menerima hasil survei Tim Kajian Kelayakan Pemukiman tersebut. Selanjutnya, BPLS dan badan geologi segera meneliti kondisi geologi di kawasan pemukiman warga. “Menggunakan survei tiga dimensi,” katanya.

    Hasil penelitian ini, katanya, diserahkan kepada Pemerintah untuk memutuskan daerah mana saja yang tak layak huni dan mendapat ganti rugi. Survei Tim Kajian dan penelitian badan geologi menjadi dasar memutuskan persoalan tersebut. (EKO WIDIANTO)

    (c) TEMPO Interaktif

  • Diklaim Aman, Tanggul Jebol Lagi

    Diklaim Aman, Tanggul Jebol Lagi

    SIDOARJO – Tanggul penahan lumpur Lapindo sisi Barat kembali ambrol pada Sabtu (19/02/2010), meski Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) beberapa kali mengklaim kondisi tanggul aman. Tanggul yang longsor kali ini terjadi antara titik 21 dan titik 22, persis tak jauh dari tanggul yang jebol sebelumnya (10/02/2010). Akibatnya, rel kereta api Surabaya-Blitar terganggu, dan Jalan Raya Porong terancam.

    Humas BPLS Ahmad Khusairi mangatakan, tanggul yang longsor untuk kedua kalinya ini dikarenakan kondisi tanah yang menopang tanggul sangat labil. “Wilayah ini memang kondisinya tidak stabil. Ada pergerakan tanah di bawah. Selama lumpur masih keluar, berarti ada rongga di bawah dan mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah,” ungkapnya. Sejauh ini, BPLS kerap mengatakan bronjong (batu dan kawat) akan mampu mencegah jebolnya tanggul.

    “Sekuat apapun kontruksi tanggul, jika ada pergeseran tanah yang ada di bawah pasti tanggul yang di atasnya akan ambles ataupun ambrol,” tambahnya saat berada di tempat kejadiaan. Jebolnya tanggul kali ini berlangsung pada pukul 05.20 WIB. 

    Menurut pihak BPLS, yang saat itu menurunkan dua alat berat, dibutuhkan sedikitnya sepekan untuk memperbaiki tanggul yang longsor itu. “Secepatnya akan kita lakukan pembenahan kembali tanggul. Bronjong yang ikut longsor kita ambil dahulu, dan kita kondisikan tanggul aman terlebih dahulu. Baru kita benahi tanggul yang longsor, tetap dengan bronjong. Kalau tidak hujan, kemungkinan seminggu tanggul sudah berhasil diperbaiki,” jelas Khusairi.

    Akibat tanggul longsor dua kali di lokasi yang sama ini, perjalanan kereta api terganggu, meskipun tidak ada kereta yang ditunda keberangkatannya. Winarto, Humas PT Kereta Api Daerah Operasi (Daop) VIII Surabaya, saat dihubungi mangatakan, akan terus memantau kondisi tanggul. “Sampai saat ini, rel kereta api masih dalam kondisi aman. Dan kita akan terus memantau kondisi tanggul. Kecepatan kereta tetap 5 km/jam. Kita upayakan kereta tidak ada kendala,” ujarnya.

    Longsornya tanggul ini membuat pengguna jalan harus ekstra waspada. Mereka khawatir jika sewaktu-waktu tanggul penahan lumpur mengalami jebol. Sementara, warga di sekitar tanggul berharap ada solusi yang sungguh-sungguh. “Saya berharap ada upaya untuk menghentikan luapan lumpur. Jika ditampung terus di kolam penampungan, saya yakin cepat atau lambat kondisi tanggul tidak mampu bertahan,” ungkap seorang warga yang sehari-hari mengais rejeki di sekitar tanggul. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Korban Lapindo 45 RT Tuntut Solusi Permanen

    Korban Lapindo 45 RT Tuntut Solusi Permanen

    SIDOARJO – Ratusan warga korban Lapindo luar peta terdampat menggelar aksi di bekas Pasar Porong, Rabu (16/02/2011). Warga yang menamakan diri Aliansi 45RT ini berasal dari Desa Besuki Timur (Kecamatan Jabon), Desa Mindi, Desa Pamotan (Kecamatan Porong) dan Desa Ketapang (Kecamatan Tanggulangin). Mereka  menuntut pemerintah untuk memasukkan wilayah mereka ke dalam peta area terdampak seperti halnya desa-desa dalam peta Perpres 48/2008.

    Jasimin, kordinator aksi, mengatakan aksi ini sebagai bentuk ketidakpuasan warga kepada pemerintah. Sudah hampir lima tahun ini, pemerintah tidak memperhatikan nasib empat desa ini. Padahal hasil Tim Kajian Kelayakan Pemukiman (TKKP) bentukan Gubernur Jatim menyebutkan area yang tidak layak huni sekarang menjadi 45 RT. “Aksi ini ingin memperingatkan pemerintah agar hasil temuan TKKP ditindak lanjuti,” ujar Jasimin. Wilayah 45 RT itu mencakup 18 RT dari Desa Mindi, 7 RT dari Desa Besuki, 12 RT dari Desa Ketapang dan 8 RT dari Desa Pamotan.

    Aksi yang dikemas dalam bentuk istighotsah ini diwarnai dengan longmarch warga Desa Mindi dan Desa Besuki. Mereka sempat memblokade Jalan Raya Porong. Aksi blokade tidak langsung lama, karena kembali memasuki area tempat aksi setelah diarahkan polisi. Jalan Raya Surabaya-Gempol dari kedua arahnya sempat macet. Selain melakukan istigotsah, warga menyampaikan pernyataan sikap yang berisi desakan agar pemerintah segera memasukkan desa-desa dalam cakupan 45 RT tersebut ke peta area tedampak.

    Warga juga menuntut Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar melaksanakan perintah presiden mengenai adanya solusi permanen penanganan kasus lumpur Lapindo, khususnya masalah penanganan sosial warga.  “Kami juga peringatkan kepada Dewan Pengarah BPLS untuk menindaklanjuti intruksi presiden agar persoalan segera diselesaikan secara permanen, khususnya masalah sosial,” ucap Abdul Salam, kordinator warga Desa Ketapang.

    Setelah melakukan aksi selama hampir lima jam, warga langsung membubarkan diri. Warga mangancam akan melakukan aksi yang lebih besar lagi. “Kami akan melakukan aksi lebih besar lagi jika pemerintah tidak menindaklanjuti hasil temuan TKKP,” ancam Salam. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Tanpa Sistem Peringatan Dini, Tanggul Lapindo Kembali Jebol

    Tanpa Sistem Peringatan Dini, Tanggul Lapindo Kembali Jebol

    SIDOARJO—Anggaran Rp 1,3 triliun setahun ternyata tak menjamin keselamatan warga di sekitar luapan lumpur Lapindo. Tanpa ada peringatan dini apa pun, tanggul penahan lumpur di titik 22, yang berada persis di sebelah jalur kereta api Surabaya-Blitar, jebol pada Kamis siang (10/02/2011). Peninggian tanggul dan pemasangan bronjong (kawat dan batu) oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tak berhasil menahan laju lumpur. BPLS juga tidak memasang sistem peringatan dini di sekitar kawasan berisiko itu.

    Akuwan, warga yang sehari-hari berada di sekitar tanggul yang longsor mengatakan, awalnya tanggul titik 22 ini sudah retak sekitar pukul 11.00. “Jam 11.00 kondisi tanggul sudah retak. Dan tidak berselang langsung ambrol dengan tiba-iba. Mungkin ini karena pembangunan bronjong asal-asalan,” ujarnya. Sumono, warga lainnya, juga memberikan keterangan serupa. “Jam 11.00 sudah kelihatan retak. Jadi kita tidak berani mangkal di situ. Eh, tak tahunya terjadi tanggul longsor.” Sumono ojek tanggul yang biasa mangkal di dekat tanggul yang ambrol tersebut.

    Akibat ambrolnya tanggul, jalur kereta api terganggu. Sempat terjadi penundaan pemberangkatan KA Penataran jurusan Surabaya-Blitar dan KA komuter Surabaya-Sidoarjo. “Kami terpaksa menunda pejalanan kereta, menunggu kondisi aman dulu. Kalau pun kondisinya sudah aman, mungkin kondisi kecepatan akan kita kurangin menjadi 5 km/jam,” ungkap Winarto, Humas PT Kereta Api Daerah Operasi (Daop) VIII Surabaya.

    Herannya, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhamd Khusairi menyatakan kondisi tanggul masih aman. “Tanggul yang ambrol hanya sisi barat saja, karena kondisi area tanggul yang ambrol tanahnya memang sangat labil. Sebelumya juga pernah terjadi over toping (meluap),” ucap Khusairi.

    “Kita akan berupaya secepat mungkin membetulkan kondisi tanggul yang ambrol. Awalnya kita upayakan untuk mengatur kemiringan, agar tanggul benar-benar kuat. Dan akan kita perbaiki bronjong yang ikut ambrol tersebut,” tambahnya.

    Kenyataannya, banyak warga yang berada di sebelah barat tanggul khawatir. Mereka takut jika lumpur yang sudah setinggi 10 meter tiba-tiba jebol. “Kami sampai sekarang masih khawatir dengan kondisi tanggul yang sudah tinggi itu. Kalau langsung jebol, siapa yang mau tanggung jawab,” ungkap salah satu warga Siring Barat yang sedang melihat kondisi tanggul tersebut. (vik)

  • Korban Lumpur Lapindo Jadi Miliarder?

    Korban Lumpur Lapindo Jadi Miliarder?

    Firdaus Cahyadi – Entah apa yang dirasakan oleh korban lumpur Lapindo bila membaca pernyataan Ical—panggilan akrab Aburizal Bakrie—di portal berita Detik.com (25 Januari). Ical mengatakan bahwa warga yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo telah mendapat uang pengganti dan bantuan dalam nilai di atas rata-rata. Judul berita di portal itu pun berbunyi, Ical: Korban Lumpur Lapindo Jadi Miliarder.

    Menurut Ical, dari 12 ribu kepala keluarga korban semburan lumpur, sebanyak 11.920 di antaranya sudah selesai. Sedangkan untuk 80 orang sisanya belum dibayarkan karena tidak setuju dengan program tersebut. Benarkah demikian? Fakta di lapangan ternyata berbicara lain. Menurut pendamping korban lumpur Paring Waluyo, dari 13.200 warga yang rumahnya tenggelam, baru 55 persen yang telah dibayar lunas. Sedangkan yang 45 persen dan sebagian warga desa lainnya belum dibayar lunas. (more…)

  • SBY Diminta Bawa Lapindo ke Pengadilan

    SBY Diminta Bawa Lapindo ke Pengadilan

    Dalam aksinya massa membawa spanduk dan poster bertuliskan penuntasan kasus Lapindo serta membawa peti mati keadilan. Mereka juga melakukan orasi menuntut penyelesaian kasus Lapindo.

    Koordinator aksi, Andrie Wijaya mengatakan aksi ini dilakukan setiap tanggal 29 untuk mengingat jika kasus Lapindo sudah berjalan 4 tahun dan belum juga ada perhatian dari pemerintah.

    “Aksi kali ini mengangkat bahwa banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah dan disembunyikan fakta-fakta,”ujarnya, Sabtu (29/01/2011).

    Dirinya juga menjelaskan jika saat ini baru selesai melakukan uji kesehatan terhadap perempuan dan anak-anak. Hasilnya kondisi kesehatan terhadap perempuan dan anak menurun yang diduga akibat paparan gas yang mereka hirup selama 4 tahu terakhir.

    Dengan aksi ini mereka juga meminta pemerintah untuk memaksa Lapindo menutup semburan lumpur dan merehabilitasi ekosistem.  Tidak hanya itu saja, pemerintah juga membawa Lapindo ke pengadilan sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan pelanggar HAM berat. (crl)

    (c) Okezone

  • Sanggar Al Faz untuk Anak-anak Korban Lumpur Lapindo

    Sanggar Al Faz untuk Anak-anak Korban Lumpur Lapindo

    Sidoarjo – Sebuah sanggar anak didirikan untuk anak–anak korban lumpur Lapindo. Sanggar bernama Al Faz ini didirikan tahun 2008 dan berfungsi sebagai taman bermain, sekaligus belajar bagi anak-anak korban lumpur yang tinggal di kawasan Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    Pendiri Sanggar Al Faz Muhammad Irsyad mengatakan, hingga saat ini ada sekitar 30 anak yang beraktifitas di sanggar di setiap hari Sabtu sore dan Minggu pagi. Sebagian dari mereka bahkan telah duduk di bangku SMP dan SMA.

    Pendirian Sanggar Al Faz didorong oleh rasa keprihatinan Irsyad terhadap perkembangan mental dan kepribadian anak–anak korban lumpur.

    “Pada waktu itu, kepribadian dan perkembangan anak, kurang begitu terperhatikan, karena orang tuanya sibuk mengurusi ganti rugi. Karena itulah, sanggar ini berdiri,” kata Irsyad, Sabtu (29/1).

    Kegiatan di Sanggar Al Faz terbagi dalam beberapa kelompok, seperti menari, menyanyi dan belajar alat musik, termasuk gamelan dan alat musik tradisional lainnya. Tidak itu saja, sanggar Al Faz juga menyediakan perpustakaan yang berisi buku-buku pengetahuan dan pelajaran untuk anak-anak.

    Sanggar Al Faz, juga menggelar diskusi yang bertemakan persoalan di masyarakat setiap pekan. Topik bahasan dari diskusi yang digelar beragam, mulai dari kesehatan, pendidikan hingga penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

    Irsyad dan penduduk Desa Besuki Timur juga membangun radio komunitas Kanal Besuki Timur (KBT) FM. Radio ini menyiarkan informasi seputar perkembangan dan isu-isu terbaru terkait lumpur Lapindo.(E3)(Yovinus Guntur Wicaksono)

    (c) VHRmedia

  • Hentikan Melakukan Kebohongan, Lapindo!

    Hentikan Melakukan Kebohongan, Lapindo!

    Jakarta, (29/01/2011) – Tidak beraninya pemerintah SBY menyeret Lapindo ke pangadilan, membuat Lapindo dan pemiliknya semakin leluasa mengumbar kebohongan ke publik. Terakhir kali Ical, 24/01/2011, mengatakan korban Lapindo telah menjadi miliader dan tinggal 80 KK yang belum lunas dari hanya 12 ribu KK, padahal ada 70 ribu KK yang menjadi korban dan masih 5997 KK yang belum dibayar lunas hingga akhir 2010.

    Sederetan kebohongan Lapindo dan pemiliknya, menjadi pembenaran bagi pemerintah mengabaikan korban dan melakukan pembiaran semburan lumpur tetap berlangsung. Dan hal ini telah berlangsung sejak lumpur kali pertama menyembur, 29 Mei 2006.

    Korban pun semakin jauh dari rasa keadilan, fakta-fakta keadilan dilapang seperti masuk dalam Peti Mati lalu membusuk didalamnya. Lapindo dan Bakrie selalu mampu berkelit dari tanggung jawab dengan mengucapkan mantra kebohongannya. Dan ternyata perilaku bohong ini tidak hanya dilakukan oleh Lapindo, perusahaan lainnya dibawah Bakrie Group seperti Arutmin, Adaro dan KPC tidak bayar pajak dan menunggak Royalti. KPC melakukan penyerobotan lahan HPH milik PT. Porodisa dan berbohong bahwa wilayah yang diserobotnya adalah miliknya.

    Setali tiga uang, Lapindo dan Pemerintah malah berkolaborasi melakukan kebohongan-kebohongan.  Mulai dari menyatakan semburan lumpur adalah bencana, lumpur tidak berbahaya dan beracun, buble juga tidak berbahaya atau bahkan difasilitasi oleh peraturan yakni Kepres 14/2007 lalu diganti Perpres 48/2008 dan terakhir Perpres 40/2009.

    Ini tak bisa dibiarkan terus menerus, karena kebohongan demi kebohongan seolah Lapindo telah melakukan yang terbaik dan sangat peduli terhadap korban. Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo, menuntut :

    1. Hentikan pencitraan dengan melakukan kebohongan atas fakta-fakta kehancuran dan ketidakadilan yang terjadi.
    2. Pemerintah segera memaksa Lapindo menutup semburan lumpur Lapindo dan melakukan rehabilitasi atas kerusakan ekosistem dalam skala besar.
    3. Memaksa dan menuntut Lapindo membayar seluruh kerugian tanpa menggunakan uang rakyat (baca: APBN)
    4. Pemerintah membawa Lapindo ke Pengadilan sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan pelanggaran HAM berat.
    5. SBY harus memenuhi janji-janjinya untuk menanggani Lapindo secara maksimal dan terang benderang.
    6. Mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak melupakan masalah lumpur Lapindo, serta tidak terpengaruh opini “menyesatkan” yang berupaya mengalihkan tanggung jawab dalam penyelesaian masalah ini.

     

    Siaran Pers, 29 Januari 2011 Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo
    (JATAM, KIARA, WALHI, Institut Hijau Indonesia, ICEL, Kontras, LBH Masyarakat, Lapis Budaya, Imparsial, Satu Dunia, WALHI Jatim, Solidaritas Perempuan)

     

    (c) http://www.jatam.org

  • Ical Sesumbar, Korban Lapindo Terlantar

    Ical Sesumbar, Korban Lapindo Terlantar

    SIDOARJO – Klaim Aburizal Bakrie atau Ical bahwa korban Lapindo telah menjadi miliarder tidak saja jauh panggang dari api. Lebih dari itu, pihak Lapindo telah mengingkari janjinya untuk ke sekian kali. Hingga akhir Januari 2011 ini, terhitung empat bulan lebih PT Minarak Lapindo tidak membayarkan cicilan Rp 15 juta per bulan kepada warga yang berhak.

    Keterlambatan pembayaran cicilan warga ini sangat menyengsarakan warga. Pasalnya, warga sangat mengantungkan hidup pada pembayaran cicilan. Terlebih, kebanyakan warga korban Lapindo sekarang masih belum memperoleh pekerjaan yang layak. Mulyadi, warga yang dulu tinggal di Desa Jatirejo, pun harus mengubur dalam-dalam keinginannya membangun rumah lagi.

    Sampai menjelang  lima tahun semburan lumpur Lapindo, Cak Mul, demikian Mulyadi biasa dipanggil, belum bisa membangun rumah kembali. Ia terpaksa harus menumpang hidup di rumah kontrakan saudaranya di kawasan Gempol, Kabupaten Pasuruan. “Saya sampai sekarang belum bisa membangun rumah kembali. Anak-istri, saya titipkan di rumah mertua  di Mojokerto. Di sini saya numpang di rumah kakak saya,” tuturnya.

    Cak Mul sangat kecewa dengan perlakuan Lapindo. Setelah menyatakan tidak mampu melunasi sisa pembayaran tanah dan bangunan 80 persen secara tunai sekaligus, pihak Lapindo menyatakan akan membayar dengan mengangsur Rp 15 juta per bulan. Namun janji tinggal janji. “Minarak sudah seenaknya memperlakukan korban lumpur. Sudah empat bulan ini saya belum ditransfer. Terakhir bulan Desember 2010 saya mendapatkan trasferan, tapi  hanya lima juta,” ungkap pria 45 tahun yang sehari-hari mengais rezeki di tanggul penahan lumpur ini.

    Cak Mul sendiri seharusnya menerima Rp 15 juta per bulan. Uang ganti rugi itu kemudian harus dia bagi dengan ke lima saudaranya. Wajar jika uang selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari. Mulyadi dan istrinya sekarang tidak mempunyai penghasilan lagi sejak lumpur Lapindo menenggelamkan rumah dan kampung tempat mereka bekerja. Dulu Mulyadi bekerja sebagai tukang becak di Desa Jatirejo, sedangkan istrinya berjualan nasi di depan rumah.

    Perlakuan Lapindo yang seenaknya sendiri itu tidak saja dialami Mulyadi. Harwati, asal Desa Siring, juga mengalami hal serupa. “Saya bulan Januari ini hanya ditrasfer lima juta. Dan pada bulan-bulan sebelumnya saya tidak ditransfer sama sekali. Terakhir saya mendapat transferan utuh Rp 15 juta pada bulan Oktober 2010,” ujarnya. Perempuan yang suaminya meninggal sejak 2007 silam ini harus membanting tulang untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Sehari-hari Harwati juga memanfaatkan tanggul penahan lumpur untuk mencari nafkah.

    Harwati terpaksa mengojek di tanggul penahan lumpur untuk mengantar tamu berkeliling. Meskipun Harwati sudah menerima cicilan sekitar Rp 75 juta dari Rp 150 juta dari sisa ganti ruginya, sampai saat ini dirinya juga belum bisa membangun rumah kembali. Ia dan kedua anaknya kini tinggal bersama orang tuanya di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong.

    Hampir lima tahun hidup Harwati terombang-ambing oleh sikap Lapindo. Anehnya, pemerintah pun seolah tak kuasa menekan Lapindo. “Saya sangat kecewa dengan pemerintah, seakan-akan sudah lepas tangan dari kasus Lapindo. Meskipun korban Lapindo sering dizalimi Lapindo yang sering mengingkari janjinya membayar cicilan tepat waktu, Pemerintah diam saja,” tandas Harwati. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Taufik Basari: Klaim Ical Jauh dari Fakta

    Taufik Basari: Klaim Ical Jauh dari Fakta

    “Ical mengatakan hanya tinggal 80 orang saja yang belum mendapat ganti rugi, mana tunjukkan orang-orangnya. Juga ada 11.920 yang sudah mendapat ganti rugi dan menjadi miliarder, mana orang-orangnya tunjukkan,” kata pendamping dan pengacara korban lumpur Lapindo, Taufik Basari di Jakarta, Selasa (25/1/2011).

    Memang telah dilakukan ganti rugi atau jual beli antara pihak Lapindo dan korban lumpur, namun itu semua hanya dinilai berdasarkan aset, dan korban tidak mempunya pilihan.

    “Jadi seperti diberi uang kaget, seolah-olah korban mendapat uang berlipat-lipat, tapi tidak dipikirkan bagaimana nasib pekerjaan, kehidupan sehari-hari yang dahulu dimiliki. Penyelesaian bagi korban ini instan,” terang Taufik.

    Dia juga menuding, apa yang disampaikan Ical soal jumlah korban hanya tinggal 80 orang yang belum mendapat ganti rugi, jauh dari fakta.

    “Sepanjang pengetahuan kita yang berhubungan dengan korban di lapangan lebih banyak dari 80. Jumlah korban begitu banyaknya, dan ingat tidak ada yang pernah disampaikan kepada publik jumlahnya berapa dan siapa saja yang menerima,” tutupnya. (ndr/gah)

    (c) detikcom, Ical Ditantang Tunjukkan Korban Lapindo yang Telah Jadi Miliarder

  • Februari, Lahan Arteri Porong Harus Siap

    Februari, Lahan Arteri Porong Harus Siap

    “Februari nanti semua proses pembebasan lahan sudah harus rampung karena pada bulan tersebut pembangunan jalan arteri sudah harus dimulai,” kata Gubernur Jawa Timur Soekarwo, di Surabaya, Kamis (20/1/2011) malam.

    Ia mengaku mendapat perintah dari Wakil Presiden Boediono agar jalan arteri Porong-Kejapanan-Gempol itu sudah bisa dimanfaatkan untuk umum pada 17 Agustus 2011.

    “Kami diberi waktu enam bulan untuk merealisasikan pembangunan jalan arteri itu. Dalam perhitungan kami, Februari sudah harus mulai dibangun sehingga pada 17 Agustus 2011 sudah bisa dimanfaatkan,” katanya saat ditemui di Gedung Negara Grahadi.

    Sebelumnya, Soekarwo mengadakan pertemuan dengan pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Bupati Sidoarjo, Wakil Bupati Pasuruan, dan sejumlah pejabat teras Pemprov Jatim untuk mematangkan rencana pembangunan jalan arteri itu.

    Dalam rapat di Grahadi itu, gubernur mendapatkan penjelasan bahwa hingga saat ini lahan yang sudah dibebaskan mencapai 83,20 persen dari total kebutuhan lahan untuk jalan arteri seluas 123,77 hektare.

    Lahan yang dibutuhkan itu tersebar di Kabupaten Sidoarjo seluas 99,62 hektare dan di Kabupaten Pasuruan seluas 21,70 hektare, ditambah cadangan lahan tersisa 2,45 hektare.

    Lahan yang terbebaskan di Kabupaten Sidoarjo hingga kini sudah mencapai 89,64 persen, sedangkan di Kabupaten Pasuruan baru mencapai 50,11 persen.

    “Untuk di Kabupaten Sidoarjo, bupatinya sudah siap melakukan konsinyasi, sedangkan di Kabupaten Pasuruan, kami meminta agar wabup terus melakukan pendekatan dengan warga,” kata gubernur.

    Jalan arteri Porong-Kejapanan-Gempol sangat diperlukan untuk mengatasi kemacetan di Jalan Raya Porong sebagai jalur utama yang menghubungkan Surabaya dengan Malang dan Pasuruan.

    Selain jalan arteri, pemerintah juga mengupayakan relokasi jalan tol ruas Porong-Gempol akibat jalan tol lama terdampak semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas sejak 2006.

    (c) Kompas

  • Korban Lumpur Lapindo Ngeluruk Pendopo

    Korban Lumpur Lapindo Ngeluruk Pendopo

    SIDOARJO – Puluhan korban lumpur panas Porong yang masuk dalam skema cash and carry ngeluruk Pendopo Kabupaten Sidoarjo, Rabu (19/1) sekitar pukul 16.30 WIB. Mereka menagih janji pada Bupati Sidoarjo H Saiful Ilah.

    Ketika datang, puluhan warga dari empat desa masing-masing Siring, Reno Kenongo, Jatirejo, dan Kedung Bendo langsung menuju depan rumah dinas bupati yang ada di sebelah barat pendopo. Sekitar 10 menit mereka duduk di depan rumah dinas sambil menggelar tikar, korban lumpur digiring ajudan bupati ke pendopo.

    Menurut Yadi, warga yang masuk dalam pola cash and carry proses pembayarannya tersendat-sendat. Bahkan ada yang belum menerima pembayaran uang muka 20 persen. Apalagi pembayaran sebanyak 80 persen. “Kami bersama warga lainnya ya ngomong pada pemilik rumah yang kami kontrak, pembayarannya setelah dapat ganti rugi,” tukas Yadi dibenarkan warga lainnya.

    Selama ini, warga berpegang pada Peraturan Presiden (Perpres) 14/2007 mengenai pembayaran itu. Bupati Sidoarjo H Saiful Ilah yang menemui warga empat desa berjanji terus memperjuangkan korban Lumpur. “Semua keluhan kami tampung dan kami perjuangkan. Mereka itu anak-anak saya,” tuturnya.nmif

    (c) Surya

  • Tanggul Lumpur Lapindo Jebol, Warga Evakuasi Mandiri

    Tanggul Lumpur Lapindo Jebol, Warga Evakuasi Mandiri

    Tanggul penahan lumpur Lapindo sisi Gempolsari itu ambrol sekitar pukul 16.30 WIB. “Jebolnya tanggul ini disebabkan struktur tanah tidak bagus, sangat lembek. Akhirnya terjadi penurunan tanah sampai lima sentimeter dan tanggul jebol sekitar 100 meter,” kata Sumitro saat mengerahkan alat berat untuk menutup tanggul.

    Sebenarnya, sehari sebelumnya, tanggul di sekitar titik 79-80  sudah terjadi penurunan tanah sebanyak tiga kali. Pihak pengawas lapangan mengatakan sudah melaporkan kondisi tersebut ke Badan Penangulangan Lumpur Sidaorjo (BPLS). “Kita sudah laporkan itu ke BPLS. Dan karena volume air di dalam pond tekanannya sangat kuat, tanggul tidak bisa menahan, jadi langsung jebol,” imbuh Sumitro. (more…)

  • Mengendus Hulu Air Lapindo

    Iskandar, yang memimpin salah satu sesi lokakarya, bukan kesal pada topik lumpur itu. Debat berlarat-larat tentang penyebab semburan lumpur yang membuat Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu kehilangan selera. Satu kelompok meyakini muntahan lumpur itu terjadi akibat kelalaian dalam proses pengeboran, kelompok lain menyodorkan bukti bahwa gempa di Yogyakartalah pemicunya. “Bukannya malah fokus membahas cara menghentikan semburan lumpur,” katanya pekan lalu.

    Empat setengah tahun sudah lumpur dari lapangan Lapindo membanjiri Kecamatan Porong dan menenggelamkan 18 desa. Kawasan itu sekarang menjadi lautan lumpur. Rupa-rupa cara sudah dilakukan untuk menyumpal lubang semburan, dari pengeboran miring hingga menimbun lubang semburan dengan puluhan bola beton. Tapi semburan lumpur panas itu tak kunjung reda.

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyo-no pun tak sabar lagi dan memerintahkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mencari solusi permanen. “Tapi belum ada metode yang masuk akal untuk menghentikan semburan,” kata juru bicara Badan Penanggulangan, Achmad Zulkarnain.

    Memang begitu banyak usulan tek-nologi untuk menyumbat lumpur yang dialamatkan ke Badan Penanggulangan. Geolog Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya, Amien Widodo, misalnya, tetap meyakini teknik pengeboran miring atau relief well sebagai metode paling ampuh untuk mematikan semburan lumpur Lapindo.

    Cara itu sudah terbukti manjur di Brunei Darussalam. Pada 1979, akibat kesalahan dalam pengeboran, lumpur menyembur di lepas pantai Brunei. Perlu waktu hampir 30 tahun dan 20 relief well untuk menyumpalnya. Teknik ini pernah gagal di Lapindo, kata Amien, karena lokasi pengeboran kelewat dekat dengan pusat semburan. Dia mengusulkan pengeboran miring dilakukan dari luar tanggul lumpur.

    l l l
    Sejak 29 Mei 2006, air panas bercampur lumpur menyembur dari Blok Brantas. Iskandar Zulkarnain, 51 tahun, menghitung volumenya sudah melampaui 150 juta meter kubik. Sudah berulang kali tanggul penahan lumpur diperluas, juga diperkuat, berulang kali pula tanggul setinggi 20 meter itu jebol.

    Dalam lumpur panas, kata Iskandar, terkandung 70 persen air. Sejak Mei lalu, Iskandar dan tim Pusat Penelitian Geoteknologi menelisik dari mana air lumpur Lapindo itu bersumber. Dia berkeyakinan, ada pasokan air selama empat tahun ini yang jumlahnya diperkirakan tak kurang dari 75 juta meter kubik. Ia menyusup sebagai air tanah di kedalaman 700 meter hingga 3 kilometer ke lapisan tanah di bawah danau lumpur. “Pertanyaannya, dari mana air sebanyak itu,” kata Iskandar.

    Menurut Iskandar, kemungkinannya sangat kecil air Lapindo berasal dari cekungan di Porong itu sendiri, walaupun di sekitar lautan lumpur itu memang ada Sungai Porong dan juga rawa-rawa. Buktinya, kata Karit Lumbangaol, anggota tim, air rawa maupun Sungai Porong tidak pernah menyusut. Berarti, air lumpur Lapindo dipasok dari daerah di luar lautan lumpur.

    Iskandar meragukan intrusi air laut dari Selat Madura sebagai sumbernya. Penelitian Antonio Mazzini dari Universitas Oslo, Norwegia, bersama geolog G.G. Akhmanov dari Moscow State University, Rusia, pada 2008, menunjukkan kadar garam air lumpur Lapindo 39 persen lebih rendah daripada air laut. Demikian pula dengan kandungan unsur magnesium, kalium, dan sulfur oksida air Lapindo, juga jauh lebih rendah daripada air laut di Selat Madura.

    Analisis air dengan menggunakan isotop oksigen dan deuterium yang dilakukan Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral beberapa waktu lalu juga menyimpulkan sumber air lumpur Lapindo berhu-bungan dengan magma. Mata Iskandar dan timnya pun mengarah ke barat daya Porong, ke arah Gunung Penanggungan, sekitar delapan kilometer dari semburan lumpur.

    Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia Lambok M. Hutasoit pernah mengajukan hipotesis serupa. Melihat tingginya volume semburan lumpur, dia menduga air Lapindo berasal dari -daerah yang cukup tinggi. Untuk memas-tikan hubungan lumpur Porong dengan daerah resapan air di Gunung Penanggungan, Lambok mengusulkan -analisis isotop pada air lumpur. Kalau air itu berumur tua, kata dia, berarti yang terperangkap memang air dalam formasi tanah di bawah Porong. Jika umur air itu masih muda, berarti ada air tanah yang terbawa masuk.

    Agar air bisa mengalir hingga menembus formasi di bawah danau lumpur, ia memerlukan zona tembus air atau permeable. Zona ini biasanya berupa struktur patahan yang poros. “Fungsinya serupa dengan pipa air di bawah tanah,” kata Karit. Zona itu berada tepat di antara dua patahan lempeng.

    Dari penelitian dengan metode gaya berat dan audio-magnetotelluric serta magnetotelluric, ditemukan patahan yang melintang dari arah barat daya ke timur laut. Sesar ini membentang dari Desa Watukosek di kaki Gunung Penanggungan dan melewati Porong. Sesar Watukosek ini berada di keda-laman 200 meter dan semakin terbenam hingga kedalaman 1.500-3.000 meter saat mengarah ke Porong.

    Zona itulah, kata Iskandar, yang diduga merupakan “pipa” yang mengge-lontorkan air dari Penanggungan ke lautan lumpur Lapindo. Untuk memastikan zona aliran air temuan tim Pusat Penelitian Geoteknologi, masih perlu pengeboran di sejumlah titik. Jika temuan awal Iskandar ini nanti benar-benar terbukti, bisa jadi akan ada jalan untuk menyumbat semburan lumpur panas itu.

    Caranya dengan mencekik “pipa” air tersebut dengan mengubah zona tembus air menjadi zona kedap air. Misalnya dengan menyuntikkan partikel-partikel halus ke dalam zona tembus air itu. Partikel ini akan menyumbat pori-pori yang menjadi jalur air. Jika pasokan air mampat, kemungkinan lumpur Lapindo pun akan macet.

    Cara itu, menurut Iskandar, akan menaikkan tinggi muka air tanah di zona antara Lapindo dan Gunung Penanggungan. Sekali pukul, dua target kena.

    Sapto Pradityo, Anwar Siswadi (Bandung), Eko Widianto (Sidoarjo)

    (c) Majalah Tempo

  • Sunami Bertahan Meski Lapindo Edan

    Sunami Bertahan Meski Lapindo Edan

    Sunami kini harus rela tinggal di bekas ruko Pasar Buah Porong, tanpa tetangga. Perempuan 52 tahun ini hanya ditemani kedua anaknya, tanpa didampingi sang suami lagi. Suaminya meninggal setelah dua tahun kampung mereka dihancurkan Lapindo.

    Pada 2006, begitu lumpur panas muncrat, hidup Sunami dan keluarga enggak keruan. Karena rumah tinggal hancur, mereka pun mengungsi ke Pasar Baru Porong. Setelah tiga bulan berdesak-desakan di pengapnya barak pengungsian, Sunami dan keluarga meneken tanda terima uang kontrak dari pihak Lapindo senilai Rp 5 juta, yang berarti mereka harus hengkang dari pengungsian. Mereka lalu mengontrak sebuah rumah di Kalitengah, Kecamatan Tanggulangin.

    Sunami hanya mampu menyewa tempat tinggal itu selama satu tahun. Sebab, uang kontrakan yang diterimanya harus juga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Maklum, Sunami tak punya penghasilan lagi begitu warung miliknya turut ditenggelamkan lumpur Lapindo. Sementara suami Sunami waktu itu sudah tidak bisa bekerja. Sewaktu di kampung Jatirejo, suami Sunami bekerja sebagai buruh tani dan pemungut sampah. Pekerjaan itu otomatis musnah begitu Desa Jatirejo luluh lantak.

    Setahun hidup di rumah kontrakan, suami Sunami uring-uringan dan mulai sakit-sakitan. Setelah masa kontrak habis, Sunami mengajak suaminya dan kedua anaknya hijrah ke Gunung Gangsir, Pasuruan, sebab di sanalah kebanyakan keluarga mereka tinggal, persisnya di Desa Merangen.  Sunami menempati salah satu rumah saudaranya. Suami Sunami, yang sudah sakit-sakitan itu, akhirnya meninggal di sana, tepatnya pada 5 Juni 2008.

    Sewaktu ditemui Kanal, Sunami bercerita sembari meneteskan air mata. “Bojo kulo sampun pejah, wes entok rong tahun. Sak marine kampungku kelelep lumpur, bojoku enggak gelem kerjo, senengane menyendiri neng kamar. Pas mari nyambangi neng tanggul, mesti moleh langsung muring-muring seng enggak jelas. Mungkin mikir omahe kelelep lumpur. Pas tahun 2008 bojoku dadi loro, terus pejah. Suami saya sudah meninggal, sudah dua tahun meninggalnya. Setelah kampung saya tenggelam oleh lumpur Lapindo, suami saya tidak mau kerja, suka menyendiri di kamar sendirian. Sering, setelah melihat tanggul penahan lumpur, pulang jadi marah-marah tidak jelas. Mungkin mikir rumahnya yang tenggelam lumpur. Pada 2008, suami saya sakit-sakitan, lalu meninggal.”

    Tiga bulan setelah suaminya meninggal, Sunami bermaksud pindah lagi. Ia tidak mau merepotkan saudara-saudaranya di Gunung Gangsir, apalagi ia tidak bekerja apa-apa di sana. Ia pun meminjam uang sebesar Rp 1,5 juta dari adiknya buat menyewa rumah selama satu tahun. Sunami dan kedua anaknya memilih sewa rumah di Jatirejo Barat, persis sebelah barat Jalan Raya Porong.

    Di kontrakan baru ini, Sunami membuka warung kopi kecil-kecilan. Lokasi warung itu persis berada di depan pos pantau Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Di warung kecilnya ini, Sunami mengais rejeki dari pengendara yang kebetulan berhenti dan mampir ke warungnya. Sesekali pedagang asongan juga mangkal di warung Sunami. Tidak banyak rejeki yang dia dapatkan, dalam sehari Sunami membawa pulang Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu.

    Hasil jualan di warung ternyata juga tak mampu menopang hidup Sunami. Setelah setahun lebih di Jatirejo Barat, masa kontrak rumah pun habis. Sunami tak sanggup lagi membayar sewa rumah. Dan, ia pun harus hengkang dari rumah itu, persisnya pada 11 September 2010 lalu. Seorang pemilik bengkel bubut yang berada di Pasar Buah Porong berbaik hati membantu Sunami. Sunami dan kedua anaknya dipersilakan menempati bekas ruko di sebelah bengkel bubut itu.

    “Sak wis’e ngontrak neng Jatirejo, kulo mboten gadah arto mane, terus ditolong Pak Bambang seng duwe bengkel bubut, dikongkon manggoni ruko sebelah’e. Terus listrik’e kulo dikongkon nyalur pisan. Setelah mengontrak di Jatirejo, saya tidak punya uang lagi. Terus saya ditolong Pak Bambang, pemilik bengkel bubut untuk menempati ruko di sebelahnya. Saya juga dibolehkan nyalur listrik dari bengkelnya juga,” cerita Sunami.

    Derita Sunami tidak berhenti di sini. Sehari setelah menempati bekas ruko Pasar Buah Porong itu. anak keduanya, Ahmad Rosidi (18 tahun), tidak mau sekolah. Pasalnya, biaya sekolah Rosid sudah nunggak lima bulan. Menghadapi anaknya yang tidak mau lagi berangkat sekolah, Sunami pun pasrah, karena dirinya juga tidak sanggup membiayai tunggakan sekolah anaknya. “Anak kulo sekolah kelas loro. Sekolah’e sempat arep medot. Soal’e biaya sekolah Rosid telat limo wulan. Anak saya sekolah kelas dua (SLTA). Sekolahnya sempat mau putus, karena biaya sekolah Rosid sudah telat lima bulan,” ungkap Sunami.

    Pihak SMK Al-Fudlola, Porong, tempat Rosid bersekolah, yang mengetahui permasalah anak didiknya langsung mencari tempat tinggal Rosid. Pihak sekolah menemui Sunami. Mereka menginginkan Rosid tetap melanjutkan sekolah dengan meringankan biayanya, asal Rosid mau melanjutkan sekolah.

    “Pihak sekolahan wingi nekani kontrakan kulo, ngengken Rosid tetep sekolah. Soal biaya sing telat limo wulan iso dibayar lek kulo gadah arto. Terus neng ngarep, biaya Rosid entok keringanan biaya. Dadi Rosid kulo pekso sekolah maleh. Pihak sekolahan kemarin mendatangi kontrakan saya, dan menyuruh Rosid tetap melanjutkan sekolahnya. Soal biaya yang telat lima bulan boleh dibayar kalau saya punya uang. Terus ke depan, Rosid juga mendapat keringanan biaya. Jadi langsung saya paksa Rosid untuk sekolah lagi,” lanjutnya.

    Masalahnya, Sunami juga tidak tahu kapan akan punya uang. Lapindo belum juga melunasi aset Sunami yang terendam lumpur, kecuali janji-janji. Sampai sekarang, 80 persen sisa pembayaran aset tanah dan bangunan belum juga jelas juntrungannya. Di samping itu, surat aset Sunami masih menjadi satu dengan saudara-saudaranya, sehingga dia tidak memiliki hak tanah, dan hanya memiliki hak bangunan.

    “Tanah kulo kan sanes gada’e kulo. Niku tanah adik kulo, dadi kulo mung angsal bangunan tok. Tanah saya itu bukan hak milik saya. Tanah itu hak milik adik saya. Jadi saya hanya mendapatkan ganti rugi bangunan saja,” kata Sunami. “Kulo pasrah neng adik kulo seng gadah tanah. Adik kulo boten poron dicicil, dadi kulo melu mboten poron dicicil. Saya pasrah saja adik saya yang punya tanah tidak mau dicicil, jadi saya juga ikut tidak mau dicicil,” tambahnya.

    Karena belum juga dilunasi Lapindo, Sunami pun sering melakukan aksi bersama warga lainnya agar aset bangunannya segera dibayarkan, agar dirinya dan kedua anaknya bisa membangun kehidupannya lagi. Sembari membereskan barang dagangannya karena mau hujan, Sunami menuturkan harapannya. “Kulo kepingin presiden iku lebih tegas ngongkon Lapindo ndang bayari 80 persen tunai. Lek lapindo enggak gelem bayari mbok yo ditalangi disek, cek kulo iso bangun kehidupan keluarga kulo mene. Saya berharap Presiden lebih tegas memerintahkan Lapindo membayar sisa 80 persen secara tunai. Kalau Lapindo tidak mau membayar, ya, ditalangi dulu biar saya bisa membangun kehidupan saya lagi,” katanya.

    Sampai saat ini pun Sunami dan sekitar 70 warga yang lain masih terus menuntut pembayaran aset tanah dan bangunan mereka secara tunai, bukan dicicil. Mereka tidak menyerah, meski pihak Lapindo menyatakan di berbagai media tidak mau membayar sisa pembayaran warga secara tunai. Lapindo hanya mau membayar secara cicilan Rp 15 juta/bulan yang juga tidak pernah dibayar tepat waktu. Negara sendiri, baik legislatif maupun eksekutif, seolah juga tutup mata dengan tingkah laku Lapindo melakukan nasib warga seenaknya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom