Author: Redaksi Kanal

  • Conclusive Vote on Cause of Indonesian Mud Volcano

    Professor Richard Davies
    Professor Richard Davies

    A Durham University scientist has played a key role in helping determine the cause of the Java mud volcano, Lusi.

    Two years’ of global public debate over the possible causes of Lusi has finally concluded. A resounding vote of international petroleum geologists from around the globe, including Durham University geologist Professor Richard Davies, concluded the mud volcano was triggered by drilling of a nearby gas exploration well.

    This may have implications for compensation of the local population affected. (more…)

  • TEMPO Interaktif – Pengusutan Hukum Kasus Lapindo Buntu

    "Tanpa itu, hasil konferensi hanya sebagai referensi kita," kata Mulyono,
    kepala seksi penerangan hukum kejaksaan tinggi, di Surabaya kemarin.

    Dalam pertemuan geolog dunia itu mayoritas peserta mengatakan semburan lumpur
    yang sudah berlangsung sejak Mei 2006 tersebut akibat kesalahan pengeboran.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka.
    Namun, sampai saat ini pengusutan hukum kasus semburan lumpur tersebut masih
    menemui jalan buntu.

    Kejaksaan menilai penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur belum sempurna
    meskipun telah empat kali dilimpahkan.

    Kepala Polda Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja beberapa waktu yang
    lalu meminta kejaksaan segera menyatakan sempurna (P-21) atas berkas perkara
    Lapindo.

    "Kasus lumpur terjadi karena kesalahan dan kelalaian. Saya hanya berharap
    kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik
    terang," kata Herman.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, mempertanyakan pemungutan suara dalam
    konferensi di Afrika Selatan itu. “Diskusi ilmiah, yang seharusnya untuk
    mengungkapkan kebenaran ilmiah, namun diakhiri dengan voting, tidak lazim dalam
    forum ilmiah,” kata Yuniwati melalui siaran pers. AQIDA | KUKUH SW | ROHMAN
    TAUFIQ

     

  • KOMPAS – Geolog Dunia Yakin Lumpur Tak Dipicu Gempa

    ”Pemungutan suara diambil setelah empat presentasi dan tanya jawab hingga dua
    setengah jam,” kata ahli pengeboran minyak anggota Drilling Engineers Club (DEC)
    Susila Lusiaga kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/10). Kamis pagi, ia dan
    ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini baru tiba dari
    Cape Town.

    Sejauh ini, hasil pemungutan suara itu menjadi dukungan terbesar bahwa
    semburan lumpur tak terkait gempa. Sebaliknya, terkait pengeboran sumur
    Banjarpanji- 1 (BP-1).

    Sebelumnya, secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil, para geolog
    dan ahli pengeboran menyatakan pengeboranlah pemicu utama, yang dibantah
    geolog-geolog lain. Dua kubu pun tercipta.

    Atas dasar hasil pemungutan suara itu pula, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo
    (GMLL) meminta pemerintah serius menanggapinya. Bahkan, pemerintah didesak
    menjadikan hasil diskusi itu sebagai salah satu bukti penguat kasus gugatan
    hukum terhadap Lapindo Brantas Inc.

    ”Sikap (pemungutan suara) itu jelas dari para pihak independen yang
    meyakinkan dan dapat dipercaya. Itu layak dipertimbangkan,” kata Taufik Basari
    dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, salah satu anggota GMLL.

    Berdasarkan hasil pertemuan di Cape Town, GMLL akan menyurati Presiden.
    Intinya, meminta agar penanganan hukum dan sosial diperbaiki.

    ”Surat akan segera kami kirim dalam waktu dekat,” kata salah satu deklarator
    GMLL Letjen Mar (Purn) Soeharto.

    Dihubungi di Cape Town, geolog yang juga Senior Vice President PT Energi Mega
    Persada Bambang Istadi mengatakan, pemungutan suara tidak mewakili pendapat
    geolog seluruh dunia. Lama presentasi dan diskusi juga terbatas.

    ”Namun, kesempatan itu membuka peluang menentukan kerja sama menentukan
    kejadian sebenarnya,” kata dia. Ia dan Nurrochmat Sawolo, Senior Drilling
    Adviser PT Energi Mega Persada, memaparkan fakta dan data seputar pengeboran
    sumur BP-1 dalam sesi diskusi tersebut.

    Rencananya, lanjut Bambang, Lapindo akan mengadakan forum diskusi tertutup,
    termasuk mengundang geolog Inggris Richard Davies, yang menyatakan pengeboran
    sebagai pemicu semburan, untuk membaca dan menganalisa data serta fakta
    pengeboran. ”Mari saling terbuka, tanpa prasangka. Analisa data dari hasil
    lapangan,” kata dia.

    Penderitaan warga

    Di tengah pembahasan geolog tingkat dunia, London, Inggris, dan Cape Town,
    Afrika Selatan, puluhan ribu warga korban lumpur masih tinggal dalam
    kekhawatiran. ”Warga fokus pada tuntutan yang belum juga dipenuhi,” kata
    pendamping warga, Paring Waluyo.

    Saat ini, tak sedikit warga yang belum menerima ganti rugi 20 persen. Apalagi
    sisa 80 persennya. Kelompok warga yang menerima skema pindah tempat tinggal dan
    kembalian pun, mengeluhkan sistem pengangsuran kembalian.

    ”Semua skema yang dipilih warga untuk ganti rugi, menyisakan kekecewaan
    karena pembayaran tersendat dan itu terus bertambah,” kata Paring. Sementara
    itu, semburan lumpur terus terjadi tanpa solusi lain, selain penanggulangan dan
    mengalirkan ke sungai yang terkendala.

    Pihak Lapindo, hingga awal September 2008, mengaku telah mengucurkan dana Rp
    4,39 triliun untuk berbagai keperluan. (GSA)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01082166/geolog.dunia.yakin.lumpur.tak.dipicu.gempa

  •  

  • Geologists Blame Gas Drilling for Indonesia Mud Disaster

    img_0641The University of Durham, in northeastern England, said 74 top scientists in petroleum geology debated Lusi at a conference in Cape Town, South Africa on Tuesday.

    Four experts put forward varying hypotheses, including the university’s professor of geology, Richard Davies, it said in a press release.

    Forty-two scientists voted in favour of Davies’ argument that the cause lay with a gas exploration well, Banjar-Panji-1, that was being drilled in the area by oil and gas company Lapindo Brantas, it said. (more…)

  • Belum Ada Kejelasan Nasib Karyawan Tanggul

    “Sampai sejauh ini alasannya perusahaan bangkrut,” ujar Agus Mulyadi (25 tahun), salah seorang pekerja tanggul. “Kami sama sekali tak bisa menerima alasan itu,” lanjutnya.

    Pasalnya, masih menurut Mulyadi, pemberhentian ini hanya dilakukan terhadap pekerja dari satu perusahaan saja dan diberlakukan hanya pada pekerja dari dua desa di atas. 

    “Pekerja dari kota-kota lain tidak ada satupun yang diberhentikan,” tutur Mulyadi. 

    Kebanyakan pekerja ini telah bekerja sejak awal semburan alias lebih dari dua tahun. Gaji mereka sekira 2 juta rupiah perbulannya dan kontrak mereka akan habis bulan depan. “Belum ada kejelasan status untuk kami hingga saat ini, pesangon saja tidak ada,” tutur Mulyadi. 

    Mulyadi bersama pekerja lainnya melakukan protes dengan melakukan penghentian segala aktifitas penanggulan. “Kami telah meminta kepada para pekerja lain untuk tidak bekerja hingga tuntutan kami untuk perpanjangan kontrak terpenuhi,” ujar agus. “Kami akan tetap melaksanakan aksi hingga mendapatkan kejelasan mengenai status kami.”

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai supervisor perusahan ini, hingga saat ini, belum memberikan statement resmi. Ahmad Zulkarnaen, humas BPLS,  tak mengangkat telepon selulernya saat dihubungi kanal sesaat setelah magrib tadi. [mas&mam]

  • Kasus Lapindo dan Gubernur Jatim

     

    Skema penyelesaian masalah sosial kasus lumpur
    Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007, terbukti tidak efektif. Aturan
    Perpres No 14 Tahun 2007 menimbulkan tafsir bermacam-macam. Realisasinya
    berbelit dan tidak konsisten. Esuk dele, sore
    tempe,
    bengi
    tempe njamur, esuk maneh

    tempe
    bosok… dst.

    Korban Lapindo yang manut resettlement disediakan tanah sengketa, seperti
    terjadi di Desa Sumput, Sukod
    ono,
    Sidoarjo.

    Ada

    yang menangis karena hanya menerima kunci di hadapan pejabat pemerintah dan
    wartawan, tapi ternyata rumahnya belum ada.

    Penyelesaian masalah sosial yang diserahkan kepada Lapindo memunculkan
    masalah sosial baru dengan adanya praktik ‘angsuran’ yang macet itu. Lapindo
    pastilah akan mati-matian mempertahankan kebenaran versi dirinya dan menganut
    prinsip dan motif ek
    onomi
    konvensional kapitalisme. Tetap saja kalah dengan Perum Pegadaian yang
    menerapkan prinsip: “Menangani masalah tanpa masalah.”

    Nasib korban Lapindo diserahkan kontraktor swasta, disuruh transaksi dengan
    kontraktor. Pemerintah menugasi Lapindo, lalu Lapindo menunjuk PT MLJ, lantas
    PT. MLJ menunjuk PT. WAR. Dioper-oper, tidak langsung ditangani negara. Badan
    Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) masih kalah perbawa dengan Lapindo.

    Praktik penanggulangan masalah sosial seperti itu melanggar prinsip Pasal 28
    I ayat (4) UUD 1945 yang menentukan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan,
    dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama
    pemerintah. Pemerintah diam ketika tahu nasib korban Lapindo dioper-oper
    menjadi barang dagangan.

    Jika praktik ini terus dipertahankan, nasib korban Lapindo tak akan
    terselesaikan hingga tiga tahun ke depan. Jika mau digugat, seluruh kekayaan
    Grup Bakrie yang terkaya di Asia Tenggara itu tak akan cukup mengganti kerugian
    imateriil (moril) korban Lapindo.

    Bersabar adalah resep paling gampang. Setelah

    lima
    tahun, korban Lapindo bisa menggugat.
    Tunggu hukumnya bertambah baik.
    Para hakim
    yang 90 persen korup itu sudah banyak yang mati. Grup Bakrie akan kalah di
    pengadilan, seperti ExxonMobil, korporasi raksasa Ame
    rika.

    Tahun 2008 ini, Exxon kalah di Mahkamah

    Agung
    AS

    sendiri lawan penduduk Aceh, dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh. Tentu ini
    juga sindiran bagi penegak hukum

    Indonesia
    yang sering menjadi
    gedibal korporasi hitam.

    Gubernur Baru
    Gubernur Jawa Timur (Jatim) masih memerintah dengan

    gaya
    lama. Tidak progresif. Ia tunduk kepada
    Perpres dibandingkan UU, meski UU derajatnya lebih tinggi dibandingkan Perpres.
    Sama halnya bupati Sidoarjo, yang memilih Perpres No 14 tahun 2007 dibandingkan
    kewajibannya menurut Pasal 14 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
    (jo. UU No. 12 Tahun 2008).
    Gubernur Jatim sebenarnya bisa mengambil-alih penyelesaian kasus Lapindo.
    Dasarnya Pasal 25 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo.
    Pasal 13 UU  No. 32 tahun 2004. Data kasus itu sudah banyak
    tersedia. 

    Gubernur Jatim seharusnya mengeluarkan keputusan agar Lapindo Brantas Inc
    dan induk korporasinya menanggung seluruh biaya penanggulangan kerusakan
    lingkungan hidup. Paradigma baru ekologi bukan lagi soal pohon, kecebong, ikan
    dan lain-lain nonmanusia. Tapi aktor utamanya berupa manusia juga menjadi
    bagian penting.

    Dalam keputusannya itu, gubernur Jatim menetapkan bahwa pelaksana
    penanggulangan masalah lingkungan akibat semburan lumpur Lapindo adalah Pemprov
    Jatim dengan dana talangan Pemprov Jatim  yang dimintakan ganti kepada
    Lapindo dan induknya.

    Jika Pemprov Jatim tak punya cukup uang, bisa menggalang donasi
    internasional dan pinjaman sosial tanpa bunga yang akan diganti bertahap hingga
    20 tahun ke depan, sambil menagih Grup Bakrie. Kalau Grup Bakrie tak mau
    membayar ya dipaksa melalui hukum dan politik ek
    onomi.
    Masak negara kalah lawan partikelir?

    Sedangkan Perpres No 14 tahun 2007 dan No 48 tahun 2008 dianggap (ditafsir)
    sebagai pelengkap. Jika menjadi konflik pemerintah pusat dengan daerah, yang
    penting korban Lapindo diselesaikan dulu. Soal konflik dihadapi saja sambil
    berjalan. Risiko hukum dan politik dihadapi, seperti Presiden SBY, yang berani
    menghadapi risiko hukum dan politik dalam membatasi tanggung jawab Lapindo.

    Beranikah gubernur Jawa Timur yang baru nanti? Dijamin: TiDAK AKAN BERANI.
    Ini menyangkut mental politisi pada umumnya, yang memilih bersahabat dengan
    konglomerat. Sikap abu-abu politisi

    Indonesia
    seperti itu biasanya bawaan
    ketika masih mahasiswa, akademisi atau aktivis.Tak berani terus terang melawan
    korporasi penindas, tapi malah minta dana proyek, program atau pekerjaan.

    Jika prediksi saya ini meleset, alhamdulillah, saya akan jungkir balik 10
    kali di Taman Bungkul! Mohon ingatkan saya nanti! Mari kita lihat!

    Tentang penulis:
    Subagyo, ketua Departemen Advokasi LHKI Surabaya.

     

  • ANTARA – Kaukus DPR Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Lapindo

    "Wilayah empat desa ini sudah diusulkan dan mendapatkan persetujuan

    DPR
    RI

    tanggal 11 September 2008," kata Suripto yang juga Wakil Ketua Komisi III
    (bidang hukum) DPR itu.

    Menurut politisi PKS itu, kondisi keempat wilayah desa itu sudah sangat tidak
    layak huni lagi akibat dampak lumpur yang menyebabkan sumber-sumber penghidupan
    warga disana seperti sumur dan sawah, tidak dapat digunakan lagi.

    Tidak layaknya daerah tersebut juga dikarenakan munculnya bubble gas baru yang
    tidak terkendali. khususnya di Siring Barat, Mindi dan Jatirejo Barat serta
    penurunan tanah (land subsidience) sehingga banyak bangunan yang retak dan akan
    ambruk.

    Kaukus juga mendesak agar pembayaran pembelian tiga desa, yakni Besuki,
    Kedungcangkring dan Pejarakan yang juga diluar peta terdampak agar dilakukan
    secepatnya paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah berakhir. (*)

     

  • ANTARA – Lumpur Lapindo Tidak Dapat Ditutup, Kata Geolog Internasional

    Kesepakatan itu muncul dalam konferensi bertema "Subsurface Sediment
    Remobilization And Fluid Flow in Sedimentary Basins" yang diselenggarakan
    The Geological Society di London, Inggris, Rabu.

    Dalam siaran pers itu dikatakan, selama ini, beberapa geolog internasional
    seperti Richard Davies dari University of Durham, Inggris, Mark Tingay dari
    University of Adelaide, Australia, dan Michael Manga dari University of
    California, Berkeley, AS, menyimpulkan bahwa semburan lumpur itu dipicu oleh
    kegiatan pengeboran sumur Banjar Panji I (BJP I) milik Lapindo Brantas Inc.

    Davies juga yakin bahwa lumpur itu adalah sebuah "mud volcano" yang
    merupakan hasil remobilisasi sedimentasi laut jutaan tahun lalu.

    Dalam konferensi tersebut, geolog PT Energi Mega Persada, Bambang Istadi, yang
    menjadi pembicara asal Indonesia, menegaskan bahwa semburan lumpur itu bukan
    disebabkan oleh "underground blowout".

    "Ini berdasarkan empat fakta yang ada pada data autentik yang dimiliki
    Lapindo," kata Bambang.

    Menurut Bambang, data rekaman tes temperatur dan sonan selama 50 hari terhadap
    sumur BJP I menunjukan hasil menolak fenomena "blowout". Analisa suhu
    pada kedalaman 9000 kaki sumur adalah 140 derajat F, sedangkan suhu fluida di
    atas permukaan justru 200 derajat F.

    "Ini membuktikan bahwa sumur tidak terkoneksi dengan lumpur yang
    menyembur. Juga berdasarkan tes sonan tidak ada suara bising di dalam
    sumur," jelas Bambang.

    Fakta-fakta berikut yang diungkapkan Bambang adalah tidak ada luberan, gas,
    "steam" (uap air), ataupun lumpur yang keluar dari sumur BJP ketika
    dibuka. Kemudian, melalui proses "re-entry" diketahui bahwa mata bor
    tidak jatuh, walau semburan yang berjarak 200 meter dari sumut BJP I, itu sudah
    berlangsung satu setengah bulan.

    "Bila terjadi underground blowout, pasti mata bor itu jatuh karena
    material lumpur yang keluar sudah jutaan ton," ungkap Bambang seeprti
    dikutip siaran pers itu.

    Fakta lain yang diungkap Bambang adalah tidak ditemukan "systhetic oil
    based drilling" dalam tes diberbagai titik survei semburan.

    "Semua fakta menunjukkan sumur BJP I masih sehat dan tidak terkoneksi
    dengan semburan," jelasnya.

    Sementara itu, Richard Davies, yang juga menjadi penyelenggara konferensi
    tersebut, mengaku terkejut atas temuan itu. Dia langsung merespons dengan
    menyediakan diri bekerja sama dengan pihak Lapindo Brantas.

    "Saya baru pertama kali ini bertemu dengan Bambang Istadi, ya di London
    ini," ucapnya.

    Perdebatan teknis antar geolog dunia mengenai semburan lumpur itu akan
    berlanjut pada konferensi internasional di

    Cape Town
    , Af
    rika
    Selatan, pada 26 – 29 Oktober 2008, yang diselenggarakan American Association
    of Petroleum Geologists (AAPG).(*)

     

     

  • ANTARA – Semburan Lumpur Sidoarjo Diperkirakan Berlangsung 140 Tahunasus Lapindo Butuh Advokasi Internasional

    Dalam konferensi geologi internasional yang berlangsung 21-22 Oktober lalu,
    semua geolog internasional sepakat semburan lumpur Sidoarjo (Lusi), yang
    dikenal sebagai lumpur Lapindo adalah sebuah mud volcano yang biasa muncul
    akibat remobilisasi sedimen dan fluida cekungan bawah tanah.

    Gunung lumpur itu sudah tidak menjadi isu hangat lagi dalam konferensi geologi
    internasional yang berlangsung di Burlington House Piccadilly London. Namun isu
    pemicu terjadinya Mud Volcano menjadi fokus diskusi dalam pertemuan pakar
    geologi dunia itu.

    Beberapa geolog kelas dunia itu bahkan berpendapat, merasa beruntung karena
    bisa menjadi saksi dan mempelajari gunung lumpur raksasa yang sedang lahir dan
    tumbuh.

    Pada kesempatan itu juga dijelaskan bahwa gunung lumpur akibat remobilisasi
    lumpur bawah tanah itu sudah lama menjadi obyek penelitian ilmuwan global. Ilmuwan
    Eric Deville dari Perancis dalam membe
    rikan
    ceramah utamanya mengatakan, "mud volcano adalah sebuah sistem bumi agar
    lestari".

    Puncak sesi diskusi mengenai Lusi ketika Dr. Richard Davies dan ketiga temannya
    menyatakan bahwa semburan Lumpur Sidoarjo adalah akibat pemboran (drilling) BJP
    I.

    Namun peserta seminar Dr. Nurrohmat Sawolo ahli drilling dari PT Energi Mega
    Persada (EMP) langsung menepis hipotesa tersebut. Karena semua data yang
    dijadikan dasar penyimpulan Davies sangat beda dengan data drilling otentik
    yang dimiliki Lapindo. Padahal data versi Lapindo itu asli dan menjadi pegangan
    kepolisian dan kejaksaan RI dalam penyidikan kasus Lusi, katanya.

    Pembicara dari

    Indonesia
    ,
    Bambang Istadi menyimpulkan bahwa semburan Lusi bukan disebabkan oleh "underground
    blowout". "Dasarnya ada empat fakta berdasar data autentik
    Lapindo," jelasnya. Pertama, data rekaman tes temperatur dan sonan selama
    50 hari terhadap sumur BJP I menunjukan hasil menolak fenomena blowout. Fakta
    kedua tidak ada luberan, gas, steam, ataupun lumpur keluar dari Sumur BJP
    ketika dibuka.

    Fakta ketiganya adalah melalui re-entry diketahui mata bor tidak jatuh walau
    semburan yang berjarak 200 meter dari sumut BJP itu sudah berlangsung satu
    setengah bulan. Bila terjadi underground blowout pasti mata bor itu jatuh
    karena material lumpur yang keluar sudah jutaan ton.

    Fakta keempat tidak ditemukan "synthetic oil based drilling" dalam
    tes di berbagai titik survey semburan. "Semua fakta menunjukan sumur BJP
    masih sehat dan tidak terkoneksi dengan semburan," jelasnya.

    Peserta conference Dr. Christopher Jackson dari Imperial College London
    menyarankan solusi. "Harus segera ada kerjasama dan sharing data agar
    penyimpulan pemicu semburan Lusi menjadi benar," ujarnya.

    Sejak awal peserta geolog internasional yang datang dari Ame
    rika, Kanada, Perancis, Italy, Norwegia, Australia,
    German, Turki, Namibia, dan penjuru Inggris, Wales dan Skotlandia dalam
    konferensi ini sepakat bahwa Lusi sebuah mud volcano sebagai produk
    remobilisasi sedimen dan aliran fluida diwilayah cekungan bumi yang lemah.
    Karena itu semburan Lusi tidak bisa ditutup. (*)

     

  • Kasus Lapindo Butuh Advokasi Internasional

    27/10/08 | 17:16

    Jakarta (ANTARA News) – Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin mengatakan, kasus Lapindo membutuhkan advokasi internasional misalnya dengan memberikan kesadaran mengenai kasus tersebut kepada berbagai pihak di luar negeri.

    “Harus dibangun argumen bahwa ada sebuah kasus yang harus diperhatikan baik oleh sejumlah negara bersahabat atau para pelapor khusus PBB,” kata Rafendi dalam acara diskusi peluncuran buku “Tambang dan Pelanggaran HAM: Kasus Pertambangan di Indonesia 2004 – 2005” di Jakarta, Senin.

    Ia mengemukakan advokasi dan lobi di tingkat internasional pada masa lalu berhasil dalam mengubah sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional Freeport di Papua.

    Mengenai pengajuan kasus Lapindo hingga ke Mahkamah Internasional, ia mengaku skeptis akan gagasan tersebut karena terbatasnya yurisdiksi pidana HAM internasional yang hanya terkait dengan sejumlah hal seperti genosida dan kejahatan perang.

    Rafendi juga menuturkan, penegakan HAM dalam berbagai kasus pertambangan tidak hanya harus menjadi perhatian Komnas HAM tetapi juga membutuhkan kerjasama yang sangat erat dengan berbagai pihak penegak hukum lainnya.

    Selain itu, ia menginginkan agar terdapat revisi terhadap berbagai pasal “karet” di dalam KUHP yang bisa digunakan pihak perusahaan pertambangan untuk melegalisasi kegiatan mengeksploitasi sumber daya alam di Tanah Air.

    Rafendi juga mengutarakan harapannya agar penegakan yang dilakukan para penegak hukum tidak selalu bersifat positivistik atau harus selalu sesuai dengan yang tercantum dalam perundangan, tetapi mereka juga mesti memperhatikan nilai HAM yang terkandung di dalamnya. (*)

  • Sekolah Swasta Bertahan

    Jumat, 10 Oktober 2008

    Sidoarjo, KOMPAS – Pihak sekolah swasta milik Yayasan Kholid bin Walid di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, memilih tetap bertahan meski wilayah itu sedang dalam proses pembangunan tanggul kolam penampungan lumpur Lapindo. Alasannya, hingga kini pihak sekolah belum menemukan lokasi atau gedung baru sebagai gantinya.

    Kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini belum dimulai seperti sekolah lain yang kembali masuk pada hari Kamis (9/10). Kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang terdiri atas taman kanak-kanak, madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), madrasah tsanawiyah (SMP), dan madrasah aliyah (SMA) itu baru akan dimulai pada hari Senin (13/10).

    Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Kholid bin Walid, Ali Asa’ad, mengatakan, meski proses pembangunan kolam lumpur sudah dimulai, kegiatan belajar-mengajar di sekolah tetap akan berlangsung seperti biasa. Ia mengatakan, hingga kini pihaknya belum menemukan gedung baru sebagai pengganti gedung yang ada saat ini jika nanti dirobohkan untuk pembangunan tanggul.

    Anggota staf Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), Akhmad Kusairi, berharap agar gedung sekolah milik Yayasan Kholid bin Walid tidak digunakan lagi sebagai tempat belajar-mengajar. Luapan air lumpur membuat sekolah tersebut tidak layak digunakan lagi. (APO)

  • Renokenongo Dijaga Polisi

    Selasa, 14 Oktober 2008 | 11:47 WIB

    SIDOARJO, KOMPAS –  Sehari setelah unjuk rasa besar rakyat korban lumpur panas PT Lapindo Brantas, desa Reno Kenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur dijaga ratusan polisi, Selasa (14/10).

    Polisi berseragam dan berkendaraan roda dua berkeliling di jalan-jalan desa yang sudah dirobohkan rumah-rumahnya karena luapan lumpur. Di tengah teriknya matahari, terlihat para polisi yang lelah berkeliling dengan motornya berhenti di sudut-sudut desa. Warung minum menjadi lokasi favorit berkumpulnya aparat negara.

    Mungkin karena kepanasan, para polisi membuka seragam mereka dan hanya mengenakan kaos dalam coklat. Minuman botol dingin dan televisi menyala menjadi selingan pembicaraan mereka.

    Di salah satu sudut desa, beberapa truk polisi diparkir. Truk itu sebelumnya membawa ratusan polisi lain yang ditugaskan berjaga-jaga mengantisipasi kemungkinan unjuk rasa rakyat korban. Rakyat berunjuk rasa karena tanah mereka ditanggul sementara ganti rugi 20 persen saja belum diberikan.

    Kegiatan penanggulan terus dilakukan dalam pengawasan dan pengawalan polisi. Rakyat korban hanya bisa menyaksikan tak punya daya. “Kami pasrah campur marah. Tapi apa daya kami. Mau keras kami lebih dikerasin dan kalah,” ujar Heri, warga Reno Kenongo.

    Meskipun marah, Heri tak banyak bisa berbuat untuk menuntut hak-haknya. Negara dinilainya tidak berdaya dalam memperjuangkan dan melindungi hak-hak warga. Seperti warga lain, Heri sambil menahan marah dan melupakan kegetiran kehilangan sejarah membongkar rumahnya sendiri. Kuburan keluarga di depan rumahnya sudah lama terendam lumpur dan tak lagi bersisa. “Kami sudah kehilangan semua termasuk keberanian untuk marah menuntut hak,” ujarnya.

    Wisnu Nugroho A

  • Lumpur Sidoarjo “Mengalir” sampai London

    Hampir dua setengah tahun lumpur panas Lapindo mengalir tanpa hambatan, menenggelamkan ribuan bangunan, mengubur ribuan hektar sawah produktif, jalan tol, mengusir ribuan warga, dan memutus sejarah keluarga serta komunitas. Ribuan mil dari Sidoarjo, Jawa Timur, di London (Inggris) dan Cape Town, Afrika Selatan, geolog lulusan berbagai universitas terkemuka mendiskusikannya.

    Secara garis besar temanya sama: semburan dipicu pengeboran Sumur Banjar Panji-1 atau dipicu oleh gempa bumi dua hari sebelumnya?

    Dua pertanyaan besar yang penting dan sensitif, yang menghangatkan diskusi di berbagai seminar dan diskusi maya, melalui komunitas surat elektronik termasuk di Tanah Air.

    Dua hari setelah diskusi di London, Kamis (23/10) siaran pers datang dari pihak PT Energi Mega Persada, perusahaan pengebor sumur BP-1. Pada pertemuan Masyarakat Geologi London itu, mereka memaparkan data bahwa pengeboran tidak memicu semburan lumpur.

    Dua geolog PT Energi Mega Persada, Bambang Istadi dan Nurrochmat Sawolo, Selasa (28/10), rencananya akan mempresentasikan data-data mereka pada pertemuan di Cape Town. Konferensi disponsori Asosiasi Geolog Petroleum Amerika.

    Prinsip paparannya sama: lumpur tak terkait pengeboran. Mereka mengakui adanya komunitas ilmuwan yang beranggapan sebaliknya: pengeboranlah pemicu semburan lumpur.

    Keduanya berkomentar tidak tahu dari mana komunitas itu mendapatkan data orisinal dan menegaskan bahwa temuan itu tidaklah tepat.

    Sebelumnya, geolog Inggris, Richard Davies, menggemparkan komunitas geologi. Dia menyatakan semburan lumpur dipicu pengeboran sumur BP-1, bukan bencana alam.

    Di Indonesia, sejumlah geolog mendukung pandangan Davies. Mereka meminta pihak Lapindo Brantas Inc, membuka data asli—memuat perkembangan pengeboran detik per detik.

    Tak mendapat respons semestinya, para geolog meminta media memfasilitasi pertemuan netral. Seperti pernah dikatakan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Andang Bachtiar, ”Jika perlu kurung kami tiga hari tiga malam untuk diskusi dan mencari pemecahan, bukan kesalahan.”

    Berbulan-bulan digaungkan, berbulan-bulan tak bersambut. Komunitas geolog ”anti-bencana alam” mengaku tak direspons pihak Lapindo, juga pemerintah sekalipun. Sementara itu, pihak ”pro bencana alam” menyatakan, penyebab semburan sudah jelas. Begitulah situasi dijagat geolog Indonesia.

    Butuh kepastian

    Kembali kepada warga, harapan mereka jauh dari muluk-muluk, cuma satu: tuntutan dikabulkan. Hidup turun-temurun di tanah yang kemudian terkubur, banyak yang mengaku kecewa. Namun, ada juga yang merasa diperlakukan layak. Entah berapa kali perwakilan warga silih berganti mendatangi ibukota Jakarta. Sebagian berhasil.

    Turun peraturan presiden (perpres) memuat desa mereka ke dalam peta terdampak dan ganti rugi sesuai skema warga. Terakhir, Juli 2008 lalu, pemerintah dan DPR mendukung harapan warga Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring dimasukkan ke perpres baru.

    Sejauh ini pemerintah hanya sanggup memberi solusi penanggulangan dan pengaliran lumpur ke sungai yang terhambat. Menteri Pekerjaan Umum, atas nama pertemuan para pakar, memilih opsi terburuk: semburan tak bisa dihentikan.

    Pemerintah pusat mengaku ”menyerah”, pemerintah daerah ikut pusat, sedangkan para calon gubernur yang berebut takhta Jawa Timur seperti enggan ”belepotan” lumpur. Geolog pun terbelah dua, yang yakin lumpur dapat dihentikan dan yang tidak.

    Jauh di London dan Cape Town sana, lumpur panas diperlakukan istimewa: didiskusikan para pakar kelas dunia di ruangan eksklusif. Entah hasilnya. Seperti harapan korban, mereka hanya menanti mata yang terbuka atas nasib mereka di sini. Tak perlu sampai jauh di London sana. (GSA)

  • Pengungsi Pasar Baru Tak Mampu Mengontrak, DPRD Meminta 20 Persen Ganti Rugi Dicairkan

    Sabtu, 11 Oktober 2008

    SIDOARJO, KOMPAS – Pengungsi korban lumpur Lapindo di Pasar Baru Porong, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, mengaku tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah. Uang kontrak Rp 5 juta untuk dua tahun yang diberikan PT Minarak Lapindo Jaya pada bulan Ramadhan lalu sudah habis dibelanjakan untuk keperluan Idul Fitri.

    Kini, mereka sangat membutuhkan pencairan uang ganti rugi sebesar 20 persen untuk mengontrak rumah. Hal tersebut terungkap saat kunjungan Panitia Khusus (Pansus) Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo yang dipimpin Maimun Siraj ke tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Jumat (10/10).

    ”Kami harap agar pencairan ganti rugi sebesar 20 persen bisa direalisasikan. Pengungsi saat ini sangat membutuhkan uang itu untuk mengontrak rumah. Jika uang itu belum mereka terima, kemungkinan besar mereka belum bisa keluar dari Pasar Baru Porong karena mereka tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah,” tutur Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo Maimun Siraj.

    Kunjungan itu dimaksudkan untuk mengetahui kondisi pengungsi korban lumpur Lapindo yang berencana pindah setelah menerima uang kontrak dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Anggota DPRD juga menanyakan perkembangan proses pemberian ganti rugi korban lumpur.

    Maimun Siraj mengatakan, selain untuk mengetahui kondisi terkini pengungsi korban lumpur di Pasar Baru Porong, maksud kedatangan DPRD sekaligus atas permintaan pemilik kios Pasar Baru Porong yang berencana kembali menggunakan kios mereka pada awal 2009. Mereka belum bisa menempati kios-kios itu karena masih dihuni oleh sekitar 564 keluarga.

    Untuk Lebaran

    Basuki Ahmad (45), salah satu pengungsi di Pasar Baru Porong, mengungkapkan bahwa uang Rp 5 juta yang diberikan PT MLJ pada Ramadhan lalu sudah habis untuk belanja kebutuhan Lebaran. Kini mereka mengaku tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah. ”Harga rumah kontrakan saat ini sudah mahal. Apalagi untuk kontrakan di sekitar Sidoarjo sulit didapat. Jadi, kami sangat membutuhkan realisasi uang ganti rugi sebesar 20 persen agar kami bisa segera pindah untuk mengontrak rumah.”

    Staf Social Support PT MLJ Suliyono menjelaskan, hingga hari ini realisasi ganti rugi 20 persen bagi pengungsi di Pasar Baru Porong masih terus berlangsung. Menurut dia, 344 berkas dari 564 berkas yang sudah dilakukan penandatanganan akta jual beli pada Selasa (7/10) dan Kamis (9/10). Uang bisa dicairkan paling cepat setelah 14 hari kerja sejak penandatanganan akta tersebut.

    ”Proses realisasi ganti rugi masih terus berlangsung. Kami sudah menyediakan dana sekitar Rp 37 miliar untuk uang ganti rugi sebesar 20 persen bagi seluruh pengungsi korban lumpur Lapindo yang berada di Pasar Baru Porong,” kata Suliyono. (APO)

  • Normalisasi Sungai, BPLS Diberi Waktu Dua Minggu

    Kamis, 9 Oktober 2008

    SIDOARJO, KOMPAS – Bupati Sidoarjo Win Hendrarso memberi batas waktu dua minggu kepada Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS Jawa Timur untuk merampungkan normalisasi Sungai Porong. Bupati mengusulkan pembuatan celah di tengah-tengah endapan sungai dan penambahan mesin pengeruk lumpur Lapindo di Sungai Porong.

    Win menjelaskan, endapan lumpur Lapindo di Sungai Porong semakin parah dan sangat mengkhawatirkan. Apalagi, sekarang sudah mendekati musim hujan. Beberapa titik tanggul sungai bukan mustahil jebol karena tidak mampu menampung aliran air Sungai Porong yang tidak lancar akibat endapan lumpur.

    ”Saya berharap BPLS dapat segera merampungkan normalisasi Sungai Porong itu. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi luapan air sungai di musim hujan nanti,” kata Win, Rabu (8/10) di Sidoarjo, Jatim.

    Win juga mengimbau agar mesin pengeruk lumpur di Sungai Porong ditambah. Lima mesin pengeruk yang beroperasi saat ini masih kurang seiring dengan semakin dekatnya musim hujan. ”BPLS sepatutnya menambah jumlah mesin pengeruk lumpur menjadi 12 unit,” ujarnya.

    Senin lalu Win meninjau endapan lumpur Lapindo Brantas di Sungai Porong yang berada di Desa Bulang, Kecamatan Prambon, Sidoarjo. Lokasi tersebut dinilai paling rawan saat musim hujan nanti. Tahun lalu, selisih permukaan air sungai dengan tanggul sekitar 15 sentimeter. Tahun ini, diprediksi terjadi luapan air sungai saat musim hujan dan hal itu bakal merendam ratusan hektar sawah di desa tersebut.

    Masih berlanjut

    Tentang pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong, hingga kemarin hal itu masih berlanjut. Dalam waktu dekat bahkan akan ada penambahan pipa pembuangan lumpur ke sungai itu. Rencananya, pipa tersebut dipasang dari titik tanggul nomor 42 menuju Sungai Porong melewati Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    Menurut anggota staf Humas BPLS, Akhmad Kusairi, selain ada penambahan pipa pembuangan lumpur, akan ada penambahan tujuh mesin pemompa lumpur sehingga total mesin jadi 19 unit.

    Pipa yang dipasang, katanya, berdiameter 60 sentimeter dengan debit 0,6 meter kubik lumpur per detik. ”Penambahan pipa pembuangan lumpur ini bertujuan mengurangi debit pembuangan lumpur ke kolam penampungan lumpur yang saat ini nyaris penuh. Selain itu, untuk mencegah timbulnya wilayah terdampak baru sebagai akibat jebolnya tanggul jika tak mampu menampung lumpur,” kata Kusairi.

    Masih terkait lumpur Lapindo, kemarin 211 keluarga pengungsi korban lumpur di Dusun Besuk, Desa Besuki, tepatnya di sisi barat Jalan Tol Porong-Gempol, berbenah untuk pindah. Pasalnya, tempat pengungsian yang selama ini mereka tempati akan dilalui pipa pembuangan lumpur menuju Sungai Porong. (APO)

  • Presiden Perlu Undang Ahli Pengeboran ke Porong

    Rabu, 1 Oktober 2008 | 09:44 WIB

    Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu mengundang para ahli pengeboran minyak dan gas untuk membahas langkah-langkah yang bisa diambil, guna menghentikan semburan lumpur di Porong,
    Sidoarjo, Jawa Timur.

    Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Syafruddin Ngulma Simeulue usai mengikuti salat Idulfitri bersama ratusan warga korban semburan lumpur di atas tanggul di Desa Ketapang, Porong, Sidoarjo, Rabu (1/10).

    Menurut ia, pemerintah tidak boleh menyerah dan bersikap pasrah tanpa mengambil tindakan apa-apa untuk menghentikan semburan lumpur yang terjadi sejak 2005. “Dalam hal ini, Presiden bisa memanggil ahli-ahli drilling terbaik untuk membahas segala kemungkinan yang bisa diambil guna menutup semburan lumpur. Saya yakin para ahli pengeboran itu mengetahui langkah apa yang harus dilakukan,” katanya.

    Syafruddin menegaskan, Presiden memiliki kewenangan tertinggi untuk mengambil langkah-langkah terbaik mengatasi semburan lumpur akibat pengeboran migas Lapindo Brantas Inc. Selain itu, mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, yang selama ini sangat intens mengikuti perkembangan penanganan korban semburan lumpur itu, juga meminta pemerintah berada di garis depan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi para korban.

    “Jangan membiarkan warga berhadap-hadapan langsung dengan Lapindo Brantas atau PT Minarak Lapindo Jaya dalam penyelesaian ganti rugi. Pemerintah yang harus berhadapan dengan kedua perusahaan itu untuk membantu warga korban semburan lumpur,” katanya.

    Syafruddin juga mengingatkan aparat keamanan yang bertugas di sekitar lokasi semburan dan pengungsian, untuk tidak bersikap dan melakukan tindakan yang bisa meresahkan warga. Terkait kehadirannya mengikuti salat Id bersama warga korban semburan lumpur, Syafruddin mengaku sudah merencanakan datang menemui korban lumpur bersamaan dengan kegiatan mudik lebaran ke Pandaan, Pasuruan.

    “Sekalian saya ingin memantau hasil kesepakatan pemerintah dengan warga korban lumpur yang sudah dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2008. Sejauh ini, belum ada tindak lanjut dari kesepakatan itu,” katanya.

    Kesepakatan itu di antaranya menyebutkan bahwa akan dilakukan pengikatan jual-beli yang di dalamnya terkandung pelepasan atas hak kepemilikan tanah bagi warga yang hanya memegang bukti berupa Petok D, Letter C dan SK Gogol. Tanah warga yang dilepaskan itu selanjutnya menjadi milik negara dan segera dilakukan pembayaran ganti rugi 20 persen bagi korban yang berkasnya sudah lengkap.

    Bagi warga korban lumpur yang berada di luar peta terdampak, pemerintah akan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan warga, seperti sarana air bersih, saluran pengairan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Hanya saja, kesepakatan itu tidak menyebutkan batas waktu yang harus dipatuhi PT Minarak Lapindo Jaya dan Lapindo Brantas untuk memenuhi tuntutan warga korban Lapindo.

    “Makanya kami secara intensif terus memantau di lapangan, untuk mengetahui tindak lanjut yang dilakukan pemerintah,” ujar Syafruddin. (ROY)

  • Pembayaran Ganti Rugi Korban Lumpur Tetap Diprioritaskan

    Kamis, 16 Oktober 2008 | Kompas

    SIDOARJO, Kompas – PT Lapindo Brantas Inc melalui PT Minarak Lapindo Jaya tetap memrioritaskan pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, meski saat ini terjadi krisis keuangan global yang menimpa sebagian besar perusahaan di Indonesia. Diharapkan, pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo tidak terkendala akibat krisis tersebut.

    Demikian dikatakan Vice President Relations PT Lapindo Brantas Inc Yuniwati Teryana kepada Kompas, Kamis (16/10), di Sidoarjo. Pernyataan tersebut untuk menanggapi keluhan beberapa korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang belum menerima pembayaran uang muka ganti rugi sebesar 20 persen atau sisa ganti rugi sebesar 80 persen meski sudah lewat jatuh tempo pembayaran.

    Krisis keuangan global yang terjadi turut berpengaruh bagi perusahaan di Indonesia, termasuk PT Lapindo Brantas Inc. Namun, penanggulangan musibah korban lumpur merupakan salah satu prioritas bagi kami. Kami berharap, pembayaran ganti rugi tidak terkendala dan kondisi perusahaan segera pulih, jelas Yuniwati.

    Sejauh ini, PT Lapindo Brantas Inc telah membayar sisa ganti rugi 80 persen kepada korban lumpur Lapindo sebanyak 3.781 berkas dengan nilai Rp 1,153 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk uang muka 20 persen kepada pemilik 12.759 berkas korban lumpur senilai Rp 709,72 miliar.

  • Bikin Hujan Buatan untuk Buang Lumpur Lapindo

    Sabtu, 11 Oktober 2008 | Kompas

    Mojokerto, Kompas – Pemerintah Provinsi Jawa Timur berencana membuat hujan buatan di sekitar aliran Kali Porong, Mojokerto, Jawa Timur. Tujuannya untuk mengatasi sedimentasi yang semakin parah di Kali Porong terkait pembuangan lumpur Lapindo—melalui kali tersebut—ke laut.

    Demikian penjelasan Penjabat Gubernur Jawa Timur (Jatim) Setia Purwaka seusai melantik Wakil Bupati Mojokerto di Pendopo Kabupaten Mojokerto, Jumat (10/10). ”Rencana pembuatan hujan buatan itu disebabkan debit air yang melewati Kali Porong sudah tidak memadai lagi untuk menggelontor lumpur Lapindo yang dialirkan,” paparnya.

    Hujan buatan, tambah Setia, akan dibuat jika debit air di Waduk Wonorejo dan Waduk Sutami belum memungkinkan untuk menggelontor endapan lumpur di kali itu. Pasalnya, kebutuhan lain, seperti pengairan tanaman pertanian (yang menggunakan air waduk), masih dinilai lebih penting. ”Saya akan bahas ini dengan Dinas Pengairan, yakni soal debit airnya,” kata Setia lagi.

    Dalam kaitan itu, menurut Setia, PT Lapindo Brantas Inc tetap harus bertanggung jawab atas semua dampak dan upaya pemulihan akibat luapan lumpur panas tersebut. ”Lapindo tidak bisa lepas tangan sekalipun kehabisan sumber daya untuk menanggulanginya,” ujarnya.

    Sebagaimana diberitakan, untuk menghindari perluasan daerah terdampak lumpur Lapindo, pemerintah menyetujui pembuangan lumpur itu ke laut melalui Kali Porong.

    Tanggal 6 Oktober lalu endapan lumpur tampak mengering di kali tersebut dan menyebabkan pembuangan lumpur ke laut macet. Tidak hanya itu, endapan yang demikian juga berpotensi mengakibatkan banjir pada musim hujan.

    Rawan banjir

    Masih soal kemungkinan banjir, di Madiun, Jawa Timur, Pejabat Pembuat Komitmen Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo Saelan mengingatkan perlunya waspada terhadap luapan air Sungai Bengawan Madiun. ”Wilayah yang terkena banjir akibat luapan sungai itu akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008, pada musim hujan ini masih harus waspada. Pasalnya, tak ada perubahan berarti yang dilakukan pemerintah,” kata Saelan.

    Menurut dia, di sepanjang 90 kilometer aliran Sungai Bengawan Madiun masih ada sekitar 20 kilometer bantaran sungai yang belum diberi tanggul, yakni di Kecamatan Kwadungan, Ngawi, dan Kota Ngawi. Selain itu, ada pula 25 kilometer bantaran sungai seperti itu, yakni mulai dari Kabupaten Madiun sampai Ponorogo. ”Kami sudah mengajukan usulan dana untuk pembuatan tanggul, tetapi belum dialokasikan oleh pemerintah pusat,” paparnya. (APA/INK)

  • Walhi Anugerahkan Penghargaan Kepada Komunitas Pejuang Lingkungan

    Rabu, 15 Oktober 2008 | 21:28 WIB | TEMPOInteraktif

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menganugerahkan lima penghargaan kepada komunitas pejuang
    lingkungan.

    “Penghargaan diberikan bagi komunitas yang dinilai mampu mempertahankan lingkungan hidup dan sumber kehidupan rakyat,” ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan saat memperingati hari ulang tahun Walhi ke-28 di Perpustakaan Nasional Jakarta, (15/10).

    Peghargaan pertama diberikan atas perjuangan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Lingkungan Bojong, Bogor terhadap rencana pembangunan pabrik pembuangan sampah. Kegigihan mereka dinilai mampu menangkal potensi pencemaran tanah, air dan udara.

    Penghargaan juga diberikan kepada Ikatan Nelayan Saijaan (INSAN) Kotabaru, Kalimantan Selatan. Komunitas yang berdiri sejak 2003 itu dinilai militan melakukan perlawanan atas pembuangan limbah batuan di perairan Tanjung Pemancingan oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.

    Penghargaan ketiga diserahkan kepada anggota komunitas Sistem Hutan Kerakyatan, Pesawaran Bina Lestari, Lampung. Mereka dinilai berhasil melakukan swakelola ekosistem lingkungan hidup meski kerap menjadi korban kekerasan aparat.

    Penghargaan bagi komunitas keempat diberikan kepada Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis, Riau. Komunitas nelayan ini dinilai berhasil mengelola lingkungan secara berkelanjutan.

    Penghargaan terakhir diberikan kepada Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang, Teluk Rinondoran, Sulawesi Utara yang tegas melawan potensi pengrusakan alam yang dilakukan oleh perusahaan tambang emas, PT Meares Soputan Mining.

    Penghargaan tertinggi Walhi berikan kepada masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo. “Hak hidup masyarakat wajib dilindungi,” ujarnya.

    Menurut Berry, sejumlah kerusakan alam cenderung disebabkan oleh praktek eksploitasi perusahaan multi koorporat. Eksploitasi sumber daya alam yag mereka lakukan merupakan faktor dominan yang memicu terjadinya musibah ketidakadilan ekologis.

    “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Tapi tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan seorang yang rakus,” ujarnya.

    RIKY FERDIANTO

  • Warga Renokenongo Harus Menyingkir

    Rabu, 15 Oktober 2008 | 10:29 WIB | TEMPOInteraktif

    Desa Renokenongo menjadi gersang dan panas karena tepat di bibir tanggul luapan lumpur Lapindo. Kini desa itu juga akan tinggal sejarah setelah penggusuran untuk pembuatan tanggul. Warga ada yang mencoba bertahan dan sebagian yang tidak kuat memilih mengungsi ke Pasar Baru Porong, setelah penggusuran, Jum’at lalu.

    Kelik Widodo, salah satu warga yang harus mengungsi ke Pasar Baru Porong bahkan belum mendapat realisasi dari pihak Lapindo untuk pembayaran 20 persen. “Kita hanya bisa menunggu dan belum tahu mau pindah kemana,” ujar Kelik, yang dihubungi Tempo, Rabu (15/10).

    Kelik, 34 tahun, beserta istri dan satu anaknya harus mengungsi setelah demo penolakan pembikinan tanggul di desanya tidak kuasa ditahan. Menurutnya, sejak Rabu (8/10) pendirian tanggul sudah akan dilaksanakan tapi gagal, sampai kemudian terlaksana pada Jum’at (10/10).

    Bersama Kelik, ada sekitar 15 kepala keluarga juga tinggal di Pasar Baru Porong. Tinggal di pasar menjadi pilihan terakhir, pun tak bisa berlama-lama. Mereka hanya bisa berteduh sekitar satu bulan karena Pasar Baru Porong juga akan ditenggelamkan menjadi kolam lumpur. “Kita sudah dikasih tahu kalau tanggal 2 November 2008, pasar (Pasar Baru Porong) akan digusur juga,” ujar Kelik.

    Sementara itu, pendamping korban Lumpur Lapindo Paring, mengatakan kalau warga sudah mendapat uang kontrak Rp 2,5 juta dan uang boyongan Rp 500.000 per kepala keluarga dan masing-masing mendapat Rp 300.000. “Warga menerima sebelum lebaran, ini uang APBN,” ujar Paring.

    Namun, lanjut Paring, yang justru menyedihkan sekarang warga di Renokenongo yang belum mendapat ganti rugi. “Renokenongo kan akan jadi kolam baru karena luapan lumpur sudah tidak tertampung lagi. Sementara sampai saat ini implementasi pembayarannya belum ada,” tandasnya.

    Nur Haryanto