Author: Redaksi Kanal

  • Buka Bersama Korban

    korbanlumpur.info – Begitu kijang kancil, kendaraan patroli polisi, datang di posko pengungsi Tol Porong-Gempol ratusan anak, yang baru selesai sholat magrib, langsung mengepungnya. Girang betul mereka melihat dua kardus besar yang diturunkan dari mobil tersebut. Mereka tahu kardus itu berisi makanan jatah takjil, hidangan pembuka buka puasa.

    Sejak hari pertama puasa mereka dapat jatah takjil dari Kepolisian Resort Sidoarjo. Sore ini jatah takjil mereka telat jumlahnya pun tidak mencukupi.

    Anak-anak ini adalah anak korban lumpur Lapindo dari RT 01-04 RW 05 Desa Besuki yang mengungsi di tol Porong-Gempol sejak Febuari lalu. Mereka mengungsi setelah beberapa kali luapan lumpur menggenangi pemukiman mereka.

    “Kami memilih tol karena lebih tinggi tempatnya dari pemukiman,” tutur Ali Mursyid, koordinator lapangan warga Besuki.

    Menurut Perpres 48 tahun 2008 warga Besuki ini termasuk daerah yang terdampak. Tanah, rumah dan pekarangan mereka akan dibeli pemerintah yang diambilkan dari APBN. Hingga kini mereka belum mendapatkan serupiah pun dari pembelian ini. Tak hanya kehilangan rumah dan tanah mereka, penduduk yang rata-rata petani dan buruh pabrik juga banyak yang kehilangan pekerjaan. Banyak diantara mereka menjadi pengemis di sepanjang pengungsian.

    Warga pengungsian ini juga tidak mendapat jatah makanan baik dari Lapindo atau dari pemerintah. Mereka mengharapkan makanan dari para penderma, salah satunya dari Kepolisian Resort Sidoarjo yang tiap sore mengirimkan jatah takjil yang berisi bubur kacang hijau yang dibungkus wp-content plastik. Mereka berebut karena memang jumlahnya tidak mencukupi.

    Sesaat kemudian kerumunan kian banyak dan ibu-ibu juga ikut berdesakan. Mashudi (43 tahun), warga RT 01 RW 05 Besuki, sadar betul jatah tak cukup, dia berteriak memberi komando,

    “Yang dapat anak-anak usia SD, anak-anak SMP tidak dapat,” tutur Mashudi.

    Anak-anak lalu berbaris rapi, ibu-ibu menunggu dengan cemas di kiri-kanan barisan. Satu persatu bubur dibagikan, persediaan menipis. Orang-orang yang lapar mulai cemas tak dapat jatah. Mereka merangsek kebarisan.

    Jatah habis dan masih banyak anak yang belum mendapatkannya, sementara orang-orang tua beradu mulut. Tak hanya itu, meja pimpong yang digunakan untuk menaruh kardus juga jungkirkan warga yang tidak dapat jatah. Anak-anak hanya diam dan menyingkir.

    Adu mulut tak terhindarkan.

    “Diancuk, kamu sudah dapat jatah, mundur jangan minta lagi, kasian yang belum dapat,” tuduh seorang bapak dan dijawab tak kalah sengit oleh ibu-ibu yang merasa dituduh, “mana saya belum dapat.” Ibu yang lain bilang dia ingin punya wp-content pembungkus bubur dan dia tak ingin isinya.

    “Buat tempat gula,” katanya.

    “Orang-orang sini jadi mudah marah,” tutur Mashudi setelah orang-orang menyingkir saat azan Isya dikumandangkan.

  • TP2LS Sambangi Korban Lumpur

    korbanlumpur.info – “Apakah warga (di luar peta area terdampak), dari hati yang paling dalam, menginginkan wilayahnya masuk peta?” tanya Priyo Budi Santoso pada pertemuan dengan warga di Siring Barat, sore hari ini (06/09/08). Pertemuan ini sendiri belum direncanakan sebelumnya.

    Hadir pada pertemuan itu Priyo Budi Santoso (ketua TP2LS), Ario Wijanarko, dan Abdullah Azwar Anas, yang mewakili TP2LS. Sedangkan di pihak warga, hadir tokoh-tokoh masyarakat dari desa-desa peta area terdampak dan desa-desa terdampak (di luar peta area terdampak) lainnya.

    Setelah sebelumnya sempat melihat-lihat beberapa lokasi di wilayah Siring Barat, para wakil TP2LS mendengarkan keluhan dan tuntutan para tokoh-tokoh warga. “Semua wilayah Besuki harus masuk peta area terdampak karena Besuki Timur pun merasakan dampak yang sama dengan Besuki Barat,” tuntut Cak Irsyad, wakil dari Besuki Timur.

    Sementara para wakil dari Geppres menuntut agar pembayaran uang muka 20% segera dibayarkan bagi para korban yang belum menerimanya. Selain itu, Geppres juga menuntut agar pembayaran 80% segera dilunasi karena telah terlambat tiga bulan.

    Sementara itu, para wakil dari desa-desa terdampak menuntut agar wilayah mereka segera dimasukkan ke dalam peta area terdampak. “Kami menginginkan kejelasan status dan proses ganti rugi karena kondisi di Siring Barat telah sangat memprihatinkan,” terang Cak Jarot, wakil dari Siring Barat.

    “Yang perlu dimasukkan ke dalam peta area terdampak bukan hanya tiga desa saja, tapi seluruh desa-desa yang berada di pinggir tanggul. Desa Glagah Arum, misalnya. Kami harap TP2LS segera menetapkan status bagi desa-desa ini dan jangan menunggu setelah kondisi semakin parah,” tambah wakil dari desa Glagah Arum.

    Pihak TP2LS sendiri berjanji pada warga akan segera menyelesaikan kasus luapan lumpur Lapindo ini. Pada hari rabu, tanggal 10 September, TP2LS akan mengadakan rapat gabungan yang khusus membahas kasus ini dengan berbagai pihak yang terkait. Mereka pun meyakinkan warga akan menekan pihak Lapindo untuk segera mengabulkan tuntutan-tuntutan warga. Ketika ditanya apakah warga boleh mengikuti rapat ini, wakil dari TP2LS mengatakan, “Serahkan saja hal ini pada kami semua,” sambil menunjukkan dua orang rekannya satu persatu.

    Pada kesempatan yang sama, pihak TP2LS sendiri mengabarkan pada warga bahwa pilihan Cash and Resettlement yang ditawarkan oleh Lapindo bersifat tidak memaksa. “Jadi, warga boleh saja menolak pilihan itu dan tetap menuntut Cash and Carry,” terang Priyo Budi Santoso.

    Para korban berharap pihak TP2LS membantu perjuangan korban dalam menekan pihak Lapindo untuk segera membayar kewajiban-kewajibannya pada warga. Pertemuan ini sendiri hanya berjalan sekitar 30 menit saja, sehingga banyak warga masih belum puas untuk menyalurkan unek-uneknya.

    Diharapkan agar TP2LS tidak berlaku sama seperti Lapindo, yang hanya memberikan janji-janji manis saja pada warga yang kondisinya semakin parah pasca dua tahun tragedi lumpur Lapindo ini. Karena jika kasus ini terus berlarut-larut tanpa kejelasan dan tindak lanjutnya, bukan tidak mungkin kemarahan dan keputusaan para korban akan meluap. Sabar pun ada batasannya bukan? [cek]

  • Yang Hidup Saja Ditelantarkan

    Yang Hidup Saja Ditelantarkan

    korbanlumpur.info  – Sehari sebelum puasa Nawawi bin Zaenal Mansur (45 tahun) duduk di atas pepuingan. Anak bontotnya Khairul Rozikin (9 tahun) berjongkok di sebelah kirinya, sementara Isna al-Muntaziroh, istrinya, duduk di belakangnya dan memimpin doa. Khusuk mereka menatap arah barat pada sebuah kuburan umum Dusun Renokenongo yang tenggelam dalam air asin yang keluar bersama lumpur Lapindo. Kuburan ini ditandai kumpulan pepohonan kamboja yang daunnya dirontok-keringkan panasnya lumpur.

    Mereka mendoakan arwah leluhur dan keluarga supaya diampuni dosanya. Di desa Nawawi, ini tradisi menjelang bulan puasa. Nawawi menyebutnya nyekar, menabur bunga di kubur. Doa khusus dia tujukan pada Zaenal Mansur, sang ayah, seorang pejuang 45. Kali ini dia tak membawa bunga dan tak bisa menaburnya di atas kubur sang ayah. Dia minta maaf untuk ini.

    Tahun lalu, dia masih bisa ke kuburan bapaknya karena air asin dan lumpur mengering. Ketika itu dia lihat bendera merah putih dari seng di atas kubur sudah mulai peot.

    Saget gripis-gripis kengeng toyo asin [bisa pecah-pecah tergenang air asin],” tutur Nawawi dengan logat Jawa halus.

    Menjelang puasa tahun ini, Nawawi tak lagi bisa nyekar. Nawawi tak habis pikir dengan Lapindo dan pemerintah yang lamban menangani soal lumpur Lapindo ini. Sudah dua tahun ini dia hidup berpindah-pindah.

    Pada awal luapan lumpur pertama, Mei 2006, dia mengungsi ke balai Desa Renokenongo. Beberapa bulan setelah itu luapan lumpur mengakibatkan meledaknya pipa gas milik pemerintah, dan ledakan ini menyebabkan desanya tenggelam total. Dia bersama istri dan empat anaknya lalu mengungsi ke Pasar Baru Porong. Tiga bulan kemudian, dia menerima uang kontrak yang dia pakai sewa rumah di Kalitengah, Tanggulangin. Setelah dua tahun, masa kontraknya habis dan dia tak punya uang untuk memperpanjang. Dengan berat hati dan cemas dia sekeluarga kembali di rumahnya yang amblas satu meter dan hampir rubuh di RT 08 RW II Dusun Renokenongo.

    “Saya menjadi ketua RT selama 13 tahun,” tutur Nawawi.

    Sebagian korban memang sudah menerima uang 20 persen itu. Mereka ini korban luapan pertama. Tapi Nawawi bersama korban lainnya pasca ledakan pipa gas 22 November 2006 lainnya termasuk sial. Mereka belum mendapatkan uang 20 persen tersebut.

    Nawawi kecewa dengan pemerintah yang menyia-nyiakan bapaknya yang ikut berjuang untuk kemerdekaan namun tak bisa berbuat apa-apa melihat kuburan bapak dan leluhurnya yang tenggelam dalam lumpur. Dia tak dapat menuntut ganti rugi apapun.

    Tak hanya kuburan Dusun Renokenongo yang tenggelam. Kuburan Dusun Sengon, masih dalam Desa Renokenongo, juga terendam di tengah lumpur di dalam tanggul Lapindo. Penduduknya tak bisa lagi nyekar di kubur keluarga mereka. Mereka hanya mendoakan dari atas tanggul menghadap kuburan yang juga ditandai gerumbul kamboja yang mengering.

    Muhammad Yunus (40 tahun) adalah salah satu warga Sengon yang keluarganya dimakamkan di kuburan umum Dusun Sengon. Sore itu Yunus tak bisa nyekar dan hanya mendoakan arwah keluarga dari atas tanggul. Dia menangis melihat kubur orang-orang yang dicintainya tenggelam oleh lumpur.

    Yunus lebih beruntung daripada Nawawi. Setelah rumahnya di Dusun Sengon rubuh oleh luapan Lumpur, dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di Banjarasri, Tanggulangin. Dia juga sudah menerima uang 20 persen. Kini dia menuntut kapan rumah yang dijanjikan Lapindo bisa ditinggali.

    Soal kuburan yang tenggelam, menurut Yunus, tak ada bahasan ganti rugi sama sekali. Penduduk sudah pusing memikirkan tuntutan dasar mereka yang tak jelas kapan dilunasi.

    Yunus ingin kuburan yang sudah tenggelam ini dipindahkan ke tempat lain supaya dia bisa berziarah.”Warga sakjane pengen makame dileh, kersane saget ziarah, warga maunya kubur itu dipindah supaya bisa ziarah.”

    Persoalan kuburan ini tak hanya soal ziarah dan tradisi yang hilang. Namun juga soal bagaimana kalau warga dari kampung-kampung yang tenggelam ini mati. Pertanyaannya, mau dimakamkan di mana mereka kalau meninggal? Untuk warga Renokenongo yang kembali ke desa karena kontrakannya habis dan mati mereka akan dikuburkan di makam tetangga desa mereka, Glagaharum.

    Selama dua tahun pasca luapan lumpur, sudah 30 orang warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong yang meninggal. Mereka nebeng makam di desa Juwet Kenongo.

    ““Mereka dikumpulkan di pojok, tak boleh milih tempat sembarangan,”” tutur Nizar warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar.

    Selain dua kuburan di Desa Renokenongo, kuburan-kuburan di Desa Siring, Kedungbendo, Mindi, Jatirejo Timur, Jatianom juga ditenggelamkan lumpur Lapindo. Jelang Ramadlan warga Mindi melakukan aksi nyekar di tanggul dan mendoakan leluhur mereka di sana.

    “Di Jatirejo ada dua kuburan satu di Jatirejo Timur dan Barat. Yang di Jatirejo Timur sudah tenggelam dan yang di Barat masih,” tutur Ahmad Novik (29 tahun) warga Jatirejo.

    Penduduk Besuki yang setengah kampungnya ditenggelamkan lumpur masih beruntung karena kuburan mereka masih bisa digunakan. Dulu sempat tergenang lumpur tapi kini sudah kering. Meski kuburan itu dilapisi lumpur namun penduduk masih bisa menggunakannya. Sore sehari menjelang Ramadlan, penduduk Besuki memadati kuburan berlumpur itu untuk menjalankan tradisi nyekar dan mendoakan arwah keluarga mereka.

    Suroso adalah salah satu warga Besuki yang nyekar sore itu. Tak hanya menjelang Ramadlan, biasanya, Suroso ziarah ke makam orang tuanya setiap malam Jumat.

    “Ini sudah menjadi adat kebiasaan yang diharuskan menjelang puasa dan Idul Fitri,” tutur Suroso.

    Soal kuburan yang tenggelam dan tradisi yang hilang ini belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun PT Minarak Lapindo Jaya. Jangankan untuk mengurus hal-hal semacam ini, melunasi tuntutan-tuntutan dasar macam perlunasan uang tanah, rumah dan sawah saja mereka nunggak.

    Persoalannya akan lebih rumit lagi kalau melihat luapan lumpur yang dialirkan di sungai-sungai di sekitar tanggul yang membunuh ekosistem dan merusak lingkungan.

    “Jangankan yang mati yang hidup saja ditelantarkan,” tutur Nawawi patah arang.

    Nyekar ke kuburan di Desa Besuki

  • NGOs slam govt over mudflow

    Nongovernmental organizations on Thursday threw their support behind mudflow victims from Sidoarjo, East Java, by urging the government to compensate them before the post-Ramadan holiday of Idul Fitri at the latest.

    As many as 24 Jakarta-based NGOs, grouped under the Coalition of Justice for Lapindo Mudflow Victims, criticized the government for “neglecting” the fate of those displaced by the sludge that has devastated the area since May 2006.

    Some 25 representatives of the victims met with the coalition at the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) headquarters in Jakarta to seek the NGOs’ backing for their demands.

    “We ask President Susilo Bambang Yudhoyono to take stern measures to resolve the fate of Sidoarjo mudflow victims,” coalition coordinator Usman Hamid told the meeting.

    “The President must also be brave and ask all relevant parties, including his minister responsible for this matter, to complete payment of compensation before Idul Fitri.”

    The representatives, from 10 villages in Sidoarjo, arrived in Jakarta on Friday to push for a clear response over compensation payments, which have yet to be completed two years after the disaster struck.

    During their stay in Jakarta, they met with Public Works Minister Djoko Kirmanto and representatives from the Social Services Ministry and the National Land Agency.

    The representatives also met with politicians and legislators from several parties, including the National Awakening Party (PKB), the Indonesian Democratic Party for Struggle (PDI-P) and the Prosperous Justice Party (PKS).

    “The Democratic Party and the Golkar Party rejected our request for separate meetings,” said Sep Muhammad, one of the representatives.

    The mudflow victims will return to Sidoarjo on Friday after the President turned down their appeal for a dialog.

    © Jakarta Post

  • Lapindo mudflow threatens Japanese investment

    The prolonged mudflow disaster has threatened East Java’s chances of attracting foreign investment, particularly from Japan, a local official says.

    The issue has become a major problem, discussed at a meeting of the Japan Club in Surabaya last week, chairman of the East Java Investment Board (BPM) Djoni Irianto told The Jakarta Post here Tuesday.

    A number of Japanese investors had expressed interest in the province, but decided to hold back until they receive a satisfactory explanation to at least three of their four questions regarding the disaster, he added.

    “We were given until Friday to respond to their questions,” Djoni said.

    The three questions concern the relocation of a section of the Surabaya-Gempol toll road, land subsidence on the Porong artery road and the possible overflow of Porong River, into which the mud has flown, he added.

    A forth question concerned the possible threat of avian flu, especially given outbreaks across Indonesia over the past four years. A leak that began on June 29, 2006 at Lapindo Brantas Inc.’s mining site became a mudflow disaster that has thus far buried at least four villages, displacing some 13,000 villagers.

    The mudflow has also damaged Porong highway, a railway line, and the Gempol toll road, causing soil subsidence at the disaster site.

    Many Japanese investors in Pasuruan have had to spend more on production costs, particularly to transport products and raw materials as a result of the damaged road, Japan Club chairman Hajime Matsuda sat at the meeting.

    “That has made it difficult to compete with companies in Sidoarjo and Gresik, two other industrial zones in the province,” Djoni quoted Hajime as saying.

    Around 80 Japanese investors actively involved in the new Pasuruan industrial zone expressed their commitment to retain workers despite the overburdening transportation problem, Djoni added.

    “We are proud of the investors’ commitment because many have repatriated their experts and senior staff instead of dismissing low-income workers, to cope with the additional transportation costs,” he said.

    The congested Porong artery and toll roads are the only links connecting Pasuruan with the port and the provincial capital, he added.

    Japanese investors want the industrial zone to provide an integrated service center, including for tax and excise examinations and for investment permits, Djoni said.

    With such a center, they could begin operations relatively quickly, despite having to pay extra.

    “That is why BPM sought a deadline from the government on the completion of the toll road relocation, the handling of bird flu and other issues that could make foreign investors reluctant to invest in the province,” Djoni said.

    BPM established an investment clinic last month to provide accurate information on whatever foreign investors need to know to invest in the province, he added.

    Djoni was confident more foreign investors will be attracted to the province, which he described as an excellent alternative investment destination, after Jakarta and Riau.

    In actuality, East Java is not trying to compete with those areas, but with Malaysia and Thailand, especially because the province’s infrastructure and regulatory environment are considered business-friendly to foreign investors, with the government working hard to eliminate barriers and costs, he added.

    The province has continued developing its potential in the provision of raw materials for mining, agribusiness and trading, a new sector that has attracted many Chinese investors, Djoni said.

    “Entering their second semester this year, Chinese investors have been taking the lead in the trading sector with 60 percent of their investments, worth US$54.2 million,” he added.

    The US$29.5 million in Japanese investment comes fourth, after Singapore’s $214 million and South Korea’s $40.3 million, he said.

    For the past eight months, the provincial government has issued investment permits for 45 foreign investors, in addition to expanding permits for 19 others in Gresik, Sidoarjo, Pamekasan, Malang and Tuban.

    Wahyoe Boediwardhana, The Jakarta Post, Surabaya

  • Lapindo akui Ratusan Korban Belum Terima 20 persen

    Lapindo akui Ratusan Korban Belum Terima 20 persen

    Ada yang menarik dari terbitan Koran Jawa Pos hari Rabu, 03/09 2008. PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) hari ini memboking halaman 11 harian Jawa Pos untuk sebuah pengumuman. Pengumuman ini ditujukan kepada seluruh korban Lapindo untuk melengkapi berkas guna penuntasan pembayaran 20 persen.

    Bukan pememasangan iklan pengumuman ini yang menarik, sebab sudah beberapa kali Lapindo memasang iklan di media, baik cetak maupun televisi. Yang berbeda, iklan kali ini bukan untuk menunjukkan ‘prestasi’ Lapindo, tetapi tanpa sengaja malah menunjukkan belangnya sendiri.

    “Memang banyak warga yang sudah memasukkan berkas, tetapi belum cair juga. Berkas kakek saya bahkan sudah masuk sejak setahun yang lalu, tetapi baru sekarang ini diberitahu katanya belum lengkap,” ujar Ahmad Nizar, warga Renokenongo ditemui di Posko Bersama Korban Lapindo di Gedang, Porong.

    Selama ini, baik melalui iklan maupun pernyataan di media, pihak Lapindo kerap menyampaikan bahwa mereka sudah menunaikan pembayaran kepada warga korban lumpur. Bahkan beberapa bulan terakhir, gencar diiklankan betapa warga sudah menerima rumah dan hidup sejahtera karena hak-haknya sudah dipenuhi.

    Setiap upaya untuk menceritakan kepada publik bahwa setelah dua tahun, pembayaran 80 persen masih jauh dari tuntas, dan bahkan masih sangat banyak warga yang uang muka 20 persennya saja belum terbayar, berusaha dimentahkan dan dibantah Lapindo.

    Terakhir dalam pertemuan di KomnasHAM hari Jum’at 29/08 yang lalu, Vice President External Relations Lapindo, Yuniwati Teryana, sekali lagi membantah desakan Menteri PU, Djoko Kirmanto selaku ketua dewan pengarah BPLS, untuk segera menuntaskan pembayaran 20 persen. “Yang belum dibayar itu karena ada yang belum lengkap,” ujar Yuniwati seperti dikutip VHR Media.

    Pernyataan Yuniwati tadi jelas menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Sebab faktanya ratusan berkas Perumtas dan warga desa lainnya, sudah di berita acara-kan (BA) lengkap, dan mestinya sudah bisa di PIJB-kan, tetapi sampai sekarang belum dilakukan. “Bahkan beberapa yang sudah tanda tangan PIJB, belum juga dibayar,” terang Sumitro, salah satu tokoh warga Perumtas.

    Kembali ke pengumuman di Jawa Pos tadi, sebanyak 396 orang yang berkasnya belum lengkap diundang untuk datang  ke kantor tim verifikasi BPLS. Apakah mereka akan dibayar? Jawabannya belum jelas. Sebab dalam pengumuman tersebut, disebutkan bahwa mereka diundang untuk memperoleh penjelasan. Tidak ada keterangan kapan mereka akan dibayar.

    Yang memprihatinkan, di pengumuman tersebut hal yang bernada ancaman kepada warga korban lumpur. Pada poin 2 disebutkan bahwa bagi warga yang belum mengajukan permohonan jual beli tanah dan bangunan miliknya, diberi waktu paling lambat tanggal 26 September 2008 (cetak tebal dan garis bawah seperti tercantum di pengumuman).

    “Bagi warga yang sampai batas waktu tersebut butir 2 (baca; 26 September 2008) tidak menyerahkan berkas permohonannya, segala kerugian yang ditimbulkan sepenuhnya menjadi resiko warga yang bersangkutan,” demikian bunyi pengumuman tersebut.

    Meskipun nada demikian tidak menunjukkan upaya yang persuasif kepada korban, semoga pengumuman ini menandai bahwa BPLS sudah mulai berani bersikap tegas terhadap Lapindo, sebagaimana diamanatkan dalam kesepakatan bersama antara korban dan pemerintah di Jakarta minggu lalu, untuk segera memenuhi hak korban. (tim redaksi)

  • Ojek Tanggul, Mengais Rejeki Di Tengah Bahaya

    korbanlumpur.info – Sudah dua tahun ini Marsudiono (42 tahun) jadi tukang ojek di tanggul lumpur Lapindo. Baginya bau busuk lumpur, debu, dan terik matahari yang menyengat sudah menjadi sego jangan alias sudah biasa baginya.

    Yudi, begitu sapaan akrab Mardudiono, tak tahu kalau luapan lumpur itu mengandung logam berat yang berbahaya macam Cadmium, Chromium, Arsen juga Merkuri. Dia hanya tahu kalau bau itu bisa membahayakan kesehatannya dan sialnya bapak dua anak ini tidak punya pilihan lain saat saya tanya apakah dia tidak takut? “Takut juga, tapi bagaimana lagi kan harus cari duit,” tutur Yudi.

    Rumah Yudi dulunya di dekat tugu masuk desa Siring. Di antara tugu dan pintu masuk menuju pusat semburan lumpur, tepatnya, di RT 11 RW 02 nomer 17. Dia menempati rumah seluas 350 meter bersama istri Surotin (39 tahun) dan dua orang anaknya Ryan Priyambodo (17 tahun) dan Yora Lensinawati (12 tahun).

    Di rumah tersebut Yudi menyewakan 10 ruangan pada karyawan-karyawan dari luar daerah. Sebelum lumpur meluap Siring merupakan kawasan industri yang cukup sibuk.

    “Perkamar 75 ribu sebulannya,” tutur Yudi.

    Banyak perusahaan dan salah satu perusahaan yang terkenal adalah PT. Catur Putera Surya (CPS). PT ini mencuat namanya pada tahun 1993-an karena kasus pembunuhan buruhnya yang benama Marsinah karena menuntut kenaikan gaji 20%. Marsinah lalu menjadi salah satu simbol perlawanan buruh.

    Tokohnya pernah difilmkan oleh sutradara Slamet Rahardjo Djarot pada 2001. Waktu awal semburan lumpur orang-orang Siring bilang ini karena kualat dengan Marsinah. Tak jelas apa maksudnya. Yudi tak begitu percaya. “Orang hanya menjadikannya guyonan saja,” tutur Yudi.

    Kini semuanya telah hilang. Kehidupan bertetangga Yudi, kos-kosannya sebagai penopang hidupnya sekeluarga musnah. Dia sudah menerima 20 persen ganti rugi tanah pekarangan dan rumahnya. Namun itu belum cukup untuk bertahan hidup dia musti bekerja dan itu juga dialami oleh banyak keluarga dari Siring dan Jati Rejo.

    Ojek di sekitar luapan lumpur Lapindo menjadi pilihan mereka. Sebanyak 150 orang dari dua desa itu yang kehilangan pekerjaan dan memilih menjadi ojek tanggul dan mengantarkan orang yang penasaran dengan luapan lumpur Lapindo.

    Orang-orang dari luar daerah banyak yang penasaran dengan tanggul. Tanggul menjadi lokasi wisata dadakan. Kata ‘wisata’ sebenarnya kurang pas untuk lokasi bencana di mana ribuan orang dipaksa keluar dari tempat tinggal dan merenggut puluhan nyawa. Kata yang lebih pas mungkin ‘ziarah’.

    “Ziarah lebih pas agar orang mengingat kalau di tempat ini pernah ada orang yang meninggal dan diusir dari tempat tinggalnya,” tutur Yudi.

    Tarifnya bervariasi tergantung jauh dekatnya putaran. Paling mahal 50 ribu untuk mengelilingi seluruh tanggul yang meliputi empat desa. “Biasanya butuh waktu empat jam,” tutur Yudi.

  • Mudflow victims urge govt to complete payment

    Victims of the Sidoarjo mudflow disaster urged the government to speed up compensation payments to them, following a new agreement between them and government representatives last week.

    On Tuesday, the victims’ lawyer, Paring Waluyo Utomo, said they were demanding concrete actions to realize the agreement, despite government assurances that the disbursement would be expedited.

    Some 25 representatives from 10 villages in Sidoarjo, East Java, came to Jakarta on Friday to seek certainty about the compensation, which has yet to be completed two years after the disaster struck.

    The representatives are staying at the National Commission of Human Rights (Komnas HAM) headquarters in Menteng, Central Jakarta.

    On Friday, they met with Public Works Minister Djoko Kirmanto and representatives from the Social Services Ministry, National Land Agency, PT Lapindo Brantas and PT Minarak Lapindo Jaya, in which the parties drew up a new agreement.

    One of the main points in the agreement obliges Lapindo to immediately complete the payment of 20 percent of the required compensation to the victims, whose lands were engulfed by the mudflow.

    It also stipulated the remaining 80 percent should be paid before the end of a two-year house leasing arrangement.

    “The victims are not satisfied with the promises in the agreement. They want it to be truly realized. Many victims have not received the 20 percent installment, let alone the 80 percent,” Paring said after a press conference at Komnas HAM headquarters.

    “We are seeking more support to force the government and Lapindo to finalize this, including from Komnas HAM and the House of Representatives.” He said the victims no longer wanted to deal with PT Lapindo Brantas and PT Minarak Lapindo Jaya and would leave the government to deal with them.

    “We can’t force Lapindo (to pay), so we will leave it to the government, which has the power,” he said. He said the victims would monitor the implementation of the agreement at the site.

    “We will sue if they fail to comply with it,” Paring said.

    The agreement also stipulates the government will provide a clean water facility and build drainage for villagers whose lands were not included in the map of affected zones.

    Paring said the villagers also demanded the government immediately issue a revised 2007 presidential instruction that includes all victims in the map, thus entitling them to compensation.

    Mahmuda, a victim from Renokenongo village, said the representatives would stay in Jakarta until they had secured the government’s promise to undertake its responsibility toward them.

    She also said they wished to meet with President Susilo Bambang Yudhoyono to demand their rights be upheld.

    “We don’t know how long we will stay here, but we really expect to meet the President. He is our only hope because he is the one who issued the policy,” she said.

    “We want to know how much attention he pays in ensuring our rights are upheld.”

    Desy Nurhayati, The Jakarta Post, Jakarta

  • Mudflow submerges Renokenongo

    SIDOARJO: Renokenongo, one of the four villages flooded by Lapindo Brantas’ mudflow in May, 2006, was inundated by a mudflow from the overflowing giant pool in Porong, Sidoarjo, threatening hundreds of victims who were still holding out in the village and have yet to receive compensation either from the mining company or the government.

    The Sidoarjo Mudflow Handling Agency (BPLS) called on Lapindo to pay compensation to the Renokenongo residents so that they can move to safe areas in the regency.

    BPLS spokesman Achmad Zulkarnain said the overflowing pool was caused by the subsidence of soil in the disaster location and the possible solution was to build an outer embankment to prevent the mudflow from destroying the remaining houses in the village.

    Andi Darussalam Tabusalla, vice president of PT Minarak Lapindo Jaya, a unit of Lapindo, called on villagers to remain patient because his company was committed to paying compensation to the victims for their damaged assets.

    “It’s our social responsibility to pay the compensation for the victims,” he said. —JP

  • Komnas HAM Siapkan Rekomendasi

    Jakarta, Kompas – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedang menyiapkan rekomendasi terkait korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Kini, hasil investigasi itu dalam analisa tim.

    ”Pengumuman resmi setelah pembahasan di rapat paripurna Komnas HAM,” kata anggota Komnas HAM Bidang Submediasi, Kabul Supriyadhie, seusai jumpa pers bersama perwakilan warga korban lumpur yang telah lima hari menginap di Kantor Komnas HAM, Selasa (2/9).

    Menurut Kabul, rekomendasi Komnas HAM tak jauh dari persoalan kemanusiaan akibat semburan lumpur dan penanganannya. Namun, ia enggan merinci lebih jauh.

    Lima hari lalu, atas permintaan warga, Komnas HAM juga memediasi pertemuan warga dengan pemerintah (Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Sosial, dan Badan Pertanahan Nasional).

    Beberapa kesepakatan, di antaranya, mendukung penyelesaian pembayaran 20 persen dan 80 persen, serta adanya pengikatan jual beli bagi warga pemegang bukti kepemilikan tanah berupa petok D, letter C, dan SK Gogol. Tak hanya bagi warga pemegang sertifikat hak atas tanah (SHM).

    “”Dalam kondisi seperti di Porong, saya kira hukum-hukum teknis jual beli pertanahan tidak dapat diberlakukan seperti keadaan normal,”” kata Kabul. Hal itu pula yang diserukan warga.

    Kesepakatan pemerintah dengan warga juga menyangkut nasib warga di luar peta terdampak, yakni menyediakan fasilitas air bersih, perhatian kesehatan, dan pendidikan.

    Kepada wartawan, perwakilan korban, M Ilyas, menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap penanganan pascasemburan lumpur.

    Sesuai Perpres No 14/2007, pembayaran uang muka 20 persen bagi korban lumpur mestinya sudah tuntas. Demikian pula sisa 80 persen yang dijadwalkan tuntas satu bulan sebelum dua tahun masa kontrak habis. Namun, masalah ini belum selesai. (GSA)

    © Kompas

  • Janji Manis DPR ke Korban Lapindo

    korbanlumpur.info – Aktivitas para wakil korban Lapindo hari ini (2/9) ke DPR, bertemu dengan Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar. Setelah Senin (1/9) kemarin bertemu dengan Fraksi Kebangkitan Bangsa di DPR dan Partai Keadilan Sejahtera di kantornya daerah Mampang Prapatan. Hasilnya, korban Lapindo harus tetap menunggu langkah konkret DPR.

    Acara pertama adalah bertemu dengan FDIP yang diwakili oleh Supomo, Eva Kusumandari, Jakobus Mayong Padang dan Permadi. Pertemuan diawali dengan mendengarkan suara korban. banyak hal yang disampaikan oleh korban dari area yang didalam perpres dan  9 desa yang terdampak diluar perpres. Seperti Suwito, ketua  Geppres yang menceritakan Lapindo masih enggan untuk membayar uang yang 80%. Atau Abdus Salam, wakil dari desa yang terdampak. Ia memrotes pemerintah yang tidak berbuat apa-apa terhadap gas yang banyak muncul, tanah yang turun, rumah yang retak dan gangguan kesehatan.

    Keluh kesah warga seperti biasa hanya didengarkan dan dijanjikan akan diteruskan ke pihak-pihak yang berkepentingan. Namun saat di desak, langkah konkrit apa yang bisa dilakukan. Para anggota dewan itu menjawab secara normatif. Lagi-lagi janji manis yang diberikan. “PDIP seharusnya jika peduli ada penderitaan rakyat porong, seharusnya secara resmi meberikan peringatan ke pemerintah,” ujar Siti Maemunah dari Jaringan Advokasi Tambang. Supomo hanya menjawab, “Kami akan rapatkan itu.” Tak ada kesepakatan apapun dengan PDIP.

    Agenda berikutnya adalah bertemu dengan Ketua PKB, yang juga wakil ketua DPR Muhaimin Iskandar. Muhaimin didampingi oleh anggota DPR dari FKB, Aryo Wijanarko. Dalam pertemuan ini, Muhaimin menjanjikan ia akan menemui presiden SBY dan membawa laporan yang diberikan Korban Lapindo. Akan tetapi ia tidak berjanji bisa mempertemukan perwakilan korban dengan SBY. “Saya usahakan, tapi saya tidak berjanji bisa mempertemukan anda ke SBY.” kata dia di akhir pembicaraaan.  [navy]

  • BPLS Pertimbangkan Bangun Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS mempertimbangkan membangun dua kolam baru untuk menampung lumpur di Desa Renokenongo dan Desa Besuki, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

    Hal itu diungkapkan Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain, Senin (1/9) di Sidoarjo. Menurut perhitungan BPLS, sejak pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan, Rabu lalu, kolam yang ada seluas 110 hektar hanya mampu menampung lumpur sembilan hari lagi.

    Di Desa Renokenongo, ada lahan seluas 80 hektar, sedangkan di Desa Besuki ada lahan seluas 25 hektar. Persoalannya, belum semua warga memperoleh ganti rugi. Di Desa Renokenongo masih ada 75 keluarga yang tinggal. Padahal, desa tersebut termasuk dalam peta terdampak lumpur Lapindo. Sebagian besar warga desa sudah mengungsi, khususnya yang telah terima ganti rugi.

    Desa Besuki, yang belakangan dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur Lapindo bersama Desa Pejarakan dan Kedungcangkring, masih dalam proses pengukuran tanah dan bangunan.

    ”Untuk rencana pembuatan kolam penampungan di Desa Besuki, Deputi Operasi BPLS sudah berkoordinasi dengan PT Minarak Lapindo Jaya,” katanya.

    Kegiatan pembuangan lumpur di Sungai Porong dihentikan akibat protes warga yang khawatir endapan lumpur akan membuat air sungai meluap di musim hujan. Di sisi lain, pembuangan seluruh semburan lumpur, 100.000 meter kubik per hari, dikhawatirkan mempercepat penuhnya kolam penampungan yang ada.

    Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Wakil Keta Komisi E DPRD Jawa Timur Kuswiyanto, saat meninjau normalisasi Sungai Porong, mengusulkan peninjauan ulang Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembuangan Lumpur ke Sungai Porong.

    Menurut mereka, perlu kajian komprehensif untuk mendapatkan solusi pembuangan lumpur selain ke Sungai Porong. ””Jika pembuangan lumpur ke sungai menimbulkan dampak lebih berbahaya, perpres perlu ditinjau ulang,”” ujar Kuswiyanto. (APO)

  • PT Lapindo Wajib Bayar Tanah Non Sertifikat

    Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa pengikatan ganti rugi tanah warga yang tidak bersertifikat mengikuti aturan yang sama dengan ganti rugi bagi tanah bersertifikat. Hal itu sesuai risalah pertemuan antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga 4 desa korban lumpur pada 2 Mei 2007.

    Perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya menolak menandatangani kesepakatan tersebut. Mereka mengaku datang hanya mendampingi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan tidak dapat membuat keputusan sepihak. “Kami datang hanya untuk mendampingi BPLS. Tidak bisa kami langsung tanda tangan begitu saja. Kami harus mengkaji dulu,” kata Yuniwati Theryana, perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya.

    Komnas HAM yang memfasilitasi pertemuan itu akhirnya memutuskan meminta pemerintah dan warga korban menandatangani kesepakatan dengan disaksikan PT Lapindo Brantas dan PT Minarak Lapindo Jaya. (E1)

  • Menteri PU: Prioritaskan Warga Perum TAS I

    Menurut Djoko, mekanisme pembayaran ganti rugi bagi warga yang wilayahnya masuk dalam peta terdampak diatur dalam Keputusan Presiden 14/2007.  “Tolong diberikan prioritas kepada warga Perum TAS yang sampai saat ini belum dapat 20 persen,” katanya.

    Djoko Kirmanto yang mengaku baru mengetahui fakta ini kemudian meminta konfirmasi pada Yuniwati Theryana, perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya. Yuniwati mengatakan, warga yang belum menerima 20% ganti rugi belum memenuhi semua syarat yang ditetapkan. Menurut dia, PT Minarak telah menyelesaikan ganti rugi 12.100 berkas tanah warga yang sudah lengkap. “Jika sampai sekarang belum dibayar, tentu ada hal yang belum dipenuhi,” katanya.

    Juru bicara warga Perum TAS I Sumitro membantah pernyataan Theryana Yuniwati. Menurut dia, alasan warga menunda penyerahan berkas karena ada pelanggaran yang dilakukan PT Minarak Lapindo Jaya. “Tertundanya berkas itu karena ada poin-poin kesepakatan jual beli yang ingin diubah Lapindo. Padahal hal itu tidak diatur dalam risalah Wapres,” ujarnya.

    Saat ini setidaknya terdapat 100 orang warga Perum TAS  I yang belum mendapatkan ganti rugi 20%. Padahal, berdasarkan kesepakatan warga dengan PT Lapindo dalam risalah Wakil Presiden, batas waktu pembayaran ganti rugi 20% April 2008.

    “Kami putus asa dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai akhirnya kami terpaksa menyerahkan berkas ke PT Minarak Lapindo Jaya, Januari lalu. Tapi sampai sekarang belum juga diproses,” kata Sumitro. (E1)

  • Korban Lapindo Masih Diabaikan

    Perwakilan dari Desa Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo dan Siring, Sidoarjo, yang menggabungkan diri dalam Gerakan Pendukung Perpres  No 14/2007 (Geppres) menyatakan bahwa saat ini masa kontrak rumah 2 (dua) tahun telah habis, sehingga telah melewati jatuh tempo pembayaran 80 persen jual-beli tanah dan rumah yang tenggelam, sebagaimana pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 tahun 2007.

    Akan tetapi ternyata, PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa pembayaran 80 persen, dengan alasan tanah-tanah warga yang bukti kepemilikannya berupa Pethok D, Letter C, atau SK Gogol tidak bisa “di-AJB-kan” (dibuatkan akte jual beli). Sebagaimana lazim di desa-desa tersebut, mayoritas warga, sekitar 14.000 KK, bukti kepemilikan tanah mereka adalah Pethok D, Letter C dan SK Gogol. Sangat sedikit yang memiliki sertifikat hak milik (SHM).

    Alasan PT MLJ tersebut tidak masuk akal. Sebab, Badan Pertanahan Nasional telah mengirimkan surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo yang telah bersertifikat maupun belum bersertifikat. BPN menjelaskan secara rinci mekanisme jual beli untuk tanah bersertifikat hak milik maupun tanah dengan bukti Yasan, Letter C, Pethok D, Gogol.

    PT MLJ justru memaksakan model cash and resettlement dalam penyelesaian sosial korban lumpur Lapindo. Ini tidak sesuai dengan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No 14 tahun 2007. Karena itu, Geppres menolak model cash and resettlement dan tetap berpegang teguh mendukung pelaksanaan Perpres No. 14 Tahun 2007. Geppres menuntut Pemerintah untuk “memaksa PT MLJ agar tunduk kepada Perpres dan menindak tegas atas pembangkangan yang dilakukan”.

    Berbeda dengan Geppres, korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Perwakilan Warga Perumtas menyatakan bahwa bahkan sampai hari ini, mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen. Mereka mengatakan bahwa, pada 24 April 2007, mereka telah bertemu dengan Presiden, Wakil Presiden, Menko Kesra, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Dirut Bank Tabungan Negara, Dirut Bank Nasional Indonesia dan Gubernur Jakarta. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa pembayaran uang muka 20 persen korban lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 akan dibayarkan mulai tanggal 24 April 2008.

    Faktanya hingga kini mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen, apalagi berkenaan dengan pembayaran sisa 80 persen. Padahal saat ini telah setahun lebih dari waktu yang dijanjikan. Untuk itu PW Perumtas menuntut “realisasi pembayaran seratus persen langsung”.

    Sedangkan Gerakan 3 Desa yang terdiri dari Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, menuntut keadilan Pemerintah dalam menangani permasalah sosial di ketiga desa tersebut. Pada Juli 2008 lalu Presiden memang telah mengeluarkan Perpres No. 48 Tahun 2008 yang menetapkan ketiga desa tersebut dalam peta area terdampak. Namun dalam hal mekanisme implementasi, muncul banyak masalah, dan tidak sesuai dengan tuntutan warga.

    Pertamasebagian wilayah Desa Besuki, yakni Desa Besuki yang berada di timur bekas jalan tol tidak masuk ke dalam peta area terdampak. Berkaitan dengan hal itu, Gerakan 3 Desa menuntut wilayah Desa Besuki bagian timur untuk “dimasukkan ke dalam peta area terdampak”. Keduapenentuan harga jual beli aset lahan dan bangunan di wilayah 3 desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) masih belum jelas. Gerakan 3 Desa menuntut harga itu disesuaikan dengan desa-desa yang masuk wilayah peta area terdampak, yakni tanah sawah 120.000 per meter persegi, tanah kering 1.000.000 per meter persegi, dan bangunan 1.500.000 per meter persegi.

    Ketigadisebutkan dalam Perpres No. 48 Tahun 2008 bahwa sisa pembayaran 80 persen aset warga akan dilakukan setelah pelunasan sisa pembayaran 80 persen bagi korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggungjawab PT Lapindo Brantas. Bagi Gerakan 3 Desa, pembayaran 80 persen aset mereka tidak ada hubungannya dengan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas, sebab menggunakan sumber mata anggaran yang berbeda. Artinya, pelunasan 80 persen untuk ketiga desa tersebut dilakukan tanpa menunggu pelunasan sisa 80 persen bagi korban yang masuk peta terdampak 22 Maret 2007 yang menjadi tanggung jawab Lapindo.

    Sementara, korban Lapindo yang tergabung dalam Paguyuban Warga 9 Desa yang berasal dari Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, Gedang, Mindi, Glagah Arum, Plumbon, Pamotan, Ketapang, Gempolsari menyatakan bahwa desa-desa tersebut telah terkena dampak luapan lumpur Lapindo berupa munculnya buble gas di mana-mana, penurunan tanah, rusaknya sumber mata air, tergenangnya sebagian wilayah oleh rembesan air yang berasal dari tanggul lumpur Lapindo, maupun bau gas yang menyengat.

    Paguyuban Warga 9 Desa menyayangkan Pemerintah tidak bertindak cepat dan sigap. Wilayah desa tersebut tidak ditetapkan dalam peta area terdampak, sehingga tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di desa-desa tersebut. Padahal, empat orang warga desa telah meninggal akibat pencemaran gas yang terjadi dan belasan lainnya jatuh sakit.

    Karena itu, Paguyuban Warga 9 Desa menuntut kepada Pemerintah untuk (1) menetapkan wilayah 9 desa ke dalam peta area terdampak; (2) menggunakan cara Perpres No 14 tahun 2007, yakni dengan melakukan jual-beli lahan di wilayah kami dengan mekanisme 20 persen sebagai uang muka, dan 80 persen sisanya dibayarkan dalam jangka waktu 1 tahun kemudian; (3) jaminan keamanan, keselamatan, dan sosial.

    Jakarta, 29 Agustus 2008
    Gerakan Pendukung Perpres No 14 Tahun 2007/Geppres
    Perwakilan Warga Perumtas

    Gerakan 3 Desa
    Paguyuban Warga 9 Desa

    Kontak:

    Paring 08125296063
    Beggy 085269135520

  • Menuntut Tanggung Jawab Lapindo

    Menuntut Tanggung Jawab Lapindo

    Pasal 15 Perpres itu, ayat 1, secara gamblang telah menetapkan, Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.”

    Masih pasal yang sama, ayat 2, tertulis, “Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.” 

    Multajam, yang berasal dari Desa Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin ini, menandatangani kontrak jual-beli tanah dan bangunan dengan PT MLJ pada Agustus 2006. Seharusnya hari ini ia sudah menerima 80 persen, tapi kenyataannya ia belum menerima sepeser pun. Multajam memang hanya punya bukti Letter C. Rupanya, inilah yang menjadi alasan PT MLJ menolak melunasi 80 persen sisa pembayaran.

    Bagi PT MLJ, surat bukti kepemilikan tanah selain sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) tidak bisa dibuat Akta Jual Beli (AJB). Andi Darussalam Tabusalla, Wakil Direktur Utama PT MLJ, beralasan, “Kami berpegangan pada Undang-Undang Pokok Agraria dan ketentuan dalam Perpres No 14 Tahun 2007,” katanya dalam website resmi MLJ.

    PT MLJ keliru. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tanggal 24 Maret 2008 menjadi bukti kesalahan persepsi PT MLJ. Surat yang bertajuk Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo itu menyatakan, “Terdapat 4 (empat) mekanisme penyelesaian jual-beli antara masyarakat korban lumpur Sidoarjo dengan PT Lapindo Brantas yang masing-masing sesuai dengan lampiran surat ini.” Dalam lampiran itu, BPN menjelaskan secara rinci. Pertama, mekanisme jual beli untuk tanah bersertifikat hak milik, kedua untuk tanah dengan bukti Yasan, Letter C, Pethok D, Gogol, ketiga untuk tanah bersertifikat hak guna bangunan, dan keempat untuk tanah Pemerintah/Pemda.

    Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi PT MLJ untuk tidak melunasi 80 persen. Tapi, PT MLJ malah berbelit dan mengajukan skemacash and resettlement untuk tanah dengan bukti Letter C, Pethok D, atau SK Gogol. Anehnya, skema ini seolah-olah merupakan permintaan warga korban dan bukan sodoran PT MLJ. Pada 25 Juni 2008 lalu, PT MLJ mampu membujuk sebagian warga korban untuk menandatangani kesepakatan cash and resettlement itu.

    Dalam kesepakatan itu disebutkan, bangunan akan dibayar tunai, sedangkan tanah akan ditukar dengan tanah, satu banding satu. Tarif bangunan 1,5 juta per meter persegi, dan dibayar 2 bulan setelah warga membubuhkan tanda tangan persetujuan pola cash and resettlement. Tanah pekarangan akan ditukar dengan tanah kavling di kawasan Kahuripan Nirvana Village (KNV). Sementara, sawah akan ditukar dengan sawah di Desa Sambibulu, Kecamatan Sukodono. Uang 20 persen yang sudah diterima warga tidak dihitung, dianggap hibah.

    Secara sekilas, pola ini sangat menguntungkan warga. Sudah dapat ganti tanah, bangunan dibeli secara tunai, dapat hibah pula. “Ini merupakan solusi jalan tengah yang melegakan kedua pihak, maka seyogyanya diterima dengan lapang dada dan terbuka,” kata Andi Darussalam kepada wartawan di Surabaya. Seorang budayawan malah sempat mengatakan di media, “MLJ itu bisa disebut malaikat. Masak ada setan yang mau hibah? Tentu, yang melakukan hibah adalah malaikat.”

    Toh, tampak aneh ketika dalam kesepakatan tersebut, poin 5, terdapat semacam ancaman bagi pemilik tanah nonsertifikat, “PT Minarak Lapindo Jaya tidak akan melaksanakan pembayaran cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikannya Pethok D/Letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apa pun.”

    Terhadap ancaman semacam itu, warga pun panik. Multajam tak urung juga sempat panik. Tapi dia tetap tidak mau menggunakan pola cash and resettlement. Pertama, soal pembayaran bangunan, ia harus rela menunda 2 bulan setelah penandatanganan. Padahal kalau menurut aturan Perpres, dia sudah harus dibayar kontan 80 persen, hari ini. “Orang yang sudah tanda tangancash and resettlemnent kemarin saja belum cair,” ujar Multajam, merujuk salah seorang temannya yang memilih skema tersebut.

    Kedua, untuk tanah, tanah kavling yang tersedia 90 meter persegi dan 120 meter persegi. Sementara, tanah Multajam 213 meter persegi. “Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus)nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

    Amari, 34 tahun, warga Desa Renokenongo, bisa lebih parah nasibnya jika memilih cash and resettlement. “Saya sudah beli tanah dan rumah di desa lain. Buat apa saya beli tanah lagi?” ujarnya. Warga korban yang mengambil pilihan semacam Amari sangat banyak, bahkan ada yang lebih parah. “Ada yang beli tanah dengan uang muka sekian persen, lalu bikin perjanjian akan membayar setelah mendapat uang 80 persen,” tutur Ahmad Soetomo, salah seorang Ketua RT Desa Renokenongo.

    Ada lagi yang sudah beli tanah dan sudah mendirikan bangunan. Cuma, dengan uang 20 persen jelas tidak mencukupi. Akhirnya mereka berhutang ke sana-sini, dengan janji akan membayarnya setelah memperoleh 80 persen. Maka itu sulit dibayangkan jika warga tidak menerima 80 persen secara cash and carry.“Gepengo koyok ilir, sampai kapan pun, warga tetap menuntut cash and carry,” ucap Soetomo.

    Karena itu bisa dibilang, skema cash and resettlementhanyalah akal-akalan PT MLJ untuk menghindar dari kewajiban. Bupati Sidoarjo Win Hendarso saja tidak mengakui adanya pola penyelesaian tersebut. “Saya tidak tahu apa itu cash and resettlement,” tegas Win ketika menerima audiensi warga korban Lapindo pada 6 Agustus lalu, yang juga dihadiri pihak BPLS dan BPN.

    Dalam pertemuan itu, terkait perumusan pola cash and resettlement, baik Bupati, BPLS, maupun BPN mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. PT MLJ sendiri sebenarnya juga sudah menandatangani Risalah Pertemuan 2 Mei 2007 bersama Menteri Sosial, BPN, BPLS, dan perwakilan 4 desa dalam peta terdampak. Dalam risalah itu, PT MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres 14/2007.

    Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat. Ada tanda tangan saya, Pak Mensos, semua pihak. Semua lengkap. Semua berkomitmen pada penyelesaian menurut Perpres,” Win menambahkan.

    Dalam risalah itu ditegaskan, Pethok D/Letter C/SK Gogol merupakan alat bukti kepemilikan yang sah dan diperlakukan sama dengan Sertifikat.

    Meski begitu, hingga hari ini, pelunasan tanah dan bangunan warga belum dilakukan oleh PT MLJ. Bukankah dengan begitu, PT MLJ telah melakukan melakukan pelanggaran? “MLJ telah melakukan tindakan yang dikategori wanprestasi,” jelas Taufik Basari, ahli hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Jakarta. Akibat dari wanprestasi, atau melanggar perjanjian, warga berhak menuntut agar PT MLJ segera mematuhi perjanjian, sekaligus menuntut ganti rugi atas keterlambatan yang terjadi. “Warga sudah dirugikan dengan biaya-biaya yang seharusnya tidak dikeluarkan seandainya tidak terlambat,” tambah Taufik.

    Andai 80 persen dibayar tepat waktu, warga tidak akan, misalnya, menggadaikan motornya untuk membiayai kontrak rumah, atau warga bisa memulai pekerjaan baru. Warga pun berhak menuntut penyitaan aset-aset PT MLJ. “Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) ini sama halnya dengan utang-piutang. Warga korban berhak memperoleh jaminan berupa penyitaan aset,” tandas master hukum dari Northwestern University, Chicago, ini. [Ba,Mam,Re]

  • Setelah Dua Tahun Ngontrak, Tinggal Di Mana?

    korbanlumpur.info – Hari mengontrak dua tahun rumah dua kamar di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II setelah rumahnya di Kedung Bendo, ditenggelamkan lumpur Lapindo. Cak Hari, sapaan akrab Hari Suwandi, tak ada duit untuk memperpanjang kontrakan. Duit 20 persen dari rumahnya yang terpaksa dijual pada Lapindo sudah habis dan 80 persennya nunggakLapindo milik keluarga Bakrie itu enggan mengeluarkan duit untuk melunasinya.

    Harusnya, seturut pasal 15 Perpres No. 14/2007, sisa 80 persen uang Hari dibayar sebulan sebelum masa kontrakanya habis. Tepatnya pada bulan Juli tahun ini. Cak Hari, yang gara-gara lumpur Lapindo tak hanya kehilangan rumah tapi juga pekerjaannya, pusing tujuh keliling. Nilai 20 persen yang diterima Cak Hari, yakni sebesar 31.268.000 rupiah, sudah habis untuk makan sehari-hari dan dibagikan pada tiga anaknya perempuannya yang sudah berkeluarga.

    Masing-masing saya bagi tiga jutaan,” tutur Hari.

    Di Kedung Bendo rumahnya yang lama, Cak Hari dan sebelas anggota keluarganya, terdiri dari istri, 3 putrinya, 3 menantu, dan tiga cucu, menempati rumah seluas 54 meter di tanah seluas 75,34 meter. Setelah bencana lumpur Lapindo Cak Hari hanya bisa mengontrak rumah kecil dan tak cukup 11 orang. Keluarganya pecah.

    Anak-anak ada yang ngungsi ke mertuanya dan ada yang ngontrak sendiri,” kata Cak Hari, di rumah kontrakannya, di Blok S, yang habis masa sewanya itu.

    Cak Hari, sebenarnya, sudah mempersiapkan uang untuk kontrakan ini, beberapa hari sebelum kontrakannya habis. Uang didapat dari hasil menggadaikan sepeda motor milik menantunya Ahmad Novik pada Bank Citra Abadi, bank simpan pinjam di dekat pom bensin Tanggulangin. “Saya tarik (gadaikan) dua juta,” tutur Cak Hari.

    Setelah dapat uang Cak Hari akan menitipkan uanguntuk kontrakan namun ditolak orang suruhan Ahmad Zuhron karena takut terpakai dan habis.

    Beberapa hari setelah kedatangan pertama orang suruhan Zuhron datang dan uang tersebut sudah dipakai Cak Hari untuk makan. “Sisanya tinggal tujuh ratus ribu,” kata Cak Hari.

    Semua uang itu dikasihkan dan kurangnya Cak Hari minta waktu untuk cari pinjaman. Empat hari kemudian orang suruhan Ahmad Zuhron datang ke rumah Hari dan menagih pembayaran perlunasan. Cak Hari bilang cuma punya duit itu dan tidak bisa cari tambahan. Dengan duit 700 ribu Cak Hari meminta diizinkan ngontrak setengah tahun.

    Kalau tidak diperbolehkan, ya, balik ngungsi ke pasar atau tidur di tanggul,” tutur Cak Hari pasrah.

    Multajam

    Nasib serupa juga dialami oleh Multajam, 43 tahun, dan keluarganya. Sama seperti Hari, sudah dua tahun Multajam menganggur. Pabrik sabun Debrima tempat dia bekerja tak lagi beroperasi karena digulung lumpur Lapindo. Sehari-hari biaya hidupnya dan kedua anaknya bergantung pada Taslimah, 37 tahun, istrinya, yang kerja di pabrik rokok Andalas. Per 1000 batang rokok yang diproduksi, Taslimah mendapat bayaran 2.400 rupiah.

    Paling banter sehari dia menghasilkan 3000 batang. Kerjanya tak tentu, kadang dalam sebulan libur 3 minggu. Tergantung pada pesanan.

    Multajam, yang dulu tinggal di Desa Kedung Bendo RT 05/RW 02 dengan aset rumah seukuran 110 meter di tanah seluas 213 meter ini, pusing. Uang 80 persen belum juga dibayarkan Lapindo. Di pihak lain, kebutuhannya tak bisa diajak kompromi. Ongkos sekolah dua anaknya, Ahmad Ulum Fahrudin dan Ferry Afriyanto, di SMK dan SMP tak bisa ditunda.

    Lebih pusing lagi, Multajam dihadapkan pada pola baru, cash and resettlement. Dengan skema ini, bangunan dibeli dan akan dibayar 2 bulan setelah penandatanganan, sementara tanah diganti tanah baru, satu banding satu. Multajam menolak.

    Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus) nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

    Pembayaran pertama 20 persen diterima Multajam pada Agustus 2006. Multajam tak punya sawah, hanya punya pekarangan dan bangunan. Totalnya dia menerima, 75,6 juta. Uang 20 persen pembayaran tanah dan bangunan ini lalu dipakai Multajam untuk mengontrak rumah di Perumahan Tanggul Angin Anggun Sejahtera. Karena khawatir pencairan keduanya sulit dia memilih tipe yang murah di komplek Blok M 5/64. Dia mengontrak dua tahun. Kontrak itu habis kini, dan uang 80 persen belum dibayar oleh Lapindo. Multajam bingung mau tinggal di mana selanjutnya. Karena sudah memasuki kepala empat dia juga kesulitan mendapat kerja.

    Wis tuwek ngene arep kerjo opo? Kalah saingan karo sing nom-nom (sudah tua begini mau kerja apa? Kalah sama yang muda-muda),” tutur Multajam dengan logat Jawa Timuran.

    Cak Hari dan Multajam disiksa Lapindo dengan pola cash and carry namun Lapindo juga menggantung nasib orang-orang yang memilih cash and resettlement.

    Juminah

    Ini yang terjadi pada Juminah, 66 tahun, bukan nama sebenarnya, dan keluarganya yang memilih cash and resettlementSebelum Lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya sekaligus tempat kerjanya di Kedung Bendo, RT 02 RW 01, Porong, Juminah adalah janda beranak enam. Hidupnya begantung pada usaha dompet yang dikelola Baskoro (bukan nama sebenarnya), anaknya 40 tahun. Tiap bulan, pendapatan Baskoro lima sampai enam juta rupiah. Juminah dan kedua anaknya, termasuk Baskoro dan istrinya, menempati rumah sederhana berukuran 75 meter.

    Rumah ini juga dijadikan tempat usaha. Walau tidak kaya kehidupan mereka tenang. Ketenangan ini terenggut setelah Lapindo gagal dalam pengeboran dan mengakibatkan ribuan warga belasan desa di tiga kecamatan di Sidoarjo kehilangan rumah tinggal, pekerjaan, semua harta milik dan kehidupan sosial mereka.

    Baskoro sibuk mengungsikan keluarganya. Awalnya mereka mengungsi di balai desa, lalu pindah ke Tulangan dan terakhir di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (Perum TAS II) blok S7/39. Selama setahun Baskoro mengurusi pindah-pindah ini dan mengabaikan pekerjaannya.

    Setahun pasca bencana dan setelah keluarganya aman di Perum TAS II Baskoro baru bisa memulai usaha dompetnya kembali. Selain memproduksi Baskoro juga memasarkan dompet-dompetnya dan ini bukan pekerjaan mudah untuk pengusaha yang vakum setahun.

    Dia harus cari pelanggan-pelanggan baru. Tak hanya itu, omzetnya juga berkurang drastis hingga 50 persen. Kerugian macam ini tak dihitung oleh Lapindo saat membahas ganti rugi. Hanya usaha-usaha menengah ke atas yang dapat ganti rugi. Usaha-usaha kecil rumahan diabaikan. Akibatnya, banyak korban Lapindo kehilangan pekerjaan. Rata-rata mereka akhirnya jadi tukang ojek di lokasi bencana.

    Bagi warga kecil macam Baskoro yang dihitung ganti ruginya hanyalah tanah, rumah dan sawah. Itu pun sebenarnya bukan ganti rugi, melainkan jual beli. Untuk sawah 120 ribu permeter, satu juta permeter untuk tanah, dan satu juta setengah per meter untuk rumah. Sedangkan kerugiannya atas penghasilan setahun serta penurunan omzetnya tak masuk hitungan.

    Total harusnya Baskoro mendapat ganti rugi 187,5 juta. Namun ini tidak bayar kontan oleh Lapindo. Sebagai tahap awal Baskoro hanya mendapat 20 persen yakni 37,50 juta ini sesuai dengan hitungan cash and carry di pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Belakangan, Lapindo tak menaati peraturan pemerintah ini dan membikin peraturan baru yakni cash and resettlementIni membingungkan warga, termasuk Baskoro, dan karena bingung dia memilih cash and resettlement.

    Hitungannya tetap pada rumah yakni 1,5 juta rupiah per meter namun tanahnya diganti dengan tanah baru di tempat lain di wilayah Sidoarjo. Pilihan tanahnya ukuran 90 meter dan 120 meter. Untuk warga yang tanah kurang dari ukuran tesebut harus nomboki dan ini yang dialami Baskoro dan keluarga yang hanya memiliki tanah 75 meter persegi. Uang kekurangan ini dipotong langsung dari uang rumahnya. Ini tidak adil.

    Kami harus nomboki 15 juta,” tutur Baskoro.

    Sementara, pembayaran atas bangunan oleh Lapindo baru dilakukan setelah dua bulan dari Agustus 2008. Itu pun jika Lapindo tidak mangkir. Baskoro gamang karena sebentar lagi hendak puasa di mana kebutuhan hidup melonjak dan kontrakannya pun akan segera habis. Dia tidak tahu, dengan cara apa harus memenuhi semua biaya itu. [mam]

  • Beringin: Dusun Yang Terpinggirkan

    korbanlumpur.info – Apa yang terjadi terhadap dusun Beringin desa Pamotan sungguh memprihatinkan, sumur-sumur warga telah keluar gelembung-gelembung gas sehingga airnya tidak bisa dipakai lagi, selain itu, semburan api juga bermunculan dibeberapa rumah dan pekarangan warga. dusun Beringin, Pamotan terletak di sebelah barat pusat semburan lumpur Lapindo dan berjarak sekitar 2 km. Sama seperti desa-desa di luar peta area terdampak, kondisi kerusakan lingkungan dan turunnya kualitas kesehatan tidak dilihat sama sekali oleh Pemerintah.

    Kondisi ini sudah mulai sekitar bulan Januari 2008 dan hingga sekarang tidak ada penanganan serius. “Ini sudah sejak Januari, awalnya cuma kecil, sekarang semakin membesar” ujar Semiwati, 56 tahun warga Beringin. Semiwati menuturkan, di rumah kakanya Amani, api sudah keluar di dapur. “Awalnya kita mau nyalain kompor, tiba-tiba api menyambar ke sebelahnya, dulu itu bekas bak kontrol selokan” tambahnya. Dirumah Amani itu, semburannya diberi pipa untuk mengalirkan gas dan atapnya dilobangi agar gas bisa keluar ruangan, karena posisi keluarnya semburan api ada di dapur, keluarganya terkadang memakainya sebagai kompor. Sedangkan di rumah Semiwati sendiri air sumur sudah tidak bisa digunakan, gelembung-gelembung gas muncul dan airnya berbau serta berasa asin “Airnya banger, coba saja kalau nggak percaya” ujarnya. Dan memang benar, air itu berbau dan rasanya asin, tentu saja kondisi air yang seperti seharusnya tidak bisa dipakai lagi.

    Namun warga tidak punya pilihan lain, dengan air yang bercampur gas, mereka masih tetap menggunakannya untuk aktifitas sehari-hari. Semiwati sudah sedemikian kesal dengan kinerja pemerintah yang tidak tanggap, menurutnya warga sama sekali tidak terperhatikan, BPLS hanya memberi bantuan air yang tidak konstan pengirimannya “Dua hari sekali, cuma dua tandon pula, tentu tidak cukup, karena sumur warga sudah rusak semua” lagipula, kerusakan sudah terjadi sejak januari, tapi bantuan air baru ada satu bulan kemarin. Bantuan air bersih sama sekali tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan warga. Warga sendiri mengaku gelisah atas kondisi ini “Itu katanya mengandung gas beracun, kita was-was juga, gimana kalau keracunan, gimana kalau tiba-tiba apinya membesar” sambung Semiwati.

    Sampai sekarang, mereka berharap agar wilayah mereka segera diselesaikan dan warga bisa diselamatkan.[re]

  • Tanggul Penahan Lumpur Lapindo Jebol

    PT MLJ Mengaku Membayar Ganti Rugi Bertahap

    SIDOARJO, KOMPAS – Tanggul lumpur Lapindo di titik 44 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jebol pada hari Selasa (26/8) sekitar pukul 05.00. Sehari sebelumnya, warga menduduki tanggul dan memblokir akses kendaraan proyek penanganan lumpur untuk menuntut ganti rugi.

    Pada Senin lalu, sekitar 500 warga memblokir lima pintu masuk menuju tanggul dalam upaya menuntut sisa pembayaran ganti rugi sebesar 80 persen yang belum diterima dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Aksi itu membuat aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur terhenti. Polisi membubarkan aksi pada pukul 17.00 sehingga kegiatan penanganan tanggul pulih.

    Tanggul yang jebol selebar 6 meter dan tinggi 3 meter tersebut mengakibatkan lumpur meluber dan menutupi jalan yang dilalui truk dan traktor di areal tanggul. Luberan lumpur juga mengenai Desa Renokenongo, tetapi belum membahayakan warga yang masih tinggal di desa tersebut.”

    Jebolnya tanggul sudah kami perkirakan. Hal tersebut akibat terhentinya aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur karena pemblokiran warga,” kata Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Selasa.

    Jika tanggul yang jebol tidak segera ditangani, kata Zulkarnain, dikhawatirkan lumpur akan meluber lebih luas ke permukiman warga Desa Renokenongo.

    Apalagi saat ini seluruh lumpur yang keluar dari semburan dibuang ke kolam penampungan karena pipa pembuangan ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga sejak Rabu pekan lalu.

    Berdasarkan perhitungan BPLS, daya tampung kolam seluas 110 hektar tersebut menyisakan waktu sekitar 15 hari lagi. Lebih dari itu, kolam tidak mampu menampung semburan lumpur sebanyak 100.000 meter kubik setiap hari.

    ”Kami berharap dapat kembali membuang lumpur ke laut melalui Sungai Porong,” kata Zulkarnain.

    Koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres), Suwito, yang kemarin memimpin pemblokiran akses ke tanggul, bersikukuh meminta PT MLJ segera membayarkan sisa ganti rugi sebesar 80 persen.

    ”Kami belum menentukan langkah berikutnya. Kami akan berkoordinasi lagi dengan seluruh warga dalam mengupayakan pembayaran sisa ganti rugi yang belum kami terima,” tuturnya.

    Bertahap

    Sebelumnya, Wakil Presiden PT LMJ Andi Darussalam Tabussala mengemukakan, pihaknya sudah membayar sisa ganti rugi 80 persen senilai hampir Rp 210 miliar untuk 538 warga penerima ganti rugi cash and resettlement. Selain itu, ganti rugi cash and carry senilai hampir Rp 148 miliar juga sudah dibayarkan untuk 648 warga.

    ”Kami tetap bertanggung jawab menyelesaikan ganti rugi. Jika ada keluhan, warga korban lumpur saya minta menghadap langsung ke PT MLJ,” ujar Andi. Menurut dia, sampai kini pembayaran sisa ganti rugi tetap berlangsung meski secara bertahap.

    Saat ini masih ada sekitar 1.000 korban lumpur yang belum menerima ganti rugi karena masih dalam proses verifikasi oleh BPLS. (APO)

  • Warga Yang Ditahan Sudah Dilepas

    korbanlumpur.info – Seluruh korban lapindo, baik tujuh orang dari Mindi maupun tiga orang dari Jatirejo yang kemarin ditangkap ketika melakukan aksi penutupan tanggul sudah dilepas oleh pihak kepolisian.

    Seperti diberitakan kemarin, tujuh orang dari desa Mindi dan tiga orang dari desa Jatirejo ditahan ketika melakukan aksi demonstrasi dengan menutup akses masuk di tanggul semburan lumpur Lapindo.

    Tujuh orang Mindi itu adalah: Shohibul Izar warga RT 02 RW 01, Abdul Mukti warga RT 20 RW III, Muhammad Fatoni warga RT 07 RW III, Tri Joko Nugroho warga RT 21 RW III, Abdul Haris warga RT 14 RW II, Syamsul Ali warga RT 15 RW II, Boneran warga RT 14 RW II.

    Sedang tiga orang desa Jatirejo: Udin warga RT 10 RW 02, Suherianto warga RT 09 RW 02 dan Kukuh warga RT 08 RW 02.

    Menurut Subagyo SH, Pengacara dari Tim Advokasi Korban lapindo, korban sudah seluruhnya dilepaskan, yang terakhir adalah tiga warga dari Desa jatirejo, yang disangka melakukan perusakan alat berat. “Sudah dilepas semua, baik 7 warga Mindi dan 3 warga jatirejo yg merusak alat berat kontraktor penanggulan” begitu pernyataan Subagyo.

    Tujuh orang dari Mindi yang ditahan di Polsek Porong dilepaskan sekitar pukul 01.00 dinihari sedang tiga orang dari Jatirejo yang ditahan di Polres Sidoarjo dilepaskan sekitar pukul 13.30 siang hari.[re]