Category: Kanal Korban

  • Berbuka Puasa Ala Korban Lumpur Lapindo

    Berbuka Puasa Ala Korban Lumpur Lapindo

    SIDOARJO – Memasak di rumah untuk buka puasa bagi keluarga adalah hal yang biasa. Tapi memasak di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo, untuk buka puasa bagi puluhan korban Lapindo yang sedang berdemo adalah hal yang tidak biasa. Tapi itulah yang dilakukan Siti Ma’inah, korban lumpur dari Desa Kedungbendo. “Tak ada makanan pembuka atau penutup, menunya cuma mie instan sama telor,” katanya sambil menghitung berapa mie yang harus ia masak.

    Wanita 59 tahun ini dan korban Lapindo lainnya telah seminggu melakukan aksi di depan gedung DPRD Sidoarjo. Ketidakjelasan ganti rugi aset memaksa korban lumpur dan Ma’inah melakukannya. Di hari kedua bulan puasa ini, Ma’inah dan yang lain masih betahan di gedung dewan terhormat Kabupaten Sidoarjo. Aksi ini pun menyita perhatian para pengguna jalan yang kebetulan lewat.

    Di saat yang lain tertidur dan beristirahat, Ma’inah terus memasak dan sesekali mengusap keringat yang membasahi wajahnya. “Kalo tadi siang banyak orang, sekarang jadi sedikit karena banyak yang ingin berbuka puasa di rumahnya masing-masing.” Jawab Ma’inah ketika ditanya masak untuk berapa orang. Nenek enam cucu ini berharap apa yang ia lakukan ini bermanfaat bagi para korban yang sedang melakukan aksi menuntut hak-hak mereka.

    Ia, Ma’inah, tidak mungkin bisa tidur di tempat aksi lantaran fisiknya yang tak muda lagi. Selain itu, anaknya juga melarangnya. “Masih banyak yang muda-muda”, katanya dengan tersenyum. Ma’inah mengaku telah mengikuti aksi ini sejak hari pertama (6/8/2010).

    Matahari telah terlihat memerah di sebelah barat. Lampu-lampu penerangan jalan mulai mengeluarkan cahayanya yang berwarna-warni. Spanduk-spanduk bernada protes yang mereka pasang di pagar gedung dewan sudah tak bisa terbaca dari kejauhan. Hari sudah gelap. Menu buka puasa untuk 20-an peserta aksi telah matang dan siap dihidangkan. Tapi bedug maghrib yang mereka tunggu belum juga terdengar.

    Sambil menunggu maghrib, Ma’inah duduk beristirahat dengan melonjorkan kaki rapuhnya. Tubuh kurusnya terlihat lelah, karena wanita setua itu tak seharusnya melakukan pekerjaan yang tak sesuai dengan usianya. Tapi Ma’inah bangga bisa berbuat sesuatu untuk saudara seperjuangannya. Satu persatu peserta aksi yang tertidur mulai terbangun karena suara kendaraan yang semakin ramai.

    “Dug… dug… dug…, “ terdengar suara bedug jelas. Mereka bersiap berbuka. Mereka, para korban Lapindo masing-masing telah menerima jatah berbuka yang dimasak Ma’inah sebelumnya. “Satu orang, satu piring mie dengan telor dadar. Kalo ada yang ingin nambah, biar dia masak sendiri.” Katanya sambil bercanda. Para korban Lapindo memulai berbuka puasa dengan meminum air mineral kemasan terlebih dulu. Tak seperti orang yang sedang menjalankan ibadah puasa kebanyakan, Wajah mereka tak semua ceria mendengar bedug yang disambung adzan maghrib tadi.

    Tak seperti yang lain, yang langsung menyantap hidangan, Ma’inah hanya meneguk segelas air mineral kemasan dan langsung bergegas menuju masjid. Tak jauh, ia hanya butuh beberapa langkah ke Masjid Agung Sidoarjo yang terletak tepat di sisi kanan gedung DPRD Sidoarjo. “Saya mau shalat maghrib dulu,” katanya lirih.

    Tak lama, Ma’inah kembali. Ia melonjorkan lagi kakinya. Ia juga menyandarkan tubuhnya tepat di pintu gerbang gedung dewan. Ketika menyantap hidangannya yang mulai dingin, obrolan kecil terjadi antara Ma’inah dengan peserta aksi yang lain. Mulai dari kenangan menjalankan ibadah puasa di kampung halaman dulu hingga khayalan kapan aset mereka akan terbayarkan. Dalam hati kecilnya, Ma’inah mengaku ingin memasakkan makanan untuk makan sahur bagi para korban Lapindo yang masih berjuang. “Anak saya yang terakhir melarang saya, ia khawatir dengan kondisi kesehatan saya,” Ujarnya.

    Sudah tak terhitung lagi berapa kali korban Lapindo melakukan aksi. Aksi kali ini adalah satu dari ratusan aksi korban sejak sumur banjar banji satu menyemburkan material panas pada 29 Mei 2006 lalu. Kesalahan pengeboran sumur banjar panji satu, di Desa Renokenongo milik PT. Lapindo Brantas telah menenggelamkan kawasan di tiga kecamatan, yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon. Mengakibatkan 19 desa tenggelam dan tak layak huni. Sumur yang terus menyemburkan lumpur panas hingga lebih dari 100.000 meter kubik per hari ini, juga mengusir 14.000 KK di kawasan tersebut termasuk Ma’inah dan keluarga.

    Tak seharusnya Ma’inah, dan korban lumpur Lapindo lainnya melakukan aksi-aksi seperti saat ini jika pemerintah berani bersikap tegas terhadap Lapindo dan pemiliknya. Mereka, korban Lapindo, juga pernah melakukan aksi demo dari Sidoarjo hingga ke Jakarta. Dan bertemu petinggi berbagai instansi terkait, dan bahkan tidak sekali bertemu dengan pimpinan tertinggi republik ini di istana negara. Seakan terjadi pembiaran yang dilakukan negara dalam kasus ini, dan terkesan korban harus berhadapan sendiri dengan kekuatan besar itu, Lapindo dan pemiliknya.

    Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo berganti menjadi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dari keputusan presiden (kepres) hingga peraturan presiden (perpres) yang berkali-kali direvisi. Tapi nasib ribuan korban Lapindo masih tidak jelas, dan masih terlunta-lunta menuntut hak selama empat tahun lebih.

    “Dulu punya rumah, ya saya nuntut agar punya rumah lagi. Dulu bahagia, ya saya kepingin bahagia lagi.” Katanya selesai berbuka.

    Sesederhana itulah keinginan Ma’inah, tapi pemerintah yang ia harap bisa membantunya tidak menunjukkan kepedulian terhadapnya. Ma’inah berharap bisa hidup tenang di hari tuanya dan tidak lagi dipusingkan oleh persoalan Lapindo. Mungkinkah Ma’inah dan ribuan korban Lapindo lainnya akan terpenuhi hak-haknya sebagai korban dan tidak akan melakukan aksi demo lagi? (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Rumah Lama Amblas, Rumah Baru Terampas

    Rumah Lama Amblas, Rumah Baru Terampas

    SIDOARJO—Rifa’i menelan kegetiran, untuk ke sekian kalinya. Lelaki 38 tahun ini telah kehilangan rumah di Jatirejo, Porong, empat tahun lalu ketika lumpur Lapindo menghantam. Kini, ia juga harus rela kehilangan rumah barunya di Perumahan Puspa Garden, Candi, Sidoarjo. Ia membelinya dengan cara mengangsur.

    Rifa’i tak sanggup lagi membayar angsuran. Seperti warga korban lumpur Lapindo lainnya, lelaki berkaca mata ini sudah lima bulan tidak menerima cicilan Rp 15 juta per bulan yang dijanjikan Lapindo sebagai sisa pembayaran aset 80 persen.

    Setahun lalu, ketika menerima pembayaran 20 persen, Rifa’i dan keluarga memutuskan mengambil rumah di Perumahan Puspa Garden. Uang muka Rp 10 juta. Lalu setiap bulannya, Rifa’i mengangsur sebesar Rp 5 juta. Rifa’i mengandalkan cicilan Rp 15 juta per bulan dari Lapindo buat membayar tagihan rumah tersebut.

    Setelah mencicil hampir separuh dari total Rp 110 juta, Rifa’i mulai kelabakan. Pada Mei 2010 kemarin, pihak developer mendatangi Ri’fai.  “Saya ditagih pihak developer, karena sudah telat tiga bulan,” cerita pria yang sehari-hari berkerja sebagai karyawan pabrik rotan ini.

    Rifa’i pun sibuk mencari pinjaman ke para kerabat. Usaha yang tak mudah. Hingga Juni 2010, Rifa’i tak berhasil memperoleh pinjaman. Ia pun dipanggil ke kantor pengembang Perumahan Puspa Garden. Rifa’i diberi peringatan. Dan apa yang terjadi?

    “Pihak developer akan menyita rumah baru saya. Saya diberi jangka waktu sampai bulan Juli 2010, untuk segera melunasi tunggakan cicilan rumah baru saya,” kisah Rifa’i.

    Malang bagi Rifa’i. Hingga memasuki bulan Juli, cicilan dari pihak Lapindo tak kunjung diterima. Batas waktu di depan mata.

    Rifa’i bingung, ditambah saat itu anak pertamanya harus mendaftar ke SLTP. Dengan kondisi linglung, Rifa’i mengadukan masalahnya ke Panitia Khusus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo, lewat sepucuk surat yang ia kirimkan pada 15 Juli 2010. “Tapi sampai sekarang tidak ada jawaban,” ujar Rifa’i sembari menunjukkan surat itu.

    Begitu batas waktu terlewat, dan Rifa’i belum juga menerima uang cicilan dari Lapindo, pihak pengembang pun melakukan tindakan. Pengembang Perumahan Puspa Garden menarik rumah yang sudah dicicil Rifa’i hampir setahun. Total uang yang sudah dibayarkan ke pengembang sebesar Rp 55 juta akan dikembalikan ke Rifa’i dengan dipotong sebesar 10 persen.

    Dengan sangat kecewa, Rifa’i menandatangani surat pembatalan pembelian rumah itu.

    “Terpaksa saya menandatangani. Saya takut uang saya yang sudah saya bayarkan ke developer akan hilang, jika saya tidak mau menandatangani surat itu,” ungkap Rifa’i.  Ia tidak langsung menerima uang itu. Pihak developer menjanjikan akan mengembalikan uangnya paling lambat tiga bulan ke depan.

    Nasib serupa ternyata juga dialami banyak warga lainnya, misalnya Ibu Patanah. Patanah, yang juga warga Jatirejo, tidak bisa membayar rumah barunya di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (TAS II) karena cicilan Rp 15 juta  per bulan dari Lapindo tak diterimanya selama lima bulan terakhir ini.

    Lebih parah lagi, masa kontrak rumah yang ditinggal Patanah nyaris habis. “Tinggal dua bulan lagi,” ujar Patanah. Bila tak sanggup membayar, Patanah pun harus hengkang dari rumah kontrakan itu.

    Rifa’i maupun Patanah tak berdaya menghadapi Lapindo yang sudah mengingkari janjinya sendiri untuk ke sekian kalinya. Mereka hanya bisa menunggu, meski tak jelas sampai kapan. Negara, baik legislatif maupun eksekutif, seolah juga takluk di kaki Lapindo. Tak berbuat hal berarti buat membela warganya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Uang seribu rupiah, bukanlah jumlah yang banyak dan juga tidak sedikit, apalagi buat anak-anak, terutama anak-anak korban lumpur Lapindo. Lumpur lapindo telah menenggelamkan rumah, sawah, sekolah dan tempat mencari nafkah orangtua mereka. Keceriaan dan masa depan mereka turut ditenggelamkan oleh lumpur Lapindo. (more…)

  • Kesibukan Korban di Tengah Udara Beracun

    Kesibukan Korban di Tengah Udara Beracun

    Di salah satu gubuk, tepatnya di Desa Ketapang, Tanggulangin, keadaan tidak jauh berbeda dengan gubuk lain. Mereka bersiap dengan DVD dokumentasi lumpur Lapindo di tas pinggang untuk dijajakan ke para pengunjung. Tiap hari mereka berjualan DVD, selain itu mereka juga menawarkan jasa ojek keliling tanggul. Mereka dikenal sebagai tukang ojek tanggul.

    Dari atas tanggul penahan lumpur yang tingginya belasan meter itu, mereka silih berganti melihat ke bawah mengamati apa ada mobil yang parkir. Yang tampak hanya deretan panjang kendaraan yang terjebak macet. “Suwene kok gak onok montor seng melebu rek. (Kok lama sekali tak ada mobil yang masuk),” pekik satu orang dari mereka dengan lantang.

    Yang mereka tunggu-tunggu datang juga. Sebuah mobil SUV berplat AB (Yogyakarta) yang terlihat sesak penumpang masuk dan parkir. Para tukang ojek bergegas menunggu tepat di atas tangga naik. Tidak semua tukang ojek, tapi hanya beberapa. Mereka melakukan sistem bergiliran.

    Dari kejauhan, Amir Prianto (25), dengan sepeda motor bebeknya melaju kencang, mendekat. Di depan motor itu bertuliskan “foto dua menit langsung jadi”. Ia memakai kaos oblong, celana pendek dan sandal jepit usang. Tak memakai helm, hanya berkacamata hitam. “Teko endi ae koen jam yaene kaet teko? (Dari mana saja kamu jam segini baru datang?),” tanya seorang teman ke Amir. Tanpa menjawab Amir hanya tersenyum sambil menyiapkan perlengkapan fotonya.

    Bapak dari dua anak yang masih balita itu tak bisa mengojek karena fisiknya tak memungkinkan pasca kecelakaan lalulintas setahun lalu. Amir hanya berjualan DVD dan menawarkan jasa foto langsung jadi. Hanya Amir tukang foto di atas tanggul lumpur. Amir tak mau menyerah dengan keadaan. Korban Lapindo dari Desa Jatirejo itu tetap semangat mencari nafkah untuk istri dan dua anaknya.

    Tak seperti hari-hari biasanya, pengunjung mulai banyak berdatangan. “Mir, onok seng ate foto (Mir, ada yang ingin berfoto),” sahut rekan Amir dari kejauhan. Segera Amir menyiapkan kamera dan printer-nya. Ternyata benar apa yang ditulis Amir di depan motornya: hanya dua menit dan satu foto selesai dicetak. Amir mematok Rp 20.000 untuk satu lembar foto. Tapi jumlah uang itu bukan sepenuhnya masuk kantong Amir. Ia harus menyetor separuh hasil foto ke pemilik kamera dan printer. Hanya Rp 10.000 dan itu pun masih Amir bagi lagi kepada setiap tukang ojek yang menjadi perantara antara Amir dan pengunjung. Rp 5.000 saja untuk Amir.

    Tak terasa matahari sudah di atas kepala. Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan tanggul. Para tukang ojek pun berebut cepat menuju gubuk untuk berteduh. Romantisme sangat terasa ketika beberapa orang dari mereka mengeluarkan nasi bungkus yang mereka bawa dari rumah. Enam nasi bungkus dimakan sebelas orang. Saat makan, banyak obrolan terjadi di gubuk yang hampir roboh itu, mulai pertandingan piala dunia sampai cicilan aset mereka yang tidak dibayar Lapindo hingga empat bulan ini. Di tempat yang sempit itu, mereka berbagi tempat untuk berteduh beristirahat menunggu sore. Ada yang tertidur, ada juga yang menikmati sebatang rokok di tangan.

    Debu berterbangan terbawa angin yang mulai berhembus. Tak terasa hari sudah mulai sore. Para tukang ojek termasuk Amir dikejutkan dengan dua bus pariwisata yang masuk dan parkir. Semua berdiri semua bersiap. Selain menyiapkan kamera, Amir juga mengeluarkan beberapa DVD dari tas pinggangnya untuk diperlihatkan ke para pengunjung. Mereka mendekati pengunjung dan mencoba menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.

    Amir sangat cekatan, satu DVD-nya laku terjual. Setiap DVD yang terjual, Amir mendapat keuntungan Rp 5.000. Segera, Amir berpindah dari pengunjung satu ke pengunjung lain. “Kaset lumpur, kaset lumpur, foto dua menit jadi, foto dua menit jadi.” Itulah kalimat-kalimat yang digunakan Amir untuk menarik perhatian pengunjung. Amir terus menawarkannya tanpa henti.

    Dari dua bus pariwisata tadi, Amir berhasil menjual lima DVD dan juga mencetak dua foto lagi. Ia mengantongi Rp 50.000 setelah dikurangi makan-minum dan rokok. “Sekarang pengunjung cukup ramai karena anak sekolah masih libur,” kata Amir. Mendapat Rp 50.000 adalah hal yang tak biasa bagi Amir dan yang lain. “Tak dapat sepeser pun kami sering,” tambahnya tersenyum.

    Menanggapi rencana presiden yang akan menjadikan area lumpur sebagai tujuan wisata, Amir dan yang lain tegas menolaknya. Mereka beranggapan, akan terjadi banyak peraturan yang akan diterapkan di sana dan juga banyak uang dari hasil parkir dan sebagainya bakal masuk ke kas daerah atau negara. Mirip tempat wisata memang. Amir dan yang lain hanya memanfaatkan apa yang mereka anggap akan memberi mereka pundi-pundi rupiah. Tapi apa yang diperoleh Amir di sana tak imbang dengan udara beracun yang dihirup tiap hari.

    Para tukang ojek dan Amir adalah contoh rusaknya perekonomian pasca semburan lumpur Lapindo. Mereka tetap bekerja di area berbahaya itu dengan semangat. “Kalau pemerintah menyediakan pekerjaan pengganti, pasti saya meninggalkan pekerjaan ini,” jawab Amir yang telah tiga tahun berjualan DVD. Ia juga tak tahu sampai kapan akan bergelut dengan debu dan udara beracun itu, karena hanya itulah yang bisa ia kerjakan.

    Matahari mulai terlihat memerah di sebelah barat. Mobil-mobil tak lagi menepi untuk parkir. Itu pertanda buat Amir dan yang lain mengakhiri aktifitas hari ini. Sambil berkemas, Amir menikmati batang rokok terakhirnya. Ia telah siap pulang, yang lain juga dan berharap hari linur berikutnya segera tiba. Karena di hari liburlah mereka dapat uang yang pantas untuk dibawa ke anak istri mereka. Mesin sepeda motor telah dihidupkan Amir. “Aku balik disek rek (Aku balik duluan teman),” salam Amir ke rekan-rekan senasibnya.

    Semoga apa yang Amir bawa pulang akan memberi sedikit kebahagiaan bagi istri dan dua anaknya. Besok, kemacetan dan udara beracun masih menunggu Amir dan tukang ojek tanggul lain. Demi sesuap nasi mereka mengorbankan tubuhnya.(fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Ingkar Lagi, Telat Lagi

    Ingkar Lagi, Telat Lagi

     

    Bukan kali ini saja Lapindo mengingkari perjanjian yang disepakatinya di hadapan presiden. Pada bulan-bulan sebelumnya, Lapindo juga sering telat membayar cicilan yang seharusnya dibayar setiap awal bulan kepada korban yang terpaksa menerima skema cicilan.

    Zainal menuturkan, karena pembayaran dicicil, ia juga harus mencicil pembangunan rumahnya. “Kalau pembayaran macet, pembangunan rumah saya juga macet,” keluh ayah dua anak yang masih sekolah itu.

    Muhamad Kudhori (44), korban Lapindo asal Desa Kedungbendo, Porong, juga merasakan hal yang sama dengan Zainal. Pria yang kini menjadi tukang ojek itu merasa kerepotan memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena pendapatannya dari mengojek tidak cukup untuk biaya seluruh keluarga.

    Saat ditemui di pangkalan ojek di Tanggulangin, Kudhori menjelaskan, saat tanda tangan pembayaran berlangsung, Lapindo pernah pesan ke korban untuk tidak demo lagi demi kelancaran pembayaran.

    “Sudah kami lakukan, tapi mereka (Lapindo) tidak mau melakukan kewajibannya,” kata Kudhori.

    Di tengah masalah yang tak kunjung usai, terbesit kabar jika warga akan melakukan demo kembali untuk menuntut hak mereka. “Kami akan demo lagi dalam waktu dekat,” jelas Kudhori.

    Selain ribuan korban lumpur yang mengalami macetnya cicilan pembayaran, ada sekitar 77 berkas korban dari empat desa yaitu Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo dan Siring yang sama sekali belum menerima pembayran 80 persen aset mereka. Warga pemilik 77 berkas tersebut menolak skema cicilan, dan tetap berpegang pada pola tunai (cash and carry)sebagaimana tercantum dalam Perpres 14/2007.

    M. Zainul Arifin, koordinator kelompok ini mengatakan, Pemerintah hendaknya menalangi pembayaran ganti rugi warga yang kurang 77 berkas itu. “Setidaknya pemerintah bisa mengeluarkan dana talangan untuk melunasi warga yang sudah empat tahun ini menderita,” tambahnya.

    Zainul juga mengatakan, warga yang masih bertahan hanya menuntut diterapkannya peraturan yang tertera dalam Perpres 14/2007. “Warga tidak mungkin dicicil karena anggota keluarganya sangat banyak, apalagi Perpres 14/2007 sudah mengatur skema pembayaran 20-80 persen,” kata pria yang kini tinggal di Keludan, Tanggulangin, itu. (fahmi)

    (c) Kanal Newsroom

  • Pusaran Bisnis di Balik Sirtu

    Pusaran Bisnis di Balik Sirtu

    Di siang yang terik itu, beberapa bulldozer dan excavator tampak rajin bergerak. Menimbun, memadatkan dan meratakan sirtu yang tengah menumpuk di tanggul lumpur bagian Ketapang yang telah menjulang setinggi 15 meter. Sebuah rutinitas yang sudah berlangsung selama nyaris empat tahun terakhir di seputaran tanggul lumpur akibat kejahatan korporasi.

    Pada badan bulldozer dan excavator terpampang besar sebuah nama: PT. Adhi Karya. “PT. Adhi Karya merupakan salah satu kontraktor yang bertugas untuk mendirikan tanggul-tanggul lumpur, di samping dua kontraktor lainnya, yakni PT Abhipraya Brantas dan PT Wijaya Karya,” ungkap Ahmad Zulkarnaen, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Ketiga kontraktor tersebut sudah beroperasi cukup lama. Bahkan sebelum BPLS dibentuk. Dan, kami hanya meneruskan pengerjaan tanggul berdasarkan apa yang sudah diwariskan kepada kami oleh Tim Nasional beserta PT Lapindo Brantas.”

    PT Adhi Karya merupakan salah satu BUMN yang di sini diberi peran mengamankan Porong melalui pembangunan infrastruktur. Perusahaan yang merupakan hasil dari nasionalisasi perusahaan Belanda ini, telah beroperasi selama nyaris empat tahun bersama-sama dengan dua BUMN serupa, PT Wijaya Karya dan PT Brantas Abipraya. Jangan tanya urusan lain. Apapun pertanyaannya, BUMN itu hanya akan menjawab “cuma menjalankan tugas”: mendirikan dan meninggikan tanggul.

    Ketiga kontraktor itu pun akan berbangga diri dengan berbagai pengakuan dan penghargaan yang mereka terima. PT Brantas Abipraya, misalnya, menerima sertifikat jaminan mutu ISO 9001:2000 sejak 22 Januari 1998 dari Lloyd’s Register Quality Assurance. Atau, PT Wijaya Karya akan bercerita mengenai beberapa proyek pembangunan mercusuar yang mereka garap. Jembatan Suramadu yang menggelantung di Selat Madura merupakan salah satu garapan PT Wijaya Karya. Demikian pula dengan PT Adhi Karya. Perusahaan ini menerima GCG Award 2007, kategori Perusahaan Terpercaya dengan skor 81,79 dan kategori Perusahaan Publik Terbaik berdasarkan bidang usaha utama dalam sektor properti dan real estate dari The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG).

    Soal tanggung jawab lingkungan, seperti halnya BPLS yang menyerahkan urusan pada kontraktor-kontraktor, ketiga kontraktor itu juga akan melimpahkan ke subkontraktor penyedia sirtu. Untuk pendirian tanggul di atas, ketiga kontraktor ini mendatangkan sirtu yang dipasok dari beberapa konsesi penambangan sirtu di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto. Sampai saat ini, tidak banyak diketahui tentang subkontraktor yang terlibat secara khusus dengan pendirian tanggul selain CV. Wahyu. Banyak perusahaan penambang sirtu berkelit bahwasanya penambangan yang mereka lakukan tidak terkait secara langsung dengan proyek pendirian tanggul.

    “Kami hanya menyediakan sirtu. Mengenai pembelinya, kami tidak tahu-menahu tentang itu. Entah digunakan untuk pengerjaan tanggul lumpur di Porong, atau untuk kepentingan lainnya, kami tidak tahu!” tegas salah pimpinan perusahaan PT Agung Satrya Abadi, salah satu perusahaan penambang sirtu, saat dihubungi Kanal.

    Keberadaan CV. Wahyu sebagai pihak yang menjalin hubungan khusus dengan para kontraktor pembangunan tanggul di Porong meledak menjadi sebuah persoalan sosial yang sangat mengerikan. Dengan berkaca pada kejadian yang terjadi pada awal tahun 2007 di Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Pasuruan, terlihat secara jelas keberpihakan Pemerintah terhadap korporasi penggalian sirtu. Meskipun dengan dalih kemanusiaan, kegiatan pengamanan yang dilakukan oleh TNI AU dalam menjaga konsesi penambangan dari protes warga setempat merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah. Padahal, dalam kasus sirtu di Pandean, penggalian telah melanggar aturan-aturan yang disepakati, bahkan merusak makam yang dikeramatkan oleh warga setempat.

    Sementara itu, di Kecamatan Ngoro, Mojokerto, konsesi penambangan sirtu dipegang oleh PT Karya Mitra Sejati dengan area konsesi seluas 445,135 hektare, meliputi Desa Manduro, Wonosari, Wotanmas Jedong, Kunjorowesi, dan Ngoro. Juga, PT Geolava Manunggal Teknik yang wilayah konsesi penambangannya mencapai 219,52 hektare, meliputi Desa Wotanmas Jedong, Srigading, dan Kutogirang. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Kanal, para pemegang hak konsesi penambangan sirtu ini bertanggung jawab memasok kebutuhan sirtu tanggul-tanggul lumpur di Porong. Terlihat dari truk-truk pengangkut sirtu yang hilir mudik Ngoro-Porong.

    Rantai tanggung jawab terhadap dampak lingkungan mungkin sengaja dibikin rumit, demi menyelubungi rantai rupiah yang bernilai sangat tidak sedikit. Bayangkan, untuk setiap meter kubiknya, merujuk pada harga pasaran, sirtu dihargai Rp 24.800,-. Satu truk sirtu dengan kapasitas yang dipaksakan—22 meter kubik per truk, pada taraf yang ideal adalah 20 meter kubik per truk—harganya mencapai Rp 496.000,-. Belum termasuk di dalamnya, bea driver dan segala macam bea pengangkutan yang meliputi: bea makan, bea bahan bakar dan bea lain-lain. Sehingga jika diakumulasikan, untuk jarak antar 20 kilometer dari area konsesi penggalian sirtu, harganya bisa mencapai Rp 858.100,- per sekali antar berikut sirtunya.

    Jika menilik pada tanggul, dibutuhkan sirtu sebanyak 34.100 meter kubik per harinya. Jumlah yang sedemikian besar setara dengan 1.550 damtruk berkapasitas 22 meter kubik. Bila diakumulasikan hingga hari ini, jumlah sirtu telah mencapai lebih dari 40 juta meter kubik. Dan untuk itu, setidaknya biaya yang harus dikeluarkan lebih dari Rp 900 miliar. Bea ini hanya digunakan untuk pembelian sirtu saja. Belum termasuk dengan bea pangangkutan yang memakan biaya lebih dari Rp 300 miliar. Bila dijumlahkan dengan bea sirtu maka total pembelian sirtu mencapai Rp 1,2 triliun selama empat tahun. Belum termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pekerjaan para kontraktor dalam mendirikan dan memadatkan tanggul.

    Biaya yang sedemikian besar, pada awalnya berdasarkan pada Perpres Nomor 14 Tahun 2007 pasal 15 ayat 5, dibagi dua antara Lapindo Brantas Inc. dan APBN. Dalam hal ini, pembiayaan pada tanggul-tanggul seputar pusat semburan dibiayai oleh Lapindo, dan untuk tanggul-tanggul terluar dibiayai APBN. Namun, semenjak berlakunya Perpres Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007, pembiayaan dibebankan sepenuhnya pada APBN.

    Dengan biaya raksasa tersebut, tidak salah jika tanggul menjadi lahan perputaran uang tersendiri. Bagi pihak-pihak yang terlibat, kontraktor-kontraktor sirtu berikut subkontraktornya, tanggul adalah kegemilangan. Biaya sebesar itu merupakan prospek bagi kelancaran bisnis. Selain karena nilainya yang tinggi, lumpur panas Lapindo, yang tidak bisa diperkirakan hingga kapan berlangsungnya, menjadi sinyal bagi kebutuhan sirtu yang terus menerus dan dalam skala yang besar. Dan ini adalah bisnis, dimana kontinuitas harus tetap dipertahankan bagi kelangsungan usaha para kontraktor dan subkontraktornya.

    Ada yang melihat, ada ‘berkah’ di balik ‘bisnis’ sirtu itu. Berkat sirtu, pendapatan daerah naik. Dalam Keputusan Menteri Sumber Daya Energi dan Mineral Nomor 2498.K/84/MEM/2008 tertanggal 30 Oktober 2008,  jumlah perkiraan penerimaan untuk sektor pertambangan umum untuk Kabupaten Pasuruan pada tahun 2008 sebesar Rp 173.119.000,- yang didapatkan dari landrent sebesar Rp 36.619.000,-  dan pembayaran royalti senilai 136.500.000,-. Dan sebagian besar di antaranya merupakan pendapatan yang diperoleh dari penggalian sirtu. Angka perkiraan ini berkembang drastis bila dibandingkan dengan perkiraan di tahun 2007 yang berjumlah Rp 82.123.550,-.

    Salah seorang sumber dalam Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Pasuruan menyebutkan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perluasan dan penambahan penggalian sirtu, tapi menolak kalau dinilai menambah kerusakan lingkungan. “Memang ada hubungan yang cukup signifikan antara pembangunan tanggul-tanggul lumpur di Porong dengan pembukaan dan perluasan area konsesi penambangan sirtu. Namun, itu semua dilakukan demi kepentingan kemanusiaan di Kabupaten Sidoarjo. Untuk di Pasuruan sendiri, konsesi-konsesi penambangan yang ada telah diteliti dengan bijak oleh ahli-ahli yang ada. Semisalnya, untuk kelayakan tambangnya atau uji AMDAL-nya. Sehingga masalah-masalah lingkungan ataupun kemanusiaan di area konsesi penambangan dapat diminimalisir.”

    Fakta di lapangan berkata lain. Kasus penambangan sirtu di Pandean dan Gempol menjadi bukti tersendiri tentang rendahnya pengawasan pemerintah terhadap perilaku korporasi penambangan sirtu. Pertanyaan kemudian berlanjut, apakah fenomena ini sengaja dibiarkan oleh permerintah atau ada makna lain di balik semua ini? Seperti yang pernah terjadi di Desa Pandean, dimana TNI AU menjaga lokasi penggalian sirtu atas instruksi dari Mabes Kodam V Brawijaya.

    Namun, seorang sumber lain mengatakan, “Hal itu lumrah terjadi demi urusan bisnis. Biasanya korporasi-korporasi tertentu akan bertingkah demikian demi tercapainya keamanan usahanya!” Apa boleh buat, dorongan bisnis agaknya lebih kuat ketimbang penyelamatan lingkungan dan kemanusiaan. (prima)

    Tulisan ini merupakan bagian dari Laporan Khusus ‘Kanal’ dengan topik ‘Tanggul di Sini, Jurang di Sana’

    (c) Kanal News Room

     

  • Di Desaku dan Paspor

    Dahulu di desaku sebelum ada lumpur Lapindo aku tenang-tenang saja. Aku sangat ceria bermain bersama teman-temanku. Aku selalu masuk sekolah. Teman-temanku sekolah sangat banyak tapi semenjak ada lumpur Lapindo semua berubah.

    Aku kehilangan semua teman-temanku aku sangat sedih ditambah lagi rumah dan sekolahku tenggelam lumpur Lapindo semuanya tenggelam lumpur Lapindo aku sangat sedih sekali. Sekarang aku hidup bersama keluargaku di pengungsian pasar baru Porong alias paspor kalau tidur gak enak banyak nyamuknya dan aku gak bisa tidur.

    Aku hidup di situ merasa kekurangan teman. Aku berpisah dengan teman-temanku sekolah. Kalau belajar gak bisa konsentrasi. Meskipun di paspor ramai tapi aku tetap sedih karena itu rumahku satu-satunya, dan aku tidak punya tempat tinggal lagi. Aku sangat ingin sekali punya rumah biar tidurnya bisa nyaman dan tidak ada nyamuknya dan aku bisa belajar dengan tenang sekarang aku sekolahnya nggak enak.

    Aku ingin sekolah di desaku sendiri. Kenapa kok bisa aku menjadi korban lumpur Lapindo dan sampai sekarang rumah ku masih tenggelam. Aku ingin sekali keluar dari pasar baru porong, aku sudah nggak betah tinggal di pasar baru porong, di sini itu gak enak aku ingin sekali punya rumah sendiri, biar aku bisa rajin belajar lagi, dan sekolah yang nyaman, aku sangat merasa kekurangan teman-teman. Di sini teman-temanku sedikit, dulu banyak sekali.

    Semoga nanti kalau aku punya rumah aku bisa ketemu teman-temanku yang dulu dan aku bisa ceria lagi, jangan sampai hal ini terjadi lagi. Ya Tuhan jangan sampai rumahku yang baru nanti tenggelam lumpur Lapindo lagi. Aku berdo’a agar lumpur Lapindo cepat berhenti biar gak ada desa yang tenggelam lagi. Semua jadi senang dan bahagia and aku juga ikut senang. Semoga do’a aku tercapai. Aku tutup dulu ya.

    Nur Ainiyah, siswi SD Renokenongo II

  • Pyarr

    Tanggal 24 Juli 2008 menjadi hari yang sangat penting bagi warga Desa Besuki karena pada tanggal tersebut diadakan rapat di rumah Pak Arip di Besuki Timur Tol. Diadakannya rapat ini untuk membahas masalah langkah ke depan Desa Besuki Timur Tol yang tertinggal karena tidak masuk dalam peta terdampak 2008.

    Tua, Muda, laki-laki, perempuan dan anak kecil campur jadi satu. Sayangnya aku dan ibuku tidak bisa hadir dalam rapat itu karena karena kami beserta beberapa orang lainnya pergi ke pasar baru Porong untuk menyaksikan pemutaran film korban lumpur dari berbagai desa termasuk desaku.

    Kami dijemput beberapa orang dari pasar Porong, seperti tuan putri aja. Pemutaran film dilaksanakan pada malam hari sekitar pukul 07.30 kami dijemput pukul 07.00. bulan bersinar tak begitu terang sehingga kegelapan yang kami rasakan ketika memasuki mobil berpoles coklat muda. Aku, ibu, dan salah satu tetanggaku duduk di bagian tengah, lainnya berada di belakang. Klik… pintu terkunci otomatis. Mobil melaju perlahan melewati tanggul-tanggul yang semakin hari semakin dekat dengan rumahku.

    “Eh… ko’ cendelanya terbuka sendiri?” kata bu sanik yang duduk di sebelahku

    “Lah tadi ibu ngapain?” tanganku sambil memencet kembali tombol yang melekat di pintu.

    “Mobil sekarang canggih ya! Tinggal pencet nutup sendiri!”

    Entah mengapa semua tertawa

    Akhirnya sampai juga di Pasar Porong. Kami berjalan menuju gerombolan orang yang telah datang terlebih dahulu. Beberapa menit kemudian Film diputar. Orang-orang begitu senang melihat wajah mereka terpampang.

    “Lho, iku lo aku!” Celetuk ibu setengah baya yang kegirangan melihat dirinya sendiri

    Lama sudah kami menyaksikan keluh kesah para korban lapindo yang dirangkum dalam film pendek. Gambaran dari Renokenongo dan Permisan telah selesai. Kini, giliran desaku. Sepertinya suasana bertambah ramai ketika pemuratan film desaku. Ibu-ibu dari desaku sedikit berteriak untuk mengungkapkan kegembiraannya melihat rumahnya ikut masuk dalam gambar. Sekita pukul 11.00 acara selesai kami diantar pulang.

    Sesampainya di rumah kondisi jalan begitu sepi, tak seperti biasanya. Semua sudah turun dari mobil. Sebagian ada yang langsung pulang dan sebagian lagi memilih untuk melangkahkan kakinya ke tempat rapat yang belum juga selesai. Aku memilih tidur.

    “Ris, ibu ke Wak Arip dulu, liat rapat kok belum selesai juga.”

    Aku hanya mengangguk sembari melepas kerudung.

    Aku tak bisa tidur dengan tenang, sedikit-sedikit kubuka mata melihat jarum jam yang terus naik. Lama sudah kumenunggu. Akhirnya kuputuskan untuk melihat kondisi luar. Sepi, dingin dan gelap. Hanya itu yang bisa kurasakan. Aku kembali tidur tapi di ruang televisi.

    Beberapa menit kemudian ayah dan ibuku datang. Kubuka mata dan bergabung dengan mereka. Kudengarkan baik-baik kata yang keluar dari ayahku. Ia berkata bahwa rapat itu dihadiri oleh Pak Helmi (anggota DPRD dari frkasi PKS), Pak Syaiful Bakhri (perwakilan besuki timur Tol), Ali Mursyid (Perwakilan besuki Barat Tol) dan seluruh warga Besuki Timur Tol dan Barat Tol yang menempati bekas jalan tol Surabaya–Gempol karena rumah mereka telah tergenangi lumpur akibat jebolnya tanggul penahan lumpur.

    Rapat dibuka oleh Pak Syaiful Bahri. Dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh warga apakah mereka masih ingin wilayahnya masuk Peta atau tidak. Secara serempak mereka menjawab kalau masih ingin wilayahnya masuk Peta terdampak terdampak 2008.

    Salah satu dari mereka ada yang mengajukan pertanyaan ia adalah pak Irsyad yang tak lain ayahku sendiri, ia bertanya, ”Apa alasan Besuki Timur Tol bisa tertinggal dalam pemasukan Peta terdampak tahun 2008? Padahal kan masih satu desa? Dan saya minta dijelaskan karena suara di luar menganggap saya sengaja menolak masuk peta karena pada waktu kawan Besuki Korban Lumpur (BKL) Barat Tol berada di Jakarta tapi di tempat dan maksud yang berbeda. Ayah disana untuk menghadiri koalisi korban lumpur bersama 21 LSM se Jakarta dan Jatim, sedangkan kawan BKL mengajukan untuk masuk Peta.”

    Warga mengetahui bahwa kawan BKL dan pak Irsyad ke Jakarta dengan rombongan berbeda. Tetapi sebelum berangkat ke Jakarta, ada pertemuan di Surabaya tepatnya di Kantor Lembaga bantuan Hukum (LBH), Surabaya yang dihadiri oleh Tim BKL diantaranya Pak Rokhim, Pak Murshid, Mashudi dan Hari. Pak Irsyad (sebagai wakil dari korban lumpur) dan beberapa perwakilan dari desa korban lumpur ada juga LSM dari Surabaya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan dari posko bersama korban lumpur yang bertempat di Gedang.

    Dalam pertemuan itu dibuat perencanaan tentang aksi ke Jakarta dan dari Perencanaan itu disepakati beberapa hal diantaranya:

    1. Pak Rokhim menyetujui hasil musyawarah dan seluruh peserta dalam pertemuan itu mengetahui hal itu.

    2. Pak Rokhim dkk (BKL) tidak bisa berangkat besama karena mereka sudah tanggal keberangkatannya yang berangkat lebih akhir. Ia juga berkata bahwa mereka akan bergabung dengan koalisi korban lumpur ketika sampai di Jakarta.

    Tapi ternyata ketika sampai di Jakarta pak Rokhim dkk tidak bergabung dengan koalisi korban lumpur bersama LSM yang bertempat di Ciputat, Jakarta. Karena tidak bergabung itulah sehingga kelompok BKL menuduh bahwa Pak Irsyad sengaja menolak jika desanya masuk dalam Peta.

    Pertanyaan dari ayahku tadi dijawab oleh Pak Mursyid yang dulunya juga berjuang bersamanya. Tapi karena perbedaan pendapat, mereka tidak bersama lagi. Sebelum menjawab. pak Mursyid meminta izin pada pak Syaiful untuk menjelaskan kejadian sebenarnya di Jakarta. Ia mengatakan bahwa ada 1 orang dari perwakilan Besuki timur tol yang berbicara di forum nasional (Fornasi) yang intinya tidak setuju jika desanya masuk dalam peta terdampak.

    Agar tidak menimbulkan fitnah dan ayah juga sudah capek menjadi kambing hitam yang bertanya siapa nama orang itu. Tapi tetap saja Pak Mursyid tak mau menyebutkan nama yang ia maksud. Karena geram par Irsyad berdiri hendak menghampiri Pak Mursyid seraya berkata dengan keras

    “Sebutkan namanya! “

    Hanya selangkah dari tempatnya ia segera di tarik oleh Pak Kamisan yang tak lain adaah pendukung Pak Mursyid. Ia menyarankan agar mengurungkan niatnya setelah itu rapat menjadi kacau.

    “Huuu …,” teriakan warga semakin membuat suasana bertyambah panas. Ada yang saling dorong antar warga. Kejadian itu tak berlangsung lama karena banyak intel dari Polres Sidoarjo dengan tanggap turun tangan. Setelah suasana kondusif, rapat diteruskan dengan mendengarkan arahan dari Pak Helmi yang intinya :

    “Kita tidak perlu mencari siapa yang salah. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana caranya agar wilayah Besuki Timur Tol dapat masuk dalam peta terdampak tahun 2008”

    Setelah memberi arahan, rapat pun selesai dan ditutup dengan do’a oleh Pak Helmi. Rapat selesai. Semua membubarkan diri . tapi ketika ayahku kelur dari ruangan terdengar suara orang-orang

    “Wes, patenono ae arek iku! Sudah bunuh orang itu,”

    Yang lain bilang, “kuburen orep-orep wong iku (kubur hidup-hidup orang itu).”

    Ada pula yang menyarankan agar ayah menjaga diriya baik-baik, soalnya banyak banyak yang tidak suka sama dia.

    Warga mulai membentuk kelompok masing-masing untuk membahas kembali malah rapat. Ayahku tak langsung pulang, tapi ia menuju rumah Pakde. Di sana sudah banyak keluarga dan kawan-kawan yang sudah berkumpul. Sesampainya di sana, banyak yang menanyakan kejadian sebenarnya di Jakarta. Ayahpun menjelaskan kronologinya. Mulai dari keberangkatan dan aktifitas selama di Jakarta hingga pulang.

    Ayahku pulang terlebih dahulu dari tim BKL setelah mendengarkan dengan seksama. Mereka juga menyalahkan sikap Pak Mursyid yang terlalu berani berbicara tanpa fakta.

    Setelah lama mendengarkan ayah bercerta, aku pun tidur. Tapi satu hal yang tak mereka ketahui bahwa ayah membawa alat perekam yang ia kalungkan. Semua isi rapat tersimpan rapi. Ia juga mendengarkan hasil rapat tersebut pada keluarga dan kawan-kawannya.

    Bsru kali ini aku merasa bahwa keluargaku perlu berhati-hati dan tetap waspada. Tapi ayah tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Hari berikutnya ketika matahari akan terlelap Handphone ayahku berbunyi setelah menerima telepon itu, Ibu, Adik dan nenekku berpamitan akan pergi ke Bali karena ada urusan. Ibu, adik dan nenekku telah berangkat kini tinggal aku dan ayah yang berada dalam ruangan ini. Aku semakin takut jika sesuatu terjadi padaku, ayahku, dan ruimahku, aku takut jika rumahku dibakar, aku takut jika ayahku dibunuh.

    Aku jadi kerepotan mengurus segala sesuatu. Menyapu, memasak semua menjadi tanggungjawabku, aduh. Ibu cepetan pulang donk! Semua kekhawatiranku tidak terbukti. Hari-hari setelah rapat tak ada yang terjadi. Ucapan warga yang ingin membunuh dan mengubur hidup-hidup ayahku tak terbukti. Itu hanyalah bualan kupikir mereka hanya ingin menakuti keluargaku. Aku pun tenang

    Tepat satu minggu setelah rapat……

    Pyarrrr………..

    Ya….. kaca rumahku pecah tepat pada tanggal 30 Juli 2008.’ Aku masih terbawa oleh mimpi indah yang diberikan sang Khalik. Ayahku jug tertidur di ruag tengah dengan televisi yang masih menyala.

    Ketika kaca pecah, aku dan ayah tak segera bangun. Memang aku mendengar sesuatu pecah. Tapi aku berfikir kalau itu adlah toples pecah. Aku kembali tidur. Mataku serasa ada membuka dengan paksa. Aku terpaksa bangun dan membuka pintu kamar meski mata masih terasa perih dan masih ingin memeluk bantal

    “ Yah, ada apa ini”

    Itulah hal pertama yang kukatakan ketika melihat serpihan kaca yang berserakan hingga ke ruang tengah, perih dimataku seketika hilang. Ayah membuka tirai penghalang ruang tengah dengan ruang tamu.’ Aku mengikutinya dari belakang aku takut! Takut sekali! Takut jika ancaman warga menjadi kenyataan aku segera berbalik menuju dapur.

    “Alhamdulillah!” Ucapku ketika melihat kondisi dapur yang baik-baik aja. Aku menyusul ayah ke ruang tamu. Kulihat serpihan kaca yang memenuhi lantai. Batu yang seukuran kepala bayi tak luput dari pandanganku.

    “ Jangan!” Teriak ayah yang melihatku ingin mengambil batu tersebut aku segera menarik lenganku.

    “kenapa yah!”

    “Biarkan batu itu ditempatnya. Nanti ayah akan ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Biarkan semua pada tempatnya. Biar polisi tahu bagaimana kondisi sebenarnya”

    Aku hanya mengangguk. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 03.05 pagi. Mungkin tepat pukul 3 pagi kaca rumahku dihantam. Ayah baru sadar kalau rumahnya di lempar batu oleh seseorang. Ia melihat kondisi sekitar yang begitu sepi. Aku masih diam di tempat.

    Daris Ilma, Pemudi Desa Besuki-Jabon, Sidoarjo

  • Perjuangan Paguyuban Pasar Baru Porong di Jakarta

    Pada 13 Juni 2007 aku diajak, ketua Peguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo untuk memperjuangkan pengungsi di Pasar Baru, Porong, ke jakarta. Pusat kegiatannya di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Aku pikir berada di Ibukota itu sangat menyenangkan, tapi tidak ternyata di sana orangnya begitu sombong dan bisanya merendahkan orang yang tidak mampu termasuk kami.

    Beberapa lama kemudian seorang wartawan mendatangi kelompok kami. Dia bertanya, “untuk apa bambu runcing yang berada di pengungsian Pasar Baru, Porong itu?” “Apakah untuk perang?” Tanya wartawan tersebut sambil merendakan. Lalu kami menjawab “bambu runcing itu untuk semangat juang para korban lumpur panas Lapindo.”

    Beberapa lama kemudian aku juga berfikir bahwa bukan kita aja yang direndahkan tapi anak pinggiran-pinggiran yang di Jakarta juga begitu tidak ada yang merasa iba ataupun terharu dengan kondisi kami.

    Pada waktu itu juga ada lomba melukis untuk memberikan semangat, sore hari kami pulang ke penginapan (di rumah seseorang) begitu capeknya kami, sehabis mandi kami menulis dan melukis sepanduk untuk dibuat pawai besoknya. Pada malam hari kami bertengkar dengan salah satu kelompok kami dari perwakilan Kedungbendo.

    Pagi pun tiba, kami kesiangan untuk pergi ke Tugu Proklamasi manuju ke Monas. Kami terlambat begitu pawai dimulai kami merasa senang bahwa ada sedikit warga yang mendukung kami, dan kami mulai semangat lagi, kami begitu lelah. Sore hari kami kembali ke Tugu Proklamasi di sana begitu ramai dan banyak pameran-pameran lalu kami kembali pulang ke penginapan untuk mempersiapkan barang-barang buat kembali ke pengungsian Pasar Baru, Porong; tiket kereta api pun habis tidak ada yang tersisa untuk kami, lalu kami menyewa travel untuk pulang.

    Pada saat sampai di pengungsian aku merasa senang karena disambut orang-orang banyak dan ini disebut sebagai pengalaman yang mebuat kita tahu bagaimana merasakan orang-orang begitu semangat untuk menghadapi hidup.

    Dian Utami, siswi SMPN 3 Porong

  • Sandyawan: Pemerintah Tidak Peduli Penderitaan Anak Korban Lapindo

    Sandyawan: Pemerintah Tidak Peduli Penderitaan Anak Korban Lapindo

    SIDOARJO – Festival Budaya Anak Pinggiran Jawa Timur 2009 secara resmi dibuka hari ini, sekitar pukul 09.00, di Gelora Olahraga Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam kesempatan ini, pegiat hak-hak anak I Sandyawan Sumardi menyatakan, Pemerintah sama sekali tidak mempedulikan nasib dan penderitaan anak-anak korban lumpur Lapindo.

    Festival yang mengambil topik “Solidaritas Perjuangan Anak Pinggiran: Mengais Dunia yang Hilang” ini diikuti sekitar 750 peserta dari berbagi komunitas anak di Jawa Timur. Anak-anak se-Jawa Timur itu hendak menunjukkan solidaritas mereka bagi anak korban lumpur Lapindo.

    Romo Sandy, sapaan akrab I Sandyawan Sumardi, membuka acara ini dengan menerbangkan burung, sebagai simbol kebebasan anak-anak. Festival ini mengundang Ibu Ani Yudhoyono, Gubernur Jatim Sukarwo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, tapi tak satu pun dari mereka hadir. “Ini bentuk ketidakpedulian pemerintah da pejabat terhadap penderitaan anak-anak korban lumpur Lapindo,” tandas Romo Sandy. “Anak-anak korban Lapindo menderita selama bertahun-tahun. Tidak diperhatikan negara,” imbuhnya.

    Festival ini akan diselengarakan selama tiga hari mulai 18-20 Desember 2009. Selain menampilkan anak-anak korban Lapindo sendiri, pagelaran ini juga diramaikan oleh aksi anak-anak pinggiran dari Malang, Lumajang, Jombang, Probolinggo, Surabaya, Mojokerto, Tulungagung, dan berbagai daerah lain di Jawa Timur. Mereka menampilkan teater, tari, musik, dan berbagai pameran karya anak korban Lapindo.

    vik © korbanlumpur.info 

  • Dari Fahmi untuk Calon Presiden RI

    Dari Fahmi untuk Calon Presiden RI

    Yth. Bapak/ Ibu
    Capres-Cawapres
    Republik Indonesia

    Dengan hormat,

    Saya Fahmi dari Desa Jatirejo Kecamatan Porong, Sidoarjo, yang sudah tiga tahun ini rumah, kenangan dan cita-cita saya dan pemuda-pemuda lainnya ditenggelamkan oleh Lapindo. Sebelum ada Lapindo, kehidupan kami sangat berkecukupan dari bertani, berdagang dan lain-lain. Orang tua saya bersosialisasi dengan tetangga, saya juga bisa berkumpul dengan teman sebaya saya. Banyak sekali kenangan indah saya di Desa Jatirejo yang pasti tidak bisa saya ulangi di rumah kontrakan saya sekarang.

    29 Mei 2006 lalu Sumur Banjar Panji 1 Jebol dan mengeluarkan isi perut bumi yang berupa lumpur panas. Di saat itu pula kehidupan saya dan warga sedikit demi sedikit terusik dari ketenangan. Alat-alat berat pun mulai masuk desa kami untuk membuat tanggul yang kira-kira 15 meter tingginya. Tanggul pun jebol dan langsung menenggelamkan semuanya. Dan kondisi Porong pun dan warganya menjadi kacau. Lingkungan kotor, air kotor, udara kotor, jalanan rusak, desa sekitar tanggul tidak layak huni, kondisi mental warga terganggu, ganti rugi tidak berjalan sesuai Perpres, dll. yang tidak mungkin bisa saya sebut satu per satu, yang intinya adalah warga diusir paksa dari tanah leluhurnya yang mereka tempati puluhan tahun, tanpa kejelasan nasib.

    Harapan saya kepada Bapak/ Ibu Capres-Cawapres adalah jika terpilih nanti lihatlah wargamu di Porong yang sudah 3 tahun ini terusik kehidupannya. Selesaikan masalah ini secepatnya, kembalikan kehidupan warga seperti dulu. Saya mohon dengan sangat…

    Porong, 26 Mei 2009

    Fahmi
    (20 tahun)
    Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo

  • Dari Brayen Gapeyor Untuk Calon Presiden RI

    Dari Brayen Gapeyor Untuk Calon Presiden RI

    Kepada Yth.
    Bapak/Ibu Calon Persiden 2009
    di Tempat

    Dengan izin Yang Maha Kuasa saya pemuda korban dampak luapan lumpur bisa menulis seuntai kata yang menjadi masalah yang mengumpal di hati saya, kini waktunya saya harus mencurahkannya pada acara pengiriman 1.000 surat kepada Bapak/Ibu calon Presiden 2009.

    Derita yang harus saya jalani kini tambah sangat menyakitkan, dampak dengan adanya luapan lumpur Lapindo:

    • Tanah yang dulunya buat bercocok tanam/pertanian kini harus kita tinggalkan karena sudah tidak layak lagi kita buat pertanian.
    • Air dulunya sangat jernih bisa dibuat masak dan dibuat kebutuhan sehari-hari, kini air itu sudah gak layak pakai lagi.
    • Udara yang sebelum adanya luapan lumpur Lapindo sangat segar dan sejuk kini setelah adanya luapan lumpur Lapindo udara bisa mengakibatkan penyakit sesak nafas dan batuk-batuk.

    Harapan saya kepada Bapak/Ibu calon Presiden yang melihat keadaan yang diderita korban luapan lumpur Lapindo dan menindak lanjuti masalah yang sudah lama dianggap sebelah mata.

    Hormat saya,

    Brayen Gapeyor
    (17 Tahun)
    Desa Permisan, Kecamatan Jabon, Sidoarjo

     

  • Dari Astrid Karindra untuk Calon Presiden RI

    Dari Astrid Karindra untuk Calon Presiden RI

    Kepada Yth.
    Calon Presiden RI

    Dengan hormat

    Bersama surat ini saya bernama Astrid mengeluarkan secuil curahan hati yang selama ini saya pendam yaitu mengenai:

    1. Fasilitas jalan antara Porong-Sidoarjo-Surabaya yang kerap kali macet sehingga sangat menyita waktu dan tenaga selain itu juga karena pengaruh cuaca. Bila musim kemarau suhu udara naik sehingga menimbulkan polusi dan debu. Bila musim hujan terdapat lubang- lubang sekitar jalan raya yang membahayakan pengendara dan dapat mereggut nyawa orang lain.
    2. Kekhawatiran disebabkan oleh lumpur yang semakin hari semakin membesar, keprofesionalnya tenaga kerja tanggul Porong akan runtuh sedikit demi sedikit, selain itu juga karena cuaca yang tidak menentu yang akan menyebabkan perluasan daerah lumpur.
    3. Ekonomi, tempat tinggal, serta pekerjaan. Hal ini pasti dibicarakan dan dirasakan oleh orang lain, tetapi para korban lumpur termasuk saya mengalami masalah ekonomi yang cukup hebat, sehingga meningkatkan pengangguran, selain itu banyak orang yang memilih jalan singkat atau melakukan tindak kejahatan yang sudah pasti merugikan. Hal ini di karenakan usaha yang terbengkalai, krisis ekonomi dunia mengakibatkan harga sembako yang semakin hari semakin meningkat. Sedangkan tentang tempat tinggal rata-rata para korban lumpur hanya memiliki rumah saja dan sanak saudaranya bertempat tinggal jauh. Jadi mereka lebih memilih bertempat tinggal sementara di penampungan. Tetapi di penampungan jaminan kesehatan, kebersihan, dan fasilitas sangat kurang sehingga sangat meresahkan.
    4. Kesehatan. Hal ini sangat penting dibicarakan mengingat adanya krisis ekonomi global banyak warga korban lumpur yang sakit karena stress, selain itu juga karena udara yang tercemar karena runtuhan tol, bahan dari tanggul yang berterbangan di udara dan mesin-mesin berat.

    Jujur saya sebagai korban lumpur, saya merasa sangat dirugikan, sedih dan miris melihat para korban lumpur yang terbengkalai tetapi mereka menghadapi masalahnya dengan semangat dan tujuan yang kuat serta senyuman.

    Demikian curahan hati yang sudah lama mengganjal di hati. atas perhatiannya

    Hormat saya

    Astrid K.A
    Asal Perumtas I, Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo

    Puisi Astrid
    Jangan Sakiti Kotaku Lagi

    Sendiri dihempas keheningan
    Terdiam renungi kisah hidup
    Berjalan tiada tujuan
    Berharap hari cerah kan datang

    Terjebak dalam dentingan waktu
    Terhanyut dalam emosi jiwa
    Gelap mengusik hatiku
    Menggoncang pikiranku

    Oh Tuhan…
    Jangan kau biarkan
    Negriku direnggut
    Negriku dihempas
    Tinggal puing-puing abadi

    Tuhan…
    Jangan kau biarkan
    Kami menatap asa tanpa batas
    Hanya mengharap pertolongan-Mu
    Hanya meminta wp-contentu kan
    KEMBALI…

     

  • Dari Edi Purwanto untuk Calon Presiden RI

    Dari Edi Purwanto untuk Calon Presiden RI

    Kepada Yth.
    Bapak Calon Presiden

    Dengan hormat,

    Salam Bapak Calon Presiden
    Nama saya Edi Purwanto. Saya sekolah di Mts Al-Hikmah Kali Dawir. Bapak saya pekerjaannya petani. Tapi sekarang bapak saya membuat kolam lele. Tapi belum ada hasilnya. Lelenya banyak yang mati karena terkena air lumpur. Bermacam-macam cara sudah dilakukan. Tolong Bapak calon presiden, gimana caranya air lumpur tidak bisa meresap di kolam bapak saya.

    Tolong Bapak calon presiden, kasianilah bapak saya. Dia banyak mengeluarkan banyak uang. Tolong bapak calon presiden.

    Dengan hormat,

    Edi Purwanto
    Desa Sentul RT 02 RW 01, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo
    Mts Al-Hikmah Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo

  • Dari Icha Noviyanti untuk Calon Presiden RI

    Dari Icha Noviyanti untuk Calon Presiden RI

    Porong, 24 Mei 2009

    Kepada
    Yth Calon Presiden RI
    di tempat

    Salam Calon Presiden,

    Nama saya Icha Noviyanti. Saya kelas VI SD, saya bersekolah di SDN Reno Kenongo I yang sekarang pindah di SDN Glagaharum.

    Keadaan sekolah saya sangat memprihatinkan. Karena sekolah saya tenggelam Lumpur, jadi saya harus bersekolah mengontrak atau menampung. Dan saya juga harus masuk siang.

    Saya ingin bapak calon persiden kalau sudah menjadi persiden, bapak bisa melihat keadaan sekolah saya. Seandainya bapak bisa ke tempat saya, bapak akan saya ajak berkeliling untuk melihat rumah saya yang tenggelam, sekolah saya yang tenggelam, dan tempat bermain saya yang tenggelam juga.

    Seandainya Bapak/Ibu terpilih menjadi persiden, besar harapan saya persiden terpilih nantiknya, bisa merubah kehidupan kami semua menjadi baik.

    Terima kasih, semoga persiden terpilih nanti bisa lebih melihat rakyat bawah.

    Salam
    Icha Noviyanti

     

  • Dari Ermawati untuk Calon Presiden RI

    Dari Ermawati untuk Calon Presiden RI

    Porong 22, Mei 2009

    Kepada
    Yth Bapak Capres
    di tempat

    Assalamualaikum Wr. Wb

    Yang terhormat bapak Capres. Saya salah satu anak warga korban Lumpur Lapindo yang selama ini hidup di pengungsian Pasar Baru Porong. Saya ingin sekali mendapatkan pimpinan bangsa Negara ini dipimpin seorang yang bijaksana, jujur dan tulus dalam melakukan segala hal. Apalagi soal pendidikan, pendidikan di Negaraku ini sangat tertinggal, maka dari itu saya minta agar diberikan tempat pendidikan yang layak, dan anak-anak yang belum sekolah agar mendapatkan bimbingan sekolah atau diberikan sekolah gratis untuk orang yang tak mampu.

    Bapak juga tak tahu kan bagaimana keadaan saya dan warga yang terkena bencana Lumpur Lapindo yang lain? Kita semua di sini sangat menderita, kami tidur beralasan lantai, siang dan malam kita rasakan tanpa adanya rumah. Kami mandi harus antri padahal waktu terus berjalan, itu pun sering membuat anak yang sekolah sering telat dan itu pun menghambat jalannya belajar kita semua.

    Jika saja kita semua memiliki pemimpin yang baik dan berhati mulia pasti semua ini tidak akan terjadi. Dan kita semua sangat-sangat berharap dengan adanya capres yang baru hidup kita semua bisa berubah lebih baik dan tak ada lagi anak jalanan yang tinggal di bawah jembatan, karena mereka juga berhak untuk hidup layak.

    Sekian dulu surat saya. Jika ada yang tidak berkenan di hati Bapak, saya mohon maaf sebesar-besarnya, dan mungkin dengan adanya surat saya ini hati Anda terbuka dan memberikan yang terbaik untuk rakyat.

    Wassalamualaikum Wr. Wb.

    Ermawati (15 tahun)
    Desa Renokenongo, kini tinggal di Dusun Kedungkambil
    SMPN 2 Porong

     

  • Merebut Kembali Hak atas Informasi Korban Lumpur Lapindo

    Begitu bergerak menuju pusat suara, pagi sekira pukul 08.00 itu, Astuti menyaksikan kamar yang biasa ia tinggali bersama suaminya, Sulkan, telah runtuh. Tinggal puing-puing.  Amblesan tanah (land subsidence) sebagai dampak lumpur yang terus meluap dari dalam tanah telah mengakibatkan ambruknya rumah Astuti.

    Meski tidak siap atas peristiwa ini, Astuti selamat, persis karena keberuntungan. Ya, keberuntungan. Sebab, bagaimana mungkin siap jika pejabat pemerintahan tak menyediakan sistem peringatan dini, early warning system (EWS), di kawasan berisiko ini? Jika warga tidak diberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang kondisi bahaya di sekitar rumah mereka, bahkan di dalam rumah mereka? (more…)

  • Tanah Dongkel Menyisakan Masalah

    Pembelian sawah dongkel di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, masih menyisakan persoalan di warga. Pasalnya, dari 93 petak tanah hanya 41 petak yang akan dibeli oleh Pemerintah. Keseluruhan tanahnya seluas 5 hektar dan hanya 2 hektar lebih sedikit yang dibeli oleh Pemerintah.

    Desa Besuki adalah salah satu desa korban Lapindo yang mendapat ganti rugi dari APBN. Meski semua Desa Besuki terkena lumpur, tapi hanya sebagian desa yang mendapatkan ganti rugi.

    Sawah dongkel ini adalah salah satu contohnya. Sama-sama terkena lumpur dan kini tidak produktif namun tidak semua masuk peta dan dibeli oleh Pemerintah. Hanya yang Barat jalan tol yang dibeli, sementara yang di sebelah timur tol dibiarkan saja menjadi tanah mati. Sebenarnya tidak hanya sawah dongkel saja yang terkena lumpur di Besuki. Ada tiga persawahan lain yang juga kena lumpur, yakni; sawah Kepuh Barat, Kepuh Timur dan Gempol.

    Pembedaan ini, menurut seorang warga Besuki Adib Rosadi, terjadi karena pemerintah tidak melibatkan warga dalam penentuan daerah yang masuk peta. “Kalau kami dilibatkan kami akan minta semua tanah dongkel dibeli,” kata Adib. Adip tak habis fikir kenapa pemerintah membedakan tanah yang sama-sama kena lumpur dan kini sama-sama tidak bisa berfungsi tersebut. [mam]

  • Warga Tanggapi Dingin Sesumbar Karsa

    Janji pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) ditanggapi dingin warga korban.

    Syaifullah mengatakan di Surabaya, Kamis lalu (30/1), dalam seratus hari, pemerintahannya akan memperketat tiga program: perbaikan jalan rusak, penataan pedangan kaki lima, dan penuntasan kasus Lapindo. Warga korban di luar peta terdampak akan diberi ganti rugi, kata Syaifullah.

    Warga korban sendiri tak terlalu antusias menanggapi pernyataan Gus Ipul itu. “Ya, setengah percaya, ya, setengah tidak,” ujar Jarot Suseno, koordinator warga Siring Barat, Sabtu (1/2). Siring Barat termasuk wilayah terdampak di luar peta versi Perpres 14/2007 maupun versi Perpres 48/2008. Sudah sejak April 2008, desa ini dan dua desa lainnya, Jatirejo Barat dan Mindi, direkomendasikan Gubernur Jawa Timur untuk ditangani segera karena dinilai tidak layak huni. Namun, sampai hari ini, tidak ada penanganan konkrit. Padahal, kondisi Siring Barat semakin parah.

    “Sudah sekitar 70 persen rumah warga rusak,” tutur Jarot. Siring Barat dihuni sekitar 319 keluarga yang menempati 250 rumah. Sekitar 175 rumah mengalami berbagai kerusakan, mulai retak-retak akibat amblesan tanah (land subsidence), munculnya gas liar berbahaya (bubble gas), hingga air yang tercemari logam berat. Bahkan, pada 5 Januari lalu, akibat amblesan tanah, salah satu rumah warga roboh.

    Pemerintah sudah menjanjikan alokasi 82 miliar untuk penanganan Siring Barat dan tiga desa lainnya: Jatirejo Barat, Mindi dan Besuki Barat. “Tapi sampai sekarang, belum ada realisasi apa-apa,” tambah Jarot. Lebih parah lagi, suplai air bersih justru dihentikan. “Sudah dua minggu lebih, kami tidak memperoleh pasokan air bersih,” ujar Jarot, lagi. Berbagai janji tak berwujud itu mungkin yang membuat warga menanggapi datar-datar saja sesumbar Karsa menuntaskan kasus Lapindo dalam seratus hari, meski masih berharap. “Semoga saja kali ini beneran,” imbuh Jarot.[ba]

  • Budaya Hilang, Kehidupan Korban Muram

    Kehidupan sosial budaya korban Lapindo remuk sudah, lahir dan batin. Ikatan kekerabatan hancur, yang berakibat semakin rentannya kehidupan sehari-hari. Begitu pula, tradisi dan budaya tak bisa lagi dijalankan, yang lalu berefek hilangnya kekuatan batin, lenyapnya ingatan bersama, yang telah lama menjadi daya tahan ampuh dalam menghadapi kerasnya hidup.

    Tanyalah Mbok Lina, dia akan tahu bagaimana hidupnya berubah begitu kekerabatan dan kehidupan komunal itu lenyap. Sore itu, di pengungsian Pasar Porong Baru, Mbok Lina (65), sedang membersihkan kulit buluh bambu, sendiri. “Buat gedek, mau bikin gubuk nanti kalau sudah pindah,” ujarnya. Bersama sekitar 500 keluarga dari Desa Renokenongo, Mbok Lina nanti akan pindah kalau sudah memperoleh uang ganti rugi. Dia menyiapkan sendiri bambu-bambu itu.

    Dulu, sewaktu di Dusun Sengon, Desa Renokenongo, Mbok Lina merasa berbagai persoalan hidup lebih ringan, karena ada kebersamaan, saling membantu. Mbok Lina hidup juga dari adanya solidaritas yang terbangun puluhan tahun ini. Dia mengerjakan sawah milik tetangga. “Dulu iso nggarap sawah Haji Sarim, Haji Daelan, Haji Karyo. Tak kurang haji-haji di Sengon punya sawah yang bisa digarap,” kenang Mbok Lina.

    Mbok Lina dulu bisa mengerjakan banyak hal di sawah tetangga-tetangga itu. “Ya tanam, membersihkan rumput dari padi, juga panen.” Dari kampung Mbok Lina, sedikitnya ada enam orang yang turut bekerja di sawah bersamanya.

    Kini semua lenyap. Beberapa nama orang yang dulu sering memberi bantuan pekerjaan, diceritakannya meninggal beberapa waktu setelah lumpur meleduk. “Sakit-sakitan memikirkan (krisis) Lapindo ini,” kata Mbok Lina. Kalaupun tidak, mereka ini juga sudah tidak lagi mampu membeli sawah karena belum selesai pembayaran ganti rugi kepada mereka. Mbok Lina menyebut salah seorang ahli waris yang sudah membeli sawah di kawasan Tulangan, Sidoarjo.

    Toh, Mbok Lina tidak bisa ikut membantu mengerjakan sawah di sana. “Nggak begitu kenal sama anaknya,” begitu alasan Mbok Lina. Tentu saja memang tidak mudah membentuk lagi kebersamaan warga seperti dulu. Perasaan saling kenal dan tepo seliro bukan hal yang bisa muncul begitu saja dalam semalam.

    Sekarang, Mbok Lina hanya menggantungkan hidup dari pemberian lima orang anaknya: Buarin, Mulyono, Roibah, Sriasih, dan Narto. Tapi anak-anaknya telah hidup sendiri-sendiri. Praktis, Mbok Lina hanya tinggal hidup berdua dengan suaminya Senawan (70) yang telah sakit-sakitan. “Sejak pindah ke pasar (pengungsian), dia sakit, kepikiran rumahnya yeng tenggelam.”

    Untuk pembiayaan suaminya, Mbok Lina sudah mengeluarkan biaya tidak kurang dari dua juta rupiah, jumlah uang yang tidak sedikit bagi seorang tua yang telah kehilangan rumah dan tidak punya penghasilan itu. Dari anak-anaknya, Mbok Lina mengaku diberi uang seminggu sekali rata-rata sekitar 30 ribu rupiah. “Itu pun kalau sudah dapat gaji.” Dengan uang sebesar itu, Mbok Lina dan suaminya harus menyiasati menyambung hidupnya.

    Bila nanti benar-benar harus keluar dari Pasar Porong Baru dan memulai hidup dengan uang kompensasi seadanya, Mbok Lina tidak tahu apakah di tempatnya yang baru bisa kembali bekerja di sawah. Dia jelas tidak tahu karakteristik orang-orang di tempatnya yang baru nanti. Menurut rencana, komunitas warga Renokenongo ini akan pindah ke wilayah Desa Tambakrejo, Kecamatan Krembung, sebuah daerah di sebelah barat Kecamatan Porong di sisi utara aliran Kali Porong. “Yo embuh, semoga tetangga-tetangga nanti di sana pengertian, tepo seliro,” ujar Mbok Lina, lirih.

    Jika Mbok Lina merasakan betul kehidupan lahirnya berantakan lantaran ikatan komunitas telah dihancurkan Lapindo, Nawawi tahu rasanya kehidupan batin terkoyak. Nawawi bin Zaenal Mansur (45) kini tak bisa lagi nyekar di makam orang tua seperti dulu. Di hari menjelang puasa yang sumuk itu, Nawawi bersama anak dan istrinya duduk di atas pepuingan. Ia khusyuk berdoa. Matanya menerawang ke arah sebuah kuburan umum Dusun Renokenongo. Cuma terlihat pucuk kamboja yang mengering. Kuburan itu telah lenyap.

    Doa khusus dia tujukan pada Zaenal Mansur, sang ayah, seorang pejuang kemerdekaan. Kali ini dia tak membawa bunga dan tak bisa menaburnya di atas kubur sang ayah. Tahun lalu, dia masih bisa ke kuburan bapaknya karena air asin dan lumpur mengering. Ketika itu dia lihat bendera merah putih dari seng di atas kuburan sudah mulai peot.

    Menjelang puasa tahun ini, Nawawi tak lagi bisa nyekar. Nawawi tak habis pikir dengan Lapindo dan pemerintah yang lamban menangani soal lumpur Lapindo ini. Sudah dua tahun ini dia hidup berpindah-pindah.

    Tak hanya kuburan Dusun Renokenongo yang tenggelam. Kuburan Dusun Sengon, masih dalam Desa Renokenongo, juga terendam di tengah lumpur di dalam tanggul Lapindo. Penduduknya tak bisa lagi nyekar di kubur keluarga mereka. Mereka hanya mendoakan dari atas tanggul menghadap kuburan yang juga ditandai gerumbul kamboja yang mengering.

    Muhammad Yunus (40 tahun) adalah salah satu warga Sengon yang keluarganya dimakamkan di kuburan umum Dusun Sengon. Sore itu Yunus tak bisa nyekar dan hanya mendoakan arwah keluarga dari atas tanggul. Dia menangis melihat kubur orang-orang yang dicintainya tenggelam oleh lumpur.

    Soal kuburan yang tenggelam, menurut Yunus, tak ada bahasan ganti rugi sama sekali. Penduduk sudah pusing memikirkan tuntutan dasar mereka yang tak jelas kapan dilunasi. Yunus ingin kuburan yang sudah tenggelam ini dipindahkan ke tempat lain supaya dia bisa berziarah. “Warga sebenarnya ingin makam dipindah, kersane saget ziarah, supaya bisa ziarah.”

    Soal kuburan ini tak hanya soal ziarah dan tradisi yang hilang. Namun juga soal bagaimana kalau warga dari kampung-kampung yang tenggelam ini mati. Pertanyaannya, mau dimakamkan di mana mereka kalau meninggal? Untuk warga Renokenongo yang kembali ke desa karena kontrakannya habis dan mati mereka akan dikuburkan di makam tetangga desa mereka, Glagaharum.

    Selama dua tahun pasca luapan lumpur, sudah 30 orang warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong yang meninggal. Mereka nebeng makam di Desa Juwet Kenongo.

    “Mereka dikumpulkan di pojok, tak boleh milih tempat sembarangan,” tutur Nizar warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar Porong Baru.

    Selain dua kuburan di Desa Renokenongo, kuburan-kuburan di Desa Siring, Kedungbendo, Mindi, Jatirejo Timur, Jatianom juga ditenggelamkan lumpur Lapindo. Jelang Ramadlan warga Mindi melakukan aksi nyekar di tanggul dan mendoakan leluhur mereka di sana.

    “Di Jatirejo ada dua kuburan satu di Jatirejo Timur dan Barat. Yang di Jatirejo Timur sudah tenggelam dan yang di Barat masih,” tutur Ahmad Novik (29 tahun) warga Jatirejo.

    Sementara penduduk Besuki yang setengah kampungnya ditenggelamkan lumpur masih beruntung karena kuburan mereka masih bisa digunakan. Dulu sempat tergenang lumpur tapi kini sudah kering. Meski kuburan itu dilapisi lumpur namun penduduk masih bisa menggunakannya. Sore sehari menjelang Ramadlan, penduduk Besuki memadati kuburan berlumpur itu untuk menjalankan tradisi nyekar dan mendoakan arwah keluarga mereka.

    Suroso adalah salah satu warga Besuki yang nyekar sore itu. Tak hanya menjelang Ramadlan, biasanya, Suroso ziarah ke makam orang tuanya setiap malam Jumat.

    “Ini sudah menjadi adat kebiasaan yang diharuskan menjelang puasa dan Idul Fitri,” tutur Suroso. Dan berapa besar kerugian atas hilangnya tradisi ini? Lapindo tak bicara. Pemerintah pun bungkam. [ba/re/mam]