Category: Kanal Korban

  • Non Sertifikat Bisa Akta Jual Beli

    korbanlumpur.info – Keraguan warga terkait apakah tanah Pethok D, Letter C, SK Gogol maupun yasan (non sertifikat) bisa di-Akta-Jual-Beli-kan atau tidak, terjawab di Pendopo Kabupaten Sidoarjo kemarin. Pihak Badan Pertanahan Nasional yang dimintai konfirmasi Bupati Sidoarjo tentang masalah ini menjelaskan bahwa telah ada surat petunjuk pelaksanaan dari BPN Pusat, yang menyatakan bahwa semua tanah warga baik yang bersertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol dan Yasan, bisa di-AJB-kan.

    Dalam pertemuan antara perwakilan korban lumpur dengan Bupati, BPLS dan BPN Sidoarjo tersebut, Bupati memfasilitasi permintaan kelompok Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 (GEPPRES) akan kejelasan dari pihak BPN dan BPLS terkait dengan status tanah non sertifikat tersebut. Sebab, di luar beredar kabar yang menyebutkan bahwa tanah non sertifikat tidak bisa di AJB-kan, sehingga warga terpaksa mengikuti skema cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya.

    Suwito, Wakil Ketua GEPPRES dari Desa Jatirejo mengungkapkan semua dasar hukum dan komitmen telah dilanggar selama ini. Dia mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan Geppres bukan untuk menentang pemerintah, namun untuk menegakkan peraturan yang telah ada. Ibu Mahmudah dari Desa Renokenongo juga menambahkan bahwa warga mayoritas menginginkan dibayar cash and carry, dan dia juga mempertanyakan pernyataan di media yang mengatakan bahwa dengan 20% saja warga sudah makmur.

    Senada dengan itu, Bapak Hasan. SH, Mhum, Kepala Desa Kedung Bendo juga mempertanyakan kepada Bupati tentang kelanjutan nasib Petok D dan Letter C yang terkatung-katung, dan meminta kejelasan statusnya

    Bupati yang menemui perwakilan-perwakilan masing-masing desa, menyambut baik kedatangan mereka, dan mengatakan bahwa adalah komitmennya untuk tetap bersama warga yang menderita. Dalam kesempatan itu, Bupati juga memfasilitasi untuk mendatangkan pihak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sidoarjo, dan juga dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sayangnya pihak Lapindo tidak datang pada pertemuan tersebut.

    Bupati Sidoarjo, Win Hendarso mengatakan bahwa dirinya tidak ikut terlibat dalam pembahasan adanya program cash and resettlement yang sekarang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan (baca: dipaksakan) untuk diberikan terutama bagi korban Lapindo yang status tanahnya Petok D atau Letter C. Bahkan Bupati juga menyatakan jajarannya tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan tentang program yang menyimpang dari Perpres 14/2007 itu.

    Pihak BPLS yang diwakili deputi bisang sosial, menyatakan bahwa pihaknya sudah menanyakan kepada BPN tentang perbedaan pendapat tersebut, dan mengatakan bahwa pada dasarnya BPLS akan mengikuti dasar hukum yang dikeluarkan BPN sebagai pihak tertinggi dalam urusan pertanahan di Indonesia.

    Bupati juga mengatakan, “Mari kita sama-sama menghormati peraturan. Orang nomor satu itu adalah Presiden.” Dengan demikian, pihak Lapindo harus membayar ganti rugi seperti apa yang dituntut oleh warga dan disahkan oleh Presiden dalam Perpres 14/2007: cash and carry. Di dalam Perpres, risalah dari Menteri Sosial dan surat dari BPN, menyebutkan bahwa tidak ada sistem pembayaran lain selain cash and carry.

    Dari pertemuan tersebut ternyata Bupati, BPN, maupun BPLS menyatakan bahwa mereka sepakat Peraturan Presiden 14/2007 harus ditegakkan, dan pembayaran kepada warga secara cash and carry harus bisa diselesaikan. Karena itu, Bupati sebagai anggota Dewan Pengarah BPLS meminta kepada BPLS yang dirasa tidak mampu melawan Lapindo untuk segera menyurati Dewan Pengarah BPLS, dalam hal ini Menteri Sosial yang ikut menandatangani nota kesepahaman dengan warga, bahwa ada butir-butir nota kesepahaman yang mengatakan bahwa Petok D, Letter C dan sebagainya punya hak yang sama tidak berjalan di lapangan.

    Diharapkan Pemerintah Pusat proaktif dalam menanggapi hal ini dan segera melakukan tindakan tegas kepada pihak Lapindo yang tidak mau membayar sisa 80% ganti rugi warga secara cash and carry.

  • Bupati Sidoarjo: “Saya Tidak Tahu Apa itu Cash and Resettlement”

    Sidoarjo, SuaraPorong – Pola Cash and Resettlement (CnR) yang digulirkan oleh Lapindo ternyata tidak dikenal oleh pemerintah. Pasalnya, dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban Lapindo, yang dijadikan acuan adalah skema yang ada dalam Peraturan Presiden 14/2007, yaitu skema Cash and Carry (CnC) dengan pola pembayaran 20-80 persen.

    “Saya tidak tahu apa itu Cash and Resettlement,” tegas Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso.

    Hal itu terungkap dalam pertemuan antara perwakilan korban Lapindo dengan Bupati, BPLS dan BPN di pendopo tadi siang. Sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang ada, seharusnya mekanisme pembayaran itu adalah dengan CnC. “Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat, ada tanda tangan saya, Pak Mensos, semua pihak, semua lengkap semua komitmen pada penyelesaian menurut Perpres.”

    Bupati menambahkan, seharusnya skema CnC yang sesuai Perpres itu yang dijadikan acuan untuk penyelesaian pembayaran. Tetapi karena Minarak cenderung untuk memilih CnR, Bupati meminta agar untuk warga yang menolak tawaran ini juga harus difasilitasi. Dan karena urusan wilayah di dalam Peta Terdampak adalah tanggung jawab BPLS, Bupati meminta BPLS bersikap tegas dan mendorong penyelesaian masalah ini.

    Terkait dengan proses perumusan skema CnR sendiri, Bupati mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. Demikian juga pihak terkait lainnya yaitu dari BPLS maupun BPN. Hal ini menimbulkan keraguan di warga tentang bagaimana seandainya Minarak Lapindo Jaya nantinya ternyata mengingkari kesepakatan, tidak akan ada dasar hukum dan tidak ada lembaga pemerintahan yang akan membantu.

    Pendapat senada disampaikan oleh Deputi Sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Soetjahjono Soejitno. Sesuai dengan Perpres, ditegaskan bahwa dalam penyelesaian masalah sosial lumpur Lapindo, BPLS berpegang kepada Perpres. Sedangkan terkait pendapat Lapindo yang dijadikan dasar CnR yaitu tidak bisanya tanah non sertifikat untuk di Akta Jual-Beli (AJB),

    BPLS mengacu pada pendapat BPN selaku lembaga yang berwenang dalam masalah pertanahan. “Kami sami’na wa atho’na”, terang Soejitno.

    Penjelasan Bupati itu kontan mendapat sambutan positif dari warga korban Lumpur Lapindo. Sumitro, korban dari Perumtas, mengaku menghargai kepedulian yang ditunjukkan oleh Bupati terhadap nasib korban. Meski begitu, Sumitro mengingatkan agar Bupati tetap konsisten dan berkomitmen memperjuangkan nasib semua korban Lapindo.

  • Belum Dibayar, Warga Tolak Penanggulan

    Renokenongo – SuaraPorong. Terus berlanjutnya semburan lumpur memerlukan perluasan tanggul penampung lumpur. Namun hal itu bukan upaya yang mudah bagi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), disebabkan oleh lambatnya proses pembayaran jual beli tanah korban oleh Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Kerap terjadi insiden antara BPLS dan warga yang menolak upaya perluasan penanggulan tersebut.

    Seperti yang terjadi akhir Juli 2008 yang lalu, beberapa alat berat terlihat memasuki desa Renokenongo untuk membuat tanggul. Rencana tersebut sebelumnya tidak dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan warga. Menurut Widodo dari desa Renokenongo, warga tidak pernah diberitahu soal penanggulan tersebut, “tidak ada pembicaraan apapun dengan warga sebelum ini” kata pria berusia 32 tahun tersebut.

    Melihat berdatangannya alat-alat berat, Widodo menuturkan, warga RT 05 yang mengetahui lebih dulu kedatangan alat berat itu segera membunyikan kentongan sebagai tanda agar masyarakat berkumpul. Demi mendengar suara kentongan yang didesa berfungsi sebagai semacam alarm tanda bahaya tersebut, alat-alat berat dari BPLS itu pun ngacir dan meninggalkan lokasi tanpa sempat melakukan rencana mereka.

    “Sebelum warga mendapat pembayaran tunai 100%, jangan sampai dilakukan penanggulan diwilayah desa Renokenongo” demikian tambah Widodo yang akrab dipanggil Sihong tersebut menjelaskan alasan penolakan warga.

    Kegeraman warga ini rupanya dipicu oleh fakta bahwa sekitar 113 KK sampai sekarang belum mendapatkan pembayaran ganti rugi sama sekali. Ini jelas merupakan fakta yang ditutup-tutupi baik oleh pihak Lapindo maupun BPLS, karena beredar kabar di media bahwa semua korban lumpur sudah diselesaikan. “Bahkan ada yang berkasnya sudah di Berita Acara-kan sejak satu setengah tahun yang lalu, tapi pembayarannya tidak kunjung jelas “, sergah Widodo.

    Di daerah sekitar, baik di desa Renokenongo maupun di desa Glagah Arum, sudah tercetus kesepakatan bersama, bahwa tidak boleh ada penanggulan sebelum masalah pembayaran ganti rugi warga diselesaikan. Untuk diketahui, warga Glagah Arum meminta semua wilayah untuk dimasukkan kedalam peta area terdamopak, karena selama ini hanya wilayah dusun Risen saja yang dimasukkan kedalam peta.

    Kengototan warga untuk menolak proses penanggulan juga didasari sudah seringnya mereka dibohongi, ketika proses penanggulan awal didesa Renokenongo dahulu warga dijanjikan akan dibayar secepatnya, buktinya hingga sekarang masih seratus lebih kepala keluarga yang belum mendapatkan pembayaran ganti rugi. Karena itu, sekarang warga akan bertahan menolak wilayah mereka ditanggul sebelum mereka mendapat pembayaran. “Tidak hanya 20%, harus dibayar tuntas 100% kalau mereka mau bikin tanggul disini (di desa Renokenongo-red)” demikian pungkasnya penuh amarah.

    Bagaimana seandainya BPLS ngotot untuk tetap membayar tanggul sementara pembayaran belum dilaksanakan? “Coba ae. Lek warga yo wani gegere (coba saja, kalau warga ya lebih baik bentrok)”, tandas Widodo.[re]

  • Teror di Desa Besuki, Dampak Perpres 48/2008

    Besuki, SuaraPorong – Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, rumah seorang warga yang juga korban lumpur lapindo, Cak Irsyad, dilempari batu sebesar kepala bayi. Dugaan kuat, teror itu berkaitan dengan isu-isu yang berkembang dan cenderung menyudutkan setelah desa Besuki terbelah— sebagian dimasukkan ke dalam peta area terdampak versi Perpres No. 48/2008, dan sebagian lagi tidak.

    Cak Irsyad yang tinggal di desa Besuki Timur, RT 05/RW 07, adalah salah seorang korban yang aktif dalam usaha menolak kebijakan-kebijakan yang dirasakan menindas kehidupan warga yang telah menderita selama semburan lumpur lapindo berlangsung. Salah satunya adalah kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti pembagian korban ke dalam peta area terdampak dan tidak terdampak yang menjadi dasar dibayar atau tidaknya kerugian warga.

    Desa Besuki adalah salah satu dari tiga desa yang dimasukkan dalam area peta terdampak lewat Perppres no. 48/2008, yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuat rancu dan tidak membawa suasana lega pada warga desa tersebut. Hal pertama adalah hanya desa Besuki Barat yang dimasukkan dalam peta area terdampak—sementara desa Besuki Timur yang dipisahkan oleh eks-jalan tol Gempol dengan Besuki Barat, tidak termasuk di dalamnya.

    Kedua, belum ada kepastian kapan uang proses jual beli tersebut dibayarkan, dan ketiga, harga jual beli tanah dan bangunan pun belum ditetapkan oleh pemerintah.

    Kasus teror yang menimpa Cak Irsyad merupakan ekses dari ketegangan yang terjadi di Besuki karena tidak dimasukkannya Besuki timur ke dalam peta area yang dikeluarkan pemerintah melalui Perpres no. 48/2008. Ketidakjelasan kualifikasi penetapan suatu daerah masuk atau tidak ke dalam peta area terdampak, menimbulkan syak wasangka dan fitnah yang terus menerus membuat ketegangan di masyarakat desa Besuki. Akibat tidak masuknya wilayah besuki timur, timbul kecurigaan dan desas-desus tidak bertanggung jawab terhadap penyebab kondisi tersebut.

    Kejadian di mana sebuah desa tidak seluruhannya dimasukkan ke dalam peta area terdampak bukan sekali ini saja terjadi. Dalam semua kejadian itu selalu saja menimbulkan dampak langsung yang jelas memecah belah dan merugikan kehidupan masyarakat. Desa-desa lain yang terpecah antara di dalam peta dan bukan di dalam peta antara lain: Glagah Arum, Gempol Sari, Jatirejo, dan Siring. beberapa desa yang terpecah ini tidak selalu jelas alasan pembagiannya kenapa sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam peta dan yang lain tidak. Ketidakjelasan inilah yang memicu kecemburuan di antara warga dan menjadi biang kehancuran kohesi sosial di masyarakat.

    Dalam kasus di Besuki Timur, ketika Perppres no. 48/2008 dikeluarkan, dan desa Besuki Timur tidak dimasukkan ke dalam peta area terdampak, beredar fitnah yang menyudutkan Cak Irsyad. “Gara-gara Cak Irsyad Besuki Timur tidak masuk peta dan gagal dapat ganti rugi,” kurang lebih begitulah isi fitnahnya. Dalam pertemuan antar warga desa Besuki Timur pada 20 Juli 2008, pasca dikeluarkannya Perpres No. 48/2008, kecurigaan itu di”kambing hitamkan” kepada Cak Irsyad dan kawan-kawan yang sering terlibat aktif dalam usaha menentang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat.

    Akibat pelemparan batu tersebut, kaca rumah depan Cak Irsyad pecah berserakan. Teror ini merupakan kali kedua yang menimpa korban. Sebulan sebelumnya, Ketua RT 03 desa Besuki Timur juga mengalami kejadian yang sama. Beberapa waktu setelah teror yang menimpa pak RT tersebut, giliran rumah salah satu perangkat desa yang diteror. Kaos bekas yang telah dibasahi bensin dibakar di samping rumah korban.

    Beruntung aksi teror tersebut dapat diketahui sehingga tidak membakar seluruh rumah. Sehubungan dengan aksi teror tersebut, warga di sekitar lokasi pun merasa terancam. Sekarang d iatas kaca yang sengaja dibiarkan pecah itu dipasang tulisan “NEGARA TIDAK BOLEH KALAH DENGAN KEJAHATAN”. Sebuah himbauan yang rasanya entah apakah akan terkabul ditengah-tengah kondisi yang serasa dibiarkan tak menentu justru oleh penyelenggara negara.

    Aksi teror yang menimpa Cak Irsyad ini, merupakan hasil langsung dari praktek memecah belah warga yang dilakukan oleh Lapindo. Korporasi ini tidak berkenan jika korban luapan lumpur bersatu untuk menuntut ganti rugi. Berbagai cara dilakukan, mulai dari proses jual beli yang berbelit-belit, janji-janji manis penuh ilusi yang disuntikkan pada para korban, sampai membuat skema yang berujung pada konflik horisontal antar korban.

    Lapindo Brantas Inc, sebagaimana korporasi-korporasi yang bergerak di industri minyak dan gas, selalu membuat warga di sekitar lokasi menderita. Penderitaan yang dialami warga tidak hanya pada satu aspek saja. Limbah yang merusak kesehatan warga, kebisingan yang memekakkan, maupun bencana yang disebabkan langsung dari human error, seperti pada kasus luapan lumpur panas Lapindo. Sebelumnya warga Teluk Buyat terlibat pertikaian dengan PT. Newmont . Lalu warga Papua pun terlibat pertikaian dengan PT. Freeport terkait limbah industri. Namun, hal-hal buruk seperti itu seringkali terlupakan begitu saja. Para korban kejahatan korporasi semakin terpuruk, sementara pihak korporasi semakin mendapatkan untung yang berlimpah.

    Untuk itu, diperlukan banyak solidaritas dan dukungan dari masyarakat luas. Solidaritas dan dukungan ini dapat menekan korporasi seperti Lapindo agar membayar ganti rugi bagi korban yang bukan saja kehilangan tempat tinggalnya, tapi juga sejarahnya.

  • Lumpur Maut Lapindo

    Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Lapindo Brantas Inc tanggal 5 Juni 2006, Medco menyebutkan bahwa operator telah tidak mengindahkan peringatan untuk melakukan pemasangan casing pada kedalaman 8500 ft sebagaimana telah disampaikan dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006. Walhasil, Medco menolak untuk dibebani biaya ganti rugi sebagaimana sudah disepakati dalam kontrak kerjasama operasi antara mereka.

    Kekacauan bulan-bulan awal menunjukkan karut-marut pengelolaan migas di Indonesia. Berbagai prediksi dikeluarkan. Bahkan seorang Jenderal pemangku teritorial wilayah Jawa Timur menyatakan bahwa semburan Lumpur adalah bencana alam, lumpurnya juga tidak berbahaya. Ada apa gerangan sang Jenderal ikut-ikutan membuat pernyataan demikian?

    Sementara itu polisi berperan mengawasi setiap perkembangan pergolakan yang terjadi di warga sekitar lokasi, dan mengatasi kemacetan luar biasa jalur ini. Sedangkan untuk proses pidana, polisi dipersulit pendapat para ahli yang didatangkan Lapindo yang mengarahkan semburan lumpur sebagai bencana alam. Kejaksaan yang menginginkan adanya satu kesatuan pendapat ahli, beberapa kali mengembalikan BAP kepada kepolisian.

    Bupati dan Gubernur yang seharusnya menjadi benteng warga korban pada akhirnya ‘terselamatkan’ dengan keluarnya Perpres 14/2007, mereka mendalilkan bahwa masalah lumpur sudah ditangani pemerintah pusat. Setali tiga uang dengan wakil warga di DPRD kabupaten maupun propinsi.

    Perpres melahirkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Bagaimana kinerja task force ini juga menjadi tanda tanya. Hari, seorang warga korban, menggambarkan bahwa kerja BPLS hanya menanggul lumpur saja. Ini jauh dari harapan warga bahwa BPLS akan berperan membantu percepatan pemenuhan hak. BPLS tidak melakukan langkah-langkah jelas untuk mencegah bahaya akibat semburan baru yang hingga hari ini mencapai angka ke-94.

    Dugaan lumpur panas Lapindo sangat berbahaya, terbukti sudah. Selain berbagai riset berbagai institusi yang telah dimuat berbagai media, WALHI Jawa Timur telah melakukan riset awal kandungan logam berat dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) pada air dan lumpur lapindo. Berdasar laporan riset (Mei 2008) ini, jumlah kandungan yang ditemukan sungguh mengerikan. Langkah gegabah pengelolaan lumpur tanpa treatment khusus, menjadi kesalahan besar.

    Pemerintah dan korporasi yang memiliki tanggung jawab dan sumber daya harusnya lebih cermat dalam mengelola lumpur. Kandungan Logam Berat pada air dan lumpur Lapindo dideteksi jauh melebihi ambang baku yang ditetapkan regulasi kesehatan Indonesia. Kadar untuk timbal (Pb) tertinggi mencapai angka 20,9853 mg/l ditemukan pada sampel dari wilayah Besuki juga. Ini sungguh jauh diatas ambang batas maksimal sejumlah 0,05 mg/l. Sungai Porong dari wilayah barat telah tercemar logam berat, dan menjadi semakin parah ketika ribuan liter lumpur panas Lapindo digelontor ke dalamnya. Sampel air pada titik koordinat S 07o32’10.7″ E 112o51’01.7″ bagian timur sungai menunjuk angka 1,05 mg/l untuk timbal, berselisih lebih tinggi 0,2 dari sampel kontrol bagian barat jembatan porong(0,8035). Sedimen sungai porong juga menunjuk angka tinggi, dengan temuan kadar 4,7341 mg/l pada salah satu titik sampel.

    Jumlah cemaran Kadmium (Cd) lebih parah, terendah 0,2341 mg/l dan tertinggi 0,4638 mg/l. Jauh diatas ambang batas jika mengacu pada Kep.Menkes No. 907/2002 yang mematok angka 0,003 mg/l. Hal yang sama ditemukan untuk PAH. Dua jenis yang diperiksa meliputi Chrysene dan Benz(a)anthracene ditemukan: Chrysene terendah 203,41 µg/kg dan tertinggi mencapai hingga 806,31 µg/kg (kadar tertinggi ditemukan pada sampel lumpur dari Besuki), sedangkan Benz(a)anthracene ditemukan pada sampel 3 titik lokasi rendaman lumpur dengan jumlah terendah 0,4214 mg/kg dan tertinggi 0,5174 mg/kg. Monitoring secara periodik dan penanganan darurat khusus harus segera dilakukan.

    PAH merupakan suatu kelompok senyawa kimia yang dibentuk dari proses pembakaran tidak sempurna dari gas, batubara, minyak bumi, kayu, sampah, ataupun senyawa kimia organik lain seperti tembakau. Senyawa PAH juga ditemukan di sepanjang lingkungan baik di udara, air, dan sebagai partikel yang berhubungan dengan debu atau sebagai padatan di dalam sedimen atau lahan. Jumlahnya diperkirakan sekitar 10.000 senyawa. Sifat karsinogenik memicu tumor, kanker kulit, kanker paru-paru, dan kanker kandung kemih. Dapat masuk dalam tubuh manusia melalui pernafasan akibat menghirup limbah gas yang mengandung senyawa PAH di dalamnya. Makanan atau minuman yang terkontaminasi senyawa ini juga akan mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi. Yang lebih cepat adalah interaksi secara langsung dengan menyentuh tanah atau air yang tercemar PAH. Walaupun dalam kadar rendah, senyawa ini dapat terserap melalui pori-pori kulit.

    BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun.

    Walhasil, Anton seorang warga korban menjumpai sedikitnya 5 warga yang secara fisik terindikasi mengidap tumor(20/7/2008). Seorang bayi perempuan umur 7 bulan memiliki benjolan di dada dan lehernya. Kanker kulit juga ditemukan menjangkit seorang anak umur 3 tahun. Hal ini tentu harus segera ditangani khusus dengan melakukan pemeriksaan medik secara terus menerus kepada semua warga yang pernah ‘berjibaku’ dengan lumpur. Akumulasi dalam jumlah besar sangat mempengaruhi metabolisme tubuh warga dan mempercepat munculnya tumor dan kanker. Pemeriksaan periodik terhadap kandungan logam berat dan PAH harus dilakukan secara periodik untuk acuan pengelolaan lebih lanjut. Namun jika pemerintah melalui badan khususnya tidak mengagendakan, siapa lagi yang harus melakukannya?

    Keselamatan dan kesejahteraan warga korban telah dipertaruhkan dalam hitungan kerugian material melalui skema jual beli tanah dan bangunan sebagaimana dalam Perpres 14/2007. Sandaran hukum pemenuhan hak warga inipun masih ditawar dengan skema resettlement yang tidak memiliki jaminan apapun. Bulan Agustus dan September merupakan masa kontrak sebagian warga korban habis. Namun itikad pemenuhan oleh korporasi tak juga ditunjukkan. Padahal jika diperbandingkan, jumlah yang akan diterima tidak akan mencukupi kebutuhan pengobatan jika efek logam berat dan PAH telah muncul beberapa waktu kedepan. Jaminan kesehatan bagi seluruh warga mutlak menjadi tanggungjawab korporasi dan negara.

    Melihat kenyataan demikian, seharusnya tiada alasan bagi korporasi untuk menghindari dan menunda penggantian hak material warga. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanggal 24 Maret 2008 menegaskan adanya jaminan bagi tanah selain sertifikat hak milik (Yasan, Gogol, letter C, petok D, dan HGB) bisa dilakukan peralihan dengan status yang sama. Hanya perusahaan bodoh yang menginginkan hak milik tanah di negeri ini. Dalam regulasi agraria Indonesia (UUPA NO. 5/1960) sudah diatur kepemilikan tanah Hak Milik hanyalah untuk perorangan. Korporasi hanya bisa mendapat hak berupa Hak Guna (HGU/HGB) atau Hak Pakai yang masa waktunya terbatas. Jika ini dijadikan alasan untuk tidak mengganti 80% sebagaimana disepakati dalam perikatan antara warga dan korporasi, dan ditawar dengan skema resettlement, bertambah sudah derajat kejahatan korporasi ini.

    Namun, temuan kandungan-kandungan berbahaya ini disangsikan oleh Ahmad Zulkarnaen dari BPLS, “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak pernah mengungkapkan adanya PAH” (Koran Tempo, 29/7). Bukannya menindaklanjuti dengan rencana cepat untuk melakukan penanganan, minimal dengan sebuah rencana melakukan penelitian lebih dalam, pernyataan elemen tim khusus ini nampak mencoba mengaburkan adanya temuan bahan berbahaya itu. Dan yang lebih parah, BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun. Petugas BPLS yang rapi dalam pengamanan diri dengan menggunakan sepatu, sarung tangan, dan masker tentunya lebih tak lebih beresiko dibanding warga yang dengan tangan telanjang, kaki bersendal, dan hidung tak bersaring bergelut di area lumpur setiap saat.

    Sungguh sebuah kebetulan jika pada Juli ini selain disibukkan dengan agenda ‘pesta’ pilkada, pada waktu yang bersamaan keluarga Bakrie -sang konglomerat yang dikenal sebagai salah satu pemilik korporasi penguasa blok Brantas di Jawa Timur- menggelar pesta bahagia perkawinan salah satu keluarganya. Lengkap sudah penggalan sejarah buruk negeri ini, dua prosesi digelar tanpa melihat sedikitpun derita warga korban.

  • Tak Lelah Membuat ‘Grisingan’ Pemerintah

    korbanlumpur.info – Hari masih sore. Bau manis legit dari Pabrik Gula Candi baru saja lenyap. Tiba-tiba, hidung langsung disergap bau asing. Awalnya tipis. Makin dekat ke Porong, bau itu kian pekat. Tak bersahabat. Asap putih njlirit ke langit, persis hantu yang berebut keluar kala maghrib.

    Asap itu memang bukan asap biasa. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), udara di daerah sekitar semburan memiliki kandungan unsur beracun 2000 kali di atas normal. Penelitian tentang ini sudah hampir rampung dan tak lama lagi akan dirilis. Inilah udara yang dihirup warga korban lumpur tiap hari. Tanpa kesadaran, tanpa peringatan.

    “Padahal mereka yang bekerja di pabrik atau instalasi yang diyakini berdampak buruk bagi kesehatan, jam kerjanya lebih pendek daripada karyawan di bagian atau lokasi yang lebih aman. Selain itu, mereka juga mendapat extra pudding dan asupan gizi yang lebih baik, seperti susu atau sari kacang hijau.

    Namun apa yang didapat korban lumpur? Asap beracun itu mereka hirup tiap hari tanpa tahu kandunganya. Tanpa paham bahayanya. “Pemerintah yang mengerti akan hal ini tak pernah memberi penjelasan,”” keluh Winarko.

    Jarinya terus lincah mengetik tuts-tuts laptop. Meng-up load berita ke situs para korban lumpur, juga mengetik laporan dari warga yang nyaris tak putus-putus.

    Ya, hingga lewat isya, posko yang persis bersebelahan dengan Makam Kelurahan Gedang terus beraktivitas. Selasa malam, malam terakhir sebelum pencoblosan, tak ada jagongan bertema pemilihan gubernur (pilgub) yang dilakukan warga. Mereka lebih sibuk membahas nasib diri dan perjuangannya dalam mengejar hak-hak yang terampas.

    Irsyad, misalnya. Malam itu ia menceritakan sebuah rapat warga di desanya yang berakhir ricuh. Salah satu warga menyatakan bahwa Desa Besuki Timur sebenarnya akan masuk dalam peta desa terdampak. Namun, hal ini gagal karena ada dua warga peserta pertemuan nasional para korban Lapindo di Jakarta memberi ide berbeda. Dua orang itu meminta bahwa Desa Besuki Timur tidak masuk dalam peta terdampak.

    Irsyad yang merasa dikambinghitamkan, langsung berdiri. Ia meminta agar langsung sebut nama, siapa orang yang menggagalkan masuknya Besuki Timur dalam peta desa terdampak. Sebab, dirinyalah yang mengikuti pertemuan di Jakarta itu. “Namun, saya tidak melakukan penggagalan itu. Saya sedang dijadikan kambing hitam,” kata Irsyad dalam laporannya yang didokumentasikan di Posko Bersama Korban Lapindo, Selasa (22/7) malam.

    Belum lama Irsyad berbagi masalahnya, datang lagi warga dari desa lain. Mereka diterima Paring, salah satu aktivis di posko tersebut. Kepada mereka Paring menjelaskan tentang kampanye penyadaran dan advokasi yang sedang digalang ia dan kawan-kawannya. Satu sudah berjalan, yakni situs informasi korban Lapindo yang beralamat di http://www.korbanlumpur.info. Dua lagi masih digagas: radio komunitas dan buletin untuk korban.

    Di rumah dengan 4 kamar itu, ide-ide pemberdayaan ditelurkan. Tak ada televisi, tak ada intervensi dari berita-berita pilgub yang mereka benci. Tak ada kursi, semua lesehan di lantai yang hanya sebagian tertutup karpet tipis. Tak ada makanan, karena lapar adalah tanggungan sendiri-sendiri. Namun, diskusi yang muncul begitu hidup. Termasuk, rencana memberi warga –dimulai dari para aktivisnya —alamat e-mail untuk bisa berhubungan dengan pihak luar.

    ““Dengan punya e-mail, punya situs, kita bisa berhubungan dengan pihak-pihak lain, termasuk di luar negeri, yang mau membantu kita. Murah dan cepat”,” urai Paring.

    Negara Durhaka

    Merasa hampir mentok di dalam negeri, para aktivis warga ini memang mengalihkan upaya mereka ke luar negeri. Tentu ini bukan kesimpulan serta merta. Kasus penyelidikan pembunuhan aktivis HAM, Munir SH, membuka mata mereka.

    ““Kalau saja tak ada tekanan asing, sudah pasti penyelidikan kasus pembunuhan Munir sudah berhenti sejak lama,”” kata Winarko. “”Karena jaringan Munir kuat di luar negeri, pressure mereka pun terasa. Tiap kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melawat ke luar negeri, kasus Munir selalu ditanya. Pasti grisingan (risih), kan? Karena itu kasus ini masih diselidiki,” lanjutnya.

    Ya, menjadikan pemerintah grisingan adalah target antara. Grisingan bila kasus lumpur Lapindo tak segera tertangani dengan baik. Grisingan bila pemerintah dituding takluk pada kekuatan tertentu dan melupakan penderitaan rakyatnya.

    “Kami sebenarnya tidak ingin mempermalukan pemerintah. Ibaratnya, kami adalah anak, sedang pemerintah adalah ayah kami. Kalau saja ayah kami peduli pada kami, buat apa kami mengadu kepada tetangga?” Winarko memberi analogi.

    Tak Yakin Media Massa

    Pemberdayaan masyarakat kini menjadi target utama para aktivis warga korban lumpur Lapindo ini. Mereka yakin pemberdayaan akan membuat perjuangan mereka lebih terarah dan dapat bertahan –bahkan menang—dari serbuan banyak pihak yang kian tak bersahabat.

    “Salah satunya, jujur saja, media massa,” kata Winarko. “Kami lihat makin lama media massa, baik cetak maupun elektronik tak lagi menyuarakan nasib kami. Rata-rata mereka sudah terbeli. Yang belum terbeli pun (Winarko menyebut nama dua media massa cetak) hanya berani menulis dalam koridor “netral”.

    Padahal, dalam menyikapi kasus seperti lumpur Lapindo yang dampaknya demikian luar biasa, media tak boleh netral. “Mereka harus berpihak. Dan, tak ada pilihan waras lain kecuali berpihak kepada korban,” tegas Winarko.

    Hari, salah satu korban lumpur, mendukung pendapat Winarko. “”Moncong senjata laras panjang tentara pernah ditempelkan ke kepala saya. Seorang fotografer (Hari menyebut nama sebuah stasiun televisi) berhasil mengambil gambar itu. Namun, berita itu tak pernah muncul. Bagaimana kami bisa percaya kepada media massa?,”” keluhnya.

    Sialnya, Hari masih punya banyak stok cerita lainnya. Salah satunya, bagaimana sebuah stasiun televisi nasional begitu tega memelintir liputan. “”Gambar yang muncul di televisi adalah gambar saya dan kawan-kawan yang sedang demo. Namun, beritanya tentang penghijauan. Apa maksudnya, coba?,”” ujar Hari, geram.

    Maka, ketika media massa mainstream dianggap para korban Lapindo tak bisa lagi dipercaya, jawabannya hanya satu: membuat media sendiri. Dan, mereka serius mempersiapkannya.

    ““Jadi kalau ada yang bertanya mengapa pilgub sama sekali tak berarti di sini, Anda sudah tahu jawabannya. Media massa saja susah kami percaya, apalagi para cagub itu?,”” seru Hari. (*)

  • Berebut Megafon di Kamp Pengungsian

    korbanlumpur.info – Bibir pemuda itu seperti ingin tersenyum. Senyum tertahan. Senyum tak jadi. Hampir setengah menit, namun hanya raut bingung yang ditampakkannya. Beberapa jenak kemudian barulah Anto, pemuda itu, buka suara. “Entahlah. Saya tidak tahu,” katanya, menyerah. Tangannya segera bergerak lagi, mengaduk kopi susu untuk kami tengah malam itu, hanya 8 jam menjelang pencoblosan.

    Anto tidak sedang mengerjakan soal matematika. Dia juga bukannya sedang mengerjakan teka teki silang raksasa dengan hadiah utama sebuah rumah. Pertanyaan yang diajukan padanya pendek saja: apakah ia akan menggunakan hak pilihnya?

    “Gamang.” Inilah jawaban Anto, penjaga warung kopi di Pasar Porong lama.

    Anto tidak sendiri. Kebimbangan menghinggapi mayoritas korban lumpur Lapindo maupun warga lain di sekitar tanggul. Haruskah mereka memilih?

    Rasa gamang itu tergambar jelas di malam pencoblosan. Desa-desa tersisa di sekitar tanggul, sepi. Sepanjang Jalan Raya Porong, sepi. Jarang warung yang masih buka. Warung, tempat ngobrol paling asyik itu –terutama bila menjelang event besar seperti coblosan—nyatanya malah tutup.

    Masuk kampung, tak ada jagongan. Tak ada kemitan. Pasar Baru Porong, kamp pengungsi yang masih hidup hingga kini, sudah senyap sejak isya. Hanya saat Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso datang, ada gempita sebentar. Setelah itu, rolling door kios-kios ditutup, spanduk lusuh diturunkan. Mereka tidur dalam pelukan dingin puncak kemarau. Mereka coba tidur dalam bimbang yang menekan.

    Petak-petak stan yang berubah menjadi tempat tinggal terasa kian sempit. Bukan oleh kasur, bantal, dan perkakas yang berjejal, namun oleh sebuah pertanyaan pendek yang tak juga mereka temukan jawabannya. Manakah yang lebih baik, menggunakan hak pilih atau golput saja?

    Sipon, Ponadi, dan M. Amin memang tak bisa merumuskan dengan kalimat tertata. Namun, kerut di kening mereka, juga jeda yang lama tercipta kala memberikan jawaban, jelas menunjukkan kebimbangan. Ketiganya sadar, suara pengungsi seperti mereka akan bergaung jauh. Gemanya membahana. Apa pun pilihan mereka, itu akan menjadi justifikasi bagi pihak-pihak di luar sana.

    Karena itu Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso sampai dua kali mengunjungi kamp pengungsian Pasar Porong Baru. Pertama, di malam menjelang pencoblosan. Kedua, pagi hari saat pemilihan. Di dua kesempatan itu Win menyampaikan pesan yang sama: gunakan hak pilih Anda. Janganlah putus asa.

    “Bayangkan, Win terakhir kali datang ke kamp pengungsian pada Maret 2007. Setelah lebih dari setahun, barulah ia datang lagi. Dua kali dalam interval yang hanya beberapa jam. Dari situ kita bisa membaca, betapa suara pengungsi korban lumpur begitu pentingnya. Makin banyak pengungsi yang menggunakan hak pilihnya, makin senang pemerintah. Mereka bisa bilang: Tuh, kan, pengungsi tidak putus asa. Buktinya, mereka masih begitu antusias memberikan hak pilihnya,” begitu ulasan Winarko, aktivis Posko Bersama Korban Lapindo (PBKL).

    Suara korban lumpur memang menjadi rebutan. Pemerintah ingin para korban tetap menggunakan hak pilihnya. Penggunaan hak pilih menunjukkan adanya optimisme, belum matinya harapan bahwa persoalan pengungsi segera menemukan solusi. Pemerintah dan Lapindo butuh justifikasi ini.

    PBKL, organisasi cair yang menghimpun sejumlah kelompok warga korban lumpur dan badan-badan yang bersimpati pada mereka, punya kepentingan berbeda. Bagi mereka, tak ada pilihan sebaik golput. Inilah megaphone yang paling mereka butuhkan untuk mengabarkan bahwa masalah belum terselesaikan.

    Maka, di markas PBKL yang terletak persis di samping makam Kelurahan Gedang, hiruk pikuk Pilgub jauh dari orbit mereka. Selasa malam, malam terakhir sebelum pencoblosan, tak ada jagongan bertema Pilgub. Mereka lebih sibuk membahas cara terbaik untuk mendapatkan ganti rugi paling memadai.

    Irsyad, misalnya. Malam itu ia menceritakan sebuah rapat warga di desanya yang berakhir ricuh. Salah satu warga menyatakan bahwa Desa Besuki Timur sebenarnya akan masuk dalam peta desa terdampak. Namun, hal ini gagal karena ada dua warga peserta pertemuan nasional para korban Lapindo di Jakarta memberi ide berbeda. Dua orang itu meminta bahwa Desa Besuki Timur tidak masuk dalam peta terdampak.

    Irsyad yang merasa dikambinghitamkan, langsung berdiri. Ia meminta agar langsung sebut nama, siapa orang yang menggagalkan masuknya Besuki Timur dalam peta desa terdampak. Sebab, dirinyalah yang mengikuti pertemuan di Jakarta itu. “Namun, saya tidak melakukan penggagalan itu. Saya sedang dijadikan kambing hitam,” kata Irsyad dalam laporannya yang didokumentasikan di PBKL.

    Belum lama Irsyad berbagi masalahnya, datang lagi warga dari desa lain. Mereka diterima Paring, salah satu aktivis di posko tersebut. Kepada mereka Paring menjelaskan tentang kampanye penyadaran dan advokasi yang sedang digalang ia dan kawan-kawannya. Satu sudah berjalan, yakni situs informasi korban Lumpur Sidoarjo yang beralamat di http://www.korbanlumpur.info. Dua lagi masih digagas: radio komunitas dan buletin.

    Di rumah dengan 4 kamar itu, ide-ide pemberdayaan ditelurkan. Tak ada televisi, tak ada intervensi dari berita-berita pilgub yang mereka benci. Tak ada kursi, semua lesehan di lantai yang hanya sebagian tertutup karpet tipis. Tak ada makanan, karena lapar adalah tanggungan sendiri-sendiri.

    Namun, diskusi yang muncul begitu hidup. Termasuk, rencana memberi warga –dimulai dari para aktivisnya— alamat e-mail untuk bisa berhubungan dengan pihak luar. “”Dengan punya e-mail, punya situs, kita bisa berhubungan dengan pihak-pihak lain, termasuk di luar negeri, yang mau membantu kita. Murah dan cepat,”” urai Paring.

    Kemarin siang, jelang ashar, suara selesai dihitung. Dari 3 tempat pemungutan suara di kamp pengungsian, ketiga-tiganya dimenangkan pasangan Achmady-Suhartono dengan selisih luar biasa. Pasangan Achsan menang dengan persentase 74,7% di TPS 08 (dihitung dari total suara terpakai, termasuk suara tidak sah), 85,9% di TPS 09, dan 73,6% di TPS 10.

    Ya, korban lumpur di kamp pengungsian sudah memberikan jawaban. (*)

     

  • Pencoblosan di Kamp Pengungsian Uang Makan Sebulan Begitu Menggiurkan…

    korbanlumpur.info – Pasangan Achmady-Suhartono mencetak kejutan. Terjerembab di posisi buncit menurut hasil quick count, pasangan Achsan justru unggul di lokasi paling dicermati: Kamp Penampungan Pengungsi Pasar Porong Baru. Keunggulannya sangat signifikan. Di tempat pemungutan suara (TPS) 08, Achsan mengumpulkan 74,7% suara. Di TPS 09, mereka mendulang 85,9% dan di TPS 10 pasangan yang diusung PKB ini unggul dengan 73,6% suara. Mengapa?

    Bila pertanyaan ini diajukan kepada para pengungsi sendiri, mereka tetap kesulitan menjawab. Ada jeda lama sebelum jawaban keluar dari mulut mereka. Namun demikian, inilah jawaban yang paling sering mereka berikan: Achmady satu-satunya cagub yang berkampanye di kamp tersebut.

    “Saya tidak paham janji-janji para cagub itu,”” kata M. Amin, salah satu penghuni kamp pengungsian. Di depannya, hanya 1,5 meter dari tempat ia berbicara, sebuah papan besar berdiri. Wajah kelima pasangan cagub dan cawagub terpampang jelas, lengkap dengan visi, misi, dan program mereka.

    ““Saya juga tidak berharap. Hanya saja karena ini pemilihan, saya ya pilih,”” katanya.

    Jawaban lebih jelas datang dari seorang pemuda yang enggan disebut namanya. Ia penghuni kamp itu juga. “Wajar bila Achsan menang di kamp pengungsi Pasar Porong Baru. Ia satu-satunya cagub yang datang, dan ia menjanjikan uang makan sebulan penuh untuk seluruh pengungsi bila menang,” katanya.

    Ya, hanya bila menang. Sayangnya, harapan ini seperti jauh dari kenyataan. Beragam hasil quick count menunjukkan Achsan berada di posisi terbawah dengan suara tak sampai 10%.

    Meski demikian, pengungsi masih berharap kemenangan yang dimaksud bukan kemenangan dalam Pilgub Jatim, namun kemenangan di TPS mereka. Pengungsi memang tak sempat –juga tak biasa— memverifikasi.

    Namun bagaimana pun, strategi Achsan sepertinya bisa ditiru Karsa atau Ka-Ji yang diyakini melenggang ke Pilgub putaran kedua. Hanya dengan janji semacam “uang makan sebulan”, Achsan bisa meraih kemenangan mutlak. Mungkin Karsa dan Ka-Ji butuh mencari titik-titik yang bisa dibeli semacam ini.

    Daya Tahan

    Tentu tidak semua pengungsi sepakat dengan keberhasilan “pembelian borongan” yang dilakukan Achsan. Rinto –bukan nama sebenarnya—tak yakin ada cagub yang mau mengupayakan perbaikan nasib dirinya dengan tegas. Karena itu pemuda yang tinggal di salah satu petak Pasar Baru Porong itu bergabung dengan Posko Bersama Korban Lapindo (PBKL). Ia menyerukan golput agar nasib mereka diperhatikan. Bersuara dengan cara tak memberi suara.

    ““Buat apa kami memilih, sementara mereka tidak peduli pada kami?”” kata Winarko, aktivis PBKL.

    ““Kalau kita bicara tentang Jatim, masalah terbesarnya tentulah lumpur dan beragam eksesnya. Kresnayana Yahya, doktor ITS itu menyebut kerugian ekonomi akibat lumpur mencapai Rp 500 miliar per hari. Kerugiannya mulai dari infrastruktur, pariwisata, ekonomi, pendidikan, dan tentu saja hajat hidup masyarakat secara umum, utamanya korban Lapindo. Tapi apa yang terjadi? Tak ada satu pun calon gubernur (cagub) yang menawarkan program penyelesaian untuk para korban. Lha buat apa kami memilih?,”” lanjutnya.

    Winarko sadar, lumpur ini adalah perkara yang sangat besar. Namun sebagai calon pemimpin Jatim, sudah sewajarnya bila kelima pasang cagub dan cawagub itu memikirkannya. Bila ternyata itu tidak mereka coba, sudah jelas posisi mereka di mana.

    ““Apa dalam kondisi demikian kami masih bisa menaruh harapan? Masih adakah alasan bagi kami untuk memilih? Saya rasa tidak,”” tegasnya.

    Kini, terbukti sudah mayoritas warga korban lumpur yang mengungsi di Pasar Baru Porong tak sependapat dengan lelaki plontos lulusan Australia ini. Mereka telah mempercayakan aspirasinya pada Achmady.

    Dan memang, meski kini makin lengang karena banyak pengungsi yang mengontrak di luar, Pasar Baru Porong jelas bukan pilihan tempat tinggal. Sempit, pengap, dengan level toleransi yang harus dijaga tetap tinggi tiap hari. Dalam kondisi frustrasi semacam itu, Achmady datang dengan janji: uang makan sebulan penuh. Tidak banyak, namun sangat membantu bagi mereka yang susah mendapat pekerjaan di luar.

    ““Kami tidak mengeluh. Mereka tak bisa disalahkan dan memang tak perlu disalahkan. Ini proses yang sangat panjang dan tidak semua memiliki daya tahan yang sama,”” kata Winarko. (*)

  • Kok Lunas, 20 Persen Aja Belum Dibayar!

    Gencar diberitakan beberapa minggu belakangan bahwa Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sudah menyelesaikan pembayaran 20 proses jual beli dengan korban lumpur. Bahkan, mereka sekarang sudah memasuki tahapan pembayaran 80 persen yang untuk warga non-sertifikat dipaksa dengan pola cash and resettlement. Ternyata, pembayaran 20 persen itu sudah tuntas adalah omong kosong besar.

    “Kami ini sudah bertemu dengan semua pihak yang berwenang, tetapi sampai sekarang 20 persen hanya omong kosongnya,” tukas Abadi Trisanto, koordinator kelompok Perwakilan Warga dari Perumtas, ketika ditemui tim SuaraPorong tadi malam.

    Tidak kurang-kurang sudah upaya yang dilakukan oleh Pak Abadi dan kawan-kawannya untuk memperoleh kejelasan pelunasan pembayaran. Semua pejabat di daerah mulai dari BPLS, Bupati, Anggota Dewan, maupun MLJ sendiri yang sudah tidak terhitung. “Kami ini bahkan memegang risalah yang ditandatangani Bakrie, Menteri PU, Ketua BPN dan pejabat lain di Istana Wapres, yang isinya menjanjikan penyelesaianpembayaran korban lumpur menjadi hanya 1 tahun” terangnya.

    Namun kesepakatan tinggal kesepakatan, dan risalah rapat yang ditandatangani di kertas berkop Istana Wapres itu tidak bertuah menghadapi Lapindo. Risalah tertanggal 14 April 2007 itu sudah lama kadaluarsa, pun tidak ada yang bertanggungjawab akan hal itu.

    Bahkan, jangankan pelunasan pembayaran, uang muka 20 persen saja tidak digubris oleh Lapindo. “Kami ini kayaknya memang sengaja dipermainkan oleh mereka, karena dulu kami sangat keras menuntut tanggung jawab Lapindo,” tambah Abadi.

    Nah, selain kelompok Perwakilan Warga dari Perumtas ini, ternyata masih sekitar 900 berkas warga lain yang juga masih nyangkut di BPLS. Bahkan anggota PW pernah mendapati ada 300 berkas warga desa yang dilakban begitu saja oleh BPLS. “Kami benar-benar tidak tahu apa maunya BPLS itu. Mestinya kan mereka membela warga. Nah ini sepertinya mereka cuman jadi suruhan Lapindo. Ini kan kebalik,” jelas Abadi.

    Lalu langkah apa yang akan mereka lakukan untuk menuntut pemenuhan haknya. Abadi menegaskan bahwa pihaknya tidak akan surut satu langkahpun. Bahkan kini dengan sudah adanya posko bersama korban lumpur dimana semua korban dari berbagai kelompok dan desa2 di Porong dan Sidoarjo bergabung, semangatnya jadi semakin menggebu. “Sebab, ini yang dari dulu kami inginkan. Harus ada kesatuan visi antara sesama korban.

    “Jangan lagi mau dibentur-benturkan oleh Lapindo. Musuh kita ya yang menghalangi kita mendapat hak, bukan sesama korban,” tegas Abadi.

    Abadi sekarang mengaku sedang menyisir warga dari desa-desa terdampak yang mengalami nasib yang sama dengan mereka, yaitu belum dibayar 20 persennya. Bekerjasama dengan pengurus GEPPRES tim advokasi dari Posko Bersama, mereka akan melakukan pendataan dan selanjutnya akan bersama-sama dengan korban lumpur yang lain, mendesakkan tuntutannya ke pihak yang berwenang.

    “Ya kalau perlu ke RI 1, mas. Dulu kita pernah berangkat ke Jakarta sebanyak 250 orang untuk menuntut Perumtas masuk Peta dan menuntut pembayaran cash and carry. Sekarang dengan kita sudah bergabung dengan seluruh komponen korban, berangkat 1000 orang bisa saja mas. Kalau perlu kita duduki istana dan kantor atau rumah Bakrie. Biar mereka tahu gimana rasanya kehilangan rumah,” pungkasnya.

  • Suara Hati Perempuan Korban Lapindo

    Suara Hati Perempuan Korban Lapindo

    Suara hati Kaminah, korban Lapindo dari desa Renokenongo yang terharu mengetahui anaknya menulis puisi yang menusuk hati. Sembilan bulan sepuluh hari aku mengandung anakku, tanpa pernah mengeluh meski
    segala rintangan slalu ada di depankku.

    Tanpa mengenal rasa sakit derita ketika aku melahikannya. Karena rasa itu terbayar dengan sosok bayi mungil nan lucu tanpa dosa. Tanpa terasa, hari, bulan, tahun terlewati. Bayi mungilku jadi sosok anak yang manis dan ceria. Sampai akhirnya bencana itu terjadi.

    Perubahan itu terjadi, sosoknya yang manis berubah 100%. Dan tanpa aku sadari sebuah cerita tertulis di selembar kertas mewakili isi hatinya.

    HATIKU

    LUMPUR PANAS TIADA HENTI
    RUMAHKUPUN TINGGAL KENANGAN
    SEKOLAHKU TIADA TENTU
    HIDUPKU SERASA MENGAMBANG
    KEMANA AKU HARUS MEMINTA
    HAK HIDUPKU YANG TIADA GUNA
    YANG BERKUASA HANYA SEKEDAR MENYAPA
    TUK MEMBUAT HATI GEMBIRA

    AKU TAK BISA APA
    BERONTAK TAK BISA
    DIAMPUN JUGA TAK BISA
    PERNAHKAH MEREKA MERASA

    BETAPA SUSAH JADI ORANG JELATA
    SEMUA HARUS BERUSAHA
    DENGAN KERINGAT YANG TAK TERHINGGA
    KADANG AKU BERTANYA

    APA SALAH KEDUA ORANG TUAKU
    HINGGA HARUS HIDUP DIALAM SEMU
    SEMUA SEMU TIADA NYATA
    MENUNGGU, MENUNGGU DAN MENUNGGU

    TANPA ADA KATA-KATA
    ” KAMU HARUS TUNGGU SAMPAI DI DEPAN PINTU ”
    AKU TAK BISA APA
    MELIHAT MEREKA PORAK-PORANDA

    TUHAN…..
    HANYA PADAMU AKU BERSIMPUH
    MEMOHON DENGAN KEKUATANMU
    MEMBUKA HATI MEREKA YANG MEMBEKU

    Sepenggal puisi yang mungkin bagi para ahli hanyalah karya biasa, tapi ini adalah bukti isi hati dari seorang anak yang merasakan betapa hidupnya hancur. Pupusnya cita-cita dan masa depan akibat dari perbuatan dari sebuah koorporasi. Tersiratkah dalam pikiran mereka bahwa anak-anak yang memiliki masa depan cerah tiba-tiba hancur.Memang MEREKA terlahir dari keluarga yang serba WAH. Jadi MEREKA tidak akan pernah tahu rasa sakit jadi rakyat dan orang jelata. Banyak masalah yang masih belum diselesaikan oleh keluarga BAKRIE. Tapi ironisnya MEREKA bersenang-senang dengan pesta milyaran rupiah, tanpa rasa malu mereka menyunggingkan senyum diatas derita kami.

  • “Cash and Carry” atau Mati!

    “Cash and Carry” atau Mati!

    Jatirejo, korbanlumpur.info – Pada saat media ramai memberitakan tentang betapa warga korban lumpur yang di dalam peta sudah menerima kunci rumah di perumahan Kahuripan Nirwana Villages, ribuan orang lainnya masih terkatung-katung nasibnya. Mereka adalah kelompok yang menolak tawaran cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Warga tetap bersikeras untuk menuntut pembayaran cash and carry. “Cash and Carry atau Mati!” Demikian semboyan Bang Rois, tokoh warga dari Siring, Porong.

    Semangat itu mengemuka dalam pertemuan korban lumpur Lapindo dari kelompok yang menamakan GEPPRES (Gerakan Penegakan Perpres 14/2007). Pertemuan yang digelar di Posko GEPPRESS di Desa Jatirejo tadi malam (25/07) itu dihadiri oleh ratusan warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Reno Kenongo dan Kedung Bendo.  Rapat itu bertujuan untuk mensosialisasikan rencana kerja dan tuntutan GEPPRES kepada anggotanya.

    GEPPRES merupakan kelompok pecahan dari kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang lebih dikenal sebagai kelompok binaan Cak Nun. Pada tanggal 24 Juni 2008, GKLL yang awalnya menuntut cash and carry menandatangani nota kesepahaman dengan MLJ untuk menerima cash  and resettlement, disaksikan oleh Bupati, Kepala BPLS dan Cak Nun selaku pembina GKLL. Karena nota kesepahaman itulah kemudian banyak warga yang kecewa yang kemudian membentuk GEPPRES “Sebab kami sudah dikhianati oleh GKLL dan Cak Nun,” tegas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Menurut Musthofa, awalnya GKLL menuntut untuk pembayaran sisa 80% secara cash and carry. “Bahkan warga semuanya disuruh untuk membuat surat pernyataan dan mandat kepada Cak Nun untuk memperjuangkan”, tambah Musthofa. Sebagian besar warga beranggapan bahwa pembayaran 20% yang sudah mereka terima adalah atas jasa Cak Nun. Saat itu, lanjut Musthofa, ada 3.000-an warga yang tergabung dalam GKLL, “karena kami memang ingin sisa pembayaran 80% dibayar secara cash and carry.”

    Alasan warga menuntut cash and carry adalah karena warga tidak akan bisa hidup di perumahan seperti yang ditawarkan Lapindo. “Sebagian besar warga itu petani dan tukang bangunan. Lha bagaimana kami bisa hidup di perumahan? Kami sudah biasa hidup di desa yang orangnya kenal semua. Jelas kami tidak akan kerasan dan tidak akan bisa kerja,” jelas Wito, salah seorang pengurus GEPPRES dari Jatirejo, dengan panjang lebar.

    Lain lagi yang diutarakan Hari Suwandi, koordinator Desa Kedungbendo dalam kepengurusan GEPPRES. Menurut Hari, orang sudah terlanjur berencana untuk membangun rumah atau melakukan berbagai hal lainnya dengan uang 80% yang mestinya mereka terima akhir bulan ini. “Sebagian sudah beli tanah, mbangunnya dengan uang dari Minarak. Ada yang sudah kadung bayar uang muka untuk beli rumah di desa lain. Lha kalau gak jadi seperti ini ya gimana?” terangnya.

    Yang lebih rumit, sebagian besar orang mengaku berhutang dan berjanji untuk melunasi setelah menerima pembayaran 80%. Tetapi karena Minarak menolak membayar secara tunai, tentunya mereka terancam untuk gagal. “Ada itu bahkan yang sudah membayar uang muka untuk naik haji sampai 15 juta. Lha kalau tidak bisa melunasi ini kan bisa hangus” tambah Hari. Karena itu warga menolak skema cash and resettlement dan tetap menginginkan untuk pembayaran cash and carry.

    Dalam pertemuan GEPPRES yang kedua tadi malam, warga membulatkan tekad untuk tetap menuntut hak mereka. Secara hukum, warga yakin bahwa posisi mereka sudah sangat kuat. “Kita ini kan sudah dilindungi dengan Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membayar 20-80 kepada korban. Lha kenapa Peraturan dari Presiden bisa dikalahkan oleh nota kesepahaman GKLL dengan MLJ. Yang memimpin negara ini memangnya siapa?” tegas Musthofa yang disambut tepuk semangat peserta pertemuan yang membludak sampai ke sisi jalan raya.

    Pendapat itu dibenarkan oleh Paring Waluyo, pendamping warga dari Posko Porong. Menurut Paring, hak warga untuk mendapatkan sisa pembayaran sebanyak 80 persen secara cash and carry itu dilindungi paling tidak oleh 4 peraturan hukum. Yang pertama adalah Perpres 14/2007 itu sendiri. Pada pasal 15 dari Perpres menegaskan bahwa Lapindo wajib membeli tanah dan bangunan warga dengan skema 20-80, dimana sisa pembayaran dilakukan satu bulan sebelum masa kontrak habis.

    Yang kedua adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 24 P/HUM/2007 tanggal 14 Desember 2007 yang merupakan jawaban atas permintaan Uji Materiil Perpres 14/2007. “Putusan MA yang merupakan lembaga tertinggi dalam masalah hukum ini pada dasarnya menegaskan tentang cara pembayaran yang diatur dalam Perpres, dan menegaskan kewajiban bagi Lapindo untuk menjalankan Perpres bagi warga yang memilih skema ini,” tambah Paring.

    Yang ketiga adalah Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo. “Dalam surat ini disebutkan bahwa tanah Letter C, Pethok D dan SK Gogol, bisa di-akta jual beli-kan. Nah, kalau Minarak bilang bahwa tanah non-sertifikat tidak bisa di AJB-kan, itu kesimpulan sepihak,” terangnya disambut tepuk tangan setuju dari peserta pertemuan.

    Sedangkan yang terakhir adalah risalah rapat tanggal 2 Mei yang ditandatangani Minarak dan Perwakilan warga yang juga disaksikan oleh pejabat terkait (Mensos, Bupati, Kepala BPLS, BPN, dsb) . Pada pertemuan itu juga disepakati bahwa tanah non sertifikat bisa di-AJB-kan. “Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Minarak untuk tidak memenuhi tuntutan warga yang ingin memilih cash and carry,” pungkas Paring.

    Karena itu, GEPPRES menyatakan dengan tekad bulat bahwa mereka tetap akan memperjuangkan untuk menuntut cash and carry atas sisa pembayaran 80%. Setelah 2 tahun menunggu, warga mengaku bahwa mereka tidak mau lagi dibohongi dan dibodohi. “Lha sebentar lagi kontrak rumah sudah habis, kita tidak punya pilihan lain selain hanya menuntut kepada pemerintah. Kami akan bawa ini sampai ke RI-1 yang keputusannya ternyata diselewengkan di bawah oleh aparatnya,” tukas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Warga sendiri mengaku tidak akan mundur untuk menuntut hak yang selama ini sudah diambil oleh Lapindo. “Warga korban lumpur jangan takut, saya yang akan didepan. Kalau aparat mau menangkap, tangkap saja saya. Silahkan, wong saya memperjuangkan rakyat kecil, tetangga saya yang tukang-tukang becak itu. Jangan takut. Pokoknya cash and carry atau mati,” tegas Bang Rois, tokoh dari Siring yang disambut dengan tepukan setuju dari warga korban lumpur Lapindo lainnya.
  • Lapindo Berkelit, Korban Kian Terjepit

    Hanya tersisa satu pilihan bagi warga bangsa yang masih punya hati nurani dan kepedulian akan masa depan negeri ini, serta mereka yang selama ini menyatakan peduli akan nasib korban Lapindo. Beramai-ramai datang ke pasar baru Porong, untuk meyakinkan korban bahwa mereka tidak sendirian, mensinergikan gerakan dengan korban Lapindo serta segera membantu stamina dan penghidupan korban yang kini benar-benar diabaikan pemerintah dan Lapindo.

    “Bencana lumpur Lapindo sudah selesai.” Begitulah yang akan segera dikabarkan dan dikampanyekan oleh Lapindo dan Bakrie Group begitu pengungsi korban Lapindo yang masih bertahan di Pasar baru Porong benar-benar menyerah. Sebab saat ini satu-satunya yang tersisa untuk membuktikan bahwa bencana ini jauh dari selesai dan korban masih belum tertangani dengan baik adalah keberadaan pengungsi di Pasar baru Porong.

    Kami memandang bahwa selama ini, segala macam upaya dilakukan oleh Lapindo untuk mengopinikan bahwa: (1) bencana Lapindo adalah fenomena alam yang dipicu oleh kejadian alam pula; (2) meskipun tidak ada status hukum apapun yang menyatakan bahwa mereka bersalah, Lapindo tetap berbaik hati dan peduli dengan penanganan dampak sekaligus nasib korban.

    Untuk mewujudkan opini diatas, kami menganggap bahwa mereka melakukan berbagai upaya. Untuk yang pertama, Lapindo ‘menyewa’ ahli-ahli geologi yang, dengan menyisihkan segala kaidah keilmuan, melainkan oleh gempa bumi di Yogya. Padahal jauh lebih banyak ahli yang lebih otoritatif dan lebih berpengalaman dan diakui yang menyatakan bahwa semburan ini diakibatkan oleh kesalahan prosedur pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo.

    Pendapat ini kemudian gencar dipakai Lapindo untuk membangun opini publik, mulai dari forum diskusi yang diselenggarakan pemerintah, sidang pengadilan, bahkan sampai dengar pendapat dengan DPR (secara sepihak tanpa menyertakan ahli yang berpendapat berbeda). Hasilnya mudah diduga, sikap pemerintah (eksekutif), keputusan pengadilan (yudisial) dan posisi DPR (legislatif), seolah di-orkestra-i seirama menganggap bahwa Lapindo tidak bersalah dalam bencana lumpur panas ini.

    Seolah itu belum cukup, Minarak Lapindo Jaya (perusahaan yang didirikan April 2007 oleh Bakrie Group untuk menangani masalah Lapindo) kemudian membayar iklan di berbagai media cetak nasional untuk mendukung opini tersebut. Selain menyatakan bahwa semburan lumpur ini disebabkan oleh bencana alam, iklan tersebut juga mempertegas poin kedua berikut.

    Bahwa meskipun tidak menyebabkan semburan lumpur, Lapindo ternyata masih bertanggungjawab menangani dampak bencana ini, dan manangani nasib korban lapindo. Hal ini mereka buktikan dengan menyediakan berbagai kebutuhan pengungsi, yang mestinya merupakan kewajiban pemerintah. Padahal penyediaan fasilitas mulai dari makanan, fasilitas kesehatan, air bersih, pendidikan bagi anak2 dan sebagainya tersebut hanya pada beberapa bulan awal .

    Setelah beberapa waktu, fasilitas-fasilitas tersebut di hentikan oleh Lapindo, meskipun dalam berbagai kesempatan, mereka selalu menyebutkan seolah fasilitas-fasilitas tersebut masih disediakan. Terakhir, satu-satunya fasilitas pengungsi yang disediakan oleh Lapindo adalah jatah makan, setelah air bersih dihentikan sejak November 2007. Akibatnya pengungsi harus mencari sendiri segala kebutuhan dasar tersebut. Hingga awal bulan ini, Lapindo membuat surat kepada pemerintah bahwa mereka akan menghentikan jatah makan bagi pengungsi sejak tanggal 1 mei 2008.

    Poin berikut untuk mendukung opini kedua ini adalah bahwa Lapindo sudah membayar ganti rugi kepada korban, dan korban sudah menerima skema yang ditetapkan di dalam Perpres 14/2007. Skema yang dimaksud adalah bahwa untuk menangani dampak sosial bencana lumpur panas ini, Lapindo harus membeli tanah dan bangunan milik korban. Kerugian warga direduksi menjadi hanya sekedar kehilangan asset, sedangkan kerugian lain sama sekali tidak dipertimbangkan.

    Sistem pembayarannya adalah, pertama warga melengkapi surat2 bukti kepemilikan tanah dan bangunan. Padahal banyak dari korban tidak memegang bukti ini, baik karena memang tidak ada karena selama ini di desa bukti kepemilikan dianggap tidak terlalu penting atau tidak sempat diselamatkan karena sibuk menyelematkan diri sewaktu lumpur menenggelamkan desa mereka.

    Setelah bukti lengkap, warga akan menyerahkan ke Lapindo, sambil menerima uang kontrak untuk 2 tahun. Dengan menerima uang kontrak ini, warga sudah melepas status sebagai pengungsi dan tidak diurusi lagi oleh Lapindo. Sebuah jebakan yang membuat korban terlucuti posisi tawarnya, karena pada dasarnya warga bukan lagi korban, tetapi mitra jual beli Lapindo.

    Setelah berkas diverifikasi, korban menanda tangani Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang intinya menyerahkan kepemilikan tanah dan menerima pembayaran 20 persen. Sedangkan sisa pembayaran 80 persen dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sebelum dua tahun masa kontrak habis. Poin selambat-lambatnya ini kemudian diterjemahkan secara sepihak oleh Lapindo (dan didiamkan oleh si pembuat Perpres) bahwa mereka akan mulai melunasi pembayara 21 bulan kemudian. Artinya, selambat-lambatnya dipelintir oleh Lapindo menjadi secepat-cepatnya.

    Jadi terang bahwa pengopinian bahwa Lapindo membayar ganti rugi kepada korban merupakan upaya yang sistematis untuk menyesatkan persepsi publik, sebab yang terjadi bukan ganti rugi, tetapi jual beli (untuk jelasnya, lihat blog www.korbanlapindo.blogpot.com atau www.korbanlapindo.net). Sebuah jual beli yang secara hukum sangat aneh, manipulatif dan tidak memberi kepastian hukum akan nasib dan masa depan korban.

    Aneh sebab, dalam skema pembelian apapun, bukti kepemilikan diserahkan setelah pembeli melunasi harga transaksi. Manipulatif karena, tidak ada posisi yang seimbang dalam transaksi karena warga terpojokkan dahulu dalam situasi dimana mereka seolah harus mengambil pilihan ambil atau tidak dapat apa-apa. Tidak memberi kepastian hukum karena adanya pasal karet mengenai ketentuan pelunasan pembayaran yang membuat lapindo bisa berkelit dari kewajiban membayar tanpa sanksi apapun.

    Pasal yang tercantum di dalam PIJB antara Lapindo dan Korban tersebut pada dasarnya menyebutkan bulan kapan Lapindo harus melunasi pembayaran (yaitu 21 bulan dari ditandatanginanya PIJB seperti disebutkan diatas). Dari bulan yang disebutkan, Lapindo diberi waktu 1 bulan untuk melunasi pembayaran. Jika dalam masa 1 bulan tenggang tersebut Lapindo tetap belum melunasi, maka korban boleh mengambil kembali bukti kepemilikan asset mereka.

    Tidak ada penjelasan lanjutan setelah itu, kecuali bahwa Lapindo masih tetap akan bertanggungjawab melunasi pembayaran. Tidak jelas apa konsekuensi setelah warga menarik berkas mereka. Tidak jelas kapan dan bagaimana Lapindo akan melunasi sisa pembayaran. Tidak ada mekanisme dis-insentif (kecuali kalau sumpahnya Cak Nun dianggap sebagai mekanisme dis-insentif), misalnya dalam bentuk denda setiap bulan penundaan, sehingga akan mendorong Lapindo untuk membayar. Intinya tidak jelas apakah Lapindo akan membayar sisa pembayaran.

    Poin ketidakjelasan penyelesaian pembayaran itulah yang kemudian yang semakin menguatkan kami untuk tetap bertahan di pengungsian. Bertahan hidup dalam situasi yang sangat mengenaskan, diintimidasi, ditakut-takuti dan diancam, bahkan oleh pemerintah kami sendiri. Karena skema yang ditetapkan pemerintah tersebut tidak hanya tidak adil (apalagi kata Wapres menguntungkan), namun malah membuat masa depan kami, korban yang sudah sengsara ini, akan semakin terpuruk.

    Kedua poin tersebut secara sistematis diopinikan oleh Lapindo dan diterima oleh sebagian besar publik. Akibatnya tidak ada lembaga atau orang yang berbondong-bondong membantu pengungsi korban Lapindo, seperti halnya korban bencana yang lain, sebab seolah-olah Lapindo sudah menangani korban. Beberapa NGO asing yang kami mintai bantuan bahkan menyatakan bahwa justru pemerintah yang menolak tawaran mereka untuk membantu korban. Pemerintah dimana Koordinator kementriannya yang seharusnya bertanggungjawab menangani korban, dijabat oleh orang yang sama dengan pemilik grup usaha yang menyebabkan bencana ini.

    Ketidakjelasan nasib korban

    Tawaran tersebut dengan sangat terpaksa kemudian diterima oleh sebagian besar korban. Mereka tidak lagi punya energi untuk bertahan setelah berbulan-bulan menunggu kejelasan nasib dan status mereka. Situasi yang disebabkan oleh ketidak jelasan negara tentang bagaimana kejelasan hukum status bencana ini dan bagaimana kejelasan nasib dan segala hak sosial ekonomi dan budaya dari korban yang telah terenggut dengan paksa begitu saja.

    Dari saat awal kejadian semburan lumpur panas di Desa Renokenongo pada tanggal 29 Mei 2006, korban sudah disuguhi ketidaktegasan ini. Pada hari-hari pertama, tidak jelas apa yang menyebabkan semburan lumpur panas ini. Yang diketahui oleh warga dan diberitakan di media adalah semburan ini terjadi di areal pemboran gas Lapindo, kegiatan eksplorasi yang sebagian besar warga yang tinggal di dekat situ tidak mengetahuinya.

    Kemudian, dari berbagai keterangan muncullah pemberitaan di media massa bahwa memang operasi Lapindo-lah penyebab semburan ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh proses penyidikan yang mulai dilakukan oleh Polda Jatim, yang menemukan adanya indikasi kesalahan prosedur yaitu tidak dipasangnya chasing di sumur Banjar Panji 1. Kesimpulan tim investigasi yang dibentuk oleh pemerintah dan pendapat sejumlah anggota DPR yang datang ke lokasi juga menyimpulkan hal yang sama.

    Tanpa kejelasan status hukum, opini publik saat itu terbangun dengan sangat kuat bahwa memang Lapindo yang menyebabkan bencana ini, dan Lapindo tidak menolak. Kemudian muncul keterangan dan pernyataan dari pejabat pemerintah, mulai pusat sampai daerah, yang mengunjungi lokasi, bahwa Lapindo harus bertanggungjawab atas berbagai dampak yang diakibatkan oleh semburan lumpur ini.

    Bahkan pada bulan Juni 2006, Wapres didepan korban dan Nirwan Bakrie (yang datang bersama wapres mewakili Grup Bakrie) menegaskan bahwa Bakrie tidak hanya akan memberi ganti rugi kepada korban, namun ganti untung. Pernyataan (yang oleh korban dengan segala baik sangka kepada pemimpin negara diterjemahkan sebagai perintah) yang juga dibenarkan oleh Nirwan Bakrie.

    Senada dengan Wapres, Presiden setelah menerima laporan tim investigasi semburan lumpur, juga menyatakan hal yang sama, kali ini didepan menko kesra dan pemilik Grup Bakrie (yang entah kenapa, paling tidak sebagai bentuk tanggungjawabnya selaku menko kesra, tidak pernah datang ke lokasi bencana, dan tidak mendapat teguran akan hal ini)

    Maka lengkaplah sudah, persepsi publik maupun keyakinan korban bahwa Lapindo-lah yang menyebabkan bencan ini, dan Lapindo akan bertanggungjawab. Bagi korban, meskipun tanpa perlu status hukum, ketika semua sudah menyatakan hal itu, maka nasibnya akan segera jelas. Penghidupannya yang porak poranda segera akan bisa ditata lagi sehingga bisa segera hidup dengan normal.

    Tetapi kemudian waktu berjalan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun beranjak menjadi tahun. Tetapi tidak ada kejelasan tentang bagaimana penyelesaian nasib korban. Segala proses perundingan dengan Lapindo dan pemerintah tidak membuahkan hasil. Kesepakatan ditanda tangani, namun ketika isi kesepakatan ini tidak terpenuhi, tidak ada penjelasan apapun.

    Hal yang sama juga terjadi dengan sikap dan keterangan pemerintah, termasuk pemerintah pusat. Ketika Wapres dan Presiden beberapa kali meminta atau memerintahkan sesuatu, ketika itu tidak dilakukan, atau tenggat waktunya terlewati dan permintaan atau perintah tadi tidak terlaksana, tidak ada penjelasan kenapa itu tidak terlaksana baik dari si pemberi maupun penerima perintah. Tidak ada permintaan ma’af atau pejabat yang dimarahi ketika perintah presiden/wapres tidak terlaksana.

    Pada saat yang sama, suasana yang dihadapi warga semakin sulit. Uang simpanan sudah mulai habis karena selama terjadinya bencana ini sebagian besar dari kami yang sawah dan pabriknya tenggelam tidak lagi bisa bekerja. Sedangkan kebutuhan hidup, belanja sehari-hari, biaya anak sekolah, cicilan motor dan sebagainya, tidak bisa lagi ditunda.

    Kondisi hidup di pengungsian yang serba terbatas juga membuat kami lebih menderita. Anak-anak kami tidak bisa belajar dan bermain dengan tenang. Suasana hidup berkeluarga tidak lagi bisa kami jalankan dengan nyaman, karena harus hidup di pengungsian yang berjubel beberapa keluarga dalam los di pasar yang hanya berpenyekat kain lusuh. Bagaimana kami bisa berhubungan tenang dengan suami/istri dalam kondisi semacam ini.

    Sementara skema yang ditawarkan oleh pemerintah juga tidak kunjung jelas. Berbagai jenis wacana datang dan pergi tanpa penjelasan. Relokasi, ganti rugi, cash and carry, dan berbagai macam. Semuanya hanya sebatas di perundingan, sebatas wacana di media. Tidak ada ketegasan dari pemerintah, dan Lapindo selalu mengulur-ulur tawaran. Ketika presiden

    Seolah-olah begini. Ada orang yang kelaparan, dan dia datang minta sepiring nasi. Kemudian dijawab, oke saya beri makan. Tetapi belum sempat makanan itu diberikan, muncul pendapat lain. Jangan diberi makan, diberi kail saja, biar bisa mencari ikan. Tidak jelas jadi atau tidak diberi ikan, ada yang usul lagi. Diberi cangkul saja, biar bisa menanam padi. Begitu seterusnya, padahal si orang yang kelaparan ini tetap saja kelaparan, dan tidak diberi apa-apa.

    Sampai kemudian ketika sudah hari ke lima, dan si orang yang kelaparan tadi sudah hamper mati, baru diputuskan, ya sudah, diberi makan saja. Maka permintaan si orang yang kelaparan tadi pun dipenuhi. Padahal, agar orang tersebut bisa selamat, apa yang diperlukan sebenarnya setelah hari kelima bukan lagi makanan, tetapi infus. Karena setelah 10 hari tidak makan apa-apa, ketika diberi makan sepiring nasi, seperti yang awalnya diminta, maka dia akan meninggal.

    Kira-kira seperti itu yang terjadi dengan korban Lapindo. Ketidak jelasan penanganan ini membuat kami tidak lagi percaya dengan pemerintah kami sendiri. Bukan karena sebab lain, tetapi karena ketidak konsistenan yang mereka tunjukkan sendiri. Dan kami samakin merasa nasib kami semakin tidak jelas. Sampai kemudian kami diajari oleh situasi, agar permintaan kita didengar dan dipenuhi, ya diminta dengan paksa.

    Kami pun harus berdemontrasi untuk menuntut hak kami. DI lokasi, di kabupaten, di provinsi bahkan ke istana Negara. Pemerintah tidak bisa ditemui atau disurati baik-baik, harus didatangi ramai-ramai agar aspirasi kami diterima. Sekali lagi, kesimpulan ini kami dapat karena sikap pemerintah sendiri, yang tidak jelas dan mengambangkan nasib kami, sedangkan disisi lain mereka tidak bisa menekan Lapindo, seperti yang ditegaskan pemerintah sendiri di awal, agar bertanggungjawab dan menangani nasib korban.

    Maka setelah hampir 1 tahun, setelah berbagai upaya demontrasi, setelah terjadi berbagai konflik antara korban sendiri dan kondisi yang tidak tertahankan lagi di pengungsian, baru pemerintah memberi kepastian hukum kepada kami. Keluarlah kemudian Peraturan Presiden No.14/2007, yang awalnya kami harapkan akan memberi penyelesaian yang adil bagi nasib kami kedepan. Tetapi seperti dijelaskan di depan, perpres ini ternyata berisi berbagai kejanggalan dan membawa berbagai masalah ke depan bagi kami.

    Kenapa Kami Bertahan

    Korban bukannya tidak tahu akan kejanggalan dan ‘jebakan’ hukum yang terkandung di dalam Perpres ini. Tetapi seperti dijelaskan diatas setelah hampir satu tahun, stamina kami sudah habis. Ketika penghidupan kami porak poranda, hampir tidak ada bantuan yang diberikan kepada kami seperti halnya korban bencana yang lain. Ketika nasib kami diombang-ambingkan oleh Lapindo dan pemerintah, sedikit sekali aktivis atau LSM yang secara konsisten mendampingi dan membantu kami.

    Kami merasa bahwa sebagian besar warga bangsa ini memang acuh lagi dengan nasib kami. Sementara pemerintah yang seharusnya melindungi kami malah bersikap dan mengambil kebijakan yang seolah-olah justru menguntungkan Lapindo. Pada saat yang sama, beberapa korban dan tokohnya justru mendorong kami untuk segera menerima skema perpres, karena ini pilihan yang terbaik. Kalau tidak, kami tidak akan dapat apa-apa.

    Maka sebagian besar dari korban pun akhirnya menyerah. Mereka menerima skema pemerintah sepahit apapun masa depan yang akan dihadapinya. Meskipun kami akan tercerai berai sebagai masyarakat, meskipun tidak ada kejelasan mengenai status pembayaran. Bahkan sebagian besar korban sebenarnya tidak mengetahui mengenai hal tersebut, karena sebagian besar dari kami adalah awam hukum, dan dalam berbagai proses tersebut tidak ada pendampingan hukum yang bisa memastikan kami terhindar dari jebakan-jebakan hukum semacam itu.

    Korban yang bertahan semakin terlemahkan semangatnya dengan berbagai perkembangan. Bahkan setelah perpres turun, Lapindo dan BPLS yang baru dibentuk tidak segera menjalankannya. Istana Wapres member instruksi percepatan penyelesaian Perpres, namun tidak berdampak apa-apa. Korban hanya bisa mengelus dada.

    Berbulan-bulan setelahnya, Presiden sampai harus ber’kantor’ di markas AL di Juanda (bukan di lokasi semburan) setelah ditangisi dan dijemput ke rumahnya oleh kawan-kawan korban yang menerima skema Perpres, untuk memastikan bahwa Lapindo menjalankan skema tersebut. Setelah beberapa hari berkantor, presiden member deadline 10 minggu agar pembayaran uang muka dibayarkan.

    Setelah lewat 10 minggu, dan target tersebut tidak terpenuhi, lagi-lagi tidak ada reaksi apapun dari presiden (bahkan presiden masih sempat membuat album rekaman). Tidak ada pejabat yang ditegur atau memberi penjelasan atau meminta ma’af, kepada presiden apalagi kepada publik. Bathin kami, Ya Allah, ada apa dengan republik ini.

    Pada saat yang sama, Lapindo mulai melakukan kampanye publik seperti yang dijelaskan di awal tulisan ini. Ada yang bilang, Lapindo mulai melakukan hal ini ketika mereka sudah melakukan kalkulasi dengan matang bahwa situasi sudah menguntungkan mereka. Bahwa setelah satu tahun lebih bencana ini berlangsung, dengan penanganan yang seadanya sekaligus perpres yang memihak mereka, ternyata tidak memicu reaksi yang berarti dari publik.

    Pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya jelas mandul terhadap mereka. Tidak ada aksi solidaritas dan advokasi yang masif dari komponen civil society yang peduli akan nasib korban dan masa depan negeri ini. Tidak ada sorotan dunia internasional yang memadai terhadap bagaimana ketidakbecusan penanganan bencana ini.

    Lebih penting lagi, sebagian besar korban sudah menyerah. Kecuali 3000-an (jumlah saat itu, pertengahan 2007) korban yang memilih bertahan di pengungsian pasar baru, tidak ada perlawanan dari korban. Pendeknya, situasi sudah terkendali, dan praktis menguntungkan mereka.

    Karena itulah, pada masa ini, gencar dilakukan kampanye di media oleh Lapindo yang mengesankan bahwa bencana ini sudah selesai. Padahal semburan lumpur panas masih terjadi, dan semakin memburuk, dan dampak serta korbannya semakin meluas. Di pemberitaan media, bencana skala dunia ini juga tenggelam oleh hiruk-pikuk berita-berita lainnya. Kalau tidak ada tanggul jebol, atau demo yang menutup jalan raya Porong, masalah Lapindo tidak muncul lagi dipermukaan.

    Tetapi kami masih bertahan. Walaupun di luar kami kerap menyuarakan kesadaran akan hak-hak sebagai warga Negara sebagai alasan kami bertahan, tetapi sebenarnya alasan yang lebih mendasar korban masih bertahan adalah sesederhana bahwa sebagian besar dari kami tidak akan bisa lagi hidup dengan layak dan bermartabat, mungkin selamanya. Bahkan bagi sebagian dari kami, bahkan sekedar untuk hidup-pun akan sulit kalau kami menerima skema Perpres (lihat blog www.korbanlapindo.blogspot.com untuk info lengkap tentang hal ini).

    Kami berkeyakinan bahwa selama kami masih mempertahankan status sebagai pengungsi, maka pemerintah tetap mau tidak mau terpaksa harus memperhatikan kami. Dan kami tidak akan mau pindah dari pengungsian sebelum Lapindo mengabulkan tuntutan kami. Sikap yang didukung dan diperkuat sebagian kecil tokoh bangsa dan lembaga yang peduli dengan perjuangan kami.

    Lapindo Bergeming, Korban Kian Pusing

    Kamipun mencoba berbagai upaya yang kami bisa (dengan segala macam keterbatasan, baik logistic maupun pemahaman) untuk memperjuangkan nasib hak dan tuntutan kami. Kami berupaya melakukan semua cara yang mungkin, baik atas inisiatif sendiri maupun dengan fasilitasi dari pihak-pihak yang peduli terhadap masalah bencana Lapindo dan nasib korban.

    Kamipun mengundang kepedulian tokoh-tokoh yang peduli dengan cara memberi mereka penghargaan yang kami sebut lumpur Award (anti tesis dari Bakrie Award). Tokoh-tokoh seperti Prof Syafi’I Ma’arif, Gus Sholah, Prof Frans Magnis Suseno, Mayjend Marinir (purn.) Suharto, Mohamad Noer (mantan gubernur Jatim) dan Rieke Dyah Pitaloka.

    Harapannya setelah komitmen dan desakan dari tokoh-tokoh tersebut, muncul dua hal. Pertama strategi gerakan akan lebih kuat karena masukan dan saran dari mereka yang sarat pengalaman. Kedua, tokoh-tokoh sekaliber Gus Sholah atau Buya Ma’arif, atau Romo Magnis, tidak mungkin ketika menerima award dan menyatakan dukungan kepada kami hanya didasarkan pada basa-basi politik semata. Kami sangat haqqul yakin bahwa beliau-beliau itu mempunyai satu kata dan perbuatan, apa yang diucapkan itu pula yang akan dilakukan.

    Maka dengan mendapat dukungan tokoh-tokoh tersebut, mereka dan basis massa-nya yang cukup luas akan bisa memperluas basis dukungan perjuangan kami. Sehingga desakan kepada pemerintah untuk memenuhi tuntutan kami akan lebih kuat. Langkah-langkah serupa kami lakukan pula terhadap berbagai komponen bangsa yang masih peduli. Kami berupaya membangun jaringan dengan kampus, NGO, anggota dewan, lembaga Negara yang relevan, tokoh-tokoh agama maupun masyarakat luas lainnya.

    Hasilnya sebagian melakukan kegiatan yang nyata (Radio 68 H membangun radio komunitas untuk korban, Uplink memberi pendampingan kepada warga, Yayasan Airputih dan Satudunia membuatkan website, Yayasan TIFA melakukan riset potensi konflik, FH Unair memberikan kuliah hukum selama 6 minggu untuk korban, dan beberapa lainnya), dengan hasil dan ekspos yang cukup terbatas. Namun lebih banyak yang hasilnya sebatas pernyataan dukungan maupun berupa komitmen yang tidak (belum) jelas wujudnya.

    Padahal salah satu kebutuhan mendesak setelah satu tahun setengah bertahan di pengungsian adalah bantuan yang bisa memperkuat stamina kami. Yang kami maksudkan dengan stamina adalah adanya dukungan kegiatan ekonomi yang menunjang kehidupan kami sehari-hari. Kami tidak bermaksud meminta sumbangan sembako atau materi. Tetapi tolong dibantu agar kami bisa memenuhi kebutuhan ekonomi kami yang sudah hilang karena sumber pencaharian kami tenggelam oleh lumpur.

    Bagaimana caranya agar ada kegiatan ekonomi produktif yang bisa kami kerjakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian dari kami masih kuat bekerja, dan cukup bermartabat untuk menjadi pengemis. Tetapi kami juga realistis bahwa perjuangan butuh kekuatan, dan omong kosong ngomong tuntutan ketika perut kami kosong. Kalau dalam bencana lainnya, ada berbagai kegiatan yang diarahkan untuk livelihood warga, kenapa tidak ada satupun yang seperti itu diarahkan kepada kami. Salah kaprah besar kalau menganggap Lapindo sudah menangani masalah ini.

    Ketika masalah stamina inipun tidak kunjung jelas, kami tetap berupaya menarik perhatian kepada masalah Lapindo. Kami berupaya sebisa mungkin mendatangi berbagai undangan kawan2 maupun lembaga yang peduli untuk sekadar testimoni atau bentuk kegiatan lainnya yang mengundang korban lumpur Lapindo. Meski kadang dengan hasil yang tidak jelas dan kami harus kehilangan stamina yang sudah sangat mepet.

    Untuk menarik perhatian internasional, kamipun mendatangi mendatangi berbagai lembaga internasional di bawah PBB di Jakarta. Hasilnya nol. Kami mendatangi forum UNFCCC di Bali akhir tahun 2007 untuk mengabarkan kepada dunia apa yang terjadi di negeri kami (meskipun dihalangi2 aparat dan pihak keamanan forum yang ternyata ketua panitia pengawasnya adalah Menko Kesra ini).

    Kami juga berupaya menarik perhatian media dengan mengundang mereka untuk meliput masalah ini. Hasilnya liputan tentang masalah Lapindo keluar di majalah National Geographic bulan Januari dan cover story majalah TIME bulan Maret serta liputan dari beberapa media asing lainnya. Liputan majalah Tempo bulan Maret juga cukup kuat dalam menarik perhatian publik.

    Ternyata berbagai upaya tersebut tidak kunjung membawa kami kepada tahapan yang lebih dekat kepada tuntutan kami. Lebih jauh lagi, berbagai dukungan yang disampaikan dan diberikan kepada kami tersebut tidak pernah terkapitalkan. Atau dengan kata lain, tidak ada yang bisa mengorkestrasikan berbagai komitmen dukungan tersebut menjadi pressure yang massif dan efektif, ataupun membantu memperkuat stamina kami.

    Kami tidak tahu caranya (kami tidak ada yang punya kapasitas untuk itu), dan tidak ada lembaga yang membantu kami melakukan hal itu. Sederhanya, kami membayangkan andai saja setiap orang atau lembaga yang pernah menyatakan peduli dengan kami, menyumbang Rp10.000 saja, akan terkumpul dana yang cukup besar. Dana tersebut jangan berikan langsung kepada kami, tetapi salurkan melalui lembaga yang kompeten dalam bidang pengembangan ekonomi atau Usaha Kecil Menengah.

    Dana tersebut akan diwujudkan dalam bentuk kegiatan usaha produktif, yang akan dikerjakan oleh pengungsi, atau dirupakan kredit mikro atau dana bergulir. Bahkan kalau pendekatannya benar, kamipun bersedia untuk menerima dana tersebut sebagai pinjaman modal usaha, dan mengembalikan dana tersebut ketika usaha ini berjalan. Dengan kegiatan usaha kecil ini, maka stamina kami akan terjamin, dan kami tidak akan tergantung kepada pemerintah atau Lapindo

    Mungkin kami belum pernah menyampaikan hal ini secara terbuka kepada publik luas. Sebab kami berpikir bahwa mestinya kesadaran akan kebutuhan kami seperti itu mestinya toh tidak perlu diberitahukan, mestinya mereka-mereka sudah tahu. Menyadari bahwa kami adalah sebagian besar petani dari warga desa biasa mestinya menyadarkan mereka bahwa masalah stamina ini akan menjadi kebutuhan kami yang mendesak.

    Tetapi satu hal yang jelas terbangun dalam persepsi sebagaian besar pengungsi adalah, bahwa tuntutan yang sedang kami lakukan ini tidak ada harapan untuk berhasil. Pemerintah sudah melempem, DPR dan pengadilan pun tidak berdaya, sementara polisi menghentikan proses penyidikan. Dan kalau semua upaya untuk menarik perhatian dukungan ini ternyata tidak juga membuahkan hasil yang nyata, selain hanya pernyataan di Koran dan rasan-rasan di dunia maya.

    Padahal sementara rumah tangga kami semakin kacau, ekonomi kami semakin berantakan, pemilik grup perusahaan yang menjadi penyebab masalah kami menjadi orang terkaya di negeri ini dan martabat-nya seolah tidak tercela dengan nasib kami yang kian merana. Sementara kami hidup dan tinggal di pengungsian, pegawai Lapindo di Surabaya tinggal di hotel Berbintang 5. Apakah ini bukan versi modern David lawan Goliath. Tidakkah kami hanya tengah menggantang angin.

    Tuntutan Yang Terus Menurun

    Padahal alasan permintaan kami berbeda dengan sebagian besar korban adalah karena kami tidak ingin meninggalkan sistem sosial yang selama ini sudah kami kenal dan akrabi sejak kami kecil. Tinggal dengan tetangga teman dan saudara yang sama seperti sebelum terjadi bencana ini. Tidak sedikitpun ada niat kami untuk mengambil untung, tetapi kami hanya ingin hidup kami yang sudah susah dan terhenti selama setahun akibat lumpur ini tidak jadi semakin parah.

    Awalnya, tuntutan kami adalah Lapindo harus membayar nilai aset sesuai harga yang ditetapkan perpres, langsung 100 persen, plus uang kontrak dan lain-lain seperti yang dibayarkan kepada korban Lapindo yang menerima perpres. Nilai ini kami anggap sebagai ganti rugi materiil, sedangkan immateriilnya, kami menuntut disediakan tanah seluas 30 ha, dimana kami akan membangun lagi desa kami seperti sebelum kejadian, sehingga kami masih bisa tinggal bersama-sama lagi.

    Alasan meminta pembayaran langsung secara penuh bukan karena kami serakah, namun karena nilai sebagian besar aset korban tidak besar. Sehingga kalau dibayar 20 persen, nilai itu tidak akan cukup bagi kami untuk membangun rumah (jangankan membangun rumah, bayar hutang saja mungkin sudah habis). Sedangkan kalau secara langsung dibayar 100 persen, bayangan kami itu akan cukup untuk membangun rumah, sehingga kami tidak terlalu lama menjadi gelandangan.

    Tuntutan ini juga didasarkan bahwa alasan pembayaran 20 – 80 persen menurut kami tidak adil dan hanya memperhatikan kepentingan cash flow Lapindo, bukan korban yang sudah kepepet secara umum. Terbukti, salah satu majalah keuangan internasional melansir bahwa nilai aset Aburizal Bakrie (pribadi, bukan aset Grup Bakrie) mencapai hampir 50 triliun rupiah. Hanya 0,1 persen dari nilai itu sebenarnya sudah cukup untuk membayar kami, atau 2 persen kalau untuk membayar semua aset korban.

    Sedangkan uang kontrak dan lain-lain tersebut akan kami kumpulkan dan dipakai sebagai modal awal untuk usaha bersama atau koperasi dari warga. Dengan perusahaan milik bersama atau koperasi ini, warga yang kehilangan pekerjaan (terutama petani yang akan sangat kesulitan membeli sawah ditempat lain) bisa bekerja lagi. Demikian juga untuk korban yang selama ini pabriknya tenggelam dan tidak mungkin bisa beroperasi lagi

    Namun Lapindo dan pemerintah menolak dan mengacuhkan tuntutan kami ini. Setelah berbulan-bulan seolah-olah bicara dengan tembok, kami akhirnya sepakat untuk menurunkan tuntutan. Baiklah, mungkin tidak 100 persen, tetapi 50-50 saja, tetapi untuk sisa pembayaran 50 persennya kami minta dibayar tiga bulan, biar nasib kami tidak terkatung-katung terlalu lama. Tuntutan ini tentu saja tidak akan memberatkan mereka, karena bahkan EMP-pun, bagian dari Grup Bakrie pemegang saham di Lapindo, mencatat keuntungan akhir tahun itu.

    Tetapi lagi-lagi tuntutan ini, yang sudah kami tembuskan ke mana-mana, serasa menembus angin. Bupati angkat tangan, gubernur enggan menanggapi, sejumlah menteri menganggap kami mengada-ada. Berbagai upaya kami lakukan, tetapi tetap mentok. Pihak Lapindo bahkan tidak bersedia bertemu degan kami untuk membicarakan tuntutan ini, apalagi bernegoisasi. Di media mereka bilang, kalau menuruti permintaan kami, mereka akan melanggar Perpres, dan mereka akan patuh dengan hukum.

    Sampai kemudian, ketika itikad baik kami untuk berunding dan menurunkan tuntutan ini seperti teriakan di gurun pasir semata, warga kami mulai gelisah. Ini bagaimana? Jangan-jangan mereka tidak mau menuruti ini karena kami meminta ganti immaterial tadi. Padahal tuntutan ini menurut Romo Magnis sangat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dan sudah seharusnya Lapindo dan pemerintah memenuhi agar kami masih bisa hidup bergotong royong dan mengembangkan masyarakat paguyuban seperti sebelumnya di desa yang kini sudah lenyap dari muka bumi.

    Karena itu, kamipun lagi-lagi, tanpa diminta, menurunkan tuntutan sehingga kami tidak lagi meminta ganti rugi imateriil berupa tanah dan bangunan sebesar 30 ha tadi. Kami tetap berencana untuk tinggal bersama, sehingga kami berencanakan untuk membeli tanah tersebut dari uang kontrak dan lain-lain yang seharusnya menjadi hak kami, yang akan kami kumpulkan bersama-sama. Tanah yang bisa dibeli nantinya akan dibagi rata setiap orang satu petak, dengan ukuran yang sama.

    Namun lagi-lagi, selama beberapa bulan, tuntutan kami inipun tidak ada kejelasan. Tidak ada pertemuan maupun tanggapan resmi dari Lapindo terkait tuntutan kami. Mereka tetap teguh dengan posisi bahwa mereka tidak akan melanggar Perpres. Sampai satu titik, kami benar-benar tidak habis pikir sebenarnya Negara dan warga bangsa ini menganggap kami ada tidak sih. Kenapa semua pada diam, dan tidak banyak yang membantu kami menyuarakan hal ini.

    Negoisasi dan Negoisasi

    Situasi yang mulai dilanda keputusasaan atas ketidakjelasan nasib setelah 21 bulan ini, ditambah dengan dinamika eksternal yang semakin memperkuat posisi Lapindo, kemudian ketemu dengan berbagai masalah di internal pengungsian. Perkembangan selama satu bulan terakhir membuat posisi kami benar-benar terjepit, dan menyerah kepada tawaran Lapindo semakin lama menjadi semakin masuk akal. Apa yang terjadi ?

    Sejak pertengahan bulan Maret 2008, entah kenapa, Lapindo dan pemerintah daerah melakukan pendekatan yang intentif terhadap pengungsi. Padahal sebelum-sebelumnya, ketika kami yang mencoba melakukan pendekatan, mereka malah dalam posisi sangat defensif, dan cenderung mengabaikan keberadaan kami. Adalah Bupati Sidoarjo yang mengundang kami untuk melakukan pertemuan dengan pihak Lapindo, guna menyelesaikan tuntutan pengungsi.

    Padahal bupati sendiri dalam beberapa pertemuan dengan pengungsi maupun pernyataan yang dilansir media menyatakan dia sudah angkat tangan dengan apa yang diminta pengungsi. Bahkan pada satu kesempatan, pemerintah kabupaten pernah mengultimatum akan menyerbu dan mengusir kami dari pasar, dengan membagikan selebaran.

    Layaknya ultimatum belanda kepada Arek2 Suroboyo pada tahun 1945, kamipun membuat ratusan bambu runcing. Bayangan kami, coba saja datang, dan usir kami, kita lihat apa yang akan terjadi. Entah karena pemerintah paham hukum, atau sekedar masih waras untuk menyerbu orang yang sudah tidak bisa kehilangan apa-apa lagi selain nyawa, serbuan tersebut dibatalkan.

    Jadi walau dengan memendam banyak pertanyaan, kamipun menerima tawaran untuk bertemu dengan Lapindo. Harapannya pemerintah memang benar2 mulai akan memihak kami, dan bersama-sama menekan Lapindo untuk memenuhi tuntutan kami. Apalagi toh kami sudah menurunkan tuntutan tersebut sebanyak tiga kali, mungkin kali ini akan diterima.

    Oleh Bupati, dijanjikan bahwa ini adalah proses negoisasi, dan memastikan bahwa Lapindo tetap berkomitmen untuk menyelesaikan masalah semua korban lapindo, termasuk yang di pengungsian pasar baru Porong. Karena itu, bupati meminta kedua pihak (korban diwakili oleh pengurus paguyuban kami, Lapindo diwakili oleh Andi Darussalam) untuk tidak kaku dengan posisi masing-masing, dan meminta kedua pihak mengedapankan kepentingan penyelesaian masalah.

    Selain itu, bupati juga meminta agar para pihak tidak membocorkan masalah ini kepada media. Tanpa bermaksud berpikiran negative (sebab selama ini sudah terlalu banyak pikiran negatif, buat apa ditambah-tambah lagi), kami menganggap ini sebagai cara agar perundingan bisa berjalan dengan efektif, menghasilkan terobosan dan tidak terganggu oleh media.

    Akhirnya perundingan yang difasilitasi oleh bupati inipun mulai digulirkan. Satu pertemuan, disusul pertemuan berikutnya, selalu mentok ke poin yang sama. Kami tidak mau penyelesaian terlalu lama, dan kami sudah menurunkan tuntutan kami tiga kali sejak dari awal tuntutan. Sementara lapindo berdalih bahwa mereka tidak mau melanggar perpres. Poin yang dianggap melanggar perpres adalah term pembayaran yang 50 – 50 tersebut.

    Sempat muncul alternatif tawaran yang diajukan oleh Bupati, yaitu relokasi plus. Relokasi artinya, Lapindo bersedia mempercepat pembayaran, namun kalau korban mau agar sisa pembayaran diganti dalam bentuk rumah di kompleks perumahan yang dibangun oleh Grup Bakrie. Tentu saja perumahan dengan harga mereka, yang bagi sebagian dari kami akan sangat berat. Lokasinya juga jauh dari desa kami awalnya, sehingga menyulitkan anak2 yang sudah sekolah di sekitar Porong dan korban yang masih bekerja di sekitar situ.

    Namun demi itikad untuk mencari solusi yang terbaik, kamipun bersedia menjajaki tawaran itu, dan meminta melihat ke lokasi yang dijanjikan. Pada hari H yang disepakati, ternyata acara tiba-tiba diubah secara sepihak oleh Lapindo, dan acara kunjungan ke lokasi diganti melihat maket di hotel berbintang di Surabaya. Melihat reaksi ini, wargapun sepakat untuk menolak skema ini karena korban melihat maksud yang disembunyikan dengan kejadian ini.

    Setelah itu, terjadi lagi beberapa kali pertemuan, namun tetap tidak membuahkan hasil. Ketika sorotan semakin mengarah pada pihak korban, akhirnya kami pun menurunkan lagi posisi. Kami akhirnya menerima skema pembayaran sesuai perpres, yaitu 20 – 80. Namun sisa pembayaran tidak dilunasi 23 bulan setelahnya, tetapi tiga bulan dari penandatanganan PIJB, dan ada perubahan poin di PIJB sehingga memberi kepastian hukum.

    Skema ini tidak akan memberatkan Lapindo, karena sesuai dengan skema Perpres dan masih ada tempo pembayaran. Sedangkan dari pihak korban, sebenarnya posisi ini sama saja dengan kami kembali ke titik awal. Sebab 3 bulan kemudian dari akhir bulan maret itu adalah bulan Mei ini, saat sebagian besar korban awal (termasuk kami) seharusnya memang waktunya dibayar.

    Bagi korban, ini merupakan titik kompromi paling akhir karena kami akhirnya memutuskan untuk menerima skema pembayaran perpres, meskipun dengan syarat diatas dan catatan bahwa kami tidak akan meninggalkan pasar sampai ada kejelasan mekanismenya. Dengan sangat berat hati, karena kami sudah menurunkan tuntutan beberapa kali, namun Lapindo tetap kukuh.

    Yang membedakan kami dengan korban lainnya hanya bahwa nasib kami akan relatif lebih baik, karena nantinya akan bisa tinggal bersama-sama lagi seperti dulu di desa. Sementara kawan-kawan korban yang lain sudah tercerai berai entah kemana.

    Apakah posisi ini, yang sudah sedemikian melunak masih dengan serta merta diterima oleh Lapindo dan posisi kami didukung oleh Bupati. Ternyata tidak. Lapindo ternyata tetap kukuh bahwa pembayaran akan sesuai dengan Perpres. Padahal poin yang oleh Lapindo dianggap melanggar Perpres tersebut adalah poin pembayaran. Kami bersikeras bahwa dengan memajukan pembayaran itu tidak melanggar perpres (karena poin selambat-lambatnya seperti dijelaskan diatas).

    Ditambah lagi bahwa ketika apa yang kami tawarkan berbeda dengan terjemahan mereka atas perpres, mereka pasang harga mati. Padahal kami sudah tidak defensif ketika mereka yang memberi penawaran yang berbeda, seperti halnya pada saat tawaran relokasi yang akhirnya ditolak tersebut. Terlebih lagi, ketika mereka menawarkan relokasi, yang notabene kami wajib membeli unit perumahan mereka dengan harga komersial, mereka bersedia mempercepat pembayaran.

    Demikian juga bupati yang justru posisinya menekan kami dengan menghadapkan kami dengan himpunan pedagang dari pasar porong lama yang sedianya menempati pasar porong baru, tempat pengungsian kami (meskipun pasar ini belum beroperasi sewaktu bencana terjadi, dan pedagang masih belum membeli stan pasar baru ini).

    Kami bahkan terheran-heran dan terbersit pikiran negative, jangan-jangan Lapindo memang sedang menggencet kami, yang selama ini menyusahkan mereka. Jangan-jangan pemerintah tengah bermain-main dengan batas kesabaran kami karena dianggap selama ini kami sudah menentang kebijakan mereka dan menjadi kerikil di sepatu yang mahal.

    Siasat-siasat yang Mematikan

    Ketika korban di pengungsian sudah sedemikian resah karena posisi perundingan yang tidak jelas, kami dikejutkan dengan perkembangan baru yang beruntun hanya dalam bilangan 2 minggu. Akhir April, tiba-tiba salah seorang pegawai Lapindo bagian external relation melakukan pendekatan kepada salah seorang korban. Intinya memberi tawaran dari pihak manajemen yang sama sekali berbeda dengan yang disampaikan lewat perundingan resmi.

    Kepada korban ini, pegawai Lapindo ini menawarkan pembayaran bisa dipercepat menjadi satu tahun, namun uang kontrak hanya diberikan satu tahun. Bukan apa yang ditawarkan ini yang menjadi kami kaget, sebab tidak terbilang berbagai macam upaya untuk memecah belah warga di pengungsian sebelumnya dilakukan. Kami kaget karena negoisasi resmi dengan perwakilan Lapindo yang difasilitasi oleh Bupati ternyata bisa ditelikung dengan terang-terangan semacam ini.

    Siasat ini kontan menimbulkan kegemparan di kalangan warga. Muncul kesan seolah-olah pengurus tidak menyampaikan kepada warga hasil perundingan yang sebenarnya. Apalagi korban yang dihubungi tersebut dengan upaya sendiri melakukan sosialisasi kepada korban lainnya, tanpa sepengetahuan pengurus. Tiak lama kemudian kami mengetahui hal ini dan melakukan berbagai cara untuk meyakinkan warga bahwa itu hanya upaya untuk memecah belah warga.

    Belum lagi kejadian ini reda, beberapa hari kemudian muncul manuver berikutnya. Kami membaca di media bahwa Lapindo akan menghentikan jatah makan bagi pengungsi korban Lapindo mulai bulan Mei 2008. Alasan yang dikemukan oleh Lapindo bahwa jatah makan ini adalah, sejalan dengan kampanyenya, semata merupakan bentuk bantuan dan kepedulian mereka kepada korban.

    Dengan kalimat yang manis, pihak Lapindo menyarankan agar pengungsi menerima saja jatah uang kontrak, sehingga tidak perlu hidup menderita di pasar seperti sekarang ini. Upaya persuasi yang dari awal sudah kami tolak, karena dengan menerima kontrak tentu saja akan menjebak kami ke dalam skema mereka. Dan tanpa ada kesepakatan yang jelas tentang bagaimana nasib kami, tentu saja menerima kontrak akan membuat kami tidak punya daya tawar apa-apa terhadap Lapindo.

    Ketika situasi semakin memanas dan warga semakin resah dengan kepastian nasibnya, muncul surat gelap yang dikirim ke beberapa puluh warga. Surat yang tidak menyebutkan identitas penulisnya ini berisi berbagai macam fitnah dan hasutan yang tidak berdasar dan mendelegitimasi pengurus paguyuban. Juga ancaman bahwa kalau warga tidak menerima kontrak paling lambat 1 Mei, warga pengungsi tidak akan mendapat pembayaran dari Lapindo.

    Seakan itu semua belum cukup, beberapa hari kemudian ketika warga bertemu Lapindo di pendopo Kabupaten untuk melanjutkan perundingan dan mengklarifikasi berbagai manuver tadi, bupati memberi keterangan di media bahwa korban Lapindo di pengungsian akhirnya menerima skema perpres. Padahal pertemuan itu tidak mencapai kemajuan apapun, kecuali ada pertemuan berikutnya untuk membahas detil mekanisme pembayaran.

    Keterangan yang diberikan bupati kepada media ini tentu saja semakin membingungkan kami. Bukankah Bupati sendiri yang meminta agar proses perundingan tidak dibocorkan kepada media dan kepada publik. Dan bukankah apa yang terjadi di pertemuan di pelintir oleh Bupati sendiri dengan menyatakan bahwa warga sudah menerima perpres, tanpa syarat.

    Esoknya, media memuat keterangan bupati tersebut, yang sorenya dilanjutkan dengan datangnya undangan dari Lapindo kepada korban untuk melakukan penandatanganan kontrak di kantor Lapindo. Tidak satupun warga yang datang memenuhi undangan tersebut, yang lagi-lagi besoknya dipelintir oleh Lapindo dan dimuat media bahwa kami sudah di intimidasi oleh pengurus paguyuban.

    Seakan memungkasi semua manuver bertubi yang sangat efektif melemahkan kepercayaan diri korban, Lapindo kemudian menerapkan jurus pamungkas. Melalui serangkaian hubungan telepon, Lapindo mengajak bertemu dengan pengurus paguyuban, kali ini tidak dihadapan Bupati. Dalam pertemuan ini, Lapindo memberikan penawaran yang bahkan secara materiil lebih rendah daripada apa yang dicantumkan di Perpres, namun dengan percepatan pembayaran.

    Maka lengkap sudahlah Lapindo berupaya menjepit pengungsi korban lumpur Lapindo. Serangkaian siasat yang berhasil memupus harapan korban, dan membuktikan bahwa kalau Lapindo menginginkan satu hal, maka tidak ada yang menghalangi mereka. Sedangkan korban, faktanya (di)tinggal sendirian memperjuangkan nasibnya, dengan tidak ada apa-apa lagi fasilitas bagi pengungsi.

    Seruan Terakhir Korban Lapindo dari Pasar Baru Porong

    Maka demikianlah surat yang sangat panjang ini dibuat, untuk menarik perhatian pihak-pihak yang peduli kepada korban Lapindo. Kami tunggu pertolongan anda, kami tuntut komitmen anda. Kami sudah berada dalam posisi yang sangat terjepit. Tidak ada lagi fasilitas terhadap korban, baik dari Lapindo maupun dari pemerintah. Disisi lain, Lapindo sudah terbukti mampu mengacak-acak ketahanan dan kerukunan kami sebagai paguyuban.

    Maka kalau anda masih mempunyai hati nurani dan pernah menyatakan peduli dan siap membela korban lumpur Lapindo, tidak ada saat yang lebih tepat selain sekarang. Sebab minggu depan bisa jadi yang namanya korban lapindo sudah tidak ada lagi. Setelah ini kami sebagai sedikit dari korban Lapindo yang tersisa, dan satu-satunya yang masih melawan, akan menjadi mitra jual beli Lapindo.

    Dan setiap upaya apapun untuk memperjuangkan masalah Lapindo akan kehilangan basis. Kalau menurut Romo Magnis kami saat ini sedang mencoba mengamalkan dan menegakkan sila paling inti dari Pancasila yaitu Keadilan yang Beradab akan menyerah, maka satu minggu lagi Lapindo akan membuktikan bahwa kemenangan modal akan kepentingan bangsa dan Negara ini menjadi komplit.

    Kalau sebelumnya kami tidak pernah meminta sesuatu yang kongkret tentang apa yang bisa dilakukan bagi korban Lapindo, maka untuk yang terakhir kalinya sekarang, kami meminta anda, individu maupun lembaga yang peduli korban Lapindo, untuk :

    • Datanglah ke pengungsian pasar baru Porong untuk berjuang bahu membahu dengan kami, sehingga bisa meyakinkan sebagian besar korban yang saat ini sudah putus harapan.
    • Bukalah dompet-dompet peduli korban Lapindo, yang akan dipergunakan untuk kegiatan penguatan ekonomi bagi kami
  • Hentikan Jatah Makan, Kami Tetap Bertahan

    Lapindo dan pemerintah, selalu membuat opini bahwa pengungsi ini adalah kelompok yang serakah. Sebab, kami tidak mau menerima skema yang ditawarkan (lebih tepatnya, dipaksakan) melalui Perpres 14/2007, seperti 94 persen dari ‘korban’ (ingat tentang korban dalam tulisan sebelumnya), atau 48 ribu jiwa lainnya.

    Faktanya, justru kelompok inilah yang masih keukeuh dan tidak tunduk pada paksaan pemerintah. Sementara sebagian besar korban lainnya, justru sudah tertundukkan akibat politik pengabaian dan pembiaran yang kompak dari pemerintah dan perusahaan. Akibatnya, mereka tidak ada pilihan lain kecuali menerima skema pemerintah. Dan bagi pemerintah, mereka inilah warga yang ’baik’.

    Sedangkan pengungsi di pasar ini, dari awal menolak skema ganti rugi dengan model jual beli. Kami juga menolak uang kontrak rumah Rp 5 juta rupiah, uang jatah hidup Rp 300 ribu per bulan dan uang pindah Rp 500 ribu. Kami lebih memilih bertahan di pasar, dengan kondisi yang sangat tidak layak, dibanding menerima kontrak, seperti yang selalu didesakkan pemerintah dan Lapindo, dan diterima oleh 48ribu korban lainnya.

    Lalu mengapa kami ngotot menolak skema perpres?

    Pertama, sebenarnya bukan kami saja yang ngotot menerima skema perpres. Hampir semua korban lapindo awalnya menolak skema perpres. Tetapi karena selalu diombang-ambingkan oleh isu, diintimidasi, diancam untuk tidak dibayar, sementara keseharian hidup di pengungsian juga sangat menderita, sebagian besar dari korban akhirnya memilih untuk menerima skema perpres. Sehingga mereka keluar dari pasar, dapat uang kontrak, lalu mencari rumah kontrak sendiri-sendiri.

    Kedua, alasan kami menolak bukan karena skema pemerintah ini bakal tidak menguntungkan kami, tetapi justru sebaliknya. Percayalah, dibayar berapapun kami akan lebih memilih hidup kami yang dahulu di desa. Masalahnya, dengan menerima kontrak, hidup kami yang sudah susah akibat bencana ini, bakal tambah jauh lebih sengsara.

    Sebab, dg menerima kontrak, kami akan tercerai berai dan tidak bisa hidup dalam satu komunitas seperti di desa dahulu. Dengan hidup tercerai berai, maka sebagian dari anggota komunitas ini, tidak akan bertahan, bahkan untuk hidup sekalipun.

    Lho, kok bisa?

    Ambil contoh mbok Ma, salah satu warga dusun Sengon, Renokenongo, yang sudah berusia sangat lanjut (dia tidak lagi ingat tanggal lahirnya). Selama ini dia hidup sendiri, di rumah dengan ukuran 5 x 6 meter, tanpa pekerjaan dan tanpa simpanan. Dia bisa hidup layak, dan masih relatif bahagia, sekalipun tanpa kerabat, ya karena dia hidup disitu, di Desa Renokenongo.

    Dia sudah tinggal disana sejak kecil, kenal dengan semua orang. Hingga bagi mbok Ma, semua orang adalah kerabat, menggantikan kebutuhan akan kedekatan dengan cucu2nya, anak2nya. Secara ekonomi-pun, dia bisa hidup layak, karena sering terbantu oleh tetangga2nya. Yang seringkali, didesa penghitungan ekonomi memang tidak selalu untung/rugi. Sehingga dengan kemampuan seadanya, ada saja yang bisa dikerjakan oleh Mbok Ma, untuk dapat uang, dan dipakai makan sehari-hari.

    Nah, orang seperti Mbok Ma ini tidak akan bisa bertahan kalau harus pindah ke desa lain. Dia bukan seperti anggota masyarakat urban yang bisa dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain, dari perumahan satu ke apartemen lain, dari satu komunitas ke lingkungan lain. Bukan pula seperti mereka yang punya pekerjaan di sektor formal atau keahlian multi sektor, sehingga ketika pindah ke lingkungan baru, tidak akan kesulitan sama sekali.

    Mbok Ma butuh tinggal di desa Renokenongo, untuk hidup, untuk selamat dan untuk sejahtera di hari tuanya. Dan orang seperti Mbok Ma, atau bernasib sama dengan dia (pedagang nasi, toko kelontong, petani penggarap, dan banyak lainnya) jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan. Dan kepentingan mereka sama sekali terabaikan oleh skema yang ditawarkan pemerintah, yang hanya menguntungkan Lapindo.

    Kadang saya cuman bisa mbathin, ngerti gak sih Lapindo dan pemerintah itu. Ini rumah, yang meskipun sederhana, rumah kami sendiri, rumah yang kami bangun dengan penuh upaya, dan kebanggaan, yang menyimpan semua kenangan kemanusiaan kami. Dan sekarang itu semua sudah lenyap, sementara kami terancam tidak mampu lagi beli rumah yang baru, karena ketidakjelasan pembayaran dari pemerintah

    Untuk ukuran rumah yang rata2 didesa, kami hanya akan dapat dibawah 60 – 80 juta rupiah. Kalau dibayar 20 persen dulu, ini pasti akan segera habis untuk mbayar utang, nyicil ini itu, dan berbagai kebutuhan keluarga lainnya selama kami di pengungsian. Sehingga kami minta dibayar sekaligus, atau paling tidak jangan 2 tahun kemudian.

    Toh duitnya Bakrie, kata koran, triliunan rupiah. Ada yang bilang, ya kan gak bisa gitu, keduanya kan harus berkorban, gak bisa saling ngotot. Omongan orang KEPARAT! Lha gimana kalo gini, sambil nunggu kejelasan, kami tak tidur di rumah petinggi2 Lapindo dan pemerintah, sedangkan mereka tidur dipasar. Sampai penyelesaiannya tuntas. Gimana kalau gitu? Jadi kenapa harus kami yang diminta paham dan empati?

    ***

    Maka, kamipun menolak skema perpres itu. Kami punya tawaran sendiri, bukan atas dasar egois, dan tidak memberatkan mereka, tapi akan mempermudah kami, melewati masa sulit ini. Kami ingin tinggal sepaguyuban dengan saudara dan tetangga sedesa, maka ganti aja uang kontrak dan lain2 kami dengan tanah 30 ha. Untuk pembayaran, kami sudah turunkan, dari awalnya 100 persen, jadi 50-50, sekarang 20-80, tetapi jangan 2 tahun.

    Dan mereka tidak menerima, entah dengan alasan apa. Pemerintah menuduh kami melanggar hukum dan HAM karena menolak perpres dan bertahan di pasar. Padahal, semua orang tahu kalau perpres itu juga melanggar banyak UU lain yang lebih tinggi, bahkan UUD, lalu kenapa kami harus tunduk pada perpres SIALAN itu! Ketika sesuai dengan kepentingan mereka, undang-undang bisa diganti, tetapi kalau tidak, kami yang dituduh subversi.

    Maka kamipun bertahan di pengungsian. Di pasar yang baru jadi, dengan beralaskan kasur tipis dan segala keterbatasan fasilitas (lihat cerita ttg sekolah TK kami disini). Padahal kami bukan gelandangan kok, kami warga bangsa yang bermartabat. Meskipun bukan orang kaya, tapi hidup kami tentram di desa kami. Namun kami memaksa tinggal dipasar, karena hanya inilah cara yang kami tahu untuk menyatakan tidak.

    Kami berusaha ’hidup’ di pengungsian. Selama hampir 2 tahun kini. Meski makan dijatah ala narapidana, kadang basi, pernah berbelatung. Dengan segala macam keterbatasan sarana dan prasarana, yang membuat kami tidak nyaman dalam melakukan segala macam hal. Termasuk ketika berbuat dengan istri kami, dimalam yang dingin, berimpit2an dengan tetangga, hanya berbatas dinding kain butut (rumah gombal, sebut anak2 kami).

    Pun ketika pemerintah melihat kami, korban keserakahan industri ini, justru sebagai pengganggu. Bagi mereka, kami adalah sebutir kerikil, disepatu kulit yang empuk dan nyaman. Bagi mereka, kami adalah debu yang masuk ke mata yang menimbulkan perih, pada saat semuanya sudah sesuai dengan keinginan. Maka pemerintah, yang seharusnya melindungi kami, malah bergandengan dengan si pemodal, untuk mengenyahkan kami, dengan cara apapun.

    Intimidasi, teror, hasutan, bujukan, dan berbagai cara yang tak terbilang. Kami ditangkap bak teroris ketika hendak menyampaikan pendapat, di negeri sendiri, atas undangan saudara sebangsa di Bali. Kami juga dihasut dengan berbagai macam cara, dan diadu domba antar kami sendiri. Bahkan, mengancam dan mengultimatum akan menyerbu kami, bak tentara Inggris yang akan menduduki Surabaya.

    Dan ketika ratusan bambu runcing (setelah bbrp pejuang kemerdekaan bilang adalah hak kami untuk bertahan) sudah disiapkan untuk menanti serbuan itu, ternyata mereka masih punya akal sehat (atau mungkin takut karena tahu bahwa kami akan kalap kalau jadi diserbu), dan urung menyerbu. Upaya lain dicoba. Berbagai fasilitaspun dipreteli. Air bersih sudah tidak kami konsumsi sejak 5 bulan yang lalu. Bahwa negara seharusnya bertanggungjawab atas nasib pengungsi didalam negeri, sudah tidak dijalankan sejak berbulan-bulan yang lalu

    Namun kami tetap bertahan, dengan satu kesadaran, bahwa kalau kami keluar dari pasar, sementara tuntutan kami hanya seperlima dipenuhi, maka tidak ada satupun kekuatan kami untuk memaksa mereka memenuhi sisanya. Pada saat negara sudah memposisikan kami sebagai warga kelas dua, dengan tidak melindungi kami, tetapi memihak pengusaha, maka kami harus berusaha sendiri memperjuangkan tuntutan kami.

    Maka, silahkan mengancam mencabut jatah makanan. SILAHKAN terus mengangkangi kesadaran dan akal sehat semua orang, tetapi kami percaya, masih banyak anak bangsa yang tidak merelakan negara ini tenggelam dalam hipokrisi.

    Sebab kami yakin, akan banyak saudara sebangsa yang akan mendukung perjuangan kami. Setelah ini, warga bangsa akan berbondong2 untuk datang ke Pasar Porong, mengganti peran pemerintah membantu kami. Untuk menunjukkan bahwa akal sehat mungkin bisa dibeli, tetapi nurani tidak mati di negeri ini

    Karena kami percaya bahwa…

    KEBENARAN BISA DISALAHKAN….

    TAPI TAK BISA DIKALAHKAN…!!!

    Jadi, hentikan jatah makan, kami akan bertahan

  • Kisah Eef, Lowie dan Anak Korban Lapindo

    Eef dan Lowie (baca: if dan lui), demikian pasangan muda ini memperkenalkan diri, tengah dalam perjalanan keliling Indonesia ketika mereka mendengar tentang bencana Lapindo. Karena rasa ingin tahu, mereka kemudian mampir melihat-lihat ke lokasi semburan lumpur dalam perjalannya ke Bali.

    Selepas melihat tanggul dan desa-desa yang tenggelam, mereka tanya tentang bagaimana nasib warga yang sebelumnya tinggal disana. Oleh pemandunya, mereka diarahkan ke Pasar Baru Porong (selanjutnya, “Paspor”), karena di sanalah sebagian besar warga yang mengungsi masih tinggal.

    Hal pertama yang menjadi pertanyaan mereka ketika berada di pasar adalah, bagaimana nasib anak-anak? Bagaimana sekolah mereka? Apakah mereka bisa bermain dengan normal? Dan berbagai pertanyaan seputar anak-anak, yang justru tidak pernah saya dengar dari pejabat ketika mereka datang ke Paspor.

    Dari si guru yang menemui, mbak Lilik Kaminah, meluncurlah cerita tentang sekolah TK Paspor yang serba darurat dan ala kadarnya. Kurang lebih begini tutur mbak Kami, demikian dia biasa dipanggil:

    Selepas lumpur menenggelamkan desa mereka (Desa Renokenongo), sebagian warga disana mengungsi ke paspor. Salah satu perhatian para orang tua yang mempunyai anak usia sekolah adalah, bagaimana nasib sekolah anak2 mereka, khususnya usia TK dan SD, yang sekolahan mereka ikut tenggelam oleh lumpur.

    Ternyata di pengungsian Paspor, sarana pendidikan, seperti halnya dengan banyak kebutuhan lainnya, tidak disediakan oleh pemerintah maupun Lapindo. Setelah beberapa lama meminta dan menunggu tanpa ada kejelasan kapan akan disediakan fasilitas sekolah, akhirnya para orang tua mencari sendiri2 sekolah lain di desa terdekat.

    Bagi anak usia SD maupun SMP, untuk pindah ke sekolah lain ini mungkin tidak masalah, karena mereka bisa berangkat sendiri. Disamping itu, proses adaptasi dengan teman2 sebaya dan guru2 yang baru dikenal juga relatif mudah. Namun bagi anak usia TK yang masih terlalu kecil terdapat beberapa kesulitan bagi mereka untuk pindah ke TK lain.

    Orang tua tidak mungkin mereka melepas anak2 itu berangkat sendirian, sementara mengantar dan nungguin di sekolah juga sulit. Dalam banyak kasus juga sebagian dari mereka kesulitan untuk adaptasi dengan teman2 dan guru2 baru. Pada beberapa kasus ditemui bahwa teman2 baru mereka mengolok2 anak2 tersebut dengan, ”…hei anak lumpur,” atau ”hei anak Lapindo” atau ”hei anak pengungsi”, sehingga membuat anak2 korban itu jadi tertekan

    Karena itu, setelah beberapa waktu, para warga pengungsi di Paspor memutuskan untuk membuka sendiri sekolah TK. Bagaimana dengan guru dan fasilitas sekolah? Guru diambil dari warga yang punya anak usia TK, yang tahu kira-kira cara mengelola sekolah TK dari mengamati selama mereka mengantar anak2 sekolah, dulunya sewaktu sebelum ada semburan lumpur.

    Sedangkan peralatan dan buku2 diambil dari sumbangan, dan sebagian perabotan dibikin sendiri oleh warga. Maka demikianlah, sekolah TK paspor yang serba sukarela dan seadanya ini mulai berjalan dan mendidik sekitar 60 orang anak2.

    Mendengar cerita ini, Eef dan Lewis menyatakan ingin melihat sekolah TK itu keesokan harinya (karena hari itu sudah sore, sehingga sekolah tutup). Kenapa mereka begitu tertarik dengan anak2 TK ini, pikir saya. Usut punya usut, ternyata mereka, khususnya si cewek, Eef adalah mahasiswi yang tengah belajar menjadi guru olahraga bagi anak-anak, dan tertarik dengan masalah-masalah pendidikan anak usia dini.

    Dan di beberapa negara yang pernah mereka kunjungi, kerap mereka melakukan kegiatan dengan anak-anak usia prasekolah sampai sekolah dasar. ”Lalu bagaimana dengan faktor bahasa”, tanya saya, ”kalian kan gak bisa bahasa Indonesia, sedangkan anak-anak itu gak mungkin ngomong Inggris.” ”Jangan khawatir, lihat saja sendiri,” tukas mereka.

    Maka kemudian, ketika mereka kembali keesokan harinya, saya benar-benar terperangah. Ternyata mereka benar-benar bisa berinteraksi secara langsung dengan anak2 TK itu. Saya tentu saja tidak tahu apa yang ada dibenak anak2 TK itu terhadap dua bule tersebut. Apakah mereka menanggap dua orang itu londo edan, atau mereka merasa bahwa dua orang asing ini memang tulus bermain dengan mereka.

    Yang jelas, mereka saling bermain, bernyanyi (yup, menyanyi…!) dan melakukan berbagai permainan yang mengedepankan unsur senang-senang dan olah raga. Ternyata untuk anak-anak TK itu, betapa bahasa bukan menjadi halangan bagi mereka untuk bisa bersenang-senang dan bermain. Selama dua jam penuh sampai waktu sekolah habis, mereka masih asik bermain.

    Maka yang awalnya dua orang backpacker tadi cuman mampir dalam perjalanannya ke Bali, menjadi tinggal selama beberapa hari dan berinteraksi dengan anak2 TK paspor. Yang awalnya dua orang turis bokek dan gak bawa duit, akhirnya membelikan seperangkat buku ajar dan alat2 peraga lainnya yang membantu berjalannya kelas dengan lebih baik.

    Dan sayapun termangu ketika menyadari bahwa kenapa yang punya kepedulian semacam ini adalah 2 orang pengelana, dari ujung bumi, dan terjadi setelah anak2 TK itu ada disitu hampir setahun. Tidak adakah relawan-relawan di negeri ini yang bisa membantu sekolah TK kami yang serba darurat itu dan membantu dan mengajak anak2 kami bermain2, sehingga mereka bisa merasakan rasa kenormalan, barang sehari atau dua hari.

    Atau, tidak seperti kepada si Eef dan Lowie, sedemikian sulitnyakah ternyata menggerakkan kepedulian anak bangsa sendiri terhadap kondisi-kondisi seperti yang dihadapi anak2 di Paspor.

    Atau pembentukan opini dan kampanye yang dilakukan pemerintah dan pemodal bahwa Lapindo sudah bertanggungjawab, (termasuk menyediakan pendidikan bagi anak2 kami) sudah sedemikian merasuk, sehingga orang kemudian enggan membantu.

    Atau jangan-jangan sesederhana bahwa karena publik memang tidak tahu ada situasi-situasi seperti ini di lapangan yang dialami korban lapindo, karena tersisihnya masalah ini dari hiruk pikuk isu lain yang lebih serius (ganti rugi, tanggul jebol, jalanan macet, dsb) dalam bencana multi dimensi ini. Atau, jangan…jangan…
    Tau ah, bingung…

    Tiba-tiba, mbak Kami, si guru dadakan tadi mendatangi dan sambatan ke saya. ”Mas, besok -besok ajak orang bule lagi ya, siapa tahu bisa bantu biaya foto dan buku raport anak-anak, sebab kalo ndak ada itu, nanti anak2 gak bisa nerusin ke SD.” Nah lho….!

    IIFFFFF… LUUIIIII… Ternyata mereka sudah kembali ke negerinya.

    Dan TK kami masih di Pasar Porong, masih seperti setahun yang dulu, tetap sedikit yang peduli…