Category: Lapindo di Media

  • Tanggul di Sini, Jurang di Sana

    Tanggul di Sini, Jurang di Sana

    Siang itu, seperti biasa, macet menghiasi Jalan Raya Porong, Sidoarjo. Ratusan kendaraan berbaris rapi-memanjang di sepanjang Japanan hingga Ketapang. Mengikuti irama klakson yang tak merdu itu, berdendang dalam kesumpekan lalu lintas. Terjerambab dalam kesusahan yang berlangsung nyaris empat tahun.

    Hingga di suatu momen, sebuah truk raksasa pengangkut pasir batu (sirtu) yang sedang bergerak merayap di depan Pasar Porong oleng sejenak terjerembab jalan yang bergelombang akibat penurunan tanah (land subsidence). Kondisi ini mengakibatkan terlemparnya beberapa bongkahan material sirtu sebesar kepalan tangan. Sontak beberapa pejalan kaki yang sedang berjalan tertib di atas trotoar kaget; terpana akan kejadian yang baru saja terjadi. Seandainya posisi mereka berada tepat di bawah truk tersebut mungkin keadaan bisa berbeda. Dan, keselamatan hanya berjarak sepersekian detik.

    Kejadian berlangsung sangat cepat, secepat kedipan mata. Namun, warga sekitar sudah mahfum dengan peristiwa demikian. Bahkan beberapa menganggap hal tersebut adalah lumrah. Hal yang sangat kontras bila dibandingkan dengan keadaan empat tahun yang lalu. “Semenjak lumpur muncul, ratusan truk pengangkut sirtu mondar-mandir di sini. Membawa material-material berat seperti sirtu. Dan peristiwa yang baru saja terjadi itu sudah biasa,” ungkap Saparno, seorang penjaja makanan yang biasa berjualan di sekitar Jalan Raya Porong.

    Semenjak lumpur menyemburat, PT Minarak Lapindo bersama-sama Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (Timnas PSLS) menggiatkan pembangunan tanggul berbahan sirtu, pada 2006. Alasan pemilihan sirtu dikarenakan kekokohannya dalam menahan lumpur. Sebelumnya, Timnas pernah mengusulkan untuk menggunakan limbah besi sebagai bahan utama tanggul. Alasannya, sifatnya yang permiable dan efisiensi biaya. Namun, rencana tersebut ditolak oleh Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sebabnya, limbah besi yang akan dijadikan ternyata tergolong sebagai Bahan Beracun Berbahaya (B3). Oleh karena itu rencana tersebut urung dilaksanakan.

    Untuk pengerjaannya, proyek diserahkan kepada tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berlaku sebgai kontraktor, yakni: PT. Adhi Karya, PT. Wijaya Karya, dan PT. Abhipraya Brantas. Ketiga BUMN ini bekerjasama dalam upaya pendirian tanggul: memadatkan dan meninggikannya. Meskipun demikian banyak kalangan masih merisaukan proses pengerjaannya. Hal ini dikarenakan peristiwa-peristiwa yang kerap terjadi di seputar tanggul; pada tanggul kerapkali terjadi rembesan, deformasi lateral maupun vertikal (settlement) yang besar, tanggul longsor (sliding) terjadi limpasan (overtopping) pada tanggul dan bahkan tangggul jebol (breach).

    Meskipun demikian, proyek pembangunan tanggul tetap dilangsungkan. “Kondisinya sudah sangat genting. Kalau tanggul tidak ditinggikan, mungkin lumpur sudah meluber kemana-mana,” papar Ahmad Zulkarnaen, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), lembaga penerus Timnas PSLS.

    Seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Zulkarnaen, proyek pembangunan tanggul berbahan sirtu ini tetap diteruskan oleh BPLS hingga kini. Namun, saat dimintakan keterangannya mengenai asal-muasal sirtu, Ahmad Zulkarnaen mengaku tidak tahu menahu tentang proyek pengerjaan tanggul tersebut. Menurutnya, BPLS hanya meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pihak sebelumnya. Kecurigaan segera menggelayut, terutama dikarenakan ketidaktahuan akan program yang sedang digarap oleh BPLS sendiri. Apakah ini hanya sebatas misinformasi, ataukah BPLS sengaja menyembunyikan fakta?

    Menurut pantauan Kanal, untuk pembangunan tanggul, hingga saat ini, lebih dari 1.000.000 meter kubik material sirtu digaruk dari berbagai pelosok penambangan di Pasuruan dan Mojokerto. Jumlah yang sedemikian besar ini setara dengan muatan sebanyak 50.000 dump truk. Jika dihitung harian, terdapat setidaknya lebih dari 34 truk per hari. Angka yang sangat fantastis untuk menyambut milad keempat lumpur panas Lapindo.

    Sementara itu, beberapa daerah penambangan sirtu telah sedemikian hancur. Di Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Pasuruan, ratusan sumur menjadi kering. Penyebab utamanya adalah penggalian sirtu besar-besaran yang dilakukan oleh CV. Wahyu di tahun 2006. Setidaknya, penambangan telah mengakibatkan berubahnya formasi  air tanah. Kondisi ini diperkuat dengan adanya penemuan tiga goa berdiameter 50 cm di lokasi penambangan. Goa-goa ini diduga sebagai aliran sungai  bawah tanah. “Penggalian sirtu sudah dilakukan semenjak tahun 2003. Namun, semenjak tahun 2006, jumlah truk yang bolak-balik dari dan ke area penggalian bertambah drastis. Selidik punya selidik, ternyata latar belakang peningkatan dikarenakan sirtu pesanan untuk tanggul Lapindo,” ujar Muhamin, salah seorang warga Pandean.

    “Sebenarnya kami telah melakukan usaha penutupan di tahun 2007. Namun, pada saat itu  pasukan dari TNI AU atas instruksi Mabesdam  Kodam V Brawijaya datang  menjaga lokasi penambangan. Alasan solidaritas menjadi tenggat kesabaran kami,” tambahnya sendu. “Hingga akhirnya kami muak; karena bahaya longsor telah mengancam kami. Penutupan kami lakukan secara paksa di tahun 2009. Saat itu kami merasa keselamatan kami terancam.”

    Salah seorang pekerja penggalian asal Desa Pandean mengungkapkan, kegiatan penggalian yang mereka lakukan bukan tanpa memperhatikan lingkungan maupun masyarakat. Namun, munculnya sebuah instruksi yang tegas telah memaksa mereka untuk bergerilya sepanjang siang dan malam dalam menggali sirtu. “Sebenarnya kami sudah berusaha semampu-mampunya dalam menjaga keasrian lingkungan dan keselamatan warga. Segala aturan telah coba kami terapkan, semisalnya, tebing penggalian kami buat terasering sehingga bisa mengurangi bahaya longsor. Kami usahakan semua itu. Namun, kami juga tidak bisa membantah instruksi yang ada, karena kami mempunyai keluarga yang harus dinafkahi,” ungkapnya getir.

    Dan kini, lubang bukaan sedalam 7 meter dengan tingkat sudut kecuraman nyaris mencapai 90 derajat menjadi keprihatinan bagi warga Desa Pandean. Belum termasuk vegetasi yang rusak akibat polusi debu, juga tentang jalan utama desa yang hancur akibat dilalui truk-truk raksasa dan alat-alat berat. Atau, tentang berubahnya susunan mata air di Kecamatan Rembang. Kesemuanya terakumulasi menjadi satu, meninggalkan derita berkepanjangan bagi masyarakat. Sebab, hingga kini, upaya pemulihan tidak dilakukan sama sekali. “Jangankan upaya pemulihan, lubang-lubang bukaan bekas penambangan saja tidak ditutup,” tambah Mahfud, seorang warga yang lain.

    Kecamatan Ngoro di Kabupaten Mojokerto pun turut menderita akibat penambangan berlebihan demi kepentingan tanggul-tanggul Lapindo. Pada tahun 2008, dua pekerja penggali meninggal karena tertimpa longsoran sirtu. Setidaknya, hal ini mengindikasikan adanya tindakan penambangan yang serampangan. Kecuraman elevasi di area penambangan merupakan indikatornya. Pada titik yang ideal, tebing penggalian harus berbentuk terasering dengan tingkat kecuraman tidak lebih dari 50%. “Seandainya tebing tidak curam, kemungkinan peristiwa tersebut tidak akan pernah terjadi,” tutur Choirul Anam, seorang penduduk Desa Manduro, Kecamatan Ngoro.

    Selain itu, terjadi perubahan morfologi (bentang alam) yang cukup signifikan. Kecamatan Ngoro yang merupakan salah satu kawasan hutan lindung di Jawa Timur telah berubah menjadi lubang-lubang bukaan penambangan yang besar. Apabila dilihat dari ketinggian tertentu, lokasi-lokasi penambangan nampak seperti borok-borok raksasa serupa dengan gerbang neraka. Kekhawatiran akan terjadinya banjir dan longsor pun mengancam kehidupan warga  Mojokerto. Sebab, sebagai kawasan hutan lindung, Ngoro merupakan daerah resapan air yang sangat vital. Banjir di Surabaya sangat tergantung dari kondisi daerah di sekitarnya.

    Kerusakan lahan sebagai konsekuensi pemanfaatan lahan-lahan marginal hampir tidak dapat dihindari. Antara volume pasir yang ditambang dengan sedimentasi yang ada tidak seimbang. Alhasil, kerusakan tinggal menunggu waktu. “Yang menjadi pokok permasalahannya adalah menunggu waktu kapan semuanya akan meletus seperti bom! Dan di saat itu pula dampaknya akan meluas, terasa pada seluruh masyarakat. Tidak hanya Pasuruan, Mojokerto ataupun Sidoarjo, namun meliputi seluruh Jawa Timur,” ungkap Frangky Butar-Butar, ahli hukum lingkungan dari Universitas Airlangga Surabaya.

    “Sebenarnya, untuk penggalian material seperti sirtu, harus ada estimasi dan batas-batas tertentu yang dapat digali pada area konsesi. Hal ini sebagai dasar rujukan guna kepentingan dan keamanan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Entah karena alasan apapun, jika ada pihak yang dirugikan secara material dan non-material akibat penggalian yang ada, maka kegiatan penggalian cacat secara hukum. Menilik pada pembangunan tanggul-tanggul Lapindo, kurang arif jika penggalian didasarkan pada permasalahan kemanusiaan justru menimbulkan problem kemanusiaan dan lingkungan pada sisi lain di tempat yang lain,” tutur Prof. Dr. Nyoman Nurjaya SH, MH., pakar lingkungan dari Universitas Brawijaya Malang.

    Ya, penggalian yang merupakan pemandangan setiap harinya sungguh mengerikan. Deru mesin pompa terus menyedot pasir yang dikelilingi antrian truk yang menunggu muatan. Para pekerja menempatkan selang penyedot di kubangan. Agar sasarannya tepat, kubangan yang terdapat air itu diselami hingga pada ujung selangnya mengenai pasir. Setelah ujung selang menemukan pasir, tak berapa lama kemudian pasir akan menyembur dari ujung selang yang lain. Sementara mesin pompa masih bekerja, penambang menyorok pasirnya untuk dipindahkan kedalam bak truk. Satu truk penuh, giliran truk lainnya diisi.

    Dan kegiatan yang sangat mengerikan tersebut dipercepat dan diperluas dikarenakan adanya target yang harus dipenuhi oleh subkontraktor-subkontraktor tanggul lumpur panas Lapindo untuk bersaing dengan kecepatan lumpur yang tengah mengganas di Porong. Inilah salah satu bentuk pertanggungawaban pemerintah dan Lapindo terhadap bencana yang telah mereka sebabkan di Porong.

    Masih banyak lagi lokasi penambangan-penambangan sirtu untuk tanggul-tanggul raksasa lumpur panas Lapindo yang tercecer. Dengan demikian, peluang bertambahnya korban Lapindo secara tidak langsung makin terbuka. Menjulang di seputaran Jawa Timur. Mengancam keselamatan seluruh masyarakat.

    Atas nama kemanusiaan, sirtu digaruk serampangan dengan backhoe (alat berat) raksasa. Merusak harmonisasi ekosistem alam. Hingga pada akhirnya zona hidup masyarakat terancam. Harus berapa banyak lagi tumbal yang dibutuhkan untuk menutupi borok Lapindo? (prima/novik/fahmi)

    Tulisan ini merupakan bagian dari Laporan Khusus ‘Kanal’ dengan topik ‘Tanggul di Sini, Jurang di Sana’

    Simak tulisan lainnya:
    Pusaran Bisnis di Balik Sirtu

    (c) Kanal News Room

     

  • Lagi, Puluhan Titik Semburan Gas Liar Mengancam Warga

    Lagi, Puluhan Titik Semburan Gas Liar Mengancam Warga

    Rentetan semburan yang ke-12, dihitung sejak semburan pertama pada 11 April lalu di depan tugu kuning, Siring, itu memang berangsur-angsur surut. Akan tetapi semburan lain yang tidak jauh dari semburan ini semakin membesar, persisnya berada di sekitar sisi timur rel kereta api depan pom bensin Siring. Tidak hanya gas yang muncul, lumpur panas juga ikut menyembur di sekitar rel kereta api ini.

    Tak jauh dari Jalan Raya Porong, semburan gas baru juga muncul di sekitar Jalan Raya Ketapang, tepatnya di depan pabrik penetasan ayam. Tidak tanggung-tanggung, gas yang muncul lebih dari 20 titik. Semburan gas ini muncul sekitar Sabtu dini hari (17/04). Seorang penjual nasi yang tidak jauh dari lokasi semburan menuturkan, gas ini pertama kali muncul di sekitar warung milik Ibu Eni. “Gas ini muncul sekitar jam 01.00 tanggal 17 kemarin. Saya kira kompor gas saya bocor. Baunya sangat menyengat,” tutur Ibu Eni.

    Sejak saat itu, pemilik warung nasi asal Probolinggo ini merasa ketakutan jikakalau sewaktu-waktu warungnya terbakar seperti yang pernah terjadi pada sebuah warung di ruko Jatirejo 3 tahun silam. “Sudah tiga hari ini saya ketakutan dan tidak bisa tidur. Saya takut warung saya terbakar seperti di ruko Jatirejo dulu.”

    Sekitar 10 meter dari warung Ibu Eni juga muncul puluhan gas baru. Sunandar, salah satu warga Ketapang Barat, menuturkan, pertama kali bubble gas di sekitar sini muncul di warung Ibu Eni, lalu sehari kemudian muncul di sebelah selatan warung Ibu Eni.

    Sampai berita ini diturunkan, belum ada perhatian dari pihak terkait. Bahkan papan peringatan yang biasanya dipasang pihak BPLS tidak tampak di sekitar lokasi semburan baru di kawasan Ketapang. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Walhi: Ada Makelar Kasus Lapindo

    Walhi: Ada Makelar Kasus Lapindo

    Jakarta  – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkugan hidup, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga telah terjadi praktik makelar kasus dalam proses pengusutan dugaan pelanggaran hukum luapan lumpur Lapindo.

    “Walhi menilai telah terjadi makelar kasus dan dugaan korupsi atas terbitnya surat perintah penghentian penyidikan kasus Lapindo,” kata Pengkampanye Tambang Walhi, Pius Ginting di gedung KPK, Jakarta, Kamis.

    Pius berada di gedung KPK untuk melaporkan dugaan korupsi dalam proses hukum kasus Lapindo.

    Dugaan korupsi dan praktik mafia hukum itu, nenurut Pius, terjadi ketika Polda Jawa Timur menghentikan penyidikan dugaan pelanggaran hukum dalam kasus lumpur Lapindo.

    Pada Agustus 2009, Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan untuk kasus itu.

    Polda Jawa Timur menyatakan, penyidikan perkara itu harus dilakukan karena berkas perkara telah empat kali dikembalikan oleh kejaksaan setempat.

    Pengembalian berkas itu disertai dengan dua petunjuk formil dan delapan petunjuk materiil untuk membuktikan unsur tindak pidana yang dipersangkakan.

    Pius menegaskan, pengembalian berkas oleh kejaksaan tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan suatu perkara.

    “Tidak ada aturan dalam KUHAP yang mengatur mengenai batas mengirim berkas perkara atau yang disebut pra penuntutan. Jadi tidaklah tepat jika hal itu dijadikan pertimbangan atau alasan penghentian penyidikan,” kata Pius.

    Dalam laporannya, Walhi juga menyampaikan daftar ahli independen untuk mengungkap kebenaran dalam kasus luapan lumpur itu.

    Hingga saat ini, menurut Pius, rekomendasi keterangan ahli itu tidak pernah digubris oleh Polda Jawa Timur.

    Tanpa adanya usaha untuk melengkapi bukti terlebih dahulu, Walhi menganggap keputusan menghentikan penyidikan kasus Lapindo tidak dapat dibenarkan dan menimbulkan kecurigaan.
    (F008/B010)

    (c) ANTARA News.com

  • Gas Mudah Terbakar Menyembur di Jalan Raya Porong

    Gas Mudah Terbakar Menyembur di Jalan Raya Porong

    “Dari hasil observasi sementara, semburan baru ini mengandung gas metan dan tidak mengandung H2S,” kata Humas BPLS, Zulkarnaen. Semburan baru yang berdiameter 2×3 meter ini membuat aspal jalan mengelupas dan terangkat. “Rencananya bubble gas ini segera akan kita tangani, karena kondisinya sangat berbahaya bagi pengguna jalan,” tambah Zulkarnain.

    Semburan baru ini merupakan semburan yang ke-160, terhitung sejak semburan lumpur panas terjadi di Sumur Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Berantas, Inc., pada 2006 silam. Selain itu, ada sekitar 10 titik gelembung yang juga ikut muncul di bahu jalan yang tidak jauh dari lokasi semburan.

    Adi Sugiarto, salah satu tukang ojek, menuturkan, sebelumnya terjadi semburan di depan dealer motor Yamaha pada Sabtu (10/4) sekitar pukul 19.00. “Sebelumnya terjadi semburan di depan dealer Yamaha pada Sabtu sore. Lalu Minggu pagi (11/4) muncul lagi di tengah jalan di depan Tugu Kuning,” ujarnya.

    Sampai saat ini, belum ada penanganan dari pihak tekait soal semburan yang terjadi di tengah jalan raya ini. Yang ada hanya pemantauan secara insentif dari BPLS dan pihak Kepolisian Resor sidoarjo. Di sekitar semburan, dipasang tali pengaman agar tidak terinjak oleh pengguna jalan. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • SBY dan Wisata Lumpur

    SBY dan Wisata Lumpur

    SUBAGYO – Beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi lokasi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. SBY mengusulkan agar danau lumpur itu dijadikan lokasi wisata geologi.

    Namun, SBY hanya bisa mengimbau agar pihak yang berkewajiban (Lapindo Brantas Inc) segera menyelesaikan pembayaran kepada korban tepat waktu.

    Sebagian aktivis dan relawan pendamping korban lumpur Lapindo menilai, wisata lumpur adalah gagasan tidak bermutu. Warga korban lebih berharap Lapindo Brantas Inc dan pemerintah segera menyelesaikan masalah sosial yang mereka derita.

    Meski sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), pelunasan ganti rugi tanah dan rumah yang terendam lumpur pada sebagian besar korban Lapindo belum beres.

    Dalam debat calon presiden 2009 yang ditayangkan di televisi, SBY berjanji mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanganan lumpur Lapindo. Ternyata, setelah jadi presiden, SBY hanya mengamandemen Perpres No 14 Tahun 2007 jo Perpres No 48 Tahun 2008 dengan Perpres No 40 Tahun 2009 yang justru memperingan kewajiban Lapindo dan lebih membebani APBN.

    Saya tidak tahu apakah SBY pernah membaca hasil penelitian Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Hasil penelitian itu menunjukkan, wilayah sebelah barat danau lumpur Lapindo sangat tidak layak huni sebab kandungan gas hidrokarbonnya (HS) 55.000 ppm. Ambang batas untuk kesehatan maksimum 0,24 ppm.

    Sudah ada korban Lapindo asal Kelurahan Siring yang meninggal pada 2008 akibat gas beracun itu, yaitu Soetrisno, Yakup, dan Luluk.

    Setahu saya, belum ada satu pun pihak atau lembaga yang meneliti dampak gas beracun lumpur Lapindo, misalnya, berapa jumlah korban yang sakit dan meninggal, sehingga belum ada data untuk acuan. Ini menunjukkan, pemerintah terlalu cuek, tidak bertanggung jawab.

    PBB—dalam hal ini United Nations Disaster Assessment and Coordination (UNDAC)—pada Juni-Juli 2006 pernah memantau lumpur Lapindo. Dalam laporannya, UNDAC menulis, meski tak ada informasi lebih lanjut tentang ukurannya, konsentrasi 700 ppm bisa berdampak langsung dan akut pada kesehatan manusia dan berakibat kematian. Gagasan wisata lumpur yang diusulkan SBY

    belum didasari data yang benar dan akurat. Memang, jika kita datang ke tanggul lumpur Lapindo, ada ”kreativitas” para korban Lapindo yang jadi pemandu ”wisata lumpur”. Mereka ini sudah lama kehilangan pekerjaan begitu lumpur menghabisi nasib mereka.

    Gagasan wisata lumpur harus diteliti dan dikaji lebih jauh, menyangkut keselamatan (kesehatan) rakyat. Gas HS dan lain-lainnya yang merupakan senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) sangat berbahaya bagi kesehatan, dan dalam kadar tertentu akan berdampak jangka panjang, berupa kanker.

    Negara kalah?

    Saat ini yang dibutuhkan para korban Lapindo adalah ketegasan Presiden SBY yang sudah mengambil alih penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Namun, bukan dengan gagasan-gagasan muluk yang tidak karuan, apalagi jika malah membahayakan.

    Nasib rakyat korban tidak boleh lagi digantung dengan alasan-alasan privat korporasi, seperti kesulitan finansial Lapindo akibat krisis ekonomi global dan susur tembakau itu. Lapindo Brantas Inc adalah anak korporasi Grup Bakrie yang terkenal kebesarannya dan merambah berbagai sektor energi negara ini. Jika nasib korban Lapindo terus digantung dengan alasan-alasan privat seperti itu, ini tanda negara telah kalah dan dikalahkan kehendak korporasi.

    Mengapa Presiden tampak lemah, tidak mampu menegakkan Perpres No 14 Tahun 2007 yang dibuatnya sendiri, dengan membiarkan Lapindo mencicil dan mempersulit pembayaran kepada warga korban? Mengapa Presiden tidak menggunakan otoritas

    yang dibenarkan secara hukum? Misalnya, dengan mencabut izin Lapindo Brantas Inc serta mengambil alih sumur-sumur gas produktif di Blok Brantas.

    Jika Grup Bakrie melawan, Presiden harus bertindak selaku pemerintahan, misal dengan memailitkan demi kepentingan umum. Bersamaan dengan itu, pembayaran kepada korban Lapindo diselesaikan dengan uang negara lebih dulu, mengacu pada saran Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan audit 29 Mei 2007.

    Akhirnya, apakah kita akan menjadi turis wisata ketidakberdayaan negara melawan korporasi dan derita rakyat korban? Negara ini sudah dilahap kompeni asing, masa juga disantap kompeni domestik. Capek deh!

    Subagyo : Advokat dan Pekerja Sosial; Mantan Anggota Tim Investigasi Komnas HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo.
    (c) cetak.kompas.com

  • LAPINDO BRANTAS: ANTARA KORBAN LUMPUR DAN OBJEK WISATA

    LAPINDO BRANTAS: ANTARA KORBAN LUMPUR DAN OBJEK WISATA

    Husni K. Efendi – Hampir 4 tahun lamanya warga di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di desa , Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo dan sekitarnya, terhitung sejak Lumpur panas menyembur sejak tanggal 27 Mei 2006 silam, mereka harus hidup di pengungsian sampai sekarang. Berjibaku dengan masalah hidup yang lebih sulit dari sebelum mereka mengalami masalah ini. Ada banyak warga yang meninggal dunia karena menghirup gas dari semburan lumpur itu, apalagi saat pipa gas milik Pertamina meledak pada tanggal 26 November 2006 yang menewaskan 12 warga.

    Fakta yang lebih besar lagi, ada sekitar 3.000 lebih kepala keluarga (KK) dengan 13.000 jiwa lebih yang terpaksa terusir dari kawasan semburan lumpur itu, bahkan dua desa di Porong “hilang” yakni Siring dan Renokenongo. Fakta-fakta ekologis itu memastikan adanya pelanggaran HAM berat sesuai UU Nomor 26 Tahun 2006, bahkan Komnas HAM mencatat 18 jenis pelanggaran HAM yang merujuk fakta-fakta ekologis yang ada.

    Bagaimana tidak, rumah dan tanah yang tadinya mereka tinggali tergenang lumpur panas dengan masalah ganti rugi yang tidak jelas, belum lagi masalah kebutuhan hidup sehari-hari dan kesehatan juga pendidikan yang nyaris diacuhkan oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak PT Lapindo Brantas sendiri.

    Parahnya mediapun lebih memilih menuliskan “Lumpur Sidoarjo” dibanding dengan “Lumpur Lapindo Brantas.” Tanpa sadar media pun ikut menyetir pola pikir masyarakat, secara tidak langsung mengatakan bahwa itu semua adalah gejala alam dan bukan kesalahan manusia. Dengan asumsi ini adalah gejala alam yang mau tidak mau masyarakat Sidoarjo harus menerimanya. Lantas pertanyaan klasik janji SBY dulu tentang Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1). Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

    Tidak jelas realisasinya, nyatanya juga janji itu seperti angin lalu, seolah-olah dengan hanya mengeluarkan Peraturan Presiden masalahnya selesai. Kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di lapangan, warga korban Lapindo Brantas terus menuntut hak mereka sampai sekarang. Bagaiamana menceritakan penderitaan yang dialami warga Lapindo kadang kemudian hanya menjadi kisah sinetron yang didramatisir bagi mereka yang berkepentingan (berkampanye dalam pemilu).

    Kisah tragis Mbok Jumi korban lumpur Lapindo Brantas misalnya yang mengalami sakit sampai akhir hayatnya menyaksikan tanah, rumah dan kampungnya terendam lumpur juga tidak banyak yang tahu. Ia meninggal dunia dengan tetap menyandang status sebagai korban lumpur Lapindo Brantas.

    Lumpur Porong Jadi Obyek Wisata Geologis?!

    Lumpur Porong Jadi Obyek Wisata Geologis adalah pemberitaan tentang usulan Presiden SBY dalam detiknews.com edisi 29 Maret 2010. Dia menyebutkan bahwa dengan menjadikan kawasan luapan lumpur Sidoarjo menjadi kawasan objek wisata setidaknya bisa diatur menjadi semacam wisata geologis, sumber perikanan, pertanian, kelautan atau lainnya.

    Alih-alih bagaimana SBY mengevaluasi realisasi dari Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, atau memikirkan korban warga lumpur Lapindo Brantas yang masih dalam pengungsian dengan segala permasalahannya. Yang ada malah usulan untuk menjadikan kawasan wisata. Sepertinya tidak tahu lagi apa sebenarnya yang menjadi komitmen Presiden SBY terhadap warga Korban Lumpur Lapindo ini. Tidak masalah mungkin jika langkah ini diambil jika memang masalah sebelumnya juga sudah teratasi.

    Begitu banyak masalah yang terjadi dengan luapan lumpur Lapindo Brantas sehingga seolah-olah SBY tidak mau dipusingkan dengan itu, dengan gegabah merencanakan objek wisata di daerah luapan lumpur. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana warga mau mengelola itu setidaknya mendapatkan manfaatnya, jika kebutuhan-kebutuhan mendasarnya pun sampai sekarang tidak terpenuhi (masalah ganti rugi, kesehatan, dampak psikologis). Sepertinya dengan mengatakan ide ini terlalu dangkal untuk kapasitas seorang presiden, kiranya tidak berlebihan.

    Tidak lama berselang DPR juga senada dengan “boss”-nya, lewat Marzuki Alie sebagai ketua DPR, menyetujui usulan Presiden SBY dalam rangka menjadikan Lumpur Lapindo menjadi kawasan wisata.

    Belum berhenti sampai di sini, kebobrokan birokrasi ini ditandai lagi dengan bagaimana Gubernur Jawa-Timur, Soekarwo memberikan penghargaan Zero Accident Award kepada PT Lapindo Brantas Inc. pada 25 Maret lalu.

    Teman saya mengomentari, “Kalau PT Lapindo Brantas mendapatkan Penghargaan Zero Accident, besok mungkin Freeport dapat penghargaan sebagai perusahaan yang paling menghargai HAM, dan Newmont sebagai perusahaan yang paling menghargai Lingkungan.” Sepertinya kelakar teman saya tadi memang nyata.

    Alhasil harus kepada siapa lagi korban Lapindo Brantas ini akan mengadu? Dan kita semua perlu waspada, jika masalah ini terus berlarut-larut kita tunggu saja bom waktu ini kapan akan meledak.

    Penulis adalah anggota Komunitas Ultimus Bandung , sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

    (c) portal Prakarsa Rakyat

  • Sekolah Dekat Tanggul Lumpur Lapindo, Murid dan Guru Cemas

    Sekolah Dekat Tanggul Lumpur Lapindo, Murid dan Guru Cemas

    SIDOARJO  – Murid dan guru SD Negeri Pejarakan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim), diliputi perasaan cemas setiap musim hujan, pasalnya sekolah mereka sangat dekat dengan tanggul lumpur panas Lapindo.

    “Setiap musim hujan begini, anak didik dan guru di sini selalu cemas, kalau-kalau sekolah kami tergenang,” kata Darmudji, guru SD Negeri Pejarakan, Jumat (2/4/2010).

    Kecemasan itu bukan tanpa alasan, karena menurut dia, hampir setiap kali musim hujan, sekolahan yang lokasinya hanya beberapa meter dari tanggul itu tergenang lumpur.

    Pihaknya sudah beberapa kali mengadukan persoalan tersebut kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan pemerintah daerah setempat melalui kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Jabon.

    “Akan tetapi, pengaduan kami belum mendapatkan tanggapan. Bahkan, kami diminta untuk terus bersabar dan terus menunggu,” kata Darmudji didampingi beberapa murid dan guru SD Negeri Pejarakan itu.

    Bahkan, sejauh ini pula pihak SD Negeri Pejarakan belum mendapatkan informasi dari pihak terkait ke mana kelak akan di pindahkan untuk menjamin keselamatan jiwa 135 murid dan sejumlah guru dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar.

    “Kami hanya diminta menunggu. Dari kantor Cabang Dinas (Pendidikan), selama masih ada warga yang tinggal di situ maka sekolah masih tetap dibuka,” ucap Darmudji lirih.

    Sejauh ini, ratusan warga Desa Pejarakan masih tetap bertahan di rumah mereka masing-masing yang berada di sekitar tanggul lumpur. Mereka menolak mengungsi, sebelum PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ)melunasi 50 persen sisa biaya ganti rugi.

    “Kalau uang yang tersisa 50 persen belum dilunasi, kami tidak akan pindah. Kami tetap menunggu pencairan uang itu,” kata Sarti, warga Desa Pejarakan.

    Sesuai kontrak dengan PT MLJ, warga menerima uang ganti rugi sebesar Rp 1,5 juta untuk setiap meter persegi bangunan dan Rp 1 juta untuk setiap meter persegi lahan, sedangkan untuk lahan basah, seperti sawah, hanya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 120 ribu per meter persegi.

    Hampir semua warga yang terdampak lumpur panas sejak Mei 2006 itu telah mendapatkan 50 persen uang ganti rugi. Namun, mereka juga belum bersedia pindah sebelum menerima 100 persen uang ganti rugi.

    (c) Surya Online

  • Ide SBY Dinilai Terlalu Dangkal, Orientasi Bisnis Semata

    Ide SBY Dinilai Terlalu Dangkal, Orientasi Bisnis Semata

    Jakarta – Ide Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadikan kawasan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai objek wisata geologi dinilai terlalu dangkal. Dengan kapasitas sebagai presiden, SBY harusnya bisa memberikan solusi lebih konkret dan berdampak nyata.

    “Ide ini terlalu dangkal. Saya rasa dengan kapasitas sebagai Presiden, SBY bisa memberikan solusi lebih nyata dibandingkan hanya sebagai tempat wisata,” kata pengacara warga korban lumpur Lapindo, Taufik Basari, saat berbincang-bincang dengan detikcom, Selasa, (30/3/2010).

    Lebih lanjut Taufik menilai, perhatian SBY terhadap kasus ini sangat terlambat. Tapi ini beralasan karena pada periode sebelumnya, SBY merasa terpenjara karena kedekatannya dengan Aburizal Bakrie.

    Setelah Bakrie tidak di pemerintahan, SBY lalu mencoba menaruh perhatian kepada korban Lapindo meski tidak substantif. “Karena yang lebih substansif harusnya menanyakan dan mengusut pihak yang bertanggungjawab,” tambah mantan aktivis YLBHI ini.

    Analisa Taufik tak berhenti sampai di situ, dia menduga bahwa pengembangan obyek wisata Lumpur Lapindo berdasar perhitungan bisnis semata. Jika berubah menjadi objek wisata, maka terjadi perputaran uang dan hak pengelolaan kawasan wisata.

    “Pasti akan bermasalah lagi, siapa yang mengelola, dan perputaran uang. Ini bukan pertama kali Lumpur Lapindo dijadikan lahan bisnis. Sebelumnya, pihak Bakrie membuat komplek perumahan dan dijual ke warga,” bebernya.

    Menurutnya, SBY harusnya memenuhi keinginan warga yaitu mengembalikan kehidupan menjadi pulih seperti semula. Lalu tidak membuat penderitaan berkepenjangan dan membuat ganti rugi.

    “Ide tempat wisata itu hanya parsial. Harusnya lebih dari itu yaitu menyelesaikan secara tuntas kasus hukumnya dan kembali memulihkan kehidupan warga,” pungkas salah satu tim pengacara judicial review UU Pornografi ini. (Andi Saputra)

    (c) detik News

  • SBY Berkunjung, UN Korban Lapindo Memprihatinkan

    SBY Berkunjung, UN Korban Lapindo Memprihatinkan

    SIDOARJO – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Berserta rombongan akhirnya jadi datang mengunjungi luapan Lumpur Lapindo. Turut serta dalam rombongan antara lain adalah Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Polkam Djoko Suyanto, Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mendiknas M. Nuh, Menbudpar Jero Wacik, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dan Mendagri Gamawan Fauzi.

    Selain itu, Menteri pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Juru Bicara kepresidenan Julian A Pasha dan Dino Patti Djalal beserta putra bungsu presiden yang juga anggota Komisi I DPR Edhie Baskoro turut pula hadir mendampingi. Presiden SBY dalam lawatannya ke pusat semburan Lumpur Lapindo ini tidak disertai dialog dengan korban. Sedangkan warga sangat mengharapkan presiden datang ke Porong lebih memperhatikan penderitaan korban yang sudah 4 (empat) tahun menderita. “Seharusnya Presiden ke sini lebih melihat warga korban yang sekarang menderita, bukan untuk melihat semburan lumpur,” tegas Sanetro salah satu korban yang belum terbayar sisa pembayaran 80 persennya.

    Selain Sanetro, hal senada juga dituturkan Ketua RT 3 RW 1 Desa Siring Barat, Gandu Suyanto. Ia meminta Presiden Yudhoyono, setidaknya, meluangkan waktu berdialog dengan warga korban lumpur. Menurut dia, sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, Presiden harus terbuka dan memperjuangkan hak warga untuk mendapatkan ganti rugi.

    Ditengah-tengah kunjungan Persiden di pusat semburan Lumpur Lapindo, anak-anak korban yang duduk dibangku SMP justru sedang sibuk mengikuti Ujian Nasional. Madrasah Tsanawiah Khalid bin Walid misalnya salah satu sekolah yang telah tenggelam oleh Lumpur Lapindo ini harus melaksanakan Ujian Nasional di bekas toko bangunan yang ada di desa Glagah Arum, Tanggulangin. Selain Madrasah Tsanawiah Khalid bin Walid, SMP Negeri 2 Porong juga harus menebeng di SMU Negeri 1 Porong untuk melaksanakan Ujian Nasional. “Seharusnya SBY dalam kunjungannya menyempatkan diri mengunjungi kami, anak-anak korban yang sedang mengikuti Ujian dengan menebeng di gedung sekolah lain. Karena sampai saat ini gedung kami belum selesai dibangun” Tegas Hisam Siswa SMP Negeri 2 Porong.

    Selain SMP Negeri 2 Porong, MTs Abil Hasan Assadzili Jatirejo juga mengikuti ujian dengan mempergunakan gedung MTs Nurul Huda, Kedung Boto Porong. Sugiono selaku kepala sekolah menyampaikan setidaknya SBY juga memperhatikan pendidikan anak-anak korban yang sudah 4 (emapat) tahun terbengkalai. Setidaknya ada sekitar 33 bangunan sekolah tenggelam, terdiri dari 9 TK/RA, 15 SD/MI, 5 SMP/MTs, dan 4 MA/SMK, plus dua pondok pesantren. Selain SMP 2 Porong, semua tidak mendapatkan penanganan serius hingga saat ini. Hampir semua akhirnya menempati bangunan-bangunan darurat. Mungkin juga tak layak disebut bangunan sekolah. (novik)

    (c) Kanal News Room

  • SBY Datang, Jalan Desa Pun Dipoles

    Abdurochim (42) warga desa Besuki RT 01/RW 02 merasa senang-senang saja akhirnya jalan penghubung desanya diperbaiki, hanya saja dia mempertanyakan mengapa perbaikan itu harus menunggu pejabat tinggi datang. “Ini seperti sulapan saja, selama ini dibiarkan mangkrak, tapi saat SBY datang sekarang sibuk diperbaiki, apa jalan itu hanya untuk SBY saja?” gugatnya.

    Menurut Abdurochim, seharusnya agenda kedatangan Presiden bisa memberikan penyelesaian persoalan kasus lumpur Lapindo yang telah hampir 4 tahun lamanya menyengsarakan masyarakat. “Kalo SBY datang, harusnya masalah lumpur Lapindo bisa dipercepat, dampak daripada semburan kepada warga harus segera diselesaikan, bukan sekedar memperbaiki jalan saja” terang bapak empat anak ini lebih lanjut.

    Hingga malam hari area sekitar tanggul lumpur Lapindo terus diperindah demi menyambut kedatangan Presiden RI, walau entah apakah kedatangan Presiden kali ini bisa menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo atau seperti kunjungan sebelum-sebelumnya yang dampaknya tidak pernah dirasakan oleh korban lumpur Lapindo seperti Abdurochim. (re)

  • Tuntut Hak, Warga Gelar Istighosah

    Tuntut Hak, Warga Gelar Istighosah

    SIDOARJO – Puluhan korban lumpur Lapindo melakukan istighosah di Desa Siring Barat, Porong, Sidoarjo. Hal ini dilakukan warga Siring Barat sebagai bentuk solidaritas untuk mendukung perjuangan rekan-rekan mereka yang telah empat hari berjuang di Jakarta.

    “Sudah tiga hari ini kami mengadakan istighosah di Siring Barat”, kata Didik (50), warga Siring Barat. Didik juga mengatakan, korban yang berjuang di Jakarta adalah perwakilan dari empat desa yaitu Siring Barat, Jatirejo Barat, Besuki Timur dan Desa Mindi.

    Istighosah dilakukan warga dari pagi hingga sore hari. Siti (39), warga Siring Barat menuturkan, istighosah ini adalah salah satu bentuk aksi korban di luar peta terdampak versi pemerintah. Warga korban juga menuntut persamaan hak sebagai korban lapindo dan berhak atas pemulihan kehidupan yang layak.

    “Desa kami Siring Barat memang belum tenggelam, tapi sudah tak layak huni lagi karena muncul banyak semburan gas liar. Selain itu, kami juga harus menghirup bau lumpur yang menyengat dari pusat semburan Lapindo setiap hari”, kata Siti yang juga mengajak anaknya yang masih balita.

    Selain itu, istighosah ini juga dimanfatkan oleh salah satu bakal calon bupati Sidoarjo. Ditengah warga, calon incumben ini berjanji akan benar-benar memperjuankan korban Lapindo jika ia terpilih menjadi Bupati periode 2010-2015. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Hentikan Semburan Lumpur

    Hentikan Semburan Lumpur

    SIDOARJO – Pemerintah tidak boleh meninggalkan upaya menghentikan semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Ada teknologi dan peluang untuk menghentikan hal itu. Biaya untuk upaya itu juga bisa dijangkau.

    Kalangan masyarakat yang ditemui Kompas pekan lalu umumnya berpendapat, tidak adanya upaya penutupan semburan saat ini menunjukkan pemerintah tidak serius menangani semburan lumpur.

    ”Pemerintah juga tidak peduli dengan nasib korban lumpur yang makin terpuruk,” kata M Mirdasy, mantan Sekretaris Panitia Khusus Lumpur Sidoarjo DPRD Jatim.

    Dr Rudi Rubiandini, mantan Ketua Tim Penghentian Semburan Lumpur di Sidoarjo, mengatakan, semburan lumpur bukan yang pertama kali terjadi di dunia maupun di Indonesia. Ia yakin, hal itu bisa dihentikan. ”Persoalannya, siapa yang menginginkan itu terhenti? Tidak ada itikad serius dari pemerintah untuk menghentikan semburan,” kata Rudi yang juga Kepala Laboratorium Teknik Pengeboran pada Institut Teknologi Bandung.

    Rudi pernah menerapkan metode relief well saat terjadi semburan lumpur di Lengowangi, Gresik, 26 Desember 2008, yang identik dengan semburan lumpur Sidoarjo. Dalam empat hari, pusat semburan bisa dimatikan. Tiga bulan kemudian tujuh titik yang mengelilingi pusat semburan juga mati total.

    Mei 2009, metode serupa juga berhasil menghentikan semburan lumpur dan gas di lapangan Merbau Pertamina Prabumulih, Sumatera Selatan. Pada empat bulan pertama, pusat semburan bisa dimatikan. Sebulan kemudian lima titik lain mati total.

    Rudi berpendapat, metode relief well adalah pilihan terbaik untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo. Metode ini sebenarnya sudah pernah dicoba ketika semburan masih menjadi kewajiban Lapindo. Namun baru mencapai 20 persen hal itu dihentikan oleh Lapindo dengan alasan kekurangan dana.

    Menurut Rudi, rencana pembuatan tiga relief well saat itu menelan biaya sekitar 120 juta dollar AS (Rp 1,2 triliun) atau sama dengan anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) setahun.

    ”Yang dilakukan pemerintah saat ini, menumpuk tanah di tepi kolam lumpur, tidak bisa disebut penanganan karena tidak langsung ke sumber semburan. Cara itu hanya membuang-buang waktu dan biaya,” kata Rudi.

    Pernyataan serupa diutarakan pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Djaja Laksana. Djaja yakin, metode yang ia usung, yakni tabung Bernoulli, bisa menghentikan semburan lumpur. Namun, permohonan untuk melaksanakan penelitian awal belum mendapat izin dari BPLS.

    ”Saya yakin 99,99 persen cara ini berhasil menyumbat semburan lumpur. Namun, sepertinya BPLS tidak mau mendengar metode ini dan terlalu berprasangka negatif,” kata Djaja.

    Sejak penanganan semburan dialihkan dari PT Lapindo Brantas kepada BPLS berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009, sama sekali belum pernah dilakukan upaya menghentikan semburan lumpur.

    Menurut Djaja, pemerintah tak bisa bersikap menunggu lumpur berhenti dengan sendirinya karena belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa memastikan kapan semburan berhenti. Kalau itu fenomena gunung lumpur, diperkirakan butuh waktu puluhan atau bahkan lebih dari 100 tahun untuk lumpur bisa berhenti sendiri. Yang jelas, semakin lama semburan dibiarkan, sedangkan pembuangan ke Sungai Porong tidak jalan, akan semakin luas dan berat dampak sistemik yang multidimensional.

    Rugi Rp 50 miliar

    Sekarang, menurut pakar statistik ITS, Kresnayana Yahya, perekonomian Jatim rugi sedikitnya Rp 50 miliar per hari akibat semburan lumpur Sidoarjo. Kerugian terutama dari hilangnya kesempatan mendapatkan untung dan adanya tambahan biaya transportasi.

    Jatim juga kehilangan 10 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB) setiap tahun. PDRB Jatim rata-rata Rp 600 triliun per tahun. ”Potensi pertumbuhan ekonomi juga berkurang rata-rata 1 persen setiap tahun. Pertumbuhan ekonomi 1 persen berarti penambahan ribuan kesempatan kerja. Pengurangan potensi pertumbuhan berarti sebaliknya,” ujarnya.

    Kementerian Pekerjaan Umum mencatat, dulu Jalan Raya Porong rata-rata dilalui 40.000 kendaraan setiap hari. Sejak semburan terjadi, jalan itu paling banyak dilalui 20.000 kendaraan per hari. ”Nilai ekonomi dari 40.000 kendaraan itu kurang lebih Rp 100 miliar. Separuhnya hilang sejak Jalan Raya Porong macet sejak semburan,” kata Kresnayana.

    Salah satu dampak tidak adanya ikhtiar penghentian semburan adalah masyarakat Sidoarjo menjadi tidak tenang. Di samping bau menyengat dari semburan juga karena ancaman luberan lumpur. Bukan hanya masyarakat yang tinggal di seputar tanggul kolam lumpur, tetapi juga warga yang tinggal dalam radius beberapa kilometer. Apalagi ada ramalan bahwa lumpur akan sampai ke wilayah Surabaya.

    Yang paling gelisah adalah penduduk yang tinggal di sisi barat dan utara semburan, seperti warga Kecamatan Tanggulangin, Porong, Candi, dan Kota Sidoarjo, karena saat ini lumpur mengarah ke barat dan utara, akibat penurunan tanah di sisi itu.

    Hal lain, investor nyaris tidak berani masuk ke Sidoarjo. Tahun 2007, investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) minus 26 persen dan penanaman modal asing (PMA) minus 96 persen. Penurunan investasi juga dialami daerah yang harus melalui Porong (Sidoarjo), seperti Pasuruan, Malang, dan Probolinggo.

    Kalangan pengusaha properti juga ragu-ragu mengembangkan usahanya ke Sidoarjo karena minat masyarakat tinggal di Sidoarjo menurun. Bahkan, harga rumah kini merosot atau tidak laku. Padahal, semula Sidoarjo merupakan daerah penyangga Surabaya yang paling diminati pengusaha perumahan daripada Gresik, Bangkalan, maupun Mojokerto. (RAZ/APO/ANO)

    (c) kompas.com

  • Tuntut Tranparansi Harga Tanah, Warga Porong Gelar Unjuk Rasa

    Tuntut Tranparansi Harga Tanah, Warga Porong Gelar Unjuk Rasa

    SIDOARJO – Warga Kecamatan Porong dan Tanggulangin yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Rakyat (SORAK) melakukan unjuk rasa. Warga menuntut kejelasan dan transparansi harga tanah untuk jalan arteri dan Jalan Tol Porong.

    “P2T masing-masing kecamatan ingin tahu harga tanah kering, tanah basah dan bangunan. Kami tidak menuntut tetapi harganya harus transparan,” kata Korlap Aksi Daniel Maid, dalam orasinya di kantor Kecamatan Tanggulangin, Kamis (24/3/2010).

    Daniel menambahkan, selama ini masyarakat yang direlokasi untuk pembuatan jalan arteri tidak pernah diajak bersosialisasi mengenai harga tanah. Jika begitu bisa saja harga tanah dipermainkan.

    Berangkat dari Kantor Kecamatan Porong, warga kemudian beranjak menuju kantor Kecamatan Tanggulangin. Setelah berorasi di kantor Kecamatan Tanggulangin, warga akan menyampaikan aspirasinya di Pendopo Kabupaten Sidoarjo. Unjuk rasa dilakukan sekitar 100 orang yang berangkat menggunakan truk dan mobil pribadi.
    (c) Suparno detikSurabaya

  • Korban Lapindo Mengadu ke Komnas HAM

    SIDOARJO – Rombongan korban lumpur Lapindo berangkat ke Jakarta, untuk menagih janji pembayaran ganti rugi bagi dan dampak sosial lainnya. Rombongan terdiri dari 11 perwakilan korban lumpur bersama Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo. “Kami tak mendapat jaminan hidup seperti dijanjikan sebelumnya,” kata Edi Pasopang warga Desa Siring Barat, Selasa (23/3).

    Edi menyatakan seluruh warga tetap bertahan agar mendapat jaminan hidup serta ganti rugi yang layak. Meski, kawasan tersebut dikategorikan daerah berbahaya dan rawan untuk hunian. Untuk mendukung perwakilan korban lumpur, sebanyak 300 an warga Siring Barat menggelar doa bersama dan istighotsah di Balai Desa setempat.

    Menurutnya, perwakilan korban lumpur ini mewakili tiga kelompok kepentingan. Di antaranya, warga Siring Barat yang menagih janji jaminan sebesar Rp 300 ribu per jiwa. Warga Desa Mindi yang menuntut agar seluruh warga di 18 RT dimasukkan dalam peta terdampak. Serta warga Desa Besuki yang berada di timur tol agar dimasukkan dalam peta terdampak alasannya, pemukiman warga berdekatan dengan tanggul dan berbahaya.

    Warga Desa Mindi menuntut agar Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo untuk mensurvei ulang penerima bantuan. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional juga diminta untuk mendata dan mengukur ulang tanah yang berada di Desa Mindi. Desa Mindi terjepit antara tanggul penampung lumpur Lapindo serta sungai Porong. Akibatnya, kini nilai aset warga terus merosot tak terkendali. Bahkan, sejumlah perbankan menolak memberikan pinjaman dengan jaminan lahan dan bangunan di sekitar Desa Mindi.

    Rencananya, perwakilan korban Lapindo dan Pansus lumpur Lapindo akan mengadukan masalah ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Dewan Pengarah Badan Penanggolangan Lumpur Sidoarjo. “Kami akan memberikan fakta dan bukti kondisi korban yang sebenarnya,” kata ketua Pansus Lumpur Lapindo, Sulkan Wariyono.

    Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo juga menagih janji PT Minarak Lapindo Jaya untuk menyelesaikan dampak sosial yang ditimbulkan luapan lumpur Lapindo. Di antaranya membangun gedung sekolah, memperbaiki pasar baru Porong, sarana umum dan fasilitas sosial lainnya. “Banyak program dan pembangunan yang menjadi tanggungan PT Minarak Lapindo Jaya mandeg di tengah jalan,” katanya. (EKO WIDIANTO)

    (c) TEMPO Interaktif

  • Korban Lapindo Ujian Nasional di Rumah Warga

    Korban Lapindo Ujian Nasional di Rumah Warga

    Sidoarjo  – Puluhan siswa Madrasah Aliyah Kholid bin Walid Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jatim, terpaksa mengikuti ujian nasional (UN) di rumah salah satu warga setempat, menyusul bangunan sekolah mereka yang ditenggelamkan Lumpur Lapindo.

    Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Kholid bin Walid, Ali Masad, Senin, mengatakan, puluhan siswanya terpaksa melakukan ujian di salah satu rumah warga karena hingga saat ini pihak sekolah belum mendapatkan ganti rugi.

    “Kami terpaksa mengikuti ujian nasional di rumah warga, disebabkan kami belum punya tempat sekolah baru karena sekolah yang lama sudah ditenggelamkan lumpur,” ucapnya lirih.

    Ia menjelaskan, terdapat sekitar 25 siswa yang mengikuti UN di rumah warga di kawasan Porong ini.

    “Siswa terpaksa mengerjakan soal ujian di dalam ruangan berukuran empat kali empat meter dengan duduk saling berdekatan, karena tidak ada lagi tempat yang bisa digunakan,” tuturnya sambil mengelus dada.

    Ia menjelaskan, akibat kejadian ini pihak sekolah tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun kembali sekolah yang hilang karena ditelan lumpur.

    Untuk UN tahun ini, kata dia, Madrasah Aliyah Kholid bin Walid menempati dua ruangan khusus di rumah warga dengan pengawasan ketat dari pengawas ujian Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo.

    Sementara itu, seorang siswa berinisial YP, terpaksa harus menjalani ujian nasional di dalam Lembaga Pemasyarakatan Sidoarjo karena tersangkut kasus pencurian.

    (c)ANTARA News

  • Semburan Gas Liar Muncul Lagi Di Desa Ketapang

    Semburan Gas Liar Muncul Lagi Di Desa Ketapang

    SIDOARJO – Semburang gas liar kembali muncul di Desa Ketapang, Tanggulangin, Sidoarjo, hari Rabu (17/3). Semburan yang berjarak 4 meter dari rumah warga itu juga mengeluarkan gelembung dan suara yang berisik.

    “Kalau semburan yang mengeluarkan lumpur seperti ini belum pernah terjadi, karena sebelumnya hanya lubang di tanah dan mengeluarkan api kalau disulut korek”, kata Narto (54) warga Ketapang.

    Narto juga mengatakan, BPLS pernah mendatangi sejumlah titik semburan di Desa Ketapang dan mengatakan kalau gas-gas liar itu tdak berbahaya. “Tidak bahaya gimana?, dimana-mana yang namanya gas itu kan mudah terbakar, apalagi disini tanpa garis polisi dan pengaman lainnya”. Tambah warga yang rumahnya pernah muncul semburan liar itu.

    Setali tiga uang dengan Narto, Mulyono (53), juga mengalami kegelisahan yang sama. Karena semburan-semburan liar ini, Mulyono harus selalu mengawasi ketiga cucunya yang masih balita kemana pun mereka bermain.

    “Desa Ketapang ini sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Bagaimana tidak, ketika seseorang membuat lubang ditanah dengan hanya kedalaman 5-10 cm, pasti akan mengeluarkan api ketika disulut korek. Itulah yang membuat saya harus selalu mengawasi apa yang dilakukan ketiga cucu saya”. Kata Mulyono di depan rumahnya. (Fahmi)

    (c) Kanal News Room

     

     

     

  • Menghadapi UN dengan Kondisi Darurat

    Menghadapi UN dengan Kondisi Darurat

    SIDOARJO – Siswa-siswi korban lumpur Lapindo menghadapi Ujian Nasional dengan fasilitas belajar yang tidak memadai. Meski sudah hampir 4 tahun berlangsung, bangunan-bangunan sekolah yang terendam lumpur belum juga dibangun kembali. “Hampir 4 tahun kami melakukan proses belajar-mengajar di gedung milik SMP Negeri 1 Porong. Masuk siang mulai jam 13.00 sampai jam 17.00,” kata Kiyas, Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Porong, Sidoarjo.

    Memang, sejak luapan lumpur panas Lapindo menenggelamkan sekolahan yang berada di Desa Renokenongo, Porong itu, proses belajar mengajar sampai sekarang masih menumpang di SMP Negeri 1 Porong. Hampir semua aset milik SMP 2 Porong hilang terendam lumpur. Mulai meja-kursi, laboratorium, lapangan olah raga, hingga buku-buku pelajaran tak banyak yang bisa diselamatkan.

    Dan saat menghadapi Ujian Nasional (UN), SMP 2 Porong ini meminjam gedung SMU Negeri 1 Porong. “Kami, setiap tahun, setelah lumpur Lapindo menenggelamkan gedung kami, anak-anak melakukan UN di Gedung SMU 1 Porong,” tutur Kiyas.

    SMP 2 Porong ini memang dibuatkan gedung baru di Desa Lajuk, Kecamatan Porong, tapi sampai sekarang belum selesai. Gedung baru ini terdiri dari 9 ruangan kelas, 1 ruangan kepala sekolah dan 1 ruangan untuk guru. Gedung baru ini didanai pemerintah lewat APBN. Rencananya akan ditempati pada awal pelajaran tahun 2010-2011.

    Nasib sekolah-sekolah lain lebih parah. Akibat lumpur Lapindo, setidaknya 33 bangunan sekolah tenggelam, terdiri dari 9 TK/RA, 15 SD/MI, 5 SMP/MTs, dan 4 MA/SMK, plus dua pondok pesantren. Selain SMP 2 Porong, semua tidak mendapatkan penanganan serius hingga saat ini. Hampir semua akhirnya menempati bangunan-bangunan darurat. Mungkin juga tak layak disebut bangunan sekolah.

    MI Ma’arif Jatirejo Porong, misalnya. Sekolah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) ini sampai sekarang melakukan proses belajar mengajar di Ruko Perumahan Sentra, Porong. Ada juga MTs Abil Hasan As-Sadzili, Jatirejo. Semenjak ditenggelamkan pumpur Lapindo 2006 silam, gedung sekolah ini sampai sekarang masih nebeng pada gedung MI Nurul Huda Kedungboto, Porong. Dan sampai sekarang hampir tidak ada bantuan dari pemerintah. 

    Sugiono, Kepala Sekolah  MTs Abil Hasan As Sadzili mengatakan, “Sejak sekolahan ini terendam luapan lumpur panas sampai sekarang tidak ada kejelasan soal nasib sekolahan ini.” Sekolah ini pernah dijanjikan akan dibangunkan sekolah baru oleh pemerintah, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. KH. Maksum Zuber, pengasuh Yayasan Abil Hasan As Sadzili, menuturkan, “Pemerintah pernah mengusulkan akan merelokasi sekolahan ini di daerah Sukodono, Sidoarjo, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan.”

    Sementara itu, kebanyakan sekolah dasar yang ditenggelamkan lumpur Lapindo dilebur dengan sekolah dasar lain. Misalnya, Sekolah Dasar Negeri II Jatirejo dilebur dengan Sekolah Dasar Negeri I Jatirejo; SDN I, SDN II Kedung bendo dilebur dengan SD Negeri 1 ketapang; SD Negeri  III Kedungbendo sekarang dilebur di  SDN 1 Kali Sampurno Tanggulangin.

    Anak-anak korban Lapindo menjadi korban ganda. Selain kehilangan rumah, dan tempat bermain, mereka kehilangan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. (novik)

    (c) Kanal News Room

  • Korban Lumpur Masih Terlunta-lunta

     

    Proses jual-beli aset mereka, berupa tanah dan bangunan, dengan PT Minarak Lapindo Jaya sejak hampir empat tahun lalu hingga kini belum beres.

    Semburan lumpur panas terjadi 29 Mei 2006 di lahan konsesi pertambangan gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, sekitar 12 kilometer dari Kota Sidoarjo, Jawa Timur.

    Pasal 15 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan, Lapindo membeli aset tanah dan bangunan warga korban lumpur di wilayah yang ditetapkan sebagai area terdampak tanggal 22 Maret 2007.

    Pembayaran 20 persen di muka dan sisanya (80 persen) dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Nilai aset tanah kering atau pekarangan Rp 1 juta per meter persegi, sawah Rp 120.000 per meter persegi, dan bangunan Rp 1,5 juta per meter persegi. Untuk proses jual-beli, Lapindo menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sebagai pelaksana.

    Menurut Vice President PT MLJ Andi Darussalam Tabussala, hingga 2 Februari 2010 pihaknya menerima 13.237 berkas kepemilikan aset warga. Sudah 13.042 berkas dibayar uang mukanya. Proses pembayaran sisa 80 persen sedang dilakukan untuk 11.347 berkas. ”Kami sudah melunasi 6.786 berkas. Total kami sudah membayar Rp 2,1 triliun,” katanya.

    Dari 13.237 berkas, MLJ masih memverifikasi 217 berkas. Selain itu, ada 114 berkas masih diverifikasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). ”Data dari BPLS kami klarifikasi dan cocokkan dengan foto satelit, keterangan saksi, serta berkas lain,” ujarnya.

    Penyebabnya, beberapa warga pernah memasukkan data palsu untuk mendapat pembayaran lebih besar. Sebagian sudah dilaporkan ke Polres Sidoarjo. ”Sebagian lagi bersedia menerima hasil klarifikasi,” kata Andi.

    Ada yang belum

    Andi tidak mengelak bahwa masih ada warga yang belum dibayar sama sekali. Di antara korban itu, ada 19 rumah di Desa Gempolsari yang nilainya sekitar Rp 22 miliar. Padahal, mereka sudah diverifikasi oleh BPLS dan sudah disumpah sebagai persyaratan menerima pembayaran.

    Muhammad Saddir, juru bicara 19 warga itu, menduga, aset mereka belum dibayar karena ada perselisihan antara warga dan MLJ mengenai status tanah warga. Berdasarkan bukti kepemilikan tanah berupa Pethok D dan Letter C, tanah warga adalah tegalan atau tanah kering. Adapun versi MLJ, tanah warga berupa tanah basah atau sawah.

    Kepala Hubungan Masyarakat BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, aset 19 warga sudah selesai diverifikasi BPLS. ”Tanah itu termasuk tanah kering. Kami sudah mengimbau Minarak agar segera melakukan jual beli, tetapi tidak didengar,” katanya.

    Menurut warga, pemotongan menjadi hal lumrah. ”Pemotongan bangunan sudah umum terjadi biarpun berkas kami sudah diverifikasi BPLS maupun disumpah. Kalau tidak mau dipotong, biasanya dipersulit. Saya akhirnya menyerah bangunan saya dipotong 9 meter,” kata Ny Nanik, warga Kedungbendo.

    Hal serupa dituturkan Sisno, warga Desa Renokenongo. ”Bangunan saya dikurangi 8 meter. Saya mau saja, yang penting segera dibayar,” katanya.

    Dalam perkembangannya, perpres mandul karena Lapindo tak bisa memenuhi. Dengan alasan terkena krisis global, skema pembayaran diubah di Kantor Menteri Pekerjaan Umum 20 Februari 2009. Hasilnya, pembayaran ganti rugi 80 persen dicicil tiap bulan sebesar Rp 15 juta.

    Sebagian warga menolak dan sebagian terpaksa menerima perubahan itu karena kondisi ekonomi dan sosialnya sudah di titik nadir keterpurukan.

    Hal lain adalah keluhan dari korban lumpur yang menempati perumahan Kahuripan Nirwana Village. Hampir setahun mereka menempati rumah sebagai bentuk pembayaran PT MLJ, tetapi warga belum memperoleh akta jual beli ataupun sertifikat. Padahal, semula dijanjikan akan beres dua bulan setelah menempati perumahan. (ANO/APO/RAZ)

    (c) Kompas

     

  • Kepolisian Didesak Segera Cabut SP3 Kasus Lapindo

    Kepolisian Didesak Segera Cabut SP3 Kasus Lapindo

    SIDOARJO – Kepolisian terlihat gencar menumpas teroris pelaku pemboman, tapi tetap diam terhadap pelaku terorisme lingkungan di Sidoarjo. Kepolisian malah enggan mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus ‘terorisme lingkungan’ lumpur Lapindo yang menenggelamkan belasan ribu rumah warga dan mengusir sedikitnya 60 ribu jiwa. Karena itu, menurut advokat publik Subagyo, masyarakat harus mendesak agar kepolisian segera mencabut SP3 tersebut.

    Ada banyak bukti, kata Subagyo, jika kepolisian mau meneruskan penyelidikannya. Salah satunya adalah surat otentik berupa hasil audit BPK. BPK adalah auditor negara yang harus dihormati. Hasil auditnya mestinya mempunyai kekuatan hukum yang sempurna dan mengikat. “Dalam kasus Lapindo, audit BPK bukan sekadar audit penggunaan keuangan negara, tapi juga audit kinerja,” tandas Subagyo kepada Kanal pada Sabtu (13/3) kemarin. Dalam audit itu, lanjutnya, dinyatakan bahwa dalam proses pemboran yang dilakukan Lapindo, Santos dan Medco, ada banyak kesalahan.

    Berkaitan dengan hal tersebut, Subagyo lebih bersetuju jika masyarakat tidak terjebak melakukan gugatan praperadilan terhadap dikeluarkannya SP3 tersebut. Sebagai informasi, pada 18 Febuari 2010 lalu, sebanyak 10 advokat dari Lembaga Konsultasi dan Advokasi Kepala Daerah Seluruh Indonesia (LAKSI) mengajukan gugatan praperadilan terhadap dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo. Tidak tanggung- tanggung, gugatan praperadilan diajukan di dua pengadilan sekaligus, yakni Pengadilan Negeri Sidoarjo dan Pengadilan Negeri Surabaya. Tapi pada 8 Maret 2010, gugatan itu urung dilanjutkan. Ke-10 avokat selaku penggugat itu mencabut gugatan, dengan alasan penggugat akan menyempurnakan bukti lagi, dan nantinya akan diajukan gugatan prapradilan jika bukti-bukti yang dikumpulkan sudah cukup jelas.

    Subagyo, yang juga ahli hukum pada Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya, berpendapat, gugatan praperadilan SP3 kasus Lapindo bisa berdampak negatif. Sebab, kalau sampai gugatan kalah maka sama halnya pengadilan mengesahkan bahwa tidak ada tindak pidana dalam kasus Lapindo. “Kesimpulan Kapolda Jatim (dalam SP3) menyatakan dalam kasus Lapindo tidak ada tindak pidana. Jika praperadilan kalah, maka tertutup kemungkinan membawa para tersangka ke pengadilan pidana,” jelas Subagyo.

    Subagyo menyarankan, masyarakat tidak perlu mengajukan gugatan praperadilan, akan tapi harus mendesak kepolisian mencabut SP3. Dengan adanya bukti-bukti baru dari Medco dan konklusi para ahli internasional yang kian mengerucut pada indikasi kesalahan pemboran dalam kasus Lapindo, kasus ini harus dibuka kembali. “Seharusnya prapradilan ini tidak perlu. Akan tetapi masyarakat harus mendesak kepolisian membuka kasus, dengan ditemukannya bukti-bukti baru yang kesimpulannya menyebutkan semburan lumpur Lapindo disebabkan adanya kesalahan dalam pemboran,” ujarnya.

    Sementara itu, sejumlah warga korban lumpur Lapindo kerap dibenturkan dengan dalih SP3 yang digunakan Lapindo mengelak dari tuntutan. Rudi Farid, salah satu korban Lapindo yang aset tanah bangunannya belum terbayar (baik 20 persen maupun 80 persen), menyatakan kekhawatiranya jika gugatan praperadilan SP3 jadi dilaksanakan. “Saya khawatir jika gugatan praperadilan dilanjutkan, dan gugatan itu kalah, maka keluarnya SP3 menjadi kuat. Dan akan menjadi alasan pihak Lapindo untuk lari dari tanggung jawabnya,” katanya. Beberapa kali Rudi sendiri menghadapi situasi itu. Ketika berhadapan dengan pihak Lapindo untuk mempertanyakan ganti ruginya, Rudi disuguhi ‘mantra SP3’ oleh pihak Lapindo. SP3 rupanya telah menjadi senjata ampuh buat cuci tangan pihak Lapindo. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • YLBHI: Pemprov Jawa Timur Keterlaluan

    YLBHI: Pemprov Jawa Timur Keterlaluan

    JAKARTA – Rencana Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur menjadikan lokasi semburan lumpur Lapindo sebagai daerah tujuan wisata berpotensi melanggar hukum. Pemerintah seharusnya fokus pada upaya penuntasan pembayaran ganti rugi bagi warga korban Lapindo.

    Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Zainal Abidin menilai keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terkait penanganan lumpur Lapindo keterlaluan.

    “Keterlaluan. Kalau sudah selesai urusannya dengan korban, mau dijadikan daerah wisata atau industri, terserah pemerintah. Ini kan belum selesai. Jangan sampai dijadikan pelarian tanggung jawab,” kata Zainal, Selasa (9/3).

    Menurut Zainal, selama pembayaran ganti rugi belum selesai, masyarakat secara hukum masih menjadi pemilik tanah kawasan lumpur Lapindo. “Harusnya masyarakat yang memutuskan apakah akan menjadikan daerah itu sebagai lokasi wisata. Tanah di lokasi semburan sampai saat ini masih milik warga.”

    YLBHI mengimbau Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengkaji kembali rencana menjadikan lokasi lumpur Lapindo sebagai daerah wisata. Pemprov diminta melibatkan warga dalam mengambil kebijakan terkait pengelolaan kawasan lumpur. (Kurniawan Tri Yunanto)

    (c)vhrmedia.com