Blog

  • Berbeda Tuntutan, Satu Perjuangan

    korbanlumpur.info, Sidoarjo – Ada yang berbeda dalam pertemuan antara perwakilan Korban Lapindo dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN di Pendopo Kabupaten Sidoarjo kemarin. Selain kelompok Gerakan Pendukung Perpres (GEPPRES), pertemuan tersebut juga diikuti oleh perwakilan dari kelompok korban yang lain. “”Kami mencoba membangun solidaritas antar korban lapindo. Jadi berbeda tujuan, tetapi satu perjuangan”,” tutur Mustofa, ketua GEPPRES.

    Memang selain GEPPRES, hadir juga perwakilan dari kelompok 9 desa di luar Peta, 3 desa terdampak Perpres 48/2008, Perwakilan Warga Perumtas, dan Warga Pengontrak. Selain kelompok-kelompok Korban Lapindo ini, turut mendampingi juga beberapa orang pengacara dan paralegal dari Tim Advokasi Posko Bersama Korban Lapindo.

    Perkembangan yang sangat menggembirakan ini bisa dirunut sebulan ke belakang. Pada tanggal 11-12 Juli 2008, diadakan pertemuan nasional antara kelompok-kelompok korban, dengan lembaga dan individu yang peduli dengan masalah Lapindo di Jakarta.

    “Salah satu pelajaran yang bisa didapat dari pertemuan tersebut adalah adanya perpecahan yang terjadi antara berbagai kelompok korban. ”Dan ini tampaknya disengaja, dengan tujuan untuk memecah belah kekuatan korban,”” jelas Chalid Muhammad, salah seorang fasilitator dalam pertemuan tersebut.

    Karena itu, agenda untuk menyatukan seluruh elemen korban Lapindo menjadi agenda penting yang dirumuskan dari pertemuan itu. “Sebagai salah satu mandat dari pertemuan ini adalah dengan membentuk Posko Bersama, dimana seluruh kelompok korban bisa saling berinteraksi, berbagi informasi terkait dengan posisi masing-masing, serta saling mendukung tuntutan masing-masing kelompok”,” terang Paring Waluyo, koordinator Tim Pengorganisasian Posko Bersama.

    Dan pertemuan yang difasilitasi oleh Bupati itu menjadi langkah awal untuk membentuk kesatuan di antara seluruh korban Lapindo ini. Sebelum pertemuan sekaligus aksi bersama ribuan korban Lapindo kemarin, bentuk kekompakan kelompok-kelompok korban ini lebih dulu ditunjukkan dengan adanya pembagian piket secara bergiliran dari masing-masing kelompok dan desa untuk menjaga Sekretariat Posko Bersama di Desa Gedang.

    Adanya kebersamaan seluruh korban lumpur ini menimbulkan optimisme tersendiri di tingkat korban untuk mencapai tuntutan mereka.

    “Kami sudah capek di permainkan oleh Lapindo, masa masih harus bertengkar dengan sesama korban. Lebih baik kami pakai energi kami untuk membangun kekuatan diantara sesama korban. Kalau ada yang perlu dilawan itu bukan sesama korban, tetapi pihak Lapindo yang mengingkari janji-janji yang mereka berikan sendiri,”” tukas Abadi Trisanto, ketua Presidium Posko Bersama sekaligus koordinator kelompok Perwakilan Warga Perumtas I.

  • Diundang Pertemuan, Lapindo Mangkir

    korbanlumpur.info – Beragam cara dilakukan oleh Lapindo, berkelit dari tanggung jawabnya menyelesaikan ganti rugi korban Lumpur Lapindo. Kemarin, ketika diundang untuk bertemu dengan warga korban Lumpur Lapindo dari Kelompok Gerakan Pendukung GEPPRES, tidak satupun perwakilan dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ), maupun dari Lapindo Brantas Incorporation (Lapindo) yang nongol.

    ““Saya sebenarnya hari ini juga mengundang Minarak, tetapi tidak ada yang datang,”” demikian penjelasan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso ketika menerima perwakilan warga. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, kenapa tidak ada perwakilan Lapindo maupun MLJ dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh perwakilan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Badan Pertanahan Nasional di Pendopo Kabupaten Sidoarjo tersebut.

    Pertemuan ini sebenarnya ditujukan untuk mengklarifikasi kenapa MLJ, perusahaan yang didirikan oleh Grup Bakrie untuk menyelesaikan masalah sosial kasus Lumpur Lapindo, tidak segera melunasi sisa pembayaran 80 persen. “Seharusnya kan setelah PIJB dan pembayaran 20 persen dilaksanakan,

    “Minarak segera melunasi sisa pembayaran karena batas waktunya sudah lewat. Jadi tinggal transfer saja,”” tegas Hasan, salah satu perwakilan warga dari Desa Kedungbendo.

    Namun, setelah batas waktu sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yaitu satu bulan sebelum masa kontrak dua tahun habis (bulan Juli yang lalu), MLJ tidak segera melunasi sisa pembayaran. Yang ada kemudian MLJ secara sepihak memaksakan kepada warga untuk menerima skema baru yang disebut dengan Cash and Resettlement yang lebih menguntungkan mereka, dan merugikan warga.

    Bahkan, dalam nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Andi Darussalam dari MLJ dan beberapa perwakilan warga yang tergabung dalam GKLL dan disaksikan oleh Emha Ainun Nadjib, MLJ mengancam tidak akan membayar warga yang tidak mengikuti tawaran mereka. Pada poin ke 5 dari nota kesepahaman itu disebutkan bahwa warga yang tidak mengikuti skema CnR, tidak akan dibayar sisa pembayarannya.

    Hal ini tentu saja menimbulkan kegelisahan yang mendalam bagi sebagian besar warga. Apalagi masa kontrak mereka sebagian besar sudah habis bulan Juli dan Agustus ini. Ditambah dengan tahun ajaran baru dan lebaran dua bulan lagi, hal ini membuat warga yang sudah dua tahun menderita ini berada dalam posisi yang sangat terjepit. Karena itu mereka berinisiatif untuk meminta kejelasan kepada pihak-pihak terkait.

    Atas ketidakhadiran MLJ dan Lapindo dalam pertemuan itu, Bupati meminta pihak BPLS untuk proaktif agar MLJ memberi kejelasan penyelesaian bagi warga yang tidak menerima skema Cash and Resettlement. ””Dalam kapasitas saya selaku anggota dewan pengarah, saya meminta BPLS untuk mengingatkan MLJ dan instansi terkait lainnya untuk menjelaskan masalah ini,”” tandas Bupati.

  • Ratusan Korban Lumpur Lapindo Ngotot Tolak Cash Resettlement

    Sidoarjo (ANTARA News) – Ratusan warga korban lumpur Lapindo Brantas dari empat desa yakni Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin, Renokenongo, Siring, dan Jatirejo Kecamatan Porong, Sidoarjo, Selasa mendatangi Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo.

    Mereka menuntut pembayaran ganti rugi kembali disesuaikan dengan Perpres dan menolak skema cash and resettlement seperti yang disetujui korban lumpur lainnya seperti Gabungan Korban Luapan Lumpur (GKLL)).

    Perwakilan warga empat desa yang mengatasnamakan Gerakan Bersama Pendukung Perpres (Gepres) itu ditemui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Sementara, warga lainnya menunggu di Paseban Alun-alun Sidoarjo. Mantan Kades Renokenongo Machmudatul Fatchiyah, salah satu penggerak Gepres mengatakan bahwa sejak awal pihaknya menginginkan pembayaran ganti rugi “cash and carry” sebagaimana diatur dalam Perpres 14 Tahun 2007.

    “Kami meminta pembayaran ganti rugi dilakukan cash and carry, yang 80 persen tetap dibayarkan dalam bentuk tunai, bukan resettlement,” katanya menegaskan.

    Selain meminta pembayaran ganti rugi mengacu pada Perpres, para korban lumpur yang sebagian besar masa kontraknya mau habis ini minta Lapindo secepatnya menyelesaikan sisa pembayaran 80 persen pada bulan ini.

    ““Sekarang ini sudah waktunya pembayaran 80 persen. Pihak Lapindo atau Minarak harus mematuhi Perpres dan kami meminta agar penyelesaian pembayaran yang 80 persen secepatnya dibayarkan,”” katanya.

    Saat menemui warga, Bupati Win Hendrarso didampingi Sekkab dan beberapa Kepala Dinas lainnya, tanpa ada perwakilan dari Lapindo maupun Minarak Lapindo Jaya.

    “Aspirasi warga ini akan saya sampaikan kepada pihak Minarak Lapindo Jaya,” janji Bupati Win kepada warga yang tergabung dalam Gepres itu.(*)

    © 2008 | Antaranews

  • Harapan Baru untuk “Cash and Carry”

    korbanlumpur.info – Sorak sorai langsung terdengar ketika Suwito, perwakilan warga yang masuk dan ditemui bupati keluar dan menyampaikan hasil pertemuan di pendopo Kabupaten Sidoarjo. Korban lapindo sudah beberapa kali harus berdemo ke Bupati untuk mempertanyakan nasibnya, juga beberapa kali sudah sujud syukur ketika tuntutan mereka seolah terpenuhi, dan mereka sudah lelah ditipu, lalu, apalagi yang baru sekarang?

    Siang itu (05/08/2008), matahari sudah bergeser dan warga yang menunggu di luar pendopo kabupaten masih bertanya-tanya dalam hati, apakah betul asset tanah warga yang Petok D dan Letter C bisa di-AJB-kan, yang artinya bisa mendapatkan ganti rugi secara cash and carry? Sementara di dalam, Perwakilan warga yang ditemui Bupati menyampaikan segala harapan dan tuntutannya.

    Dengan membawa sebendel bukti berisi peraturan-peraturan dan risalah rapat serta komitmen pihak-pihak terkait, warga mengadu dan meminta Bupati merespon tuntutan warga untuk segera dibayar ganti rugi asset mereka secara cash and carry. Sudah lama mereka diombang-ambingkan dan digoyang isu-isu dan informasi yang tidak jelas. Pihak Minarak lapindo Jaya setelah melaukan pertemuan dengan GKLL menyatakan tidak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun (tempointeraktif, 26 Juni 2008).

    Pasca pernyataan itu, tentu saja korban lumpur yang mayoritas memiliki bukti asset berupa Petok D dan Letter C resah, tidak ada angin tidak ada hujan mereka yang sudah berharap segera menerima sisa ganti rugi 80% karena masa kontrakannya habis kembali menelan pil pahit. Jika sebelumnya mereka melalui GKLL giat menuntut cash and carry, namun akhirnya cash and resettlement yang didapat.

    Pihak Minarak lapindo Jaya berkilah bahwa pemilik asset dengan bukti kepemilikan Petok D dan Letter C tidak bisa di-AJB-kan. Padahal Badan Pertanahan Nasional sudah mengeluarkan surat pada tanggal 24 Maret 2008 mengenai mekanisme AJB untuk semua bukti kepemilikan (Sertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol, Yasan serta tanah asset Pemda dan yang berstatus HGB). Belum lagi jika merujuk pada banyak risalah rapat dan komitmen yang bukan hanya ditanda tangani Andi Darusalam selaku Vice President PT Minarak lapindo jaya tetapi juga pejabat negara baik daerah maupun pusat, yang jelas menyatakan bahwa Petok D, Letter C dsb diperlakukan sama dengan sertifikat dan berhak mendapat ganti rugi yang sama.

    Namun semua itu seolah menguap, dan komitmen yang ditanda tangani seolah tidak ada. Lalu, pada tanggal 25 Juni 2008, keluarlah pernyataan itu: ʽPT MLJ tak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapunʼ Perih dan menyakitkan!’

    Namun, sorak-sorai pada 5 Agustus 2008 di depan Pendopo Kabupaten kemarin seolah memberikan titik cahaya kepada mereka yang memilih untuk tetap menuntut hak mereka secara cash and carry. Bupati Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan bahwa semua asset warga dengan bukti kepemilikan Petok D, Letter C, SK Gogol bisa di-AJB-kan dan Pihak lapindo harus menunaikan kewajibannya membayar sisa ganti rugi 80% secara cash and carry.

    Bukan akhir dari segalanya memang, masih butuh perjuangan untuk tetap menuntut tanggung jawab Lapindo dalam mengganti rugi asset warga yang telah tenggelam. Mereka mengepalkan tangan dan berteriak mengungkapkan kegembiraannya. Bapak-bapak dan kaum muda meloncat-loncat mengekspresikan kelegaannya, beberapa ibu terlihat menangis terharu mendengar berita itu. Harapan itu masih ada dan terjaga, harapan untuk mendapatkan lagi kehidupan mereka yang telah ditenggelamkan oleh Lapindo baik dengan lumpur maupun dengan tindakan-tindakan mereka yang mengingkari hak-hak warga.

    Sorak sorai itu terdengar optimis, kelegaan yang menyeruak setelah kegundahan akan terbayarnya aset mereka terjawab. Tapi perjuangan tidak boleh hanya berhenti pada kelegaan.

  • Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    korbanlumpur.info – BPLS kembali tebar janji, dalam pertemuan dengan perwakilan 3 desa (desa Besuki, Pejarakan, dan Kedung Cangkring) menanggapi permasalahan setelah dikeluarkannya Pepres 48/2008 tentang revisi Perpres 14/2007 tentang Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

    Bapak Sarjono dari desa Pejarakan yang dimintai konfirmasi menyatakan bahwa BPLS menyatakan akan segera mengadakan sosialisasi untuk memusyawarahkan penentuan harga ganti rugi lahan warga di 3 desa. Sosialisasi itu sendiri akan dilakukan per RT.

    Sarjono yang datang pada pertemuan itu menyesalkan langkah ini, dia menilai bahwa itu akan memperlambat proses pembayaran, semestinya sosialisasi itu bisa dilakukan bersamaan beberapa RT, sehingga tidak mengulur waktu. Dia mengkhawatirkan waktunya tidak cukup untuk masa anggaran 2008 ini. Untuk diketahui bahwa pembayaran DP 20% guna membeli lahan warga di 3 desa diambilkan dari APBN-P 2008, sehingga harus segera direalisasi sebelum masa anggaran yakni bulan Desember 2008.

    Pihak BPLS sendiri menyatakan bahwa harga pembayaran akan mengacu pada harga seperti yang sudah dilakukan di dalam peta area terdampak sebelumnya yakni: 120 ribu untuk tanah sawah, satu juta untuk tanah pekarangan dan 1,5 juta untuk bangunan. Namun untuk penentuan harga sendiri rupanya masih harus melewati proses musyawarah, meskipun patokannya tetap harga-harga seperti tertulis sebelumnya itu.

    Selain tentang sosialisasi musyawarah penentuan harga, BPLS melalui Kepala Pokja Perlindungan Sosial BPLS, Bajuri Edy Cahyono, menjanjikan bahwa sisa pembayaran warga yang 80% akan diselesaikan dalam 1 tahun. ”katanya … sudahlah pak percayalah dengan saya, jadi kalau anggaran (untuk membayar sisa) 80%-nya itu (diambilkan dari) APBN 2009, jadi yang tadinya itu kalau (mekanisme pembayaran seperti) di lapindo (menunggu masa) kontrak 2 tahun yang dalam peta, yang disini (3 desa) kontrak 1 tahun, dan 1 bulan sebelum masa kontrak habis 80%-nya sudah diturunkan” begitu ungkap Sarjono menirukan pernyataan staf BPLS.

    Ini berbeda dengan bunyi dalam Perpres 48/2008 yang menyatakan bahwa pembayaran pada 3 desa yang dimasukkan melalui Perpres 48/2008 untuk sisa 80% dibayarkan setelah pembayaran pada peta area terdampak sebelumnya selesai. Mengenai ini, staf Humas BPLS seperti dikutip pada kapanlagi.com (31/07/2008 BPLS siapkan posko verifikasi ganti rugi) menyatakan Untuk korban lumpur versi Perpres No.14/2007 mendapat ganti rugi dari Lapindo Brantas dengan skema pencairan dana 20% dan pelunasan 80%-nya harus menunggu dua tahun. Berbeda dengan versi Perpres No.48/2008. Skema pencairan sama, yakni 20%, selanjutnya, pelunasan 80%.Namun, untuk pelunasan 80% warga tidak harus menunggu lama. Maksimal akhir Desember 2008 sudah cair.

    Entah versi mana yang benar? Sebelum Desember 2008, 1 bulan sebelum masa kontrak yang 1 tahun selesai, atau menunggu Lapindo menyelesaikan pembayaran dalam peta area terdampak sebelumnya?

    Selain permasalahan penentuan harga dan kepastian pembayaran sisa 80%, Sarjono juga menyatakan kegelisahannya akan status pengontrak, khususnya yang ada diwilayah desa Pejarakan. Menurutnya ada beberapa pengontrak yang mayoritas bekerja di industri-industri kecil di Pejarakan, selama ini tidak terperhatikan. padahal mereka selama ini juga sudah dianggap seperti penduduk asli. Tetapi rekomendasi yang diberikan oleh Kepala Desa Pejarakan hanya mengusulkan 384 KK yang tidak termasuk pengontrak yang tinggal di desa Pejarakan. Ini juga yang hendak diperjuangkan oleh Sarjono untuk para pengontrak mendapatkan haknya juga.

    Secara keseluruhan, Sarjono menginginkan ini bukan lagi sekedar janji-janji seperti yang sudah-sudah, karena masyarakat sudah bosan dengan segala janji yang tidak juga kunjung terbukti, bahkan seringkali diingkari. Tapi sekali ini, masyarakat tidak lagi mau dibohongi.

  • Non Sertifikat Bisa Akta Jual Beli

    korbanlumpur.info – Keraguan warga terkait apakah tanah Pethok D, Letter C, SK Gogol maupun yasan (non sertifikat) bisa di-Akta-Jual-Beli-kan atau tidak, terjawab di Pendopo Kabupaten Sidoarjo kemarin. Pihak Badan Pertanahan Nasional yang dimintai konfirmasi Bupati Sidoarjo tentang masalah ini menjelaskan bahwa telah ada surat petunjuk pelaksanaan dari BPN Pusat, yang menyatakan bahwa semua tanah warga baik yang bersertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol dan Yasan, bisa di-AJB-kan.

    Dalam pertemuan antara perwakilan korban lumpur dengan Bupati, BPLS dan BPN Sidoarjo tersebut, Bupati memfasilitasi permintaan kelompok Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 (GEPPRES) akan kejelasan dari pihak BPN dan BPLS terkait dengan status tanah non sertifikat tersebut. Sebab, di luar beredar kabar yang menyebutkan bahwa tanah non sertifikat tidak bisa di AJB-kan, sehingga warga terpaksa mengikuti skema cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya.

    Suwito, Wakil Ketua GEPPRES dari Desa Jatirejo mengungkapkan semua dasar hukum dan komitmen telah dilanggar selama ini. Dia mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan Geppres bukan untuk menentang pemerintah, namun untuk menegakkan peraturan yang telah ada. Ibu Mahmudah dari Desa Renokenongo juga menambahkan bahwa warga mayoritas menginginkan dibayar cash and carry, dan dia juga mempertanyakan pernyataan di media yang mengatakan bahwa dengan 20% saja warga sudah makmur.

    Senada dengan itu, Bapak Hasan. SH, Mhum, Kepala Desa Kedung Bendo juga mempertanyakan kepada Bupati tentang kelanjutan nasib Petok D dan Letter C yang terkatung-katung, dan meminta kejelasan statusnya

    Bupati yang menemui perwakilan-perwakilan masing-masing desa, menyambut baik kedatangan mereka, dan mengatakan bahwa adalah komitmennya untuk tetap bersama warga yang menderita. Dalam kesempatan itu, Bupati juga memfasilitasi untuk mendatangkan pihak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sidoarjo, dan juga dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sayangnya pihak Lapindo tidak datang pada pertemuan tersebut.

    Bupati Sidoarjo, Win Hendarso mengatakan bahwa dirinya tidak ikut terlibat dalam pembahasan adanya program cash and resettlement yang sekarang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan (baca: dipaksakan) untuk diberikan terutama bagi korban Lapindo yang status tanahnya Petok D atau Letter C. Bahkan Bupati juga menyatakan jajarannya tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan tentang program yang menyimpang dari Perpres 14/2007 itu.

    Pihak BPLS yang diwakili deputi bisang sosial, menyatakan bahwa pihaknya sudah menanyakan kepada BPN tentang perbedaan pendapat tersebut, dan mengatakan bahwa pada dasarnya BPLS akan mengikuti dasar hukum yang dikeluarkan BPN sebagai pihak tertinggi dalam urusan pertanahan di Indonesia.

    Bupati juga mengatakan, “Mari kita sama-sama menghormati peraturan. Orang nomor satu itu adalah Presiden.” Dengan demikian, pihak Lapindo harus membayar ganti rugi seperti apa yang dituntut oleh warga dan disahkan oleh Presiden dalam Perpres 14/2007: cash and carry. Di dalam Perpres, risalah dari Menteri Sosial dan surat dari BPN, menyebutkan bahwa tidak ada sistem pembayaran lain selain cash and carry.

    Dari pertemuan tersebut ternyata Bupati, BPN, maupun BPLS menyatakan bahwa mereka sepakat Peraturan Presiden 14/2007 harus ditegakkan, dan pembayaran kepada warga secara cash and carry harus bisa diselesaikan. Karena itu, Bupati sebagai anggota Dewan Pengarah BPLS meminta kepada BPLS yang dirasa tidak mampu melawan Lapindo untuk segera menyurati Dewan Pengarah BPLS, dalam hal ini Menteri Sosial yang ikut menandatangani nota kesepahaman dengan warga, bahwa ada butir-butir nota kesepahaman yang mengatakan bahwa Petok D, Letter C dan sebagainya punya hak yang sama tidak berjalan di lapangan.

    Diharapkan Pemerintah Pusat proaktif dalam menanggapi hal ini dan segera melakukan tindakan tegas kepada pihak Lapindo yang tidak mau membayar sisa 80% ganti rugi warga secara cash and carry.

  • Bupati Sidoarjo: “Saya Tidak Tahu Apa itu Cash and Resettlement”

    Sidoarjo, SuaraPorong – Pola Cash and Resettlement (CnR) yang digulirkan oleh Lapindo ternyata tidak dikenal oleh pemerintah. Pasalnya, dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban Lapindo, yang dijadikan acuan adalah skema yang ada dalam Peraturan Presiden 14/2007, yaitu skema Cash and Carry (CnC) dengan pola pembayaran 20-80 persen.

    “Saya tidak tahu apa itu Cash and Resettlement,” tegas Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso.

    Hal itu terungkap dalam pertemuan antara perwakilan korban Lapindo dengan Bupati, BPLS dan BPN di pendopo tadi siang. Sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang ada, seharusnya mekanisme pembayaran itu adalah dengan CnC. “Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat, ada tanda tangan saya, Pak Mensos, semua pihak, semua lengkap semua komitmen pada penyelesaian menurut Perpres.”

    Bupati menambahkan, seharusnya skema CnC yang sesuai Perpres itu yang dijadikan acuan untuk penyelesaian pembayaran. Tetapi karena Minarak cenderung untuk memilih CnR, Bupati meminta agar untuk warga yang menolak tawaran ini juga harus difasilitasi. Dan karena urusan wilayah di dalam Peta Terdampak adalah tanggung jawab BPLS, Bupati meminta BPLS bersikap tegas dan mendorong penyelesaian masalah ini.

    Terkait dengan proses perumusan skema CnR sendiri, Bupati mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. Demikian juga pihak terkait lainnya yaitu dari BPLS maupun BPN. Hal ini menimbulkan keraguan di warga tentang bagaimana seandainya Minarak Lapindo Jaya nantinya ternyata mengingkari kesepakatan, tidak akan ada dasar hukum dan tidak ada lembaga pemerintahan yang akan membantu.

    Pendapat senada disampaikan oleh Deputi Sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Soetjahjono Soejitno. Sesuai dengan Perpres, ditegaskan bahwa dalam penyelesaian masalah sosial lumpur Lapindo, BPLS berpegang kepada Perpres. Sedangkan terkait pendapat Lapindo yang dijadikan dasar CnR yaitu tidak bisanya tanah non sertifikat untuk di Akta Jual-Beli (AJB),

    BPLS mengacu pada pendapat BPN selaku lembaga yang berwenang dalam masalah pertanahan. “Kami sami’na wa atho’na”, terang Soejitno.

    Penjelasan Bupati itu kontan mendapat sambutan positif dari warga korban Lumpur Lapindo. Sumitro, korban dari Perumtas, mengaku menghargai kepedulian yang ditunjukkan oleh Bupati terhadap nasib korban. Meski begitu, Sumitro mengingatkan agar Bupati tetap konsisten dan berkomitmen memperjuangkan nasib semua korban Lapindo.

  • Belum Dibayar, Warga Tolak Penanggulan

    Renokenongo – SuaraPorong. Terus berlanjutnya semburan lumpur memerlukan perluasan tanggul penampung lumpur. Namun hal itu bukan upaya yang mudah bagi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), disebabkan oleh lambatnya proses pembayaran jual beli tanah korban oleh Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Kerap terjadi insiden antara BPLS dan warga yang menolak upaya perluasan penanggulan tersebut.

    Seperti yang terjadi akhir Juli 2008 yang lalu, beberapa alat berat terlihat memasuki desa Renokenongo untuk membuat tanggul. Rencana tersebut sebelumnya tidak dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan warga. Menurut Widodo dari desa Renokenongo, warga tidak pernah diberitahu soal penanggulan tersebut, “tidak ada pembicaraan apapun dengan warga sebelum ini” kata pria berusia 32 tahun tersebut.

    Melihat berdatangannya alat-alat berat, Widodo menuturkan, warga RT 05 yang mengetahui lebih dulu kedatangan alat berat itu segera membunyikan kentongan sebagai tanda agar masyarakat berkumpul. Demi mendengar suara kentongan yang didesa berfungsi sebagai semacam alarm tanda bahaya tersebut, alat-alat berat dari BPLS itu pun ngacir dan meninggalkan lokasi tanpa sempat melakukan rencana mereka.

    “Sebelum warga mendapat pembayaran tunai 100%, jangan sampai dilakukan penanggulan diwilayah desa Renokenongo” demikian tambah Widodo yang akrab dipanggil Sihong tersebut menjelaskan alasan penolakan warga.

    Kegeraman warga ini rupanya dipicu oleh fakta bahwa sekitar 113 KK sampai sekarang belum mendapatkan pembayaran ganti rugi sama sekali. Ini jelas merupakan fakta yang ditutup-tutupi baik oleh pihak Lapindo maupun BPLS, karena beredar kabar di media bahwa semua korban lumpur sudah diselesaikan. “Bahkan ada yang berkasnya sudah di Berita Acara-kan sejak satu setengah tahun yang lalu, tapi pembayarannya tidak kunjung jelas “, sergah Widodo.

    Di daerah sekitar, baik di desa Renokenongo maupun di desa Glagah Arum, sudah tercetus kesepakatan bersama, bahwa tidak boleh ada penanggulan sebelum masalah pembayaran ganti rugi warga diselesaikan. Untuk diketahui, warga Glagah Arum meminta semua wilayah untuk dimasukkan kedalam peta area terdamopak, karena selama ini hanya wilayah dusun Risen saja yang dimasukkan kedalam peta.

    Kengototan warga untuk menolak proses penanggulan juga didasari sudah seringnya mereka dibohongi, ketika proses penanggulan awal didesa Renokenongo dahulu warga dijanjikan akan dibayar secepatnya, buktinya hingga sekarang masih seratus lebih kepala keluarga yang belum mendapatkan pembayaran ganti rugi. Karena itu, sekarang warga akan bertahan menolak wilayah mereka ditanggul sebelum mereka mendapat pembayaran. “Tidak hanya 20%, harus dibayar tuntas 100% kalau mereka mau bikin tanggul disini (di desa Renokenongo-red)” demikian pungkasnya penuh amarah.

    Bagaimana seandainya BPLS ngotot untuk tetap membayar tanggul sementara pembayaran belum dilaksanakan? “Coba ae. Lek warga yo wani gegere (coba saja, kalau warga ya lebih baik bentrok)”, tandas Widodo.[re]

  • Muddy waters in polluter’s award

    What do you get for instigating a nation’s worst human-made disaster, flooding 600 hectares with toxic mud from an unsafe gas well, cutting key highways and displacing about 40,000 people? In Indonesia, you get a government award for complying with safety and environmental standards.

    A public relations campaign by gas company Lapindo, owned by the Peoples Welfare Minister Aburizal Bakrie, has been boosted by the Environment Ministry’s. Since a drilling well erupted in an unstoppable torrent of mud in East Java two years ago, Lapindo has gone to extraordinary lengths to escape blame.

    Yesterday, Environment Ministry officials chuckled when asked about Lapindo’s gong after an environmental audit of more than 500 companies, then declined to be quoted.

    Environment Minister Rachmat Witoelar expressed some scepticism, saying he had questioned the “auditing team about the validity of the ranking, as some big companies which have come under public scrutiny earned a better ranking”.

    The award demonstrated the Government’s toothlessness in dealing with major polluters, according to environment watchdog, Walhi. The decision, under an official auditing program called Proper, was “simply improper”, spokesman Pius Ginting said.

    “There is nothing serious Lapindo does to handle the mud flow,” Mr Ginting said. “They threw the mud into the sea through the Porong River.”

    A Lapindo spokeswoman, Yuniati Terryana, said the company was delighted with the award, deflecting questions about the mud flow’s damage.

    “Where should we dump the mud into then?” she asked. “We did it to the sea after obtaining green light from the Government.

    “We continue to keep our operations in accordance to the health, safety and environment standards despite the mud flow.”

    Although Lapindo claims an earthquake more than 250 kilometres away caused the disaster, an authoritative scientific study has pinpointed negligence and cost cutting.

    Drillers failed to use a safety casing for the exploratory well near the town of Sidoarjo, resulting in discharge of 1 million barrels of mud a day, international experts from Berkeley University, Durham University and Adelaide University found.

    Lapindo was awarded a blue certificate by the Proper audit, stating it met environmental and safety standards. Privately, one Environment Ministry official said the audit examined nearby Lapindo sites but excluded the mud flow as it was considered a natural disaster.

    Mark Forbes, Jakarta (The Age)
  • Bapedal Ragu atas Penelitian Walhi

    SURABAYA – Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jawa Timur meragukan penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyatakan lumpur Lapindo di Sidoarjo mengandung Policyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) yang bisa menyebabkan penyakit kanker bagi manusia.

    “Kita harus lihat dulu, apakah penelitian itu sudah benar caranya dan apakah laboratoriumnya punya akreditasi. Di Surabaya hanya dua laboratorium yang benar-benar bisa dipercaya,” kata Dewi J. Patriatni, pelaksana tugas Kepala Bapedal Jawa Timur, kemarin.

    Menurut Dewi, temuan Walhi itu tergolong telat karena lumpur Lapindo sudah menyembur lebih dari dua tahun. “Kenapa baru sekarang dirilis? Toh berbagai kajian sebelumnya tidak ada yang menemukan PAH,” kata Dewi.

    Bapedal, kata Dewi, sudah melakukan kajian, tapi tidak menemukan kandungan PAH. Yang ada hanyalah unsur karbon dan gas metana yang mudah terurai oleh embusan angin. “Dari jarak 500 meter, kandungan gas ini tidak berbahaya,” katanya.

    Meski demikian, kata dia, Bapedal tetap memberi rekomendasi kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar segera mengosongkan kawasan di sekitar semburan.

    Seperti yang pernah diberitakan, berdasarkan penelitian Walhi Jawa Timur, lumpur Lapindo di Porong mengandung PAH yang melebihi ambang batas normal hingga 8 ribu kali lipat.

    Menurut Walhi, kandungan PAH dalam lumpur tersebut berpotensi menyebabkan penyakit kanker dan tumor bagi warga di areal lumpur.

    ROHMAN TAUFIQ (KoranTempo )

  • Kementerian Lingkungan Hidup Menuai Protes

    Lapindo dan Riau Andalan Pulp and Paper mendapat skor tinggi

    JAKARTA – Hasil pemeringkatan perusahaan yang dibuat Kementerian Lingkungan Hidup menuai protes. Sejumlah perusahaan, termasuk PT Lapindo Brantas dan PT Riau Andalan Pulp and Paper, yang selama ini dinilai telah mendatangkan banyak masalah lingkungan, mendapat skor tinggi dari pemerintah.

    Protes keras datang dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Lembaga swadaya masyarakat ini mempertanyakan alat ukur yang digunakan dalam penilaian tersebut.

    Menurut Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, ada ketidaksesuaian antara fakta dan hasil pemeringkatan sejumlah perusahaan. “Kami curiga, kriteria yang ada tidak mampu memotret secara nyata perilaku perusahaan dalam pengelolaan lingkungan,” katanya kemarin.

    Dalam hasil penilaian ini terdapat lima peringkat dengan penanda warna emas, hijau, biru, merah, dan hitam. Penilaian didasarkan pada kemampuan perusahaan dalam penanganan pencemaran udara dan air, juga penerapan program tanggung jawab sosial perusahaan.

    Dari 516 perusahaan yang secara sukarela ambil bagian dalam program ini, 180 di antaranya dinyatakan masuk kategori biru, yang merupakan standar minimum pemerintah.

    Dari perusahaan-perusahaan yang masuk kelompok biru, yang mengejutkan, Lapindo termasuk salah satunya. Yang juga mengagetkan, pada kategori hijau terdapat PT Riau Andalan Pulp and Paper, yang beberapa waktu lalu disidik Kepolisian Daerah Riau dalam kasus pembalakan liar. Perusahaan lain yang masuk kelompok ini ialah PT Toba Pulp Lestari, PT Newmont Nusa Tenggara, dan PT Indah Kiat Pulp and Paper.

    Lapindo dinilai tak layak lolos uji pemerintah karena bencana semburan lumpur di sumur Banjar Panji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, diduga akibat tidak ditaatinya analisis dampak lingkungan oleh perusahaan milik keluarga Bakrie itu saat melakukan pengeboran.

    Akibat bencana itu, tiga desa terendam lumpur dan ribuan warga harus mengungsi. “Berapa orang yang sakit akibat menghirup gas di Porong?” kata Direktur Walhi Bambang Catur Nusantara di Surabaya kemarin. “Belum lagi kerusakan ekosistem akibat lumpur. Apa hal ini tidak dilihat?” ujarnya. Atas dasar itu, “Lapindo harusnya masuk kategori merah atau hitam,” kata Pius Ginting, Pengkampanye Isu Tambang dan Energi Walhi.

    Berry juga mempertanyakan Newmont yang mendapat peringkat hijau dan Freeport yang masuk kategori biru minus, karena dianggap telah menimbulkan banyak masalah lingkungan. Karena itu, Siti Maimunah, Direktur Eksekutif Jaringan Tambang, khawatir hasil penilaian akan merugikan lingkungan dan masyarakat.

    Manajer Senior Hubungan Eksternal Newmont Malik Salim menegaskan status yang diberikan pemerintah menunjukkan keberhasilan perusahaan mengelola dan melindungi lingkungan. Tiga tahun lalu, Newmont juga mendapat penilaian serupa.

    Walhi dan pakar hukum lingkungan Universitas Padjadjaran Daud Silalahi mendukung rencana pemerintah menggugat 13 perusahaan yang masuk kategori hitam dua kali berturut-turut ke pengadilan.

    Daud juga mengusulkan agar perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan diwajibkan menjaminkan uangnya di bank. “Kalau ada kerusakan, ganti ruginya langsung diambil dari situ.”

    Maria Hasugian, Rudy Prasetyo, Rohman Taufik, Dianing Tyas, Supriyantho Khafid (Koran Tempo)
  • Teror di Desa Besuki, Dampak Perpres 48/2008

    Besuki, SuaraPorong – Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, rumah seorang warga yang juga korban lumpur lapindo, Cak Irsyad, dilempari batu sebesar kepala bayi. Dugaan kuat, teror itu berkaitan dengan isu-isu yang berkembang dan cenderung menyudutkan setelah desa Besuki terbelah— sebagian dimasukkan ke dalam peta area terdampak versi Perpres No. 48/2008, dan sebagian lagi tidak.

    Cak Irsyad yang tinggal di desa Besuki Timur, RT 05/RW 07, adalah salah seorang korban yang aktif dalam usaha menolak kebijakan-kebijakan yang dirasakan menindas kehidupan warga yang telah menderita selama semburan lumpur lapindo berlangsung. Salah satunya adalah kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti pembagian korban ke dalam peta area terdampak dan tidak terdampak yang menjadi dasar dibayar atau tidaknya kerugian warga.

    Desa Besuki adalah salah satu dari tiga desa yang dimasukkan dalam area peta terdampak lewat Perppres no. 48/2008, yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuat rancu dan tidak membawa suasana lega pada warga desa tersebut. Hal pertama adalah hanya desa Besuki Barat yang dimasukkan dalam peta area terdampak—sementara desa Besuki Timur yang dipisahkan oleh eks-jalan tol Gempol dengan Besuki Barat, tidak termasuk di dalamnya.

    Kedua, belum ada kepastian kapan uang proses jual beli tersebut dibayarkan, dan ketiga, harga jual beli tanah dan bangunan pun belum ditetapkan oleh pemerintah.

    Kasus teror yang menimpa Cak Irsyad merupakan ekses dari ketegangan yang terjadi di Besuki karena tidak dimasukkannya Besuki timur ke dalam peta area yang dikeluarkan pemerintah melalui Perpres no. 48/2008. Ketidakjelasan kualifikasi penetapan suatu daerah masuk atau tidak ke dalam peta area terdampak, menimbulkan syak wasangka dan fitnah yang terus menerus membuat ketegangan di masyarakat desa Besuki. Akibat tidak masuknya wilayah besuki timur, timbul kecurigaan dan desas-desus tidak bertanggung jawab terhadap penyebab kondisi tersebut.

    Kejadian di mana sebuah desa tidak seluruhannya dimasukkan ke dalam peta area terdampak bukan sekali ini saja terjadi. Dalam semua kejadian itu selalu saja menimbulkan dampak langsung yang jelas memecah belah dan merugikan kehidupan masyarakat. Desa-desa lain yang terpecah antara di dalam peta dan bukan di dalam peta antara lain: Glagah Arum, Gempol Sari, Jatirejo, dan Siring. beberapa desa yang terpecah ini tidak selalu jelas alasan pembagiannya kenapa sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam peta dan yang lain tidak. Ketidakjelasan inilah yang memicu kecemburuan di antara warga dan menjadi biang kehancuran kohesi sosial di masyarakat.

    Dalam kasus di Besuki Timur, ketika Perppres no. 48/2008 dikeluarkan, dan desa Besuki Timur tidak dimasukkan ke dalam peta area terdampak, beredar fitnah yang menyudutkan Cak Irsyad. “Gara-gara Cak Irsyad Besuki Timur tidak masuk peta dan gagal dapat ganti rugi,” kurang lebih begitulah isi fitnahnya. Dalam pertemuan antar warga desa Besuki Timur pada 20 Juli 2008, pasca dikeluarkannya Perpres No. 48/2008, kecurigaan itu di”kambing hitamkan” kepada Cak Irsyad dan kawan-kawan yang sering terlibat aktif dalam usaha menentang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat.

    Akibat pelemparan batu tersebut, kaca rumah depan Cak Irsyad pecah berserakan. Teror ini merupakan kali kedua yang menimpa korban. Sebulan sebelumnya, Ketua RT 03 desa Besuki Timur juga mengalami kejadian yang sama. Beberapa waktu setelah teror yang menimpa pak RT tersebut, giliran rumah salah satu perangkat desa yang diteror. Kaos bekas yang telah dibasahi bensin dibakar di samping rumah korban.

    Beruntung aksi teror tersebut dapat diketahui sehingga tidak membakar seluruh rumah. Sehubungan dengan aksi teror tersebut, warga di sekitar lokasi pun merasa terancam. Sekarang d iatas kaca yang sengaja dibiarkan pecah itu dipasang tulisan “NEGARA TIDAK BOLEH KALAH DENGAN KEJAHATAN”. Sebuah himbauan yang rasanya entah apakah akan terkabul ditengah-tengah kondisi yang serasa dibiarkan tak menentu justru oleh penyelenggara negara.

    Aksi teror yang menimpa Cak Irsyad ini, merupakan hasil langsung dari praktek memecah belah warga yang dilakukan oleh Lapindo. Korporasi ini tidak berkenan jika korban luapan lumpur bersatu untuk menuntut ganti rugi. Berbagai cara dilakukan, mulai dari proses jual beli yang berbelit-belit, janji-janji manis penuh ilusi yang disuntikkan pada para korban, sampai membuat skema yang berujung pada konflik horisontal antar korban.

    Lapindo Brantas Inc, sebagaimana korporasi-korporasi yang bergerak di industri minyak dan gas, selalu membuat warga di sekitar lokasi menderita. Penderitaan yang dialami warga tidak hanya pada satu aspek saja. Limbah yang merusak kesehatan warga, kebisingan yang memekakkan, maupun bencana yang disebabkan langsung dari human error, seperti pada kasus luapan lumpur panas Lapindo. Sebelumnya warga Teluk Buyat terlibat pertikaian dengan PT. Newmont . Lalu warga Papua pun terlibat pertikaian dengan PT. Freeport terkait limbah industri. Namun, hal-hal buruk seperti itu seringkali terlupakan begitu saja. Para korban kejahatan korporasi semakin terpuruk, sementara pihak korporasi semakin mendapatkan untung yang berlimpah.

    Untuk itu, diperlukan banyak solidaritas dan dukungan dari masyarakat luas. Solidaritas dan dukungan ini dapat menekan korporasi seperti Lapindo agar membayar ganti rugi bagi korban yang bukan saja kehilangan tempat tinggalnya, tapi juga sejarahnya.

  • Auf Java sprudelt braune Brühe

    Von MORITZ KLEINE-BROCKHOFF

    Auf der indonesischen Insel sprudelt es unkontrolliert aus der Erde – seit zwei Jahren.

    Der Schlamm schießt seit zwei Jahren aus der Erde. 100 000 Kubikmeter täglich. Möglicherweise spuckt der Schlammvulkan noch 100 Jahre lang. Bislang überschwemmte “Lusi”, so nennen die Indonesier im Osten der Insel Java ihren Schlammspeier, sechseinhalb Quadratkilometer mit hellbrauner Brühe. Dörfer, Fabriken, Schulen, Moscheen versanken. 36 000 Menschen verloren die Heimat. Den Schaden beziffert die Regierung auf zwei Milliarden Euro.

    Rückblick, 27. Mai 2006: Südlich der Stadt Yogyakarta bebt es. 140 000 Häuser stürzen ein, Straßen brechen auf, 5800 Menschen sterben. Dutzende Nachbeben.

    28. Mai 2006: 250 Kilometer nördlich des Epizentrums, wo niemand zu Schaden kam, suchen Mitarbeiter der Firma Lapindo Erdgas. Sie bohren 2834 Meter tief. Plötzlich treten Wasser und Gas ins Bohrloch, Experten nennen das “Kick”. Ingenieure stellen die Bohrung ein.

    29. Mai 2006: 200 Meter neben dem Bohrloch bricht die Erde auf. Heißer Matsch sprudelt, Schlammvulkan “Lusi” ist geboren. Die stinkende Brühe stammt aus 2000 bis 3000 Metern Tiefe, wo unfassbarer Druck herrscht. 1000 Betonkugeln sollten den Vulkan verstopfen – sie halfen nicht. Oben leiten nun neue Dämme und Kanäle einen Teil der Soße in einen Fluss. Greenpeace befürchtet schlimme Folgen für die Umwelt, hat aber keinen Rat: “Das Kippen von Schlamm ins Wasser ist das bedauerliche Ergebnis einer verzweifelten Situation.”

    Zwei Forscher, zwei Meinungen

    Wissenschaftler kamen. “Der Ausbruch scheint durch Bohrung in porösem, unter Druck stehendem Kalkstein ausgelöst worden zu sein. Stein zerbrach, Schlamm und Wasser arbeiteten sich an die Oberfläche”, schrieb Geologie-Professor Richard Davies von der britischen Universität Durham im Januar 2007. Der Italiener Adriano Mazzini, ein Geologe der Uni Oslo, widersprach. Davies liefere nur anekdotische Hinweise. Im Übrigen enthalte der Schlamm keinen Kalkstein. Mazzini wies darauf hin, dass “Lusi” auf einer geologischen Bruchlinie liege, was typisch für Schlammvulkane sei: “Die Beweislage deutet auf ein Beben hin. ,Lusis’ Ausbrüche scheinen im Zusammenhang mit seismischer Aktivität zu stehen.”

    Professor Davies legte nach. Laut seiner detaillierten Studie war das Beben zu schwach und zu weit weg, um eine Rolle zu spielen. “Wir sind sicherer denn je, dass ,Lusi’ durch Bohrung ausgelöst wurde”, bekräftigt Davies.

    Nicht nur Forscher sind uneins. Richter wiesen Zivilklagen von Umweltgruppen gegen die Firma Lapindo ab – der Schlamm sei ein “natürliches Desaster”. Polizei-Ermittler sehen es anders und fordern, dass die Staatsanwaltschaft die Firma wegen Fahrlässigkeit anklagt. Der Staatsanwalt sträubt sich. Er könne nichts mit einem Fall anfangen, bei dem vor Gericht wissenschaftliche Aussage gegen wissenschaftliche Aussage stehen werde. Allerdings hatte Lapindo den Bohrer nur auf zwei Dritteln Länge mit einer Hülse geschützt. Außerdem verpennten Ingenieure den “Kick” in ihrem Bohrloch 90 Minuten lang. Lapindo gibt beides zu. Aber es sei gängig, Bohrer nur teils zu umhüllen. Und 90 Minuten nach dem “Kick” habe der Druck im Bohrloch noch keinen kritischen Punkt erreicht, die Ingenieure hätten rechtzeitig reagiert.

    Minister beteiligt

    Die Lapindo-freundliche Haltung der Justiz ist pikant. Die Firma gehörte zur Zeit des “Lusi”-Ausbruchs Sozialminister Aburizal Bakrie. Er ist laut Forbes mit umgerechnet 2,9 Milliarden Euro reichster Mann Indonesiens und finanzierte den Wahlkampf von Präsident Susilo Bambang Yudhoyono mit. Seitdem beschert Bakries Partei dem Staatschef die Parlamentsmehrheit. “Es war nicht Lapindo, es war das Erdbeben”, sagt Bakrie, “obwohl wir nicht verantwortlich sind, stellen wir als großzügige Geste 420 Millionen US-Dollar für die Betroffenen zur Verfügung.”

    Mit den umgerechnet 271 Millionen Euro, 14 Prozent des Schadens, soll die Sache für Lapindo also erledigt sein. Bakries “Spende” dürfte das Ergebnis einer Übereinkunft mit Präsident Yudhoyono sein. Ein kulantes Präsidialdekret begrenzt Lapindos Beitrag. Die Bohrfirma soll sich nur um Umsiedlungen und den Schlamm-Abfluss kümmern. Alle anderen Schäden – eine Autobahn und eine Bahnlinie müssen verlegt werden – bezahlt der Staat. Lapindo hat in den vergangenen zwei Jahren erst 20 Prozent der Obdachlosen für den Verlust ihres Landes entschädigt. Dass die meisten Anspruchsteller bislang vergeblich auf ihr Geld warten, liegt laut Lapindo an ungeklärten Besitzverhältnissen.

    © fr-online.de

  • US Consortium proposes to turn Lapindo Mudflow into Power Plant

    The consortium consists of Houston-based company Vlociti Holding Inc, Sirex PHS, Preston US and Turbo Jacks, the Berlin, Germany-based company which owns the relevant technology. PT Jatayu Sarana Investasi is the project owner/coordinator, as well as acting as their consultant and sub-contractor in Indonesia.

    Vlociti Holding Inc President Director, Taswin Tarib, presented the proposal to the office of Vice President Jusuf Kalla. Representing the Vice President was special staff coordinator, Alwi Hamu, who studied the proposal.

    Taswin said his company is not a newcomer in the geothermal business, having carried out explorations on geothermal sites in the US and Germany, each with more than 300 megawatt source of power.

    Taswin said the electricity generated from geothermal heat in Sidoarjo can be sold to state-owned electricity company PLN for 2-3 Euro cents per kWh, and can contribute towards solving the electricity crisis in Indonesia.

    ““We are not asking for any collateral from the government or the PLN, nor will we use Indonesian government funds. The funds will come from our group,”” he said at the Vice President’s office yesterday.

    Sources : http://indosnesos.blogspot.com/2008/07/us-consortium-proposes-to-turn-lapindo.html

  • TIME “Top 10” Natural Disasters

    #5. Indonesian Mud Volcano

    It wasn’t exactly an act of God — the blame should go to a poorly run natural gas drilling project — but the out-of-control mud flows near the Indonesian city of Surabaya certainly resembled something out of a disaster movie. The problem started in late May, when hot mud broke into a well that had been drilled without proper protective casing. When the company tried to stop up the mud with cement plugs, it eventually flowed to the surface and burst through the ground in a series of foul geysers. By October the mud was flowing at rate of about 170,000 cubic feet a day, utterly submerging neighboring villages and factories, and leaving over 10,000 people homeless. By Bryan Walsh

     

  • Lapindo Lost at International Arbitration

    Lapindo Brantas Incorporated, the company that is the center of attention in the mudflow case in Sidoarjo, East Java, lost to PT Medco Brantas in a trial at international arbitration.

    Independent drilling expert, Robin Lubron, passed on this report to the deputy attorney general for general crimes, Abdul Hakim Ritonga, when accompanying mudflow victims. ““The decision was made several months ago,”” said Lubron yesterday (14/7).

    Lubron explained that according to a prosecution report, Medco Brantas had warned Lapindo to be careful when drilling. He went on to mention 14 matters that were ignored by Lapindo when drilling. These included drilling spots too close to people’s homes, equipment that was not insured, and no protection on the cutting edge of drills.

    Lubron said Lapindo had broken technical rules. “”Hence Lapindo should pay all the damages,”” he said.

    In an edition last June, Tempo magazine covered violations made by Lapindo during its operations. One of these was about warnings from Medco to Lapindo about installing a casing on drills to anticipate a possible leakage but this was ignored.

    Lapindo spokeperson, Yuniwati Teryana denied the decision from international arbitration agency as Medco is no longer a Lapindo shareholder. “”There was arbitration, but there was no follow-up and this was agreed to,”” said Yuniwati yesterday.

    Medco Energy Corporate Secretary, Sisca Alimin, said that they had nothing to do with it anymore. ““I do not know about it because Medco is no longer a shareholder,”” she said yesterday.

    RINI KUSTIANI | ANTON SEPTIAN | DIAN YULIASTUTI | SETRI

  • Experts set for Cape Town, Vexing Mud Flow Cause Disputed

    On May 29, 2006, on the eastern tip of the island of Java in Indonesia, a giant mud volcano erupted, filling the region with a noxious mix of mud, chemicals and, some would say, mendacity. Even before the mud started swallowing up homes and farms and railroad tracks, the questions were being asked.

    Not “why” so much, but “how” and “who.

    John Snedden, an AAPG member who’s a reservoir connectivity prediction supervisor with ExxonMobil, wants to begin to answer those questions; so during the October AAPG International Conference and Exhibition in Cape Town, South Africa, he is putting together a symposium on what caused the disaster – natural or otherwise – now known as Lusi (from lumpur, the Indonesian word for mud).

    ““Mud Volcano: Earthquake or Drilling Trigger?”” will be offered in Cape Town as part of the conference’s technical program.

    Five speakers representing all sides of the debate will give presentations – reportedly the first time advocates from various positions have been in the same room at the same time – followed by questions, discussions amongst panelists and audience participation.

    It will be moderated by a neutral party, AAPG member Jon Gluyas, with Fairfield Energy in Middlesex, England, who will strive to ensure that all views are heard.

    Included in the forum will be:

    • Richard Davies, department of earth sciences, Durham University, Durham, England.
    • Adriano Mazzini, University of Oslo, Norway.
    • Bambang Istadi, with Lapindo Brantas, Indonesia.
    • AAPG member Mark Tingay, with the School of Earth and Environmental Sciences in Perth, Australia.
    • Hasan Abidin, Institute of Technology Bandung, Indonesia.

    A Contentious Debate

    As to the mud volcano’s origins there are two prevalent theories: It was caused by an earthquake, or it was caused by irresponsible drilling by one of the country’s most prestigious oil and gas operators.

    According to Cape Town technical co-chair Snedden, the forum’s purpose is to “draw a line under the scientific controversy” as to whether the mud volcano was caused by PT Lapindo Brantas, a subsidiary of PT Energy Mega Persada Tbk in Indonesia, which was drilling for gas in the Porong, Sidoarjo region, east of Java, or whether Lusi was caused by natural forces, like an earthquake.

    This debate is more than an academic exercise – thousands of homes, millions of people and perhaps billions of dollars are at stake, plus usability and habitability of the land for years to come.

    Lapindo Brantas geologist Bambang Istadi, perhaps not surprisingly, claims the volcano was caused by natural tectonic forces that occurred two days before Lusi in May 2006. On that day an earthquake hit the Yogyakarta region that killed around 6,000 people and some, including Adriano Mazzini from the University of Oslo, point to that event.

    On the other side of the debate, Richard Davies and AAPG member Mark Tingay propose that Lusi was caused by the drilling of the Banjar Panji 1 gas exploration well.

    Whatever happened, the what of what happened is clear. After the mud erupted, 30,000-50,000 residents lost their homes and, at present, the region shows signs of irreversible collapse and devastation. Snedden says before action can be taken on clean up, “We need to agree first on the cause, so we expect an active debate.”

    Complicating the issue even further is the fact the man at the center of the storm, Aburizal Bakrie, is not only Indonesia’s minister for social welfare but also part of the family that controls Lapindo Brantas. Bakrie has called the volcano a “natural disaster” unrelated to the drilling activities.

    Science vs. Politics?

    Snedden may be after the science, but so far certainly from Davies’ perspective it is politics and money that has been mostly contested. In fact, a court in Java has already agreed with Bakrie that Lusi was caused by natural forces, a claim Davies rejects.

    On National Public Radio recently, Davies said the research on the Yogyakarta earthquake proves it was too small and too far away to have caused the chain of events, concluding that Lusi was “almost certainly” caused by drilling in the area. Specifically, Davies believes that a series of operational events led to a subsurface blowout, which meant the fluids within the well and leaked out on to the surface, which caused the explosion.

    As bad as Lusi is, according to Davies, it is not the largest mud volcano (that happened in Azerbaijan), but is the fastest growing. The debate, almost from the beginning, has been contentious one environmentalist in Indonesia called Lusi “the worst environmental crime of the century” – and that is why Snedden believes the time is right to bring the sides together. There are facts that need to be heard and discussed, he believes, and information that needs to be harnessed.

    Snedden said the idea of holding this symposium at an AAPG international conference in South Africa grew out of an assembled collection of data gathered by an AAPG technical program committee. ““We decided to elevate these papers to a special technical forum, given the considerable attention in the popular press but also the importance and impact of this event,”” he said.

    ““Geology really does matter here,”” he added, ““as thousands in Java can attest.””

  • Mining company ‘likely to blame’ for deadly volcano

    A devastating Indonesian mud volcano could not have been caused by a remote earthquake, researchers have said. Instead, they say, the Lusi eruption that began more than two years ago was most likely caused by the mining company failing to properly reinforce a problematic gas well.

    Petroleum geologist Mark Tingay of Curtin University in Western Australia says the volcano was definitely not caused by an earthquake.

    “None of the known methods by which an earthquake could have triggered this are plausible,” he said.

    Since May 2006 the Lusi mud volcano has been burying villages around the east Javanese city of Surabaya. Seventeen people have died as a result of the eruption and around 40,000 are permanently displaced.

    Some scientists, including UK geologist Richard Davies of the University of Durham and colleagues, believe that drilling for gas by the company Lapindo Brantas caused the explosion. Others, including the company, claim it was triggered by an earthquake that occurred two days before, 250 kilometres away near Yogyakarta, which killed 6,000 people.

    Dr Tingay teamed up with Professor Davies and his colleagues to crunch some numbers, including available company data, to see which theory is best supported. The findings are published in the current issue of the journal Geology.

    Not adding up

    Dr Tingay says while remote earthquakes have triggered such events before, the numbers do not add up in this case.

    “The magnitude of the Yogyakarta earthquake was at least 10 times too small to have triggered off any mud volcanic eruption at the Lusi site,” he said. On the other hand, the analysis did support drilling as a cause.

    “All of the key ingredients necessary for a drilling to have caused the mud volcano were there,” Dr Tingay said. “There are critical safety issues that you have to maintain when you drill a well and we feel that a lot of those were breached.”

    Dr Tingay says all wells should be reinforced using a steel and concrete “casing” or reinforcement at regular intervals to help stop fluids flowing into the well. He believes the company failed to properly reinforce a 2,800-metre deep well they were drilling.

    “Setting casing takes up a lot of time and time is money,” he said. “They skipped two planned casing points.”

    Dangerous situation

    Dr Tingay says the company continued drilling and walls of the well eventually gave way. “They got into this dangerous situation. It’s a bit like driving at night in the wet with bad tyres and no lights,” he said.

    The research says 40 to 60 cubic metres of fluid and hydrogen sulphide gas forced its way into the well and up to the surface. The company responded to this by closing off the surface of the well. “It’s effectively like putting a cork in the well,” Dr Tingay said.

    He says the pressure in the well continued to build up enough to fracture the surrounding rock, resulting in an eruption of mud 200 metres away from the well.

    The mud started erupting at about 5,000 – 20,000 cubic metres a day, but is now spewing forth at 100,000 cubic metres a day, and this could continue for over a decade.

    Dr Tingay says dams are being used to hold back the mud, but he is worried is that these dams will break – made more likely as a 22-square kilometre area around the eruption is starting to sink. He says the Indonesian Government has recently decided to evacuate four more villages from the area.

    The ABC’s attempts to obtain a response from Lapindo Brantas were unsuccessful.

    By Anna Salleh for ABC Science Online

  • Lapindo praised despite mudflow

    Unbelievable. What were the government thinking? It really are hurt thousand of Lapindo victims feeling.

    The government has hailed gas exploration company PT Lapindo Brantas and several other mining giants for complying with environmental standards set by the government.

    The praise came despite Lapindo’s drilling activity in 2006 that allegedly caused a protracted mudflow in the East Java town of Sidoarjo. Three villages have been buried and thousands of families displaced by the mudflow.

    Lapindo joined a group of 180 companies that earned a blue rating in this year’s environmental audit results announced Thursday. Other companies included ConocoPhillips Indonesia Ltd., PT Medco EP, PT Pertamina, PT Lippo Cikarang and PT Kawasan Industri Makassar.

    Gold mining giant PT Freeport Indonesia, PT Aneka Tambang, PT International Nickel Indonesia and PT Indo Lampung Perkasa fared slightly worse, receiving the minus blue rating for “doing something for environmental management but not reaching the government’s standard”.

    The audits were conducted on 516 companies voluntarily taking part in the environmental performance rating program popularly known as Proper.

    The program rates companies gold, green, blue, blue minus, red, red minus or black according to their performance in controlling air and water pollution, following environmental impact analyses (Amdal) and implementing corporate social responsibility (CSR) programs.

    For the first time ever the government presented a gold rating, which went to Bandung-based geothermal firm Magna Nusantara, Ltd. The top award was given for the company’s massive energy saving efforts expected to cut up to 60,000 tons of carbon emissions.

    A total of 46 companies won trophies for achieving green status, exceeding environmental standards set by the government. They included PT Holcim Indonesia, PT Riau Andalan Pulp and Paper Mill, PT Toba Pulp Lestari, Tbk, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Chandra Asri, PT Unilever Indonesia, PT Semen Gresik and PT Indah Kiat Pulp and Paper.

    State Minister for the Environment Rachmat Witoelar said this year’s Proper reflected better environmental conditions with more companies committed to green operations.

    He expressed skepticism, however, that no major company had been given a black label.

    “I questioned the Proper auditing team about the validity of the ranking, as some big companies which have come under public scrutiny earned a better ranking,” Rachmat said.

    A black ranking was given to 43 companies, 13 of them for the second time in a row. The worst of the worst have no water or air treatment facilities and no Amdal documents.

    Rachmat said the government would sue the 13 companies for ignoring environmental regulations.

    Adianto P. Simamora (The Jakarta Post)
  • Scientists blame drilling for Indonesia mudflow

    Sigit Pamungkas/Reuters

    JAKARTA, Indonesia – International scientists say they are almost certain a mud volcano that displaced tens of thousands of villagers in central Indonesia was caused by faulty drilling of a gas exploration well — not an earthquake as claimed by the company.

    Debate over the eruption has flared since a seemingly endless torrent of hot, black sludge started oozing from a gaping hole near the country’s second-largest city of Surabaya on May 29, 2006.

    Well operator Lapindo Brantas, owned by the family of Indonesia’s richest man, Welfare Minister Aburizal Bakrie, says it was triggered by a magnitude 6.3 earthquake that occurred 250 kilometers (155 miles) from the site two days earlier.

    “We are more certain than ever that the Lusi mud volcano is an unnatural disaster and was triggered by drilling the Banjar-Panji-1 well,” Richard Davies, a geologist at Durham University in Britain, said Tuesday.

    He was the lead author of a study published this week in the academic journal Earth and Planetary Science Letters that said his team was 99 percent sure that drilling pressures caused a fluid leakage that led to an “underground blowout.”

    Lapindo noticed too late that an influx of water or gas entered the well after the drill was removed for the night, Davies said, adding “it is quite clear” the critical pressure was “more than the hole could withstand.”

    Michael Manga, a University of California researcher who authored the part of the report on the quake’s impact, said while earthquakes can trigger eruptions, this one “was simply too small and too far away.”

    Ready for a scientific debate

    Lapindo responded by saying Davies and his team were not experts on drilling, rock mechanics or mud volcanoes.

    “We are ready for a scientific debate,” said company spokeswoman Yuniwati Teryana, adding that some other international experts support claims the eruption was triggered by tectonic activities.

    The government has made many attempts to contain or stop the mud, which is coming out at a rate of up to 3.5 million cubic feet (100,000 cubic meters) a day, including dropping beach ball-sized concrete balls into its mouth and building dams to channel the sludge to sea.

    But it continues to wreak havoc, swallowing at least a dozen villages and displacing up to 30,000 people. The government estimates the eruption will cause US$844 million in damage and has ordered Lapindo to pay half that, with some of the money going toward compensating victims.

    © The Associated Press