Tag: geppres

  • Korban Lumpur Lapindo Aksi Di Jakarta dan Porong

    Korban Lumpur Lapindo Aksi Di Jakarta dan Porong

    Mustinya 80% ini dibayar sebulan sebelum bulan Agustus lalu; sesuai dengan ikatan jual beli yakni dilunasi sebulan sebelum kontrakan mereka habis. Terhitung mulai Agustus lalu sudah tiga bulan lebih Minarak Lapindo Jaya, sebagai kasir Lapindo Brantas untuk pembayaran ini, mangkir.

    “Sudah lebih tiga bulan kami belum dibayar juga. Yang 20% sudah habis untuk biaya kontrakan dan kebutuhan ekonomi kami sehari-hari,” ujar Multajam selaku koordinator aksi yang dilakukan warga di pintu keluar jalan tol tersebut.

    Peraturan Presiden (Perpres) 14/2007 menjelaskan sistem pembayaran yang akan dilakukan adalah model Cash and Carry atau model 20-80, yang mengatur pembayaran 20% dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat  1 bulan sebelum masa kontrak rumah(2 tahun) habis. Namun dalam perjalanannya PT. Minarak Lapindo Jaya menawarkan 2 macam skema ganti rugi baru yaitu Cash and Resettlement dan Cash dan Relokasi. Kedua skema ini dinilai warga akan sangat merugikan warga dan tidak sesuai Perpres.

    Aksi serupa juga dilakukan di Jakarta. Pada 9 November kemarin sekitar 150 warga korban Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 (GEPPRES) mengirimkan sekitar 150 orang perwakilan dalam rangka menuntut percepatan pembayaran sisa 80% aset mereka ini.

    Rencananya para korban ini akan menuntut ketegasan pemerintah untuk mendesak PT. Minarak Lapindo Jaya untuk segera melakukan realisasi 80% ini. Mereka akan melakukan aksi ke istana negara untuk bisa bertemu langsung dengan Presiden SBY dan mendesak Presiden untuk mengeluarkan petunjuk pelaksanaan percepatan pembayaran sisa ganti rugi mereka.

    Sehari sebelum aksi warga di pintu keluar jalan tol tersebut, perwakilan warga yang ada di Jakarta juga melakukan aksi di depan istana negara.  Dan pada hari ini perwakilan korban juga melaksanakan mimbar bebas didepan kantor YLBHI  di Jakarta. “Aksi yang kami laksanakan disini sebagai bentuk dukungan terhadap perwakilan kami yang sedang berjuang di Jakarta” tambah Multajam. [mas]

  • Kembali Hentikan Penanggulan

    Kembali Hentikan Penanggulan

    korbanlumpur.info – Pagi ini (10/09) korban-korban lumpur Lapindo dari desa Kedungbendo, Ketapang dan Gempolsari kembali melakukan aksi menghentikan penanggulan lumpur Lapindo. Aksi ini adalah kelanjutan dari aksi serupa yang dilakukan korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES) dua minggu sebelumnya. Saat itu, warga dari desa-desa terdampak menutup semua pintu masuk tanggul.

    Ahmad Zulkarnain, humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang menemui warga di posko GEPPRES, saat itu, membikin pernyataan menghormati tuntuntan warga dan memahami kalau BPLS bekerja di atas tanah korban yang baru dibayar 20%. Dia berjanji akan menghentikan penanggulan sampai sisa 80% dibayarkan kepada warga.

    Namun janji tinggal janji. Sehari setelah aksi, BPLS kembali meneruskan penanggulan. Karena merasa diabaikan tuntutan pelunasan 80%, maka warga kembali melakukan aksi blokade penanggulan.

    Warga menempel dan membagikan pernyataan Zulkarnain kepada supir-supir bego, eskavator, dan truk yang melakukan aktivitas penanggulan. Aksi yang diikuti oleh sekitar 100-an warga tidak ada pengawalan oleh pihak kepolisian karena aksi ini dilakukan secara spontan.

    Aksi yang spontan dilakukan oleh warga tiga desa ini karena pihak BPLS tidak mematuhi pernyataan yang meraka buat sendiri “aksi ini sengaja kami lakukan, karena BPLS tidak sportif kepada kami” kata Ikhsan, warga Kedung Bendo. Selain itu aksi ini di tujukan kepada pihak Lapindo Brantas Inc untuk segera menyelesaikan sisa pembayan 80% kepada warga karena pada saat ini masa kontrakan warga sudah habis dua tahun. Jika Lapindo tidak segera membayar warga akan melakukan aksi yang lebih besar dari aksi ini.

    “Jika Lapindo tidak segera melakukan pembayaran sisa 80% maka kami akan melakukan aksi yang lebih besar lagi atau kalau perlu kami akan menutup jalan” tegas Hari Suwandi, koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES) Kedong Bendo.

    Akhirnya aksi spontan ang dilakukan tiga desa ini berakhir setelah para pekerja yang melakukan penanggulan berhenti beraktifitas. Dan sebagian warga masih tetap memantau aktifitas penanggulan.

    “Kami akan terus memberhentikan penanggulan di tanah kami sebelum Lapindo melakukan sisa pembayan 80% kepada kami,” tutur Hari. [novik]

  • Korban Lapindo Masih Diabaikan

    Perwakilan dari Desa Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo dan Siring, Sidoarjo, yang menggabungkan diri dalam Gerakan Pendukung Perpres  No 14/2007 (Geppres) menyatakan bahwa saat ini masa kontrak rumah 2 (dua) tahun telah habis, sehingga telah melewati jatuh tempo pembayaran 80 persen jual-beli tanah dan rumah yang tenggelam, sebagaimana pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 tahun 2007.

    Akan tetapi ternyata, PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa pembayaran 80 persen, dengan alasan tanah-tanah warga yang bukti kepemilikannya berupa Pethok D, Letter C, atau SK Gogol tidak bisa “di-AJB-kan” (dibuatkan akte jual beli). Sebagaimana lazim di desa-desa tersebut, mayoritas warga, sekitar 14.000 KK, bukti kepemilikan tanah mereka adalah Pethok D, Letter C dan SK Gogol. Sangat sedikit yang memiliki sertifikat hak milik (SHM).

    Alasan PT MLJ tersebut tidak masuk akal. Sebab, Badan Pertanahan Nasional telah mengirimkan surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo yang telah bersertifikat maupun belum bersertifikat. BPN menjelaskan secara rinci mekanisme jual beli untuk tanah bersertifikat hak milik maupun tanah dengan bukti Yasan, Letter C, Pethok D, Gogol.

    PT MLJ justru memaksakan model cash and resettlement dalam penyelesaian sosial korban lumpur Lapindo. Ini tidak sesuai dengan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No 14 tahun 2007. Karena itu, Geppres menolak model cash and resettlement dan tetap berpegang teguh mendukung pelaksanaan Perpres No. 14 Tahun 2007. Geppres menuntut Pemerintah untuk “memaksa PT MLJ agar tunduk kepada Perpres dan menindak tegas atas pembangkangan yang dilakukan”.

    Berbeda dengan Geppres, korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Perwakilan Warga Perumtas menyatakan bahwa bahkan sampai hari ini, mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen. Mereka mengatakan bahwa, pada 24 April 2007, mereka telah bertemu dengan Presiden, Wakil Presiden, Menko Kesra, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Dirut Bank Tabungan Negara, Dirut Bank Nasional Indonesia dan Gubernur Jakarta. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa pembayaran uang muka 20 persen korban lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 akan dibayarkan mulai tanggal 24 April 2008.

    Faktanya hingga kini mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen, apalagi berkenaan dengan pembayaran sisa 80 persen. Padahal saat ini telah setahun lebih dari waktu yang dijanjikan. Untuk itu PW Perumtas menuntut “realisasi pembayaran seratus persen langsung”.

    Sedangkan Gerakan 3 Desa yang terdiri dari Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, menuntut keadilan Pemerintah dalam menangani permasalah sosial di ketiga desa tersebut. Pada Juli 2008 lalu Presiden memang telah mengeluarkan Perpres No. 48 Tahun 2008 yang menetapkan ketiga desa tersebut dalam peta area terdampak. Namun dalam hal mekanisme implementasi, muncul banyak masalah, dan tidak sesuai dengan tuntutan warga.

    Pertamasebagian wilayah Desa Besuki, yakni Desa Besuki yang berada di timur bekas jalan tol tidak masuk ke dalam peta area terdampak. Berkaitan dengan hal itu, Gerakan 3 Desa menuntut wilayah Desa Besuki bagian timur untuk “dimasukkan ke dalam peta area terdampak”. Keduapenentuan harga jual beli aset lahan dan bangunan di wilayah 3 desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) masih belum jelas. Gerakan 3 Desa menuntut harga itu disesuaikan dengan desa-desa yang masuk wilayah peta area terdampak, yakni tanah sawah 120.000 per meter persegi, tanah kering 1.000.000 per meter persegi, dan bangunan 1.500.000 per meter persegi.

    Ketigadisebutkan dalam Perpres No. 48 Tahun 2008 bahwa sisa pembayaran 80 persen aset warga akan dilakukan setelah pelunasan sisa pembayaran 80 persen bagi korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggungjawab PT Lapindo Brantas. Bagi Gerakan 3 Desa, pembayaran 80 persen aset mereka tidak ada hubungannya dengan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas, sebab menggunakan sumber mata anggaran yang berbeda. Artinya, pelunasan 80 persen untuk ketiga desa tersebut dilakukan tanpa menunggu pelunasan sisa 80 persen bagi korban yang masuk peta terdampak 22 Maret 2007 yang menjadi tanggung jawab Lapindo.

    Sementara, korban Lapindo yang tergabung dalam Paguyuban Warga 9 Desa yang berasal dari Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, Gedang, Mindi, Glagah Arum, Plumbon, Pamotan, Ketapang, Gempolsari menyatakan bahwa desa-desa tersebut telah terkena dampak luapan lumpur Lapindo berupa munculnya buble gas di mana-mana, penurunan tanah, rusaknya sumber mata air, tergenangnya sebagian wilayah oleh rembesan air yang berasal dari tanggul lumpur Lapindo, maupun bau gas yang menyengat.

    Paguyuban Warga 9 Desa menyayangkan Pemerintah tidak bertindak cepat dan sigap. Wilayah desa tersebut tidak ditetapkan dalam peta area terdampak, sehingga tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di desa-desa tersebut. Padahal, empat orang warga desa telah meninggal akibat pencemaran gas yang terjadi dan belasan lainnya jatuh sakit.

    Karena itu, Paguyuban Warga 9 Desa menuntut kepada Pemerintah untuk (1) menetapkan wilayah 9 desa ke dalam peta area terdampak; (2) menggunakan cara Perpres No 14 tahun 2007, yakni dengan melakukan jual-beli lahan di wilayah kami dengan mekanisme 20 persen sebagai uang muka, dan 80 persen sisanya dibayarkan dalam jangka waktu 1 tahun kemudian; (3) jaminan keamanan, keselamatan, dan sosial.

    Jakarta, 29 Agustus 2008
    Gerakan Pendukung Perpres No 14 Tahun 2007/Geppres
    Perwakilan Warga Perumtas

    Gerakan 3 Desa
    Paguyuban Warga 9 Desa

    Kontak:

    Paring 08125296063
    Beggy 085269135520

  • Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    korbanlumpur.info – Meskipun aksi di tempat lain dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian, warga yang menduduki akses ke tanggul di Desa Ketapang masih tetap bertahan. Sampai pukul 02.00 hari Selasa (26/8) warga masih tinggal di tenda darurat yang siang tadi didirikan oleh warga. “Kami tetap bertahan sampai tuntutan kami dipenuhi,” ujar Abdul Syukur (40 tahun) kepada Kanal.

    Bersama dengan puluhan korban lainnya dari Desa Kedung Bendo dan Gempolsari, Cak Syukur, demikian pria 40 tahun ini biasa dipanggil, yang merupakan warga Desa Ketapang memilih tidur di tanggul. Tidak hanya, laki-laki dewasa yang memutuskan untuk tinggal di tanggul, tetapi juga ibu-ibu maupun anak-anak kecil semuanya tidur di tenda yang dibangun seadanya itu.

    “Rumah kami kan sudah tenggelam, kontrak 2 tahun juga sudah habis. Kami tidak punya lagi tempat untuk tinggal,” terang bapak satu putra ini.

    Pendapat senada diungkapkan oleh Anto (29 tahun) warga Desa Kedung Bendo yang juga bertahan di tanggul. Pemuda lajang yang akrab dipanggil Gambar ini menegaskan tekad bahwa warga tidak khawatir aksi mereka akan dibubarkan oleh aparat. “Atas dasar apa aparat membubarkan kami. Sepanjang belum dilunasi, tanah ini kan masih milik kami,” tegasnya ketika ditemui dini hari tadi.

    Koordinator aksi di tanggul Desa Ketapang, Hari Suwandi menjelaskan bahwa memang beberapa kali dia dihubungi aparat dari Polres Sidoarjo. Pihak kepolisian menanyakan bagaimana situasi aksi yang dilakukan oleh warga di Desa Ketapang. Dan sejauh ini, situasi aksi di Desa Ketapang memang relatifterkendali. “Tadi malam kami mengadakan istighotsah yang dipimpin oleh Ustadz Matsukril dari Desa Kedung Bendo,” terang Hari.

    Menurut rencana, aksi korban Lumpur Lapindo dengan menutup tanggul akan dilanjutkan selama beberapa hari ke depan. Dan selama tuntutan mereka belum dipenuhi, warga akan tetap menduduki tanggul.

    “Bahkan kalau perlu kami akan mendirikan gubuk untuk tempat tinggal kami dan keluarga di atas tanah dimana dulu rumah kami berdiri,” tegasnya. (ako)

  • BPLS Tidak Berkutik dengan Desakan Warga

    BPLS Tidak Berkutik dengan Desakan Warga

    korbanlumpur.info – Aksi penutupan tanggul oleh warga korban Lumpur Lapindo benar-benar membuat pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pusing tujuh keliling. Aktivitas penanggulan yang berhenti total selama seharian kemarin (Senin, 25/8), menyebabkan beberapa titik tanggul mengalami kritis akibat volume lumpur yang terus meningkat, sementara pengaliran ke sungai Porong dan penguatan tanggul tidak bisa dilakukan.

    Padahal, aksi warga tidak hanya akan berlangsung satu hari. Warga akan terus menutup akses ke tanggul, yang notabene adalah tanah mereka sendiri, sampai tuntutan sisa pembayaran 80 persen terpenuhi. Posisi BPLS kian terjepit karena warga berhasil ‘memaksa’ mereka menandatangani surat pernyataan, yang isinya ‘membiarkan’ warga untuk terus menutup akses ke tanggul.

    Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh Humas BPLS, Ahmad Zulkarnaen, yang kewalahan menghadapi desakan warga. Bertempat di Posko GEPPRES di Desa Jatirejo, Zulkarnaen tadi malam harus menghadapi berondongan pertanyaan dan gugatan dari korban yang mempertanyakan ketidaktegasan BPLS selaku pihak yang seharusnya bertanggungjawab menangani semua dampak yang timbul dari Bencana Lumpur Lapindo.

    Awalnya, Zulkarnaen datang ke Posko untuk memberi penjelasan terkait alasan pembubaran aksi warga di akses tanggul Desa Siring. Warga menganggap bahwa pihak kepolisian sebenarnya tidak berhak membubarkan aksi mereka karena aksi mereka tidak dilakukan di tempat umum, tetapi di lahan milik mereka sendiri. Warga juga sudah memberitahukan mengenai aksi mereka ini kepada kepolisian dan BPLS.

    Bahkan, dalam berbagai kesempatan, pihak BPLS selalu mengatakan bahwa mereka menghargai dan akan memfasilitasi tuntutan warga. Tetapi korban merasa hal itu hanya sebatas omong kosong semata. Ketika sampai pada kebutuhan misalnya BPLS seharusnya tegas membantu hak warga, mereka terkesan hanya pasif dan membiarkan saja.

    Karena itu, dalam kesempatan pertemuan kemarin, warga habis kesabarannya dengan posisi tidak jelas BPLS tersebut. Mereka menuntut agar Zulkarnaen yang dianggap mewakili BPLS mempertegas posisinya terhadap tuntutan warga. Warga kemudian menodong Zulkarnaen untuk menandatangani surat pernyataan bermaterei seperti di atas.

    Dengan ditandatanganinya surat pernyataan ini, warga memegang bukti bahwa ke depan BPLS akan mendukung tuntutan korban. Terkait dengan tuntutan sisa pembayaran 80 persen saat ini, BPLS tidak akan menghalangi aksi warga untuk menutup tanggul sampai ada perkembangan/keputusan positif terhadap tuntutan korban.

  • Aksi Damai Korban Lapindo Dibubarkan Aparat

    korbanlumpur.info – Aksi warga korban lumpur yang menutup akses ke lokasi semburan Lumpur yang berlangsung dengan damai, dibubarkan paksa oleh aparat keamanan. Yang dibubarkan adalah massa yang menduduki tanggul di pintu masuk desa Siring, akses yang langsung menuju ke titik R1 atau pusat semburan lumpur. Dilaporkan bahwa ada 3 orang warga yang ditahan dalam insiden ini.

    Dari beberapa informasi yang berhasil dikumpulkan tim Kanal, diperoleh keterangan bahwa pembubaran ini dipicu oleh adanya provokasi yang berupa perusakan terhadap peralatan berat yang berada di dalam lokasi tanggul. Diduga, perusakan ini dilakukan oleh beberapa orang pemuda yang kelihatan sedang mabuk, di lokasi bekas desa Jatirejo.

    Begitu mendapat laporan adanya perusakan ini, polisi kemudian menangkap ketiga pemuda tersebut. Bersamaan dengan penangkapan ini, ratusan petugas kepolisian juga membubarkan massa di Siring yang jaraknya paling dekat dengan lokasi penangkapan. “Sebagian besar peserta aksi tampaknya sedang pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat,” ujar Rere, warga Renokenongo yang menyaksikan kejadian tersebut.

    Kapolres Sidoarjo, AKBP Maruli Simanjuntak yang memimpin langsung pembubaran itu, menyatakan bahwa aksi blokade warga harus selesai sebelum jam 18.00. Jumlah massa yang berkurang hingga tinggal puluhan orang sore itu juga didominasi oleh kaum ibu, tidak berdaya menghadapi pembubaran oleh polisi yang beranggotakan ratusan personel. Spanduk dan berbagai macam alat aksi lainnya dilaporkan ikut disita oleh polisi.

    Saat ini, kelompok korban dari komponen GEPPRES yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan aksi masih mengadakan pertemuan untuk menyikapi aksi pembubaran oleh aparat keamanan ini.

    Sementara itu, aksi blokade yang berlangsung di titik lainnya, yaitu di bekas jalan tol Desa Renokenongo dan pintu masuk di Desa Ketapang. Di Desa Ketapang, peserta aksi yang sebagian besar adalah warga Kedung Bendo melanjutkan aksi malam ini dengan istighotsah. Warga bertekad untuk bertahan sampai tuntutan sisa pembayaran 80 persen segera dipenuhi. (ako)

  • Korban Lapindo Bersatu Tutup Langgul

    Korban Lapindo Bersatu Tutup Langgul

    korbanlumpur.info – Gabungan beberapa kelompok korban kembali berunjuk rasa hari ini (25/08). Aksi ini karena masih berlarutnya proses pembayaran ganti rugi warga secara cash and carry. Juga belum jelasnya status desa-desa diluar peta area terdampak.

    Massa terdiri dari kelompok Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden), dan Paguyuban 4 Desa (Gedang, Ketapang, Glagaharum, dan Plumbon), juga tim 3 Desa (Mindi, Siring dan Jatirejo). Meskipun berbeda tuntutan, mereka melakukan aksi bersama menuntut penyelesaian desa-desa mereka.

    Geppres adalah kelompok desa-desa didalam peta area terdampak, yang sampai sekarang masih berjuang mendapatkan ganti rugi 80% secara cash and carry. Ini karena pihak Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menyatakan tidak akan membeli tanah warga yang berstatus kepemilikan Petok D dan Letter C.

    Sedangkan Paguyuban 4 Desa menuntut dimasukkannya wilayah mereka kedalam peta area terdampak. Sebab kesehatan dan keselamatan daerah mereka sangat rentan. Selain tinggal dekat tanggul yang bisa roboh sewaktu-waktu. Lingkungan mereka juga mengalami kerusakan dan terpolusi oleh logam berat dan PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) . “Kami ini juga korban, tolong pemerintah jujur melihat kondisi desa-desa kami” kata Jarot dari Siring Barat.

    Sejak pagi, ribuan massa  bergerak menutup semua akses masuk ke tanggul di beberapa titik. Mereka menolak dilanjutkannya proses penanggulan sebelum persoalan mereka diselesaikan. Warga menyatakan bahwa area teanggul itu masih tanah hak milik mereka, karena belum diselesaikan pembayarannya. Mereka mengancam akan menduduki tanggul secara permanen bila tuntutannya tidak dipenuhi.

    “Ini tanah warga dan warga masih punya hak di sini karena Lapindo belum menyelesaikan sisa pembayaran 80%. Sampai kapanpun kami akan tetap disini kalau Lapindo menolak membayar secara cash and carry” tutur Suwito Koordinator Geppres ditengah-tengah massa. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada pihak-pihak terkait yang datang untuk merundingkan permasalahan ini. [re]

  • Warga Kedung Bendo Lanjutkan Aksi Memperingati Kemerdekaan

    Warga Kedung Bendo Lanjutkan Aksi Memperingati Kemerdekaan

    korbanlumpur.info – Pada hari Minggu, 17 Agustus sekitar pukul 11.15 wib, warga Kedung Bendo yang berasal dari kelompok GEPPRES (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden), melakukan aksi pemasangan spanduk serta poster-poster tuntutan di atas dan sekitar tanggul yang dulunya merupakan wilayah desa Kedung Bendo.

    Aksi ini diikuti oleh sekitar 100-an warga  yang terdiri dari bapak, ibu, pemuda dan anak-anak. Selain itu, dalam aksi ini turut hadir juga perwakilan warga korban lumpur Lapindo dari PerumTAS. Aksi yang dilakukan oleh warga merupakan lanjutan dari aksi yang dilakukan warga korban lumpur Lapindo setelah upacara peringatan 17 Agustus yang diselenggarakan oleh BPLS di atas tanggul cincin, Jatirejo. Tepatnya diatas komplek Ponpes Ahas, yang sudah terkubur lumpur Lapindo.

    Sebelum aksi dimulai, warga berkumpul di sekitar kompleks Masjid Kedung Bendo untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan perangkat dan perlengkapan aksi, seperti spanduk, poster dan kesiapan barisan warga. Sekitar pukul 11.15 wib, ratusan warga mulai merapatkan barisan untuk menuju tanggul yang berjarak sekitar 300 meter dari masjid.

    Beberapa spanduk dan poster-poster berisi tuntutan warga Kedung Bendo yang ingin segera diselesaikannya pembayaran sistem cash and carry juga mulai dibentangkan. Setelah barisan aksi solid, iring-iringan warga yang penuh semangat mulai bergerak menuju tanggul.

    Untuk menyemangati para peserta aski, koordinator lapangan Bapak Hari Suwandi meneriakkan yel-yel, “Merdeka?” Dengan serentak warga menyahut,“Belum!”

    Selain itu para warga juga meneriakkan tuntutan-tuntutan, “Bayar dulu baru ditanggul”, “Tanah ini masih milik kami”.

    Pukul 11.30 wib, warga tiba ditanggul sebelah barat desa Kedung Bendo. Dengan serentak, sebagian peserta aksi bahu membahu naik ke atas tanggul yang tingginya sekitar 10 meter. Sesampainya di atas tanggul, warga dengan semangat meneriakkan yel-yel dan meneriakkan dengan bebas semua kegelisahan mereka selama ini yang tak kunjung mendapatkan kepastian penyelesaian pembayaran cash and carry oleh pihak Lapindo Brantas Inc., padahal masa kontrak rumah sudah habis.

    Dengan tetap meneriakkan yel-yel, beberapa warga yang berada di atas tanggul mulai menggali lubang yang akan digunakan untuk tiang penyangga spanduk. Setelah berjalan sekitar 15 menit, dua spanduk yang berjejer telah selesai dipasang.

    Setelah pemasangan selesai, warga dengan tertib mulai turun dari atas tanggul dan pulang ke rumah masing-masing. Sebelum aksi berakhir, sebagaimana informasi yang didapatkan dari koordinator lapangan Bapak Hari Suwandi.

    “Apabila Lapindo Brantas tidak dengan segera menyelesaikan pembayaran cash and carry maka warga dengan jumah kekuatan yang lebih banyak dan besar akan melakukan aksi pendudukan dan blokade tanggul sampai pihak Lapindo Brantas melaksanakan kewajibannya”. [tang]

  • Warga Peringati 17 Agustus Diatas Tanggul

    Warga Peringati 17 Agustus Diatas Tanggul

    korbanlumpur.info – Jatirejo: Sekitar 500 warga korban lumpur Lapindo dari beberapa desa, menghadiri acara upacara bendera yang diselenggarakan oleh BPLS di atas tanggul cincin, Jatirejo. Tepatnya di atas komplek Ponpes Ahas, yang sudah terkubur lumpur Lapindo.

    Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah undangan, diantaranya adalah jajaran polsek Porong, perwakilan Kodim Sidoarjo, perwakilan masyarakat Korban Lumpur lapindo, (GKLL dan Geppres), kelompok masyarakat yang berkegiatan di atas tanggul, mulai dari pengojek sampai pekerja tanggul. Tetapi, tidak terlihat warga GKLL yang hadir.

    Setelah acara upacara selesai digelar, warga Korban Lapindo yang menuntut pembayaran sistem cash and carrymelakukan aksi membentang spanduk tuntutan pembayaran sisa 80% kepada pihak BPLS.

    Para ibu-ibu dengan emosi mengadukan nasibnya kepada perwakilan BPLS, yang diwakili oleh Humas mereka, Zulkarnain. Mereka mengharapkan kepada BPLS untuk mengingatkan Lapindo supaya segera menyelesaikan sisa pembayaran 80 persen karena jatuh tempo pembayaran sudah lewat satu bulan. “Tolong pak Zul perhatikan kami, kontrakan kami sudah habis kami tidak punya uang lagi untuk mengontrak rumah. Tolong selesaikan pembayaran 80%”, tegas Uswati warga Jatirejo RT 10.

    Selain itu warga juga mengancam jika dalam akhir bulan agustus belum ada kepastian soal pembayaran 80 persen maka warga mengancam akan  menduduki tanggul dan memberhentikan semua aktifitas penanggulan. “Kalau sampai bulan ini belum ada kepastian maka kami akan menduduki tanggul ini karena kami masih punya hak atas tanah ini” tegas Pak Ikhsan, korban dari Desa Kedung Bendo dengan nada tinggi.
    BPLS sendiri menyikapinya dengan menjanjikan pertemuan dengan warga di Posko GEPPRES. Mereka berjanji kepada warga akan duduk bersama untuk membicarakan lebih lanjut soal tuntutan warga yang tergabung dalam Gabungan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES). “Monggo kalau warga menuntut penyelesaian 80% dengan di fasilitasi oleh kami. Kami akan memfasilitasi” tegas Zulkanain menenangkan warga [man/nov]

  • Bayar Dulu, Baru Ditanggul

    Bayar Dulu, Baru Ditanggul

    korbanlumpur.info – Jatuh tempo sisa pembayaran 80 persen terhadap aset warga seperti yang diamanatkan oleh Perpres 14/2007 sudah lewat lebih dari dua bulan. Tetapi sampai sekarang, Minarak Lapindo Jaya (MLJ) masih juga belum ada tanda-tanda untuk membayar aset warga tersebut. Sehingga, warga memutuskan untuk memasang pathok-pathok penanda bekas tanah milik warga di lokasi yang kini sudah tertimbun lumpur setinggi 10 meter.

    “Sepanjang kami belum dilunasi, tanah ini masih milik warga“, tegas Hari Suwandi, koordinator aksi dari Desa Kedung Bendo, Tanggulangin Sidoarjo. Aksi yang dilakukan tadi pagi, melibatkan sebanyak 300 warga dari 5 desa yang sudah tenggelam (Reno Kenongo, Siring, Jatirejo, Ketapang dan Kedung Bendo).

    Dalam aksi yang dikoordinasikan oleh korban yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES), warga memasang pathok-pathok penanda bekas tanah dan rumah kami yang sekarang sudah tenggelam. Aksi ini merupakan kelanjutan aksi sebelumnya, dimana warga memasang spanduk peringatan disekeliling tanggul.

    Aksi ini merupakan peringatan kepada pemerintah dan BPLS untuk segera mendesak Minarak untuk segera membayar sisa uang jual beli sebesar 80 persen. Sesuai amanat Perpres, jatuh tempo pembayaran adalah satu bulan sebelum masa kontrak 2 tahun habis. ”Padahal sekarang masa kontrak warga sudah habis, sementara masih belum ada kejelasan dari Minarak,“ tegas Ahmad Novik, salah seorang tokoh pemuda yang ditemui tim SuaraPorong.

    Sementara aksi berlangsung, Wakapolres Sidoarjo, Kompol Denny Nasution mengunjungi Posko GEPPRES yang terletak di tepi jalan Raya Porong di Desa Jatirejo. Pada kesempatan itu Wakapolres menawarkan kepada warga untuk mengajak Bupati dan BPLS bersama-sama dengan perwakilan warga untuk bersama-sama mendatangi Minarak, dan menanyakan alasan kenapa tidak segera melakukan pembayaran. Ketika ditanyakan kapan hal itu akan dilaksanakan, Wakapolres menjawab enteng, “dalam minggu-minggu kedepan.“

    Hal ini tidak memuaskan warga yang melakukan aksi. Suharto, salah seorang warga Jatirejo menyebut bahwa hal itu hanya untuk menenangkan warga yang kini sudah berada dalam posisi yang sangat terjepit. Meski begitu, warga akan menerima tawaran pertemuan tersebut, untuk melihat kejelasan sikap Minarak. Kalaupun pertemuan itu tidak membuahkan hasil, warga sudah siap dengan rencana selanjutnya.

    Warga akan akan menutup seluruh akses menuju tanggul dan memaksa BPLS menghentikan segala aktivitas di tanah mereka. “Warga berkeyakinan bahwa sepanjang mereka masih belum dilunasi pembayaran 80 persen secara tunai, tanah dibawah timbunan lumpur itu masih tanah mereka. “Jadi, bayar dulu, baru boleh ditanggul,”“ pungkas Hari Suwandi. (win)

  • Warga Blokade Tanggul dengan Spanduk

    Warga Blokade Tanggul dengan Spanduk

    korbanlumpur.info, Porong – Hari ini, Sabtu 9 Agustus 2008, warga desa korban lumpur Lapindo dari desa Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, dan Renokenongo melakukan aksi pemasangan spanduk penolakan proyek penanggulan. Aksi dipimpin langsung oleh masing masing koordinator lapangan di tiap desa.

    Warga Siring dan Jatirejo melakukan pemasangan spanduk di pintu masuk dumtruck di pintu masuk bekas kantor Koramil. Aksi dipimpin langsung korlap Siring, Rois Hariyanto, dan korlap Jatirejo, Suwito. Sedangkan warga Kedung Bendo melakukan pengusiran eskavator yang mengerjakan penanggulan di Jalan Demak, Desa Ketapang.

    Aksi dipimpin langsung oleh korlap Kedung Bendo, Usman dan Hari Suwandi. Aksi warga Kedung Bendo ini mendapat dukungan langsung dari Kepala Desa kedung Bendo, H Hasan. Sementara aksi pemasangan spanduk di Desa Renokenongo dipimpin langsung oleh korlap Renokenongo, Mahmudatul Fatchiya. Aksi pemasangan spanduk warga Renokenongo ini dilakukan di sepanjang tanggul Desa Renokenongo.

    Aksi pemasangan dan blokade sesaat ini dilakukan untuk memperingatkan BPLS agar segera memaksa PT Minarak Lapindo Jaya untuk membayar pelunasan aset mereka. Sebab selama ini mereka hanya dibayar dengan uang muka 20 persen oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Kini telah jatuh tempo pembayaran sisa 80 persennya. Tapi belakangan, Andi Darussalam Tabusala, Vice President Minarak Lapindo Jaya menyatakan tidak akan membayar sisa uang 80 persen yang seharusnya diterima warga, jika bukti kepemilikan tanah warga hanya Letter C dan Pethok D, atau SK Gogol. PT Minarak Lapindo Jaya hanya bersedia membayar tanah warga yang bersertifikat hak milik.

    Menurut Suwito, pihaknya memberi batas waktu paling lama seminggu kepada PT Minarak Lapindo Jaya dan BPLS untuk merealisasikan sisa pembayaran secara tunai (cash) sisa uang 80 persen. “Jika tanah kami tidak dibayar, maka kami akan melakukan aksi massa yang lebih besar. Akan tetapi aksi massa tersebut akan kami lakukan secara damai, dan tidak mengganggu masyarakat umum,” ujar Suwito, Koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres).

    Beragam spanduk kini telah menancap di beberapa titik tanggul lumpur Lapindo dari empat desa. “Bayar dulu, baru tanggul”, “Lapindo perampas tanah rakyat”, “Letter C, Pethok D bisa di-AJB-kan”, begitulah ungkapan tuntutan warga  yang mereka tuangkan dalam beberapa spanduk.

    Warga berkomitmen, spanduk-spanduk itu akan mereka jaga secara bergiliran. Mereka akan mempertahankan spanduk spanduk itu jika ada pihak pihak lain yang berupaya menurunkannya. (ring)

  • Korban Lapindo dan Mandulnya Negara

    Korban lumpur lapindo yang di dalam peta area terdampak pada 22 Maret 2007 kini tengah resah. Kurang lebih 1000 an orang belum menerima uang muka 20 persen. Sisanya sebesar 11 ribu kepala keluarga cemas menuggu ketidakjelasan pembayaran 80 persen oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

    Hari Selasa, 5 Agustus 2008 yang lalu, kami bersama dengan ribuan korban lumpur melakukan aksi untuk meminta komitmen pemerintah dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menegakkan aturan hukum yang ada. Aturan hukum itu menyangkut pembayaran sisa 80 persen yang harus dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Namun, hasil pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS, dan BPN tak membuah hasil yang menggembirakan. Bupati, BPN, dan BPLS tak secara kongkrit menegakkan aturan itu.

    Sesuai dengan mekanisme hukum yang ada, pada tanggal 2 Mei 2007, menteri sosial selaku wakil ketua dewan pengarah BPLS, bersama dengan Ketua BPLS, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Sidoarjo, Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga mengadakan rapat bersama. Salah satu hasilnya disepakati bahwa tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya dapat di akte jual belikan. Sehingga secara otomatis posisinya setara dengan tanah tanah warga yang bersertifikat.

    Pertemuan ini tentu sangat menggembirakan warga. Harapan besar bahwa tanah tanah warga mendapatkan payung hukum dalam hal pembayaran sisa aset mereka sebesar 80 persen. Apalagi pada tanggal 24 Maret 2007, Badan Pertanahan Nasional membuat surat perintah kepada Badan Pertanahan Kabupaten Sidoarjo mengenai petunjuk pelaksanaan penyelesaian masalah lumpur Sidoarjo. Isi pokok surat itu adalah tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol bisa dilakukan penerbitan akte jual beli. Bahkan disaat PT Minarak Lapindo Jaya melakukan pelunasan pembayaran 80 persen, BPN dapat menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

    Waktu terus berlalu, setahun kemudian, warga telah waktunya mendapatkan sisa pembayaran 80 persen. Sebagian besar warga berharap, mereka dapat segera membeli rumah, karena selama ini mereka hidup dalam rumah kontrakan. Bahkan sebagian diantaranya telah membeli rumah dengan status hutang. Harapannya, hutang itu dapat segera terlunasi disaat mereka mendapatkan pembayaran uang sisanya sebesar 80 persen.

    Alangkah terkejutnya ketika harapan itu coba dirubah. PT Minarak Lapindo Jaya, bersama dengan Ketua Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dan Emha Ainun Najib membuat nota kesepahaman bahwa sisa pembayaran 80 persen akan dibayarkan dalam bentuk cash and resettlement (C n R). Pola C n R mekanismenya berupa tanah warga ditukar guling satu banding satu. Sedangkan rumah rumah warga yang telah tenggelam PT Minarak Lapindo Jaya sanggup membayarnya sesuai dengan harga saat warga menerima uang muka 20 persen, yakni sebesar 1,5 juta per meternya.

    Bahkan PT Minarak Lapindo Jaya menyatakan tidak bersedia membayar secara tunai (cash) bagi tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol. Yang lebih konyol dan memuakkan, beberapa makelar bergentayangan setiap malam. Mereka mengumpulkan warga yang sangat awam mengenai praktik hukum dan prosedur pengurusan aset aset mereka yang telah tenggelam. Para makelar tersebut mengancam kepada warga, aset mereka yang 80 persen tidak akan diuruskan bahkan tidak akan di bayar, jika tidak segera mengumpulkan berkas berkas mereka kepada para makelar.

    Modusnya, para makelar mengumpukan warga pada malam hari selepas sholat isya’. Pada pertemuan itulah warga dibuat cemas, dan takut. Sehingga pada malam hari itu juga warga diminta mengumpulkan berkas untuk mengurus pembayaran sisa 80 persen dalam bentuk C n R.

    Menghadapi kenyataan yang amburadul seperti itu, beberapa warga yang melek secara politik dan hukum menginisiasi dibentuknya Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden) yang menutut sisa pembayaran 80 persen dalam bentuk tunai (cash), baik tanah maupun bangunan. Mereka menolak skema C n R yang dibuat oleh PT MLJ dan GKLL.

    Jika mekanisme C  n R dilakukan maka warga akan mengalami beberapa kerugian:

    1. Warga menderita kerugian tanah yang menjadi aset miliknya. Sebab jika PT Minarak Lapindo Jaya membayar tanah tersebut secara tunai, harganya satu juta per meter perseginya. Sedangkan dengan sisten C n R, PT Minarak Lapindo Jaya mengganti tanah warga dengan tanah, yang pengadaannya tanahnya per meter perseginya paling mahal 300 ribu per meter perseginya.
    2. Lokasinya tanah tempat tukar guling relatif jauh dengan mata pencaharian warga, yang rata rata menjadi buruh pabrik, buruh tambak, dan sektor informal lainnya di sekitar Porong dan Tanggulangin.
    3. Pembayaran 80 persen secara tunai yang semestinya dapat digunakan untuk beli rumah dan modal usaha, dengan model C n R, maka uang tunai yang dimiliki warga semakin berkurang, sebab hanya mendapatkan pembayaran dari rumah mereka yang tenggelam saja.
    4. Jika warga terpaksa harus membangun rumah ditanah hasil relokasi satu banding satu, mereka akan tinggal di dalam komplek perumahan. Suasana hidup didalam perumahan secara kultural dan sosial jelas akan sangat berbeda dengan suasana hidup di kampung pendesaan. Biaya sosial hidup diperumahan akan lebih mahal, sebab air harus beli lewat PDAM atau membeli genset sedotan air, serta biaya biaya lainya, layaknya hidup di dalam perumahan.

    Menghadapi situasi ini, maka Geppres menginginkan agar komitmen pembayaran 80 persen harus tetap dalam bentuk uang tunai. Namun perjuangan ini masih menghadapi jalan buntu, ketika secara sepihak PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar tanah tanah yang bukti kepemilikannya hanya pethok d, letter c, maupun sk gogol. Menghadapi situasi seperti ini, BPN, BPLS, dan Bupati cenderung acuh. Tak ada konsekuensi paksa apapun yang ditujukan kepada PT Minarak Lapindo Jaya dari pemerintah atas sikap itu. Negara telah dikalahkan oleh praktik dagang. Sejarah VOC terulang kembali dalam sejarah Indonesia modern. Mana janji dan pernyataanmu Pak Presiden.

    ”Negara tidak boleh dikalahkan, hukum harus ditegakkan”.

  • PT Minarak Paksakan Pola Uang dan Tempat Tinggal

    SURABAYA — Andi Darussalam Tabusalla, Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, juru bayar yang ditunjuk PT Lapindo Brantas Inc, menolak permintaan warga korban lumpur yang tidak memiliki sertifikat sebagai kelengkapan berkas kepemilikan aset. Mereka meminta diberi ganti rugi secara tunai (cash and carry). “Kami tetap tidak bisa membeli aset yang nonsertifikat,” katanya kemarin.

    Ia mengatakan, selain berpatokan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007, proses jual-beli harus mengikuti kaidah akta jual-beli (AJB). Kepada mereka, ditawarkan konsep uang tunai dan tempat tinggal (cash and resettlement).

    Pernyataan Andi ini sekaligus menjawab tuntutan sekitar 1.000 korban Lapindo yang pada Minggu, 6 Juli lalu, menggelar istigasah menolak konsep cash and resettlement. Warga menuntut percepatan pelunasan cash and carry bagi rumah ataupun tanah mereka yang kini telah tertutup lumpur.

    Warga juga mengatakan kesepakatan yang dibuat antara PT Minarak dan warga-pada saat pembayaran uang muka 20 persen-tidak ada keharusan tentang syarat sertifikat. Karena itu, warga menuntut pembayaran sisa 80 persen segera dilakukan. Warga yang menolak pola cash and resettlement menyebut diri sebagai Gerakan Pendukung Perpres.

    Andi Darussalam mengatakan, jika warga tetap berkeras, tidak ada solusi lain yang bisa ditempuh. “Pola cash and resettlement merupakan solusi yang elegan dan menguntungkan kedua pihak,” katanya.

    Koordinator Gerakan Pendukung Perpres Fathurozi mengatakan jika PT Minarak tetap menolak tuntutan mereka, warga mengancam akan terus melakukan unjuk rasa. “Sesuai perjanjian, September 2008 Minarak sudah harus melunasi, tapi kini tiba-tiba mereka ingkar dan menciptakan konsep cash and resettlement,”katanya sembari menambahkan, jika mereka mengambil konsep tersebut, mereka akan kembali dipersulit oleh Minarak.

    ROHMAN TAUFIK | Koran Tempo

  • GEPPRES Temui Bupati, Minta Ganti Rugi Sesuai Perpres 14/2007

    SIDOARJO, Jawa Pos – Ribuan warga yang tergabung dalam gerakan pendukung Perpres (Geppres) No 14 Tahun 2007 menemui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso kemarin. Mereka meminta dukungan atas terhambatnya proses pelunasan ganti rugi untuk korban lumpur. Selain itu, warga menyatakan mendukung pelaksanaan perpres yang murni tanpa ada manipulasi.

    Ribuan warga itu tiba di alun-alun Sidoarjo pukul 12.30. Dengan menggunakan sepeda motor dan mobil, mereka beriringan dari posko masing-masing. Mereka yang tergabung dalam Geppres adalah warga Desa Renokenongo dan Kelurahan Jatirejo, Kecamatan Porong. Juga warga Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin.

    Selain warga tiga desa itu, tergabung juga warga yang mendukung pembayaran ganti rugi dengan skema 20:80 persen.

    Pukul 13.00 warga diterima bupati di ruang rapat Pendapa Delta Wibawa. Turut menyambut, wakil dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Pada pertemuan tersebut warga menceritakan kronologi awal munculnya Perpres No 14 Tahun 2007 sampai munculnya istilah cash and resettlement. Dalam perpres dijelaskan pembayaran dengan skema 20:80 secara tunai. Status bukti tanah yang berbentuk letter C dan pethok tidak dipermasalahkan.

    “Sebab, sudah ada izin dari BPN yang memberi pengecualian pada korban lumpur,” ujar Mahmudatul Faqiah, salah seorang warga. Karena itu, lanjut dia, sikap PT Minarak yang mempermasalahkan status tanah dianggap tidak benar.

    Mahmudatul menyayangkan adanya kesepakatan yang dibuat PT Minarak dengan warga yang mengatasnamakan korban lumpur. Kesepakatan yang dimaksud adalah ganti rugi cash and resettlement. Yakni, sistem ganti rugi dengan tanah direlokasi dan bangunan dibayar tunai.

    Kesepakatan itu terjadi antara korban lumpur yang tegabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dan PT Minarak. “Kesepakatan ini antara dua pihak tanpa persetujuan BPLS dan pemerintah. Jadi, kami menyayangkan hal tersebut,” jelas Mahmudah.

    Sekdakab Vinno Rudy Muntiawan membenarkan Mahmudah. Menurut dia, berdasar penjelasan dan informasi dari BPN, status tanah letter C dan Pethok D untuk korban lumpur memang tidak dipermasalahkan. Karena itu, bisa diaktajualbelikan. “Tapi, mengapa PT Minarak mempermasalahkan, kami juga tidak tahu,” katanya.

    Bupati Win menambahkan, dirinya tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kesepakatan antara GKLL dan PT Minarak. Dia baru tahu adanya kesepakatan itu setelah GKLL dan PT Minarak mengumumkan pembayaran dengan skema cash and resettlement. “Jadi, jalan ceritanya, saya kurang begitu tahu,” jelasnya.

    Mendapat tanggapan seperti itu, Mahmudatul berharap Pemkab Sidoarjo mengambil sikap terkait nasib warga yang tidak jelas. Dia mengatakan, sekitar 2.000 warga yang tanahnya hanya punya bukti surat letter C atau pethok D.

    Karena itu, menurut versi PT Minarak, lahan tersebut tidak bisa diaktajualbelikan. Padahal, kontrak rumah mereka hampir habis. “Kami harap ada kebijakan dari pemerintah yang berpihak pada masyarakat,” katanya. (riq/ib)

  • Berbeda Tuntutan, Satu Perjuangan

    korbanlumpur.info, Sidoarjo – Ada yang berbeda dalam pertemuan antara perwakilan Korban Lapindo dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN di Pendopo Kabupaten Sidoarjo kemarin. Selain kelompok Gerakan Pendukung Perpres (GEPPRES), pertemuan tersebut juga diikuti oleh perwakilan dari kelompok korban yang lain. “”Kami mencoba membangun solidaritas antar korban lapindo. Jadi berbeda tujuan, tetapi satu perjuangan”,” tutur Mustofa, ketua GEPPRES.

    Memang selain GEPPRES, hadir juga perwakilan dari kelompok 9 desa di luar Peta, 3 desa terdampak Perpres 48/2008, Perwakilan Warga Perumtas, dan Warga Pengontrak. Selain kelompok-kelompok Korban Lapindo ini, turut mendampingi juga beberapa orang pengacara dan paralegal dari Tim Advokasi Posko Bersama Korban Lapindo.

    Perkembangan yang sangat menggembirakan ini bisa dirunut sebulan ke belakang. Pada tanggal 11-12 Juli 2008, diadakan pertemuan nasional antara kelompok-kelompok korban, dengan lembaga dan individu yang peduli dengan masalah Lapindo di Jakarta.

    “Salah satu pelajaran yang bisa didapat dari pertemuan tersebut adalah adanya perpecahan yang terjadi antara berbagai kelompok korban. ”Dan ini tampaknya disengaja, dengan tujuan untuk memecah belah kekuatan korban,”” jelas Chalid Muhammad, salah seorang fasilitator dalam pertemuan tersebut.

    Karena itu, agenda untuk menyatukan seluruh elemen korban Lapindo menjadi agenda penting yang dirumuskan dari pertemuan itu. “Sebagai salah satu mandat dari pertemuan ini adalah dengan membentuk Posko Bersama, dimana seluruh kelompok korban bisa saling berinteraksi, berbagi informasi terkait dengan posisi masing-masing, serta saling mendukung tuntutan masing-masing kelompok”,” terang Paring Waluyo, koordinator Tim Pengorganisasian Posko Bersama.

    Dan pertemuan yang difasilitasi oleh Bupati itu menjadi langkah awal untuk membentuk kesatuan di antara seluruh korban Lapindo ini. Sebelum pertemuan sekaligus aksi bersama ribuan korban Lapindo kemarin, bentuk kekompakan kelompok-kelompok korban ini lebih dulu ditunjukkan dengan adanya pembagian piket secara bergiliran dari masing-masing kelompok dan desa untuk menjaga Sekretariat Posko Bersama di Desa Gedang.

    Adanya kebersamaan seluruh korban lumpur ini menimbulkan optimisme tersendiri di tingkat korban untuk mencapai tuntutan mereka.

    “Kami sudah capek di permainkan oleh Lapindo, masa masih harus bertengkar dengan sesama korban. Lebih baik kami pakai energi kami untuk membangun kekuatan diantara sesama korban. Kalau ada yang perlu dilawan itu bukan sesama korban, tetapi pihak Lapindo yang mengingkari janji-janji yang mereka berikan sendiri,”” tukas Abadi Trisanto, ketua Presidium Posko Bersama sekaligus koordinator kelompok Perwakilan Warga Perumtas I.

  • Diundang Pertemuan, Lapindo Mangkir

    korbanlumpur.info – Beragam cara dilakukan oleh Lapindo, berkelit dari tanggung jawabnya menyelesaikan ganti rugi korban Lumpur Lapindo. Kemarin, ketika diundang untuk bertemu dengan warga korban Lumpur Lapindo dari Kelompok Gerakan Pendukung GEPPRES, tidak satupun perwakilan dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ), maupun dari Lapindo Brantas Incorporation (Lapindo) yang nongol.

    ““Saya sebenarnya hari ini juga mengundang Minarak, tetapi tidak ada yang datang,”” demikian penjelasan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso ketika menerima perwakilan warga. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, kenapa tidak ada perwakilan Lapindo maupun MLJ dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh perwakilan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Badan Pertanahan Nasional di Pendopo Kabupaten Sidoarjo tersebut.

    Pertemuan ini sebenarnya ditujukan untuk mengklarifikasi kenapa MLJ, perusahaan yang didirikan oleh Grup Bakrie untuk menyelesaikan masalah sosial kasus Lumpur Lapindo, tidak segera melunasi sisa pembayaran 80 persen. “Seharusnya kan setelah PIJB dan pembayaran 20 persen dilaksanakan,

    “Minarak segera melunasi sisa pembayaran karena batas waktunya sudah lewat. Jadi tinggal transfer saja,”” tegas Hasan, salah satu perwakilan warga dari Desa Kedungbendo.

    Namun, setelah batas waktu sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yaitu satu bulan sebelum masa kontrak dua tahun habis (bulan Juli yang lalu), MLJ tidak segera melunasi sisa pembayaran. Yang ada kemudian MLJ secara sepihak memaksakan kepada warga untuk menerima skema baru yang disebut dengan Cash and Resettlement yang lebih menguntungkan mereka, dan merugikan warga.

    Bahkan, dalam nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Andi Darussalam dari MLJ dan beberapa perwakilan warga yang tergabung dalam GKLL dan disaksikan oleh Emha Ainun Nadjib, MLJ mengancam tidak akan membayar warga yang tidak mengikuti tawaran mereka. Pada poin ke 5 dari nota kesepahaman itu disebutkan bahwa warga yang tidak mengikuti skema CnR, tidak akan dibayar sisa pembayarannya.

    Hal ini tentu saja menimbulkan kegelisahan yang mendalam bagi sebagian besar warga. Apalagi masa kontrak mereka sebagian besar sudah habis bulan Juli dan Agustus ini. Ditambah dengan tahun ajaran baru dan lebaran dua bulan lagi, hal ini membuat warga yang sudah dua tahun menderita ini berada dalam posisi yang sangat terjepit. Karena itu mereka berinisiatif untuk meminta kejelasan kepada pihak-pihak terkait.

    Atas ketidakhadiran MLJ dan Lapindo dalam pertemuan itu, Bupati meminta pihak BPLS untuk proaktif agar MLJ memberi kejelasan penyelesaian bagi warga yang tidak menerima skema Cash and Resettlement. ””Dalam kapasitas saya selaku anggota dewan pengarah, saya meminta BPLS untuk mengingatkan MLJ dan instansi terkait lainnya untuk menjelaskan masalah ini,”” tandas Bupati.

  • Ratusan Korban Lumpur Lapindo Ngotot Tolak Cash Resettlement

    Sidoarjo (ANTARA News) – Ratusan warga korban lumpur Lapindo Brantas dari empat desa yakni Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin, Renokenongo, Siring, dan Jatirejo Kecamatan Porong, Sidoarjo, Selasa mendatangi Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo.

    Mereka menuntut pembayaran ganti rugi kembali disesuaikan dengan Perpres dan menolak skema cash and resettlement seperti yang disetujui korban lumpur lainnya seperti Gabungan Korban Luapan Lumpur (GKLL)).

    Perwakilan warga empat desa yang mengatasnamakan Gerakan Bersama Pendukung Perpres (Gepres) itu ditemui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Sementara, warga lainnya menunggu di Paseban Alun-alun Sidoarjo. Mantan Kades Renokenongo Machmudatul Fatchiyah, salah satu penggerak Gepres mengatakan bahwa sejak awal pihaknya menginginkan pembayaran ganti rugi “cash and carry” sebagaimana diatur dalam Perpres 14 Tahun 2007.

    “Kami meminta pembayaran ganti rugi dilakukan cash and carry, yang 80 persen tetap dibayarkan dalam bentuk tunai, bukan resettlement,” katanya menegaskan.

    Selain meminta pembayaran ganti rugi mengacu pada Perpres, para korban lumpur yang sebagian besar masa kontraknya mau habis ini minta Lapindo secepatnya menyelesaikan sisa pembayaran 80 persen pada bulan ini.

    ““Sekarang ini sudah waktunya pembayaran 80 persen. Pihak Lapindo atau Minarak harus mematuhi Perpres dan kami meminta agar penyelesaian pembayaran yang 80 persen secepatnya dibayarkan,”” katanya.

    Saat menemui warga, Bupati Win Hendrarso didampingi Sekkab dan beberapa Kepala Dinas lainnya, tanpa ada perwakilan dari Lapindo maupun Minarak Lapindo Jaya.

    “Aspirasi warga ini akan saya sampaikan kepada pihak Minarak Lapindo Jaya,” janji Bupati Win kepada warga yang tergabung dalam Gepres itu.(*)

    © 2008 | Antaranews

  • Non Sertifikat Bisa Akta Jual Beli

    korbanlumpur.info – Keraguan warga terkait apakah tanah Pethok D, Letter C, SK Gogol maupun yasan (non sertifikat) bisa di-Akta-Jual-Beli-kan atau tidak, terjawab di Pendopo Kabupaten Sidoarjo kemarin. Pihak Badan Pertanahan Nasional yang dimintai konfirmasi Bupati Sidoarjo tentang masalah ini menjelaskan bahwa telah ada surat petunjuk pelaksanaan dari BPN Pusat, yang menyatakan bahwa semua tanah warga baik yang bersertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol dan Yasan, bisa di-AJB-kan.

    Dalam pertemuan antara perwakilan korban lumpur dengan Bupati, BPLS dan BPN Sidoarjo tersebut, Bupati memfasilitasi permintaan kelompok Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 (GEPPRES) akan kejelasan dari pihak BPN dan BPLS terkait dengan status tanah non sertifikat tersebut. Sebab, di luar beredar kabar yang menyebutkan bahwa tanah non sertifikat tidak bisa di AJB-kan, sehingga warga terpaksa mengikuti skema cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya.

    Suwito, Wakil Ketua GEPPRES dari Desa Jatirejo mengungkapkan semua dasar hukum dan komitmen telah dilanggar selama ini. Dia mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan Geppres bukan untuk menentang pemerintah, namun untuk menegakkan peraturan yang telah ada. Ibu Mahmudah dari Desa Renokenongo juga menambahkan bahwa warga mayoritas menginginkan dibayar cash and carry, dan dia juga mempertanyakan pernyataan di media yang mengatakan bahwa dengan 20% saja warga sudah makmur.

    Senada dengan itu, Bapak Hasan. SH, Mhum, Kepala Desa Kedung Bendo juga mempertanyakan kepada Bupati tentang kelanjutan nasib Petok D dan Letter C yang terkatung-katung, dan meminta kejelasan statusnya

    Bupati yang menemui perwakilan-perwakilan masing-masing desa, menyambut baik kedatangan mereka, dan mengatakan bahwa adalah komitmennya untuk tetap bersama warga yang menderita. Dalam kesempatan itu, Bupati juga memfasilitasi untuk mendatangkan pihak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sidoarjo, dan juga dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sayangnya pihak Lapindo tidak datang pada pertemuan tersebut.

    Bupati Sidoarjo, Win Hendarso mengatakan bahwa dirinya tidak ikut terlibat dalam pembahasan adanya program cash and resettlement yang sekarang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan (baca: dipaksakan) untuk diberikan terutama bagi korban Lapindo yang status tanahnya Petok D atau Letter C. Bahkan Bupati juga menyatakan jajarannya tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan tentang program yang menyimpang dari Perpres 14/2007 itu.

    Pihak BPLS yang diwakili deputi bisang sosial, menyatakan bahwa pihaknya sudah menanyakan kepada BPN tentang perbedaan pendapat tersebut, dan mengatakan bahwa pada dasarnya BPLS akan mengikuti dasar hukum yang dikeluarkan BPN sebagai pihak tertinggi dalam urusan pertanahan di Indonesia.

    Bupati juga mengatakan, “Mari kita sama-sama menghormati peraturan. Orang nomor satu itu adalah Presiden.” Dengan demikian, pihak Lapindo harus membayar ganti rugi seperti apa yang dituntut oleh warga dan disahkan oleh Presiden dalam Perpres 14/2007: cash and carry. Di dalam Perpres, risalah dari Menteri Sosial dan surat dari BPN, menyebutkan bahwa tidak ada sistem pembayaran lain selain cash and carry.

    Dari pertemuan tersebut ternyata Bupati, BPN, maupun BPLS menyatakan bahwa mereka sepakat Peraturan Presiden 14/2007 harus ditegakkan, dan pembayaran kepada warga secara cash and carry harus bisa diselesaikan. Karena itu, Bupati sebagai anggota Dewan Pengarah BPLS meminta kepada BPLS yang dirasa tidak mampu melawan Lapindo untuk segera menyurati Dewan Pengarah BPLS, dalam hal ini Menteri Sosial yang ikut menandatangani nota kesepahaman dengan warga, bahwa ada butir-butir nota kesepahaman yang mengatakan bahwa Petok D, Letter C dan sebagainya punya hak yang sama tidak berjalan di lapangan.

    Diharapkan Pemerintah Pusat proaktif dalam menanggapi hal ini dan segera melakukan tindakan tegas kepada pihak Lapindo yang tidak mau membayar sisa 80% ganti rugi warga secara cash and carry.

  • Kok Lunas, 20 Persen Aja Belum Dibayar!

    Gencar diberitakan beberapa minggu belakangan bahwa Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sudah menyelesaikan pembayaran 20 proses jual beli dengan korban lumpur. Bahkan, mereka sekarang sudah memasuki tahapan pembayaran 80 persen yang untuk warga non-sertifikat dipaksa dengan pola cash and resettlement. Ternyata, pembayaran 20 persen itu sudah tuntas adalah omong kosong besar.

    “Kami ini sudah bertemu dengan semua pihak yang berwenang, tetapi sampai sekarang 20 persen hanya omong kosongnya,” tukas Abadi Trisanto, koordinator kelompok Perwakilan Warga dari Perumtas, ketika ditemui tim SuaraPorong tadi malam.

    Tidak kurang-kurang sudah upaya yang dilakukan oleh Pak Abadi dan kawan-kawannya untuk memperoleh kejelasan pelunasan pembayaran. Semua pejabat di daerah mulai dari BPLS, Bupati, Anggota Dewan, maupun MLJ sendiri yang sudah tidak terhitung. “Kami ini bahkan memegang risalah yang ditandatangani Bakrie, Menteri PU, Ketua BPN dan pejabat lain di Istana Wapres, yang isinya menjanjikan penyelesaianpembayaran korban lumpur menjadi hanya 1 tahun” terangnya.

    Namun kesepakatan tinggal kesepakatan, dan risalah rapat yang ditandatangani di kertas berkop Istana Wapres itu tidak bertuah menghadapi Lapindo. Risalah tertanggal 14 April 2007 itu sudah lama kadaluarsa, pun tidak ada yang bertanggungjawab akan hal itu.

    Bahkan, jangankan pelunasan pembayaran, uang muka 20 persen saja tidak digubris oleh Lapindo. “Kami ini kayaknya memang sengaja dipermainkan oleh mereka, karena dulu kami sangat keras menuntut tanggung jawab Lapindo,” tambah Abadi.

    Nah, selain kelompok Perwakilan Warga dari Perumtas ini, ternyata masih sekitar 900 berkas warga lain yang juga masih nyangkut di BPLS. Bahkan anggota PW pernah mendapati ada 300 berkas warga desa yang dilakban begitu saja oleh BPLS. “Kami benar-benar tidak tahu apa maunya BPLS itu. Mestinya kan mereka membela warga. Nah ini sepertinya mereka cuman jadi suruhan Lapindo. Ini kan kebalik,” jelas Abadi.

    Lalu langkah apa yang akan mereka lakukan untuk menuntut pemenuhan haknya. Abadi menegaskan bahwa pihaknya tidak akan surut satu langkahpun. Bahkan kini dengan sudah adanya posko bersama korban lumpur dimana semua korban dari berbagai kelompok dan desa2 di Porong dan Sidoarjo bergabung, semangatnya jadi semakin menggebu. “Sebab, ini yang dari dulu kami inginkan. Harus ada kesatuan visi antara sesama korban.

    “Jangan lagi mau dibentur-benturkan oleh Lapindo. Musuh kita ya yang menghalangi kita mendapat hak, bukan sesama korban,” tegas Abadi.

    Abadi sekarang mengaku sedang menyisir warga dari desa-desa terdampak yang mengalami nasib yang sama dengan mereka, yaitu belum dibayar 20 persennya. Bekerjasama dengan pengurus GEPPRES tim advokasi dari Posko Bersama, mereka akan melakukan pendataan dan selanjutnya akan bersama-sama dengan korban lumpur yang lain, mendesakkan tuntutannya ke pihak yang berwenang.

    “Ya kalau perlu ke RI 1, mas. Dulu kita pernah berangkat ke Jakarta sebanyak 250 orang untuk menuntut Perumtas masuk Peta dan menuntut pembayaran cash and carry. Sekarang dengan kita sudah bergabung dengan seluruh komponen korban, berangkat 1000 orang bisa saja mas. Kalau perlu kita duduki istana dan kantor atau rumah Bakrie. Biar mereka tahu gimana rasanya kehilangan rumah,” pungkasnya.

  • “Cash and Carry” atau Mati!

    “Cash and Carry” atau Mati!

    Jatirejo, korbanlumpur.info – Pada saat media ramai memberitakan tentang betapa warga korban lumpur yang di dalam peta sudah menerima kunci rumah di perumahan Kahuripan Nirwana Villages, ribuan orang lainnya masih terkatung-katung nasibnya. Mereka adalah kelompok yang menolak tawaran cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Warga tetap bersikeras untuk menuntut pembayaran cash and carry. “Cash and Carry atau Mati!” Demikian semboyan Bang Rois, tokoh warga dari Siring, Porong.

    Semangat itu mengemuka dalam pertemuan korban lumpur Lapindo dari kelompok yang menamakan GEPPRES (Gerakan Penegakan Perpres 14/2007). Pertemuan yang digelar di Posko GEPPRESS di Desa Jatirejo tadi malam (25/07) itu dihadiri oleh ratusan warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Reno Kenongo dan Kedung Bendo.  Rapat itu bertujuan untuk mensosialisasikan rencana kerja dan tuntutan GEPPRES kepada anggotanya.

    GEPPRES merupakan kelompok pecahan dari kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang lebih dikenal sebagai kelompok binaan Cak Nun. Pada tanggal 24 Juni 2008, GKLL yang awalnya menuntut cash and carry menandatangani nota kesepahaman dengan MLJ untuk menerima cash  and resettlement, disaksikan oleh Bupati, Kepala BPLS dan Cak Nun selaku pembina GKLL. Karena nota kesepahaman itulah kemudian banyak warga yang kecewa yang kemudian membentuk GEPPRES “Sebab kami sudah dikhianati oleh GKLL dan Cak Nun,” tegas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Menurut Musthofa, awalnya GKLL menuntut untuk pembayaran sisa 80% secara cash and carry. “Bahkan warga semuanya disuruh untuk membuat surat pernyataan dan mandat kepada Cak Nun untuk memperjuangkan”, tambah Musthofa. Sebagian besar warga beranggapan bahwa pembayaran 20% yang sudah mereka terima adalah atas jasa Cak Nun. Saat itu, lanjut Musthofa, ada 3.000-an warga yang tergabung dalam GKLL, “karena kami memang ingin sisa pembayaran 80% dibayar secara cash and carry.”

    Alasan warga menuntut cash and carry adalah karena warga tidak akan bisa hidup di perumahan seperti yang ditawarkan Lapindo. “Sebagian besar warga itu petani dan tukang bangunan. Lha bagaimana kami bisa hidup di perumahan? Kami sudah biasa hidup di desa yang orangnya kenal semua. Jelas kami tidak akan kerasan dan tidak akan bisa kerja,” jelas Wito, salah seorang pengurus GEPPRES dari Jatirejo, dengan panjang lebar.

    Lain lagi yang diutarakan Hari Suwandi, koordinator Desa Kedungbendo dalam kepengurusan GEPPRES. Menurut Hari, orang sudah terlanjur berencana untuk membangun rumah atau melakukan berbagai hal lainnya dengan uang 80% yang mestinya mereka terima akhir bulan ini. “Sebagian sudah beli tanah, mbangunnya dengan uang dari Minarak. Ada yang sudah kadung bayar uang muka untuk beli rumah di desa lain. Lha kalau gak jadi seperti ini ya gimana?” terangnya.

    Yang lebih rumit, sebagian besar orang mengaku berhutang dan berjanji untuk melunasi setelah menerima pembayaran 80%. Tetapi karena Minarak menolak membayar secara tunai, tentunya mereka terancam untuk gagal. “Ada itu bahkan yang sudah membayar uang muka untuk naik haji sampai 15 juta. Lha kalau tidak bisa melunasi ini kan bisa hangus” tambah Hari. Karena itu warga menolak skema cash and resettlement dan tetap menginginkan untuk pembayaran cash and carry.

    Dalam pertemuan GEPPRES yang kedua tadi malam, warga membulatkan tekad untuk tetap menuntut hak mereka. Secara hukum, warga yakin bahwa posisi mereka sudah sangat kuat. “Kita ini kan sudah dilindungi dengan Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membayar 20-80 kepada korban. Lha kenapa Peraturan dari Presiden bisa dikalahkan oleh nota kesepahaman GKLL dengan MLJ. Yang memimpin negara ini memangnya siapa?” tegas Musthofa yang disambut tepuk semangat peserta pertemuan yang membludak sampai ke sisi jalan raya.

    Pendapat itu dibenarkan oleh Paring Waluyo, pendamping warga dari Posko Porong. Menurut Paring, hak warga untuk mendapatkan sisa pembayaran sebanyak 80 persen secara cash and carry itu dilindungi paling tidak oleh 4 peraturan hukum. Yang pertama adalah Perpres 14/2007 itu sendiri. Pada pasal 15 dari Perpres menegaskan bahwa Lapindo wajib membeli tanah dan bangunan warga dengan skema 20-80, dimana sisa pembayaran dilakukan satu bulan sebelum masa kontrak habis.

    Yang kedua adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 24 P/HUM/2007 tanggal 14 Desember 2007 yang merupakan jawaban atas permintaan Uji Materiil Perpres 14/2007. “Putusan MA yang merupakan lembaga tertinggi dalam masalah hukum ini pada dasarnya menegaskan tentang cara pembayaran yang diatur dalam Perpres, dan menegaskan kewajiban bagi Lapindo untuk menjalankan Perpres bagi warga yang memilih skema ini,” tambah Paring.

    Yang ketiga adalah Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo. “Dalam surat ini disebutkan bahwa tanah Letter C, Pethok D dan SK Gogol, bisa di-akta jual beli-kan. Nah, kalau Minarak bilang bahwa tanah non-sertifikat tidak bisa di AJB-kan, itu kesimpulan sepihak,” terangnya disambut tepuk tangan setuju dari peserta pertemuan.

    Sedangkan yang terakhir adalah risalah rapat tanggal 2 Mei yang ditandatangani Minarak dan Perwakilan warga yang juga disaksikan oleh pejabat terkait (Mensos, Bupati, Kepala BPLS, BPN, dsb) . Pada pertemuan itu juga disepakati bahwa tanah non sertifikat bisa di-AJB-kan. “Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Minarak untuk tidak memenuhi tuntutan warga yang ingin memilih cash and carry,” pungkas Paring.

    Karena itu, GEPPRES menyatakan dengan tekad bulat bahwa mereka tetap akan memperjuangkan untuk menuntut cash and carry atas sisa pembayaran 80%. Setelah 2 tahun menunggu, warga mengaku bahwa mereka tidak mau lagi dibohongi dan dibodohi. “Lha sebentar lagi kontrak rumah sudah habis, kita tidak punya pilihan lain selain hanya menuntut kepada pemerintah. Kami akan bawa ini sampai ke RI-1 yang keputusannya ternyata diselewengkan di bawah oleh aparatnya,” tukas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Warga sendiri mengaku tidak akan mundur untuk menuntut hak yang selama ini sudah diambil oleh Lapindo. “Warga korban lumpur jangan takut, saya yang akan didepan. Kalau aparat mau menangkap, tangkap saja saya. Silahkan, wong saya memperjuangkan rakyat kecil, tetangga saya yang tukang-tukang becak itu. Jangan takut. Pokoknya cash and carry atau mati,” tegas Bang Rois, tokoh dari Siring yang disambut dengan tepukan setuju dari warga korban lumpur Lapindo lainnya.