Author: Korban Lumpur

  • Grup Bakrie dan Pengamen Anak-anak

    Grup Bakrie dan Pengamen Anak-anak

    Malam itu jalanan penuh debu. Jalan raya di negara ini konon dibangun dengan bacaan basmallah, yang memanipulasi kualitasnya, demi kekayaan dan kesenangan. Lalu Tuhan diminta memaklumi kelakukan bejat para maling berupa penguasa modal dan pembuat keputusan pemerintahan itu, yang merayuNya dengan sumbangan ke panti asuhan, zakat dan sedekah dengan uang haram. Kapitalisme kasar menyusupi tafsir-tafsir dalil agama yang mulia. Seluruh agama di muka bumi telah disusupi watak rakus kapitalisme.

    Debu jalanan tampak dari kepulannya yang membumbung, yang diterangi lampu jalan raya yang tak begitu terang. Malam itu, dalam suatu urusan, 12 Agustus 2010, sekitar jam 22.00 WIB, aku berada di dalam bus yang sedang berjalan dari Porong ke Surabaya.

    Malam yang lusuh di dalam bus itu dihangatkan dengan lagu-lagu merdu tiga pengamen kecil. Seorang remaja lelaki usia 17 tahunan memainkan gitar kecil berkolaborasi dengan remaja perempuan berusia sekitar 15 tahunan yang juga mahir memetik gitar kecil. Mereka tampak kompak dan terlatih, suaranya juga tak kalah merdu dibandingkan suara para penyanyi remaja yang tayang di TV-TV.

    Satu lagi anggota pengamen itu anak laki-laki berusia sekitar 13 tahun mengedarkan amplop putih. Pada bagian luar amplop putih itu bertuliskan kalimat tulisan tangan, kurang-lebih: “Assalamu’alaikum wr.wb. Kepada Yth. Bapak dan ibu, mohon bantuan seikhlasnya untuk keperluan biaya sekolah kami, dan jika ada lebihnya akan kami gunakan untuk membantu orang tua kami. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.”

    Otak bisa saja berkelana memikir segala kemungkinan. Mungkin anak-anak itu termasuk korban Lapindo seperti pengakuan mereka. Mungkin anak-anak itu bohong, bukan korban Lapindo. Mungkin anak-anak itu sejak kecil dipelihara orang orang tua yang bermental pengemis. Atau bisa saja banyak kemungkinan yang dapat aku pikirkan.

    Tapi, apakah segala kemungkinan akan terjadi jika negara ini diurus dengan benar? Mengapa di negara ini ada rakyat kecil yang miskin dan bermental pengemis? Apakah itu berkaitan dengan banyaknya pengurus negara yang bermental perampok padahal mulutnya berbuih fatwa dan otaknya terisi ilmu kebenaran?

    Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah: apakah layak dalam sebuah wilayah tambang kaya gas bumi yang bernama Blok Brantas, yang dikelola Lapindo Brantas Inc (Grup Bakrie) itu, ada anak-anak kecil yang berkeliaran di malam hari hanya untuk mencari biaya sekolah atau mencari makan sendiri? Sementara itu, pada malam itu anak-anak orang berkemampuan ekonomi sedang belajar di rumah, atau bermain-main, dan bahkan sudah banyak yang tidur lelap tanpa memanggul beban apa-apa sebab sudah dicukupi para orang tua. Ini negara kapitalis liberal atau negara Pancasila yang berkeadilan sosial?

    Anda mau tahu, berapa luas Blok Brantas, dan berapa kekayaan gas di dalamnya?

    Blok Brantas membentang dari wilayah Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan. Berdasarkan klasifikasi data Walhi Jawa Timur, wilayah Blok Brantas Ring I terdiri dari  11 desa/kelurahan di Sodoarjo. Ring II terdiri dari 29 desa di Sidoarjo. Ring III meliputi 441 desa terbentang di Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan. Membentang di 481 desa di empat kabupaten! Ternyata wilayah kekuasaan korporasi ini bisa menyamai luas negara-negara makmur di Eropa.

    Di wilayah Sidoarjo saja, Lapindo Brantas Inc menguasai konsesi wilayah minyak dan gas bumi (migas) lebih dari 10.000 hektar, atau lebih dari separuh wilayah Sidoarjo.

    Blok Brantas mempunyai kurang lebih 7 (tujuh) cadangan migas dengan sumber daya gas bumi sebesar 677 BCF (triliun kaki kubik) dan minyak bumi sebesar 12,5 MMBBL (juta barrel).

    Blok Brantas pada mulanya dikelola oleh Huffco Brantas Inc, anak Huffco Group dari Amerika Serikat. Pada tahun 1990 Huffco Brantas Inc mendapat hak penambangan Blok Brantas berdasarkan persetujuan dari Presiden Suharto dengan surat No.B-105/Pres/4/1990 tanggal 12 April 1990.

    Pada tahun 1996 Lapindo Brantas mulai mempunyai 50 persen interest Blok Brantas setelah membeli interest dari pemilik semula.

    Pemegang interest di Blok Brantas sesuai surat BP Migas kepada Lapindo Brantas Inc No.424/BP00000/2005-S0 tanggal 4 Juli 2005 adalah:  Lapindo Brantas Inc. 50 persen, PT Medco E&P Brantas 32 persen dan Santos Brantas Pty Ltd 18 persen. Selain sebagai pemegang participating interest, Lapindo juga bertindak sebagai operator.

    Setelah peristiwa semburan lumput Lapindo tersebut kepemilikan interest Medco di Blok Brantas dialihkan ke Grup Prakarsa (dengan jaminan dari Minarak Labuhan, yang juga anak Grup Bakrie). Sedangkan interest Santos di Blok Brantas dialihkan kepada Minarak Labuhan tersebut dengan harga 22,5 juta dollar AS. Sehingga, kini kepemilikan konsesi migas Grup Brantas kini ada di tangan Lapindo (Grup) Bakrie dan Grup Prakarsa yang dijamin Minarak Labuhan (Grup Bakrie).

    Dengan kekayaan seluas itu, lalu apakah lalu rakyat Jawa Timur, terutama Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Pasuruan menjadi makmur setelah kekayaan alam minyak dan gas bumi (migas) mereka ditambang sejak tahun 1990 hingga sekarang itu?

    Yang jelas, bukan kemakmuran yang mereka alami. Justru ada sekitar 100 ribu penduduk kehilangan tanah, rumah, pekerjaan, serta artefak kebudayaan dan nilai sejarah pemukiman mereka akibat kerja korporasi Lapindo di Blok Brantas itu. Itu hanya karena satu sumur gas yang menyembur. Padagal kini ada sekitar 49 sumur migas milik Lapindo yang dalam tahap produksi dan pengembangan. Justru rakyat Indonesia dipaksa pemerintahan SBY untuk menyumbang Grup Bakrie melalui APBN dan APBD Jawa Timur guna membiayai masalah lumpur Lapindo itu.

    Dalam akal kita yang sehat bisa memikirkan, jika seandainya pertambangan kekayaan alam seluas itu mempunyai akibat ekonomi yang baik, maka malam itu aku tidak akan bertemu dengan tiga anak-anak yang sedang meninggalkan waktu istirahat mereka, meninggalkan waktu belajar mereka di malam hari, hanya karena mencari biaya sekolah dan makan, bahkan membantu para orang tua mereka yang miskin. Padahal rakyat yang senasib dengan para pengamen anak-anak itu merata di mana-mana.

    Setelah membaca tulisan ini mungkin orang akan bertanya: Lalu apa solusinya? Pertanyaan bodoh! Sebodoh kita semua yang takut menggulingkan pemerintahan yang pembohong dan korup ini. Takut untuk menghancurkan alat-alat produksi korporasi penindas semacam Grup Bakrie dan malah ramai-ramai membeli produknya. Sebodoh para intelektual, agamawan, seniman dan budayawan yang mau menjadi gedibal menjilati ketiak bosnya. Sebab tersihir oleh uang dan posisi sosial.

    Padahal pemerintahan inkonstitusional itu harus digulingkan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Termasuk saya kasihan pula dengan diri saya sendiri yang bodoh dan penakut ini!

    (c) masbagio.blogspot.com

  • Meluruk Gubernur, Menginap di Gedung Dewan

    Meluruk Gubernur, Menginap di Gedung Dewan

    SIDOARJO—Sudah empat malam warga korban lumpur Lapindo menginap di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  (DPRD) Sidoarjo. Warga yang berasal dari Desa Jatirejo, Renokenongo, Siring dan Kedungbendo ini mendesak kepada pemerintah untuk  memberikan dana talangan buat pelunasan jual beli aset warga yang belum juga dituntaskan Lapindo hingga hari ini.

    Sebelumnya warga pernah mengajukan tuntutanya kepada Panitia Khusus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo untuk mengambil alih penyelesaian jual beli aset semua korban lumpur Lapindo yang belum selesai. Waktu itu pihak Pansus menjanjikan akan segera mengupayakan tuntutan warga lewat Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2010 (APBN-P 2010). Setelah beberapa bulan, janji Pansus ternyata tidak terealisasi.

    Maka, mulai Jum’at (6/8/2010) warga mendatangi Gedung DPRD Sidoarjo untuk menagih janiji, akan tetapi upaya untuk bertemu pihak Pansus gagal. Warga lalu menginap di depan Gedung DPRD.  Koordinator warga, Zainul Arifin, mengatakan warga tidak akan meninggalkan gedung dewan sebelum tuntutan dipenuhi, meskipun harus menjalankan puasa di gedung dewan.

    “Sudah empat tahun kami ditelantarkan. Pemerintah seharusnya ikut bertangung jawab. Karena itu, kami menuntut agar pemerintah segera take over ganti rugi semua korban lumpur,” ungkap Zainul saat melakukan aksi cap jempol darah pada Sabtu (7/8/2010).

    Salah satu anggota Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, M. Zainul Lutfi, menyatakan, pada 13 Juli 2010 lalu, Pansus Lumpur telah melayangkan surat ke Badan Anggaran DPR RI terkait semua masalah lumpur dan salah satunya meminta pemerintah memasukkan ganti rugi korban yang belum selesai untuk dimasukkan ke APBN .

    “Kami sudah menyurati DPR RI terkait persoalan lumpur dan tuntutan korban. Tapi sampai saat ini belum ada jawaban terkait surat yang kami kirimkan,” ungkap M. Zainul Lutfi saat menemui warga di depan Gedung DPRD.

    Aksi di Gedung Grahadi

    Sementara itu, warga di luar peta terdampak melakukan aksi di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Senin (9/8/2010). Aksi yang diikuti sekitar 700 warga yang tergabung dalam kelompok Aliansi Korban Lumpur Sembilan RT menuntut kepada gubernur untuk menyerahkan hasil analisa Tim Kajian Kelayakan Pemukiman (TKKP).

    Selain itu, warga menuntut ganti rugi aset tanah dan bangunan yang sudah tidak layak huni. Skemanya agar disamakan dengan warga peta terdampak. Harga ganti rugi juga harus disamakan dengan warga peta terdampak. Warga juga mendesak gubernur untuk mengantar warga memperjuangkan nasib ke Kementerian Pekerjaan Umum di Jakarta.

    Setelah melakukan orasi di depan gubenuran, perwakilan warga dari Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi ini hanya ditemui Asisten Kesejahteraan Masyarakat Sekretariat Daerah Provinsi Jatim Edi Purwinarto. Gubernur Sukarwo diinformasikan tidak ada di tempat. Dalam pertemuan dengan Kesmas, warga dijanjikan akan didampingi ke Jakarta untuk bertemu dengan Menteri PU.

    Salah satu perwakilan warga, Bambang Kuswanto, menyatakan jika janji tidak dijalankan maka warga mengancam akan menduduki Kantor Gubernur. “Dalam waktu dekat ini, pihak gubernur yang diwakili Kesmas Bapak Edi akan mengantar kami ke Jakarta bertemu dengan Menteri PU. Jika sampai batas waktu janji-janji tersebut tidak dilaksanakan maka kami akan melakukan aksi lagi. Jika perlu kami akan menduduki Kantor Gubernur sampai tuntutan kami dipenuhi,” kata ketua Aliansi Korban Lumpur Lapindo Sembilan RT ini.

    Setelah mendapatkan keterangan dari Kesmas Edi Purwinarto itu, warga membubarkan diri sekitar pukul 13.00 waktu setempat. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Rumah Lama Amblas, Rumah Baru Terampas

    Rumah Lama Amblas, Rumah Baru Terampas

    SIDOARJO—Rifa’i menelan kegetiran, untuk ke sekian kalinya. Lelaki 38 tahun ini telah kehilangan rumah di Jatirejo, Porong, empat tahun lalu ketika lumpur Lapindo menghantam. Kini, ia juga harus rela kehilangan rumah barunya di Perumahan Puspa Garden, Candi, Sidoarjo. Ia membelinya dengan cara mengangsur.

    Rifa’i tak sanggup lagi membayar angsuran. Seperti warga korban lumpur Lapindo lainnya, lelaki berkaca mata ini sudah lima bulan tidak menerima cicilan Rp 15 juta per bulan yang dijanjikan Lapindo sebagai sisa pembayaran aset 80 persen.

    Setahun lalu, ketika menerima pembayaran 20 persen, Rifa’i dan keluarga memutuskan mengambil rumah di Perumahan Puspa Garden. Uang muka Rp 10 juta. Lalu setiap bulannya, Rifa’i mengangsur sebesar Rp 5 juta. Rifa’i mengandalkan cicilan Rp 15 juta per bulan dari Lapindo buat membayar tagihan rumah tersebut.

    Setelah mencicil hampir separuh dari total Rp 110 juta, Rifa’i mulai kelabakan. Pada Mei 2010 kemarin, pihak developer mendatangi Ri’fai.  “Saya ditagih pihak developer, karena sudah telat tiga bulan,” cerita pria yang sehari-hari berkerja sebagai karyawan pabrik rotan ini.

    Rifa’i pun sibuk mencari pinjaman ke para kerabat. Usaha yang tak mudah. Hingga Juni 2010, Rifa’i tak berhasil memperoleh pinjaman. Ia pun dipanggil ke kantor pengembang Perumahan Puspa Garden. Rifa’i diberi peringatan. Dan apa yang terjadi?

    “Pihak developer akan menyita rumah baru saya. Saya diberi jangka waktu sampai bulan Juli 2010, untuk segera melunasi tunggakan cicilan rumah baru saya,” kisah Rifa’i.

    Malang bagi Rifa’i. Hingga memasuki bulan Juli, cicilan dari pihak Lapindo tak kunjung diterima. Batas waktu di depan mata.

    Rifa’i bingung, ditambah saat itu anak pertamanya harus mendaftar ke SLTP. Dengan kondisi linglung, Rifa’i mengadukan masalahnya ke Panitia Khusus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo, lewat sepucuk surat yang ia kirimkan pada 15 Juli 2010. “Tapi sampai sekarang tidak ada jawaban,” ujar Rifa’i sembari menunjukkan surat itu.

    Begitu batas waktu terlewat, dan Rifa’i belum juga menerima uang cicilan dari Lapindo, pihak pengembang pun melakukan tindakan. Pengembang Perumahan Puspa Garden menarik rumah yang sudah dicicil Rifa’i hampir setahun. Total uang yang sudah dibayarkan ke pengembang sebesar Rp 55 juta akan dikembalikan ke Rifa’i dengan dipotong sebesar 10 persen.

    Dengan sangat kecewa, Rifa’i menandatangani surat pembatalan pembelian rumah itu.

    “Terpaksa saya menandatangani. Saya takut uang saya yang sudah saya bayarkan ke developer akan hilang, jika saya tidak mau menandatangani surat itu,” ungkap Rifa’i.  Ia tidak langsung menerima uang itu. Pihak developer menjanjikan akan mengembalikan uangnya paling lambat tiga bulan ke depan.

    Nasib serupa ternyata juga dialami banyak warga lainnya, misalnya Ibu Patanah. Patanah, yang juga warga Jatirejo, tidak bisa membayar rumah barunya di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (TAS II) karena cicilan Rp 15 juta  per bulan dari Lapindo tak diterimanya selama lima bulan terakhir ini.

    Lebih parah lagi, masa kontrak rumah yang ditinggal Patanah nyaris habis. “Tinggal dua bulan lagi,” ujar Patanah. Bila tak sanggup membayar, Patanah pun harus hengkang dari rumah kontrakan itu.

    Rifa’i maupun Patanah tak berdaya menghadapi Lapindo yang sudah mengingkari janjinya sendiri untuk ke sekian kalinya. Mereka hanya bisa menunggu, meski tak jelas sampai kapan. Negara, baik legislatif maupun eksekutif, seolah juga takluk di kaki Lapindo. Tak berbuat hal berarti buat membela warganya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Tuntut Ganti Rugi, Warga Hentikan Penanggulan

    Tuntut Ganti Rugi, Warga Hentikan Penanggulan

    SIDOARJO—Sekitar 50 warga korban lumpur Lapindo menggelar aksi di atas tanggul sisi Kedungbendo, Rabu (3/8/2010). Warga berasal dari Desa Kedungbendo, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, dan Desa Glagaharum, Kecamatan Porong. Mereka menuntut pembayaran ganti rugi aset yang selama empat tahun lebih belum juga memperoleh kejelasan.

    Warga menghentikan aktivitas penanggulan yang sedang dikerjakan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sembari menancapkan papan bertuliskan “Tanah Aset Milik Desa Kedung Bendo Kec. Tanggulangin Luas 40 Hektar”. Hasan, koordinator aksi mengatakan, aksi ini sengaja dilakukan sebagai buntut kekecewaan warga.

    “Selama empat tahun warga saya tidak mendapat kejelasan soal ganti ruginya dari pihak PT. Lapindo Brantas,” ungkap Hasan yang kini masih menjabat sebagai Kepala Desa Kedungbendo.

    Aksi yang berlangsung selama kurang lebih empat jam ini dijaga ketat aparat keamanan dari Kepolisian Resor Sidoarjo dan Brimob Kepolisian Daerah Jawa Timur, lengkap dengan mobil water canon yang disiagakan di pintu masuk Ketapang.

    Di tengah-tengah aksi, pihak BPLS yang diwakili Bajuri hadir, dan berjanji akan membantu perjuangan warga. “Kami akan memfasilitasi warga bertemu PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar pada hari Jumat  (6/8/2010), untuk membicarakan  ganti rugi yang dituntut warga,”  ujar Bajuri.

    Setelah ada kesepakatan warga dengan BPLS, yang disaksikan oleh Wakil Kepala Polres Sidoarjo Kompol Leo Simarmata, warga membubarkan diri. Mereka mengancam akan menduduki tanggul jika sampai hari Jumat tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi aset mereka. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • State Capture: How Bakrie Group Dodges The Bullet Again

    State Capture: How Bakrie Group Dodges The Bullet Again

    Lapindo’s victims write their protest on the walls

    Jakarta – It is becoming a disturbing regularity that every now and then when we look at our country’s economic situation, we face another potential scandal linked to business tycoon Aburizal Bakrie.

    The latest one emerged recently after an assessment by the central bank (Bank IndonesiaI) into Bank Capital’s finances found that almost Rp 7 trillion (US$777 million) in time deposits owned by PT Bakrie and Brothers and subsidiaries have vanished. (The Jakarta Post, July 19).

    This finding was first identified by the Indonesian Stock Exchange, when a whistle-blower reported irregularity in the first quarter financial statements of Bakrie and its subsidiaries. The statements reported that Bakrie companies had Rp 9.05 trillion (about US$1 billion) invested in time deposits at Bank Capital. (more…)

  • Daoed Jusuf Tolak Bakrie Award Karena Lumpur Lapindo

    Daoed Jusuf Tolak Bakrie Award Karena Lumpur Lapindo

    Jakarta – Mantan Menteri Pendidikan Daoed Jusuf menolak penerimaan penghargaan Achmad Bakrie Award. Alasannya nama Bakrie terkait dengan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo.

    “Ini kan Bakrie Award. Nama Bakrie terkait dengan satu kegiatan bisnis di Jawa Timur yang telah menimbulkan malapetaka dan bencana bagi orang di sekitiar situ. Dan sampai sekarang seperti diabaikan saja penderitaan rakyat oleh kelompok Bakrie. maka dari itu saya menolak,” Kata Daoed saat ditemui di kediamnnya di Jalan Bangka VII, No. 14, Jakarta Selatan, Kamis (29/7/2010).

    Ia mengatakan, penolakan sebagai bentuk perlawanannya terhadap sikap Bakrie yang dinilainya menelantarkan nasib korban lumpur Lapindo.

    “Saya menolak karena nurani saya tidak bisa menerima award itu, selama itu saya berani melawan apapun dan siapapun, tapi saya tidak pernah melawan hati nurani saya,” ujar laki-laki kelahiran Sumatera Utara ini.

    Penolakan, ujarnya, disampaikan langsung saat pihak panitia pemberi penghargaan dari Freedom Institute meneleponnya, akhir Mei.

    “Ketika itu juga spontan saya tolak. Tetapi mereka toh ingin datang menjelaskan. Ya kalau mau datang silakan saja,” ceritan Daoed.

    Sebelumnya, Daoed sempat menolak untuk mengomentari penolakannya untuk menerima penghargaan. Ia memilih untuk berkomentar setelah panitia resmi mengumumkan peraih penghargaan. “Pengumumannya di Kantor Freedom Institue, 11 Juli kemarin. Saya tidak tahu kalau itu sudah diumumkan,” katanya.

    Bakrie Award telah menjadi agenda rutin Freedom Institue yang bekerja sama dengan Yayasan Ahmad Bakrie sejak 2003. Biasanya, Anugerah Bakrie Award diberikan menjelang Peringatan Kemerdekaan RI.

    Sebelumnya dalam jumpa pers pada Rabu (28/7) di kantor Freedom Institute, Direktur Eksekutif Freedom Institute, Rizal Mallarangeng menilai ada nuansa politik di balik penolakan oleh Daud, dan juga penerima award lainnya budayawan Sitor Situmorang.
    (ahy/ndr)

    (c) detikNews.com

  • Anak Korban Lapindo Mulai Menerima Donasi Publik

    Anak Korban Lapindo Mulai Menerima Donasi Publik

    SIDOARJO – Donasi publik untuk pendidikan anak korban lumpur Lapindo mulai diserahkan ke penerima. Selasa (20/7/2010), sejumlah 26 siswa-siswi menerima bantuan biaya pendidikan selama setahun. Gelombang pertama penerima donasi publik secara total berjumlah 117 murid.

    Ke-26 siswa tersebut mayoritas tinggal di Desa Besuki Timur, Jabon, Sidoarjo. Dua siswa bersekolah di SDN Besuki dan 24 siswa sekolah di MI Ma’arif Darul Ulum, Besuki. Bantuan pendidikan tersebut  diserahkan langsung kepada kepala sekolah oleh perwakilan Posko Keselamatan Korban Lapindo,  dan disaksikan oleh wali murid.

    Para wali murid senang dapat menerima bantuan yang digalang oleh koalisi masyarakat sipil Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo itu. Ibu Tamami (55 Tahun), misalnya, sangat berterima kasih kepada masyarakat yang telah membantu anaknya, Eka Maulidiyah, yang kini duduk di bangku Kelas 6 MI Darul Ulum. “Terimakasih atas bantuan pendidikan yang diberikan kepada anak saya,” kata Tamami.

    Tamami warga Desa Besuki yang tidak dikategorikan ‘peta terdampak’ oleh pemerintah dan Lapindo. Sejak lumpur menengelamkan sawah miliknya, Tamami sangat kesulitan membiayai pendidikan anaknya. Sawah di depan rumahnya, di sebelah timur tol Surabaya-Gempol itu, tidak bisa ditanami lagi sejak lumpur meluber, empat tahun silam.

    “Sak derenge enten lumpur, persoalan biaya pendidikan anak kulo boten repot. Sakniki biayai Eka diutangno neng tonggo-tonggo (Sebelum ada lumpur, masalah pendidikan anak saya tidak susah. Sekarang biaya pendidikan Eka saya carikan utang ke tetangga-tetangga),” ucap perempuan paruh baya tersebut.

    Tidak hanya Tamimi yang merasakan sulitnya membiayai pendidikan anaknya, kebanyakan warga Desa Besuki sebelah timur tol merasakan hal yang sama. Karena mata pencaharian warga di Desa Besuki kebanyakan sebagai petani, dan sejak lumpur mematikan sawah mereka, perekonomian warga Besuki lumpuh total.

    Lil Umrotul Mustaida, Kepala Sekolah MI Darul Ulum, juga merasa senang dengan hasil solidaritas masyarakat luas tersebut. “Saya merasa senang atas bantuan pendidikan untuk anak-anak didik. Dan saya berterima kasih kepada masyarakat yang peduli terhadap masa depan anak-anak,” ungkap wanita berkaca mata tersebut.

    Bu Lil, demikian ia biasa disapa, pun berharap dengan bantuan yang digalang dari masyarakat luas tersebut, anak-anak didik makin bersemangat. “Saya berharap, anak-anak bisa termotivasi untuk giat belajar,” ucapnya saat menerima bantuan pendidikan.

    Dari 26 siswa yang menerima, dua siswa yang bersekolah di SDN Besuki mendapat bantuan sebesar Rp 440.000, sedangkan bantuan untuk 24 siswa MI Darul Ulum Besuki sebesar  Rp 6.150.000. Daftar penerima bisa dilihat di sini. Bantuan tersebut digunakan untuk membayar uang buku, uang ujian, selama satu tahun. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Rp. 50 Juta, Indonesia Bangga

    Rp. 50 Juta, Indonesia Bangga

    JAKARTA – Sekali lagi rakyat Indonesia membuktikan diri lebih peduli. Solidaritas mereka terbukti, hanya dalam waktu 6 hari sejak di launching 8 Juli 2010 di Kontras, solidaritas Rp.1.000 untuk anak-anak korban Lapindo, telah terkumpul Rp. 50.560.675 (lima puluh juta lima ratus enam puluh ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah). Solidaritas ini menunjukkan rakyat Indonesia lebih peka terhadap masa depan pendidikan anak-anak, khususnya dalam hal ini anak-anak korban Lapindo.

    Sebaliknya, pemerintah (BPLS) justru tidak menyentuh sama sekali penanganan masalah ini, apalagi Lapindo Brantas Inc. Padahal, pemerintah telah menghabiskan Rp. 4,3 triliun hanya mengurusi masalah tanggul dan sosial yang terbatas pada masalah ganti rugi. Jumlah yang sungguh besar, padahal sementara ini ada 103 anak yang membutuhkan biaya sekolah yang tidak sampai 1 persen dari ongkos yang telah dikeluarkan pemerintah untuk masalah Lapindo ini. Anehnya, pemerintah tidak memberikan sanksi dan mendesak biaya pemulihan pada perusahaan, tetapi justru mengambil alih ongkos penanganan lumpur Rp 7,2 triliun dari pajak rakyat (Buku RPJMN 2010-2014).

    Inti dari gerakan ini adalah untuk membantu  pendidikan anak-anak korban lumpur lapindo yang menjadi bagian gerakan Anti Generasi Suram dan perlawanan terhadap rejim yang telah mengabaikan hak-hak pendidikan anak sebagai penerus bangsa.

    Masalah pendidikan anak-anak korban Lapindo, merupakan salah satu masalah yang tak diperhatikan apalagi mau diurus. Yang lainnya, misalnya masalah kesehatan, lapangan pekerjaan hingga konflik yang dapat muncul akibat berlarut-larutnya penyelesaian masalah jual beli atau ganti rugi. Belum lagi resiko terhadap warga yang ada disekitar tanggul, yang sewaktu-waktu terancam oleh jebolnya tanggul dan bubble gas yang muncul dari tanah.

    Gerakan ini merupakan tahapan awal Rp.1.000 untuk biaya pendidikan anak-anak korban Lapindo. Tentu saja jumlah 103 anak ini belumlah meliputi 16 Desa yang telah terimbas oleh lumpur Lapindo. Masih banyak anak-anak yang mengalami hal sama, diakibatkan kesulitan orang tuanya mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang telah ditenggelamkan oleh Lapindo.

    Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang tak terkira kepada rakyat Indonesia yang memberikan sumbangsi/donasinya demi masa depan anak-anak korban Lapindo. Tak lupa juga kepada kawan media, relawan, simpatisan kami terima kasih sebesar-besarnya. Kami bangga atas kepedulian anda semua, oleh karenanya kami menyatakan donasi kepada 103 anak (Rp.43.644.500) kami tutup untuk tahap ini.

    Informasi lebih lanjut:
    Selamet Daroyni, 081584197713
    Andri S Wijaya, 08129459623
    Bambang C. Nusantara, 081336607872
    Riza Damanik, Sekjen KIARA: 0818773515

    Rp.1000 untuk Anak-anak Korban Lapindo
    Siaran Pers bersama Koalisi Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo

    (c) jatam.org

  • Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Uang seribu rupiah, bukanlah jumlah yang banyak dan juga tidak sedikit, apalagi buat anak-anak, terutama anak-anak korban lumpur Lapindo. Lumpur lapindo telah menenggelamkan rumah, sawah, sekolah dan tempat mencari nafkah orangtua mereka. Keceriaan dan masa depan mereka turut ditenggelamkan oleh lumpur Lapindo. (more…)

  • Kesibukan Korban di Tengah Udara Beracun

    Kesibukan Korban di Tengah Udara Beracun

    Di salah satu gubuk, tepatnya di Desa Ketapang, Tanggulangin, keadaan tidak jauh berbeda dengan gubuk lain. Mereka bersiap dengan DVD dokumentasi lumpur Lapindo di tas pinggang untuk dijajakan ke para pengunjung. Tiap hari mereka berjualan DVD, selain itu mereka juga menawarkan jasa ojek keliling tanggul. Mereka dikenal sebagai tukang ojek tanggul.

    Dari atas tanggul penahan lumpur yang tingginya belasan meter itu, mereka silih berganti melihat ke bawah mengamati apa ada mobil yang parkir. Yang tampak hanya deretan panjang kendaraan yang terjebak macet. “Suwene kok gak onok montor seng melebu rek. (Kok lama sekali tak ada mobil yang masuk),” pekik satu orang dari mereka dengan lantang.

    Yang mereka tunggu-tunggu datang juga. Sebuah mobil SUV berplat AB (Yogyakarta) yang terlihat sesak penumpang masuk dan parkir. Para tukang ojek bergegas menunggu tepat di atas tangga naik. Tidak semua tukang ojek, tapi hanya beberapa. Mereka melakukan sistem bergiliran.

    Dari kejauhan, Amir Prianto (25), dengan sepeda motor bebeknya melaju kencang, mendekat. Di depan motor itu bertuliskan “foto dua menit langsung jadi”. Ia memakai kaos oblong, celana pendek dan sandal jepit usang. Tak memakai helm, hanya berkacamata hitam. “Teko endi ae koen jam yaene kaet teko? (Dari mana saja kamu jam segini baru datang?),” tanya seorang teman ke Amir. Tanpa menjawab Amir hanya tersenyum sambil menyiapkan perlengkapan fotonya.

    Bapak dari dua anak yang masih balita itu tak bisa mengojek karena fisiknya tak memungkinkan pasca kecelakaan lalulintas setahun lalu. Amir hanya berjualan DVD dan menawarkan jasa foto langsung jadi. Hanya Amir tukang foto di atas tanggul lumpur. Amir tak mau menyerah dengan keadaan. Korban Lapindo dari Desa Jatirejo itu tetap semangat mencari nafkah untuk istri dan dua anaknya.

    Tak seperti hari-hari biasanya, pengunjung mulai banyak berdatangan. “Mir, onok seng ate foto (Mir, ada yang ingin berfoto),” sahut rekan Amir dari kejauhan. Segera Amir menyiapkan kamera dan printer-nya. Ternyata benar apa yang ditulis Amir di depan motornya: hanya dua menit dan satu foto selesai dicetak. Amir mematok Rp 20.000 untuk satu lembar foto. Tapi jumlah uang itu bukan sepenuhnya masuk kantong Amir. Ia harus menyetor separuh hasil foto ke pemilik kamera dan printer. Hanya Rp 10.000 dan itu pun masih Amir bagi lagi kepada setiap tukang ojek yang menjadi perantara antara Amir dan pengunjung. Rp 5.000 saja untuk Amir.

    Tak terasa matahari sudah di atas kepala. Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan tanggul. Para tukang ojek pun berebut cepat menuju gubuk untuk berteduh. Romantisme sangat terasa ketika beberapa orang dari mereka mengeluarkan nasi bungkus yang mereka bawa dari rumah. Enam nasi bungkus dimakan sebelas orang. Saat makan, banyak obrolan terjadi di gubuk yang hampir roboh itu, mulai pertandingan piala dunia sampai cicilan aset mereka yang tidak dibayar Lapindo hingga empat bulan ini. Di tempat yang sempit itu, mereka berbagi tempat untuk berteduh beristirahat menunggu sore. Ada yang tertidur, ada juga yang menikmati sebatang rokok di tangan.

    Debu berterbangan terbawa angin yang mulai berhembus. Tak terasa hari sudah mulai sore. Para tukang ojek termasuk Amir dikejutkan dengan dua bus pariwisata yang masuk dan parkir. Semua berdiri semua bersiap. Selain menyiapkan kamera, Amir juga mengeluarkan beberapa DVD dari tas pinggangnya untuk diperlihatkan ke para pengunjung. Mereka mendekati pengunjung dan mencoba menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.

    Amir sangat cekatan, satu DVD-nya laku terjual. Setiap DVD yang terjual, Amir mendapat keuntungan Rp 5.000. Segera, Amir berpindah dari pengunjung satu ke pengunjung lain. “Kaset lumpur, kaset lumpur, foto dua menit jadi, foto dua menit jadi.” Itulah kalimat-kalimat yang digunakan Amir untuk menarik perhatian pengunjung. Amir terus menawarkannya tanpa henti.

    Dari dua bus pariwisata tadi, Amir berhasil menjual lima DVD dan juga mencetak dua foto lagi. Ia mengantongi Rp 50.000 setelah dikurangi makan-minum dan rokok. “Sekarang pengunjung cukup ramai karena anak sekolah masih libur,” kata Amir. Mendapat Rp 50.000 adalah hal yang tak biasa bagi Amir dan yang lain. “Tak dapat sepeser pun kami sering,” tambahnya tersenyum.

    Menanggapi rencana presiden yang akan menjadikan area lumpur sebagai tujuan wisata, Amir dan yang lain tegas menolaknya. Mereka beranggapan, akan terjadi banyak peraturan yang akan diterapkan di sana dan juga banyak uang dari hasil parkir dan sebagainya bakal masuk ke kas daerah atau negara. Mirip tempat wisata memang. Amir dan yang lain hanya memanfaatkan apa yang mereka anggap akan memberi mereka pundi-pundi rupiah. Tapi apa yang diperoleh Amir di sana tak imbang dengan udara beracun yang dihirup tiap hari.

    Para tukang ojek dan Amir adalah contoh rusaknya perekonomian pasca semburan lumpur Lapindo. Mereka tetap bekerja di area berbahaya itu dengan semangat. “Kalau pemerintah menyediakan pekerjaan pengganti, pasti saya meninggalkan pekerjaan ini,” jawab Amir yang telah tiga tahun berjualan DVD. Ia juga tak tahu sampai kapan akan bergelut dengan debu dan udara beracun itu, karena hanya itulah yang bisa ia kerjakan.

    Matahari mulai terlihat memerah di sebelah barat. Mobil-mobil tak lagi menepi untuk parkir. Itu pertanda buat Amir dan yang lain mengakhiri aktifitas hari ini. Sambil berkemas, Amir menikmati batang rokok terakhirnya. Ia telah siap pulang, yang lain juga dan berharap hari linur berikutnya segera tiba. Karena di hari liburlah mereka dapat uang yang pantas untuk dibawa ke anak istri mereka. Mesin sepeda motor telah dihidupkan Amir. “Aku balik disek rek (Aku balik duluan teman),” salam Amir ke rekan-rekan senasibnya.

    Semoga apa yang Amir bawa pulang akan memberi sedikit kebahagiaan bagi istri dan dua anaknya. Besok, kemacetan dan udara beracun masih menunggu Amir dan tukang ojek tanggul lain. Demi sesuap nasi mereka mengorbankan tubuhnya.(fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Children Deprived of Right to Education

    Children Deprived of Right to Education

    Jakarta – Zulfika Rochmah stood shyly in front of the crowd, trying to explain why school was so important to her.
    “I want to be a doctor someday so I can make my friends well again. They have trouble breathing now since the mud,” said the skinny 10-year-old from Sidoarjo, East Java.

    “A lot of my friends are too sick to come to school now, or have moved away. I feel so lonely sometimes,” said the pony-tailed girl wearing a faded red T-shirt and old baggy jeans, who studies at an Islamic elementary school in West Besuki. (more…)

  • Rp 1.000 untuk Pendidikan Anak Korban Lumpur Lapindo

    Rp 1.000 untuk Pendidikan Anak Korban Lumpur Lapindo

    Jakarta – Anda ingin menyumbang anak-anak korban lumpur Lapindo? Cukup sisihkan Rp 1000 saja, dan Anda sudah bisa membantu biaya pendidikan mereka.

    Sumbangan ini sengaja dikumpulkan oleh Koalisi Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo. Uang yang terkumpul akan digunakan untuk membayar biaya pendidikan 103 anak-anak Sidoarjo.

    “Diharapkan dengan sumbangan ini 103 anak-anak korban lumpur Lapindo bisa terus bersekolah,” kata dinamisator kegiatan pengumpulan dana, Chalid Muhammad.

    Hal itu disampaikan dia dalam peluncuran ‘Pengumpulan Dana Pendidikan untuk Anak Korban Lapindo’ di Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (8/7/2010).

    Chalid mengatakan, 103 anak tersebut membutuhkan dana pendidikan sebesar Rp 43.644.500. Uang itu untuk membayar biaya mulai dari uang pangkal sekolah, seragam dan ujian.

    Posko pengumpulan dana berada di kantor Kontras. Untuk Anda yang ingin menyumbang, dapat datang ke kantor Kontras atau mengirimkan melalui rekening CIMB Niaga cabang Mampang Jakarta nomor rekening 9030101046008 atas nama Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang.

    “Kita juga berencana untuk menggalang dana di sejumlah titik di ibukota,” kata Chalid. (Ramadhian Fadillah)

    (c) detikNews.com

  • Bakrie Award Tipuan Tirani Modal

    Bakrie Award Tipuan Tirani Modal

    Subagyo – “Saya kembalikan (Bakrie Award) karena saya takut apa yang baik-baik akan ditutup oleh koreng yang tidak baik. Saya melihat memberi award ini terkesan untuk menutupi yang jelek. Pengembalian ini untuk mengingatkan, jangan coba-coba menutupi yang borok dengan kebaikan,” kata Gunawan Mohammad (GM), salah satu penerima Bakrie Award tahun 2004 (Kompas.com, 22/6).

    Sebelumnya, Romo Prof. Franz Magnis Suseno juga menolak Bakrie Award dengan alasan etika dan solidaritas kepada saudara kita korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.

    Peran korporasi

    Bakrie Award yang diselenggarakan oleh Freedom Institute merupakan salah satu peran sosial korporasi Grup Bakrie. Cita-cita mulia yang disampaikan Bakrie Award adalah meningkatkan mutu kehidupan ilmu, sastra dan pendidikan di Indonesia.
    Dalam negara Indonesia yang de facto menghamba pada kapitalisme ini, korporasi diberikan keistimewaan peran ekonomi oleh pemerintah. Guna menjalin komunikasi intelektual dan sosial maka korporasi menyusun strategi akademisasi kegiatan “politik etis”.

    Korporasi membuat yayasan atau foundation dengan memberikan beasiswa dan kegiatan-kegiatan community development lainnya. Seperti halnya Grup Bakrie mendanai institut yang bernama Freedom Institute tersebut.

    Itulah cara korporasi menundukkan masyarakat dan elit sosial budaya, selain dari jalan yang lain juga menundukkan kekuasaan politik melalui sumbangan-sumbangan finansialnya. Bahkan pemerintah yang berkuasa dipaksanya dengan cara halus, dengan diberikan utang budi, agar menjalankan platform pemerintahan yang sesuai dengan kehendak korporasi itu.

    Korporasi bisa menjadi seperti seorang ilusionis yang handal, menghipnotis rakyat suatu negara menjadi kagum, sehingga masyarakat menilai: “Perusahaan ini berjasa, merupakan bagian penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.”

    Kesadaran moral

    Sang ilusionis juga menghipnotis para tokoh akademik, sastra, dan budaya dengan “sentuhan magis.” Di dunia material ini tak ada yang lebih magis dan mempesona selain bentuk tumpukan uang dan penghargaan. Hanya orang sejenis dan sekualitas Romo Magniz Suseno yang punya kesadaran linuwih, tidak menjadi korban sulapan, sadar dengan apa yang dikehendaki sang ilusionis.

    Saya membaca berbagai komentar di internet dalam menilai perjalanan kasus lumpur Lapindo serta dugaan skandal pajak Grup Bakrie. Saya bisa menyimpulkan, ternyata masih terlalu banyak intelektual yang tidak terpengaruh dengan sulapan-sulapan dan eksplanasi yang bertolak belakang dengan kebenaran.

    Masih terlalu banyak orang di negara ini yang tidak percaya dengan putusan pengadilan Indonesia yang menyatakan Grup Bakrie tidak bersalah dalam kasus Lapindo dan skandal pajak tersebut. Itu semua tak luput dari adanya bocoran-bocoran data-data terpercaya dan informasi di media massa dan internet, termasuk “nyanyian” Gayus Tambunan yang mengaku menerima uang miliaran rupiah dari Grup Bakrie dalam kasus pajak.

    Saya tidak perlu buru-buru menuduh bahwa masyarakat yang tidak percaya dengan ilusi-ilusi itu adalah mereka yang tidak terkena magis yang mempesona, berupa uang itu. Meskipun saya melihat para elit korban Lapindo juga ada yang terkena pesona magis uang dan penghargaan itu, sehingga ada yang mengkhianati sesama para korban, bahkan bersekutu dengan kaki tangan Grup Bakrie untuk mencalonkan diri sebagai penguasa politik di Sidoarjo.

    Hanya saja, saya masih bertanya-tanya, mengapa para tokoh lainnya penerima Bakrie Award seakan masih berat untuk mengikuti jejak Romo Magnis dan GM? Saya tidak perlu menuduh bahwa mereka ini sebagai kaum yang tidak beretika, berempati dan bersolidaritas pada rakyat korban di negara ini. Barangkali mereka mempunyai pertimbangan tersendiri yang belum kita ketahui, termasuk misalnya prinsip “Saya bukan orang yang rubuh-rubuh gedang alias ikut-ikutan!”

    Dalam perjuangan itu, kaum intelektual memang harus jelas meletakkan posisi di mana, bukan berada di wilayah abu-abu dengan mengatasnamakan obyektivitas. Tidak ada obyektivitas yang tidak jelas!

    Tetapi hari ini saya benar-benar girang, ternyata perlawanan terhadap penindasan struktural itu masih ada. Kita masih belum menyerah. Dan memang, kita tidak akan pernah menyerah, jika tak ingin negara ini terus-menerus berada di ketiak tirani modal!

    (c)masbagio.blogspot.com

  • Para Tokoh Diminta Kembalikan Bakrie Award

    Para Tokoh Diminta Kembalikan Bakrie Award

    Jakarta – Koalisi sejumlah LSM mendesak agar tokoh-tokoh penerima Bakrie Award untuk mengembalikan penghargaan tersebut. Sikap itu diambil sebagai wujud solidaritas terhadap korban Lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. “Koalisi hari ini menyampaikan surat terbuka kepada tokoh-tokoh itu untuk mengembalikan award yang mereka terima dari Bakrie,” ujar Koordinator Jaingan Advokasi Tambang (Jatam) Andree Wijaya dalam siaran pers yang dikirimkan ke redaksi media massa, Rabu (7/7/2010).

    Menurut Andree, koalisi LSM menilai kasus Lumpur Lapindo kini sudah tenggelam akibat upaya kelompok Bakrie yang berusaha melakukan pencitraan. Salah satunya melalui pemberian penghargaan kepada para tokoh. “Kasus ini semakin disamarkan dan Bakrie brhasil menggunakan kekuatan politiknya untuk mengubur kasus lumpur Lapindo. Seolah-olah pencitraan di publik tidak bersalah, padahal penderitaan masyarakat di Porong sangat terasa,” imbuhnya.

    Melalui koalisi yang diberi nama Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur, Andree menyampaikan bahwa tokoh-tokoh penerima Bakrie Award seharusnya malu dan menunjukkan empatinya kepada korban lumpur Lapindo. Koalisi ini terdiri dari Walhi, Jatam, KIARA, Kontras, ICEL, LBH Masyarakat, YLBHI, Satu dunia, Solidaritas Perempuan, Imparsial, dan Institut Hijau Indonesia. “Kita ingin mengingatkan kepada publik dan kepada masyarakat luas bahwa terjadi kejahatan lingkungan sehingga tidak layak Bakrie memberikan award,” tandasnya.

    Sebelumnya, wartawan senior Tempo Goenawan Muhammad (GM) mengembalikan penghargaan Bakrie karena merasa tidak sepaham dengan Aburizal Bakrie. Selain GM, pada tahun 2007, Franz Magnis Suseno menolak pemberian award itu. Romo Franz menolak karena keluarga Bakrie merupakan pemilik mayoritas PT Lapindo Brantas yang sedang bermasalah dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo.

    Bakrie Award telah menjadi agenda rutin Freedom Institue yang bekerja sama dengan Yayasan Ahmad Bakrie sejak 2003. Biasanya, Anugerah Bakrie Award diberikan menjelang Peringatan Kemerdekaan RI. Selain GM, beberapa tokoh yang pernah mendapat penghargaan ini, antara lain Ignas Kleden, Nurcholish Madjid, Sartono Kartodirdjo, Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, dan Arif Budiman. Masing-masing peraih Bakrie Award mendapat hadiah dari keluarga Bakrie Rp 100 juta.

    Berikut daftar penerima Bakrie Award dari 2007-2009:

    2007
    1. Putu Wijaya  (bidang kesusastraan)
    2. Prof Dr Franz Magnis Suseno (bidang pemikiran sosial). Tapi Franz menolak.
    3. Prof Dr Sangkot Marzuki (bidang kedokteran)
    4. Dr Jorga Ibrahim (bidang sains).
    5. Lembaga Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi (BB Sukamandi) (bidang teknologi).

    2008
    1. Taufik Abdullah (pemikiran sosial)
    2. Sutardji Calzoum Bachri (kesusastraan)
    3. Mulyanto (Kedokteran)
    4. Laksana Tri Handoko (untuk Sains)
    5. Pusat Penelitian Kelapa Sawit untuk Teknologi.

    2009
    1. Sajogyo (pemikiran sosial)
    2. AG Soemantri ( bidang kedokteran)
    3. Pantur Silaban(bidang sains)
    4. Warsito P Taruno (teknologi)
    5. Danarto (bidang kesusastraan).

    Dalam siaran pers yang dikirimkan Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo,Rabu ( 7/7), mempertanyakan beberapa waktu lalu, mantan petinggi Group Bakrie yang juga Ketua Umum Partai Golkar menyerukan kepada kader partai warisan orde baru itu untuk meniru perilaku tikus dalam berpolitik. Sementara sebelumnya, dihadapan para komunitas bloger, Aburizal Bakrie dengan lantangnya mengatakan tidak merasa bersalah dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Ia seakan mengabaikan bahwa mayoritas pakar pemboran internasional mengungkapkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bukan bencana alam namun akibat aktivitas pemboran Lapindo, perusahaan
    milik Group Bakrie.

    “Hal yang sama juga diungkapkan oleh hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk menyembunyikan kejahatan itulah, Aburizal Bakrie menggunakan instrumen Partai Golkar dan Sekretariat Gabungan Partai Koalisi.  Intelektual dan budayawan tentu sangat berperan dalam membela masyarakat yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo ini. Kebenaran dan keadilan harus ditegakan. Para intelektual dan budayawan harus mulai berani menyuarakan nuraninya. Korban lumpur Lapindo harus mereka bela,” tandas siaran pers yang dikirimkan oleh aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Luluk Uliyah ke media massa.

    Menurutnya, penghargaan Bakrie Award sangat mungkin akan membuat para intelektual dan budayawan itu enggan dan ragu untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Untuk itu, Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo menyerukan kepada para penerima Bakrie Award, untuk mengembalikan Bakrie Award. Dengan mengembalikan penghargaan, para intelektual dan budayawan itu menjadi bebas untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam kasus lumpur Lapindo. “Tentu saja dengan mengembalikan Bakrie Award, para intelektual dan budayawan itu juga terhindar dari ancaman politik tikus yang memiliki karakter licik dan culas,” tandasnya.

    Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo Jatam, Kontras, Kiara, Walhi, Satu Dunia, LBH Masyarakat, GMLL, UPC, Imparsial, YLBHI, ICEL, UPLINK, Institut Hijau Indonesia, KAU, Lapis Budaya, SAKSI, Solidaritas Perempuan, HRWG. (*/dtc/jpc)

    (c) Jakartapress.com

  • Perbaikan Jalan Raya Porong Lamban, Ekonomi Tersendat

    Perbaikan Jalan Raya Porong Lamban, Ekonomi Tersendat

    Menurut Badan Pelaksana Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), peninggian Jalan Raya Porong dilakukan lantaran kondisi jalan mengalami penurunan tanah (land subsidence), yang menyebabkan permukaan jalan tidak rata dan penuh lubang. BPLS mencatat, Jalan Raya Porong mengalami penurunan sekitar 90 centimeter sejak 2008.

    “Penurunan tanah yang terjadi di Jalan Raya Porong ini sudah mencapai 90 centimeter sejak tahun 2008. Jadi, langkah yang kita tempuh adalah meninggikan jalan sampai satu meter untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan,” ucap Ahmad Khusairi, Wakil Humas BPLS, saat memantau Jalan Raya Porong, Kamis (1/7).

    Banyak pengguna jalan dirugikan akibat lambannya perbaikan Jalan Raya Porong ini. Abdul Rochim (48), sopir angkutan yang tinggal di Desa Tebel, Sidoarjo, merasakan penghasilannya menurun tajam. Dulu, sebelum luapan lumpur Lapindo, Rochim bisa membawa pulang uang sekitar 50.000-75.000 per hari. Setelah lumpur panas Lapindo menenggelamkan ruas tol Surabaya-Gempol dan mengalihkan semua kendaraan melewati Jalan Raya Porong, penghasilan pria yang dulu pernah tinggal di Desa Jatirejo, Porong, tinggal 30.000 – 40.000 per hari.

    Lantas, sejak proyek peninggian Jalan Raya Porong sekitar dua minggu terakhir ini, penghasilan Rochim merosot lagi hingga cuma 20.000 – 30.000 per hari. “Dan harus dibagi dua dengan kernet saya,” ujar pria kurus ini, Sabtu (3/7).  Kadang, lanjutnya, ia sama sekali tidak membawa pulang uang sepeser pun, karena uang yang didapatkan tidak terlalu besar, dan selalu habis untuk beli bahan bakar. Akhirnya Rochim menyiasati dengan membatasi trayeknya. Ia tidak lagi melewati Jalan Raya Porong, tapi hanya sampai Ketapang lalu kembali ke Surabaya lagi. 

    Selain itu, para pedagang juga mengeluhkan kerugian serupa. Warung nasi yang berada di sekitar jalan raya sekarang tampak sepi. Mariati, pemilik warung yang dilanggani para sopir, kini tidak bisa berdagang karena proses perbaikan jalan masih berlangsung. Warung milik Mariati berada di sisi barat Jalan Raya Porong, persisnya di Siring.

    “Sejak jalan raya ditinggikan, saya tidak bisa berdagang lagi. Sopir-sopir sekarang tidak ada yang mampir ke warung saya. Debu yang ditimbulkan dari pengurukan jalan raya membuat para sopir enggak mempir,” tutur Mariati, Sabtu (3/7)

    Mariati tidak tahu kapan perbaikan jalan ini selesai dilaksanakan. Dan kalaupun selesai, Mariati ragu apakah masih boleh berdagang di tempat semula, karena sekarang tempatnya sudah dibongkar dan ikut ditinggikan. “Saya sudah sepuluh hari lebih tidak berjualan, dan tidak tahu kapan berjualan lagi. Saya masih ragu apakah bisa berjualan di situ lagi jika jalan yang diperbaiki sudah selesai,” ujarnya. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Satu Cukup, Tiga Kurang

    Satu Cukup, Tiga Kurang

    Sidoarjo – Dibantu istri dan anak pertamanya, Damin Rodi (39), tampak semangat membuat adonan mie ayam di dapur rumahnya di Mindi, Porong, Sidoarjo. Tubuhnya yang tambun dan berkulit putih itu penuh keringat, anak istrinya juga.

    “Sebelum ada Lapindo cuma saya yang bikin adonan mie. Setelah ada Lapindo saya mengajak anak istri saya karena kini kami punya tiga warung mie ayam,” Kata Damin di tengah kesibukannya.

    Dulu, kata Damin, satu warungnya di kompleks pertokoan Porong punya banyak pelanggan, terutama orang yang tiap hari beraktifitas di pertokoan tersebut.

    Kini Porong akrab dengan macet dan debu. Orang jadi malas belanja di Porong. Pelanggan-pelanggan Damin perlahan meninggalkannya. Warung menjadi sepi dan Damin merugi. “Saya sempat bertahan tapi selalu merugi”. Kata pria dua anak itu.

    “Jelas karena lumpur Lapindo.” Kata Damin ketika ditanya apa penyebab kerugian itu.

    Di saat kondisi yang kian sulit, Damin memutuskan membeli dua gerobak lagi untuk menambah penghasilan. Ironisnya, tiga warung mie ayam yang ia miliki kini tak banyak memberi perubahan ekonomi keluarga.

    “Waktu, tenaga  dan pikiran kami banyak terkuras untuk tiga warung, tapi tak seimbang dengan penghasilan yang kami dapat.” Tambahnya.

    Damin tak mau larut dalam kesedihan. Ia akan tetap berjualan mie ayam selama ia mampu melakukannya. Dua gerobak tambahan yang dibelinya terbukti tak mampu menahan dampak lumpur Lapindo.

    Berapa warung mie ayam yang sebenarnya dibutuhkan Damin dan keluarga untuk mengembalikan perekonomian keluarga? (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Warga Gugat Bupati

    Warga Gugat Bupati

    Terkait Ganti Rugi Relokasi
    SIDOARJO – Lima warga yang mewakili ratusan warga Desa Kesambi Porong dan Ketapang Tanggulangin yang tanahnya terkena proyek relokasi jalan arteri serta jalan Tol Porong, menggugat Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Mereka juga menggugat Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Sidoarjo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sedangkan turut tergugat adalah PT Sucofindo Appraisal Utama.

    Warga menilai para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan merubah harga penawaran ganti rugi berkali-kali. Akibatnya penggugat mengalami kerugian materi dan immateri.

    Sidang gugatan ini rencananya digelar di PN Sidoarjo, Rabu (30/6) dengan agenda mediasi. Namun sidang ditunda karena pihak BPLS tidak ada yang hadir.

    Sejumlah warga yang ingin mengikuti jalannya persidangan terlihat kecewa, karena sidang batal digelar. Namun mereka berjanji akan tetap mengikuti jalannya persidangan kapan pun digelar.

    “Kami siap menungu. Setahun pun kami tetap menunggu,” ujar Kastawi, Tim Advokasi LSM Solidaritas Rakyat (Sorak) yang mendampingi warga.

    Ia menjelaskan, gugatan itu dilayangkan pada para tergugat karena tidak membeber harga taksiran dalam pembebasan lahan relokasi infrastruktur itu. Padahal sesuai aturan, taksiran harga ini mesti disebut sebagai dasar musyawarah menentukan besarnya ganti rugi. “Namun faktanya, mereka justru menawar lahan kami,” ujarnya.

    Karena itu, warga menilai para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengubah harga penawaran ganti rugi sejak tahun 2007 hingga tahun 2009.

    Kastawi menyatakan, para tergugat tidak mempunyai standar penawaran harga yang jelas dan transparan. Padahal, para tergugat memiliki dasar perhitungan ganti rugi sebagaimana yang dikeluarkan tim appraisal independen.

    Para penggugat juga telah meminta informasi P2T Sidoarjo terkait hasil penilain tim appraisal, namun ditolak. Mereka juga meminta informasi itu ke Bupati Sidoarjo dan BPLS, lagi-lagi juga ditolak dengan alasan tidak jelas. Akibatnya, musyawarah antara para penggugat dan tergugat tidak pernah terlaksana dengan baik.

    Akibatnya, warga menilai perbuatan para tergugat merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Perpres No 65/2006 Jo Perpres 36/2005 pasal 1 angka 6. “Intinya komunikasi harus dua arah,” bebernya.

    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain mengaku belum tahu tentang adanya gugatan tersebut. Pihaknya juga belum menerima surat panggilan untuk menjalani persidangan.

    Menurutnya, BPLS juga bukan bagian dari panitia pengadaan tanah. “Hanya saja dana pembebasan lahan tersebut diambilkan melalui pos BPLS. Namun pas pencairan, ya langsung ditransfer ke rekening warga,” bebernya.(nain)

    (c) surya.co.id

  • Ingkar Lagi, Telat Lagi

    Ingkar Lagi, Telat Lagi

     

    Bukan kali ini saja Lapindo mengingkari perjanjian yang disepakatinya di hadapan presiden. Pada bulan-bulan sebelumnya, Lapindo juga sering telat membayar cicilan yang seharusnya dibayar setiap awal bulan kepada korban yang terpaksa menerima skema cicilan.

    Zainal menuturkan, karena pembayaran dicicil, ia juga harus mencicil pembangunan rumahnya. “Kalau pembayaran macet, pembangunan rumah saya juga macet,” keluh ayah dua anak yang masih sekolah itu.

    Muhamad Kudhori (44), korban Lapindo asal Desa Kedungbendo, Porong, juga merasakan hal yang sama dengan Zainal. Pria yang kini menjadi tukang ojek itu merasa kerepotan memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena pendapatannya dari mengojek tidak cukup untuk biaya seluruh keluarga.

    Saat ditemui di pangkalan ojek di Tanggulangin, Kudhori menjelaskan, saat tanda tangan pembayaran berlangsung, Lapindo pernah pesan ke korban untuk tidak demo lagi demi kelancaran pembayaran.

    “Sudah kami lakukan, tapi mereka (Lapindo) tidak mau melakukan kewajibannya,” kata Kudhori.

    Di tengah masalah yang tak kunjung usai, terbesit kabar jika warga akan melakukan demo kembali untuk menuntut hak mereka. “Kami akan demo lagi dalam waktu dekat,” jelas Kudhori.

    Selain ribuan korban lumpur yang mengalami macetnya cicilan pembayaran, ada sekitar 77 berkas korban dari empat desa yaitu Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo dan Siring yang sama sekali belum menerima pembayran 80 persen aset mereka. Warga pemilik 77 berkas tersebut menolak skema cicilan, dan tetap berpegang pada pola tunai (cash and carry)sebagaimana tercantum dalam Perpres 14/2007.

    M. Zainul Arifin, koordinator kelompok ini mengatakan, Pemerintah hendaknya menalangi pembayaran ganti rugi warga yang kurang 77 berkas itu. “Setidaknya pemerintah bisa mengeluarkan dana talangan untuk melunasi warga yang sudah empat tahun ini menderita,” tambahnya.

    Zainul juga mengatakan, warga yang masih bertahan hanya menuntut diterapkannya peraturan yang tertera dalam Perpres 14/2007. “Warga tidak mungkin dicicil karena anggota keluarganya sangat banyak, apalagi Perpres 14/2007 sudah mengatur skema pembayaran 20-80 persen,” kata pria yang kini tinggal di Keludan, Tanggulangin, itu. (fahmi)

    (c) Kanal Newsroom

  • Kembalikan Bakrie Award!

    Kembalikan Bakrie Award!

    Surat terbuka untuk para penerima Bakrie Award

    IMAM SHOFWAN – Sebagai intelektual tentu, Bapak dan Ibu mengikuti berita-berita Lumpur Lapindo yang, hingga kini, aktif menyemburkan lumpur panas100.000 meter kubik tiap harinya. Melumpuhkan 19 Desa dari tiga kecamatan; Porong, Jabon, dan Tanggul Angin. Menyebabkan 14.000 KK kehilangan kehidupan normal mereka, menenggelamkan 33 sekolah dan 6 pondok pesantren menelantarkan murid-santrinya. Menyebabkan 15 orang meninggal, karena penurunan tanah menyebabkan pipa gas pertamina meledak dan 5 orang meninggal akibat gas beracun. Lumpur ini juga telah menyebabkan penyakit saluran pernafasan meningkat pesat di desa-desa tersebut.

    Untuk semua kehilangan itu PT. www.vivanews.com Minarak Lapindo Jaya (MLJ) hanya memberikan ganti-rugi dengan membeli tanah, rumah, dan sawah para korban. Itupun yang menurut peraturan presiden selesai dalam dua tahun setelah bencana, hingga kini, baru 60 persen korban yang telah menerima ganti rugi ini.

    Tak ada ganti rugi soal kesehatan, pendidikan, sosial, dan pencemaran lingkungan. (more…)

  • Gelar Aksi, Warga Menuntut Kejelasan Ganti Rugi

    Gelar Aksi, Warga Menuntut Kejelasan Ganti Rugi

     

    Dalam pertemuan dengan korban lumpur Lapindo, Ketua Pansus  Lumpur Lapindo, Sulkan, menyatakan sependapat bila ganti rugi terhadap korban lumpur ditalangi dulu oleh pemerintah, karena sudah empat tahun warga dihadapkan dengan ketidakpastian soal ganti ruginya. “Sudah empat tahun kasus Lapindo berjalan, seharusnya pemerintah menalangi dulu dari uang APBN, karena warga sudah sangat menderita,” ucap Sulkan.

    Sulkan juga mengatakan, Pansus akan memfasilitasi korban untuk mendesak tututannya ke Jakarta menemui presiden. Mengenai waktu, akan dibicarakan ulang dengan perwakilan korban. “Komitmen kami, Pansus akan memfasilitasi tuntutan korban Lapindo untuk bertemu presiden dan akan kita kawal sampai berhasil,” tegas Sulkan.

    Setelah bertemu dengan Ketua Pansus Lumpur Lapindo, perwakilan korban bertemu dengan Bupati Sidoarjo Win Hendarso, untuk meminta dukungan. Akan tetapi, bupati yang sebentar lagi lengser ini mengaku tidak bisa berbuat banyak. Menurut Win Hendarso, semua persoalan sudah ditangani Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan pemerintah pusat.

    “Saya tidak bisa berbuat banyak dengan tuntutan korban. Apalagi minta dana talangan, semua urusan Lapindo sudah ditangani BPLS dan pemerinta pusat. Dan soal dana talangan, saya jauh-jauh hari sudah menyurati presiden soal dana talangan, tapi sampai saat ini belum ada jawabanya,” tegas Win.

    Untuk mendesakkan tuntutan lebih lanjut, warga dalam waktu dekat ini akan datang ke Jakarta dengan difasilitasi Pansus Lumpur Lapindo. (vik)

    (c) Kanal Newsroom