Category: Lapindo di Media

  • Meluruk Gubernur, Menginap di Gedung Dewan

    Meluruk Gubernur, Menginap di Gedung Dewan

    SIDOARJO—Sudah empat malam warga korban lumpur Lapindo menginap di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  (DPRD) Sidoarjo. Warga yang berasal dari Desa Jatirejo, Renokenongo, Siring dan Kedungbendo ini mendesak kepada pemerintah untuk  memberikan dana talangan buat pelunasan jual beli aset warga yang belum juga dituntaskan Lapindo hingga hari ini.

    Sebelumnya warga pernah mengajukan tuntutanya kepada Panitia Khusus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo untuk mengambil alih penyelesaian jual beli aset semua korban lumpur Lapindo yang belum selesai. Waktu itu pihak Pansus menjanjikan akan segera mengupayakan tuntutan warga lewat Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2010 (APBN-P 2010). Setelah beberapa bulan, janji Pansus ternyata tidak terealisasi.

    Maka, mulai Jum’at (6/8/2010) warga mendatangi Gedung DPRD Sidoarjo untuk menagih janiji, akan tetapi upaya untuk bertemu pihak Pansus gagal. Warga lalu menginap di depan Gedung DPRD.  Koordinator warga, Zainul Arifin, mengatakan warga tidak akan meninggalkan gedung dewan sebelum tuntutan dipenuhi, meskipun harus menjalankan puasa di gedung dewan.

    “Sudah empat tahun kami ditelantarkan. Pemerintah seharusnya ikut bertangung jawab. Karena itu, kami menuntut agar pemerintah segera take over ganti rugi semua korban lumpur,” ungkap Zainul saat melakukan aksi cap jempol darah pada Sabtu (7/8/2010).

    Salah satu anggota Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, M. Zainul Lutfi, menyatakan, pada 13 Juli 2010 lalu, Pansus Lumpur telah melayangkan surat ke Badan Anggaran DPR RI terkait semua masalah lumpur dan salah satunya meminta pemerintah memasukkan ganti rugi korban yang belum selesai untuk dimasukkan ke APBN .

    “Kami sudah menyurati DPR RI terkait persoalan lumpur dan tuntutan korban. Tapi sampai saat ini belum ada jawaban terkait surat yang kami kirimkan,” ungkap M. Zainul Lutfi saat menemui warga di depan Gedung DPRD.

    Aksi di Gedung Grahadi

    Sementara itu, warga di luar peta terdampak melakukan aksi di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Senin (9/8/2010). Aksi yang diikuti sekitar 700 warga yang tergabung dalam kelompok Aliansi Korban Lumpur Sembilan RT menuntut kepada gubernur untuk menyerahkan hasil analisa Tim Kajian Kelayakan Pemukiman (TKKP).

    Selain itu, warga menuntut ganti rugi aset tanah dan bangunan yang sudah tidak layak huni. Skemanya agar disamakan dengan warga peta terdampak. Harga ganti rugi juga harus disamakan dengan warga peta terdampak. Warga juga mendesak gubernur untuk mengantar warga memperjuangkan nasib ke Kementerian Pekerjaan Umum di Jakarta.

    Setelah melakukan orasi di depan gubenuran, perwakilan warga dari Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi ini hanya ditemui Asisten Kesejahteraan Masyarakat Sekretariat Daerah Provinsi Jatim Edi Purwinarto. Gubernur Sukarwo diinformasikan tidak ada di tempat. Dalam pertemuan dengan Kesmas, warga dijanjikan akan didampingi ke Jakarta untuk bertemu dengan Menteri PU.

    Salah satu perwakilan warga, Bambang Kuswanto, menyatakan jika janji tidak dijalankan maka warga mengancam akan menduduki Kantor Gubernur. “Dalam waktu dekat ini, pihak gubernur yang diwakili Kesmas Bapak Edi akan mengantar kami ke Jakarta bertemu dengan Menteri PU. Jika sampai batas waktu janji-janji tersebut tidak dilaksanakan maka kami akan melakukan aksi lagi. Jika perlu kami akan menduduki Kantor Gubernur sampai tuntutan kami dipenuhi,” kata ketua Aliansi Korban Lumpur Lapindo Sembilan RT ini.

    Setelah mendapatkan keterangan dari Kesmas Edi Purwinarto itu, warga membubarkan diri sekitar pukul 13.00 waktu setempat. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Tuntut Ganti Rugi, Warga Hentikan Penanggulan

    Tuntut Ganti Rugi, Warga Hentikan Penanggulan

    SIDOARJO—Sekitar 50 warga korban lumpur Lapindo menggelar aksi di atas tanggul sisi Kedungbendo, Rabu (3/8/2010). Warga berasal dari Desa Kedungbendo, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, dan Desa Glagaharum, Kecamatan Porong. Mereka menuntut pembayaran ganti rugi aset yang selama empat tahun lebih belum juga memperoleh kejelasan.

    Warga menghentikan aktivitas penanggulan yang sedang dikerjakan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sembari menancapkan papan bertuliskan “Tanah Aset Milik Desa Kedung Bendo Kec. Tanggulangin Luas 40 Hektar”. Hasan, koordinator aksi mengatakan, aksi ini sengaja dilakukan sebagai buntut kekecewaan warga.

    “Selama empat tahun warga saya tidak mendapat kejelasan soal ganti ruginya dari pihak PT. Lapindo Brantas,” ungkap Hasan yang kini masih menjabat sebagai Kepala Desa Kedungbendo.

    Aksi yang berlangsung selama kurang lebih empat jam ini dijaga ketat aparat keamanan dari Kepolisian Resor Sidoarjo dan Brimob Kepolisian Daerah Jawa Timur, lengkap dengan mobil water canon yang disiagakan di pintu masuk Ketapang.

    Di tengah-tengah aksi, pihak BPLS yang diwakili Bajuri hadir, dan berjanji akan membantu perjuangan warga. “Kami akan memfasilitasi warga bertemu PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar pada hari Jumat  (6/8/2010), untuk membicarakan  ganti rugi yang dituntut warga,”  ujar Bajuri.

    Setelah ada kesepakatan warga dengan BPLS, yang disaksikan oleh Wakil Kepala Polres Sidoarjo Kompol Leo Simarmata, warga membubarkan diri. Mereka mengancam akan menduduki tanggul jika sampai hari Jumat tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi aset mereka. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Daoed Jusuf Tolak Bakrie Award Karena Lumpur Lapindo

    Daoed Jusuf Tolak Bakrie Award Karena Lumpur Lapindo

    Jakarta – Mantan Menteri Pendidikan Daoed Jusuf menolak penerimaan penghargaan Achmad Bakrie Award. Alasannya nama Bakrie terkait dengan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo.

    “Ini kan Bakrie Award. Nama Bakrie terkait dengan satu kegiatan bisnis di Jawa Timur yang telah menimbulkan malapetaka dan bencana bagi orang di sekitiar situ. Dan sampai sekarang seperti diabaikan saja penderitaan rakyat oleh kelompok Bakrie. maka dari itu saya menolak,” Kata Daoed saat ditemui di kediamnnya di Jalan Bangka VII, No. 14, Jakarta Selatan, Kamis (29/7/2010).

    Ia mengatakan, penolakan sebagai bentuk perlawanannya terhadap sikap Bakrie yang dinilainya menelantarkan nasib korban lumpur Lapindo.

    “Saya menolak karena nurani saya tidak bisa menerima award itu, selama itu saya berani melawan apapun dan siapapun, tapi saya tidak pernah melawan hati nurani saya,” ujar laki-laki kelahiran Sumatera Utara ini.

    Penolakan, ujarnya, disampaikan langsung saat pihak panitia pemberi penghargaan dari Freedom Institute meneleponnya, akhir Mei.

    “Ketika itu juga spontan saya tolak. Tetapi mereka toh ingin datang menjelaskan. Ya kalau mau datang silakan saja,” ceritan Daoed.

    Sebelumnya, Daoed sempat menolak untuk mengomentari penolakannya untuk menerima penghargaan. Ia memilih untuk berkomentar setelah panitia resmi mengumumkan peraih penghargaan. “Pengumumannya di Kantor Freedom Institue, 11 Juli kemarin. Saya tidak tahu kalau itu sudah diumumkan,” katanya.

    Bakrie Award telah menjadi agenda rutin Freedom Institue yang bekerja sama dengan Yayasan Ahmad Bakrie sejak 2003. Biasanya, Anugerah Bakrie Award diberikan menjelang Peringatan Kemerdekaan RI.

    Sebelumnya dalam jumpa pers pada Rabu (28/7) di kantor Freedom Institute, Direktur Eksekutif Freedom Institute, Rizal Mallarangeng menilai ada nuansa politik di balik penolakan oleh Daud, dan juga penerima award lainnya budayawan Sitor Situmorang.
    (ahy/ndr)

    (c) detikNews.com

  • Anak Korban Lapindo Mulai Menerima Donasi Publik

    Anak Korban Lapindo Mulai Menerima Donasi Publik

    SIDOARJO – Donasi publik untuk pendidikan anak korban lumpur Lapindo mulai diserahkan ke penerima. Selasa (20/7/2010), sejumlah 26 siswa-siswi menerima bantuan biaya pendidikan selama setahun. Gelombang pertama penerima donasi publik secara total berjumlah 117 murid.

    Ke-26 siswa tersebut mayoritas tinggal di Desa Besuki Timur, Jabon, Sidoarjo. Dua siswa bersekolah di SDN Besuki dan 24 siswa sekolah di MI Ma’arif Darul Ulum, Besuki. Bantuan pendidikan tersebut  diserahkan langsung kepada kepala sekolah oleh perwakilan Posko Keselamatan Korban Lapindo,  dan disaksikan oleh wali murid.

    Para wali murid senang dapat menerima bantuan yang digalang oleh koalisi masyarakat sipil Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo itu. Ibu Tamami (55 Tahun), misalnya, sangat berterima kasih kepada masyarakat yang telah membantu anaknya, Eka Maulidiyah, yang kini duduk di bangku Kelas 6 MI Darul Ulum. “Terimakasih atas bantuan pendidikan yang diberikan kepada anak saya,” kata Tamami.

    Tamami warga Desa Besuki yang tidak dikategorikan ‘peta terdampak’ oleh pemerintah dan Lapindo. Sejak lumpur menengelamkan sawah miliknya, Tamami sangat kesulitan membiayai pendidikan anaknya. Sawah di depan rumahnya, di sebelah timur tol Surabaya-Gempol itu, tidak bisa ditanami lagi sejak lumpur meluber, empat tahun silam.

    “Sak derenge enten lumpur, persoalan biaya pendidikan anak kulo boten repot. Sakniki biayai Eka diutangno neng tonggo-tonggo (Sebelum ada lumpur, masalah pendidikan anak saya tidak susah. Sekarang biaya pendidikan Eka saya carikan utang ke tetangga-tetangga),” ucap perempuan paruh baya tersebut.

    Tidak hanya Tamimi yang merasakan sulitnya membiayai pendidikan anaknya, kebanyakan warga Desa Besuki sebelah timur tol merasakan hal yang sama. Karena mata pencaharian warga di Desa Besuki kebanyakan sebagai petani, dan sejak lumpur mematikan sawah mereka, perekonomian warga Besuki lumpuh total.

    Lil Umrotul Mustaida, Kepala Sekolah MI Darul Ulum, juga merasa senang dengan hasil solidaritas masyarakat luas tersebut. “Saya merasa senang atas bantuan pendidikan untuk anak-anak didik. Dan saya berterima kasih kepada masyarakat yang peduli terhadap masa depan anak-anak,” ungkap wanita berkaca mata tersebut.

    Bu Lil, demikian ia biasa disapa, pun berharap dengan bantuan yang digalang dari masyarakat luas tersebut, anak-anak didik makin bersemangat. “Saya berharap, anak-anak bisa termotivasi untuk giat belajar,” ucapnya saat menerima bantuan pendidikan.

    Dari 26 siswa yang menerima, dua siswa yang bersekolah di SDN Besuki mendapat bantuan sebesar Rp 440.000, sedangkan bantuan untuk 24 siswa MI Darul Ulum Besuki sebesar  Rp 6.150.000. Daftar penerima bisa dilihat di sini. Bantuan tersebut digunakan untuk membayar uang buku, uang ujian, selama satu tahun. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Rp. 50 Juta, Indonesia Bangga

    Rp. 50 Juta, Indonesia Bangga

    JAKARTA – Sekali lagi rakyat Indonesia membuktikan diri lebih peduli. Solidaritas mereka terbukti, hanya dalam waktu 6 hari sejak di launching 8 Juli 2010 di Kontras, solidaritas Rp.1.000 untuk anak-anak korban Lapindo, telah terkumpul Rp. 50.560.675 (lima puluh juta lima ratus enam puluh ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah). Solidaritas ini menunjukkan rakyat Indonesia lebih peka terhadap masa depan pendidikan anak-anak, khususnya dalam hal ini anak-anak korban Lapindo.

    Sebaliknya, pemerintah (BPLS) justru tidak menyentuh sama sekali penanganan masalah ini, apalagi Lapindo Brantas Inc. Padahal, pemerintah telah menghabiskan Rp. 4,3 triliun hanya mengurusi masalah tanggul dan sosial yang terbatas pada masalah ganti rugi. Jumlah yang sungguh besar, padahal sementara ini ada 103 anak yang membutuhkan biaya sekolah yang tidak sampai 1 persen dari ongkos yang telah dikeluarkan pemerintah untuk masalah Lapindo ini. Anehnya, pemerintah tidak memberikan sanksi dan mendesak biaya pemulihan pada perusahaan, tetapi justru mengambil alih ongkos penanganan lumpur Rp 7,2 triliun dari pajak rakyat (Buku RPJMN 2010-2014).

    Inti dari gerakan ini adalah untuk membantu  pendidikan anak-anak korban lumpur lapindo yang menjadi bagian gerakan Anti Generasi Suram dan perlawanan terhadap rejim yang telah mengabaikan hak-hak pendidikan anak sebagai penerus bangsa.

    Masalah pendidikan anak-anak korban Lapindo, merupakan salah satu masalah yang tak diperhatikan apalagi mau diurus. Yang lainnya, misalnya masalah kesehatan, lapangan pekerjaan hingga konflik yang dapat muncul akibat berlarut-larutnya penyelesaian masalah jual beli atau ganti rugi. Belum lagi resiko terhadap warga yang ada disekitar tanggul, yang sewaktu-waktu terancam oleh jebolnya tanggul dan bubble gas yang muncul dari tanah.

    Gerakan ini merupakan tahapan awal Rp.1.000 untuk biaya pendidikan anak-anak korban Lapindo. Tentu saja jumlah 103 anak ini belumlah meliputi 16 Desa yang telah terimbas oleh lumpur Lapindo. Masih banyak anak-anak yang mengalami hal sama, diakibatkan kesulitan orang tuanya mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang telah ditenggelamkan oleh Lapindo.

    Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang tak terkira kepada rakyat Indonesia yang memberikan sumbangsi/donasinya demi masa depan anak-anak korban Lapindo. Tak lupa juga kepada kawan media, relawan, simpatisan kami terima kasih sebesar-besarnya. Kami bangga atas kepedulian anda semua, oleh karenanya kami menyatakan donasi kepada 103 anak (Rp.43.644.500) kami tutup untuk tahap ini.

    Informasi lebih lanjut:
    Selamet Daroyni, 081584197713
    Andri S Wijaya, 08129459623
    Bambang C. Nusantara, 081336607872
    Riza Damanik, Sekjen KIARA: 0818773515

    Rp.1000 untuk Anak-anak Korban Lapindo
    Siaran Pers bersama Koalisi Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo

    (c) jatam.org

  • Rp 1.000 untuk Pendidikan Anak Korban Lumpur Lapindo

    Rp 1.000 untuk Pendidikan Anak Korban Lumpur Lapindo

    Jakarta – Anda ingin menyumbang anak-anak korban lumpur Lapindo? Cukup sisihkan Rp 1000 saja, dan Anda sudah bisa membantu biaya pendidikan mereka.

    Sumbangan ini sengaja dikumpulkan oleh Koalisi Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo. Uang yang terkumpul akan digunakan untuk membayar biaya pendidikan 103 anak-anak Sidoarjo.

    “Diharapkan dengan sumbangan ini 103 anak-anak korban lumpur Lapindo bisa terus bersekolah,” kata dinamisator kegiatan pengumpulan dana, Chalid Muhammad.

    Hal itu disampaikan dia dalam peluncuran ‘Pengumpulan Dana Pendidikan untuk Anak Korban Lapindo’ di Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (8/7/2010).

    Chalid mengatakan, 103 anak tersebut membutuhkan dana pendidikan sebesar Rp 43.644.500. Uang itu untuk membayar biaya mulai dari uang pangkal sekolah, seragam dan ujian.

    Posko pengumpulan dana berada di kantor Kontras. Untuk Anda yang ingin menyumbang, dapat datang ke kantor Kontras atau mengirimkan melalui rekening CIMB Niaga cabang Mampang Jakarta nomor rekening 9030101046008 atas nama Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang.

    “Kita juga berencana untuk menggalang dana di sejumlah titik di ibukota,” kata Chalid. (Ramadhian Fadillah)

    (c) detikNews.com

  • Bakrie Award Tipuan Tirani Modal

    Bakrie Award Tipuan Tirani Modal

    Subagyo – “Saya kembalikan (Bakrie Award) karena saya takut apa yang baik-baik akan ditutup oleh koreng yang tidak baik. Saya melihat memberi award ini terkesan untuk menutupi yang jelek. Pengembalian ini untuk mengingatkan, jangan coba-coba menutupi yang borok dengan kebaikan,” kata Gunawan Mohammad (GM), salah satu penerima Bakrie Award tahun 2004 (Kompas.com, 22/6).

    Sebelumnya, Romo Prof. Franz Magnis Suseno juga menolak Bakrie Award dengan alasan etika dan solidaritas kepada saudara kita korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.

    Peran korporasi

    Bakrie Award yang diselenggarakan oleh Freedom Institute merupakan salah satu peran sosial korporasi Grup Bakrie. Cita-cita mulia yang disampaikan Bakrie Award adalah meningkatkan mutu kehidupan ilmu, sastra dan pendidikan di Indonesia.
    Dalam negara Indonesia yang de facto menghamba pada kapitalisme ini, korporasi diberikan keistimewaan peran ekonomi oleh pemerintah. Guna menjalin komunikasi intelektual dan sosial maka korporasi menyusun strategi akademisasi kegiatan “politik etis”.

    Korporasi membuat yayasan atau foundation dengan memberikan beasiswa dan kegiatan-kegiatan community development lainnya. Seperti halnya Grup Bakrie mendanai institut yang bernama Freedom Institute tersebut.

    Itulah cara korporasi menundukkan masyarakat dan elit sosial budaya, selain dari jalan yang lain juga menundukkan kekuasaan politik melalui sumbangan-sumbangan finansialnya. Bahkan pemerintah yang berkuasa dipaksanya dengan cara halus, dengan diberikan utang budi, agar menjalankan platform pemerintahan yang sesuai dengan kehendak korporasi itu.

    Korporasi bisa menjadi seperti seorang ilusionis yang handal, menghipnotis rakyat suatu negara menjadi kagum, sehingga masyarakat menilai: “Perusahaan ini berjasa, merupakan bagian penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.”

    Kesadaran moral

    Sang ilusionis juga menghipnotis para tokoh akademik, sastra, dan budaya dengan “sentuhan magis.” Di dunia material ini tak ada yang lebih magis dan mempesona selain bentuk tumpukan uang dan penghargaan. Hanya orang sejenis dan sekualitas Romo Magniz Suseno yang punya kesadaran linuwih, tidak menjadi korban sulapan, sadar dengan apa yang dikehendaki sang ilusionis.

    Saya membaca berbagai komentar di internet dalam menilai perjalanan kasus lumpur Lapindo serta dugaan skandal pajak Grup Bakrie. Saya bisa menyimpulkan, ternyata masih terlalu banyak intelektual yang tidak terpengaruh dengan sulapan-sulapan dan eksplanasi yang bertolak belakang dengan kebenaran.

    Masih terlalu banyak orang di negara ini yang tidak percaya dengan putusan pengadilan Indonesia yang menyatakan Grup Bakrie tidak bersalah dalam kasus Lapindo dan skandal pajak tersebut. Itu semua tak luput dari adanya bocoran-bocoran data-data terpercaya dan informasi di media massa dan internet, termasuk “nyanyian” Gayus Tambunan yang mengaku menerima uang miliaran rupiah dari Grup Bakrie dalam kasus pajak.

    Saya tidak perlu buru-buru menuduh bahwa masyarakat yang tidak percaya dengan ilusi-ilusi itu adalah mereka yang tidak terkena magis yang mempesona, berupa uang itu. Meskipun saya melihat para elit korban Lapindo juga ada yang terkena pesona magis uang dan penghargaan itu, sehingga ada yang mengkhianati sesama para korban, bahkan bersekutu dengan kaki tangan Grup Bakrie untuk mencalonkan diri sebagai penguasa politik di Sidoarjo.

    Hanya saja, saya masih bertanya-tanya, mengapa para tokoh lainnya penerima Bakrie Award seakan masih berat untuk mengikuti jejak Romo Magnis dan GM? Saya tidak perlu menuduh bahwa mereka ini sebagai kaum yang tidak beretika, berempati dan bersolidaritas pada rakyat korban di negara ini. Barangkali mereka mempunyai pertimbangan tersendiri yang belum kita ketahui, termasuk misalnya prinsip “Saya bukan orang yang rubuh-rubuh gedang alias ikut-ikutan!”

    Dalam perjuangan itu, kaum intelektual memang harus jelas meletakkan posisi di mana, bukan berada di wilayah abu-abu dengan mengatasnamakan obyektivitas. Tidak ada obyektivitas yang tidak jelas!

    Tetapi hari ini saya benar-benar girang, ternyata perlawanan terhadap penindasan struktural itu masih ada. Kita masih belum menyerah. Dan memang, kita tidak akan pernah menyerah, jika tak ingin negara ini terus-menerus berada di ketiak tirani modal!

    (c)masbagio.blogspot.com

  • Para Tokoh Diminta Kembalikan Bakrie Award

    Para Tokoh Diminta Kembalikan Bakrie Award

    Jakarta – Koalisi sejumlah LSM mendesak agar tokoh-tokoh penerima Bakrie Award untuk mengembalikan penghargaan tersebut. Sikap itu diambil sebagai wujud solidaritas terhadap korban Lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. “Koalisi hari ini menyampaikan surat terbuka kepada tokoh-tokoh itu untuk mengembalikan award yang mereka terima dari Bakrie,” ujar Koordinator Jaingan Advokasi Tambang (Jatam) Andree Wijaya dalam siaran pers yang dikirimkan ke redaksi media massa, Rabu (7/7/2010).

    Menurut Andree, koalisi LSM menilai kasus Lumpur Lapindo kini sudah tenggelam akibat upaya kelompok Bakrie yang berusaha melakukan pencitraan. Salah satunya melalui pemberian penghargaan kepada para tokoh. “Kasus ini semakin disamarkan dan Bakrie brhasil menggunakan kekuatan politiknya untuk mengubur kasus lumpur Lapindo. Seolah-olah pencitraan di publik tidak bersalah, padahal penderitaan masyarakat di Porong sangat terasa,” imbuhnya.

    Melalui koalisi yang diberi nama Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur, Andree menyampaikan bahwa tokoh-tokoh penerima Bakrie Award seharusnya malu dan menunjukkan empatinya kepada korban lumpur Lapindo. Koalisi ini terdiri dari Walhi, Jatam, KIARA, Kontras, ICEL, LBH Masyarakat, YLBHI, Satu dunia, Solidaritas Perempuan, Imparsial, dan Institut Hijau Indonesia. “Kita ingin mengingatkan kepada publik dan kepada masyarakat luas bahwa terjadi kejahatan lingkungan sehingga tidak layak Bakrie memberikan award,” tandasnya.

    Sebelumnya, wartawan senior Tempo Goenawan Muhammad (GM) mengembalikan penghargaan Bakrie karena merasa tidak sepaham dengan Aburizal Bakrie. Selain GM, pada tahun 2007, Franz Magnis Suseno menolak pemberian award itu. Romo Franz menolak karena keluarga Bakrie merupakan pemilik mayoritas PT Lapindo Brantas yang sedang bermasalah dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo.

    Bakrie Award telah menjadi agenda rutin Freedom Institue yang bekerja sama dengan Yayasan Ahmad Bakrie sejak 2003. Biasanya, Anugerah Bakrie Award diberikan menjelang Peringatan Kemerdekaan RI. Selain GM, beberapa tokoh yang pernah mendapat penghargaan ini, antara lain Ignas Kleden, Nurcholish Madjid, Sartono Kartodirdjo, Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, dan Arif Budiman. Masing-masing peraih Bakrie Award mendapat hadiah dari keluarga Bakrie Rp 100 juta.

    Berikut daftar penerima Bakrie Award dari 2007-2009:

    2007
    1. Putu Wijaya  (bidang kesusastraan)
    2. Prof Dr Franz Magnis Suseno (bidang pemikiran sosial). Tapi Franz menolak.
    3. Prof Dr Sangkot Marzuki (bidang kedokteran)
    4. Dr Jorga Ibrahim (bidang sains).
    5. Lembaga Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi (BB Sukamandi) (bidang teknologi).

    2008
    1. Taufik Abdullah (pemikiran sosial)
    2. Sutardji Calzoum Bachri (kesusastraan)
    3. Mulyanto (Kedokteran)
    4. Laksana Tri Handoko (untuk Sains)
    5. Pusat Penelitian Kelapa Sawit untuk Teknologi.

    2009
    1. Sajogyo (pemikiran sosial)
    2. AG Soemantri ( bidang kedokteran)
    3. Pantur Silaban(bidang sains)
    4. Warsito P Taruno (teknologi)
    5. Danarto (bidang kesusastraan).

    Dalam siaran pers yang dikirimkan Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo,Rabu ( 7/7), mempertanyakan beberapa waktu lalu, mantan petinggi Group Bakrie yang juga Ketua Umum Partai Golkar menyerukan kepada kader partai warisan orde baru itu untuk meniru perilaku tikus dalam berpolitik. Sementara sebelumnya, dihadapan para komunitas bloger, Aburizal Bakrie dengan lantangnya mengatakan tidak merasa bersalah dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Ia seakan mengabaikan bahwa mayoritas pakar pemboran internasional mengungkapkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bukan bencana alam namun akibat aktivitas pemboran Lapindo, perusahaan
    milik Group Bakrie.

    “Hal yang sama juga diungkapkan oleh hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk menyembunyikan kejahatan itulah, Aburizal Bakrie menggunakan instrumen Partai Golkar dan Sekretariat Gabungan Partai Koalisi.  Intelektual dan budayawan tentu sangat berperan dalam membela masyarakat yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo ini. Kebenaran dan keadilan harus ditegakan. Para intelektual dan budayawan harus mulai berani menyuarakan nuraninya. Korban lumpur Lapindo harus mereka bela,” tandas siaran pers yang dikirimkan oleh aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Luluk Uliyah ke media massa.

    Menurutnya, penghargaan Bakrie Award sangat mungkin akan membuat para intelektual dan budayawan itu enggan dan ragu untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Untuk itu, Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo menyerukan kepada para penerima Bakrie Award, untuk mengembalikan Bakrie Award. Dengan mengembalikan penghargaan, para intelektual dan budayawan itu menjadi bebas untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam kasus lumpur Lapindo. “Tentu saja dengan mengembalikan Bakrie Award, para intelektual dan budayawan itu juga terhindar dari ancaman politik tikus yang memiliki karakter licik dan culas,” tandasnya.

    Gerakan Masyarakat Sipil Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo Jatam, Kontras, Kiara, Walhi, Satu Dunia, LBH Masyarakat, GMLL, UPC, Imparsial, YLBHI, ICEL, UPLINK, Institut Hijau Indonesia, KAU, Lapis Budaya, SAKSI, Solidaritas Perempuan, HRWG. (*/dtc/jpc)

    (c) Jakartapress.com

  • Perbaikan Jalan Raya Porong Lamban, Ekonomi Tersendat

    Perbaikan Jalan Raya Porong Lamban, Ekonomi Tersendat

    Menurut Badan Pelaksana Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), peninggian Jalan Raya Porong dilakukan lantaran kondisi jalan mengalami penurunan tanah (land subsidence), yang menyebabkan permukaan jalan tidak rata dan penuh lubang. BPLS mencatat, Jalan Raya Porong mengalami penurunan sekitar 90 centimeter sejak 2008.

    “Penurunan tanah yang terjadi di Jalan Raya Porong ini sudah mencapai 90 centimeter sejak tahun 2008. Jadi, langkah yang kita tempuh adalah meninggikan jalan sampai satu meter untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan,” ucap Ahmad Khusairi, Wakil Humas BPLS, saat memantau Jalan Raya Porong, Kamis (1/7).

    Banyak pengguna jalan dirugikan akibat lambannya perbaikan Jalan Raya Porong ini. Abdul Rochim (48), sopir angkutan yang tinggal di Desa Tebel, Sidoarjo, merasakan penghasilannya menurun tajam. Dulu, sebelum luapan lumpur Lapindo, Rochim bisa membawa pulang uang sekitar 50.000-75.000 per hari. Setelah lumpur panas Lapindo menenggelamkan ruas tol Surabaya-Gempol dan mengalihkan semua kendaraan melewati Jalan Raya Porong, penghasilan pria yang dulu pernah tinggal di Desa Jatirejo, Porong, tinggal 30.000 – 40.000 per hari.

    Lantas, sejak proyek peninggian Jalan Raya Porong sekitar dua minggu terakhir ini, penghasilan Rochim merosot lagi hingga cuma 20.000 – 30.000 per hari. “Dan harus dibagi dua dengan kernet saya,” ujar pria kurus ini, Sabtu (3/7).  Kadang, lanjutnya, ia sama sekali tidak membawa pulang uang sepeser pun, karena uang yang didapatkan tidak terlalu besar, dan selalu habis untuk beli bahan bakar. Akhirnya Rochim menyiasati dengan membatasi trayeknya. Ia tidak lagi melewati Jalan Raya Porong, tapi hanya sampai Ketapang lalu kembali ke Surabaya lagi. 

    Selain itu, para pedagang juga mengeluhkan kerugian serupa. Warung nasi yang berada di sekitar jalan raya sekarang tampak sepi. Mariati, pemilik warung yang dilanggani para sopir, kini tidak bisa berdagang karena proses perbaikan jalan masih berlangsung. Warung milik Mariati berada di sisi barat Jalan Raya Porong, persisnya di Siring.

    “Sejak jalan raya ditinggikan, saya tidak bisa berdagang lagi. Sopir-sopir sekarang tidak ada yang mampir ke warung saya. Debu yang ditimbulkan dari pengurukan jalan raya membuat para sopir enggak mempir,” tutur Mariati, Sabtu (3/7)

    Mariati tidak tahu kapan perbaikan jalan ini selesai dilaksanakan. Dan kalaupun selesai, Mariati ragu apakah masih boleh berdagang di tempat semula, karena sekarang tempatnya sudah dibongkar dan ikut ditinggikan. “Saya sudah sepuluh hari lebih tidak berjualan, dan tidak tahu kapan berjualan lagi. Saya masih ragu apakah bisa berjualan di situ lagi jika jalan yang diperbaiki sudah selesai,” ujarnya. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Satu Cukup, Tiga Kurang

    Satu Cukup, Tiga Kurang

    Sidoarjo – Dibantu istri dan anak pertamanya, Damin Rodi (39), tampak semangat membuat adonan mie ayam di dapur rumahnya di Mindi, Porong, Sidoarjo. Tubuhnya yang tambun dan berkulit putih itu penuh keringat, anak istrinya juga.

    “Sebelum ada Lapindo cuma saya yang bikin adonan mie. Setelah ada Lapindo saya mengajak anak istri saya karena kini kami punya tiga warung mie ayam,” Kata Damin di tengah kesibukannya.

    Dulu, kata Damin, satu warungnya di kompleks pertokoan Porong punya banyak pelanggan, terutama orang yang tiap hari beraktifitas di pertokoan tersebut.

    Kini Porong akrab dengan macet dan debu. Orang jadi malas belanja di Porong. Pelanggan-pelanggan Damin perlahan meninggalkannya. Warung menjadi sepi dan Damin merugi. “Saya sempat bertahan tapi selalu merugi”. Kata pria dua anak itu.

    “Jelas karena lumpur Lapindo.” Kata Damin ketika ditanya apa penyebab kerugian itu.

    Di saat kondisi yang kian sulit, Damin memutuskan membeli dua gerobak lagi untuk menambah penghasilan. Ironisnya, tiga warung mie ayam yang ia miliki kini tak banyak memberi perubahan ekonomi keluarga.

    “Waktu, tenaga  dan pikiran kami banyak terkuras untuk tiga warung, tapi tak seimbang dengan penghasilan yang kami dapat.” Tambahnya.

    Damin tak mau larut dalam kesedihan. Ia akan tetap berjualan mie ayam selama ia mampu melakukannya. Dua gerobak tambahan yang dibelinya terbukti tak mampu menahan dampak lumpur Lapindo.

    Berapa warung mie ayam yang sebenarnya dibutuhkan Damin dan keluarga untuk mengembalikan perekonomian keluarga? (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Warga Gugat Bupati

    Warga Gugat Bupati

    Terkait Ganti Rugi Relokasi
    SIDOARJO – Lima warga yang mewakili ratusan warga Desa Kesambi Porong dan Ketapang Tanggulangin yang tanahnya terkena proyek relokasi jalan arteri serta jalan Tol Porong, menggugat Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Mereka juga menggugat Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Sidoarjo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sedangkan turut tergugat adalah PT Sucofindo Appraisal Utama.

    Warga menilai para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan merubah harga penawaran ganti rugi berkali-kali. Akibatnya penggugat mengalami kerugian materi dan immateri.

    Sidang gugatan ini rencananya digelar di PN Sidoarjo, Rabu (30/6) dengan agenda mediasi. Namun sidang ditunda karena pihak BPLS tidak ada yang hadir.

    Sejumlah warga yang ingin mengikuti jalannya persidangan terlihat kecewa, karena sidang batal digelar. Namun mereka berjanji akan tetap mengikuti jalannya persidangan kapan pun digelar.

    “Kami siap menungu. Setahun pun kami tetap menunggu,” ujar Kastawi, Tim Advokasi LSM Solidaritas Rakyat (Sorak) yang mendampingi warga.

    Ia menjelaskan, gugatan itu dilayangkan pada para tergugat karena tidak membeber harga taksiran dalam pembebasan lahan relokasi infrastruktur itu. Padahal sesuai aturan, taksiran harga ini mesti disebut sebagai dasar musyawarah menentukan besarnya ganti rugi. “Namun faktanya, mereka justru menawar lahan kami,” ujarnya.

    Karena itu, warga menilai para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengubah harga penawaran ganti rugi sejak tahun 2007 hingga tahun 2009.

    Kastawi menyatakan, para tergugat tidak mempunyai standar penawaran harga yang jelas dan transparan. Padahal, para tergugat memiliki dasar perhitungan ganti rugi sebagaimana yang dikeluarkan tim appraisal independen.

    Para penggugat juga telah meminta informasi P2T Sidoarjo terkait hasil penilain tim appraisal, namun ditolak. Mereka juga meminta informasi itu ke Bupati Sidoarjo dan BPLS, lagi-lagi juga ditolak dengan alasan tidak jelas. Akibatnya, musyawarah antara para penggugat dan tergugat tidak pernah terlaksana dengan baik.

    Akibatnya, warga menilai perbuatan para tergugat merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Perpres No 65/2006 Jo Perpres 36/2005 pasal 1 angka 6. “Intinya komunikasi harus dua arah,” bebernya.

    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain mengaku belum tahu tentang adanya gugatan tersebut. Pihaknya juga belum menerima surat panggilan untuk menjalani persidangan.

    Menurutnya, BPLS juga bukan bagian dari panitia pengadaan tanah. “Hanya saja dana pembebasan lahan tersebut diambilkan melalui pos BPLS. Namun pas pencairan, ya langsung ditransfer ke rekening warga,” bebernya.(nain)

    (c) surya.co.id

  • Gelar Aksi, Warga Menuntut Kejelasan Ganti Rugi

    Gelar Aksi, Warga Menuntut Kejelasan Ganti Rugi

     

    Dalam pertemuan dengan korban lumpur Lapindo, Ketua Pansus  Lumpur Lapindo, Sulkan, menyatakan sependapat bila ganti rugi terhadap korban lumpur ditalangi dulu oleh pemerintah, karena sudah empat tahun warga dihadapkan dengan ketidakpastian soal ganti ruginya. “Sudah empat tahun kasus Lapindo berjalan, seharusnya pemerintah menalangi dulu dari uang APBN, karena warga sudah sangat menderita,” ucap Sulkan.

    Sulkan juga mengatakan, Pansus akan memfasilitasi korban untuk mendesak tututannya ke Jakarta menemui presiden. Mengenai waktu, akan dibicarakan ulang dengan perwakilan korban. “Komitmen kami, Pansus akan memfasilitasi tuntutan korban Lapindo untuk bertemu presiden dan akan kita kawal sampai berhasil,” tegas Sulkan.

    Setelah bertemu dengan Ketua Pansus Lumpur Lapindo, perwakilan korban bertemu dengan Bupati Sidoarjo Win Hendarso, untuk meminta dukungan. Akan tetapi, bupati yang sebentar lagi lengser ini mengaku tidak bisa berbuat banyak. Menurut Win Hendarso, semua persoalan sudah ditangani Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan pemerintah pusat.

    “Saya tidak bisa berbuat banyak dengan tuntutan korban. Apalagi minta dana talangan, semua urusan Lapindo sudah ditangani BPLS dan pemerinta pusat. Dan soal dana talangan, saya jauh-jauh hari sudah menyurati presiden soal dana talangan, tapi sampai saat ini belum ada jawabanya,” tegas Win.

    Untuk mendesakkan tuntutan lebih lanjut, warga dalam waktu dekat ini akan datang ke Jakarta dengan difasilitasi Pansus Lumpur Lapindo. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Penantian Budi yang Tidak Kunjung Berbalas Budi

    Penantian Budi yang Tidak Kunjung Berbalas Budi

    SIDOARJO – Mengenakan sorban ala habib, Budi duduk di trotoar jalan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (24/6). Air mineral di gelas yang dia pegang tinggal separo. Poster bernada protes yang semula diangkat, kini hanya ditaruh di sisinya.

    Budi adalah salah seorang dari sekitar 100 pengunjukrasa yang pada Kamis siang (24/6) menuntut sisa pembayaran 80 persen secara tunai dari PT Lapindo Brantas. Budi, bekas warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, tak sudi mengikuti skema cicilan Rp 15 juta tiap bulan yang ditawarkan Lapindo.

    Bersama budi ada sekitar 60 kepala keluarga yang tergabung dalam kelompok “77 berkas” (sebutan kelompok yang menuntut ganti rugi cash and carry). “Kami maunya dibayar tunai seperti komitmen Lapindo dan Presiden, bukan diincrit-incrit (dicicil),” ujar Budi.

    Budi menilai, skema cicilan yang saat ini digunakan Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya untuk membayar ganti rugi, sama saja dengan melanggar Kepres 14/2007. Karena itu Budi dan kelompoknya bersikeras meminta sisa 80 persen itu dibayar tunai. “Saya berdosa kalau melanggar aturan,” tutur Budi yang saat ini mengontrak rumah di Desa Kedungkambil, Kecamatan Porong.

    Untuk menuntut haknya itu, Budi dan kawan-kawannya telah puluhan kali berunjukrasa ke Istana Negara. Setiap kali berangkat ke Jakarta, mereka merogoh kantong sendiri. Berunglah mereka, karena tidak harus membiayai akomodasi. Selama di Jakarta, mdereka ditampung di kantor YLBHI, KontraS dan Komnas HAM. “Kami demo sampai subuh. Kalau ada rekor MURI demo terlama kami inilah pemenangya,” ucap Budi tanpa ekspresi.

    Harapan Budi sempat tesembul saat dia dan beberapa warga korban lumpur dipanggil ke kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas tahun lalu. Di hadapan mereka, menurut Budi, Presiden SBY berjanji akan menuntaskan seluruh ganti rugi, baik yang mengikuti skema cicilan atau cash and carry. “Saya dengar sendiri beliau berkata begitu,” kata Budi.

    Kini, empat tahun berselang sejak Budi terusir dari rumahnya, janji Presiden itu tidak terwujud. Budi bahkan menemukan foto di koran bergambar SBY tengah bersalaman dengan Aburizal Bakrie dalam kapasitas sebagai ketua dan ketua harian Sekretariat Gabungan Koalisi Partai pendudkung pemerintahan SBY.

    Foto itu menginspirasi Budi untuk membuat karikatur berupa wayang dari bahan kardus bekas. Tampak dua orang berwajah lucu sedang berjabat tangan. Di bagian bawah gambar karikatur, Budi menulis: “Kolaborasi penguasa-pengusaha, rakyat sengsara.”

    Karikatur itu turut dibawa Budi saat happening art di tanggul lumpur dalam rangka peringatan empat tahun semburan lumpur, 29 Mei lalu. “Karikatur saya diminta seniman Yogyakarta untuk dipamerkan di sana.” KUKUH S WIBOWO.

    (c) TEMPO Interaktif

  • Stikosa-AWS Gelar Solidaritas Untuk Korban Lapindo

    Stikosa-AWS Gelar Solidaritas Untuk Korban Lapindo

    Pria itu dilemparkan dan tenggelam ke dalam kolam, sambil berusaha berenang dia berteriak “Dimanakah keadilan itu ……”, berulang kali dia berusaha keluar dari kolam itu, tapi dia tidak mampu, dia terus berkubang didalamnya. Itulah sebuah fragmen teatrikal berjudul “Tumbal Kekuasaan” yang dibawakan oleh Teater Lingkar dalam kegiatan solidaritas untuk korban lapindo yanng dinamai “Suara Kita Untuk Korban Lumpur lapindo” yang digagas oleh HIMMARFI (Himpunan Mahasiswa Penggemar Fotografi) dan Teater Lingkar, keduanya adalah Unit aktivitas mahasiswa Stikosa-AWS Surabaya. Kisah yang dibawakan ini seperti menggambarkan bagaimana korban lumpur Lapindo menderita ketika hidup mereka tenggelam dalam genangan lumpur lapindo, dan teriakan dimanakah keadilan yang membelah malam itu serupa dengan pertanyaan usang yang selalu di teriakkan korban lapindo selama 4 tahun kasus semburan lumpur lapindo ini berjalan.

    Ketua Panitia kegiatan ini Wefrido Yoga (23 tahun), menyatakan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari usaha mahasiswa Stikosa-AWS turut bersolidaritas terhadap kondisi korban lumpur Lapindo yang belum juga selesai. “Kepedulian ini adalah nilai sosial yang kuat, meskipun kami di Surabaya, kami dan korban Lapindo sama-sama masyarakat Indonesia yang dirugikan akibat lumpur Lapindo ini” tutur Wefrido. Selain itu, kenyataan bahwa kasus semburan lumpur lapindo turut menguras APBN juga menjadi keprihatinan Wefrido juga ” Dalam pendapat saya, ini bentuk ketidakmauan (Aburizal) Bakrie untuk bertanggung jawab, akhirnya uang rakyat juga terpakai, dan dampaknya meluas baik kepada manusia juga lingkungan lebih besar” terang mahasiswa jurusan jurnalis Stikosa-AWS ini.

    Sebelumnya, kegiatan ini diawali dengan diskusi dan bedah buku 29 Cerita Menentang Bungkam. Buku yang ditulis sendiri oleh anak-anak muda korban Lapindo ini mendapat tanggapan hangat dari beberapa mahasiswa Stikosa-AWS. Tiga orang penulis buku ini menceritakan tentang pengalaman mereka dan korban-korban Lapindo yang menjadi narasumber penulisan buku tersebut. Setelah diskusi dan bedah buku selesai, anak-anak korban Lapindo asal desa Besuki yang tergabung di sanggar Alfaz menampilkan kreasi kolaborasi musik, tari dan Puisi. Seperti gugatan yang tak putus-putusnya diteriakkan, anak-anakini menceritakan bagaimana hancurnya kehidupan mereka setelah semburan lumpur Lapindo merenggut desa dan sekolah mereka. Bergantian mereka bernyanyi, menari dan membacakan puisi tentang nasib mereka. 

    Samsul Huda (18 Tahun) salah satu pendamping Anak sanggar AlFaz mengatakan sangat senang dengan kegiatan ini ” Ini kegiatan yang baik, karena anak-anak bisa lebih mengenal dunia luar dan mencari pengalaman baru.” Samsul berharap pada acara ini mahasiswa stikosa bisa membantu korban lapindo untuk ikut mendesak pemerintah dan lapindo. “Saya harap dalam acara ini teman-teman mahasiswa bisa ikut memperjuangkan penderitaan korban yang selama 4 tahun masih terbengkalai”.katanya.

    Kegiatan yang bertema “Mencari Wajah Kemanusiaan” ini berlangsung selama tiga hari, mulai tanggal 14-15 juni 2010 di kampus Stikosa-AWS, dan tanggal 18 Juni 210 yang direncanakan berlangsung di Taman Bungkul Surabaya. Dari acara ini, diharapkan masyarakat luas dapat mengetahui bahwa sampai 4 tahun berjalan, permasalahan semburan lumpur Lapindo masih menyisakan masalah yang belum juga usai. “Saya berharap setelah empat tahun ini, segera bisa diselesaikan permasalahan semburan lumpur Lapindo dengan lebih cepat” tutup Wefrido.

  • Semburan Minyak Teluk Meksiko Versus Lapindo

    Semburan Minyak Teluk Meksiko Versus Lapindo

    Para ahli dan teknisi British Petroleum (BP) berjuang keras menutup kebocoran sumur bawah laut di Teluk Meksiko. Mereka berjibaku sejak 20 April lalu, saat pertama kali pipa minyak bocor. Mereka optimistis kebocoran bisa dihentikan agar pesisir pantai Amerika Serikat tidak tercemar berat oleh tumpahan minyak. Tak ingin reputasinya hancur, BP menempuh segala hal, termasuk menyediakan dana miliaran dolar, guna menjinakkan semburan. BP terancam diseret ke meja hijau jika terbukti melanggar (Koran Tempo, 3 Juni). (more…)

  • BPLS Nyatakan Siap Membuka Informasi Kepada Publik

    BPLS Nyatakan Siap Membuka Informasi Kepada Publik

    Surabaya – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan siap menyambut berlakunya UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ditemani jajarannya di kantor BPLS pada hari rabu (9/6/10), Ketua Badan Pelaksana BPLS, Soenarso menyatakan bahwa pihaknya siap memberikan informasi kepada publik yang membutuhkan informasi terkait semburan lumpur Lapindo “Kami tentu saja akan memenuhi amanat undang-undang untuk mendukung keterbukaan informasi publik” jelas Soenarso. Dwinanto Prasetyo, staf IT dan pelaporan dalam kesempatan tersebut juga menyatakan bahwa BPLS tengah menata informasi yang dibutuhkan untuk menyongsong berlakunya UU KIP “Kami sedang memilah, informasi-informasi mana saja yang harus tersedia seketika, serta merta untuk diakses publik dan mana yang tidak” tutur Dwinanto.

    Terkait dengan masih kurangnya penyebaran informasi terutama kerentanan wilayah di sekitar semburan lumpur Lapindo, Soenarso menyatakan bahwa BPLS telah berusaha menginformasikan hal tersebut kepada masyarakat, namun kalaupun dianggap kurang, pihak BPLS menyatakan terbuka untuk dimintai keterangan dan informasi publik terkait wilayah semburan lumpur Lapindo. “Kita terbuka untuk dimintai informasi oleh masyarakat luas” terang Soenarso. Sementara itu, ketika dikonfirmasi tentang tidak adanya data korban lumpur Lapindo yang menerima kompensasi atas hilangnya lahan dan bangunan yang mutakhir dan cepat diakses publik, pihak BPLS berkelit bahwa mereka hanya bisa mendapat data dari pihak Minarak Lapindo Jaya, sehingga arus informasi mengenai kelanjutan pembayaran aset warga di dalam peta berdasar Perpres 142007, menjadi bergantung kepada Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab.

    Sayangnya hingga sekarang, belum ada bagian khusus dalam BPLS yang bertugas menangani permintaan informasi, untuk hal ini, Soenarso berdalih bahwa pihaknya sedikit demi sedikit akan menata itu, tapi tetap akan memberikan layanan informasi yang mudah diakses. “Undang-undangnya masih baru, jadi kami juga sedang menata arus informasi sedikit-demi sedikit” lanjut Soenarso.

    Dengan berlakunya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan hak atas informasi terkait hajat hidup mereka. Masyarakat, terutama korban Lapindo berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi di wilayahnya, korban Lapindo berhak meminta tanggapan dari Pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak-hak asasi korban, tak terkecuali hak atas informasi. (cek)

    (c) Kanal News Room

  • Desa Jatirejo Siaga Satu

    Desa Jatirejo Siaga Satu

    SIDOARJO –  Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), mengimbau masyarakat Desa Jatirejo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo, menjauhi lokasi bangunan bagian dapur rumah yang ambles.

    “Apalagi kondisi dapur rumah yang ambles tersebut berada di tepi Jalan Raya Porong dengan arus lalu lintas yang cukup tinggi,” kata Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnaen, Sabtu (5/6).

    Imbauan tersebut dikeluarkan dengan alasan kondisi tanah di sekitar dapur rumah yang ambles itu sangat mungkin meluas.

    Diterangkan, kondisi permukaan tanah yang berada di sebelah barat pusat semburan tidak stabil, dan dari amblesnya rumah tersebut dapat diketahui jika arah patahan di bawah tanah dari pusat semburan mengarah ke barat. Sebelumnya, kejadian rumah ambles ini terjadi di Desa Siring.

    “Kami juga memasang garis pembatas dengan jarak lebih dari lima meter dari lokasi dapur rumah warga yang ambles,” tegas Zulkarnaen.

    Selain imbauan meninggalkan dapur, BPLS juga meminta warga tidak menyalakan api di dekat lokasi dapur ambles itu.

    Amblesan tanah ini ternyata tidak hanya mengancam Desa Jatirejo dan Siring tetapi juga mengancam beberapa desa yang ada di sekitarnya.

    “Desa-desa tersebut diantaranya Siring dan Mindi yang saat ini memang sudah tidak layak ditempati warga lagi,” katanya.

    Di beberapa desa tersebut, kata dia, juga sudah sering muncul semburan baru disertai dengan semburan gas yang mudah terbakar. Namun dilapangan gas-gas yang mudah terbakar tersebut, juga digunakan oleh warga untuk keperluan memasak setiap harinya.

    Zulkarnaen juga tidak menyangkal bahwa semburan gas dan lumpur tersebut juga berakibat pada buruknya kualitas air sumur milik warga.

    (c) SURYA Online

  • Empat Tahun Bersama Racun Lapindo

    Empat Tahun Bersama Racun Lapindo

    Bambang Catur Nusantara – Awal Januari 2010 gelembung-gelembung gas mulai menyeruak dari halaman rumah Irsyad. Mantan petani dari Besuki Timur ini terkaget-kaget.

    Ia sangat cemas karena gas ini menyala saat tersulut api. Meski hanya berlangsung beberapa hari, kejadian ini bisa menunjukkan betapa ia dan warga Besuki Timur, Ketapang, Mindi, Jatirejo Barat, Siring Barat, Gedang, dan desa-desa di sekitar pusat semburan hidup sangat tidak aman. Selama empat tahun, tak kurang dari 180 semburan dan gelembung gas dijumpai. Kondisinya dibiarkan, beberapa ditangani, selebihnya hanya ditandai papan bertulis berbahaya.

    Emisi gas hidrokarbon pada semburan dan gelembung yang ditemukan di Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi mencapai 441.200 ppm, delapan puluh kali lipat lebih di atas ambang baku yang hanya 5.000 ppm (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003). Adapun batas ambien pada udara 0,24 ppm dilampaui dengan adanya temuan hingga 55.000 ppm, yang berarti 229.100 kali lipat dari ambang baku. Temuan tim pelaksana pemantauan permukiman bentukan Gubernur Jawa Timur tahun 2008 ini ditindaklanjuti dengan surat rekomendasi kepada Presiden.

    Apa lacur, Presiden mengeluarkan Perpres No 48/2008 yang justru menunjuk daerah lain sebagai prioritas terdampak. Baru tahun 2009 dikeluarkan Perpres No 40/2009 yang mengatur evakuasi melalui bantuan sosial bagi warga di wilayah Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi (tiga RT).

    Dengan pembiaran kondisi sejak lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, tidak mengherankan jika ditemukan peningkatan jumlah penderita ISPA di Porong. Berdasar data puskesmas setempat, penderita ISPA tahun 2007 tercatat 46.652 warga, meningkat dua kali lipat dari tahun 2006 yang hanya sekitar 23.000. Buruknya kualitas air juga menunjukkan dampak peningkatan pasien perempuan dengan gangguan kesehatan reproduksi. Tren ini tahun 2008 tercatat pada pos layanan kesehatan Puskesmas Jabon yang pernah ada di wilayah pengungsian eks Tol Besuki.

    Bahaya logam berat

    Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim melalui riset kandungan logam berat dan polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) juga menunjukkan dilampauinya ambang batas kelayakan. Logam berat jenis kadmium (Cd) dan timbal (Pb) ditemukan melebihi baku mutu pada seluruh 20 titik sampel pada 2007/2008 dengan jumlah rata-rata mencapai 0,3063 miligram per liter (mg/l), atau 100 kali lipat lebih di atas ambang baku mutu yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No 907/2002 yang hanya 0,003 mg/l. Adapun kandungan kromium (Cr) dan tembaga (Cu) masih di bawah ambang baku.

    PAH jenis crysene juga ditemukan melebihi baku hampir di seluruh titik sampel di area lumpur dan kawasan sekitarnya, sedangkan Ben(z)anthracene ditemukan di tiga titik sampel. PAH merupakan senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsinogenik. Tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, tetapi dalam sistem metabolisme tubuh akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker (UNEP, 2001). Dampaknya juga tidak bisa dilihat seketika. Butuh waktu 5 hingga 10 tahun untuk menemukan potensi kanker paru-paru; kanker kulit; dan kanker kandung kemih bagi manusia yang pernah terpapar dalam waktu lebih dari delapan jam.

    Kematian Ibu Jumi, Tiyami, Luluk, Sutrisno, Yakub, dan beberapa warga lainnya pada kurun 2008-2009 dengan sebab yang tidak terdiagnosa jelas seharusnya menjadi catatan penting bagi aparatus pemerintah untuk melakukan tindakan khusus dan memonitor secara intensif. Ibu Jumi membesar perutnya setelah setahun semburan lumpur, setahun berikutnya ia meninggal.

    Asal lumpur dari kedalaman lebih dari 9.000 kaki juga patut dicurigai membawa segala macam kandungan mineral dan berbagai zat berbahaya lainnya. Ditemukannya logam berat, berbagai jenis hidrokarbon, dan PAH tak menutup kemungkinan masih dapat dijumpai jenis senyawa radioaktif yang memiliki dampak lebih signifikan.

    Pengolahan lumpur sebelum digelontor ke laut melalui Sungai Porong juga harus dilakukan. Jika tidak, keseluruhan wilayah Selat Madura akan tercemar (Walhi, 2006). Apalagi tambak-tambak yang menggantungkan pasokan air tawar dari sungai porong dan air laut Selat Madura. Produksi udang organik terbesar dari wilayah timur Sidoarjo, dengan nilai ekspor sekitar Rp 800 miliar per tahun, juga tak mungkin dapat dipertahankan jumlah dan kualitasnya.

    Hasil panen bandeng yang telah merosot pada tambak-tambak di Permisan dan sekitarnya merupakan indikator kuat tidak normalnya kualitas air. Bisa dibayangkan, jika kandungan logam berat dan zat-zat berbahaya lainnya terakumulasi secara terus-menerus pada biota yang dikonsumsi, maka dampak lumpur Lapindo akan kian meluas.

    Kerusakan ruang hidup dan hilangnya aset warga yang penyelesaiannya hanya dinilai sebatas material tanah dan bangunan adalah penghinaan logika. Sawah milik Irsyad sebagai lahan produksi yang tidak bisa diolah sejak tahun pertama semburan hanyalah satu dari sekian puluh ribu lahan warga yang terdampak lumpur. Sekitar 80-an hektar sawah yang pernah terendam lumpur di desa Besuki tidak menyisakan syarat tumbuh bagi padi. Irsyad dan petani lain pernah sekali mencoba. Meski padi tumbuh hidup, tidak ada bulir padi yang dihasilkan. Pemerintah dan perusahaan setali tiga uang melihat dampak lumpur hanya terkait dengan kerusakan fisik yang ada. Irsyad dan ribuan warga lain yang wilayahnya tidak masuk dalam peta terdampak 22 Maret 2007 tidak pernah dilihat sebagai korban.

    Tindakan mendesak

    Racun dan kandungan berbahaya tentu tidak bisa diselesaikan dengan papan pengumuman tanda bahaya. Kehancuran ekologis kawasan muara Sungai Porong, pesisir timur Sidoarjo, dan Selat Madura juga tidak bisa disulap dengan melakukan pembangunan fisik sepanjang tepian sungai. Apalagi menutupi bahaya dan risiko lumpur Lapindo dengan program turisme yang dicanangkan atau sulap dengan melakukan pembangunan fisik sepanjang tepian sungai.

    Pengalokasian uang rakyat hingga Rp 7,210 triliun sampai tahun 2014 dalam Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah untuk penanganan lumpur Lapindo tidak akan pernah cukup ketika berhitung dampak-dampak yang kompleks dan meluas. Penanggulangan dan pemulihan yang dilakukan senyatanya hanya untuk pencitraan.

    Tindakan untuk mencari tahu zat-zat berbahaya, pemulihan kualitas lingkungan, pemeriksaan medis, dan pemulihan ekonomi sosial warga seharusnya dilakukan tanpa menunggu kondisi lebih buruk. Evakuasi warga dan pembatasan kunjungan pada wilayah berbahaya di sekitar semburan lumpur dan gas mutlak dilakukan.

    Bambang Catur Nusantara Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur

    artikel ini pernah dimuat (c) KOMPAS cetak

  • Lumpur Lapindo dan Hukum Usang

    Lumpur Lapindo dan Hukum Usang

    Subagyo – Tanggal 29 Mei 2010 merupakan ulang tahun keempat bubur lumpur Lapindo di Sidoarjo. Data penghancuran ekologi (termasuk manusia di dalamnya) di Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon, Sidoarjo, itu mudah didapatkan di internet. Hingga akhir 2009 sekitar Rp 4 triliun uang negara (APBN) tersedot di situ.

    Kasus lumpur itu menjadi salah satu bukti kedigdayaan Grup Bakrie, yang membuat hukum negara ini lumpuh tak berdaya, menjadi barang usang.

    Walhi pernah mengajukan gugatan perdata kepada Lapindo Brantas Inc, korporasi terkait, serta pemerintah. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Walhi dengan alasan bahwa semburan lumpur Lapindo terjadi karena bencana alam.

    Hakim menggunakan keterangan ahli yang diajukan pihak Lapindo sebagai alat bukti, padahal keterangan ahli itu bukan alat bukti dalam hukum acara perdata. Itu melanggar standar hukum pembuktian menurut Pasal 1886 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Pasal 164 Herzienne Inlandsche Reglement (HIR).

    Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 29 Mei 2007, yang mengandung hasil audit kinerja operator Blok Brantas itu, sama sekali tidak digubris. Padahal, audit BPK merupakan alat bukti akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum sempurna, dalam hukum acara perdata.

    Gugatan YLBHI juga kandas. Mulanya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa Lapindo telah lalai (salah) dalam melakukan pengeboran. Namun, putusan itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung (MA).

    Setelah itu, Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim), pada masa Kapolda Anton Bahrul Alam, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perkara pidana Lapindo. Padahal, Kapolda Jatim sebelumnya, Herman S Sumawiredja, amat yakin bahwa Lapindo bersalah sehingga sudah menetapkan 13 tersangka.

    Menurut buku hukum acara pidana (KUHAP), tersangka boleh ditetapkan jika alat buktinya cukup. Lalu, mengapa alat bukti yang cukup itu berubah menjadi tidak cukup?

    Kejaksaan sukses menjadi penjaga gawang agar perkara pidana Lapindo tidak masuk ke pengadilan. Caranya, Kejaksaan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Polda Jatim secara berulang-ulang, dengan petunjuk (P 19) yang berubah-ubah, beranak-pinak. Apakah semua itu atas kehendak penguasa kapital? Sudah bukan rahasia lagi hukum Indonesia memang gampang dibeli.

    Kini, bola hukum perkara Lapindo tinggal di tangan Komnas HAM. Tim Adhoc Pelanggaran HAM yang Berat dalam Kasus Lumpur Panas Lapindo masih bekerja untuk menemukan alat bukti pelanggaran HAM berat perkara lumpur itu, termasuk adanya unsur ”kesengajaan”.

    Dalam perkara Lapindo, Lapindo dan pejabat yang memberi izin pengeboran gas bumi di Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) Porong itu jelas sengaja melanggar hukum. Jarak sumur pengeboran itu dengan permukiman penduduk terlalu dekat (menurut BPK, sekitar lima meter).

    Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia Nomor 13-6910-2002 tentang Operasi Pengeboran Darat dan Lepas Pantai di Indonesia, sumur-sumur pengeboran harus berjarak sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, perumahan, atau tempat-tempat lain di mana sumber nyala dapat timbul.

    Pengeboran sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). Peruntukan lokasi tanah Sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non kawasan, bukan untuk pertambangan.

    Ketika hal itu ditanyakan kepada Imam Utomo, Gubernur Jatim waktu itu, apakah itu terkait perubahan RTRW Provinsi Jatim, dia melemparkan pertanyaan kepada Bupati Sidoarjo. Lalu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso melemparkan tanggung jawab ke pemerintah pusat (BP Migas) yang memberikan rekomendasi izin tersebut.

    Pihak Lapindo dan pejabat yang memberikan izin secara hukum dianggap sengaja melakukan pengusiran penduduk sipil karena pengeboran di sumur BJP-1 yang berdekatan dengan permukiman penduduk, akibatnya sudah bisa dipikirkan sejak semula jika terjadi kecelakaan pengeboran.

    Penjajahan modern dilakukan korporasi. Senjata nasionalisme jadi tidak mempan, apalagi jika penjajahnya bangsa sendiri, yang menggunakan otak para ahli putra-putri negeri sendiri. Apa kita akan menyerah begitu saja?

    Subagyo Advokat; Mantan Anggota Tim Investigasi Komnas HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

    (c)cetak.kompas.com

  • Lumpur Lapindo: 4 Tahun Pembiaran

    Lumpur Lapindo: 4 Tahun Pembiaran

    SURABAYA – Selama 4 tahun lumpur lapindo tidak saja menghilangkan ruang hidup puluhan ribu warga, namun juga rusaknya lingkungan yang ada di sekitar semburan. Tidak adanya jasa layanan alam di wilayah Porong dan sekitarnya merupakan indikator meluasnya dampak kandungan berbahaya lumpur lapindo. Sawah-sawah dan tambak-tambak tidak lagi bisa didayagunakan sejak semburan lumpur terjadi daan pembuangannya ke sungai porong. Badan-badan publik yang menangani banyak sektor terkait lumpur lapindo juga cenderung tertutup dalam memberikan informasi terkait masalah lumpur lapindo. Cukup sulit bagi warga maupun masyarakat mendapatkan informasi detail dari dinas-dinas maupun departemen terkait. 

    Padahal informasi terkait tingkat hidrokarbon di udara yang telah mencapai 55.000 ppm, dari ambang batas normal yang hanya 0,24 ppm sangat penting untuk diketahui masyarakat. Data ini berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Jawa Timur tanggal 24 Maret 2008. Kondisi yang menyebabkan meningkatnya penderita ISPA pada tahun 2007 hingga lebih dari 46 ribu jiwa, 2 kali lipat dari penderita tahun 2006 yang hanya 23ribu, harusnya diinformasikan sejak awal.

    Kandungan hidrokarbon yang sedemikian tinggi dapat mengakibatkan sesak nafas bahkan tercekik pada manusia. Pada kandungan 1000 ppm saja, paling lama 8 jam waktu yang aman terpapar gas ini. Sementara korban semburan lumpur Lapindo sudah bertahun-tahun dibiarkann tinggal bersama gas hidrokarbon sekitar mereka. Tidak heran jika kemudian terjadi kematian warga yang tidak terdiagnosa dengan baik penyebabnya. Walhi Jawa Timur mencatat sekurangnya 5 warga telah meninggal akibat buruknya kondisi lingkungan yang ada.

    Berdasar temuan awal riset WALHI Jawa Timur, ditemukan pula tiga jenis logam berat dalam lumpur, yaitu Tembaga, Timbal, dan Kadmium. Dan rata-rata kandungannya lebih dari 2000 kali batas baku yang diperbolehkan. Ditemukan pula jenis Polycyclic Aromatic Hydrocarbon(PAH), yaitu Crysene dan Benz(a)anthracene dalam lumpur lapindo.. Senyawa kimia ini bersifat karsinogenik atau memicu terjadinya tumor dan kanker dengan pengaruhnya pada metabolisme tubuh. Senyawa PAH ini sulit terurai di air, lumpur, maupun ketika menjadi debu. ‘Bisa dibayangkan bagaimana nasib kedepan warga yang selama ini hidup bersama gas-gas berbahaya ini selama 4 tahun’, ungkap Bambang Catur Nusantara, direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.

    Dengan daya rusak yang demikian kompleks dan meluas, selayaknya pemerintah lebih serius menangani lumpur lapindo. Tidak saja pada fisik infrastruktur maupun hilangnya aset warga, namun secara keseluruhan ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan pemulihan lingkungan. ‘Korban lapindo berserak dimana-mana tanpa penanganan yang pasti dari pemerintah, harusnya monitoring kualitas kesehatan dan melakukan assitensi kepada warga yang sedang memulihkan hidup mereka’, tegas Catur. Langkah-langkah inisiatif tidak perlu menunggu hingga kondisi lebih buruk terjadi. Masalah lumpur lapindo sangatlah serius, tidak selayaknya pemerintah hanya menangani sebatas kerusakan infrastruktur saja. Perencanaan, tindakan, dan informasi yang akurat terkait berbagai penanganan dampak yang bisa ditimbulkan harus disajikan oleh pemerintah agar masyarakat bisa paham situasi yang terjadi.

    Pemerintah juga harus mendesak Lapindo Brantas menyelesaikan kewajiban mereka yang telah terlambat bertahun-tahun memberikan penggantian atas hilangnya aset hidup warga. Penggunaan uang rakyat melalui APBN yang telah mencapai 4 triliun dan pengalokasian sejumlah lebih dari 7 triliun untuk lima tahun kedepan juga harus diperjelas penggantiannya oleh Lapindo Brantas. Pemerintah memiliki kewenangan memaksa kepada perusahaan untuk segera menyelesaikan kewajiban. Jika tidak segera dilakukan, warga yang telah dihancurkan ruang hidupnya akan semakin tidak jelas nasibnya.

    Untuk mengingatkan kondisi 4 tahun semburan lumpur yang karut marut, Walhi Jawa Timur mendukung upaya warga untuk melawanan pembungkaman dengan bersama-sama menerbitkan buku 29 cerita korban lumpur yang ditulis oleh kaum muda korban lapindo dan akan di launching pada 29 Mei di desa Besuki, Jabon. Buku yang mengungkap cerita dampak ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan pendidikan ini akan mengingatkan semua pihak untuk melihat resiko industri migas. Dengan buku ini, warga di wilayah lain juga bisa belajar lebih kritis terhadap aktivitas industri migas dan melakukan perlawanan sebelum resiko seperti lumpur lapindo terjadi. ‘Wilayah seperti Jombang, selayaknya melawan aktivitas perusahaan migas yang saat ini sedang melakukan uji seismik lebih dari 10 ribu titik di 18 kecamatan wilayah itu’, pesan Catur.

    Siaran Pers Walhi Jawa Timur

    (c) kanal News Room