Blog

  • Tuntut Hak, Warga Gelar Istighosah

    Tuntut Hak, Warga Gelar Istighosah

    SIDOARJO – Puluhan korban lumpur Lapindo melakukan istighosah di Desa Siring Barat, Porong, Sidoarjo. Hal ini dilakukan warga Siring Barat sebagai bentuk solidaritas untuk mendukung perjuangan rekan-rekan mereka yang telah empat hari berjuang di Jakarta.

    “Sudah tiga hari ini kami mengadakan istighosah di Siring Barat”, kata Didik (50), warga Siring Barat. Didik juga mengatakan, korban yang berjuang di Jakarta adalah perwakilan dari empat desa yaitu Siring Barat, Jatirejo Barat, Besuki Timur dan Desa Mindi.

    Istighosah dilakukan warga dari pagi hingga sore hari. Siti (39), warga Siring Barat menuturkan, istighosah ini adalah salah satu bentuk aksi korban di luar peta terdampak versi pemerintah. Warga korban juga menuntut persamaan hak sebagai korban lapindo dan berhak atas pemulihan kehidupan yang layak.

    “Desa kami Siring Barat memang belum tenggelam, tapi sudah tak layak huni lagi karena muncul banyak semburan gas liar. Selain itu, kami juga harus menghirup bau lumpur yang menyengat dari pusat semburan Lapindo setiap hari”, kata Siti yang juga mengajak anaknya yang masih balita.

    Selain itu, istighosah ini juga dimanfatkan oleh salah satu bakal calon bupati Sidoarjo. Ditengah warga, calon incumben ini berjanji akan benar-benar memperjuankan korban Lapindo jika ia terpilih menjadi Bupati periode 2010-2015. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Hentikan Semburan Lumpur

    Hentikan Semburan Lumpur

    SIDOARJO – Pemerintah tidak boleh meninggalkan upaya menghentikan semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Ada teknologi dan peluang untuk menghentikan hal itu. Biaya untuk upaya itu juga bisa dijangkau.

    Kalangan masyarakat yang ditemui Kompas pekan lalu umumnya berpendapat, tidak adanya upaya penutupan semburan saat ini menunjukkan pemerintah tidak serius menangani semburan lumpur.

    ”Pemerintah juga tidak peduli dengan nasib korban lumpur yang makin terpuruk,” kata M Mirdasy, mantan Sekretaris Panitia Khusus Lumpur Sidoarjo DPRD Jatim.

    Dr Rudi Rubiandini, mantan Ketua Tim Penghentian Semburan Lumpur di Sidoarjo, mengatakan, semburan lumpur bukan yang pertama kali terjadi di dunia maupun di Indonesia. Ia yakin, hal itu bisa dihentikan. ”Persoalannya, siapa yang menginginkan itu terhenti? Tidak ada itikad serius dari pemerintah untuk menghentikan semburan,” kata Rudi yang juga Kepala Laboratorium Teknik Pengeboran pada Institut Teknologi Bandung.

    Rudi pernah menerapkan metode relief well saat terjadi semburan lumpur di Lengowangi, Gresik, 26 Desember 2008, yang identik dengan semburan lumpur Sidoarjo. Dalam empat hari, pusat semburan bisa dimatikan. Tiga bulan kemudian tujuh titik yang mengelilingi pusat semburan juga mati total.

    Mei 2009, metode serupa juga berhasil menghentikan semburan lumpur dan gas di lapangan Merbau Pertamina Prabumulih, Sumatera Selatan. Pada empat bulan pertama, pusat semburan bisa dimatikan. Sebulan kemudian lima titik lain mati total.

    Rudi berpendapat, metode relief well adalah pilihan terbaik untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo. Metode ini sebenarnya sudah pernah dicoba ketika semburan masih menjadi kewajiban Lapindo. Namun baru mencapai 20 persen hal itu dihentikan oleh Lapindo dengan alasan kekurangan dana.

    Menurut Rudi, rencana pembuatan tiga relief well saat itu menelan biaya sekitar 120 juta dollar AS (Rp 1,2 triliun) atau sama dengan anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) setahun.

    ”Yang dilakukan pemerintah saat ini, menumpuk tanah di tepi kolam lumpur, tidak bisa disebut penanganan karena tidak langsung ke sumber semburan. Cara itu hanya membuang-buang waktu dan biaya,” kata Rudi.

    Pernyataan serupa diutarakan pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Djaja Laksana. Djaja yakin, metode yang ia usung, yakni tabung Bernoulli, bisa menghentikan semburan lumpur. Namun, permohonan untuk melaksanakan penelitian awal belum mendapat izin dari BPLS.

    ”Saya yakin 99,99 persen cara ini berhasil menyumbat semburan lumpur. Namun, sepertinya BPLS tidak mau mendengar metode ini dan terlalu berprasangka negatif,” kata Djaja.

    Sejak penanganan semburan dialihkan dari PT Lapindo Brantas kepada BPLS berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009, sama sekali belum pernah dilakukan upaya menghentikan semburan lumpur.

    Menurut Djaja, pemerintah tak bisa bersikap menunggu lumpur berhenti dengan sendirinya karena belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa memastikan kapan semburan berhenti. Kalau itu fenomena gunung lumpur, diperkirakan butuh waktu puluhan atau bahkan lebih dari 100 tahun untuk lumpur bisa berhenti sendiri. Yang jelas, semakin lama semburan dibiarkan, sedangkan pembuangan ke Sungai Porong tidak jalan, akan semakin luas dan berat dampak sistemik yang multidimensional.

    Rugi Rp 50 miliar

    Sekarang, menurut pakar statistik ITS, Kresnayana Yahya, perekonomian Jatim rugi sedikitnya Rp 50 miliar per hari akibat semburan lumpur Sidoarjo. Kerugian terutama dari hilangnya kesempatan mendapatkan untung dan adanya tambahan biaya transportasi.

    Jatim juga kehilangan 10 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB) setiap tahun. PDRB Jatim rata-rata Rp 600 triliun per tahun. ”Potensi pertumbuhan ekonomi juga berkurang rata-rata 1 persen setiap tahun. Pertumbuhan ekonomi 1 persen berarti penambahan ribuan kesempatan kerja. Pengurangan potensi pertumbuhan berarti sebaliknya,” ujarnya.

    Kementerian Pekerjaan Umum mencatat, dulu Jalan Raya Porong rata-rata dilalui 40.000 kendaraan setiap hari. Sejak semburan terjadi, jalan itu paling banyak dilalui 20.000 kendaraan per hari. ”Nilai ekonomi dari 40.000 kendaraan itu kurang lebih Rp 100 miliar. Separuhnya hilang sejak Jalan Raya Porong macet sejak semburan,” kata Kresnayana.

    Salah satu dampak tidak adanya ikhtiar penghentian semburan adalah masyarakat Sidoarjo menjadi tidak tenang. Di samping bau menyengat dari semburan juga karena ancaman luberan lumpur. Bukan hanya masyarakat yang tinggal di seputar tanggul kolam lumpur, tetapi juga warga yang tinggal dalam radius beberapa kilometer. Apalagi ada ramalan bahwa lumpur akan sampai ke wilayah Surabaya.

    Yang paling gelisah adalah penduduk yang tinggal di sisi barat dan utara semburan, seperti warga Kecamatan Tanggulangin, Porong, Candi, dan Kota Sidoarjo, karena saat ini lumpur mengarah ke barat dan utara, akibat penurunan tanah di sisi itu.

    Hal lain, investor nyaris tidak berani masuk ke Sidoarjo. Tahun 2007, investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) minus 26 persen dan penanaman modal asing (PMA) minus 96 persen. Penurunan investasi juga dialami daerah yang harus melalui Porong (Sidoarjo), seperti Pasuruan, Malang, dan Probolinggo.

    Kalangan pengusaha properti juga ragu-ragu mengembangkan usahanya ke Sidoarjo karena minat masyarakat tinggal di Sidoarjo menurun. Bahkan, harga rumah kini merosot atau tidak laku. Padahal, semula Sidoarjo merupakan daerah penyangga Surabaya yang paling diminati pengusaha perumahan daripada Gresik, Bangkalan, maupun Mojokerto. (RAZ/APO/ANO)

    (c) kompas.com

  • Tuntut Tranparansi Harga Tanah, Warga Porong Gelar Unjuk Rasa

    Tuntut Tranparansi Harga Tanah, Warga Porong Gelar Unjuk Rasa

    SIDOARJO – Warga Kecamatan Porong dan Tanggulangin yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Rakyat (SORAK) melakukan unjuk rasa. Warga menuntut kejelasan dan transparansi harga tanah untuk jalan arteri dan Jalan Tol Porong.

    “P2T masing-masing kecamatan ingin tahu harga tanah kering, tanah basah dan bangunan. Kami tidak menuntut tetapi harganya harus transparan,” kata Korlap Aksi Daniel Maid, dalam orasinya di kantor Kecamatan Tanggulangin, Kamis (24/3/2010).

    Daniel menambahkan, selama ini masyarakat yang direlokasi untuk pembuatan jalan arteri tidak pernah diajak bersosialisasi mengenai harga tanah. Jika begitu bisa saja harga tanah dipermainkan.

    Berangkat dari Kantor Kecamatan Porong, warga kemudian beranjak menuju kantor Kecamatan Tanggulangin. Setelah berorasi di kantor Kecamatan Tanggulangin, warga akan menyampaikan aspirasinya di Pendopo Kabupaten Sidoarjo. Unjuk rasa dilakukan sekitar 100 orang yang berangkat menggunakan truk dan mobil pribadi.
    (c) Suparno detikSurabaya

  • Korban Lapindo Mengadu ke Komnas HAM

    SIDOARJO – Rombongan korban lumpur Lapindo berangkat ke Jakarta, untuk menagih janji pembayaran ganti rugi bagi dan dampak sosial lainnya. Rombongan terdiri dari 11 perwakilan korban lumpur bersama Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo. “Kami tak mendapat jaminan hidup seperti dijanjikan sebelumnya,” kata Edi Pasopang warga Desa Siring Barat, Selasa (23/3).

    Edi menyatakan seluruh warga tetap bertahan agar mendapat jaminan hidup serta ganti rugi yang layak. Meski, kawasan tersebut dikategorikan daerah berbahaya dan rawan untuk hunian. Untuk mendukung perwakilan korban lumpur, sebanyak 300 an warga Siring Barat menggelar doa bersama dan istighotsah di Balai Desa setempat.

    Menurutnya, perwakilan korban lumpur ini mewakili tiga kelompok kepentingan. Di antaranya, warga Siring Barat yang menagih janji jaminan sebesar Rp 300 ribu per jiwa. Warga Desa Mindi yang menuntut agar seluruh warga di 18 RT dimasukkan dalam peta terdampak. Serta warga Desa Besuki yang berada di timur tol agar dimasukkan dalam peta terdampak alasannya, pemukiman warga berdekatan dengan tanggul dan berbahaya.

    Warga Desa Mindi menuntut agar Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo untuk mensurvei ulang penerima bantuan. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional juga diminta untuk mendata dan mengukur ulang tanah yang berada di Desa Mindi. Desa Mindi terjepit antara tanggul penampung lumpur Lapindo serta sungai Porong. Akibatnya, kini nilai aset warga terus merosot tak terkendali. Bahkan, sejumlah perbankan menolak memberikan pinjaman dengan jaminan lahan dan bangunan di sekitar Desa Mindi.

    Rencananya, perwakilan korban Lapindo dan Pansus lumpur Lapindo akan mengadukan masalah ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Dewan Pengarah Badan Penanggolangan Lumpur Sidoarjo. “Kami akan memberikan fakta dan bukti kondisi korban yang sebenarnya,” kata ketua Pansus Lumpur Lapindo, Sulkan Wariyono.

    Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo juga menagih janji PT Minarak Lapindo Jaya untuk menyelesaikan dampak sosial yang ditimbulkan luapan lumpur Lapindo. Di antaranya membangun gedung sekolah, memperbaiki pasar baru Porong, sarana umum dan fasilitas sosial lainnya. “Banyak program dan pembangunan yang menjadi tanggungan PT Minarak Lapindo Jaya mandeg di tengah jalan,” katanya. (EKO WIDIANTO)

    (c) TEMPO Interaktif

  • Sekolah Tenggelam, Ujian Nasional Numpang

    Sekolah Tenggelam, Ujian Nasional Numpang

    32 siswa MA Khalid bin Walid mengikuti ujian nasional di rumah kepala sekolahnya di Desa Glagaharum, Porong, Sidoarjo. Hal ini dikarenakan gedung sekolah utama di Desa Renokenongo terendam lumpur sejak 24 Oktober 2008 silam.

    Sudah dua kali MA Khalid bin Walid menyelenggarakan UAN di luar gedung utama. Pada tahun 2009, sekolah ini mengadakan UAN di toko bahan bangunan dan tahun ini di rumah kepala sekolahnya yang berjarak 50 meter dari toko bahan bangunan.

    Salah satu siswa, Ika Fatma Riawanti (18) mengakui kalau rumah tempat belajarnya sekarang sangat tidak memenuhi standart untuk proses belajar mengajar. Ika juga berharap supaya pihak terkait merelokasi sekolahnya agar adik kelasnya nanti bisa melaksanakan UAN di gedung sekolah yang layak. (fahmi)

    This slideshow requires JavaScript.

  • Korban Lapindo Ujian Nasional di Rumah Warga

    Korban Lapindo Ujian Nasional di Rumah Warga

    Sidoarjo  – Puluhan siswa Madrasah Aliyah Kholid bin Walid Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jatim, terpaksa mengikuti ujian nasional (UN) di rumah salah satu warga setempat, menyusul bangunan sekolah mereka yang ditenggelamkan Lumpur Lapindo.

    Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Kholid bin Walid, Ali Masad, Senin, mengatakan, puluhan siswanya terpaksa melakukan ujian di salah satu rumah warga karena hingga saat ini pihak sekolah belum mendapatkan ganti rugi.

    “Kami terpaksa mengikuti ujian nasional di rumah warga, disebabkan kami belum punya tempat sekolah baru karena sekolah yang lama sudah ditenggelamkan lumpur,” ucapnya lirih.

    Ia menjelaskan, terdapat sekitar 25 siswa yang mengikuti UN di rumah warga di kawasan Porong ini.

    “Siswa terpaksa mengerjakan soal ujian di dalam ruangan berukuran empat kali empat meter dengan duduk saling berdekatan, karena tidak ada lagi tempat yang bisa digunakan,” tuturnya sambil mengelus dada.

    Ia menjelaskan, akibat kejadian ini pihak sekolah tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun kembali sekolah yang hilang karena ditelan lumpur.

    Untuk UN tahun ini, kata dia, Madrasah Aliyah Kholid bin Walid menempati dua ruangan khusus di rumah warga dengan pengawasan ketat dari pengawas ujian Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo.

    Sementara itu, seorang siswa berinisial YP, terpaksa harus menjalani ujian nasional di dalam Lembaga Pemasyarakatan Sidoarjo karena tersangkut kasus pencurian.

    (c)ANTARA News

  • Semburan Gas Liar Muncul Lagi Di Desa Ketapang

    Semburan Gas Liar Muncul Lagi Di Desa Ketapang

    SIDOARJO – Semburang gas liar kembali muncul di Desa Ketapang, Tanggulangin, Sidoarjo, hari Rabu (17/3). Semburan yang berjarak 4 meter dari rumah warga itu juga mengeluarkan gelembung dan suara yang berisik.

    “Kalau semburan yang mengeluarkan lumpur seperti ini belum pernah terjadi, karena sebelumnya hanya lubang di tanah dan mengeluarkan api kalau disulut korek”, kata Narto (54) warga Ketapang.

    Narto juga mengatakan, BPLS pernah mendatangi sejumlah titik semburan di Desa Ketapang dan mengatakan kalau gas-gas liar itu tdak berbahaya. “Tidak bahaya gimana?, dimana-mana yang namanya gas itu kan mudah terbakar, apalagi disini tanpa garis polisi dan pengaman lainnya”. Tambah warga yang rumahnya pernah muncul semburan liar itu.

    Setali tiga uang dengan Narto, Mulyono (53), juga mengalami kegelisahan yang sama. Karena semburan-semburan liar ini, Mulyono harus selalu mengawasi ketiga cucunya yang masih balita kemana pun mereka bermain.

    “Desa Ketapang ini sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Bagaimana tidak, ketika seseorang membuat lubang ditanah dengan hanya kedalaman 5-10 cm, pasti akan mengeluarkan api ketika disulut korek. Itulah yang membuat saya harus selalu mengawasi apa yang dilakukan ketiga cucu saya”. Kata Mulyono di depan rumahnya. (Fahmi)

    (c) Kanal News Room

     

     

     

  • Menghadapi UN dengan Kondisi Darurat

    Menghadapi UN dengan Kondisi Darurat

    SIDOARJO – Siswa-siswi korban lumpur Lapindo menghadapi Ujian Nasional dengan fasilitas belajar yang tidak memadai. Meski sudah hampir 4 tahun berlangsung, bangunan-bangunan sekolah yang terendam lumpur belum juga dibangun kembali. “Hampir 4 tahun kami melakukan proses belajar-mengajar di gedung milik SMP Negeri 1 Porong. Masuk siang mulai jam 13.00 sampai jam 17.00,” kata Kiyas, Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Porong, Sidoarjo.

    Memang, sejak luapan lumpur panas Lapindo menenggelamkan sekolahan yang berada di Desa Renokenongo, Porong itu, proses belajar mengajar sampai sekarang masih menumpang di SMP Negeri 1 Porong. Hampir semua aset milik SMP 2 Porong hilang terendam lumpur. Mulai meja-kursi, laboratorium, lapangan olah raga, hingga buku-buku pelajaran tak banyak yang bisa diselamatkan.

    Dan saat menghadapi Ujian Nasional (UN), SMP 2 Porong ini meminjam gedung SMU Negeri 1 Porong. “Kami, setiap tahun, setelah lumpur Lapindo menenggelamkan gedung kami, anak-anak melakukan UN di Gedung SMU 1 Porong,” tutur Kiyas.

    SMP 2 Porong ini memang dibuatkan gedung baru di Desa Lajuk, Kecamatan Porong, tapi sampai sekarang belum selesai. Gedung baru ini terdiri dari 9 ruangan kelas, 1 ruangan kepala sekolah dan 1 ruangan untuk guru. Gedung baru ini didanai pemerintah lewat APBN. Rencananya akan ditempati pada awal pelajaran tahun 2010-2011.

    Nasib sekolah-sekolah lain lebih parah. Akibat lumpur Lapindo, setidaknya 33 bangunan sekolah tenggelam, terdiri dari 9 TK/RA, 15 SD/MI, 5 SMP/MTs, dan 4 MA/SMK, plus dua pondok pesantren. Selain SMP 2 Porong, semua tidak mendapatkan penanganan serius hingga saat ini. Hampir semua akhirnya menempati bangunan-bangunan darurat. Mungkin juga tak layak disebut bangunan sekolah.

    MI Ma’arif Jatirejo Porong, misalnya. Sekolah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) ini sampai sekarang melakukan proses belajar mengajar di Ruko Perumahan Sentra, Porong. Ada juga MTs Abil Hasan As-Sadzili, Jatirejo. Semenjak ditenggelamkan pumpur Lapindo 2006 silam, gedung sekolah ini sampai sekarang masih nebeng pada gedung MI Nurul Huda Kedungboto, Porong. Dan sampai sekarang hampir tidak ada bantuan dari pemerintah. 

    Sugiono, Kepala Sekolah  MTs Abil Hasan As Sadzili mengatakan, “Sejak sekolahan ini terendam luapan lumpur panas sampai sekarang tidak ada kejelasan soal nasib sekolahan ini.” Sekolah ini pernah dijanjikan akan dibangunkan sekolah baru oleh pemerintah, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. KH. Maksum Zuber, pengasuh Yayasan Abil Hasan As Sadzili, menuturkan, “Pemerintah pernah mengusulkan akan merelokasi sekolahan ini di daerah Sukodono, Sidoarjo, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan.”

    Sementara itu, kebanyakan sekolah dasar yang ditenggelamkan lumpur Lapindo dilebur dengan sekolah dasar lain. Misalnya, Sekolah Dasar Negeri II Jatirejo dilebur dengan Sekolah Dasar Negeri I Jatirejo; SDN I, SDN II Kedung bendo dilebur dengan SD Negeri 1 ketapang; SD Negeri  III Kedungbendo sekarang dilebur di  SDN 1 Kali Sampurno Tanggulangin.

    Anak-anak korban Lapindo menjadi korban ganda. Selain kehilangan rumah, dan tempat bermain, mereka kehilangan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. (novik)

    (c) Kanal News Room

  • Korban Lumpur Masih Terlunta-lunta

     

    Proses jual-beli aset mereka, berupa tanah dan bangunan, dengan PT Minarak Lapindo Jaya sejak hampir empat tahun lalu hingga kini belum beres.

    Semburan lumpur panas terjadi 29 Mei 2006 di lahan konsesi pertambangan gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, sekitar 12 kilometer dari Kota Sidoarjo, Jawa Timur.

    Pasal 15 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan, Lapindo membeli aset tanah dan bangunan warga korban lumpur di wilayah yang ditetapkan sebagai area terdampak tanggal 22 Maret 2007.

    Pembayaran 20 persen di muka dan sisanya (80 persen) dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Nilai aset tanah kering atau pekarangan Rp 1 juta per meter persegi, sawah Rp 120.000 per meter persegi, dan bangunan Rp 1,5 juta per meter persegi. Untuk proses jual-beli, Lapindo menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sebagai pelaksana.

    Menurut Vice President PT MLJ Andi Darussalam Tabussala, hingga 2 Februari 2010 pihaknya menerima 13.237 berkas kepemilikan aset warga. Sudah 13.042 berkas dibayar uang mukanya. Proses pembayaran sisa 80 persen sedang dilakukan untuk 11.347 berkas. ”Kami sudah melunasi 6.786 berkas. Total kami sudah membayar Rp 2,1 triliun,” katanya.

    Dari 13.237 berkas, MLJ masih memverifikasi 217 berkas. Selain itu, ada 114 berkas masih diverifikasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). ”Data dari BPLS kami klarifikasi dan cocokkan dengan foto satelit, keterangan saksi, serta berkas lain,” ujarnya.

    Penyebabnya, beberapa warga pernah memasukkan data palsu untuk mendapat pembayaran lebih besar. Sebagian sudah dilaporkan ke Polres Sidoarjo. ”Sebagian lagi bersedia menerima hasil klarifikasi,” kata Andi.

    Ada yang belum

    Andi tidak mengelak bahwa masih ada warga yang belum dibayar sama sekali. Di antara korban itu, ada 19 rumah di Desa Gempolsari yang nilainya sekitar Rp 22 miliar. Padahal, mereka sudah diverifikasi oleh BPLS dan sudah disumpah sebagai persyaratan menerima pembayaran.

    Muhammad Saddir, juru bicara 19 warga itu, menduga, aset mereka belum dibayar karena ada perselisihan antara warga dan MLJ mengenai status tanah warga. Berdasarkan bukti kepemilikan tanah berupa Pethok D dan Letter C, tanah warga adalah tegalan atau tanah kering. Adapun versi MLJ, tanah warga berupa tanah basah atau sawah.

    Kepala Hubungan Masyarakat BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, aset 19 warga sudah selesai diverifikasi BPLS. ”Tanah itu termasuk tanah kering. Kami sudah mengimbau Minarak agar segera melakukan jual beli, tetapi tidak didengar,” katanya.

    Menurut warga, pemotongan menjadi hal lumrah. ”Pemotongan bangunan sudah umum terjadi biarpun berkas kami sudah diverifikasi BPLS maupun disumpah. Kalau tidak mau dipotong, biasanya dipersulit. Saya akhirnya menyerah bangunan saya dipotong 9 meter,” kata Ny Nanik, warga Kedungbendo.

    Hal serupa dituturkan Sisno, warga Desa Renokenongo. ”Bangunan saya dikurangi 8 meter. Saya mau saja, yang penting segera dibayar,” katanya.

    Dalam perkembangannya, perpres mandul karena Lapindo tak bisa memenuhi. Dengan alasan terkena krisis global, skema pembayaran diubah di Kantor Menteri Pekerjaan Umum 20 Februari 2009. Hasilnya, pembayaran ganti rugi 80 persen dicicil tiap bulan sebesar Rp 15 juta.

    Sebagian warga menolak dan sebagian terpaksa menerima perubahan itu karena kondisi ekonomi dan sosialnya sudah di titik nadir keterpurukan.

    Hal lain adalah keluhan dari korban lumpur yang menempati perumahan Kahuripan Nirwana Village. Hampir setahun mereka menempati rumah sebagai bentuk pembayaran PT MLJ, tetapi warga belum memperoleh akta jual beli ataupun sertifikat. Padahal, semula dijanjikan akan beres dua bulan setelah menempati perumahan. (ANO/APO/RAZ)

    (c) Kompas

     

  • Kepolisian Didesak Segera Cabut SP3 Kasus Lapindo

    Kepolisian Didesak Segera Cabut SP3 Kasus Lapindo

    SIDOARJO – Kepolisian terlihat gencar menumpas teroris pelaku pemboman, tapi tetap diam terhadap pelaku terorisme lingkungan di Sidoarjo. Kepolisian malah enggan mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus ‘terorisme lingkungan’ lumpur Lapindo yang menenggelamkan belasan ribu rumah warga dan mengusir sedikitnya 60 ribu jiwa. Karena itu, menurut advokat publik Subagyo, masyarakat harus mendesak agar kepolisian segera mencabut SP3 tersebut.

    Ada banyak bukti, kata Subagyo, jika kepolisian mau meneruskan penyelidikannya. Salah satunya adalah surat otentik berupa hasil audit BPK. BPK adalah auditor negara yang harus dihormati. Hasil auditnya mestinya mempunyai kekuatan hukum yang sempurna dan mengikat. “Dalam kasus Lapindo, audit BPK bukan sekadar audit penggunaan keuangan negara, tapi juga audit kinerja,” tandas Subagyo kepada Kanal pada Sabtu (13/3) kemarin. Dalam audit itu, lanjutnya, dinyatakan bahwa dalam proses pemboran yang dilakukan Lapindo, Santos dan Medco, ada banyak kesalahan.

    Berkaitan dengan hal tersebut, Subagyo lebih bersetuju jika masyarakat tidak terjebak melakukan gugatan praperadilan terhadap dikeluarkannya SP3 tersebut. Sebagai informasi, pada 18 Febuari 2010 lalu, sebanyak 10 advokat dari Lembaga Konsultasi dan Advokasi Kepala Daerah Seluruh Indonesia (LAKSI) mengajukan gugatan praperadilan terhadap dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo. Tidak tanggung- tanggung, gugatan praperadilan diajukan di dua pengadilan sekaligus, yakni Pengadilan Negeri Sidoarjo dan Pengadilan Negeri Surabaya. Tapi pada 8 Maret 2010, gugatan itu urung dilanjutkan. Ke-10 avokat selaku penggugat itu mencabut gugatan, dengan alasan penggugat akan menyempurnakan bukti lagi, dan nantinya akan diajukan gugatan prapradilan jika bukti-bukti yang dikumpulkan sudah cukup jelas.

    Subagyo, yang juga ahli hukum pada Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya, berpendapat, gugatan praperadilan SP3 kasus Lapindo bisa berdampak negatif. Sebab, kalau sampai gugatan kalah maka sama halnya pengadilan mengesahkan bahwa tidak ada tindak pidana dalam kasus Lapindo. “Kesimpulan Kapolda Jatim (dalam SP3) menyatakan dalam kasus Lapindo tidak ada tindak pidana. Jika praperadilan kalah, maka tertutup kemungkinan membawa para tersangka ke pengadilan pidana,” jelas Subagyo.

    Subagyo menyarankan, masyarakat tidak perlu mengajukan gugatan praperadilan, akan tapi harus mendesak kepolisian mencabut SP3. Dengan adanya bukti-bukti baru dari Medco dan konklusi para ahli internasional yang kian mengerucut pada indikasi kesalahan pemboran dalam kasus Lapindo, kasus ini harus dibuka kembali. “Seharusnya prapradilan ini tidak perlu. Akan tetapi masyarakat harus mendesak kepolisian membuka kasus, dengan ditemukannya bukti-bukti baru yang kesimpulannya menyebutkan semburan lumpur Lapindo disebabkan adanya kesalahan dalam pemboran,” ujarnya.

    Sementara itu, sejumlah warga korban lumpur Lapindo kerap dibenturkan dengan dalih SP3 yang digunakan Lapindo mengelak dari tuntutan. Rudi Farid, salah satu korban Lapindo yang aset tanah bangunannya belum terbayar (baik 20 persen maupun 80 persen), menyatakan kekhawatiranya jika gugatan praperadilan SP3 jadi dilaksanakan. “Saya khawatir jika gugatan praperadilan dilanjutkan, dan gugatan itu kalah, maka keluarnya SP3 menjadi kuat. Dan akan menjadi alasan pihak Lapindo untuk lari dari tanggung jawabnya,” katanya. Beberapa kali Rudi sendiri menghadapi situasi itu. Ketika berhadapan dengan pihak Lapindo untuk mempertanyakan ganti ruginya, Rudi disuguhi ‘mantra SP3’ oleh pihak Lapindo. SP3 rupanya telah menjadi senjata ampuh buat cuci tangan pihak Lapindo. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Di Desaku dan Paspor

    Dahulu di desaku sebelum ada lumpur Lapindo aku tenang-tenang saja. Aku sangat ceria bermain bersama teman-temanku. Aku selalu masuk sekolah. Teman-temanku sekolah sangat banyak tapi semenjak ada lumpur Lapindo semua berubah.

    Aku kehilangan semua teman-temanku aku sangat sedih ditambah lagi rumah dan sekolahku tenggelam lumpur Lapindo semuanya tenggelam lumpur Lapindo aku sangat sedih sekali. Sekarang aku hidup bersama keluargaku di pengungsian pasar baru Porong alias paspor kalau tidur gak enak banyak nyamuknya dan aku gak bisa tidur.

    Aku hidup di situ merasa kekurangan teman. Aku berpisah dengan teman-temanku sekolah. Kalau belajar gak bisa konsentrasi. Meskipun di paspor ramai tapi aku tetap sedih karena itu rumahku satu-satunya, dan aku tidak punya tempat tinggal lagi. Aku sangat ingin sekali punya rumah biar tidurnya bisa nyaman dan tidak ada nyamuknya dan aku bisa belajar dengan tenang sekarang aku sekolahnya nggak enak.

    Aku ingin sekolah di desaku sendiri. Kenapa kok bisa aku menjadi korban lumpur Lapindo dan sampai sekarang rumah ku masih tenggelam. Aku ingin sekali keluar dari pasar baru porong, aku sudah nggak betah tinggal di pasar baru porong, di sini itu gak enak aku ingin sekali punya rumah sendiri, biar aku bisa rajin belajar lagi, dan sekolah yang nyaman, aku sangat merasa kekurangan teman-teman. Di sini teman-temanku sedikit, dulu banyak sekali.

    Semoga nanti kalau aku punya rumah aku bisa ketemu teman-temanku yang dulu dan aku bisa ceria lagi, jangan sampai hal ini terjadi lagi. Ya Tuhan jangan sampai rumahku yang baru nanti tenggelam lumpur Lapindo lagi. Aku berdo’a agar lumpur Lapindo cepat berhenti biar gak ada desa yang tenggelam lagi. Semua jadi senang dan bahagia and aku juga ikut senang. Semoga do’a aku tercapai. Aku tutup dulu ya.

    Nur Ainiyah, siswi SD Renokenongo II

  • Pyarr

    Tanggal 24 Juli 2008 menjadi hari yang sangat penting bagi warga Desa Besuki karena pada tanggal tersebut diadakan rapat di rumah Pak Arip di Besuki Timur Tol. Diadakannya rapat ini untuk membahas masalah langkah ke depan Desa Besuki Timur Tol yang tertinggal karena tidak masuk dalam peta terdampak 2008.

    Tua, Muda, laki-laki, perempuan dan anak kecil campur jadi satu. Sayangnya aku dan ibuku tidak bisa hadir dalam rapat itu karena karena kami beserta beberapa orang lainnya pergi ke pasar baru Porong untuk menyaksikan pemutaran film korban lumpur dari berbagai desa termasuk desaku.

    Kami dijemput beberapa orang dari pasar Porong, seperti tuan putri aja. Pemutaran film dilaksanakan pada malam hari sekitar pukul 07.30 kami dijemput pukul 07.00. bulan bersinar tak begitu terang sehingga kegelapan yang kami rasakan ketika memasuki mobil berpoles coklat muda. Aku, ibu, dan salah satu tetanggaku duduk di bagian tengah, lainnya berada di belakang. Klik… pintu terkunci otomatis. Mobil melaju perlahan melewati tanggul-tanggul yang semakin hari semakin dekat dengan rumahku.

    “Eh… ko’ cendelanya terbuka sendiri?” kata bu sanik yang duduk di sebelahku

    “Lah tadi ibu ngapain?” tanganku sambil memencet kembali tombol yang melekat di pintu.

    “Mobil sekarang canggih ya! Tinggal pencet nutup sendiri!”

    Entah mengapa semua tertawa

    Akhirnya sampai juga di Pasar Porong. Kami berjalan menuju gerombolan orang yang telah datang terlebih dahulu. Beberapa menit kemudian Film diputar. Orang-orang begitu senang melihat wajah mereka terpampang.

    “Lho, iku lo aku!” Celetuk ibu setengah baya yang kegirangan melihat dirinya sendiri

    Lama sudah kami menyaksikan keluh kesah para korban lapindo yang dirangkum dalam film pendek. Gambaran dari Renokenongo dan Permisan telah selesai. Kini, giliran desaku. Sepertinya suasana bertambah ramai ketika pemuratan film desaku. Ibu-ibu dari desaku sedikit berteriak untuk mengungkapkan kegembiraannya melihat rumahnya ikut masuk dalam gambar. Sekita pukul 11.00 acara selesai kami diantar pulang.

    Sesampainya di rumah kondisi jalan begitu sepi, tak seperti biasanya. Semua sudah turun dari mobil. Sebagian ada yang langsung pulang dan sebagian lagi memilih untuk melangkahkan kakinya ke tempat rapat yang belum juga selesai. Aku memilih tidur.

    “Ris, ibu ke Wak Arip dulu, liat rapat kok belum selesai juga.”

    Aku hanya mengangguk sembari melepas kerudung.

    Aku tak bisa tidur dengan tenang, sedikit-sedikit kubuka mata melihat jarum jam yang terus naik. Lama sudah kumenunggu. Akhirnya kuputuskan untuk melihat kondisi luar. Sepi, dingin dan gelap. Hanya itu yang bisa kurasakan. Aku kembali tidur tapi di ruang televisi.

    Beberapa menit kemudian ayah dan ibuku datang. Kubuka mata dan bergabung dengan mereka. Kudengarkan baik-baik kata yang keluar dari ayahku. Ia berkata bahwa rapat itu dihadiri oleh Pak Helmi (anggota DPRD dari frkasi PKS), Pak Syaiful Bakhri (perwakilan besuki timur Tol), Ali Mursyid (Perwakilan besuki Barat Tol) dan seluruh warga Besuki Timur Tol dan Barat Tol yang menempati bekas jalan tol Surabaya–Gempol karena rumah mereka telah tergenangi lumpur akibat jebolnya tanggul penahan lumpur.

    Rapat dibuka oleh Pak Syaiful Bahri. Dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh warga apakah mereka masih ingin wilayahnya masuk Peta atau tidak. Secara serempak mereka menjawab kalau masih ingin wilayahnya masuk Peta terdampak terdampak 2008.

    Salah satu dari mereka ada yang mengajukan pertanyaan ia adalah pak Irsyad yang tak lain ayahku sendiri, ia bertanya, ”Apa alasan Besuki Timur Tol bisa tertinggal dalam pemasukan Peta terdampak tahun 2008? Padahal kan masih satu desa? Dan saya minta dijelaskan karena suara di luar menganggap saya sengaja menolak masuk peta karena pada waktu kawan Besuki Korban Lumpur (BKL) Barat Tol berada di Jakarta tapi di tempat dan maksud yang berbeda. Ayah disana untuk menghadiri koalisi korban lumpur bersama 21 LSM se Jakarta dan Jatim, sedangkan kawan BKL mengajukan untuk masuk Peta.”

    Warga mengetahui bahwa kawan BKL dan pak Irsyad ke Jakarta dengan rombongan berbeda. Tetapi sebelum berangkat ke Jakarta, ada pertemuan di Surabaya tepatnya di Kantor Lembaga bantuan Hukum (LBH), Surabaya yang dihadiri oleh Tim BKL diantaranya Pak Rokhim, Pak Murshid, Mashudi dan Hari. Pak Irsyad (sebagai wakil dari korban lumpur) dan beberapa perwakilan dari desa korban lumpur ada juga LSM dari Surabaya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan dari posko bersama korban lumpur yang bertempat di Gedang.

    Dalam pertemuan itu dibuat perencanaan tentang aksi ke Jakarta dan dari Perencanaan itu disepakati beberapa hal diantaranya:

    1. Pak Rokhim menyetujui hasil musyawarah dan seluruh peserta dalam pertemuan itu mengetahui hal itu.

    2. Pak Rokhim dkk (BKL) tidak bisa berangkat besama karena mereka sudah tanggal keberangkatannya yang berangkat lebih akhir. Ia juga berkata bahwa mereka akan bergabung dengan koalisi korban lumpur ketika sampai di Jakarta.

    Tapi ternyata ketika sampai di Jakarta pak Rokhim dkk tidak bergabung dengan koalisi korban lumpur bersama LSM yang bertempat di Ciputat, Jakarta. Karena tidak bergabung itulah sehingga kelompok BKL menuduh bahwa Pak Irsyad sengaja menolak jika desanya masuk dalam Peta.

    Pertanyaan dari ayahku tadi dijawab oleh Pak Mursyid yang dulunya juga berjuang bersamanya. Tapi karena perbedaan pendapat, mereka tidak bersama lagi. Sebelum menjawab. pak Mursyid meminta izin pada pak Syaiful untuk menjelaskan kejadian sebenarnya di Jakarta. Ia mengatakan bahwa ada 1 orang dari perwakilan Besuki timur tol yang berbicara di forum nasional (Fornasi) yang intinya tidak setuju jika desanya masuk dalam peta terdampak.

    Agar tidak menimbulkan fitnah dan ayah juga sudah capek menjadi kambing hitam yang bertanya siapa nama orang itu. Tapi tetap saja Pak Mursyid tak mau menyebutkan nama yang ia maksud. Karena geram par Irsyad berdiri hendak menghampiri Pak Mursyid seraya berkata dengan keras

    “Sebutkan namanya! “

    Hanya selangkah dari tempatnya ia segera di tarik oleh Pak Kamisan yang tak lain adaah pendukung Pak Mursyid. Ia menyarankan agar mengurungkan niatnya setelah itu rapat menjadi kacau.

    “Huuu …,” teriakan warga semakin membuat suasana bertyambah panas. Ada yang saling dorong antar warga. Kejadian itu tak berlangsung lama karena banyak intel dari Polres Sidoarjo dengan tanggap turun tangan. Setelah suasana kondusif, rapat diteruskan dengan mendengarkan arahan dari Pak Helmi yang intinya :

    “Kita tidak perlu mencari siapa yang salah. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana caranya agar wilayah Besuki Timur Tol dapat masuk dalam peta terdampak tahun 2008”

    Setelah memberi arahan, rapat pun selesai dan ditutup dengan do’a oleh Pak Helmi. Rapat selesai. Semua membubarkan diri . tapi ketika ayahku kelur dari ruangan terdengar suara orang-orang

    “Wes, patenono ae arek iku! Sudah bunuh orang itu,”

    Yang lain bilang, “kuburen orep-orep wong iku (kubur hidup-hidup orang itu).”

    Ada pula yang menyarankan agar ayah menjaga diriya baik-baik, soalnya banyak banyak yang tidak suka sama dia.

    Warga mulai membentuk kelompok masing-masing untuk membahas kembali malah rapat. Ayahku tak langsung pulang, tapi ia menuju rumah Pakde. Di sana sudah banyak keluarga dan kawan-kawan yang sudah berkumpul. Sesampainya di sana, banyak yang menanyakan kejadian sebenarnya di Jakarta. Ayahpun menjelaskan kronologinya. Mulai dari keberangkatan dan aktifitas selama di Jakarta hingga pulang.

    Ayahku pulang terlebih dahulu dari tim BKL setelah mendengarkan dengan seksama. Mereka juga menyalahkan sikap Pak Mursyid yang terlalu berani berbicara tanpa fakta.

    Setelah lama mendengarkan ayah bercerta, aku pun tidur. Tapi satu hal yang tak mereka ketahui bahwa ayah membawa alat perekam yang ia kalungkan. Semua isi rapat tersimpan rapi. Ia juga mendengarkan hasil rapat tersebut pada keluarga dan kawan-kawannya.

    Bsru kali ini aku merasa bahwa keluargaku perlu berhati-hati dan tetap waspada. Tapi ayah tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Hari berikutnya ketika matahari akan terlelap Handphone ayahku berbunyi setelah menerima telepon itu, Ibu, Adik dan nenekku berpamitan akan pergi ke Bali karena ada urusan. Ibu, adik dan nenekku telah berangkat kini tinggal aku dan ayah yang berada dalam ruangan ini. Aku semakin takut jika sesuatu terjadi padaku, ayahku, dan ruimahku, aku takut jika rumahku dibakar, aku takut jika ayahku dibunuh.

    Aku jadi kerepotan mengurus segala sesuatu. Menyapu, memasak semua menjadi tanggungjawabku, aduh. Ibu cepetan pulang donk! Semua kekhawatiranku tidak terbukti. Hari-hari setelah rapat tak ada yang terjadi. Ucapan warga yang ingin membunuh dan mengubur hidup-hidup ayahku tak terbukti. Itu hanyalah bualan kupikir mereka hanya ingin menakuti keluargaku. Aku pun tenang

    Tepat satu minggu setelah rapat……

    Pyarrrr………..

    Ya….. kaca rumahku pecah tepat pada tanggal 30 Juli 2008.’ Aku masih terbawa oleh mimpi indah yang diberikan sang Khalik. Ayahku jug tertidur di ruag tengah dengan televisi yang masih menyala.

    Ketika kaca pecah, aku dan ayah tak segera bangun. Memang aku mendengar sesuatu pecah. Tapi aku berfikir kalau itu adlah toples pecah. Aku kembali tidur. Mataku serasa ada membuka dengan paksa. Aku terpaksa bangun dan membuka pintu kamar meski mata masih terasa perih dan masih ingin memeluk bantal

    “ Yah, ada apa ini”

    Itulah hal pertama yang kukatakan ketika melihat serpihan kaca yang berserakan hingga ke ruang tengah, perih dimataku seketika hilang. Ayah membuka tirai penghalang ruang tengah dengan ruang tamu.’ Aku mengikutinya dari belakang aku takut! Takut sekali! Takut jika ancaman warga menjadi kenyataan aku segera berbalik menuju dapur.

    “Alhamdulillah!” Ucapku ketika melihat kondisi dapur yang baik-baik aja. Aku menyusul ayah ke ruang tamu. Kulihat serpihan kaca yang memenuhi lantai. Batu yang seukuran kepala bayi tak luput dari pandanganku.

    “ Jangan!” Teriak ayah yang melihatku ingin mengambil batu tersebut aku segera menarik lenganku.

    “kenapa yah!”

    “Biarkan batu itu ditempatnya. Nanti ayah akan ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Biarkan semua pada tempatnya. Biar polisi tahu bagaimana kondisi sebenarnya”

    Aku hanya mengangguk. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 03.05 pagi. Mungkin tepat pukul 3 pagi kaca rumahku dihantam. Ayah baru sadar kalau rumahnya di lempar batu oleh seseorang. Ia melihat kondisi sekitar yang begitu sepi. Aku masih diam di tempat.

    Daris Ilma, Pemudi Desa Besuki-Jabon, Sidoarjo

  • Perjuangan Paguyuban Pasar Baru Porong di Jakarta

    Pada 13 Juni 2007 aku diajak, ketua Peguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo untuk memperjuangkan pengungsi di Pasar Baru, Porong, ke jakarta. Pusat kegiatannya di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Aku pikir berada di Ibukota itu sangat menyenangkan, tapi tidak ternyata di sana orangnya begitu sombong dan bisanya merendahkan orang yang tidak mampu termasuk kami.

    Beberapa lama kemudian seorang wartawan mendatangi kelompok kami. Dia bertanya, “untuk apa bambu runcing yang berada di pengungsian Pasar Baru, Porong itu?” “Apakah untuk perang?” Tanya wartawan tersebut sambil merendakan. Lalu kami menjawab “bambu runcing itu untuk semangat juang para korban lumpur panas Lapindo.”

    Beberapa lama kemudian aku juga berfikir bahwa bukan kita aja yang direndahkan tapi anak pinggiran-pinggiran yang di Jakarta juga begitu tidak ada yang merasa iba ataupun terharu dengan kondisi kami.

    Pada waktu itu juga ada lomba melukis untuk memberikan semangat, sore hari kami pulang ke penginapan (di rumah seseorang) begitu capeknya kami, sehabis mandi kami menulis dan melukis sepanduk untuk dibuat pawai besoknya. Pada malam hari kami bertengkar dengan salah satu kelompok kami dari perwakilan Kedungbendo.

    Pagi pun tiba, kami kesiangan untuk pergi ke Tugu Proklamasi manuju ke Monas. Kami terlambat begitu pawai dimulai kami merasa senang bahwa ada sedikit warga yang mendukung kami, dan kami mulai semangat lagi, kami begitu lelah. Sore hari kami kembali ke Tugu Proklamasi di sana begitu ramai dan banyak pameran-pameran lalu kami kembali pulang ke penginapan untuk mempersiapkan barang-barang buat kembali ke pengungsian Pasar Baru, Porong; tiket kereta api pun habis tidak ada yang tersisa untuk kami, lalu kami menyewa travel untuk pulang.

    Pada saat sampai di pengungsian aku merasa senang karena disambut orang-orang banyak dan ini disebut sebagai pengalaman yang mebuat kita tahu bagaimana merasakan orang-orang begitu semangat untuk menghadapi hidup.

    Dian Utami, siswi SMPN 3 Porong

  • SOS, Selamatkan Sidoarjo!

    SOS, Selamatkan Sidoarjo!

    Dinamika politik di Sidoarjo semakin mengkuatirkan. Bagaimana tidak, tiga orang yang selama ini dikenal sebagai ‘orang’ Lapindo kini mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo. Setelah berhasil ‘menguasai’ tanah Sidoarjo melalui pembelokan persoalan ganti rugi menjadi sekedar jual beli asset, bukan tidak mungkin sebentar lagi Sidoarjo secara politik jatuh ke tangan Lapindo secara total.

    Ketiga petinggi Lapindo yang mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo itu adalah Bambang Prasetyo Widodo, Direktur Operasional PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Lapindo Brantas Inc. Bakal calon Bupati Sidoarjo berikutanya adalah  Gesang Budiarso, Dewan Komisaris PT Minarak Lapindo Jaya.  Satu orang lainnya adalah Yuniwati Teryana yang tercatat sebagai Vice President External Relation Lapindo Brantas Inc. Akhir Februari lalu, ia juga mendeklarasikan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo.

    Mencalonkan diri secara politik menjadi pejabat publik termasuk Bupati Sidoarjo adalah hak setiap warga negara. Namun, untuk pemilihan kepala daerah (pilkada)Sidoarjo agak ganjil bila tiga petinggi kelompok Lapindo secara bersamaan mencalonkan diri menjadi pejabat publik di kawasan itu. Apa kepentingan Lapindo dalam pilkada Sidoarjo? (more…)

  • Kisahku

    Kisahku

    Hampir 12 tahun sudah aku duduk di bangku sekolah. Mengenyam pendidikan yang semakin tahun semakin susah untuk didapatkan.

    Banyak anak yang putus sekolah. Beralih pada pekerjaan yang menghasilkan uang. Mungkin yang ada di benak mereka adalah “Daripada sekolah menghabiskan uang, lebih baik bekerja menghasilkan uang.” Di perempatan jalan dan lampu merah mereka mencari rezki. Apapun mereka lakukan agar dapat merasakan sesuap nasi. Membersihkan kaca mobil, mengamen bahkan meminta-minta. Mereka semua adalah mereka yang tidak bisa merasakan bangku sekolah. Mereka masih seumuran denganku, bahkan ada yang masih seumuran dengan adikku yang kini kelas 5 SD.

    Aku adalah salah satu dari mereka yang beruntung. Aku sangat bersyukur atas semua yang ada padaku. Aku bisa merasakan indahnya bangku sekolah selama hampir 12 tahun. Masa-masa indah yang aku rasakan selama sekolah mungkin tak pernah dirasakan oleh mereka yang putus sekolah. Ya… aku memang beruntung.

    Saat lulus SD aku mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN). Dan keberuntungan itu berpihak padaku. Aku diterima di salah satu SMP Negri yaitu Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong.

    Setiap manusia tak selamanya memperoleh keberuntungan dalam hidupnya. Begitu pula denganku. Saat aku kelas 2 SMP, sekolah tempat aku menuntut ilmu tenggelam oleh Lumpur Lapindo. Semua pasti tahu apa, siapa dan bagaimana Lumpur lapindo itu. Aku dan seluruh siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong harus berkali-kali berpindah tempat agar kami tetap mendapatkan pelajaran.

    Terakhir kalinya kami harus menumpang di Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1 Porong. Lokasinya sangat jauh dari rumahku. Setiap hari aku harus mengayuh sepedaku sejauh 4 km. Bisa dibayangkan, di siang yang terik saat sebagian orang sedang beristirahat dari segala kativitasnya, aku dan yang lain harus berangkat sekolah. Baru ketika aku kelas 3, hati pihak lapindo tergelitik untuk mengantarkan kami yang rumahnya jauh dari lokasi sekolah. Mereka mengirimkan beberapa truk polisi untuk mengantar kami.

    Saat Ujian Nasional (UNAS) pun lagi-lagi kami harus menumpang. Kali ini kami meumpang di Sekolah Menengah Atas Negri (SMAN) 1 Porong. Dengan segala rintangan yang telah kami hadapi akhirnya kami semua dinyatakan lulus. Kami semua sangat senang. Tapi saat kami semua merayakan kelulusan, teryata Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong sudah tak terlihat dari permukaan. Seolah itu benar-benar telah tenggelam.

    Selanjutnya, aku daftar di salah satu SMA Negri. Tapi sayang, keberuntungan memang tak berpihak padaku. Aku dinyatakan gagal. Akhirnya, mau tak mau aku harus menerima itu semua. Kini aku menuntut ilmu di sekolah swasta di seberang desaku.

    Malang tak dapat ditolak. Sawah milik ayahku terendam Lumpur Lapindo. Ugh….. aku berteriak sekeras yang aku bisa. Aku ingin berkata “Sampai kapan aku dihantui oleh Lumpur Jahannam itu???????!”

    Saat itulah kondisi ekonomi keluargaku mulai memburuk. Areal persawahan kini tak bisa ditanami apapun. Dulu ketika aku masih SMP, pembayaran SPP atau yang lain tak pernah telat. Tapi kini? Hampir beberapa bulan aku tak bisa membayar SPP. Aku selalu telat. Aku malu pada tean-temanku. Tapi aku harus sadar. Dengan apa aku membayar SPP itu? Aku tak boleh kalah dengan malu.

    Saat kelas 2 SMA Lumpur Jahannam itu kembali mengusikku. Desa tempat aku tinggal, sebagian tenggelam oleh Lumpur Lapindo karena jebolnya tanggul penahan Lumpur Jahannam itu. Yang lebih parah, hanya sebagian desa saja yang dianggap sebagai korban. Desaku memang terbelah enjadi dua sejak adanya proyek pembangunan jalan tol yang menghubungkan Sidoarjo-Malang.

    Wilayah yang dianggap sebagai korban ialah mereka yang berada di sebelah Barat Tol. Sedangkan kami yang berada di wilayah Timur Tol harus menerima ketidakadilan. Padahal pepohonan di wilayah kami telah mati akibat luberan lumpur begitu juga dengan air. Air kami telah tercemar. Contohnya saja diumahku. Semula banyak orang yang mengambil air di sumurku karena airnya sangat jernih dan segar. Tapi sekarang? Air di rumahku sangat keruh dan berasa pahit? Apa itu bukan korban? Coba pikir lagi. Banyak orang mengira aku adalah orang kaya yang telah mendapat ganti rugi. Mereka salah! Mereka tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tak tau ketidakadilan yang terjadi.

    Mereka yang dianggap sebagai korban juga mendapatkan perlakuan tidak adil. Semua orang berkata “Ganti Rugi”. Padahal itu bukan ganti rugi. Itu adalah sebuah proses jual beli antara pihak Lapindo dan mereka yang dianggap sebagai korban. Dalam setiap proses jual beli tentu ada kesepakatan antara kedua pihak. Tapi dalam permasalahan ini tidak ada kesepakatan sama sekali. Mereka yang dianggap sebagai koraban harus mau menerima apa yang telah ditetapkan oleh pihak Lapindo. Sungguh tidak adil.

    Kami hanya ingin diakui sebagai korban dari koorporasi Mu! Aku tau siapa diriMu! Aku tau siapa namaMu! Aku tau siapa penyebab penderitaan kami semua! Tapi aku tak ingin menyebutkan siapa namaMu! Karena hanya akan membuat sakit hatiku. Kau dalah orang yang serakah!

    Aku harus mengikuti program beasiswa yang diperuntukkan bagi keluarga miskin agar aku bisa tetap sekolah. Di kelasku hanya beberapa anak saja yang mengikuti program itu. Malu? Kini tidak ada kata malu dibenakku. Rasa malu itu hilang seiring dengan penderitaan yang aku alami sejak Lumpur Jahannam meluap. Hingga kelas 3 ini aku masih mengikuti program itu.

    Ujian Nasional (UNAS) tinggal beberapa bulan. Tapi aku masih belum bisa memenuhi persyaratan administratif. Banyak uang yang harus dikeluarkan diantaranya pembayaran Try Out, Penambahan Intensitas Belajar (PIB), Ujian Semester, Ujian Praktek, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan masih banyak lagi. Aku tak tahu bagaimana memberitahukan pada ayahku. Aku tak boleh patah semangat atas apa yang terjadi. Aku terus belajar agar aku menjadi pintar.

    Banyak sekali kampus yang mendatangi sekolahku. Banyak pula yang terpengaruh dengan program yang diberikan setiap kampus. Ada yang memberikan iming-iming siap kerja bagi mereka yang masuk ke kampus itu. Aku sendiri bingung. Tapi untuk apa aku bingung? Toh aku juga nggak aka kuliah?

    Teman-temanku telah menetapkan Universitas dan jurusan yang akan diambil. Saat semua sibuk mengutarakan isi hatinya yang ingin segera lulus dan merasakan dunia kuliah, aku hanya bisa mendengar dan tersenyum. Terkadang aku memberi sedikit saran. Dalam hati aku menangis. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin bergabung dengan mereka. Membicarakan dunia perkuliahan, membicarakan jurusan yang dipilih dan membicarakan masa depan.

    Aku tak boleh egois. Untuk dapat menuntaskan bangku sekolahku saja, orang tuaku harus banting tulang. Bagaimana jika aku kuliah nanti? Dengan apa mereka harus membiayai semua itu? Daun?

    Aku pernah membicarakan masalah ini pada ayahku. Dan, “Ayah tidak punya uang untuk membiayai kamu kuliah.” Aku sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan keluar. Dalam hati aku hanya bisa bicara “Mungkinkan ada Mukjizat pada keluargaku?”

    Ternyata Do’a dan usahaku tak sia-sia. Semester ganjil kemarin aku menduduki peringkat ke 4 di kelasku. Aku sangat senang. Aku menganggap itu sebuah mukjizat. Aku segera memberitahukan kabar baik ini pada ayahku. Dan memang benar. Mukjizat itu ada. Tiba-tiba ayah menyuruhku untuk mengikuti PMDK. Aku sangat senang. Aku segera mencari informasi tentang beasiswa pendidikan. Setiap hari aku membuka internet untuk mencari informasi yang aku butuhkan. Ya Tuhan! Terimakasih.

    Berbagai saran dan informasi diberikan padaku. Aku segera mencetak formulir Beasiswa Mengikuti Ujian (BMU) bagi siswa berprestasi dari berbagai Universitas Negri. akhirnya ada 4 Univesitas Negri yang aku pilih. Aku juga telah mengirim biodata dan persyaratan yang dibutuhkan. Meskipun persaingan sangat ketat aku tak boleh pesimis. Aku yakin keberuntungan dan mukjizat menyertaiku.

    Banyak yang masuk ke Universitas dengan memberikan sejumlah uang. Aku tidak setuju dengan itu. Jika itu masoh berlanjut maka masa depan anak negri akan suram. Mereka yang tidak memiliki uang tapi pintar pasti tidak akan bisa merasakan dunia kuliah. Ujung-ujungnya penganguran merajalela. Aku sangat bersyukur bisa merasakan bangku sekolah dan menuntaskan pendidikanku.

    Ada berita bahwa Yayasan Pendidikan Bakrie memberikan bantuan beasiswa kepada dua anak warga korban lumpur melalui Yayasan Peduli Lumpur Sidoarjo (Yaplus). Biaya pendidikan yang diberikan per orang untuk delapan semester itu mencapai Rp 90 sampai Rp 100 juta. Hanya 2 orang? Sedangkan korban dari Lumpur Lapindo sangat banyak. Apa semua itu hanya untuk mencari simpati?

    Aku tak akan mengikuti beasiswa itu. aku tak akan menjual ilmu yang selama ini aku dapatkan untuk membuat orang menderita. Anak yang mendapatkan beasiswa itu pasti tidak akan peduli dengan mereka yang sesama korban Lumpur Lapindo. Dia akan terikat dengan berbagai aturan yang ditetapkan oleh pihak tersebut. Dia taidak akann menentang ketidak adilan yang ada demi beasiswa yang dia terima.

    Aku berharap agar aku diterima di salah satu Universitas Negri. Akan aku tunjukkan tanpa beasiswa dari seorang yang mengatasnamakan Yaplus, aku bisa kuliah. Aku juga berharap agar mereka semua yang tidak dapat kuliah dengan alasan biaya segera sadar. Banyak car agar tetap melanjutkan pendidikan diantaranya dengan cara mencari beasiswa. Tapi jangan sampai salah mencari beasiswa ya! Kita harus tetap melanjutkan pendidikan kita agar menjadi orang yang berguna bagi semua orang. Kepintaran kita jangan untuk menyengsarakan orang lain.

    Daris Ilma

     

  • YLBHI: Pemprov Jawa Timur Keterlaluan

    YLBHI: Pemprov Jawa Timur Keterlaluan

    JAKARTA – Rencana Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur menjadikan lokasi semburan lumpur Lapindo sebagai daerah tujuan wisata berpotensi melanggar hukum. Pemerintah seharusnya fokus pada upaya penuntasan pembayaran ganti rugi bagi warga korban Lapindo.

    Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Zainal Abidin menilai keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terkait penanganan lumpur Lapindo keterlaluan.

    “Keterlaluan. Kalau sudah selesai urusannya dengan korban, mau dijadikan daerah wisata atau industri, terserah pemerintah. Ini kan belum selesai. Jangan sampai dijadikan pelarian tanggung jawab,” kata Zainal, Selasa (9/3).

    Menurut Zainal, selama pembayaran ganti rugi belum selesai, masyarakat secara hukum masih menjadi pemilik tanah kawasan lumpur Lapindo. “Harusnya masyarakat yang memutuskan apakah akan menjadikan daerah itu sebagai lokasi wisata. Tanah di lokasi semburan sampai saat ini masih milik warga.”

    YLBHI mengimbau Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengkaji kembali rencana menjadikan lokasi lumpur Lapindo sebagai daerah wisata. Pemprov diminta melibatkan warga dalam mengambil kebijakan terkait pengelolaan kawasan lumpur. (Kurniawan Tri Yunanto)

    (c)vhrmedia.com

  • Warga Kecewa Lumpur Lapindo Dijadikan Objek Wisata

    Warga Kecewa Lumpur Lapindo Dijadikan Objek Wisata

    SURABAYA – Keputusan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur menetapkan kawasan lumpur Lapindo sebagai daerah tujuan wisata melukai perasaan warga korban lumpur.

    Ketua Paguyuban Ojek Tanggul Lapindo, Mustofa, mengatakan keputusan tersebut menunjukkan pemerintah tidak peduli terhadap nasib korban lumpur Lapindo. Pemerintah juga tidak menyelesaikan pembayaran ganti rugi oleh PT Lapindo Brantas.

    “Apa yang dikatakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menafikan apa yang dialami para korban lumpur. Kami tidak setuju kawasan lumpur Lapindo menjadi daerah wisata,” kata Mustofa, Jumat (5/3).

    Agus, warga Desa Renokenongo, mengaku setuju keputusan Dinas Pariwisata asal keuntungan dari bisnis ini sebagian diberikan kepada para korban. “Jika alasannya untuk meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah) sah-sah saja. Tapi harus diperhatikan, bagaimana kondisi warga yang kini masih menanti ganti rugi,” ujarnya. (Yovinus Guntur Wicaksono)

    (c) vhrmedia.com

  • Galak di Century, Jinak di Lapindo

    Galak di Century, Jinak di Lapindo

    JAKARTA – Anggota DPR, yang kata Gus Dur seperti anak-anak TK,terlihat begitu galak dalam kasus skandal Century. Mereka seakan-akan menjadi pahlawan dalam membela uang rakyat sebesar Rp. 6,7 trilyun yang digelontorkan ke Bank Century.

    Anehnya dalam kasus lumpur Lapindo, Anggota DPR seperti kehilangan akal sehat. Mereka sepakat mengikuti seruan iklan Lapindo yang menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam dan tidak terkait pengeboran.

    Bahkan, seperti ditulis oleh detik.com, “Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (P2LS) mendesak pemerintah segera menetapkan status bencana pada lumpur Sidoarjo dan menindak sesuai UU yang berlaku,” ujar Wakil Ketua Tim P2LS DPR Priyo Budi Santoso saat menyampaikan laporan Tim P2LS dalam Sidang Paripurna DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9/2009).

    Kenapa anggota DPR begitu jinak dalam kasus Lapindo? Apakah karena Lapindo adalah bagian dari Group Bakrie, yang mantan petingginya kini menjadi Ketua Umum Golkar? Jika demikan halnya ini adalah preseden buruk di negeri ini. Nanti jika ada korporasi yang bermasalah dengan warga lokal, bisa bebas melenggang asal memiliki akses ke elite partai politik.

    Jadi sebenarnya di negeri ini, kedaulatan ada di tangan partai politik dan korporasi besar, bukan di tangan rakyat. (firdaus cahyadi)

    (c) politikana.com

  • Ratusan Korban Lumpur Lapindo Tuntut Sertifikat Rumah

    Ratusan Korban Lumpur Lapindo Tuntut Sertifikat Rumah

    SIDOARJO – Sekitar 200 korban lumpur yang tinggal di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) Kabupaten Sidoarjo berunjukrasa menuntut proses akad jual beli rumah dipercepat. Sebab lambatnya proses akad jual beli akhirnya berimbas dengan tidak keluarnya sertifikat rumah, Rabu (3/3).

    Aksi warga ini dimulai berangkat dari perumahan KNV di Desa Jati Kecamatan Kota Kabupaten Sidoarjo. Mereka berkonvoi menggunakan sepeda motor menuju ke pendopo Kabupaten Sidoarjo.

    Tujuan warga datang ke pendopo Delta Wibawa Sidoarjo untuk menemui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Mereka meminta bupati agar memperjuangkan tuntutan warga yaitu memperoleh sertifikat rumah agar ada kejelasan soal kepemilikan rumah di KNV.

    Sebelumnya warga bersedia memilih program cash and resettlement dari PT Minarak Lapindo Jaya juga atas imbauan bupati. Namun setelah satu tahun setengah menempati rumah di KNV, ternyata proses akad jual beli rumah tersendat dan berdampak pada tidak keluarnya sertifikat.

    “Kita tidak tenang kalau belum memiliki sertifikat. Kenapa sertifikat tidak segera diberikan padahal rumah ini kan dibeli cash,” kata koordinator aksi Chamim Putra Gofur.

    Di perumahan KNV sekarang sudah dihuni 500-an warga korban lumpur dari rencana total 1.500 korban lumpur. Dari 500 warga yang menghuni di perumahan korban lumpur ini, ternyata baru 40-an warga yang sudah jelas kepemilikan sertifikatnya. “Namun sertifikat tersebut juga masih disimpan di kantor Badan Pertanahan Nasional dan belum diserahkan warga,” kata Suharjo, salah satu korban lumpur yang menghuni KNV.

    Aksi warga korban lumpur ini akhirnya bergeser ke Gedung DPRD Kabupaten Sidoarjo karena bupati Win Hendrarso yang akan ditemui tidak berada di tempat. Dalam aksinya di depan gedung dewan, mereka menuntut wakil rakyat untuk memfasilitasi pertemuan dengan pihak pengembang perumahan KNV, kepala BPN Sidoarjo dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Ketua DPRD Sidoarjo Dawud Budi Sutrisno akhirnya bersedia keluar menemui pengunjukrasa. Namun ketua DPRD meminta waktu karena tidak bisa secara langsung memenuhi permintaan warga. “Saya janjikan bisa memanggil semua pihak yang diinginkan warga besok. Saya mohon besok warga kembali ke sini namun perwakilan saja,” kata Dawud.

    Namun warga menolak tawaran Dawud. Warga mendesak agar diadakan pertemuan pada hari itu juga. Akhirnya Dawud menyerah dan berusaha memanggil semua pihak yang diinginkan warga untuk bertemu di DPRD Sidoarjo.

    (c) metrotvnews.com

  • Warga Lumpur Lapindo Tuntut Jaminan Hidup

    Warga Lumpur Lapindo Tuntut Jaminan Hidup

    SIDOARJO – Korban Lumpur asal Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi, Kecamatan Porong menuntut agar bantuan sosial berupa jaminan hidup diteruskan. Pasalnya, saat ini aset mereka belum diganti oleh pemerintah.

    Bukan hanya jaminan hidup, korban lumpur yang kawasannya tidak masuk peta terdampak ini minta segera diberi ganti. Sehingga, mereka bisa segera pindah dari rumahnya yang sudah tidak layak huni.

    Tuntutan korban lumpur itu disampaikan saat bertemu dengan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan Kepala BPLS, Sunarso di Pendopo Pemkab Sidoarjo, Selasa (2/3/2010).

    “Jaminan hidup Rp300 ribu per kepala keluarga yang kami terima sudah dihentikan. Padahal rumah dan tanah kami belum mendapat ganti rugi,” ujar Bambang Kuswanto, perwakilan warga Siring Barat.

    Korban lumpur asal tiga desa itu, selama ini hanya diberi uang evakuasi Rp500 ribu, uang kontrak Rp2,5 juta, dan uang jaminan hidupu Rp300 ribu selama enam bulan. Untuk jaminan hidup sudah berakhir Desember 2009 lalu. Padahal, saat ini sebagian dari mereka masih tinggal di rumahnya.

    Selain dihadiri bupati dan kepala BPLS, dalam pertemuan itu juga dihadiri Kapolres Sidoarjo AKBP M Iqbal, Wakil Ketua DPRD Khulaim, Deputi Bidang Sosial BPLS Sutjahyono, Ketua Pansus Lumpur DPRD Kabupaten Sidoarjo Sulkan Wariono dan Kepala Bappekab Kamdani.

    Dalam pertemuan yang berjalan hampir dua jam lebih itu, beberapa warga korban lumpur menyampaikan unek-unek mereka.

    Korban Lumpur di tiga desa itu sebanyak 9 RT. Selain di kawasannya muncul semburan baru, rumah warga juga retak-retak akibat penurunan tanah.

    “Kami minta kejelasan ganti rugi lahan dan rumah warga yang sudah tertuang dalam Perpres 40/2009 lewat dana APBN. Kondisi warga di sembilan RT saat ini sudah cukup mengkhawatirkan, rumah dan lahan kami sudah tidak layak huni,” ujar Sugiono, juga korban lumpur asal Jatirejo Barat.

    Perwakilan korban lumpur ini mendatangi Bupati Win Hendrarso agar ikut menyelesaikan permasalahan ini. Mereka ingin, sebelum selesai masa jabatannya, Win Hendrarso bisa memperjuangkan nasib korban Lumpur tiga desa ini.

    Abdullah Faqih, perwakilan korban Lumpur dari Jatirejo Barat menambahkan, mereka dijanjikan akan diberi jadup dan akan dicairkan 5 Januari namun tidak juga kesampaian. Kemudian dijanjikan lagi 5 Februari, tapi tidak juga dilaksanakan.

    “Sekarang dijanjikan akan diberikan awal April nanti, kita lihat saja nanti,” tandasnya.

    Abdullah Faqih menjelaskan, ada sekira 250 jiwa yang ada di wilayahnya yang belum mendapatkan jaminan hidup. Jumlah tersebut berada di wilayah dua RT, yakni RT 1 dan RT 2. Sedangkan di Siring Barat dan Mindi, juga ada ratusan KK yang harus diberi jaminan hidup.

    Win Hendrarso sendiri meminta warga untuk tetap sabar. Win mengaku, bersama Gubernur Jawa Timur akan tetap memperjuangkan nasib mereka ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

    “Saya tidak bisa berbuat banyak. Dan yang bisa menentukan kebijakan tersebut hanya pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan. Saya sampai gemas, ternyata masih ada warga saya yang belum mendapat ganti rugi,” ujar Win Hendrarso.

    Win menambahkan, dia akan mengirimkan surat rekomendasi kepada Ketua Dewan Pengarah dengan tembusan kepada Gubernur Jawa Timur. Namun, sebelum surat tersebut dikirimkan, dirinya meminta kepada Camat Porong dan Jabon untuk membuat rekomendasi inventarisasi usulan warga.

    Sementara itu, Kepala BPLS Sunarso mengaku pihaknya tidak bisa berbuat banyak terkait dengan pengambilan keputusan. Sebab, BPLS hanya sebatas pelaksana saja dan yang mengambil keputusan adalah dewan pengarah BPLS.

    “Kalau sudah ada keputusan dari dewan pengarah, pasti akan kami laksanakan. Termasuk uang jaminan hidup dan uang kontrak rumah. Kalau sudah keluar, akan segera kita saluran karena uang itu dari APBN,” urai Sunarso. (Abdul Rouf/Koran SI/hri)

    (c) okezone.com