Blog

  • Dari Astrid Karindra untuk Calon Presiden RI

    Dari Astrid Karindra untuk Calon Presiden RI

    Kepada Yth.
    Calon Presiden RI

    Dengan hormat

    Bersama surat ini saya bernama Astrid mengeluarkan secuil curahan hati yang selama ini saya pendam yaitu mengenai:

    1. Fasilitas jalan antara Porong-Sidoarjo-Surabaya yang kerap kali macet sehingga sangat menyita waktu dan tenaga selain itu juga karena pengaruh cuaca. Bila musim kemarau suhu udara naik sehingga menimbulkan polusi dan debu. Bila musim hujan terdapat lubang- lubang sekitar jalan raya yang membahayakan pengendara dan dapat mereggut nyawa orang lain.
    2. Kekhawatiran disebabkan oleh lumpur yang semakin hari semakin membesar, keprofesionalnya tenaga kerja tanggul Porong akan runtuh sedikit demi sedikit, selain itu juga karena cuaca yang tidak menentu yang akan menyebabkan perluasan daerah lumpur.
    3. Ekonomi, tempat tinggal, serta pekerjaan. Hal ini pasti dibicarakan dan dirasakan oleh orang lain, tetapi para korban lumpur termasuk saya mengalami masalah ekonomi yang cukup hebat, sehingga meningkatkan pengangguran, selain itu banyak orang yang memilih jalan singkat atau melakukan tindak kejahatan yang sudah pasti merugikan. Hal ini di karenakan usaha yang terbengkalai, krisis ekonomi dunia mengakibatkan harga sembako yang semakin hari semakin meningkat. Sedangkan tentang tempat tinggal rata-rata para korban lumpur hanya memiliki rumah saja dan sanak saudaranya bertempat tinggal jauh. Jadi mereka lebih memilih bertempat tinggal sementara di penampungan. Tetapi di penampungan jaminan kesehatan, kebersihan, dan fasilitas sangat kurang sehingga sangat meresahkan.
    4. Kesehatan. Hal ini sangat penting dibicarakan mengingat adanya krisis ekonomi global banyak warga korban lumpur yang sakit karena stress, selain itu juga karena udara yang tercemar karena runtuhan tol, bahan dari tanggul yang berterbangan di udara dan mesin-mesin berat.

    Jujur saya sebagai korban lumpur, saya merasa sangat dirugikan, sedih dan miris melihat para korban lumpur yang terbengkalai tetapi mereka menghadapi masalahnya dengan semangat dan tujuan yang kuat serta senyuman.

    Demikian curahan hati yang sudah lama mengganjal di hati. atas perhatiannya

    Hormat saya

    Astrid K.A
    Asal Perumtas I, Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo

    Puisi Astrid
    Jangan Sakiti Kotaku Lagi

    Sendiri dihempas keheningan
    Terdiam renungi kisah hidup
    Berjalan tiada tujuan
    Berharap hari cerah kan datang

    Terjebak dalam dentingan waktu
    Terhanyut dalam emosi jiwa
    Gelap mengusik hatiku
    Menggoncang pikiranku

    Oh Tuhan…
    Jangan kau biarkan
    Negriku direnggut
    Negriku dihempas
    Tinggal puing-puing abadi

    Tuhan…
    Jangan kau biarkan
    Kami menatap asa tanpa batas
    Hanya mengharap pertolongan-Mu
    Hanya meminta wp-contentu kan
    KEMBALI…

     

  • Dari Edi Purwanto untuk Calon Presiden RI

    Dari Edi Purwanto untuk Calon Presiden RI

    Kepada Yth.
    Bapak Calon Presiden

    Dengan hormat,

    Salam Bapak Calon Presiden
    Nama saya Edi Purwanto. Saya sekolah di Mts Al-Hikmah Kali Dawir. Bapak saya pekerjaannya petani. Tapi sekarang bapak saya membuat kolam lele. Tapi belum ada hasilnya. Lelenya banyak yang mati karena terkena air lumpur. Bermacam-macam cara sudah dilakukan. Tolong Bapak calon presiden, gimana caranya air lumpur tidak bisa meresap di kolam bapak saya.

    Tolong Bapak calon presiden, kasianilah bapak saya. Dia banyak mengeluarkan banyak uang. Tolong bapak calon presiden.

    Dengan hormat,

    Edi Purwanto
    Desa Sentul RT 02 RW 01, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo
    Mts Al-Hikmah Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo

  • Dari Icha Noviyanti untuk Calon Presiden RI

    Dari Icha Noviyanti untuk Calon Presiden RI

    Porong, 24 Mei 2009

    Kepada
    Yth Calon Presiden RI
    di tempat

    Salam Calon Presiden,

    Nama saya Icha Noviyanti. Saya kelas VI SD, saya bersekolah di SDN Reno Kenongo I yang sekarang pindah di SDN Glagaharum.

    Keadaan sekolah saya sangat memprihatinkan. Karena sekolah saya tenggelam Lumpur, jadi saya harus bersekolah mengontrak atau menampung. Dan saya juga harus masuk siang.

    Saya ingin bapak calon persiden kalau sudah menjadi persiden, bapak bisa melihat keadaan sekolah saya. Seandainya bapak bisa ke tempat saya, bapak akan saya ajak berkeliling untuk melihat rumah saya yang tenggelam, sekolah saya yang tenggelam, dan tempat bermain saya yang tenggelam juga.

    Seandainya Bapak/Ibu terpilih menjadi persiden, besar harapan saya persiden terpilih nantiknya, bisa merubah kehidupan kami semua menjadi baik.

    Terima kasih, semoga persiden terpilih nanti bisa lebih melihat rakyat bawah.

    Salam
    Icha Noviyanti

     

  • Dari Ermawati untuk Calon Presiden RI

    Dari Ermawati untuk Calon Presiden RI

    Porong 22, Mei 2009

    Kepada
    Yth Bapak Capres
    di tempat

    Assalamualaikum Wr. Wb

    Yang terhormat bapak Capres. Saya salah satu anak warga korban Lumpur Lapindo yang selama ini hidup di pengungsian Pasar Baru Porong. Saya ingin sekali mendapatkan pimpinan bangsa Negara ini dipimpin seorang yang bijaksana, jujur dan tulus dalam melakukan segala hal. Apalagi soal pendidikan, pendidikan di Negaraku ini sangat tertinggal, maka dari itu saya minta agar diberikan tempat pendidikan yang layak, dan anak-anak yang belum sekolah agar mendapatkan bimbingan sekolah atau diberikan sekolah gratis untuk orang yang tak mampu.

    Bapak juga tak tahu kan bagaimana keadaan saya dan warga yang terkena bencana Lumpur Lapindo yang lain? Kita semua di sini sangat menderita, kami tidur beralasan lantai, siang dan malam kita rasakan tanpa adanya rumah. Kami mandi harus antri padahal waktu terus berjalan, itu pun sering membuat anak yang sekolah sering telat dan itu pun menghambat jalannya belajar kita semua.

    Jika saja kita semua memiliki pemimpin yang baik dan berhati mulia pasti semua ini tidak akan terjadi. Dan kita semua sangat-sangat berharap dengan adanya capres yang baru hidup kita semua bisa berubah lebih baik dan tak ada lagi anak jalanan yang tinggal di bawah jembatan, karena mereka juga berhak untuk hidup layak.

    Sekian dulu surat saya. Jika ada yang tidak berkenan di hati Bapak, saya mohon maaf sebesar-besarnya, dan mungkin dengan adanya surat saya ini hati Anda terbuka dan memberikan yang terbaik untuk rakyat.

    Wassalamualaikum Wr. Wb.

    Ermawati (15 tahun)
    Desa Renokenongo, kini tinggal di Dusun Kedungkambil
    SMPN 2 Porong

     

  • Mengungsi ke Ladang Tebu

    Tanah ini mereka beli secara kolektif dengan uang mereka sendiri. Mereka tidak mampu mengontrak rumah lagi. Uang pembayaran aset-aset mereka, yang mayoritas aset kecil, hanya cukup untuk membayar hutang-hutang selama tiga tahun hidup di pengungsian tanpa pekerjaan dan membeli sebidang tanah di ladang tebu ini.  Mereka membangun barak-barak alakadarnya. Suplai air dan listrik masih minus. Entah, berapa lama lagi mereka harus hidup tak layak. Lumpur Lapindo telah menghancurkan nyaris segala sendi kehidupan mereka.

    Foto-foto: Fahmi ‘Indie’ (more…)

  • Belasan Gas Liar Menyembur, Sidoarjo ‘Membara’

    Tapi, jika mereka ditanya, raut mereka mendadak gelisah. “Mereka takut, resah, Mas,” tutur Kurniawan, 37 tahun, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Ketapang. Maklum saja, Desa Ketapang berjarak hanya beberapa puluh meter dari tanggul penahan lumpur Lapindo, persis hanya dibatasi Jalan Raya Porong.

    Desa Ketapang sendiri terdiri dari 14 RT. Sejumlah 2 RT, yakni RT 1 dan RT 7, berada di sebelah timur Jalan Raya Porong dan sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo. Kedua RT terakhir ini masuk dalam Peta Terdampak 22 Maret 2007 yang ditetapkan Perpres No 14/2007. Sementara sejumlah 12 RT sisanya terletak di sebelah barat Jalan Raya Porong. Kawasan ini tidak masuk dalam area peta terdampak.

    Nyala api yang menggelisahkan warga itu berasal dari semburan gas liar (bubble gas) yang disulut. Gas ini tidak berbau. Hari Minggu (17/5) kemarin, warga RT 3 mula-mula menemukan rembesan tanah basah yang tidak biasa. Gelembung-gelembung kecil pada rembesan itu muncul tanpa henti. Sejumlah warga mencoba menusukkan bambu pada tanah basah itu, sehingga tekanan udara mengarah ke atas lebih kuat. Ketika mereka menyulut di dekat bambu tersebut, nyala api muncul. Sebagian warga lainnya langsung menyulutkan api pada gelembung-gelembung kecil di tanah basah itu.

    Warga lalu menyusun beberapa batubata di sekeliling nyala api sehingga menjadi semacam tungku, dan menaruh ketel atau panci yang berisi air di atasnya. Salah seorang warga yang berkerumun malam itu, Rabu (21/5), berusaha untuk bercanda.  “Wah, enak ini, kita tinggal urun ikan emas. Ditaruh dipanci, matang. Ngobrol-ngobrol makin gayeng ini.” Kontan saja sejumlah warga lainnya, terutama ibu-ibu, memaki. “Kalau rumahmu kobong, bagaimana coba?” sahut seorang warga.

    Mereka gelisah kalau-kalau gas liar itu jauh lebih banyak dan lebih besar dari yang muncul sekarang. Sebab, semua gas ini muncul tanpa diduga. Mereka kuatir, jangan-jangan di dalam rumah mereka sendiri juga terdapat gas-gas liar semacam. Warga sudah melaporkan adanya semburan gas-gas liar ini kepada Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Senin (18/5) kemarin, Mas. Tapi petugas itu, ya, cuma melihat. Ketika kita bertanya, petugas itu cuma menjawab ‘Kita akan laporkan ke Dewan Pengarah’,” ujar Kurniawan, Ketua BPD itu.

    Di kawasan RT 3 setidaknya terdapat tiga nyala api besar, dan satu nyala api kecil. Beberapa titik api lainnya di pekarangan dan belakang rumah penduduk dipadamkan warga sendiri. Sementara di RT 8, nyala api muncul di pinggir Sungai Ketapang. Satu nyala api besar persis berada di tubir sungai. Beberapa nyala api besar lainnya muncul di pekarangan warga, beberapa meter dari sungai.

    Terhadap kondisi ini, warga Ketapang sebetulnya masih belum mau menuntut macam-macam. “Yang penting kita itu mendapat keterangan yang jelas, apa yang sesungguhnya terjadi ini? Apa kawasan ini berbahaya, tidak layak huni, masih layak huni, atau bagaimana?” tandas Kurniawan.

    Menurut warga, BPLS selalu memberi informasi yang tidak jelas, bilang ini tidak berbahaya. Akhir Februari lalu, ketika pertama kali warga menemukan gas liar di tubir Sungai Ketapang, BPLS juga bilang itu tidak berbahaya. Kenyataannya, hanya berselang kurang dari tiga bulan, Desa Ketapang sudah ‘membara’. Belasan titik gas liar muncul di pemukiman. [ba]

  • 3 Tahun, Proses Hukum Lumpur Lapindo Masih Gelap

    “Minggu lalu sudah kita serahkan berkas yang kelima ke Kejaksaan,” ujar Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam kepada wartawan di ruangannya, Surabaya, Jumat (15/5/2009).

    Sebelumnya pihak kejaksaan enggan melanjutkan penanganan kasus tersebut, karena banyak saksi ahli yang mengatakan jika kasus lumpur Lapindo bukan suatu kelalaian melainkan faktor alam.

    “Perlu saksi ahli yang bisa menyatakan jika hal tersebut merupakan kelalaian,” tambah Anton.

    Lumpur Lapindo sendiri tanggal 29 Mei ini genap berumur 3 tahun namun upaya menyelesaian kasus tersebut hingga kini belum menemukan titik terang.

    “Sudah ada 13 tersangka tapi mereka belum tentu bersalah, kita lihat nanti dipersidangan,” tegas Anton.

    Namun berkas yang telah diserahkan ke Kejaksaan tersebut hingga kini belum mendapatkan tanggapan dari pihak kejaksaan.

    “Ya kita tunggu saja hasilnya nanti,” pungkas Anton.(mok/gik)

  • Semburan Gas Baru Menambah Kecemasan Warga Sidoarjo

    Semburan gas itu pertama kali ditemukan Ikhwan (45), warga Desa Siring, Senin (18/5) kemarin sekitar pukul 19.30. Awalnya, ia curiga dengan bau gas yang keluar dari sebuah sumur bor milik salah satu warga. Ikhwan lantas melaporkan temuannya itu ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Kepala Divisi Gas BPLS Dodie Irmawan yang meninjau langsung ke lokasi mengatakan, semburan gas tersebut mengandung hidrokarbon dan metana. Setelah diukur dengan alat multigas detector, kadar low explossion limit (LEL/batas rendah ledakan) semburan tersebut lebih dari 100 persen. Artinya, tingkat keterbakarannya tinggi atau mudah terbakar.

    “Semburan ini mudah terbakar bila terkena api atau bahkan puntung rokok yang masih menyala. Tindakan kami untuk mengamankan semburan ini adalah dengan memasang pipa pengaman yang diarahkan ke udara bebas,” kata Dodie, Selasa (19/5) di Sidoarjo.

    Meningkatnya jumlah semburan gas semakin menambah kecemasan warga di Desa Siring. Menurut Ikhwan, warga sangat berharap agar pemerintah segera mengambil tindakan terhadap fenomena meningkatnya jumlah semburan gas di luar peta terdampak. Selama ini, warga senantiasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa.

    “Kami hanya mendengar bila ada rencana relokasi terhadap wilayah kami yang sudah tidak layak huni. Namun, sampai hari ini sama sekali belum ada realisasi dari pemerintah. Kami juga tidak mau tinggal di wilayah yang dikelilingi semburan gas,” kata Ikhwan.

    Selama Mei 2009, muncul 13 titik semburan baru di Desa Siring, Desa Wunut dan Desa Jatirejo, di Kecamatan Porong; serta Desa Pejarakan, di Kecamatan Jabon. Bertambahnya jumlah semburan gas tersebut disebabkan meningkatnya tekanan di bawah permukaan tanah akibat beban penumpukan lumpur di tanggul kolam penampungan lumpur. Sejak Oktober 2008, semburan lumpur tidak dialirkan ke Sungai Porong. apo/kcm

  • Pengungsi Korban Lumpur Lapindo Kesulitan Air dan Listrik

    Di lahan relokasi tersebut, pengungsi mendirikan 80 barak darurat berdinding tripleks dan beratap asbes. Rencananya, mereka akan mendirikan 140 unit barak darurat berukuran 3 meter x 5 meter. Barak tersebut dibangun untuk warga korban lumpur yang belum mem iliki rumah kontrakan.

    “Kami masih membuat sumur untuk mendapatkan air bersih. Untuk keperluan penerangan, kami akan menyewa genset karena bila memasang jaringan listrik baru dari PLN perlu biaya besar,” ucap Pitanto (47), koordinator pengungsi, Minggu (17/5) di Sidoarjo.

    Pengungsi korban lumpur di Pasar Porong Baru membeli lahan relokasi tersebut pada 19 Maret 2009 dari Pabrik Gula Kremboong. Harga tanah yang dibeli pengungsi berkisar antara Rp 75.000 hingga Rp 115.000 meter per segi. Tanaman tebu yang berada di lahan relokasi sudah ditebangi seluas lima hektar.

    Para pengungsi keluar dari Pasar Porong Baru yang mereka huni sejak November 2006 setelah menerima uang muka ganti rugi 20 persen dari Lapindo. Sedianya, pengungsi akan keluar dari pasar pada akhir April 2009 lalu. Namun, karena masih ada beberapa anak-anak di pasar tengah mengikuti ujian sekolah, rencana kepindahan ditunda hingga pertengahan Mei 2009. aris prasetyo/kcm

  • Police, AGO at Odds Over Fate of the Lapindo Case

    The East Java Police on Wednesday affirmed that they had no intention of dropping a criminal case against a drilling company believed to be partially responsible for the mud volcano that has displaced tens of thousands in Sidoarjo, East Java.

    The statement came after Attorney General Hendarman Supanji said on Monday that his office was certain it could not win a criminal case against the company, PT Lapindo Brantas, and therefore had no desire to bring it to court. (more…)

  • AGO Washes Its Hands of Lapindo Mudflow Case

    The Attorney General’s Office confirmed on Monday that it would not pursue a criminal case in the devastating mud volcano disaster in East Java allegedly involving PT Lapindo Brantas, a company owned by the family of senior minister Aburizal Bakrie.

    “We don’t want to repeat the defeat in the environment trial against Newmont,” Attorney General Hendarman Supandji said in a hearing with lawmakers. (more…)

  • Menyeriusi Semburan Lapindo

    Si kawan melanjutkan. “Masih ingat pemeo Henry Ford II yang bicara kepada para direkturnya,“You can choose any color as long as it is black.” Kalau shareholder sudah mengatakan black, maka seluruh jajaran manajemen (termasuk direktur dan komisaris) harus tunduk.”

    Penanganan semburan lumpur Lapindo makin hari bukan menunjukkan kemajuan baik, tapi malah ada saja masalah timbul. Mulai dari pemberesan pembayaran jual-beli tanah korban dalam peta tanggung jawab Lapindo menurut Pasal 15 Perpres No 14 Tahun 2007 yang masih jauh dari beres, hingga persoalan penanganan semburan lumpur Lapindo. (more…)

  • Ketika Korban Masuk Bursa Caleg

    Ketika Korban Masuk Bursa Caleg

    Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu, khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2, yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H. Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya. Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi Ilmiawan, warga Desa Permisan.

    Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda. Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di Partai Barisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura. Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi mereka menggandeng “saudara senasib”?

    “Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk perjuangan korban Lapindo.

    Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalam pergerakan warga korban lumpur guna menuntut tanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia sering terlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini dia ingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui, perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewan legislatif nanti akan bertentangan dengan partainya, Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab, “Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagai anggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan.

    Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekati rakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk tim kampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain juga menggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum, Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dan sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIP Jabon. Iwan biasanya membentuk forum-forum pertemuan untuk menyampaikan visi-misi dan menangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisa menjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong, Tanggulangin, Jabon, dan Krembung.

    Tapi, Iwan mengaku kesulitan menyentuh warga korban Lapindo dari dalam peta terdampak. Selain karena mereka sendiri terpencar dan datanya susah untuk didapat, juga karena, menurut Iwan, warga korban di dalam peta lebih pragmatis dalam merespon sosialisasi caleg. “Kalau korban di pinggiran (sekitar tanggul) lebih enak, lebih antusias. Tapi (korban dari) dalam peta lebih susah. Mungkin harus bawa bantuan dulu untuk bisa masuk ke sana,” tutur Iwan.

    Lain lagi dengan Muliana. Perempuan korban Lapindo dari kalangan pengontran Perum TAS 1 ini sadar, anggota dewan sekarang ini tidak bisa berbuat banyak terhadap nasib korban Lapindo. Namun, sebagai caleg dari Partai Hanura, Muli berjanji akan bersikap berbeda dari anggota dewan sekarang. “Saya akan serius membawa agenda kesejahteraan masyarakat korban Lapindo baik dalam peta maupun luar peta,” tegas Muli yang terlahir 31 tahun lalu ini. Muli juga berjanji akan menyuarakan aspirasi semua korban Lapindo, bukan kelompok tertentu saja. “Saya tidak memilih-milih mana yang akan diperjuangkan, semua akan saya aspirasikan,” ujarnya lagi.

    Muli tidak saja berjanji akan memperjuangkan nasib korban Lapindo, tapi juga melibatkan mereka dalam proses pencalonan dirinya. “Saya melibatkan beberapa kawan korban Lapindo juga untuk membantu kampanye saya, dan mereka sama sekali tanpa bayaran,” ujarnya. Ini semangat anti politik uang (money politics), menurut Muli. Dan karena tanpa uang, Muli memilih jalur personal. Muli berkunjung dari pintu ke pintu, door to door. “Setiap hari saya meyakinkan mereka, untuk kasus Lapindo ini saya serius,” tuturnya.

    Semangat anti politik uang itu akan dia pegang jika nanti duduk sebagai anggota dewan. “Jangan bicara dengan politik uang, tapi dengan hati nurani, karena ini masalah manusia,” sambung Muli. Dengan politik hati nurani, Muli berjanji akan konsisten membela korban Lapindo. “Saya akan konsisten menyuarakan kasus Lapindo ini. Dan tidak ikut dalam konstelasi yang akan memperburuk kondisi korban,” tandasnya.

    Agaknya, caleg-caleg dari kalangan korban lumpur ini sepakat untuk memperjuangan secara serius nasib saudara-saudara mereka. Seperti juga Iwan dan Muli, Sapariadi, caleg asal Desa Renokenongo juga berjanji akan menjadikan kasus Lapindo sebagai prioritas. Sapariadi mengaku pernah menjadi Ketua Forum Silaturrahmi Rakyat Korban Lumpur Lapindo, yang memperjuangkan uang kontrak, jatah hidup (jadup), dan uang boyongan rumah. Ia sendiri memutuskan untuk maju sebagai caleg dari Partai Barisan Nasional lantaran adanya dorongan dari sesama korban lumpur. Sama seperti Muli, Sapariadi tidak sepakat dengan pendekatan politik uang untuk meraih suara.

    Namun, meskipun caleg-caleg dari korban lumpur menyatakan serius akan memperjuangkan saudara mereka, warga korban lumpur sendiri tak sepenuhnya yakin akan hal itu.  Nur Cholifa, 37 tahun, warga Desa Jatirejo, misalnya. Belum lama ini, Cholifah didatangi salah satu tim sukses caleg DPRD Sidoarjo. Dia diberi wawasan, atau tepatnya diceramahi, soal pentingnya Pemilu 2009. Ia juga diberi sembako, kaos dan stiker bergambar si caleg. Toh, Cholifa pesimis caleg-caleg tersebut bisa meringankan permasalahan korban lumpur.

    “Mereka ‘kan mencalonkan sebagai caleg di DPRD Sidoarjo. Tidak mungkin bisa ngomong mampu menyelesaikan persoalan korban lumpur,” ujar Cholifa. Bahkan, Pemilu 2009 ini, bagi Cholifa, tidak akan menciptakan banyak perubahan bagi korban lumpur. “Janji-janji yang ditawarkan para caleg, menurut saya, cuma janji-janji saja. Belum tentu nanti mereka yang sudah jadi akan memperjuangkan nasib korban lumpur,” tegasnya.

    Pesimisme Cholifa ini bukan tanpa alasan. Ia punya pengalaman ketika berlangsung pemilihan gubernur (pilgub) Jatim 2008 silam. Saat itu, Cholifa juga didatangi salah satu tim sukses calon gubernur. Ia dijanjikan akan diberi modal usaha jika mau memilih calon yang ditawarkan. Tapi, setelah pilgub usai, bantuan modal belum juga diberikan. “Pada pilgub kemarin, saya disuruh nyoblos salah satu calon gubernur. Dijanjikan akan diberi modal, tapi kenyataannya tidak ada. Apalagi sekarang, banyak caleg yang menawarkan janji-janji perubahan pada korban lumpur. Saya tidak percaya,” tutur Cholifa.

    Mulyadi, 28 tahun, juga tidak antusias terhadap Pemilu 2009. Bagi pemuda asal Desa Jatirejo ini, kebanyakan parpol tidak berani berkomitmen untuk menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Mulyadi, yang kini tinggal di rumah istrinya di Desa Tebel, Sidoarjo, pernah ditawari menjadi salah satu tim sukses. Tapi ia menolak. Mulyadi tidak percaya adanya perubahan melalui Pemilu 2009. “Janji-janji yang ditawarkan caleg dan partai politik, untuk menuntaskan masalah korban lumpur, tidak mungkin terwujudkan. Meskipun banyak warga korban yang mencalonkan diri jadi caleg,” ujarnya.

    Ketidakpercayaan terhadap caleg dan Pemilu itu tampaknya telah menyebar luas di kalangan korban lumpur. Tapi, Safari, 48 tahun, warga Desa Kedungbendo masih berharap, janji dan komitmen para caleg dan parpol untuk memperjuangkan nasib korban lumpur bisa dibuktikan. Karena itu, Safari yang dulu tinggal di Kawasan Kompleks Angkatan Laut ini mendukung jika ada korban lumpur yang maju sebagai caleg. “Saya sangat mendukung warga korban yang mencalonkan jadi anggota legislatif, yang berani dan berkomitmen menyelesaikan kasus lumpur semuanya,” ujarnya.

    Sementara itu, Suharto, 45 tahun, asal Desa Jatirejo, mengakui memang banyak caleg dan parpol memberi janji-janji penyelesaian kasus lumpur. “Itu trik mereka meraup suara korban. Tapi seyogyanya juga bisa berkomitmen memberi penyelesaian kasus lumpur, tanpa pengecualian,” tegasnya. Meski begitu, Suharto juga mengharapkan, warga yang mencalonkan sebagai anggota legislatif itu bisa mengubah situasi korban lumpur Lapindo. Hanya saja, Suharto ragu terhadap kapasitas caleg-caleg tersebut jika akhirnya mereka nanti terpilih. Sehingga, “saya belum tahu, caleg mana yang pantas saya pilih,” ujarnya. (vik/re/ba)

  • Jalan Desa Gedang Jadi Kebun Pisang

    Jalan Desa Gedang Jadi Kebun Pisang

    Jalan Desa Gedang, Kecamatan Porong, sejak Selasa (31/03) seolah berubah menjadi kebun pisang. Di tengah jalan yang biasanya menjadi jalur alternatif ketika Jalan Raya Porong macet, berdiri pohon-pohon pisang yang ditempeli tulisan-tulisan bernada gugatan. Inilah bentuk protes warga terhadap kerusakan jalan yang ada di desa mereka.

    “Sudah banyak kecelakaan di sini karena banyaknya lobang. Apalagi ini musim hujan,” tutur Roiss Haryanto (51), warga Siring yang sekarang tinggal di Desa Gedang RT 3 RW 1. Semenjak jalan tol Surabaya-Gempol lenyap ditenggelamkan lumpur Lapindo, volume kendaraan ke arah Surabaya-Malang dan Pasuruan begitu pun sebaliknya menjadi bertumpuk di Jalan Raya Porong. Kemacetan panjang adalah kenyataan sehari-hari yang harus dialami warga yang melewati Jalan Raya Porong.

    Keadaan ini menyebabkan jalan-jalan desa seperti yang ada di Desa Gedang digunakan sebagai jalur alternatif untuk mengurangi kemacetan. Bukan hanya kendaraan pribadi saja yang melewati jalan-jalan desa ini, tetapi truk-truk besar, bus, bahkan pengangkut peti kemas juga terkadang menggunakan jalan yang tidak sesuai kelasnya tersebut. Akibatnya bisa diduga, jalan-jalan alternatif ini akhirnya menjadi hancur dan berlobang besar disana-sini.

    “Sudah pernah diperbaiki, tapi karena yang lewat (truk dan bus) besar-besar. Akhirnya rusak lagi,” terang Rois lebih lanjut.

    Warga sebenarnya tidak berusaha menghalangi kendaraan yang melewati jalan Desa Gedang ini. Mereka juga tidak menolak jalan desa mereka dipakai sebagai jalur alternatif. Tetapi karena kerusakan dan adanya lobang, pohon-pohon pisang itu dipasang untuk menghindari pengguna jalan terperosok. Juga sebagai bentuk ketidakpuasan.

    Lihatlah, mereka memasang berbagai tulisan seperti “Pejabat lihatlah jalanku”, “Iki jalan opo sawah?” dan “Mana Janjimu Pak Karwo” untuk menuntut pertanggungjawaban Pemerintah.

    “Jangan cuma ngurusi Pemilu saja, jalan ini harus segera diperbaiki,” tuntut Rois lebih lanjut.
    Sampai sekarang belum ada tanda-tanda jalan di Desa Gedang ini akan diperbaiki. Entah, apakah dibutuhkan korban jiwa terlebih dahulu sebelum mata pemerintah mau melihat kenyataan yang sebenarnya juga disebabkan kelalaian mereka sendiri.[re]

  • Gubernur Desak BPN Terbitkan Sertifikat bagi Korban Lumpur

    Dalam pertemuan dengan sembilan perwakilan korban lumpur Lapindo, Senin (30/3) di Kantor Gubernur, Surabaya, Soekarwo mengatakan, tanpa sertifikat, warga akan kesulitan mendapatkan ganti rugi. Karena itu, proses penggantian Letter C dan Pethok D menjadi sertifikat adalah langkah tepat menyiasati permasalahan pembayaran.

    Suwito, ketua Gerakan Pendukung Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Geppres), mengungkapkan, sampai saat ini PT Minarak Lapindo Jaya belum menerima atau mengakui permasalahan ganti rugi surat Letter C dan Pethok D. Padahal, pemerintah sudah bersedia mengakui bukti kepemilikan non-sertifikat tersebut.

    “Sudah ada surat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengatur mekanisme jual-beli, baik yang sertifikat, maupun non-sertifikat. Tapi PT Minarak Lapindo Jaya tetap menolak untuk membayar,” ujarnya. Sejak pukul 11.00, ratusan warga korban lumpur Lapindo mendatangi kantor Gubernur Jawa Timur. Sekitar 200 warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam koalisi korban lumpur Lapindo tersebut ingin mengadukan tersendatnya pembayaran ganti rugi tanah bagi warga yang surat tanahnya berupa Letter C dan Pethok D.

    Pada prinsipnya, ratusan warga menuntut tiga poin, yaitu perlakuan sama terhadap status tanah non-sertifikat maupun sertifikat, penegasan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, dan tuntutan ketegasan presiden menyelesaikan ganti rugi tanah maksimal akhir tahun 2008.

    Lapindo Tetap Menolak

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya tetap bersikukuh menolak bukti kepemilikan tanah berupa Letter C dan Pethok D bisa dijadikan akta jual beli tanah. Lapindo, menurut Andi, sudah memberikan jalan keluar bagi korban lumpur pemilik Letter C dan Pethok D berupa cash and restlement. Ia berharap agar warga mau menerima tawaran itu.

    “Tetap tidak bisa (bila Letter C dan Pethok D dijadikan akta jual beli tanah). Kami menolak itu. Solusi yang kami berikan berupa cash and restlement adalah solusi terbaik bagi pemilik berkas berupa Letter C dan Pethok D. Bila Gubernur membawa persoalan ini kepada Presiden, kita tunggu saja hasilnya,” ujar Andi.

    Wakil Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Pitanto mengatakan, tawaran Lapindo tersebut dinilai tidak masuk akal. Pasalnya, warga kesulitan untuk mendapatkan ukuran tanah yang sebenarnya karena sudah terendam semburan lumpur. Menurut Pitanto, sangat tidak mungkin bagi warga pemilik Letter C dan Pethok D mengukur kembali luas tanah mereka.

    Skema cash and restlement adalah skema bagi pemilik Letter C dan Pethok D untuk menerima uang muka 20 persen dan sisanya, yaitu pembayaran 80 persen, dibayar dengan cara mengganti tanah milik warga yang terendam lumpur dengan luas tanah yang sesuai. 

    Senin, 30 Maret 2009 | 22:16 WIB

  • Merebut Kembali Hak atas Informasi Korban Lumpur Lapindo

    Begitu bergerak menuju pusat suara, pagi sekira pukul 08.00 itu, Astuti menyaksikan kamar yang biasa ia tinggali bersama suaminya, Sulkan, telah runtuh. Tinggal puing-puing.  Amblesan tanah (land subsidence) sebagai dampak lumpur yang terus meluap dari dalam tanah telah mengakibatkan ambruknya rumah Astuti.

    Meski tidak siap atas peristiwa ini, Astuti selamat, persis karena keberuntungan. Ya, keberuntungan. Sebab, bagaimana mungkin siap jika pejabat pemerintahan tak menyediakan sistem peringatan dini, early warning system (EWS), di kawasan berisiko ini? Jika warga tidak diberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang kondisi bahaya di sekitar rumah mereka, bahkan di dalam rumah mereka? (more…)

  • Awas Bahaya Jangka Panjang Lumpur Lapindo!

    Berdasar penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur yang dilakukan 2006-2008, ditemukan zat Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH), senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik (penyebab kanker).

    Berry Nahdian Furqon Direktur Eksekutif WALHI, di Jakarta Rabu (18/3) mengatakan memang senyawa tersebut tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, kira-kira 5-10 tahun ke depan.

    Dalam sistem metabolisme tubuh akan PAH diubah menjadi senyawa Alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker.

    “PAH akan sangat berbahaya khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo, beserta ancaman terhadap kerusakan ruang hidup warga jika terpapar terus menerus dalam batas waktu lama(lebih dari 24 jam) ” jelas Berry.

    Belum lagi lumpur yang dibuang ke Kali Porong, biota yang ada di sana juga akan tercemar dan mati. Itu memperparah kerusakan ekologi. Sampai saat ini belum dipastikan kapan semburan lumpur Lapindo ini akan berhenti atau bisa dihentikan.

    Bisa jadi semburan lumpur Lapindo ini akan berlangsung puluhan tahun. Maka selama itu pula logam berat dan PAH yang sangat berbahaya bagi manusia yang berasal dari perut bumi akan terus dikeluarkan.

    Ia juga mengatakan walaupun nantinya lapindo akan berhenti, butuh waktu yang lama untuk menghilangkan dampak yang telah akibatkan. “tidak akan otomatis hilang tetapi justru akan terakumulasi pada ribuan spesies hewan dan tumbuhan, ” kata Berry.

    Mengingat bahaya yang diakibatkan PAH , Berry meminta pemerintah untuk mengadakan  pemeriksaan kesehatan secara rutin dan dalam waktu yang panjang hingga sepuluh tahun ke depan bagi warga di wilayah semburan lumpur dalam radius terciumnya bau gas.

    Hal lain yang juga harus dilakukan adalah menyusun ulang rencana penanganan wilayah yang berisiko dengan adanya lumpur panas dengan melibatkan semua institusi pemerintahan di bidang kesehatan, lingkungan, ekonomi, dan sosial.

    Selain itu, pemerintah juga harus memberikan masker bagi warga yang tidak bersentuhan langsung dengan lumpur juga yang mengkonsumsi air yang terkontaminasi. ” Mereka juga butuh perlindungan, setidaknya masker masker penyaring udara untuk melindungi pernapasan,” ujar Berry.

  • Pulau Dem: Potret Kelam Pembuangan Lumpur Lapindo ke Kali Porong

    Pulau Dem, gundukan yang membentuk pulau seluas lebih dari 900 hektar di muara Kali Porong, merupakan lahan tambak produktif yang mampu memberi hidup bagi para warga. Ada 88 laban (pintu air tambak) jumlah lahan garapan di tempat itu. Area ini, menurut pihak desa, sejak 1980an mulai digunakan sebagai lahan tambak. Menurut beberapa warga lainnya, bahkan akhir tahun 1960an, atau setelah peristiwa pembantaian ’65, warga telah mulai memakai Pulau Dem sebagai lahan tambak.

    Riwayat mana pun yang benar tak mengurangi kenyataan bahwa para pionir ini pasti pekerja keras, karena bukan perkara mudah menuju daerah ini. Lokasinya ada di tengah-tengah muara Kali Porong. Area ini juga cukup jauh dengan jalanan yang tidak bersahabat. Di musim hujan, kita harus menyeberangi Kali Porong untuk mencapai Pulau Dem.

    Haji Machfud (52 tahun) adalah bagian dari para pekerja keras itu. Dengan luas tambak seluas 7,5 hektar, bapak tiga putra ini berharap bisa mencukupi kebutuhan hidupnya melalui tambak itu. Warga Dusun Pandansari RT 16 / RW 5, Desa Kedung Pandan, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, ini merasa bahwa penghasilannya yang didapat dari usaha tambak ini mencukupi. “Setidaknya 60 hingga 70 juta per panen saya dulu biasa dapatnya,” tuturnya. Dengan setahun bisa mendapat dua kali panen saja, Haji Machfud bisa menghidupi keluarganya.

    Namun, semua itu cerita masa lalu. Semenjak Pemerintah memutuskan membuang lumpur ke laut melalui Kali Porong, pelan-pelan sumber nafkah Haji Machfud menyusut. Puncaknya adalah ketika ombak besar pasang di muara laut menghajar tanggul-tanggul penghalang tambak dan menghancurkan panenan ikannya serta merusak tambaknya. “Rusak semua tambak di sana. Mungkin hanya ada tiga tambak yang luput dan masih bisa dikerjakan,” terangnya. Semua bencana itu, tutur Haji Machfud, adalah akibat pendangkalan muara karena lumpur Lapindo yang digelontorkan melalui Kali Porong.

    “Dulu arus pasang dari laut bisa mengalir lancar, bahkan sampai ke wilayah Porong sana. Tapi karena sekarang di sini (area muara) jadi dangkal, air pasang tidak bisa mengalir lewat Kali Porong, dan masuk ke tambak-tambak (di Pulau Dem),” tutur Haji Machfud.

    Sekarang tambak-tambak itu tak berbentuk lagi. Semua galengan pembatas dan laban telah hancur diterjang air pasang. Sejauh yang bisa dilihat, lahan itu menjadi perluasan laut yang menjorok masuk ke dalam pulau itu. Tidak ada pembatas apapun. Hanya air di mana-mana. Sebuah kehancuran yang jelas memukul para pekerja seperti Haji Machfud. Untuk memperbaiki tambak lagi, setidaknya harus disiapkan dana sekurang-kurangnya 50 juta. Itu pun tanpa jaminan bahwa air pasang tidak menghancurkan lagi tambak mereka. “Kawan saya sudah keluar 40 juta memperbaiki tambak. Sudah pakai bego (eskavator). Tapi juga belum selesai juga,” tambah H. Machfud.

    Jika para pemilik tambak merasa susah dengan rusaknya area tambak di daerah Pulau Dem maka para pekerja tak kalah susahnya. Jumingan (36 tahun), warga Desa Kedung Pandan, mengaku hanya menguasai cara memelihara tambak, lainnya tidak. Sehingga, ketika tambak tidak lagi bisa dikerjakan, Jumingan hanya bisa pasrah. Untuk mengatasi kebutuhan, dia mencari ikan, udang, atau kepiting yang masih bisa dicari di bekas tambak-tambak yang sudah berantakan itu.

    “Susah sekarang kerja tambak di sini,” keluh Jumingan sambil membenahi alat pancingnya dan melemparnya kembali. Dari ujung telunjuknya dia memperlihatkan betapa masifnya kerusakan yang diakibatkan oleh pendangkalan Kali Porong tersebut. “Dari ujung ke ujung, tidak ada yang tersisa. Semua sudah rusak, bahkan sekarang laban-laban sudah hilang. Mau kerja di tambak, apa yang harus dikerjakan?” tanyanya penuh kekesalan.

    Jumingan juga menuding bahwa lumpur Lapindo lah yang membuat semua jadi begini. “Dulu tidak pernah begini, air pasang besar juga tidak sampai merusak tambak. Tapi karena sungainya dangkal, air dari laut jadi masuk dan merusak tambak,” jelasnya lebih lanjut.

    Pihak Desa Kedungpandan, sebagai induk administrasi daerah Pulau Dem, bukannya tanpa usaha. Kepala Desa Kedung Pandan, Suparman, menyatakan telah membawa permasalahan ini kepada BPLS dan Pemerintah Kabupaten. Dua-duanya memberi jawaban seragam: akan diusahakan untuk mengurangi pendangkalan dan memperbaiki tanggul penahan di daerah tambak di daerah muara. Namun, hingga air pasang telah membunuh nafkah banyak orang di daerah itu, aksi nyata pihak-pihak terkait ini jauh panggang daripada api. Tidak sampai satu bulan usaha pengerukan dan pembuatan penahan air pasang, proyek tersebut tidak lagi berjalan. “Alasannya tidak ada material untuk membuat tanggul penahannya,” tutur Suparman.

    Haji Machfud juga merasa jengkel dengan lambannya perhatian pemerintah terhadap masalah mereka. “Kita (pemilik tambak) bahkan sampai harus membayar masing-masing 1 juta agar usaha perbaikan dan pengurangan pendangkalan dilakukan. Tapi tidak ada yang selesai,” katanya. Kepala Desa Kedung Pandan mengatakan bahwa uang 1 juta itu untuk ongkos pembelian solar alat-alat berat yang mengerjakan usaha pembenahan pendangkalan di muara itu. Oh, bahkan untuk sebuah tanggungjawab karena telah menyebabkan pendangkalan dan kerusakan didaerah muara, usaha pembenahannya harus memberatkan masyarakat yang telah menjadi korban kebijakan pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong itu.

    Dalam ketidakjelasan siapa yang harusnya bertanggungjawab membereskan masalah di muara Kali Porong, Kepala Desa Kedung Pandan berharap agar masalah ini bisa diselesaikan dan muara Kali Porong bisa normal kembali. Ini bisa memberi kesempatan usaha untuk para petani tambak yang telah berjuang keras. “Memang baiknya lumpur tidak dibuang melalui Kali Porong, tapi sepertinya itu susah. Semoga bisa cepat diselesaikan masalah ini,” tambah Suparman.

    Sebagai korban, Haji Machfud juga bingung harus menuntut kepada siapa. “Siapa yang harus bertanggung jawab di sini? Kami ini dirugikan, mengapa tidak ada perhatian?”

    Silang sengkarut kasus ini memang menumbuhkan begitu banyak keanehan, sampai sekarang belum jelas siapa yang akan mengambil langkah perbaikan di kawasan muara Kali Porong ini. Sementara para pemilik dan pekerja tidak tahu lagi mesti ke mana meminta pertanggungjawaban dari sebuah kebijakan yang membuat mereka harus kehilangan mata pencaharian dan masa depan hidupnya.

    Ah, ya, Pak Menkokesra mungkin bisa menjawab, karena menurutnya pembuangan lumpur kelaut tidak bermasalah.[re]

  • Warga Tuntut Dana Talangan

    Oleh Ahmad Novik

    Tiga tahun korban Lapindo ditelantarkan. Berbagai pola pembayaran ganti rugi tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh PT Lapindo Brantas. Karena itu, warga korban menuntut agar pemerintah mengambil alih penanganan ganti rugi dengan skema dana talangan. Pakar hukum mensyaratkan bahwa pemerintah harus membuat kesepakatan yang tegas dengan pihak Lapindo terkait penggunaan dana APBN nantinya. Sementara aktivis lingkungan menyatakan bahwa tanggung jawab pihak Lapindo tidak semata ganti rugi, namun pemulihan kawasan seutuhnya.

    {mp3}DanaTalangan{/mp3}

  • Penghargaan K3 ke Lapindo Dikritik

    Suparto mempertanyakan parameter yang digunakan oleh Dinas Tenaga Kerja dalam memberi penghargaan itu. Menurut dia, parameter zero accident biasanya mengacu pada jumlah kecelakaan kerja secara personel.

    Padahal, Lapindo secara institusional adalah perusahaan yang paling banyak menyebabkan kecelakaan, baik manusia maupun alam,” katanya.

    Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur Bambang Catur Nusantara. Menurut dia, pemerintah telah salah dalam memberi penghargaan kepada Lapindo.

    Untuk melihat Lapindo Brantas Inc, kata Bambang, pemerintah jangan hanya melihat sumur-sumur eksplorasi di blok Brantas di luar Porong yang saat ini sudah beroperasi, tapi juga harus mempertimbangkan kecelakaan di sumur Banjar Panji 1. “Saya malah curiga. Ada apa apa di balik ini semua,” ujarnya.

    Kamis kemarin, bersama 174 perusahaan lainnya, Lapindo Brantas mendapat penghargaan sebagai perusahaan yang telah menerapkan manajemen K3 dengan baik dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur.

    HSE Manager Lapindo Johannes Sudarsono yang hadir untuk menerima penghargaan menyambut gembira pemberian penghargaan itu. “Ini adalah prestasi gemilang bagi perusahaan migas seperti kami,” ujarnya.

    Menurut Gubernur Jawa Timur Soekarwo, penghargaan kepada Lapindo ini diberikan karena selama ini tidak ada kecelakaan kerja yang terjadi pada perusahaan ini.

    Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Sidoarjo Hisjam Rosidi, yang merekomendasikan Lapindo mendapat penghargaan K3, mengatakan bahwa penghargaan itu hanya diberikan kepada Lapindo untuk Area produksi Gas Wunut yang terletak di Desa Kedungboto, Porong. “Penghargaan ini tidak berlaku untuk area eksplorasi Banjarpanji I Desa Renokenongo, Porong, yang sekarang menyemburkan lumpur,” ujarnya.

    Menurut dia, penilaian yang dilakukan November tahun lalu itu dilakukan per area kerja. Penilaian ini mengacu pada Peraturan Tenaga Kerja Nomor 01/Men/I/2007 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan K3. “Ada kriterianya, tidak asal-asalan,” kata Hisjam.

    Lapindo area produksi Gas Pabrik Wunut, kata Hisjam, dinilai memenuhi kriteria penilaian K3 dalam kategori sektor pertambangan.

    Penilaian itu di antaranya selama 1,2 juta jam kerja atau selama tiga tahun tidak terjadi kecelakaan kerja yang menyebabkan karyawan kehilangan dua hari kerja dan memiliki organisasi K3. Selain itu, sistem keselamatan pekerja di areal kerja di lapangan Wunut dinilai bagus. ROHMAN T | YEKTHI HM