Tag: besuki

  • Tanah Wakaf Terendam Lumpur Belum Peroleh Gati Rugi

    SURYA Online, SIDOARJO – Ganti rugi tanah wakaf tiga mesjid dan empat musala di kawasan terdampak lumpur di Desa Besuki, KedungCangkring dan Pejarakan, Kecamatan Jabon hingga kini belum dibayar. Hal ini dikeluhkan warga setempat. Padahal dana pembayaran ganti rugi itu sudah di tangan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Mantan Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, Maimun Siroj, datang ke DPRD untuk menyampaikan uneg-unegnya karena sudah lelah memperjuangkan ganti rugi tanah wakaf. Langkah yang dilakukan itu mulai mendatangi kantor Setneg dan bertemu Deputi Kepala BPLS, Ir Kamdani. Namun jawaban BPLS, anggaran yang sudah disediakan itu tidak bisa dikeluarkan karena takut dengan persoalan hukum.

    “Kalau seperti itu kami harus berjuang dengan cara apa,” ujar Maimun Siroj dengan nada tanya, Selasa (4/11/2014).

    Di wilayah tiga desa yang sudah dibebaskan BPLS termasuk masjid, musala, tanah kas desa, sekolah, jalan umum tidak ada yang diganti. Warga di tiga desa itu pun sudah menyebar pindah ke beberapa lokasi karena lokasinya sudah tidak bisa ditempati. Lantas di mana masjid baru itu dibangun?

    “Dana yang ada itu diserahkan ke pengurus masjid yang menangani wakaf. Bukankah sudah dibentuk pengurus, untuk memudahkan BPLS berhubungan ganti rugi dengan pihak secara hukum dinyatakan layak,” jelasnya.

    Untuk merealisasikan itu  diperkuat payung hukumnya Perpres 33/2013 tentang tanah wakaf sehingga secara hukum tidak ada masalah untuk dibayar. Kesempatan warga menerima ganti rugi tanah wakaf ini tinggal 2 bulan lagi.

    “Apabila sampai akhir Desember 2014 tidak segera diserap maka uang itu akan dikembalikan ke kas negara. Untuk mendapatkan kembali dana itu harus diproses dari nol lagi,” ucapnya.

    Pemkab Sidoarjo juga diminta segera bertindak atas sempitnya waktu untuk mendorong warga 3 desa mendapatkan ganti rugi tanah wakaf itu. Warga tidak mempersoalkan jika ganti rugi lahan masjid dan mushola dalam bentuk jadi. Artinya BPLS yang mencarikan lahan dan membangunkan masjid ata mushala.

    “Warga bersyukur kalau diberikan dalam bentuk jadi. Yang penting BPLS cepat merealisasikan  pembangunan,” jelasnya.

    Terkait lokasi sebaiknya dikonsultasikan dengan para pengurus masjid. Pengurus masjid masih lengkap dan bisa diajak konsultasi untuk menentukan titik lokasi. Ia menjamin pembangunan masjid dan mushola baru tidak diprotes warga  lain.

    “Sebenarnya di 3 desa itu terdapat 7 mushala, tetapi 3 mushala sudah dicairkan karena statusnya tanah perorangan. Tetapi untuk 3 masjid dan 4 mushala berstatus tanah wakaf,” ungkap Maimun Siroj.

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/11/04/tanah-wakaf-terendam-lumpur-belum-peroleh-gati-rugi

  • Rujak Cingur Yuk Tun

    Mardiyatun (50) adalah seorang janda dari Dusun Ginonjo, Desa Besuki. Perempuan yang kerap disapa Yuk Tun ini dulu terkenal dengan rujak cingurnya. Gara-gara lumpur Lapindo, Yuk Tun bersama dengan anak perempuan dan seorang cucunya sekarang pindah ke Desa Wonoayu, Kecamatan Gempol.

    Yuk Tun bisa sedikit bangga dengan rumah barunya. Namun, itu semua tidak berarti ketika tangannya tidak lagi bergoyang mengiris cingur untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. “Masak mau menjilati pintu rumah,” tutur Yuk Tun. Yuk Tun tidak mungkin berjualan rujak cingur di tempat barunya. Di situ sudah ada warga yang menjual rujak cingur, sama seperti Yuk Tun.

    Yuk Tun terpaksa merintis usaha jualan rujak cingur dan es degan di bawah jembatan eks-tol Surabaya-Gempol. Yuk Tun sekarang berharap ada orang yang mampir di warungnya yang tidak beratap dan berdinding itu. Kondisi seperti ini sangat jauh berbeda sebelum semburan lumpur Lapindo. Saat warga Desa Besuki masih utuh orang rela antri demi sebungkus rujak cingur buatan Yuk Tun.

    Yuk Tun mendapat informasi dari seorang yang tak dikenal tentang tanah di daerah Wonoayu, Gempol. Tanpa pikir panjang Yuk Tun langsung membeli tanah tersebut. Menurut Yuk Tun, akibat lumpur Lapindo orang-orang memang kelihatannya dapat uang banyak, tapi kenyataannya tidak ada perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Yang dirasakannya adalah justru berantakan. Sumber ekonomi jangka panjang pun tidak pernah jelas. Sanak saudara pecah dan tetangga juga terpencar-pencar.

    Yuk Tun heran, tanah sawahnya dibeli dengan harga Rp 120.000 per-meter persegi. Namun, membeli sawah baru harganya sekarang mencapai Rp 250-300 ribu rupiah. Pemerintah juga tidak peduli dengan nasib korban Lapindo. Sampai saat ini Yuk Tun belum bisa mengurus status kepindahannya karena dia belum punya uang untuk mengurus surat kepindahan tersebut.

    2013 © korbanlumpur.info

  • Gugatan Lima Korban Lumpur Lapindo ke Pemerintah Akhirnya Menang

    Gugatan Lima Korban Lumpur Lapindo ke Pemerintah Akhirnya Menang

    SIDOARJO – INDEPNEWS.Com : Lima warga korban lumpur Lapindo yang menuntut hak ganti rugi akhirnya menang di pengadilan dalam menggugat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Namun keinginan warga segera mendapatkan ganti rugi masih terganjal karena Menteri PU mengajukan banding atas putusan pengadilan yang memenangkan warga korban lumpur. (more…)

  • For the Future

    Since May 2006, the Lapindo mudflow destroyed the lives of the people in eight villages in Porong, Sidoarjo, East Java. Besuki village is one of them, and this is their story. This film was screened and discussed by the Besuki villagers at Camp Sambel.

    © engagemedia.org | 29 Juni 2012

  • Korban Lapindo Akan Datangi KPK dan Istana

    TEMPO.CO Surabaya: Warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam kelompok 3 desa sesuai Perpres 48 tahun 2008, berencana mendatangi lembaga anti rasuah alias KPK di Jakarta. Muzaki, ahli waris atas nama Abdul Roshid, menuturkan aksi ini dilakukan guna membuka tabir buruk perilaku oknum Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo terkait pembayaran ganti rugi korban Lapindo.

    Selain ke gedung KPK, korban Lapindo juga akan mendatangi Istana Presiden, BPK, Mabes Polri, Gedung PBB dan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Lewat aksi ini, massa mendesak BPLS segera mencairkan dana APBN untuk membayar korban Lapindo di luar peta area terdampak. “Mulai Senin tanggal 27 Mei, kita aksi di Jakarta,” katanya saat konferensi pers di Balai Wartawan Sidoarjo, Sabtu 25 Mei 2013. (more…)

  • Perjalanan Cak Taman

    Cak Taman (45 tahun) berasal dari Besuki (Barat) sekarang menghuni rumah barunya di Dusun Podokaton, Desa Kedungcangkring. Setelah Besuki Barat “masuk peta”, Taman mengikuti seorang tokoh desa Besuki yang menawarkan tanah kapling di Desa Meranggen. Namun, Taman menjual tanah itu karena lokasinya sepi dan terlalu jauh dari desa asalnya, Besuki.

    Selain masalah lokasi dan jarak, Taman juga kecewa karena harga tanah yang dibelinya ternyata lebih mahal lima juta rupiah dari harga umumnya. Ditambah lagi, ternyata sang tokoh yang menawarkan tanah kapling itu tidak turut pindah ke Meranggen. Taman memilih dan memutuskan untuk tinggal di Desa Kedungcangkring adalah karena lokasinya tidak jauh dari warga Besuki Barat. (more…)

  • Nasib SDN Besuki

    Daris Ilma – 25 Januari 2013

    Di sudut Desa Besuki yang sebagian wilayahnya tenggelam oleh Lumpur Lapindo masih terlihat aktifitas di SDN Besuki. Sekolah yang terletak di sisi selatan tanggul penahan Lumpur Lapindo ini mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di musholla sekolah. Kondisi sekolah yang tidak terawat, adanya genangan air ditambah dengan bau Lumpur Lapindo tak mengurangi semangat anak-anak untuk datang ke acara ini. Lantunan sholawat nabi terdengar jelas dari bibir mereka. (more…)

  • Penghargaan Proper Hijau, Tak Layak Buat Lapindo

    Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Senin 3 Desember 2012, memberikan penghargaan kepada PT Lapindo Brantas Unit Wunut sebagai perusahaan peraih Proper Hijau. Meskipun mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, kiranya  kondisi di lapangan menunjukkan sebaliknya. (more…)

  • Jaminan Kesehatan Korban Lapindo

    Puluhan perempuan korban Lapindo dari desa Siring, Jatirejo, dan Kedungbendo berkumpul di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II pada Minggu (11/11) pagi. Mereka berdiskusi soal jaminan kesehatan yang selama ini tidak mereka peroleh dari pengurus negara. (more…)

  • Korban Lapindo Peringati Isro’ Mi’raj dengan Pengobatan Gratis

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Dalam rangka peringatan Isro’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, korban Lapindo di desa Besuki, kecamatan Jabon mengadakan pengobatan gratis pada hari Minggu(17/5). Pengobatan ini merupakan kerjasama Jam’iyah Manakib Syekh Abdulkadir Jaelani Besuki dengan Tim Dokter dari GK Redemtor Mundi Dukuh Kupang.

    Sedikitnya ada lima dokter, empat perawat, dan beberapa apoteker yang melayani warga Besuki yang datang untuk berobat. Agenda ini diadakan karena tidak adanya perhatian terkait kesehatan korban Lapindo dari pemerintah, meski kondisi desa Besuki sebelah timur bekas tol Surabaya-Gempol sudah rusak setelah lumpur Lapindo pernah menenggelamkan kawasan ini pada 2006 silam.

    Dokter Antonius Yohanes Sumanto mengatakan, kegiatan ini sebagai bentuk misi kemanusiaan dan saling membantu kepada warga lain terutama dibidang kesehatan. “Bantuan kesehatan di korban Lapindo ini baru pertama kali dan banyak warga yang antusias datang untuk berobat,” ungkapnya.

    Lebih lanjut Antonius menambahkan setidaknya pengobatan ini bisa membantu kesehatan korban Lapindo di desa Besuki, “Rata-rata warga yang datang kesini mengeluhkan sakit linu, sesak nafas, gatal-gatal, dan sakit kepala. Sampai pukul 15.00 tercatat 322 warga Besuki yang datang untuk berobat.

    Salah satu panitia, Abdul Rokhim, mengatakan sangat bersyukur dengan adanya kegiatan ini, Menurutnya banyak warga di Besuki yang membutuhkan pengobatan terutama Ibu-ibu. “Kegiatan ini yang diharapkan Ibu-ibu di Desa Besuki, terutama anggota komunitas Jimpitan Sehat, sejak lumpur menyembur banyak warga yang terganggu kesehatannya,” ungkapnya.

    Rokhim berharap dengan diadakannya pengobatan gratis ini, warga Besuki bisa  terbantu kesehatannya. Ia juga berharap pemerintah untuk lebih peduli pada kesehatan korban Lapindo terutama warga yang tinggal di desa Besuki.

    Kondisi lingkungan yang buruk telah berdampak pada munculnya berbagai penyakit yang diderita warga saat ini. “Kami berharap dengan adanya bantuan kesehatan ini akan memacu pemerintah lebih peduli dengan kondisi kesehatan warga,” ungkapnya. (vik)

  • Pelajar SMK Membuat Film Dokumenter Anak-anak Korban Lapindo

    Pelajar SMK Membuat Film Dokumenter Anak-anak Korban Lapindo

    Sidoarjo – Beberapa Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jabon melakukan pembuatan film dokumenter terkait  persoalan yang dihadapi korban Lapindo di desa Besuki, Kecamatan Jabon. Film yang direncanakan berdurasi limabelas menit ini menceritan kehidupan anak-anak Besuki sejak luapan lumpur Lapindo.

    Menurut Hisam Ulum, pemuda Besuki sekaligus siswa SMK Jabon, pembuatan film dokumenter ini bertujuan untuk menyajikan potret kehidupan warga kekinian sejak lumpur menyembur. Selain menunjukkan relita kehidupan warga Besuki yang terdegradasi, nasib anak-anak yang tidak mendapat perhatian dalam penanganan pemerintah menjadi pesan utama film ini.

    “Film ini nanti menceritakan kehidupan anak-anak Besuki yang kehilangan tempat bermain, ketidaknyamanan selama menempuh pendidikan, dan kesulitan-kesulitan orang tua dalam membiayai pendidikan anak-anaknya”.

    Lebih lanjut Ia menuturkan, film ini diharapkan dapat menyampaikan pesan kepada pemerintah untuk memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi warga korban lapindo. Kerusakan sumber ekonomi warga telah mempengaruhi masa depan pendidikan anak-anak mereka. Jika pemerintah tidak juga peduli terhadap persoalan pendidikan, Ia berharap masyarakat luas bisa bersolidaritas untuk untuk bersama-sama membantu anak-anak korban lapindo mendapatkan hak pendidikan.

    Sementara itu, Rere pengasuh di Sanggar Al Faz, menyampaikan dukungannya dan telah membantu semua proses yang dilakukan untuk pembuatan film ini. Dimulai sejak perencanaan awal, Ia sudah memberikan masukan agar film ini bisa menyajikan pesan yang kuat. “Ide adik-adik SMK Jabon untuk membuat film dokumenter yang menyajikan realita kehidupan korban lapindo adalah permulaan yang baik, Saya sangat berharap akan muncul kelompok-kelompok lain yang membuat hal serupa,” ujarnya.

    Ia juga berharap film-film yang dibuat oleh pihak-pihak yang peduli akan dapat digunakan sebagai media kampanye untuk perbaikan kehidupan korban lapindo. Saat ini yang paling besar dirasakan warga yang tinggal di wilayah sekitar semburan lumpur adalah ketidakjelasan kebijakan atas hancurnya wilayah tinggal warga, dampaknya sangat nyata yang salah satunya terkait kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. (vik/red)

    (c) Kanal News Room

  • Solidaritas Fadly Padi untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lapindo

    fadly serahkan donasi1

    SIDOARJO, korbanlumpur.info – Melanjutkan Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur, pada Jumat (14/10) Fadly vokalis grup band Padi mengunjungi dan bernyanyi bersama anak-anak korban Lumpur Lapindo di Sanggar Al Faz desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    “Musik Solidaritas Untuk Anak Lumpur Lapindo” merupakan bentuk dukungan Fadly atas Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur yang digagas Walhi Jawa Timur, Sobat Padi, Sahabat Walhi Jawa Timur, dan beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya. Kedatangan Fadly sekaligus secara simbolis menyerahkan donasi yang sudah digalang dan terkumpul selama bulan September yang menggunakan ikon Fadly-Rindra. Keseluruhan jumlah yang diserahkan 25 juta rupiah.

    Fadly mengatakan akan terus mendukung gerakan penggalangan donasi ini. Menurutnya dengan gerakan ini diharapkan membantu keberlanjutan pendidikan anak-anak korban Lapindo yang sudah lima tahun lebih tidak diperhatikan pemerintah.

    “Saya lebih menghargai dan mendukung gerakan ini daripada menunggu pemerintah, ini langkah awal untuk menyelamatkan generasi bangsa, kedepan Saya akan mendukung terus gerakan penggalangan dana untuk pendidikan anak-anak korban Lapindo”.

    Lebih lanjut menurut Bambang Catur Nusantara, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur merupakan gerakan untuk menyatukan solidaritas untuk korban lumpur Lapindo, terutama untuk menjamin pemenuhan hak pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo. Gerakan ini merupakan kerjasama beberapa lembaga seperti Walhi Jawa Timur, Sahabat Walhi, Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, Sobat Padi Surabaya, JRKI, dan komunitas-komunitas di berbagai daerah.

    “Tahun lalu kami sudah menggalang dan mendistribusikan biaya pendidikan untuk 87 anak-anak korban lumpur Lapindo sejumlah 38 juta. Bantuan itu, sesuai dengan kebutuhan biaya pendidikan masing-masing anak, yang berkisar antara 220 ribu sampai 1,8 juta rupiah. Saat ini jumlah anak yang dibantu sekurangnya 212 anak dari jenjang SD SMP hingga SMU dengan kebutuhan biaya 52 juta rupiah”.

    Ia berharap, selain untuk mendukung anak-anak korban Lapindo dapat meneruskan pendidikannya, gerakan ini juga menjadi upaya kritis agar korban lumpur lapindo bisa mengakses pendidikan secara gratis melalui program BOS maupun kebijakan khusus lainnya dari pemerintah.

    Kedatangan Fadly pada pukul sebelas disambut suka cita oleh anak-anak korban Lapindo, pemuda dan orangtua yang sejak satu jam menunggunya. Mereka terlihat suka cita ada yang masih peduli dengan mereka. Zulfika Rohma misalnya, nampak bersemangat selama bernyanyi bersama Fadly.

    “Saya senang sekali ada yang memperhatikan kami,” ungkap anak kelas enam MI Darul Ulum Desa Besuki ini.

    Fadly adalah satu dari sekian artis yang masih mau menunjukkan solidaritasnya untuk kelanjutan generasi bangsa. Kedatangannya di kampung korban lumpur lapindo adalah wujud komitmen untuk turut serta mendukung masa depan pendidikan anak-anak korban Lumpur Lapindo.

    Gerakan donasi sahabat anak Lumpur terus mengajak masyarakat luas untuk turut serta dalam usaha melindungi anak-anak korban Lumpur Lapindo dari kesuraman masa depan, seperti yang telah dinyatakan oleh Fadly, “Ayo Sobat, kita semua bisa menjadi sahabat mereka, Sahabat Anak Lumpur”. (vik)

     

  • Tanah Dongkel Menyisakan Masalah

    Pembelian sawah dongkel di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, masih menyisakan persoalan di warga. Pasalnya, dari 93 petak tanah hanya 41 petak yang akan dibeli oleh Pemerintah. Keseluruhan tanahnya seluas 5 hektar dan hanya 2 hektar lebih sedikit yang dibeli oleh Pemerintah.

    Desa Besuki adalah salah satu desa korban Lapindo yang mendapat ganti rugi dari APBN. Meski semua Desa Besuki terkena lumpur, tapi hanya sebagian desa yang mendapatkan ganti rugi.

    Sawah dongkel ini adalah salah satu contohnya. Sama-sama terkena lumpur dan kini tidak produktif namun tidak semua masuk peta dan dibeli oleh Pemerintah. Hanya yang Barat jalan tol yang dibeli, sementara yang di sebelah timur tol dibiarkan saja menjadi tanah mati. Sebenarnya tidak hanya sawah dongkel saja yang terkena lumpur di Besuki. Ada tiga persawahan lain yang juga kena lumpur, yakni; sawah Kepuh Barat, Kepuh Timur dan Gempol.

    Pembedaan ini, menurut seorang warga Besuki Adib Rosadi, terjadi karena pemerintah tidak melibatkan warga dalam penentuan daerah yang masuk peta. “Kalau kami dilibatkan kami akan minta semua tanah dongkel dibeli,” kata Adib. Adip tak habis fikir kenapa pemerintah membedakan tanah yang sama-sama kena lumpur dan kini sama-sama tidak bisa berfungsi tersebut. [mam]

  • Budaya Hilang, Kehidupan Korban Muram

    Kehidupan sosial budaya korban Lapindo remuk sudah, lahir dan batin. Ikatan kekerabatan hancur, yang berakibat semakin rentannya kehidupan sehari-hari. Begitu pula, tradisi dan budaya tak bisa lagi dijalankan, yang lalu berefek hilangnya kekuatan batin, lenyapnya ingatan bersama, yang telah lama menjadi daya tahan ampuh dalam menghadapi kerasnya hidup.

    Tanyalah Mbok Lina, dia akan tahu bagaimana hidupnya berubah begitu kekerabatan dan kehidupan komunal itu lenyap. Sore itu, di pengungsian Pasar Porong Baru, Mbok Lina (65), sedang membersihkan kulit buluh bambu, sendiri. “Buat gedek, mau bikin gubuk nanti kalau sudah pindah,” ujarnya. Bersama sekitar 500 keluarga dari Desa Renokenongo, Mbok Lina nanti akan pindah kalau sudah memperoleh uang ganti rugi. Dia menyiapkan sendiri bambu-bambu itu.

    Dulu, sewaktu di Dusun Sengon, Desa Renokenongo, Mbok Lina merasa berbagai persoalan hidup lebih ringan, karena ada kebersamaan, saling membantu. Mbok Lina hidup juga dari adanya solidaritas yang terbangun puluhan tahun ini. Dia mengerjakan sawah milik tetangga. “Dulu iso nggarap sawah Haji Sarim, Haji Daelan, Haji Karyo. Tak kurang haji-haji di Sengon punya sawah yang bisa digarap,” kenang Mbok Lina.

    Mbok Lina dulu bisa mengerjakan banyak hal di sawah tetangga-tetangga itu. “Ya tanam, membersihkan rumput dari padi, juga panen.” Dari kampung Mbok Lina, sedikitnya ada enam orang yang turut bekerja di sawah bersamanya.

    Kini semua lenyap. Beberapa nama orang yang dulu sering memberi bantuan pekerjaan, diceritakannya meninggal beberapa waktu setelah lumpur meleduk. “Sakit-sakitan memikirkan (krisis) Lapindo ini,” kata Mbok Lina. Kalaupun tidak, mereka ini juga sudah tidak lagi mampu membeli sawah karena belum selesai pembayaran ganti rugi kepada mereka. Mbok Lina menyebut salah seorang ahli waris yang sudah membeli sawah di kawasan Tulangan, Sidoarjo.

    Toh, Mbok Lina tidak bisa ikut membantu mengerjakan sawah di sana. “Nggak begitu kenal sama anaknya,” begitu alasan Mbok Lina. Tentu saja memang tidak mudah membentuk lagi kebersamaan warga seperti dulu. Perasaan saling kenal dan tepo seliro bukan hal yang bisa muncul begitu saja dalam semalam.

    Sekarang, Mbok Lina hanya menggantungkan hidup dari pemberian lima orang anaknya: Buarin, Mulyono, Roibah, Sriasih, dan Narto. Tapi anak-anaknya telah hidup sendiri-sendiri. Praktis, Mbok Lina hanya tinggal hidup berdua dengan suaminya Senawan (70) yang telah sakit-sakitan. “Sejak pindah ke pasar (pengungsian), dia sakit, kepikiran rumahnya yeng tenggelam.”

    Untuk pembiayaan suaminya, Mbok Lina sudah mengeluarkan biaya tidak kurang dari dua juta rupiah, jumlah uang yang tidak sedikit bagi seorang tua yang telah kehilangan rumah dan tidak punya penghasilan itu. Dari anak-anaknya, Mbok Lina mengaku diberi uang seminggu sekali rata-rata sekitar 30 ribu rupiah. “Itu pun kalau sudah dapat gaji.” Dengan uang sebesar itu, Mbok Lina dan suaminya harus menyiasati menyambung hidupnya.

    Bila nanti benar-benar harus keluar dari Pasar Porong Baru dan memulai hidup dengan uang kompensasi seadanya, Mbok Lina tidak tahu apakah di tempatnya yang baru bisa kembali bekerja di sawah. Dia jelas tidak tahu karakteristik orang-orang di tempatnya yang baru nanti. Menurut rencana, komunitas warga Renokenongo ini akan pindah ke wilayah Desa Tambakrejo, Kecamatan Krembung, sebuah daerah di sebelah barat Kecamatan Porong di sisi utara aliran Kali Porong. “Yo embuh, semoga tetangga-tetangga nanti di sana pengertian, tepo seliro,” ujar Mbok Lina, lirih.

    Jika Mbok Lina merasakan betul kehidupan lahirnya berantakan lantaran ikatan komunitas telah dihancurkan Lapindo, Nawawi tahu rasanya kehidupan batin terkoyak. Nawawi bin Zaenal Mansur (45) kini tak bisa lagi nyekar di makam orang tua seperti dulu. Di hari menjelang puasa yang sumuk itu, Nawawi bersama anak dan istrinya duduk di atas pepuingan. Ia khusyuk berdoa. Matanya menerawang ke arah sebuah kuburan umum Dusun Renokenongo. Cuma terlihat pucuk kamboja yang mengering. Kuburan itu telah lenyap.

    Doa khusus dia tujukan pada Zaenal Mansur, sang ayah, seorang pejuang kemerdekaan. Kali ini dia tak membawa bunga dan tak bisa menaburnya di atas kubur sang ayah. Tahun lalu, dia masih bisa ke kuburan bapaknya karena air asin dan lumpur mengering. Ketika itu dia lihat bendera merah putih dari seng di atas kuburan sudah mulai peot.

    Menjelang puasa tahun ini, Nawawi tak lagi bisa nyekar. Nawawi tak habis pikir dengan Lapindo dan pemerintah yang lamban menangani soal lumpur Lapindo ini. Sudah dua tahun ini dia hidup berpindah-pindah.

    Tak hanya kuburan Dusun Renokenongo yang tenggelam. Kuburan Dusun Sengon, masih dalam Desa Renokenongo, juga terendam di tengah lumpur di dalam tanggul Lapindo. Penduduknya tak bisa lagi nyekar di kubur keluarga mereka. Mereka hanya mendoakan dari atas tanggul menghadap kuburan yang juga ditandai gerumbul kamboja yang mengering.

    Muhammad Yunus (40 tahun) adalah salah satu warga Sengon yang keluarganya dimakamkan di kuburan umum Dusun Sengon. Sore itu Yunus tak bisa nyekar dan hanya mendoakan arwah keluarga dari atas tanggul. Dia menangis melihat kubur orang-orang yang dicintainya tenggelam oleh lumpur.

    Soal kuburan yang tenggelam, menurut Yunus, tak ada bahasan ganti rugi sama sekali. Penduduk sudah pusing memikirkan tuntutan dasar mereka yang tak jelas kapan dilunasi. Yunus ingin kuburan yang sudah tenggelam ini dipindahkan ke tempat lain supaya dia bisa berziarah. “Warga sebenarnya ingin makam dipindah, kersane saget ziarah, supaya bisa ziarah.”

    Soal kuburan ini tak hanya soal ziarah dan tradisi yang hilang. Namun juga soal bagaimana kalau warga dari kampung-kampung yang tenggelam ini mati. Pertanyaannya, mau dimakamkan di mana mereka kalau meninggal? Untuk warga Renokenongo yang kembali ke desa karena kontrakannya habis dan mati mereka akan dikuburkan di makam tetangga desa mereka, Glagaharum.

    Selama dua tahun pasca luapan lumpur, sudah 30 orang warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong yang meninggal. Mereka nebeng makam di Desa Juwet Kenongo.

    “Mereka dikumpulkan di pojok, tak boleh milih tempat sembarangan,” tutur Nizar warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar Porong Baru.

    Selain dua kuburan di Desa Renokenongo, kuburan-kuburan di Desa Siring, Kedungbendo, Mindi, Jatirejo Timur, Jatianom juga ditenggelamkan lumpur Lapindo. Jelang Ramadlan warga Mindi melakukan aksi nyekar di tanggul dan mendoakan leluhur mereka di sana.

    “Di Jatirejo ada dua kuburan satu di Jatirejo Timur dan Barat. Yang di Jatirejo Timur sudah tenggelam dan yang di Barat masih,” tutur Ahmad Novik (29 tahun) warga Jatirejo.

    Sementara penduduk Besuki yang setengah kampungnya ditenggelamkan lumpur masih beruntung karena kuburan mereka masih bisa digunakan. Dulu sempat tergenang lumpur tapi kini sudah kering. Meski kuburan itu dilapisi lumpur namun penduduk masih bisa menggunakannya. Sore sehari menjelang Ramadlan, penduduk Besuki memadati kuburan berlumpur itu untuk menjalankan tradisi nyekar dan mendoakan arwah keluarga mereka.

    Suroso adalah salah satu warga Besuki yang nyekar sore itu. Tak hanya menjelang Ramadlan, biasanya, Suroso ziarah ke makam orang tuanya setiap malam Jumat.

    “Ini sudah menjadi adat kebiasaan yang diharuskan menjelang puasa dan Idul Fitri,” tutur Suroso. Dan berapa besar kerugian atas hilangnya tradisi ini? Lapindo tak bicara. Pemerintah pun bungkam. [ba/re/mam]

  • Pipa Baru Akan Dibikin, Pengungsi Tol Dipaksa Membongkar Rumahnya

    korbanlumpur.info – Kerangka rumah bambu lebar empat meter baru saja didirikan di timur ruas tol Porong-Gempol. Menjelang magrib empat pekerja bayaran Mahmudah (42 tahun) sibuk meratakan tanah yang lebih rendah di pinggir tol. Mereka musti bekerja keras pasalnya waktu mereka tak panjang.

    “Cuma diberi waktu tiga hari untuk pindah,” tutur Mahmudah warga RT 03/04 desa Besuki.

    Kesibukan ini dimulai pada Selasa (7/10) saat Bajuri Edy Cahyono, kepala pokja perlindungan sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), memerintahkan pengungsi tol yang berada di sebelah barat tol untuk membongkar gubuk pengungsian mereka. Pasalnya, ruas tol sebelah barat akan difungsikan dan pengungsi disatukan di tol sebelah timur. Rumahnya dibikin berhadapan yang ditengah tol menghadap timur dan yang dipinggir menghadap barat.

    Pengumumannya Bajuri pada para pengungsi dari 5 RT Besuki tidak tuntas. Warga RT satu dikumpulkan dan diberitahu supaya pindah sementara warga RT empat diberi gambar rencana perpindahan. Warga mesti mengumpulkan informasi sendiri dengan kepanikan.

    “Selain itu akan dibangun pipa saluran lumpur baru,” tutur Mahmudah.

    BPLS hanya mengeluarkan perintah tanpa memenuhi ongkosnya. Mahmudah mesti mengongkosi sendiri perpindahan ini dia menyewa empat orang yang masing-masing dibayar 40 ribu rupiah tiap harinya. Dia tak bisa mengandalkan suaminya karena suaminya tak bisa kerja keras karena serangan asma.

    Selain itu, sejak pengumuman itu dia tak bisa membuka warungnya karena sibuk pindahan.

    Senja mulai menggelap dan rumahnya yang baru masih berupa kerangka dengan lantai yang belum rata. Mahmudah bersama dua putrinya tak tahu musti tidur dimana malam ini. [mam]

  • Yang Hidup Saja Ditelantarkan

    Yang Hidup Saja Ditelantarkan

    korbanlumpur.info  – Sehari sebelum puasa Nawawi bin Zaenal Mansur (45 tahun) duduk di atas pepuingan. Anak bontotnya Khairul Rozikin (9 tahun) berjongkok di sebelah kirinya, sementara Isna al-Muntaziroh, istrinya, duduk di belakangnya dan memimpin doa. Khusuk mereka menatap arah barat pada sebuah kuburan umum Dusun Renokenongo yang tenggelam dalam air asin yang keluar bersama lumpur Lapindo. Kuburan ini ditandai kumpulan pepohonan kamboja yang daunnya dirontok-keringkan panasnya lumpur.

    Mereka mendoakan arwah leluhur dan keluarga supaya diampuni dosanya. Di desa Nawawi, ini tradisi menjelang bulan puasa. Nawawi menyebutnya nyekar, menabur bunga di kubur. Doa khusus dia tujukan pada Zaenal Mansur, sang ayah, seorang pejuang 45. Kali ini dia tak membawa bunga dan tak bisa menaburnya di atas kubur sang ayah. Dia minta maaf untuk ini.

    Tahun lalu, dia masih bisa ke kuburan bapaknya karena air asin dan lumpur mengering. Ketika itu dia lihat bendera merah putih dari seng di atas kubur sudah mulai peot.

    Saget gripis-gripis kengeng toyo asin [bisa pecah-pecah tergenang air asin],” tutur Nawawi dengan logat Jawa halus.

    Menjelang puasa tahun ini, Nawawi tak lagi bisa nyekar. Nawawi tak habis pikir dengan Lapindo dan pemerintah yang lamban menangani soal lumpur Lapindo ini. Sudah dua tahun ini dia hidup berpindah-pindah.

    Pada awal luapan lumpur pertama, Mei 2006, dia mengungsi ke balai Desa Renokenongo. Beberapa bulan setelah itu luapan lumpur mengakibatkan meledaknya pipa gas milik pemerintah, dan ledakan ini menyebabkan desanya tenggelam total. Dia bersama istri dan empat anaknya lalu mengungsi ke Pasar Baru Porong. Tiga bulan kemudian, dia menerima uang kontrak yang dia pakai sewa rumah di Kalitengah, Tanggulangin. Setelah dua tahun, masa kontraknya habis dan dia tak punya uang untuk memperpanjang. Dengan berat hati dan cemas dia sekeluarga kembali di rumahnya yang amblas satu meter dan hampir rubuh di RT 08 RW II Dusun Renokenongo.

    “Saya menjadi ketua RT selama 13 tahun,” tutur Nawawi.

    Sebagian korban memang sudah menerima uang 20 persen itu. Mereka ini korban luapan pertama. Tapi Nawawi bersama korban lainnya pasca ledakan pipa gas 22 November 2006 lainnya termasuk sial. Mereka belum mendapatkan uang 20 persen tersebut.

    Nawawi kecewa dengan pemerintah yang menyia-nyiakan bapaknya yang ikut berjuang untuk kemerdekaan namun tak bisa berbuat apa-apa melihat kuburan bapak dan leluhurnya yang tenggelam dalam lumpur. Dia tak dapat menuntut ganti rugi apapun.

    Tak hanya kuburan Dusun Renokenongo yang tenggelam. Kuburan Dusun Sengon, masih dalam Desa Renokenongo, juga terendam di tengah lumpur di dalam tanggul Lapindo. Penduduknya tak bisa lagi nyekar di kubur keluarga mereka. Mereka hanya mendoakan dari atas tanggul menghadap kuburan yang juga ditandai gerumbul kamboja yang mengering.

    Muhammad Yunus (40 tahun) adalah salah satu warga Sengon yang keluarganya dimakamkan di kuburan umum Dusun Sengon. Sore itu Yunus tak bisa nyekar dan hanya mendoakan arwah keluarga dari atas tanggul. Dia menangis melihat kubur orang-orang yang dicintainya tenggelam oleh lumpur.

    Yunus lebih beruntung daripada Nawawi. Setelah rumahnya di Dusun Sengon rubuh oleh luapan Lumpur, dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di Banjarasri, Tanggulangin. Dia juga sudah menerima uang 20 persen. Kini dia menuntut kapan rumah yang dijanjikan Lapindo bisa ditinggali.

    Soal kuburan yang tenggelam, menurut Yunus, tak ada bahasan ganti rugi sama sekali. Penduduk sudah pusing memikirkan tuntutan dasar mereka yang tak jelas kapan dilunasi.

    Yunus ingin kuburan yang sudah tenggelam ini dipindahkan ke tempat lain supaya dia bisa berziarah.”Warga sakjane pengen makame dileh, kersane saget ziarah, warga maunya kubur itu dipindah supaya bisa ziarah.”

    Persoalan kuburan ini tak hanya soal ziarah dan tradisi yang hilang. Namun juga soal bagaimana kalau warga dari kampung-kampung yang tenggelam ini mati. Pertanyaannya, mau dimakamkan di mana mereka kalau meninggal? Untuk warga Renokenongo yang kembali ke desa karena kontrakannya habis dan mati mereka akan dikuburkan di makam tetangga desa mereka, Glagaharum.

    Selama dua tahun pasca luapan lumpur, sudah 30 orang warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong yang meninggal. Mereka nebeng makam di desa Juwet Kenongo.

    ““Mereka dikumpulkan di pojok, tak boleh milih tempat sembarangan,”” tutur Nizar warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar.

    Selain dua kuburan di Desa Renokenongo, kuburan-kuburan di Desa Siring, Kedungbendo, Mindi, Jatirejo Timur, Jatianom juga ditenggelamkan lumpur Lapindo. Jelang Ramadlan warga Mindi melakukan aksi nyekar di tanggul dan mendoakan leluhur mereka di sana.

    “Di Jatirejo ada dua kuburan satu di Jatirejo Timur dan Barat. Yang di Jatirejo Timur sudah tenggelam dan yang di Barat masih,” tutur Ahmad Novik (29 tahun) warga Jatirejo.

    Penduduk Besuki yang setengah kampungnya ditenggelamkan lumpur masih beruntung karena kuburan mereka masih bisa digunakan. Dulu sempat tergenang lumpur tapi kini sudah kering. Meski kuburan itu dilapisi lumpur namun penduduk masih bisa menggunakannya. Sore sehari menjelang Ramadlan, penduduk Besuki memadati kuburan berlumpur itu untuk menjalankan tradisi nyekar dan mendoakan arwah keluarga mereka.

    Suroso adalah salah satu warga Besuki yang nyekar sore itu. Tak hanya menjelang Ramadlan, biasanya, Suroso ziarah ke makam orang tuanya setiap malam Jumat.

    “Ini sudah menjadi adat kebiasaan yang diharuskan menjelang puasa dan Idul Fitri,” tutur Suroso.

    Soal kuburan yang tenggelam dan tradisi yang hilang ini belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun PT Minarak Lapindo Jaya. Jangankan untuk mengurus hal-hal semacam ini, melunasi tuntutan-tuntutan dasar macam perlunasan uang tanah, rumah dan sawah saja mereka nunggak.

    Persoalannya akan lebih rumit lagi kalau melihat luapan lumpur yang dialirkan di sungai-sungai di sekitar tanggul yang membunuh ekosistem dan merusak lingkungan.

    “Jangankan yang mati yang hidup saja ditelantarkan,” tutur Nawawi patah arang.

    Nyekar ke kuburan di Desa Besuki

  • BPLS Pertimbangkan Bangun Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS mempertimbangkan membangun dua kolam baru untuk menampung lumpur di Desa Renokenongo dan Desa Besuki, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

    Hal itu diungkapkan Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain, Senin (1/9) di Sidoarjo. Menurut perhitungan BPLS, sejak pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan, Rabu lalu, kolam yang ada seluas 110 hektar hanya mampu menampung lumpur sembilan hari lagi.

    Di Desa Renokenongo, ada lahan seluas 80 hektar, sedangkan di Desa Besuki ada lahan seluas 25 hektar. Persoalannya, belum semua warga memperoleh ganti rugi. Di Desa Renokenongo masih ada 75 keluarga yang tinggal. Padahal, desa tersebut termasuk dalam peta terdampak lumpur Lapindo. Sebagian besar warga desa sudah mengungsi, khususnya yang telah terima ganti rugi.

    Desa Besuki, yang belakangan dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur Lapindo bersama Desa Pejarakan dan Kedungcangkring, masih dalam proses pengukuran tanah dan bangunan.

    ”Untuk rencana pembuatan kolam penampungan di Desa Besuki, Deputi Operasi BPLS sudah berkoordinasi dengan PT Minarak Lapindo Jaya,” katanya.

    Kegiatan pembuangan lumpur di Sungai Porong dihentikan akibat protes warga yang khawatir endapan lumpur akan membuat air sungai meluap di musim hujan. Di sisi lain, pembuangan seluruh semburan lumpur, 100.000 meter kubik per hari, dikhawatirkan mempercepat penuhnya kolam penampungan yang ada.

    Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Wakil Keta Komisi E DPRD Jawa Timur Kuswiyanto, saat meninjau normalisasi Sungai Porong, mengusulkan peninjauan ulang Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembuangan Lumpur ke Sungai Porong.

    Menurut mereka, perlu kajian komprehensif untuk mendapatkan solusi pembuangan lumpur selain ke Sungai Porong. ””Jika pembuangan lumpur ke sungai menimbulkan dampak lebih berbahaya, perpres perlu ditinjau ulang,”” ujar Kuswiyanto. (APO)

  • Warga Pertanyakan Pengukuran

    SIDOARJO – Sosialisasi tentang rencana pengukuran lahan dan ganti rugi telah dilaksanakan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di Desa Besuki. Dalam kesempatan itu, warga mengajukan beberapa pertanyaan menarik.

    Misalnya, terkait bentuk fisik yang diukur berdasar kondisi sebelum atau sesudah terendam lumpur. Abdul Rokhim, wakil warga, mempertanyakan hal itu. Menurut dia, kondisi bangunan sebelum dan sesudah terendam berbeda. Misalnya, lantai yang sebelumnya keramik sekarang tidak bisa dilihat kembali. Selain itu, beberapa benda rumah telah dijarah orang. “Jadi, kondisinya sudah tidak sama,” katanya.

    Jika didasarkan pada kondisi terakhir, Rokhim menyatakan, banyak warga yang rugi. Sebab, bentuk fisik saat ini tidak sebaik kondisi awal. Otomatis, hasil pengukurannya berbeda. “Sebaiknya disesuaikan dengan kondisi awal,” pintanya.

    Pertanyaan itu ditanggapi Humas BPLS Akhmad Zulkarnain. Dia menjelaskan, ketika pengukuran nanti, tim pengukur wajib didampingi pemilik rumah. Mereka (pemilik rumah) akan ditanya kondisi bangunan yang sebelumnya dan dibandingkan dengan sekarang. “Untuk itu, kami mohon warga menuturkan kondisi yang sebenarnya,” tuturnya.

    Bila pemilik rumah sedang berhalangan, Zulkarnain meminta ada pihak yang sudah diberi mandat untuk mendampingi tim pengukur. Dengan begitu, tim pengukur tidak kesusahan mencari orang yang akan ditanya tentang kondisi sebelum dan sesudah terendam lumpur. “Minimal harus ada wakilnya,” ucapnya.

    Zulkarnain menambahkan, keberhasilan pengukuran bergantung pada kerja sama beberapa pihak. Yakni, tim pengukur yang terdiri atas Dinas Pekerjaan Umum (PU) Cipta Karya dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta dukungan dari masyarakat. “Semuanya harus bekerja sama,” katanya.

    Zulkarnain menegaskan, pengukuran akan berlangsung secara optimal. Supaya cepat selesai, tim pengukur bekerja dua kali dalam sehari. Yaitu, siang mereka melakukan pengukuran, sedangkan malamnya membuat rekapitulasi hasil pengukuran.

    “Semua itu dikerjakan di pos yang bertempat di salah satu rumah warga,” ujarnya. Dia juga menyatakan bahwa warga bisa melihat hasil rekapitulasi pengukuran di posko tersebut.

    Ditanya soal bukti tanah, Zulkarnain mengatakan tidak masalah. Sebab, pihak BPN tidak mempersoalkan letter C atau pethok D. Yang dipersoalkan adalah ukuran tanah yang sebenarnya. “Maka, dilakukan pengukuran,” jelasnya.

    Kemarin malam (8/8) sosialisasi dilaksanakan di Balai Desa Pejarakan. Mereka yang hadir adalah warga Desa Pejarakan dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon. Di Pejarakan ada 9 RT yang masuk peta, sedangkan di Kedungcangkring ada 3 RT.

    Zulkarnain menjelaskan, sosialisasi hanya membahas masalah pengukuran. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • BPLS Mulai Sosialisasi, Kali Pertama di Desa Besuki

    SIDOARJO – Kerisauan warga tiga desa direspons Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Kemarin malam (7/8) BPLS melakukan sosialisasi tentang rencana pengukuran dan ganti rugi lahan dan bangunan milik warga.

    Sosialisasi pertama dilakukan di Desa Besuki, Kecamatan Jabon. Malam nanti, akan dilanjutkan ke Desa Kedungcangkring dan Pejarakan, Kecamatan Jabon.

    Sosialisasi pertama kemarin bertempat di Balai Desa Besuki, Kecamatan Jabon. Hadir tim BPLS, wakil Dinas Pekerjaan Umum (PU) Cipta Karya, Badan Pertanahan Nasional, dan beberapa pihak yang terkait proses ganti rugi.

    Dari pihak warga, yang hadir adalah perangkat desa setempat. Juga, 17 ketua RT dari 5 RW dan dua wakil warga.

    Berdasar data sementara, jumlah kepala keluarga (KK) mencapai 941. Luas sawah 509.588 meter persegi. Luas pekarangan 374.918 meter persegi. Bangunan mencapai 236.780,33 meter persegi. Wilayah yang dimaksud adalah Desa Besuki sebelah barat bekas ruas jalan tol.

    Staf Humas BPLS Akhmad Kusairi mengatakan, sosialisasi bertujuan menjelaskan persiapan serta pelaksanaan pengukuran dan mekanisme untuk mencairkan ganti rugi.

    Sosialisasi juga menegaskan status tanah letter C dan pethok D. “Ini akan dijelaskan dalam forum itu,” katanya.

    Dengan adanya sosialisasi tersebut, warga diharapkan bisa mengerti prosedur ganti rugi. Dengan begitu, dana yang diambilkan melalui APBNP bisa cair secepatnya. ”Kami berharap tidak ada hambatan,” ucapnya.

    Abdul Rokhim, wakil warga, menyambut baik langkah BPLS. Dia berharap itu diikuti penjelasan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). ”Kabarnya, juklak dan juknis sedang disusun,” ujarnya.

    Hingga berita ini ditulis, sosialisasi masih berlangsung sehingga hasilnya belum diketahui. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Lumpur Lapindo, Tiga Desa Baru Masuk Revisi Perpres

    Jakarta, Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani revisi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2008 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo di Jakarta, Kamis (17/7). Tiga desa yang terdampak semburan lumpur panas Lapindo Brantas Inc paling akhir yaitu Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring masuk dalam revisi perpres itu.

    Sudah diteken hari ini. Soal teknisnya, tentu nanti. Kan ada badan yang tinggal melaksanakan saja teknis dari perpresnya,” ujar Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di halaman Istana Negara, Jakarta.

    Lambatnya penandatanganan revisi Pepres No 14/2008 menurut Hatta karena pembahasannya menyangkut dana yang melibatkan sejumlah menteri seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan menteri yang terkait.

    Mengenai kapan realisasi pemberian ganti rugi sebagai konsekuensi dari revisi perpres, Hatta mengemukakan, kecepatannya tergantung pelaksana teknis mulai dari Menteri Keuangan hingga BPLS.

    Secara terpisah, sebanyak 80 warga korban lumpur Lapindo dari tiga desa (Besuki, Kedungcangkring, dan Pejarakan) di luar areal peta terdampak menyambut baik penandatanganan revisi perpres itu. Warga yang sudah lima hari berada di Jakarta, di antaranya dua hari terakhir bermalam di lapangan Monumen Nasional (Monas), serentak meluapkan kegembiraan mereka.

    ”Tentu kami bersyukur, sekalipun kami belum melihat hitam di atas putih. Semoga saja benar adanya,” kata Koordinator Korban Lumpur Tiga Desa di Luar Peta Terdampak Abdul Rokhim, kemarin.

    Di Sidoarjo Jawa Timur, bergitu mendengar dilakukan revisi perpres, warga langsung melakukan sujud syukur. (INU/GSA/HEI)

    © Kompas