Category: Lapindo di Media

  • Jaminan Kesehatan Korban Lapindo

    Puluhan perempuan korban Lapindo dari desa Siring, Jatirejo, dan Kedungbendo berkumpul di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II pada Minggu (11/11) pagi. Mereka berdiskusi soal jaminan kesehatan yang selama ini tidak mereka peroleh dari pengurus negara. (more…)

  • Koperasi untuk Kesehatan Korban Lapindo

    Sidoarjo – Sudah lama jaminan kesehatan korban Lapindo tidak menjadi prioritas pemerintah. Sampai sekarang penanganan korban Lapindo hanya sebatas ganti rugi aset tanah dan bangunan warga.

    Hal inilah yang membuat kelompok warga korban Lapindo yang beraktifitas sebagai tukang ojek di atas tanggul untuk membentuk koperasi simpan pinjam. Mereka berharap bisa saling membantu meringankan biaya perobatan dan biaya pendidikan anggota kelompok. (more…)

  • Bukan Bencana Alam, Tidak Ada agenda Bahas Lumpur Lapindo pada AMCDRR

    Yogyakarta – Pertemuan para menteri Asia untuk Pengurangan Resiko Bencana (AMCDRR) ke 5 digelar di Jogjakarta pada 22-25 Oktober 2012 di Yogyakarta. Tema utama pertemuan yang mengusung penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengurangan resiko bencana seolah tidak sirama dengan beberapa kasus kebencanaan yang terjadi di Indonesia. Lapindo salah satu yang bisa mencerminkan buruknya pengelolaan bencana di Indonesia. (more…)

  • Solidaritas Anak-anak Korban Lapindo untuk Anak-anak Syi’ah di Sampang

    Sampang – Anak-anak korban Lapindo dari desa Besuki kecamatan Jabon yang tergabung dalam sanggar Al-Faz, mengunjungi korban kerusuhan konflik agama di GOR Tenis Indoor Kota Sampang. Kunjungan ini bertujuan untuk berbagi solidaritas dengan mengajak anak-anak korban konflik Sampang untuk bermain bersama. Sekurangnya 14 anak-anak, pemuda, dan pengasuh Sanggar Al Faz berangkat menuju Sampang pada Sabtu (20/10) siang. (more…)

  • Iuran Pendidikan ala Korban Lapindo

    Sidoarjo – Rabu(12/9) pukul empat sore, beberapa korban Lapindo yang selama ini mencari nafkah dengan menjadi tukang ojek dan penjual VCD, bergerombol di sebuah pos tanggul Lumpur Lapindo desa Siring. Mereka tidak sedang menunggu pengunjung yang datag melihat lumpur, tapi sedang sibuk menyiapkan uang dan buku tabungan. Kebanyakan dari mereka laki-laki, namun beberapa diantaranya ada perempuan-perempuan tangguh yang selama ini mengais pendapatan melalui jasa ojek.

    Sudah dua bulan mereka membentuk koperasi simpan pinjam. Harwati, salah satu perempuan menjadi pelopor terbantuknya koperasi ini. Mereka belum memberikan nama koperasi ini. Inisiasi membentuk semacam koperasi bertujuan untuk menyiasati kebutuhan biaya pendidikan anak-anak anggota koperasi yang selama ini tidak di perhatikan oleh pemerintah.

    “Ide membentuk koperasi simpan pinjam ini karena setiap ajaran baru para orang tua selalu dipusingkan dengen biaya pendidikan anak-anak,” ungkap Harwati sambil mencatat anggotanya yang menabung.

    Sampai saat ini uang dari simpanan warga sudah terkumpul sekitar lebih dari empat juta. Koperasi sudah memberikan pinjaman ke anggotanya yang membutuhkan tanpa ada bunga. Ini juga dikarenakan koperasi tidak ditujukan mencari keuntungan dari aktivitas yang dilakukan, namun untuk menguatkan sesama korban Lapindo yang membutuhkan biaya pendidikan anak-anaknya.

    “Total dari setoran simpanan warga kurang lebih sudah mencapai 4 juta lebih, dan sudah ada sekitar empat anggota yang sudah mengajukan pinjaman, kami tidak menarik bungah karena uang itu juga berasal dari mereka sendiri” kata Harwati.

    Tidak hanya itu, kedepan Harwati dan korban Lapindo lainnya yang beraktifitas di tanggul lumpur Lapindo akan berencana mengakses  jaminan kesehatan. Mereka memeahami resiko aktivitas mereka yang berada di tempat berbahaya. Terlebih, jaminan kesehatan melalui Surak Keterangan Tidak Mampu (SKTM) mulai Juli 2012 silam tidak berlaku lagi di Kabupaten Sidoarjo. Kebanyakan diantara anggota koperasi ini tidak mendapatkan jaminan kesehatan melalui Jamkesmas maupun Jamkesda.

    “Selain membentuk koperasi, kami akan meminta kepada pemerintah melalui BPLS untuk memberikan jaminan kesehatan kepada kami, karena tempat kami berkerja sangat berbahaya,” tutur Harwati.

    Harwati dan korban Lapindo yang lainnya terpaksa melakukan ini karena selama ini jaminan pendidikan dan kesehatan tidak diperhatikan. Apalagi banyak warga yang kehilangan pekerjaan akhirnya mencari nafkah di tanggul Lumpur untuk bertahan hidup. (ctr/vik)

  • Pemerintah Kembali Gelontorkan Dana untuk Lapindo

    Jakarta – Pemerintah kembali menggelontorkan dana sebesar Rp 2,236 triliun untuk penanganan lumpur Lapindo melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dalam rancangan anggaran pendapatan belanja negara (RAPBN) 2013. Dana tersebut naik dari tahun ini yang berjumlah Rp 1,533 triliun.

    Dalam pasal 9 nota keuangan dan RAPBN 2013, dana tersebut digelontorkan untuk pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan). Selain itu, ada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Siring, Jatirejo, dan Keluarahan Mindi.

    Dana itu juga diperuntukkan untuk bantuan kontrak rumah dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak lainnya pada enam puluh lima rukun tetangga (Kelurahan Mindi, Kelurahan Gedang, Desa Pamotan, Desa Kalitengah, Desa Gempolsari, Desa Glagaharum, Desa Besuki, Desa Wunut, dan Desa Ketapang.

    Untuk penyelamatan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul lumpur, pada Tahun Anggaran 2013 untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur, termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong (mengalirkan lumpur dari tanggul utama ke Kali Porong) dialokasikan dengan pagu paling tinggi sebesar Rp 155 miliar.

    Menteri Keuangan Agus Martowardojo tidak mau berkomentar soal ini. Dia menyatakan saat ini pemerintah tengah menyelesaikan proses terkait tuntutan di Mahkamah Konstitusi. “Saya belum bisa berkomentar. Ini sedang direspons oleh pemerintah dengan melengkapi penjelasan dan argumentasi,” katanya.

    Sementara itu, anggota fraksi PDI Perjuangan, Arif Budimanta mengaku tidak masalah pemerintah mengalokasikan dana untuk penyelesaian lumpur Lapindo. Menurut dia sejak zaman Menteri Keuangan dijabat Sri Mulyani, kasus lumpur Lapindo sudah dikategorikan sebagai bencana nasional.

    “Yang penting alokasi itu digunakan sebenar-benarnya untuk yang berhak dan untuk kesejahteraan rakyat,” katanya. Ia menyatakan penghentian alokasi untuk Lapindo menggunakan APBN bisa berakhir jika pemerintah mau. “Berhenti sampai pemerintah mengusulkan diberhentikan,” katanya.(ANGGA SUKMA WIJAYA)

    Sumber: Tempo.co
    http://www.tempo.co/read/news/2012/09/10/090428628/Pemerintah-Kembali-Gelontorkan-Dana-untuk-Lapindo

  • SKTM Tak Berlaku, Korban Lapindo Tak Tahu

    Sidoarjo – Mulai 1 Juli 2012 Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk pengantar berobat warga tidak mampu di Sidoarjo sudah tidak berlaku lagi. Padahal SKTM inilah yang menjadi pijakan warga yang selama ini tidak memiliki Jamkesmas dan Jamkesda untuk mendapatkan fasilitas berobat gratis. Hal ini yang membuat warga korban Lapindo menjadi kelabakan ketika mengalami sakit dan membutuhkan perawatan medis serius. Menurut dokter Atok Irawan, melalui pesan singkat(SMS), mengatakan SKTM tidak berlaku lagi di Sidoarjo dan di Jawa Timur.

    Sutikah misalnya, warga Siring kecamatan Porong, yang menderita katarak akut dan membutuhan pengobatan serius melalui operasi harus tertunda penanganannya. Ketika Sutikah meminta SKTM ke kelurahan dan mendapatkannya, Ia menggunakannya untuk berobat di Rumah Sakit Umum Sidoarjo. Namun ternyata surat ini tidak berlaku. Akhirnya Sutikah harus berobat dengan biaya sendiri. Tidak ada jaminan kesehatan khusus yang ia dapatkan, termasuk Jamkesmas maupun Jamkesda yang memang selama ini distribusinya terbatas.  

    “Istri saya menderita katarak dan butuh operasi, sekarang SKTM tidak berlaku, kami tidak tahu lagi harus berobat melalui apa, karena kami sudah tidak punya biaya lagi, apalagi ganti rugi untuk bulan ini belum dibayar oleh Minarak Lapindo Jaya,” ungkap Bambang, suami Sutikah.

    Untuk pengobatan, sementara ini Sutikah harus meminjam uang untuk merawat matanya di Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya. Untuk sekali berobat, Sutikah harus mengeluarkan biaya sebesar 400 hingga 500 ribu. Ia masih harus mengeluarkan biaya sebesar ini selama perawatan, ini belum kebutuhan biaya yang jauh lebih besar lagi untuk operasi mata yang harus dijalaninya. Tentu saja jumlah sedemikian besar bukan beban yang mudah diatasi oleh Sutikah dan keluarganya. Terlebih, sandaran sumber biaya ekonomi keluarga saat ini mengandalkan cicilan penggantian dari pihak Lapindo. Suaminya masih belum memiliki pekerjaan tetap karena sering sakit-sakitan. Sementara pembayaran cicilan sebesar lima belas juta per bulan tidak lancar pembayarannya.

    Kondisi yang sama ternyata juga dialami oleh Purwaningsih, korban ledakan gas metan di desa Siring pada 2010 silam. Ia juga mengurus SKTM karena keterbatasan biaya untuk perobatan luka bakarnya. Namun karena SKTM tak lagi berlaku, maka Purwaningsih urung menggunakannya untuk pengantar berobat luka bakarnya. Padahal kebutuhan medis atas luka bakar tubuhnya masih membutuhkan tahapan operasi ortopedi dan kulit agar kembali berfungsi.

    Ketiadaan informasi terkait tidak berlakunya SKTM disayangkan oleh Muhammad Irsyad, korban Lapindo dari Besuki. Menurutnya pemerintah seharusnya memberikan informasi soal SKTM yang tidak berlaku lagi dan wajib memberikan jaminan khusus kepada korban Lapindo. “Jika tidak berlaku lagi, warga miskin yang mau berobat harus menggunakan apa? Apalagi kebanyakan warga di desa Besuki ini tidak mempunyai Jamkesda dan Jamkesmas,” ujarnya.(ctr/vik)

  • Warga Kalidawir Tolak Welltest Lapindo

     

    Sidoarjo – Sekitar 500 warga desa Kalidawir kecamatan Tanggulangin melakukan aksi menolak rencana Lapindo Brantas melakukan WELLTEST dan PEMBORAN di sumur Tanggulangin #5 yang tidak jauh dari pemukiman warga pada Senin(25/5).

    Aksi ini dilakukan warga setelah mengetahui rencana PT Lapindo Brantas akan melakukan welltest di sumur Tanggulangin #5 yang terletak 50 meter dari pemukiman warga. Nur Yahya, salah satu tokoh warga mengatakan aksi penolakan ini sudah lama di lakukan warga, tapi PT Lapindo Brantas tetap nekat melakukan niatnya untuk melakukan pengeboran di wilayah Kalidawir.

    “Sudah lama kami menolak rencana Lapindo melakukan pemboran di wilayah kami, kami takut terjadi semburan lumpur di Banjar Panji satu. Apapun rencana Lapindo, baik itu welltest atau apapun kami akan menolaknya”, ungkapnya.

    Ungkapan senada juga disampaikan Tuminah salah satu warga Kalidawir. Menurutnya keberadaan Lapindo di desa Kalidawir tidak pernah menguntungkan warga. “Sejak Lapindo mengebor di wilayah kami, sampai sekarang kami tidak pernah diuntungkan. Apalagi sejak adanya lumpur panas menyembur, kami disini menjadi was-was. Kami akan terus menolak, sampai Lapindo membatalkan recananya”, ungkapnya.

    Sejak jam enam pagi, anak-anak dan ibu-ibu sudah berkumpul di jalan akses menuju sumur Tanggulangin #5 milik Lapindo Brantas, mereka membawa spanduk bertuliskan kecaman terhadap Lapindo dan penolakan rencana Lapindo mengebor di wilayah Kalidawir.

    Sekitar pukul 09.15WIB Kepala desa yang dicurigai warga mendukung rencana Lapindo datang menemui warga. Di tengah – tengah masa Kepala Desa Kalidawir manyampaikan Ia telah mengirim surat kepada pihak Lapindo untuk menunda rencana welltest yang akan dilakukan hari ini.

    “Saya sudah mengirimkan surat kepada pihak Lapindo untuk menunda welltest, dan kami berharap bapak-bapak dan ibu-ibu membubarkan diri dan mangakhiri aksi ini”, katanya di tengah-tengah aksi warga.

    Setelah kepala desa menyampaikan penundaan rencana Lapindo melakukan welltest dan tidak ada tanda-tanda dilakukan welltest pada hari ini. Akhirnya warga membubarkan diri, dan mangancam akan menghadang jika sewaktu-waktu Lapindo melangsungkan niatnya.

    “Seharusnya pak lurah dan pemerintah daerah mengirimkan surat Pembatalan rencana welltest ini, bukan penundaan. Yang jelas kami akan terus menolak rencana Lapindo melakukan pemboran di desa Kami”, kata Nur Yahya setelah warga membubarkan diri.(vik)

  • 81% Korban Alami Gangguan Paru

    SIDOARJO– Ini fakta baru tentang derita korban semburan Lumpur Lapindo. Sedikitnya 81% warga korban lumpur yang tinggal di Desa Besuki Timur, Mindi, Jatirejo Barat mengalami gangguan paru-paru sehingga sesak napas.

    ”Pemerintah memiliki data ini. Tapi mereka hanya menyebutnya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) saja.Padahal,gangguan ini sangat dirasakan warga korban lumpur,” kata Yuliani, pendamping korban semburan Lumpur Lapindo dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, yang dihubungi tadi malam.

    Menurut Yuliani,jika dipersentasekan, 81% warga korban mengalami restriksi paru-paru, 9,4% mengalami obstruksi paru-paru,dan sisanya normal. Selain sesak napas,warga korban Lumpur juga mengalami kesemutan dan penurunan kekebalan tubuh.”Pada 2005 yang diderita korban lumpur masih ISPA, tapi kini sudah bertambah parah,” tandas Yuliani.

    Korban lumpur Lapindo yang mengalami gangguan pernapasan, kesemutan, dan penurunan kekebalan tubuh ini tersebar di empat desa. Data SINDO menyebutkan, di Desa Besuki Timur terdapat 315 keluarga, Desa Mindi 289 keluarga, Jatirejo Barat 295 keluarga, dan Siring Barat 330 keluarga. Jumlah penderita gangguan kesehatan ini bisa bertambah. Hasil penelitian terbaru menunjukkan, kandungan logam berat dan timbal juga naik puluhan kali lipat.Jika kondisi ini dibiarkan, warga korban lumpur bisa terserang kanker.

    ” Daya tahan tubuh korban lumpur turun. Saya pernah mencoba bertahan sebulan di sana, dan hasilnya, saya langsung drop,masuk rumah sakit,” tandasYuliani. Sementara itu Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Ja’far meminta PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) segera menyelesaikan hak-hak korban lumpur Lapindo Sidoarjo yang belum mendapat pelunasan ganti rugi.Menurut dia penanganan korban Lapindo harus diperhatikan secara serius karena telah berdampak pada masalah sosial dan kesehatan.

    “Yang penting sekarang bagaimana masyarakat yang terkena semburan Lapindo hakhaknya terpenuhi semua. Harus diperhatikan dalam bentuk nyata, bukan sekadar retorika saja,”kata Marwan. Menurut Marwan, penanganan korban lumpur Lapindo berjalan sangat lambat.Padahal masyarakat sudah menderita cukup lama menanti penyelesaian dari pihak perusahaan. “Kita butuh penyelesaian segera karena dampaknya signifikan sekali.

    Baik itu dampak sosial, ekonomi maupun pendidikan. Memang ada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang anggarannya dari APBN.Tapi sekarang kan lagi ada gugatan ke MK, jadi kita tunggu saja hasilnya,” kata dia. Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia Ubedilah Badrun meminta penanganan korban lumpur Lapindo Sidoarjo yang dibebankan ke pemerintah melalui APBN-P 2012 sama dengan merampok uang negara.Itu artinya perusahaan Bakrie menyalahgunakan uang rakyat untuk kepentingan perusahaan.

    “Menggunakan uang APBNP 2012 untuk membiayai korban Lapindo sama dengan merampok uang negara dan itu artinya juga merampok uang rakyat,”katanya. Menurut dia, penanganan korban lumpur Lapindo yang dibebankan kepada pemerintah melalui APBNP tahun 2012 juga merupakan bukti politik transaksional elite politik. Ubed menjelaskan, meluapnya lumpur Lapindo sebenarnya murni kesalahan manusia (human error) dari pihak pengebor.

    Itu sebabnya seluruh pembiayaan meluapnya lumpur yang menenggelamkan ribuan rumah menjadi tanggung jawab perusahaan Bakrie. Menurut dia, kesepakatan melalui politik transaksional antara Partai Golkar dengan Partai Demokrat yang menghasilkan penanganan pembiayaan korban Lapindo masuk APBN-P 2012 menunjukkan bahwa pemerintahan SBY-Boediono lemah.“Fenomena tersebut juga menunjukkan pemerintahan SBY lemah dan mudah ditekan oleh pengusaha,” katanya.

    Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Yudi Widiana Adia mengatakan, pasal tambahan dalam APBN-P tersebut tidak dibahas mendetail di Banggar DPR dan tiba-tiba muncul untuk kemudian disahkan. “Dalam pembahasan RUU APBN-P 2012, Banggar DPR memang tidak sempat menyoroti Pasal 18. Pasal tersebut muncul begitu saja.

    Tidak ada pembahasan mendalam di Banggar. Anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di postur tidak terlihat,tapi muncul saat perumusan RUU APBN-P 2012,”ungkapnya. Menurut dia, pembahasan pasal anggaran tersebut lebih banyak dilakukan oleh tim perumus di Banggar. Pihaknya sendiri menyayangkan hal tersebut karena seharusnya keputusan BPLS terkait dengan rekomendasi Komisi V DPR yang membidangi infrastruktur.

    Sementara itu,skema pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo oleh PT Minarak Lapindo Jaya yang dilakukan mulai 16 Juni lalu dinilai tidak jelas. Pasalnya masih banyak korban lumpur yang belum mendapat pelunasan ganti rugi meski nilainya di bawah Rp40 juta.Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam melalui pesan singkatnya menyatakan tidak berkenan untuk diwawancarai. “Biarkan Minarak bekerja melakukan pembayaran ganti rugi sesuai dengan kewajibannya,” jelas Andi. (abdul rouf/ edi purwanto /nurul huda)

    (c) seputar-indonesia.com

  • Bertanam Sayuran Hingga Jalan Kaki ke Ibukota

    Sidoarjo – Setelah lebih dari enam tahun semburan lumpur menghancurkan wilayah tinggal warga  puluhan desa di Porong, Jabon, dan Tanggulangin, masih belum nampak pemulihan kehidupan warga korban Lapindo. Korban Lapindo dalam Peta Area Terdampak (PAT) 22 Maret 2007 yang seharusnya diganti asetnya oleh PT Lapindo Brantas Inc. Masih menyisakan ribuan masalah. Dari kasus tidak dibayar sama sekali, dicicil, hingga diganti dalam bentuk rumah yang sampai kini tak diberi sertifikat.

    Ini masih juga belum menghitung warga yang mesti membiayai sendiri kesehatan, pendidikan, dan  juga peningkatan biaya kebutuhan dasar lain. Warga mesti bersusah payah sendiri memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang makin meningkat. Sumber produksi yang lenyap-pun mesti menjadi beban warga tanpa campur tangan pengurus negara maupun perusahaan. Sebagaimana disampaikan Irsyad, warga desa Besuki yang kehilangan sawahnya setelah diluberi lumpur pada 2007, Ia harus mencari sumber penghasilan lain dengan bekerja sebagai kuli bangunan hingga mencari kepiting di tambak.

    Ia kini beternak jangkrik dan belajar bertani lahan sempit. Cara bertani lahan sempit dipilihnya setelah Ia mendapati lahan di wilayah Besuki tak bisa ditanami lagi. “Kami masih belajar beberapa bulan ini, semoga kedepan bisa memahami ketrampilan ini dan menjadi sumber ekonomi bagi kami,” ujar Irsyad.

    Saat ditemui di Besuki, Ia sedang mengolah tanah di dalam green house kecil di halaman depan rumah. Puluhan polly bag dijajar pada halaman bagian kanan. Beberapa pemuda terlihat datang pergi membawa kantong pollybag berisi tanaman. “Itu tomat dan terong yang kami bagikan kepada warga yang mau bertanam,” kata Irsyad. Ia membantu menyiapkan bibit tanaman sayuran untuk Ibu-ibu anggota kelompok Jimpitan Sehat yang ingin bertanam.

    Warga desa Besuki merasakan bagaimana pondasi ekonomi mereka porak poranda akibat semburan lumpur Lapindo. Setelah hampir enam tahun, mereka baru mendapatkan kejelasan pemulihan setelah ada kebijakan Peraturan Presiden 37 pada bulan April 2012 lalu.

    Sementara itu, dua warga korban lapindo yang berasal dari desa Kedungbendo dan Jatirejo siang ini mulai aksi jalan kaki menuju Jakarta. Hari Suwandi (44) dan Harto Wiyono(41) akan menyusuri jalan pantura sejauh 800 kilometer. Hari S akan berjalan, sedangkan Harto mengawal dengan menggunakan motor dengan membawa bekal kebutuhan selama perjalanan. Tak kurang 50 botol lumpur dibawa untuk diserahkan di tiap kota yang disinggahi.

    Perjalanan ditempuh selama sebulan untuk sampai Jakarta. Saat tiba korban Lapindo ini berencana akan mendatangi Wisma Bakrie, DPR, Istana Presiden, dan juga bundaran Hotel Indonesia (HI). (cat/zar)

    (c) Kanal Newsroom

  • Warga Tolak Sumur Baru Lapindo

    Kepala Desa Banjarasri, Didik Fahruddin, ikut hadir memimpin aksi yang dikuti oleh kebanyakan kaum ibu itu. Didik menyatakan menolak secara tegas rencana Lapindo mengembangkan sumur minyak dan gas di Desa Banjarsari. Pasalnya, menurut Didik, selama keberadaan Lapindo di Desa Banjarasri, warga sekitar tidak pernah merasa diuntungkan. Warga yang tinggal di RT 1 dan RT 2 terutama, yang berdekatan dengan sumur gas, justru merasa sering dirugikan oleh kebisingan aktivitas sumur gas milik Lapindo itu.

    “Kami menyatakan penolakan atas rencana Lapindo mengebor lagi di desa kami. Karena selama ini kami tidak pernah diuntungkan, bahkan warga kami merasa terganggu dengan aktivitas eksplorasi sumur Lapindo,” tandas Didik.

    Lebih dari itu, warga juga masih trauma dengan kejadian semburan lumpur di sumur Banjarpanji 1, Desa Renokenonggo, Kecamatan Porong, yang menenggelamkan rumah dan tanah warga sejak 2006 silam. “Kami juga tidak mau kecerobohan pemboran di Banjar Panji 1 terulang lagi di wilayah kami. Kami akan berjuang keras menolak pemboran Lapindo, dan kami juga menolak aktivitas Lapindo di desa kami,” lanjut Didik dalam orasinya di tengah-tengah massa.

    Khoiril Umam, salah satu kordinator aksi juga menyatakan hal senada. Warga tegas-tegas menolak rencana Lapindo melakukan pemboran lagi. Sebab, menurut Umam, selain Lapindo sendiri tidak melakukan sosialisasi ke warga, keberadaan sumur Lapindo di Desa Banjarasri pun juga mengancam keselamatan warga. Bayangkan, letak sumur Lapindo hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari rumah penduduk Desa Banjarasri.

    “Kami sangat menolak rencana Lapindo melakukan pemboran lagi di desa kami. Karena kami tidak mau bernasib yang sama dengan warga yang sudah menjadi korban kecerobohan Lapindo di Desa Renokenongo itu. Keberadaan sumur Lapindo ini sangat mengancam keselamatan warga yang hanya berjalan 100 meter dari rumah penduduk,” ujar Umam.

    Dalam aksi tersebut, warga juga menyegel pintu masuk sumur produksi Tanggulangin 1 milik Lapindo.

    (c) Kanal News Room

  • Lapindo Tebar Janji, Korban Lapindo Tetap Aksi

    Sidoarjo. Meskipun kemarin(27/4) warga korban lapindo telah melakuan pertemuan dengan direksi Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan mendapat tawaran dana ganti rugi sebesar 400 miliar, warga tetap bertahan melanjutkan aksi di area tanggul titik 25.

    Direksi MLJ, Andi Darussalam telah menjanjikan akan segera membayar sisa ganti rugi warga yang sisa asetnya dibawah 500 juta pada bulan Juni hingga Desember 2012. Sementara untuk korban lapindo yang memiliki sisa aset diatas 500 juta masih dicarikan alternatif pembayarannya.

    Meski seolah tuntutannya dipenuhi, warga yang melakukan aksi di titik 25 menolak tawaran Lapindo. Mereka masih tetap menuntut segera dilunasi sesuai dengan perintah Presiden pada Juni 2012.

    “Kami akan terus menuntut pelunasaan sisa pembayaran ganti rugi kami. Kami tidak mau jika penyelesain ganti rugi dibayar secara bertahap. Yang kami inginkan pembayaran lunas kepada semua warga, tidak ada prioritas,” ungkap Yudo Wintoko, salah satu perwakilan Korban lapindo.

    Terhitung sudah 12 hari warga melakukan aksi menduduki tanggul dan menghentikan semua aktifitas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dalam pengerjaan tanggul lumpur. Hari ini warga melakukan istighosah di area titik 25 tanggul lumpur lapindo. Warga juga masih menginginkan kejelasan pelunasan ganti rugi pada pertemuan dengan Nirwan Bakrie pada tanggal 2 Mei 2012 sebagaimana dijanjikan Andi Darussalam. Warga berharap ada pelunasaan pada Juni 2012 karena sudah lebih dari dua tahun pihak Lapindo terlambat melunasi ganti rugi korban.

    Warga juga mengancam akan melakukan aksi ke Jakarta jika pertemuan dengan Nirwan Bakrie tidak membawa hasil. Mereka juga berencanaakan memblokir jalan raya porong dan arteri baru.

    “Kami sudah bertekad aksi ini yang terakhir. Harus ada pelunasaan ganti rugi. Jika pertemuan dengan Nirwan Bakrie tidak mendapatkan hasil, kami siap berangkat ke Jakarta mendesak Presiden mengambil alih penanganan ganti rugi warga,” lanjut Wintoko.

    Sementara itu, B. Catur Nusantara, koordinator Posko Informasi Keselamatan Korban Lapindo(KKLula) yang juga direktur Walhi Jatim menyampaikan keprihatinannya atas penundaan penyelesaian ganti rugi kepada korban lapindo. Ia menilai sedari awal Lapindo tidak berniat sungguh-sungguh untuk segera menyelesaikan kerugian-kerugian yang diakibatkan lumpur lapindo. Ketidaksungguhan itu ditunjukkan gamblang sejak awal dengan tidak dipatuhinya Peraturan Presiden yang mengharuskan penyelesaian pada akhir 2008.

    “Ini potret perselingkuhan yang nyata antara pengurus negara dengan korporasi, aturan yang dibuat sama-sama dilanggar oleh keduanya. Warga yang akhirnya menjadi korban kesekian kali dari penanganan yang berlarut-larut ini,” ujar Catur.

    Ia juga menambahkan bahwa beban Lapindo tergolong ringan dengan hanya melakukan penggantian aset warga dalam peta area terdampak 22 Maret. Di luar peta dan persoalan penanganan lumpur sudah ditangani BPLS. Tidak ada pembebanan pemulihan lingkungan, ekonomi, sosial dan banyak hal lainnya kepada Lapindo kecuali hanya penyelesaian penggantian aset tanah dan bangunan warga.

    “Kalau sudah sedemikian ringan saja tidak dipenuhi, nampaklah sudah kalau perusahaan ini semaunya sendiri. Pemerintahpun tak terlihat sungguh-sungguh menekan mereka,” ujarnya.

    Ia tak heran jika kemudian warga yang telah sedemikian bersabar dengan janji-janji pembayaran Lapindo sejak 2008 melakukan aksi terus-menerus untuk mendesak pemerintah terlibat penuh dalam penyelesaian masalah ganti rugi tersebut. Menurutnya penundaan-penundaan ganti rugi harus segera diakhiri agar permasalahan lain yang menyangkut pemulihan hidup warga bisa segera ditangani.

    “Ini klop, istilahnya tumbu ketemu tutup. Lapindo bebal pemerintahnya memble, warga lagi yang dikorbankan,” kata Catur. (vik)

  • Lapindo Tak Sanggup Lunasi Korban Lapindo

    Sidoarjo. Pukul dua siang(27/4) diadakan pertemuan antara Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dengan korban lapindo yang difasilitasi oleh Pansus Lumpur DPRD Kabupaten Sidoarjo. Sekurangnya 25 perwakilan warga korban lapindo hadir dalam pertemuan. Ini kali kedua pertemuan antara korban lapindo dengan MLJ setelah Korban Lapindo melakukan aksi menutup aktivitas di area tanggul lumpur yang dikerjakan Badan Peanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Dalam pertemuan, MLJ yang diwakili diwakili Vice President MLJ Andi Darussalam Tabusalla menyampaikan pernyataan tertulis di depan Anggota Pansus DPRD dan warga korban lapindo yang berisi ketidakmampuan MLJ melunasai sisa pembayaran pada bulan Juni 2012 sebagaimana diintruksikan Presiden SBY. Seperti sebelumnya, Andi hanya berjanji berkomiten membayar paling lama pada Desember 2012.

    MLJ berusaha akan menyelesaikan secara bertahap sisa ganti rugi korban lapindo pada periode Juli hingga Desember 2012 dengan kemampuan pendanaan sebesar 400 Milliar. Dana yang dimiliki diprioritaskan untuk membayar sisa ganti rugi aset warga yang jumlahnya dibawah 500 juta. Sedangkan untuk warga yang memiliki sisa pembayaran aset lebih dari 500 juta, MLJ akan menghitung lagi dan berkonsultasi dengan PT. Lapindo Brantas.

    “Kami sudah mengupayakan untuk bisa mempercepat pembayaran ganti rugi Lapindo, tapi hanya ini kemampuan kami. Kami berharap warga mau menerimanya,” ungkap Andi.

    Untuk menyakinkan warga atas pernyataan ini, Andi Darusalam berjanji akan mengajak Nirwan Bakrie selaku pimpinanan PT. Lapindo Brantas untuk mejelaskan kondisi keuangan yang terjadi pada 2 Mei 2012.

    Menangapi pernyataan tertulis MLJ yang diserahkan langsung kepada Ketua Pansus Emir Firdaus, perwakilan korban la[pindo yang hadir menyatakan tidak bisa berbuat banyak. Mereka akan menyerahkan keputusan semuanya kepada warga.

    “Kami tidak bisa menyatakan menerima atau menolak, pernyataan dari MLJ akan kami sampaikan ke warga, keputusannya terserah warga mau menerima dan menolak yang kami inginkan saat ini pelunasan secepatnya,” ujar Sunarto, perwakilan Korban Lapindo dari Reno Kenongo.

    Ketidaksanggupan Lapindo untuk melunasi sisa pembayaran ganti rugi tidak kali ini saja terjadi. Skema pembayaran sebagaimana diatur dalam Perpres 14/2007 yang seharusnya sudah terselesaikan pembayaran kepada warga pada akhir 2008 tidak terealisasi. Setidaknya telah lebih dua tahun terjadi keterlambatan pembayaran sebagaimana diatur dalam Perpres tersebut.

    Cara pembayaran juga tidak lagi Cash & Carry sebagaimana diatur Peraturan Presiden, tapi diganti dengan mencicil sebesar 15 Juta perbulan. Cara cicil inipun tidak lancar. Setidaknya sejak 2010 sampai sekarang korban lapindo yang menyetujui skema pembayaran cicilan 15 juta perbulan, tidak rutin menerimanya. Terhitung sudah delapan bulan terakhir Lapindo tidak melakukan pembayaran cicilan kepada warga.(vik)

  • Diskriminasi Kebijakan, Warga Demo BPLS

    Diskriminasi Kebijakan, Warga Demo BPLS

    Sidoarjo – Lagi-lagi warga korban lumpur lapindo dari desa Mindi dari 18 RT melakukan aksi demonstrasi(22/11). Hampir sama seperti aksi-aksi terdahulu, warga menuntut Badan Penanggulanagan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menunda rencana pembayaran ganti rugi kepada warga 3 RT yang juga berasal dari desa Mindi. Warga yang tinggal di 18 RT ini juga merasakan hal sama yang dirasakan warga di 3 RT, namun pemerintah hanya memasukkan 3 RT saja sebagai area terdampak.

    Warga yang tidak terima dengan keputusan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden revisi ketiga tahun 2011, berbondong-bondong mendatangi Kantor BPLS di Surabaya untuk meminta penundaan verifikasi pembayaran ganti rugi 3 RT. Mereka menuntut ada kejelasan kebijakan atas warga 18 RT.

    Sri Utami, salah satu warga Mindi mengatakan seharusnya pemerintah lebih bijak dalam menentukan peta wilayah terdampak yang baru. Menurutnya dengan hanya memasukkan wilayah 3 RT dan membiarkan 18 RT, akan berakibat buruk dan akan menimbulkan konflik antar warga.

    “Pemerintah seharusnya tidak tebang pilih menentukan wilayah peta area terdampak, di desa Mindi ada 21 RT yang kondisinya sama-sama memprihatinkan”.

    Sebagaimana tertuang dalam laporan Tim Kajian Kelayakan Permukiman(TKKP) pada 2011, terdapat 45 RT baru yang kondisi wilayahnya tidak layak lagi untuk dihuni. Jumlah ini bertambah dari temuan tahun 2009 yang hanya menunjukkan 9 RT tak layak huni, dimana 3 RT di Mindi termasuk di dalamnya. Temuan TKKP pada tahun 2011 inilah yang merupakan kondisi kekinian yang dirasakan warga 18 RT di Mindi, sehingga mereka menuntut tidak ada diskriminasi dalam penentuan peta area terdampak dalam kebijakan pemerintah.

    Bambang Catur Nusantara, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, dihubungi terpisah meyatakan dukungannya atas aksi warga. Ia mengatakan bahwa aksi ini memang seharusnya dilakukan warga untuk bisa mendapatkan hak-nya tinggal di wilayah yang baik kualitasnya. Tidak patut pemerintah membuat kebijakan berbeda atas permasalahan yang sama dihadapi oleh warga yang tinggal di sekitar wilayah lumpur lapindo.

    “Ini persoalan keselamatan warga yang harus dikedepankan oleh pemerintah, urusan kehilangan nyawa tidak bisa ditunda-tunda sekian lama”, ujarnya.

    Ia juga menyayangkan kelambanan pemerintah menetapkan area-area yang selama ini sangat terlihat membahayakan, tetap ditinggali warga tanpa kebijakan yang jelas. Jika terjadi kehilangan nyawa warga di wilayah-wilayah ini, padahal pemerintah tahu ada kebahayaan yang mengancam nyawa warga, maka itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara sistemik.

    “Apa yang ditanggung anggaran negara kedepan juga akan lebih berat dengan menunda-nunda kebijakan atas warga yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan lumpur itu”, katanya.

    Lebih lanjut Ia mendesak Badan Pengarah BPLS untuk segera membuat kebijakan yang komperehensif atas wilayah-wilayah di sekitar semburan lumpur lapindo. Demikian halnya dengan pembuatan rencana-rencana kerja, seharusnya diinformasikan secara aktif kepada masyarakat agar masyarakat di sekitar semburan lumpur lapindo bisa melakukan kesiapsiagaan atas situasi yang ada.(vik/red)

    (c) Kanal Newsroom

  • Tanah Gogol Tak Dibayar, Warga Hentikan Pengerjaan Tanggul

    Tanah Gogol Tak Dibayar, Warga Hentikan Pengerjaan Tanggul

    Sidoarjo – Warga korban lumpur lapindo dari desa Pejarakan, Kedungcangkring, dan Besuki kecamatan Jabon melakukan aksi penghentian aktifitas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo(BPLS) yang sedang melakukan pembangunan kolam penampungan baru di Desa Besuki(17/11).

    Aksi ini merupakan buntut dari kekecawaan warga yang sudah 4 tahun sisa ganti rugi sebesar 25 persen belum ada kejelasan. Sampai saat ini warga hanya menerima aset tanah bangunan sebesar 75 persen dari dana APBN sesuai dengan Perpres 40/2008. Selain itu warga juga menuntut pembayaran tanah milik 5 warga Besuki yang sampai hari ini masih belum mendapatkan ganti rugi sepeserpun.

    “Kami terpaksa malakukan aksi ini karena BPLS belum membayar sisa 25 persen kami, dan kami juga menuntut BPLS tidak melakukan deskriminasi kepada lima warga Besuki yang sampai hari ini tanahnya belum di bayar BPLS”, ungkap Mudiharto, salah seorang warga Besuki.

    Lebih lanjut Ia juga menuntut BPLS memberikan ganti rugi kepada 31 Warga pemilik tanah gogol di desa Besuki. Tanah gogol ini harus segera dibayar karena saat ini telah dijadikan tanggul.

    Aksi yang direncanakan terus berlanjut hingga pihak BPLS memenuhi tuntutan warga ini tidak berlangsung lama. Para pekerja yang melakukan pembenahan saluran sungai langsung berhamburan dan menghentikan aktifitasnya.(vik)

     

    (c) Kanal News Room

  • Wilayah Rusak, Warga Datangi Kecamatan Porong

    Wilayah Rusak, Warga Datangi Kecamatan Porong

    Sidoarjo – Warga korban lumpur Lapindo dari desa Mindi di 18 RT yang tidak masuk peta terdampak sesuai revisi Peraturan Presiden No. 14/2007 sampai hari ini masih terus menuntut untuk dimasukkan Peta Area Terdampak(PAT). Aksi ini dilakukan setelah beberapa hari lalu mereka menyegel Kantor Kelurahan Mindi untuk menuntut Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo(BPLS) mununda pembayaran ganti rugi kepada warga di tiga RT yang masuk PAT revisi Perpres ketiga tahun ini.

    Warga kesal lingkungan tinggal mereka tidak masuk dalam PAT dan harus menunggu hasil Uji Tim Terpadu untuk menentukan layak atau tidaknya kawasan mereka untuk tetap dihuni. Warga kemudian melanjutkan aksi dengan mendatangi Kantor Kecamatan Porong untuk meminta Camat Porong memfasilitasi warga untuk bertemu dengan BPLS. Mereka juga menuntut Camat untuk mendukung dengan tidak menandatangani berita acara verifikasi ganti rugi bagi 3 RT di desa Mindi sebelum warga yang tinggal di 18 RT ada kepastian juga masuk dalam PAT.

    Hari Susilo, koordinator aksi mengatakan warga di 18 RT tidak akan terima jika BPLS tetap memberikan ganti rugi kepada warga 3 RT saja. Ia dan warga lainnya meminta BPLS menunda dulu verifikasi pembayaran ganti rugi sampai warga di 18 RT mendapatkan kejelasan wilayahnaya yang rusak masuk dalam PAT.

    “Kami tidak menghalang-halangi warga di 3 RT masuk dalam Peta Area Terdampak, tapi tolong jangan diverifiksi dulu proses ganti ruginya sebelum warga di 18 RT ada kejelasan masuk dalam peta juga”, ungkapnya.

    Warga juga menuntut Pemerintah melalui BPLS untuk segera memasukkan wilayah 18 RT di desa Mindi yang tergabung dalam 45 RT dengan desa-desa lainnya agar tidak ada konflik antar warga. Tim Survei Terpadu yang sudah melakukan Uji Kelayakan Pemukiman diminta segera memberikan hasil kajian surveinya. Hasil survei itu yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menenentukan wilayah mereka masuk dalam PAT. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Ganti Rugi Tak Dibayar, Warga Usir Pekerja Tanggul

    Ganti Rugi Tak Dibayar, Warga Usir Pekerja Tanggul

    Sidoarjo – Puluhan korban lapindo dari desa-desa yang telah terbenam lumpur melakukan aksi pengusiran pekerja tanggul dan alat berat yang sedang melakukan penguatan tanggul di titik 72 Desa Ketapang(10/11). Aksi ini merupakan bentuk kekecewaan warga terkait sisa ganti rugi 80 persen yang tidak kunjung dibayar oleh pihak Lapindo. Kekecewaan ini juga didorong realisasi pembayaran tahun 2011 yang seharusnya dicicil 15 juta per bulan tetapi setahun terakhir tidak dibayar.

    H. Fatah mengatakan bahwa aksi ini untuk mengingatkan pemerintah agar lebih perduli dengan nasib warga. Ia meminta Pemerintah untuk memaksa Lapindo untuk memenuhi kewajibannya sesui dengan Peraturan Presiden No.14 tahun 2007.

    “BPLS hanya sibuk mengurusi tanggul dan membiarkan warga yang sudah lima tahun ganti rugi tidak kunjung dibayar Lapindo”, ungkapnya.

    Fatah juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak perduli dengan nasib warga. Menurutnya, meskipun Lapindo dengan seenaknya tidak segera membayar ganti rugi warga, pemerintah tidak pernah menegur Lapindo.

    “Sisa Ganti rugi 80%  warga banyak yang belum dibayar, warga yang memilih skema cicilan dalam satu tahun ini hanya dicicil dua kali. Pemerintah kok malah diam saja tidak ada tindakan sama sekali”, katanya.

    Menanggapi aksi warga, Humas BPLS Akhmad Khusairi menyayangkan sikap warga, pasalnya warga yang melakukan aksi tersebut bukan tanggujawab BPLS, tapi menjadi tanggung jawab Lapindo.

    “Warga yang menghentikan aktivitas di tanggul itu kan tanggung jawab Lapindo, aksi warga ini Saya takutkan mengganggu proses penguatan tanggul. Apa lagi saat ini musim hujan”.

    Aksi warga tanpa kawalan aparat kepolisian ini hanya berjalan sebentar. Namun warga mengancam akan melakukan aksi yang lebih besar jika Lapindo tidak segera membayar tunggakan cicilan ganti rugi yang menjadi hak mereka.(vik)

     

    (c) Kanal News Room

  • Gerimis, Warga Tetap Sholat Idul Adha Di Atas Tanggul

    Gerimis, Warga Tetap Sholat Idul Adha Di Atas Tanggul

    Sidoarjo – Ratusan korban lapindo dari empat desa yang masuk di dalam peta area terdampak sesuai Perpres 14/2007 hari ini(6/11) menggelar sholat Ied di atas tanggul penahan lumpur Desa Ketapang. Dalam pelaksanaan sholat Ied yang dipimpin oleh H. Abdul Fatah ini, warga berharap Pemerintah dan pihak Lapindo lebih peduli dengan nasib warga. Karena selama lima tahun lebih proses ganti rugi sampai kini belum juga selesai.

    “Korban lumpur lapindo yang berada dalam peta area terdampak sesuai Perpres 14/2007 sampai hari ini belum juga terselesaikan, masih banyak skema ganti rugi lainnya yang juga belum terselesaikan”, ungkap Fatah.

    Ari wicaksono, seorang warga desa Jatirejo, menyampaikan bahwa ganti rugi 80 persen yang seharusnya lunas pada akhir tahun 2008 ternyata sampai hari ini tidak kunjung diselesaikan. Selain itu, masih banyak proses pembayaran ganti rugi 20 persen warga juga belum juga dibayar.

    “Ada warga Gempolsari proses 20 persen belum dibayar. Proses ganti rugi yang seharusnya dicicil setiap bulan, setahun terakhir hanya dicicil dua kali, itupun hanya 10 juta, bukan 15 juta per bulan”, katanya.

    Ari menambahkan, selama ini warga semakin tersiksa karena Lapindo tidak membayar cicilan kepada warga sesuai kesepakatan. Ditambah pula pernyataan-pernyataan Pemerintah bahwa tanggung jawab pelaksanaan ganti rugi adalah pada Lapindo. Sedangkan Lapindo sendiri sesumbar telah menyelesaikan 90 persen pembayaran.

    “Informasi di Jakarta, korban lapindo yang ada di dalam peta sudah diselesaikan 90 persen, padahal kenyataannya masih banyak yang belum terselesaikan”, ujarnya.

    Wiwik Sutjiati, seorang warga Siring, juga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak perduli dengan nasib warga, dirinya membandingkan dengan warga tiga desa yang masuk dalam Peta Area Terdampak sesuai Perpres 40/2008 yang sudah dibayar 70 persen.

    “Warga 3 desa itu sampai saat ini sudah dibayar sekitar 70 persen, tapi warga di dalam peta 14/2007 banyak yang belum diselesaikan. Sudah setahun terakhir cicilan warga tidak kunjung dibayarkan, seharusnya pemerintah juga memperhatikan kami dengan memerintahkan Lapindo segera melunasi”, ungkapnya.

    Meski gerimis, warga tetap tenang melaksanakan sholat Ied di lokasi ini. Sholat Idul Adha ini dimanfaatkan juga oleh warga untuk saling bersilaturahmi karena mereka tidak lagi tinggal berdekatan dan jarang bertemu.(vik)

     

    (c) Kanal News Room

  • Mahasiswa ITS Peringati Sumpah Pemuda dengan Donasi Korban Lapindo

    Mahasiswa ITS Peringati Sumpah Pemuda dengan Donasi Korban Lapindo

     

    Surabaya – Setelah Mahasiswa Unair Surabaya dan Brawijaya Malang, kini giliran Komunitas Mahasiswa di Kampus ITS Surabaya yang mengadakan aksi penggalangan donasi Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lumpur Lapindo. Penggalangan dana yang bertema “Seribu Rupiah Saja, Selamatkan Masa Depan Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo” ini diadakan sejak hari Selasa(25/10) dan puncaknya digelar pada hari Jumat(28/10).

    Puluhan mahasiswa yang berasal dari komunitas Pencinta Lingkungan Hidup(PLH) Siklus, Teater Tiyang Alit, Komite Aksi Mahasiswa (KAM)ITS, Komunitas Pemuda Sepuluh Nopember (KomPaS) berkerja sama dengan Sahabat Anak Lumpur membuka Posko Penggalangan Dana yang dipusatkan di Kantin Pusat ITS. Foto hasil karya anak-anak Sanggar Al Faz turut dipamerkan di tempat ini sejak hari pertama.

    Tidak hanya itu, beberapa mahasiswa ITS juga mengedarkan wp-content donasi dan “ngamen” keliling di hampir semua fakultas. Pada hari terakhir yang menjadi puncak kegiatan, anak-anak korban lumpur Lapindo yang tergabung di Sanggar Al Faz juga diundang untuk menampilkan kreasi seni mereka.

    Arif Firdaus, ketua panitia penggalangan donasi mengatakan bahwa penggalangan donasi untuk anak-anak korban lumpur Lapindo ini sekaligus menjadi media penyebaran informasi kepada mahasiswa, terkait penanganan semburan lumpur Lapindo yang hingga tahun kelima ini yang elum juga selesai.

    “Penggalangan ini bukan hanya semata-mata mengumpulkan dana untuk pendidikan anak-anak korban lumpur, tetapi juga mengajak kalangan mahasiswa untuk terlibat memikirkan persoalan yang terjadi di porong yang sampai hari ini belum selesai,” ungkapnya.

    Penggalangan donasi pendidikan di kampus kali ini berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp. 6.851.000 yang kemudian secara simbolis diserahkan kepada anak-anak korban Lumpur Lapindo. Yuliani, koordinator Sahabat Anak Lumpur merasa bersyukur karena mahasiswa mau terlibat aktif untuk penggalangan donasi pendidikan ini. Ia berharap donasi ini dapat membantu anak-anak dalam meneruskan pendidikannya.

    “Kami sangat berterima kasih kalangan mahasiswa mau terlibat untuk penggalangan donasi ini,” ucapnya.

    Lebih lanjut Yuliani menambahkan sampai hari ini perolehan donasi pendidikan sudah terkumpul sebesar Rp.17.533.200,- yang rencananya akan segera didistribusikan kepada akan-anak korban lumpur Lapindo. Penggalangan donasi untuk pendidikan anak-anak korban lumpur lapindo dalam waktu dekat juga akan dilaksanakan oleh komunitas pemuda di Cepu, Blora.(vik)

     

    (c) Kanal News Room

  • Warga Delapan Desa Aksi, Ancam Akan Blokir Raya Porong

     

    Sidoarjo – Aksi korban lapindo dari delapan desa tergabung dalam Korban Lapindo Menggugat(KLM) yang dilakukan sejak kemarin masih terus berlanjut hingga hari ini(26/10). Meskipun pada hari pertama sempat terjadi ketegangan dengan pihak kepolisian yang menghendaki warga segera mengakhiri aksi blokade jalur alernatif Sidoarjo-Gempol, warga tidak menyurutkan aksi.

    Warga yang menuntut ganti rugi gagal panen dan kompensasi uang evakuasi paska jebolnya tanggul di titik 80 pada Desember tahun 2010 ini, masih belum mendapat kepastian dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun dari pihak Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.

    Kordinator aksi, Imam Dakhiri, menyayangkan sikap BPLS dan Pemkab Sidoarjo yang belum bisa mengambil sikap dan menyetujui tuntutan warga. “Perwakilan BPLS dan perwakilan Pemkab saat ini sudah ada di Balai Desa Glagaharum untuk mengajak perwakilan kami berunding. Kami menolak perundingan di balai desa, kami menghendaki mereka datang ke kami dengan membawa keputusan yang kami tuntut,” ungkapnya.

    Bambang Catur Nusantara, Direktur Walhi Jawa Timur, saat dihubungi terkait aksi ini menanggapi bahwa aksi yang dilakukan warga merupakan sesuatu kewajaran. Ia menyayangkan ketidakjelasan pihak BPLS dan Pemkab Sidoarjo yang saling melempar tanggung jawab dan sangat lamban.  

    “Saya kira warga sudah cukup bersabar selama sembilan bulan untuk menunggu penanganan dari pihak-pihak yang berwenang pengurusan lumpur ini. BPLS dan Pemkab Sidoarjo sangat lamban dalam menangani dampak yang ditimbulkan dan terkesan menyepelekan nasib warga yang tinggal di sekitar semburan lumpur,” ujarnya.

    Lebih lanjut Ia juga menyampaikan bahwa banyak hal yang luput dari penanganan BPLS maupun Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Jebolnya tanggul yang meluberi kampung dan lahan pertanian warga merupakan kejadian yang bisa dilihat jelas, maka tidak heran jika masalah hancurnya ekonomi, kesehatan, pendidikan, maupun hak-hak dasar warga lainnya tidak ditangani hingga kini.

    Ia memprediksi beban anggaran negara kedepan akan semakin tinggi dalam penanganan lumpur lapindo. “Jika masalah-masalah kerusakan yang diakibatkan lumpur tidak segera ditangani, beban kedepan yang harus ditanggung masyarakat Indonesia untuk mensubsidi pemerintah dalam penanganan lumpur lapindo dipastikan akan semakin besar.”

    Aksi warga hari ini juga diwarnai penangkapan salah satu warga dari Desa Sentul bernama Suwanto(30). Belum didapatkan keterangan alasan penangkapan, sementara yang bersangkutan masih diperiksa di Polres Sidoarjo. Namun demikian, warga sudah bertekad akan melakukan aksi lanjutan dengan memblokade jalan raya Porong jika pada hari ini tidak ada realisasi tuntutan mereka dari pihak BPLS maupun Pemkab Sidoarjo.(vik/red)

     

    (c) Kanal News Room